10
Ciguatera The two most common toxins associated with Ciguatera are Ciguatoxin and Maitotoxin, and they are some of the most lethal natural substances known. In mice, ciguatoxin is lethal at 0.45 ug/kg ip, and maitotoxin at a dose of 0.15 ug/kg ip. Oral intake of as little as 0.1 ug ciguatoxin can cause illness in the human adult (as an extrapolation from fish samples eaten). Ciguatoxin, a lipid soluble substance, opens voltage dependant sodium channels in cell membranes which induces membrane depolarization. It causes prolonged symptoms indicate nerve blockage or damage requiring regeneration of nervous tissue Maitotoxin, water soluble, specifically increases the calcium ion influx through excitable membrane; this is not affected by tetrodotoxin or sodium. Usually Maitotoxin is less important since it is less present in fish. Scaritoxin is similar to Ciguatoxin. Okadaic Acid is a lipid soluble toxin with a LD50 210 ug/kg ip in mice; it is a sodium ionophore. Palytoxin is a water soluble polyether which causes severe tonic contraction of all muscle groups; it also strong skin irritant and potent tumor activator. The pharmacologic action of Ciguatoxin is due to its direct effects on excitable membranes. Its potent depolarizing action due to a selective increases in sodium permeability in the nerve cells and striated muscle can be counteracted by calcium ions and tetrodotoxin. The respiratory arrest induced by a lethal dose results mainly from depression of the central respiratory center. It causes biphasic cardiovascular response with hypotension and bradycardia (which can be antagonized with anticholinergics) followed by hypertension and tachycardia (which can be suppressed by adrenergic

Ciguatera

Embed Size (px)

Citation preview

Ciguatera

The two most common toxins associated with Ciguatera are Ciguatoxin and Maitotoxin, and they are some of the most lethal natural substances known. In mice, ciguatoxin is lethal at 0.45 ug/kg ip, and maitotoxin at a dose of 0.15 ug/kg ip. Oral intake of as little as 0.1 ug ciguatoxin can cause illness in the human adult (as an extrapolation from fish samples eaten).

Ciguatoxin, a lipid soluble substance, opens voltage dependant sodium channels in cell membranes which induces membrane depolarization. It causes prolonged symptoms indicate nerve blockage or damage requiring regeneration of nervous tissue Maitotoxin, water soluble, specifically increases the calcium ion influx through excitable membrane; this is not affected by tetrodotoxin or sodium. Usually Maitotoxin is less important since it is less present in fish. Scaritoxin is similar to Ciguatoxin. Okadaic Acid is a lipid soluble toxin with a LD50 210 ug/kg ip in mice; it is a sodium ionophore. Palytoxin is a water soluble polyether which causes severe tonic contraction of all muscle groups; it also strong skin irritant and potent tumor activator.

The pharmacologic action of Ciguatoxin is due to its direct effects on excitable membranes. Its potent depolarizing action due to a selective increases in sodium permeability in the nerve cells and striated muscle can be counteracted by calcium ions and tetrodotoxin. The respiratory arrest induced by a lethal dose results mainly from depression of the central respiratory center. It causes biphasic cardiovascular response with hypotension and bradycardia (which can be antagonized with anticholinergics) followed by hypertension and tachycardia (which can be suppressed by adrenergic blockers). The response of smooth muscle to ciguatoxin is complex, depending upon the predominant autonomic innervation and postsynaptic receptor. It causes a potent release of endogenous norepinephrine from adrenergic nerve terminals and a potentiating effect on the post synaptic membrane.

Maitotoxin possesses a specific Ca2+ dependent action which causes a release of norepinephrine from rat pheochromocytoma cells. This action occurs in the absence of Na+ ions and in the presence of tetrodotoxin, precluding the participation of sodium channels; Maitotoxin appears to exert its effects on endogenous membrane calcium channels.

Sindrom klinis ciguatera bermacam-macam, tergantung jenis dan jumlah toxin yang terkonsumsi dan kerentanan individu penderita. Waktu terjadinya sakit juga sangat bervariasi tergantung pada dosis. Walaupun demikian, biasanya keluhan ciguatera terjadi 1-6 jam setelah masuknya makanan beracun tersebut, 90% kasus terjadi dalam periode 12 jam.Pada umumnya, penderita ciguatera ditandai dengan muntah yang parah, diare dan sakit perut, dalam beberapa jam setelah makan ikan beracun. Jika gejala sakit perut (gastrointestinal) ini tidak terjadi, biasanya gejala yang muncul adalah rasa gatal, gerak

yang lamban atau rasa terbakar di kulit. Gejala yang lebih khusus dari ciguatera adalah rasa gatal yang sakit dan parah, rasa panas atau terbakar, dan rasa seperti terkena strum listrik. Kadangkala gejala ini disertai dengan rasa sakit di sendi, tangan dan kaki, serta kram otot. Perasaan kehilangan gigi juga merupakan gejala yang umum terjadi pada penderita ciguatera. Sejumlah penderita menunjukkan pengindraan suhu yang terbalik, benda panas terasa dingin sedangkan benda dingin terasa panas.Gejala yang ditimbulkan ciguatera dapat hilang dalam beberapa hari, dapat juga tetapterasa hingga berbulan-bulan. Gejala sakit ciguatera dapat muncul kembali jika korban makan ikan yang mengandung ciguatoxin kembali, atau mengkonsumsi minuman beralkohol. Ikan herbivor yang beracun biasanya menyebabkan gangguan (sakit) pada system pencernaan dan syaraf. Ikan karnivor yang beracun dapat menyebabkan sakit yang lebih luas, termasuk gangguan peredaran darah dan jantung.

Kolinergik kolinergik merangsang sistem parasimpatisAda 2 macam reseptor kolinergik:

Reseptor muskarinik: merangsang otot polos dan memperlambat denyut jantung

Reseptor nikotinik/ neuromuskular → mempengaruhi otot rangka

Penggolongan Kolinergik

Cholinester (asetil kolin, metakolin, karbakol, betanekol)

Cholinesterase inhibitor (eserin, prostigmin, dilsopropil fluorofosfat)

Alkaloid yang berkasiat seperti asetikolin (muskarin, pilokarpin, arekolin)

Obat kolinergik lain ( metoklopramid, sisaprid)

Farmakodinamik Kolinergik

Meningkatkan TD

Meningkatkan denyut nadi

Meningkatkan kontraksi saluran kemih

Meningkatkan peristaltik

Konstriksi bronkiolus (kontra indikasi asma bronkiolus)

Konstriksi pupil mata (miosis)

Antikolinesterase: meningkatkan tonus otot

Diarrhetic shellfish poisoning (DSP) is one of the four recognized symptom types

of shellfish poisoning, the others being paralytic shellfish poisoning, neurotoxic shellfish

poisoning andamnesic shellfish poisoning.

As the name suggests, this syndrome manifests itself as diarrhea, although nausea,

vomiting and cramps are all common, too.

DSP and its symptoms usually set in within about half an hour of ingesting infected shellfish,

and last for about one day. A recent case in France, though, with 20 people consuming

oysters manifested itself after 36 hours. The causative poison is okadaic acid, which inhibits intestinal cellular de-phosphorylation.[1] This causes the cells to become very permeable to

water and causes profuse diarrhea with a risk of dehydration. As no life-threatening

symptoms generally emerge from this, no fatalities from DSP have ever been recorded.

Domoic

SP atau amnesic shellfish poisoning adalah sindrom yang berkaitan dengan kesehatan publik yang

disebabkan oleh alga berbahaya atau lebih dikenal dengan harmful algae (HABs).

Komponen utama dari amnesic shellfish poison adalah domoic acid. Domoic acid merupakan asam

amino neurotosik, dimana keracunannya dikenal dengan istilah ”Amnesic shellfish poisoning”.

Keracunan ini diakibatkan karena mengkonsumsi remis (”mussel”). Toksin ini diproduksi oleh alga

laut Nitzhia pungens dimana melalui rantai makanan, mengakibatkan remis mengandung racun

tersebut.

Domoic acid mengikat reseptor glutamat di otak mengakibatkan rangsangan yang terus-menerus

pada sel-sel saraf dan akhirnya terbentuk luka. Korban mengalami sakit kepala, hilang

keseimbangan, menurunnya sistem saraf pusat termasuk hilangnya ingatan dan terlihat bingung

dan gejala sakit perut seperti umumnya keracunan makanan. Telah dilaporkan toksin tersebut juga

dapat mengakibatkan kematian.

glutamate receptor

Glutamat merupakan neurotransmitter eksitatori. Reseptor glutamat ada 2 jenis, ionotropik dan metabotropik. Nah, yang ionotropik (terkait kanal ion) ada 3, yaitu NMDA, AMPA, dan kainate. Namun, yang sudah banyak diteliti adalah reseptor NMDA. Reseptor NMDA ini banyak ditemukan di otak  bagian cortex cerebral dan hippocampus sehingga memiliki peranan penting dalam fungsi memori dan belajar. Keunikan dari reseptor NMDA ini adalah dia ter-blok oleh ion Mg2+ (mengeblok kanal Na dan Ca) ketika dalam keadaan inaktif, sehingga membutuhkan reseptor non-NMDA untuk mengaktivasinya. Mekanismenya: 

Glutamat lepas dari saraf presinaptik --> berinteraksi dengan reseptor non-NMDA --> afinitas reseptor NMDA dengan Mg2+ berkurang --> Mg2+ lepas --> glutamat mengaktivasi NMDA --> membukan kanal Na dan Ca --> Na dan Ca masuk --> menghasilkan efek seluler (memicu signaling dalam learning danmemory).

Brevetoxin

Organisme kausatif klasik, Gymnodinium breve, adalah dinoflagellata yang menyebar dari Teluk Meksiko dan Karibia, meskipun spesies yang sama tersebar di seluruh dunia. Hal ini ditemukan terutama pada saat pasang surut merah di akhir musim panas dan musim gugur akhir bulan dan hampir setiap tahun di lepas Pantai Barat Florida dengan banyak ikan dan burung yang terbunuh. Ikan yang terbunuh terkait dengan pasang merah telah diperkirakan hingga 100 ton ikan per hari. Baru-baru ini, kejadian pasang merah ini terus meningkat, waktu yang panjang dan menyebar secara geografis. Meskipun kemungkinan pengaruh antropogenik seperti nutrisi run-off yang diteliti, perlu dicatat bahwa pasang merah di Florida terjadi bahkan sebelum polusi yang signifikan

dari populasi manusia (Tester 1997, Tester 1991). G. breve memproduksi 2 jenis larutan racun lipid: hemolitik dan neurotoksik. Racun neurotoksik dikenal sebagai brevetoxins. Brevetoxin utama yang dihasilkan adalah PbTx-2; lebih rendah jumlah PbTx - 1, PbTx-3, dan komponen hemolitik diproduksi. Membunuh ikan dalam skala besar yang disebabkan oleh paparan neurotoksin, dengan kontribusi kemungkinan fraksi hemolitik. Seperti halnya dengan semua racun laut, brevetoxins mempunyai sifat hambar, berbau, dan panas serta asam stabil. Racun ini tidak dapat dengan mudah dideteksi atau dihapus oleh prosedur persiapan makanan (Baden 1993). Organisme breve relatif rapuh. Oleh karena itu, terutama dalam aksi gelombang di sepanjang pantai, organisme yang mudah patah terbuka, dan melepaskan racun. Selama aktif di-pantai pasang merah, aerosol spray garam yang terkontaminasi akan mengandung racun dan pemecahan organisme baik dalam tetesan yang melekat pada partikel garam; hal ini dapat dilakukan di tanah tergantung pada angin dan kondisi lingkungan lainnya (Pierce 1990, Pierce 1989).Mekanisme Molekuler Aksi: Ikan, burung dan mamalia semua rentan terhadap brevetoxins. MouseLD50 adalah 0,20 mg / kg berat badan (0,15-0,27) secara intraperitoneal. Dalam kasus manusia yang terkena NSP, konsentrasi brevetoxin hadir dalam kerang yang terkontaminasi dan telah dilaporkan mencapai 30-18 ug (78-120 ug / mg). Para brevetoxins adalah lipid polieter yang larut dengan berat molekul sekitar 900. Racun ini adalah zat yang termasuk depolarizing gated sodium Tegangan terbuka (Na +) ion saluran di dinding sel, menyebabkan tidak terkendali + Na masuknya ke dalam sel (Baden 1983). Hal ini mengubah sifat membran jenis sel mudah meluap perasaannya dengan cara-cara yang meningkatkan aliran ke dalam ion Na + ke dalam sel; sampai saat ini dapat diblokir oleh aplikasi eksternal tetrodotoxin (Gallagher 1980, Baden 1983, Halstead 1988, Poli 1986, Viviani 1992, Trainer 1991). Hal ini diyakini bahwa masalah pernapasan terkait dengan inhalasi racun aerosol Red Tide Florida dan sebagian karena pembukaan saluran natrium oleh brevetoxin (Baden 1993, Asai 1982, Borison 1980, Franz 1989). Dalam tubuh domba, Abraham menemukan bahwa bronkospasme dapat diblokir oleh atropin (komunikasi verbal). Selain itu, tampaknya ada peran sel mast; pada domba, bronkospasme dapat secara efektif diblokir oleh cromolyn dan klorfeniramin (W Ibrahim PhD, communcation verbal). Watanabe et al (1988) mencatat brevetoxin yang dapat menggabungkan dengan sebuah situs yang terpisah di gerbang h saluran natrium, menyebabkan pelepasan neurotransmiter dari ujung saraf otonom. Secara khusus, hal ini dapat melepaskan asetilkolin, yang menyebabkan kontraksi otot halus trakea, serta degranulasi tiang sel besar. Brevetoxins juga termasuk inhibitor proteinase enzimatis dari lysosomal yang dikenal sebagai cathepsins dan ditemukan dalam sel fagositik seperti makrofag serta limfosit, mungkin juga bahwa efek kekebalan akut dan kronis (termasuk pelepasan mediator inflamasi yang berujung pada shock) mungkin terkait dengan paparan racun aerosol Red, terutama dengan paparan kronis dan atau populasi yang rentan (Bossart 1998), meskipun karya terbaru oleh cor et al Baden menemukan keraguan tentang mekanisme cathepsin (D Baden, komunikasi verbal). 

1. Pembukaan ion channel Na+ pada dinding sel

2. Pelepasan neurotransmiter dari ujung saraf autonom à kontraksi otot halus trakhea

3. Inhibitor enzimatik proteinase lisosomal à cathepsin pada sel fagosit

Saxitoxin

Aksi racun saxitoxin adalah dengan memblokade secara selektif pada pemasukan natrium melalui membran yang dapat tereksitasi (excitable membran) sehingga menghambat secara efektif sifat kondusif saraf (Kao,1983,1986 dalam Falconer 1993;Yang and Kao, 1992 dalam Falconer 1993). Proses pengeblokan saxitoxin terhadap pemasukan Na+ pada membran saraf terjadi pada saat dari kondisi pulih menuju kondisi aksi. Pada kondisi yang normal, tegangan dalam keadaan istirahat (resting potential) dari membran yang dapat tereksitasi adalah –75mv. Bila membran tereksitasi tegangan sepanjang sepanjang membran berubah dari-75 mv menjadi lebih dari 0 mv. Perubahan ini disebabkan gerakan Na+ pada milidetik pertama yang kemudian diikuti oleh gerakan keluar dari K+ (Guyton alih bahasa Andrianto, 1992).

Posisi pengeblokan oleh saxitoxin pada membran saraf dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 6. Posisi Pengeblokan Saxitoxin pada membran saraf, Hashimoto, 1980 Mekanisme keracunan akibat konsumsi kerang Volume 1, Nomor 1, Tahun 2007 Pengeblokan pemasukan Na+ tersebut menyebabkan saraf tidak dapat melakukan aksi potensial sehingga tidak dapat menerima impuls atau tanggapan dan akibatnya terjadi paralysis.

Scromboid

• Menurut Kim (1979), species lainnya seperti Proteus morgagni, Klebsiella pneumoniae, Clostridium perfringens, Shigella dysenteriae, serta beberapa strain dari Escherichia coli and Aerobacter aerogenes.

• Enzim histidin dekarboksilase dapat aktif pada suhu rendah (lemari pendingin).

• Jadi seandainya bakterinya tidak aktif, maka enzimnya masih bisa aktif tentunya mengubah histidin menjadi histamin.

• Enzim tersebut dapat aktif kembali saat pencairan (es).

Ikan tongkol (Euthynnus sp.) dan tenggiri (Scomberomorus commersonii)merupakan salah satu jenis ikan yang berasal dari famili Scombridae sehinggaberpotensi menimbulkan Scombrotoxin. Hal ini dapat terjadi apabila penanganandan pengolahan ikan kurang baik sehingga terbentuk histamin akibat aktivitasbakteri pendegradasi histidin yang memilki enzim histidin dekarboksilase(Mangunwardoyo et al. 2007). Berbagai jenis bakteri yang mampu menghasilkanenzim histidin dekarboksilase (Hdc) termasuk ke dalam famili Enterobacteriaceaedan Bacillaceae (Staruszkiewicz 2002 dalam Allen 2004). Bakteri-bakteripotensial yang dapat menimbulkan histamin pada ikan scombridae yaituEscherichia, Edwardsiella, Citrobacter, Salmonella, Shigella, Klebsiella,Enterobacter, Hafnia, Serratia, Proteus, Yersinia dan Erwinia (Kanki et al. 2002dalam Allen 2004).