Upload
nuriana-al-banjary
View
153
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Buku Malpraktek
Citation preview
TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
ILMUKEDOKTERAN KEHAKIMANFORENSIK
Nama : Rizqi Rifani 30 oktober 2010
NIM : I1A004052 Dosen pembimbing:
Dr. Iwan Aflanie Sp.F, M.Kes
BEDAH BUKU
Dokter Mal-praktek
Pengakuan Jujur Seorang Dokter atas Tuduhan Mal-praktek
Oleh Adik Kurniawan, S.Ked
Pandangan secara umum
Saat membaca keseluruhan isi buku, tulisan yang menggambarkan tentang
malpraktek sedikit sekali ditemukan. Buku ini lebih banyak berbicara tentang
pengalaman pribadi dokter Aldy yang menurut saya merupakan seorang dokter yang
“sangat sempurna” dengan segala kebaikan dan kecerdasannya. Sehingga dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa judul yang dipilih oleh pengarang tidak sinkron
dengan pemaparan isi buku.
Kekurangan lainnya adalah pengarang tampak sekali terlalu memaksakan
jalan cerita yang sebenarnya menurut saya sangat tidak mungkin terjadi, selain itu
pengarang juga tidak konsisten dalam mendeskripsikan setting cerita. Apakah jarak
sejauh 100 Km dari pelabuhan udara itu bisa dikatakan daerah terpencil? Dapatkah
ditoleransi adanya sinyal handphone di daerah pedalaman Kalimantan? Adakah
puskesmas berlantai dua lengkap dengan ruang rawat inap dan laboratorium
hematologi canggih dan bank darah di daerah pedalaman Kalimantan? Benarkah
jarak rumah dinas dr. Aldy yang ada di daerah pedalaman dengan rumah dinas milik
Bupati setempat dapat ditempuh hanya dengan perjalanan 90 menit? Nampak sekali
secara logika daerah yang ditempati dr. Aldy bukanlah daerah terpencil.
Pada halaman 4, disebutkan bahwa cerita ini merupakan suatu fiksi (tidak
nyata), sedangkan di sampul depan buku tertulis bahwa buku ini adalah pengakuan
jujur seorang dokter atas tuduhan malpraktek. Merasa penasaran dengan kontradiksi
ini dan berhubung pengarang mencantumkan nomor teleponnya, saya berinisiatif
mengirim sms pada pengarang tentang hal tersebut. Sms balasan dari pengarang
mengatakan bahwa cerita yang ditulis merupakan cerita nyata. Sangat mengejutkan
memang, terlebih jika melihat keganjilan-keganjilan cerita diatas. Namun jika pun
cerita yang ditulis benar-benar terjadi, hal ini tentu sangat disayangkan dan tentu
perlu menjadi perhatian dan pelajaran bagi kita semua. Wallahu a’lam.
BAB I. Perjalanan Jauh
Bagian ini menceritakan kisah seorang dokter umum yang baru lulus,
bernama Aldy yang ditugaskan di daerah pedalaman Kalimantan. Dokter ini
merupakan satu-satunya dokter yang bertugas di wilayah kerja puskesmas tersebut.
Hal-hal yang terasa agak janggal dan dari bagian ini adalah :
Ilustrasi fisik antara bangunan puskesmas dengan setting
pedalaman/hutan Kalimantan agak “kontras”, terlalu membingungkan bahwa di
desa pedalaman hutan ada bangunan puskesmas modern bertingkat 2 dengan
fasilitas rawat inap dan pemeriksaan penunjang yang cukup lengkap.
Sebuah rumah dinas dokter di pedalaman memiliki peralatan rumah
tangga yang bisa dikatakan sangat mewah untuk ukuran pedalaman seperti
kompor gas. Mengisi tabung gasnya dimana ya?
BAB II. Hari Pertama yang Mendebarkan
Bagian ini menceritakan pengalaman pertama dokter Aldy mengatasi pasien
status asmatikus. Hal yang mengganjal dari bagian ini adalah :
Pasien sesak tidak diberikan oksigen. Saat pasien sesak datang, dokter aldy tidak
langsung memberikan oksigen namun sibuk dengan pemeriksaan fisiknya untuk
mencari penyebab sesak. Penanganan awal yang seharusnya dilakukan pada
pasien saat pertama datang adalah pemberian oksigen 4-6 liter/menit untuk
sedikit memudahkan pasien bernafas. Apabila alasan yang timbul karena di
rumah tidak ada oksigen, mengapa pasien tidak segera di bawa ke puskesmas
yang lebih lengkap peralatannya dari rumah dinas? Seberapa jauhkah rumah
dinas dengan puskemas? Apakah dokter Aldy tidak takut pasiennya akan kejang-
kejang karena anoksia jaringan otak?
Instruksi Dokter Aldy agar pasien dalam posisi tiduran ketika dilakukan
pemeriksaan adalah kurang tepat mengingat posisi tersebut akan menambah
sesak nafas yang dialami oleh pasien.
Pasien sesak dengan riwayat alergi tanpa riwayat serangan asma
berulang, saat datang langsung didiagnosa status asmatikus dan bukannya
serangan asma akut serta diagnosa tersebut datang tanpa pemeriksaan holistik.
Bila pasien status asmatikus, penanganan pertama kali yang diberikan
adalah oksigen dengan nebulizer 1x menggunakan beta agonis dan antikolinergik
atau bila alat nebulisasi tidak ada dapat diganti dengan pemberian adrenalin
subkutan, sehingga pemberian aminopilin sebagai langkah awal penanganan
status asmatikus tidak tepat indikasi. Namun jika pasien tersebut mengalami
serangan asma akut, pemberian aminopilin akan menjadi tepat.
BAB III. Budi Baik Dokter Aldy
Bab ini menceritakan ketika dokter Aldy berhadapan dengan seorang pasien
yang tidak mempunyai uang. Dokter Aldy terlihat sebagai dokter yang baik hati dan
tidak hanya sekedar mengejar materiil. Beberapa hal yang ganjil, seperti:
Dokter Aldy mendiagnosis tifoid hanya melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Padahal diagnosis untuk demam tifoid adalah kultur empedu.
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan widal dimana pemeriksaan widal
adalah salah satu pemeriksaan penunjang standar yang dapat dilakukan di
Puskesmas. Padahal pada kelanjutan cerita ini pemeriksaan yang lain dapat
dilakukan di Puskesmas seperti pemeriksaan eosinofil.
Pasien rawat inap di Puskesmas selama 1 minggu. Siapa yang jaga malam
misalnya untuk mengganti cairan infus? Bahkan dalam cerita ini, pasien
mendapatkan makan dari Puskesmas. Maka dengan tenaga medis yang hanya 4
orang termasuk dokter Aldy, dapatkah hal ini terjadi?
BAB IV. Medis atau Non Medis?
Bagian ini menceritakan pengalaman dokter Aldy mengatasi pasien
kesurupan setelah sebelumnya didiagnosa kejang. Bagian yang janggal adalah :
Sempat-sempatnya dokter Aldy mengatakan akan mandi dan berganti
baju dulu saat dimintai tolong oleh keluarga pasien. Berapa lama waktu yang
diperlukan dokter Aldy untuk mandi padahal saat itu sedang ada pasien yang
menurut keluarganya kondisinya gawat.
Diagnosa Kejang. Dari anamnesa dengan keluarga pasien, dikatakan
oleh orang tua pasien bahwa badan anaknya kaku. Setelah dilihat oleh dokter
Aldy, ternyata sang anak terbaring tidak bergerak, siku menekuk ke atas dengan
tangan mengepal, tidak mau berbicara, dan mengeluarkan air mata serta tidak
demam. Dokter Aldy kemudian membuat kesimpulan bahwa anak tersebut
menderita kejang. Kejang disini seharusnya di diagnosis banding dengan
penyakit lain seperti episode depresif karena terdapat tanda depresi pada pasien
seperti menangis tersedu-sedu dan mutisme.
BAB V. Dikirimi Pasien Koma
Bagian ini menceritakan kesuksesan dokter Aldy mengatasi koma
hipoglikemia. Kesuksesan dokter Aldy ini semakin membuat dokter Aldy dikenal
sebagai dokter yang luar biasa. Hal yang perlu diperhatikan oleh dokter Aldy adalah
ia tetap harus melakukan anamnesa dengan keluarga pasien tersebut walaupun dalam
waktu singkat. Informed consent tetap harus dilakukan dan memberi penjelasan
kepada keluarga atas apa yang terjadi agar hal tersebut tidak terjadi kembali
BAB VI. Tangisan Dokter Aldy
Pada bagian ini, diceritakan tangisan pertama kali dokter Aldy karena tidak
berhasil menyelamatkan pasien yang datang dengan syok karena menderita demam
berdarah Grade IV. Yang terasa agak aneh adalah dokter Aldy tidak memberikan
oksigen pada pasien shock padahal saat itu otak sedang kekurangan oksigen karena
suplai darah ke otak yang berkurang.
BAB VII. Dituduh Asusila
Bagian ini menceritakan dokter Aldy yang dituduh melakukan tindakan
asusila pada seorang wanita. Pencemaran nama baik itu dilakukan oleh seorang bidan
yang iri dengan keberhasilan dokter Aldy. Hal-hal yang dapat dibahas dari bagian ini
adalah :
Tidak adanya informed concent terhadap penderita saat akan
dilakukannya rectal toucher.
Seharusnya dalam melakukan pemeriksaan tersebut, Dokter Aldy melibatkan
seorang orang ketiga misalkan perawat wanita agar tidak ada kesalahpahaman
yang merugikan seperti yang digambarkan pada bab ini, terlebih lagi mengingat
pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaaan di bagian yang sensitif dan
pada seorang gadis.
Tidak menjelaskan tindak lanjut setelah dilakukannya pemeriksaan
tersebut.
Dari beberapa hal tersebut di atas, maka tidaklah mengherankan bila
kemudian timbul anggapan bahwa dokter Aldy melakukan tindakan asusila terhadap
gadis tersebut.
BAB VIII. Menolong Pasien Berdarah
Pada bagian ini, diceritakan pengalaman dokter Aldy menolong orang yang
mengalami pendarahan akibat banyaknya luka tusuk ditubuhnya. Hal-hal yang terasa
janggal pada bagian ini adalah :
Adanya kata-kata ”mobilnya dokter Aldy”, Hal ini terasa janggal,
karena pada bagian pertama, diceritakan bahwa dokter Aldy hanyalah anak
seorang pensiunan TNI serta tidak diceritakan pula adanya mobil pribadi yang
disediakan oleh pemerintah daerah. Lalu mobil tersebut datang dari mana?
Apakah dokter Aldy telah sedemikian kayanya hingga mampu membeli mobil?
Adanya kata ”NGEBUT”. Saat pergi ke hutan, diceritakan bahwa
jarak hutan tersebut 10 km dari desa, namun saat akan kembali ke desa, dikatakan
diperlukan waktu 45 menit padahal sudah ngebut!! Hal ini berarti kecepatan
mobil tersebut hanya 12 km/jam.
Adanya kantong darah di puskesmas. Hal ini cukup mengherankan
dan menimbulkan tanda tanya bila melihat kondisi nyata puskesmas di lapangan.
Apakah puskesmas tersebut memiliki lemari pendingin khusus untuk menyimpan
kantong darah sedangkan Puskesmas tersebut berada di daerah terpencil?
Transfusi Langsung. Ini bagian yang paling membingungkan,
bagaimana caranya seorang dokter Aldy bisa langsung mentransfusikan darahnya
ke tubuh korban padahal diperlukan heparin untuk mencegah pembekuan darah.
Arogansi dokter Aldy yaitu saat salah seorang perawatnya
menyarankan untuk merujuk pasien dengan perdarahan. Dokter Aldy berkata
”Jangan dulu, masih ada harapan untuk ditolong. Jangan panggil aku Dokter
Aldy kalau pasien ini tidak bisa ditolong”. Seharusnya hal ini tidak boleh terucap
dari mulut seorang dokter, karena seorang dokter seharusnya lebih berorientasi
kepada memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dan bukan menjanjikan
suatu hasil yang belum bisa diprediksikan.
BAB IX. Berurusan dengan Polisi
Bagian ini menceritakan dokter Aldy yang dituduh melakukan mal-praktek.
Pasiennya meninggal saat dia menyuntikkan antibiotik Penisilin pada pasien ini.
Pasien ini sebelumnya didiagnosa menderita penyakit Sifilis dan sudah dilakukan
Skin Test. Dokter Aldy diperiksa saksi ahli, yakni seorang Profesor. Dokter Aldy
juga sempat menjalani persidangan. Namun akhirnya dokter Aldy diputuskan bebas
bersyarat, yakni tidak boleh lagi menyuntik pasien sampai meninggal lagi. Ada
beberapa hal yang mengganjal pada kasus ini.
Dalam melakukan skin test. Diceritakan bahwa dokter Aldy
memerintahkan perawatnya melakukan skin test. Dokter Aldy menyuruh
perawatnya mengambil Penisilin bubuk yang ada di dalam ampul. Tidak
diceritakan lebih lanjut bagaimana perawat itu melakukan skin test. Apakah
disuntikkan secara intrakutan dengan pengenceran aquadest sesuai prosedur skin
test ataukah dengan cara lain.
Selanjutnya setelah sang perawat mengatakan bahwa hasil Skin
Testnya negatif, dokter Aldy mengambil aqua injeksi dalam vial dengan spuit
dan memasukkannya ke dalam vial yang berisi bubuk Penisilin, lalu dikocok
merata. Yang jadi pertanyaan, mengapa dokter Aldy tidak melihat secara
langsung hasil skin test tersebut padahal dia berada di tempat itu juga. Kemudian,
kenapa dokter Aldy baru melarutkan Penisilin dengan aqua injeksi setelah skin
test dilakukan? Apakah perawat melakukan skin test secara prosedural? Apakah
di puskesmas itu ada sediaan Penisilin khusus untuk skin test, tanpa harus
menggunakan botol obat yang sama ountuk penyuntikan setelah skin test? Bila
tidak, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai mal praktek karena sudah
menyalahi prosedural. Lazimnya bubuk penicillin dilarutkan dengan aquadest
lalu diambil 1 ml dengan spuit 1 cc baru di skin test dan bukannya terbalik seperti
cerita di atas.
Tidak diceritakan apakah ketika dokter Aldy menyuntikkan penisilin
pada pantat pasien, telah dilakukan aspirasi atau tidak. Hal ini penting karena
aspirasi pada penyuntikan secara intramuskular harus dilakukan untuk
mengetahui apakah posisi ujung jarum suntik benar-benar berada di dalam otot,
dan tidak masuk dalam pembuluh darah yang ada di antara otot tersebut. Jika
ternyata posisi ujung jarum di dalam pembuluh darah lalu obat dimasukkan,
berarti ini bukan penyuntikan intramuskular, melainkan intravena atau intraarteri.
Dan ini tidak sesuai dengan tata cara penyuntikan penisilin yang harus dilakukan
secara intramuskular.
Secara farmakokinetik penyuntikan obat secara intramuskular
memerlukan waktu absorbsi terlebih dahulu sebelum terjadinya efek obat.
Sedangkan pada buku ini diceritakan bahwa pasien meninggal saat dokter Aldy
menyuntikkan obat itu, bahkan obat masih tersisa setengah bagian suntikan.
Tidak mungkin seorang pasien meninggal mendadak karena syok anafilaktik saat
obat belum benar-benar diberikan apalagi pada pemberian secara intramuskuler.
Jika Dokter Aldy menduga telah terjadi syok anafilaktik, yang
menjadi pertanyaan adalah mengapa ia tidak memberikan penatalaksanaan segera
syok anafilaktik tersebut. Apakah tersedia adrenalin/epinefrin sebagai obat gawat
darurat anti syok anafilatik di puskesmas? Bila tidak, hal ini bisa dikategorikan
sebagai mal praktek karena tidak sesuai dengan standar profesi medis.
Dalam hal penyelidikan kasus dugaan mal praktek ini tidak
dikisahkan apakah melalui MKmEK/MKDK dahulu atau langsung melalui
dokter ahli. Selanjutnya saat diperiksa dokter ahli (tidak dijelaskan lebih lanjut,
dokter ini adalah dokter ahli apa), Kewenangan untuk memeriksa seorang dokter
melakukan pelanggaran atau tidak ialah Majelis Etik Kedokteran, bukan
dipegang oleh pihak Kepolisian. Dokter ahli yang didatangkan ialah seorang
profesor. Di daerah Kalimantan pada saat itu masih belum didapatkan seorang
dokter dengan gelar profesor (tokoh ini dipertanyakan keberadaannya).
Kehadiran dokter ahli disini pun aneh, karena seharusnya saksi ahli hadirnya di
persidangan dan bukan di kantor polisi
Saat diperiksa oleh seorang saksi ahli, dokter Aldy mengaku pasien
tersebut datang dengan keluhan kencing sakit dan terasa panas. Pasien diperiksa
klinis dan dokter Aldy menyimpulnya sebagai penyakit kelamin Sifilis. Dari
literatur yang ada, tidak dikatakan bahwa seorang penderita penyakit sifilis
pernah datang dengan keluhan kencing sakit dan terasa panas. Pasien sifilis,
khususnya sifilis stadium I sering datang berobat dengan keluhan luka pada alat
kelaminnya. Dalam istilah kedokteran adalah ”ulkus durum”. Pasien sifilis
stadium II datang berobat dengan keluhan kelainan kulit, sedangkan pasien sifilis
stadium III dan IV datang dengan kelainan pada organ tubuh lainnya. Pasien
yang datang dengan keluhan kencing sakit dan terasa panas dapat didiagnosa
banding dengan penyakit kelamin Gonore dan infeksi saluran kencing.
Pada kasus ini seharusnya dilakukan otopsi, yaitu pemeriksaan luar
dan dalam terhadap jenazah pasien. Dari otopsi ini, kita dapat mengetahui
benarkan diagnosa dokter Aldy terhadap pasien ini benar adanya, Tepatkah cara
penyuntikan Penisilin yang dilakukan dokter Aldy, yang menurutnya secara IM?
Apakah sebab, mekanisme kematian dan kelainan lainnya yang berhubungan
dengan kematian pasien ini. Tidak diceritakan dengan jelas pada bagian ini.
Dokter Aldy mengaku kepada dokter ahli bahwa dia sudah
melakukan skin test pada pasien ini. Dokter Aldy lalu mempraktekkannya dan
dianggap benar oleh dokter ahli . Padahal kenyataannya dokter Aldy tidak
melakukan skin test pada pasien ini, tetapi menyuruh perawatnya yang
melakukan skin test. Menurut saya seharusnya bukan dokter Aldy yang
mempraktekkan cara skin test di hadapan dokter ahli, melainkan perawat
tersebut.
Dokter Aldy dinyatakan tidak bersalah oleh dokter ahli. Hal ini
dinyatakan dokter ahli sebelum persidangan berlangsung. Pengadilan lalu
memutuskan bebas bersyarat, yakni tidak boleh lagi menyuntik pasien sampai
meninggal lagi. Apakah ada vonis bebas bersyarat terhadap seseorang yang
dinyatakan tidak bersalah? Pertanyaan saya lagi, siapa yang bisa menjamin hal
itu lagi?. Dan yang lebih ironinya, seorang dokter ahli sama sekali tidak berhak
menentukan seseorang bersalah atau tidak, karena yang memutuskan bersalah
atau tidak hanyalah kalangan hakim pada persidangan.
BAB X. Terpaksa Kuretase
Pada bagian ini diceritakan dokter Aldy melakukan tindakan berupa
embriotomi dan kuretase pada seorang ibu hamil tua yang mengalami perdarahan.
Tindakan ini dilakukan di rumah sekaligus tempat praktek seorang bidan di desanya
saat dia sedang bersilaturahmi ke sana. Walaupun bayinya sudah meninggal, tetapi
nyawa ibu tersebut dapat diselamatkan. Dokter Aldy tidak menjelaskan apa diagnosa
dari keadaan ibu hamil ini, namun bidan mengatakan bahwa ibu tersebut mengalami
keguguran. Hal yang terasa aneh pada bagian ini adalah :
Kata Keguguran. Keguguran atau abortus yang ilmu obstetri,
keguguran atau abortus adalah suatu keadaan pengeluaran hasil konsepsi yang
belum mampu hidup diluar kandungan. Sebagai batasan umur yaitu sebelum usia
kehamilan 20 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram. Dalam bab ini
disebutkan bahwa kandungan ibu berusia 7 bulan. Tentu ini bukanlah suatu
keguguran, melainkan partus prematurus (atau immaturus) dengan IUFD (Intra
Uterine Fetal Death). Sangat disayangkan seorang dokter dan bidan tidak mampu
membedakan antara abortus dan partus prematurus.
Orang hamil 7 bulan dengan riwayat trauma kemudian terjadi
perdarahan pervaginam disertai nyeri perut dan meninggalnya janin dalam
kandungan, kemungkinan pertama yang harus dipikirkan adalah kemungkinan
terjadinya solusio plasenta. Berdasarkan teori, solusio plasenta adalah suatu
keadaan dimana plasenta yang letaknya normal lepas sebelum janin lahir pada
kehamilan trimester ketiga (>28 minggu). Hal ini lebih sesuai dengan paparan
cerita di atas dibandingkan dengan diagnosa keguguran atau abortus.
Kemungkinan kedua adalah plasenta previa
Penanganan pertama dari pasien perdarahan adalah bebaskan jalan
napas, berikan oksigen, dan terapi cairan, misalnya cairan garam fisiologis atau
ringer laktat, bukan langsung transfusi darah. Selanjutnya sambil melakukan
penanganan pertama, lebih baik pasien ini segera dirujuk ke rumah sakit terdekat
yang memiliki dokter spesialis kebidanan karena Untuk melakukan terminasi
kehamilan patologis sebenarnya bukan kompetensi dari seorang dokter umum.
Indikasi embriotomi dan kuretase yang tidak jelas karena diagnosa
yang ditegakkan oleh dokter Aldy pun tidak jelas dan bukan kompetensi dokter
umum serta bidan untuk melakukan hal itu semua.
Adanya peralatan kuretase di rumah Bidan Sri dipertanyakan. Seorang
bidan tidak memiliki kompetensi untuk melakukan kuretase, meskipun bidan Sri
mengaku alat tersebut tidak pernah digunakan.
Bius total yang dilakukan pada pasien yang akan dilakukan kuretase.
kuretasenya juga hanya dilakukan dengan oksigen dan adanya obat-obat tersebut
di rumah bidan pula.
Tersedianya transfusi darah yang begitu mudah.
BAB XI. Dipanggil Pejabat Penting
Bagian ini menceritakan pengalaman dokter Aldy menyembuhkan anak
pejabat yang mengalami depresi karena akan dikawinkan dengan orang tidak
dicintainya. Bagian ini yang mencengangkan adalah dokter Aldy ternyata bisa
melakukan hipnoterapi. Kasus ini mirip dengan kasus yang terjadi pada bab IV
(Medis atau non medis) namun mengapa terapinya tidak sama saja ya?
BAB XII. Kasus Unik
Pada bagian ini diceritakan pengalaman dokter Aldy yang berhasil mengobati
pasien neuropati diabetik. Sedikit aneh, mengapa pasien yang sering terjatuh tiba-
tiba tidak didiagnosa terlebih dahulu dengan ataksia? Diagnosa diabetes pun tegak
tanpa anamnesa yang mengarah ke diabetes seperti poliuri, polifagi dan polidipsi,
melainkan langsung melalui pemeriksaan laboratorium.
BAB XIII. Membongkar Kasus Pembunuhan
Bab ini mengisahkan dokter Aldy yang membongkar kasus pembunuhan pada
mayat gantung diri di kota besar. Dokter Aldy bahkan berhasil menemukan
pembunuhnya. Walaupun dokter Aldy telah membantu polisi, namun ada beberapa
hal yang tidak sesuai dilakukan dokter Aldy sebagai dokter forensik, yaitu :
Dokter Aldy menerima permintaan otopsi mayat di luar wilayah
kerjanya.
Permintaan otopsi mayat dari kepolisian tersebut tidak dibuat secara
tertulis dalam bentuk surat permintaan Visum et Repertum, melainkan secara
lisan saja.
Hasil pemeriksaan otopsi disampaikan langsung secara lisan oleh
dokter Aldy. Padahal seorang dokter harus membuat surat keterangan yang
disebut Visum et Repertum sebagai hasil pemeriksaannya. Hal ini tentu tidak
sesuai dengan Pengertian visum et repertum secara hukum.
Visum et Repertum ini merupakan rahasia medis yang harus
disampaikan saat persidangan, bukan di tempat kejadian perkara seperti yang
dilakukan oleh dokter Aldy.
Istilah otopsi yang disampaikan oleh polisi kurang tepat. Mungkin
yang dimaksud hanyalah pemeriksaan luar.
Dokter Aldy tidak diperkenankan memutuskan bahwa korban
meninggal bukan karena gantung diri melainkan karena dibunuh. Karena dalam
memutuskan suatu perkara/kejadian adalah penyidik.
Tindakan Dokter Aldy memeriksa para saksi sudah berada di luar
kewenangan seorang dokter. Kewenangan memeriksa para saksi adalah
kewenangan para penyidik (investigator).
Ada atau tidaknya sperma yang keluar dari kemaluan dan kotoran
yang keluar dari anus tidak bisa menentukan apakah ini gantung diri atau
dibunuh.
BAB XIV. Euthanasia atau Tidak?
Bab ini menceritakan tentang prinsip seorang dokter yang tidak mau
melakukan tindakan yang bertentangan dengan hati nuraninya dimana dokter Aldy
dipaksa untuk mengakhiri nyawa bapak Rohmat yang menderita penyakit hepatoma
yang telah mengalami koma hepatikum dengan maksud mengakhiri penderitaanya
(euthanasia). Meskipun sudah diminta berkali-kali namun dokter Aldy tetap
bersikukuh walau merasa kasihan ia tetap tidak mau melakukan hal tersebut dengan
alasan yang berhak mengambil nyawa orang lain hanyalah yang Maha Kuasa.
Menurut saya sikap dokter Aldy tersebut sudah benar, ia tidak mau melakukan
euthanasia karena bukan haknya dan yang pasti melanggar Undang-undang seperti
terdapat dalam KUHP pasal 48, 49, 50 dan 51 yaitu : Demi apapun, dengan alasan
apapun, siapapun yang telah menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, kecuali oleh
pihak-pihak lain yang dibenarkan oleh undang-undang harus dianggap sebagai
kejahatan. Juga terdapat dalam KUHP bab XIX. Kejahatan terhadap nyawa. Pasal 338
berbunyi “barang siapa merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun pasal ini merupakan penghalang bagi
dokter untuk melakukan euthanasia aktif”. Pasal 334 KUHP berbunyi “Barang siapa
merampas nyawa orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. pasal ini menghalangi dokter
untuk melakukan“ voluntary euthanasia”.
Berikut ini penulisan kutipan beberapa alternatif pasal dalam kitab undang-
undang hukum acara pidana yang dapat dijadikan pijakan dalam hal menentukan
pertanggungjawaban pidana dalam kaitannya dengan peristiwa euthanasia :
1. Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam
kesengsaraan, sedang dia wajib memberikan kehidupan perawatan kepada orang
itu, karena hukum yang berlaku baginya atau karena perjanjian, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp. 4500-; ( Pasal 304 KUHP ).
2. Kalau salah satu perbuatan itu berakibat matinya seseorang, maka yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 9 tahun ( Pasal 306 ayat 2
KUHP)
3. Barang siapa menghilangkan nyawa orang atas permintaan sungguh-sungguh
orang itu sendiri dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 tahun.
4. Barang siapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri atau
menolong orang dalam perbuatan itu dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya 4 tahun ( Pasal 345 KUHP).
Penggunaan pasal-pasal tersebut yang dapat dikategorikan sebagai“ yang turut
serta melakukan atau membantu melakukan” demi terwujudnya “ euthanasia” dan
“mercy killing. ”
BAB XV. Dipaksa Kuret
Digambarkan bagaimana keteguhan dokter Aldy untuk tidak melanggar
sumpah jabatan yang telah diikrarkannya ketika menjadi dokter. Dapat digambarkan
kalau dokter Aldy sangat memegang prinsip tersebut. Walaupun permintaan keluarga
yang tidak henti-henti maupun ancaman dari pejabat tinggi yang mungkin saja
membahayakan posisinya sebagai dokter. Dia tidak takut selama dia berada di pihak
yang benar. Hal ini patutlah dicontoh oleh kita baik sebagai dokter maupun calon
dokter kelak.
BAB XVI. Ajaran Sunat
Bagian ini menceritakan pengalaman dokter Aldy menangani pasien phimosis
yang takut dengan sunat. Seharusnya, dokter Aldy tidak boleh tertawa di hadapan
pasiennya, karena itu bertentangan dengan etika profesi dimana saat pasien yang
sudah terikat kontrak terapeutik kita mengalami penderitaan, kita justru
mentertawakan penderitaannya tersebut.
BAB XVII. Pasien Gila
Bagian ini menceritakan keberhasilan dokter Aldy mendiagnosa penyakit
schizofrenia pada tetangganya dan berhasil memberikan terapi sehingga gejalanya
berkurang. Digambarkan bagaimana dokter Aldy mencari informasi untuk menulis
status psikiatri seorang pasien laki-laki dan akhirnya mendiagnosa penderita tersebut
mengalami Skizofrenia Paranoid Berkelanjutan.
Sebagai penanganan awal, tidak menjadi masalah. Namun, karena kasus ini
bukan suatu yang darurat, adalah lebih arif jika dr. Aldy merujuk pasien untuk
mendapatkan perawatan yang lebih spesialistik yaitu bagian kejiwaan yang lebih
berkompeten dalam menangani masalah ini.
BAB XVIII. Sakit Taeniasis
Pada bab ini diceritakan bagaimana dokter Aldy dapat memecahkan kasus
penyakit yang jarang terjadi yaitu penyakit taeniasis. Dengan kemampuan
mendiagnosa penyakit tersebut, dokter Aldy telah membantu dokter spesialis
penyakit dalam. Sungguh sangat membanggakan prestasi dokter Aldy ini. Walaupun
dia hanya sebagai dokter umum, tidak membatasi kemampuan dan kecakapannya.
Dia dapat membantu dokter spesialis yang menurut pandangan kita tentunya
memiliki ilmu yang lebih luas dibandingkan dokter umum.
BAB XIX. Menentang Adat
Bagian ini menceritakan keberhasilan dokter Aldy dalam menurunkan angka
kematian bayi akibat Tetanus Neonatorum di sebuah desa suku Dayak. Yang janggal
pada bagian ini adalah saat bertemu dengan ibu yang berusaha menyusui anaknya
yang sedang sakit tetanus, mengapa dokter Aldy tidak melakukan perawatan dan
pengobatan pada bayi tersebut namun hanya mencari penyebab dari timbulnya
tetanus pada bayi tersebut tanpa mencoba memberitahu ibu tersebut bahwa anaknya
sedang dalam keadaan gawat dan perlu dirawat.
BAB XX. Konsultasi Dokter Ahli
Inti cerita pada bagian ini sebenarnya sama dengan bagian XVIII (Sakit
Taeniasis) yaitu menceritakan kemampuan dokter Aldy dalam melakukan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang akhirnya mampu mendiagnosa
penyakit lofler sindrom, sehingga digambarkan kecerdasannya ini melebihi dokter
spesialis penyakit paru.
BAB XXI. Dijambret
Bagian ini menceritakan kebesaran hati dokter Aldy yang mengikhlaskan
handphone dan dompetnya untuk dijambret karena berpikir jauh lebih berharga
nyawa manusia dari harta benda. Sungguh mulia hati dokter Aldy ini.
BAB XXII. Narkoba Jangan Coba-coba
Bagian ini menceritakan keberhasilan dokter Aldy yang berhasil mengatasi
pasien sakaw yang kemudian menyebabkan terbongkarnya sindikat jaringan narkoba.
Wah, dokter Aldy memang superhero. Yang kurang disini adalah tidak diukurnya
tekanan darah sebelum diberikan CPZ karena obat ini menyebabkan hipotensi.
BAB XXIII. Saatnya Untuk Pulang
Akhirnya, bagian ini menceritakan dokter Aldy yang pulang setelah berhasil
menjadi dokter yang sukses, sangat berguna dan dicintai oleh masyarakat desa kaca
piring.
KESIMPULAN
Tersirat bahwa tokoh utama cerita adalah “dokter super” yang memiliki
kewenangan dan kemampuan berlebihan, baik dalam hal bersaing ilmu dengan
dokter spesialis (paru, penyakit dalam dan psikitri), ahli metafisika, maupun
pihak penyidik. Jika Dokter Aldi dianggap bukan dokter super, akan timbul kesan
bahwa dokter spesialis yang ada kurang kompeten/kurang dalam ilmunya.
Buku ini kurang layak dibaca masyarakat awam, karena dapat memberikan
paham menyesatkan tentang sejauh apa wewenang dokter umum (jika pembaca
awam telah benar-benar selesai membacanya).
Buku ini bahkan juga tidak layak dipajang sembarangan (toko buku di tempat
umum) sebab masyarakat awam yang sekilas membaca sampul depannya saja
(tidak membaca isinya sampai selesai) akan mungkin menarik bahwa kasus
malpraktek cukup banyak terjadi (ini sudah jelas merugikan citra umum tentang
mulianya profesi seorang dokter, di kalangan masyarakat awam).