21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Murniati dan Sunarman (2000) menyatakan bahwa penggunaan suhu rendah sangat dapat menghambat proses pembusukan sebab dengan suhu rendah pertumbuhan mikroba dapat dihambat atau bahkan dapat membunuh mikroba atau bakteri tersebut dan untuk mempertahankan kesegaran produk perikanan selain bentuk serta susunan kimianya tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan penggunaan suhu tinggi. Penggunaan suhu rendah dilakukan dengan pemakaian es atau pembekuan. Menurut Lailossa (2009), untuk mendesain sebuah sistem rantai dingin ikan beku ada beberapa titik kritis yang perlu dicermati untuk pengembanan penelitan selanjutnya yaitu: Selalu meng up date standar internasional dan regional tentang safety, quality dan traceability yang harus di penuhi Teknik modeling dan strategi penerapan Risk Analysis dan HACCP pada ikan beku Penerapan sistem penanganan ikan dan model teknologi refrigerasi yang tepat sejak dari penangkapan sampai ke konsumen. Model cold chain management/cold chain system perlu di evaluasi setiap saat, agar safety, quality dan traceability dari produk ikan beku tetap terjamin. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dirjen P2HP-DKP penanganan ikan dengan suhu dingin sekitar 0 o C secara terus menerus tidak terputus sejak ikan ditangkap atau dipanen, sebelum didaratkan dan didistribusikan serta Universitas Sumatera Utara

Chapter II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

next

Citation preview

  • BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Penelitian Terdahulu

    Penelitian yang dilakukan oleh Murniati dan Sunarman (2000)

    menyatakan bahwa penggunaan suhu rendah sangat dapat menghambat proses

    pembusukan sebab dengan suhu rendah pertumbuhan mikroba dapat dihambat

    atau bahkan dapat membunuh mikroba atau bakteri tersebut dan untuk

    mempertahankan kesegaran produk perikanan selain bentuk serta susunan

    kimianya tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan penggunaan suhu

    tinggi. Penggunaan suhu rendah dilakukan dengan pemakaian es atau pembekuan.

    Menurut Lailossa (2009), untuk mendesain sebuah sistem rantai dingin

    ikan beku ada beberapa titik kritis yang perlu dicermati untuk pengembanan

    penelitan selanjutnya yaitu:

    Selalu meng up date standar internasional dan regional tentang safety, quality

    dan traceability yang harus di penuhi

    Teknik modeling dan strategi penerapan Risk Analysis dan HACCP pada ikan

    beku

    Penerapan sistem penanganan ikan dan model teknologi refrigerasi yang tepat

    sejak dari penangkapan sampai ke konsumen.

    Model cold chain management/cold chain system perlu di evaluasi setiap saat,

    agar safety, quality dan traceability dari produk ikan beku tetap terjamin.

    Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dirjen P2HP-DKP penanganan

    ikan dengan suhu dingin sekitar 0 oC secara terus menerus tidak terputus sejak

    ikan ditangkap atau dipanen, sebelum didaratkan dan didistribusikan serta

    Universitas Sumatera Utara

  • dipasarkan hingga ke tangan konsumen, maka ikan hasil tangkapan atau ikan hasil

    panen dapat dipastikan memiliki mutu tinggi, aman dikonsumsi serta memenuhi

    kriteria produk perikanan prima. Oleh karena itu, penerapan sistem rantai dingin

    secara benar diterapkan dengan baik serta memperhatikan sanitasi dan hygiene.

    2.2. Landasan Teori

    Pembinaan mutu dan pengolahan hasil merupakan salah satu kegiatan

    penanganan pasca panen yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan

    pembangunan perikanan karena dengan pembinaan mutu dapat menyelamatkan

    hasil produksi para nelayan dan petani ikan dari kemerosotan mutu dan nilainya

    yang sekaligus juga dapat meningkatkan pendapatan dan melindungi konsumen

    dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti penggunaan zat-zat additive yang

    berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan mutu hasil perikanan yang baik akan

    meningkatkan kesehatan dan taraf hidup manusia serta membuat produk memiliki

    daya saing yang tinggi.

    Penanganan hasil perikanan baik budidaya atau tangkap yang sering di

    kenal dengan kegiatan (aktivitas) pasca panen adalah suatu kegiatan yang tidak

    dapat dipisahkan dari kegiatan produksi perikanan. Peningkatan produksi

    perikanan yang tidak diikuti dengan penanganan pasca panen dapat menjadi

    masalah dalam pembangunan dan pengembangan perikanan. Disamping mutu

    produk yang rendah yang mengakibatkan nilai jual yang rendah, juga sangat

    berbahaya bagi kesehatan manusia. Disamping itu produk yang bermutu rendah

    akan mengakibatkan posisi produk yang tidak memiliki daya saing.

    Sedikitnya ada tiga hal kegiatan pasca panen dalam perikanan yaitu

    teknologi pengolahan, pembinaan mutu (quality control) dan pemasaran

    Universitas Sumatera Utara

  • (distribusi). Ketiga kegiatan tersebut akan sangat menentukan dalam kelancaran

    pemasaran baik dalam negeri maupun ekspor, penyediaan jenis komoditi yang

    sesuai dengan biaya pengolahan yang efisien dan memberikan jaminan mutu

    produk yang dipasarkan.

    Terlebih dalam memasuki era globalisasi tantangan yang dihadapi adalah

    untuk menyesuaikan terhadap Sistem Pembinaan dan Pengawasan Manajemen

    Mutu Hasil Perikanan yang dapat diterima secara International. Jika tidak maka

    produk suatu negara akan mendapat penolakan dari negara-negara importir.

    Gambar 1. Jaminan Mutu untuk Ekspor

    Negara Uni Eropa yang merupakan persekutuan dari 27 negara maju akan

    sangat menentukan dalam percaturan ekspor hasil perikanan. Penolakan dari

    negara tujuan ini tidak dapat dianggap hal yang sepele, karena akan diikuti juga

    oleh negara-negara importir lainnya seperti Amerika dan Asia seperti Korea,

    Jepang dan Taiwan. Untuk itu pembinaan mutu merupakan hal yang mutlak

    Universitas Sumatera Utara

  • dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas perikanan dipasar

    global dan sekaligus meningkatkan ekspor.

    2.2.1. Susut Hasil Perikanan

    Susut hasil perikanan adalah keseluruhan nilai kerugian pasca panen hasil

    perikanan akibt terjadinya kerusakan fisik dan kemunduran mutu yang dapat

    mengakibatkan pengaruh terhadap susut Gizi dan susut fungsional yang terjadi

    mulai dari saat ikan ditangkap sampai ketangan konsumen dan tipe susut dapat

    kita bedakan dari beberapa tipe.

    a. Susut nutrisi/gizi (nutritional losses)

    - Sulit diukur.

    - Perubahan biokimiawi spesifik sebagai akibat dari pembusukan atau

    pengolahan.

    b. Susut fungsi/fungsional (functional losses)

    - Setiap saat, mulai dari ditangkap sampai ke konsumen.

    - Jarang dianggap, jarang di perhitungkan dalam pengertian sehari-hari.

    - Kesalahan dalam pengolahan dan penanganan yang dapat menyebabkan

    menurunnya fungsi ikan.

    - Ikan untuk sosis yang kenyal menjadi kurang kenyal.

    Ciri kualitas ikan yang bagus dapat kita lihat dari warna ikan masih

    mengkilat, mata berwarna cerah dan menonjol, insang berwarna merah cemerlang,

    bau ikan masih sangat segar khas jenis masing-masing, padat elastis bila ditekan

    dengan jari, bila daging disayat akan berwarna sangat cemerlang, dinding

    perutnya masih utuh.

    Universitas Sumatera Utara

  • Dalam konteks pembinaan terhadap usaha Perikanan dan Kelautan,

    implementasi Program peningkatan Ekspor Hasil Perikanan perlu

    dioptimalisasikan khususnya usaha pengolahan skala kecil (KUB) dan

    peningkatan mutu melalui penerapan PMMT/HACCP. Produk perikanan di pasar

    dalam negeri merupakan penyedia protein hewani masyarakat selain sebagai

    bahan baku industri pengolahan, kosmetik dan obat-oatan. Dengan jumlah

    penduduk yang cukup besar, peluang pasar dalam negeri mempunyai prospek

    yang menjanjikan. Meski demikian, ikan atau produk perikanan lainnya belum

    menjadi salah satu kebutuhan pokok dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia.

    Hal itu tecermin dalam tingkat konsumsi ikan dalam negeri yang masih rendah.

    Pada 2004, tingkat konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia hanya sekitar

    23,18 kg/kapita/tahun (DKP, 2005). Pada hal sesuai dengan standar gizi

    masyarakat yang ditetapkan oleh organisasi makanan se dunia (FAO) stadar gizi

    ikan adalah sebesar 26,5 kg/kapita/tahun.

    Dalam hubungannya dengan tingkat konsumsi di atas mengingat ikan

    mempunyai manfaat yang sangat besar sedangkan pasar dalam negeri belum

    berkembang baik, pengembangan dan penguatan pemasaran dalam negeri perlu

    dilakukan dengan dua tujuan, yaitu untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan

    meningkatkan kesejahteraan melalui bisnis perikanan. Untuk mencapai dua tujuan

    itu, misi penguatan dan pengembangan pasar dalam negeri ditujukkan untuk

    meningkatkan konsumsi ikan perkapita, mendorong harmonisasi supply dan

    demand, serta mendorong distribusi marjin secara proposional. Program

    pengembangan pemasaran dalam negeri berangkat dari konsep pemasaran sebagai

    muara dari upaya pengembangan bisnis perikanan.

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2. Sumber Bahan Baku Ekspor

    Oleh karena itu, pemasaran mempunyai posisi terdepan dalam menghela

    peningkatan produksi dan investasi di bidang perikanan. Peningkatanan produksi

    dan investasi nantinya akan menghela pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan

    lapangan kerja dengan tumbuhnya usaha penangkapan, budidaya, pengolahan, dan

    industri Perikanan lainnya yang pada akhirnya mendorong peningkatan

    kesejahteraan nelayan/pembudidaya/pelaku usaha perikanan lainnya.

    Pada konsideran peraturan bersama menteri Pertanian dan kesehatan

    (31/Kpts/Um/1/1975) disebutkan bahwa lingkup pembinaan mutu hasil perikanan

    adalah: a) memanfaatkan potensi perikanan secara maksimal; b) melindungi

    konsumen dari pemalsuan dan penipuan oleh produsen yang beritikad tidak baik;

    c) membina produsen hasil perikanan, dan d) meningkatkan mutu ekspor hasil

    perikanan.

    Berdasarkan tujuan ini maka sasaran Pembinaan dan Pengolahan hasil

    perikanan adalah nelayan dan petani ikan sebagai penghasil bahan baku dari

    Universitas Sumatera Utara

  • kapal/tambak pedagang pengumpul di tempat-tempat pengmpul atau TPI, para

    pedagang pengangkut maupun pengecer, para produsen di unit-unit pengolahan

    dan para petugas penguji (analis) dan pengambil contoh yang bertugas melakukan

    pengujian terhadap produk akhir sebelum ekspor. Dengan demikian cakupan

    pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan meliputi sejak ikan

    ditangkap/dipanen, diangkut, dilelang, diolah di unit-unit pengolahan dan

    didistribusikan sampai ketangan konsumen.

    Ikan adalah salah satu komoditas perikanan yang memiliki sifat mudah

    rusak. Sesuai karakteristik tersebut ditambah dengan kondisi iklim tropis di

    Indonesia, hasil produksi perikanan sebagai bahan baku perlu dilakukan tindakan-

    tindakan pencegahan terjadinya susut (losses) dan kemunduran mutu selama

    penanganan baik di tambak untuk budidaya, di atas kapal untuk penangkapan,

    ketika didaratkan di TPI, di Unit pengolahan ikan, dan saat didistribusi. Usaha-

    usaha yang dapat dilakukan antara lain adalah:

    - Pembinaan terhadap nelayan dan petani ikan melalui pelatihan-pelatihan dan

    penyuluhan,

    - Penyediaan sarana air bersih dan es untuk kebutuhan nelayan dalam rangka

    mengembangkan sistem rantai dingin (Cold Chain System),

    - Introduksi wadah ikan (Fish Container), kotak pendingin (Cool Box) untuk

    memperbaiki penanganan selama pengangkutan,

    - Pembinaan terhadap pedagang pengumpul dalam penanganan hasil perikanan

    meliputi pelatihan-pelatihan, sosialisasi dan magang kerja,

    - Pembangunan sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan dari aspek

    sanitasi dan hygiene.

    Universitas Sumatera Utara

  • Dari uraian tersebut di atas nyata sekali bahwa peningkatan taraf hidup

    masyarakat khususnya wilayah pesisir sangat ditentukan oleh produk dan jaminan

    mutu. Demikian juga dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia

    diperlukan protein yang tinggi khususnya dari ikan. Produksi ikan baik dari

    budidaya dan tangkap juga akan meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir

    khususnya nelayan yang merupakan kelompok paling miskin di wilayah pesisir.

    Dalam kaitan dengan hal tersebut aspek pembinaan mutu merupakan hal yang

    tidak dapat dipungkiri. Mutu produksi yang memenuhi standar kesehatan atau

    standar yang ditetapkan oleh negara importir akan menjamin kelangsungan usaha

    di bidang perikanan. Dengan demikian suatu produksi yang ada jaminan mutu

    akan meningkatkan taraf hidup masayarakat serta pemenuhan akan berbagai

    protein hewani.

    Produk hasil perikanan baik dalam bentuk segar, hidup maupun olahan

    dari sumber budidaya maupun tangkap akan memiliki nilai jika dapat dipasarkan

    dan memberi manfaat (keuntungan) bagi pembudidaya, nelayan muapun

    pengolah. Dilihat dari segi peluang pasar maka potensi pemasaran hasil perikanan

    di Indonesia memiliki prospek yang cerah mengingat beberapa hal diantaranya

    adalah sebagai berikut:

    - Jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak merupakan peluang domestic

    demand. Pada 2004, jumlah penduduk mencapai 217 juta, sedangkan pada

    2005 diproyeksikan menjadi 219 juta (BPS, 2005). Selain itu, tingkat

    konsumsi ikan perkapita masyarakat masih rendah, sementara kesadaran

    masyarakat terhadap manfaat konsumsi ikan bagi kesehatan sudah mulai

    meluas.

    Universitas Sumatera Utara

  • - Potensi suplai perikanan dari jumlah atau ragam jenisnya yang cukup banyak

    dapat dimanfaatkan melalui pengembangan industri penangkapan atau

    budidaya. Dari seluruh potensi sumberdaya ikan, pemanfaatan melalui

    penangkapan pada tahun 2004 mencapai 4,7 juta ton atau 91,8 % dari jumlah

    tangkapan yang diperbolehkan (JTB = 5,12 ton/tahun).

    - Beberapa komuditas perikanan yang merupakan edible products memiliki

    prospek pasar yang cukup baik dengan semakin meningkatnya kesadaran

    masyarakat terhadap manfaat mengkonsumsi ikan karena kandungan protein

    dan lemak tak jenuhnya yang baik bagi kesehatan. Sama halnya pada non-

    edible products (seperti ikan hias, mutiara, produk biota laut untuk industri

    perhiasan, kosmetika, farmasi dan sebagainya) yang sudah memperoleh

    tempat di masyarakat.

    - Fungsi ikan sebagai sumber protein alternatif menjadi meningkat dengan

    munculnya kasus terkait penyakit, seperti sapi gila dan penyakit mulut dan

    kuku (PMK) pada sapi, anthrax pada kambing dan burung onta, flu burung

    pada unggas (ayam dan bebek). Hal ini mendorong konsumen mencari

    alternatif pengganti sumber protein hewani sehingga peluang pasar hasil

    perikanan di dalam negeri semakin meningkat.

    - Semakin berkembangnya usaha pasar ritel (hypermarke, supermarket,

    convenience stores) serta usaha perhotelan, restoran dan catering yang

    menyediakan penjualan produk perikanan dan/atau menu khusus perikanan

    sehingga membantu promosi produk perikanan dan mendorong peningkatan

    konsumsi ikan.

    Universitas Sumatera Utara

  • Dalam rangka pemanfaatan potensi dan kendala menjadi peluang sebagai

    penguatan dan pengembangan pemasaran dalam negeri, diperlukan penyusunan

    program yang dilakukan secara strategi, terintegrasi, dan operasional.

    2.2.2. Mendorong Iklim Usaha yang Kondusif

    Pengondisian iklim yang kondusif bagi usaha perikanan diperlukan untuk

    mendorong keberlangsungan usaha dan kontinyuitas pasokan dengan harga yang

    terjangkau konsumen. Upaya untuk mendorong iklim usaha yang kondusif dapat

    dilakukan, antara lain melalui penyederhanaan prosedur dalam perizinan usaha di

    bidang pemasaran perikanan, peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan,

    penyediaan fasilitas bagi pelaku usaha dalam akses permodalan, dan pelibatan

    pelaku usaha dalam pembahasan kebijakan terkait pengembangan pemasaran

    dalam negeri.

    2.2.3. Konsep Cold Chain System (CCS)

    Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya bahwa ikan dikenal sebagai

    bahan pangan yang sangat mudah rusak jika dibandingkan dengan produk hewani

    lainnya. Ketika ikan mati, metabolismenya menjadi tidak terkendali. Enzim di

    dalam perut yang semula berfungsi mencerna makanan mulai menyerang bagian

    tubuh ikan, terutama berawal dari dinding perut. Proses itu disebut otolisis dan

    akan mengakibatkan daging mulai menurun kesegarannya dan dapat

    menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang dimanfaatkan mikroorganisme,

    terutama bakteri pembusuk.

    Universitas Sumatera Utara

  • Demikian juga pada ikan yang sehat sekali pun banyak terkandung

    mikroorganisme, terutama di kulit permukaan (lendir), insang, dan sebagian di

    perut. Pada saat ikan mati, sistem pertahanan tubuh menjadi tidak bekerja

    sehingga mikroorganisme yang semula tidak berbahaya mulai menyerang tubuh

    ikan. Terlebih lagi ketika otolisis telah mencapai tahap lanjut, pertumbuhan

    mikroorganisme akan semakin cepat dan menghasilkan senyawa yang membuat

    ikan menjadi busuk (menjadi lembek atau berair, berbau amis, dan berbau busuk).

    Jika ada bakteri penyebab penyalit, daging ikan dapat menjadi penyebab penyakit

    bagi manusia yang mengonsumsinya akibat bakterinya (infeksi) atau racun yang

    dihasilkannya (intoksikasi).

    Jika tidak ditangani dengan benar dan cepat Ikan akan terus menurun

    kesegarannya sejak mati dan akan mengarahkan pada kebusukan. Oleh karena itu,

    sebenarnya penurunan kesegaran atau kebusukan tidak dapat dihentikan total,

    kecuali memperlambat penurunan kesegaran sehingga kebusukan dapat ditunda.

    Reaksi ensimatis atau aktivitas mikroorganisme itu sangat dipengaruhi

    suhu. Sampai pada batas tertentu, semakin tinggi suhu, semakin cepat laju reaksi

    enzimatis dan aktivitas mikroorganisme. Berdasrkan hasil penelitian para ahli

    diketahui pula, setiap kenaikan suhu sebesar 5C, laju pembusukan akan

    meningkat sebesar dua kali. Sebaliknya apabila terjadi penurunan suhu 5C maka

    laju penurunan mutu menurun juga dua kali lipat. Oleh karena itu, satu-satunya

    cara untuk memprtahankan kesegaran ikan adalah dengan menekan laju reaksi

    enzimatis dan aktivitas mikroorganisme, yaitu dengan menurunkan suhu serendah

    mungkin, biasanya mendekati suhu cair es, yaitu sekitar 0C.

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 3. Proses Pembekuan Udang

    Untuk menghentikan aktivitas mikroorganisme sama sekali, ikan dapat

    pula dibekukan dan disimpan pada suhu sampai dengan -45C. Pada suhu itu,

    reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme praktis berhenti, bahkan hampir

    semua mikroorganisme mati. Dengan demikian, daya simpannya akan lebih

    panjang lagi, tetapi beberapa sifat dagingnya akan terpengaruhi. Kegiatan proses

    penangan ini lazim disebut dengan pembekuan.

    Di dalam proses pengolahan ikan, kesegaran ikan adalah mutlak. Jika ikan

    sebagai bahan baku sudah tidak segar lagi, sebaik apa pun proses pengolahannya

    tidak akan menghasilkan produk yang baik sehingga nilai tambah yang diperoleh

    pun tidak optimal. Di samping itu, kesegaran ika pun sangat berpengaruh terhadap

    keamanan konsumsinya. Salah satu contoh yang sering digunakan untuk

    menggambarkan hubungan antara kesegaran ikan dan keamanan konsumsi adalah

    keracunan karena mengkonsumsi ikan jenis scombroid (tuna, tongkol, kembung,

    lemuru/sarden, dan sejenisnya).

    Universitas Sumatera Utara

  • Teknologi yang sudah banyak diterapkan untuk mendinginkan ikan adalah

    pembekuan dengan es (icing), yaitu mencampur ikan dan es dengan proporsi 1: 2.

    Untuk perikanan tangkap, cara itu harus dilakukan sejak ditangkap dan

    dimasukkan ke kapal. Artinya, es mutlak harus dibawa saat nelayan berangkat

    melaut. Kapal besar dan modern biasanya punya unit pendinginan (bahkan unit

    pembekuan) sehingga tidak harus membawa es dari darat.

    Agar sistem rantai dingin dapat berjalan dengan baik, sarana untuk

    mempertahankan suhu ikan agar tetap di bawah 4C mutlak adanya. Sarana itu

    meliputi palka berinsulasi, kotak pendingin (cool box), pemecah es, sarana

    distribusi berpendingin, sarana pengeceran, dan sebagianya. Kebutuhan itu sulit

    dihitung secara detil, tetapi pasti memerlukan investasi yang tidak sedikit.

    Susut hasil dalam penanganan ikan tidak selalu akibat tidak tersedianya es,

    tetapi akibat lain yang kadang tidak bersifak teknis. Berdasarkan defenisi sistem

    rantai dingin sebelumnya, penyediaan sarana dan prasarana pendinginan tidak

    serta merta menjamin berjalannya sistem. Ada prasyarat lain yang harus dipenuhi,

    yaitu adanya prosedur baku yang harus ditaati berupa Praktek Penanganan Ikan

    yang Baik (GHP, Good Handling Practices). Beberapa prinsip utama GHP, antara

    lain cepat, cermat dan bersih.

    Hal ini sesuai dengan konsep CCS yang disarankan oleh pemerintah

    dimana jenis sarana dan prasarana CCS yang sebaiknya tersedia di setiap tahap

    penanganan ikan antara lain:

    1. Di atas kapal: cool box (kapal 5-10 GT), palkanisasi (kapal 10-20 GT),

    refrigrasi (kapal 20-30 GT) dan sarana sanitasi dan higiene.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2. Di Tambak/Kolam Ikan: tempat/ruang penanganan ikan (handling space),

    trays/ keranjang, cool box, air bersih, ice storage, ice crusher dan sarana

    sanitasi dan higiene.

    3. Di TPI/PPI: trays/keranjang, kereta dorong, pabrik es skala kecil (mini ice

    plant), ice crusher, ice storage, kereta dorong, air bersih, sarana sanitasi dan

    hygiene, cool box dan cold storage.

    4. Di UPI SKM: freezer, cold storage, cool room, ice crusher, ice storage,

    trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene

    5. Distribusi dan Transportasi CCS: truk berrefrigerasi (refrigerated truck),

    Truk berinsulasi (insulated truck), mobil angkut pick up, sepeda motor

    dilengkapi box berinsulasi, becak dilengkapi box berinsulasi, cool box,

    trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene.

    6. Di Pasar Hygienis dan Tradisional: showcase, cool box, trays/keranjang, ice

    tube/ice flake, air bersih serta sarana sanitasi dan hygiene.

    Selain itu, faktor ketidakpastian mengakibatkan tidak semua nelayan

    membawa es dalam jumlah besar karena, selain memakan tempat di palka, hal itu

    perlu biaya tinggi. Praktek yang sering dilakukan adalah mengawetkan ikan hasil

    tangkapan awal dengan garam dan hanya menggunakan es untuk tangkapan akhir

    menjelang pendaratan. Penanganan seperti itu membuat ikan tangkapan awal

    keadaan fisiknya sudah tidak bagus karena tergencet tangkapan berikutnya dan

    pada akhirnya harus dilelang sebagai bahan baku ikan asin dengan harga yang

    tidak tinggi.

    Penggunaan es untuk mengawetkan tangkapan akhir menunjukkan,

    sebenarnya nelayan sadar bahwa es dapat mempertahankan kesegaran ikan dan

    Universitas Sumatera Utara

  • pada saat lelang akan mendapatkan harga tinggi. Beberapa nelayan demersal

    dengan hasil tangkapan ikan kakap ternyata melakukan pembekuan dengan es

    terhadap hasil tangkapannya dengan benar karena mereka mengetahui ikan kakap

    tangkapan mereka akan dihargai sangat tinggi dalam keadaan segar.

    Di pelelangan, GHP belum diterapkan dengan benar meskipun sarana dan

    prasaranannya telah dilengkapi. Itu kembali menunjukkan betapa sikap atau

    attitude pelaku perikanan kita, termasuk pengelola pelelangan, belum tepat dalam

    menangani ikan hasil tangkapannya.

    Kedua contoh itu memperlihatkan berapa ketersediaan es saja tidak cukup

    untuk mempertahankan kesegaran ikan yang didaratkan. Ada faktor lain yang

    harus dicermati, yaitu kedisiplinan para pelaku dalam menerapkan GHP yang

    ternyata masih sangat kurang walaupun sejumlah Petunjuk Teknis atau Praturan

    Menteri terkait dengan itu sudah banyak diterbitkan dan disosialisasikan. Selain

    itu, pngakan aturan masih merupakan salah satu titik lemah. Itu menjadi tantangan

    bagi pemerintah atau para pemangku kepentingan untuk mengatasinya. Hasil

    investigasi tim Uni Eropa berdasarkan pada dua kali peninjauan lapangan (April

    2004 dan September 2005) untuk mendukung kenyataan itu. Salah satu temuan

    mereka adalah tidak bagusnya praktem penanganan ikan selama di atas kapal, saat

    pelelangan, atau di unit pengolahan, serta kurangnya kendali aparat. Tidak heran

    jika kemudian Uni Eropa melalui CD (Council Directive) No. 236 tahun 2006

    baru-baru ini memberlakukan Systematic Border Control terhadap produk

    perikanan Indonesia. Salah satunya terhadap kandungan histamin sebagai

    indikator kesegaran ikan scombroid.

    Universitas Sumatera Utara

  • Melihat kenyataan di lapangan dan pemberlakuan Systematic Border

    Control, harus segera diambil langkah untuk memperbaiki penerapan sistem rantai

    dingin di lapangan. Langkah yang harus diambil merupakan komitmen bersama

    dan serentak (cencerted efforts) antara pemerintah dan pelaku usaha, termasuk

    kelompok nelayan dan asosiasi. Oleh karena tingginya investasi yang dibutuhkan

    untuk penerapan sistem rantai dingin, pemerintah dan dunia usaha harus bahu-

    membahu mengadakannya. Aturan yang telah dibuat harus segera dikuatkan

    penerapannya di lapangan. Selain itu, fasilitas dari pemerintah seperti pelatihan,

    sosialisasi petunjuk teknis, dan sejenisnya harus sesering mungkin dilaksanakan.

    Penyediaan es murah merupakan salah satu alternatif yang dapat diambil

    pemerintah untuk merangsang penggunaan es lebih baik lagi.

    2.2.4. Proses Cold Chain Sistem (CCS)

    Proses perlakuan CCS yang baik diatas kapal nelayan adalah:

    - Setelah semua bahan-bahan dan peralatan yang dibutuhkan telah dipersiapkan

    dan dibawa sesuai dengan kebutuhan seperti: Cool Box, Keranjang, Ember,

    Air Tawar, Es Curah serta alat-alat pendukung lainnya.

    - Setelah ikan tertangkap maka ikan dibersihkan dengan air tawar lalu disortir

    sesuai dengan jenis dan ukurannya.

    - Selanjutnya ikan dimasukkan kedalam Cool Box dengan susunan lapisan

    bawah es curah lalu lapisan ikan lalu lapisan es demikian seterusnya. Dalam

    proses ini diusahakan jumlah es jangan sampai kurang, sebaiknya 2: 1

    sehingga suhu dalam Coll Box bisa dipertahankan dan tidak berubah sampai

    didaratkan/dibongkar di TPI untuk dijual kepada penampung ikan.

    Universitas Sumatera Utara

  • Selanjutnya perlakuan CCS diteruskan oleh pedagang/pengumpul untuk

    dikirim ke pabrik/konsumen.

    2.2.5. Fungsi Produksi dan Pendapatan

    Menurut Mubyarto (1989), fungsi produksi yaitu suatu fungsi yang

    menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dan faktor-faktor

    produksi (input). Dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi dituliskan

    sebagai berikut:

    Y = f (X1,X2,.....,Xn)

    dimana:

    Y = Hasil produksi fisik

    X1,X2,...,Xn = Faktor produksi

    Penerimaan adalah total produksi yang dihasilkan dikalikan harga.

    Pendapatan bersih adalah penerimaan dikurangi dengan biaya produksi dalam satu

    kali periode produksi. Secara grafik pendapatan maksimum oleh suatu usaha dapat

    ditunjukkan dengan grafik yang menggambarkan biaya total dan hasil penjualan

    (penerimaan) (Samuelson, 2001).

    Dalam usaha prikanan, nelayan akan memperoleh penerimaan dan

    pendapatan, penerimaan nelayan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh

    dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:

    TRi = Yi . Pyi

    dimana:

    Tri = Total Penerimaan nelayan

    Yi = Produksi

    Pyi = Harga produk

    Universitas Sumatera Utara

  • Pendapatan nelayan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya

    Pd = TR TC

    dimana:

    Pd = Pendapatan

    TR = Total Penerimaan

    TC = Total Biaya

    Biaya usaha perikanan biasanya diklasifikasikan menjadi 2 yaitu biaya

    tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap biasanya didefinisikan sebagai biaya yang

    relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh

    banyak atau sedikit, contoh: pajak. Disisi lain biaya tidak tetap atau biaya variabel

    biasanya didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhui oleh

    produksi yang diperoleh, contoh: biaya untuk sarana produksi. Menurut Suratiyah

    (2006), cara menghitung biaya tetap adalah:

    FC = . = dimana:

    FC = Biaya Tetap

    Xi = Jumlah Fisik dari input yang membentuk biaya tetap

    Pxi = Harga input

    Xi = Macam input

    Total biaya (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC)

    TC = FC+ VC

    Menurut Sudrajat (2008) Untuk analisis kelayakan usaha, perhitungan

    biaya yang sering dilakukan yaitu cost ratio (R/C). Revenue cost ratio lebih besar

    dari 1 (satu) berarti manfaat (benefit) lebih besar dari biaya (cost) yang digunakan

    Universitas Sumatera Utara

  • untuk memeperoleh benefit itu. Bukan hanya sekedar benefit lebih besar dari

    biaya, tetapi B/C ratio lebih besar dari satu sedemikian rupa sehingga benefit

    dapat menutupi selain dari biaya, juga dapat mengembalikan (repayment)

    investasi. Bukan hanya sekedar dapat menutupi biaya dan pengembalian investasi,

    tetapi benefit juga harus dapat memberikan keuntungan (profit) bagi perusahaan

    (Radiks, 1997).

    Benefit merupakan manfaat atau faedah yang diperoleh atau dihasilkan

    dari suatu kegiatan yang produktif. Misalnya pembangunan atau rehabilitasi atau

    perluasan sehingga diperoleh hasil yang lebih besar. Benefit yang diperoleh

    mungkin sama tiap-tiap periode dan mungkin berbeda. Maka dalam disiplin

    penelitian dan penilaian proyek. Benefit diberlakukan sebagai benefit tetap (fixed

    benefit) maupun benefit variabel (variabel benefit) (Radiks, 1997).

    2.3. Kerangka Pemikiran

    Penggunaan CCS dalam usaha di bidang perikanan merupakan usaha

    untuk menjamin mutu produk perikanan, agar tetap bermutu dan memiliki nilai

    jual yang tinggi. Hal ini penting mengingat permintaan produk perikanan yang

    memiliki mutu dari tahun ke tahun terus meningkat.

    Namun demikian tidak semua nelayan melakukan penjagaan mutu produk

    dengan menggunakan CCS. Hal ini disebabkan implementasi CCS memerlukan

    tambahan biaya untuk melengkapkan sarana dan prasarana CCS sesuai dengan

    kaedahnya. Sehingga diperlukan perbandingan antara Return-Cost (R/C).

    Perbandingan antara penerimaan dan pengeluaran atau biaya (R/C)

    penggunaan CCS dengan nelayan tradisional dianggap dapat memberikan

    informasi tentang proporsi keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha. Jika R/C

    Universitas Sumatera Utara

  • ratio > 1 maka usaha yang dijalankan mengalami keuntungan dan layak untuk

    diusahakan atau dikembangkan. Namun jika R/C ratio < 1 maka usaha tersebut

    mengalami kerugian atau tidak layak untuk diusahakan atau dikembangkan.

    Dengan diketahuinya biaya( pengeluaran) yang terdiri dari biaya tetap

    (fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost) pada proses produksi dan

    penerimaan yang diperoleh maka dapat diketahui keuntungan yang diperoleh

    dengan menghitung selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Jika penerimaan

    lebih besar daripada total biaya yang dikeluarkan maka usaha tersebut

    memperoleh keuntungan. Sedangkan jika penerimaan lebih kecil daripada total

    biaya yang dikeluarkan maka usaha tersebut mengalami kerugian.

    Bagi nelayan yang tidak menggunakan CCS tentu input produksinya lebih

    rendah dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan CCS. Namun demikian

    bukan berarti biaya yang rendah akan berdampak pada keuntungan yang lebih

    besar dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan CCS. Hal ini disebabkan

    keuntungan juga ditentukan oleh harga jual produk, dimana mutu produk

    perikanan yang tinggi memiliki harga jual yang lebih tinggi.

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran

    2.4. Hipotesis Penelitian

    Ada perbedaan signifikan antara pendapatan nelayan yang menggunakan

    CCS dengan nelayan tradisional yang tidak menggunakan CCS.

    Penerimaan

    Produksi

    Pendapatan

    Alternatif Kebijakan CCS

    Biaya Input

    Nelayan di Kab. Serdang Bedagai

    Nelayan yang Tidak Menggunakan CCS

    Nelayan yang Menggunakan

    CCS

    Universitas Sumatera Utara