Upload
canteng
View
599
Download
18
Embed Size (px)
Citation preview
CANINE DISTEMPER VIRUS (CDV)
PADA ANJING SHIT TZU
(NOMOR PROTOKOL 427/N/12)
Oleh :
Drh. I Putu Arya Adikara, S.KHEmail : [email protected]
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Riwayat Kasus
Pada tanggal 6 Juli 2012 telah dilakukan pemeriksaan terhadap anjing shit
tzu milik Bapak Wayan Patra yang terletak di Br. Manuk, Desa. Susut, Bangli.
Anjing yang diperiksa berjenis kelamin betina, berumur 3 bulan dengan berat 1,5
kg. Anjing yang dimiliki pemilik sebanyak 6 ekor, 3 ekor sakit dan 2 ekor mati.
Menurut keterangan pemilik, hewan sakit ini seminggu setelah divaksin parvo
tunggal. Jumlah keseluruhan anjing yang dimiliki Bapak Wayan Patra dengan
nomor protokol 427/N/12 berjumlah 6 ekor. 1 anjing dewasa dan 5 anjing muda.
Berdasarkan keterangan pemilik anjing menunjukkan gejala sakit sudah
terlihat seminggu setelah divaksin parvo tunggal dengan menunjukkan gejala
klinis berupa anoreksia, suhu tubuh tinggi, muntah, leleran hidung mukopurulen,
diare, terdapat pustula di bagian abdomen, telapak kaki mengeras (hardpad
disease) dan kejang-kejang. Anjing pernah divaksin parvo tunggal dan sudah
pernah mendapatkan pemeriksaan dari Dokter Hewan.
Berdasarkan epidemiologi, anamnesa, gejala klinis dan patologi anatomi
yang terlihat pada anjing dengan nomor protokol 427/N/12, di diagnosa suspect
Canine Distemper Virus (CDV). Anjing mati pada tanggal 6 Juli 2012 pukul 11.15
AM. Kemudian dilakukan nekropsi untuk melihat perubahan Patologi Anatomi
1
(PA) dari semua organ dan mengirimkan sampel berupa organ ke Laboratorium
Patologi, Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Virologi untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut mengenai penyebab penyakit.
1.2. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang akan dijawab dalam studi kasus ini antara lain :
1. Apa diagnosa penyakit dari kasus dengan nomor protokol 427/N/12
berdasarkan epidemiologi, anamnesa, gejala klinis, patologi anatomi,
histopatologi dan pemeriksaan laboratorium pendukung?
2. Bagaimana gambaran patologi anatomi, histopatologi dan pemeriksaan
laboratorium pendukung dari kasus dengan nomor protokol 427/N/12?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk :
1. Mengetahui agen utama penyebab penyakit pada hewan kasus dengan
nomor protokol 427/N/12 berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.
2. Mengetahui gambaran patologi anatomi, histopatologi dan hasil
pemeriksaan laboratorium pendukung.
1.4. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan studi kasus ini adalah :
1. Memberikan gambaran secara rinci terhadap suatu kasus dari
epidemiologi, gejala klinis sampai perubahan pada organ dan didukung
dengan pemeriksaan laboratorium.
2. Memberikan gambaran pada calon Dokter Hewan untuk mendiagnosa
suatu penyakit berdasarkan gejala klinis dan ditunjang dengan hasil
pemeriksaan laboratorium.
2
BAB II
MATERI DAN METODE
2.1. Laboratorium Patologi
Spesimen yang digunakan dalam pemeriksaan histopatologi diambil dari
organ yang mengalami perubahan secara makroskopis maupun organ yang diduga
mengalami perubahan berdasarkan gejala klinis. Organ yang diambil untuk
pemeriksaan histopatologi adalah otak, paru-paru, limpa, jantung, ginjal, hati, usus
dan vesika urinaria.
Materi : Otak, paru-paru, limpa, usus dan vesika urinaria
Metode : Pembuatan preparat histopatologi
Cara kerja :
1) Sampel organ yang akan diperiksa dipotong kecil dengan ukuran 1x1x1 cm,
kemudian direndam dalam larutan Neutral Buffer Formalin (NBF) 10%.
2) Sampel kemudian diiris tipis untuk disimpan dalam tissue cassette dan
dilakukan fiksasi dalam larutan NBF 10% selama 24 jam
3) Setelah fiksasi, dilakukan dehidrasi bertingkat dengan cara merendam
potongan organ secara berturut-turut kedalam alkohol 70%, 80%, 90%, 96%,
dan alkohol absolut (98%) selama beberapa jam.
4) Kemudian dilakukan clearing atau penjernihan dengan merendam potongan
organ dalam Xylol atau Toulena atau Benzena, lalu infiltrasi dengan paraffin
cair.
5) Sampel organ dilakukan embedding set dan blocking menggunakan paraffin
cair untuk mempermudah pemotongan jaringan kemudian disimpan dalam
lemari es selama 24 jam.
6) Blok yang sudah dingin dilakukan disectioning atau pemotongan dengan alat
microtome ± 4-5 mikron.
7) Tahap selanjuntnya adalah tahap pewarnaan dengan metode Harris-
Haemotoxylin Eosin dan mounting media.
8) Preparat histopatologi diamati di bawah mikroskop dan dicatat perubahan
mikroskopik yang ditemukan.
3
2.2. Laboratorium Mikrobilogi
Materi : Organ yang mengalami perubahan makroskopis berupa otak,
paru-paru, limpa, usus, dan V.U.
Metode : Isolasi bakteri pada media penyubur Sheep Blood Agar (SBA),
dan media selektif Eosin Methylen Blue Agar (EMBA), serta
identifikasi bakteri dengan pengamatan pertumbuhan koloni
pada media, pewarnaan gram, uji katalase, uji oksidase, uji
biokimia dan penanaman pada media Triple Sugar Iron Agar
(TSIA), Sulfite Indol Motility (SIM), Simmon Citrate Agar
(SCA), Methyl Red Voges Proskauer Medium (MRVP) dan uji
gula-gula dengan penanaman media yang mengandung laktosa
dan galaktosa.
Cara Kerja :
1. Penanaman pada media Sheep Blood Agar (SBA)
Media yang digunakan untuk penanaman adalah Sheep Blood Agar
(SBA). Isolasi bakteri dilakukan dengan cara : dengan menggunakan gunting
steril, paru-paru, limpa, usus, dan V.U dilukai atau dikoyak dengan ossa
steril, lalu cairannya diambil dengan ossa steril kemudian diusapkan pada
permukaan media biakan. Media biakan yang sudah dipupuk diinkubasikan
pada suhu 37º C selama 24 jam. Diamati pertumbuhan koloni pada media
secara makroskopis untuk melihat bentuk, warna, tepian, elevasi, konsistensi,
bau dan diameter koloni.
2. Penanaman pada media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA)
Cara penanamannya sama dengan penanaman pada media Sheep Blood
Agar (SBA) Media biakan yang sudah dipupuk diinkubasikan pada suhu 37º
C selama 24 jam. Diamati pertumbuhan koloni pada media secara
makroskopis untuk melihat bentuk, warna, tepian, elevasi, konsistensi, bau
dan diameter koloni.
4
3. Uji Penggunaan Asam Amino
a) Penanaman pada media Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
Penanaman kuman pada media Triple Sugar Iron Agar (TSIA) untuk
mengetahui ada tidaknya fermentasi karbohidrat, produksi H2S dan gelembung
gas. Penanaman kuman pada media TSIA dilakukan dengan cara koloni
kuman diambil menggunakan needle steril kemudian ditusukkan pada bagian
tegak dari media lalu digoreskan pada bagian miring media, selanjutnya media
diinkubasikan pada 37º C selama 24 jam.fermentasi karbohidrat ditandai
dengan perubahan warna pada media TSIA dari merah menjadi kuning.
Produksi H2S ditandai dengan perubahan warna media menjadi hitam. Adanya
gas dapat diamati dengan adanya gelembung gas dan keretakan pada media.
b) Penanaman pada media Sulfite Indol Agar (SIM)
Penanaman pada media Sulfite Indol Agar (SIM) untuk mengetahui sifat
kuman dalam memproduksi H2S, indol dan pergerakan kuman (motilitas).
Penanaman kuman pada media SIM dilakukan dengan cara koloni kuman
diambil menggunakan needle steril kemudian ditusukkan tegak lurus pada
media, selanjutnya media diinkubasikan pada suhu 37º C selama 24 jam.
Produksi H2S ditandai dengan media berwarna hitam, produksi indol dapat
dilihat setelah ditetesi dengan reagen Erlich/kovac’s sebanyak 3-5 tetes
kedalam media, bila indol positif terbentuk cincin merah pada permukaan
medium, kuman motil akan terlihat kekaburan media di tempat tusukan ossa.
1) Uji Penggunaan Citrat
Penanaman pada media Simmon Citrat Agar (SCA) untuk mengetahui
sifat kuman dalam menggunakan sitrat sebagai sumber karbon atau tidak.
Penanaman kuman pada media SCA dilakukan dengan cara koloni kuman
diambil menggunakan needle steril lalu diusapkan pada permukaan media
mulai dari pangkal sampai ke ujung yang sama pada media. Kemudian
diinkubasikan pada suhu 37º C selama 24 jam.Hasil positif ditandai dengan
perubahan warna media dari hijau menjadi biru.
5
2) Uji Fermentasi Karbohidrat
a. Uji Gula-gula
Uji gula-gula meliputi uji glukosa dan laktosa. Uji ini dilakukan untuk
mengetahui adanya fermentasi gula. Koloni pada media biakan diambil
dengan ossa steril, lalu dicelupkan pada masing-masing media yang berbentuk
cair dan di dasar tabung durham. Media diinkubasikan dengan suhu 37º C
selama 24 jam. Diamati perubahan warna pada media dan produksi gas dengan
adanya gas di dalam tabung durham.
b. Uji Methyl Red Voges Proskauer Medium (MRVP)
Penanaman pada media Methyl Red Voges Proskauer Medium (MRVP)
untuk mengetahui sifat kuman dalam memproduksi asam tunggal atau
campuran dan asetil metal karbinol. Koloni diambil dengan needle steril
kemudian dicelupkan pada media, selanjutnya media diinkubasikan dengan
suhu 37º C selama 24 jam. Media dibagi dalam dua tabung yang steril. Tabung
pertama ditetesi dengan reagen MR dan tabung kedua ditetesi dengan reagen
VP. Hasil positif ditandai dengan adanya warna merah pada media.
3) Uji Respirasi Karbohidrat
Uji respirasi karbohidrat dilakukan dengan menggunakan uji katalase dan
uji oksidase.
a. Uji Katalase
Uji katalase dilakukan dengan cara mengambil koloni yang dicurigai pada
media selektif dengan ossa steril dan dioleskan pada obyek gelas kemudian
ditetesi H2O2 3%, kemudian homogenkan. Amati ada tidaknya gelembung gas.
Hasil positif ditandai dengan adanya gelembung gas pada obyek gelas.
b. Uji Oksidase
Uji Oksidase dilakukan dengan cara mencelupkan stick oksidase pada
reagen, kemudian koloni kuman dioleskan pada stick tersebut dan amati
perubahan warna yang terjadi. Hasil positif ditandai dengan adanya perubahan
warna stick oksidase menjadi warna ungu.
6
4) Pengecatan Gram
Koloni pada media biakan diambil dengan ossa steril dan dioleskan pada
obyek gelas kemudian difiksasi. Olesan tersebut ditetesi dengan Crystal violet dan
diamkan selama 2 menit kemudian cuci dengan air mengalir. Tahap selanjutnya
ditetesi dengan Iodine dan diamkan selama 2 menit lalu dicuci dengan alkohol
70%. Tahap yang terakhir adalah pewarnaan dengan safranin dengan cara
diteteskan dan diamkan selama 30 detik kemudian dicuci dengan air mengalir.
Preparat dikeringkan dan diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran
obyektif 100X dan ditambahkan minyak emersi, amati warna dan bentuk kuman.
Bakteri gram positif akan berwarna ungu karena menyerap warna crystal violet
sedangkan bakteri gram negatif akan berwarna merah karena menyerap warna
safranin.
2.3 Laboratorium Virologi
Materi : Otak, paru-paru, limpa,vesica urinaria
Metode : 1) Pembuatan inokulum dari spesimen organ
2) Penanaman inokulum pada Telur Ayam Bertunas (TAB) umur 11
hari melalui Corio Alantois Membran (CAM)
3) Panen membran korioalantois
4) Isolasi Ribonucleic Acid (RNA)
5) Uji RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction)
Cara Kerja :
1. Penyiapan inokulum
Inokulum dibuat dari gerusan organ yang terlebih dahulu dipotong kecil
dan dihaluskan. Organ tersebut digerus dalam tabung eppendorf menggunakan
pipet pastel sambil ditambahkan cairan Phosphate Buffered Saline (PBS) hingga
mencapai konsentrasi 10%.
Suspensi jaringan disentrifuge dengan kecepatan 15000 rpm selama 10
menit. Supernatannya diambil dengan pipet mikro sebanyak 400 µl, lalu
ditambahkan antibiotik penstrep® dengan menggunakan tuberculin syringe
(1ml) sebanyak 0,2 ml. Suspensi diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit.
7
2. Inokulasi pada Telur Ayam Bertunas (TAB)
Penanaman dilakukan pada TAB umur 11 hari. Pertama, telur tersebut
diteropong untuk mengetahui keadaan embrio, batas dari daerah kantung udara
alami dan daerah di salah satu sisi telur yang bebas pembuluh darah. Kemudian
batas dari daerah kantung udara alami dan daerah di salah satu sisi yang bebas
pembuluh darah ditandai dengan pensil. Dengan alat penusuk, buat lubang pada
cangkang telur di daerah kantung udara alami dan daerah di salah satu sisi yang
bebas pembuluh darah sesuai dengan tanda sebelumnya. Pembuatan lubang pada
sisi telur tersebut hendaknya dilakukan sedemikian rupa sehingga jarum tidak
tampak menembus membran.
Lubang kedua dibuat pada posisi memanjang tempat kantung udara
buatan dibuat. Dengan menggunakan bola karet penghisap, di daerah kantung
udara dihisap hingga kantung udara buatan yang ingin dibuat memadai dan
membran korio alantois lepas dari shell membrane.
Sebanyak 0,1-0,8 ml inokulum ditanam menggunakan tuberculin syringe
(1 ml) ke dalam kantung udara buatan. Tutup lubang yang terdapat pada
cangkang dengan kuteks. Diberikan label seperlunya dengan pensil pada telur
yang telah diinokulasikan.
Selanjutnya telur diinkubasi pada suhu 37°C dengan posisi horizontal atau
memanjang, dan diamati setiap hari. Bila embrio terlihat mati, segera dilakukan
panen, namun bila dalam waktu 5 hari belum mati maka dilakukan panen paksa.
3. Panen Membran Korioalantois (CAM)
Masukkan telur yang siap panen ke dalam lemari es (4º C - 5º C) selama
beberapa jam untuk mengurangi pendarahan saat membuka telur. Selanjutnya
kerabang telur pada daerah kantung udara buatan dibuka dengan gunting,
embrio dan cairan telur dikeluarkan. Membran korioalantois dipisahkan dan
dicuci dengan cairan Phosphate Buffered Saline (PBS). Amati pertumbuhan
bunga karang (pox) pada CAM. Bagian yang dicurigai dipotong dan
dimasukkan ke dalam tabung eppendorf.
8
4. Isolasi Ribonucleic acid (RNA)
RNA virus diisolasi dari membran korioalantois. Sampel berupa membran
korioalantois digerus dalam tabung appendorf dengan tujuan menghancurkan sel
sehingga virus yang merupakan obligat intraseluler dapat dikeluarkan. Hasil
gerusan ditambah dengan 1000 µl PBS untuk mengencerkannya, lalu
disentrifuge dengan kecepatan 15000 rcf selama 10 menit. Supernatan
dipisahkan dalam tabung appendorf, selanjutnya diproses untuk isolasi RNA.
Dalam pengisolasian RNA, diambil supernatan sebanyak 250 µl dan
ditambahkan 375 µl Trizol LS Reagent lalu vortex selama 1 menit. Trizol
berfungsi untuk membunuh virus dengan menghancurkan protein virus.
Inkubasikan pada suhu kamar selama 5 menit. Tambahkan 125 µl chloroform
kemudian vortex selama 15 detik dan diinkubasi pada suhu kamar selama 15
menit. Chloroform berfungsi untuk mengikat trizol.
Setelah itu, disentrifuge dengan kecepatan 12000 rcf selama 15 menit.
Bagian aquaeus dipisahkan ke dalam tabung steril, tambahkan isopropyl alcohol
250 µl dan inkubasikan selama 10 menit. Lalu sentrifuge dengan kecepatan
12000 rcf selama 10 menit. Isoprophyl alcohol berfungsi membersihkan sisi
lemak.
Buang supernatannya, tambahkan alkohol 70% sebanyak 1000 µl
kemudian homogenkan. Sentrifuge kembali dengan kecepatan 7500 rcf selama 5
menit. Buang supernatannya, kemudian air dry selama 5-10 menit dan jangan
sampai kering. Tambahkan treated water 20 µl kemudian disimpan dalam
lemari es selama 1 malam. Simpan dalam freezer sampai digunakan.
5. Uji Reverse Transkriptase-Polimerase Chain Reaction (RT-PCR)
Prinsip uji RT-PCR adalah mengubah DNA menjadi DNA menggunakan
enzim reverse transkriptase. Sampel berasal dari isolasi RNA diambil sebanyak
1 µl kemudian dimasukkan ke dalam eppendorf yang telah diisi larutan buffer
(R-mix) 5 µl, primer depan (DDVP1) dan primer belakang (DDVP2) masing-
masing sebanyak 0,6 µl, enzim (Super Scriptase Tag/SS) sebanyak 0,25 µl dan
9
Aquabides (AQB) 2,55 µl. Eppendorf kemudian dimasukkan ke dalam
thermocycler selama 4 jam.
Tahap replikasi DNA dimulai dari proses mengubah RNA menjadi DNA
pada suhu 50° C selama 1 jam. Dilanjutkan dengan pre-denaturasi pita DNA
pada suhu 95° C selama 7 menit lalu diikuti proses denaturasi pada suhu 94° C
selama 45 detik. Pada tahapan berikutnya dilakukan proses annealing pada suhu
52° C selama 45 detik dan tahap sintesis pada suhu 72° C selama 1 menit.
Setelah itu proses denaturasi, annealing, dan sintesis diulang sebanyak 39
kali. Setelah itu, disintesis kembali pada suhu 72° C selama 5 menit, dan saat
tahapan sintesis protein selesai, thermocycler akan berada pada suhu 22°C.
6. Elektroforesis
Untuk mengetahui elektroforesis diperlukan gel yang dibuat dengan cara
menambahkan 0,5 agar rose ke dalam 50 ml larutan TAE (Trish Asetat EDTA)
buffer selanjutnya dipanaskan hingga mendidih kemudian tambahkan 25 μl
ethidium bromide. Kemudian dituangkan dalam cetakan dan dibiarkan hingga
dingin. Produk dielektroforesis bersama dengan 100 bp DNA ladder sebagai
marker pada gel. Masukkan gel yang telah mengeras dalam electrophoresis box,
campuran DNA dengan gel loading buffer dimasukkan dalam sisir cetakan gel.
Aliri listrik dengan tegangan 100 volt, arus 400 ampere dengan waktu 30 menit.
Kemudian lakukan visualisasi dengan sinar ultraviolet reader dan dapat
didokumentasikan dengan kamera dan film Polaroid.
2.4 Laboratorium Parasitologi
Materi : Untuk kegiatan koasistensi di laboratorium Parasitologi,
materi yang digunakan yaitu feses dari hewan bukan kasus
(ayam, babi, sapi, itik, dan anjing), artropoda, dan darah
ayam.
10
Metode : 1. Pemeriksaan feses dengan metode natif, metode sedimentasi
dan metode pengapungan serta pemeriksaan Kuantitatif
menggunakan Metode Stoll.
2. Pemeriksaan darah dengan metode ulas darah tipis.
3. Pemeriksaan artropoda makrokospis.
Cara kerja :
1. Pemeriksaan feses
a. Pemeriksaan feses dengan metode natif dilakukan dengan cara: feses
sebesar pentolan korek api diambil dan diletakkan di atas kaca obyek.
Ditambahkan air dan diaduk sampai homogen. Serat kasar dibuang,
kemudian kaca obyek ditutup dengan cover dan diperiksa di bawah
mikroskop untuk melihat pergerakan protozoa saluran cerna.
b. Pemeriksaan feses dengan metode sedimentasi dilakukan dengan cara :
feses sebesar biji kemiri (± 3 gram) dimasukkan kedalam gelas beker,
ditambahkan aquades sampai konsentrasinya kira-kira 10% diaduk
sampai homogen, kemudian disaring dengan saringan teh untuk
menyingkirkan bagian yang berukuran besar, memasukkan kedalam
tabung sentrifuge sampai 3/4 volume tabung, disentrifuge dengan
kecepatan 1.500 rpm selama 3 menit, supernatan dibuang, sedimen
yang ada ditabung diaduk sampai homogen, kemudian dilanjutkan
dengan pembuatan preparat seperti pemeriksaan langsung dan diperiksa
dibawah mikroskop.
c. Pemeriksaan dengan metode apung dilakukan dengan cara : feses
sebesar biji kemiri (± 3 gram) dimasukkan kedalam gelas beker,
ditambahkan aquades sampai konsentrasinya kira-kira 10% diaduk
sampai homogen, kemudian disaring dengan saringan teh untuk
menyingkirkan bagian yang berukuran besar, memasukkan kedalam
tabung sentrifuge sampai 3/4 volume tabung, disentrifuge dengan
kecepatan 1.500 rpm selama 3 menit, supernatan dibuang,
11
menambahkan larutan NaCl jenuh sampai dengan ¾ volume tabung,
disentrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selama 3 menit. Tabung
dikeluarkan dari sentrifugator dan ditaruh pada rak tabung rekasi
dengan posisi tegak lurus. Kemudian, ditambahkan NaCl jenuh sampai
permukaan cairan cembung, ditunggu sampai 2 menit, mengambil gelas
penutup kemudian disentuhkan pada permukaan cairan pengapung dan
setelah itu ditempelkan diatas gelas obyek. Diperiksa dibawah
mikroskop.
2. Pemeriksaan darah
a. Pemeriksaan ulas darah tipis dilakukan dengan cara : salah satu gelas
obyek dipegang dengan menggunakan ibu jari dan jari tengah tangan
kiri, meneteskan satu tetes darah pada salah satu ujung obyek gelas
kemudian dengan obyek gelas yang lain dipegang dengan ibu jari dan
telunjuk kanan, ujungnya ditempelkan pada darah dan dibiarkan sampai
darah membasahi permukaan obyek gelas dengan sudut kemiringan
45ºC, gelas didorong secara pelan tetapi menerus sampai didapatkan
ulas darah tipis. Dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, kemudian
difiksasi dengan cara direndam pada larutan metanol selama 3 menit.
Hapusan darah dikeringkan kembali, dilakukan perwarnaan
menggunakan zat warna giemza 10% dengan cara direndam selama 10-
25 menit, dicuci dibawah air mengalir kemudian dikeringkan. Diperiksa
dibawah mikroskop.
3. Pemeriksaan artropoda
Metode : Pemeriksaan artropoda secara makroskopis dilakukan
dengan metode langsung/natif.
Cara kerja : Ambil artropoda (kutu, caplak, pinjal, lalat, nyamuk),
letakkan pada gelas obyek teteskan KOH 1-2 tetes, kemudian
tutup dengan gelas penutup. Periksa dibawah mikroskop
dengan pembesaran 40X.
12
BAB III
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Sampel dari hewan yang telah dinekropsi dengan nomor protokol
427/N/12 dikirim keempat laboratorium untuk mengetahui agen penyebab
penyakit guna meneguhkan diagnose penyakit yang menyebabkan sakit pada
hewan. Untuk laboratorium patologi sampel berupa spesimen otak, paru-paru,
limpa, jantung, ginjal, hati, usus dan vesika urinaria. Spesimen usus, paru-paru,
jantung, hati, V.U, dan limpa dikirimkan ke laboratorium mikrobiologi.
Sedangkan untuk laboratorium virologi, spesimen otak, limpa, paru-paru dan
vesica urinaria.
Hasil pemeriksaan dari masing-masing laboratorium diagnostik pada kasus
anjing dengan nomor protokol 427/N/12 disajikan dalam table-tabel berikut:
3.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi
Tabel 1. Pemeriksaan Patologi AnatomiOrgan Perubahan Makroskopik (PA)
Sistem Saraf/Otak Perdarahan pada meningen, kongesti otak
Sistem Kardiovaskuler Jantung hidroperikardium dan membengkak
Sistem Respirasi Paru-paru perdarahan, terdapat busa, dan
nekrosis
Sistem Gastrointestinal Usus, esophagus, hati dan lambung
perdarahan, limpa perdarahan dan
membengkak
Sistem Integumen Ada pustula di bagian abdomen
Sistem Otot dan Tendon Relatif normal (Tidak ada perubahan)
Sistem Tulang dan Persendian Relatif normal (Tidak ada perubahan)
Sistem Urinaria Vesica urinaria perdarahan dan penebalan
Sistem Reproduksi Relatif normal (Tidak ada perubahan)
13
Tabel 2. Pemeriksaan Histopatologi
Organ Perubahan Histopatologi
Otak Degenerasi pada sel-sel neuron dan beberapa
diantaranya telah mengalami nekrosis dan
hemoragi. Peningkatan sel glia (gliosis) pada
beberapa pembuluh darah otak. Infiltrasi sel radang
monomorfonuklear.
Paru-paru Diinfiltrasi sel radang yang didominasi dari
golongan monomorfonuklear, akumulasi eritrosit
juga teramati pada septa alveoli yang disertai
adanya edema dan kongesti (pneumonia hemoragi)
Hati Terjadi degenerasi hidrofik, hemoragi, nekrosis
(tidak ada inti dan sel hilang), infiltrasi sel radang,
dan kongesti pada pembuluh darah perifer.
Ginjal Mengalami nefritis hemoragika (sel radang
mengilfiltrasi bukan saja di glomerulus tapi juga di
bagian intertisial tubulus), akumulasi eritrosit
teramati di jaringan antar tubulus dan edema di
intertubulus
Vesica Urinaria Mukosa mengalami penebalan dan infiltrasi sel
radang ( limfosit)
Limpa Folikel lomfoid hipertrofi dan infiltrasi sel radang
(limfosit).
3.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Virologi
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Virologi
No Pengujian Spesimen Hasil
1 Inokulasi pada telur
ayam bertunas umur 11
hari melalui jalur CAM
Otak, paru-paru, limpa
dan vesica urinaria
Positif, ditemukan
pox pada membran
korioalantois yang
telah di panen
14
2 Isolasi RNA Membran korioalantois
dan suspensi jaringan-
3 RT-PCR Isolasi RNA virus Positif
Diagnosa Canine Distemper Virus (CDV)
3.3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi
Pertumbuhan pada Blood Agar :
Usus : Tumbuh koloni (agak banyak)
berwarna putih keabu-abuan, bulat
dengan ukuran ± 1-3 mm, tepi rata dan
licin dan hemolitik
Paru-paru : Tumbuh koloni (sedikit)
berwarna putih, bulat, tepi rata dan
licin dan hemolitik
Pertumbuhan pada EMBA :
Usus : Tumbuh koloni (banyak)
warna merah keunguan.
Paru-paru : Tumbuh koloni
(sedikit) warna merah keunguan.
Hasil Pewarnaan Gram Bentuk batang pendek, warna
merah, gram negatif.
PRIMARY TEST
Katalase + Motilitas +
Oksidase - Fermentasi Glukosa +
SECONDARY TEST
TSIA - Acid Slank + Bagian miring media berubah
warna menjadi kuning
- Acid Butt + Bagian dasar media berubah warna
menjadi kuning
- H2S _ Media tidak berubah warna menjadi
hitam
- Gas + Adanya gas, media terangkat keatas
SECONDARY TEST
SIM - Indol + Membentuk cincin merah saat
15
ditetesi reagen Kovac’s
- Motilitas + Kekaburan media disekitar tempat
tusukan ossa
- H2S _ Media tidak berubah warna menjadi
hitam
MRVP - MR + Media berubah warna menjadi
merah saat ditetesi reagen MR
- VP _ Warna media tetap (kuning keruh)
Gula-gula - Glukosa + Media berubah warna dari biru
menjadi kuning,ada gas pada
tabung durham
- Laktosa + Media berubah warna menjadi
kuning keruh, ada gas pada tabung
durham
SCA _ Media tidak berubah warna (tetap
hijau)
Diagnosa Escherichia coli
3.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Parasitologi
Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Feses, Arthropoda dan Darah Dari Hewan
Bukan Kasus
IDENTIFIKASI PEMERIKSAAN ARTHROPODA
Kerokan Kulit
Hewan Metode Identifikasi
Anjing Natif Demodex Canis
IDENTIFIKASI PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS
Materi Metode Identifikasi
16
Kutu
Natif
Monopon gallinae
Menacanthus tramineus
Heterodoxos snineger
Pinjal Ctenocepahalides felis
Caplak Rhipichepalus
Lalat Musca domestika
Nyamuk Culex spp
IDENTIFIKASI PEMERIKSAAN PROTOZOA
Sampel Darah (Hewan) Metode Identifikasi
Burung Merpati Ulas darah tipis Haemoproteus
Columbae.
IDENTIFIKASI PEMERIKSAAN HELMINT
Sampel Tinja
Ternak
Metode Kualitatif
KeteranganNatif
Konsentrasi
Sedimen Apung
Sapi - - - -
Babi + + + Balantidium, Strongoiloides ransomii, Paramicium
Ayam + + - Larva Strongyloides avium
Anjing + + + Ancylostoma caninum
Kucing + + + Ancylostoma tubaeforme
BAB IV
PEMBAHASAN
17
Dalam melakukan strategi diagnosis suatu kasus dapat didasarkan pada
beberapa pendekatan, yaitu pendekatan epidemiologis, gejala klinis, pemeriksaan
patologi anatomi, serta pendekatan laboratoris. Pendekatan laboratoris dalam hal
ini adalah bakteriologik, virologik, dan histologik. Oleh karena itu untuk
mendiagnosis penyakit pada anjing shit tzu dengan nomor protokol 427/N/12
diarahkan atas pernyataan tersebut.
4.1 Epidemiologi
Anjing yang digunakan sebagai kasus dengan nomor protokol 427/N/12
adalah anjing shit tzu milik Bapak Wayan Patra yang terletak di Br. Manuk, Desa.
Susut, Bangli. Anjing yang diperiksa berjenis kelamin betina, berumur 3 bulan
dengan berat 1,5 kg. Anjing yang dimiliki pemilik sebanyak 6 ekor, 3 ekor sakit
dan 2 ekor mati. Menurut keterangan pemilik, hewan sakit 1 minggu setelah
divaksin varvo tunggal. Jumlah keseluruhan anjing dalam satu pekarangan rumah
Bapak Wayan Patra berjumlah 6 ekor, 1 anjing dewasa dan 5 anjing muda. Dari
keenam anjing yang dipelihara 3 ekor anjing muda sakit dengan menunjukan
gejala : anoreksia, suhu tubuh tinggi, muntah, leleran hidung mukopurulen, diare,
terdapat pustula di bagian abdomen, telapak kaki mengeras, dan kejang-kejang.
Anjing tersebut dipelihara secara tradisional, dengan jenis pakan yang diberikan
berupa pakan komersial dan air yang berasal dari PDAM.
4.2 Gejala Klinis
Sebelum dilakukan nekropsi pada tanggal 6 Juli 2012, anjing ras shit tzu
dengan nomor protokol 427/N/12 menunjukkan gejala sakit sudah terlihat sejak 1
minggu setelah divaksin parvo tunggal dengan menunjukkan gejala klinis berupa
anoreksia, suhu tubuh tinggi, muntah, leleran hidung mukopurulen, diare, terdapat
pustula di bagian abdomen, telapak kaki mengeras, dan kejang-kejang. Menurut
Laurensius (2009) mengatakan bahwa pada anjing muda (2-6 bulan) yang tidak
divaksin merupakan yang paling rentan terinfeksi virus distemper yang parah.
18
Dari gejala klinis diatas, menunjukkan bahwa anjing dengan nomor
protokol 427/N/12 didiagnosa suspect Canine Distemper Virus (CDV). Hal ini
didukung oleh Dharmojono (2001) yang menyebutkan bahwa gejala klinis dari
CDV adalah pengeluaran ingus encer yang kemudian menjadi kental
(mucopurulen) dari hidung dan mata, depresi dan anoreksia pada hari ke 3-6
pasca infeksi. Sedangkan gejala klinis berupa timbulnya lesi/pustula pada kulit di
bagian abdomen dikarenakan gambaran umum yang ditimbulkan dari CDV adalah
imunosupresi (Lobetti, 2009), sehingga kulit dengan mudah teriritasi oleh mikroba
lingkungan seperti halnya bakteri. Lama kelamaan terjadi serangan bakteri yang
lebih parah mengakibatkan bentukan pustula (Hirsh dan Zee, 1999).
Setelah dilakukan pengumpulan data epidemiologi dan gejala klinis, anjing
ras dengan nomor protokol 427/N/12, selanjutnya dilakukan nekropsi untuk dapat
melihat perubahan patologis dari semua organ anjing tersebut dan sekaligus
nantinya dilakukan pemeriksaan lanjutan.
4.3 Patologi Anatomi
Dari Patologi Anatomi (PA) menunjukkan perubahan di beberapa sistem
organ tubuh, yaitu pada sistem syaraf terjadi perdarahan pada meningen dan
kongesti pada otak. Pada sistem kardiovaskuler jantung hidroperikardium dan
membengkak. Sistem respirasi, paru-paru mengalami perdarahan, nekrosis, dan
berbusa. Pada sistem gastrointestinal terjadi perdarahan pada usus, limpa
mengalami perdarahan dan membengkak. Pada sistem urinaria terjadi perdarahan
dan penebalan pada vesica urinaria. Hal ini didukung oleh Dharmojono (2001)
yang mengatakan bahwa patologi anatomi yang patognomonis dari virus
distemper, yaitu perdarahan pada vesica urinaria.
Menurut Murphy et al (1999) awalan dari patogenetik CDV adalah terjadi
replikasi lokal dari virus selama 2-4 hari di dalam sel pada sistem pernafasan atas.
Setelah itu virus akan kembali mereplikasi pada jaringan limfoid lokal dan masuk
dalam pembuluh darah dengan membawa limfosit yang menyebabkan viremia
primer menuju ke jaringan limfoid sistemik (Dharmojono, 2001). Karena itulah,
limpa yang termasuk organ limfoid mengalami pembengkakan.
19
Setelah virus bereplikasi pada jaringan limfoid sistemik, maka virus akan
kembali masuk ke dalam pembuluh darah yang mengakibatkan viremia sekunder,
sehingga virus menyebar melalui darah ke organ-organ pernafasan, pencernaan,
urogenital dan Central Nervous System (CNS) (Dharmojono, 2001). Karena itulah
terjadi perubahan anatomi pada organ -organ pernafasan (paru-paru), pencernaan
(usus halus), hati, urogenital (vesica urinaria) serta CNS (otak).
4.4 Diagnosa Sementara dan Diagnosa Banding
Setelah melakukan pengamatan dari epidemiologi, gejala klinis, patologi
anatomi maka didapatkan diagnosa sementara adalah suspect Canine Distemper
Virus (CDV). Adapun diagnosa banding dari CDV adalah Infeksi Bordetella
Bronchoseptica, toxoplasmosis, dan mikoplasmosis.
4.5 Pemeriksaan Laboratorium
4.5.1 Hasil Pemeriksaan Histopatologi
Dari hasil histopatologi, otak menunjukkan adanya degenerasi pada sel
neuron dan beberapa sudah nekrosis serta terjadi peningkatan sel glia dan
kongesti. Menurut Murphy et al (1999) mengatakan bahwa otak mendapat
infeksi virus setelah fase viremia sekunder kemudian virus tinggal di jaringan
otak dan berkembang di sana. Pada organ paru ditemukan adanya infiltrasi sel
radang monomorfonuklear, akumulasi eritrosit pada septa alveoli, ada sedikit
edema dan kongesti. Pada organ hati terlihat adanya kongesti dan peradangan
(limfosit). Pada histopatologi paru-paru ditemukan sel radang
monomorfonuklear dikarenakan terjadinya reaksi peradangan mengakibatkan
banyaknya sel-sel radang pada organ tersebut yang berfungsi untuk pertahanan
tubuh terhadap agen asing. Sebagian besar pada histoptologi mengalami
perdarahan dan kongesti. Kongesti terjadi akibat pembuluh darah mengalami
peningkatan permeabilitas dan bervasodilatasi untuk mengaktivasi sel-sel
pertahanan tubuh lalu bermigrasi keluar vaskuler. Vasodilatasi vaskuler inilah
yang menyebabkan volume darah pada pembuluh-pembuluh darah yang
mensuplai organ-organ tersebut meningkat dan menyebabkan kongesti.
20
Sedangkan terjadinya perdarahan diakibatkan peningkatan permeabilitas
sehingga sesuai dengan Kardena et al, (2001) menyatakan bahwa bukan hanya
sel-sel darah yang mampu keluar vaskuler, tetapi plasma darah juga mampu
mmerembes keluar dari pembuluh darah.
4.5.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi
Spesimen yang ditanam pada pemeriksaan di laboratorium mikrobiologi
adalah paru-paru, hati, jantung, dan usus. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui ada atau tidaknya bakteri patogen di dalam tubuh anjing tersebut.
Hasil isolasi dan identifikasi yang dapat diamati adalah sebagai berikut:
Penanaman pada media umum Sheep Blood Agar (SBA), pada usus tumbuh
koloni (agak banyak) berwarna putih, bulat dengan ukuran ± 1-3 mm, tepi rata
dan licin dan beta hemolitik. Pada paru-paru juga tumbuh koloni yang sama
seperti pada usus, hanya saja jumlah koloni yang tumbuh di paru-paru lebih
sedikit. Sedangkan pada jantung dan hati hanya tumbuh beberapa koloni saja
(lebih sedikit dari paru-paru).
Bakteri pada spesimen usus dan paru-paru diambil koloninya untuk
dilanjutkan ditanam pada media selektif Methylen Blue Agar (EMBA). Dari
hasil isolasi pada media ini hanya di usus yang banyak tumbuh koloni,
sedangkan di paru-paru hanya sedikit tumbuh koloni.
Koloni pada EMBA diambil untuk identifikasi pada media Triple Sugar
Iron Agar (TSIA. Hasil isolasi teramati pada bagian acid slank dan acid butt
menunjukkan hasil positif, yaitu terjadi perubahan warna media dari kedua
bagian tersebut dari merah menjadi kuning, kuman tidak menghasilkan H2S dan
pada media terlihat adanya gelembung gas. Setelah dilakukan pewarnaan gram,
didapatkan kuman berwarna merah, gram negatif dan berbentuk batang.
Penanaman pada media Simon Indol Motility (SIM) diambil dari koloni
yang ada pada TSIA dan hasi yang di dapat adalah positif yaitu kekaburan
media di sekitar tempat tusukan ossa yang menunjukkan bakteri motil, serta
reaksi positif pada pengujian tes indol dengan terbentuknya cincin merah pada
permukaan media, yang artinya bakteri mampu memanfaatkan asam amino
21
tritofan sebagai sumber energinya. Pada media Simon Citrat Agar (SCA),
hasilnya negatifditandai dengan tidak terjadi perubahan warna pada media
(media tetap berwarna hijau). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri tidak mampu
memanfaatkan sitrat sebagai sumber energinya. Pada uji MR-VP, tabung
pertama ditetesi reagen Voges Proskauer dan tabung kedua ditetesi reagen
Methyl Red. Hasil yang di dapat MR positif (+) dan VP negatif (-), reaksi positif
ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah pada media. Hasil ini
menunjukkan adanya aktivitas bakteri untuk memfermentasi glukosa dan
menghasilkan produk fermentasi yang bersifat asam, namun bakteri tidak
mampu memfermentasi karbohidrat menjadi 2,3-butanadiol (Lay, 1994).
Pada uji oksidase hasilnya positif ditandai dengan terbentuknya
gelembung udara setelah ditetesi dengan larutan H2O2 3%. Pada uji gula-gula
(Laktosa dan Glukosa) menunjukkan hasil positif (+), ditandai dengan
perubahan warna menjadi kuning dan terdapat gas pada tabung durham.
Setelah dilakukan identifikasi bakteri dan melihat sifat-sifat
pertumbuhannya pada media dan uji-uji diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
bakteri yang ditemukan ini adalah Escherichia coli. Hal ini disebabkan karena
bakteri E. coli merupakan flora normal pada saluran pencernaan. Namun, bakteri
E. coli merupakan bakteri oportunistik yang berkemampuan sebagai patogen
ketika mekanisme pertahanan inang diperlemah (Hirsh dan Zee, 1999). Seperti
halnya salah satu gejala klinis dari CDV, yaitu diare. Bakteri E.coli juga dapat
menyebabkan gejala klinis berupa diare.
Karena itu, seperti penjelasan sebelumnya bahwa CDV merupakan virus
yang bersifat imunosupresi, sehingga saat kondisi inang telah melemah, maka
E.coli yang sejatinya merupakan flora normal pada saluran pencernaan dapat
menjadi patogen, sehingga dapat pula menyebabkan diare pada anjing tersebut.
4.5.3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Virologi
22
Pada pemeriksaan di laboratorium virologi didapatkan hasil positif
terinfeksi CDV (canine distemper virus) pada anjing kasus dengan nomor
protokol 427/N/12. Pemeriksaan diawali dengan pembuatan inokulum dari
spesimen otak, paru-paru, limpa, dan V.U, inokulasi pada telur ayam bertunas
umur 11 hari melalui jalur CAM dan dipanen pada hari ke-5. Setelah dipanen
dilakukan pengamatan untuk melihat adanya bentukan bunga karang (pox) pada
membrane korioalantois dan hasilnya adalah terjadi penebalan pada pembuluh
darah dan ditemukan bentukan bunga karang (pox) pada membran korioalantois.
Selanjutnya melakukan isolasi RNA virus, dilanjutkan dengan uji RT-PCR.
Dalam uji RT-PCR sampel menunjukkan hasil positif.
4.6 Canine Distemper Virus (CDV)
Distemper anjing atau canine distemper merupakan penyakit yang sangat
menular pada anjing, ditandai dengan kenaikan suhu bifase, leukopenia, radang
saluran pencernaan dan pernafasan dan sering diikuti oleh komplikasi berupa
gangguan syaraf pusat. Distemper juga menyerang segala umur maupun ras
terutama pada hewan yang tidak divaksinasi (Laurensius, 2009).
4.6.1 Etiologi
Virus distemper termasuk virus yang besar ukurannya. Diameternya
antara 150-300 um dengan nukleocapsid simetris (nucleocapsid of helical
symetryl) dan terbungkus lipoprotein (lipoprotein envelope). Virus distemper
terdiri atas 6 struktur protein yaitu Nukleoprotein (N) dan 2 enzim (P dan L)
pada nukleocapsidnya, juga membran protein (M) di sebelah dalam dan 2
protein lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein di sebelah luar. Hemaglutinasi
protein hanya terjadi pada virus measle tetapi tidak pada virus morbili lainnya
(Dharmojono, 2001).
Dharmojono, (2001) juga menambahkan bahwa virus distemper termasuk
dalam famili Paramyxoviridae, genus Morbilivirus dan spesies Canine
Distemper Virus. Terdapat hanya satu serotipe virus, tetapi galur beraneka
ragam. Virus menjadi tidak aktif dengan cepat pada temperatur 37ºC dan dalam
23
beberapa jam pada temperatur kamar. Desinfektan dengan mudah dapat merusak
infektivitas virus.
4.6.2 Patogenesis
Penularan virus lewat udara menyebabkan infeksi ke dalam sel makrofag
alat pernafasan. Virus mula-mula akan berkembang di dalam kelenjar getah
bening lokal dan kemudian dalam 7 hari ke seluruh jaringan kelenjar getah
bening. Dalam 3-6 hari setelah infeksi virus distemper suhu badan akan
meninggi dan interferon virus mulai masuk ke dalam peredaran darah. Dalam
minggu kedua dan ketiga pasca infeksi, anjing mulai membentuk zat kebal baik
humoral maupun seluler untuk merespon infeksi dan jika mampu mengatasi
virus distemper anjing tersebut akan sembuh tanpa menunjukkan gejala klinik.
Apabila tidak mampu mengatasi virus tersebut maka anjing tersebut akan
memperlihatkan penyakit baik akut atau subakut (Dharmojono, 2001).
Anjing yang tidak mampu mempertahankan diri pada fase awal, maka
akan diikuti terjadinya viremia dan infeksi diseluruh organ limphatik, kemudian
limfosit dan makrofag yang terinfeksi akan membawa virus ke permukaan epitel
dari alat pencernaan, alat pernafasan, dan saluran urogenital sampai ke susunan
syaraf pusat (CNS) (Fraser, 1991).
Strain virus yang mampu menginfeksi secara akut dan fatal secara jelas
kelihatan merusak CNS. Gejala-gejala CNS dapat timbul pada anjing yang
sebelumnya tidak memperlihatkan penyakit ini (Dharmojono, 2001).
4.6.3 Gejala klinis
Gejala klinis pada kasus akut ditandai timbulnya demam dan kematian
secara mendadak. Anoreksia, pengeluaran lendir, konjungtivitis dan depresi
biasa terjadi selama stadium ini. Setelah masa inkubasi 3-7 hari, anjing yang
terinfeksi menderita 2 fase : 1) Fase mukosa : ditandai dengan gejala muntah
dan diare, kulit yang tebal dan keras pada hidung serta bantalan kaki (”Hard
Pad Disease”), 2) Fase Neurologi/saraf (gejala klasik dimulai dari gemeretak
dan gemetar dari rahang, gangguan hebat ke seluruh tubuh :”Chewing Gum
24
Fit”): tremor, hilang keseimbangan dan tungkai menjadi lemah, jika keadaan
melanjut bisa menyebabkan kematian atau dapat juga menjadi non progresif dan
permanen (Malole, 1998).
Beberapa anjing terutama dapat menderita gangguan pernafasan dan juga
terjadi gangguan pencernaan. Gejala pertama dari bentuk pulmonaris (paru)
adalah peradangan cair dari laring dan bronchi, tonsillitis dan batuk. Selanjutnya
terjadi bronchitis atau bronchopneumonia cair dan kadang-kadang pleuritis.
Sehingga hewan menunjukkan dyspnoe dan takypnoe. Kemudian terlihat adanya
akumulasi mukopurulen didaerah canthus medial mata, anjing terlihat depresi
dan anoreksia kemudian berkembang menjadi diare. Gejala saluran pencernaan
meliputi muntah yang hebat dan mencret berair. Setelah mulainya penyakit,
gangguan syaraf pusat dapat diamati pada sejumlah anjing, dicirikan oleh
perubahan tingkah laku, pergerakan yang dipaksakan, spamus, serangan
menyerupai ayan, ataxia, dan paresis (Fraser, 1991).
4.6.4 Diagnosa
Diagnosa didasarkan pada anamnesa (data epidemiologis), gejala klinis
yang ditemukan dan pemeriksaan laboratorium seperti RT-PCR, FAT, isolasi
virus pada TAB melalui jalur CAM, morfologi virus dan tes ELISA untuk
antibodi spesifik distemper.
4.6.5 Diagnosa banding
- infeksi Adenovirus 2
- infeksi Bordetella broncoseptica
- mikoplasma
- toxoplasmosis.
4.6.6 Prognosa
25
Pada infeksi ringan, terutama pada anjing yang telah divaksinasi
prognosisnya baik. Sedangkan untuk kasus berat (belum divaksinasi),
prognosisnya meragukan sampai infausta ( Subronto., 2006).
4.6.7 Terapi dan Pencegahan
1. Antibiotik Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk mengatasi terjadinya
infeksi sekunder. Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik broad
spektrum.
2. Terapi cairan dan elektrolit untuk mengganti cairan yang hilang dan
mengatasi dehidrasi akibat diare atau muntah.
3. Obat-obat sedativa dan anti konvulsi di berikan bila anjing meninjukkan
gejala sarafi.
4. Vaksin dengan vaksin hidup dapat memberikan imunitas yang cukup dan
berdurasi lama asalkan prosedur penggunaan tersebut dipatuhi, misalnya
berapa kali harus diulang sebelum vaksinasi booster tahunan.
5. Memberikan gizi yang baik agar nutrisi yang diperlukan anjing dapat
terpenuhi. Dengan terpenuhinya nutrisi maka kondisi tubuh dapat terjaga
dan tidak mudah terserang penyakit.
6. Kontrol terhadap adanya endoparasit dan ektoparasit. Menjaga kebersihan
lingkungan sekitar untuk menekan serendah mungkin penyebaran virus.
BAB V
26
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Berdasarkan data epidemiologi, gejala klinis, patologi anatomi, diagnosis
sementara yang dapat dimunculkan adalah suspect Canine Distemper
Virus (CDV). Setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan di laboratorium
virologi untuk meneguhkan diagnose, anjing kasus dengan nomor protokol
427/N/12 menunjukkan hasil positif terinfeksi Canine Distemper Virus
pada uji RT-PCR.
2. Ditemukannya E. coli pada identifikasi bakteri melalui biakan pada usus
tersebut merupakan flora normal.
5.2 Saran
1. Melakukan pencegahan secara dini dengan vaksinasi pada anak anjing
umur 6-8 minggu dan vaksinasi diulang pada umur 12 minggu.
2. Pengobatan dengan antibiotika dan antelmentik untuk mengurangi infeksi
bakteri dan cacing.
3. Isolasi anjing yang sakit dan selalu mendesinfeksi lingkungan tempat
kandang, baik itu di tempat anjing yang sakit maupun yang sehat.
27
DAFTAR PUSTAKA
Dharmojono, H. (2001). Kapita Selekta Kedokteran Veteriner. Hewan Kecil Volume I. Pustaka Populer Obor. Jakarta.
Fraser, CM. (1991). The Merck Veterinary Manual. USA: Merck & Co., Inc
Hirsh, D.C. dan Y.C. Zee. (1999). Veterinary Mikrobiology. Blackwell Science, Inc. USA.
Kardena, I. M., I. B. O. Winaya, I. K. Berata. (2011). Gambaran Patologi Paru-Paru Anjing Lokal Bali yang Terinfeksi Penyakit Distemper. Jurnal Veteriner 3 (1) : 17-24.
Laurensius, A. (2008). Distemper Pada Anjing. Fakultas Kedokteran Hewan. Yogyakarta. (http://annavet.blogspot.com/2009/04/distemper-pada-anjing-olehlaurensius.html ) Tanggal akses : 12 November 2011.
Lay, B. W. (1994). Analisa Mikroba di Laboratorium. PT Grafindo Persada. Jakarta.
Levine, Norman D. (1994). Texbook of Veterinary Parasitology. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Lobetti, R. (2009). http://www.lowchensaustralia.com/health/distemper/htm . Tanggal akses : 17 November 2011.
Malole, M. B., (1998). Virologi. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB.
Murphy, F. A., E. P. J. Gibbs, M. C. Horzinek, M. J. Studert. (2008). Veterinary Virology Ed3th. USA: Academic Press.
Subronto, (2006). Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba Pada Anjing dan Kucing. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
28
LAMPIRAN
29
Gambar 1.Anjing Protokol 427/N/12.
Gambar 2.Hemoragi pada paru-paru.
Gambar 3.
Hemoragi pada meningen.Gambar 4.
Kongesti otak.
Gambar 5.Hemoragi dan penebalan V.U.
Gambar 6.Limpa hemoragi dan membengkak.
30
Gambar 7.Otak mengalami kongesti dan
hemoragi.
Gambar 8.Pnemonia hemoragi dan kongesti pada
pembuluh darah besar.
Gambar 9.Peningkatan sel glia pada
otak (gliosis).
Gambar 10.Hemoragi dan infiltrasi sel radang
monomorfonuklear pada limpa.
Gambar 11.Vesica urinaria mengalami penebalanpada mukosa dan infiltrasi eritrosit.
Gambar 12.Hati mengalami kongesti dan infiltrasi
radang monomorfonuklear.
31
Gambar 13.Biakan bakteri pada media Sheep Blood
Agar. Tumbuh koloni pada usus dan paru-paru. Koloni berwarna putih,bentuk bulat, tepi rata, dan hemolitik.
Gambar 14.Biakan bakteri pada media Eosin
MetylenBlue agar. Tumbuh koloni berwarna
merahKeunguan dan tidak hemolitik.
Gambar 15.Uji TSIA (+), bagian miring dan
tegak/dasar media berubah menjadi kuning, disertai adanya gas. H2S negatif
(-)
Gambar 16.Uji SIM (+), terdapat pergerakan
bakteri disekitar tusukan dan terbentuknya cincin merah setelah
ditetesi reagen kovac’s.
Gambar 17.Uji MR(+), terbentuk cincin merah setelah ditetesi Methyl Red (MR).
Gambar 18.Uji VP(-), tidak terbentuk cincin merah setelah ditetesi Voges Proskauer (VP).
32
Gambar 19.Uji Laktosa (+), media
berubah warna dari hijau menjadi kuning.
Gambar 20.Uji Glukosa (+), media
berubah warna dari biru menjadi kuning.
Gambar 21.Uji SCA(-),media tidak berubah warna, tetap
warna hijau.
Gambar 22.Uji Oxidase (+), koloni berubah warna menjadi
warna unguGambar 23.
Pewarnaan Gram. Gram negatif (-)
berwarna merah dan bentuk batang pendek
Gambar 24.Uji Katalase (+), koloni yang ditetesi H2O2 3%
terbentuk gelembung gas
Gambar 25.
33
427/N/12M
Hasil uji RT – PCR menunjukkan Positif Terinfeksi Virus Distemper
34