Upload
doandan
View
234
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BUKU KERJA KONSERVASI Berdasarkan Hasil Pemetaan Kondisi Secara Detail di Seluruh Kawasan Konservasi
Lingkup Wilayah Kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat
Disusun oleh: Sustyo Iryono Robi Royana Bandung, Juli 2017
BUKU KERJA KONSERVASI Berdasarkan Hasil Pemetaan Kondisi Secara Detail di Seluruh Kawasan
Konservasi Lingkup Wilayah Kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat
Disusun oleh:
Sustyo Iriyono Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat
Robi Royana Conservation and Legal Assistance Network
Bandung, Juli 2017
Buku Kerja Konservasi Berdasarkan Hasil Pemetaan Kondisi Secara Detail di Seluruh Kawasan Konservasi Lingk-up Wilayah Kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat
ISBN:
@2017 Diterbitkan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat
Editor: Teguh Setiawan Ruddy Rachmat Fadillah Ery Mildranaya Rudi Kurniawan Dwi Hendra Kristianto Hayunieta
Kontributor Teknis: Seluruh Staf Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat
Tata Letak dan Desain Ian M. Hilman
Foto Cover: Elang jawa (Nisaetus bartelsi), Cipta Seutia Nugraha Lutung (xxx), Dokumentasi Balai Besar KSDA Jabar
Bunga bangkai (Amorphophallus titanum ), Dokumentasi Balai Besar KSDA Jabar
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat
Jl. Jl. Gede Bage Selatan No. 117 Rancabolang, Gede Bage, Bandung Tlp/Fax. +62-22-7535107
WILAYAH KERJA BALAI BESAR KONSERV
ASI SUMBER DAYA ALAM - JAWA BARAT
i
KATA PENGANTAR
Mengelola 50 kawasan konservasi yang tersebar di Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi amanat yang harus diemban Balai Besar KSDA Jawa Barat. Dengan luas total kawasan konservasi yang dikelola mencapai 84.540,16 ha, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Balai Besar KSDA Jawa Barat mengingat masih banyaknya permasalahan yang harus diselesaikan di masing-masing kawasan konservasi. Penanganan permasalahan yang dilakukan selama ini lebih bersifat ‘spo-radis’, belum sepenuhnya bersandar pada skala prioritas dan berbasis lokus.
Buku Kerja Konservasi yang telah disusun dan di dalamnya berisi pedoman pengelolaan kawasan konservasi yang efektif dan berbasis lokus ini merupakan sebuah ikhtiar yang bersifat sistematis dan terstruktur guna menyelesaikan berbagai permasalahan yang mendera kawasan konserva-si lingkup Balai Besar KSDA Jawa Barat. Harapannya, permasalahan yang dihadapi pada mas-ing-masing lokus dapat diselesaikan secara bertahap sesuai dengan prioritas yang telah ditetap-kan.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pi-hak yang telah berkontribusi dalam penyusunan Buku Kerja Konservasi ini. Kontribusi tersebut tentunya menjadi sumbangsih yang tiada ternilai bagi terwujudnya kelestarian kawasan konser-vasi lingkup Balai Besar KSDA Jawa Barat.
Akhirnya, agar Buku Kerja Konservasi ini tidak hanya menjadi sekadar catatan rencana tanpa aksi nyata, maka diharapkan kepada seluruh struktur Balai Besar KSDA Jawa Barat pada level terting-gi sampai level terendah beserta jajarannya untuk bersama-sama mewujudkan harapan-harapan sebagaimana tercantum di dalam Buku Kerja Konservasi ini sesuai dengan tugas dan fungsi mas-ing-masing.
Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat
Ir. Sustyo Iriyono, M.Si. NIP. 19620621 199002 1 001
ii
SEKAPUR SIRIH
Mengelola kawasan konservasi sejatinya merupakan sebuah rangkaian upaya untuk memper-tahankan keberlangsungan proses hidup dan kehidupan karena di dalamnya terdapat sistem penyangga kehidupan yang memberikan garansi bagi eksistensi makhluk hidup. Lebih lanjut, mengelola kawasan konservasi juga erat kaitannya dengan aktivitas untuk melestarikan ke-beradaan tumbuhan dan satwa beserta eksosistemnya. Namun tidak hanya itu, mengelola ka-wasan konservasi juga memberikan peluang bagi pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistem di kawasan konservasi secara lestari. Semuanya termaktub di dalam konsep 3P (Per-lindungan, Pengawetan, dan Pemanfaatan) sebagai pilar kegiatan konservasi yang masih relevan sampai saat ini.
Konsep 3P di dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia telah cukup lama diterapkan seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun demikian, kawasan konservasi yang digadang-gadang sebagai benteng terakhir hutan di Indonesia, ternyata belum lepas dari berbagai aktivitas ilegal seperti perambahan, pembalakan liar, perburuan satwa liar, dan sebagainya, yang dapat men-gancam keberlangsungan fungsi kawasan konservasi. Di samping itu, secara internal penge-lolaan kawasan konservasi yang dilakukan para pemangku kawasan masih jauh dari optimal yang antara lain ditandai dengan kebijakan anggaran pengelolaan yang belum berbasis lokus, keterbatasan SDM dan sarpras pengelolaan, dan ketersediaan/kelengkapan perangkat kebijakan maupun NSPK terkait pengelolaan kawasan yang belum memadai.
Bagi para pemangku kawasan konservasi, utamanya Balai/Balai Besar KSDA, yang mengelola lebih dari satu kawasan konservasi, bahkan puluhan kawasan konservasi, menentukan priori-tas lokus kawasan konservasi yang akan diselesaikan permasalahannya menjadi sebuah kenis-cayaan. Oleh karena itu, Buku Kerja Konservasi yang telah disusun Balai Besar KSDA Jawa Barat, berisi pedoman pengelolaan kawasan konservasi yang efektif dan berbasis lokus ini dapat dika-takan sebagai sebuah breakthrough dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi mengingat Balai Besar KSDA Jawa Barat mengelola tidak kurang dari 50 kawasan konservasi.
Besar harapan kami bahwa Buku Kerja Konservasi yang telah disusun ini dapat diaplikasikan pada tingkat lapangan sehingga permasalahan pada masing-masing lokus secara bertahap dapat terselesaikan sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan. Tentunya, semua dapat terlaksa-na dengan baik jika didukung oleh sumber daya yang memadai, baik keuangan, sumber daya manusia, sarana prasarana, maupun kebijakan. Satu hal lagi, jika Buku Kerja Konservasi yang dikembangkan oleh Balai Besar KSDA Jawa Barat ini telah terbukti efektivitasnya pada tingkat lapangan, bukan tidak mungkin akan menjadi model bagi kawasan konservasi lain di Indonesia. Akhirnya, selamat bekerja....!!!!!
Ir. Wiratno, MSc. NIP. 19620328 198903 1 003
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................................................................... iSekapur Sirih ......................................................................................................................... iiDaftar Isi ......................................................................................................................... iiiDaftar Tabel ......................................................................................................................... ivDaftar Gambar ......................................................................................................................... v
I. PENDAHULUAN ............................................................................................................... 11.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 21.2. Tujuan Buku Kerja Konservasi ................................................................................ 21.3. Manfaat Buku Kerja Konservasi .............................................................................. 31.4. Tahapan Penyusunan Buku Kerja Konservasi ...................................................... 31.5. Sistematika Buku Kerja Konservasi ........................................................................ 4
II. KERANGKA KERJA PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI .......................... 62.1. Bisnis Proses Kawasan Konservasi ......................................................................... 72.2. Manajemen Bisnis Proses Kawasan Konservasi ................................................... 92.3. Manajemen Kinerja Bisnis Proses Kawasan Konservasi ..................................... 13
III. PENILAIAN KONDISI PENGELOLAAN ....................................................................... 443.1. Formulasi Penilaian Kondisi Pengelolaan ............................................................. 453.2. Kondisi Kemantapan Kawasan ............................................................................... 453.3. Kondisi Kelestarian Fungsi Ekologi ....................................................................... 473.4. Kondisi Kelestarian Fungsi Ekonomi ..................................................................... 493.5. Kondisi Kelestarian Fungsi Sosial Budaya ............................................................ 51
IV. ARAH, SASARAN DAN TARGET KINERJA 2017-2019 .............................................. 534.1. Arah Pengelolaan ...................................................................................................... 544.2. Sasaran Pengelolaan 2017-2019 ............................................................................... 554.3. Target Kinerja 2017 – 2019 ....................................................................................... 55
V. INOVASI PENDEKATAN DAN TEKNOLOGI .............................................................. 625.1. Perspektif Lanskap dan Kolaborasi ........................................................................ 625.2. Pemberdayaan Masyarakat ...................................................................................... 635.3. Integrasi Konservasi dalam Pembangunan Desa ................................................. 645.4. Pengelolaan Berbasis Resor ...................................................................................... 655.5. Sistem Informasi ........................................................................................................ 655.6. Situation Room .......................................................................................................... 67
VI. PENUTUP ......................................................................................................................... 68
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Matrik Standard Kinerja Bisnis Proses Kawasan Konservasi Sebagai Basis Pengukuran Kinerja ................................................................... 18Tabel 2.2. Skala Intensitas Indikator Kemantapan Kawasan (Kriteria: Adanya Pengakuan) .......................................................................... 25Tabel 2.3. Skala Intensitas Indikator Kelestarian Fungsi Ekologi (Kriteria: Terjaminnya Fungsi Ekosistem) ....................................................... 30Tabel 2.4. Skala Intensitas Indikator Kelestarian Fungsi Ekonomi (Kriteria: Tersedianya Akses Ekonomi Untuk Masyarakat dan Pembangunan Wilayah) ..................................................................................... 36Tabel 2.5. Skala Intensitas Indikator Kelestarian Fungsi Sosial Budaya (Kriteria: Terbangunnya Hubungan-Hubungan Harmonis dengan Budaya Lokal) ....................................................................................................... 40Tabel 3.1. Formulasi Penilaian Kondisi Aktual Pengelolaan .......................................... 45Tabel 3.2. Kondisi Kemantapan Kawasan Setiap Kawasan Konservasi ........................ 46Tabel 3.3. Kondisi Kelestarian Fungsi Ekologi Setiap Kawasan Konservasi ............... 48Tabel 3.4. Kondisi Kelestarian Fungsi Ekonomi Setiap Kawasan Konservasi ............. 50Tabel 3.5. Kondisi Kelestarian Fungsi Sosial Budaya Kawasan Konservasi ................ 52Tabel 4.1. Baseline Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Balai Besar KSDA Jawa Barat 2019 ........................................................................................ 55Tabel 4.2. Rencana Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Balai Besar KSDA Jawa Barat 2017 – 2019 ............................................................................ 56
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Tahapan Penyusunan Buku Kerja Konservasi ................................................... 4Gambar 2.1. Kerangka Pengaturan Pengelolaan Kawasan Konservasi ................................ 7Gambar 2.2. Modeal Hierarki Pengelolaan Kawasan Konservasi ......................................... 8Gambar 2.3. Komponen Bisnis Proses Pengelolaan Kawasan Konservasi ........................... 9Gambar 2.4. Struktur Organisasi dan Unit Kerja Balai Besar KSDA ..................................... 10Gambar 2.5. Kebijakan, Regulasi dan Instrumen Kawasan Konservasi ............................... 12Gambar 2.6. Ilustrasi Skala Kinerja ............................................................................................ 14Gambar 2.7. Model Hierarki Bisnis Proses Prinsip Kemantapan Kawasan ......................... 15Gambar 2.8. Model Hierarki Bisnis Proses Prinsip Kelestarian Fungsi Ekologi .................. 15Gambar 2.9. Model Hierarki Bisnis Proses Prinsip Kelestarian Fungsi Ekonomi ................ 16Gambar 2.10. Model Hierarki Bisnis Proses Prinsip Kelestarian Fungsi Sosial Budaya ...... 16Gambar 4.1. Gradasi Fungsi Hutan Berdasarkan Kondisi Alamiah yang Dipertahankan dan Tingkat Intervensi Manusia .......................................................................... 54Gambar 5.1. Pembagian peran setiap unit kerja dalam sistem informasi ............................ 66
1
I. Pendahuluan
“Kondisi pengelolaan
yang belum optimal bisa
disikapi lebih progresif,
daripada hanya menyalah-
kan kekurangan berbagai
input sumber daya”.
Dokumentasi Balai Besar KSDA Jabar
2
1.1. Latar Belakang
Kawasan konservasi di bawah pengelolaan Balai Besar KSDA Jawa Barat berjumlah 50 unit dengan luas seluruhnya 83.507,19 ha, terdiri dari Cagar Alam (CA) 28 unit dan Cagar Alam Laut (CAL) 2 unit dengan luas total 52.736,75 ha, Suaka Margasatwa (SM) 2 unit dan Suaka Margasatwa Laut (SML) 1 unit seluas 13.727,47 ha, Taman Wisata Alam (TWA) 15 unit dan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) 1 unit seluas 4.622,27 ha, dan Taman Buru (TB) 1 unit seluas 12.420,07 ha. Seluruh ka-wasan konservasi tersebut tersebar pada beberapa kabupaten di provinsi Jawa Barat dan Banten. Selain tugas pengelolaan kawasan konservasi, Balai Besar KSDA Jawa Barat juga melaksanakan tugas konservasi ek-situ berupa pengendalian peredaran jenis tumbuhan dan satwa liar (TSL) di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten dengan cakupan wilayah kerja seluas 4.439.700 ha. Permasalahan pengelolaan kawasan konservasi pada wilayah kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat secara umum hampir sama dengan permasalahan kawasan konservasi di seluruh Indonesia, yaitu belum optimalnya pengelolaan karena berbagai faktor, baik dari sisi kemantapan kawasan, ke-bijakan anggaran pengelolaan yang belum berbasis lokus, keterbatasan SDM dan sarpras pen-gelolaan, peningkatan tekanan dan ancaman terhadap kawasan dan ketersediaan/kelengkapan perangkat kebijakan, maupun NSPK (Norma Standar Prosedur dan Kriteria) terkait pengelolaan kawasan yang belum memadai.
Kondisi pengelolaan yang belum optimal bisa disikapi lebih progresif, daripada hanya menyalah-kan kekurangan berbagai input sumber daya. Kehadiran ”strong leadership” di tengah berbagai keterbatasan terbukti mampu meningkatkan kinerja pengelolaan secara signiikan. Kepemimpinan yang handal mampu menetapkan prioritas, meningkatkan akurasi dan efesiensi dalam mengalo-kasikan sumberdaya, mengarahkan intervensi yang tepat lokus dan efektif, mengendalikan kiner-ja staf lebih terarah dan terukur, serta membangun jejaring kerja yang efektif untuk kepentingan pencapaian tujuan pengelolaan.
Buku Kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat ini disusun dengan semangat peningkatan kinerja kolek-tif seluruh staf di berbagai unit kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat. Proses penyusunan buku di-awali dengan pemetaan permasalahan seluruh kawasan konservasi secara detail. Informasi detail hampir seluruhnya bersumber dari frontliner staffs, yaitu para petugas resor yang paling menger-ti kondisi sesunguhnya kawasan konservasi di tingkat tapak. Personil atau staff di Kantor Balai Besar KSDA Jawa Barat juga telah membantu melengkapi dan memperbaiki data dan informasi secara kuantitatif dan lebih terstruktur.
1.2. Tujuan Buku Kerja Konservasi
Buku Kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat ini secara umum bertujuan untuk menyediakan pedoman pengelolaan yang efektif dan berbasis lokus dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan ka-wasan konservasi pada wilayah kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat. Pengertian berbasis lokus da-lam konteks ini adalah prioritas pada lokasi-lokasi yang memiliki tingkat kerawanan tinggi dan/atau diproyeksikan sebagai lokasi pengembangan nilai guna sumber daya alam.
3
1.3. Manfaat Buku Kerja Konservasi
Manfaat buku kerja ini adalah:1. Memberikan pedoman mengenai prioritas pengelolaan kawasan konservasi lingkup Balai
Besar KSDA Jawa Barat; 2. Memberikan pedoman mengenai pengalokasikan sumber daya pengelolaan lebih akurat
dan eisien;3. Memberikan pedoman mengenai intervensi kegiatan pengelolaan yang tepat lokus dan leb-
ih fokus; 4. Memberikan pedoman mengenai pengendalian kinerja staff agar lebih terarah dan terukur.
1.4. Tahapan Penyiapan Buku Kerja Konservasi
Penyusunan buku kerja dimulai pada Februari 2017 dan selesai pada Mei 2017. Tahapan penyia-pan buku kerja tersebut adalah sebagai berikut:
1. Diskusi konsep buku kerja. Tahapan ini dilaksanakan di Kantor Balai Besar KSDA Jawa Barat yang dipimpin oleh Kepa-
la Balai Besar KSDA Jawa Barat dengan melibatkan staf dari bidang teknis dan sub bagian perencanaan. Hasil dari tahapan ini adalah kerangka konseptual Buku Kerja.
2. Penyiapan dan distribusi alat dan bahan pengumpulan data dan informasi. Tahapan ini dilakukan pada akhir Februari 2017. Alat pengumpulan data dan informasi be-
rupa daftar isian dalam bentuk matrik yang harus diisi oleh kepala bidang KSDA wilayah dan stafnya. Daftar isian disertai bahan kerja berupa panduan untuk meminimalisir kesala-han pengisian. Hasil tahap ini adalah matrik daftar isian yang dilengkapi dengan panduan pengisiannya.
3. Pengisian data dan informasi oleh seksi konservasi wilayah dan resor konservasi wilayah. Tahapan ini dilakukan mulai akhir Februari hingga pertengahan Maret 2017. Staf resor yang
dikordinasikan oleh kepala seksi konservasi wilayah mengisi matrik daftar isian data dan informasi sesuai dengan format dan panduan yang telah disiapkan. Hasil akhir tahap ini adalah matrik daftar isian data dan informasi yang telah terisi.
4. Pembahasan awal daftar isian yang telah diisi oleh setiap bidang KSDA wilayah. Tahapan ini dilakukan pada pertengahan Maret 2017 di Kantor Balai Besar KSDA Jawa Barat.
Pembahasan dilakukan secara terpisah untuk masing-masing bidang KSDA wilayah yang dipimpin langsung oleh Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat dengan peserta para Kepala Bidang KSDA Wilayah, Kepala Seksi Konservasi Wilayah serta beberapa Kepala Resor. Ha-sil dari tahapan ini adalah data dan informasi yang telah dibahas dan diveriikasi secara umum.
5. Pendalaman informasi. Tahapan ini dilakukan pada akhir Maret hingga pertengahan Mei 2017 melalui diskusi di
setiap kantor bidang KSDA wilayah. Hasil dari tahapan ini adalah informasi lebih lengkap mengenai permasalahan pada kawasan konservasi yang diusulkan sebagai prioritas.
6. Penilaian kondisi terkini pengelolaan kawasan konservasi. Penilaian dilakukan mengacu pada hasil pengumpulan, pembahasan dan veriikasi data
dan informasi. Kegiatan ini dilakukan pada pertengahan Mei 2017. Hasil tahapan ini berupa hasil penilaian kondisi terkini sebagai basis menentukan arah kegiatan pengelolaan di setiap kawasan konservasi.
4
7. Penyusunan draft Buku Kerja. Tahapan ini dilakukan hingga pertengahan Mei 2017 dan hasilnya berupa draft Buku Kerja Konservasi Balai Besar KSDA Jawa Barat yang akan dikonsultasikan kepada Direktur Jen-deral KSDAE Kementerian LHK untuk mendapatkan tanggapan dan pengayaan.
8. Pembahasan dan penyempurnaan draft Buku Kerja. Tahapan ini dilakukan pada akhir Mei 2017 yang menghasilkan masukan-masukan untuk
penyempurnaan Buku Kerja.9. Finalisasi Buku Kerja Konservasi Balai Besar KSDA Jawa Barat. Finalisasi Buku Kerja di tingkat Balai Besar KSDA Jawa Barat selesai menjelang akhir Mei
2017.
Gambar 1.1. Tahapan Penyusunan Buku Kerja Konservasi
1.5. Sistematika Buku Kerja
Buku kerja ini terdiri dari lima bagian utama yang sistematis dan terstruktur. Setiap bagian memi-liki keterkaitan sehingga harus dipahami secara keseluruhannya. Penjelasan ini setiap bagian se-cara ringkas adalah sebagai berikut: Bagian pertama. Adalah pendahuluan yang menguraikan latar belakang, tujuan, manfaat ser-ta tahapan penyusunan buku. Isi dari bagian ini memberikan informasi mengenai urgensi ke-beradaan buku dan tahapan penyusunan buku yang mengedepankan nilai-nilai obyektivitas dan partisipasi staf lapangan.
Bagian kedua. Memberikan gambaran singkat dan jelas mengenai kerangka pengelolaan ka-wasan konservasi yang dalam konteks ini diberi istilah bisnis proses kawasan konservasi dan bagaimana mengelola bisnis proses tersebut (business process management). Bagian ini juga
5
memuat kerangka dasar untuk penilaian kondisi pengelolaan melalui penyusunan indikator kin-erja setiap elemen dari bisnis proses dan skala intensitas setiap indicator tersebut.
Bagian ketiga. Memberikan informasi mengenai hasil penilaian kondisi pengelolaan setiap ka-wasan konservasi dengan formulasi sederhana yang dapat dipahami oleh seluruh staf kunci di di Balai Besar KSDA Jawa Barat. Hasil penilaian kondisi pengelolaan menunjukkan kondisi pen-gelolaan secara umum atau nilai agregat yang menggambarkan kinerja konservasi in-situ Balai Besar KSDA Jawa Barat. Selain kondisi secara umum, hasil penilaian juga menunjukkan kondisi pengelolaan pada setiap kawasan konservasi dan kinerja untuk masing-masing dimensi hasil pengelolaan lestari kawasan konservasi. Bagian ini berguna untuk merumuskan intervensi yang tepat lokus dan fokusnya.
Bagian keempat. Merumuskan arah, sasaran dan target kinerja pengelolaan yang berbasis lokus untuk periode 2017-2019, sesuai dengan sisa priode RPJM 2015-2019. Pada bagian ini, rasional-isasi intervensi mulai dilakukan dengan pertimbangan ketersediaan input sumber daya pengelo-laan yang dapat disediakan dari sumber internal (APBN: operasional dan non operasional) dan kontribusi para pihak melalui kerja sama atau bentuk kemitraan lainnya.
6
II. Kerangka KerjaPengelolaan KawasasanKonservasi
“Bisnis proses kawasan konservasi
adalah suatu kumpulan aktivitas atau
pekerjaan terstruktur yang saling ter-
kait untuk menghasilkan produk atau
layanan sekaligus menyelesaikan
berbagai masalah dalam rangka men-
capai tujuan”.
Dokumentasi Balai Besar KSDA Jabar
7
2.1. Bisnis Proses Kawasan Konservasi
Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia secara umum merujuk pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerin-tah No. 28 Tahun 2011 tentang KSA dan KPA jo Perturan Pemerintah No. 108 Tahun 2015. Beber-apa kegiatan pengelolaan diatur secara khusus dalam peraturan pemerintah tersendiri, seperti penyelenggaraan pariwisata alam. Petunjuk teknis untuk berbagai kegiatan pengelolaan selan-jutnya diatur dalam berbagai regulasi teknis setingkat peraturan menteri dan peraturan direk-tur jenderal. Kerangka logika pengaturan pengelolaan kawasan konservasi yang mencerminkan bisnis proses pengelolaan kawasan konservasi yang sederhana diperlihatkan dalam Gambar 2.1. di bawah.
Gambar 2.1. Tahapan Penyusunan Buku Kerja Konservasi
Bumi Perkemahan, Taman Wisata Alam Gunung PancarDokumentasi Balai Besar KSDA Jabar
8
Bisnis proses kawasan konservasi adalah suatu kumpulan aktivitas atau pekerjaan terstruktur yang saling terkait untuk menghasilkan produk atau layanan sekaligus menyelesaikan berbagai masalah dalam rangka mencapai tujuan. Suatu proses bisnis dapat dipecah menjadi beberapa sub proses yang masing-masing memiliki atribut tersendiri tapi tetap berkontribusi untuk mencapai tujuan pengelolaan. Analisis bisnis proses umumnya melibatkan pemetaan proses dan sub proses di dalamnya hingga tingkatan aktivitas atau kegiatan8.
Seluruh elemen dalam bisnis proses pengelolaan kawasan konservasi dikendalikan oleh fungsi dan tujuan spesiiknya. Namun demikian, secara umum dapat dirumuskan tujuan umum dari pengelolaan seluruh kawasan konservasi adalah untuk mencapai kelestarian. Konsep kelestari-an dalam pengelolaan ekosistem selalu dijabarkan dalam empat prinsip kelestarian yang terdiri dari: 1) kemantapan kawasan konservasi, 2) kelestarian fungsi ekologi kawasan konservasi, 3) kelestarian fungsi ekonomi kawasan konservasi, dan 4) kelestarian fungsi sosial budaya kawasan konservasi9. Selanjutnya, secara hirarkis prinsip-prinsip tersebut diturunkan dalam kriteria-kri-teria dan indikator-indikatornya. Tujuan, prinsip, keriteria dan indikator merupakan dimensi hasil yang hubungannya bersifat hierarkis, mulai dari yang paling abstrak hingga yang paling nyata dapat diamati dan diukur di lapangan. Dalam konteks ini maka untuk melihat indika-tor-indikator kinerja pengelolaan di lapangan diperlukan separangkat alat ukur (veriier).
Merujuk pada kerangka pengaturannya maka bisnis proses dari pengelolaan kawasan konservasi dapat dikelompok dalam 3 dimensi manajemen, yakni: manajemen kawasan, manajemen sum-berdaya alam, dan manajemen kelembagaan. Arsitektur kegiatan dalam bisnis proses pengelo-laan kawasan konservasi yang dilengkapi dengan elemen-elemen penting lainnya disajikan pada Gambar 2.3. di bawah.
8 Diadaptasi dari https://ipqi.org/mengenal-manajemen-bisnis-proses/9 Analisa Standar Minimal Pengelolaan Kawawasan Konservasi, Ditjen PHKA, 2004
Gambar 2.2. Model Hierarki Pengelolaan Kawasan Konservasi
9
2.2. Manajemen Bisnis Proses Kawasan Konservasi
Kemampuan suatu bisnis proses dalam mencapai tujuan sangat tergantung dari manajemen bisnis proses. Manajemen bisnis proses (MBP) pada dasarnya adalah cara memberdayakan seluruh sumber daya yang ada pada organisasi agar efektif dan eisien melalui pembangunan otoma-tisasi proses dan ketangkasan untuk mengelola perubahan. Proses adalah urutan pelaksanaan atau kejadian yang didesain dengan menggunakan waktu, ruang, keahlian, dan sumber daya lainnya, yang menghasilkan suatu hasil. Dengan demikian, suatu proses harus menghasilkan pe-rubahan-perubahan terhadap sifat-sifat dari satu atau lebih objek di bawah pengaruhnya8. Arah dan ukuran perubahan dipandu oleh seperangkat kreteria dan indikator yang telah dirumuskan sebelumnya.
Pengendali bisnis proses pengelolaan kawasan konservasi lingkup Balai Besar KSDA Jawa Barat adalah Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat9. Sementara pelaksana sub proses adalah staf (kepala bagian tata usaha, kepada bidang teknis, kepada bidang wilayah, kepala sub bagian, kepala seksi pemanfaatan dan pelayanan, kepala seksi perencanaan, perlindungan dan pengawetan, kepala seksi wilayah, kelompok jabatan fungsional termasuk kepala resor wilayah) yang bertanggung jawab terhadap kinerja dari setiap sub proses10. Setiap unit kerja dalam organisasi memiliki pros-es masing-masing yang unik, sesuai dengan beban sub prosesnya, yang djabarkan dalam tugas
8 Diadaptasi dari https://ipqi.org/mengenal-manajemen-bisnis-proses/9 Kepala Balai Besar KSDA bertanggung jawab memimpin, mengkoordinasikan, membimbing, memberikan petunjuk dan mengawasi pelaksanaan tugas
seluruh bawahannya.Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.8/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumberdaya Alam, Pasal 30 Ayat (2) dan Pasal 31.
10 Struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi dan tata hubungan kerja antara kepala Balai Besar KSDA, kepala bagian tata usaha, kepada bidang teknis, kepada bidang wilayah, kepala sub bagian, kepala seksi pemanfaatan dan pelayanan, kepala seksi perencanaan, perlindungan dan pengawetan, kepala seksi wilayah, kelompok jabatan fungsional termasuk kepala resor wilayah merujuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.8/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumberdaya Alam.
Gambar 2.3. Komponen Bisnis Proses Pengelolaan Kawasan Konservasi
10
dan fungsi setiap staf. Hubungan antara pengendali dan pelaksana proses serta tata hubungan kerja di antara mereka dicerminkan dalam struktur organisasi serta tugas dan fungsi yang telah ditetapkan.
Tata hubungan kerja ini merupakan basis penting dalam mengembangkan manajemen bisnis proses.
Gambar 2.4. Struktur Organisasi dan Unit Kerja Balai Besar KSDA
MBP membantu Kepala Balai dalam mengawasi dan mengontrol seluruh elemen pada bisnis proses, seperti kinerja staf, jaringan stakeholder, dan worklow. MBP meningkatkan kualitas bisnis proses melalui penyediaan mekanisme feedback yang lebih baik. Review yang berkesinam-bungan dan real-time akan membantu pengelola kawasan konservasi dalam mengidentiikasi masalah dan kemudian mengatasinya secara lebih cepat sebelum masalah tersebut berkembang menjadi lebih besar. Lebih jauh lagi, manajemen bisnis proses pengelolaan kawasan konservasi yang lebih maju akan mampu menumbuhkan peluang-peluang dalam rangka mengembangkan berbagai potensi kawasan konservasi yang dapat mendatangkan manfaat langsung.
11
Tugas pokok Balai Besar KSDA adalah menyelenggarakan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya di cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam dan taman buru serta koor-dinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan kawasan ekosistem esensial berdasarkan keten-tuan peraturan perundang-undangan8. Kepala Balai Besar KSDA pemimpin bisnis proses per-lu memahami kebijakan dan regulasi pengelolaan kawasan konservasi secara utuh, mulai dari tingkat makro hingga mikro yang diartikulasikan dalam berbagai bentuk instrumen kerja yang memuat prosedur operasi, metode, alat dan bahan kerja yang spesiik untuk setip unit kerja. Hal ini diperlukan untuk memastikan seluruh instrumen kerja memiliki pijakan norma. Setiap kawasan konservasi bersifat khas, baik kondisi bioisik alamiahnya maupun dinamika fak-tor eksternal yang mempengaruhinya di tingkat tapak. Oleh karenanya, pengelolaan kawasan konservasi memiliki tingkat kompleksitas berbeda di setiap kawasan konservasi. Tingkat kom-pleksitas dalam konteks ini bersumber dari dua aspek utama, yaitu aspek sosial dan ekonomi yang terus berubah cepat, baik di tingkat masyarakat lokal maupun dalam skala wilayah.
8 Permen LHK No. 8/menlhk/ Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumberdaya Alam, Pasal 2.
1. TWA Gunung Pancar
Tahun 1992 dilakukan penataan batas di TWA Gunung Pancar, pal batas terpasang
sebanyak 423 titik. Pada tahun 1995 – hanya tiga tahun setelah penataan batas –
dilakukan rekonstruksi. Saat ini, sebanyak 250 pal batas hilang dan terdapat 65 sert-
iikat lahan di dalam kawasan. Kondisi ini menandakan seolah-olah tidak pernah ada kegiatan rutin pengamanan kawasan (pengecekan dan pemeliharaan pal batas), kare-
na masalah baru diketahui dan diselesaikan ketika sudah menjadi besar, kompleks dan sulit diselesaikan.
2. TWA Cimanggu
Lokasi perambahan ditemukan seluas 9,3 ha yang digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian dan terdapat ratusan bangunan. Keberadaan perambahan dan ban-
gunan tentu saja tidak terjadi sekaligus. Kondisi ini menandakan tidak ada penanganan sejak dini sehingga masalah terlanjur besar yang akibatnya menambah tingkat kesuli-tan dalam penanganannya.
3. SM Gunung Sawal
Panjang batas kawasan SM Gunung Sawal berdasarkan tata batas tahun 2011 ada-
lah 54,6 Km dengan pal batas sejumlah 408 unit. Pengecekan pal batas kawasan baru dilakukan pada tahun 2013 sepanjang 5,5 Km. Hingga saat ini belum diketahui bagaimana kondisi batas kawasan dan pal batas di sepanjang + 49,1 Km yang lainnya. Dalam hal perlindungan dan pemanfaatan, petugas resor SM Gunung Sawal dalam sekali temuan mendapat puluhan ton buah rotan yang dipungut masyarakat dari da-
lam kawasan. Pemanfaatan HHBK, termasuk buah rotan, sebenarnya dapat dilakukan menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Namun, tidak adanya pen-
gaturan lebih teknis, menyebabkan pemanfaatan buah rotan tersebut selalu dianggap sebagai gangguan atau ancaman daripada sebagai peluang dalam pengembangan as-
pek pemanfaatan potensi kawasan untuk menunjang kualitas pengelolaan. Dalam hal pengawetan, konlik macan tutul (Panthera pardus) sering terjadi di daerah penyang-
ga. Namun, hingga saat ini pengelola SM tidak memiliki instrument monitoring satwa, sehingga penyebab konlik satwa, kondisi populasi dan habitat macan tutul di dalam kawasan tidak diketahui secara pasti.
12
Kondisi tersebut menyebabkan instrumen-instrumen teknis pada setiap elemen bisnis proses pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa hanya didekati dengan cara-cara normatif-teknokra-tik saja, namun dituntut untuk mengintegrasikan pendekatan-pendekatan sosial yang lebih men-dasar.
Beberapa bentuk instrument sosial dari pengalaman pengelolaan kawasan konservasi yang ber-hasil dikonseptualisasikan misalnya Beberapa tulisan Wiratno (2012, 2013, 2014, 2015, 2016) men-coba mengkonseptualisasikan pengalaman
Gambar 2.5. Kebijakan, Regulasi dan Instrumen Pengelolaan Kawasan Konservasi
Taman Wisata Alam Patengan
Dok
um
enta
si B
alai
Bes
ar K
SDA
Jab
ar
13
Kondisi tersebut menyebabkan instrumen-instrumen teknis pada setiap elemen bisnis proses pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa hanya didekati dengan cara-cara normatif-teknokra-tik saja, namun dituntut untuk mengintegrasikan pendekatan-pendekatan sosial yang lebih men-dasar.
Beberapa bentuk instrument sosial dari pengalaman pengelolaan kawasan konservasi yang ber-hasil dikonseptualisasikan misalnya Beberapa tulisan Wiratno (2012, 2013, 2014, 2015, 2016) men-coba mengkonseptualisasikan pengalaman
Walaupun prosedur kerja telah diangkap lengkap dan memadai, seringkali implementasi di lapangan dapat sangat berbeda dari apa yang telah dirancang sebelumnya dan cenderung men-garah pada buruknya kinerja pengelolaan kawasan konservasi dalam mencapai tujuan dan sasa-ran yang diinginkan. Instrumen dan prosedur kerja hanya salah satu faktor saja, di samping fak-tor infrastruktur yang sangat menentukan kinerja pelaksanaannya. Instrument adalah kebijakan dan regulasi mulai dari yang paling umum hingga paling teknis, sementara infstruktur adalah kelembagaan yang terdiri dari aspek sumberdaya manusia, struktur, tata kerja, serta dukungan manajemen lainnya. Infrastruktur kelembagaan perlu dikaji lebih jauh mengenai standar kecuk-upannya, baik secara kuantitatif (jumlah SDM, dana, dll) dan kualitatif (kapasitas SDM, efesiensi dan efektifvitas penggunaan dana, dll).
2.3. Manajemen Kinerja Bisnis Proses
Menurut Direktorat Jenderal Anggaran (2008), manajemen kinerja merupakan suatu proses strat-egis dan terpadu yang menunjang keberhasilan organisasi melalui pengembangan performansi aspek-aspek yang menunjang keberadaan suatu organisasi. Pada implementasinya, manajemen kinerja tidak hanya berorientasi pada salah satu aspek, melainkan aspek-aspek terintegrasi da-lam mendukung jalannya suatu organisasi. Manajemen kinerja dimulai dari perencanaan kinerja, pembimbingan proses kerja, penilaian kinerja, dan pemberian insentif dan disinsentif.
Menurut Williams (1998) terdapat empat tahapan utama dalam pelaksanaan manajemen kinerja. Tahapan ini menjadi suatu siklus manajemen kinerja yang saling berhubungan dan menyokong satu dengan yang lain, yaitu8:
1. Pengarahan dan perencanaan Tahap pertama merupakan tahap identiikasi perilaku kerja dan basis pengukuran kiner-ja. Kemudian, dilakukan pengarahan konkret terhadap perilaku kerja dan perencanaan terhadap target yang akan dicapai, kapan dicapai, dan dukungan yang akan dibutuhkan. Indikator-indikator target kinerja juga dideinisikan di tahap ini. Pengelolaan kawasan memiliki multiaspek yang saling terkait (hukum, ekologi, ekonomi, sosial dan budaya) karena obyek kelolanya adalah ekosistem yang terkategorikan sebagai sumber daya milik bersama (common pool resources) atau barang publik (public good). Dengan demikian, pengelolaannya pasti akan kompleks yang dicirikan dengan banyaknya data dan informa-si yang harus dikumpulkan dan banyaknya pihak yang harus dilibatkan. Oleh karenanya indikator kinerja pengelolaan kawasan konservasi juga akan cenderung komplek. Untuk itu, diperlukan alat bantu atau tools untuk melihat pengelolaan kawasan konservasi se-bagai sebuah sistem yang teratur dan nampak lebih sederhana. Jika dimensi manajemen diletakkan pada kolom suatu matrik dan dimensi hasil diletakkan pada baris matrik yang
8 http://jurnal-sdm.blogspot.co.id/2011/12/manajemen-kinerja-deinisi-manajemen.html
14
sama, maka akan terlihat keteraturan hubungan di antara keduanya. Sel-sel yang terben-tuk pada persilangan di antara keduanya menghasilkan indikator sebagai elemen-elemen penting penyusun hasil pengelolaan kawasan konservasi. Indikator-indikator tersebut merupakan alat kontrol kinerja setiap unit kerja sesuai dengan peranannya masing-mas-ing.
Tujuan pengelolaan kawasan konservasi sebagai target akhir kinerja (goal) tidak bisa dica-pai sekaligus, sehingga penetapan target kinerja juga harus direncanakan secara bertahap. Menurut Khera (1998) sebuah target harus jelas apa yang akan dicapai dan bagaimana mencapainya (spesiic), terukur keberhasilannya (measureable) dan orang lain dapat me-lihat keberhasilannya. Target harus memungkinkan untuk dicapai, tidak terlalu rendah atau berlebihan (achievable), masuk akal (realistic), serta jelas sasaran waktunya (time-bound). Dalam konteks ini skala kinerja biasanya terdiri dari tiga tingkatan, yaitu: kinerja ideal yang tercermin dalam tujuan pengelolaan, kinerja potensial yang merupakan capa-ian optimal yang dapat diraih dengan kondisi input sumber daya yang ada, dan kinerja actual mencerminkan kondisi kinerja saat ini.
Gambar 2.6. Skala Kinerja
Manajemen kinerja juga sangat berkaitan dengan manajemen sumberdaya manusia, salah satunya dalam hal rotasi personil termasuk pimpinan organisasi. Kepala UPT Ditjen KS-DAE biasanya mengalami rotasi rata-rata setiap tahun. Dalam kondisi demikian, setiap kepala Balai Besar KSDA yang baru perlu mengetahui kondisi kinerja di awal kepemi-mpinannya. Kondisi awal ini menjadi starting point seorang kepala balai dalam mene-tapkan kinerja dan mengendalikan BPM di bawah kepemimpinannya, sekaligus menjadi basis pengkuran kinerja oleh Ditjen KSDAE terhadap kinerja kepala UPT.
2. Pengelolaan proses dan dukungan Tahap kedua berfokus pada pengelolaan proses kerja atau kegiatan, pemberian dukun-gan, dan pengendalian terhadap jalannya proses agar tetap berada pada jalurnya. Jalur yang dimaksudkan disini adalah kriteria dan indikator maupun proses kerja yang sesuai dengan standar prosedur yang berlaku dalam suatu organisasi. Proses kerja pengelolaan kawasan konservasi dapat dilihat pada Gambar 2.3 mengenai komponen bisnis proses pengelolaan kawasan konservasi. Sedangkan hubungan antara kriteria dan indikator den-gan proses kerja ditunjukan melalui Tabel 2.1 dan Gambar 2.6, Gambar 2.7, Gambar 2.8, dan Gambar 2.9 di bawah.
15
Gambar 2.7. Model Hierarki Bisnis Proses Prinsip Kemantapan Kawasan
Gambar 2.8. Model Hierarki Bisnis Proses Prinsip Kelestarian Fungsi Ekologi
16
Gambar 2.9. Model Hierarki Bisnis Proses Prinsip Kelestarian Fungsi Ekonomi
Gambar 2.10. Model Hierarki Bisnis Proses Prinsip Kelestarian Fungsi Sosial Budaya
17
3. Evaluasi Evaluasi dilakukan dengan review kinerja yang telah dilaksanakan. Setelah itu, kinerja
dinilai/diukur (appraising). Tahap ini memerlukan dokumentasi atau record data yang berkaitan dengan obyek yang dievaluasi. Untuk memudahkan proses evaluasi, penjelasan dan visualisasi hasil evaluasi maka diperlukan formulasi penilaian yang sederhana. Pada Tabel 2.2, Tabel 2.3., Tabel 2.4, dan Tabel 2.5 diperlihatkan deinisi setiap indikator dan ska-la intensitasnya sebagai basis untuk melakukan penilaian kinerja.
4. Pengembangan dan penghargaan Tahap keempat berfokus pada pengembangan dan penghargaan. Hasil evaluasi menja-di pedoman penentu keputusan terhadap action yang dilakukan selanjutnya. Keputusan dapat berupa langkah perbaikan, pemberian insentif/disinsentif, melanjutkan suatu ke-giatan atau prosedur yang telah ada, dan penetapan anggaran.
Secara umum tujuan dari manajemen kinerja adalah (Williams, 1998; Armstrong & Baron, 2005; Wibisono, 2006):
1. Mengatur kinerja organisasi dengan lebih terstruktur dan terorganisir.2. Mengetahui seberapa efektif dan eisien suatu kinerja organisasi.3. Membantu penentukan keputusan organisasi yang berkaitan dengan kinerja organisasi,
kinerja setiap bagian dalam organisasi, dan kinerja individual.4. Meningkatkan kemampuan organisasi secara keseluruhan dengan perbaikan berkesinam-
bungan.5. Mendorong staf agar bekerja sesuai prosedur dan produktif sehingga hasil kerja optimal.
18
PROSES/
SUB PROSES
(upaya menca-
pai hasil)
Hasil
Kemantapan Ka-
wasan
Kelestarian Fungsi
Ekologi
Keletarian Fungsi
Ekonomi
Kelestarian Fungsi
Sosial-Budaya
Kriteria
Adanya pengakuan
legal dan aktual
Terjaminnya fungsi
ekosistem
Tersedianya akses
ekonomi untuk
masyarakat dan
pembangunan
wilayah
Terbanunganya
hubungan-hubun-
gan harmonis
dengan masyarakt
lokal
Indikator
(A) (B) (C) (D)
Manajemen Kawasan
Pengukuhan ka-
wasan
A1. Tercapainya pen-
etapan kawasan
konservasi
A2. Terbangunnya
pengakuan para
pihak terhadap
keberadaan dan
batas-batas ka-
wasan
Perencanaan ka-
wasan
A3. Tersedianya data
dan informasi
lengkap menge-
nai batas-batas
kawasan di atas
peta dan di lapa-
ngan
A4. Tertatanya blok
kawasan sesuai
fungsi dan tujuan
pengelolaan
kawasan serta
endapat dukun-
gan para pihak
A5. Seluruh kawasan
terbagi habis
dalam wilayah
kerja terkecil
yang dapat dike-
lola efektif
B1. Tersedianya data
dan informasi
lengkap, aku-
rat dan terkini
mengenai kondisi
SDA dan aspek
ekologisnya
B2. Rencana pen-
gelolaan telah
mencantum-
kan program
dan kegiatan
pengelolaan
SDA termasuk
perlindungan,
pengawetan dan
pemanfaatan le-
stari SDA sesuai
fungsi kawasan,
tujuan dan blok
pengelolaan yang
telah ditetapkan.
C1. Tersedianya data
dan informasi
lengkap menge-
nai nilai ekonomi
berbagai produk
jasa lingkungan
kawasan kon-
servasi untuk
masyarakat dan
pembangunan
wilayah
C2. Terbentukn-
ya blok yang
menyediakan
akses peman-
faatan SDA bagi
masyarakat dan
pembangunan
wilayah
D1. Tersedianya data
dan informasi
lengkap, aku-
rat dan terkini
mengenai aspek
sosial dan budaya
kawasan konser-
vasi, termasuk
pemanfaatan
tradisional mas-
yarakat.
D2. Blok pengelolaan
telah mengako-
modasi akses
masyarakat untuk
melakukan kegia-
tan ritual/budaya
dan pemfaatan
tradisional.
Tabel 2.1. Matrik Standard Kinerja Bisnis Proses Kawasan Konservasi Sebagai Basis Pengukuran Kinerja
19
PROSES/
SUB PROSES
(upaya menca-
pai hasil)
Hasil
Kemantapan Ka-
wasan
Kelestarian Fungsi
Ekologi
Keletarian Fungsi
Ekonomi
Kelestarian Fungsi
Sosial-Budaya
Kriteria
Adanya pengakuan
legal dan aktual
Terjaminnya fungsi
ekosistem
Tersedianya akses
ekonomi untuk
masyarakat dan
pembangunan
wilayah
Terbanunganya
hubungan-hubun-
gan harmonis
dengan masyarakt
lokal
Indikator
(A) (B) (C) (D)
A6. Tersusunnya
rencana penge-
lolaan kawasan
yang didukung
para pihak
C3. Rencana pen-
gelolaan mema-
sukan rencana
kegiatan
pemanfaatan
berbasis jasa
lingkungan un-
tuk mendukung
ekonomi mas-
yarakat dan
pembangunan
wilayah
C4. Rencana
Pembinaan
Daerah Pen-
yangga disusun
dan ditetapkan
bersama an-
tara pengelola
kawasan kon-
servasi dengan
pemerintah
daerah dan
pengelola/pe-
mangku lahan
D3. Tersusunnya
rencana pen-
gelolaan yang
melibatkan,
mengakomoda-
si dan mendapat
dukungan dari
masyarakat
asli-setempat.
Pengamanan ka-
wasan
A7. Terpeliharanya
pal batas ka-
wasan di lapan-
gan
A8. Terhindarnya ka-
wasan dari klaim
pihak lain
B3. Terkendalikan-
nya ganggu-
an-gangguan
terhadap SDA di
dalam kawasan.
C5. Terkendalikann-
ya konlik peng-
gunaan lahan di
dalam kawasan
konservasi untuk
kegiatan pemba-
ngunan wilayah
D4. Terkendalikan-
nya konlik penggunaan
kawasan untuk
kegiatan budaya/
ritual masyarakat
dan pemanfaatan
trasional.
20
PROSES/
SUB PROSES
(upaya men-
capai hasil)
Hasil
Kemantapan Ka-
wasan
Kelestarian Fungsi
Ekologi
Keletarian Fungsi
Ekonomi
Kelestarian Fungsi
Sosial-Budaya
Kriteria
Adanya pengakuan
legal dan aktual
Terjaminnya fungsi
ekosistem
Tersedianya akses
ekonomi untuk mas-
yarakat dan pemba-
ngunan wilayah
Terbanunganya
hubungan-hubun-
gan harmonis
dengan masyarakt
lokal
Indikator
(A) (B) (C) (D)
A9. Terken-
dalikannya
perambahan
kawasan
B4. Terkendalikan-
nya peman-
faatan SDA di
dalam kawasan
C6. Terbangunnya insentif bagi masyarakat yang secara mandiri/swadaya melaku-kan pengamanan kawasan.
D5. Terbangunnya keterlibatan dan kapasitas masyarakat asli/setempat dalam pengamanan kawasan.
Fungsi Evaluasi A10. Terpelihara-
nya status dan
fungsi kawasan
konservasi
- - -
Manajemen Sumber Daya Alam
Perlindungan A11. Tersedianya
lokasi yang
tepat dan luasan
yang cukup
untuk menja-
min kelestarian
fungsi penyang-
ga kehidupan
B5. Blok perlind-
ungan terkelola
efektif dalam
menjamin
terpeliharanya
proses-proses
ekologis secara
alamiah
C7. Terpeliharanya
daya dukung
ekologis dari
kawasan konser-
vasi terhadap ke-
giatan ekonomi
masyarakat
dan wilayah di
sekitar kawasan
konservasi
D6. Terbangun/
terpeliharanya
pranata sosial/
budaya lokal/
kearifan lokal
yang men-
dukung per-
lindungan dan
pelestarian SDA
di kawasan
konservasiPengawetan A12. Tersedianya
lokasi yang
tepat dan luasan
yang cukup
untuk menjaga
habitat dan pop-
ulasi jenis lora dan fauna pent-
ing kawasan
B6. Terpantaunya
kondisi habitat
dan populasi
jenis lora dan fauna penting
kawasan
C8. Terbangunnya
insentif bagi
masyarakat yang
secara mandiri/
swadaya melaku-
kan pelestarian
SDA (termasuk
pemulihan eko-
sistem) di dalam
kawasan konser-
vasi
21
PROSES/
SUB PROSES
(upaya menca-
pai hasil)
Hasil
Kemantapan Ka-
wasan
Kelestarian Fungsi
Ekologi
Keletarian Fungsi
Ekonomi
Kelestarian Fungsi
Sosial-Budaya
Kriteria
Adanya pengakuan
legal dan aktual
Terjaminnya fungsi
ekosistem
Tersedianya akses
ekonomi untuk
masyarakat dan
pembangunan
wilayah
Terbanunganya
hubungan-hubun-
gan harmonis
dengan masyarakt
lokal
Indikator
(A) (B) (C) (D)
B7. Terpeliharanya
ekosistem unik,
habitat dan pop-
ulasi jenis lora dan fauna pent-
ing kawasan
B8. Terpulihkan-
nya ekosistem
unik, habitat
dan populasi
jenis lora dan fauna penting
kawasan yang
terdegradasi
B9. Berkembang-
nya kegiatan
penelitian dan
pengemban-
gan mengenai
potensi, karak-
teristik dan
kemanfaatan
SDA di dalam
kawasan.
Pemanfaatan Le-
stari
A13. Tersedia ruang
pemanfaatan
sesuai fungsi ka-
wasan yang tidak
beresiko meng-
ganggu fungsi
dan keutuhan
kawasan
B10. Tersedianya
model-model
pemanfaatan le-
stari SDA sesuai
fungsi kawasan,
tujuan dan blok
pengelolaan
C9. Terlaksanan-
ya kegiatan
pemberdayaan
ekonomi mas-
yarakat di daer-
ah penyangga
kawasan kon-
servasi bersama
pemerintah
daerah
D7. Terkendalikan-
nya kegiatan
pemanfaatan
SDA secara
tradsional ber-
basis budaya/
kearifan lokal
22
PROSES/
SUB PROSES
(upaya menca-
pai hasil)
Hasil
Kemantapan Ka-
wasan
Kelestarian Fungsi
Ekologi
Keletarian Fungsi
Ekonomi
Kelestarian Fungsi
Sosial-Budaya
Kriteria
Adanya pengakuan
legal dan aktual
Terjaminnya fungsi
ekosistem
Tersedianya akses
ekonomi untuk
masyarakat dan
pembangunan
wilayah
Terbanunganya
hubungan-hubun-
gan harmonis
dengan masyarakt
lokal
Indikator
(A) (B) (C) (D)
Kelola Kelembagaan
Pranata Organisasi A14. Terbangunnya
organisasi dan
sarana-prasa-
rana pengelo-
laan kawasan
konservasi di
tingkat tapak
A15. Adanya stan-
dar operasional
prosedur dan
mekanisme ker-
ja pengamanan
kawasan yang
terarah dan
efektif
B11. Tersedianya
standar opra-
sional kegiatan
perlindungan
dan pengawetan
D8. Tersedianya
pedoman dan
standar opra-
sional prosedur
penanganan
aspek so-
sial-budaya dan
pemanfaatan
tradisional mas-
yarakat
Sumber Daya Ma-
nusia
A16. Adanya staf
lapangan yang
memiliki kom-
petensi dalam
bidang pen-
gamanan dan
intensif melaku-
kan aktivitas
pengamanan
kawasan di
tingkat tapak
B12. Adanya staf
lapangan yang
memiliki kom-
petensi dalam
bidang perlind-
ungan, pen-
gawetan, dan
pemanfaatan
sesuai kebu-
tuhan spesiik lapangan
D9. Adanya staf
lapangan
yang memili-
ki komptensi
memadai dalam
bidang sosial
budaya dan
intensif melaku-
kan pendamp-
ingan/interaksi
dengan mas-
yarakat adat/
lokal
23
PROSES/
SUB PROSES
(upaya menca-
pai hasil)
Hasil
Kemantapan Ka-
wasan
Kelestarian Fungsi
Ekologi
Keletarian Fungsi
Ekonomi
Kelestarian Fungsi
Sosial-Budaya
Kriteria
Adanya pengakuan
legal dan aktual
Terjaminnya fungsi
ekosistem
Tersedianya akses
ekonomi untuk
masyarakat dan
pembangunan
wilayah
Terbanunganya
hubungan-hubun-
gan harmonis
dengan masyarakt
lokal
Indikator
(A) (B) (C) (D)
Jaringan Kerja A17. Tergalangn-
ya dukungan
dan terjalinnya
kerja sama
dan kolaborasi
pengamanan
kawasan kon-
servasi
B13. Terjalinnya
kerjasama dan/
atau kolaborasi
dengan mas-
yarakat dan
berbagai pihak
dalam per-
lindungan dan
pengawetan
C10. Terjalinnya
kerja sama/
kolaborasi an-
tara pengelola
dengan pemda
dan swasta
yang menjadi
aktor kegia-
tan ekonomi
wilayah untuk
mendukung
kegiatan penge-
lolaan
D10. Terjalinnya
hubungan kemi-
traan konservasi
dengan lemba-
ga masyarakat
asli/lokal yang
efektif men-
dukung tujuan
pengelolaan
Promosi dan Pe-
masaran
B14. Tersedianya
paket-paket in-
formasi sebagai
material untuk
kampanye/
penyuluhan
penyadartahuan
dan promosi
Tekhnologi A18. Tersedianya
alat dan bahan
kerja lapangan
yang terhubung
dengan Sistem
Informasi
berbasis GIS di
seksi/bidang/
balai untuk
pemantauan
kondisi ka-
wasan secara
berkala
B15. Tersedianya alat dan bahan kerja lapangan yang merupa-kan bagian dari Sistem Infor-masi Ekosistem (SIE) yang terhubung antara resor (tapak)-seksi/bidang-balai.
24
PROSES/
SUB PROSES
(upaya menca-
pai hasil)
Hasil
Kemantapan Ka-
wasan
Kelestarian Fungsi
Ekologi
Keletarian Fungsi
Ekonomi
Kelestarian Fungsi
Sosial-Budaya
Kriteria
Adanya pengakuan
legal dan aktual
Terjaminnya fungsi
ekosistem
Tersedianya akses
ekonomi untuk
masyarakat dan
pembangunan
wilayah
Terbanunganya
hubungan-hubun-
gan harmonis
dengan masyarakt
lokal
Indikator
(A) (B) (C) (D)
Keuangan A19. Kecukupan
alokasi ang-
garan untuk
mempertahank-
an/ mencapai
kemantapan
kawasan
B16. Optimalisasi
penerimaan
dari kegiatan
pemanfaatan le-
stari SDA yang
sesuai fungsi
dan tujuan
pengelolaan
kawasan
B17. Kecukupan
alokasi angga-
ran untuk mem-
pertahankan /
mencapai kele-
starian fungsi
ekosistem,
populasi jenis
lora dan fauna penting
C11. Kecukupan
alokasi ang-
garan untuk
mempertahank-
an /mencapai
kelestarian
fungsi ekonomi
kawasan kon-
servasi
D11. Kecukupan
alokasi ang-
garan untuk
mencapai kele-
starian fungsi
sosial budaya
kawasan
25
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
A1. Tercapainya penetapan
kawasan konservasi
Penetapan kawasan merupakan tahapan akhir dalam
pengukuhan kawasan yang mencerminkan kondisi
legalitas kawasan yang telah mantap. Secara kes-
eluruhan proses pengukuhan mencakup: penunjukan
kawasan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan
kawasan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika seluruh tahapan pen-
gukuhan selesai dilaksanakan
atau sudah penetapan
Jika tahapan pengukuhan
telah selesai pada tahap pena-
taan batas dan pemetaan
Jika kawasan belum ditata
batas
A2. Terbangunnya penga-
kuan para pihak terhadap
keberadaan dan batas-batas
kawasan
Selain telah ditetapkan, kemantapan kawasan juga
ditentukan oleh pengakuan dan persetujuan dari para
pihak terhadap batas-batas kawasan konservasi seh-
ingga tidak terjadi klaim dari pihak lain
Baik
Sedang
Kurang
Jika seluruh pihak terkait
mengakui dan menyetuji
batas-batas kawasan serta
tidak ada gangguan terhadap
keutuhan kawasan
Jika seluruh pihak terkait
mengakui dan menyetuji
batas-batas kawasan tetapi
masih ada gangguan terhadap
keutuhan kawasan
Jika terdapat sebagian pihak
terkait tidak mengakui dan
menyetuji batas-batas ka-
wasan
A3. Tersedianya data dan in-
formasi lengkap mengenai
batas-batas kawasan di atas
peta dan di lapangan
Batas-batas kawasan termuat di dalam peta hasil pe-
nataan batas sebagai dasar pembuatan peta penetapan
kawasan. Sementara di lapangan ditandai dengan pe-
masangan pal batas dengan radius yang telah ditetap-
kan. Setelah proses penataan batas (pemasangan pal
batas), seringkali terjadi gangguan yang salah satunya
ditandai dengan perusakan atau penghilangan pal
batas. Oleh karenya diperlukan updating data kondisi
pal batas berdasarkan hasil inventarisasi/ pengecekan
pal batas kawasan secara rutin.
Baik
Sedang
Kurang
Jika terdapat data pal batas
hasil pengecekan lapangan
secara berkala
Jika terdapat data pal batas
tetapi tidak terbaharui secara
berkala
Jika tidak terdapat data pal
batas kawasan hasil pengece-
kan lapangan
A4. Tertatanya blok kawasan
sesuai fungsi dan tujuan
pengelolaan kawasan serta
mendapat dukungan para
pihak
Blok pengelolaan merupakan instrument pengelolaan
yang mendasar dan menjadi panduan gerak langkah
pengelolaan kawasan konservasi. Keberadaan blok
yang berkualitas menunjukan adanya pedoman pen-
gelolaan sekaligus kesepakatan para pihak mengenai
tata/penggunaan ruang di dalam kawasan konservasi.
Baik
Sedang
Kurang
Jika sudah terdapat blok
pengelolaan yang telah
mempertimbangkan kepent-
ingan ekologi, disusun
melalui prosedur yang benar
dan melibatkan para pihak
berkepentingan
Jika sudah terdapat blok/zo-
nasi pengelolaan tetapi tidak
disusun melalui prosedur
yang benar dan tidak meli-
batkan para pihak berkepent-
ingan
Jika belum terdapat blok/
zona pengelolaan
Tabel 2.2. Skala Intensitas Indikator Kemantapan Kawasan (Kriteria: Adanya pengakuan legal dan actual)
26
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
A5. Seluruh kawasan terbagi
habis dalam wilayah kerja
terkecil yang dapat dikelola
secara efektif
Pembagian wilayah kerja pada dasarnya untuk
memastikan adanya penanggung jawab kegiatan
pengelolaan pada setiap bagian kawasan. Selanjutn-
ya kualitas pengelolaan ditunjukkan dengan adanya
aktivitas rutin, terarah dan efektif oleh penangggung
jawabnya.
Baik
Sedang
Kurang
Jika seluruh bagian kawasan
terbagi habis dalam wilayah
kerja resor dan kegiatan
pengelolaan berjalan intensif,
terarah dan efektif
Jika seluruh bagian kawasan
terbagi habis dalam wilayah
kerja resor tetapi tidak ada
kegiatan pengelolaan yang
intensif
Jika masih ada bagian ka-
wasan yang tidak termasuk
dalam wilayah kerja resor
A6. Tersusunnya rencana
pengelolaan kawasan yang
didukung para pihak
Rencana Pengelolaan KSA/KPA disusun dengan
melibatkan wakil para pihak, dikonsultasikan kepada
berbagai pihak yang lebih dan memiliki keterkaitan,
dan pada akhirnya diberi rekomendasi oleh pihak-pi-
hak tersebut sebagai bukti dukungan resmi. Rencana
pengelolaan yang didukung para pihak merupakan
pijakan bagi kegiatan pengelolaan kolaboratif.
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada Rencana Pengelo-
laan yang telah ditetapkan,
disusun dengan melibatkan
para pihak, dikonsultasikan
dan mendapat dukungan
resmi dari para pihak
Jika ada Rencana Pengelo-
laan yang telah ditetapkan,
tetapi tidak mendapatkan
dukungan resmi dari para
pihak
Jika belum ada Rencana Pen-
gelolaan yang ditetapkan
A7. Terpeliharanya pal batas
kawasan di lapangan
Dinamika penggunaan lahan di sekitar kawasan
konservasi sangat tinggi seiring dengan meningkat-
nya kebutuhan masyarakat terhadap lahan. Benteng
kawasan di tingkat tapak dalam bentuk pal batas.
Oleh sebab itu, kondisi pal batas harus terus diperiksa
dan dipelihara agar terlihat jelas dan terhindar dari
okupasi.
Baik
Sedang
Kurang
Jika pal batas di lapangan
utuh dan dalam kondisi baik
sebagaimana tertera dalam
peta hasil tata batas
Jika terdapat pal batas yang
hilang, tetapi masih ada titik
ikat yang bisa dipakai untuk
rekonstruksi
Jika sebagian besar pal batas
hilang dan tidak ada titik ikat
untuk rekonstruksi
A8. Terhindarnya kawasan dari
klaim pihak lain
Banyak kawasan konservasi diklaim pihak lain, baik
dengan atau tanpa bukti legalitas kepemilikan (serti-
ikat, AJB, dll). Pengamanan kawasan pada dasarnya adalah untuk memastikan kawasan konservasi terhin-
dar dari klaim pihak lain atau dari perbuatan-perbua-
tan yang akan mengganggu keutuhan kawasan atau
okupasi.
Baik
Sedang
Kurang
disertai legalitas kepemilikan
lahan dan di lapangan tidak
ada upaya okupasi.
Jika tidak ada klaim pihak
lain yang disertai legalitas
kepemilikan lahan, namun di
lapangan ada upaya okupasi
Jika ada klaim pihak lain
yang disertai legalitas
kepemilikan lahan namun di
lapangan ada upaya okupasi
27
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
A9. Terkendalikannya peram-
bahan kawasan
Sebagian besar kawasan konservasi mengalami
kejadian perambahan dengan skala yang beragam.
Perambahan perlu dikendalikan sejak mulai terjadi
agar tidak terlanjur besar dan sulit diatasi.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tidak ada aktivitas per-
ambahan di dalam kawasan
konservasi
Jika ada aktivitas perambahan
di dalam kawasan konserva-
si. tetapi sedang ada upaya
penyelesaian
Jika ada aktivitas perambahan
di dalam kawasan, tetapi belum
ada upaya penyelesaian
A10. Terpeliharanya status dan
fungsi kawasan konserva-
si
Saat ini terdapat kecenderungan untuk merubah status
kawasan konservasi menjadi hutan produksi, bahkan
APL. Upaya ini dilakukan sebagian pihak untuk
melancarkan kepentingan.
Kondisi kawasan yang rudak dan tidak mencermink-
an fungsinya akan memperkuat dorongan-dorongan
ke arah perubahan fungsi.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tidak ada dorongan ke arah
perubahan fungsi kawasan dan
kondisi kawasan masih mecer-
minkan fungsinya.
Jika tidak ada dorongan ke
arah perubahan fungsi, tetapi
kondisi kawasan sudah tidak
sesuai dengan fungsinya
Jika ada dorongan perubahan
fungsi kawasan.
A11. Tersedianya lokasi yang
tepat dan luasan yang
cukup untuk menjamin ke-
lestarian fungsi penyangga
kehidupan
Lokus dan proporsi kawasan untuk wilayah perlind-
ungan proses-proses ekologis secara alamiah harus
memadai sehingga terjamin kelestariannya. Dalam
penataan kawasan, kepentingan ini perlu diakomodasi
dalam blok perlindungan.
Jika seluruh kawasan yang
memiliki kerentanan ekologis
(lereng sedang-sangat curam,
mata air, dll) termasuk dalam
blok perlindungan
Jika tidak seluruh kawasan
yang memiliki kerentanan
ekologis (lereng sedang-sangat
curam, mata air, dll) termasuk
dalam blok perlindungan
Jika lebih dari 20% kawasan
yang memiliki kerentanan
ekologis (lereng curam-sangat
curam, mata air, dll) tidak ter-
masuk blok perlindungan
A12. Tersedianya lokasi yang
tepat dan luasan yang cuk-
up untuk menjaga habitat
dan populasi jenis lora dan fauna penting kawasan
Lokus dan proporsi wilayah perlindungan habitat
jenis lora dan fauna penting serta ekosistem unik kawasan harus memadai sehingga terjamin kelestari-
annya. Dalam skala zonasi, habitat dan populasi jenis
lora dan fauna penting kawasan perlu diakomodasi dalam blok perlindungan. Dalam skala landscape
wilayah jelajah satwa bisa jadi melampaui batas-batas
kawasan konservasi sehingga perlu dibangun koridor
untuk menjamin kelestarian populasi fauna penting,
sekaligus menghindari konlik satwa.
Baik
Sedang
Jika seluruh kawasan yang ter-
kategorikan sebagai ekosistem
unik, habitat jenis lora dan fauna penting kawasan terma-
suk dalam blok perlindungan
Jika masih ada kawasan yang
terkategorikan sebagai eko-
sistem unik, habitat jenis lora dan fauna penting kawasan
tidak termasuk dalam blok
perlindungan
28
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
Kurang Jika lebih dari 20% kawasan yang
terkategorikan sebagai ekosistem
unik, habitat jenis lora dan fauna penting kawasan tidak termasuk
dalam blok perlindungan
A13. Tersedia ruang peman-
faatan sesuai fungsi
kawasan yang tidak ber-
esiko mengganggu fungsi
dan keutuhan kawasan
Lokus dan proporsi wilayah pemanfaatan ditetapkan
sedemikian rupa agar tidak beresiko terganggunya
keutuhan kawasan konservasi. Penetapan lokus
dibuat sesuai kaidah blok pengelolaan sesuai fungsi
kawasan. Selanjutnya, blok/ruang pemanfaatan terse-
but dibuat desain tapaknya agar tidak mengganggu
keutuhan dan fungsi kawasan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tersedia blok/ruang peman-
faatan sesuai fungsi kawasan dan
desain ruangnya tidak beresiko
mengganggu keutuhan kawasan
konservasi
Jika tersedia blok/ruang peman-
faatan sesuai fungsi kawasan,
namun belum dibuat desain
ruangnya.
Jika tidak tersedia blok/ruang pe-
manfaatan sesuai fungsi kawasan
A14. Terbangunnya organisasi
dan sarana-prasarana pen-
gelolaan kawasan konser-
vasi di tingkat tapak
Organisasi pengelolaan tingkat tapak atau resor
merupakan ujung tombak keamanan kawasan konser-
vasi. Oleh karenanya, organisasi tingkat tapak harus
diperkuat agar berfungsi efektif.
Baik
Sedang
Kurang
Jika organisasi tingkat tapak
memiliki fasilitas kantor, per-
alatan, sarana mobilitas, dan
anggaran operasional yang relatif
memadai.
Jika organisasi tingkat tapak
memiliki fasilitas kantor, per-
alatan, sarana mobilitas, dan
anggaran operasional yang kurang
memadai
Jika organisasi tingkat tapak
tidak memiliki fasilitas kantor,
peralatan, sarana mobilitas, dan
anggaran operasional.
A15. Adanya standar operasional
prosedur dan mekanisme
kerja pengamanan kawasan
yang terarah dan efektif
Untuk menjamin keamanan kawasan diperlukan
SOP pengamanan kawasan yang efektif dipedomani
oleh staf lapangan, mencakup SOP partroli, tindakan
terhadap temuan kejadian tipihut, pembuatan laporan
kejadian (LK), dan monev keamanan kawasan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada SOP dan mekanisme kerja
pengamanan kawasan yang efektif
dipedomani oleh staf lapangan
Adanya SOP dan mekanisme
kerja pengamanan kawasan tetapi
kurang efektif dipedomani oleh
staf lapangan.
Tidak ada SOP dan mekanisme
kerja pengamanan kawasan
A16. Adanya staf lapangan yang
memiliki kompetensi dalam
bidang pengamanan dan in-
tensif melakukan aktivitas
pengamanan kawasan di
tingkat tapak
Standar operasional dan mekanisme kerja pengaman-
an kawasan akan berfungsi efektif jika didukung oleh
staf pengamanan kawasan yang intensif bekerja di
lapangan dan memiliki komptensi bidang pengaman-
an kawasan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada tenaga terampil pen-
gamanan hutan yang intensif
bekerja di lapangan
Jika ada tenaga terampil pen-
gamanan hutan tetapi kurang
intensif bekerja di di lapangan
Jika tidak ada tenaga pengamanan
hutan yang bekerja di lapangan.
29
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
A17. Tergalangnya dukungan
dan terjalinnya kerja sama
dan kolaborasi pengamanan
kawasan konservasi
Terdapat kecenderungan terus berkurangnya staf
lapangan (frontliner) karena usia pensiun, sakit,
dan lain-lain. Sementara rekruitmen pegawai secara
konvensional (PNS) tersendat karena kebijakan
pemerintah pusat dalam penerimaan PNS/ASN. Oleh
sebab itu, kerja sama dan kolaborasi dengan berbagai
pihak terkait dalam pengamanan kawasan hutan perlu
diperkuat, terutama dengan masyarakat lokal.
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada kerja sama dan ko-
laborasi pengamanan kawasan
yang efektif dengan mas-
yarakat dan pihak lain
Jika ada kerja sama dan ko-
laborasi pengamanan kawasan
dengan masyarakat dan pihak
lain, tetapi kurang efektif
Jika tidak ada kerja sama
dan kolaborasi pengamanan
kawasan
A18. Tersedianya alat dan ba-
han kerja lapangan yang
terhubung dengan Sistem
Informasi berbasis GIS
di Seksi/Bidang/Balai
untuk pematauan kondisi
kawasan secara berkala
Pengelolaan tingkat tapak oleh petugas resor berperan
sebagai produsen data dan informasi dinamika ka-
wasan. Oleh karenanya, harus tersedia alat dan bahan
kerja lapangan yang secara terarah merekam dinami-
ka yang mempengaruhi keutuhan kawasan. Alat dan
bahan serta mekanisme kerja pengamanan terhubung
dengan sistem informasi yang berpusat di Kantor
UPT. Alat dan bahan kerja lapangan ini sekaligus
sebagai salah satu alat kontrol kinerja staff lapangan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tersedia alat dan bahan
kerja lapangan yang khusus
merekam data kondisi kawasan
(pal batas, perambahan, dll)
secara berkala dan terhubung
dengan Sistem Informasi
Pengelolaan yang berpusat di
Kantor Balai/UPT.
Jika tersedia alat dan bahan
kerja lapangan yang khusus
merekam data kondisi kawasan
(pal batas, perambahan, dll),
namun tidak terbarui secara
berkala atau tidak terhubung
dengan Sistem Informasi
Pengelolaan yang berpusat di
Kantor Balai/UPT
Jika tidak tersedia alat dan bah-
an kerja lapangan yang khusus
merekam data kondisi kawasan
(pal batas, perambahan, dll)
secara berkala
A19. Kecukupan alokasi angga-
ran untuk mempertahank-
an/ mencapai kemantapan
kawasan
Pelaksanaan seluruh kegiatan untuk mencapai keman-
tapan kawasan harus didukung oleh anggaran yang
memadai
Baik
Sedang
Kurang
Jika alokasi anggaran untuk ke-
giatan-kegiatan dalam rangka
mencapai kemantapan kawasan
memadai.
Jika alokasi anggaran untuk ke-
giatan-kegiatan dalam rangka
mencapai kemantapan kawasan
tidak memadai
Jika tidak ada alokasi anggaran
untuk kegiatan-kegiatan dalam
rangka mencapai kemantapan
kawasan
30
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
B1. Tersedianya data dan in-
formasi lengkap mengenai
kondisi SDA dan aspek
ekologisnya
Akurasi rencana dan tindakan pengelolaan SDA san-
gat tergantung dari ketersediaan data dan informasi.
Data dan informasi aspek ekologi mencakup unsur
isis dan biologis serta interaksi di antara keduanya yang saling mempengaruhi. Satu unit sistem ekologi
dikatakan sebagai satu ekosistem. Di dalam satu
kawasan konservasi terdapat satu atau bisa jadi lebih
unit ekosistem, karena ada pula kawasan konservasi
yang justru menjadi bagian dari sistem ekologi (eko-
sistem) yang lebih luas melintasi batas-batas kawasan
konservasi.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tersedia data dan informasi
yang lengkap mengenai potensi
SDA kawasan konservasi dan
aspek ekologisnya
Jika tersedia data dan informasi
mengenai potensi SDA kawasan
konservasi dan aspek ekologisn-
ya, tetapi tidak lengkap
Jika tidak tersedia data dan
informasi potensi SDA kawasan
konservasi dan aspek ekolo-
gisnya
B2. Rencana pengelolaan telah
mencantumkan program
dan kegiatan pengelolaan
SDA termasuk perlind-
ungan, pengawetan dan
pemanfaatan secara
lestari SDA sesuai fungsi
kawasan, tujuan dan blok
pengelolaan yang telah
ditetapkan
Dokumen rencana pengelolaan secara substansial
merupakan artikulasi dari blok pengelolaan menjadi
serangkaian program dan kegiatan pengelolaan SDA
meliputi: perlindungan, pengawetan, pemanfaatan
yang terarah (tepat lokus dan fokusnya sesuai fungsi,
tujuan dan blok pengelolaan), terukur (target capaian
yang dapat diukur dan diveriikasi) dan realistis (dapat dilaksanakan).
Baik
Sedang
Kurang
Jika rencana pengelolaan
telah mencantumkan program
dan kegiatan perlindungan,
pengawetan, pemanfaatan yang
terarah, terukur dan realistis
Jika rencana pengelolaan telah
mencantumkan program dan
kegiatan perlindungan, pen-
gawetan, pemanfaatan, namun
kurang terarah
Jika belum tersusun rencana
pengelolaan
B3. Terkendalikannya ganggu-
an-gangguan terhadap SDA
di dalam kawasan
Beberapa bentuk gangguan SDA di dalam kawasan
diantaranya: illegal logging, kebakaran hutan, per-
buruan liar, penggembalaan, dll. Gangguan lain juga
muncul dalam bentuk pemungutan hasil-hasil hutan
bukan kayu tanpa ijin. Kegiatan pengamanan melalui
cara pre-emtif, preventif hingga refresif secara
terukur berorientasi pada manusia yang menjadi agen
gangguan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tidak ada agen-agen peng-
ganggu SDA
Jika masih ada agen-agen
pengganggu SDA, namun terus
ditangani melalui kegiatan pen-
gamanan
Jika agen-agen penyebab
gangguan SDA terus beroperasi
tanpa ada tindakan pengamanan
B4. Terkendalikannya pe-
manfaatan SDA di dalam
kawasan.
Pemanfaatan terkendali berarti: (1) sejalan dengan
fungsi dan tujuan pengelolaan kawasan, (2) memi-
liki ijin dari pengelola, (3) jenis, cara dan volume
pemanfaatan tidak melampaui daya dukung (carrying
capacity) sehinga tidak berpengaruh negatif terhadap
struktur dan fungsi ekosistem kawasan konservasi.
Baik
Sedang
Kurang
Jika seluruh kegiatan peman-
faatan sesuai dengan fungsi dan
tujuan pengelolaan, memiliki
ijin pengelola, jenis/cara dan
volume pemanfaatan tidak
melampaui daya dukung yang
ditetapkan
Jika ada kegiatan pemanfaatan
sesuai fungsi dan tujuan pen-
gelolaan, namun tidak memiliki
ijin dari pengelola
Jika ada pemanfaatan, namun
tidak sesuai dengan fungsi dan
tujuan pengelolaan
Tabel 2.3. Skala Intensitas Indikator Kelestarian Fungsi Ekologi (Kriteria: Terjaminnya Fungsi Ekosistem)
31
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
B5. Blok perlindungan terkelo-
la efektif dalam menjamin
terpeliharanya proses-pros-
es ekologis secara alamiah
Proses ekologis adalah proses yang memainkan
peranan penting dalam menjaga keutuhan ekosistem.
Empat proses ekologi dasar adalah siklus air, siklus
nutrien, aliran energi dan keanekaragaman hayati.
Proses ekologi adalah penopang kehidupan. Oleh
karenanya kegiatan pengelolaan di blok perlindungan
harus mampu menjamin terpeliharanya proses-proses
ekologis tersebut, termasuk di dalamnya ekosistem
unik, habitat dan populasi jenis lora dan fauna pent-ing kawasan
Baik
Sedang
Kurang
Jika blok perlindungan terpeli-
hara dengan baik dan berfung-
si efektif dalam menjamin
berlangsungnya proses-proses
ekologis secara alamiah
Jika blok perlindungan kurang
terpelihara sehingga terjadi
penurunan fungsinya dalam
menjamin berlangsungnya pros-
es-proses ekologis
Jika blok perlindungan tidak
terpelihara dan sudah tidak ber-
fungsi efektif dalam menjamin
berlangsungnya proses-proses
ekologis
B6. Terpantaunya kondisi hab-
itat dan populasi jenis lora dan fauna penting kawasan
Ekosistem unik, habitat dan populasi jenis lora dan fauna penting suatu kawasan konservasi adalah
sasaran utama kegiatan pengawetan (preservasi).
Ekosistem bersifat dinamis – terus melakukan suksesi
alamiah sehingga kondisi habitat dan populasi juga
dinamis. Selain itu, suksesi juga dapat terjadi karena
pengaruh faktor ekternal. Dinamika ekosistem, ter-
masuk habitat dan populasi, harus terus dipantau agar
diketahui arah perkembangannya (menuju klimak
atau anti-klimak) untuk menentukan intervensi pen-
gelolaan dalam rangka menghindari kepunahan dan
mempertahankan keseimbangan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tersedia data dan infor-
masi hasil pemantauan rutin
mengenai dinamika yang terjadi
pada ekosistem unik, habitat dan
populasi jenis lora dan fauna penting kawasan
Jika tersedia data dan informasi
hasil pemantauan insidentil
mengenai dinamika yang terjadi
pada ekosistem unik, habitat dan
populasi jenis lora dan fauna penting kawasan
Jika tidak ada data dan informa-
si hasil pemantauan mengenai
dinamika yang terjadi pada
ekosistem unik, habitat dan
populasi jenis lora dan fauna penting kawasan
B7. Terpeliharanya ekosistem
unik, habitat dan populasi
jenis lora dan fauna pent-ing kawasan
Ekosistem unik, habitat dan populasi jenis lora dan fauna penting sebagai simbol dan ciri khas suatu
kawasan konservasi harus dijaga dan dipelihara agar
keberadaannya tidak punah, tetap seimbang dan
dinamis dalam perkembangannya. Upaya preservasi
sesuai kebutuhan di antaranya pembinaan habitat,
pembinaan populasi, penetapan koridor hidupan liar,
pemulihan ekosistem, atau penutupan kawasan.
Baik
Sedang
Kurang
Ekosistem unik, habitat dan
populasi jenis lora dan fauna penting kawasan terpelihara
dengan baik
Ekosistem unik, habitat dan
populasi jenis lora dan fauna penting kawasan mengalami
gangguan
Ekosistem unik, habitat dan
populasi jenis lora dan fauna penting kawasan mengalami
gangguan/kerusakan berat
B8. Terpulihkannya ekosistem
unik, habitat dan popu-
lasi jenis lora dan fauna penting kawasan yang
terdegradasi
Ekosistem unik dan habitat yang telah terlanjur rusak
serta populasi jenis lora dan fauna penting kawasan yang terganggu perlu dilakukan upaya pemulihan
secara terencana dan sistematis untuk menghindari
kepunahan dan mengembalikan keseimbangan.
Baik Jika tidak ada ekosistem unik,
habitat dan populasi jenis lora dan fauna penting kawasan yang
mengalami ganagguan atau
kerusakan berat
32
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
Sedang
Kurang
Jika ada ekosistem unik, habitat dan
populasi jenis lora dan fauna pent-ing kawasan yang mengalami gang-
guan atau kerusakan berat, namun
sedang dalam proses pemulihan
Jika ada ekosistem unik, habitat
dan populasi jenis lora dan fauna penting kawasan yang mengalami
gangguan atau kerusakan berat,
namun tidak ada proses pemulihan
B9. Berkembangnya kegiatan
penelitian dan pengem-
bangan mengenai potensi,
karakteristik dan keman-
faatan SDA di dalam
kawasan.
Potensi SDA di dalam kawasan perlu didaya-
gunakan agar bermanfaat secara langsung bagi
masyarakat dan penerimaan Negara. Pendayagu-
naan SDA tersebut perlu didahului dengan kegiatan
penelitian dan pengembangan untuk mengetahui
secara pasti mengenai potensi, karakteristik dan
manfaat setiap jenis SDA, inovasi skema pe-
manfaatannya yang paling layak, dan aspek daya
dukungnya. Kegiatan penelitian dan pengembangan
harus terarah dan terprogram sesuai kebutuhan
dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada kegiatan-kegiatan pene-
litian dan pengembangan yang terar-
ah, terprogram dan terdokumentasi
dengan baik sesuai kebutuhan ke-
giatan pengelolaan untuk mencapai
tujuan
Jika ada kegiatan-kegiatan pene-
litian dan pengembangan, namun
tidak terarah dan terprogram seh-
ingga tidak jelas nilai kontribusinya
terhadap kegiatan pengelolaan
untuk mencapai tujuan
Jika tidak pernah ada kegiatan pene-
litian dan pengembangan
B10. Tersedianya model-model
pemanfaatan lestari SDA
sesuai fungsi kawasan, tu-
juan dan blok pengelolaan
Dukungan para pihak seringkali didorong oleh
adanya manfaat dari pengelolaan kawasan kon-
servasi untuk mereka. Oleh karenanya, pengelola
harus mampu menyediakan model-model peman-
faatan SDA yang sesuai fungsi kawasan dan tujuan
pengelolaan. Model-model tersebut dapat berorien-
tasi untuk memenuhi kebutuhan subsisten mas-
yarakat lokal dan/atau mengembangkan usaha yang
mendatangkan pendapatan, baik bagi masyarakat
lokal maupun penerimaan Negara.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tersedia model-model peman-
faatan SDA yang sejalan dengan
fungsi dan tujuan pengelolaan
kawasan dan berjalan di lapangan
Jika telah tersedia model-model
pemanfaatan SDA yang sejalan den-
gan fungsi dan tujuan pengelolaan
kawasan, namun belum berjalan di
lapangan
Jika sema sekali tidak tersedia mod-
el-model pemanfaatan SDA yang
sejalan dengan fungsi dan tujuan
pengelolaan kawasan
33
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
B11. Tersedianya standar opra-
sional kegiatan perlindun-
gan dan pengawetan
Kegiatan perlindungan dan pengawetan dilak-
sanakan secara terarah dan terprogram sehingga
diperlukan standar operasional (misalnya: SOP
penanggulangan illegal logging, kebakaran hutan,
pemantauan/monitoring populasi habitat, peman-
tauan lora dan fauna penting kawasan, pemulihan ekosistem, dll). SOP merupakan pedoman teknis
yang dilengkapi dengan pengaturan peran dan tata
hubungan antar unit kerja (resor-seksi/bidang-
balai). SOP yang baik adalah SOP yang bisa dipe-
domani oleh semua unit kerja terkait.
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada SOP perlindungan dan
pelestarian yang lengkap dan dipe-
domani oleh staf lapangan
Jika ada SOP perlindungan dan
pelestarian yang lengkap, tetapi ku-
rang dipedomani oleh staff lapangan
Jika tidak ada SOP perlindungan
dan pengwetan
B12. Adanya staf lapangan yang
memiliki kompetensi dalam
bidang perlindungan, pen-
gawetan, dan pemanfaatan
sesuai kebutuhan spesiik lapangan
Kegiatan perlindungan, pengawetan, dan peman-
faatan (3P) merupakan core business konservasi
SDA. Oleh karenanya, harus ada SDM lapangan
yang memiliki komptensi 3P memadai (seharusnya
PEH) yang bekerja intensif di tingkat tapak.
Baik
Sedang
Kurang
Jika terdapat SDM yang memiliki
komptensi memadai dalam bidang
perlindungan dan pengwetan yang
bekerja intensif di tapak
Jika terdapat SDM yang memiliki
komptensi memadai dalam bidang
perlindungan dan pengwetan, tetapi
tidak intensif bekerja di tapak
Jika tidak ada SDM yang memiliki
komptensi memadai dalam bidang
perlindungan dan pengwetan
B13. Terjalinnya kerja sama dan/
atau kolaborasi dengan
masyarakat dan berbagai
pihak dalam perlindungan
dan pengawetan
Dukungan dan kerjasama/ kolaborasi/kemitraan
termasuk dengan masyarakat, pemerintah daerah,
perguruan tinggi, dan pihak-pihak lain dalam kegia-
tan perlindungan dan pengawetan diperlukan untuk
mengisi berbagai kelemahan yang sulit diatasi/
dipenuhi oleh internal pengelola (pemerintah),
Baik
Sedang
Jika ada kerja sama/kolaborasi/ ke-
mitraan dengan masyarakat dan para
pihak terkait lainnya dalam kegiatan
perlindungan dan pengawetan dan
berjalan efektif di lapangan.
Jika ada kerja sama/kolaborasi/ ke-
mitraan dengan masyarakat dan para
pihak terkait lainnya dalam kegiatan
perlindungan dan pengawetan,
namun tidak berjalan efektif di
lapangan
34
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
misalnya ketidakcukupan anggaran dan kapasitas
SDM. Kerja sama perlindungan dapat dilakukan
lebih leksibel, namun untuk pengawetan secara khusus perlu dibangun kerja sama dengan para
peneliti dan perguruan tinggi, lembaga keilmuan
lainnya, atau NGO yang memiliki kompetensi
khusus
Sedang
Kurang
Jika ada kerja sama/kolaborasi/ ke-
mitraan dengan masyarakat dan para
pihak terkait lainnya dalam kegiatan
perlindungan dan pengawetan,
namun tidak berjalan efektif di
lapangan
Jika tidak ada kerja sama/ kolabora-
si/kemiteraan dengan masyarakat
dan para pihak terkait lainnya dalam
kegiatan perlindungan dan pen-
gawetan
B14. Tersedianya paket-paket
informasi sebagai material
untuk kampanye/penyulu-
han penyadartahuan dan
promosi
Informasi mengenai nilai SDA kawasan konservasi
perlu dikemas sedemikian rupa minimal untuk
kepentingan dua hal: (1) membangun kesadaran
para pihak mengenai pentingnya keberadaan
kawasan konservasi; (2) mangembangkan nilai
guna SDA kawasan melalui berbagai kegiatan
usaha yang sejalan dengan fungsi, tujuan dan blok
pengelolaan kawasan
Baik
Sedang
Kurang
Jika pengelola memiliki paket-paket
informasi yang dapat digunakan
untuk materi penyadartahuan dan
promosi yang manarik dan inovatif
Jika pengelola memiliki paket-paket
informasi untuk materi penyadarta-
huan dan promosi, namun kurang
manarik dan inovatif
Jika pengelola tidak memiliki
paket-paket informasi yang dapat
digunakan untuk materi penyadarta-
huan dan promosi
B15. Tersedianya alat dan bahan
kerja lapangan yang mer-
upakan bagian dari Sistem
Informasi Ekosistem (SIE)
yang terhubung antara
resor (tapak)-seksi/bidang-
balai.
Sistem informasi mempunyai 3 unsur yaitu:1) me-
nerima data sebagai masukan (input); 2) memproses
data dengan melakukan perhitungan, penggabungan
unsur data, pemutakhiran, perkiraan dan lain-lain;
3) memperoleh informasi sebagai keluaran (output).
Sistem informasi memproses data dan kemudian
mengubahnya menjadi informasi. Data sebagai
bahan baku informasi dihasilkan dari tapak oleh
petugas resor. Aliran data yang mandeg menyebab-
kan pengelola miskin informasi yang menyebabkan
pengelola mengalami ketidakmampuan mengontrol
sumber daya.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tersedia alat dan bahan kerja
lapangan bagi para petugas resor
yang terhubung dengan SIE ka-
wasan konservasi
Jika tersedia alat dan bahan kerja
lapangan bagi para petugas resor,
tetapi tidak terhubung dengan atau
tidak ada SIE kawasan konservasi
Jika tidak ada alat dan bahan kerja
lapangan bagi para petugas resor
dan tidak ada SIE kawasan konser-
vasi
35
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
Ekosistem adalah sangat kompleks yang dicirikan
dengan banyak data. Oleh karenanya, memahami
konsep dasar informasi adalah sangat penting untuk
merancang sistem informasi yang efektif (effective
business system). Sistem informasi adalah alat
bantu Kepala
B16. Optimalisasi penerimaan
dari kegiatan pemanfaatan
lestari SDA yang sesuai
fungsi dan tujuan pengelo-
laan kawasan
Pemanfaatan lestari SDA di dalam kawasan
konservasi yang sesuai fungsi kawasan dan blok
pengelolaan harus dioptimalkan sebagai sumber
penerimaan Negara, sekaligus menjadi alternatif
pendapatan bagi masyarakat lokal. Pengertian
optimal dalam konteks ini adalah bahwa kegiatan
pemanfaatan dilakukan dengan prinsip kehatian-ha-
tian dan pembatasan. Pemanfaatan di cagar alam
memiliki derajat kehati-hatian dan pembatasan
paling tinggi dibandingkan dengan fungsi kawasan
lainnya.
Baik
Sedang
Kurang
Jika kegiatan pemanfaatan lestari
SDA yang sesuai fungsi dan tujuan
pengelolaan kawasan mampu meng-
hasilkan penerimaan Negara dan
pendapatan bagi masyarakat lokal
Jika kegiatan pemanfaatan lestari
SDA yang sesuai fungsi dan tujuan
pengelolaan kawasan mampu meng-
hasilkan penerimaan Negara atau
pendapatan bagi masyarakat lokal
Jika kegiatan pemanfaatan lestari
SDA yang sesuai fungsi dan tujuan
pengelolaan kawasan tidak meng-
hasilkan penerimaan Negara dan
pendapatan bagi masyarakat lokal
B17. Kecukupan alokasi angga-
ran untuk mempertahankan
/mencapai kelestarian fung-
si ekosistem, populasi jenis
lora dan fauna penting
perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari
SDA untuk mencapai kelestarian fungsi ekosistem
harus didukung oleh anggaran yang memadai
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada alokasi anggaran yang
cukup untuk membiayai seluruh
kegiatan dalam rangka mempertah-
ankan/mencapai kelestarian fungsi
ekosistem
Jika ada alokasi anggaran untuk
membiayai sebagian besar kegiatan
dalam rangka mempertahankan /
mencapai kelestarian fungsi eko-
sistem
Jika ada alokasi anggaran tetapi
hanya cukup untuk membiayai
sebagian kecil kegiatan dalam
rangka mempertahankan /mencapai
kelestarian fungsi ekosistem
36
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
C1. Tersedianya data dan in-
formasi lengkap mengenai
nilai ekonomi berbagai
produk jasa lingkungan
kawasan konservasi untuk
masyarakat dan pembangu-
nan wilayah
Jasa Lingkungan adalah jasa yang diberikan oleh
potensi ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam,
kekhasan jenis dan peninggalan budaya yang dapat
dikategorikan sebagai keindahan dan fenomena
alam, keanekaragaman hayati dan ekosistem, fungsi
hidrologi, penyerapan dan penyimpanan karbon, dan
berbagai jasa lainnya. Pengetahuan mengenai jenis-je-
nis produk jasa lingkungan, termasuk HHBK dan
nilai ekonominya, sangat berguna sebagai bahan un-
tuk penyadartahuan kepada masyarakat dan pengem-
bangan alternatif usaha berbasis jasa ekosistem sesuai
fungsi kawasan dan tujuan pengelolaan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tersedia data dan informasi
lengkap mengenai potensi jasa
lingkungan dan nilai ekonomi
kawasan konservasi
Jika tersedia data dan informasi
lengkap mengenai potensi jasa
lingkungan, namun tidak dis-
ertai hasil kajian nilai ekonomi
kawasan konservasi
Jika tidak tersedia tersedia data
dan informasi lengkap men-
genai potensi jasa lingkungan
kawasan konservasi
C2. Terbentuknya blok yang
menyediakan akses peman-
faatan SDA bagi mas-
yarakat dan pembangunan
wilayah
Akses masyarakat dan pembangunan wilayah di
dalam kawasan konservasi perlu dibuka tetapi diatur
(regulated open access). Berbagai peraruran perun-
dangan mengenai penyelenggaraan KSDAE dan pen-
gelolaan KSA dan KPA serta aturan teknis turunannya
telah memberikan petunjuk mengenai pengaturan
akses tersebut. Setiap fungsi kawasan memiliki ciri
khas dalam pengaturan akses pemanfaatan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tersedia akses ruang (blok)
pemanfaatan untuk masyarakat
dan pembangunan wilayah
yang disepakati para pihak dan
sejalan dengan fungsi kawasan
dan tujuan pengelolaan
Jika tersedia akses ruang (blok)
pemanfaatan untuk masyarakat
dan pembangunan wilayah yang
sejalan dengan fungsi kawasan
dan tujuan pengelolaan, namun
belum disepakati para pihak
Jika tidak tersedia akses ruang
(blok) pemanfaatan untuk
masyarakat dan pembangunan
wilayah yang sejalan dengan
fungsi kawasan dan tujuan
pengelolaan
C3. Rencana pengelolaan me-
masukkan rencana kegiatan
pemanfaatan berbasis jasa
lingkungan untuk men-
dukung ekonomi mas-
yarakat dan pembangunan
wilayah
Sesuai dengan blok pengelolaan, maka rencana
pengelolaan mencantumkan program dan kegiatan
pemanfaatan SDA sesuai fungsi kawasan dan tujuan
pengelolaan. Rencana pengelolaan didukung dengan
rencana teknik/tematik dalam bentuk rencana induk,
rencana bisnis dan rencana detail rinci (DED) untuk
setiap jenis kegiatan usaha (misalnya: wisata alam,
air, karbon, HHBK, dll).
Baik
Sedang
Kurang
Jika rencana pengelolaan men-
cantumkan program dan kegia-
tan pemanfaatan yang disertai
dengan rencana teknik/tematik
dalam bentuk rencana induk,
rencana bisnis dan DED untuk
setiap jenis kegiatan usaha
Jika rencana pengelolaan
mencantumkan program dan ke-
giatan pemanfaatan namun tidak
ditindaklanjuti dengan peny-
usunan rencana teknik/tematik
dalam bentuk rencana induk,
rencana bisnis dan DED untuk
setiap jenis kegiatan usaha
Jika belum ada rencana penge-
lolaan
Tabel 2.4. Skala Intensitas Indikator Kelestarian Fungsi Ekonomi (Kriteria: Tersedianya Akses Ekonomi untuk Masyarakat dan Pembangunan Wilayah)
37
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
C4. Rencana Pembinaan
Daerah Penyangga disusun
dan ditetapkan bersama
antara pengelola kawasan
konservasi dengan pemer-
intah daerah dan pengelola/
pemangku lahan lainnya
Setelah adanya penetapan daerah penyangga bersa-
ma para pihak, selanjutnya harus disusun rencana
pengelolaan daerah penyangga yang berorientasi
pada penguatan ekonomi masyarakat di daerah
penyangga. Rencana pembinaan daerah penyangga
juga memasukan aktivitas pengamanan, perlind-
ungan, dan pemulihan kawasan konservasi secara
partisipatif, termasuk pembentukan dan pengelo-
laan koridor satwa atau kawasan ekosistem esensial
untuk mendukung integritas habitat. Pembinaan
daerah penyangga dalam jangka panjang terintegra-
si dalam pembangunan daerah (RPJMD) dan desa
(RPJMDes).
Baik
Sedang
Kurang
Jika telah tersusun rencana pem-
binaan daerah penyangga yang
disepakati oleh para pihak terkait
yang memuat pemberdayaan
ekonomi masyarakat, peran serta
masyarakat dalam mendukung pen-
gelolaan kawasan serta kebutuhan
khusus lain untuk pelestarian jenis
satwa penting (koridor)
Jika telah tersusun rencana pem-
binaan daerah penyangga yang
disepakati oleh para pihak terkait
yang memuat pemberdayaan
ekonomi masyarakat, namun belum
memuat peran serta masyarakat
dalam mendukung pengelolaan
kawasan.
Jika belum tersusun rencana pen-
gelolaan daerah penyangga yang
disepakati oleh para pihak terkait.
C5. Terkendalikannya konlik penggunaan lahan di dalam
kawasan konservasi untuk
kegiatan pembangunan
wilayah.
Penggunaan kawasan tidak prosedural yang beror-
ientasi untuk kepentingan pembangunan wilayah,
seperti jalan, dan fasilitas publik, dan lainnya harus
dapat dikendalikan agar tidak terjadi di dalam
kawasan konservasi. Kejadian ini telah banyak
dialami di beberapa kawasan akibat keterlanjuran
seiring dengan lemahnya koordinasi dengan pemer-
intah daerah dan pengelolaan di tingkat tapak oleh
petugas pengelola
Baik
Sedang
Kurang
Jika tidak ada penggunaan lahan
tidak prosedural di dalam kawasan
konservasi yang berorientasi pada
kegiatan pembangunan wilayah
Jika ada penggunaan lahan yang
tidak prosedural di dalam kawasan
konservasi tetapi telah/sedang
dalam penyelesaian
Jika ada penggunaan lahan yang
tidak prosedural di dalam kawasan
konservasi dan belum ada upaya
penyelesaian
C6. Terbangunnya insentif bagi
masyarakat yang secara
mandiri/swadaya melaku-
kan pengamanan kawasan
Mekanisme insentif diperlukan untuk mendorong
peran aktif masyarakat secara swadaya untuk
melakukan pengamanan kawasan. Insentif beror-
ientasi pada hasil (hilir). Insentif diberikan pada
individu atau kelompok yang telah terbukti berhasil
melakukan aktivitas pengamanan kawasan secara
swadaya.
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada mekanisme insentif pen-
gamanan kawasan untuk mendorong
keswadayaan masyarakat dalam
mengamankan kawasan konservasi
Jika ada mekanisme insentif pen-
gamanan kawasan untuk mendorong
keswadayaan masyarakat dalam
mengamankan kawasan konservasi,
namun belum berjalan
Jika tidak ada mekanisme insentif
pengamanan kawasan untuk men-
dorong keswadayaan masyarakat
dalam mengamankan kawasan
konservasi
C7. Terpeliharanya daya
dukung ekologis dari ka-
wasan konservasi terhadap
kegiatan ekonomi
Kawasan konservasi dengan kondisi alamiah yang
dapat dipertahankan mendukung produktivitas
kegiatan ekonomi di sekitar kawasan konservasi,
Baik Jika kawasan konservasi masih
mampu berperan menopang ke-
hidupan masyarakat dan kegiatan
ekonomi wilayah di daerah pen-
yangga
38
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
masyarakat dan wilayah di sekitar
kawasan konservasi.
misalnya sawah, kebun, industri yang membu-
tuhkan suplai air yang baik dan stabil. Selain itu,
kesehatan ekosistem di dalam kawasan mengurangi
resiko bencana yang dapat mempengaruhi kegiatan
ekonomi di wilayah terdampak.
Sedang
Kurang
Jika kemampuan kawasan konserva-
si sebagai penopang masyarakat dan
kegiatan ekonomi wilayah di daerah
penyangga menurun
Jika kawasan konservasi sudah tidak
mampu berperan sebagai penopang
kehidupan masyarakat dan kegiatan
ekonomi wilayah
C8. Terbangunnya insentif
bagi masyarakat yang
secara mandiri/swadaya
melakukan pelestarian SDA
(termasuk pemulihan eko-
sistem) di dalam kawasan
konservasi
Mekanisme insentif diperlukan untuk mendorong
peran aktif masyarakat secara swadaya untuk
melakukan perlindungan SDA dan pemulihan
ekosistem kawasan konservasi. Insentif berorientasi
pada hasil (hilir). Insentif diberikan pada individu
atau kelompok yang telah terbukti berhasil melaku-
kan aktivitas perlindungan SDA dan pemulihan
ekosistem secara swadaya.
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada mekanisme insentif untuk
masyarakat yang terbukti berhasil
melakukan perlindungan SDA dan
pemulihan ekosistem di dalam
kawasan secara swadaya
Jika ada mekanisme insentif untuk
masyarakat yang terbukti berhasil
melakukan perlindungan SDA dan
pemulihan ekosistem secara swa-
daya, namun belum dijalankan
Jika tidak ada mekanisme insentif
untuk masyarakat yang terbukti ber-
hasil melakukan perlindungan SDA
dan pemulihan ekosistem secara
swadaya
C9. Terlaksananya kegiatan
pemberdayaan ekonomi
masyarakat di daerah pen-
yangga kawasan konservasi
bersama pemerintah daerah
Salah satu bentuk kegiatan pembinaan daerah pen-
yangga adalah pengembangan ekonomi produktif
masyarakat. Ketahanan masyarakat secara ekonomi
dapat menurunkan tekanan terhadap SDA di dalam
kawasan. Jenis kegiatan ekonomi produktif dapat
menggunakan SDA di dalam kawasan sebagai
sumber plasma nutfah dan jasa ekosistem lainnya.
Pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga da-
lam jangka panjang harus menjadi agenda pemban-
gunan di daerah sebagai bentuk sinergi antara pusat
dan daerah dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Baik
Sedang
Kurang
Jika kegiatan ekonomi produktif
masyarakat di daerah penyangga
berkembang dan mampu mening-
katkan kesejahteraan masyarakat
melalui peran aktif Pemda
Jika kegiatan ekonomi produktif
masyarakat di daerah penyangga
berkembang dan berpotensi mening-
katkan kesejahteraan masyarakat,
namun belum ada peran aktif Pemda
Jika tidak ada pembinaan ekonomi
produktif masyarakat oleh ke-
beradaan produk-produk jasa
lingkungan kawasan konservasi
Jika terjalin kerja sama dengan
pemerintah daerah dan swasta
pelaku kegiatan ekonomi wilayah
yang diuntungkan oleh keberadaan
produk-produk jasa lingkungan ka-
wasan konservasi, namun tidak ada
kontribusi dalam kegiatan pengelo-
laan kawasan konservasi
C10. Terjalinnya kerja sama/
kolaborasi antara penge-
lola dengan Pemda dan
swasta yang menjadi aktor
kegiatan ekonomi wilayah
untuk mendukung kegiatan
pengelolaan
Perhatian, dukungan dan kegiatan pemerintah daer-
ah untuk pembinaan daerah penyangga, pember-
dayaan masyarakat, dan pemanfaatan SDA kawasan
konservasi seyogyanya terjalin dalam ikatan kerja
sama atau MoU. Kerja sama tidak terbatas dengan
pemda tetapi dengan swasta/BUMN yang menjadi
Baik Jika terjalin kerja sama efektif
dengan Pemda dan swasta pelaku
kegiatan ekonomi wilayah yang
diuntungkan oleh keberadaan
produk-produk jasa lingkungan
kawasan konservasi
39
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
pelaku kegiatan ekonomi pembangunan wilayah,
(misalnya PDAM, industri manufaktur di hilir,
perhotelan, dll). Efektivitas kerja sama selanjutnya
diukur dari adanya kontribusi nyata (in cash atau in
kind) para pihak untuk mendukung kegiatan penge-
lolaan kawasan konservasi.
Sedang
Kurang
Jika terjalin kerja sama dengan
pemerintah daerah dan swasta
pelaku kegiatan ekonomi wilayah
yang diuntungkan oleh keberadaan
produk-produk jasa lingkungan ka-
wasan konservasi, namun tidak ada
kontribusi dalam kegiatan pengelo-
laan kawasan konservasi
Jika tidak ada jalinan kerja sama
dengan pemerintah daerah dan
swasta pelaku kegiatan ekonomi
wilayah yang diuntungkan oleh
keberadaan produk-produk jasa
lingkungan kawasan konservasi
C11. Kecukupan alokasi angga-
ran untuk mempertahankan
/mencapai kelestarian
fungsi ekonomi kawasan
konservasi
Pelaksanaan seluruh kegiatan untuk mencapai ke-
lestarian fungsi ekonomi membutuhkan dukungan
anggaran yang memadai.
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada alokasi anggaran yang
cukup untuk membiayai seluruh
kegiatan dalam rangka mencapai
kelestarian fungsi ekonomi kawasan
konservasi
Jika ada alokasi anggaran untuk
membiayai sebagian besar kegiatan
dalam rangka mencapai kelestarian
fungsi ekonomi kawasan konservasi
Jika ada alokasi anggaran, tetapi
hanya cukup untuk membiayai
sebagian kecil kegiatan dalam
rangka mencapai kelestarian fungsi
ekonomi kawasan konservasi
40
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
D1. Tersedianya data dan in-
formasi lengkap mengenai
aspek sosial dan budaya
kawasan konservasi, terma-
suk pemanfaatan tradision-
al masyarakat.
Nilai-nilai sosial dan budaya serta aktivitas tra-
disional masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
konservasi perlu diinvetarisasi sebagai dasar bagi
pengelola untuk membangun strategi pengelolaan
kawasan yang sinergi dengan kondisi sosial dan bu-
daya masyarakat setempat. Data sosial budaya men-
cakup: kelembagaan yang ada di masyarakat dan
sistem keanggotaannya; tempat-tempat penting bagi
masyarakat secara sosial budaya; aturan-aturan pe-
manfaatan dan pengelolaan hasil hutan yang pernah
berlaku di suatu tempat; persepsi masyarakat atas
kondisi sumber daya alam; dan aktivitas tradisional
masyarakat di dalam kawasan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tersedia data dan informasi
lengkap mengenai nilai-nilai sosial,
budaya dan aktivitas tradisional
masyarakat setempat serta hasil
pemantauan mengenai pengaruhnya
terhadap kawasan konservasi
Jika tersedia data dan informasi
lengkap mengenai nilai-nilai sosial,
budaya dan aktivitas tradisional
masyarakat setempat, namun tidak
diketahui pengaruhnya terhadap
kawasan konservasi
Jika tidak tersedia data dan infor-
masi lengkap mengenai mengenai
nilai-nilai sosial, budaya dan aktivi-
tas tradisional masyarakat setempat
D2. Blok pengelolaan telah
mengakomodasi akses mas-
yarakat untuk melakukan
kegiatan ritual/budaya dan
pemanfaatan tradisional
Aktivitas sosial-budaya baik berupa kegiatan spir-
itual maupun ekonomi (pemanfaatan tradisional)
seyogyanya diakomodasi melalui blok pengelolaan
(blok religi dan pemanfaatan tradisional) sepanjang
masih ada nilai-nilai dan aktivitas sosial-budaya
dan tradisional tersebut
Baik
Sedang
Kurang
Jika tersedia akses ruang (blok)
untuk kegiatan religi/ritual dan/
atau pemanfaatan tradisional yang
sinergi dengan fungsi dan tujuan
pengelolaan kawasan
Jika tersedia akses ruang (blok)
untuk kegiatan religi/ritual dan/atau
pemanfaatan tradisional, namun
kurang sejalan dengan fungsi dan
tujuan pengelolaan kawasan
Jika tidak tersedia akses ruang
(blok) untuk kegiatan religi/ritual
dan/atau pemanfaatan tradisional
padahal terdapat kepentingan mas-
yarakat untuk aktivitas religi/ritual
dan/atau pemanfaatan tradisional
D3. Tersusunnya rencana
pengelolaan yang melibat-
kan, mengakomodasi dan
mendapat dukungan dari
masyarakat asli/setempat
Sesuai dengan blok pengelolaan yang telah menye-
diakan blok untuk kegiatan religi dan pemanfaatan
tradisional, maka rencana pengelolaan mencan-
tumkan program dan kegiatan pengendalian dan
pemantauan kegiatan religi/ritual dan pemanfaatan
tradisional. Pengelola kawasan juga dapat mengem-
bangkan aktivitas budaya masyarakat sebagai at-
raksi wisata budaya, dan peningkatan nilai tambah
produk-produk pemanfaatan tradisional.
Baik
Sedang
Jika rencana pengelolaan mencan-
tumkan program dan kegiatan pen-
gendalian dan pemantauan kegiatan
religi/ritual dan pemanfaatan tra-
disional, sekaligus pengembangan-
nya menjadi atraksi wisata budaya
dan peningkatan nilai tambah dari
produk-produk hasil pemanfaatan
tradisional
Jika rencana pengelolaan mencan-
tumkan program dan kegiatan pen-
gendalian dan pemantauan kegiatan
religi/ritual dan pemanfaatan tra-
disional, namun tidak ada pengem-
bangan menjadi atraksi untuk wisata
budaya dan/atau peningkatan nilai
tambah produk-produk hasil peman-
faatan tradisional
Tabel 2.5. Skala Intensitas Indikator Kelestarian Fungsi Sosial Budaya (Kriteria: Terbangunnya Hubun-gan-Hubungan Harmonis dengan Budaya Lokal)
41
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
Kurang Jika rencana pengelolaan tidak men-
cantumkan program dan kegiatan
pengendalian dan pemantauan ke-
giatan religi/ritual dan pemanfaatan
tradisional
D4. Terkendalikannya konlik penggunaan kawasan untuk
kegiatan budaya/ritual mas-
yarakat dan pemanfaatan
trasional
Kegiatan religi/ritual oleh masyarakat tidak ber-
esiko mempengaruhi status, fungsi dan keutuhan
kawasan konservasi. Untuk menjamin hal ini maka
kegiatan pengamanan dalam bentuk pemantauan
dan pengendalian perlu dilakukan melalui pendeka-
tan partisipatif
Baik
Sedang
Kurang
Jika tidak ada atau ada aktivitas
religi/ritual terjadi pada blok-blok
yang telah ditetapkan sesuai kriteria
dan tidak terjadi dampak negatif
terhadap status, fungsi dan keutuhan
kawasan konservasi.
Jika aktivitas religi/ritual terjadi
pada blok-blok yang telah ditetap-
kan sesuai kriteria, namun terjadi
dampak yang kurang baik status,
fungsi dan keutuhan kawasan
konservasi
Jika aktivitas religi/ritual bersifat
konlikting dan berdampak luas terhadap status, fungsi dan keutuhan
kawasan konservasi
D5. Terbangunnya keterlibatan
dan kapasitas masyarakat
asli/setempat dalam pen-
gamanan kawasan
Peran serta masyarakat dalam pengamanan ka-
wasan melalui berbagai skema (Masyarakat Mitra
Polhut, dll) dibangun dan dilengkapi dengan ke-
giatan pembinaan, termasuk peningkatan kapasitas
mereka sesuai peranannya yang diharapkan – agar
tidak terkesan hanya dibentuk tapi tidak dirawat.
Hal ini penting sebagai solusi keterbatasan SDM
pengelola di tingkat tapak.
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada keterlibatan masyarakat
dalam pengamanan kawasan yang
disertai dengan kegiatan pembinaan
secara rutin
Jika ada keterlibatan masyarakat
dalam pengamanan kawasan, namun
tidak disertai dengan kegiatan pem-
binaan secara rutin
Jika tidak ada keterlibatan mas-
yarakat dalam pengamanan
kawasan.
D6. Terbangun/terpeliharanya
pranata sosial/budaya
lokal/kearifan lokal yang
mendukung perlindungan
dan pelestarian SDA di
kawasan konservasi
Nilai-nilai sosial dan budaya serta aktivitas pe-
manfaatan tradisional biasanya memiliki nilai-nilai
perlindungan yang berbasis kearifan lokal. Namun,
perubahan-perubahan yang dirangsang dari luar ser-
ingkali melunturkan kearifan lokal dan masyarakat
cenderung menjadi pragmatis. Sangat penting untuk
merevitalisasi pranata-pranata lokal dengan meng-
hidupkan kembali nilai-nilai perlindungan alam
dalam aturan-aturan lokal masyarakat baik dalam
tingkat komunitas maupun desa (perdes).
Baik
Sedang
Kurang
Jika masyarakat setempat masih
menganut pranata sosial yang
memiliki nilai-nilai perlindungan
alam yang masih berlaku atau dapat
diberlakukan lagi secara efektif.
Jika masyarakat setempat menganut
pranata sosial yang memiliki nilai-
nilai perlindungan alam, namun saat
ini kurang dipakai oleh sebagian
anggota masyarakat
Jika masyarakat setempat tidak
pernah menganut pranata sosial
yang memiliki nilai-nilai perlindun-
gan alam
42
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
D7. Terkendalikannya kegiatan
pemanfaatan SDA secara
tradsional berbasis budaya/
kearifan lokal
Kegiatan tradisional dalam hal ini adalah kegia-
tan masyarakat dalam memanfaatkan SDA di
dalam kawasan yang tidak berbasis lahan (missal
pemungutan HHBK). Lokasi, cara, frekuensi, dan
volume pemanfaatan perlu diatur dan dikendalikan
agar tidak berdampak pada penurunan potensi SDA
yang dapat mengganggu stabilitas ekosistem dan
kehidupan satwa penting kawasan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika tidak ada pemanfaatan tra-
disional atau jika ada pemanfaatan
tradisonal tetapi dapat dikendalikan
sehingga tidak berdampak pada
penurunan potensi SDA yang dapat
mengganggu stabilitas ekosistem
dan kehidupan satwa penting
kawasan
Jika ada pemanfaatan tradisonal,
tetapi belum dapat dikendalikan
sepenuhnya yang mempengaruhi
potensi SDA yang dapat meng-
ganggu stabilitas ekosistem dan
kehidupan satwa penting kawasan
Jika ada pemanfaatan tradisonal
tetapi tidak ada kegiatan pengen-
dalian sehingga berdampak pada
penurunan potensi SDA yang dapat
mengganggu stabilitas ekosistem
dan kehidupan satwa penting
kawasan.
D8. Tersedianya pedoman
dan standar oprasional
prosedur penanganan
aspek sosial-budaya dan
pemanfaatan tradisional
masyarakat
Di lapangan seringkali petugas masih bingung
menyikapi keberadaan aktivitas sosial-budaya dan
pemanfaatan tradisional yang dilakukan mas-
yarakat setempat. Kondisi ini berbahaya dalam
jangka panjang. Oleh karenanya, sangat diperlukan
pedoman dan SOP untuk menangani aktivitas-ak-
tivitas sosial-budaya dan pemanfaatan tradisional
oleh masyarakat yang dapat menjadi acuan petugas
lapangan dalam menyikapi kejadian-kejadian di
lapangan
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada pedoman dan SOP penan-
ganan potensi dan permasalahan
sosial-budaya dan pemanfaatan
tradisional masyarakat
Jika ada pedoman tetapi tidak
ada SOP penanganan potensi dan
permasalahan sosial-budaya dan
pemanfaatan tradisional masyarakat
Jika tidak ada pedoman dan SOP
penanganan potensi dan permasala-
han sosial-budaya dan pemanfaatan
tradisional masyarakat
D9. Adanya staf lapangan
yang memiliki komptensi
memadai dalam bidang
sosial budaya dan intensif
melakukan pendampingan/
interaksi dengan mas-
yarakat adat/lokal.
Permasalahan sosial budaya dan aktivitas peman-
faatan SDA di dalam kawasan konservasi terjadi
hampir di seluruh kawasan konservasi. Kondisi ini
mengindikasikan adanya kebutuhan adanya SDM di
lapangan yang memiliki kompetensi dalam bidang
sosial dan budaya dan secara intensif melakukan
pendampingan masyarakat di lapangan.
Baik
Sedang
Kurang
Jika terdapat SDM yang memiliki
kompetensi dalam penanganan
masalah sosial budaya dan melaku-
kan pendampingan intensif terhadap
masyarakat
Jika terdapat SDM yang memiliki
kompetensi dalam penanganan
masalah sosial budaya namun tidak
melakukan pendampingan intensif
terhadap masyarakat
Jika tidak terdapat SDM yang
memiliki kompetensi dalam penan-
ganan masalah sosial budaya dan
tidak ada pendampingan intensif
terhadap masyarakat
43
INDIKATOR PENGERTIAN NILAI KETERANGAN
D10. Terjalinnya hubungan ke-
mitraan konservasi dengan
lembaga masyarakat asli/
lokal yang efektif men-
dukung tujuan pengelolaan
Masyarakat asli/lokal adalah “penjaga hutan”
paling efektif, tetapi dapat sebaliknya menjadi
“penghancur hutan” yang efektif pula. Kondisi
mana yang muncul akan tergantung dari upaya-upa-
ya pemberdayaan yang dilakukan. Oleh karenanya,
hubungan yang baik dengan masyarakat harus men-
jadi prioritas utama melalui berbagai bentuk kemit-
eraan sesuai dengan kebutuhan spesiik lokalnya.
Baik
Sedang
Kurang
Jika terdapat hubungan-hubungan
sinergis dengan masyarakat asli/
lokal dan terwadahi dalam sebuah
kemiteraan
Jika terdapat hubungan-hubungan
sinergis dengan masyarakat asli/
lokal namun belum terwadahi dalam
kemiteraan
Jika terdapat hubungan-hubungan
tidak sinergis dengan masyarakat
asli/lokal
D11. Kecukupan alokasi
anggaran untuk mencapai
kelestarian fungsi sosial
budaya kawasan
Pelaksanaan seluruh kegiatan yang berkaitan
dengan penanganan masalah sosial budaya dan pe-
manfaatan SDA secara tradisional oleh masyarakat
harus didukung oleh anggaran yang memadai
Baik
Sedang
Kurang
Jika ada alokasi anggaran yang
cukup untuk membiayai seluruh
kegiatan yang berkaitan dengan
penanganan masalah sosial budaya
dan pemanfaatan SDA secara tra-
disional oleh masyarakat
Jika alokasi anggaran yang tersedia
cukup untuk membiayai sebagian
besar kegiatan yang berkaitan den-
gan penanganan masalah sosial bu-
daya dan pemanfaatan SDA secara
tradisional oleh masyarakat
Jika ada alokasi anggaran, tetapi
hanya cukup untuk membiayai seba-
gian kecil kegiatan yang berkaitan
dengan penanganan masalah so-
sial-budaya dan pemanfaatan SDA
secara tradisional oleh masyarakat
44
III. Penilaian Kondisi Pengelolaan
“Pada prinsip kemantapan kawasan
terdapat 1 kriteria, yaitu pengakuan
kawasan.“
Dokumentasi Balai Besar KSDA Jabar
45
3.1. Formulasi Penilaian Kondisi Pengelolaan Kawasan
Penilaian sederhana menggunakan Skala Likert. Adapun panduan penentuan penilaian dan sko-ringnya adalah sebagai berikut: Jumlah pilihan jawaban : 3 (baik, sedang, dan buruk)Jumlah pertanyaan : 58 Skoring terendah : 1Skoring tertinggi : 3 Jumlah skor terendah : 1 x 58 = 58 (33,3%) Jumlah skor tertinggi : 3 x 58 = 174 (100%) Range : 100 – 33,3 = 66,7%Interval : 66,7/3 = 22,2 Kriteria penilaian : 77,8 – 100 atau 135,3 – 174 disebut Baik 55,6 – 77,8 atau 96,7– 133,3 disebut Sedang 33,3 – 55,6 atau 58,0 – 96,7 disebut Kurang
Dengan formulasi yang sama dapat dilakukan penilaian pada setiap dimensi hasil dengan pe-doman sebagaimana terlihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Formulasi Sederhana Penilaian Kondisi Awal Kawasan Konservasi
PrinsipJumlah
Indikator
Skor
Tertinggi
Skor
Terendah
Kriteria PenilaianInterval Predikat
Kemantapan kawasan 19 57 19
44,3 – 57,0 Baik
31,7 – 44,3 Sedang
19,0 – 31,7 Kurang
Kemantapan kawasan 17 51 17
39,7 – 51,0 Baik
28,3 – 39,7 Sedang
17,0 – 28,3 Kurang
Kelestarian fungsi ekonomi 11 33 11
25,7 – 33,0 Baik
18,3 – 25,7 Sedang
11,0 – 18,3 Kurang
Kelestarian fungsi sosial budaya* 11 33 11
25,7 – 33,0 Baik
18,3 – 25,7 Sedang
11,0 – 18,3 Baik
* Keterangan: terdapat beberapa indikator tidak bisa diterapkan pada Cagar Alam
Jika ditetapkan interval jumlah skor secara sederhana, misalnya 0 – 39 disebut buruk, 40 – 80 disebut sedang, dan 81 – 122 disebut baik, maka gambaran kinerja pengelolaan setiap kawasan konservasi sesuai bisnis proses yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya akan terlihat.
3.2. Kondisi Kemantapan Kawasan
Pada prinsip kemantapan kawasan terdapat 1 kriteria, yaitu pengakuan kawasan. Kondisi ke-mantapan kawasan setiap kawasan konservasi pada wilayah kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat
46
berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan memiliki skor rata-rata 36,4 dengan pre-dikat “Sedang” dengan komposisi sebanyak 14 kawasan konservasi dalam status kemantapan kawasan yang baik, 22 sedang, dan 14 kurang baik. Rincian hasil penilaian untuk setiap kawasan konservasi berdasarkan indicator-indikator tersebut diperlihatkan pada Tabel 3.2 sebagai berikut:
Tabel 3.2. Kondisi Kemantapan Kawasan Pada Setiap Kawasan Konservasi
47
3.3. Kondisi Kelestarian Fungsi Ekologi
Pada prinsip kelestarian fungsi ekologi terdapat 1 kriteria, yaitu kelestarian fungsi ekosistem ka-wasan. Kondisi kelestarian fungsi ekosistem setiap kawasan konservasi pada wilayah kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan memiliki skor ra-ta-rata 27,46 dengan predikat “kurang baik”, dengan komposisi tidak kawasan konservasi dalam status kelestarian fungsi ekologi yang baik, 23 sedang, dan 27 kurang baik. Rincian hasil penilaian untuk setiap kawasan konservasi berdasarkan indikator-indikator tersebut diperlihatkan pada Tabel 3.3.
48
Tabel 3.3. Kondisi kelestarian fungsi ekologi pada setiap kawasan konservasi
49
3.4. Kondisi Kelestarian Fungsi Ekonomi
Pada prinsip kelestarian fungsi ekonomi kawasan terdapat 1 kriteria, yaitu terjaminnya man-faat ekonomi kawasan untuk masyarakat dan pembangunan wilayah. Kondisi kelestarian fungsi ekonomi setiap kawasan konservasi pada wilayah kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan memiliki skor rata-rata 18,4 dengan predikat “Sedang”, dengan komposisi sebanyak 5 kawasan konservasi dalam status kelestaran fungsi ekonomi yang baik, 19 sedang, dan 26 kurang baik . Rincian hasil penilaian untuk setiap kawasan konservasi berdasarkan indikator-indikator tersebut diperlihatkan pada Tabel 3.4.
50
Tabel 3.4. Kondisi Kelestarian Fungsi Ekonomi Setiap Kawasan Konservasi
51
3.5. Kondisi Kelestarian Fungsi Sosial Budaya
Pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya terdapat 1 kriteria, yaitu hubungan harmonis den-gan kehidupan sosial dan budaya masyarakat asli. Kondisi kelestarian fungsi sosial budaya seti-ap kawasan konservasi pada wilayah kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan memiliki skor rata-rata 20,24 dengan predikat “Sedang, dengan komposisi sebanyak 4 kawasan konservasi dalam status kelestaran fungsi sosial budaya yang baik, 31 sedang, dan 15 kurang baik. Rincian hasil penilaian untuk setiap kawasan konservasi berdasarkan indikator-indikator tersebut diperlihatkan pada Tabel 3.5.
52
Tabel 3.5. Kondisi Kelestarian Fungsi Sosial Budaya Setiap Kawasan Konservasi
53
IV. Arah, Sasaran dan Prioritas 2017 – 2019
“Pengelolaan kawasan konservasi
sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut
adalah upaya sistematis yang dilakukan untuk
mengelola kawasan melalui kegiatan
perencanaan, perlindungan, pengawetan,
pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian.“
Dokumentasi Balai Besar KSDA Jabar
54
4.1. Arah Pengelolaan
Prinsip-prinsip pengelolaan kawasan konservasi diatur dalam ketentuan Undang-Undang No-mor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peratur-an Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pengelolaan kawasan konservasi sebagaimana diatur dalam ketentuan terse-but adalah upaya sistematis yang dilakukan untuk mengelola kawasan melalui kegiatan perenca-naan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian. Kawasan kon-servasi merupakan bagian dari kawasan hutan. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut dapat dilihat prinsip pengelolaan pada setiap fungsi kawasan konservasi. Sebagai gambaran mengenai posisi setiap fungsi kawasan konservasi dalam sistem peruntukan kawasan hutan dapat dilihat dari tingkat intervensi manusia dan tingkat keaslian yang dipertahankan. Penunjukan suatu ka-wasan konservasi tentunya memiliki tujuan spesiik yang berbeda antara satu dengan lainnya.. Kekhasan kegiatan pengelolaan setiap kawasan tergantung pada tujuan spesiiknya yang tercan-tum dalam setiap surat keputusan penunjukannya.
Gambar 4.1. Gradasi Fungsi Hutan Berdasarkan Kondisi Alamiah yang Dipertahankan dan Tingkat Intervensi Manusia
Penunjukan suatu kawasan konservasi tentunya memiliki tujuan spesiik yang berbeda antara satu dengan lainnya, biasanya tercantum dalam setiap surat keputusan penunjukannya. Perbe-daan tujuan ini yang akan menjadi ciri khas kegiatan pengelolaan pada setiap kawasan
55
4.2. Sasaran Pengelolaan 2017-2019
Sasaran Balai Besar KSDA Jawa Barat merupakan indikator kinerja dalam pencapaian tujuan pen-gelolaan setiap kawasan konservasi yang telah ditetapkan. Sasaran yang ingin dicapai dalam periode 2017-2019 adalah:
1. Peningkatan predikat kemantapan kawasan setiap kawasan konservasi sebanyak 1 (satu) tingkat (kurang baik menjadi sedang dan sedang menjadi baik);
2. Peningkatan predikat kelestarian ekologi kawasan setiap kawasan konservasi sebanyak 1 (satu) tingkat (kurang baik menjadi sedang dan sedang menjadi baik);
3. Peningkatan predikat kelestarian ekonomi kawasan setiap kawasan konservasi sebanyak 1 (satu) tingkat (buruk menjadi sedang dan sedang menjadi baik);
4. Peningkatan predikat kelestarian fungsi sosial budaya kawasan setiap kawasan konservasi sebanyak 1 (satu) tingkat (buruk menjadi sedang dan sedang menjadi baik);
4.3. Target Kinerja Pengelolaan 2017 – 2019
Hasil penilaian secara keseluruhan diperoleh nilai kinerja sebesar 88,38, sehingga predikat pen-gelolaan kawasan konservasi pada Balai Besar KSDA Jawa Barat secara umum dalam kategori “Kurang Baik”. Target kinerja rasional untuk periode 2017-2019 diproyeksikan mencapai pre-dikat “Sedang” dengan nilai kinerja minimal sebesar 96,70. Jika dilihat dari proporsi nilai kinerja pada setiap dimensi maka dapat ditetapkan target kinerja untuk setiap aspeknya sebagaimana ditunjukan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Baseline Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi BBKSDA Jabar 2019
No Prinsip Pengelolaan LestariKondisi Saat Ini Target Kinerja 2019
Skor Predikat Skor Predikat
1 Kemantapan Kawasan 36,40 Sedang > 44,30 Baik
2 Kelestarian Fungsi Ekologi 27,46 Kurang > 44,70 Sedang
3 Kelestarian Fungsi Ekonomi 18,40 Sedang > 25,70 Baik
4Kelestarian Fungsi Sosial Budaya
20,24 Sedang > 25,70 Baik
Penyusunan setiap rencana kerja konservasi in-situ pada Balai Besar KSDA Jawa Barat dapat merujuk pada hasil penilaian tersebut di atas. Indikatif rencana kerja selama periode 2017-2019 diperlihatkan pada Tabel 4.2.
56
SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA BASELINE//
TARGET
SATUAN TAHUN PENANGGUNG
JAWAB 2017 2018 2019
Pembangunan
Jaringan Kerja
Tergalangnya dukungan dan terjalinnya kerjasama dan
kolaborasi pengamanan kawasan konservasi
44 Unit 10 10 24
Promosi dan
Pemasaran
--
Teknologi Tersedianya alat dan bahan kerja lapangan yang terhubung
dengan Sistem Informasi berbasis GIS di Seksi/Bidang/Balai
untuk pematauan kondisi kawasan secara berkala
50 Unit 10 10 30
Keuangan Kecukupan alokasi anggaran untuk mempertahankan/
mencapai kemantapan kawasan
44 Unit 10 10 24
Peningkatan
predikat
kelestarian ekologi
kawasan setiap
kawasan
konservasi
sebanyak 1 (satu)
tingkat (buruk
menjadi sedang
dan sedang
menjadi baik
Manajemen Kawasan
Perencanaan Tersedianya data dan informasi lengkap, akurat dan terkini
mengenai kondisi SDA dan aspek ekologisnya
35 Unit 10 10 16
Rencana pengelolaan telah mencantumkan program dan
kegiatan pengelolaan SDA termasuk perlindungan, pengawetan
dan pemanfaatan lestari SDA sesuai fungsi kawasan, tujuan
dan blok pengelolaan yang telah ditetapkan
42 Dokumen 8 15 19
Pengamanan Terkendalikannya gangguan-gangguan terhadap SDA di dalam
kawasan
46 Unit 10 10 26
Terkendalikannya pemanfaatan SDA di dalam kawasan 46 Unit 10 10 26
Manajemen Sumberdaya Alam
Perlindungan Blok perlindungan terkelola efektif dalam menjamin
terpeliharanya proses-proses ekologis secara alamiah
37 Unit 10 10 17
Pengawetan Terpantaunya kondisi habitat dan populasi jenis flora dan fauna
penting kawasan
48 Unit 10 10 28
Terpeliharanya ekosistem unik, habitat dan populasi jenis flora
dan fauna penting kawasan
47 Unit 10 10 27
Terpulihkannya ekosistem unik, habitat dan populasi jenis flora
dan fauna penting kawasan yang terdegradasi
40 Unit 4 10 26
Berkembangnya kegiatan penelitian dan pengembangan
mengenai potensi, karakteristik dan kemanfaatan SDA di dalam
kawasan
47 Unit 10 10 27
Pemanfaatan Tersedianya model-model pemanfaatan lestari SDA sesuai
fungsi kawasan, tujuan dan blok pengelolaan
50 Unit 10 10 30
Manajemen Kelembagaan
Penataan Tersedianya standar oprasional kegiatan perlindungan dan 50 Unit 10 10 30
Tabel 4.2. Rencana Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Balai Besar KSDA Jawa Barat 2017 – 2019
57
SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA BASELINE//
TARGET
SATUAN TAHUN PENANGGUNG
JAWAB 2017 2018 2019
Pembangunan
Jaringan Kerja
Tergalangnya dukungan dan terjalinnya kerjasama dan
kolaborasi pengamanan kawasan konservasi
44 Unit 10 10 24
Promosi dan
Pemasaran
--
Teknologi Tersedianya alat dan bahan kerja lapangan yang terhubung
dengan Sistem Informasi berbasis GIS di Seksi/Bidang/Balai
untuk pematauan kondisi kawasan secara berkala
50 Unit 10 10 30
Keuangan Kecukupan alokasi anggaran untuk mempertahankan/
mencapai kemantapan kawasan
44 Unit 10 10 24
Peningkatan
predikat
kelestarian ekologi
kawasan setiap
kawasan
konservasi
sebanyak 1 (satu)
tingkat (buruk
menjadi sedang
dan sedang
menjadi baik
Manajemen Kawasan
Perencanaan Tersedianya data dan informasi lengkap, akurat dan terkini
mengenai kondisi SDA dan aspek ekologisnya
35 Unit 10 10 16
Rencana pengelolaan telah mencantumkan program dan
kegiatan pengelolaan SDA termasuk perlindungan, pengawetan
dan pemanfaatan lestari SDA sesuai fungsi kawasan, tujuan
dan blok pengelolaan yang telah ditetapkan
42 Dokumen 8 15 19
Pengamanan Terkendalikannya gangguan-gangguan terhadap SDA di dalam
kawasan
46 Unit 10 10 26
Terkendalikannya pemanfaatan SDA di dalam kawasan 46 Unit 10 10 26
Manajemen Sumberdaya Alam
Perlindungan Blok perlindungan terkelola efektif dalam menjamin
terpeliharanya proses-proses ekologis secara alamiah
37 Unit 10 10 17
Pengawetan Terpantaunya kondisi habitat dan populasi jenis flora dan fauna
penting kawasan
48 Unit 10 10 28
Terpeliharanya ekosistem unik, habitat dan populasi jenis flora
dan fauna penting kawasan
47 Unit 10 10 27
Terpulihkannya ekosistem unik, habitat dan populasi jenis flora
dan fauna penting kawasan yang terdegradasi
40 Unit 4 10 26
Berkembangnya kegiatan penelitian dan pengembangan
mengenai potensi, karakteristik dan kemanfaatan SDA di dalam
kawasan
47 Unit 10 10 27
Pemanfaatan Tersedianya model-model pemanfaatan lestari SDA sesuai
fungsi kawasan, tujuan dan blok pengelolaan
50 Unit 10 10 30
Manajemen Kelembagaan
Penataan Tersedianya standar oprasional kegiatan perlindungan dan 50 Unit 10 10 30
58
SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA BASELINE//
TARGET
SATUAN TAHUN PENANGGUNG
JAWAB 2017 2018 2019
Organisasi pengawetan
SDM Adanya staf lapangan yang memiliki kompetensi dalam bidang
perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan sesuai kebutuhan
spesifik lapangan
50 Unit 10 10 30
Jaringan Kerja Terjalinnya kerja sama dan/atau kolaborasi dengan masyarakat
dan berbagai pihak dalam perlindungan dan pengawetan
45 Unit 10 10 25
Promosi dan
Pemasaran
Tersedianya paket-paket informasi sebagai material untuk
kampanye/penyuluhan penyadartahuan dan promosi
49 Unit 10 10 29
Teknologi Tersedianya alat dan bahan kerja lapangan yang merupakan
bagian dari Sistem Informasi Ekosistem (SIE) yang terhubung
antara resor (tapak)-seksi/bidang-balai
50 Unit 10 10 30
Keuangan Optimalisasi penerimaan dari kegiatan pemanfaatan lestari
SDA yang sesuai fungsi dan tujuan pengelolaan kawasan
43 Unit 10 10 23
Kecukupan alokasi anggaran untuk mempertahankan
/mencapai kelestarian fungsi ekosistem, populasi jenis flora dan
fauna penting
50 Unit 10 10 30
Peningkatan
predikat
kelestarian
ekonomi
kawasan setiap
kawasan
konservasi
sebanyak 1
(satu) tingkat
(buruk menjadi
sedang dan
sedang menjadi
baik)
Manajemen Kawasan
Pengukuhan ---
Perencanaan Tersedianya data dan informasi lengkap mengenai nilai
ekonomi berbagai produk jasa lingkungan kawasan konservasi
untuk masyarakat dan pembangunan wilayah
49 Unit 10 10 29
Terbentuknya blok yang menyediakan akses pemanfaatan SDA
bagi masyarakat dan pembangunan wilayah
37 Unit 10 10 17
Rencana pengelolaan memasukkan rencana kegiatan
pemanfaatan berbasis jasa lingkungan untuk mendukung
ekonomi masyarakat dan pembangunan wilayah
42 Unit 10 10 22
Rencana Pembinaan Daerah Penyangga disusun dan
ditetapkan bersama antara pengelola kawasan konservasi
dengan pemerintah daerah dan pengelola/pemangku lahan
lainnya.
50 Unit 10 10 30
Pengamanan Terkendalikannya konflik penggunaan lahan di dalam kawasan
konservasi untuk kegiatan pembangunan wilayah
23 Unit 5 5 13
Terbangunnya insentif bagi masyarakat yang secara
mandiri/swadaya melakukan pengamanan kawasan
50 Unit 10 10 30
Manajemen Sumber Daya Alam
59
SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA BASELINE//
TARGET
SATUAN TAHUN PENANGGUNG
JAWAB 2017 2018 2019
Perlindungan Terpeliharanya daya dukung ekologis dari kawasan konservasi
terhadap kegiatan ekonomi masyarakat dan wilayah di sekitar
kawasan konservasi
19 Unit 5 5 9
Pengawetan Terbangunnya insentif bagi masyarakat yang secara
mandiri/swadaya melakukan pelestarian SDA (termasuk
pemulihan ekosistem) di dalam kawasan konservasi
50 Unit 10 10 30
Pemanfaatan Terlaksananya kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat di
daerah penyangga kawasan konservasi bersama pemerintah
daerah
32 Unit 10 10 12
Manajemen Kelembagaan
Penataan
organisasi
--
SDM --
Jaringan Kerja Terjalinnya kerjasama/ kolaborasi antara pengelola dengan
Pemda dan swasta yang menjadi aktor kegiatan ekonomi
wilayah untuk mendukung kegiatan pengelolaan
44 Unit 10 10 24
Teknologi ---
Keuangan Kecukupan alokasi anggaran untuk mempertahankan
/mencapai kelestarian fungsi ekonomi kawasan
50 Unit 10 10 30
Peningkatan
predikat
kelestarian
fungsi sosial
budaya kawasan
setiap kawasan
konservasi
sebanyak 1
(satu) tingkat
(buruk menjadi
sedang dan
sedang menjadi
baik).
Manajemen Kawasan
Pengukuhan ---
Perencanaan Tersedianya data dan informasi lengkap, akurat dan terkini
mengenai aspek sosial dan budaya kawasan konservasi,
termasuk pemanfaatan tradisional masyarakat
48 Unit 10 10 28
Blok pengelolaan mengakomodasi akses masyarakat untuk
melakukan kegiatan ritual/budaya dan pemanfaatan tradisional
37 Unit 10 10 17
Tersusunnya rencana pengelolaan yang melibatkan,
mengakomodasi dan didukung masyarakat asli-setempat
42 Unit 10 10 22
Pengamanan Terkendalikannya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan
budaya/ritual masyarakat dan pemanfaatan trasional
24 Unit 5 5 14
Terbangunnya keterlibatan dan kapasitas masyarakat
asli/setempat dalam pengamanan kawasan
44 Unit 10 10 24
Manajemen Sumberdaya Alam
Perlindungan Terbangunnya/terpeliharanya pranata sosial/budaya
lokal/kearifan lokal yang mendukung perlindungan dan
46 Unit 10 10 26
60
SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA BASELINE//
TARGET
SATUAN TAHUN PENANGGUNG
JAWAB 2017 2018 2019
pelestarian SDA di kawasan konservasi
Pengwaetan ---
Pemanfaatan Terkendalikannya kegiatan pemanfaatan SDA secara tradsional
berbasis budaya/ kearifan lokal
50 Unit 10 10 30
Manajemen Kelembagaan
Penataan
organisasi
Tersedianya standar oprasional prosedur penanganan aspek
sosial budaya dan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat
50 Unit 10 10 30
SDM Adanya staf lapangan yang memiliki komptensi memadai dalam
bidang sosial budaya dan intensif melakukan
pendampingan/interaksi dengan masyarakat adat/lokal
50 Unit 10 10 30
Jaringan Kerja Terjalinnya kemitraan konservasi dengan masyarakat asli/lokal
yang efektif mendukung tujuan pengelolaan
43 Unit 10 10 23
Keuangan Pelaksanaan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan
penanganan masalah sosial budaya dan pemanfaatan SDA
secara tradisional oleh masyarakat harus didukung oleh
anggaran yang memadai
50 Unit 10 10 30
61
V. Inovasi Pendekatan dan Teknologi
“Pengelola kawasan konservasi di tingkat unit
pelaksana teknis dituntut untuk melakukan
terobosan-terobosan yang adaptif, mendahului
munculnya dasar-dasar normatifnya”.
Dokumentasi Balai Besar KSDA Jabar
62
Tantangan pengelolaan kawasan akan semakin berat seiring dengan terus meningkatnya dinami-ka sosial, ekonomi dan politik yang berpengaruh terhadap perubahan pola-pola penggunaan la-han. Realitas perubahan sosial, ekonomi dan politik yang terus bergerak cepat dan harus mampu diimbangi dengan kecepatan dalam memperkuat pengelolaan kawasan konservasi baik dari sisi intrumen maupun infrastruktur kelembagaannya. Merujuk pada tantangan nyata yang dihadapa-inya maka penguatan pengelolaan kawasan konservasi akan sulit terjadi jika hanya mengandal-kan pendekatan-pendekatan teknoratik-normatif. Pengelola kawasan konservasi di tingkat unit pelaksana teknis dituntut untuk melakukan terobosan-terobosan yang adaptif, kadangkala harus mendahului munculnya dasar-dasar normatifnya. Akibatnya, beberapa bentuk terobosan tidak jarang yang beresiko salah dan “divonis” sebagai temuan yang akan menodai proil integritasn-ya, walaupun dalam beberapa kasus pada akhirnya dipandang layak secara administratif. Bagian ini akan menyajikan konseptualisasi dari beberapa konsep yang dianggap sebagai ben-tuk terobosan berbasis pengalaman yang ditunjang dengan dasar-dasar pemikirannya, baik yang bersumber dari teori-teori pakar maupun kebijakan-kebijakan baru di sektor kehutanan. Kon-septualisasi ini diharapkan bisa menjadi “amunisi” bagi para pekerja konservasi – khususnya lingkup Balai Besar KSDA Jabar – dalam mengarahkan perubahan menjadi lebih positif. Peruba-han positif pada kawasan konservasi sebagai “tapak kinerja” sudah pasti harus didahului oleh perubahan positif dalam proses kerja pada internal organisasi pengelolaan kawasan konservasi.
5.1. Perspektif Lanskap dan Kolaborasi
Perspektif lanskap dalam pengelolaan kawasan konservasi dapat didekati dengan menempatkan kawasan konservasi sebagai bagian dari bentang alam yang lebih luas, dimana terdapat beragam penggunaan lahan dan pemangku atau pengelolanya. Posisi kawasan konservasi dalam suatu bentang alam cukup beragam. Suatu kawasan konservasi idealnya berbatasan atau dikelilingi oleh kawasan hutan dengan fungsi lain, baik hutan produksi maupun lindung. Namun, pada kenyataannya banyak kawasan konservasi yang sebagian batas kawasannya bersinggungan langsung dengan lahan-lahan yang dikelola atau dimiliki oleh masyarakat, bahkan ada kawasan konservasi yang seluruh batas luarnya dikelilingi oleh lahan-lahan milik yang dikelola secara in-tensif oleh masyarakat. Dalam kondisi demikian maka pendekatan keterpaduan menjadi kaharu-san. Kerja konservasi adalah kerja kolektif-kolegial, lintas kementerian, lintas disiplin keilmuan. Keberhasilan kerja konservasi ditentukan oleh seberapa efektif kerja-kerja multipihak dapat dikawal, baik dengan civil society, bersama birokrat di provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, in-stitusi keagamaan, institusi adat, kampung, dusun, desa, marga, gampong, local leader baik for-mal maupun informal, pelaku-pelaku usaha di berbagai bidang. Masyarakat sekitar hutan sudah selayaknya diposisikan sebagai bagian dari solusi kelola kawasan konservasi, mereka selayaknya diperlakukan sebagai subyek. Pendekatan lanskap yang lebih kongkrit dapat diaktualisasikan dalam pengembangan daerah penyangga yang memposisikan kawasan konservasi sebagai “core area” dalam tataran bentang alam yang lebih luas8.
Dalam perspektif lanskap ini maka kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi akan menjadi keharusan (Wiratno, 2014). Wiratno berdasarkan pengalamannya, mengamati berbagai upaya di berbagai tempat, dan merujuk pendapat beberapa pakar menyimpulkan karakteristik sumberdaya hutan yang menjadi dasar bagi kolaborasi, diantaranya: 1) Irriversibel atau lulit dip-ulihkan kembali seperti kondisi semula; 2) Beneit beyond boundary atau manfaat lintas batas; 3) 8 Wiratno. 2016. Pengelolaan Bentang Alam Kolaboratif: “Perspektif Perhutanan Sosial”. http://konservasiwiratno.blogspot.co.id/2016/
63
Common Pool Resource yang sulit dikelola secara ekslusif untuk mencapai kondisi yang lestari; 4) Long-term Goals atau tujuan jangka panjang dan lintas generasi; dan 5) Multipurpose beneits atau beragam manfaat. Dengan karakteristik tersebut maka kolaborasi kawasan konservasi da-lam perspektif lanskap merupakan suatu keharusan, karena pemerintah, pemegang izin (swas-ta), pengelola, LSM dan masyarakat tidak mampu melakukan pengelolaan secara soliter. Pelak-sanaan kolaborasi kawasan konservasi menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal. Berdasarkan pengalaman juga bahwa kemampuan “leadership” menjadi faktor kunci dalam mengawal proses kolaborasi multipihak, multisektor, dan multidisipliner. Namun demiki-an, Wiratno menekankan bahwa kolaborasi adalah kendaraan (means) bukan tujuan (ends), seh-ingga kolaborasi harus tetap berada pada jalurnya agar dapt mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Untuk itu diperlukan keberanian melakukan ujicoba skala kecil, dengan melakukan inovasi, diskresi kebijakan, pengawalan proses, pembelajaran bersama, dan dokumentasi proses pembelajaran9.
5.2. Pemberdayan Masyarakat
Penggunaan skema-skema masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi semakin mene-mukan urgensinya seiring dengan semakin maraknya permasalahan sosial di kawasan konser-vasi. Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk menjawab tantangan sosial ini adalah den-gan memperbaiki visi pemberdayaan masyarakat. Mengadapsi pendapat Wiratno (2014) bahwa visi untuk pemberdayaan masyarakat sebaiknya memposisikan masyarakat sebagai bagian dari solusi kelola kawasan konservasi. Sebaiknya visi dibangun berdasarkan suatu kesadaran dan pemahaman bersama bahwa masyarakat adalah “subyek” bukan “obyek”. Oleh karenanya, mas-yarakat harus dilibatan sejak dari perencanaan, bahkan dimulai dari identiikasi masalah-mas-alah yang menjadi bahan untuk perencanaan. Sebagai subyek, maka masyarakat menjadi bagian dari solusi berbagai permasalahan dengan cara menjadikannya sebagai salah satu pihak yang aktif menyelesaikan permasalahan10.
Pemberdayan masyarakat dimanapun selalu mengarah pada kemandirian masyarakat secara kolektif. Namun proses pemberdayaan biasanya dimulai dengan penemuan atau pembentukan “local champion”, yaitu individu yang menjadi tokoh penggerak, memiliki semangat, kepelopo-ran dan etos kerja yang tinggi dalam menciptakan perubahan-perubahan positif, yang akhirnya meluas dalam lingkup komunitas, bahkan lintas komunitas. Seorang tokoh penggerak di dalam komunitas briokrasi akan berorientasi pada misi (mission oriented) dari pada sekedar menggu-gurkan kewajiban tugas dn fungsinya. Seorang tokok penggerak dari kalangan masyarakat akan berorientasi pada kepentingan umum dan jangka panjang komunitasnya daripada kepentingan pribadi dan jangka pendek. Seorang tokoh pengggerak dari kalangan LSM akan selalu meng-gunakan proyek sebagai alat perubahan daripada hanya sebagai ladang pekerjaannya. Pember-dayaan masyarakat yang digerakkan oleh jaraingan local champion hasilnya akan jauh berguna dan bermakna, hal sebaliknya akan terjadi jika pemberdayaan masyarakat terjebak dalam pusa-ran “mental keproyekan”.
9 Wiratno. 2016. Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Alam Sebagai Alternatif Pencegahan dan Resolusi Konlik. http://konservasiwiratno.blogspot.co.id/2016/09/pengelolaan-kolaboratif-sumberdaya-alam.html
10 Wiratno. 2014. Pengelolaan KPHK melalui Pendekatan Terpadu Lanskap dan Multipihak. http://konservasiwiratno.blogspot.co.id/2014/09/pembangu-nan-kphk-melalui-pendekatan.html
64
Dalam pengelolaan kawasan konservasi setidaknya ada beberapa bentuk aktivitas yang di-payungi dengan program pemberdayaan masyarakat, diantaranya dalam bentuk: masyarakat mitra polhut, masyarakat peduli api, bantuan modal usaha, desa konservasi, dan lain-lain. Ham-pir sulit menemukan contoh terbaik dari hasil-hasil pemberdayaan masyarakat tersebut, karena seluruhnya dikelola melalui sistem keproyekan. Ke depan, pengelola kawasan konservasi sebai-knya membentuk local champion di setiap desa yang berbatasan atau bertampalan dengan atau malah di dalam (enclave) kawasan konservasi, mereka nantinya diiposisikan sebagai penggerak konservasi di lingkungan masyarakatnya sendiri. Namun, ini hanya bisa terwujud jika didahului dengan adanya champion di dalam tubuh organisasi pengelola kawasan konservasi itu sendiri. 5.3. Integrasi Konservasi dalam Pembangunan Desa
Pengelolaan daerah penyangga dan pemberdayaan masyarakat untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi semakin mendapatkan tempat dalam politik dan instrumen makro pemban-gunan. Agenda strategis ke-3 dalam Nawa Cita pemerintahan Presiden Joko Widodo menyebut-kan: “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Arahan ini mencerminkan konsep village centered development. Da-lam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa juga menegaskan bahwa pembangunan desa mengacu kepada rencana pembangunan desa sebagai satu-satunya dokumen perencanaan di desa11. Ini artinya pelaksanaan program-program sektoral yang masuk ke desa semestinya diinformasikan kepada pemerintah desa untuk diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Desa, tidak terkecuali program-program kehutanan dan konservasi. Lebih jauh, undang-undang tersebut memberikan arahan mengenai pemanfaatan wilayah desa yang harus merujuk pada tata ruang kabupaten12. Arahan ini juga memberikan penguatan terhadap keberadaan kawasan konservasi karena tata ruang kabupaten dapat ditetapkan setelah berksesuaian dengan kawasan hutan dan fungsinya.
Desa-desa yang memiliki pengaruh terhadap kawasan konservasi perlu diidentiikasi dan ditetap-kan sebagai bagian dari daerah penyangga kawasan konservasi. Selanjutnya, pemerintah selay-aknya memberikan arahan khusus untuk memberikan muatan konservasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Sistem insentif dan disinsentif mungkin harus dibangun untuk merangsang semangat pemerintah desa dalam mengintegrasikan konservasi dalam rencana dan pelaksanaan pembangunan desa. Para staf atau petugas konservasi dapat berfungsi sebagai mi-tra pembina bagi desa dalam pengintegrasian program-program konservasi yang sesuai dengan kondisi sosio-kultur setempat ke dalam rencana pembangunan desa. Fungsi ini identik dengan peran “Petugas PPA” di masa lalu atau bahkan peran Bintara Pembina Desa (Babinsa) atau Polisi Mitra Masyarakat yang dikembangkan oleh TNI dan POLRI saat ini. Setiap satu orang petu-gas (bisa polhut atau penyuluh), bertanggung jawab melakukan pembinaan terhadap satu atau dua desa secara intensif, menjadikan kantor desa sebagai pusat kegiatan pelayanannya, selalu berkoordinasi dengan kepala desa dan perangkatnya, petugas Babinsa, Polisi Mitra Masyarakat, Penyuluh Pertanian yang bekerja di lapangan, petugas kesehatan yang bekerja di tengah-tengah masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, dan lain-lain. Dengan demikian, kerja konsevasi di lapa-ngan akan dipandang sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat, daripada sebagai “pem-batasan” yang selalu dihindari oleh masyarakat13. Di sisi lain, konsep ini akan mendorong efek-tivitas dan eisiensi penggunaan SDM pengelola kawasan konservasi. 11 Undang-Undang No.6 Tahun 2014, Pasal 79 Nomor ((4).12 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Pasal 83 Nomor (3).13 Fungsi pelayanan dalam organisasi konservasi selama ini terkesan sebagai pelayanan ijin untuk investor swasta, bukan sebagai pelayanan kepada
masyarakat, apalagi masyarakat sekitar kawasan.
65
5.4. Pengelolaan Berbasis Resor
Resor adalah wilayah kerja terkecil sekaligus organisasi terbawah yang menjadi ujung tombak kegiatan pengelolaan di tingkat tapak. Pengelolaan berbasis resor atau popular dengan resor based management (RBM) pada dasarnya adalah mengintesifkan kegiatan pengelolaan di tingkat tapak. Usulan mengenai RBM dilatari oleh fenomena “ketidakhadiran” petugas resor di lapan-gan yang menjadikan kawasan konservsi terkesan sebagai lahan tidak bertuan dan open access. Akibatnya, kemananan kawasan konservasi menjadi terancam akibat perambahan dan klaim pi-hak lain, kemudian gangguan terhadap sumber daya alam (illegal logging, perburuan liar, pem-bakaran hutan, dll) menjadi tidak terkendalikan. Gangguan terhadap kawasan dan sumber daya alam pada umumnya tidak sekaligus besar, tetapi dimulai dengan gangguan-gangguan kecil yang terus meningkat hingga akhirnya menjadi besar dan sulit ditangani. Kondisi tersebut terja-di karena gangguan tidak diketahui atau diketahui tetapi dibiarkan. Keduanya mencirikan keti-dakberdayaan resor baik dilihat dari sisi kualitas dan kuantitas SDM-nya maupun integristasnya. Fenomena ketidakberdayaan resor seperti dikemukakan di atas ternyata tidak terlalu sederhana. Sumber masalahnya bukan saja di tingkat resor itu sendiri tetapi menyangkut penataan kelem-bagaan konservasi yang tidak pro lapangan, aspek governance yang belum baik, leadership yang lemah, dan kapasitas atau kompetensi yang rendah. Pendekatan RBM secara sistemik berarti memperbaiki instrumen-instrumen yang terkait dengan ketiga aspek tersebut, namun cara ini cenderung lama sementara permasalahan di kawasan terus terjadi tanpa bisa menunggu lahirn-ya peraturan-peraturan yang pro RBM. Akhirnya, nasib kawasan menjadi tergantung pada ke-beradaan champion setingkat kepala balai. Beberapa kawasan konservasi yang dikelola dengan dengan leadership yang kuat terbukti mengalami perubahan positif, misalnya TN. Gugung Gede Pangrango pada masa kepemimpinan Wahjudi Wardojo, TN. Alas Purwo pada masa kepemi-mpinan Hartono, TN. Karimun Jawa pada masa kepemimpinan Gunung Nababan, BKSDA NTT pada masa kepemimpinan Wiratno, dan beberapa kawasan konservasi lain yang jumlahnya tidak banyak.
Walaupun leadership tidak terbantahkan dalam mendorong perbaikan – the singer not the song, tetapi RBM harus tetap dilembagakan agar perubahan-perubahan positif besifat by design, tidak terpengaruh rotasi jabatan, dan dapat dipahami secara utuh serta dipedomani oleh semua pen-gelola kawasan. Untuk kepentingan ini maka proiling resor yang menjadi sasaran RBM perlu dideinisikan. Jika konsep pengintegrasian konservasi dalam pembangunan desa dapat dipahami maka pembangunan RBM tidak perlu memperhitungkan penambahan SDM resor, cukup dengan meningkatkan kapsitasnya secara terarah. Tidak perlu memikirkan pembangunan kantor resor karena kantor desa dapat berfungsi sebagai kantor atau pos resor, kecuali untuk lokasi-lokasi ter-tentu yang perlu perlakuan khusus. Dengan demikian, investasi RBM terletak pada penguatan kapasitas SDM yang bekerja di tingkat tapak dan melengkapi peralatan kerjanya.
5.5. Sistem Informasi Informasi secara sederhana merupakan data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi yang menerimanya atau sesuatu yang nyata atau setengah nyata yang dapat mengurangi derajat ketidakpastian tentang suatu keadaan atau kejadian. Sistem informasi sangat penting dalam pengelolaan sehingga dikenal dengan istilah sistem informasi manajemen. SIM menyediakan informasi di masa lalu, sekarang, dan proyeksi masa depan guna meningkat-kan produktivitas yang sesuai dengan gaya dan sifat manajer. Sistem informasi mempunyai 3
66
unsur yaitu:1) Menerima data sebagai masukan (input); 2) Memproses data dengan melakukan perhitungan, penggabungan unsur data, pemutakhiran perkiraan dan lain-lain; 3) Memperoleh informasi sebagai keluaran (output). Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa sistem informasi memproses data dan kemudian mengubahnya menjadi informasi.
Struktur data dan informasi dalam sistem informasi kawasan konservasi merujuk pada prin-sip-prinsip pengelolaan kawasan konservasi sebagaimana dijelaskan pada bagian bisnis proses pengelolaan kawasan konservasi: 1) Manajemen Kawasan, 2) Manajemen SDA, 3) Manajemen Sosial Kawasan, dan 4) Manajemen Kelembagaan. Seluruh data dan informasi harus dapat dikla-siikasikan dalam empat dimensi manajemen tersebut.
Objek utama pengelolaan kawasan konservasi adalah ekosistem. Dalam konteks ini, maka input berupa data-data ekosistem kemudian diproses untuk menghasilkan informasi dan pengetahuan mengenai status ekosistem yang berguna untuk membuat keputusan dalam pengelolaan. Sistem informasi yang mencakup input-proses-output harus sejalan dengan tugas dan fungsi setiap unit kerja dan mencerminkan manajemen bisnis proses pengelolaan kawasan konservasi. Gambar 5.1 menujukan pembagian peran setiap unit kerja dalam sistem informasi yang akan dibangun oleh Balai Besar KSDA Jawa Barat. Jika salah satu unit kerja lemah maka akan berdampak pada man-degnya sistem. Oleh karenanya sistem informasi manajemen dapat diperankan sebagai salat satu alat untuk melakukan pengendalian bisnis proses pengelolaan kawasan konservasi, termasuk di dalamnya pembinanaan proses kerja, pengawasan, dan evaluasi.
Gambar 5.1. Pembagian peran setiap unit kerja dalam sistem informasi
67
5.6 Situation Room
Situation room kepala balai adalah ruang kendali operasi yang dikhususkan bagi kepala balai dan staff kuncinya. Situation room merupakan pusat kendali dalam menjalankan seluruh bisnis proses kawasan konservasi yang dilaksanakan di tingkat tapak, sekaligus untuk memfasilitasi pengambilan keputusan yang efektif didasarkan pada analisis interaktif dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara intensif.
Situation room memiliki tiga fungsi utama. Pertama, sebagai pusat kolaborasi untuk melakukan pengawasan dan pengendalian pengelolaan kawasan konservasi, utamanya dalam situasi kri-sis/khusus/mendesak, dimana kepala balai dapat berkomunikasi baik secara langsung, audio mapun video conference dengan staff di tingkat bidang pengelolaan wilayah, seksi konserva-si wilayah, dan resor. Kedua, situation room berperan sebagai salah satu fasilitas kepala balai melakukan pengambilan keputusan yang efektif berdasarkan data/informasi dari berbagai sum-ber baik internal maupun eksternal yang sudah tervalidasi dan terpercaya, sekaligus sebagai tem-pat melakukan koordinasi vertical dengan Direktur Jenderal bahkan Menteri. Ketiga, situation room sebagai fasilitas pusat data, informasi dan pengetahuan kepala balai dalam melaksanakan kebijakan pegelolaan kawasan konservasi.
68
VI. Penutup
“Tantangan pengelolaan kawasan konservasi
yang akan terus meningkat semakin berat,
harus diiringi dengan inovasi konsep kelola
dan peningkatan kinerja para rimbawan
konservasi. ”
Dokumentasi Balai Besar KSDA Jabar
69
Kawasan konservasi telah menjadi satu-satunya “maha taman” yang tersisa bagi para rimbawan. Kegagalan mengelola hutan produksi di satu sisi, dan keberhasilan mengamankan hampir 22 juta hektar daratan agar tetap berhutan sebagai kawasan konservasi merupakan dinamika rimbawan selama hampir setengah abad ini. Dalam kancah pembangunan nasional, sektor kehutanan yang menaungi kawasan konservasi terjun bebas dari sektor yang sangat diandalkan menjadi sektor yang dianggap rendah kontribusinya terhadap produk nasional bruto. Dinamika di daerah juga demikian, para kepala daerah lebih memilih sektor berbasis lahan lainnya (pertambangan dan perkebunan) untuk menggerakkan roda ekonomi daerah. Sementara tata nilai kehidupan mas-yarakat yang terus berjalan menuju masyarakat konsumtif dan pragmatis menambah berat beban para pengelola kawasan konservasi. Alhasil, kawasan konservasi kembali menjadi incaran untuk kepentingan-kepentingan tersebut.
Tantangan pengelolaan kawasan konservasi yang akan terus meningkat semakin berat, harus diiringi dengan inovasi konsep kelola dan peningkatan kinerja para rimbawan konservasi. Se-lama ini konservasi identik dengan pengamanan, bahkan “perlindungan hutan” yang dalam kaidah keilmuan sangat kental dengan disiplin ekologi, pada kenyataannya hanya dipahami se-bagai pengamanan hutan yang didominasi oleh pola pikir “polisional” dan “defensive”. Para rimbawan konservasi selalu menyebut “tiga pilar konservasi” sebagai core business pengelolaan kawasan – Perlindungan, Pengawetan dan Pemanfaatan atau dikenal 3P. Inovasi konsep kelola masih mengakar pada 3P, hanya investasi pengelolaan harus berubah dari yang sebelumnya di-fokuskan dan didominasi oleh perlindungan menjadi pengawetan. Instrumen untuk menghasil-kan inovasi dalam praktek pengelolaan kawasan konservasi bertumpu pada kinerja pengawetan. Aspek ini menjadi yang terlemah diantara “P” yang lain, padahal core of the core business KS-DAE sebenarnya terletak pada kerja-kerja pengwetan.
Buku Kerja Konservasi ini disusun melalui penilaian kondisi pengelolaan secara detail. Hampir seluruh kawasan konservasi di Balai Besar KSDA Jabar lemah dalam hal data dan informasi, potensi sumber daya alam di dalam kawasan dan nilainya tidak diketahui secara pasti, kondisi ekosistem yang sejatinya dinamis dan terus melakukan suksesi juga tidak terpantau apakah ber-jalan secara alamiah atau terganggu oleh faktor eksternal. Pada dasarnya, Buku Kerja Konserva-si bukan bermaksud mengungkap berbagai kelemahan, namun untuk memicu semangat untuk meningkatkan kinerja. Para rimbawan konservasi di Balai Besar KSDA Jawa Barat harus mulai “move on” dari “zona nyaman” yang jauh dari kawasan ke arah “zona perang” di kawasan.
Lahir di Kendal pada tanggal 21 Juni 1962. Menempuh pendidikan dasar sampai me-nengah atas di Kabupaten Kendal dilanjutkan ke bangku kuliah di Fakultas Kehutan-an Universitas Gadjah Mada pada tahun 1981, dilanjutkan dengan jenjang pasca sar-jana pada tahun 1997 di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Merintis karier di Departemen Kehutanan pada tahun 1990, sebagai staf pada Biro Kepegawaian Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan. Beberapa jabatan pernah diembannya antara lain sebagai Kepala Bagian Program dan Anggaran Sekditjen PHKA, Kepala Bidang Teknis KSDA pada BBKSDA Jawa Barat, Kepala Balai Taman Nasional Komodo dan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan
Barat. Saat ini menjabat sebagai Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat sejak bulan Januari 2017.
Beberapa pelatihan yang pernah diikuti antara lain Perencanaan Pembangunan Nasional LPEM FE-UI pada ta-hun 1992, Pelatihan Administrasi Umum (ADUM) pada tahun 1997, dan Pendidikan dan Pelatihan SPAMA pada tahun 1999.
Di sela-sela kesibukan pekerjaannya, beberapa buku yang pernah ditulisnya antara lain Studi Cemara Laut di Taman Nasional Komodo, Kajian Peranan Taman Nasional Komodo Dalam Perekonomian Kabupaten Mang-garai Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur, Pemenuhan Bahan Baku Patung Komodo dan Jejak Jejak Mandor - Catatan Kaki pada sebuah Repertoar. Buku Kerja Konservasi (Berdasarkan Hasil Pemetaan Kondisi Secara Detail di Seluruh Kawasan Konservasi Lingkup Wilayah Kerja Balai Besar KSDA Jawa Barat) ini adalah buku ke- 5 yang pernah dibuat.
Robi Royana . Lahir di Sumedang 3 Juni 1979. Menempuh pendidikan dasar sampai menengah pertama di Kabupaten Sumedang, dilanjutkan dengan Sekolah Menengah Atas di Bandung dan menempuh jenjang sarjana di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada pada tahun 1998.
Kerja professional dalam bidang kehutanan dengan spesialisasi konservasi sumber-daya alam. Pernah terlibat dalam Pokja RBM dan penanganan perambahan pada Di-rektorat KKBHL, penyusunan dokumen rencana, blok dan zona pengelolaan untuk beberapa kawasan konservasi. Pada tahun 2011 terlibat dalam penulisan Strategi Na-
sional REDD+ yang dikawal oleh BAPPENAS-Kementerian Kehutanan-UNDP, tahun 2012 terlibat dalam peny-usunan instrumen penilaian forestry governance index bersama UNDP, tahun 2012-2015 menjadi team leader dalam proyek Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation yang didanai GEF melalui ADB, sempat bekerja di WWF Indonesia pada tahun 2015-2016 sebagai sustainable land use coordinator. Saat ini sedang terlibat dalam proyek UNDP sebagai senior specialist untuk BRG Support Facility dan Enhancing the Protect-ed Area System in Sulawesi serta mendukung program pengelolaan lanskap kubu berkelanjutan yang dikelola WWF Indonesia Program Kalimantan Barat.
Pada tahun 2016 bersama dengan beberapa kolega menggagas Perkumpulan CLAN (Conservation and Legal Assistance Network) yang berkedudukan di Bogor. Buku yang pernah ditulis diantaranya adalah Pedoman Ke-lestarian Ekosistem Dalam Operasi Panas Bumi yang diterbitkan WWF Indonesia, Pedoman Penanganan Peram-bahan yang dieterbitkan Direktorat KKBHL, terlibat sebagai Tim Penulis Rencana Induk Konservasi 10 Lanskap di Sumatera dan Kalimantan yang digagas oleh APP.