Upload
fenti
View
94
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, duramater, pembuluh darah serta otaknya mengalami cedera baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus (Satya Negara, 1998:59).
Citation preview
LAPORAN PENDAHULUAN
CIDERA KEPALA SEDANG
Disusun untuk Melengkapi Tugas Individu Blok Clinical
Study 2 Departemen Emergency
Disusun Oleh
Nama : Fenti Diah Hariyanti
NIM :115070200111052
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2015
1. Definisi Trauma Kepala
Trauma Capitis (Trauma Kepala) adalah suatu ruda paksa yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural
dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Cedera kepala melibatkan
setiap komponen yang ada, mulai dari bagian terluar (kulit kepala) hingga
bagian terdalam (otak). (Fearnside, 1997).
Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan
kulit kepala tulang tengkorak, duramater, pembuluh darah serta otaknya
mengalami cedera baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus (Satya
Negara, 1998:59).
Komutio cerebri adalah syndrome yang melibatkan bentuk ringan dari
cidera otak yang menyebar. Terjadi disfungsi neurologis sementara dan
bersifat dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Jika ada
penurunan kesadaran mungkin pasien mengalami disorientasi dan bingung
hanya dalam waktu singkat (Hudak dan Gallo, 1996:227).
Sedangkan yang dimaksud dengan cidera kepala sedang
merupakan trauma yang melibatkan seluruh bagian kepala mulai bagian
terluar kepala (kulit kepala) sampai bagian terdalam kepala (otak) yang
menyebabkan individu mengalami penurunan kesadaran ( konfusi, latergi,
atau stupor ) dengan GCS 9-14, mengalami amnesia pasca trauma dan
menunjukkan tanda terjadinya fraktur kranium (George dkk, 2009).
2. Klasifikasi Trauma Kepala
Klasifikasi didasarkan atas jenis lukanya :
a) Trauma Kepala Tertutup
Concussion/commotio/memar
Banyak cedera yang mengakibatkan kerusakan fungsi
neurologi tanpa terjadinya kerusakan struktur, untuk sementara
kehilangan kesadaran dalam beberapa menit atau 2-3 jam.
Fenomena ini memerlukan pengawasan dan orientasi secara
bertahap. Dapat juga disertai dengan pusing dan sakit kepala,
karakteristik gejala commotio, sakit kepala, pusing, lelah, amnesia
retrograde dan ketidakmampuan berkonsentrasi.
Contusio
Cedera kepala yang termasuk didalamnya luka memar,
perdarahan dan edema. Keadaan ini lebih serius daripada commotio
serebri. Pasien dapat tidak sadar dalam waktu yang tidak tentu (2-3
jam, atau bulanan). Amnesia retrograde lebih berat dan jelas. Gejala
neurologis, parese, cedera. connorio ini biasanya dapat terlihat pada
lobus frontalis jika dilakukan lumbal funksi maka liquor serebrospinal
hemoragic.
Laceratio Cerebri (trauma kapitis berat)
Sobekan pada jaringan otak karena tekanan atau fraktur dan
luka tusukan. Dapat terjadi perdarahan, hematoma dan edema
cerebral. Akibat perdarahan dapat terjadi ketidaksadaran, hemiplegi
dan dilatasi pupil, cerebral laceratio diklasifikasikan berdasarkan
lokasi benturan yaitu : Coup, counter coup lesi tidak langsung terjadi
pada tempat pukulan melainkan terlihat pada bagian belakangnya.
b) Trauma Kepala Terbuka
Suatu keadaan dimana tengkorak sudah fraktur dan bagian
duramaternya terbuka dan tergores. Ada jenis fraktur kepala terbuka
yang mengenai dasar tengkorak, yaitu fraktur basis kranii yang
ditandai dengan :
Echymosis disekitar Os mastoideus
Hemotimpanum yaitu perdarahan yang keluar dari telinga.
Echymosis periorbital (black eyes) walaupun trauma tidak ada
pada mata.
Rinorrhea atau ottorhea
Tingkat keparahan
Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Skor Koma Glasgow
(SKG) Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien
trauma kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap
tingkat kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah;
Proses membuka mata (Eye Opening)
Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
Reaksi bicara (Best Verbal Response)
Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu
abel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).
Eye opening
Mata terbuka dengan spontan 4
Mata membuka setelah diperintah 3
Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Best motor response
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (dekortikasi) 3
Ekstensi (decerebrasi) 2
Tidak ada gerakan 1
Best verbal response
Menjawab pertanyaan dengan benar 5
Salah menjawab pertanyaan 4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3
Mengeluarkan kata-kata yang tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;
Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 – 15
Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 – 13
Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 – 8
Klasifikasi didasarkan berat ringannya trauma :
a) Trauma Kepala Ringan
Skor skala koma Glasgow 15 ( sadar penuh, atentif, dan orientatif).
Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi).
Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang.
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit
kepala.
Tidak adanya kreteria cedera sedang berat.
b) Trauma Kepala Sedang
Skor skala koma Glasgow 9-14 ( konfusi, latergi, atau stupor ).
Konkusi ( tidak terjadi kerusakan struktural ).
Amnesia pasca-trauma
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle,hemotimpanum,
otorea ( keluar cairan dari telinga ) atau rinorea ( keluar cairan dari
hidung ).
Kejang
c) Trauma Kepala Berat
Skor skala koma Glasgow 3-8 ( koma ).
Penurunan derajat kesadaran secara progresif.
Tanda neurologis fokal.
Cedera kepala penetrasi atau terba fraktur depresi karanium
3. Etiologi Trauma Kepala
Etiologi atau penyebab dari trauma kepala ini antara lain :
Kecelakaan lalu lintas/industri
Dari kebanyakan kasus trauma yang terjadi, kecalakaan lalu lintas
adalah penyebab terbanyak. Baik itu kecelakaan lalu lintas darat, air dan
udara.
Jatuh dari suatu ketinggian
Benturan benda tajam/ tumpul
Trauma pada saat kelahiran
Benturan dari objek yang bergerak (cedera akselerasi)
Kejadian yang termasuk cedera akselerasi adalah ketika
seseorang berjalan, kemudian tiba – tiba tertabrak mobil dari belakang.
Pada kejadian akselerasi jantung akan bekerja dengan kecepatan yang
telah dipercepat ( kerja jantung semakin cepat ) sehingga dapat berakibat
fatal pada penderita.
Benturan kepala pada benda padat yang tidak bergerak (cedera
deselerasi)
Kejadian yang termasuk cedera deselerasi adalah ketika sebuah
mobil menabrak pohon. Pada kejadian deselerasi, sebuah benda yang
memiliki kecepatan akan dihentikan secara mendadak. Sehingga jantung
yang pada awalnya bekerja sesuai dengan kecepatan sebelumnya, akan
tiba – tiba dihentikan secara mendadak. Hal ini akan dapat
mempengaruhi hemodinamik pasien.
4. Manifestasi Klinis Trauma Kepala
Manifestasi Klinis Cidera Kepala Sedang
GCS 9-13 (konfusi, letargi atau stupor)
Ditemukan kelainan pada CT scan
Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari
24 jam
Dapat mengalami fraktur tengkorak (tanda Battle,hemotimpanum, otorea (
keluar cairan dari telinga ) atau rinorea ( keluar cairan dari hidung )
(George dkk, 2009).
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti
berikut:
a) Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os
mastoid)
Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
b) Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh.
Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
Mual atau dan muntah.
Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
Perubahan keperibadian diri.
Letargik.
c) Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di
otak menurun atau meningkat.
Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi
pernafasan).
Cedera kepala yang sudah di uraikan menurut (Judikh Middleton,
2007) akan menimbulkan gangguan neurologis / tanda-tanda sesuai dengan
area atau tempat lesinya yang meliputi :
a) Lobus frontal atau bagian depan kepala dengan tanda-tanda
Adanya gangguan pergerakan bagian tubuh (kelumpuhan)
Ketidakmampuan untuk melkukan gerakan rumit yang di perlukan
untuk menyelesaikan tugas yang memiliki langkah-langkah, seperti
membuat kopi
Kehilangan spontanitas dalam berinteraksi dengan orang lain
Kehilangan fleksibilitas dalam berpikir
Ketidakmampuan fokus pada tugas
Perubahan kondisi kejiwaan (mudah emosional)
Perubahan dalam perilaku sosial
Perubahan dalam personalitas
Ketidakmampuan dalam berpikir (kehilangan memory)
b) Lobus parietal, dekat bagian belakang dan atas dari kepala
Ketidakmampuan untuk menghadirkan lebih dari satu obyek pada
waktu yang bersamaan
Ketidakmapuan untuk memberi nama sebuah obyek (anomia)
Ketidakmampuan untuk melokalisasi kata-kata dalam tulisan
(agraphia)
Gangguan dalam membaca (alexia)
Kesulitan menggambar obyek
Kesulitan membedakan kiri dan kanan
Kesulitan mengerjakan matematika (dyscalculia)
Penurunan kesadaran pada bagian tubuh tertentu dan/area
disekitar (apraksia) yang memicu kesulitan dalam perawatan diri
Ketidakmampuan fokus pada perhatian fisual/penglihatan
Kesulitan koordinasi mata dan tangan
c) Lobus oksipital, area paling belakang, di belakang kepala
Gangguan pada penglihatan (gangguan lapang pandang)
Kesulitan melokalisasi obyek di lingkungan
Kesulitan mengenali warna (aknosia warna)
Teriptanya halusinasi
Ilusi visual-ketidakakuratan dalam melihat obyek
Buta kata-ketidakmampuan mengenali kata
Kesulitan mengenali obyek yang bergambar
Ketidakmampuan mengenali gerakan dari obyek
Kesulitan membaca dan menulis
d) Lobus temporal : sisi kepala di atas telinga
Kesulitan mengenali wajah (prosoprognosia)
Kesulitan memahami ucapan (afasiawernicke)
Gangguan perhatian selektif pada apa yang dilihat dan didengar
Kesulitan identifikasi dan verbalisai obyek
Hilang ingatan jangka pendek
Gangguan memori jangka panjang
Penurunan dan peningkatan ketertarikan pada oerilaku seksual
Ketidakmampuan mengkategorikan onyek (kategorisasi)
Kerusakan lobus kanan dapat menyebabkan pembicaraan yang
persisten
Peningkatan perilaku agresif
e) Batang otak : dalam di otak
Penurunan kapasitas vital dalam bernapas, penting dalam berpidato
Menelan makanan dan air (dysfagia)
Kesulitan dalam organisasi/persepsi terhadap lingkungan
Masalah dalam keseimbangan dan gerakan
Sakit kepala dan mual (vertigo)
Kesulitan tidur (insomnia, apnea saat tidur)
f) Cerebellum : dasar otak
Kehilangan kemampuan untuk mengkoordinasi gerakan halus
Kehilangan kemampuan berjalan
Ketidakmampuan meraih obyek
Bergetar (tremors)
Sakit kepala (vertigo)
Ketidakmampuan membuat gerakan cepat
5. Patofisiologi Trauma Kepala (bagan terlampir)
Cedera kepala baik terbuka maupun tertutup, dapat melibatkan tulang
dan otak tergantung pada penyebabnya. Cedar otak dapat primer maupun
sekunder. Cedera otak primer adalah kerusakan jaringan otak akibat
langsung dari trauma dan biasanya tidak berubah dengan berjalannya waktu.
Tata laksana cedera otak primer lebih ditujukan pada pencegahan terjadinya,
misalnya system penahan tubuh pada kecelakaan mobil, penggunaan helm
saat olahraga dan bersepeda, edukasi bahaya kebakaran, dan sebagainya.
Semua luka tembus otak selalu menimbulkan cedera primer.
Sebagian cedera otak primer terjadi akibat benturan terhadap tengkorakatau
akibat gerakan otak di dalam tengkorak. Pada trauma jenis deselerasi
biasanya kepala mengenai obyek, misalnya kaca depan mobil, yang
menyebabkan gerakan perlambatan yang tiba-tiba dari tengkorak. Sementara
itu otak terus bergerak ke depan, dan benturan pertama terjadi dengan tulang
tengkorak pada tempat trauma dan kemudian memantul mengenai sisi
permukaan dalam tengkorak yan berlawanan (tabrakan keempat). Sehingga
cedera otak dapat terjadi pada otak di tempat trauma itu sendiri (coup) atau
pada sisi yang berlawanan (countracoup) dari trauma. Permukaan
tengkkorak bagian dalam tidak rata, sehingga gerakan otak yang mengenai
daerah ini dapat menyebabkan trauma dengan derajat yang berbeda pada
jaringan otak atau pada pembuluh darah otak.
Perawatan prehospital yang baik dapat mencegah terjadinya cedera
otak sekunder. Cedera otak sekunder adalah akibat dari respon otak
terhadap cedar otak primer yang dapat mengakibatkan hipoksia. Respon
awal otak yang cedar adalah edemayang akan menimbulkan penurunan
perfusi. Memar, cedera menimbulkan vasodilatasi dengan peningkatan aliran
darah ke area trauma, sehingga akumulasi darah menekan jaringan otak
disekitarnya. Tidak ada ruang ekstra di dalam tengkorak sehingga edema
tersebut akan meningkatkan tekanan intra serebral yang berakibat penurunan
aliran darah otak.
Otak secara normal menyesuaikan aliran darahnya sesuai kebutuhan
metabolisme. Autoregulasi aliran darah berdasarkan kadar CO2 darah. Kadar
CO2 normal adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 tersebut
menyebabkan vasodilatasi serebral dan peningkatan TIK, sedangkan
penurunan kadar CO2 menyebabkan vasi=okonstriksi dan penurunan aliran
darah otak.
6. Pemeriksaan Diagnostik Trauma Kepala
Pemeriksaan kesadaran menggunakan AVPU (Alert, Vocal, Pain,
Unconscius) dan GCS (membuka mata, respon motorik, respon verbal).
Nilai GCS ≤ 8 mengindikasikan cedera kepala berat
Pemeriksaan CT scan dilakukan secepat mungkin
Standar penting untuk diagnosis cedera kepala, pemeriksaan ini
harus segera dilakukan begitu kondisi pasien stabil. Untuk melihat letak
lesi, adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek, mengidentifikasi
fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. Namun CT scan tidak
sensitive untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang
cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya, lesi
seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk. Catatan :
pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada infark / iskemia
mungkin tidak terdeteksi dalam 24 - 72 jam setelah injuri.
X ray tengkorak, untuk mendeteksi fraktur dari dasar atau rongga
tengkorak. Pemeriksaan ini dapat digunakan bila CT scan tidak ada.
MRI (magnetic resonance imaging)
MRI mampu menunjukkan lesi di substansia alba dan batang otak
yang sering luput pada pemeriksaan CT scan. Ditemukan bahwa
penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer atau terdapat lesi batang
otak pada pemeriksaan MRI mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil CT scan awal normal dan tekanan
intracranial terkontrol baik.
Hitung darah lengkap
Pemeriksaan BGA, untuk mengevaluasi keefektifan pertukaran gas dan
mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK
Pemeriksaan kadar elektrolit dan glukosa, untuk mengkoreksi
keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial
Kreatinin, ureum
Waktu protrombin dan waktu parsial tromboplastin
Pembuatan foto vertebra servikalis, untuk menyingkirkan kemungkinan
fraktur servikal atau kolumna vertebra yang tidak stabil
Lumbal pungsi, untuk menentukan ada tidaknya darah pada
subarachnoid, harus dilakukan sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma
EEG dan pemeriksaan memori, untuk mencari lesi, memeriksa amnesia,
melihat keberadaan atau berkembangnya gelombang yang patologis
Cerebral Angiography, menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
BAER (Brain Auditory Evoked Respons), untuk mengoreksi fungsi corteks
dan batang otak.
PET (Positron Emission Tomography), untuk mendeteksi perubahan
aktivitas metabolisme otak.
Screen Toxicologi, untuk mendeteksi obat yang mungkin bertanggung
jawab terhadap penurunan kesadaran.
Kadar antikonvulsan darah, dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat
terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
7. Penatalaksanaan Trauma Kepala
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar kondisi
kesadaran pasien, tindakannya dan manajemen atau saat kejadian.
Penatalaksanaan yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari
paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan
rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan
dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat
kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai
ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa
memburuk.
a. Kondisi kesadaran pasien
1) Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
a) Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan
kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini
hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya
atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi
kesadaran.
b) Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah
cedera kepala dan pada saat diperiksa sudah sadar kembali.
Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya
seperti SHI.
2) Pasien dengan kesadaran menurun
a) Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatan luka, dibuat
foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom
intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up
kesadaran semakin menurun atau timbul lateralisasi. Observasi
kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda
vital. Kriteria pasien cedera kranioserebral ringan yang tidak perlu
dirawat jika:
Orientasi (waktu dan tempat) baik
Tidak ada gejala fokal neurologic
Tidak ada muntah atau sakit kepala
Tidak ada fraktur tulang kepala
Tempat tinggal dalam kota
Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila
dicurigai ada perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS
3) Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan
kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan
cedera organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intracranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
4) Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple. Bila
didapatkam fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila
ada luka terbuka dan ada perdarahan, hentikan dengan balut tekan
untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera
kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di
ICU.
b. Tindakan atau Terapi
1) Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan
untuk:
Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah
kemungkinan terjadinya tekanan intra cranial
Mencegah dan mengobati edema otak (dengan cara
hiperosmolar, diuratik)
Meminimalisasi kerusakan sekunder
Mengobati simtom akibat trauma otak
Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang,
infeksi (antikonvulsan dan antibiotik)
2) Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:
Cedera kranioserebral tertutup
Pada pasien dengan fraktur inpresi (deppresed fracture),
perdarahan epidural dengan perdarahan lebih dari 30-44ml,
perdarahan subdural, dan perdarahan intraserebral besar yang
menyebabkan progresivitas kelainan neurogenik atau hibernasi.
Pada cedera kranioserebral terbuka
Pada perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya kulit, fraktur
multipel. Dura yang robek disertai laserasi otak, pneumoencephali
dan luka tembak.
c. Tindakan di unit gawat darurat dan ruang rawat
1) Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia,
hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh
karena itu tindakan pertama adalah:
Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi, kalau perlu dipasang pipa orofaring atau
pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau
gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik
untuk menghindarkan aspirasi muntahan
Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral
atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi
medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi,
trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari
gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari dan atasi
faktor penyebab dan pasang ventilator jika perlu.
Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan
intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa
hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma
dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok
septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan,
perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang
dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
2) Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi
kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil
pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan
ditindaklanjut, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas
bisa diartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera
dicari dan menanggulangi penyebabnya.
3) Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak,
dada dan abdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan
bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada
hematom intrakranial
4) Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi,
hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun
naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah
berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan
dengan urutan sebagai berikut:
Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan
ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2)
27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti
berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2
sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba
dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi
hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak
menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT
scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil.
Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan
untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt,
misalnya bila terjadi hidrosefalus
Terapi diuretik
- Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan
otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam
ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya
harus dihentikan.
- Loop diuretik (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan
interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan
manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek
osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
- Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif
terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas.
Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3
mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar
serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam.
Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
- Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi, posisi
tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan
kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau
leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit
sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
5) Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000
ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti
hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid
seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia
menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila
tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan
volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai
makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu
dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan
cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik,
diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon
(SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah,
ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
6) Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak
2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein.
Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar
epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada
demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan
nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-
3000 kalori/hari
7) Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma
disebut early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama
disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-
anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi,
hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.
Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan
tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena
tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain
misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv
pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-
500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera
kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur
impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post
traumatik panjang
8) Penatalaksanaan Komplikasi sistematik
Kejang
Kejang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma
disebut early seizure yag dapat diberikan profilaksis fenitolon
dengan dosis 3x300mg/hari selama 7-10 hari.
Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi
seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis
kranii Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme
otak dan menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk
prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi
dengan menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan
menurunkan suhu dengan kompres
Gastrointestinal
Pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan
ini dapat dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan
dengan H2 reseptor bloker.
Kelainan hematologi
Kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo
hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut
walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi
agar tidak memperparah kondisi pasien.
Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau
usus yang penuh, patah tulang yang nyeri, atau tekanan
intrakranial yang meningkat. Bila ada retensi urin, dapat dipasang
kateter untuk pengosongan kandung kemih. Bila perlu dapat
diberikan penenang dengan observasi kesadaran ketat. Obat yang
dipilih adalah obat peroral yang tidak menimbulkan depresi
perapasan.
9) Neuroproteksi (proteksi serebral)
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan
timbulnya kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk
memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti
pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium,
antagonis glutama dan sitikolin (Soertidewi, 2012).
8. Komplikasi Trauma Kepala
Komplikasi cedera kepala berat menurut Mansjoer (2000:7) sebagai
berikut:
Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya
leptomeningen dan terjadi pada 2-6 pasien dengan cedera kepala
tertutup.
Fistel karotis kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos,
kemosis dan bruit orbital, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah
cedera.
Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik
pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon
antideuretik.
Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini
(minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang
segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini
menunjukan resiko meningkat untuk kejang lanjut dan pasien ini harus
dipertahankan dengan antikonvulsan.
Koma. Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma.
Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau
minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa
kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita
masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
Infeksi. Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan
membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini
biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke system saraf yang lain.
Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian
masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif.
Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran.
Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada khasus cedera kepala resiko
perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi
Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan
keparahan cedera.
Demam dan mengigil. Demam dan mengigil akan meningkatkan
kebutuhan metabolism dan memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat
kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan
asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan cairan
hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
Hidrosefalus. Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi
komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering
terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non
komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel.
Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil
udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.
Spastisitas. Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung
pada kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN.
Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan
ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur,
Bantuan dalam posisioning. Terapi primer dengan koreksi posisi dan
latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting, casting, farmakologi:
dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum, benzodiasepin
Agitasi. Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium
awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil.
Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang
berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan
menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,
stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
9. Rencana Pemulangan
Jelaskan tentang kondisi pasien yang memerlukan perawatan dan
pengobatan.
Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya
kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan
perubahan bicara.
Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan
reaksi dari pemberian obat.
Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip
lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.
Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas
sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum.
Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat
pengaman.
Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan
intrakranial
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. Keperawatan Medical Bedah. Penerbit buku
Kedokteran Volume 3, EGC. Jakarta 2001
Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC;
2000
Doctherman Joanne McCloskey, Gloria N. B. 2008. NURSING INTERVENTIONS
CLASSIFICATION (NIC) 5th Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier
ENA. 2000. Emergency Nursing Core Curriculum. 5thED. USA: WB.Saunders
Company
Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta:
EGC; 1996
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius.
Marilynn E. Doenges/ Mary Frances Moorhouse/ Alice C. Geisler. 2000. Rencana
Asuhan Keperawatan (Pedoman untuk perencanaan dan pe ndokumentasian
perawatan pasien) Edisi 3. Jakarta: EGC
Moorhead Sue, et al. 2008. NURSING OUTCOMES CLASSIFICATION (NOC)
5th Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier
Oman, Kathleen. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergency. Jakarta :
EGC
Soertidewi, Lyna. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral.
Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Saraf, FKUI RS Cipto Mangunkusumo
Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV
Sagung Seto; 2001.
Sylvia & Lorraine, 1994, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses Penyakit. Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta:
EGC; 1999.