Upload
rio-rahadian-tuasikal
View
333
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Buku kompilasi 13 cerita.Sebanyak 13 penulis bercerita tentang Indonesia Rumah BersamaHadiah dari untukharmoni.com untuk 68 tahun Indonesia.
Citation preview
untukharmoni.com#17an
13 suara untuk 68 tahun Indonesia
IndonesiaRumahBersama
buku #2
IndonesiaRumahBersama
13 suara untuk 68 tahun Indonesia
IndonesiaRumahBersama
Penulis Koordinator :Rio Tuasikal
Penulis :Anastasia Monica
Azizah SitiBastinus Matjan
Clara TobingIsti Toq’ah
Glenysz FebryantiMasduki
Ping SetiadiRia Apriyani
Risa Sarah SeptiaraniRisdo Simangunsong
Vida SemitoWilly Illuminatoz
Diterbitkan oleh :untukharmoni.com
#17an
Rio Tuasikal :
“Melakukan Tunggal Ika”
Islam, Sunda-Maluku
Catatan penulis koordinator
N a m u n i n i b u ka n l a h i s e n g
sembarang iseng. Saya merasa ini tepat
w a k t u l a n t a r a n l o n g g a r n y a
penghormatan kita terhadap mereka
yang berbeda. Salah satunya, nyaris
persis tahun lalu, kawan-kawan Syiah di
Sampang harus terusir dari kampungnya
s e n d i r i . K i n i m e re ka h i d u p d i
pengungsian dan kurang perhatian.
Tengok juga kawan-kawan GKI Yasmin
dan HKBP Filadelfia yang tak kenal lelah
memperjuangkan hak mereka.
Betul, seperti itulah kondisi kita
sebagai bangsa. Di sana-sini, konflik atas
nama beda merajalela. Ada yang merasa
congkak mengatakan orang lain salah
dan dirinya tidak. Ada yang merasa
berhak memukuli dan melempari orang,
padahal kekerasan tak pernah memberi
jalan keluar. Satu sinyal bahwa di
usianya sekarang, rakyat Indonesia
masih belum dewasa.
Hey, bangsa ini sepertinya lupa
kesepakatan pendiri bangsa. Bahwa 68
tahun lalu, pendiri bangsa sepakat
menyatukan Sabang hingga Merauke
dalam satu nama : Indonesia. Ketika
mereka sadar bahwa kita terlalu
berbeda, 17.000 pulau 1.300 suku dan
500 bahasa, maka dibuatlah Pancasila
dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai
pedoman bergaul kita. Mereka berpesan
pada kita untuk bekerjasama, bukan
saling hina. Mereka ingin kita melihat
perbedaan sebagai kekayaan, yang
justru patut kita banggakan.
13
Semangat itulah yang kami hayati di
untukharmoni.com. Lahir dua bulan lalu
(ya, memang web ini masih begitu
muda) kami mencoba terlibat dalam
upaya membangun persahabatan lintas-
iman. Kami percaya bahwa perbedaan
adalah kekayaan dan keberagaman
adalah sarana saling belajar. Kami
percaya lebih banyak orang yang ingin
damai, hanya saja mereka tak pernah
dapat kesempatan bersuara. Maka kami
berkelana mencari para pecinta damai
yang mau menyumbangkan artikel,
cerpen, curhat, gambar, foto, kata-kata
mutiara, video, apa pun. Perdamaian
harus vokal.
Begitu pula dengan buku digital ini,
y a n g d a r i i s i n y a s a j a , s u d a h
menunjukkan perbedaan di antara para
penulisnya. Sebanyak 13 orang dari
berbagai kepercayaan, suku dan latar
belakang, menuliskan apa yang mereka
lihat tentang Indonesia, dengan bentuk,
gaya dan cara mereka masing-masing.
Untuk itu saya ingin berterimakasih
kepada nama-nama yang sudah
mencurahkan idenya di sini. Terimakasih
dan dua jempol untuk Ping Setiadi, Vida
Semito, Bastinus Matjan, Azizah Siti,
Clara Tobing, Risa Sarah, Glenysz
Febryanti, Isti Toq'ah, Ria Apriyani, Risdo
Simangunsong, dan Anastasia Monica
atas tulisan yang menggugah.
Spesial untuk Pak Masduki dan
Willy Illuminatoz, yang keduanya baru
saya kenal akhir Jul i la lu saat
mengomentari berita VOA Indonesia,
terimakasih banyak telah menjadi
bagian keluarga pecinta damai.
Ter imakas ih pu la pada Wawan
Gunawan, Firman Sebastian, Yunita
Chen dan lainnya di Jaringan Kerja
Antarumat Beragama (Jakatarub)
Bandung atas dukungannya terhadap
untukharmoni.com sejak awal.
Selama saya menyunting 12 tulisan,
tak jarang saya terharu sekaligus
optimis. Ternyata masih banyak orang
yang t idak mempermasa lahkan
perbedaan. Sebagaimana buku digital ini
pun berisi macam-macam tulisan dan
fokus : mulai dari surat personal ala Risa
hingga makalah akademik ala Isti, mulai
dari tema Islam ramah ala Masduki
h ingga nasional isme ala Risdo.
Semuanya berbeda-beda, namun punya
satu cita-cita.
Dan itulah kenapa saya memberi
pembuka ini judul Melakukan Tunggal
I k a . K a r e n a k a m i b e r u s a h a
melakukannya.
Dirgahayu Republik Indonesia
Mari berteman,
RioPenulis koordinator pemulauntukharmoni.com
Daftar Isi
Rio Tuasikal : Melakukan Tunggal Ika 3
Risa Sarah Septiarani :Indonesia Rumah Bersama 10
Clara Ignatia Tobing : Indonesia Punya Siapa? 12
Willy Illuminatoz : Kenapa Harus di Sini? 21
Bastinus Matjan : Rumah Kita 25
Isti Toq'ah : Is Islamophobia an
Inextinguishable (Re) Action? 34
Vida Semito : Merah Putih dan Reruntuhan 49Surat Untuk Presiden 53
Masduki : Jadi Sumber Kedamaian Sesama
Itu Indah 57
II Identitas, Konflik dan Upaya Damai 33
I Ngobrolin Indonesia 8
Pengantar
III Bangga Sebagai Bangsa 84
Para penulis cinta damai 94
Gabriella Ria Apriyani : Etnis Tionghoa (Katanya) Tidak
Mau Berbaur 70
Azizah Siti : Tuhan dalam Pasal-Pasal 75
Ping Setiadi : Damai Itu Ada Dalam
Kebersamaan 78
Risdo Simangunsong : Sehabis Tujuh Belasan 85
Anastasia Monica : Radio Rusak 87
Glenysz Febryanti : Ketika Kemerdekaan Bukan
Berarti Kebebasan 91
TAK PERNAH SATU WARNA
untukharmoni.com#17an
INgobrolin Indonesia
Bersatulah IndonesiaCipt. Liliana Tanoesoedibjo
Indonesia
kami lahir
untukmu ...
lirik
1/9
♫
Islam, Jawa-Sunda
Risa SarahSeptiarani :
“Indonesia Rumah Bersama”
Indonesia Rumah Bersama - Risa
Saya suka sekali dengan tema Untuk Harmoni kali ini yang bertujuan
untuk memperingati HUT RI ke-68 yaitu “Indonesia Rumah
Bersama”. Kenapa ya saat saya membaca tema ini, berbagai
perasaan muncul seperti senang, bangga, haru sekaligus sedih.
Perasaan senang, bangga dan haru bahwa memang ternyata bangsa
kita tercinta ini yaitu Indonesia adalah “rumah” di mana berbagai
macam suku, agama, dan kewarganegaraan ada. Are you realize
that buddies? Dan seharusnya yang berada di dalamnya harus
merasakan kenyamanan seperti rasanya teman-teman saat berada
di rumah masing-masing.
Rumah bagaikan tempat teman-teman untuk berteduh, berlindung
dan merasakan nyaman, bukan? Dan itu sudah berlangsung sejak
lama, sejak kerajaan-kerajaan di Indonesia masih kokoh berdiri
sampai sekarang. Di mana para saudagar dari Cina, Belanda,
Portugis dan berbagai bangsa lain sering singgah di Indonesia, baik
untuk melakukan transaksi atau sekedar beristirahat.
Salah satu faktor yang menyebabkan mereka kembali lagi ke
Indonesia karena kehangatan dari masyarakat Indonesia itu sendiri
yang kembali lagi menimbulkan perasaan seperti di “rumah”.
Sedih karena seringkali konsep “rumah bersama” yang seharusnya
memang menjadi jati diri bangsa kita ini malah membuat banyak
perselisihan. Dapat dilihat banyak bentrokan antarwarga yang
mengatasnamakan perbedaan agama atau perbedaan suku sebagai
penyebabanya. Tidakkah kalian sadar bahwa perbedaanlah yang
membuat bangsa kita indah dengan berbagai macam
keragamannya?
HUT-RI yang bisa kita rasakan dan kita rayakan sekarang ini juga
berkat perjuangan yang tiada kenal lelah dari para pejuang kita,
tanpa kenal perbedaan. Semua bersatu. Kalau tidak bersatu, apakah
bisa kita menikmati kemerdekaan yang luar biasa indah ini?
_ Risa Sarah Septiarani | @risarahs _
Kristen Katolik, Batak
Clara IgnatiaTobing :
“Indonesia PunyaSiapa?”
Indonesia Punya Siapa? - Lala
Beliau, teman tersebut, adalah
seseorang yang pintar, telah lama tinggal
di luar negeri, menjunjung tinggi apa
yang disebutnya sebagai nilai-nilai
tradisional asli milik Indonesia. Saya,
yang lebih muda, telah sering dikatakan
dididik untuk tidak berpikir sebagai
orang Indonesia, melainkan berpikir
seperti produk masyarakat kapitalis. Di
akhir diskusi teman tersebut berkata “Ya,
karena kelihatannya segalanya alami
bagi kalian, anak muda Indonesia
sekarang, yang tidak lagi mengetahui
mana budaya yang pantas dan tidak
untuk orang Indonesia. Pemikiran
seperti itu bukan milik orang Indonesia.”
Setelah diskusi tersebut usai, saya
terkejut. Secara tidak langsung, saya
dipojokkan dan dikatakan bahwa saya
b u k a n o ra n g I n d o n e s i a . Wa h ,
membingungkan. Di akte lahir, KTP dan
semua dokumen saya tertulis jelas
bahwa saya berkebangsaan Indonesia.
Lahir, tinggal, menetap dan hidup di sini.
Saya diajari sejarah Indonesia, semua
nama-nama presidennya, semua nama
negara penjajah, semua pergantian
jumlah provinsi Indonesia. Saya
berpenampilan 100% orang Indonesia,
ras mongoloid yang berkulit coklat. Saya
berbahasa Indonesia sebagai bahasa
ibu, sebagaimana yang disiratkan oleh
janji Sumpah Pemuda. Saya tidak kurang
Indonesia dari berjuta-juta masyarakat
Indonesia lainnya. Lantas, mengapa saya
dikatakan demikian?
Saya pernah berbicara dengan
seorang teman mengenai
kecenderungan preferensi seksual seseorang, dengan
mengemukakan argumen satu
sama lain. Diskusinya berjalan
alot, dengan dua pihak
yang memiliki jalan pikiran
begitu berbeda satu sama
lainnya.
Indonesia Punya Siapa? - Lala
Secara tidak langsung, bukan
hanya saya yang pernah dilabeli
stereotype “bukan Indonesia”, karena
memiliki ciri yang berbeda dengan ciri
yang menjadi kekhasan, trademark apa
yang disebut “Indonesia” itu.
Berkulit putih, mata sipit, bukan
Indonesia! Wanita bekerja, tidak punya
suami tetapi membesarkan anak sendiri,
bukan Indonesia! Beragama lain dari 6
agama yang d i tentukan, bukan
Indonesia! Pria menyukai sesama pria,
wanita menyukai sesama wanita, bukan
Indonesia! Berpikir dengan pemikiran
tokoh diluar Indonesia, bukan Indonesia!
Bla bla bla, bukan Indonesia! Bla bla bla,
bukan Indonesia!
Lebih mengerikan lagi, label-label
“bukan Indonesia” itu biasanya diikuti
tindakan kekerasan untuk mengusir jauh
orang-orang yang berbeda itu.
Banyak kita dengar mereka yang
diberi label demikian menjadi korban
kekerasan didalam negara Indonesia
sendiri. Tentu kita masih ingat peristiwa
kerusuhan Mei 1998 di mana ribuan
keturunan etnis Tionghoa di Indonesia
menjadi korban kekerasan, penculikan,
pemerkosaan bahkan dibunuh. Mereka
ini dibantai dalam negaranya
sendiri, negara yang memberikan KTP
terhadap mereka dan mengakui mereka
sebagai bangsa Indonesia. Tetapi apa,
pada prakteknya mereka tidak diakui
sebagai bagian dari bangsa ini.
Label semacam ini mau tidak mau masih dilakukan sampai sekarang, contoh kecilnya dari penamaan “Cina” terhadap etnis tionghoa di Indonesia. Padahal, sudah berpuluh-puluh tahun nenek moyang mereka hijrah dan m e n e ta p d i n e ga ra i n i , sebagaimana yang dilakukan nenek moyang kita berjuta tahun yang lalu.
Ada lagi kekerasan berdasarkan
agama yang begitu menjamur sekian
tahun lamanya. Sebagai contoh kasus
pengungsi Syiah yang masih berlangsung
sampai sekarang. Mereka meninggalkan
kampung halamannya di Madura karena
agama yang mereka anut dinilai sesat
dan tidak sesuai dengan ajaran agama
masyarakat di situ. Ratusan warga Syiah
sampai sekarang berada dalam
pengungsian, tidak bisa mendapatkan
pendidikan, tidak punya tempat tinggal,
tidak bekerja, tidak mempunyai
penghidupan yang layak. Seakan mereka
bukan bagian dari negara ini.
Tak jarang juga kita melihat dalam
kehidupan sehar i -har i , seorang
transgender atau mereka yang
melakukan operasi pergantian kelamin,
Lebih mengerikan lagi, label-label “bukan
Indonesia” itu biasanya diikuti tindakan kekerasan untuk
mengusir jauh orang-orang yang berbeda itu.
Bersatulah IndonesiaCipt. Liliana Tanoesoedibjo
... Berkarya dan
mengabdi bagimu
lirik
2/9
♫
Indonesia Punya Siapa? - Lala
dipersulit kehidupannya. Pilihan
pekerjaan bagi mereka terbatas,
kebanyakan berkisar di industri
kecantikan, atau lebih naas, menjadi
pengamen di persimpangan jalan.
Selebihnya? Jangan harap. Mereka
dianggap bukan bagian dari masyarakat
Indonesia yang hanya mengenal 2 jenis
ke lamin dar i lah i r, le lak i atau
perempuan. Selebihnya, tidak ada
tempat dalam masyarakat. Padahal
Indonesia menjamin kebebasan bekerja
dan berserikat. Indonesia tidak bisa
menyediakan penghidupan yang lebih
baik bagi mereka-mereka ini. Indonesia
tidak bolehkah dimiliki mereka?
Indonesia juga punya mereka-mereka ini!
Orang-orang yang diberi label
“bukan Indonesia” tentu bertanya,
kenapa kami disebut demikian? Lantas,
Indonesia ini punya siapa? Indonesia itu
nama negara, nama suatu bangsa.
Didalamnya ada yang kita sebut sebagai
manusia, datang dari berbagai ras,
macam suku, daerah, kebiasaan,
pemikiran, dan agama. Setiap suku
tersebut merupakan hasil migrasi atau
perpindahan suku-suku yang lebih tua di
Tanggal 29 Juli 1956 di Semarang Bung Karno, bapak negara Indonesia pernah berkata dalam pidatonya “Bahwa
dunia ini dihidupi oleh manusia. Bahwa manusia di dunia ini, Saudara-saudara, "basically" - pada dasar dan hakekatnya - adalah sama; tidak beda satu sama lain. Dan oleh karena itu
manusia inilah yang harus diperhatikan.”
berbagai daratan Asia dahulu kala.
Perpindahan, pencampuran, itulah yang
membentuk Indonesia sekarang, suatu
bangsa yang melintang di khatulistiwa.
Yang membuat seseorang menjadi orang
Indonesia adalah kesamaan cita-cita,
cita-cita ingin membentuk bangsa ini
menjadi bangsa yang lebih besar.
Tanggal 29 Juli 1956 di Semarang
Bung Karno, bapak negara Indonesia
pernah berkata dalam pidatonya
“Bahwa dunia ini dihidupi oleh manusia.
Bahwa manusia di dunia ini, Saudara-
saudara, "basically" - pada dasar dan
hakekatnya - adalah sama; tidak beda
satu sama lain. Dan oleh karena itu
m a n u s i a i n i l a h y a n g h a r u s
diperhatikan.”
Bung Karno menyiratkan, bahwa
yang terpenting, bagi kebesaran suatu
bangsa, adalah penghormatan terhadap
manusia di dalam negara tersebut.
Penghormatan terhadap manusia yang
membentuk bangsa tersebut. Tidak ada
perbedaan satu dengan yang lainnya,
semua sama di mata dunia.
Menarik sekali bahwa pidato Bung
Karno yang saya kutip diatas adalah
bagian dari sebuah pidato panjang
mengenai bagaimana Indonesia, yang
dikatakan beliau sebagai “tanah air yang
Indonesia Punya Siapa? - Lala
paling cantik di dunia”, agar
menjadi bangsa yang lebih besar,
mengalahkan rekan-rekan kita di dunia
Barat. Bahwa kunci untuk menjadi
bangsa demikian, salah satunya adalah
penghormatan satu sama lainnya. Masih
beranikah kita membedakan bangsa
kita, mengkotak-kotakkan mereka
sebaga i “ Indones ia dan Bukan
Indonesia” kalau cita-cita kita adalah
sama?
Orang muda adalah orang-orang
yang biasanya dijuluki sebagai orang-
orang yang bukan orang Indonesia lagi.
Tidak mengenal kebudayaannya, tidak
mengenal kakek neneknya. Berpikir di
luar tradisi yang telah ditetapkan, tidak
sesuai dengan ciri Indonesia.
Padahal, negara ini adalah negara dinamis. Kita adalah orang-orang yang percaya perubahan. Ini telah kita b u k t i k a n s a a t d e n g a n beraninya kita bangkit dari beratus tahun penjajahan dan membentuk negara yang berdaulat sendiri.
Saat dengan beraninya kita
b e r u l a n g - u l a n g m e m b e n t u k
pemerintahan yang berbeda, belajar
dari negara-negara yang lebih maju agar
negara ini lebih sempurna lagi. Kita
mengadopsi berbagai teknologi,
m e m p e r m u d a h k e h i d u p a n ,
mensejahterakan rakyat. Kita bukan
masyarakat yang mau berhenti di satu
titik.
Kemudian kenapa begitu marah
kepada orang-orang muda yang
b e r p i k i ra n t i d a k s a m a s e p e r t i
pendahulunya? Orang-orang muda
Indonesia adalah orang-orang muda
yang dididik secara dinamis. Orang-
orang muda yang dilahirkan dari
perjuangan berpuluh-puluh tahun
lamanya. Untuk saat inilah dahulu para
p e j u a n g g u g u r d i b a t a s - b a t a s
peperangan, agar rakyat Indonesia di
dalam tanah airnya sendiri dapat
berpikir, berbicara, membentuk
peradaban yang lebih maju lagi. Tidak
adil rasanya kalau orang-orang muda
seperti ini dikungkung dengan apa yang
telah ada, tanpa kebebasan untuk
membentuk masyarakat yang lebih baik
lagi dengan caranya sendiri.
Terkadang orang-orang muda ini
b e r j u a n g d e n g a n m e m b e n t u k
kepedulian terhadap sesama manusia.
Banyak dari orang muda yang percaya
bahwa batas-batas seperti agama, suku,
s t e r e o t y p e ( ya n g m e n g h a l a n g i
pendahulu kami untuk mau membantu),
bukanlah penghalang untuk saling
menghormati dan beriteraksi.
Orang muda adalah orang-orang
yang kecewa saat apa yang telah ada di
Indones ia t idak lag i membawa
kese jahteraan bag i sesamanya.
Kekerasan berdasarkan suku, misalnya.
Bahwa kunci untuk menjadi bangsa
demikian, salah satunya adalah penghormatan
satu sama lainnya
Indonesia Punya Siapa? - Lala
Bila perbedaan menjadi halangan
dahulu untuk saling menghormati, maka
niscaya ada begitu banyak orang muda
yang percaya bahwa perbedaan bukan
rintangan, melainkan bagian dari
kekayaan yang membentuk Indonesia.
Banyak dari orang muda yang terus belajar dari negara lain yang ingin membantu I n d o n e s i a m e l e p a s k a n prasangka terhadap apa yang berbeda darinya. Karena toh p r a s a n g k a m u n c u l d a r i k e t a k u t a n k a r e n a ketidaktahuan, maka biarkan orang-orang muda yang ingin mencari tahu ini menjelaskan u n t u k m e m u s n a h k a n prasangka. Kebencian karena p e r b e d a a n , i n i l a h y a n g dihadapi Indonesia tahun-tahun sekarang.
Orang-orang muda, meski tidak
hidup pada jaman dahulu kala, tetapi
merupakan orang-orang yang belajar
dari sejarah kelam tersebut. Orang-
orang inilah yang menyaksikan bahwa
kebencian karena perbedaan tidak
m e n g h a s i l k a n a p a p u n s e l a i n
perpecahan, padahal persatuanlah yang
Banyak dari orang muda yang percaya bahwa batas-batas seperti agama, suku, stereotype (yang menghalangi pendahulu
kami untuk mau membantu), bukanlah penghalang untuk saling menghormati dan beriteraksi.
menjadi dasar didirikannya negara ini.
Orang-orang muda ini juga orang
Indonesia, yang mempunyai dan ingin
menjadikan Indonesia lebih baik lagi.
Mengutip sepenggal tulisan dari
surat terbuka oleh Romo Franz Magnis
Suseno yang berkeberatan atas
penganugerahaan World Statesman
Award kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang ditulis pada bulan Mei
2013, beliau mengatakan bahwa:
“I have to add that I am not a
radical, not even a "human right
extremist" (if such exist). I am just
appealed about so much hypocrisy. You
are playing in the hands of those - still
few - radicals that want to purify
Indonesia of all what they regard as
heresies and heathen.”
Penghormatan terhadap sesama
manusia tidak perlu menjadi seorang
yang radikal, tidak perlu "pake otot",
tidak perlu menjadi seorang ekstrimis
seperti yang telah banyak ditunjukkan
oleh orang-orang yang mengaku “sangat
Indonesia. Dan yang menarik adalah
kata-kata "not even a human right
extremist, if such exist". Jadi, seorang
ekstrimis hak asasi manusia itu tidak
pernah ada? Untuk menghormati hak-
hak dasar manusia, tidak pernah ada
Indonesia Punya Siapa? - Lala
Beliau mengatakan bahwa: “I have to add that
I am not a radical, not even a "human right extremist" (if
such exist). I am just appealed about so much
hypocrisy. You are playing in the hands of those - still few - radicals that want to
purify Indonesia of all what they regard as heresies and
heathen.”
Jalan yang benar selalu adalah jalan mencintai sesama. Penghormatan,
penghargaan, pertolongan adalah
jalan untuk mencintai Tuhan dalam entitasnya
yang paling dekat dengan kita.
jalan ekstrim. Penghormatan terhadap
nilai-nilai kemanusiaan, adalah jalan
panjang yang sepi dan damai, tanpa huru
hara, tanpa perlu kobaran api dan
bahkan amarah.
Bahwa penghormatan itu muncul
dari pemikiran-pemikiran terdalam yang
didapat dari perenungan lama dan tidak
berbenturan. Bahwa penghormatan
adalah jalan yang lembut dan tidak
menghakimi. “I am just appealed about
so much hypocrisy.” Ya, saya juga kagum
dengan banyaknya kemunafikan yang
saya temui. Saya kagum dengan
banyaknya orang yang berkata dia
membela jalan yang benar, tetapi
menyakiti orang lain dengan tangannya.
Jalan yang benar selalu adalah
jalan mencintai sesama. Penghormatan,
penghargaan, pertolongan adalah jalan
untuk mencintai Tuhan dalam entitasnya
yang paling dekat dengan kita. Demikian
adanya untuk membentuk suatu bangsa,
untuk membangun Indonesia menjadi
negara yang lebih baik lagi, yakinilah
bahwa kita semua yang mempunyai
Indonesia. Jalan kita adalah membentuk
Indonesia menajdi bangsa yang lebih
besar lagi. Dengan jalan menghormati
sesama manusia Indonesia, dan
manusia-manusia lain di luar sana. (H)
Bersatulah IndonesiaCipt. Liliana Tanoesoedibjo
Bersatu untuk
membangun
Bagi negeri tercinta
lirik
3/9
♫
Kristen Protestan, Dayak
WillyIlluminatoz :
“Kenapa Harusdi Sini?”
Pernah melintas pertanyaan di benakku, mengapa aku
dilahirkan di sini?Minder rasanya menjadi
manusia di tempat seperti ini.
Mengapa Harus di Sini? - Willy
Masih lekat benar di pikiranku ide
yang mengajarkan bahwa orang-orang
yang dilahirkan di sini derajatnya lebih
rendah dari pada orang-orang di
seberang sana. Lihat saja orang-orang
sini: kurus, dekil, pendek, dan, maaf,
agak bodoh.
Selalu saja diulang-ulang bak petisi
pemikiran yang menyebutkan kalau
orang-orang di sini kalah bersaing, tidak
dapat diandalkan, malas, terbelakang
dan tidak senang bekerja keras. Bahkan
setelah 68 tahun merdeka, tiada apapun
yang bisa dibanggakan kecuali bualan
serta buaian tentang sumber daya
alamnya melimpah ruah yang entah
sampai kapan tersisa. Ironisnya, orang-
orang di seberang sanalah yang malah
menikmatinya!
Aku tak habis pikir, selama 68 tahun
apa yang dilakukan orang-orang di sini?
Mereka sibuk mengejar kuasa dan
menimbun harta. Menggadaikan cita-
cita pendiri bangsa demi melayani
kepentingan para penguasa yang haus
harta. Tak peduli apa pun agamanya dan
seberapa tinggi tingkat pendidikannya,
di hadapan harta semua jadi gelap mata.
Dulu di sini pernah dijajah. Sekarang pun tetap terjajah.
Apakah 68 Tahun sekadar ilusi?
Tak ada sama sekali arti? Apakah merdeka jika masih
seperti ini?
Mengapa Harus di Sini? - Willy
Aku sama sekal i t idak bisa
memahami dan mengerti mengapa
semuanya harus begini. Jika bisa
memilih, aku tak mau dilahirkan di sini.
Tapi kenyataan tidak bisa dipungkiri, aku
di sini.
Di sini, kenapa aku di sini? Itulah
yang ingin aku mengerti. Aku tak ingin
sekadar hidup begini. Menjalani hari
demi hari tanpa satu pun arti. Batinku
meronta dan hatiku meratap, marah
membara di benakku dan sinisme
memuncah sikapku. Percuma menjadi
baik, merenda hidup lurus kalau pada
akhirnya merana, terinjak-injak karena
nekat mengelana demi melawan arus
dunia.
Namun, tiba-tiba aku berhenti dan
tersentak! Di mana bumi dipijak disitu
pulalah langit dijunjung. Aku dilahirkan
di sini, tak seharusnya mencela seperti
ini. Aku telah bangun, nur Ilahi itu
menerangi hatiku, kini aku sadar.
D i s i n i l a h Ya n g M a h a E s a
memelihara aku, memberikan aku
sesuap nasi dan menghilangkan
dahagaku. Semua yang kukenal, kerabat,
Di sini pula aku berkarya, membuat hidupku
bermanfaat dan berguna bagi orang-orang seraya
bersama-sama giat bekerja. Di sini aku
menghirup udara bebas, merasakan hangatnya mentari dan semilirnya
hembusan angin.
sahabat, dan keluarga ada di sini
bersamaku. Di sini pula aku berkarya,
membuat hidupku bermanfaat dan
berguna bagi orang-orang seraya
bersama-sama giat bekerja. Di sini aku
menghirup udara bebas, merasakan
hangatnya mentari dan semilirnya
hembusan angin. Di sini, di tengah isak
tangis Ibu Pertiwi, aku hadir untuk
menghibur dan menyenangkan rahim
y a n g t e l a h m e l a h i r k a n k u d a n
membentuk diriku menjadi seperti
sekarang ini.
Barangkali di sini bukanlah tempat
terbaik, tapi aku tak ingin lagi terus
menyesali kenapa harus di sini. Aku ingin
hidupku memberi sejumput arti bagi Ibu
Pertiwi, karena aku sadari, hidup itu
ternyata singkat sekali. (H)
Bersatulah IndonesiaCipt. Liliana Tanoesoedibjo
Mari majulah
Indonesiaku
lirik
4/9
♫
Kristen, Dayak
Bastinus N.Matjan :
“Rumah Kita”
Dari barat sampai ke timur
berjajar pulau-pulau,
sambung menyambung menjadi satu
itulah Indonesia.
Indonesia tanah airku......
Ya, Indonesia tanah airku, tanah air kita semua. Tempat kita dilahirkan, tempat darah ibu kita menetes ketika kita dilahirkan. Indonesia adalah rumah kita dan kita adalah saudara. Tetapi, sebagai pemilik rumah tahukah Anda apa dan bagaimana rumah kita yang bernama Indonesia? Jawabannya bisa “tahu”, bisa tidak “tahu”.
Dengan semakin tenggelamnya pelajaran sejarah Indonesia, maka saya merasa yakin sebagian besar saudara-saudara saya rakyat Indonesia hanya sebagian kecil yang tahu. Selebihnya adalah yang tidak tahu, termasuk para pejabat negara sekarang.
Indonesia adalah gugusan pulau-pulau seperti yang dikatakan dalam syair lagu di atas. Sebagai gugusan pulau maka nama yang diberikan sejak jaman dahulu kala pun bermacam-macam. Cina, misalnya, sejak zaman purbakala menyebutnya Nan-Hai (Kepulauan Laut Selatan). India kuno menyebutnya Dwipantara, bangsa Arab menyebutnya Jaza'ir al-Jawi (kepulawan Jawa). Selanjutnya bangsa Eropa menyebutnya “Kepulauan Hindia” kemudian pada zaman penjajahan Belanda disebut Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda). Sedangkan pemerintah pendudukan Jepang pada 1942-1945 menyebutnya To-Indo (Hindia Timur).
Pada era tahun 1820-1887, Eduard Douwes Dekker, yang dikenal dengan nama Multatuli, mengusulkan nama yang spesifik, yaitu Insulinde, artinya “Kepulauan Hindia”. Selanjutnya pada 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), menyebut unsur kata 'India' memberi nama untuk Indonesia dengan sebutan
Cina, misalnya, sejak zaman purbakala
menyebutnya Nan-Hai (Kepulauan Laut Selatan). India kuno menyebutnya Dwipantara, bangsa Arab
menyebutnya Jaza'ir al-Jawi (kepulawan Jawa).
Selanjutnya bangsa Eropa menyebutnya “Kepulauan Hindia”
kemudian pada zaman penjajahan Belanda
disebut Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda). Sedangkan
pemerintah pendudukan Jepang pada 1942-1945 menyebutnya To-Indo
(Hindia Timur).
Rumah Kita - Bastinus
Nusantara. Setiabudi mengambil nama itu dari Kitab Pararaton, kitab kuno Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad 19, yang lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada 1920. Namun pengertian nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara pada masa Majapahit.
Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan “pulau-pulau di luar Jawa” ('antara' berarti luar/seberang dalam Sansekerta), dan Jawa disebut Jawadwipa. Seperti kita ketahui Gajah Mada pernah bersumpah yang bunyinya sebagai berikut, “lamun huwus kalah nusantara, ingsun amukti palapa” yang berarti “kalau pulau-pulau seberang telah kalah, barulah aku akan istirahat”.
Nusantara pada Majapahit yang berkonotasi penjajahan itu diubah oleh Dr. Setiabudi. Dia menggunakan kata
Melayu asli yang makananya diubah menjadi lebih nasionalis, nusa – antara. Artinya pulau di antara dua benua dan dua samudra. Dengan demikian Jawa pun termasuk di dalamnya. Nama terssebut dengan c e p a t m e n j a d i p o p u l e r d a n penggunaannya hingga sekarang tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia.
Dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations”.
Dalam artikelnya, Earl menegaskan sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.
Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ('nesos'
gambar milik : indocropcircles.wordpress.com
Rumah Kita - Bastinus
berarti pulau dalam bahasa Yunani). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
“the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians”.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa).
Earl juga berpendapat bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl m e m a n g m e n g g u n a k a n i s t i l a h Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA volume IV itu juga, halaman 252-347, Logan menulis artikel “ T h e Et h n o l o g y o f t h e I n d i a n Archipelago”. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago terlalu panjang dan membingungkan.
Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl. Huruf 'u' digantinya dengan huruf 'o' agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
“ M r . E a r l s u g g e s t s t h e ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago”.
K e t i k a m e n g u s u l k a n n a m a “Indonesia”, agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini pun menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada 1884, guru besar etnologi di Universitas Berlin, Adolf Bastian (1826-
1 9 0 5 ) , m e n e r b i t k a n b u k u “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel” sebanyak lima v o l u m e , y a n g m e m u a t h a s i l penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada 1864-1880.
B u k u B a s t i a n i n i l a h y a n g mempopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam “Encyclopedie van Nederlandsch-Indië” tahun 1918.
Rumah Kita - Bastinus
gambar milik : indocropcircles.wordpress.com
Bersatulah IndonesiaCipt. Liliana Tanoesoedibjo
Reff:
Bersatulah semua
raih kejayaan ...
lirik
5/9
♫
Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Orang pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (K i Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke Belanda pada 1913, beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama “Indonesische Pers-bureau”. Nama Indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917).
Sejalan dengan itu, sebutan inlander (pribumi) diganti dengan Indonesiër (orang Indonesia).
P a d a 1 9 2 2 , a t a s i n i s i a t i f Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk pada 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya: “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”.
D i I n d o n e s i a , D r. S u t o m o mendirikan Indonesische Studie Club pada 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 1925, Jong Islamieten Bond membentuk
Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”.
Akhirnya nama “ Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air,
Rumah Kita - Bastinus
Bung Hatta menegaskan
dalam tulisannya:
“Negara Indonesia
Merdeka yang akan
datang (de toekomstige
vrije Indonesische
staat) mustahil
disebut “Hindia Belanda”.
Juga tidak “Hindia” saja,
sebab dapat menimbulkan
kekeliruan dengan
India yang asli.
Bagi kami nama
Indonesia menyatakan
suatu tujuan politik,
karena melambangkan
dan mencita-citakan
suatu tanah air
di masa depan, dan
untuk mewujudkannya
tiap orang Indonesia
(Indonesier) akan berusaha
dengan segala tenaga
dan kemampuannya”.
Rumah Kita - Bastinus
bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada Agustus 1939, tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat / parlemen Hindia Belanda); Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Namun, Belanda menolak mosi ini.
Ketika pendudukan Jepang pada 8 Maret 1942, secara otomatis lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Lalu pada 17 Agustus 1945, seiring dengan proklamasi kemerdekaan, lahir lah Republ ik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdiri sendiri tanpa penjajahan dari bangsa asing.
Sekarang 68 tahun sudah kita merdeka dari penjajahan asing, 68 tahun sudah kita memeliki rumah besar yang bernama Indonesia. Di dalam rumah kita ada banyak harta karun, namun sayang harta karun itu banyak dirampok oleh orang asing dan para tokoh politik dan pengusaha laknat.
Mungkinkah pada
masa mendatang
tetap berada dalam
sutu rumah yang
bernama Indonesia,
atau mungkin hanya
beberapa tahun lagi
kita akan berpisah
dan tidak lagisebagai saudara?
Dalam usianya yang sudah 68 tahun itu keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat yang diamanatkan oleh Pancasila masih saja belum terwujut. Korupsi dan berbagai tindak kekerasan muncul terus akibat hukum hanya tertera di dalam kertas atau buku.
M u n g k i n k a h p a d a m a s a mendatang tetap berada dalam satu rumah yang bernama Indonesia, atau mungkin hanya beberapa tahun lagi kita akan berpisah dan tidak lagi sebagai saudara? (H)
Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan
sebagai nama tanah air, bangsa
dan bahasa pada Kerapatan
Pemoeda-Pemoedi Indonesia 28
Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan
Sumpah Pemuda.
Bersatulah IndonesiaCipt. Liliana Tanoesoedibjo
... Melengkapi
dalam perbedaan
lirik
6/9
♫
untukharmoni.com#17an
IIIdentitas,Konflikdan Usaha Damai
Islam, Orang Balikpapan
IstiToq’ah:
“Is Islamophobia an Inextinguishable (Re) Action? “
Is Islamophobia an Inextinguishable (Re) Action? - Isti
Is Islamophobia an Inextinguishable (Re) Action? - Isti
Bersatulah IndonesiaCipt. Liliana Tanoesoedibjo
Bersatulah demi
merah putih
tercinta
lirik
7/9
♫
Is Islamophobia an Inextinguishable (Re) Action? - Isti
Is Islamophobia an Inextinguishable (Re) Action? - Isti
Is Islamophobia an Inextinguishable (Re) Action? - Isti
Bersatulah IndonesiaCipt. Liliana Tanoesoedibjo
Bangkitlah
Indonesia
Tunjukkan
pada dunia...
lirik
8/9
♫
Is Islamophobia an Inextinguishable (Re) Action? - Isti
Is Islamophobia an Inextinguishable (Re) Action? - Isti
Bersatulah IndonesiaCipt. Liliana Tanoesoedibjo
... Mari majulah
Indonesiaku
lirik
9/9
♫
Is Islamophobia an Inextinguishable (Re) Action? - Isti
Is Islamophobia an Inextinguishable (Re) Action? - Isti
Is Islamophobia an Inextinguishable (Re) Action? - Isti
546 bahasa1.340 suku17.504 pulauTak ada, dan takkan pernah ada,bangsa setajir ini.
Cuma Indonesia.
VidaSemito :
“Merah Putih danReruntuhan”& “Surat Untuk Presiden”
Wida Semito
Merah Putih dan Reruntuhan - Vida
Masih segar kuingatKala bunda menganyun manja diriku di peraduan depan rumah kamiLirih lembut suaranya senandungkan lagu rinduRindu pada Sang Pencipta; Rindu pada Sang Nabi
Masih segar ku ingatKala riuh tawa canda teman-teman bermain di depan halaman rumah kamiKuning, merah, hitam atau putih warna kulit kami, tidak masalahKe masjid, gereja atau pura kami pergi mengaji kitab suci kala senja menutup hari, tidak masalahDan masih segar kuingatKala bapak sibuk memancang tiang, naikkan kain dua warna; Merah dan Putih, di depan halaman rumah kami
“Itu Bendera kita Nak! Merah Putih yang harus selalu kau jaga dengan segenap hati” ujar bapak dengan sinar bangga menatap kain itu yang gagah menari dibiru angkasa langit Indonesiaku
Dan masih segar kuingat jugaKala si Acong, Rahman, Made dan Poltak menghormat takjim pada sang Merah Putih yang berkibar gagah di depan rumah
Tapi.....itu semua masa lalu
Kini, Warna kulit kami, kini jadi masalah!Masjid, Gereja dan Pura kami mengaji kitab suci, kini jadi masalah!
Ucap “sesat” sudah jadi santapan kami setiap saatNama Tuhan Maha Pengasih yang dulu syahdu lembut disebutkini, garang berkawan parangsiap menebas siapapun yang menghadang
Dulu kawan sekarang lawanDulu sayang sekarang garangSunyi....senyap sesaat Sesakkan dada
Pelan ku dongakkan kepala, kulihat dilangit angkasa raya IndonesiakuMerah Putih ku tak lagi utuhDicabik, dikoyak, terkulai lusuh
~~
[Menteng, 14 Agustus 2013]22:32
Merah Putih dan Reruntuhanoleh: Vida Semito
Satu Rasa Satu HatiOleh Fortuna Band
@FortunaBands
Satu rasa satu hati
Semestinya kita itu...
lirik
1/7
♫
Malam semakin larut, dingin hembusan sang bayu lenakan rembulan genit yang enggan bersinar di langit kota ini untuk semakin menciutkan tubuh bulat mungilnya berselimut dibalik awan tebal.
Dentang bening suara bel di ruang tengah sebanyak dua belas kali memecah keheningan malam yang kian sepi.
“Ah, panas sekali malam ini!”, ujarku yang sejak tadi tak jua bisa pejamkan mata meski hanya untuk sekejap.
Kupaksa bangkitkan tubuh renta ini dari ranjang kecil hadiah ulang tahunku dari ibuku berpuluh tahun yang lalu. Gundah gulana sudah kurasa sejak kemarin.
Kemarin sore, kata cerita yang kudengar dari seorang perempuan cantik dari dalam kotak bersuara mengisahkan te lah ter jad i lag i penyegalan sebuah masjid karena konon dianggap “sesat” dan lagi, pembakaran rumah-rumah penduduk di Sampang, lagi-lagi karena dianggap “sesat”.
Manakala sudah tujuh tahun berlalu tanpa sebuah kepastian, nun jauh di sebrang pulau ini disebuah tempat bernama Transito hanya untuk menyembah Tuhan Yang Esa saja warga negri ini harus dibuang dari tanah
kelahirannya, dicerabut dari akarnya, kini, hal serupa terjadi lagi si sebuah pulau bernama Madura.
Hanya karena dianggap “tidak sama”, lantas sang raja merasa berhak untuk memisahkan mereka dari tanah dan makam leluhur mereka ke sebuah tempat yang jauh dari kampung halamannya, katanya orang-orang menyebut daerah baru itu: Sidoarjo.
“Ah! lagi-lagi”ujarku pilu.Akan terus lekat kuingat, manakala
aku, ibuku, ayahku, uwakku, pamanku, nenekku, kakekku dan teman-temanku harus terus berpanas matahari dan bersiram deras air hujan hanya untuk berdoa memuja Tuhan yang sama yang disembah semua manusia di setiap minggu siangnya di depan Istana kami, b e r h a ra p s u d i s a n g p e n g u a s a melembutkan hati mendengar kisah kami.
Kuberanjak menuju meja tulisku, kucari pena dan secarik kertas, coba tuliskan sebuah surat; surat cintaku yang terindah untuk presidenku. Karena ku yakin, dia pasti punya solusi terbaik untuk semua gundah yang ku rasa sejak kemarin sore.
Tinta meluncur diatas kertas putih polos dan kucoba tuangkan kegelisahan diatasnya seperti berikut:
Surat Untuk PresidenKetika beragama dipermasalahkan di negeri ini
Dramatisasi oleh: Vida Semito
Surat Untuk Presiden - Wida
Surat Untuk Presiden - Wida
“Dear Presidenku yang baikMohon kiranya bapak sudi
berbaik hati menyinggahi kami dan sodara-sodara saya sebangsa setanah air yang hanya untuk menyembah Tuhan saja dilarang!”[stop]
“Ah! formal sekali”, gumamku sambil kuremas kertas tersebut dan kulempar ke dalam keranjang rotan yang kualihkan fungsinya menjadi keranjang sampah di sisi meja tempatku menulis.
Kuambil lagi kertas dan coba mencoretkan tinta di atasnya, tapi lagi-lagi tak ada kalimat yang tepat untuk kutuliskan kepada presidenku yang bisa mewakili rasa gundahku sejak kemarin.
Senyap....Hari semakin larut beranjak
mendaki pagi dan aku termangu saja di depan serakan kertas dan pena. Pandanganku teralihkan pada sebuah foto tua di layar komputerku yang
sengaja kubiarkan menyala sejak tadi sore; sebuah foto yang menunjukkan gambar seorang anak laki-laki usia 12 tahunan dengan senyumnya yang gagah dan sorot matanya yang cerdas dan berani sambil menggengam secarik kertas.
Secarik kertas, sepertinya itu bukan kertas biasa, mungkin secarik surat pikirku dalam hati. Kugeserkan kursor pada icon loop untuk memperbesar gambar di foto dan tepat seperti dugaanku, itu adalah sebuah surat, tulisannya seperti ini: “Selamat siang Pak Presiden SBY, Apa Kabar”
Hei! tunggu!Presiden?!...surat itu menyebutkan
kata “presiden”?!“Berarti, surat dalam foto itu adalah
surat untuk presiden!”, pekikku keg i rangan sambi l meneruskan memperbesar gambar di foto tersebut untuk membaca isi suratnya yang ditulis dengan tulisan tangan.
Tertulis demikian:
Bogor, 27 Juli 2013
Selamat siang Pak Presiden SBYApa Kabar?Bapak masih ingat saya?Saya Edo pak, Edward Matthew Sitorus, yg tahun lalu pernah kirim surat
sama Bapakmungkin Bapak lupa atau tidak baca surat saya, ya udah gak apa-apa, Saya
tahu kok Bapak sibuk. Waktu buat surat itu, saya masih kelas 6 SD di SD BPK Penabur, sekarang saya sudah SMP
sekarang, saya buat lagi surat utk Bapak SBY, isinya masih sama kayak yg dulu kok. Kalo bisa, tolong bapak bilang ke walikota Bogor utk buka gereja saya, GKI Yasmin itu yg sampai sekarang masih disegel
Pak Presiden pernah lihat gereja saya akhir-akhir ini?kasian gak terawat, rumputnya sudah setinggi pagar. mungkin sudah jadi
sarang ularminggu lalu kami ibadah didepan istana Bapak lagi. Kata ibu, kebaktian di
situ sudah 30 kali. Saya aja gak inget loh, saking seringnya, tapi tak sekalipun Bapak melihat kami
Minggu lalu itu, hujan derass sekali. Kami kehujanan pak. Baju kami basah pulang dari sana, pada pilek dan masuk angin. Ibu saya bilang itu perjuangan.
Emangnya salah kami dimana? mau ibadah saja harus panas-panasan sampe hujan-hujanan segala.
Surat Untuk Presiden - Wida
Saya tahu Pak SBY pasti sibuk. mungkin juga gk sempet baca surat saya ini. tapi saya mohon, dengarkan permintaan saya ini, pak. 6 bulan lagi saya mau natalan.
Sudah 3 kali kami natalan di trotoar. sedih sekali. Semoga tahun ini, kami bisa merayakan Natal di dalam gereja. Kami mohon Pak SBY.
Salam damai dan selamat hari anak Pak SBY
EdoGKI Yasmin
Unwanted and Abandoned; Tak diinginkan dan ditinggalkan [untuk mati secara perlahan], mungkin itulah perasaan yang kini bisa kurasakan akan perasaan-perasaan mereka yang hanya karena 'beda' dengan kebanyakanorang lalu dituding “sesat”.
Masih diam termanggu kutatap foto dilayar komputerku. Hening terus hinggapi bumi dan kini hening yang sama juga merayapi dinding kalbu ini usai membaca bait demi bait kerinduan seorang anak untuk bisa kembali berdoa pada Sang Khalik dan merayakan Natal bersama handai taulannya di dalam sebuah tempat yang disebut GEREJA.
Sayup-sayup kudengar dari music playerku lirik lagu ini:for someone must stand up for what is right, cause where there's a man has no voice, there ours shall go singing...we're God eyes, God's Hands, God's minds
Kupejamkan mata coba resapkan dalam hati setiap kalimat dari lirik lagu tersebut dan bisikku: every life is beautiful; rencana-Nya selalu indah. (H)
Sayup-sayup kudengar dari music playerku lirik
lagu ini:for someone must stand up for what is right, cause where there's a man has no
voice, there ours shall go singing...we're God
eyes, God's Hands, God's minds
*Terinspirasi dari grafiti disebuah kawasan di Cikini dan sebuah surat yang ditulis oleh Edo (Edward Matthew Sitorus), salah seorang jemaat dari GKI Yasmin.
note: isi surat Edo di dalam tulisan ini, sama seperti tertulis dalam surat yang asli
Satu Rasa Satu HatiOleh Fortuna Band
@FortunaBands
Sudahkah engkau mengerti
Indahnya hitam dan putih
itu sama?
lirik
2/7
♫
Masduki :
“Jadi Sumber Kedamaian SesamaItu Indah”
Islam, Jawa
Jadi Sumber Kedamaian Sesama Itu Indah - Masduki
Ada yang mengatakan bahwa
kematangan pribadi seseorang tergantung
level pendidikannya. Namun jika dilihat
dari kenyataan yang ada, pendapat ini
tidak seratus persen benar. Sebab bisa kita
lihat dilapangan tidak sedikit yang
berpendidikan tinggi, sarjana, namun
perilakunya mencerminkan pribadi yang
masih sangat kurang dewasa.
M u d a h m e n g h a k i m i , r i n ga n
berkomentar buruk, terhadap pendapat
yang tidak sama dengan pendapat
pribadinya. Padahal orang yang dewasa
akan berpikir dulu sebelum mengambil
keputusan. Orang yang cukup matang
akan mendahulukan hati dan pikiran
ketimbang lidah atau mulut. Jadi lidah
harus ditaruh di belakang hati, bukan di
depan hati. Sebab kata orang lidah itu tak
bertulang.
Pada hakikatnya, perbedaan suku
atau budaya jarang sekali menciptakan
konflik, walau pernah terjadi (seperti di
Sampit, Kalimantan beberapa tahun
silam). Namun sesungguhnya, setahu
saya, pemicunya bukan soal suku tapi
ekonomi.
Meski demikian, perbedaan agama
cukup sering menjadi alasan terjadinya
konflik antar penduduk di Indonesia,
seperti kasus Poso. Padahal biasanya
pemicunya hanya masalah spele. Dari
Tidak disangsikan lagi bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang terkenal
dengan keragaman baik budaya, suku maupun agamanya. Keragaman ini bisa berdampak negatif juga bisa berdampak positif, tergantung kualitas
kematangan berpikir pribadi penduduknya.
masalah spele inilah emosi bangkit,
tersulut karena diobori perbedaan
agama yang terlibat dalam persoalan ini.
Dari sinilah lahir sifat balas dendam
dan menelorkan konflik besar sampai
terjadi bunuh membunuh. Jika sudah
seperti ini, konsep baik yang ditawarkan
oleh Nabi Muhammad maupun Yesus
bahwa “memaafkan itu lebih baik”
sudah tak mempan. Ini sesungguhnya
pelajaran besar bagi kita bahwa di saat
kita gagal mengendalikan emosi di level
awal, maka untuk mengendalikan emosi
yang sudah tak terkendali itu semakin
sulit dan runyam.
Cek saja pengalaman kita sendiri,
bukankah di saat gagal mengkontrol
emosi maka akibatnya penyesalan.
Kenapa begitu? Sebab banyak hal yang
seharusnya tidak dilakukan, namun
dilakukan karena out of control. Nabi
Padahal biasanya pemicunya hanya
masalah spele. Dari masalah spele inilah
emosi bangkit, tersulut karena
diobori perbedaan agama yang terlibat dalam persoalan ini.
Jadi Sumber Kedamaian Sesama Itu Indah - Masduki
Muhammad memberikan pesan
cukup bagus dalam hal ini, “sabar adalah
pada pukulan pertama”. Artinya kualitas
sabar sangat ditentukan bagaimana
sikap awal kita saat dihantam musibah,
saat emosi ditekan.
Konflik yang terjadi antarpenduduk
berbeda agama ini akan menjadi konflik
besar ketika para pemimpin agama
sendiri tidak mampu mengendalikan diri
dan hanyut dalam emosi pengikutnya.
Pada saat kasus Poso, kebetulan saya
mengikutinya lewat BBC London. Saat itu
seorang pendeta diwawancarai oleh
penyiar BBC lewat telepon. Emosinya
cukup tinggi, dan tentu dalam hal ini
setan yang tertawa, karena dia berhasil
menyulut emosi. Mungkin pemimpin
Islam demikian juga, walaupun saat itu
saya nggak menyempatkan dir i
mendengarkan kelanjutan wawancara
BBC kepada pemimpin muslim di Poso.
Ada konflik –yang menurut s aya – l e b i h m e n ge r i ka n ketimbang konflik antar agama, yaitu konflik yang bersumber dari perbedaan pendapat di dalam satu agama. Dikenal juga dengan beda aliran, grup atau kelompok. Ini biasanya lebih lama dan bisa dibilang tak ada ending-nya.
D a l a m I s l a m , s e d a r i d u l u
perbedaan selalu ada dalam hal-hal
tertentu. Setiap ahli tafsir bisa saja tidak
sependapat dengan ahli tafsir lainnya.
Perbedaan ini terjadi saat mengambil
kesimpulan atas ayat tertentu atau pada
masalah yang tidak disebutkan secara
gamblang oleh Al Quran maupun hadits.
Sehingga dalam hal ini subyektivitas ikut
menentukan dalam pengambilan
k e s i m p u l a n . Y a n g s a n g a t
menentukannya adalah level spiritual
atau kebersihan hati.
Namun perbedaan diantara ahli
tafsir ini tidak menjadikan masalah,
sebab beliau-beliau ini dewasa dalam
b e r p i k i r d a n b i s a m e n g h a r ga i
perbedaan. Imam Al-Ghozali, setahu
saya, pernah mengatakan pemahaman
firman Allah itu tergantung pada level
kebersihan hati, semakin bersih hati
seseorang maka semakin luas dan dalam
pemahaman yang diperoleh. Ini karunia
Allah. Sebab semakin bersih hati
seseorang semakin hati itu menjadi
rumah bagi Allah.
Perbedaan akan menjadi masalah
jika pribadi yang ada di aliran-aliran ini
tidak dewasa, mengedepankan emosi,
dan seperti anak kecil bahwa hanya
pendapatnya saja yang paling benar,
paling “ber-Al Quran-Hadits”. Maka
komentar-komentar tak sedap,
Namun perbedaan diantara ahli tafsir ini tidak menjadikan masalah, sebab beliau-beliau ini dewasa dalam berpikir dan bisa menghargai
perbedaan.
Satu Rasa Satu HatiOleh Fortuna Band
@FortunaBands
Pernahkah engkau sadari
Begitu banyak terjadi
Kerapuhan persaudaraan?
lirik
3/7
♫
Jadi Sumber Kedamaian Sesama Itu Indah - Masduki
menyinggung dan menyakitkan keluar
dari mulut mereka. Yang parah, sudah
salah, mengajak melakukan kesalahan
secara berjamaah. Akhirnya bisa
mengarah kepada tindakan anarkis,
seperti pembakaran Masjid Ahmadiyah
dan pembakaran serta perusakan rumah
warga Syi'ah di Madura.
Mengedepankan hati nurani dalam
setiap tindakan, dan berpikir keras
sebelum bertindak atau berkomentar,
adalah salah satu sinyal karakter pribadi
yang dewasa. Pandai dalam beragama
tidak menjamin pribadinya punya
wawasan luas dan matang dalam
berpikir. Ada yang tambah pinter
beragama (secara syari'at) tetapi
komentar-komentarnya semakin tidak
menyejukkan dan beringas. Sehingga
pendewasaan karakter dan pribadi
tergantung kepada banyak aspek.
Satu hal yang pasti, bahwa kita
sebagai orang yang beriman mesti ngerti
tujuan syari'at, rahasia diturunkannya
aturan tersebut. Misalnya konflik sekte
yang terjadi dalam Islam. Sebagian kecil
kelompok Sunni di Indonesia – tidak
semua – merasa paling berpegang Al
Quran Sunnah dan merasa pendapatnya
saja yang benar sehingga mereka dengan
enteng mencap sekte lain seperti Syi'ah
sebagai sesat. Mereka tidak sadar bahwa
didalam Sunni sendiri juga begitu banyak
perbedaan. Dan semua mengaku
rujukannya Al Quran dan Sunnah.
Kita mesti ingat bahwa Nabi
M u h a m m a d d i t u r u n k a n u n t u k
menyempurnakan akhlak. Tujuannya
agar kita punya koneksi batin dengan
Tuhan, dapet arahan-Nya, bimbingan-
Nya sehingga betul-betul bisa punya
karakter menjadi wakil-Nya untuk
memakmurkan Bumi tercinta ini. Peduli
dengan yang kurang mampu, menjaga
Bumi agar tetap hijau, tidak serakah,
senang berbagi, suka menolong, dan
lain-lain.
Mengedepankan hati nurani dalam setiap
tindakan, dan berpikir keras
sebelum bertindak atau berkomentar, adalah salah satu
sinyal karakter pribadi yang dewasa.
Kita mesti ingat bahwa Nabi Muhammad
diturunkan untuk menyempurnakan akhlak. Tujuannya
agar kita punya koneksi batin dengan
Tuhan, dapet arahan-Nya,
bimbingan-Nya sehingga betul-betul bisa punya karakter menjadi wakil-Nya
untuk memakmurkan Bumi
tercinta ini. Peduli dengan yang kurang
mampu, menjaga Bumi agar tetap
hijau, tidak serakah, senang berbagi, suka menolong, dan lain-
lain.
Jadi Sumber Kedamaian Sesama Itu Indah - Masduki
Perbedaan sudut pandang dalam
melihat satu masalah, jika tidak diiringi
dengan kematangan pribadi, ini bisa
menyulut konflik, baik antar suku, sekte
maupun antara agama. Jika tidak salah
ingat Almarhum Nurcholis Majid,
mantan rektor Paramadina pernah
berkata, “Agama itu seperti roda,
semakin keluar semakin berbeda tetapi
semakin kedalam semakin sama, jadi
satu.” Artinya tujuannya sama hanya
jalan yang diambil berbeda, dan
memang orang mendekati Tuhan
dengan jalan yang berbeda-beda.
Mana yang tercepat? Saya melihat
setiap pengikut agama merasa bahwa
yang diikutinya jalan yang paling cepat.
Ini tidak salah, selama tidak mencela
yang lain. Namun Imam Al Ghozali
m e m b e r i i sya rat , “A d a l a h j i ka
pengetahuannya semakin bertambah,
semakin bertambah rendah hatinya,
tunduknya, takutnya akan Tuhan.
Ssemakin sadar akan kekurangan dan
cacat diri, sehingga tak sempat melihat
cacat orang lain. Mencintai
kesederhanaan sehingga lebih punya
peluang untuk berbagi dan lebih
mencintai kehidupan setelah mati.”
Saya melihat dan saya yakin jika
batin seseorang hidup, punya koneksi
dengan Tuhan, persoalan-persoalan
hidup lebih bisa disederhanakan. Sebab
sabar dan doa dijadikan sebagai
penolong dalam hidupnya. Logikanya
begini jika seseorang melibatkan Tuhan
dalam kehidupannya otomatis Tuhan
melibatkan diri-Nya dalam kehidupan
seorang hamba. Dia menganugerahkan
kesabaran, memampukan dalam
m e n g n a n g a n i p e r s o a l a n y a n g
dihadapinya, menurunkan kedamaian
dan ketenangan Ilahiyah, yang mungkin
orang lain mampu lihat dari raut
wajahnya mungkin juga nggak.
Satu hal yang pasti, si penerima
sakinah dari Allah ini bisa merasakannya.
“ I n g a t A k u , m a k a a k u a k a n
mengingatmu.” Jika Allah ingat kita,
tentu bukan sekadar ingat, tetapi lebih
dari itu, Dia membantu dan menemani
hidup kita. Dan bagaimana kita menduga
Tuhan, begitu Dia kepada kita. Kualitas
hati kita kepada Allah, menentukan sikap
Dia kepada kita.
Mengapa kualitas hati harus
diprioritaskan? Sejarah membuktikan di
saat nabi Muhammad dalam ancaman
mati, di Gua Tsur –dalam perjalan hijrah
menuju Madinah (Yatsrib) – bersama
Abu Bakar. Para pembunuh telah berada
di mulut Gua tersebut, dan Abu Bakar
sangat gelisah. Ini normal, sebab jika saja
para musuh nabi tersebut sedikit
jongkok, maka Nabi Muhammad dan
Perbedaan sudut pandang dalam
melihat satu masalah, jika tidak
diiringi dengan kematangan pribadi,
ini bisa menyulut konflik, baik antar
suku, sekte maupun antara agama.
Jadi Sumber Kedamaian Sesama Itu Indah - Masduki
Abu bakar terlihat dan mungkin saja
habis riwayatnya.
Tapi Tuhan Maha Bijak dan Maha
Pemaksa, Jika Dia menghendaki apapun
akan terjadi. Saat Nabi Muhammad
melihat Abu Bakar gel isah, dia
meluncurkan sebuah kalimat yang
menunjukkan bahwa dia sedang
diselimuti oleh sakinah Ilahiyah. “Jangan
bersedih, Allah bersama kita,” yang
diabadikan dalam QS. At Taubat (9):40.
Setinggi apapun ilmu kita, sekaya
apapun kita, jika tidak menambah
kerendahan hati dan ketundukan batin
kepada Tuhan maka kebahagiaan yang
didapat akan mudah datang dan pergi.
Lebih tidak stabil dan rentan terhadap
situasi.
Berbeda dengan kebahagiaan
Ilahiyah yang berada di batin, yang jika
hanya dilengkapi dengan kebutuhan
dasar hidup saja, sudah mampu
menciptakan kedamaian diri. Artinya
income yang nggak begitu gede bisa
membuat seseorang bahagia, dan jika
lebih, mampu berbagi. Berbeda dengan
yang tidak dihinggapi oleh sakinah
ilahiyah, seberapapun income didapat
akan terasa kurang dan berat untuk
berbagi. Seandainya mau berbagi toh
biasanya karena diwajibkan dan
bukan keinginan batin yang murni.
Ada standar yang cukup baku
tentang “Manusia Surga”, karakter yang
melekat pada diri seorang peace maker
di dunia ini, dan menjadi penduduk surga
setelah mati nanti. Simak kisah singkat
figur ahli surga “Sa'd bin Abi Waqqash”
berikut yang sedikit dimodifikasi dari
aslinya.
Suatu hari di sebuah masjid ketika
rasullullah saw bersama-sama para
sahabat selesai melaksanakan sholat,
rasul mendapat informasi dari langit
bahwa sebentar lagi akan datang ahli
surga. Rasul informasikan itu pada para
sahabat. Kemudian masuklah seseorang
yang melakukan sholat dan langsung
berlalu ketika dia selesai melakukannya.
Hari berikutnya, di waktu yang
sama, rasulullah saw Mmenyampaikan
kalimat yang sama. Datanglah juga
orang yang sama. Ahli syurga yang
berjalan di madinah. Kejadian ini
mengusik rasa ingin tahu seorang
sahabat yang lain. Maka Abdullah Ibn
Amr mengikuti Sa'd. Berpura-pura ingin
menumpang di rumahnya. Tiga hari. Dia
pikir cukup untuk mengorek rahasia
Setinggi apapun ilmu kita, sekaya apapun kita, jika tidak menambah kerendahan hati dan
ketundukan batin kepada Tuhan maka kebahagiaan yang didapat akan mudah datang
dan pergi. Lebih tidak stabil dan rentan terhadap situasi.
Jadi Sumber Kedamaian Sesama Itu Indah - Masduki
amal-amal Sa'd untuk dia tiru, agar
bisa mendapat syurga Allah sebelum
kematiannya.
Namun rupanya, sahabat ini tidak
mendapati keistimewaan ibadah yang
Sa'd lakukan. Maka, dia tak tahan lagi.
Dia sampaikan semua niatnya dengan
kejujuran yang putih. Sa'd mendengar.
S a n g a t s e k s a m a . N a m u n S a ' d
menyampaikan bahwa ibadah yang dia
lakukan sama seperti yang terlihat.
Tak ada yang dianggap spesial. Tidak
dikurang-kurangi, apalagi dilebih-
lebihkan.
Sahabat yang penasaran ini
kemudian meminta undur diri dari
hadapan Sa'd. Sambil berterima kasih
karena mau menerima tumpangannya.
Beberapa langkah berjalan, Sa'd
memanggilnya.
“Wahai saudaraku, kemarilah
sebentar”, pinta Sa'd.
Kemudian sahabat ini berjalan
mendekati Sa'd. Setelah cukup dekat dia
berkata
“Ada apa wahai Sa'd”
“Mungkin,”, kata Sa'd “Kalau amal
ini yang bisa dianggap membuatku
menjadi penghuni syurga. Adalah,
setiap menjelang berbaring dan
beristirahat di malam hari, aku berusaha
memaafkan saudara-saudaraku dan
melepaskan hasad dari dalam hatiku…”
Kisah ini menunjukkan bahwa
p e m b a h a r u a n b a t i n i t u m e s t i
diutamakan, sebab dari sanalah
t i n d a k a n - t i n d a k a n s e s e o r a n g
bersumber. J ika yang di dalam
kualitasnya baik, maka secara otomatis
yang diluar akan mengikutinya. Begitu
juga dengan negara ini, step awal agar
Indonesia betul-betul menjadi rumah
b e r s a m a h a r u s d i m u l a i d a r i
pembentukan karakter.
“Bangunlah jiwanya, bangunlah
badanya” bangunan dalam didahulukan.
Jika yang di dalam damai maka yang di
luar ikut damai dan insya Allah mampu
mendamaikan. Jika hati kita sendiri
nggak damai, tenang, bagaimana
mampu mendamaikan yang lain? Ketika
hati kita benar, semakin bersih dari
kebencian, hasad dan iri terhadap
sesama dan penuh dengan maaf, maka
surga menanti.
“Mungkin,”, kata Sa'd “Kalau amal ini yang bisa dianggap membuatku menjadi penghuni syurga. Adalah, setiap
menjelang berbaring dan beristirahat di malam hari, aku berusaha memaafkan saudara-saudaraku dan melepaskan
hasad dari dalam hatiku…”
Satu Rasa Satu HatiOleh Fortuna Band
@FortunaBands
Jangan dengar kata mereka
yang tak ingin kita satu...
lirik
4/7
♫
Jadi Sumber Kedamaian Sesama Itu Indah - Masduki
Simak potongan do'a Nabi Ibrahim
berikut ini: “….dan janganlah Engkau
hinakan aku pada hari para manusia
dibangkitkan, hari di mana harta dan
anak-anak tidak lagi berguna, kecuali
mereka yang menghadap Allah dengan
hati yang bersih.”.(QS.26:87-89)
Sejauh yang saya tahu, untuk
membangkitkan, menghidupkan batin
atau secara spiritual ada yang bilang
dengan istilah inisiasi ini melalui banyak
cara. Saya secara pribadi juga pernah
mengikuti satu jalur spiritual dan pernah
ke sana-sini mencari pemandu. Namun
ternyata kuncinya “kesungguhan tanpa
palsu” dari diri kita. Seperti kata Allah
sendiri “Siapa yang serius, berjuang
keras, tulus untuk hidup dijalan-Ku akan
Kutunjukkan jalan-Ku untuk mereka”
(QS.29:69).
Reaksi awal yang muncul biasanya
kerendahan hat i dan hi langnya
fanatisme. Tuhan mempertemukan kita
dengan seseorang yang menunjukkan
start awal dan seterusnya kita sendiri
yang mesti serius. Terus ekonomi? Tuhan
akan mencukupkan kita seir ing
keseriusan kita menuju Dia. Memberkati
kita dengan cinta kesederhanaan dan
suka berbagi.
Di tengah gemerlapan dunia, di mana orang berlomba m e n u n j u k k a n m e r e k a ekonominya maju, baik itu lewat kepunyaan mobil dan kendaraan lain, kita justru dianugerahi mencintai hidup simple dan hanya mengambil dunia sebatas kebutuhan bukan keinginan.
Di sisi lain, Tuhan akan terus
menguji keseriusan kita. Apakah ketika
jatuh kita akan bangun lagi atau malah
tidur? Di sini diperlukan satu do'a, minta
kepada-Nya agar diberi semangat
berjuang yang tanpa lelah untuk menjadi
orang benar menurut Dia. Jika semangat
tanpa kenal lelah bersemayam di dalam
diri, terus mengisi hari-hari dan waktu
luang untuk memahami firman-Nya,
maka kehadiran-Nya dalam hidup kita,
sinyalnya juga akan semakin menguat.
Dia akan mengingatkan kita saat
setan sedang menggoda, ini adalah cara
Dia membantu kita agar tidak terlalu
sering jatuh dan mudah bangkit lagi.
Namun – seperti kata SupremMaster
Ching Hai, lupa dan salah tetap akan
menjadi bagian kita. Artinya Allah masih
tetap memberi ruang untuk salah dan
lupa, agar kita terus semakin rendah hati
dihadapan-Nya. Semakin lekat kepada-
Nya dan mohon ampun atas dosa-dosa
yang merupakan buah dari salah dan
lupa tersebut.
Saat kita memahami hal-hal
tersebut di atas, akan ada kontrol yang
cukup kuat untuk tidak mudah komentar
buruk atau yang menyakiti pihak lain.
Dari sini kita akan ngerti Sabda Rasul
“Berkatalah yang benar, jika tidak bisa,
diamlah”. Sehingga diam itu lebih baik
ketimbang ngomong salah atau
menyakiti.
Reaksi awal yang muncul biasanya
kerendahan hati dan hilangnya fanatisme.
Jadi Sumber Kedamaian Sesama Itu Indah - Masduki
Dan tahap berikutnya rasul
mengingatkan kita agar kita menjadi
sumber kedamaian bagi sesama,
memastikan bahwa tetangga, teman,
saudara-saudara kita selamat dari
tangan, mulut dan kaki kita. Sebab kata
Muslim itu dalam bahasa Arab bisa
berarti “ Yang memberi keselamatan”
dan “Yang menyerahkan diri kepada
Tuhan”. Bahwa yang terbaik adalah yang
paling banyak manfaatnya terhadap
sesame, dan kita berupaya bergerak
kesana.
Indonesia memang membutuhkan
pribadi-pribadi yang rendah hati, senang
berbagi, yang punya toleransi tinggi
terhadap perbedaan, lebih banyak lagi,
agar Indonesia betul-betul menjadi
“a home for all”. Keragaman agama,
suku, sekte mampu hidup berdampingan
dan bahu membahu dalam menjalani
hidup. Dan itu mesti dimulai dari kita-
kita ini.
Kita harus mampu menjadikan
iman sebagai sumber damai yang
Saat kita memahami hal-hal tersebut di
atas, akan ada kontrol yang cukup kuat untuk tidak mudah komentar buruk atau yang
menyakiti pihak lain.
Indonesia memang membutuhkan
pribadi-pribadi yang rendah hati, senang berbagi, yang punya
toleransi tinggi terhadap perbedaan,
lebih banyak lagi, agar Indonesia betul-betul menjadi “a home for
all”. Keragaman agama, suku, sekte
mampu hidup berdampingan dan
bahu membahu dalam menjalani hidup. Dan itu mesti dimulai dari
kita-kita ini.
Islam ramah yes!
Jadi Sumber Kedamaian Sesama Itu Indah - Masduki
mendamaikan. Jika kita menganggap diri
k i ta b e l u m p u nya ke m a m p u a n
memahami firman Tuhan secara
sendirian, hendaklah mencari seseorang
yang kita perhitungkan batinnya hidup.
Jika kita kreatif, di zaman internet
ini sesungguhnya sangat mudah untuk
mencari sumber yang kita cari. Cukup
dengan satu klik saja kita bisa terbang ke
Amerika, Arab, London dan lain-lain.
Situs-situs yang kita perlukan juga
tersedia untuk semua dan kebanyakan
gratis. Bisa dijadikan guru di setiap saat,
yang mampu menggiring kita meraih
kedamaian batin.
Saya secara pribadi jarang secara
khusus menonton tv, kecuali “orang
Pinggiran, IndonesiaKu, Golden Ways
dan Tv luar seperti Global 300 (DW-TV)
dan Tv Iqraa (Saudi Arabia). Selebihnya
waktu di luar kerja saya gunakan untuk
menyimak penceramah Islam, seperti
Oemar Sulaiman, Nouman Ali Khan, Yasir
Qadhi, Muhammad Ibnu Adam Al
Kautsari, Moutasem Al-Hameedi,
Hamzah yusuf, Ingrid Mattson, Mustafa
Umar, dan lainnya.
Penceramah-penceramah di atas,
menurut saya, level spiritualnya sangat
bagus, mampu menembus batin.
Sehingga saya pribadi tidak pernah
bosan untuk mengulanginya hingga
berkali-kali. Tidak boleh bosan untuk
belajar. Hampir semua resources bisa
didapat secara gratis dengan download
dari Youtube. Ini betul-betul karunia dan
mukjizat besar dari Allah.
Akhir kata, Ya Allah.. damaikan
Indonesiaku, lembutkan yang hatinya
kasar, dinginkan yang hatinya panas.
Saudarakan yang hatinya penuh
kebencian, limpahkan kepada kami-kami
hati yang pemaaf, yang rendah hati dan
penuh kasih terhadap sesama. Hiasilah
hati kami dengan kesederhanaan dan
suka berbagi, serta penuhilah dengan
cinta kepada-Mu dan kepada hamba-
hamba-Mu. Serta jadikan pribadi-
pribadi penghuni Indonesia yang
beragam ini menjadi sumber kedamaian
bagi sesama. Amien. (H)
Ya Allah.. damaikan Indonesiaku, lembutkan yang hatinya kasar, dinginkan yang hatinya
panas. Saudarakan yang hatinya penuh kebencian, limpahkan kepada kami-kami hati
yang pemaaf, yang rendah hati dan penuh kasih terhadap sesama. Hiasilah hati kami dengan
kesederhanaan dan suka berbagi, serta penuhilah dengan cinta kepada-Mu dan kepada hamba-
hamba-Mu. Serta jadikan pribadi-pribadi penghuni Indonesia yang beragam ini menjadi
sumber kedamaian bagi sesama. Amien.
Satu Rasa Satu HatiOleh Fortuna Band
@FortunaBands
... Lakukan saja
kata hatimu
lirik
5/7
♫
Kristen Katolik, Tionghoa-Sunda
Gabriella RiaApriyani :
“Etnis Tionghoa (Katanya) Tak Mau Berbaur”
Etnis Tionghoa (Katanya) Tak Mau Berbaur - Ria
Pertanyaan tersebut terlontar dari salah seorang teman pada saat presentasi budaya Cina di kelas Komunikasi Lintas Budaya (KLB) Jumat lalu. Alih-alih bertanya mengenai budaya d a r i n e g a r a y a n g s e d a n g dipresentasikan, kelas KLB yang seharusnya menjadi ajang pertukaran pengetahuan soal budaya tersebut justru berubah menjadi kelas untuk memperdebatkan masalah sosial. Sebagai seseorang(dan mungkin satu-satunya di kelas itu) yang setengah darahnya Cina, saya merasa tertohok.
Premis selanjutnya dari teman saya adalah bahwa semua peranakan Cina di Indonesia sampai sekarang masih eksklusif. Mulai dari sekolah, gereja, hingga pergaulan. Semua berkumpul dalam satu komunitas tertutup dan ia menyebut peranakan Cina di Indonesia tidak mau berbaur dengan masyarakat yang bukan keturunan Tionghoa, atau dengan istilah yang mereka gemar gunakan adalah pribumi. Dalam hati saya, saya bertanya-tanya, benarkah?
Sejak TK saya masuk ke sekolah swasta Katolik dimana mayoritas siswa di sana memang keturunan Tionghoa. Yang s a y a i n g a t , k e t i k a a y a h s a y a menyekolahkan saya di sana sama sekali tidak bermaksud membuat sebuah pagar pembatas antara saya dengan kelompok pribumi.
Ayah saya hanya ingin agar saya tetap dapat dekat dengan tradisi kami, dimana dia berharap saya bisa banyak belajar dan berbagi dengan teman-teman saya, apa yang mungkin tidak bisa dia berikan secara maksimal mengenai tradisi leluhur kami. Tidak ada maksud sama sekali untuk menjadikan saya manusia eksklusif.
“Mengapa semua Cina peranakan
di Indonesia sejak dulu
sampai sekarang tidak pernah mau berbaur
dengan pribumi?"
.. ketika ayah saya menyekolahkan saya di sana, ia sama sekali tidak
bermaksud membuat sebuah pagar pembatas antara saya
dengan kelompok pribumi.
Lingkungan tempat tinggal saya 99% bukan keturunan Tionghoa. Kami hidup rukun dan baik-baik saja. Teman main saya saat kecil semuanya bukan keturunan Tionghoa dan kami tidak pernah memperdebatkan soal suku dan identitas saat itu. Kami bermain, kami bertengkar, kami saling curang, tanpa harus berpikir apakah saya Tionghoa atau bukan.
Di sekolah saya, banyak juga mahasiswa yang bukan berasal dari keturunan Tionghoa. Dan selama 14 tahun saya bersekolah di sana, tidak pernah sekalipun saya dengar ada perdebatan mengenai asal-usul suku
Etnis Tionghoa (Katanya) Tak Mau Berbaur - Ria
Lingkungan tempat tinggal saya 99% bukan keturunan Tionghoa. Kami hidup rukun dan baik-baik saja. Teman main saya saat kecil semuanya
bukan keturunan Tionghoa dan kami tidak pernah memperdebatkan soal suku dan identitas saat itu. Kami bermain, kami bertengkar, kami saling
curang, tanpa harus berpikir apakah saya Tionghoa atau bukan.
ataupun etnis. Tidak sekali-kalipun. Teman-teman saya juga tidak. Kami tumbuh dan berkembang bersama, tanpa perlu memikirkan perbedaan
Sekalipun saya tidak memungkiri bahwa ada saja beberapa keluarga yang memang masih tertutup pemikirannya seperti yang dikatakan teman saya tersebut. Misalnya saja ada beberapa teman saya yang berasal dari keturunan Tionghoa diharuskan oleh orang tuanya untuk memilih pacar(pasangan) yang juga merupakan keturunan Tionghoa. Tapi lebih daripada itu, berkaitan dengan pergaulan pertemanan tidak pernah ada pembatasan.
Kalaupun mungkin misalnya yang tampak bahwa sebagian besar anak-anak etnis Tionghoa disekolahkan dan dikuliahkan di sekolah dan kampus ter tentu , saya p ik i r i tu bukan sepenuhnya karena tidak mau berbaur. Saya tidak akan bicara soal kualitas di sini. Tapi lebih kepada kedekatan identitas dan efisiensi.
Sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia memeluk agama Kristen,
Budhist, atau Khonghucu. Dan sebagian besar dari orang tua mereka ingin anaknya bersekolah dan kuliah di Universitas yang berbasis agama Kristen, Buddhisme, atau Konghucu (saya kurang tahu apakah ada universitas yang berbasis agama-agama ini. Kalau sekolah saya tahu ada). Tindakan itu didasarkan alasan supaya mereka mendapat pelajaran agama yang layak dan memadai, tidak kesulitan. Menurut saya ini logis. Apa bedanya dengan orang tua Muslim yang menyekolahkan anaknya di sekolah berbasis agama Islam?
Untuk semua ketidaksetujuan saya itu, saya merasa perlu memberikan
sebuah argumen. Saya tidak memungkiri bahwa memang masih ada saja keturunan Tionghoa yang cenderung bersikap eksklusif. Mungkin lebih tepatnya saya tidak suka dengan kata 'semua' yang teman saya itu gunakan. Yang saya tahu, sekarang ini sebagian besar dari kami sudah berbaur. Karena perkembangan zaman, interaksi itu tidak bisa dihindarkan lagi.
Tapi pertanyaan teman saya itu pada akhirnya menjadi sebuah bahan renungan bagi saya selama beberapa hari ini. Mungkin saya dan orang-orang keturunan Tionghoa yang lain harus mengecek ke dalam diri kami, apakah benar kami masih saja terlalu eksklusif?
Mungkin saya dan orang-orang keturunan Tionghoa yang lain harus
mengecek ke dalam diri kami, apakah benar kami masih saja
terlalu eksklusif? Namun, intropeksi diri ini juga menurut saya tidak bisa
dilakukan sepihak saja.
Etnis Tionghoa (Katanya) Tak Mau Berbaur - Ria
Namun, intropeksi diri ini juga menurut saya tidak bisa dilakukan sepihak saja. Saya tidak mau menutupi bahwa sampai saat ini masih ada saja masyarakat yang bukan keturunan Tionghoa yang melontarkan ejekan bernada SARA, sekalipun tidak frontal. Jadi bukankah ini berarti kedua belah pihak harus sama-sama intropeksi?
Entah kenapa sampai saat ini saya pribadi tidak pernah bisa menyukai istilah pribumi dan non pribumi. Istilah itu menjadikan identitas asal saya seolah sangat jauh dari Indonesia. Padahal saya lahir di Indonesia, besar di Indonesia, pertama kali menapakkan kaki di sini, meminum airnya, menghirup udaranya. Saya benar-benar merasa Indonesia. Bukan berarti kan mata yang sipit dan kulit yang lebih putih menjadikan saya bukan bagian dari Indonesia?
Entah kenapa sampai saat ini saya pribadi tidak pernah bisa menyukai istilah pribumi dan
non pribumi.
Jujur, saya takut terlalu lama istilah itu dipakai, nasionalisme saya terkikis karena lama-kelamaan saya bisa jadi merasa bahwa saya bukan orang Indonesia. Saya tidak kehilangan cinta pada negara ini, hanya saja pada sebagian masyarakatnya. Saya harap hanya saya sendiri yang merasa takut akan hal ini. Saya harap istilah pribumi dan non pribumi bisa terdengar lebih ramah di sini. (H)
Satu Rasa Satu HatiOleh Fortuna Band
@FortunaBands
Satu rasa satu hati
Semestinya kita itu...
lirik
6/7
♫
AzizahSiti :
“Tuhan dalamPasal-Pasal”
Islam, Jawa
Tuhan dalam Pasal-Pasal - Azizah
Sebagai pengatur atau regulator dipegang teguh oleh pemerintah yang bertindak membuat tata aturan bagi rakyat yang mendiami daerah yang di aturnya.
M e n u r u t S o c ra t e s , n e g a ra bukanlah semata-mata merupakan keharusan yang bersifat objektif, yang asal mulanya berpangkal pada pekerti manusia. Sedang tugas negara adalah mencipatan hukum yang harus dilakukan oleh para pemimpin atau para penguasa yang dipilih secara seksama oleh rakyat.
Keseimbangan dan keadi lan merupakan impian yang diharapkan dari adanya regulasi yang dibuat oleh pemerintah terhadap rakyatnya. Regulasi yang termuat tentu berasal dari gejolak sosial yang muncul di dalam kehidupan sosial rakyatnya. Regulasi yang dibuat terkadang membuat sebagian orang merasa tidak bebas d a l a m m e n j a l a n ka n ke h i d u p a n bermasyarakat.
Indonesia merupakan negara yang menerapkan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Pemerintah pusat member ikan hak kepada pemerintah daerah dalam bentuk otonomi daerah. Penyelenggara pemerintahan daerah dilakukan oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota. Sebagai wujud penyelenggaraan pemerintahan daerah, penyelenggara pemerintahan daerah menerbitkan peraturan untuk daerahnya dalam bentuk peraturan daerah (perda). Peraturan daerah selanjutnya disebut adalah peraturan daerah provinsi d a n / a t a u p e r a t u r a n d a e r a h kabupaten/kota.
Penerbitan peraturan daerah (perda) yang mengandung unsur
diskriminatif di tingkat kabupaten/kota bahkan provinsi marak terjadi pasca munculnya reformasi di Negara Indonesia.
Pemerintah melalui pembagian kewenangan pusat dan daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republ ik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, d i a ra h ka n u nt u k m e m p e rc e p at terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi , pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perda yang diterbitakan oleh penyelenggara daerah terkadang bersinggungan dengan hak asasi manusia sebagai pemilik hak yang diberikan oleh Tuhan. Sebagai contoh kabupaten Sampang mengeluarkan SK Bupati tentang wajib jilbab untuk pegawai negeri sipil. Selain itu, adanya Peraturan Gubernur Jabar tentang larangan untuk Jemaat Ahmadiyah. C o nto h l a i n d a e ra h ya n g j u ga mengeluarkan perda yang diskriminatif terhadap agama terjadi di Aceh, Maluku Utara dan Se latan, Poso serta Ka l i m a nta n B a rat d a n Te n ga h , Monokwari, Purwakarta, Situbondo, Tasikmalaya, Bandung, Bogor dan Cianjur, dan lain-lain.
Dari beberapa contoh di atas, dapat dis impulkan bahwa perda yang dikeluarkan daerah banyak yang
Tuhan dalam Pasal-Pasal - Azizah
berbenturan dengan hak asasi manusia dalam hal beragama. Padahal Indonesia merupakan salah satu negara yang m e m i l i k i b a n y a k a g a m a d a n kepercayaan, sehingga munculnya Perda berbasis agama akan mempersempit gerak kehidupan beragama di dalam masyarakat karena timbul sekat pemisah. Peraturan tersebut memicu konflik yang berpotensi mengganggu keseimbangan sosial, terlebih lagi dapat mengahancurkan tatanan sosial melalui aksi-aksi kekerasan bertendensi agama.
Kondisi yang terjadi di daerah adalah bahwa perda di daerah tertentu diikuti oleh daerah lain bahkan kadang dari anggota DPRD datang untuk studi banding mengenai Perda yang akan di buat di daerah sehingga terkadang tidak sesuai dengan local wisdom dari daerah yang dipimpinnya. Kenyataanya ini
membuat miris keadaan beragama di Indonesia mengingat kemajemukan beragama dan kepercayaan yang ada di dalam negara ini.
Konflik datang atas nama Perda yang berbasis agama tersebut. Kebijakan daerah yang “demokratis” ternyata menjadi bumerang bagi idealisme demokrasi, yaitu lahirnya peraturan yang anti toleransi. Hak-hak asasi manusia terenggut oleh deretan pasal-pasal yang mengatasnamakan Tuhan. Kesatuan dan persatuan merupakan cita-cita luhur dari founding father atas kemerdekaan bangsa Indonesia tercerabut oleh g e n e r a s i b a n g s a n y a d e n g a n mengatasnamakan Tuhan.
Dalam pelaksanaan kehidupan beragama, agama adalah masalah yang peka. Jika tidak tertanam saling pengertian dan toleransi di antara pemeluk agama yang berbeda-beda, akan mudah timbul pertentangan, bentrokan, bahkan permusuhan antarpemeluk agama.
Hukum yang dibuat berbasis agama jauh dari cita-cita luhur yang diharapkan, b a h k a n d a p a t d i k a t a k a n “membunuh”nya. Kualitas pemimpin mencerminkan kualitas dari regulasi yang dibuat. Sehingga pemilihan pemimpin yang berkualitas akan mempengaruhi isi dari hukum yang akan dibuat di tempatnya, sehingga tidak ada lagi wakil (yang mengatasnamakan) Tuhan di atas kekerasan yang intoleransi dalam beragama. (H)
PingSetiadi :
“Bahagia Itu Ada Dalam Kebersamaan”
Bahagia Itu Ada Dalam Kebersamaan - Ping
Jawaban-jawaban di balik negara
yang terpilih kemudian menggambarkan
negara yang dianggap ideal untuk
ditinggali, negara yang aman dan
tentram untuk melahirkan atmosfir
kebebasan beraktualisasi diri, dan
sejumlah alasan yang terpapar bahwa
sebuah negara dianggap cukup ideal
untuk bisa dianggap sebagai “rumah
tinggal”.
Kita juga sering mendengar
pengalaman cerita bahwa ketika kita
berada jauh dari rumah dari negara kita
berasal di mana kita tinggal, biasanya
kita baru tersadar bahwa kita memiliki
rumah. Kesadaran itu yang melahirkan
rasa rindu, kangen dengan segala atribut
dan suasana tentang rumah, tentang
tanah air. Dan biasanya juga “rasa” itu
semakin meng”indonesia”kan kita,
karena kita berjarak secara fisik dengan
keberadaan rumah dan negara yang
membuat “rasa” itu terlahirkan.
Rumah adalah saksi sejarah tempat
kita bertumbuh, tempat kita mengenal
dunia untuk pertama kalinya secara
lingkup kecil. Jendela yang terdapat di
rumah rumah memampukan kita
menatap dunia luar, memandang
bagaimana kehidupan tetangga kita,
kehidupan segala di luar lingkungan
hidup terkecil kita. Sedang pintu rumah
berfungsi untuk mempersilahkan
mereka yang di luar untuk bisa masuk
dan mengenal bagaimana kita di mata
pihak luar rumah.
Di dalamnya juga kita mengenal
konsep kehidupan keluarga. Keluarga
yang pada hakikatnya yang dianggap
paling mampu memberi rasa aman kita
Sering saya mengajukan pertanyaan pada teman-teman saya tentang pertanyaan ini :
Kira-kira kalau Anda memiliki
kesempatan untuk bisa bebas memilih
tinggal di mana saja di belahan dunia ini,
negara mana yangakan Anda pilih?
Bahagia Itu Ada Dalam Kebersamaan - Ping
s e b a ga i p u s a t b e r t u m b u h -
kembangnya segala hal yang disebut
kebajikan dan kebenaran hidup.
Jendela dan pintu rumah kita,
setelah menjadi media kita memandang
dunia, hendaknya menjadi t it ik
berangkat kita untuk bisa membuka
ruang dialog dengan dunia.
Begitu kita keluar melangkah dari
pintu rumah kita, kita membawa
berbagai bekal rumah berupa nilai-nilai
kecil kita tentang mengenal dunia. Nilai-
ni la i i tu mau t idak mau harus
terbenturkan dengan realita hidup yang
lebih luas selain realita rumah. Nilai-nilai
yang mengiring itu layaknya berdiri
bukan sebagai batu cadas yang keras,
melainkan sebentuk air yang mudah
melebur yang begitu lentur memperkaya
nilai-nilai kecil yang telah kita miliki
sebelumnya untuk terus membesar
melalui tempaan.
M e n u r u t A r i s t o t e l e s “manusia adalah mahluk sos ia l”, art inya manus ia bahagia bila hidup bersama orang lain. Dan untuk membuat dunia kehidupan itu harmonis dan layak untuk kita huni bersama, manusia mengenal dan belajar tentang nilai-nilai moralitas.
Ketika dalam skala kecil keluarga
dan lingkungan rumah kita mengenal
nilai-nilai moralitas untuk dipatuhi demi
menjaga keharmonisan keluarga. Ketika
skala itu kita zoom out lagi di lingkungan
RT maka kita mengenal nilai-nilai
moralitas lingkungan RT, dan terus skala
itu membesar hingga lingkungan bangsa
dan dunia.
Sapaan sesama, tangan-tangan
sesama, bentuk ketulusan orang lain
memberikan kita kekuatan hidup.
Kekuatan-kekuatan ini melahirkan
budaya yang luhur, memberi spirit yang
membebaskan kita untuk berbuat baik
bagi siapa saja dan melahirkan karya-
karya terbaik untuk peradaban.
Menolong mereka yang berbeda
bukan menjadi hal yang perlu ditakutkan
karena ikatan kekuatan keluarga yang
Jendela dan pintu rumah kita, setelah menjadi
media kita memandang dunia, hendaknya menjadi titik berangkat kita untuk
bisa membuka ruang dialog dengan dunia.
Sapaan sesama, tangan-tangan sesama, bentuk ketulusan orang lain memberikan kita kekuatan hidup.
Bahagia Itu Ada Dalam Kebersamaan - Ping
telah terjalin begitu rupa. Kesakitan
seorang sesama merupakan kesakitan
kita juga karenanya. Kekuatan budaya ini
melebihi kekuatan kekayaan alam atau
luas suatu wilayah bangsa yang kita
miliki.
Kekuatan ini juga tidak tiba-tiba
turun dari langit begitu rupa. Tetapi lebih
merupakan proses panjang yang
terbentuk dari usaha kolektif sebuah
keluarga dengan peran-peran unik di
setiap anggota-anggota di dalamnya.
Menyadar akan keunikan-keunikan
dan keragaman dalam sebuah keluarga
besar membutuhkan toleransi sebagai
jalinan untuk memeliharanya. Toleransi
yang bukan sekedar membiarkan orang
lain yang berbeda berbahagia, tetapi
melibatkan kita juga untuk bisa turut
berbahagia karenanya. Kita tidak
terpisah dengan kebahagiaan orang lain.
Rasa ketidakterpisahan ini membuat kita
menjadi tulus dalam bertoleransi.
Secara fisik kita mungkin memang
berada di rumah, berada di tanah air
rumah bersama kita Indonesia, tetapi
rasa untuk bisa merasa bahwa rumah
dan tanah air itu kita miliki belum tentu
kita miliki secara otomatis. Kita butuh
berjarak dari perspektif kita memandang
keseharian kita lebih luas, bahwa
persoalan-persoalan kehidupan itu
bukan hanya melulu permasalahan kita
sendir i secara personal , secara
lingkungan kecil rumah secara harafiah.
Toleransi yang bukan sekedar membiarkan orang lain yang berbeda berbahagia, tetapi melibatkan kita juga untuk bisa
turut berbahagia karenanya.
Cara pandang yang berjarak dan berpikir jernih
melahirkan sikap empati sebagai kunci memahami
dan menyelesaikan persoalan-persoalan
kehidupan dari lingkup
Kemampuan mengambil jarak ini
membuat kita tidak mudah tenggelam
dalam situasi negatif. Berjarak bukan
berarti tidak terlibat. Manusiawi, bila di
dalamnya kita melibatkan emosi pribadi,
tapi dengan keberjarakan juga tidak
membuat kita tertutup untuk bisa
berpikir jernih menghadapi situasi. Cara
pandang yang berjarak dan berpikir
jernih melahirkan sikap empati sebagai
kunci memahami dan menyelesaikan
persoalan-persoalan kehidupan dari
lingkup personal hingga kebangsaan.
Tatanan sebuah bangsa memang
dilahirkan dari bagaimana bangsa itu
menyelesaikan konflik-konflik yang
dihadapinya. Sebagaimana hubungan
antar manusia juga ditempa oleh konflik
dan pertengkaran.
Bahagia Itu Ada Dalam Kebersamaan - Ping
Musuh besar persoalan dalam kebersamaan di lingkar kebangsaan itu kini bukan lagi ke persoalan tentang siapa
musuh kita secara fisik (etnis, agama, ras, dan perbedaan yang tampak secara lahiriah)
Yang dibutuhkan kemudian ada lah k i ta b i sa segera terbangun dan sadar bahwa kita berada di tengah konflik-konflik yang membutuhkan k e b e r s a m a a n d a l a m penyelesaiannya.
Konflik atau musuh besar persoalan
d a l a m ke b e rs a m a a n d i l i n g ka r
kebangsaan itu kini bukan lagi ke
persoalan tentang siapa musuh kita
secara fisik (etnis, agama, ras, dan
perbedaan yang tampak secara lahiriah).
Musuh bersama itu kini bersifat abstrak,
melingkupi lingkar personal dari nafsu
hasrat kuasa pribadi, hingga persoalan
lingkar sosial dari kemiskinan, konflik
horisontal dengan segala sekat-sekat
perbedaannya yang jadi pemicu.
Ya, sebab kita dahulu pernah
disatukan bersama oleh musuh secara
fisik yang mewujud mereka yang kita
sebut bangsa penjajah. Musuh besar
secara fisik itu kini terurai menjadi
p o to n ga n - p o to n ga n ke c i l ya n g
berhambur bagai puzzle-puzzle yang
harus kita pungut dan kumpulkan dalam
perjalanan kebersamaan kita sebagai
sebuah keluarga.
Sebab kebahagiaan dalam sebuah
keluarga itu bukan dalam kesendirian,
kebahagiaan itu lahir karena keberadaan
orang di luar diri kita, bahagia itu ada
dalam kebersamaan. (H)
Musuh besar secara fisik itu kini terurai menjadi
potongan-potongan kecil yang berhambur bagai
puzzle-puzzle yang harus kita pungut
Satu Rasa Satu HatiOleh Fortuna Band
@FortunaBands
... Jangan pernah
saling hancurkan
sesama yang berbeda
lirik
7/7
♫
untukharmoni.com#17an
IIIBanggaSebagai Bangsa
RisdoSimangunsong :
“Sehabis Tujuh Belasan”
Kristen Ortodoks, Batak
Sehabis Tujuh Belasan - Risdo
Tangan anak itu memegang merah-putih kecil, yang dipakai upacara tadi. Aku terdiam sejenak memandang wajahnya. Wajah itu penuh gundah dan sedih. Dalam benakku, aku bergulat tanya, akankah anak ini nanti bisa berdiri dengan kepala tegak di tengah teman sepergaulannya dari berbagai bangsa. Ataukah dia malu menyebut nama negeri yang hampir lebur diinjak-injak kebrengsekan ini.
Aku mencoba menghiburnya dengan mencoba mengingatkannya akan sejarah agung peradaban di bumi Nusantara, tapi aku sadar segala kisah itu hanya akan membuainya jika ia toh tak bangga atas keadaan kini.
Aku mencoba menejejalkan betapa indahnya falsafah kebhinekaan, tapi matanya sudah pasti lebih melihat betapa banyak kekerasan dibingkai ego-etnoreligi.
Lantas aku berusaha menggerus cerita tentang disiplin, kreatifitas, keramah-tamahan, keindahan, dan banyak anugerah ilahi lainnya bagi bangsa ini. Tapi aku khawatir ia hanya akan mengira itu adalah sempalan kecil dari sekian banyak kebobrokan.
Lalu aku mulai diam…Hati-hati aku mulai berbisik:“Dik, kita memang lahir di masa kita
hampir tak punya lagi teladan untuk dibanggakan dari negeri ini … kepercayaan kita pada diri sendiri dan diri kita sebagai bangsa telah remuk redam diremas orang-orang dewasa, pemimpin, bapak dan ibu yang kita berikan hormat… kita jadi kecil hati, tak bangga bahkan semakin tak peduli…”
Aku genggam tangan anak itu… “Tapi
tangan kecil kita ini bisa mengembalikan bahkan menopang kebanggaan luhur yang baru. Tangan ini dipakai dalam doa, dijejalkan dalam karya dan dianjungkan dalam gelora … bisa memberi suatu arti…”
“Bahwa Tuhan tak pernah salah mendaulatkan Indonesia sebagai suatu bangsa, bahwa Pertiwi takkan mati di hati orang yang mau mengabdi … Bahwa negeri ini masih punya kita dan begitu banyak orang yang mau mengembang nadi demi kebangkitan …”
Ia diam dalam ketakmengertian… bahasaku mungkin aneh baginya, tapi ia kemudian berkata:
“Jadi Allah sayang Indonesia, Kak?”Sedikit tergagap aku jawab… “Ya, tentu
saja. Kemerdekaan kita adalah hadiah dari-Nya… “ dalam hati aku berharap ia ingat alinea ketiga mukadimah konstitusi negeri ini.
Ia menitipkan bendera kecilnya ke tanganku, lalu mulailah tampangnya jadi syahdu, “Ya Allah…,” ia menengadahkan tangan, “Ampunilah dosa-dosa bangsa kami, ampunilah kami, aku juga sayang Indonesia ya Allah… aku pengen Indonesia bangkit dari kehancuran ya Allah.. Amin Ya Rabbal alamin”
Kucium bendera kecil itu, seraya membuat tanda salib, “Ya Tuhan yang diseru sekalian alam… Ya Tuhan yang berdaulat atas bangsa ini… dengarkanlah doa anak kecil ini, aku juga mengamininya ya Bapa…”
Aku tersenyum simpul… pemandangan kecil ini pasti sudah amat jarang terjadi di persada Nusantara… Tidak untuk doa bersama, mungkin juga tidak untuk karya bersama.. (H)
Seorang perempuan kecil menghampiriku, ia bertanya :
“Masihkah kakak bangga dengan Indonesia? Masihkah kakak cinta Indonesia?”
foto milik : karangturi.com
AnastasiaMonica :
“Radio Rusak”
Islam, Betawi-Tionghoa
Radio Rusak - Anastasia
Indonesia tanah airku,Tanah tumpah darahku...D i s a n a l a h a ku b e r d i r i ,Jadi pandu ibuku...
DUAR! DUAR!Ketika meriam di luar tengah sibuk
saling menyahut, seorang anak laki-laki kecil sibuk dengan radio yang baru saja ditemukannya; milik tentara Jepang yang telah gugur, sepertinya. Ia baru saja menghapal satu lagu, meskipun takkan bisa membaca teks liriknya jika diberi—ia belum diajarkan bagaimana cara membaca dan menulis sejak kecil.
Ayahnya gugur di medan perang jauh sebelum ia lahir dan ibunya baru saja wafat beberapa hari yang lalu karena penyakit TBC.
Jadi kini, ia menyusuri jalan dengan tanah basah sambil sembunyi-sembunyi mendengarkan lagu Indonesia Raya dari radionya. Waktu itu Agustus 1945,
Indonesia sudah merdeka, katanya. Entahlah apa makna dar i kata merdeka—ia tidak tahu.
Ia hanya tahu bahwa tanah yang ia pijak kini direbut dengan gelimpangan mayat dan lautan darah.
Seorang remaja berkulit sawo matang lewat di depan Istana Merdeka, dengan dada membusung dan tangan kanan membentuk sikap hormat, ia mengikuti upacara bendera. Hari itu tanggal tujuh belas Agustus tahun 1955. Indonesia. Negara yang baru beberapa tahun diakui dunia.
Tangan kiri remaja itu memegang radio yang dimilikinya sejak sepuluh tahun lalu, masih bagus dan berfungsi
Indonesia kebangsaanku,Bangsa dan tanah airku,M a r i l a h k i t a b e r s e r u ,Indonesia bersatu...
foto milik : djejakmasa.blogspot.com
Radio Rusak - Anastasia
dengan sangat baik karena ia selalu merawatnya, dibersihkan setiap malam sebelum tidur, dibawa kemanapun ia pindah tempat tinggal.
Ia tersenyum ketika pengibaran bendera usai, nanti malam pasti di radio diulangi lagi lagu Indonesia Raya serta pidato kepresidenan.
Sambil merangkul sahabat karibnya dari Sumatera, ia berjalan menyusuri jalan Medan Merdeka.
Ia belajar untuk tumbuh bersama dengan tanah yang ia pijak; berkembang bersama negrinya.
Radio berwarna hijau tosca dengan bulatan besar di sisi kirinya dan tombol tombol kecil di kanan itu disimpan rapi oleh seorang pemuda berpakaian kaus putih, agak lusuh. Tidak ada seorang pun yang berani menyentuhnya. Tidak sang istri, tidak juga anak-anaknya.
Kadang-kadang kalau malam tiba, keluarga kecil itu mendengarkan lagu Indonesia Raya. Ah, hanya beberapa f r e k u e n s i r a d i o s a j a y a n g memperdengarkannya, itupun di jam-jam tertentu.
Mereka hidup di salah satu kota di Jawa Tengah, tempat salah satu penghasil beras, makanya pemuda itu kini bekerja sebagai petani. Tidak ada keluhan walau tinggal di bawah atap bolong-bolong dan dinding anyaman. Ini lebih baik daripada beberapa puluh tahun lalu, saat Indonesia masih dibelenggu penjajah.
Agustus 1978, Indonesia sudah bisa berdiri dengan dua kakinya sendiri, kokoh, negara yang sudah dikenal oleh dunia dengan keramahannya.
Sambil tersenyum ramah, bapak dari tiga orang anak itu melangkah meninggalkan rumah sambil membawa cangkul di pundaknya. Disapanya tetangga yang tengah duduk-duduk sambil membaca koran di teras; namanya Van Dwight Everhart,
H i d u p l a h t a n a h k u ,H i d u p l a h n e g ' r i k u ,B a n g s a k u , R a k y a t k u , semuanya...
keturunan Belanda.Hari ini panen, ya?
Agustus 1998, aku melihat kakek duduk di kursi goyangnya, tangannya mengetuk-ngetuk pelan radio berwarna hijau tosca yang mungkin sudah tidak berfungsi itu. Setahuku, kakek tidak pernah menyalakannya.
Kuhampiri kakek dengan rasa penasaran, disambut dengan senyum yang diukir indah di wajah tua itu. Diletakkannya radio itu ke atas meja yang ada di dekat kursi goyang, kemudian ia mengangkat tubuh mungilku ke dalam pangkuannya, sambil mengelus-elus rambut hitamku pelan.
“Susah ya sekarang kalau mau dengar lagu Indonesia Raya,” ujarnya pelan-pelan.
“Ada kok, Kek!” ujarku cepat.“Iya? Kapan?”“Di televisi sering muncul, lalu kalau
ada pertandingan olahraga dengan luar negri, lalu... lalu... ummm...” aku berpikir sambil menempelkan telunjukku ke dahi.
“Hehehe...” kakek terkekeh sambil menggoyangkan kursinya, “...dulu waktu kakek muda, di radio ini, setiap hari dan s e t i a p b e b e r a p a j a m s e r i n g memperdengarkannya.”
A k u m e n g a n g g u k - a n g g u k mengerti; ah, lagu kebangsaan. Siapapun akan hapal kalau nanti sudah mulai masuk sekolah. Itu kan fungsi upacara.
Aku menatap layar televisi layar datar sambil memangku adikku yang masih kecil. Usiaku sekarang sembilan belas. Disiarkan upacara bendera di
B a n g u n l a h j i w a n y a ,B a n g u n l a h b a d a n n y a ,Untuk Indonesia Raya...
I n d o n e s i a R a y a ,M e r d e k a , m e r d e k a ,Tanahku, neg'riku yang kucinta!I n d o n e s i a R a y a ,M e r d e k a , m e r d e k a ,Hiduplah Indonesia Raya.
Radio Rusak - Anastasia
televisi. Kakek, seperti biasa, memangku radio tuanya, ikut menonton bersama aku dan adik.
Radio itu mungkin adalah bagian lain dari hatinya selain nenek yang bulan lalu sudah kembali kepada Sang Pencipta dan anak-cucunya.
“Kek, mau kubelikan radio baru?” tawarku.
Kakek tersenyum, “Tidak. Radio kakek masih bagus, kok.”
“Bukannya sudah tidak berfungsi?”“ A h , k a k e k t i d a k b i s a
mendengarkan lagu kesukaan kakek di radio baru.”
Ya, Indonesia Raya, entahlah, kakek sangat senang mendengarnya.
“Kalau dengar lagu itu, kakek tahu bahwa dulu, buyut kamu ndak berjuang di medan perang seperti robot yang disetel; merdeka atau mati tanpa tahu maknanya. Kalo kata kamu, belum ada settingnya,” kakek terkekeh sendiri sebelum melanjutkan kalimatnya, “kayak radio rusak, toh? Cuma bersuara
saja, yang penting didengar.”Aku mengerutkan kening bingung.“Walaupun sekarang tanah sudah
jadi aspal, gubuk sudah jadi gedung t ing g i , tap i tu lang dan daging bersemayam dipeluk ibu pertiwi, diperjuangkan dengan tumpahan darah. Kamu ndak paham?” kakek menghela nafas, “Indonesia Raya itu kenapa kakek suka? Biar ndak lupa. Kalo kakek lupa, siapa toh yang mau nyanyiin ke cucu-cucu kakek?”
Aku terkesiap; bagaimana bisa aku cinta jika aku belum sepenuhnya mengerti tentang Indonesia?
S e u l a s s e n y u m k u b e r i k a n , kemudian aku merogoh ponselku yang buatan Korea dan mengunduh lagu Indonesia Raya.
Ah, biarlah, ponsel ini bukan buatan Indonesia, yang penting kalau ada yang melihat isinya, semua tahu bahwa ini milik orang Indonesia; ada lagu kebangsaannya di sana. (H)
GlenyszFebryanti :
“Ketika KemerdekaanBukan BerartiKebebasan”
Kristen Protestan, Batak
Ketika Kemerdekaan Bukan Berarti Kebebasan - Glen
Pada hari tersebut selalu kita dapati pemandangan yang menguji rasa memiliki kita terhadap bangsa ini. Lagu kemerdekaan yang dinyanyikan dengan lantang seakan berlomba untuk menunjukkan jiwa nasionalisme siapa yang lebih tinggi. Bendera yang digerek perlahan oleh anak-anak di setiap sekolah, lagu pembebasan yang dinyanyikan oleh peserta upacara, artikel dari berbagai media cetak tentang sejarah Indonesia atau setiap stasiun televisi yang menayangkan megahnya Upacara Kemerdekaan di Istana Negara.
Ini jelas kebanggan! Sebuah proses panjang telah berlangsung di bawah langit bernama Indonesia enam puluh delapan tahun silam. Ratusan bahkan ribuan nyawa pejuang negeri ini telah berkorban. Dan sebuah penantian panjang yang akhirnya menghasilkan pengakuan dan kebebasan dari penjajahan. Jadi apakah sudah bisa dibilang 'bebas'?
Sayangnya, Indonesia belum mampu membuat semua warga negaranya percaya pada Indonesia itu sendiri. Bentuk demonstrasi anarkis masih sering terjadi karena kekecewaan dalam pemerintahan, kasus korupsi yang
Setiap tahun perayaan 17 Agustus tidak pernah menjadi hal yang 'biasa saja' untuk bangsa
Indonesia. Akan selalu ada pidato kebanggaan, perlombaan dan upacara 17-an yang memberikan
nilai lebih dibanding hari lainnya.
tidak pernah berhenti mengalir dilakukan pejabat negeri ini, tindak kriminal karena masalah ekonomi, konflik antar agama di beberapa daerah, kasus narkoba yang merajalela di kalangan anak muda, banyaknya perokok aktif yang meracuni orang lain yang tidak merokok (yang sebagian besar adalah anak-anak), dan rentetan kasus lainnya yang mendampingi negeri ini.
Apakah ini bukti Indonesia belum benar-benar bisa dikatakan merdeka? Ini salah masyarakat atau pemerintah? Tidak adil jika kita mempersalahkan satu nama atas nama lainnya untuk jutaan kasus di negeri ini. Terus menyudutkan pemerintah dengan tuntutan ataupun aksi anarkis bukanlah upaya yang tepat.
Indonesia perlu pemerataan di setiap wilayah dalam hal infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Mahalnya biaya operasional setiap infrastruktur turut menjadi alasan terhambatnya pembangunan di daerah, rendahnya kesadaran akan kesehatan, kurangnya sarana pendidikan di tempat terpencil, masih rendahnya kesejahteraan guru dan pengajaran maksimal. Karena dari itu setiap anak muda harus peka dan inisiatif memulai pergerakan membantu Indonesia mewujudkan apa yang dikatakan 'merdeka'.
Di saat kita memperingati hari kemerdekaan, banyak anak Indonesia di luar sana yang terancam putus sekolah, kelaparan, kedinginan, tidur di jalanan, atau terlibat kasus kriminal. Saat membaca atau mendengar kata ' I n d o n e s i a ' d i s e b u t d e n g a n penggambaran yang demikian, jawaban
Ini jelas kebanggan! Sebuah proses panjang telah berlangsung di bawah langit bernama Indonesia enam puluh delapan tahun silam.
bagaimana potret Indonesia masa depan adalah tanggung jawab wajib setiap warga negara.
Indonesia telah memiliki banyak orang yang mampu berwacana dengan sempurna, menghasilkan pikiran dan ide paling bijak yang pernah ada, tetapi sekarang Indonesia membutuhkan realisasi atas mimpi-mimpi di atas kertas tersebut. Bagaimana sinkronisasi masyarakat dan pemerintah untuk mencipkatan kenyamanan bersama adalah yang terpenting.
“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin
saya laksanakan adalah, agar
mahasiswa Indonesia berkembang menjadi
“manusia-manusia yang biasa”. Menjadi
pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang
manusia yang normal, sebagai seorang
manusia yang tidak mengingkari
eksistensi hidupnya sebagai seorang
mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang
manusia.” ― Soe Hok Gie
Indonesia telah memiliki banyak orang yang mampu berwacana
dengan sempurna, menghasilkan pikiran dan ide paling bijak
yang pernah ada, tetapi sekarang
Indonesia membutuhkan realisasi atas mimpi-mimpi di atas kertas
tersebut.
Kepada set iap anak muda Indonesia, negara ini bukan untuk para koruptor, bukan untuk mereka yang membeli kekuasaan, bukan untuk orang yang ragu akan negaranya sendiri, bukan untuk orang yang tidak peduli akan bangsanya, bukan untuk orang yang hanya ingin jadi follower dan bukan untuk orang yang enggan berjuang.
Kita adalah anak Indonesia yang ditakdirkan lahir untuk menjadi teladan, yang menawarkan diri membantu orang-orang miskin dan terpinggirkan, merangkul perbedaan, memahami s e j a ra h d a n b e r t i n d a k d e n ga n menegakkan ni la i kemanusiaan. Indonesia tidak membutuhkan orang yang hanya dapat mengkritik tetapi Indonesia butuh anak muda yang
mampu menciptakan solusi dan realisasinya untuk setiap masalah. Kita bisa mulai dari detik ini.
Karena kebebasan adalah harga yang harus dibayar mati! Untuk sebuah kata 'merdeka'.
Indonesia, 17 Agustus 2013
Ketika Kemerdekaan Bukan Berarti Kebebasan - Glen
untukharmoni.com#17an
ParaPenulisCintaDamai
Bernama pena: Ararancha Hanazono), berstatus sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Bunda Mulia. Tertarik pada sastra dan jurnalistik, saat ini menjabat sebagai koordinator majalah kampus dan wakil ketua klub Jurnalistik.
D a p a t d i k o n t a k v i a e m a i l [email protected] atau Twitter @ararancha
Anastasia MonicaPenulis pernah menjadi dosen FPOK Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan kini telah pensiun. Kini penulis menjabat sebagai sekretaris umum Dewan Adat Dayak Jawa Barat.
Kontak penulis di email:[email protected]
Bastinus Matjan
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, dan saat ini sedang menjalani pendidikan Pasca Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung. Ketertarikan utama dalam bidang penegakan hak asasi manusia dalam berbagai cabang dengan dasar filosofis filsafat manusia atau humanisme. Saat ini sedang menyusun riset untuk tesis dalam bidang pencari suaka/ asylum seeker.
Dapat dihubungi di: [email protected] atauTwitter @lalatobing atau B log lalaignatiatobing.blogspot.com
Clara Tobing
Saat ini kuliah magister Hukum di Universitas Padjajaran. Ngebolang ke sana ke sini dan foto -foto adalah hobinya. Intens terhadap isu Hak Azasi Manusia dan keberagaman.
Dapat dihubungi di: email [email protected] atauTwitter @zahguuulll
Azizah Siti
Dear Brothers and Sisters,
I am Isti Toq'ah. In social media, people
know me as Meccisti Mecca. I was born
and grown up in Balikpapan at the last
day of 1992. That's why I prefer to be
k n o w n a s B a l i k p a p a n e s e t o
Javanese—although my parents are
Javanese. I'm proud of being guided by
my faith, Islam. I don't want to enjoy it
alone because Islam is rahmatan
lil'alaamiin (blesses for every being).
Warm Regards,
Your Sister
Twitter @meccistimecca
B l o g p e a c e o f h u m a n i t a r i a n -
brotherhood.blogspot.com
Isti Toq’ahGlenysz Febryanti
Nama saya Glenysz Febryanti Limbong, akrab dipanggil Glen. Saya adalah seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Saya seorang Christian, berdomisili di Depok, Jawa Barat. Menyukai hal tulis menulis berbau isu sosial, agama dan fiksi. Menarik bagi saya ketika kita bisa berbicara, meredakan konflik dan menciptakan perubahan lewat tulisan.
Kontak bisa melalui :Twitter @gleenfbrBlog gleenfebry.tumblr.com
Saya Masduki, lahir, -menurut ijazah dan KTP – 9 Januari 1968, di sebuah pelosok dusun kayang, Desa Bader, kec. Dolopo Kab. Madiun, 15 menit perjalanan sepeda motor menuju Danau Ngebel Ponorogo. Hidup saya banyak dipenuhi oleh kekecewaan saat belajar disekolah – yang menurut saya – karena kualitas gurunya yang minim dan hanya mengikuti kurikulum, yang nggak peduli anak2 bisa atau tidak. Khususnya bahasa Arab dan Inggris. Dari tekanan batin yang pengen mampu berbahasa Inggris, saya pernah bertanya gimana caranya bisa, tapi guru saya bilang “Pergi saja ke Australia” saya kecewa.
Kekecewaan di PGAN Ponorogo, membuatsaya di tahun 1988 hijrah ke Jogja, ke PP. Al-Munawir Krapyak. Asuhan Mbah Yai Ali maksum. Di Jogja saya hanya mondok selama 3 tahun dengan biaya sendiri, maksudnya sambil kerja. Lalu hijrah ke Sampang Madura 1 setengah tahun. Desember 1993 saya pergi Balikpapan untuk cari kerja dan sempat bekerja di Plywood PT Inne
Dongwha (KORINDO) sekitar 4 tahun. Tahun 1998 menikah dijawa dan istri saya bawa ke Balikpapan. Karena sakit saya keluar dari perusahaan dan nganggur selama 1 tahun.Desember 1999 pulang ke Blitar sampai sekarang. Tapi anak saya kelahiran Balikpapan. Hidup ini memang berliku dan kita pasti p e r n a h b e r b u at s a l a h . N a m u n keterpurukan bisa memaksa kita menjerit kepada Tuhan. Dan Tuhan menunjuki jalan, menuju Dia, kecil tapi cukup menarik dan menantang, sekaligus menyenangkan.
E-mail [email protected] thevalueofsincerity.blogspot.com
Masduki
Keseharian beraktivitas sebagai guru gambar di SDK Yahya, Bandung. Montir Garasi 10, Bandung, dan pekerja lepas ilustrasi dan desain.
Kontak penulis di email: [email protected] Blog mystupidmind-mystupidmind.blogspot.com
Ping Setiadi
Mahasiswi jurnalistik. Hobinya hujan-hujanan. Terobsesi pada anak kecil. Menulis untuk waktu luang dan waktu tidak luang. Cinta damai.
Kontak penulis di email [email protected] atau twitter @GRiaA_ juga blog inilahtandatitiknya.blogspot.com
Ria Apriyani
Rio Tuasikal3/4 Sunda 1/4 Maluku. Gemar obrolan
dan aktivitas keberagaman. Suka
promosi persahabatan lintas-iman.
Lulusan jurnalistik. Penulis koordinator
di untukharmoni.com. Cinta damai.
Berteman dengannya di email [email protected] twitter @riotuasikal blog riotuasikal.com
Mengambil jurusan manajemen di Universitas Gunadarma angkatan 2011. Membaca, mendengarkan musik dan bermain musik (gitar) adalah sebagian hobinya. Saat ini aktif sebagai Kepala Bidang Seni dan Budaya di BEM Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma, Sebagai Secretary-General di organisasi kepemudaan yang baru dirintisnya yaitu iCare (Interfaith Trajectory) yang bergerak di bidang toleransi keagamaan (interfaith) di Indonesia. Tergabung pula di Young On Top Campus Ambassador (YOTCA) batch 4 dan juga aktif menjadi volunteer di organisasi kepemudaan YEP! (YouthEmPowering).
D a p a t d i h u b u n g i d i e m a i l [email protected] twitter @risarahs
Risa Sarah
Penulis adalah seorang blogger pemula,
pengiat media sosial yang tertarik pada
dunia tulis menulis terutama filsafat,
agama, dan fiksi. Penulis lulusan Teknik
Informat ika , ber wirausaha dan
pemerhati kesehatan ginjal. Saat ini
berdomisili di Bantul, Yogyakarta.
K o n t a k p e n u l i s d i e m a i l :
Willy Illuminatoz
Baca, nerjemahin, ngedit, ngoceh sesekali nulis dan baca puisi sambil berdoa syafaat di atas kuda lumping
Twitter @RisdoMangun
Blog· beranirukun.wordpress.com
Risdo Simangunsong Vida SemitoWidayati Semito yang oleh rekan-
rekannya biasa dipanggil Wida Semito
atau Vida Semito. Warga Indonesia yang
100% proud to be Baha'i and proud to be
Indonesian. Lahir di Yogyakarta pada 26
Desember dan menyelesaikan S3 nya
(SD, SMP, SMA) di Bandung, jadi lebih
senang di sebut Indonesian born
Sundanesse. Karena kecintaannya pada
nasionalisme salah satu bapak bangsa
Soekarno, sempat mempelajari Ilmu
Hukum di Universitas Bung Karno.
M a s i h m e m e n d a m k e i n g i n a n
terbesarnya untuk menjadi ahli dalam
bidang wine dan menjadi editor dan
kritikus dalam bidang kuliner & restoran,
penyuka makanan tapi tak bisa
memasak, senang menari, tapi bukan
penari dan pencinta menulis but not a
writer yet, aktifitas sehari-harinya
sebagai kontibutor lepas beberapa
media online dan mengajar TK dan SD di
bilangan Jakarta Pusat.
Kontak penulis di email :
untukharmoni.com#17an
IndonesiaIndonesiaRumahRumahBersamaBersama
Sebab Indonesia rumah bersama
negara harus ramah pada semua
Download buku kompilasi lainnya di :untukharmoni.com/search/label/Buku
13 suara untuk 68 tahun Indonesia