Upload
lamtuong
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Di Simpang Jalan
Dody & Rhe
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Di Simpang Jalan Dody & Rhe
Titi Sanaria
Penerbit PT Elex Med ia Komputi ndo
Di Simpang JalanDody & Rhe
Copyright © 2018 Titi Sanaria
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-UndangDiterbitkan pertama kali pada tahun 2018
oleh PT Elex Media KomputindoKelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta
Penulis: Titi SanariaPenyunting: Dion Rahman
Ilustrasi Isi: Ulayya NasutionDesainer Sampul: Hani W & Ira Rizvi
718030964ISBN: 978-602-04-7257-7
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, JakartaIsi di luar tanggung jawab Percetakan
BAGIAN PERTAMA
Bukan Lelaki Pilihan
“Zaman boleh saja berubah, tapi sebagian orang tetap saja dinilai dari pohon generasi
tempatnya tumbuh.”
SATU
11
“MAMA nggak memaksa.” Ucapan Mama berbanding
terbalik dengan sorot matanya yang memohon. “Mama
hanya mau kamu mempertimbangkannya. Kamu nggak
bisa mengharapkan Ray lagi, kan? Kamu sendiri yang
bilang kalau dia akan menikah.”
“Ini bukan perlombaan, Ma,” balasku. “Bukan ka-
rena Ray akan bertunangan, terus aku juga harus me-
nikah, kan?”
Aku benar-benar tidak ingin membicarakan lelaki
itu. Ingatan tentang dia hanya akan membangkitkan
kemarahanku. Ray dengan mudah melepas hubungan
kami yang sudah menginjak tahun kedua dengan alasan
ibunya ingin dia menikah dengan gadis lain—orang
yang sama-sama memiliki darah biru. Orang yang telah
dipersiapkan orangtuanya.
Demi Tuhan, sistem monarki sudah lama diting-
galkan. Zaman dimana orang-orang dilabeli dengan
kasta yang diciptakan manusia itu kini sudah jauh
di belakang. Sekarang orang seharusnya dinilai dari
pencapaiannya secara individu, bukan dari gelar yang
diwariskan leluhurnya. Jef Bezos, pendiri Amazon, sudah merencanakan mendirikan kemah di luar ang-
kasa, tetapi sebagian orang masih tertinggal di masa
lalu dan menilai seseorang dari pohon generasinya.
Menggelikan.
Aku tidak kecewa karena Ray memutuskan
hubungan kami, sebab semakin ke sini, aku melihat
dia kian jauh dari kriteria yang kuinginkan sebagai
12
pendamping hidup. Aku lebih kecewa kepada diriku
sendiri karena pernah dengan mudah jatuh cinta kepada
orang yang picik seperti Ray. Aku marah karena dia
mendahuluiku mengucap kata putus.
“Mama dan Papa sudah lama kenal keluarga Om
Trisno.” Suara Mama kembali mengelus pendengaran-
ku. “Mama dan Tante Aira bersahabat sejak sekolah,
Rhe. Kami berpisah karena setelah menikah dengan
Om Trisno, mereka pindah ke Jakarta.”
Aku kira Mama datang dari Surabaya karena rin-
du padaku. Tetapi ternyata kemunculannya membawa
misi perjodohan. Tidak ada bedanya dengan orangtua
Ray. Inilah susahnya menjadi anak tunggal di penghu-
jung usia dua puluh. Orangtuaku berkeras meyakinkan
bahwa aku akan melanjutkan garis keturunan. Pohon
generasi keluarga kami tidak boleh berhenti di namaku.
Tanggung jawab melanjutkan klan Purnomo sekarang
menjadi beban yang harus ditanggung oleh seorang
Rheana, karena tidak ada pemain cadangan yang ter-
sedia.
“Ma,” kataku dengan suara rendah, berusaha
meyakinkan, “aku nggak bisa menikah dengan sese-
orang yang nggak aku kenal.”
“Mama, kan, nggak bilang kamu harus langsung
menikah, Rhe.” Mama memamerkan senyum maut.
Jenis senyum yang akan diumbar saat dia mengingin-
kan aku melakukan sesuatu. “Kalian kenalan saja
dulu. Kalau nggak cocok, nggak mungkin dilanjutkan,
13
kan? Mama sama Tante Aira hanya membuka jalan.
Keputusannya tetap pada kalian berdua.”
“Dia belum tentu mau ketemu aku, Ma.” Aku
mencoba cara lain untuk menolak. Aku tidak akan
melakukan hal konyol seperti perjodohan yang di-
sponsori orangtua untuk menyeret seorang laki-laki ke
pelaminan. Aku tidak seputus asa itu. “Laki-laki nggak
mungkin menerima perjodohan yang diatur orangtua.”
“Kata siapa? Ray mau menikah dengan pilihan
orangtuanya juga, kan?” Mama dengan cepat menemu-
kan jawaban untuk mendebatku. Jawaban yang, sial-
nya, sangat menohok. Jleb.
Aku mendesah. Mama keterlaluan membawa-bawa
nama Ray untuk memuluskan jalannya mencarikan
calon imamku. Aku sudah pernah melihat tunangan
Ray. Dan aku tahu keputusannya memilih perempuan
itu sedikit banyak dipengaruhi oleh penampilan isik. Bukan bermaksud hendak merendahkan diri, tetapi
calon Ray memang jauh lebih cantik daripada aku.
Riasan wajahnya sempurna. Kulitnya seputih dan
selicin porselen. Bukan hanya Ray, aku rasa laki-laki
mana pun yang berniat memilih pasangan berdasarkan
penampilan, tidak akan ragu menunjuk perempuan itu
sebagai teman hidup.
“Anak Tante Aira bukan Ray, Ma. Otak yang
mereka pakai untuk berpikir itu beda.” Aku tidak bo-
leh menyerah. Apa kata R.A Kartini kalau tahu masih
ada perempuan—yang mengaku mandiri di zaman
14
kesetaraan gender didengungkan dengan maksimal—
yang bergantung kepada orangtua untuk menemukan
pasangan hidup?
“Tante Aira bilang Dody nggak keberatan ketemu
kamu, kok.” Mama seperti menutup semua pintu
keluar. Dia tampak bertekad tidak melepasku. “Ketemu
saja dulu, Rhe. Lihat kesan pertamanya seperti apa.
Mama sudah bilang ini bukan paksaan, kan?”
“Hanya perlu bertemu sekali?” Aku menegaskan.
Kedengarannya tidak terlalu sulit. Aku bisa melaku-
kannya untuk menghentikan usaha Mama mencarikan
orang yang akan kujadikan guling setelah menikah.
“Kalau kalian cocok dan ingin melanjutkan hu-
bungan seperti keinginan Mama dan Tante Aira, itu
akan lebih baik sih.”
“Hanya sekali, Ma,” putusku. Aku akan bertemu
laki-laki itu untuk memutus harapan Mama berbesan
dengan sahabatnya. “Nggak ada pertemuan lanjutan
kalau kami nggak cocok.”
“INI konyol,” omelku kepada Becca yang sedang tekun
mengiris wale. “Gue nggak seharusnya mengikuti
keinginan Mama buat ketemu Datuk Maringgi ini.”
Kami sekarang berada di Pancious, tempat aku
menyepakati pertemuan dengan Dody, anak Tante Aira.
Aku tidak bermaksud tinggal dan ngobrol lama de-
ngan laki-laki itu, jadi aku mengajak Becca, sahabatku,
menemani. Kami bisa belanja setelahnya.
15
“Kalau ibunya sepantaran dengan nyokap lo, se-
harusnya umur kalian nggak beda jauh, Rhe. Datuk
Maringgi, kan, udah aki-aki. Satu lagi bedanya, Datuk
Maringgi melamar Siti Nurbaya karena dia suka, bukan
karena dipaksa. Dia yang memaksa diri buat memiliki
perempuan malang itu.” Becca meringis sambil meng-
geleng-geleng. “Ya Tuhan, gue merasa jadi perempuan
zaman old banget sampai ngobrolin Siti Nurbaya.”
Becca tidak menangkap maksudku dengan jelas.
“Laki-laki seperti apa yang mau saja dijodohkan sama
orangtuanya?” Aku terus mengomel. “Kalau dia nggak
bisa mencari jodoh sendiri, gue meragukan kapasitas
dia sebagai laki-laki. Kemungkinannya hanya dua, dia
nggak punya otak, atau jelek banget.”
“Dia beneran nggak punya foto proil di WA?” tanya Becca. Dia menghentikan gerakannya menyuap.
Kekesalanku tidak memengaruhi nafsu makannya. Pi-
ring wale-ku sudah berpindah ke depannya.
Beberapa hari lalu Dody meneleponku. Katanya
dia mendapatkan nomorku dari ibunya. Dia kemu-
dian mengatakan aku bisa mengirim pesan ke nomor
itu melalui aplikasi WA. Pertemuan ini kami sepakati setelah beberapa kali bertukar pesan teks. Suaranya
lumayan enak didengar melalui telepon. Namun, suara
bisa saja menipu. Tidak bisa dijadikan cerminan un-
tuk menilai kondisi isiknya. Tidak semua penyiar ra-
dio yang terdengar membius saat membawakan siaran
memiliki tampang seindah suaranya.
16
“Dia pakai foto gunung,” jawabku sambil mencebik.
“Itu pertanda, kan?”
“Bahwa dia mencintai alam?” Becca balas menge-
dipkan sebelah mata.
Aku berdecak. Bisa-bisanya dia bercanda di saat
seperti ini. “Bahwa dia merasa wajahnya nggak cukup
layak buat dipajang sebagai foto proil?”Becca menunjukku dengan garpu di tangannya.
“Lo cantik, tapi memasang foto kucing yang lo comot
sembarangan di internet,” katanya dengan enteng.
“Seseorang nggak bisa dinilai dari foto proil yang di-pasangnya, Rhe. Lagian, sejak kapan lo peduli sama
penampilan isik seseorang?”Aku mendesah pasrah. “Sejak nyokap gue berpikir
kalau gue akan menopause di umur dua puluh delapan,
sehingga dia buru-buru mencari pendonor sperma buat
gue seret ke depan penghulu.”
Becca tertawa. Dia terlihat menikmati nasib buruk-
ku. “Jangan berlebihan. Nyokap lo nggak maksa, kan?
Kalau ternyata si Dody-Dody ini nggak punya otak,
botak, jerawatan, baunya belum kenal sabun, gigi tong-
gosnya belum tersentuh pasta gigi selama beberapa
tahun, lo hanya perlu bilang “halo” dan kita langsung
kabur. Nggak repot. Berhentilah ngomel, karena bisa
bikin lo cepat keriput. Krim anti aging yang bagus nggak
murah.”
Aku melirik pergelangan tangan. Ini sudah sampai
waktu yang kami sepakati untuk bertemu. “Kayaknya
17
dia bakal telat. Gue benci orang yang ngaret.” Tepat saat itu, ponselku berdering. Nama Dody muncul di layar.
“Itu dia telepon.” Becca menunjuk ponselku yang tergeletak di atas meja. “Dia nggak ngaret. Daftar kekurangan itu bisa lo coret. Ya ampun!” Dia berseru sambil mengawasi pintu masuk yang memang berada di hadapannya. “Jangan bilang kalau orang yang baru masuk itu beneran si Dody. Kalau iya, gue nggak keberatan ganti nama jadi Rheana Purnomo sekarang. Gue harus ngambil nomor antrean buat nempel lo, Rhe. Kali ini, gue sama sekali nggak masalah dapet muntahan lo. Ikhlas lahir batin gue.”
“Halo?” Aku mengangkat ponsel dan menoleh ke pintu masuk, mengikuti arah mata Becca. Seseorang yang baru masuk itu juga melihat ke arahku. Dia mungkin mencari seseorang yang sedang menerima telepon di antara pengunjung yang tidak terlalu ramai.
Dia tidak botak, dekil, ataupun tonggos. Dia terlihat seperti orang yang bersahabat dengan sabun mandi dan pasta gigi.
“Kamu Rheana?” Aku mendengar dia bertanya melalui ponsel, tetapi matanya melihat persis ke arahku.
“Ya, saya Rhe.”Jadi dia benar si Dody-Dody itu. Aku tidak lan-
tas bersorak. Pengalamanku dengan Ray mengajarkan bahwa tampang keren tidak menjamin kepribadian-nya juga mulus. Bahkan orang harus mendarat di per-mukaan bulan untuk tahu bahwa benda yang tampak
18
sempurna saat dipandang dari bumi itu ternyata terlihat menyedihkan.
Ini hanya satu kali pertemuan. Pertama dan ter-akhir. Setelah itu, selamat tinggal untuk anak Tante Aira. Tidak akan sulit. Sangat mudah, malah.
Becca melambai kepada pelayan, meminta mem-bereskan piring waffle dan gelas minuman kami. “Gue pergi dulu.” Dia mencangklong tasnya. “Telepon gue kalau urusan lo udah kelar.”
Sebenarnya aku enggan melepasnya. Aku lebih percaya diri menghadapi Dody kalau Becca berada di sisiku. Namun, ini memang urusan yang harus aku se-lesaikan sendiri. Aku bukan pengecut. “Jangan pergi terlalu jauh. Urusan gue nggak makan waktu lama buat diberesin.”
Becca menatapku dengan sorot mencela, lalu menarik napas panjang. “Lo jangan terlalu galak sama orang seganteng itu.” Dia lantas berbalik pergi.
Laki-laki itu mengulurkan tangan begitu sampai di mejaku. “Dody.” Dia menyebut namanya, seolah aku belum tahu.
“Rhe.” Aku menyambut tangannya sebelum bu-ru-buru melepaskan genggaman. Persoalan ini hanya butuh beberapa menit untuk diselesaikan, tidak perlu basa-basi berlebihan.
Dody duduk di depanku, terlihat tenang, seolah ini bukan pertemuan dengan orang asing. Dia kemudian melambai kepada pelayan dan meminta buku menu.