Upload
doandang
View
255
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Budaya Siber & Budaya Populer Di Media Sosial
Disusun Oleh:
Ocvita Ardhiani
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Gunadarma
Budaya pada dasarnya merupakan nilai – nilai yangmuncul dari proses interaksi antarindividu.
Budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiadiartikan sebagai
(1) pikiran, akal budi;
(2) adat istiadat;
(3) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudahberkembang (beradab, maju);
(4) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudahsukar diubah.
Budaya siber atau cyberculture secara sederhana melihat bagaimana budaya itu berada di ruang siber.
Berbagai Perspektif Tentang Budaya
Budaya dalam Pendekatan etnografi diartikan sebagai konstruksi sosial maupun historis yang mentransmisikan pola – pola tertentu melalui simbol, pemaknaa, premis, bahkan tertuang dalam aturan.
Perspektif psikologi mengartikan budaya sebagai interaksi antarmanusia yang melibatkan pola – pola tertentu sebagai anggota kelompok dalam merespons lingkungan tempat manusia itu berada.
Perspektif semiotika, budaya adalah sekumpulan praktik sosial yang melaluinya makna diproduksi, disirkulasikan, dan dipertukarkan.
Dari berbagai perspektif tersebut disimpulkan
bahwa budaya adalah sebuah nilai atau
praktik sosial yang berlaku dan dipertukarkan
dalam hubungan antarmanusia, baik sebagai
individu maupun anggota masyarakat.
Budaya siber (cyberculture) dimaknai sebagai:“Praktik sosial maupun nilai – nilai dari komunikasi dan interaksi antarpengguna yang muncul di ruang siber dari hubungan antara manusia dan teknologi maupun antarmanusia dengan perantara teknologi. Budaya itu diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi melalui jaringan internet dan jaringan yang terbentuk di antara pengguna”.
Istilah meme merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Richard Dawkins pada 1979. Davidson (2012 dalam Nasrullah, 2016: 125) menegaskan bahwa mememerupakan bagian dari budaya – kadang sebuah lelucon –yang muncul di internet dan di transmisikan secara online. Meme tidak sekedar lelucon, tetapi cerminan dari realitas offline hanya disajikan dengan visual yang menarik.
Ekspresi Visual dalam Meme
Meme terdiri dari dua aspek:
1. Aspek visual, dimana aspek ini menggunakan potongan
gambar atau ilustrasi yang biasanya untuk menunjukkan
emosi yang dirasakan.
2. Aspek teks, meme dapat dicirikan dengan adanya teks yang
berada di antara visual dan biasanya di atas dan di bawah.
Teks bagian atas merupakan pelengkap pernyataan yang
menunjukkan lanjutan atau jawaban, bisa juga pertanyaan
atas pernyataan sebelumnya
Secara teori, meme menggambarkan tiga komponen,
yakni:
- Manifestasi (manifestation), meme merupakan
budaya yang dapat diamati dan sebagai fenomena
eksternal atau gambaran dari apa yang sedang terjadi
serta merupakan realitas offline
- Kebiasaan (behavior), visual meme dapat
diindikasikan sebagai segala sesuatu sebagai partikel
nyata terkait waktu dan tempat yang terhubung
dengan realitas.
Oleh sebab itu, meme merupakan kebiasaan yang dilakukan
oleh pengguna internet dalam mengungkapkan ekspresi atau
emosinya, baik menggunakan meme yang sudah beredar di
online maupun kreasi sendiri.
- Keidealan (ideal), meme merupakan gambaran dari
realitas ideal yang terjadi. Misalnya, mengunggah
gambar meme – dengan visual dan teks lucu –
sebagai bentuk pernyataan terhadap realitas tersebut
Media sosial memberikan ruang kepada pengguna untuk
menyuarakn pikiran dan opininya dalam proses demokratisasi.
Media sosial hadir membawa nilai – nilai baru di tengah
penggunaannya. Tidak hanya dimanfaatkan dalam
menceritakan diri (self disclosure) tetapi juga telah meningkat
menjadi medium aspirasi warga secara online.
Menjadi topik terpopuler yang diperbincangkan
antarpengguna media sosial, memunculkan petisi
online , dan bahkan dapat menggerakkan massa untuk
melakukan aksi massa secara offline.
Demokrasi digital
Rycroft (2007) bahwa ruang virtual di internet
mendorong munculnya budaya politik. Budaya ini
bergerak dalam ruang publik baru (new public space)
yang merupakan ruang vitual (virtual space) tempat di
mana nilai – nilai itu dipertukarkan di antara anggota.
Virtual sphere sebagai medium di dunia online yang mendorong adanya demokratisasi, a vitrual space enhances discussion; a virtual sphere enhances democracy.
Media sosial adalah tidak berlakunya hierarki. Tak ada lagi pembedaan antara majikan – pekerja, direktur –pegawai, atau praktisi dan nonpraktisi politik.
Media sosial memberikan semacam kekuatan kepada pengguna untuk untuk menyampaikan aspirasi aspirasi mereka.
Media sosial juga digunakan oleh praktisi politik untuk meraih simpati dan berkampanye di dunia online .
Kekuatan Media Sosial Bisa Mengubah Pola –Pola Tradisional Dalam Ranah Demokratisasi
Potret Diri atau selfie
Salah satu fenomena dalam kemajuan teknologi internet, perangkat pintar seperti telepon genggam, dan budaya siber adalah selfie atau foto diri. Kata tersebut sudah dimasukkan pada tahun 2013 dalam kamus Oxford English Dictionary dan diartikan sebagai ‘A photographic self – potrait; esp. One taken with a smartphone or webcam and shared via social media’.
3 Makna Selfie
1. Kegiatan selfie sebagai wujud dari eksistensi diri. Mengambil foto diri dan menyebarkannya di media sosial tidak sekedar terfokus pada penampilan diri si pengguna. Selfie merupakan upaya untuk representasi diri di media sosial, sebuah upaya untuk dianggap ada atau eksis dalam jaringan. Sebuah foto diri akan menunjukkan aktivitas penggunaannya. Fenomena foto diri adalah fenomena eksistensi diri di media sosial.
2. Selfie juga bisa menandakan bahwa penggunaan melakukan keterbukaan diri (self disclosure) di media sosial berdasarkan aktivitas penggunaannya sendiri. Efek dari keterbukaan diri itu adlah interaksi dan komunikasi yang terjadi dengan pengguna lain akan semakin erat.
3. Foto diri merupakan salah satu bentuk narsisme digital. Sebuah foto diri yang diambil menunjukkan bahwa penggunaannya sedang mengkonstruk dirinya dan hasil konstruksi itu, selain itu eksistensi diri, juga sebagai bentuk pertunjukkan di depan panggung untuk menarik kesan pengakses atau bentuk pertunjukkan di depan panggung untuk menarik kesan pengakses atau pengguna lain dalam jaringan pertemanan di media sosial.
Gabriel Farias menekankan, saat ini manusia bisa dijuluki
dengan homus photographicus, setiap orang seakan – akan
terbiasa mengungkapkan emosi dirinya secara visual melalui imej
atau foto yang disebut Farias sebagai cybernetic image.
Fenomena foto diri ini menjadi semacam budaya yang muncul dan terjadi di media sosial. Para pengguna seolah – olah memiliki sebuah praktik kebudayaan baru terkait koneksitas mereka terhadap media sosial. Foto diri juga dianggap sebagai kebiasaan bermedia sosial dan semakin kuat kebiasaan itu karena adanya komentar yang diberikan oleh pengguna lain terhadap foto diri yang diunggah
Kenyataan foto diri ini dimanfaatkan oleh institusi bisnis. Mengapa?
Karena foto diri yang diunggah menjadi bahan perbincangan atau saling mengomentari di media sosial. Contoh: perusahaan komersil yang membuka kompetisi foto dengan syarat pengguna yang tampil di foto tersebut sedang memegang produk dari merek tertentu.
Sebuah riset yang dilakukan oleh lembaga Opinium di Inggris (www.opinium.co.uk) terhadap 2005 responden yang berusia antara 18 sampai 24 tahun pada 26 – 29 Juli 2013 menunjukkan bahwa dalam sehari ada lebih dari satu juta foto diri yang dibuat. Realitas siber ini menunjukkan bahwa kekuatan foto diri adalah artefak kebudayaan yang bida ditafsirkan dari berbagai sudut pandang.
Kesimpulannya adalah kehadiran teknologi memberikan
ruang kepada penggunanya untuk mengonstruk dirinya dan
hasil dari konstruksi diri itu merupakan konten yang bisa
diakses oleh siapapun melalui jaringan sosial.
Selfie telah mengubah aspek interaksi sosial, bahasa
tubuh, kesadaran diri, ranah privasi dan humor, temporalitas
(keberadaan dalam waktu tertentu), ironi (keadaan yang
bertentangan dengan harapan), dan aktifitas publik.