Upload
riko-jumattullah
View
60
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
EMPIEMA
Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan membran yang
menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi.
Pus ini berisi sel sel darah putih yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel
sel polimorfonuklear) dan juga berisi protein darah yang berperan dalam
pembekuan (fibrin). Ketika pus terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi
peningkatan tekanan pada paru sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa
nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut
akan memisahkan pleura menjadi kantong kantong (lokulasi). Pembentukan
jaringan parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan
kerusakan yang permanen. 1
Empiema biasanya merupakan komplikasi dari infeksi paru (pneumonia)
atau kantong kantong pus yang terlokalisasi (abses) dalam paru. Empiema dapat
juga terjadi akibat infeksi setelah pembedahan dada, trauma tembus dada, atau
karena prosedur medis seperti torakosentesis atau karena pemasangan chest tube.
Pus yang berasal dari rongga abdomen yang berada tepat di bawah paru (abses
subfrenikus) juga dapat meluas ke rongga pleura dan menyebabkan empiema.
Demam tinggi sering ditemui, sama seperti gejala pneumonia yang berupa batuk,
nyeri dada karena pleuritis, dan kelemahan. Empiema juga dapat terjadi akibat
dari keadaan keadaan seperti septikemia, sepsis, tromboflebitis, pneumotoraks
spontan, mediastinitis, atau ruptur esofagus.1,2
Stafilokokus aureus merupakan bakteri penyebab empiema yang paling
sering ditemukan dalam isolasi mikrobiologi, selebihnya adalah bakteri gram
negatif. Sering ditemukannya bakteri gram negatif pada biakan terjadi diantaranya
karena tingginya insidensi resisten karena pemberian antibiotik pada fase awal
pneumonia. Streptokokus jarang menyebabkan empiema. Penyebab empiema
polimikrobial juga pernah dilaporkan, untuk menanganinya diperlukan antibiotik
kombinasi. Pemberian antibiotik spesifik untuk stafilokosus aureus yang
dikombinasikan dengan antibiotik lainnya dapat melawan bakteri gram negatif.
Namun telah diketahui bahwa aminoglikosida memiliki kekuatan penetrasi ke
dalam ruang pleura yang jelek. Namun pemberian aminoglikosida dapat diberikan
1
dengan indikasi untuk mengatasi pneumonia. Selain itu pemberian aminoglikosida
dimaksudkan karena alasan biaya untuk penderita dengan sosial ekonomi yang
rendah dan tidak mampu untuk membeli sefalosporin. Tuberkulosis juga
menyebabkan empiema terutama pada masyarakat India. Mycobacterium
tuberculosis sulit diisolasi pada pasien empiema. Namun pada negara barat justru
ditemukan mikrobakterium tuberkulosis yang tinggi. Fenomena yang jelas ini
membutuhkan penelitian yang lebih lanjut.3
Cairan pleura yang purulen (empiema) hampir selalu disebabkan oleh
bakterial pneumonia. Efusi pleura yang berhubungan dengan pneumonia bakterial,
abses paru, atau bronkiektasis disebut efusi parapneumonia. Sebelum antibiotika
tersedia, pneumokokus atau beta-hemolitik streptokokus merupakan penyebab
tersering terjadinya empiema. Beberapa masa sesudahnya, Stafilokokus aureus
menjadi penyebab terbanyak, namun pada tahun tahun terakhir ini S. pneumoniae
kembali menonjol. Presentase penderita dengan pneumonia pneumokokal yang
mengalami efusi paraneumonik tidaklah tinggi seperti yang terlihat pada penderita
dengan empiema yang disebabkan oleh S. aureus . Selain itu juga dapat
disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A , jarang oleh F. tularensis, H.
influenzae tipe b, dan bakteri usus gram negatif seperti Pseudomonas atau
Salmonela. Streptokokus dan difteroid (flora normal mulut) merupakan penyebab
pneumonia aspirasi, khususnya pada dewasa. Spesies bakteroides atau
klostridium, aktinomises anaerob, dan streptokokus anaerob kadang juga
menyebabkan empiema (terutama pada usia dewasa), sehingga cairan dibutuhkan
kultur secara anaerob. Blastomikosis, histoplasmosis, dan koksidioidomikosis
berhubungan dengan efusi pleua purulenta ringan sampai sedang. Fungi tersebut
dan kriptokokus merupakan suatu agen yang menjadi risiko penyebab infeksi pada
penderita dengan imunodefisiensi. Namun, penyakit paru yang masif kadang juga
menyerang penderita dengan status imunologi yang normal yang banyak terpajan
dengan fungi. Empiema juga dapat disebabkan oleh parasit seperti paragonimiasis
(pada imigran timur jauh) dan amebiasis.1,2,3
2
Classification and Treatment Scheme for Parapneumonic Effusions and Empyema1
Class 1:
Nonsignificant
pleural
effusion
Small
Less than 10 mm thick on decubitus x-ray
No thoracentesis indicated
Class 2:
Typical
parapneumonic
pleural
effusion
More than 10 mm thick
Glucose >40 mg/dl, pH > 7.20,
Gram stain and culture negative
Antibiotics alone
Class 3:
Borderl
ine complicated
pleural effusion
7,00 < pH < 7.20 and/or LDH >1000 and
Glucose > 40mg/dl,
Gram stain and culture negative
Antibiotics plus serial thoracentesis
Class 4:
Simple
complicated
pleural effusion
pH < 7.00 and/or glucose <40 mg/dl and/or Gram stain or culture positive
Not loculated, not frank pus
Tube thoracostomy plus antibiotics
Class 5:
Complex
complicated
pleural effusion
pH < 7.00 and/or glucose < 40 mg/dl and/or Gram stain or culture positive
Multiloculated
Tube thoracostomy plus fibrinolytics (Rarely require thoracoscopy or decortication)
Class 6:
Simple
empyema
Frank pus present
Single locule or free-flowing
Tube thoracostomy + decortication
Class 7:
Complex
empyema
Frank pus present
Multiple locules
Tube thoracostomy + fibrinolyticsOften require thoracoscopy or decortication
ABSES PARU
3
Abses paru didefinisikan sebagai nekrosis jaringan paru dan pembentukan
rongga yang berisi sebukan nekrotik atau cairan yang disebabkan oleh infeksi
mikroba. Bila diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small
abscesses) dinamakan “necrotising pneumonia” atau gangren paru. Baik abses
paru-paru dan pneumonia nekrosis adalah manifestasi dari suatu proses patologis
yang serupa.1,4,5
Pada umumnya kasus abses paru ini berhubungan dengan karies gigi,
epilepsi tak terkontrol, kerusakan paru sebelumnya dan penyalahgunaan alkohol.
Pada negara-negara maju jarang dijumpai kecuali penderita dengan gangguan
respons imun seperti penyalahgunaan obat, penyakit sistemik atau komplikasi dari
pasca obstruksi.4,5
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi sesuai dengan
peneliti dan teknik penelitian yang digunakan. Finegolal dan Fisliman
mendapatkan bahwa organisme penyebab abses paru lebih dari 89 % adalah
kuman anaerob. Asher dan Beandry mendapatkan pada anak-anak kuman
penyebab abses paru terbanyak adalah Stapillococous aureus.4,6
Penelitian pada penderita Abses paru nosokomial ditemukan kuman aerob
seperti golongan enterobacteriaceae yang terbanyak. Sedangkan penelitian
dengan teknik biopsi perkutan atau aspirasi transtrakeal ditemukan terbanyak
adalah kuman anaerob.5,6
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian
proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang pertama dimulai dari
suppurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang menimbulkan nekrosis dan
likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi abses, melokalisir
proses abses dengan jaringan fibrotik. Suatu saat abses pecah, lalu jaringan
nekrosis keluar bersama batuk, kadang terjadi aspirasi pada bagian lain bronkus
terbentuk abses baru. Sputumnya biasanya berbau busuk, bila abses pecah ke
rongga pleura maka terjadi empyema.5
Terjadinya abses paru disebutkan sebagai berikut : 4,5,6
4
a. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan
faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru
dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air
fluid level bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan
penyebaran hematogen (septik emboli) atau dengan perluasan langsung dari
proses abses ditempat lain (nesisitatum) misal abses hepar.
b. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis dengan
kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada
penderita emphisema paru atau polikistik paru yang mengalami infeksi sekunder.
c. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses abses
paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala
yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-
kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe
peribronkial.
d. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker bronkogenik
yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah, sehingga terjadi
likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk abses.5
Apabila terjadi aspirasi, kuman Klebsiela pneumonia sebagai kuman
komensal di saluran pernafasan atas ikut masuk ke saluran pernafasan bawah,
akibat aspirasi berulang, aspirat tak dapat dikeluarkan dan pertahanan saluran
nafas menurun sehingga terjadi keradangan. Proses peradangan dimulai dari
bronki atau bronkiol, menyebar ke parenkim paru yang kemudian dikelilingi
jaringan granulasi. Perluasan ke pleura atau hubungan dengan bronkus sering
terjadi, sehingga pus atau jaringan nekrotik dapat dikeluarkan. Drainase dan
pengobatan yang tidak memadai akan menyebabkan proses abses yang akut akan
berubah menjadi proses yang kronis atau menahun. 7
Gejala klinis : 5,6,7
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala
pneumonia pada umumnya yaitu:
Demam, dijumpai berkisar 70% - 80% pada penderita abses paru. Kadang
dijumpai dengan temperatur > 400C.
5
Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga
abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk
yang khas (Foetor ex oroe (40-75%).
Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar
40 – 75% penderita abses paru.
Nyeri dada (± 50% kasus)
Batuk darah (± 25% kasus)
Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat
badan. Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti
redup, suara nafas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh
serta takikardi.
Gambaran Radiologis 8
Pada foto torak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda
konsolidasi disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau tunggal dengan ukuran
2 – 20 cm.
Gambaran ini sering dijumpai pada paru kanan lebih dari paru kiri. Bila
terdapat hubungan dengan bronkus maka didalam kavitas terdapat Air fluid level.
Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya dijumpai tanda-tanda konsolidasi
(opasitas).
Pemeriksaan laboratorium 4,5,6
a. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari
12.000/mm3 (90% kasus) bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan
32.700/mm3. Laju endap darah ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada
hitung jenis sel darah putih didapatkan pergeseran shit to the left
b. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan
pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat.
c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara terbaik
dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis.
6
Diagnosis abses paru tidak bisa ditegakkan hanya berdasarkan kumpulan
gejala seperti pneumonia dan pemeriksaan fisik saja. Diagnosa harus ditegakkan
berdasarkan7,8
1. Riwayat penyakit sebelumnya. Keluhan penderita yang khas misalnya malaise,
sesak nafas, penurunan berat badan, panas, badan yang ringan, dan batuk yang
produktif, Foetor ex oero. Adanya riwayat penurunan kesadaran berkaitan dengan
sedasi, trauma atau serangan epilepsi. Riwayat penyalahgunaan obat yang
mungkin teraspirasi asam lambung waktu tidak sadar atau adanya emboli kuman
diparu akibat suntikan obat.
2. Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung adanya data tentang penyakit dasar yang
mendorong terjadinya abses paru, seperti tanda-tanda proses konsolidasi
diantaranya :
a. Redup pada perkusi,
b. Suara nafas yang meningkat,
c. Sering dijumpai adanya jari tabuh
d. Takikardi
e. Febris
3. Pemeriksaan laboratorium sputum gram, kultur darah dapat mengarah pada
organisme penyebab infeksi. Jika TB dicurigai, tes BTA dan mikobakteri dapat
dilakukan. Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan leukositosis, Laju endap
darah meningkat, hitung jenis sel darah putih didapatkan pergeseran ke kiri.
4. Gambaran radiologis yang menunjukkan kavitas dengan proses konsolidasi
disekitarnya, adanya air fluid level yang berubah posisi sesuai dengan gravitasi.
Abses paru sebagai akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior
lobus superior atau segmen superior lobus inferior. Ketebalan dinding abses paru-
paru berlangsung dari tebal ke tipis dan dari dinyatakan sakit hingga tapak
gambaran yang membaik disekitar infeksi paru. Besarnya tingkat udara abses
cairan dalam paru-paru sering sama dalam pandangan posteroanterior atau lateral.
Abses dapat memanjang ke permukaan pleura.
5. Bronkoskopi. Fungsi Bronkoskopi selain diagnostik juga untuk melakukan terapi
drainase bila kavitas tidak berhubungan dengan bronkus.
7
Penatalaksanaan abses paru harus berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi
dan data penyakit dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat
ringannya infeksi paru. Ada beberapa modalitas terapi yang diberikan pada abses
paru : 2, 4, 5, 9,10
1. Medika Mentosa
Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada era
antibiotika maka tingkat kkematian dan prognosa abses paru menjadi lebih baik.
Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada saat ini dijumpai
peningkatan abses paru yang disebabkan oleh kuman anaerob (lebih dari 35%
kuman gram negatif anaerob). Maka bisa dipikrkan untuk memilih kombinasi
antibiotika antara golongan penicillin G dengan clindamycin atau dengan
Metronidazole, atau kombinasi clindamycin dan Cefoxitin.
Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase
inhibitase, pada penderita dengan pneumonia nosokomial yang berkembang
menjadi Abses paru.
Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan respon
radiologis penderita. Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah bebas gejala
atau adanya resolusi kavitas, jadi diberikan antibiotika minimal 2-3 minggu.
Pasien dengan abses paru biasanya menunjukkan perbaikan klinis, dengan
peningkatan demam, dalam waktu 3-4 hari setelah memulai terapi antibiotik.
Penurunan suhu badan sampai yg normal diharapkan dalam 7-10 hari. Demam
yang terus menerus di luar waktu ini mengindikasikan kegagalan terapi, dan
pasien ini harus menjalani studi lebih lanjut diagnostik untuk menentukan
penyebab kegagalan.
Pertimbangan pada pasien dengan respon yang buruk terhadap terapi
antibiotik meliputi obstruksi bronkial dengan benda asing atau neoplasma atau
infeksi dengan bakteri resisten, mikobakteri, atau jamur.
2. Drainase
Drainase postural dan fisioterapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit
diperlukan untuk mempercepat proses resolusi abses paru. Pada penderita abses
paru yang tidak berhubungan dengan bronkus maka perlu dipertimbangkan
drainase melalui bronkoskopi.
8
3. Bedah
Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:
a. Respon yang rendah terhadap terapi antibiotika.
b. Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi
c. Infeksi paru yang berulang
d. Adanya gangguan drainase karena obstruksi
Untuk alasan berikut, rawat inap disarankan pada pasien dengan abses
paru, evaluasi dan pengelolaan status pernapasan pasien, administrasi antibiotik
intravena, drainase dari abses atau empiema diperlukan.
Pada pasien yang memiliki abses paru-paru kecil, yang secara klinis tidak
sakit, dan yang dapat diandalkan, rawat jalan dapat dianggap setelah mendapat
studi diagnostik yang tepat seperti kultur dahak, kultur darah, dan darah lengkap.
Setelah terapi awal antibiotik intravena, pasien dapat diperlakukan secara rawat
jalan untuk menyelesaikan terapi berkepanjangan, yang sering dibutuhkan untuk
pemulihan.
Pencegahan aspirasi penting untuk meminimalkan risiko abses paru.
dilakukkannya intubasi pada pasien yang telah berkurang kemampuan untuk
melindungi jalan napas dari aspirasi besar (batuk, gag refleks), harus
dipertimbangkan. Posisi pasien terlentang pada sudut 30° bersandar
meminimalkan risiko aspirasi, jika muntah pasien harus ditempatkan pada posisi
miring. Meningkatkan kesehatan gigi dan perawatan gigi pada pasien lanjut usia
dan lemah dapat mengurangi risiko abses paru anaerobik.
Beberapa komplikasi yang dapat timbul adalah : 4, 5
1. Empiema
2. Fibrosis pleura
3. Bronchopleural fistula
4. Pleural cutaneous fistula
5. Respiratory failure
6. Trapped lung
7. Abses otak
8. Atelektasis
9. Sepsis
9
Lebih dari 90% dari abses paru-paru sembuh dengan manajemen medis
saja, kecuali disebabkan oleh obstruksi bronkial sekunder untuk karsinoma.
Angka kematian yang disebabkan oleh abses paru terjadi penurunan dari 30 – 40
% pada era preantibiotika dan sampai 15 – 20 % pada era sekarang7.
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosis
yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi.
2,4% angka kematian Abses paru karena CAP dibanding 66% Abses paru karena
HAP. Beberapa faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru
sebagai berikut : 7
1. Anemia dan Hipoalbuminemia
2. Abses yang besar (φ > 5-6 cm)
3. Lesi obstruksi
4. Bakteri aerob
5. Immunocompromised
6. Usia tua
7. Gangguan intelegensia
8. Perawatan yang terlambat
Angka kematian untuk pasien dengan status yang mendasari
immunocompromised atau obstruksi bronkial yang memperburuk abses paru-paru
mungkin mencapai 75%.4
Organisme aerobik, sering merupakan penyebab yang didapat di rumah
sakit dan memiliki prognosis yang buruk. Sebuah studi retrospektif melaporkan
angka kematian keseluruhan abses paru-paru yang disebabkan oleh bakteri gram
positif dan gram negatif campuran sekitar 20%.5
10
ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat seorang pasien laki-laki berumur 31 tahun di bangsal
Penyakit Dalam RSUP M. Djamil sejak tanggal 3 Juni 2013 dengan
Keluhan Utama : Sesak nafas yang semakin meningkat sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sesak nafas yang semakin meningkat sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak semakin meningkat bila tidur berbaring ke sisi
kiri. Sesak tidak dipengaruhi oleh makanan dan cuaca. Sesak sudah
mulai dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, namun pasien tidak
menghiraukannya.
Demam-demam sejak 6 bulan yang lalu. Demam tidak tinggi, dan
hilang timbul. Riwayat keringat malam hari ada sejak 6 bulan yang
lalu. Demam meningkat sejak 3 hari yang lalu. Demam dirasakan
tinggi, terus menerus, dan tidak menggigil.
Batuk sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Batuk berdahak,
dahak berwarna kuning. Batuk berdarah tidak ada. Sebelumnya,
pada bulan Februari 2013, pasien sudah dirawat di RST dan
diagnosis menderita Tuberkulosis paru dengan adanya nanah pada
paru kanan. Pada saat itu, pasien sudah diberikan obat anti
tuberkulosis, namun pasien tidak mengkonsumsi obat tersebut
secara teratur. Pasien hanya mengkonsumsi obat tersebut selama 2
minggu.
Bengkak pada leher kanan sejak 6 bulan yang lalu. Awalnya
bengkak hanya seukuran kelereng, namun sejak 2 bulan terakhir,
bengkak dirasakan semakin membesar hingga sebesar telur ayam.
Bengkak dirasakan panas, memerah, dan nyeri bila disentuh.
11
Penurunan nafsu makan sejak 6 bulan yang lalu.
Penurunan berat badan sejak 6 bulan yang lalu. Besar penurunan
berat badan sekitar 10 kilogram.
Pucat-pucat disangkal oleh pasien.
BAB tidak ada kelainan.
BAK tidak ada kelainan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit gula tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang menderita sakit seperti ini
Riwayat Pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan :
- Pasien adalah seorang pedagang
- Pasien merokok sebanyak 1 bungkus per hari sejak 10 tahun yang
lalu.
- Pasien belum berkeluarga.
- Pasien tinggal di rumah dengan ibu dan saudari kandungnya.
Rumah pasien berada di lingkungan yang cukup padat, tetapi
sirkulasi udara cukup baik. Tidak ada tetangga atau kerabat pasien
yang terkena penyakit yang sama.
- Riwayat menggunakan narkoba suntik disangkal, riwayat sex bebas
(+), terakhir 1 tahun yang lalu dengan PSK, tattoo (-)
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis Cooperative
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 108 x/menit
12
Nafas : 28 x/menit
Suhu : 38,6°C
Keadaan umum : lemah
Keadaan gizi : kurang
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI : 16,53 (underweight)
Edema : (-)
Ikterik : (-)
Anemis : (+)
Sianosis : (-)
Kulit : turgor baik
Kelenjar getah bening : teraba pembesaran KGB regio colli dextra dan
sinistra, jumlah 3 buah, berukuran 1x1x1 cm,
konsistensi kenyal, tidak terfiksir, nyeri tekan(-),
teraba massa lunak berukuran 8x5x5 cm, nyeri
tekan, perabaan hangat, tidak terfiksir.
Kepala : tak ada kelainan
Rambut : tumbuh rata, tidak mudah dicabut
Mata : konjunctiva anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : tak ada kelainan
Hidung : tak ada kelainan
Tenggorokan : tak ada kelainan
Gigi dan mulut : caries (-)
Leher : JVP 5 - 2 cmH2O
13
Dada :
Paru Depan
Inspeksi : Statis : asimetris, kanan mencembung dibandingkan kiri.
Dinamis : pergerakan kanan tertinggal.
Palpasi : Fremitus kanan menurun dibanding kiri setinggi RIC II ke bawah.
Perkusi : kanan pekak setinggi RIC II ke bawah, kiri sonor
Auskultasi : Kanan : suara nafas menghilang pada paru kanan setinggi RIC II
ke bawah, wheezing –
Kiri : bronkovesikuler, rhonki basah halus nyaring pada
lapangan paru kiri, wheezing -
Paru Belakang
Inspeksi : Statis : asimetris, kanan mencembung dibandingkan
kiri.
Dinamis : pergerakan kanan tertinggal.
Palpasi : Fremitus kanan menurun dibanding kiri setinggi
Thorakal IV ke bawah.
Perkusi : kanan pekak setinggi Th-IV ke bawah, kiri sonor
Auskultasi : kanan : suara nafas menghilang pada paru kanan
setinggi Th-IV ke bawah, wheezing –
Kiri : bronkovesikuler, rhonki basah halus nyaring
pada lapangan paru kiri, wheezing –
Jantung :
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus tidak kuat angkat, teraba 1 jari medial LMCS RIC V
14
Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan sukar dinilai, kiri 1 jari
medial LMCS RIC V, pinggang jantung (+)
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama jantung reguler, M1 > M2,
P2 <A2, bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : nyeri tekan dan nyeri ketok sudut CVA (-)
Alat kelamin : tidak ada kelainan
Anus : tidak ada kelainan
Anggota gerak : reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-,
edema pretibia +/+
Laboratorium :
Darah
Hemoglobin : 7,7 g/dl Hematokrit : 24%
Leukosit : 16.200/mm3 Na : 125 mmol/l
Trombosit : 255.000/mm3 K : 4,8 mmol/l
GDS : 114 mg/dl Cl : 96 mmol/l
Ureum : 33 mg/dl Kreatinin : 0,8 mg/dl
DC : 0/0/25/69/4/2 Gambaran darah tepi : mikrositik hipokrom
A nalisa Gas Darah:
pH : 7,44 PCO2 : 22 mmHg BEecf : -9,3 mmol/l
15
PO2 : 79 mmHg HCO3 : 14,9mmol/l SO2c : 96 %
Kesan : hipoksia
Urinalisa :
Leukosit : 1-2 /LPB Eritrosit : 0-1/LPB
Epitel : (+) gepeng Silinder: (-) Kristal:(-)
Protein (+) Glukosa (-) Bilirubin (-) Urobilinogen : (+)
Feses :
Makroskopik : warna coklat, konsistensi lembek, darah (-), lendir (-)
Mikroskopik : eritrosit 0-1/LPB, leukosit 0-1/LPB , amuba (-), cacing (-)
EKG :
- Irama : sinus - ST elevasi (-)
- HR : 103 x /1’ - ST depresi (-)
- Aksis : normal - Q patologis (-)
- Gel P : normal - SV1 + RV6 < 35 mm
- PR interval : 0,14 detik - R/S di V1 < 1
- QRS komplek : 0,06 detik - T inverted (-)
Kesan : Sinus takikardia
Daftar Masalah :
- Sepsis
- Efusi pleura
- Tuberkulosis paru
- Bronkopneumonia
- Anemia
- Hiponatremia
16
- Hipoksia
- Malnutrisi
Diagnosis Kerja :
Sepsis ec bronkopneumonia dengan hipoksia
Efusi pleura dextra ec spesifik
Tuberkulosis paru duplex
Hiponatremia ec low intake
Limfadenitis colli dextra ec spesifik
Anemia sedang mikrositik hipokrom ec penyakit kronik
Diagnosis Banding :
Efusi pleura dextra ec aspesifik
Limfoma malignum
Anemia sedang mikrositik hipokrom ec defisiensi besi
Terapi :
Istirahat / MB 1900 Kkal / hari / O2 5L/1’
( karbohidrat 1100 Kkal / protein 100gr / lemak 600 Kkal )
Koreksi NaCl 3% 12 jam/kolf (1 kolf), threeway dengan NaCl 0,9%
6 jam/kolf
Ceftriaxon injeksi 2 x 2 gram
Azitromisin 1 x 500 mg
Ambroxol syrup 3 x 30 mg
Paracetamol 3 x 500mg
Balans cairan
Anjuran :
MCV, MCH, MCHC
Serum iron, TIBC, feritin
Faal hepar (SGOT, SGPT)
Elektrolit ulangan
Analisa gas darah ulangan
17
Analisa cairan pleura
Expertise rontgen thoraks
Kultur sputum
Kultur darah
Kultur cairan pleura
BTA sputum 1,2,3
BTA cairan pleura
Sitologi cairan pleura
Biopsi aspirasi jarum halus
Jam 20.00
Dilakukan analisa cairan pleura keluar nanah
Kesan : Empiema dextra
Terapi :
Tambahkan metronidazole 3x500 mg (IV)
Konsul konsultan paru
Konsul Konsultan Paru :
Kesan :
Empiema dextra ec aspesifik
Tuberkulosis paru duplex
Bronkopneumonia sinistra
Limfadenitis colli dextra ec spesifik
Advis : - Pasang thoraks tube segera konsul bedah torak
- Inform consent
- Terapi lain lanjut
Konsul Konsultan Bedah Torak :
18
Kesan : Empiema dextra
setuju untuk dilakukan pemasangan thoraks tube
Jam 23.30 selesai dilakukan pemasangan thoraks tube
FOLLOW UP
4 Juni 2013
S/ Pasien sadar, sesak nafas berkurang, demam (+), batuk (+)
0/ KU : Lemah Kesadaran : CMC
TD : 100/70 mmHg Nadi : 110 x/menit
Suhu : 38,9ºC Pernafasan : 26 x/menit
Paru : suara nafas menghilang pada paru kanan setinggi RIC IV ke bawah,
amphoric sound paru kanan (+).
Jumlah cairan yang keluar 500 cc, berwarna kuning kecoklatan, undulasi (+)
Hasil Laboratorium
SGOT
SGPT
MCV
MCH
MCHC
Serum iron
TIBC
35 u/l
20 u/l
73 um3
23,9 pg
32,6 g/dl
3 ug/l
50 ug/l
Natrium
Kalium
Clorida
Total protein
Albumin
Globulin
LED
138 meq/l
4,2 meq/l
96 mg/dl
6,1 g/dl
2,3 g/dl
3,8 g/dl
87 mm/jam
Ferritin 563 ng/ml
Kesan :anemia mikrostik hipokrom ec penyakit kronik, hipoalbuminemia,
hiponatremia teratasi
19
Sikap : transfusi albumin 20 %
Konsul Konsultan Petri
Kesan : Sepsis ec empiema dextra
Advis :
- Tambahkan injeksi dexametason 3 x 5 mg
- Terapi lain lanjut
Konsul Konsultan Hematologi :
Kesan :
- Anemia sedang mikrositik hipokrom ec penyakit kronik
- Sepsis ec empiema dextra
Advis :
- Transfusi PRC s.d Hb ≥ 10 gr/dl
- Terapi lain lanjut
Rencana :
BTA 1
VCT dan rapid test HIV hasil : negatif
5 Juni 2013
S/ Pasien sadar, sesak nafas (+), demam (+), batuk (+)
0/ KU : Lemah Kesadaran : CMC
TD : 100/60 mmhg Nadi : 105 x/menit
Suhu : 38ºC Pernafasan : 28 x/menit
Paru : suara nafas menghilang pada paru kanan setinggi RIC IV ke bawah,
amphoric sound paru kanan (+)
20
Jumlah cairan yang keluar 100 cc, berwarna kuning kecoklatan, undulasi (+)
A nalisa Gas Darah:
pH : 7,43 PCO2 : 29 mmHg BEecf : -5,1 mmol/l
PO2 : 44 mmHg HCO3 : 19,2 mmol/l SO2c : 81 %
Kesan : gagal nafas tipe I
Keluar expertise rontgen thoraks PA
Tampak gambaran infiltrat di perihiler paru kiri dengan gambaran perselubungan
inhomogen disertai air fluid level di hemitoraks dextra.
Cor : batas kanan berselubung, kesan tidak membesar
Sinus dan diafragma kanan tertutup perselubungan
Kesan : bronkopneumonia sinistra dengan sugestif abses paru dextra
Konsul Konsultan Paru :
Kesan :
Empiema dextra ec aspesifik (terpasang thorax tube)
Tuberkulosis paru dupleks
Limfadenitis regio colli dextra ec spesifik
Advis :
- Sungkup RM 10 L/1’ selama 6 jam ulang AGD
- Terapi lain lanjut
Rencana : BTA 2
7 Juni 2013
S/ Pasien sadar, sesak nafas (+), demam (+), batuk (+)
0/ KU : Lemah Kesadaran : CMC
21
TD : 110/70 mmhg Nadi : 104 x/menit
Suhu : 38,2ºC Pernafasan : 26 x/menit
Paru : suara nafas menghilang pada paru kanan setinggi RIC IV ke bawah,
amphoric sound paru kanan (+)
Jumlah cairan yang keluar 100 cc, berwarna kuning kecoklatan, undulasi (+)
A nalisa Gas Darah:
pH : 7,41 PCO2 : 36 mmHg BEecf : -7,1 mmol/l
PO2 : 60 mmHg HCO3 : 20,2 mmol/l SO2c : 80 %
Kesan : hipoksia
Konsul Konsultan Paru :
Kesan :
Empiema dextra ec aspesifik (terpasang thorax tube)
Tuberkulosis paru dupleks
Limfadenitis regio colli dextra ec spesifik
Advis :
- Sungkup NRM 10 L/1’ selama 6 jam ulang AGD
- Terapi lain lanjut
Rencana : BTA 3
8 Juni 2013
S/ Pasien sadar, sesak nafas (+), demam (+), batuk (+)
0/ KU : Lemah Kesadaran : CMC
TD : 100/70 mmhg Nadi : 108 x/menit
Suhu : 37,9ºC Pernafasan : 27 x/menit
22
Paru : suara nafas menghilang pada paru kanan setinggi RIC V ke bawah,
amphoric sound paru kanan (+)
Jumlah cairan yang keluar 75 cc, berwarna kuning kecoklatan, undulasi (+)
Laboratorium :
Hemoglobin : 7,1 gr/dl
Leukosit : 10.200/mm3
Hematokrit : 21 %
Trombosit : 287.000/mm3
A nalisa Gas Darah:
pH : 7,42 PCO2 : 33 mmHg BEecf : -5,1 mmol/l
PO2 : 72 mmHg HCO3 : 18,2 mmol/l SO2c : 86 %
Kesan : hipoksia, sepsis perbaikan
Keluar hasil expertise rontgen toraks ulangan
Paru : tampak gambaran bulat disertai air fluid level di paru kanan, tampak
perselubungan inhomogen di hemitoraks kiri
Sinus kanan berselubung, sinus dan diafragma kiri baik.
Kesan : Empiema dan multipel abses
Konsul Konsultan Paru :
Kesan :
Empiema dextra ec aspesifik (terpasang thorax tube)
Tuberkulosis paru dupleks
Limfadenitis regio colli dextra ec spesifik
23
Abses paru dextra
Advis :
- Pasang O2 5l/1’
- Terapi lain lanjut
Konsul Konsultan Petri
Kesan : Sepsis ec empiema dextra (perbaikan)
Advis :
- Aff injeksi dexametason
- Terapi lain lanjut
10 Juni 2013
S/ Pasien sadar, sesak nafas (+), demam (+), batuk (+)
0/ KU : Lemah Kesadaran : CMC
TD : 110/70 mmhg Nadi : 100 x/menit
Suhu : 37,8 ºC Pernafasan : 27 x/menit
Paru : suara nafas menghilang pada paru kanan setinggi RIC IV ke bawah,
amphoric sound paru kanan (+)
Jumlah cairan yang keluar 50 cc, berwarna kuning kecoklatan, undulasi (+)
Keluar hasil BTA
BTA 1,2,3 : positif
Keluar hasil kultur cairan pleura :
Tidak ditemukan pertumbuhan kuman (aerob)
Keluar hasil kultur sputum :
Tidak ditemukan pertumbuhan kuman patogen
24
Keluar hasil kultur darah:
Tidak ditemukan pertumbuhan kuman patogen
Keluar hasil sitologi cairan pleura :
Tampak massa amorf eosinofilik, tidak ditemukan tanda spesifik dan sel
tumor ganas
Keluar hasil BAJH :
Sediaan dengan latar belakang nekrosis, sel limfosit, sel sentrum germinal,
fibroblast, histiosit, dan epiteloid
Kesan : limfadenitis kronik spesifik (kemungkinan proses mikrobakterial belum
dapat disingkirkan)
Konsul Konsultan Paru :
Kesan :
Tuberkulosis paru dupleks BTA (+) kasus baru HIV negatif
Empiema dextra ec aspesifik (terpasang thorax tube)
Limfadenitis regio colli dextra ec spesifik
Abses paru dextra
Advis :
- OAT kategori I :
INH 1x300mg
Rifampisin 1x450 mg
Pirazinamid 1x1000 mg
Etambutol 1x750 mg
B6 1x10 mg
- Follow up faal hepar
25
- Terapi lain lanjut
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 31 tahun dengan diagnosis
akhir:
Sepsis ec empiema dextra ec aspesifik
Tuberkulosis paru duplex BTA (+) kasus baru HIV negatif
Abses paru dextra
Limfadenitis colli regio dextra ec spesifik
Anemia sedang mikrositik hipokrom ec penyakit kronik
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, ditemukan adanya keluhan sesak nafas
yang semakin meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak semakin
meningkat bila tidur berbaring ke sisi kiri. Ditemukan juga keluhan demam-
demam sejak 6 bulan yang lalu. Demam tidak tinggi, dan hilang timbul. Riwayat
keringat malam hari ada sejak 6 bulan yang lalu. Demam meningkat sejak 3 hari
yang lalu. Demam dirasakan tinggi, terus menerus, dan tidak menggigil. Batuk
sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya, pasien sudah dirawat di
RST dan diagnosis menderita Tuberkulosis paru. Pada saat itu, pasien sudah
diberikan obat anti tuberkulosis, namun pasien hanya mengkonsumsi obat tersebut
selama 2 minggu. Bengkak pada leher kanan sejak 6 bulan yang lalu. Bengkak
dirasakan panas, memerah, dan nyeri bila disentuh. Ditemukan juga penurunan
nafsu makan sejak 6 bulan yang lalu.Penurunan berat badan sejak 6 bulan yang
lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam, takikardia, takipneu,
konjunctiva yang anemis, pemeriksaan fisis paru yang mengesankan adanya
tuberkulosis paru duplex, efusi pleura pada paru kanan, dan bronkopneumonia
pada paru kiri.
Dari pemeriksaan penunjang, didapatkan adanya anemia, dengan kesan
mikrositik hipokrom, leukositosis, differential count shift-to-the-left, dan LED
yang meningkat.
26
Awalnya, pasien didiagnosis sebagai efusi pleura. Setelah dilakukan
analisis cairan pleura, ternyata didapatkan adanya pus. Empiema yang didapatkan
pada pasien ini awalnya dikesankan karena adanya infeksi kronik tuberkulosis
yang tidak tertangani dengan tuntas karena pasien tidak mengkonsumsi OAT
dengan teratur. Pada saat itu, dilakukan pemasangan thoraks tube pada pasien ini
untuk mengevakuasi empiema.
Setelah dilakukan pemasangan thoraks tube, dan setelah dilakukan rontgen
ulangan, didapatkan kesan adanya multiple abses, yang ditandai dengan adanya
gambaran air fluid level yang berkelompok pada paru kanan.
Abses paru pada pasien ini mungkin terjadi karena adanya infeksi kronik
tuberkulosis yang tidak tertangani, yang diperberat dengan adanya malnutrisi.
Berdasarkan kepustakaan, abses paru seringkali disebabkan adanya infeksi kuman
aspesifik. Abses seringkali disebabkan adanya inhalasi, infeksi kronik, dan cavitas
yang terinfeksi.
Komplikasi abses paru yang paling sering terjadi adalah empiema. Pada
pasien ini, empiema bisa disebabkan oleh adanya infeksi kronik tuberkulosis yang
tidak teratasi, infeksi oleh kuman aspesifik penyebab pneumonia, dan juga oleh
adanya abses paru yang sebelumnya tidak terdeteksi.
Anemia yang terjadi pada pasien ini adalah anemia yang disebabkan oleh
penyakit kronis. Penyakit kronis yang mendasari terjadinya anemia pada pasien
ini disebabkan oleh tuberkulosis paru yang tidak tertangani dengan baik. Transfusi
darah dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan ambilan oksigen dalam
sirkulasi, mengingat pasien berada dalam keadaan sepsis yang turut diperberat
dengan adanya hipoksia.
Penanganan yang dilakukan pada pasien ini adalah menyesuaikan
antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil kultur untuk menangani sepsis dan
abses paru. Untuk infeksi tuberkulosisnya, pasien ini dianggap sebagai kasus baru,
karena pada pengobatan sebelumnya, pasien hanya mengkonsumsi OAT-nya
selama 2 minggu. Pasien ini diberikan OAT kategori I, yaitu kombinasi INH,
Rifampisin, Etambutol, dan pirazinamid. Untuk mengatasi abses paru pada pasien
ini, selain menyesuaikan antibiotik sesuai kultur, juga diusahakan melakukan
drainase abses melalui proses bedah.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Light R. Pleural Diseases. Lippincott Williams & Wilkins.5th Edition. 2007.
28
2. Assegaff H. dkk. Abses Paru dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
AUP. Surabaya. 2006. 136 – 41.
3. Jay A. Fishman. Aspiration. Empyema. Lung Abscesses. and Anaerobic
Infections in. Fishman’s pulmonary Diseases and disorders 4th ed.
Philadelphia. 2008. 2141 – 2146.
4. Sydney M. Lung Abscess . Cecil text book of Medicine 23th ed.
Phildelphia. 2008. Chapter 98
5. Garry et al. Lung Abscess in a Lange Clinical Manual. Internal Medicina.
Diagnosis and Therapy 3rd. Oklahoma. 2003. 119 – 120.
6. Hirshberg B et al. Factors predicting mortality of patients with lung
Abscsess. Chest. 115. 3. 2008. 746 – 52.
7. Ricaurte KK et al. Allergic bronchopulmonary aspergillosis with multiple
Streptococcus pneumonia Lung Abscess. an unussual insitial case
presentation. journal of allergy and clinical imunology. 104 . 1 2009 . 238
– 40.
8. Klein JS et al. Interventional Radiology of The Chest. Image Guided
Percutaneons Drainage of Pleural Effusions. Lung Abscess. and
Pneumothorax . AJR. 2005. 164. 581 – 88
9. Asher MI. Beadry PH. Lung Abscess in infections of Respicatory tract.
Canada. 2001. 429 – 34
10. Finegold SM, Fishman JA. Empyema and lung Abcess. Fishman’s
Pulmonary Diseases and Disorders 3rded. Philadelphia. 2008
29