26
1 BAB I BANGSA INDONESIA Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai ikatan primordialagama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adatyang berbeda satu sama lain. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan perbedaan-perbedaan yang ada itu menimbulkan berbagai masalah integrasi dan konflik yang berkaitan dengan keberadaan dasar dan ideologi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai pengikat bangsa, faktor-faktor pemersatu bangsa lainnya, serta jati diri bangsa. 1. Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa Secara konseptual, yang dimaksud dengan bangsa adalah sekelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Contoh: Bangsa Indonesia, India, dsb. 1 Sekelompok masyarakat yang membentuk suatu bangsa, sebagaimana definisi bangsa tersebut tidaklah sesederhana itu. Suatu bangsa terbentuk melalui suatu proses perjalanan sejarah, yang berbeda dengan bangsa lain. Keberadaan suatu bangsa pun sering kali dipengaruhi oleh interaksinya dengan bangsa-bangsa lain. Sebagai suatu bangsa, Indonesia mempunyai ciri atau corak yang khas. Ciri khas itu muncul karena latar belakang sejarah pembentukannya yang berbeda dengan bangsa lain. Salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang menonjol adalah bahwa bangsa Indonesia dibentuk oleh kesatuan dari berbagai suku bangsa sehingga disebut bangsa yang majemuk. 1 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 2002), hlm. 102. Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami konsep bangsa dan membangun sikap terbuka dan kritis terhadap kemajemukan bangsa Indonesia dalam hubungannya dengan masalah integrasi, konflik, faktor- faktor pemersatu bangsa, serta jati diri bangsa.

Buku Ajar III - BAB I Bangsa Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Bangsa Indonesia Buku Ajar III MPKT-A

Citation preview

  • 1

    BAB I

    BANGSA INDONESIA

    Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai

    ikatan primordialagama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adatyang berbeda satu

    sama lain. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan perbedaan-perbedaan yang ada itu

    menimbulkan berbagai masalah integrasi dan konflik yang berkaitan dengan keberadaan dasar

    dan ideologi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai pengikat bangsa, faktor-faktor

    pemersatu bangsa lainnya, serta jati diri bangsa.

    1. Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa

    Secara konseptual, yang dimaksud dengan bangsa adalah sekelompok masyarakat

    yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.

    Contoh: Bangsa Indonesia, India, dsb.1 Sekelompok masyarakat yang membentuk suatu

    bangsa, sebagaimana definisi bangsa tersebut tidaklah sesederhana itu. Suatu bangsa

    terbentuk melalui suatu proses perjalanan sejarah, yang berbeda dengan bangsa lain.

    Keberadaan suatu bangsa pun sering kali dipengaruhi oleh interaksinya dengan bangsa-bangsa

    lain.

    Sebagai suatu bangsa, Indonesia mempunyai ciri atau corak yang khas. Ciri khas itu

    muncul karena latar belakang sejarah pembentukannya yang berbeda dengan bangsa lain.

    Salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang menonjol adalah bahwa bangsa Indonesia dibentuk

    oleh kesatuan dari berbagai suku bangsa sehingga disebut bangsa yang majemuk.

    1 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 2002), hlm. 102.

    Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami konsep bangsa

    dan membangun sikap terbuka dan kritis terhadap kemajemukan bangsa

    Indonesia dalam hubungannya dengan masalah integrasi, konflik, faktor-

    faktor pemersatu bangsa, serta jati diri bangsa.

  • 2

    Mengenai pengertian konsep suku bangsa, Koentjaraningrat memberikan penjelasan

    sebagai berikut. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud

    sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya,

    menampilkan corak khas tertentu yang terutama dilihat oleh orang luar yang bukan warga

    masyarakat bersangkutan. Corak khas tersebut dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan

    yang ada pada komunitas itu, misalnya hasil kebudayaan fisik dan pranata-pranata yang ada

    pada pola sosial khusus. Kekhasan corak kebudayaan pada suatu masyarakat itu yang

    membedakannya dengan masyarakat lainnya. Dalam etnografi (deskripsi atau tulisan tentang

    bangsa-bangsa), suatu kebudayaan dengan corak khas itu dinamakan suku bangsa atau

    kelompok etnik (ethnic group).

    Di antara kedua istilah di atas suku bangsa dan kelompok etnikistilah yang lebih

    tepat bagi kelompok masyarakat dengan corak yang khas tersebut adalah suku bangsa, bukan

    kelompok etnik karena suku bangsa merupakan golongan sosial bukan kelompok sosial.

    Golongan sosial dan kelompok sosial merupakan dua konsep mengenai kesatuan-kesatuan

    sosial atau unsur-unsur masyarakat. Kedua konsep itu mempunyai pengertian yang berbeda.

    Golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu,

    yang mempunyai ikatan identitas sosial. Kelompok sosial merupakan suatu masyarakat karena

    memenuhi syarat-syaratnya yaitu adanya sistem interaksi antara para anggota, adat-istiadat

    serta sistem norma yang mengatur interaksi itu, kontinuitas, serta adanya rasa identitas yang

    mempersatukan semua anggota tadi. Di samping ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang

    disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan

    dan selalu tampak sebagai kesatuan-kesatuan dari individu-individu yang pada masa-masa

    tertentu, secara berulang, berkumpul dan kemudian bubar lagi.

    Suku bangsa sebagai golongan sosial adalah golongan manusia yang terikat oleh

    identitas dan kesadaran akan kesatuan kebudayaan. Kesadaran dan identitas itu sering kali

    dikuatkan pula oleh kesatuan bahasa. Kesatuan kebudayaan tersebut bukan ditentukan oleh

    pihak luar, misalnya ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau ahli lainnya, dengan metode-

    metode analisis ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri.

    Contoh kebudayaan suku bangsa yang diuraikan di atas ialah kebudayaan Sunda yang

    merupakan suatu kesatuan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan Jawa atau Batak.

    Kesatuan kebudayaan Sunda itu bukan ditentukan oleh pihak luar, melainkan karena orang-

    orang Sunda sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman mengenai kebudayaan mereka,

  • 3

    yang mempunyai kepribadian dan identitas khusus, yang berbeda dengan kebudayaan lain.

    Apalagi adanya bahasa Sunda, yang berbeda dengan bahasa Jawa atau Batak, menyebabkan

    semakin tingginya kesadaran akan kepribadian khusus tadi. (Koentjaraningrat, 2002: 263

    266.)

    Menurut Suparlan, suku bangsa merupakan kategori atau golongan sosial yang

    askriptif yaitu keanggotaan dalam suku bangsa tersebut diperoleh bersama dengan kelahiran,

    yang mengacu kepada asal orang tua yang melahirkan dan asal daerah tempat seseorang

    dilahirkan. Sebagai golongan sosial, suku bangsa terwujud sebagai perorangan atau individu

    dan kelompok. Sebagai kelompok, suku bangsa terwujud sebagai keluarga, komuniti,

    masyarakat, atau juga berupa perkumpulan suku bangsa. Sebagai kelompok, suku bangsa

    mempunyai ciri-ciri berikut.

    1. Suku bangsa merupakan satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak

    dan lestari, yaitu dengan adanya keluarga yang dibentuk melalui perkawinan.

    2. Suku bangsa mempunyai kebudayaan bersama yang merupakan pedoman bagi kehidupan

    mereka, dan secara umum berbeda dengan kelompok suku bangsa lain.

    3. Keanggotaan di dalam suku bangsa bercorak askriptif.

    Keanggotaan seseorang di dalam sebuah suku bangsa yang bercorak askpritif berbeda

    dari keanggotaan seseorang di dalam sebuah kelas sosial atau kelompok profesi yang

    coraknya diperoleh melalui prestasi kerja atau usaha. Keanggotaan seseorang di dalam suatu

    suku bangsa adalah keanggotaan terus-menerus atau untuk selamanya, sedangkan

    keanggotaan di dalam kelas sosial atau kelompok profesi akan hilang pada waktu yang

    bersangkutan tidak lagi mampu menunjukkan kemampuan ekonomi yang menjadi ciri-ciri

    dari kelas sosial yang di dalamnya dia tergolong atau pada waktu seseorang itu tidak lagi

    mengerjakan profesi yang selama ini ditekuninya. (Suparlan, 2005: 36.)

    Sebagai makhluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu jati diri atau identitas

    diri. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia maka jati diri seseorang merupakan jati diri bangsa

    Indonesia. Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang didukung oleh kesatuan dari

    aneka suku bangsa, maka diperlukan pemahaman terhadap suku-suku bangsa tersebut. Corak

    jati diri atau identitas diri bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh jati diri suku-suku bangsa

    pendukung bangsa Indonesia. Jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan termasuk salah satu

    di antara jati diri yang dapat menjadi jati diri utama, atau dapat juga menjadi jati diri yang

    menempel dan memperkuat jati diri utama seseorang. Oleh karena itu interaksi antar-suku

  • 4

    bangsa, yang masing-masing mempunyai corak jati diri yang berbeda itu, perlu pula

    dilakukan dengan tetap mengedepankan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Permasalahan

    bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk berkaitan dengan interaksi antar-suku bangsa

    akan diuraikan lebih lanjut pada sub-bab mengenai masyarakat majemuk bangsa Indonesia.

    2. Indonesia Bangsa yang Majemuk

    Menurut Haviland, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki

    keberagaman pola-pola kebudayaan (societies that have a diversity of cultural patterns)

    (Haviland, 2000: 386). Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa suatu masyarakat yang

    majemuk akan melahirkan kebudayaan majemuk, yang merupakan interaksi sosial dan politik

    dari orang-orang yang cara hidup dan cara berpikirnya berbeda dalam suatu masyarakat

    (Haviland, 2000: 805).

    Yang dimaksud dengan bangsa, menurut kamus istilah antropologi, adalah kumpulan

    manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan

    biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Pengertian bangsa ini tidak jauh berbeda

    dengan yang dikemukakan oleh Haviland yaitu suatu komunitas orang-orang yang

    memandang dirinya sebagai kesatuan manusia yang didasari oleh nenek moyang, sejarah,

    masyarakat, institusi, ideologi, bahasa, wilayah, dan sering kali kepercayaan yang sama

    (Haviland, 2000: 664).

    a. Kemajemukan Bangsa Indonesia sebagai Realitas

    Di samping pengertian bangsa dalam arti kenegaraan tersebut di atas, bangsa

    Indonesia terdiri dari berbagai bagian lagi yang disebut sebagai suku bangsa. Berbagai suku

    bangsa tersebut ialah suku bangsa Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh, dan lain-lain.

    Masing-masing suku bangsa itu mempunyai kebudayaan sendiri, yang berbeda dengan suku

    bangsa lainnya, yaitu berbeda bahasa, adat-istiadat, cara hidup, dan sebagainya.

    Sesungguhnya suku bangsa itu masing-masing merupakan satu bangsa dalam arti etnik, yaitu

    kebulatan kemasyarakatan yang mempunyai kebudayaan sendiri, karena berasal dari satu

    keturunan.

    Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dengan aneka suku bangsa yang

    membentuk satu kesatuan yaitu bangsa Indonesia. Berdasarkan data sensus penduduk tahun

  • 5

    2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku bangsa di Indonesia adalah sebanyak

    1.128 suku bangsa, dengan jumlah penduduk keseluruhannya sebanyak 237.556.363 orang, dan

    dengan luas wilayahnya sekitar 1.910.931 km2.

    2

    Menurut Suparlan, Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-

    masyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau

    nasion, yaitu bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia dikatakan sebagai sebuah

    masyarakat yang majemuk karena mengenal tiga sistem yang digunakan sebagai acuan atau

    pedoman di dalam kehidupan warga masyarakatnya. Sistem-sistem itu adalah 1) sistem

    nasional, 2) sistem suku bangsa, dan 3) sistem tempat-tempat umum. Sebagai sebuah bangsa,

    masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik yaitu sebuah negara kesatuan yang

    menempati sebuah wilayah yang dinamakan Negara Republik Indonesia. Sebagai sebuah

    masyarakat yang terdiri atas sejumlah suku bangsa, hubungan-hubungan sosial di antara

    warga suku bangsa yang berbeda itu lazim berlangsung di tempat-tempat umum (pasar,

    tempat-tempat hiburan, kegiatan-kegiatan sosial bersama) yang menjadikan fungsi tempat-

    tempat umum tersebut menjadi penting untuk berinteraksi. (Suparlan, 2005: 5460.)

    Aneka suku bangsa yang terdapat dalam Negara Republik Indonesia adalah sama

    banyak jumlahnya dengan bahasa-bahasa mereka, yang disebut bahasa daerah (Loebis, 1979:

    1011). Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan suatu realita yang tidak dapat diingkari.

    Oleh karena itu, aneka suku bangsa yang ada perlu disikapi dengan kesadaran akan Indonesia

    sebagai bangsa yang satu.

    Bentuk pluraritas bangsa Indonesia setidaknya dapat dilihat dalam dua macam yaitu 1)

    pluralitas horizontal, misalnya keberagaman etnis, agama dan bahasa, dan 2) pluralitas

    vertikal, misalnya keanekaragaman profesi, tingkat ekonomi, dan pendidikan. Di samping itu,

    bentuk pluralitas bangsa Indonesia dapat pula dilihat dari keberagaman kelompok, lapisan,

    dan golongan (meskipun substansinya sama dengan bentuk pluralitas yang disebutkan

    terdahulu). Keberagaman kelompok berkaitan antara lain dengan keberagaman kelompok

    etnik, afiliasi politik, dan agama yang dianut.

    2 Rusman Heriawan, Kepala BPS, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu tanggal 3

    Februari 2010.

  • 6

    b. Masalah-Masalah Terkait Pluralitas Bangsa Indonesia

    Konsekuensi dari pluralitas atau heterogenitas masyarakat Indonesia adalah potensi

    terjadinya konflik atau integrasi. Konflik berpotensi terjadi apabila terdapat cara pandang

    tertentu seperti sikap etnosentrisme atau primordialisme, yang diwujudkan antara lain dalam

    bentuk stereotip etnik pada suku bangsa lain. Di sisi lain integrasi bangsa dapat didorong oleh

    aspek-aspek seperti pengalaman sejarah yang sama, tujuan yang sama, bahasa dan simbol-

    simbol yang sama sebagai identitas kebangsaan.

    Mengapa kemajemukan masyarakat menjadi salah satu sebab munculnya persoalan

    konflik atau masalah integrasi bangsa di Indonesia? Hal ini dapat dijelaskan dengan

    menunjukkan bahwa keberagaman suku bangsa di Indonesia menimbulkan beberapa

    konsekuensi ketika anggota masyarakat dari berbagai suku bangsa itu berinteraksi satu sama

    lain. Dalam interaksi antar-anggota masyarakat yang berbeda suku bangsa itu akan muncul

    jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan masing-masing yang diakui oleh anggota

    masyarakat dari suatu suku bangsa maupun oleh anggota masyarakat suku bangsa lainnya

    dalam interaksi yang terjadi. Acuan jati diri suku bangsa adalah kebudayaan suku bangsa

    yang terwujud dalam bentuk atribut-atribut yang menjadi ciri-ciri dari suku bangsa masing-

    masing pelaku dalam suatu interaksi.

    Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kelompok kerabat pada dasarnya

    adalah kebudayaan suku bangsa. Sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya secara

    langsung atau tidak langsung berasal dari satu keturunan yang sama, atau yang selama

    beberapa generasi menempati suatu wilayah, adalah sebuah masyarakat suku bangsa.

    Masyarakat suku bangsa ini, sama halnya dengan keluarga atau kelompok kekerabatan, adalah

    sebuah masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan suku bangsa.

    Pada masyarakat suku bangsa, kebudayaan suku bangsa menjadi sebuah acuan utama

    dalam menghadapi lingkungan sosial budaya dari masyarakat tersebut. Dalam masyarakat

    luas yang heterogen atau majemuk, kebudayaan masing-masing suku bangsa berisikan

    keyakinan-keyakinan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa dan mencakup juga pengetahuan

    mengenai diri atau suku bangsa sendiri yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Perbedaan

    atau pertentangan dengan suku bangsa lainnya itusecara sadar atau tidak sadar

    memunculkan keberadaan jati diri suku bangsa sendiri dan jati diri suku-suku bangsa lainnya.

    Pengetahuan mengenai suku bangsa sendiri dan suku-suku bangsa lainnya yang hidup

    bersama-sama dalam sebuah masyarakat akan memunculkan keyakinan-keyakinan mengenai

  • 7

    kebenaran yang subjektif terkait dengan pengetahuan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa

    lainnya itu. Pengetahuan anggota masyarakat suatu suku bangsa terhadap suatu suku bangsa

    lainnya berisikan konsep-konsep yang sering kali digunakan sebagai acuan dalam

    menghadapi anggota-anggota suku-suku bangsa lainnya itu. Konsep-konsep ini disebut

    stereotip (stereotype), dan stereotip dapat berkembang menjadi prasangka (prejudice).

    Sebuah stereotip mengenai sesuatu suku bangsa biasanya muncul dari pengalaman

    seseorang atau sejumlah orang dalam berhubungan dengan para pelaku dari suku bangsa itu.

    Dari sejumlah pengalaman yang terbatas itu, yang dipahami dengan mengacu pada

    kebudayaannya, muncullah pengetahuan yang diyakini kebenarannya dan menjadi bagian dari

    kebudayaan suku bangsa tertentu, yaitu pengetahuan mengenai ciri-ciri suku bangsa itu.

    Pengetahuan yang dipunyai oleh seseorang atau sejumlah anggota masyarakat suku bangsa

    mengenai sesuatu suku bangsa tersebut kemudian disebarluaskan kepada sesama anggota

    masyarakat sehingga pengetahuan yang sifatnya terbatas mengenai ciri-ciri sesuatu suku

    bangsa tersebut menjadi sebuah pengetahuan yang bersifat umum dan baku yang diyakini

    kebenarannya. Padahal, sebenarnya, pengetahuan itu amat terbatas dan subjektif karena

    berisikan interpretasi dari pengalaman si pelaku sendiri yang terbatas jumlah dan ruang

    lingkupnya tetapi kemudian digeneralisasi sebagai ciri-ciri dari sesuatu suku bangsa tersebut.

    Demikianlah pengetahuan itu disebut stereotip. (Suparlan, 2005: 36.)

    Berkaitan dengan permasalahan masyarakat Indonesia yang majemuk, Jatiman

    mengemukakan bahwa akar dari bangsa Indonesia adalah satuan sosial atau kelompok yang

    berbeda-beda dalam suku bangsa, agama dan ras (SARA). Oleh sebab itulah maka

    permasalahan integrasi nasional berkaitan dengan konflik dalam hal SARA. Namun lebih jauh

    dikemukakan bahwa permasalahan yang sesungguhnya bukan hanya itu melainkan juga

    kesepakatan bangsa tentang keberadaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai cita-cita, mengingat

    bahwa integrasi bangsa Indonesia dilandasi oleh kesamaan nasib dan kesamaan cita yang

    kemudian secara konkret dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

    Kemajemukan masyarakat Indonesia dengan keberagaman kelompok, lapisan dan

    golongan melahirkan keberagaman kebudayaan pula. Kebudayaan yang beragam itu

    menyebabkan sistem hukum yang ada juga beragam, di samping hukum negara dan hukum

    internasional. Kemajemukan budaya melahirkan kemajemukan hukum, mengingat hukum

    merupakan aspek kebudayaan yang memiliki fungsi sebagai pedoman bertingkah laku dan

    fungsi kontrol sosial. Hukum merupakan aturan yang menjadi pedoman hidup seseorang atau

  • 8

    suatu masyarakat. Aturan tersebut antara lain adalah aturan adat, aturan agama, dan aturan

    nasional.

    Aturan adat ialah orientasi nilai, atau norma/pedoman hidup yang mengatur

    bagaimana masyarakat adat berperilaku. Orientasi nilai ini sangat ditentukan oleh pranata-

    pranata primordial dan ikatan kekerabatan yang dijaga melalui mitos-mitos lama, yaitu

    persamaan nenek moyang, persilangan darah, dan daerah asal. Sebagai contoh, di Maluku

    Tengah ada aturan adat yang dinamakan pela, yakni kewajiban-kewajiban yang oleh orang-

    orang Maluku Tengah diakui dan harus dipenuhi berdasarkan perjanjian di antara nenek

    moyang mereka di masa lalu. Perjanjian itu biasanya dibuat antara dua klen atau negeri, yang

    di dalamnya ditentukan bahwa para warga klen atau negeri itu dan keturunannya akan selalu

    saling membantu dan mereka tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan. Aturan adat

    hanya dapat hidup pada perangkat sosial yang paling dasar, yaitu klen (clan), seperti suku di

    Minang, marga di Tapanuli, dan soa di Maluku Tengah (Ihromi, 1986: 47).

    Aturan agama tidak ditentukan oleh pranata kekerabatan, melainkan oleh kesamaan

    keyakinan religius yang melintasi dan meniadakan perbedaan asal-usul, bahkan ras dan

    golongan.

    Aturan nasional merupakan produk dari pranata politik nasional. Biasanya aturan ini

    dikembangkan dalam bentuk produk hukum formal yang mencakup masalah ekonomi, sosial,

    politik dan budaya, misalnya kebijakan politik, kebijakan ekonomi, dan peraturan perundang-

    undangan.

    Masyarakat memiliki tingkat kepatuhan yang berbeda-beda kepada ketiga orientasi

    nilai tersebut. Hal ini disebabkan mobilitas sosial yang berbeda di dalam seting persekutuan

    hidup tertentu. Ketiga pedoman perilaku di atas merupakan pemberi dasar kehidupan kesatuan

    bangsa dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Ketiganya juga menjadi pertimbangan utama

    dalam sistem pengelolaan konflik.

    Masalah integrasi dan konflik merupakan konsekuensi dari suatu masyarakat yang

    majemuk. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pemersatu bangsa Indonesia

    sebagaimana diuraikan berikut ini.

    3. Faktor-faktor Pemersatu Bangsa Indonesia

    Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan perekat atau pemersatu bangsa, antara lain:

    1) latar belakang sejarah bangsa, 2) Pancasila dan UUD 1945, 3) simbol-simbol atau

  • 9

    lambang-lambang persatuan bangsa, dan 4) kebudayaan nasional. Faktor-faktor itu tidak

    berdiri sendiri-sendiri melainkan saling terkait satu sama lain sebagai landasan bagi

    tumbuhnya jati diri bangsa. Di samping itu, keberadaan faktor-faktor itu perlu selalu dijaga

    untuk dapat tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    a. Latar Belakang Sejarah Bangsa Indonesia

    Terbentuknya Negara Indonesia (state building) terjadi melalui suatu proses panjang

    sejarah pembentukan Bangsa Indonesia (nation building) terlebih dahulu. Sebagaimana telah

    dikemukakan, Indonesia merupakan kumpulan suku bangsa dalam satu kesatuan, yaitu bangsa

    Indonesia, yang mempunyai bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia, dan satu negara, yaitu

    negara Republik Indonesia. Kata bangsa di sini ialah bangsa dalam arti politis (kenegaraan),

    yaitu sebagai pendukung dari negara.

    Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia secara garis besar diawali dengan

    timbulnya kesadaran rakyat untuk menjadi bangsa. Bangsa Indonesia yang terbentuk itu

    berusaha dengan kuat, berjuang membentuk Negara Indonesia merdeka. Setelah merdeka,

    seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam negara Indonesia berjuang untuk mengisi

    kemerdekaannya dengan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya (Simbolon,

    1995: xviiixix).

    Dalam proses perjalanan bangsa Indonesia yang berjuang untuk menjadi bangsa yang

    merdeka dan kemudian membangun bangsanya, dilakukan upaya-upaya untuk mencapai

    keseimbangan antara kepentingan masyarakat di satu pihak dan kekuasaan (negara) di lain

    pihak. Keseimbangan tersebut diwujudkan dalam bentuk lembaga atau pranata (institutions)

    yang merupakan aturan-aturan, baik yang formal seperti undang-undang atau peraturan,

    maupun yang informal seperti adat, kebiasaan, dan tata krama. Dalam hal ini lembaga

    berfungsi sebagai pengatur hubungan antarmanusia. Lembaga dengan aturan-aturan di

    dalamnya itu terdapat di setiap kehidupan kelompok masyarakat.

    Berbeda dengan istilah lembaga (dalam arti sebagai institusi, organisasi atau

    wadah), pranata adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan

    berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan

    masyarakat. Lembaga (institute) adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas

    itu. Dalam menjalankan kehidupannya, individu-individu dalam suatu masyarakat banyak

    melakukan tindakan dalam berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Di antara

  • 10

    semua tindakannya yang berpola tadi, ada yang merupakan tindakan-tindakan yang

    dilakukannya menurut pola-pola yang tidak resmi, dan ada yang menurut pola-pola yang

    resmi. Sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu

    berinteraksi menurut pola-pola resmi, dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut pranata

    (bahasa Inggris institution), bukan lembaga (institute) (Koentjaraningrat, 2002: 162171).

    Pranata yang terkait dengan rangkaian upaya mencapai keseimbangan antara kepentingan

    masyarakat di satu pihak dan kekuasaan (negara) di lain pihak selalu ada di setiap masyarakat,

    baik pada kondisi masyarakat yang masih sederhana maupun yang sudah kompleks.

    Pranata atau lembaga dalam rangkaian upaya tersebut di atas ada di setiap tahap

    pembentukan bangsa Indonesia, yang kemudian dalam tahap selanjutnya akan membentuk

    negara Indonesia. Tahap awal pembentukan bangsa Indonesia dimulai dengan tahap

    persebaran penduduk ke Indonesia pada masa prasejarah. Tahap berikutnyasecara berturut-

    turut ialah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan-kerajaan Islam, kedatangan Portugis,

    pendudukan VOC dan penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan.

    Dalam sejarah persebaran penduduk ke Indonesia, berdasarkan penelitian terhadap

    fosil-fosil yang ditemukan antara lain di beberapa desa di daerah lembah Bengawan Solo,

    ternyata manusia Indonesia tertua sudah ada kira-kira satu juta tahun yang lalu. Waktu itu

    dataran Sunda masih merupakan daratan, Asia Tenggara merupakan bagian benua dan bagian

    kepulauan yang masih bersambung menjadi satu. Persebaran manusia yang masuk ke

    Indonesia merupakan manusia dengan ciri-ciri Austro-Melanosoid (ciri-ciri ras penduduk

    pribumi Australia, sebelum orang kulit putih menduduki benua itu) yang menyebar ke Papua.

    Ketika itu Papua masih menjadi satu dengan benua Australia, dan terpisah ketika jaman es

    keempat berakhir. Selain di Papua, manusia Austro-Melanosoid juga berada di Jawa,

    Sumatera, dan Sulawesi Selatan.

    Di samping pengaruh dari ras Austro-Melanosoid, manusia Indonesia juga

    dipengaruhi oleh ras Mongoloid. Ras Mongoloid berasal dari Asia Timur yang menyebar ke

    selatan melalui kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi (sampai

    ke Sulawesi Selatan). Mengingat manusia Austro-Melanosoid juga masuk sampai ke Sulawesi

    Selatan, maka daerah Sulawesi Selatan dapat dianggap sebagai tempat perpaduan antara

    berbagai macam pengaruh kebudayaan dan percampuran antara berbagai ras manusia, yang

    datang dari berbagai tempat (Koentjaraningrat, 1981: 220).

  • 11

    Catatan sejarah lainnya menjelaskan bahwa persebaran penduduk Indonesia, atau

    rakyat kerajaan kuno Nusantara berasal dari daerah Cina Selatan (propinsi Yunan). Mereka

    dikenal sebagai ras Melayu, yang datang secara bergelombang. Dua gelombang terpenting

    adalah Proto-Melayu, yang datang sekitar 3000 tahun lalu, dan Deutro-Melayu, sekitar 2000

    tahun yang lalu. Proto-Melayu (Melayu-Polynesia) tersebar dari Madagaskar sampai ke

    Pasifik Timur. Kebudayaannya masih merupakan kebudayaan batu (neolithicum). Berbeda

    dengan Proto-Melayu, Deutro-Melayu sudah membawa kebudayaan besi.

    Persebaran penduduk melalui proses rumit dan perjalanan panjang melalui berbagai

    wilayah di dunia tersebut di atas menjadi awal terbentuknya penduduk Indonesia. Penduduk

    Indonesia atau masyarakat Nusantara pada waktu itu diperintah oleh raja-raja. Ciri pokoknya

    adalah pembauran manusia dari berbagai ras dan daerah asal, sebagai ciri bhinneka tunggal

    ika.

    Tahap kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, memberikan pengaruh kepada kebudayaan

    bangsa Indonesia. Catatan sejarah kerajaan Hindu diperoleh dari batu-batu bertulis yang ada

    di Jawa Barat, di daerah sungai Cisadane, Bogor, dan di pantai Kalimantan Timur, daerah

    Muara Kaman, Kutai, sekitar abad IV Masehi. Menurut ahli sejarah purbakala Indonesia,

    kerajaan-kerajaan yang disebut dalam tulisan-tulisan pada batu-batu tadi merupakan kerajaan-

    kerajaan Indonesia asli, yang hidup makmur berkat perdagangan dengan negara-negara di

    India Selatan. Raja-rajanya mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang ahli-

    ahli dan orang-orang pandai dari golongan Brahmana (pendeta) di India Selatan yang

    beragama Wisnu dan Brahma.

    Tahap kerajaan-kerajaan Islam juga memberikan pengaruh kepada kebudayaan

    Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam

    melalui hubungan perdagangan. Para penyebar dakwah atau mubaligh mengajarkan agama

    Islam kepada para pedagang penduduk asli yang kemudian menyebarkannya kepada

    penduduk lainnya. Kerajaan Islam di Nusantara yang dipengaruhi oleh kerajaan atau

    kesultanan Islam di tanah Arab ialahantara lainKerajaan Samudera Pasai di Aceh,

    Kerajaan Mataram di Jawa, serta Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku.

    Tahap kekuasaan lokal Nusantara di atas merupakan kekuasaan raja-raja sebelum

    kedatangan bangsa-bangsa Barat, baik yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha maupun Islam.

    Menurut beberapa penafsiran dari fakta sejarah yang ada, sifat kekuasaan lokal Nusantara

    tersebut terpusat di tangan raja. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat kelembagaan dan

  • 12

    kepastian, serta kerasnya penggunaan kekuasaan yang ada bahkan menimbulkan peristiwa

    berdarah sehingga pada akhirnya kekuasaan raja-raja tersebut runtuh (Simbolon, 1995: 6

    32).

    Tahap setelah kekuasaan raja-raja di Nusantara adalah tahap kolonialisasi atau tahap

    pejajahan bangsa Indonesia oleh VOC (16021800) yang diteruskan oleh Belanda (1800

    1942), dan Jepang (19421945). Akibat perang di Eropa, kekuasaan atas Indonesia pernah

    diambil alih oleh Inggris (18111816).

    Masa penjajahan yang dialami bangsa Indonesia dari 16021945 itu juga merupakan

    proses panjang pembentukan bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa.

    Proses pembentukan bangsa Indonesia tersebut merupakan salah satu ciri dari suatu proses

    yang disebut unintended consequences. Istilah ini dapat diartikan sebagai terjadinya akibat

    yang tidak diperhitungkan dari tindakan yang dilakukan terhadap suatu susunan kehidupan,

    baik tindakan-tindakan yang dicita-citakan dan direncanakan, maupun yang tidak. Dalam hal

    ini pengembangan kebangsaan Indonesia merupakan akibat yang tidak diperhitungkan oleh

    penguasa kolonial terhadap susunan kehidupan masyarakat yang kini disebut sebagai bangsa

    Indonesia. Ini terjadi karena masyarakat Indonesia bukanlah peralatan otomatis yang

    reaksinya selalu dapat diperhitungkan oleh penggunanya (Simbolon, 1995: xxii).

    Dalam masa penjajahan Belanda, perlakuan-perlakuan kolonial terhadap bangsa

    Indonesia justru menjadi pemicu munculnya kesadaran berbangsa yang satu sebagai bangsa

    Indonesia. Hal ini tentu tidak diinginkan dan tidak diduga oleh Belanda yang ingin tetap

    bertahan sebagai penguasa kolonial di Nusantara. Dua peristiwa bersejarah yang

    menunjukkan adanya kesadaran berbangsa yang satu sebagai bangsa Indonesia yang ingin

    merdeka dari penjajahan yang terjadi antara tahun 1899 sampai 1942 ialah Kebangkitan

    Nasional yang ditandai oleh berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah

    Pemuda (28 Oktober 1928). Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang mulai

    diperjuangkan sejak masa Multatuli (dr. Douwes Dekker).

    Politik etis merupakan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang seolah-olah

    memberikan kebaikan-kebaikan kepada bangsa Indonesia sebagai tanda balas budi. Namun

    sesungguhnya hal itu dilakukan dalam rangka mempertahankan statusnya sebagai penguasa di

    tanah jajahan. Dalam melakukan politik etis untuk mempertahankan kekuasaannya,

    pemerintah kolonial Belanda selalu berupaya menanamkan pengaruhnya kepada para

    penguasa pribumi melalui birokrasi dan melalui pendidikan bagi generasi penerus para

  • 13

    penguasa. Para pemuda dari kalangan elit itu dididik oleh Belanda untuk menjadi penguasa

    yang mengabdi kepada pemerintah kolonial Belanda. Mereka dididik di berbagai lembaga

    pendidikan Belanda, baik di Indonesiayang umumnya dipusatkan di Pulau Jawamaupun

    di Negeri Belanda. Tanpa disadari, Belanda telah mendorong dan menciptakan ruang gerak

    terjadinya interaksi antar-berbagai suku bangsa melalui interaksi antarpemuda dari kalangan

    elit suku bangsa. Interaksi ini terjadi terutama di dalam berbagai institusi buatan Belanda, baik

    pemerintah maupun swasta, yang bergerak di bidang pemerintahan maupun pendidikan.

    Di dalam institusi pendidikan terjadi interaksi yang intensif antara pemuda-pemuda

    yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, tidak hanya yang berada di Pulau

    Jawa, tetapi juga yang di negeri Belanda. Melalui interaksi itu tumbuhlah benih-benih

    solidaritas baru yaitu perasaan senasib sebagai bangsa yang terjajah. Ikatan solidaritas ini

    terus berkembang menjadi suatu semangat persatuan sebagai satu bangsa yang menginginkan

    kemerdekaannya. Keadaan itulah yang mendorong Kebangkitan Nasional yang ditandai oleh

    lahirnya kelompok kebangsaan Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei tahun 1908.

    Hal yang sama juga memunculkan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober

    1928, yaitu semangat persatuan yang berkembang dari berbagai suku bangsa yang saling

    berinteraksi, yang dirumuskan dalam satu kesepakatan dalam bentuk ikrar bahwa mereka:

    Bertumpah darah satu Indonesia, Berbangsa satu Indonesia, dan Menjunjung bahasa

    persatuan bahasa Indonesia. Solidaritas yang menumbuhkan semangat persatuan ini

    melahirkan cita-cita membangun bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kebangkitan

    Bangsa dan Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah yang menandai kelahiran bangsa

    Indonesia dari berbagai suku bangsa melalui kesepakatan normatif.3

    Bangsa Indonesia menghadapi babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa yang

    dimulai dari masa pembentukan bangsa sampai masa pembentukan Negara Indonesia yang

    merdeka dan berdaulat, yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan

    bangsa Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan

    Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Tanggal 17 merupakan tanggal

    yang sengaja dipilih Bung Karno dengan alasan tertentu sebagaimana terungkap dalam dialog

    antara Bung Karno dengan para pemuda yang menculik dan membawanya ke

    Rengasdengklok: Dengan suara rendah ia (Bung Karno) mulai berbicara, Yang paling

    3 Sardjono Jatiman, Integrasi Bangsa: Antara Kesepakatan Normatif dan Kenyataan Empirik, makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Tinjauan Kritikal tentang Integrasi Bangsa, Depok, 1617 Januari 1996.

  • 14

    penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Saya tidak dapat

    menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan

    kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik.

    Tanggal 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci

    Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal

    17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-

    Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian

    angka 17 bukanlah buatan manusia (Hardi, 1984: 61).

    Penjajahan terhadap bangsa Indonesia berhasil diakhiri dengan proklamasi

    kemerdekaaan yang memanfaatkan keadaan setelah Jepang dibom oleh Amerika Serikat pada

    tanggal 6 Agustus 1945 di atas kota Hiroshima. Melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan

    Indonesia (PPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Inkai) Indonesia menegaskan

    keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Setelah bom atom kedua dijatuhkan

    di atas Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945, yang menyebabkan Jepang menyerah kepada

    sekutu, maka Indonesia memanfaatkan keadaan dengan memproklamasikan kemerdekaannya.

    PPKI adalah panitia baru, yang dibentuk untuk melanjutkan tugas Badan Penyelidik

    Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu

    Junbi Cosakai) yang sebelumnya telah dibentuk pada 29 April 1945. PPKI dibentuk pada

    tanggal 12 Agustus 1945 (bukan 7 Agustus 1945 karena pada tanggal 7 Agustus 1945 yang

    terjadi hanyalah pemberian izin oleh pemerintahan Jepang di Tokyo untuk mendirikan PPKI,

    sedangkan pembentukannya secara resmi adalah pada tanggal 12 Agustus 1945). Tugas

    BPUPKI adalah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Dasar guna menyongsong

    kemerdekaan, sedangkan PPKI dibentuk untuk menyatakan atau mengesahkan kemerdekaan

    dan melakukan peralihan kekuasaan dari negara jajahan menjadi negara merdeka (Kusuma,

    2004: 113).

    Setelah melalui tahap pembentukan bangsa dan tahap pembentukan negara, tahap

    perkembangan bangsa Indonesia selanjutnya adalah tahap mengisi kemerdekaan yang telah

    diproklamasikan oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Namun setelah proklamasi kemerdekaan 17

    Agustus tahun 1945, Negara Indonesia yang masih baru itu masih mengalami berbagai ujian

    untuk mempertahankan kemerdekaannya itu. Kerajaan Belanda ketika itu ingin menjajah

    kembali Indonesia dengan alasan Indonesia dulunya adalah bagian sah dari kerajaan Belanda,

    namun diambil alih oleh Jepang karena Belanda yang bergabung dengan sekutu-sekutunya

  • 15

    telah kalah perang dengan Jepang pada tahun 1941. Pada perkembangan selanjutnya, dengan

    kekalahan Jepang dalam perang Pasifik pada tahun 1945, maka Belanda mengklaim bahwa

    Indonesia secara hukum internasional kembali menjadi bagian dari kerajaan Belanda.

    Indonesia baru berhasil mempertahankan kemerdekaannya setelah melalui berbagai

    upaya seperti perang yang disebut revolusi kemerdekaan sebagai perang konvensional, dan

    perang diplomasi melalui perundingan-perundingan antar pemerintah kedua negara, sampai

    akhirnya dicapai persetujuan melakukan Perjanjian Meja Bundar yang berhasil memaksa

    Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun pengakuan itu disertai syarat Negara

    Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diubah menjadi Negara Republik Indonesia Serikat.

    Setelah syarat dipenuhi, yaitu NKRI diubah menjadi NRIS berdasarkan Konstitusi RIS 1949

    pada tanggal 29 Desember 1949, maka sejak itu secara de jure Belanda mengakui

    kemerdekaan Indonesia, bukan 17 Agustus 1945 (Mahfud, 2009: 120-122).

    Setelah proklamasi dan masa transisi sampai tahun 1949, mulailah masa Demokrasi

    Liberal (19501959), yang secara berturut-turut diikuti oleh era Demokrasi Terpimpin

    yang kemudian disebut Orde Lama(19591965), Orde Baru (19661998), dan era

    Reformasi (1998sekarang) Proses pembentukan Negara dan hal-hal yang berhubungan

    dengan negara akan diuraikan lebih lanjut dalam bab II mengenai negara Indonesia.

    b. Pancasila dan UUD 1945

    Persatuan suku-suku bangsa menjadi bangsa Indonesia dalam suatu negara

    memerlukan dasar dan ideologi negara sebagai landasan berbangsa dan bernegara, yaitu

    Pancasila dan UUD 1945. Pancasila adalah dasar dan ideologi negara Indonesia yang

    disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Dengan demikian Pancasila merupakan

    kaidah-kaidah penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum. UUD 1945, yang

    mencantumkan Pancasila dalam bagian pembukaaannya, merupakan hukum dasar yang

    mengatur prinsip-prinsip dan mekanisme ketatanegaraan untuk menjamin demokrasi, dan juga

    memasang rambu-rambu untuk menjaga keutuhan bangsa. Dengan kata lain, Pancasila dan

    UUD 1945 merupakan dasar pemersatu dan pengikat untuk menjamin keberlangsungan

    integrasi dan demokrasi di Negara Indonesia.

    Mengingat pentingnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka

    keberadaannya harus dipertahankan dan butir-butir muatannya diamalkan agar kelangsungan

    dan keutuhan bangsa dan negara tetap terjaga. Dalam kenyataannya persoalan Pancasila

  • 16

    bukan hanya masalah menghapal lima butir Pancasila, namun banyak persoalan atau kendala

    dalam pengamalannya yang terkait dengan kondisi dan kesadaran masyarakat dalam

    kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila dapat dilihat sekurang-kurangnya dari

    tiga aspek, yakni aspek filosofis, yuridis, dan politis. Secara filosofis, Pancasila merupakan

    dasar keyakinan tentang masyarakat yang dicita-citakan serta dasar bagi penyelenggaraan

    negara yang dikristalisasikan dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang serta berakar

    jauh dari kehidupan leluhur atau nenek moyang bangsa Indonesia. Secara yuridis, Pancasila

    merupakan cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di

    Indonesia. Oleh sebab itu hukum di Indonesia harus berdasar pada Pancasila. Isi hukum

    konsisten atau sesuai dengan Pancasila, mulai dari hukum yang hierarkinya paling atas sampai

    dengan yang paling bawah. Secara politis, Pancasila dipandang sebagai kesepakatan luhur

    (modus vivendi) yang mempersatukan semua ikatan primordial ke dalam satu bangsa yaitu

    bangsa Indonesia dalam prinsip persatuan.

    Selain Pancasila, UUD 1945 juga merupakan perekat integrasi dan pengawal

    demokrasi di Indonesia. UUD 1945 memuat dasar aturan politik mengenai mekanisme

    ketatanegaraan yang demokratis, yang juga menjamin integrasi bangsa dan negara. Hal itu

    diwujudkan antara lain melalui pemilihan umum (pemilu) yaitu pemilihan pejabat-pejabat

    publik tertentu secara jujur dan adil dan melalui pengawasan dan perimbangan (checks and

    balances) antar-lembaga-lembaga kekuasaan.

    Lembaga-lembaga kekuasaan itu adalah kekuasaan kehakiman yang mengawal hukum

    bagi setiap perbuatan pemerintah dan rakyat yang mengancam integrasi atau mengancam

    tatanan dan aturan main. Kekuasaan eksekutif, selain menjalankan roda pemerintahan, juga

    mengawal negara menghadapi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa melalui

    kekuatan pertahanan dan keamanan. Demikian pula dengan kekuasaan lainnya yaitu yudikatif,

    melalui peradilan melawan setiap gerakan disintegratif, dan kekuasaan dari lembaga legislatif

    yang melakukannya secara politik melalui pembentukan undang-undang. Semua lembaga

    kekuasaan negara tersebut harus bekerja secara sinergis.

    Beberapa muatan dari UUD 1945 yang mengikat bangsa dalam kesatuan bangsa

    Indonesia adalah yang berikut.

    1) Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk

    Republik. Pasal ini juga dipagari oleh pasal lainnya yaitu Pasal 18 dan Pasal 37 ayat (5).

  • 17

    2) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan

    menurut UUD, yang menunjukkan bahwa sebagai negara kebangsaan Indonesia menganut

    prinsip dan sistem demokrasi.

    3) Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya,

    setiap kegiatan bangsa dan negara haruslah berdasarkan hukum (nomokrasi). Demokrasi

    harus berjalan di atas prosedur hukum dengan segala falsafah dan tata urut perundang-

    undangan yang mendasarinya. Demokrasi tanpa nomokrasi dapat menjadi anarki dan

    dapat mengancam integrasi bangsa.

    4) Pasal 26 mengatur mengenai warga negara dan penduduk, yang sekarang tidak lagi

    membedakan orang Indonesia asli dan yang tidak asli. Perbedaan tersebut hanya

    menunjukkan latar belakang sejarah tetapi tidak untuk membedakan hak dan kewajiban

    secara diskriminatif.

    5) Pasal 30 mengatur tugas pertahanan dan keamanan yang masing-masing dilakukan oleh

    Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terhadap

    ancaman dari luar maupun perpecahan di dalam negeri.

    Bagaimana mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 juga menyangkut ketahanan

    nasional bangsa Indonesia. Menurut Sunardi, ketahanan nasional adalah kondisi dinamis

    suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk

    mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala macam

    ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam,

    secara langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, indentitas, kelangsungan

    hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan pembangunan nasional (Sunardi,

    2004: 190195).

    Ketahanan nasional diperlukan agar Negara Indonesia sebagai Negara Kebangsaan

    dapat berlangsung. Namun ketahanan nasional merupakan salah satu saja dari sekurang-

    kurangnya tiga syarat berlangsungnya Negara Kebangsaan, yaitu kedaulatan, nasionalisme,

    dan ketahanan (Mahmud MD, 2009: 4054).

    Ancaman terhadap ketahanan nasional atau disintegrasi bangsa dapat berasal dari luar

    maupun dari dalam negeri Indonesia sendiri. Contoh ancaman dari luar ialah westernisasi atau

    pembaratan yaitu masuknya nilai-nilai budaya Barat yang belum tentu sehat dan sesuai

    dengan budaya Indonesia, yang melanda masyarakat Indonesia, terutama kaum muda.

    Contoh ancaman dari dalam negeri ialah kesenjangan taraf hidup masyarakat yang masih

  • 18

    tinggi, korupsi yang merajalela, pertentangan antarkelompok, dan lemahnya penegakan

    hukum.

    c. Simbol-simbol/Lambang-lambang Persatuan Bangsa

    Di samping berbagai istilah yang dikenakan kepada diri manusia, seperti manusia

    sebagai insan akali dan makhluk sosial, manusia juga disebut manusia budaya yang dengan

    kegiatan akalnya dapat mengubah dan bahkan menciptakan realitas dengan menggunakan

    sistem perlambangan, misalnya bahasa atau lambang-lambang tertentu lainnya. Artinya,

    dalam kehidupan sebagai manusia kita tidak terlepas dari simbol-simbol atau lambang-

    lambang. Umpamanya, Universitas Indonesia menggunakan makara sebagai lambang yang

    mempunyai makna khusus di samping sebagai salah satu identitas sebagai suatu perguruan

    tinggi. Demikian pula dalam bernegara, rasa keterikatan, solidaritas dan identitas anggota

    masyarakatnya dijaga sebagai satu kesatuan bangsa dan negara dengan menggunakan simbol-

    simbol atau lambang-lambang persatuan.

    Beberapa lambang persatuan itu adalah bendera merah putih, bahasa nasional,

    lambang negara, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Penggunaan lambang-lambang

    persatuan negara itu diatur dalam UUD 1945: Pasal 35 (mengenai Bendera Merah Putih),

    Pasal 36 (mengenai Bahasa Indonesia), Pasal 36A (mengenai lambang negara Garuda

    Pancasila), dan Pasal 36B (mengenai lagu kebangsaan Indonesia Raya) dan dalam UU No

    24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

    Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, dikemukakan bahwa bendera, bahasa, dan lambang

    negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud

    eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana

    diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Lambang-lambang tersebut merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah

    perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan

    cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.4

    4 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035).

  • 19

    d. Kebudayaan Nasional

    Pluralitas bangsa Indonesia bukan hanya keanekaan suku bangsanya saja, melainkan

    juga keragaman agama, pelapisan sosial, dan kelompok yang melahirkan kebudayaan yang

    beragam pula. Dalam kebudayaan yang beragam itu tentu dapat muncul loyalitas terhadap

    suku bangsa atau kelompok, yang dalam skala tertentu dapat menimbulkan primordalisme,

    entnosentrisme, dan sikap stereotip etnik terhadap suku bangsa atau kelompok lainnya. Oleh

    karena itu, untuk menjaga keutuhan persatuan bangsa dalam Negara Republik Indonesia,

    kebudayaan nasional mempunyai arti penting sebagai perekat rasa persatuan sebagai satu

    bangsa dan negara.

    (1) Konsep Kebudayaan

    Secara konseptual, kebudayaan mempunyai arti yang beragam. Keberadaan

    kebudayaan tidak terlepas dari adanya suatu masyarakat karena masyarakat merupakan

    pendukung dari kebudayaan, dan kebudayaan mengatur bagaimana masyarakatnya itu

    berperilaku. Dengan kata lain, kebudayaan ada dalam berbagai aspek kehidupan yang

    meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap, dan juga hasil dari

    kegiatan manusia yang khas pada suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu, yang

    tercermin dalam perilakunya. Semua itu adalah milik bersama para anggota masyarakat

    sehingga setiap anggota masyarakat diharapkan melakukan perbuatan yang sesuai dengan

    kebudayaannya itu. Kebudayaan tidak diwariskan secara biologis melainkan harus dipelajari,

    terutama melalui sarana bahasa.

    Unsur-unsur yang ada pada kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang

    terpadu atau terintegrasi. Kebudayaan ada untuk menangani masalah dan persoalan yang

    dihadapi suatu masyarakat. Oleh karena itu kelestarian kebudayaan harus dipelihara sehingga

    kebudayaan dapat mengatur anggota-anggota masyarakatnya untuk dapat hidup secara

    teratur. Dalam hal ini kebudayaan harus dimiliki bersama dan digunakan untuk menemukan

    keseimbangan antara kepentingan pribadi masing-masing orang dan kebutuhan masyarakat

    sebagai suatu keseluruhan. Akhirnya, kebudayaan harus memiliki kemampuan untuk berubah

    agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru. (Haviland, 1995: 331342.)

    Konsep kebudayaan muncul dan dikembangkan oleh para ahli antropologi menjelang

    akhir abad XIX. Salah satu di antaranya ialah Sir Edward Burnett Tylor, seorang antropolog

    Inggris, yang pada tahun 1871 mendefinisikan kebudayaan sebagai:

  • 20

    kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat

    atau dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri atas segala

    sesuatu yang dipelajari oleh pola-pola perilaku yang normatif, artinya mencakup

    segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (Ranjabar, 2006: 21).

    Pada tahun 1950-an, A. L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, mendefinisikan kebudayaan

    modern sebagai seperangkat peraturan standar yangapabila dipenuhi oleh para anggota

    masyarakatmenghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh para

    anggotanya.

    R. Radcliffe-Brown (1881-1955), mendefinisikan kebudayaan sebagai seperangkat

    peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat yang kalau

    dilaksanakan oleh para anggotanyamelahirkan perilaku yang oleh mereka dipandang layak

    dan dapat diterima. Masyarakat di sini didefinisikan sebagai sekelompok orang yang

    mendiami suatu daerah tertentu dan yang bersama-sama memiliki tradisi kebudayaan yang

    sama (Haviland, 1995: 331342).

    Koentjaraningrat (2002: 179185) mendefinisikan kebudayaan yang didasarkan pada

    pemikiran mengenai sistem tindakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya. Sistem

    tindakan itu tidak terkandung di dalam gen manusia, sehingga harus dibiasakan melalui proses

    belajar, sebagai aspek yang penting, selama manusia hidup. Oleh karena itu kebudayaan

    didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam

    rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Definisi

    tersebut sejalan dengan yang dikemukakan E. B. Tylor tersebut di atas.

    Secara etimologis kata kebudayaan berasal dari kata buddhaya (bentuk jamak dari

    kata buddhi yang berarti budi atau akal dalam bahasa Sansekerta). Dengan demikian,

    kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Istilah Inggris culture

    berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan, terutama mengolah

    tanah atau bertani. Istilah ini berkembang artinya sebagai segala daya upaya serta tindakan

    manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.

    Definisi kebudayaan lain adalah sebagai pedoman bagi kehidupan manusia yang

    secara bersama dimiliki oleh para warga sebuah masyarakat. Dapat dikatakan pula bahwa

    kebudayaan adalah sebuah pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat dan

    para warganya. Definisi kebudayaan tersebut antara lain dikemukakan oleh Malinowski

    (1961) dalam karya-karyanya mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia dan pemenuhannya

  • 21

    melalui fungsi dan pola-pola kebudayaan. Kluckhon (1944) melihat kebudayaan sebagai blue

    print bagi kehidupan manusia. Dalam pada itu Geertz (1973) melihat kebudayaan sebagai

    sistem-sistem makna.

    Dalam perspektif tersebut kebudayaan terdiri atas konsep-konsep, teori-teori, dan

    metode-metode yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat pemiliknya. Kebudayaan

    yang demikian merupakan sistem-sistem acuan yang ada pada berbagai tingkat pengetahuan

    dan kesadaran, dan bukan hanya pada tingkat gejala sebagai tingkat kelakuan atau hasil

    kelakuan sebagaimana didefinisikan oleh Koentjaraningrat.

    Sebagai sistem-sistem acuan, konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode dipilih

    secara selektif, mana yang paling sesuai sebagai acuan bagi para pemilik kebudayaan dalam

    menghadapi lingkungannya. Pilihan selektif itu digunakan untuk menginterpretasi dan

    memanfaatkan lingkungan beserta isinya dalam bentuk tindakan untuk memenuhi kebutuhan

    hidup sebagai manusia. Tindakan itu dapat berbentuk dorongan atau motivasi bagi

    pemenuhan kebutuhan maupun sebagai tanggapan-tanggapan (response) atas rangsangan

    (stimuli) dari lingkungannya.

    Kebudayaan dalam kehidupan manusia adalah fungsional dalam struktur kegiatan

    untuk pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia. Kebudayaan merupakan acuan bagi

    manusia dalam berhubungan/berinteraksi dan mengidentifikasi berbagai gejala sebagai

    kategori-kategori yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya

    tersebut (Koentjaraningrat, 2002: 179185).

    (2) Gagasan Kebudayaan Nasional

    Mengenai Kebudayaan Nasional (dalam konteks Indonesia), beberapa cendekiawan

    mempunyai gagasan berbeda, yang dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Golongan

    yang pertama menyatakan bahwa suatu pengembangan kebudayaan nasional Indonesia

    berlandaskan pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah. Salah satu tokohnya

    adalah Ki Hajar Dewantara, yang mengemukakan bahwa kebudayaan nasional harus unik,

    berkepribadian khas, dan bermutu tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan setiap warga

    bangsa Indonesia akan perasaan bangga terhadap bangsanya sendiri dan menjadi identitas

    nasionalnya. Disarankan agar unsur-unsur puncak (dalam arti yang paling) dari kebudayaan

    suku-suku bangsa di daerah dan unsur-unsur warisan nenek moyang dijadikan sebagai isi

    kebudayaan nasional.

  • 22

    Golongan yang kedua menyarankan suatu pengembangan kebudayaan nasional

    Indonesia baru, yang lepas dari kebudayaan suku-suku bangsa di daerah dan berorientasi ke

    peradaban dunia masa kini. Salah satu tokoh golongan kedua ini adalah Sutan Takdir

    Alisjahbana. Gagasannya adalah kebudayaan nasional Indonesia harus dipahami setiap warga

    Indonesia. Oleh karena itu unsur-unsur dari kebudayaan nasional tidak dapat diambil dari

    kebudayaan suku-suku bangsa di daerah atau dari warisan nenek-moyang. Kebudayaan

    nasional Indonesia sebaiknya diciptakan baru karena kebudayaan nasional Indonesia harus

    mengacu ke masa depan, mementingkan sains dan teknologi.

    Secara teoretis, suatu kebudayaan nasional mempunyai dua fungsi yaitu 1)

    memperkuat rasa identitas nasional warga suatu bangsa atau negara dan 2) memperluas rasa

    solidaritas nasional warga suatu bangsa atau negara. Berdasarkan dua fungsi itu, sebenarnya

    gagasan dari dua golongan cendekiawan di atas saling melengkapi untuk memenuhi kedua

    fungsi tadi. Gagasan kebudayaan nasional dari golongan pertama memenuhi fungsi pertama,

    dan gagasan kebudayaan nasional dari golongan kedua memenuhi fungsi kedua.

    Contoh kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan daerah

    antara lain adalah Borobudur, batik tradisional, tari-tarian tradisional, angklung, gamelan,

    karapan sapi, dan lain-lain, yang merupakan unsur kebudayaan warisan nenek-moyang.

    Menurut ahli psikologi E. H. Erikson, rasa identitas diri dapat dikuatkan apabila individu yang

    bersangkutan dapat mengacu pada suatu karya unik yang dapat dibanggakan. Oleh karena itu,

    identitas nasional dapat dikuatkan oleh hasil-hasil karya unik yang dapat dibanggakan

    sebagai hasil karya bangsanya (Koentjaraningrat, 1987a).

    Contoh unsur-unsur kebudayaan yang dapat memperkuat rasa solidaritas atau yang

    dapat memenuhi fungsi kedua tadi antara lain adalah bahasa nasional (bahasa Indonesia), seni

    drama masa kini, seni film, dan sistem hukum nasional. Unsur-unsur ini harus dapat

    mengintensifkan komunikasi antar-suku bangsa yang berbeda-beda dan dapat dipahami

    maknanya sehingga dapat menumbuhkan toleransi dan solidaritas.

    Sebagian besar unsur-unsur kebudayaan nasional tersebut perlu terus dilestarikan dan

    dikembangkan. Yang perlu diperhatikan adalah upaya pengembangan kebudayaan nasional

    tidak hanya menyangkut pengembangan unsur-unsur bagian kebudayaan saja, tetapi juga

    sistem nilai budayanya. Sistem nilai budaya merupakan inti dari suatu kebudayaan (yang

    dianggap bernilai tinggi) yang menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga

    kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah adat-istiadat, sistem norma,

  • 23

    aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun, pandangan hidup, dan lain-lain. Menurut C.

    Kluckhohn, masalah-masalah dalam kehidupan manusia yang dinilai tinggi dan universal ada

    di setiap kebudayaan di dunia itu menyangkut setidaknya lima hal, yaitu 1) masalah makna

    atau hakekat hidup manusia, 2) masalah makna pekerjaan/karya dan amal perbuatan manusia,

    3) masalah persepsi manusia terhadap waktu, 4) masalah hubungan manusia dengan alam

    sekitarnya, dan 5) masalah manusia dengan manusia (Koentjaraningrat, 1987b).

    Salah satu dari kebudayaan nasional kita yang perlu terus dikembangkan adalah

    hukum nasional. Pembentukan hukum nasional itu harus ditujukan untuk mencapai tujuan-

    tujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu membangun segenap

    bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan

    kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

    Dalam pembangunan hukum, Pancasila merupakan dasar pencapaian tujuan negara

    yang melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum. Kaidah-kaidah bagi hukum yang dibuat di

    Indonesia haruslah 1) bertujuan membangun dan menjamin integrasi bangsa Indonesia, baik

    secara teritorial maupun secara ideologis; 2) didasarkan pada demokrasi dan nomokrasi

    sekaligus; 3) ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; dan

    4) didasarkan pada toleransi beragama yang berkeadaban (Mahfud MD, 2009: 5254).

    4. Jati Diri Bangsa

    Belakangan ini kita sering melihat gaya hidup masayarakat kita, khususnya kaum

    muda, seperti dalam berbahasa, bertingkah laku maupun berbusana (misalnya kebarat-

    baratan) yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Hal ini menimbulkan

    pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan jati dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

    Di sini terjadi suatu pemahaman keliru antara menjadi modern dan menjadi seperti

    orang Barat, atau antara mordernisasi dengan westernisasi. Menurut Wilbert Moore,

    modernisasi adalah penggabungan diri pada masyarakat/bangsa yang telah

    mengakumulasikan berbagai hasil dari telaah ilmiah dan menerapkannya, serta menggunakan

    hasil temuan ilmiah dan teknologi tersebut untuk memecahkan masalah-masalah yang

    dihadapi. Hanya untuk masalah-masalah kebendaan dan fisik teori Moore dapat digunakan.

    Haviland mengkritik konsep modernisasi karena, menurutnya, konsep itu bersudut pandang

    etnosentris. Artinya, konsep modernisasi ini terbentuk berdasarkan cara pandang satu

  • 24

    kelompok masyarakat yang melihat bahwa kebudayaan yang dimilikinya lebih superior

    daripada kebudayaan kelompok masyarakat lainnya (Haviland, 2000: 755).

    Dewasa ini kita juga sering mendengar berita-berita di televisi atau media lainnya

    mengenai banyak peristiwa yang dapat mengarah kepada kondisi disintegrasi bangsa.

    Peristiwa-peristiwa itu antara lain ialah konflik/perkelahian antara suku bangsa yang satu

    dengan suku bangsa yang lain, atau antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, dan

    perkelahian massal atau tawuran banyak terjadi di kalangan murid sekolah. Hal ini

    menunjukkan, antara lain: lemahnya toleransi terhadap perbedaan pendapat; munculnya

    elemen-elemen separatisme dan kedaerahan/primordialisme; penafsiran keliru terhadap

    otonomi daerah sebagai federalisme; pendekatan fragmentatif dalam menghadapi persoalan-

    persoalan bangsa; ketiadaan atau kelangkaan tokoh panutan; lemahnya perasaan gotong-

    royong, solidaritas, dan kemitraan; dan ketidaksepahaman dalam menyikapi proses

    globalisasi.5 Semua itu merupakan masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia.

    Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan rasa kebangsaan anggota masyarakat

    sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang juga berhubungan dengan jati diri bangsa. Istilah

    jati diri dapat diartikan sebagai ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu

    benda. Jati diri pun diartikan sebagai identitas.6 Jadi jati diri bangsa Indonesia adalah ciri-ciri

    atau identitas kita sebagai bangsa Indonesia.

    Telaah terhadap jati diri bangsa tidak terlepas dari kondisi bangsa Indonesia yang

    berasal dari ikatan-ikatan primordial. Pluralitas bangsa Indonesia adalah suatu kenyataan.

    Oleh karena itu perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia

    merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus diterima sebagai kekayaan bangsa

    Indonesia. Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia, mulai dari pembentukan kesadaran

    berbangsa, kemudian pembentukan negara, sampai dengan pengisian kemerdekaan Indonesia

    sebagai negara bangsa yang berdaulat, perlu menjadi bahan refleksi kita dalam memandang

    keberadaan kita sekarang. Persatuan bangsa perlu terus diupayakan keutuhannya dengan

    menyadari jati diri bangsa kita sebagai bangsa Indonesia.

    5 Muladi, Jati Diri Bangsa, makalah pada Diskusi Panel Revitalisasi Jati Diri Bangsa yang diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro

    Kewilayahan dan Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik, Kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta, 14 Juni

    2006. 6 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: 2002), hlm. 462.

  • 25

    Mengingat bangsa Indonesia berasal dari ikatan-ikatan primordial, maka jati diri

    bangsa Indonesia diarahkan pada nilai-nilai yang menunjukkan diri kita sejatinya sebagai

    bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu mengikat bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa,

    yang terumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itulah maka acuan bagi jati diri

    bangsa Indonesia sebagai pedoman tertinggi bangsa atau ideologi dan hukum dasar dalam

    bernegara adalah Pancasila dan UUD 1945, yang harus dilaksanakan secara benar dan

    konsisten.

    Di samping itu bentuk dari jati diri bangsa Indonesia dapat dikenali dengan mengacu

    kepada kebudayaan nasional, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ikatan-ikatan primordial

    atau dari berbagai suku bangsa. Kebudayaan nasional dimaksud adalah yang berlandaskan

    pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah (puncak-puncak kebudayaan

    daerah) yang dapat menimbulkan perasaan bangga terhadap bangsa sendiri dan berfungsi

    untuk memperkuat rasa identitas nasional warga bangsa atau negara.7 Selain itu jati diri

    bangsa juga harus ditopang oleh rasa solidaritas bersama antar-suku bangsa atau antar-ikatan

    primordial yang ada di Indonesia. Hal itu dapat dijalankan melalui fungsi kedua kebudayaan

    yaitu memperluas rasa solidaritas nasional warga bangsa atau negara. Kebudayaan nasional

    itu adalah yang dapat dipahami oleh setiap warga Indonesia, diciptakan baru dan mengacu ke

    masa depan.8

    Dalam perjalanan bangsa Indonesia selanjutnya, kesadaran akan jati diri bangsa

    haruslah terus diperjuangkan, mengingat keberadaan bangsa Indonesia bukanlah di ruang

    hampa. Arus globalisasi dengan kemajuan transportasi dan telekomunikasi menjadi salah satu

    ancaman dari luar yang perlu disadari dan dihadapi dengan bijaksana oleh segenap bangsa

    Indonesia.

    Pengalaman sejarah merupakan guru yang baik bagi kita sebagai bangsa. Perlu

    diresapi bagaimana semangat kebangsaan itu tumbuh di masa lalu. Semangat kebangsaan

    sebagai bangsa yang satu itu tumbuh karena perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa

    yang terjajah. Semangat itu diwujudkan dengan lahirnya Kebangkitan Nasional tahun 1908

    dan Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

    7 Lihat uraian di atas mengenai golongan pertama yang mengemukakan mengenai kebudayaan nasional;

    contohnya ialah batik, tari-tarian, dan masakan tradisional Indonesia.

    8 Lihat uraian di atas mengenai golongan kedua yang mengemukakan mengenai kebudayaan nasional;

    contohnya ialah bahasa nasional dan hukum nasional.

  • 26

    Pada saat ini ketika kita sudah merdeka, maka pemahaman musuh bersama itu harus

    digantikan dengan masalah-masalah yang melanda bangsa Indonesia yang harus kita hadapi

    secara bersama-sama. Perasaan sebagai bagian dari negara kesatuan harus dikembangkan,

    antara lain melalui pendekatan kebudayaan dan pengembangan kebudayaan nasional.

    Pendekatan kebudayaan sebagai media untuk dapat saling memahami antar-suku bangsa, dan

    pengembangan kebudayaan nasional sebagai upaya untuk meningkatkan rasa soliaritas dan

    menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia.

    Di samping itu, dalam pembentukan jati diri bangsa juga diperlukan teladan yang baik

    dari pemimpin-pemimpin bangsa yang tangguh, baik yang sudah tiada (pahlawan bangsa)

    maupun yang sekarang berkuasa atau menduduki jabatan. Dengan demikian diharapkan

    berbagai upaya yang dilakukan akan dapat membentuk jati diri bangsa Indonesia sebagai

    bangsa yang bermartabat.