32
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FKUP/ RSHS BANDUNG Divisi : Tumbuh - Kembang dan Pediatrik Sosial Oleh : dr. Erika Pembimbing : Prof. Dr. H. Kusnandi Rusmil dr., SpA(K), MM. Dr. dr. H. Eddy Fadlyana SpA(K), M.Kes. Dr. dr. Meita Dhamayanti SpA(K), M.Kes dr. Rodman Tarigan SpA., M.Kes Hari/ Tanggal : Jumat, 11 September 2015 LAPORAN KASUS Gangguan Tumbuh Kembang Pada Pasien Sindroma Rubella Kongenital dengan Penyakit Jantung Bawaan (DSA dan PS) Seorang anak perempuan berusia 5 bulan (tanggal lahir 19 April 2015). Penderita datang dengan keluhan bintik putih pada kedua bola mata. Kasus ini dibahas untuk mencari hubungan antara Penyakit Jantung Bawaaan (PJB) dan Sindroma Rubella Kongenital dengan gangguan terhadap proses tumbuh kembang penderita. I. DATA PENDERITA Nama : An. C Jenis kelamin : Perempuan 1

Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Case report

Citation preview

Page 1: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FKUP/ RSHS BANDUNG

Divisi : Tumbuh - Kembang dan Pediatrik Sosial

Oleh : dr. Erika

Pembimbing : Prof. Dr. H. Kusnandi Rusmil dr., SpA(K), MM.

Dr. dr. H. Eddy Fadlyana SpA(K), M.Kes.

Dr. dr. Meita Dhamayanti SpA(K), M.Kes

dr. Rodman Tarigan SpA., M.Kes

Hari/ Tanggal : Jumat, 11 September 2015

LAPORAN KASUS

Gangguan Tumbuh Kembang Pada Pasien Sindroma Rubella Kongenital

dengan Penyakit Jantung Bawaan (DSA dan PS)

Seorang anak perempuan berusia 5 bulan (tanggal lahir 19 April 2015).

Penderita datang dengan keluhan bintik putih pada kedua bola mata. Kasus ini

dibahas untuk mencari hubungan antara Penyakit Jantung Bawaaan (PJB) dan

Sindroma Rubella Kongenital dengan gangguan terhadap proses tumbuh kembang

penderita.

I. DATA PENDERITA

Nama : An. C

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal Lahir : 19 April 2015

Tanggal pemeriksaan : 11 September 2015

Umur kronologis : 4 bulan 22 hari

Umur koreksi : 2 bulan 22 hari

Pendidikan Ayah/Ibu : tidak diketahui/ SMP

Pekerjaan Ayah/Ibu : tidak diketahui/ Karyawan di sebuah cafe di Jakarta

Alamat : Jl. Arjasari, Patrol, Indramayu

1

Page 2: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

II. RIWAYAT PENYAKIT

Anamnesa : Alloanamnesa nenek penderita

Keluhan utama: Tindak lanjut bintik putih di kedua bola mata

Penderita dibawa oleh nenek penderita karena terdapat bintik putih yang

terlihat di kedua bola mata disadari sejak lahir oleh ibu penderita. Penderita

tampak dikatakan tidak berespon/tidak melihat jika diberikan benda yang

diayunkan di atas kepalanya. Penderita juga dikatakan tidak pernah tampak

menatap wajah ibu maupun pengasuh. Penderita juga dikatakan tidak berespon

jika diberikan bunyi-bunyian ataupun suara. Penderita saat ini baru dapat

terseyum spontan, tertawa, berteriak dan mengeluarkan bunyi oo-aah. Penderita

belum dapat mengangkat kepala, belum dapat miring kanan maupun kiri,.

Keluhan tidak disertai dengan kejang, kemerahan pada kulit dan dikatakan

penderita tidak rewel. Keluhan tidak disertai dengan kebiruan dibibir ataupun

ujung-ujung jari tangan kaki saat menangis.

Penderita karena keluhannya dibawa oleh nenek penderita untuk berobat

ke RS Cicendo, dan telah dilakukan pemeriksaan USG mata dengan hasil katarak

kongenital ODS. Penderita direncanakan untuk operasi penggantian lensa, namun

saat diperiksa dokter mengatakan penderita memiliki kelainan jantung sehingga

kemudian penderita dirujuk ke RSHS untuk pemeriksaan lebih lanjut. Penderita

datang ke poli anak umum RSHS kemudian dirujuk ke poli kardiologi, poli

tumbuh kembang dan poli THT. Penderita kemudian dilakukan pemeriksaan

rekam jantung, rontgen dada dan USG jantung dan dianjurkan untuk rutin kontrol

ke poli jantung satu kali dalam satu bulan.

Penderita dikatakan lahir dari ibu P1A0 yang merasa hamil kurang bulan

(32 minggu), lahir normal, ditolong bidan. Penderita dikatakan lahir langsung

menangis dengan BB lahir 1600 gram dengan PB lahir tidak diketahui. Ibu

penderita memiliki riwayat ketuban pecah dini saat lahir. Saat proses persalinan

ketuban dikatakan tampak jernih tidak berwarna hijau, dan tidak ada perdarahan.

Ibu penderita dikatakan rutin kontrol teratur ke bidan satu bulan sekali sejak usia

kehamilan 2 bulan hingga melahirkan. Ibu penderita dikatakan tidak pernah

2

Page 3: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

kontrol ke dokter spesialis kandungan ataupun dilakukan USG saat kehamilan.

Ibu penderita dikatakan memiliki riwayat merokok sejak 1 tahun terakhir sebelum

kehamilan, jumlahnya tidak diketahui, namun telah berhenti saat hamil. Ibu

penderita juga memiliki riwayat minum-minuman beralkohol sejak 1 tahun

terakhi dengan jumlah tidak diketahui, saat hamil sudah tidak minum minuman

beralkohol. Ibu penderita dikatakan saat usia kehamilan 4 bulan kehamilan

mimiliki riwayat keputihan yang berbau, gatal dan dilakukan pengobatan oleh

bidan dan dikatakan telah sembuh. Riwayat ibu penderita minum obat-obatan

ataupun vitamin selain yang diberika oleh bidan tidak diketahui. Selama

kehamilan ibu penderita dikatakan tidak pernah sakit. Riwayat menggugurkan

kandungan pada ibu penderita dikatakan tidak ada. Penderita memiliki riwayat

dirawat di RS Indramayu selama 40 hari di ruang perawatan biasa bukan intensif

karena permasalahan berat badan lahir kecil. Saat pulang dari perawatan, berat

badan lahir penderita 1700 gr. Penderita kemudian dianjurkan oleh dokter di RS

Indramayu ke RS Cicendo Bandung untuk dilakukan pemeriksaan mata lebih

lanjut . Sejak lahir penderita tidak diberikan ASI, penderita diberikan susu

formula sebanyak 40 cc sebanyak 8 kali sehari menggunakan dot yang dicuci dan

dibilas dengan air matang. Penderita sehari-hari dirawat dan diasuh oleh nenek

penderita. Ibu penderita sejak 1 bulan SMRS pindah ke Jakarta untuk bekerja.

Penderita lahir dengan orang tua tunggal (Ibu).

Penderita dikatakan sejak lahir belum pernah mendapatkan imunisasi.

Penderita rutin kontrol ke poli kardiologi anak sejak 1 bulan SMRS, dan

telah dilakukan ekokardiografi serta untuk disarankan untuk rutin kontrol ke poli

kardiologi setiap 1 bulan sekali. Penderita sudah pernah kontrol ke poliklinik

IKFR dan direncanakan untuk dilakukan fisioterapi 1 kali tiap minggu namun

belum dilakukan karena nenek penderita belum sempat mengantar dikarenakan

jauh dari tempat tinggal sehingga belum memungkinkan untuk ke RS Hasan

Sadikin 1 kali/minggu.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Kesan sakit ringan

3

Page 4: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

Kesadaran : Kompos mentis

Tanda Vital : Tekanan Darah : tidak diukur Nadi = HR: 130 x/menit

Respirasi : 22 x/ menit Suhu: 36,8 0C

Saturasi : 97,9 % tanpa oksigen

Berat Badan: 4 kg Panjang Badan : 53 cm Lingkar Kepala : 32 cm

Umur Koreksi : 2 bulan 22 hari

Kepala : Mikrosefal, Mongolian face (-), hypertelorisme (-) , low set ear (-)

: Konjungtiva tak anemis, Sklera tak ikterik

: Pernafasan cuping hidung (-), sianosis perioral (-), makroglosia (-)

Leher : Kelenjar getah bening tak teraba, Retraksi suprasternal (-)

: JVP tidak meningkat

Thoraks : Bentuk dan gerak simetris, Retraksi intercostal -/-

Cor : Ictus cordis tidak tampak, teraba di ICS IV LMCS, tidak kuat angkat,

thrill(-), Bunyi Jantung S1, S2 normal regular,splitting S2 sulit

dinilai, S3 gallop(-), murmur ejeksi sistolik grade III/6 di ICS III

LSB

Pulmo : Perkusi sonor, Vesicular breath sound kiri=kanan, Ronkhi -/-,

Wheezing -/-

Abdomen : Datar,lembut. Hepar teraba 2 cm bac, 2 cm bpx, tepi tajam,

permukaan rata, konsistensi kenyal, Lien tidak teraba. Bising usus

(+) normal, hernia umbilicalis (-)

Ekstremitas : Akral hangat, cappilary refill <2 detik, sianosis -/-clubbing finger

simian line -/-

Pemeriksaan Neurologis

Rangsang meningen : kaku kuduk (-), Brudzinsky I,II,III: -/-/-

Saraf Otak : N I sulit dinilai,

N II, III pupil bulat isokor, diameter 3mm ODS, RC +/+

N III, IV, VI follow the light

N VII kesan simetris

N IX, X, XI, XII sulit dinilai

4

Page 5: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

Motorik : parese +/+, tonus otot meningkat / meningkat

Meningkat/meningkat

Sensorik : sulit dinilai

Refleks fisiologis : APR +/ + meningkat , KPR +/ + meningkat

Refleks perkembangan : palmar graps +/+, plantar graps +/+, klonus -/-, head lag

(+)

IV. STATUS ANTROPOMETRI

Mennggunakan WHO Child Growth Standard

Panjang badan/ Umur : < - 1 SD

Berat badan/ Umur : < -1 SD

Berat badan/ Panjang badan : 0 (Median)

Lingkar Kepala/ Umur : < -3SD ( Mikrosefal )

V. Skrining Perkembangan

PEDS : Langkah B langkah dilanjutkan dengan DENVER II

DENVER : Suspek ( > 1 keterlambatan )

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. ECG : Sinus ritme, normal axis, RVH

2. Rontgen Thorax : 4 September 2015

Cor tidak membesar (CTR 53%), Sinuses dan diafragma normal, Pulmo :

hilus kanan normal, kiri tertutup banyangan jantung, coracan

bronkovaskuler bertambah, tampak perbecakan di suprahiler bilateral

Kesan : Tidak tampak kardiomegali, adanya Congenital Heart Disease

dapat disingkirkan, Bronkopneumonia bilateral

3. Lab :

Ig G Toxoplasma (-) 0.1 (nilai rujukan (+) bila > 32 IU/ml)

IgM Toxoplasma (-) 0.1 (nilai rujukan (=) bila > 1.0)

IgG Rubella (-) 0.8, (nilai rujukan (+) bila > 15 IU/ml)

IgM Rubella (-) 0,2 (nilai rujukan (+) bila > 1.0)

5

Page 6: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

IgG Cytomegalovirus (-) 0.4 (nilai rujukan (+) bila >1,2 IU/ml)

IgM Cytomegalovirus (-)0.4 (nilai rujukan (+) bila > 1.0)

IgG Herpes Simplex Virus I (+) 2.9 (nilai rujukan (+) bila index

>1,1)

IgM Herpes Simplex Virus I (-) 0.3 (nilai rujukan (+) bila index >

1,1)

IgG Herpes Simplex Virus II (+) 2,1 (nilai rujukan (+) bila index

> 1,1)

IgM Herpes Simplex Virus II (-) 0.1 nilai rujukan (+) bila index >

1,1)

4. Echocardiography :

Situs solitus, AV VA Concordance, Pulmonal stenosis valvular mild

pressure gradient 20 mmHg, ASD sekundum kecil fenestrated 5 mm ,

Tidak terdapat VSD-PDA, Fungsi LV baik. EF 61.4%. FS 30,8 %.

LA/AO :1.32

Kesan : Pulmonal stenosis valvular mild pressure gradient 20 mmHg

ASD sekundum kecil fenestrated 5 mm

VII. DIAGNOSIS KERJA

Gangguan pendengaran, gangguan penglihatan ec dd/ sindrom rubella

kongenital, Infeksi Herpes simplex + Cerebral palsy tipe spastis

quadriplegi + imunisasi tidak lengkap

VIII. PENATALAKSANAAN

Edukasi

Imunisasi catch up

Konsul neurologi

Konsul bagian infeksi dan penyakit tropis

Konsul bagian THT untuk evaluasi fungsi pendengaran

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

6

Page 7: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

Quo ad functionam : dubia ad malam

X. FOLLOW UP

Jawaban konsul dari bagian TS Pediatrik Neurologi :

DK/ Cerebral palsy tipe spastik quadriplegia + sindrom rubella

kongenital (katarak kongenital, mikrosefal, pulmonal stenosis,

suspek profound hearing loss bilateral) + infeksi herpes simplex +

imunisasi tidak lengkap

Saran : periksa ulang Ig M rubella, fisioterapi dan edukasi

Jawaban konsul dari bagian TS Infeksi dan Penyakit Tropis :

DK/ Infeksi Herpes simplex +infeksi herpes simplex + imunisasi

tidak lengkap

Saran : observasi

Jawaban konsul dari bagian THT :

DK/ Profound Hearing Loss Bilateral

Saran : Pemakaian alat bantu dengar, rehabilitasi mendengar,

konsultasi dengan bagian neuropediatrik

Jawaban konsul dari bagian TS IKFR :

DK/ Global delay development + hearing impairment + visual

disorder.

Program : Stimulasi reflex brainstem, stimulasi head neck kontrol,

terapi 1x/minggu, kontrol (evaluasi)

PEMBAHASAN

7

Page 8: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

I. Pengaruh penyakit jantung bawaan terhadap proses tumbuh kembang

penderita

Penyakit jantung bawaan (PJB) didefinisikan sebagai malformasi

struktural dari satu atau lebih ruang jantung dan pembuluh darah yang terjadi

selama perkembangan embrio. Kelainan struktur dapat meliputi arteri, katup,

arteri koroner, dan pembuluh darah besar di jantung, dan bisa berupa kelainan

yang sederhana atau kompleks.1 Penyakit jantung bawaan adalah bentuk cacat

bawaan yang paling sering terjadi dan penyebab kematian nomor 1 dari kematian

karena cacat bawaan pada 1 tahun pertama kehidupan. Insidensi PJB sebanyak 8

dari 1000 kelahiran hidup dan diperkirakan 1 juta orang di Amerika Serikat

menderita PJB. Beberapa PJB membutuhkan intervensi medis sedini mungkin.

Penyakit jantung bawaan yang memiliki defek ringan tidak menimbulkan gejala

dan biasanya baru terdiagnosis pada saat penderita memasuki usia dewasa.1,2

Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok, yaitu

penyakit jantung bawaan sianotik dan penyakit jantung bawaan nonsianotik.

Termasuk dalam kelompok penyakit jantung bawaan nonsianotik adalah penyakit

jantung bawaan dengan kebocoran sekat jantung yang disertai pirau kiri ke kanan

di antaranya adalah defek septum ventrikel, defek septum atrium, atau tetap

terbukanya pembuluh darah seperti pada duktus arteriosus persisten. Selain itu

penyakit jantung bawaan nonsianotik juga ditemukan pada obtruksi jalan keluar

ventrikel seperti stenosis aorta, stenosis pulmonal dan koartasio aorta.3

Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui. Berbagai jenis obat,

penyakit ibu, pajanan terhadap sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab

eksogen penyakit jantung bawaan. Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal

kehamilan dapat menyebabkan PJB pada bayi. Di samping faktor eksogen

terdapat pula faktor endogen yang berhubungan dengan kejadian PJB. Berbagai

jenis penyakit genetik dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJB

seperti sindrom Down, Turner, dan lain-lain.3,4

8

Page 9: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

Kegagalan pertumbuhan adalah salah satu gejala yang dapat diamati pada

bayi dengan PJB. Lebih dari 50% bayi dengan PJB mengalami kegagalan

pertumbuhan pada awal kehidupannya, dimana 30% dari populasi memiliki berat

badan terhadap umur dibawah persentil ketiga pada grafik pertumbuhan untuk

usia dan jenis kelamin.5 Penyebab gangguan pertumbuhan pada PJB merupakan

multifaktorial. Kurangnya asupan kalori, malabsorpsi, dan peningkatan kebutuhan

energi akibat peningkatan metabolisme turut berperan sebagai penyebab gangguan

pertumbuhan. Akan tetapi, hal yang paling berperan sebagai penyebab gangguan

pertumbuhan pada penderita dengan PJB adalah asupan kalori yang kurang. Di

samping malnutrisi, anoreksia juga berperan dan memperburuk kondisi pasien.

Dispnea dan takipnea pada penderita dengan gagal jantung kongestif akan

menyebabkan kelemahan dan menurunnya asupan makanan.6

Gangguan pertumbuhan dan malnutrisi dikenal sebagai komplikasi yang sering

dari PJB, 4 dari 5 anak yang dirawat di RS dengan PJB mengalami malnutrisi akut

ataupun kronis. Gangguan pertumbuhan dilaporkan pada 50% anak dengan PJB.

Derajat retardasi pertumbuhan bergantung pada efek hemodinamik yang

diakibatkan oleh PJB.5,6 Penyebab retardasi pertumbuhan pada PJB bersifat

multifaktorial diantaranya yaitu : asupan kalori yang tidak adekuat, malabsorbsi,

dan peningkatan kebutuhan energi akibat peningkatan metabolisme.4,5 Asupan

nutrisi yang tidak adekuat akibat kecenderungan kelelahan dan takipnea

merupakan penyebab utama (49% kasus) kegagalan pertumbuhan pada anak

dengan PJB.4 Makan pada anak dengan PJB merupakan suatu olahraga yang

membutuhkan energi. Anak dapat menjadi mudah kenyang karena pengurangan

kapasitas lambung yang terdesak oleh hepatosplenomegaly. Proses menelan dapat

terganggu akibat takipnea. Malabsorbsi dapat disebabkan oleh hipoksia saluran

cerna dan edema sel usus pada gagal jantung kanan.7,8 Pendekatan terapi restriksi

cairan juga dapat menjadi hambatan intake kalori. Gagal jantung kongestif

menyebabkan kondisi hipermetabolik akibat peningkatan kerja jantung dan

pernafasan.7,8,9 Kombinasi antara pengurangan asupan akibat anorexia dan

peningkatan kerja pernafasan menyebabkan defisiensi nutrisi. Anak dengan PJB

9

Page 10: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

membutuhkan kalori 50% lebih banyak dibandingkan anak normal untuk

mencapai pertumbuhan yang normal.9,10,11

Pada pasien ini pertumbuhan masih dikatakan normal, namun ditemukan adanya

mikrosefal sebab pengukuran antropometri pasien ini didapatkan : panjang badan/

Umur < - 1 SD , berat badan/ umur < -1 SD, berat badan/ panjang badan 0

(Median), lingkar kepala/ umur < -3SD ( Mikrosefal ).

a. Kelainan Jantung Bawaan Pada Sindroma Rubella Kongenital

Kelainan jantung bawaan pada sindroma rubella kongenital pertama kali

dilaporkan oleh Greeg, dimana ditemukan adanya 44 kelainan jantung bawaan

dari 78 kasus pasieen dengan katarak kongenital pada tahun 1941. Pada tahun

1961 atau dua puluh tahun kemudian, Campbell melaporkan bahwa patent ductus

arteriosus (PDA) merupakan kelainan jantung bawaan tersering yang dilaporkan

pada sindroma ini tercatat sebanyak 58%. Kelainan jantung lainnya yang sering

ditemukan berturut adalah defek septum ventrikel sebanyak 17,6%, defek septum

atrial sebanyak 6,6%, pulmonary stenosis sebanyak 5.9%, tetralogy Fallot

sebanyak 7.2% dan 4,5% adalah untuk kelainan jantung lainnya termasuk

diantaraya koartasio aorta, stenosis katup pulmonal, transposition great arteries

(TGA) dan trikuspid atresia (tabel 1).12

Tabel 1. Frekuensi kelainan jantung bawaan pada sindroma rubella kongenital (Dikutip dari Campbell dkk)12

10

Page 11: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

Pada kasus ini kelainan jantung yang terjadi ditegakkan dari hasil pemeriksaan

ekokardiografi adalah defek septum atrium dan pulmonal stenosis. Pada kasus ini

kelainan jantung yang terjadi belum memberikan gejala klinis atau masih bersifat

asimptomatik.

1.2 Defek Septum Atrium (DSA)

Defek septum atrium (DSA) adalah anomali jantung kongenital yang ditandai

dengan defek pada septum atrium akibat gagal fusi antara ostium sekundum,

ostium primum, dan bantalan endokardial. Defek Septum Atrium dapat terjadi di

bagian manapun dari septum atrium, tergantung dari struktur septum atrium yang

gagal berkembang secara normal. 13

Insidensi DSA adalah 1 per 1000 kelahiran hidup dan terhitung 7% dari

seluruh kejadian PJB. Prevalensi DSA pada wanita lebih tinggi daripada pria

dengan perbandingan 2:1. Klasifikasi DSA dibagi menurut letak defek pada

septum atrium, yaitu: ostium primum, merupakan hasil dari kegagalan fusi ostium

primum dengan bantalan endokardial dan meninggalkan defek di dasar septum.

Kejadian DSA ostium primum pada wanita sama dengan pria dan terhitung sekitar

20% dari seluruh kasus PJB. Tipe kedua adalah ostium sekundum, merupakan tipe

lesi DSA terbanyak (70%) dan jumlah kasus pada wanita 2 kali lebih banyak

daripada pria. Sekitar 8 dari 10 bayi lahir dengan ostium sekundum dan 50%

kasus DSA yang terjadi akan menutup dengan sendirinya. Tipe ketiga adalah

sinus venosus, merupakan salah satu jenis DSA yang ditandai dengan malposisi

masuknya vena kava superior atau inferior ke atrium kanan. Insidensi defek ini

diperkirakan 10% dari seluruh kasus DSA.13

Defek yang terjadi dapat berbagai jenis, mulai dari yang berukuran kecil sampai

sangat besar dan menyebabkan pirau dari atrium kiri ke atrium kanan dengan

beban volume lebih banyak di atrium dan ventrikel kanan. Defek DSA dikatakan

kecil bila diameter yang ditemukan antara 3-6 mm, sedang bila 6-12 mm, dan

besar jika lebih dari 12 mm. Gejala pada anak dan neonatus umumnya

asimtomatis, namun bila pirau cukup besar maka pasien dapat mengalami sesak

11

Page 12: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

nafas dan sering mengalami infeksi paru. Gagal jantung sangat jarang ditemukan.

Pada anak dengan pirau kiri-ke-kanan berukuran besar biasanya mengeluhkan

cepat lelah dan dispnea. Gagal tumbuh jarang didapati.13,14

Defek ostium sekundum berukuran kecil dengan pirau kiri ke kanan minimal

secara konsensus tidak memerlukan terapi penutupan. Defek tersebut diharapkan

dapat menutup sendiri. Pada defek yang berukuran kurang dari 3 mm yang

ditemukan sebelum usia 3 bulan, pada usai 1,5 tahun defek tersebut telah menutup

sempurna pada hampir 100% pasien. Sedangkan pada defek septum ukuran

sedang sampai besar, meskipun tidak bergejala, perlu dilakukan tindakan

penutupan untuk mencegah terbentuknya penyakit penyumbatan vaskular paru di

kemudian hari, mengurangi kemungkinan terjadinya aritmia supra-ventrikular dan

mencegah perburukan gejala di kemudian hari. 13,14

Indikasi penutupan ASD adalah bila defek telah menimbulkan gejala, atau jika

belum timbul gejala namun rasio aliran darah ke paru dan sistemik (Qp:Qs) lebih

dari 1,5. Operasi dilakukan secara elektif pada usia pra sekolah (3–4 tahun)

kecuali bila sebelum usia tersebut sudah timbul gejala gagal jantung kongestif

yang tidak teratasi secara medikamentosa. Tindakan penutupan ASD tidak

dianjurkan lagi bila sudah terjadi hipertensi pulmonal dengan penyakit obstruktif

vaskuler paru. Terapi bedah yang dilakukan pada usia dini memilliki outcome

yang lebih baik daripada terapi bedah yang dilakukan pada usia lebih dewasa.

Terapi koreksi bedah merupakan terapi konvensional tatalaksana defek septum

atrium, namun pada beberapa dekade terakhir tindakan penutupan defek secara

transkateter telah diciptakan. Diantaranya adalah okluder Amplatzer. Alat ini

berupa anyaman kawat yang terbuat dari nikel-titanium, berupa cakram ganda,

yang dapat diinsersikan melalui kateter. Alat ini memiliki berbagai macam ukuran

yang disesuaikan dengan besarnya defek. Penutupan defek trans-kateter ini

terutama digunakan pada defek ostium sekundum, sedangkan untuk defek septum

lainnya terapi utamanya masih berupa pembedahan.13,14,15

12

Page 13: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

Pada kasus ini berdasarkan anamnesis defek septum atrium yang terjadi belum

menujukkan gejala klinis seperti cepat lelah, sesak nafas saat menyusu ditandai

dengan sering terlepas jika saat sedang menyusu. Pada pemeriksaan fisik tidak

didapatkan adanya tanda-tanda pembesaran jantung kanan ataupun kegagalan

jantung kanan, sedangkan bunyi jantung khas yang ditemukan pada defek septum

atrium yakni wide fixed splitting pada bunyi jantung kedua sulit dinilai karena

heart rate pada pasien ini termasuk cepat yakni 130x/menit. Data yang didapatkan

dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didukung hasil ekokardiografi yang

menunjukkan defek septum atrium yang terjadi termasuk tipe ostium sekundum

dan berdasarkan ukuran diameter defek digolongkan enjadi defek kecil yaitu 5

mm (3-6 mm) sehingga seringkali tidak memberikan gejala ataupun asimtomatik

dan tidak dilakukan intervensi penutupan dikarenakan masih diharapkan untuk

menutup dengan sendirinya. DSA pada kasus ini tidak mempengaruhi proses

tumbuh kembang.

1.3 Pulmonal Stenosis (PS)

Pulmonal stenosis adalah penyempitan pada lubang masuk arteri pulmonalis.

Tahanan yang merintangi aliran darah menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan

dan penurunan aliran darah paru. Stenosis arteri pulmonal bisa terjadi pada bagian

valvular, supravalvular maupun infundibular. Sangat jarang kelainan ini

disebabkan oleh aktivasi rema, tapi umumnya merupakan kelainan jantung

kongenital yang dibawa sejak lahir. Stenosis tipe valvular lebih banyak ditemukan

pada anak dibandingkan dengan dengan tipe infundibular. Sementara itu,

pulmonal stenosis tipe infudibuler jarang sekali ditemukan sebagai kelainan yang

berdiri sendiri, tetapi biasanya menyertai kelainan jantung yang lain, seperti pada

tetralogy Fallot. Demikian pula pulmonal stenosis tipe supra valvular sangat

jarang ditemukan sendiri, tetapi justru merupakan salah satu baguan dari suatu

kelaian kongenital yang lebih kompleks, seperti pada Sindroma Noonan,

Sindroma William ataupun Rubella Kongenital.16

13

Page 14: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

Pada pulmonal stenosis terjadi stenosis pada katup pulmonal (tipe valvular),

pada pangkal arteri pulmonal (tipe supravalvular), pada infundibulum ventrikel

kanan (tipe subvalvular), maka ventrikel kanan akan menghadapi tekanan

berlebihan yang kronis. Dilatasi pasca stenosis pada arteri pulmonal merupakan

tanda yang khas pada pulmonal stenosis tipe valvular dan tidak ditemukan pada

tipe pulmonal stenosis yang lain. Adanya pembesaran ventrikel kanan hingga

menyebabkan kegagalan jantung kanan menunjukkan bahwa pulmonal stenosis

yang terjadi cukup signifikan. 16

Derajat beratnya pulmonal stenosis yang terjadi dibagi menjadi 3 yakni ringan,

sedang dan berat. Pada pulmonal stenosis yang ringan tekanan sistolik di ventrikel

kanan biasanya kurang dari 50 mmHg atau kurang dari 50% dari tekanan

sistemik. Pada pumonal stenosis derajat sedang, tekanan sistolik ventrikel kanan

berkisar antara 50-75 mmHg atau 50-75% dari tekanan sistemik. Pulmonal

stenosis dianggap berat apabila tekanan sistolik ventrikel kanan lebih dari 75

mmHg atau 75% dari tekanan sistemik. Apabila tekanan sistolik ventrikel kanan

melebihi tekanan sistemik maka pulmonal stenosis yang terjadi dikatakan kritikal

dan harus segera mendapatkan intervensi.Pilihan intervensi pada kritikal pulmonal

stenosis adalah pembedahan, namun dalam 15 tahun terakhir dapat pula dilakukan

dengan upaya non bedah yakni dengan balonisasi katup untuk melebarkan katup

yang sempit tersebut. 17

Tanda dan gejala pasien dengan pulmonal stenosis biasanya asimtomatik,

kecuali keluhan cepat lelah oleh karena curah jantung berkurang. Apabila

pulmonal stenosis cukup berat serta disertai dengan defek septum atrium ataupun

defek septum ventrikel, maka dapat memberikan gejala sianosis yang signifikan

yang disebabkan oleh terjadinya pirau aliran darah dari kanan ke kiri. 16,17

Pada pemeriksaan fisik, komponen pulmonal bunyi jantung ke 2 terdengar

lemah atau bahkan tidak terdengar sama sekali, sehinga bunyi jantung ke 2

terdengar seperti bunyi tunggal. Murmur ejeksi sistolik dapat dideteksi didaerah

pulmonal, pada sela iga 2-3 kiri parasternal didahului sebelumnya oleh ejeksi

14

Page 15: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

sistolik dan dapat diraba sebagai thrill. Ekokardiografi dapat menunjukkan adanya

hipertrofi ventrikel kanan karena beban tekanan berlebih. Gelompang P dapat

tampak tinggi, karena hipertrofi atrium kanan. Foto thorak pada pulmonal stenosis

tanpa kelainan kongenital yang lain, biasanya memberikan gambaran jantung

yang relatif normal dengan normal vaskularisasi paru. Pada stenosis pulmonal

yang ringan, elektrokardiografi dan foto dada mungkin tidak berubah dan masih

berada dalam batas-batas normal.17,18

Pada stenosis pulmonal yang ringan, umumnya pasien asimtomatik dan tidak

memburuk oleh bertambahnya usia sehingga tumbuh kembang pun tidak

terganggu. Akan tetapi, sebagaimana halnya denegan kelainan jantung kongenital

yang lain, profilaksis antibiotika terhadap endocarditis bacterial tetap perlu

diperhatikan. 18

II. Pengaruh Congenital Rubella Syndrome proses tumbuh kembang

penderita

Definisi Congenital Rubella Syndrome atau campak Jerman adalah penyakit

yang disebabkan oleh infeksi virus rubella. Di anak-anak, infeksi biasanya

hanya menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa gejala. Infeksi pada orang

dewasa dapat menimbulkan keluhan demam, sakit kepala, lemas dan

konjungtivitis. Tujuh puluh persen kasus infeksi rubella di orang dewasa

menyebabkan terjadinya atralgi atau artritis. Jika infeksi virus rubella terjadi

pada kehamilan, khususnya trimester pertama sering menyebabkan Congenital

Rubella Syndrome (CRS). CRS mengakibatkan terjadinya abortus, bayi lahir

mati, prematur dan cacat apabila bayi tetap hidup. CRS merupakan gabungan

beberapa keabnormalan fisik yang berkembang di bayi sebagai akibat infeksi

virus rubella maternal yang berlanjut dalam fetus. 19,20

Bayi dengan CRS mungkin hadir dengan manifestasi yang berbeda dari

sindrom tergantung pada waktu infeksi pada kehamilan. Apabila infeksi terjadi

pada 0–12 minggu usia kehamilan, maka terjadi 80–90% risiko infeksi janin.

Infeksi pada Ibu yang terjadi sebelum terjadi kehamilan tidak mempengaruhi

15

Page 16: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

janin. Infeksi yang terjadi pada usia kehamilan 15–30 minggu akan

menurunkan risiko infeksi janin yaitu 30% atau 10–20%. Setelah 20 minggu

kehamilan , satu-satunya cacat dapat menjadi tuli . Juga , beberapa anak hanya

terinfeksi dan tidak memiliki bawaan cacat .Anak yang diagnosis mengalami

CRS apabila mengalami 2 gejala pada kriteria A atau 1 kriteria A dan 1 kriteria

B. Kriteria A terdiri dari ; katarak, glaukoma bawaan, penyakit jantung bawaan

(paling sering adalah patient ductus arteriosus atau peripheral pulmonary

stenosis), kehilangan pendengaran, pigmentasi retina. Kriteria B terdiri dari ;

purpura, splenomegali, jaundice, mikroemsefali, retardasi mental,

meningoensefalitis dan radiolucent bone disease (tulang tampak gelap pada

hasil foto roentgen). Beberapa kasus hanya mempunyai satu gejala dan

kehilangan pendengaran merupakan cacat paling umum yang ditemukan di

bayi dengan CRS. Definisi kehilangan pendengaran menurut WHO adalah

batas pendengaran ≥ 26 dB yang tidak dapat disembuhkan dan bersifat

permanen.19,20

Pada kasus ini penderita memiliki gambaran klinis yang khas pada CRS

yaitu katarak kongenital, tuli, dan penjakit jantung bawaan yakni pulmonal

stenosis dan atrial septal defek. Diagnosis katarak kongenital pada kasus ini

awalnya dicurigai saat Ibu penderita melihat adanya bintik putih di kedua mata,

dan anak tampak tidak berespon ketika diajak bertatap wajah.

Meskipun infeksi bawaan dapat dipastikan (konfirmasi) dengan

mengasingkan (isolasi) virus dari swab tenggorokan, air kemih dan cairan

tubuh lainnya, tetapi pengasingan tersebut mungkin memerlukan pemeriksaan

berulang. Sehingga pemeriksaan serologis merupakan pemeriksaan yang sangat

dianjurkan. Pemeriksaan antibodi IgM spesifik ditunjukkan untuk setiap

neonatus dengan berat badan lahir rendah yang juga memiliki gejala klinis

rubella bawaan. Adanya IgM di bayi tersebut menandakan bahwa ia telah

terinfeksi secara bawaan, karena antibodi ini tidak dapat melalui perbatasan

(barier) plasenta. Pemeriksaan IgM spesifik rubella digunakan untuk

mendiagnosis infeksi rubella kongenital pada infant. IgM spesifik rubella akan

ditemukan hampir 10%5 pada bayi usia 0-5 bulan dengan CRS, 60% saat usia

16

Page 17: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

6-12 bulan dan 40% pada usia 12-18 bulan. IgM spesifik rubella jarang

ditemukan setelah usia 18 bulan.20,21

Antibodi IgG spesifik rubella mungkin dapat dihasilkan oleh bayi secara

in vitro. Masuknya IgG maternal melalui perintangan (barier) plasenta,

menyebabkan sulitnya membedakan antara antibodi yang dialihkan (transfer)

secara pasif dan antibodi spesifik yang dihasilkan sendiri oleh bayi. IgG

spesifik rubella yang menetap (persisten) hingga berumur 6–12 bulan. Hal itu

menandakan bahwa antibodi tersebut dihasilkan oleh bayi dan menandakan

adanya infeksi bawaan.19,21

Berdasarkan kriteria diagnosis klinis dan hasil pemeriksaan laboratoris,

kasus CRS dapat digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu: 1) kasus kecurigaan

(Suspected case) kasus kecurigaan (Suspected case) adalah kasus dengan

beberapa gejala klinis tetapi tidak memenuhi kriteria klinis untuk diagnosis

CRS. 2) kasus berpeluang (Probable case). Pada kasus ini, hasil pemeriksaan

laboratorik tidak sesuai dengan kriteria laboratoris untuk diagnosis CRS, tetapi

mempunyai 2 penyulit (komplikasi) yang tersebut pada kriteria A atau satu

penyulit pada kriteria A dan satu penyulit pada kriteria B dan tidak ada bukti

etiologi. Pada kasus berpeluang (probable case), baik satu atau kedua kelainan

yang berhubungan dengan mata (katarak dan glaukoma kongenital), dihitung

sebagai penyulit tunggal. Jika dikemudian hari ditemukan/terkenali

(identifikasi) keluhan atau tanda yang berhubungan seperti kehilangan

pendengaran, kasus ini akan digolongkan ulang. 3) kasus hanya infeksi

(Infection only-case) kasus hanya infeksi (Infection only-case) adalah kasus

yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorik terbukti ada infeksi tetapi

tidak disertai tanda dan gejala klinis CRS. 4) kasus terpastikan (Confirmed

case). 21

Berdasarkan Guidelines for Surveillance of Congenital Rubella Syndrome

and Rubella yang dikeluarkan oleh WHO tahun 1999, pada kasus ini termasuk

kategori Probable CRS, karena pada kasus ini dijumpai gejala klinis namun

tidak didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorik yang positif, sehingga

17

Page 18: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

direncanakan untuk pemeriksaan IgM Rubella ulang untuk mengkonfirmasi

ulang hasil pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya. 21

18

Page 19: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

DAFTAR PUSTAKA

1. Irving, Sharon. Patterns of weight change in infants with congenital heart

disease following neonatal surgery: potential predictors of growth

failure.http://repository.upenn.edu/edissertations/443

2. Winlaw D. Congenital heart disease in the 21st century. Crit Care Resusc.

2007;9(3):270 - 274.

3. Allen HD, Franklin WH, Fontana ME. Congenital heart disease: untreated

and operated. Heart disease in infants, children, and adolescents.

Baltimore:

Williams & Wilkins; 1995. h. 657-64.

4. Sastroasmoro S, Nurhamzah W, Madiyono B, Oesman IN, Putra ST.

Association between maternal hormone exposure and the development of

congenital heart disease of the truncal type A. A case-control study.

Paediatri Indonesia 1993; 33:291-300.

5. RE P. Growth Failure in Congenital Heart Disease : Where Are We Now?

Current Opinion in Cardiology. 2004 March; 19(2).

6. Robert M.Kliegman BSJSGNSREB. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th

ed. Philadelphia: WB Saunders; 2011.

7. Bauchner H. Failure to Thrive. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson

HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: WB

Saunders; 2007:184 – 187

8. Hirose Y, Ichida F, Oshima Y. Developmental status of young infants with

congenital heart disease. Pediatr Int. 2007;49:468 – 471

9. Kohr, LM., Braudis, NJ. Growth and Nutrition. Dalam: Paediatric

Cardiology. 3rd ed. Churchill Livingstone. Philadelphia. 2010.

10. Varan,B., Tokel,K., Yilmaz G. Malnutrition and Growth Failure in

Cyanotic and Acyanotic Congenital Heart Disease with and without

Pulmonary Hypertension. Arch Du Child 81: 49-52.1999.

11. Mitchell, IM. Nutritional Status of Children with Congenital Heart

Disease. Br Heart J 73 : 277-283. 1995.

19

Page 20: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

12. Way RC: Cardiovascular defects and the rubella syndrome. Canad Med

Ass J 97: 1329, 1967.

13. Friedman WF. Congenital heart disease in infancy and childhood.

Braunwald ed. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine.

5th ed. 1997. 896-910

14. Jonas RA. Atrial septal defect. Comprehensive Surgical Management of

Congenital Heart Disease. 2004. 225-41.

15. Fukazawa M, Fukushige J, Ueda K. Atrial septal defects in neonates with

reference to spontaneous closure.Am Heart J. 1988 Jul. 116(1 Pt 1):123-7

16. Rao PS. Pulmonary Valve Disease. Alpert JS, Dalen JE, Rahimtoola S,

eds. Valvular Heart Disease. 3rd ed. Philadelphia, PA: Lippencott Raven;

2000. 339-76.

17. Keith JD, Rowe RD, Vlad P. Heart Disease in Infancy and Childhood. 3rd

ed. New York, NY: Macmillan Co; 1978. 4-6, 761-88.

18. Nishimura RA, Otto CM, Bonow RO, Carabello BA, Erwin JP 3rd,

Guyton RA, et al. 2014 AHA/ACC Guideline for the Management of

Patients With Valvular Heart Disease: a report of the American College of

Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice

Guidelines. Circulation. 2014 Jun 10. 129(23):e521-643.

19. Department of Health and Human Services. Center for Disease Control

and prevention. Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable

Disease. 2005. http://www.cdc.gov. (diakses 13 September 2015).

20. Reef S, Coronado V. Congenital Rubella Syndrome.

http://www.deafblind.com/crs.htlm. (diakses 13 September 2015).

21. Cutts F, Best J, Siqueira MM, Engstrom K, Robertson, Susan E.

Guidelines for Surveilance of Congenital Rubella Syndrome and Rubella.

Field test version. Department of Vaccines and Biologicals. Geneva,

WHO, 1999

20

Page 21: Case Report Gangguan Tumbuh Kembang-2

21