Upload
arief-irawan
View
7
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
next
Citation preview
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Murniati dan Sunarman (2000)
menyatakan bahwa penggunaan suhu rendah sangat dapat menghambat proses
pembusukan sebab dengan suhu rendah pertumbuhan mikroba dapat dihambat
atau bahkan dapat membunuh mikroba atau bakteri tersebut dan untuk
mempertahankan kesegaran produk perikanan selain bentuk serta susunan
kimianya tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan penggunaan suhu
tinggi. Penggunaan suhu rendah dilakukan dengan pemakaian es atau pembekuan.
Menurut Lailossa (2009), untuk mendesain sebuah sistem rantai dingin
ikan beku ada beberapa titik kritis yang perlu dicermati untuk pengembanan
penelitan selanjutnya yaitu:
Selalu meng up date standar internasional dan regional tentang safety, quality
dan traceability yang harus di penuhi
Teknik modeling dan strategi penerapan Risk Analysis dan HACCP pada ikan
beku
Penerapan sistem penanganan ikan dan model teknologi refrigerasi yang tepat
sejak dari penangkapan sampai ke konsumen.
Model cold chain management/cold chain system perlu di evaluasi setiap saat,
agar safety, quality dan traceability dari produk ikan beku tetap terjamin.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dirjen P2HP-DKP penanganan
ikan dengan suhu dingin sekitar 0 oC secara terus menerus tidak terputus sejak
ikan ditangkap atau dipanen, sebelum didaratkan dan didistribusikan serta
Universitas Sumatera Utara
dipasarkan hingga ke tangan konsumen, maka ikan hasil tangkapan atau ikan hasil
panen dapat dipastikan memiliki mutu tinggi, aman dikonsumsi serta memenuhi
kriteria produk perikanan prima. Oleh karena itu, penerapan sistem rantai dingin
secara benar diterapkan dengan baik serta memperhatikan sanitasi dan hygiene.
2.2. Landasan Teori
Pembinaan mutu dan pengolahan hasil merupakan salah satu kegiatan
penanganan pasca panen yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan
pembangunan perikanan karena dengan pembinaan mutu dapat menyelamatkan
hasil produksi para nelayan dan petani ikan dari kemerosotan mutu dan nilainya
yang sekaligus juga dapat meningkatkan pendapatan dan melindungi konsumen
dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti penggunaan zat-zat additive yang
berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan mutu hasil perikanan yang baik akan
meningkatkan kesehatan dan taraf hidup manusia serta membuat produk memiliki
daya saing yang tinggi.
Penanganan hasil perikanan baik budidaya atau tangkap yang sering di
kenal dengan kegiatan (aktivitas) pasca panen adalah suatu kegiatan yang tidak
dapat dipisahkan dari kegiatan produksi perikanan. Peningkatan produksi
perikanan yang tidak diikuti dengan penanganan pasca panen dapat menjadi
masalah dalam pembangunan dan pengembangan perikanan. Disamping mutu
produk yang rendah yang mengakibatkan nilai jual yang rendah, juga sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia. Disamping itu produk yang bermutu rendah
akan mengakibatkan posisi produk yang tidak memiliki daya saing.
Sedikitnya ada tiga hal kegiatan pasca panen dalam perikanan yaitu
teknologi pengolahan, pembinaan mutu (quality control) dan pemasaran
Universitas Sumatera Utara
(distribusi). Ketiga kegiatan tersebut akan sangat menentukan dalam kelancaran
pemasaran baik dalam negeri maupun ekspor, penyediaan jenis komoditi yang
sesuai dengan biaya pengolahan yang efisien dan memberikan jaminan mutu
produk yang dipasarkan.
Terlebih dalam memasuki era globalisasi tantangan yang dihadapi adalah
untuk menyesuaikan terhadap Sistem Pembinaan dan Pengawasan Manajemen
Mutu Hasil Perikanan yang dapat diterima secara International. Jika tidak maka
produk suatu negara akan mendapat penolakan dari negara-negara importir.
Gambar 1. Jaminan Mutu untuk Ekspor
Negara Uni Eropa yang merupakan persekutuan dari 27 negara maju akan
sangat menentukan dalam percaturan ekspor hasil perikanan. Penolakan dari
negara tujuan ini tidak dapat dianggap hal yang sepele, karena akan diikuti juga
oleh negara-negara importir lainnya seperti Amerika dan Asia seperti Korea,
Jepang dan Taiwan. Untuk itu pembinaan mutu merupakan hal yang mutlak
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas perikanan dipasar
global dan sekaligus meningkatkan ekspor.
2.2.1. Susut Hasil Perikanan
Susut hasil perikanan adalah keseluruhan nilai kerugian pasca panen hasil
perikanan akibt terjadinya kerusakan fisik dan kemunduran mutu yang dapat
mengakibatkan pengaruh terhadap susut Gizi dan susut fungsional yang terjadi
mulai dari saat ikan ditangkap sampai ketangan konsumen dan tipe susut dapat
kita bedakan dari beberapa tipe.
a. Susut nutrisi/gizi (nutritional losses)
- Sulit diukur.
- Perubahan biokimiawi spesifik sebagai akibat dari pembusukan atau
pengolahan.
b. Susut fungsi/fungsional (functional losses)
- Setiap saat, mulai dari ditangkap sampai ke konsumen.
- Jarang dianggap, jarang di perhitungkan dalam pengertian sehari-hari.
- Kesalahan dalam pengolahan dan penanganan yang dapat menyebabkan
menurunnya fungsi ikan.
- Ikan untuk sosis yang kenyal menjadi kurang kenyal.
Ciri kualitas ikan yang bagus dapat kita lihat dari warna ikan masih
mengkilat, mata berwarna cerah dan menonjol, insang berwarna merah cemerlang,
bau ikan masih sangat segar khas jenis masing-masing, padat elastis bila ditekan
dengan jari, bila daging disayat akan berwarna sangat cemerlang, dinding
perutnya masih utuh.
Universitas Sumatera Utara
Dalam konteks pembinaan terhadap usaha Perikanan dan Kelautan,
implementasi Program peningkatan Ekspor Hasil Perikanan perlu
dioptimalisasikan khususnya usaha pengolahan skala kecil (KUB) dan
peningkatan mutu melalui penerapan PMMT/HACCP. Produk perikanan di pasar
dalam negeri merupakan penyedia protein hewani masyarakat selain sebagai
bahan baku industri pengolahan, kosmetik dan obat-oatan. Dengan jumlah
penduduk yang cukup besar, peluang pasar dalam negeri mempunyai prospek
yang menjanjikan. Meski demikian, ikan atau produk perikanan lainnya belum
menjadi salah satu kebutuhan pokok dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia.
Hal itu tecermin dalam tingkat konsumsi ikan dalam negeri yang masih rendah.
Pada 2004, tingkat konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia hanya sekitar
23,18 kg/kapita/tahun (DKP, 2005). Pada hal sesuai dengan standar gizi
masyarakat yang ditetapkan oleh organisasi makanan se dunia (FAO) stadar gizi
ikan adalah sebesar 26,5 kg/kapita/tahun.
Dalam hubungannya dengan tingkat konsumsi di atas mengingat ikan
mempunyai manfaat yang sangat besar sedangkan pasar dalam negeri belum
berkembang baik, pengembangan dan penguatan pemasaran dalam negeri perlu
dilakukan dengan dua tujuan, yaitu untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan
meningkatkan kesejahteraan melalui bisnis perikanan. Untuk mencapai dua tujuan
itu, misi penguatan dan pengembangan pasar dalam negeri ditujukkan untuk
meningkatkan konsumsi ikan perkapita, mendorong harmonisasi supply dan
demand, serta mendorong distribusi marjin secara proposional. Program
pengembangan pemasaran dalam negeri berangkat dari konsep pemasaran sebagai
muara dari upaya pengembangan bisnis perikanan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Sumber Bahan Baku Ekspor
Oleh karena itu, pemasaran mempunyai posisi terdepan dalam menghela
peningkatan produksi dan investasi di bidang perikanan. Peningkatanan produksi
dan investasi nantinya akan menghela pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan
lapangan kerja dengan tumbuhnya usaha penangkapan, budidaya, pengolahan, dan
industri Perikanan lainnya yang pada akhirnya mendorong peningkatan
kesejahteraan nelayan/pembudidaya/pelaku usaha perikanan lainnya.
Pada konsideran peraturan bersama menteri Pertanian dan kesehatan
(31/Kpts/Um/1/1975) disebutkan bahwa lingkup pembinaan mutu hasil perikanan
adalah: a) memanfaatkan potensi perikanan secara maksimal; b) melindungi
konsumen dari pemalsuan dan penipuan oleh produsen yang beritikad tidak baik;
c) membina produsen hasil perikanan, dan d) meningkatkan mutu ekspor hasil
perikanan.
Berdasarkan tujuan ini maka sasaran Pembinaan dan Pengolahan hasil
perikanan adalah nelayan dan petani ikan sebagai penghasil bahan baku dari
Universitas Sumatera Utara
kapal/tambak pedagang pengumpul di tempat-tempat pengmpul atau TPI, para
pedagang pengangkut maupun pengecer, para produsen di unit-unit pengolahan
dan para petugas penguji (analis) dan pengambil contoh yang bertugas melakukan
pengujian terhadap produk akhir sebelum ekspor. Dengan demikian cakupan
pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan meliputi sejak ikan
ditangkap/dipanen, diangkut, dilelang, diolah di unit-unit pengolahan dan
didistribusikan sampai ketangan konsumen.
Ikan adalah salah satu komoditas perikanan yang memiliki sifat mudah
rusak. Sesuai karakteristik tersebut ditambah dengan kondisi iklim tropis di
Indonesia, hasil produksi perikanan sebagai bahan baku perlu dilakukan tindakan-
tindakan pencegahan terjadinya susut (losses) dan kemunduran mutu selama
penanganan baik di tambak untuk budidaya, di atas kapal untuk penangkapan,
ketika didaratkan di TPI, di Unit pengolahan ikan, dan saat didistribusi. Usaha-
usaha yang dapat dilakukan antara lain adalah:
- Pembinaan terhadap nelayan dan petani ikan melalui pelatihan-pelatihan dan
penyuluhan,
- Penyediaan sarana air bersih dan es untuk kebutuhan nelayan dalam rangka
mengembangkan sistem rantai dingin (Cold Chain System),
- Introduksi wadah ikan (Fish Container), kotak pendingin (Cool Box) untuk
memperbaiki penanganan selama pengangkutan,
- Pembinaan terhadap pedagang pengumpul dalam penanganan hasil perikanan
meliputi pelatihan-pelatihan, sosialisasi dan magang kerja,
- Pembangunan sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan dari aspek
sanitasi dan hygiene.
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian tersebut di atas nyata sekali bahwa peningkatan taraf hidup
masyarakat khususnya wilayah pesisir sangat ditentukan oleh produk dan jaminan
mutu. Demikian juga dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia
diperlukan protein yang tinggi khususnya dari ikan. Produksi ikan baik dari
budidaya dan tangkap juga akan meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir
khususnya nelayan yang merupakan kelompok paling miskin di wilayah pesisir.
Dalam kaitan dengan hal tersebut aspek pembinaan mutu merupakan hal yang
tidak dapat dipungkiri. Mutu produksi yang memenuhi standar kesehatan atau
standar yang ditetapkan oleh negara importir akan menjamin kelangsungan usaha
di bidang perikanan. Dengan demikian suatu produksi yang ada jaminan mutu
akan meningkatkan taraf hidup masayarakat serta pemenuhan akan berbagai
protein hewani.
Produk hasil perikanan baik dalam bentuk segar, hidup maupun olahan
dari sumber budidaya maupun tangkap akan memiliki nilai jika dapat dipasarkan
dan memberi manfaat (keuntungan) bagi pembudidaya, nelayan muapun
pengolah. Dilihat dari segi peluang pasar maka potensi pemasaran hasil perikanan
di Indonesia memiliki prospek yang cerah mengingat beberapa hal diantaranya
adalah sebagai berikut:
- Jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak merupakan peluang domestic
demand. Pada 2004, jumlah penduduk mencapai 217 juta, sedangkan pada
2005 diproyeksikan menjadi 219 juta (BPS, 2005). Selain itu, tingkat
konsumsi ikan perkapita masyarakat masih rendah, sementara kesadaran
masyarakat terhadap manfaat konsumsi ikan bagi kesehatan sudah mulai
meluas.
Universitas Sumatera Utara
- Potensi suplai perikanan dari jumlah atau ragam jenisnya yang cukup banyak
dapat dimanfaatkan melalui pengembangan industri penangkapan atau
budidaya. Dari seluruh potensi sumberdaya ikan, pemanfaatan melalui
penangkapan pada tahun 2004 mencapai 4,7 juta ton atau 91,8 % dari jumlah
tangkapan yang diperbolehkan (JTB = 5,12 ton/tahun).
- Beberapa komuditas perikanan yang merupakan edible products memiliki
prospek pasar yang cukup baik dengan semakin meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap manfaat mengkonsumsi ikan karena kandungan protein
dan lemak tak jenuhnya yang baik bagi kesehatan. Sama halnya pada non-
edible products (seperti ikan hias, mutiara, produk biota laut untuk industri
perhiasan, kosmetika, farmasi dan sebagainya) yang sudah memperoleh
tempat di masyarakat.
- Fungsi ikan sebagai sumber protein alternatif menjadi meningkat dengan
munculnya kasus terkait penyakit, seperti sapi gila dan penyakit mulut dan
kuku (PMK) pada sapi, anthrax pada kambing dan burung onta, flu burung
pada unggas (ayam dan bebek). Hal ini mendorong konsumen mencari
alternatif pengganti sumber protein hewani sehingga peluang pasar hasil
perikanan di dalam negeri semakin meningkat.
- Semakin berkembangnya usaha pasar ritel (hypermarke, supermarket,
convenience stores) serta usaha perhotelan, restoran dan catering yang
menyediakan penjualan produk perikanan dan/atau menu khusus perikanan
sehingga membantu promosi produk perikanan dan mendorong peningkatan
konsumsi ikan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam rangka pemanfaatan potensi dan kendala menjadi peluang sebagai
penguatan dan pengembangan pemasaran dalam negeri, diperlukan penyusunan
program yang dilakukan secara strategi, terintegrasi, dan operasional.
2.2.2. Mendorong Iklim Usaha yang Kondusif
Pengondisian iklim yang kondusif bagi usaha perikanan diperlukan untuk
mendorong keberlangsungan usaha dan kontinyuitas pasokan dengan harga yang
terjangkau konsumen. Upaya untuk mendorong iklim usaha yang kondusif dapat
dilakukan, antara lain melalui penyederhanaan prosedur dalam perizinan usaha di
bidang pemasaran perikanan, peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan,
penyediaan fasilitas bagi pelaku usaha dalam akses permodalan, dan pelibatan
pelaku usaha dalam pembahasan kebijakan terkait pengembangan pemasaran
dalam negeri.
2.2.3. Konsep Cold Chain System (CCS)
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya bahwa ikan dikenal sebagai
bahan pangan yang sangat mudah rusak jika dibandingkan dengan produk hewani
lainnya. Ketika ikan mati, metabolismenya menjadi tidak terkendali. Enzim di
dalam perut yang semula berfungsi mencerna makanan mulai menyerang bagian
tubuh ikan, terutama berawal dari dinding perut. Proses itu disebut otolisis dan
akan mengakibatkan daging mulai menurun kesegarannya dan dapat
menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang dimanfaatkan mikroorganisme,
terutama bakteri pembusuk.
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga pada ikan yang sehat sekali pun banyak terkandung
mikroorganisme, terutama di kulit permukaan (lendir), insang, dan sebagian di
perut. Pada saat ikan mati, sistem pertahanan tubuh menjadi tidak bekerja
sehingga mikroorganisme yang semula tidak berbahaya mulai menyerang tubuh
ikan. Terlebih lagi ketika otolisis telah mencapai tahap lanjut, pertumbuhan
mikroorganisme akan semakin cepat dan menghasilkan senyawa yang membuat
ikan menjadi busuk (menjadi lembek atau berair, berbau amis, dan berbau busuk).
Jika ada bakteri penyebab penyalit, daging ikan dapat menjadi penyebab penyakit
bagi manusia yang mengonsumsinya akibat bakterinya (infeksi) atau racun yang
dihasilkannya (intoksikasi).
Jika tidak ditangani dengan benar dan cepat Ikan akan terus menurun
kesegarannya sejak mati dan akan mengarahkan pada kebusukan. Oleh karena itu,
sebenarnya penurunan kesegaran atau kebusukan tidak dapat dihentikan total,
kecuali memperlambat penurunan kesegaran sehingga kebusukan dapat ditunda.
Reaksi ensimatis atau aktivitas mikroorganisme itu sangat dipengaruhi
suhu. Sampai pada batas tertentu, semakin tinggi suhu, semakin cepat laju reaksi
enzimatis dan aktivitas mikroorganisme. Berdasrkan hasil penelitian para ahli
diketahui pula, setiap kenaikan suhu sebesar 5C, laju pembusukan akan
meningkat sebesar dua kali. Sebaliknya apabila terjadi penurunan suhu 5C maka
laju penurunan mutu menurun juga dua kali lipat. Oleh karena itu, satu-satunya
cara untuk memprtahankan kesegaran ikan adalah dengan menekan laju reaksi
enzimatis dan aktivitas mikroorganisme, yaitu dengan menurunkan suhu serendah
mungkin, biasanya mendekati suhu cair es, yaitu sekitar 0C.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Proses Pembekuan Udang
Untuk menghentikan aktivitas mikroorganisme sama sekali, ikan dapat
pula dibekukan dan disimpan pada suhu sampai dengan -45C. Pada suhu itu,
reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme praktis berhenti, bahkan hampir
semua mikroorganisme mati. Dengan demikian, daya simpannya akan lebih
panjang lagi, tetapi beberapa sifat dagingnya akan terpengaruhi. Kegiatan proses
penangan ini lazim disebut dengan pembekuan.
Di dalam proses pengolahan ikan, kesegaran ikan adalah mutlak. Jika ikan
sebagai bahan baku sudah tidak segar lagi, sebaik apa pun proses pengolahannya
tidak akan menghasilkan produk yang baik sehingga nilai tambah yang diperoleh
pun tidak optimal. Di samping itu, kesegaran ika pun sangat berpengaruh terhadap
keamanan konsumsinya. Salah satu contoh yang sering digunakan untuk
menggambarkan hubungan antara kesegaran ikan dan keamanan konsumsi adalah
keracunan karena mengkonsumsi ikan jenis scombroid (tuna, tongkol, kembung,
lemuru/sarden, dan sejenisnya).
Universitas Sumatera Utara
Teknologi yang sudah banyak diterapkan untuk mendinginkan ikan adalah
pembekuan dengan es (icing), yaitu mencampur ikan dan es dengan proporsi 1: 2.
Untuk perikanan tangkap, cara itu harus dilakukan sejak ditangkap dan
dimasukkan ke kapal. Artinya, es mutlak harus dibawa saat nelayan berangkat
melaut. Kapal besar dan modern biasanya punya unit pendinginan (bahkan unit
pembekuan) sehingga tidak harus membawa es dari darat.
Agar sistem rantai dingin dapat berjalan dengan baik, sarana untuk
mempertahankan suhu ikan agar tetap di bawah 4C mutlak adanya. Sarana itu
meliputi palka berinsulasi, kotak pendingin (cool box), pemecah es, sarana
distribusi berpendingin, sarana pengeceran, dan sebagianya. Kebutuhan itu sulit
dihitung secara detil, tetapi pasti memerlukan investasi yang tidak sedikit.
Susut hasil dalam penanganan ikan tidak selalu akibat tidak tersedianya es,
tetapi akibat lain yang kadang tidak bersifak teknis. Berdasarkan defenisi sistem
rantai dingin sebelumnya, penyediaan sarana dan prasarana pendinginan tidak
serta merta menjamin berjalannya sistem. Ada prasyarat lain yang harus dipenuhi,
yaitu adanya prosedur baku yang harus ditaati berupa Praktek Penanganan Ikan
yang Baik (GHP, Good Handling Practices). Beberapa prinsip utama GHP, antara
lain cepat, cermat dan bersih.
Hal ini sesuai dengan konsep CCS yang disarankan oleh pemerintah
dimana jenis sarana dan prasarana CCS yang sebaiknya tersedia di setiap tahap
penanganan ikan antara lain:
1. Di atas kapal: cool box (kapal 5-10 GT), palkanisasi (kapal 10-20 GT),
refrigrasi (kapal 20-30 GT) dan sarana sanitasi dan higiene.
Universitas Sumatera Utara
2. Di Tambak/Kolam Ikan: tempat/ruang penanganan ikan (handling space),
trays/ keranjang, cool box, air bersih, ice storage, ice crusher dan sarana
sanitasi dan higiene.
3. Di TPI/PPI: trays/keranjang, kereta dorong, pabrik es skala kecil (mini ice
plant), ice crusher, ice storage, kereta dorong, air bersih, sarana sanitasi dan
hygiene, cool box dan cold storage.
4. Di UPI SKM: freezer, cold storage, cool room, ice crusher, ice storage,
trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene
5. Distribusi dan Transportasi CCS: truk berrefrigerasi (refrigerated truck),
Truk berinsulasi (insulated truck), mobil angkut pick up, sepeda motor
dilengkapi box berinsulasi, becak dilengkapi box berinsulasi, cool box,
trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene.
6. Di Pasar Hygienis dan Tradisional: showcase, cool box, trays/keranjang, ice
tube/ice flake, air bersih serta sarana sanitasi dan hygiene.
Selain itu, faktor ketidakpastian mengakibatkan tidak semua nelayan
membawa es dalam jumlah besar karena, selain memakan tempat di palka, hal itu
perlu biaya tinggi. Praktek yang sering dilakukan adalah mengawetkan ikan hasil
tangkapan awal dengan garam dan hanya menggunakan es untuk tangkapan akhir
menjelang pendaratan. Penanganan seperti itu membuat ikan tangkapan awal
keadaan fisiknya sudah tidak bagus karena tergencet tangkapan berikutnya dan
pada akhirnya harus dilelang sebagai bahan baku ikan asin dengan harga yang
tidak tinggi.
Penggunaan es untuk mengawetkan tangkapan akhir menunjukkan,
sebenarnya nelayan sadar bahwa es dapat mempertahankan kesegaran ikan dan
Universitas Sumatera Utara
pada saat lelang akan mendapatkan harga tinggi. Beberapa nelayan demersal
dengan hasil tangkapan ikan kakap ternyata melakukan pembekuan dengan es
terhadap hasil tangkapannya dengan benar karena mereka mengetahui ikan kakap
tangkapan mereka akan dihargai sangat tinggi dalam keadaan segar.
Di pelelangan, GHP belum diterapkan dengan benar meskipun sarana dan
prasaranannya telah dilengkapi. Itu kembali menunjukkan betapa sikap atau
attitude pelaku perikanan kita, termasuk pengelola pelelangan, belum tepat dalam
menangani ikan hasil tangkapannya.
Kedua contoh itu memperlihatkan berapa ketersediaan es saja tidak cukup
untuk mempertahankan kesegaran ikan yang didaratkan. Ada faktor lain yang
harus dicermati, yaitu kedisiplinan para pelaku dalam menerapkan GHP yang
ternyata masih sangat kurang walaupun sejumlah Petunjuk Teknis atau Praturan
Menteri terkait dengan itu sudah banyak diterbitkan dan disosialisasikan. Selain
itu, pngakan aturan masih merupakan salah satu titik lemah. Itu menjadi tantangan
bagi pemerintah atau para pemangku kepentingan untuk mengatasinya. Hasil
investigasi tim Uni Eropa berdasarkan pada dua kali peninjauan lapangan (April
2004 dan September 2005) untuk mendukung kenyataan itu. Salah satu temuan
mereka adalah tidak bagusnya praktem penanganan ikan selama di atas kapal, saat
pelelangan, atau di unit pengolahan, serta kurangnya kendali aparat. Tidak heran
jika kemudian Uni Eropa melalui CD (Council Directive) No. 236 tahun 2006
baru-baru ini memberlakukan Systematic Border Control terhadap produk
perikanan Indonesia. Salah satunya terhadap kandungan histamin sebagai
indikator kesegaran ikan scombroid.
Universitas Sumatera Utara
Melihat kenyataan di lapangan dan pemberlakuan Systematic Border
Control, harus segera diambil langkah untuk memperbaiki penerapan sistem rantai
dingin di lapangan. Langkah yang harus diambil merupakan komitmen bersama
dan serentak (cencerted efforts) antara pemerintah dan pelaku usaha, termasuk
kelompok nelayan dan asosiasi. Oleh karena tingginya investasi yang dibutuhkan
untuk penerapan sistem rantai dingin, pemerintah dan dunia usaha harus bahu-
membahu mengadakannya. Aturan yang telah dibuat harus segera dikuatkan
penerapannya di lapangan. Selain itu, fasilitas dari pemerintah seperti pelatihan,
sosialisasi petunjuk teknis, dan sejenisnya harus sesering mungkin dilaksanakan.
Penyediaan es murah merupakan salah satu alternatif yang dapat diambil
pemerintah untuk merangsang penggunaan es lebih baik lagi.
2.2.4. Proses Cold Chain Sistem (CCS)
Proses perlakuan CCS yang baik diatas kapal nelayan adalah:
- Setelah semua bahan-bahan dan peralatan yang dibutuhkan telah dipersiapkan
dan dibawa sesuai dengan kebutuhan seperti: Cool Box, Keranjang, Ember,
Air Tawar, Es Curah serta alat-alat pendukung lainnya.
- Setelah ikan tertangkap maka ikan dibersihkan dengan air tawar lalu disortir
sesuai dengan jenis dan ukurannya.
- Selanjutnya ikan dimasukkan kedalam Cool Box dengan susunan lapisan
bawah es curah lalu lapisan ikan lalu lapisan es demikian seterusnya. Dalam
proses ini diusahakan jumlah es jangan sampai kurang, sebaiknya 2: 1
sehingga suhu dalam Coll Box bisa dipertahankan dan tidak berubah sampai
didaratkan/dibongkar di TPI untuk dijual kepada penampung ikan.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya perlakuan CCS diteruskan oleh pedagang/pengumpul untuk
dikirim ke pabrik/konsumen.
2.2.5. Fungsi Produksi dan Pendapatan
Menurut Mubyarto (1989), fungsi produksi yaitu suatu fungsi yang
menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dan faktor-faktor
produksi (input). Dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi dituliskan
sebagai berikut:
Y = f (X1,X2,.....,Xn)
dimana:
Y = Hasil produksi fisik
X1,X2,...,Xn = Faktor produksi
Penerimaan adalah total produksi yang dihasilkan dikalikan harga.
Pendapatan bersih adalah penerimaan dikurangi dengan biaya produksi dalam satu
kali periode produksi. Secara grafik pendapatan maksimum oleh suatu usaha dapat
ditunjukkan dengan grafik yang menggambarkan biaya total dan hasil penjualan
(penerimaan) (Samuelson, 2001).
Dalam usaha prikanan, nelayan akan memperoleh penerimaan dan
pendapatan, penerimaan nelayan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh
dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:
TRi = Yi . Pyi
dimana:
Tri = Total Penerimaan nelayan
Yi = Produksi
Pyi = Harga produk
Universitas Sumatera Utara
Pendapatan nelayan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya
Pd = TR TC
dimana:
Pd = Pendapatan
TR = Total Penerimaan
TC = Total Biaya
Biaya usaha perikanan biasanya diklasifikasikan menjadi 2 yaitu biaya
tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap biasanya didefinisikan sebagai biaya yang
relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh
banyak atau sedikit, contoh: pajak. Disisi lain biaya tidak tetap atau biaya variabel
biasanya didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhui oleh
produksi yang diperoleh, contoh: biaya untuk sarana produksi. Menurut Suratiyah
(2006), cara menghitung biaya tetap adalah:
FC = . = dimana:
FC = Biaya Tetap
Xi = Jumlah Fisik dari input yang membentuk biaya tetap
Pxi = Harga input
Xi = Macam input
Total biaya (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC)
TC = FC+ VC
Menurut Sudrajat (2008) Untuk analisis kelayakan usaha, perhitungan
biaya yang sering dilakukan yaitu cost ratio (R/C). Revenue cost ratio lebih besar
dari 1 (satu) berarti manfaat (benefit) lebih besar dari biaya (cost) yang digunakan
Universitas Sumatera Utara
untuk memeperoleh benefit itu. Bukan hanya sekedar benefit lebih besar dari
biaya, tetapi B/C ratio lebih besar dari satu sedemikian rupa sehingga benefit
dapat menutupi selain dari biaya, juga dapat mengembalikan (repayment)
investasi. Bukan hanya sekedar dapat menutupi biaya dan pengembalian investasi,
tetapi benefit juga harus dapat memberikan keuntungan (profit) bagi perusahaan
(Radiks, 1997).
Benefit merupakan manfaat atau faedah yang diperoleh atau dihasilkan
dari suatu kegiatan yang produktif. Misalnya pembangunan atau rehabilitasi atau
perluasan sehingga diperoleh hasil yang lebih besar. Benefit yang diperoleh
mungkin sama tiap-tiap periode dan mungkin berbeda. Maka dalam disiplin
penelitian dan penilaian proyek. Benefit diberlakukan sebagai benefit tetap (fixed
benefit) maupun benefit variabel (variabel benefit) (Radiks, 1997).
2.3. Kerangka Pemikiran
Penggunaan CCS dalam usaha di bidang perikanan merupakan usaha
untuk menjamin mutu produk perikanan, agar tetap bermutu dan memiliki nilai
jual yang tinggi. Hal ini penting mengingat permintaan produk perikanan yang
memiliki mutu dari tahun ke tahun terus meningkat.
Namun demikian tidak semua nelayan melakukan penjagaan mutu produk
dengan menggunakan CCS. Hal ini disebabkan implementasi CCS memerlukan
tambahan biaya untuk melengkapkan sarana dan prasarana CCS sesuai dengan
kaedahnya. Sehingga diperlukan perbandingan antara Return-Cost (R/C).
Perbandingan antara penerimaan dan pengeluaran atau biaya (R/C)
penggunaan CCS dengan nelayan tradisional dianggap dapat memberikan
informasi tentang proporsi keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha. Jika R/C
Universitas Sumatera Utara
ratio > 1 maka usaha yang dijalankan mengalami keuntungan dan layak untuk
diusahakan atau dikembangkan. Namun jika R/C ratio < 1 maka usaha tersebut
mengalami kerugian atau tidak layak untuk diusahakan atau dikembangkan.
Dengan diketahuinya biaya( pengeluaran) yang terdiri dari biaya tetap
(fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost) pada proses produksi dan
penerimaan yang diperoleh maka dapat diketahui keuntungan yang diperoleh
dengan menghitung selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Jika penerimaan
lebih besar daripada total biaya yang dikeluarkan maka usaha tersebut
memperoleh keuntungan. Sedangkan jika penerimaan lebih kecil daripada total
biaya yang dikeluarkan maka usaha tersebut mengalami kerugian.
Bagi nelayan yang tidak menggunakan CCS tentu input produksinya lebih
rendah dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan CCS. Namun demikian
bukan berarti biaya yang rendah akan berdampak pada keuntungan yang lebih
besar dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan CCS. Hal ini disebabkan
keuntungan juga ditentukan oleh harga jual produk, dimana mutu produk
perikanan yang tinggi memiliki harga jual yang lebih tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesis Penelitian
Ada perbedaan signifikan antara pendapatan nelayan yang menggunakan
CCS dengan nelayan tradisional yang tidak menggunakan CCS.
Penerimaan
Produksi
Pendapatan
Alternatif Kebijakan CCS
Biaya Input
Nelayan di Kab. Serdang Bedagai
Nelayan yang Tidak Menggunakan CCS
Nelayan yang Menggunakan
CCS
Universitas Sumatera Utara