Upload
iip-sanes-saepudin
View
52
Download
22
Embed Size (px)
DESCRIPTION
CHRONIC KIDNEY DISEASE
Citation preview
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Anatomi Fisiologi Sistem Urinaria
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh
tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dlam air dan
dikeluarkan berupa urin (air kemih).
Ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra membentuk sistem urinarius.
Fungsi utama ginjal adalah mengatur cairan serta elektrolit dan komposisi
asam – basa cairan tubuh, mengeluarkan produk akhir metabolik dari dalam
darah dan mengatur tekanan darah. Urine yang terbentuk sebagai hasil dari
proses ini diangkut dari ginjal melalui ureter ke dalam kandung kemih tempat
urine tersebut disimpan untuk sementara waktu. Pada saat urinasi, kandung
kemih berkontraksi dan urin akan diekskresikan dari tubuh lewat uretra.
Gambar 2.1
Sistem urinarius
6
Sumber: www.google.com
1. Ginjal
Sistem urinaria (ginjal) terdiri dari organ-organ yang memproduksi
urin dan mengeluarkannya dari tubuh. Sistem ini merupakan salah satu
sistem utama untuk mempertahankan homeostasis (kekonstanan
lingkungan internal).
Ginjal merupakan organ berbentuk seperti dua kacang yang
terletak dikedua kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah
dimbandingkan ginjal kiri karena tertekan oleh hepar. Kutub atas kanan
terletak setinggi iga keduabelas. Sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak
setinggi iga kesebalas.
Gambar 2.2
Struktur Internal Ginjal
Sumber: www.google.com
7
a. Parenkim ginjal adalah jaringan ginjal yang menyelubungi struktur
sinus ginjal. Jaringan ini terbagi menjadi medulla (dalam) dan korteks
(luar).
1) Medula terdiri dari masa-masa triangular yang disebut piramida
ginjal. Ujung yang sempit dari setiap piramida, papila, masuk
dengan pas dalam kaliks minor dan ditembus mulut duktus
pengumpul urine.
2) Korteks tersusun dari tubulus dan pembuluh darah nefron yang
merupakan unit structural dan fungsional ginjal. Korteks terletak
didalam diantara piramida-piramida. Medula yang bersebelahan
untuk membentuk kolumna ginjal yang terdiri dari tubulus-tubulus
yang mengalir kedalam duktus pengumpul.
3) Velvis ginjal (kaliks mayor dan kaliks minor) adalah perluasan
ujung poksimal ureter. Ujung ini berlanjut menjadi dua sampai tiga
kaliks mayor, yaitu rongga yang mencapai glandular, bagian
penghasil urine pada ginjal. Setiap kaliks mayor bercabang
menjadi beberapa (8-18) kaliks minor.
b. Ginjal terbagi-bagi lagi menjadi lobus ginjal. Setiap lobus terdiri dari
satu piramida ginjal, kolumna yang saling berdekatan, dan jaringan
korteks yang melapisinya.
2. Ureter
Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi
mengalirkan urine dari pelvis ginjal kedalam kandung kemih. Pada orang
dewasa panjangnya kurang lebih 20 cm. dindingnya terdiri atas mukosa
yang dilapisi oleh sel-sel transisional. Otot-otot polos sirkuler dan
longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik untuk
mengeluarkan urine ke kandung kemih.
Ureter masuk kedalam kandung kemih dalam posisi miring dan
berada dalam otot kandung kemih, keadaan ini dapat mencegah terjadinya
aliran balik urine dari kandung kemih ke ureter.
8
3. Kandung Kemih
Merupakan organ berongga yang terdiri atas 3 lapisan otot
destrusor yang saling beranyaman. Disebelah dalam merupakan otot
sirkuler, ditengah merupakan otot longitudinal dan paling luar merupakan
otot sirkuler. Mukosa- mukosa pada pelvis renalis, ureter dan uretra
posterior. Kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk
suatu segi tiga yang disebut trigonum buli-buli.
Kandung kemih berfungsi menampung urine dari ureter dan
kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi
(berkemih) dalam menampung urin kandung kemih mempunyai kapasitas
maksimal, yang volumennya untuk orang dewasa ± 300-450 ml.
4. Uretra
Merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari kandung
kemih, melalui proses miksi, pada pria organ ini berfungsi juga dalam
menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan spingter uretra
eksternal yang terletak pada perbatasan uretra interior dan posterior.
5. Fungsi Utama Ginjal
a. Pengeluaran zat sisa organik
Ginjal mengekskresikan urea, asam urat, kreatinin dan produk
penguraian hemoglobin dan hormone.
b. Pengaturan Keseimbangan Asam Basa Tubuh
Ginjal berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan asam
basa. Sebagian besar proses metabolisme tubuh menghasilkan asam
seperti CO2 yang mudah menguap dan metabolisme protein
menghasilkan asam yang tidak menguap seperti asam sulfat dengan
asam fosfat. Secara normal paru-paru mengekskresikan CO2
9
sedangkan zat yang tidak mudah menguap diekskresikan oleh ginjal.
Selain itu ginjal juga mereabsorbsi bikarbonat basa yang difiltrasi
secara bebas oleh glomerulus. Ginjal membantu mengeleminasi C02
pada pasien penyakit paru dengan meningkatkan sekresi dan ekskresi
asam dan reabsorbsi basa.
c. Pengaturan Ekskresi Elektrolit
Jumlah elektrolit dan air yang harus diekskresikan lewat ginjal
bervariasi dalam jumlahnya tergantung pada jumlah asupan, air,
natrium, klorida, elektrolit lain dan produk limbah diekskresikan
sebagai urin. Pengaturan jumlah natrium yang diekskresikan
tergantung pada aldosteron yang dihasilkan dan disintesa korteks
adrenal. Peningkatan kadar aldosteron dalam darah, menyebabkan
sekresi natrium berkurang karena aldosteron meningkatkan reabsorbsi
natrium dalam ginjal. Jika natrium diekskresikan dalam jumlah yang
melebihi jumlah natrium yang dikonsumsi, maka pasien akan
mengalami dehidrasi. Ekskresi kalium oleh ginjal akan meningkat
seiring dengan meningkatnya kadar aldosteron. Jika kalium
diekskresikan dalam jumlah yang kurang dari jumlah konsumsi pasien
akan menahan cairan. Retensi kalium merupakan akibat yang paling
buruk dari gagal ginjal.
d. Pengaturan Produksi Sel Darah Merah
Sebagai salah satu organ endokrin, ginjal membentuk dan melepaskan
eritropoitin. Eritropoitin adalah salah suatu hormon yang merangsang
sumsum tulang agar meningkatkan pembentukan eritrosit. Sel-sel
diginjal yang membentuk dan melepaskan eritropoitin berespons
terhadap hipoksia ginjal. Orang yang menderita penyakit ginjal sering
memperlihatkan anemia kronik
e. Regulasi Tekanan Darah
Hormon renin yang disekresikan oleh sel-sel jungstaglomerullar saat
terjadi penurunan tekanan darah. Renin akan mempengaruhi pelepasan
angiotensin yang dihasilkan di hati dan diaktifkan dalam paru.
10
Angiotensin I kemudian diubah menjadi Angiotensin II yaitu senyawa
vasokontriktor kuat. Vasokontriksi menyebabkan peningkatan tekanan
darah. Aldosteron disekresikan oleh korteks adrenal sebagai reaksi
terhadap stimulasi kelenjar hipofisis dan pelepasan ACTH sebagai
reaksi terhadap perfusi yang buruk atau peningkatan osmolaritas
serum.
Bagan 2.1
Mekanisme pengaturan tekanan darah oleh ginjal
Tekanan darah menurun
Ginjal Renin
Hati Angiotensin I
Kelenjar hipofisis Angiotensin II (vasokonstriktor kuat)
ACTH Aldosteron (dilepas oleh kelenjar adrenal)
Kelenjar adrenal Retensi air dan natrium
Volume cairan ekstrasel meningkat
Sumber: Brunner &Suddarth
f. Pengaturan Ekskresi Air
Akibat asupan air atau cairan yang banyak, urin yang encer harus
diekskresikan dalam jumlah besar, sedangkan jika asupan cairan
sedikit urin yang diekskresikan lebih pekat. Pengaturan ekskresi air
dan pemekatan urine dilakukan didalam tubulus dengan reabsorbsi
elektrolit. Jumlah air yang reabsorbsi dikendalikan oleh hormon anti
Meningkatkan tekanan darah
11
deuritik (CADH atau Vasopresin). Dengan asupan air yang berlebihan,
sekresi ADH oleh kelenjar hipofisis akan ditekan sehingga sedikit air
yang direabsorbsi oleh tubulus. Keadaan ini menyebabkan volume urin
meningkat ( Diuresis ).
g. Dihidroksi vitamin D
Sebagai organ endokrin ginjal mengeluarkan hormon penting untuk
menetralisasi tulang. Ginjal bekerja sama dengan hati menghasilkan
bentuk aktif vitamin D. Vitamin D penting untuk pemeliharaan kadar
kalsium plasma yang diperlukan untuk membentuk tulang. Bentuk
aktif vitamin D ini bekerja sebagai hormon beredar dalam darah dan
merangsang penyerapan kalsium, fosfat di usus halus dan tubulus
ginjal. Vitamin D juga merangsang resorbsi tulang. Resorbsi tulang
menyebabkan pelepasan kalsium sehingga kalsium plasma meningkat.
6. Suplai Darah Ginjal
Gambar 2.3
Suplai darah ginjal
Sumber: www.google.com
12
a. Arteri renalis adalah cabang orta abdominalis yang mensuplai masing-
masing ginjal dan masuk ke hillus melalui percabangan anterior dan
posterior.
b. Arteri-arteri interlobaris merupakan cabang anterior dan posterior
arteri renalis yang mengalir diantara piramida-piramida ginjal.
c. Arteri Arkuata berasal dari arteri interlobaris pada area pertemuan
korteks dan medulla.
d. Arteri interlobaris merupakan percabangan arteri arkuata di sudut
kanan dan melewati korteks.
e. Arteriol aferen berasal dari arteri interlobularis. Satu arteriol aferen
membentuk sekitar 50 kapilar yang membentuk glomerulus.
f. Arteriol eferen meninggalkan setiap glomerulus dan membentuk
jaringan kapilar lain. Kapilar peritubular mengelilingi tubulus
proksimal dan distal untuk memberi nutrisi pada tubulus.
g. Kapilar peritubular mengalir ke dalam vena korteks yang kemudian
menyatu dan membentuk vena interlobularis.
h. Vena arkuata menerima darah dari vena interlobularis. Vena akuarta
bermuara ke dalam vena interlobularis yang bergabung untuk
bermuara ke dalam vena renalis. Vena ini meninggalkan ginjal untuk
bersatu dengan vena kava inferior
7. Struktur Nefron
Gambar 2.4
Gambar sebuah nefron yang memperlihatkan struktur glomerulus dan
tubulus
13
Sumber: www.wikipedia.com
Satu ginjal mengandung 1 sampai 4 juta nefron yang merupakan unit
pembentuk urine. Setiap nefron memiliki satu komponen vascular
(kapilar) dan satu komponen tubular.
a. Glomerulus adalah gulungan kapiler yang dikelilingi kapsul epitel
berdinding ganda disebut kapsul bowman. Glomerulus dan kapsul
bowman bersama-sama membentuk sebuah korpuskel ginjal.
b. Tubulus kontortus proksimal, panjangnya mencapai 15 mm dan sangat
berliku. Pada permukaan yang menghadap lumen tubulus ini terdapat
sel-sel epitelia kuboid yang kaya akan mikrovilus (brus border) dan
memperluas area permukaan lumen.
c. Ansa henle. Tubulus kontortus proksimal mengarah ke tungkai
descenden ansa henle yang masuk ke dalam medulla membentuk
lengkungan jepit yang tajam (lekukan), dan membalik keatas
membentuk tungkai ascenden ansa henle.
d. Tubulus kontortus distal juga sangat berliku, panjangnya 5 mm dan
membentuk segmen terakhir nefron.
1) Di sepanjang jalurnya, tubulus ini bersentuhan dengan dinding
ateriol aferen. Bagian tubulus yang bersentuhan dengan arteriol
14
mengandung sel-sel termodifikasi yang disebut macula densa.
Maccula densa berfungsi sebagai suatu kemoreseptor dan
distimulasi oleh penurunan ion natrium.
2) Dinding arteriol aferen yang bersebelahan dengan macula densa
mengandung sel-sel otot polos termodifiksi yang disebut sel
jukstaglomerular. Sel ini distimulasi melalui penurunan tekanan
darah untuk memproduksi rennin.
3) Maccula densa sel jupstaglomerular, dan sel mesangium saling
bekerja sama untuk membentuk apparatus jukstaglomerular yang
penting dalam pengaturan tekanan darah.
e. Tubulus dan duktus mengumpul. Karena setiap tubulus pengumpul
berdesenden di korteks, maka tubulus tersebut akan mengalir ke
sejumlah tubulus kontortus distal. Tubulus pengumpul membentuk
duktus pengumpul yang besar. Duktus pengumpul membentuk tuba
yang lebih besar yang mengalirkan urine ke dalam kaliks minor. Dari
pelvis ginjal, urine dialirkan ke ureter yang mengarah ke kandung
kemih.
8. Proses Pembentukan Urine
a. Filtrasi Glomerulus
Filtrasi Glomerulus adalah proses dimana sekitar 20% plasma
yang masuk kapiler glomerulus menembus kapiler untuk masuk ke
ruang interstitium kemudian ke kapsula bowman. Pada ginjal yang
sehat, sel darah merah atau protein plasma hampir tidak ada yang
mengalami filtrasi. Kapiler Glomerulus sangat permeabel terhadap air
dan zat-zat terlarut yang berukuran kecil. Cairan kemudian berdifusi ke
dalam kapsula bowman dan berjalan disepanjang nefron. Laju filtrasi
glomerulus (GFR) adalah volume filtrasi yang masuk ke dalam
kapsula bowman per satuan waktu. GFR tergantung pada empat gaya
yang menentukan filtrasi dan reabsorbsi yaitu tekanan kapiler ,tekana
cairan interstitium, tekanan osmotik koloid plasma dan tekanan
15
osmotik koloid cairan interstitium. GFR juga tergantung pada berapa
luas permukaan glomerulus yang tersedia untuk filtrasi. Penurunan
luas permukaan glomerulus akan menurunkan GFR. Nilai rata-rata
GFR seorang pria dewasa adalah 180 lt per hari (125 ml permenit).
Volume plasma normal adalah sekitar 3 liter (dari volume darah total
sebesar 5 liter). Dari 180 liter cairan yang difiltrasi ke dalam kapsula
bowman, hanya sekitar 1,5 liter perhari diekskresikan dari tubuh
sebagian urin.
b. Reabsorbsi Tubulus
Reabsorbsi mengacu pada pergerakan aktif dan pasif suatu
bahan yang disaring di glomerulus kembali ke kapiler peritubulus.
Reabsorbsi dapat total (misal glukosa ) atau parsial (misal Natrium,
urea, klorida dan air).
1) Reabsorbsi glukosa
Glukosa secara bebas disaring glomerulus. Dalam keadaan normal,
semua glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh transpor aktif
terutama ditubulus proksimalis.
2) Reabsorbsi Natrium
Reabsorbsi natrium berlangsung diseluruh tubulus melalui
kombinasi difusi sederhana dan transportasi aktif. Sekitar 65%
reabsorbsi natrium-natrium yang difiltrasi tetap didalam tubulus
pada saat filtrasi mencapai tubulus konvulsi distalis. Konsentrasi
akhir natriunm di urin biasanya kurang dari 1 % jumlah total yang
difiltrasi di glomerulus.
3) Reabsorbsi Klorida
Reabsorbsi klorida dapat bersifat aktif dan pasif dan hampir selalu
bersamaan dengan transpor natrium. Proses ini dipengaruhi oleh
gradien listrik di tubulus. Sebagian reabsorbsi klorida (65 %)
terjadi ditubulus proksimal, 25% dilengkung henie dan 10%
jumlah total yang difiltrasi dan sistem duktus pengumpul.
16
4) Reabsorbsi Kalium
Sebagian besar kalium yang difiltrasi akan direabsorbsi 50%
ditubulus proksimal, 40% di pars asenden dan 10% dibagian akhir
nefron duktus pengumpul di medulla. Sebagian besar reabsorbsi
kalium adalah difusi pasif.
5) Reabsorbsi Asam Amino
Asam amino yang difiltrasi akan secara aktif direabsorbsi ditubulus
proksimalis. Semua reabsorbsi asam amino diperantarai oleh
pembawa. Transpor maksimum untuk pembawa berada jauh diatas
jumlah asam amino yang difltrasi secara normal.
6) Reabsorbsi Protein Plasma
Protein yang difiltrasi akan secara aktif direabsorbsi di tubulus
proksimal. Sebagian kecil protein yang difiltrasi di glomerulus
tidak direabsorbsi . Protein-protein tersebut diuraikan oleh sel-sel
tubulus dan diekskresikan di urine. Contoh-contoh protein tersebut
adalah hormon protein misalnya GH dan Luteinizing Hormon.
7) Reabsorbsi Bikarbonat
Reabsorbsi bikarbonat adalah suatu proses aktif yang terjadi
terutama ditubulus proksimal, reabsorbsi berlangsung ketika
sebuah molekul air terurai ditubulus proksimal menjadi ion H+ dan
H- (hidroksil) ion H+ secara aktif disekresikan dan bergabung
dengan bikarbonat HCO3 menghasilkan H2CO3 yang dengan
bantuan enzim karbonat anhidrase terurai menjadi CO2 dan H20.
Melalui proses ini bikarbonat yang telah difiltrasi disimpan dan
tidak diekskresikan melalui urin. Reaksi H+ + HCO3- bersifat
reversibel.
8) Reabsorbsi Urea
Urea dibentuk dihati sebagai produk akhir metabolisme protein.
Urea defiltrasi secara bebas diglomerulus, Karena sangat
permeabel menembus sebagian besar nefron maka urea berdifusi
kembali ke kapiler peritubulus. Diujung tubulus proksimalis,
17
sekitar 50% urea yang difiltrasi telah direabsorbsi. Dari ujung
tubulus proksimalis ke duktus pengumpul di medulla, urea kembali
menjadi permeabel. Sewaktu filtrasi meninggalkan ginjal, sekitar
40% urea yang difiltrasi disekresikan.
c. Sekresi Tubular
Mekanisme sekresi tubular adalah proses aktif yang memindahkan zat
keluar dari darah dalam kapiler peritubular melewati sel-sel tubular
menuju cairan tubular untuk dikeluarkan dalam urine.
Tabel: 2.1
Filtrasi, Reabsorpsi dan ekskresi bahan tertentu dari plasma yang normal
Disaring 24 jamDireabsorpsi
24 jam
Diekskresikan
24 jam
Natrium 540,0 g 537,0 g 3,3 g
Klorida 630,o g 625,0 g 5,3 g
Bikarbonat 300,0 g 300,0 g 0,3 g
Kalium 28,0 g 24,0 g 3,9 g
Glukosa 140,0 g 140,0 g 0,0 g
Ureum 53,0 g 28,0 g 25,0 g
Kreatinin 1,4 g 0,0 g 1,4 g
Asam urat 85 g 7,7 g 0,8 g
9. Volume urine
Volume urine yang dihasilkan setiap hari bervariasi dari 600 ml
sampai 2500 ml lebih.
a. Jika volume urine tinggi, zat buangan diekskresi dalam larutan encer,
hipotonik (hipoosmotik) terhadap plasma. Berat jenis urine mendekati
berat jenis air (sekitar 1,003)
b. Jika tubuh perlu menahan air, maka urine yang dihasilkan kental
sehingga volume urine yang sedikit tetap mengandung jumlah zat
18
buangan yang sama yang harus dikeluarkan. Konsentrasi zat terlarut
lebih besar, urine hipertonik, (hiperosmotik) terhadap plasma, dan
berat jenis urine lebih tinggi (di atas 1,003).
10. Pengaturan volume urine.
Produksi urine kental yang sedikit atau urine encer yang lebih
banyak diatur melalui mekanisme hormone dan mekanisme
pengkonsentrasi urine ginjal.
a. Mekanisme hormonal
1) Antidiuretic hormone (ADH)
Meningkatkan permeabilitas tubulus kontortus distal dan tubulus
pengumpul terhadap air sehingga mengakibatkan terjadinya
reabsorpsi dan volume urine yang sedikit.
Sisi sintesis dan sekresi. ADH disintesis oleh badan sel saraf dalam
nucleus supraoptik hipotalamus dan disimpan dalam serabut saraf
hipofisis posterior. ADH kemudian dilepas sesuai impuls yang
sampai pada serabut saraf.
Stimulus pada sekresi ADH:
a) Osmotik
b) Neuron hipotalamus adalah osmoreseptor dan sensitive
terhadap perubahan konsentrasi ion natrium,serta zat terlarut
lain dalam cairan intraseluler yang menyelubunginya.
c) Peningkatan osmolaritas plasma, seperti yang terjadi saat
dehidrasi, menstimulasi osmoreseptor untuk mengirim impuls
ke kelenjar hipofisis posterior agar melepas ADH. Air
diabsorpsi kembali dari tubulus ginjal sehingga dihasilkan
urine kental dengan volume sedikit.
d) Penurunan osmolaritas plasma mengakibatkan berkurangnya
ekskresi ADH, berkurangnya reabsorpsi air dari ginjal, dan
produksi urine encer yang banyak.
e) Volume dan tekanan darah
19
Baroreseptor dalam pembuluh darah (di vena, atrium kanan dan
kiri, pembuluh pulmonari, sinus carotid, dan lengkung aorta)
memantau volume darah dan tekanan darah. Penurunan volume
dan tekanan darah meningkatkan sekresi ADH; peningkatan
volume dan tekanan darah menurunkan sekresi ADH.
f) Faktor lain. Nyeri, kecemasan, olah raga, analgesik narkotik
dan barbiturate meningkatkan sekresi ADH. Alcohol
menurunkan sekresi ADH.
2) Aldosteron
Adalah hormone steroid yang disekresi oleh sel-sel korteks
kelenjar adrenal. Hormon ini bekerja pada tubulus distal dan
duktus pengumpul untuk meningkatkan absorpsi aktif ion natrium
dan sekresi aktif ion kalium. Mekanisme rennin-angiotensin-
aldosteron, yang meningkatkan retensi air dan garam.
b. Sistem arus bolak-balik dalam ansa Henle dan vasa rekta
memungkinkan terjadinya reabsorpsi osmotic air dari tubulus dan
duktus pengumpul ke dalm cairan interstisial medularis yang lebih
kental di bawah pengaruh ADH. Reabsorpsi air memungkinkan tubuh
untuk menahan air sehingga urine yang diekskresi lebih kental
dibandingkan cairan tubuh normal.
B. Konsep Dasar Chronic Kidney Diseases
1. Definisi
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah) (Brunner & Suddart, 2002).
Gagal Ginjal Kronik (GGK, penyakit ginjal tahap akhir) adalah
kerusakan fungsi ginjal yang progresif, yang berakhir fatal pada uremia
(kelebihan urea dan sampah nitrogen lain di dalam darah) dan
20
komplikasinya kecuali jika dilakukan dialysis dan transplantasi ginjal
(Netina, Sandra. M, 2002).
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangaan gagal ginjal yang
progresip dan lambat, biasanya berlangsung berapa tahun. Ginjal
kehilangan kemampuan asupan diet normal. Gagal ginjal kronik terjadi
setelah berbagai macam penyakit masuk nefron ginjal (Price,Sylvia
Anderson,2004).
2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
a. Stadium 1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih). Kerusakan pada
ginjal dapat dideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium
pertama penyakit ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk
memperlambat perkembangan CKD dan mengurangi resiko penyakit
jantung dan pembuluh darah.
b. Stadium 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89). Saat
fungsi ginjal kita mulai menurun, dokter akan memperkirakan
perkembangan CKD kita dan meneruskan pengobatan untuk
mengurangi resiko masalah kesehatan lain.
c. Stadium 3
Penurunan lanjut pada GFR (30-59). Saat CKD sudah berlanjut pada
stadium ini, anemia dan masalah tulang menjadi semakin umum. Kita
sebaiknya bekerja dengan dokter untuk mencegah atau mengobati
masalah ini.
d. Stadium 4
Penurunan berat pada GFR (15-29). Teruskan pengobatan untuk
komplikasi CKD dan belajar semaksimal mungkin mengenai
pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-masing pengobatan
membutuhkan persiapan.
21
e. Stadium 5
Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15). Saat ginjal kita tidak bekerja
cukup untuk menahan kehidupan kita, kita akan membutuhkan dialisis
atau pencangkokan ginjal.
3. Etiologi
a. Infeksi saluran kemih (ISK)
ISK bagi dalam dua subkatagori yaitu ISK bagian bawah
(pielonefritis akut). Pielonefritis kronik adalah cedera ginjal yang
progresip berupa kelainan ginjal disebabkan, oleh infeksi yang
berulang dan menetap pada ginjal, yang menyebabkan kelainan
anatomi pada ginjal dan saluran kemih seperti refluks vesiko, ureter,
obstruksi, kalkuli atau kandung kemih neurogonik. Kerusakan ginjal
pada pielonefritis akut/kronik atau disebut juga nefropati refluks
diakibatkan refluks urin yang terinfeksi ke uretra dan masuk kedalam
parenkim ginjal (refluks internal). Piolonefritis kronik yang disertai
refluks vesikoureter merupakan penyebab utama gagal ginjal pada
anak-anak.
b. Nefrosklerosis Hipertensif
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat.
Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer atau penyakit ginjal
kronik merupakan pemicu hipertensi melalui mekanisme retensi Na
dan air, pengaruh vasopresor dari sistem renin-angiotensin mungkin
juga melalui defisiensi prostaglandin. Nefrosklerosis (pasang ginjal)
menunjukan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal
sebagai akibat hipertensi. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab
utama gagal ginjal kronik, terutama pada populasi yang bukan orang
kulit putih.
c. Glomerulonefritis
Glomerulonepritis merupakan penyakit peradangan ginjal
bilateral. Peradangan dimulai balam glomerulus dan bermanifestasi
22
sebagai proteinuria dan hematuria. Meski lesi terutama pada
glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami
kerusakan, mengakibatkan gagal ginjal kronik.
d. Penyakit ginjal kronik
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista-kista multiple
bilateral yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Ginjal
dapat membesar dan terisi oleh klompok-klompok kista yang
menyarupai anggur. Perjalanan penyakit progresip cepat dan
mengakibatkan kematian sebelum mencapai usia 2 tahun. Tanda dan
gejala yang sering tampak adalah rasa sakit didaerah pinggang,
hematutia, poliuria, proteinuria dan ginjal membesar teraba dari luar.
Komplikasi yang sering terjadi adalah hipertensi dan infeksi saluran
kemih. Penyakit ginjal polikistik merupakan penyebab ketiga tersering
gagal ginjal stadium akhir.
e. Gout
Gout merupakan suatu penyakit metabolic yang ditandai oleh
hiperurisemia (peningkatan kadar asam urat plasma). Lesi utama pada
gout terutama berupa endapan dan kristalisasi urat dan dalam cairan
tubuh. Pada gout kronik endapan kristal urat dalam interstisium ginjal
dapat menyebabkan nefritis interstisial, nefrosklerosis dan ginjal yang
berjalan progresip lambat.
f. Diabetes mellitus
Nefropati diabetika merupakan penyebab kematian dan
kecacatan yang umum pada penderita diabetes militus. Lesi ginjal yang
sering dijumpai adalah nefrosklerosis akibat lesi pada arteriola,
pielonefritis dan nekrosis papila ginjal dan glomerulus sklerosis. Lesi
tersebut disebabkan oleh peningkatan endapan matriks mesingeal.
Membrane basalis perifer juga lebih menebal. Mula-mula lumen
kapilet masih utuh tapi lambat laun mengalami obliterasi bersamaan
dengan berlanjutnya penyakit.
23
g. Hiperparatirodisme
Hiperparatiroidisme primer akibat hipersekresi hormone
paratiroid merupakan penyakit yang dapat menyebabkan
nefrokalasinosis dan selanjutnya dapat menyebutkan gagal ginjal.
Penyebab yang paling sering adalah adenoma kelenjar paratiroid.
h. Nefropati toksik
Ginjal rentan terhadap efek toksik, karena ginjal menerima 25
aliran darah dari curah jantung dan ginjal merupakan jalur ekskresi
obligatorik untuk kebanyakan obat. Sehingga insufiensi ginjal
mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi dalam
cairan tubulus.
4. Manifestasi Klinis
a. Sistem Gastrointestinal
1) Anoreksia, nausea dan muntah karena gangguan metabolisme
protein dalam usus, terbentuknya zat – zat toksik dari metabolisme
bakteri usus seperti (amonia metil guanidin) serta sembabnya
mukosa usus.
2) Uremik yaitu ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh
bakteri dimulut menjadi amonia. Sehingga nafas berbau amonia.
Akibat lain timbul stomatitis dan parotitis.
3) Gastritis erosif seperti ulkus peptikum dan klitis uremik.
b. Sistem Integumen
1) Kulit berwarna pucat akibat anemia
2) Gatal – gatal karena toksin uremik dan pengendapan kalsium di
pori – pori.
3) Ekimosis akibat gangguan hematologis.
4) Bekas garukan karena gatal.
24
c. Sistem Hematologi
1) Anemia
Penyebabnya yaitu berkurangnya produksi eritropoetin sehingga
terjadi pengurangan eritropoesis pada sumsum tulang belakang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana
uremik, defesiensi asam folat akibat nafsu makan yang berkurang,
perdarahan pada saluran cerna dan fibrosis pada sumsum tulang
akibat hipertiroid sekunder.
2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia
Mengakibatkan perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit
yang berkurang.
3) Gangguan fungsi leukosit
Hiperpigmentasi leukosit, pagositosis dan kemotaksis berkurang,
fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun.
d. Sistem Syaraf dan otot
1) Pegal pada tungkai bawah dan selalu menggerak – gerakkan
kakinya (Restless leg syndrome).
2) Rasa kesemutan dan sepserti terbakar terutama pada telapak kaki
(Burning feet syndrome).
3) Encefalopati metabolic seperti lemah, tidak bisa tidur, gangguan
konsentrasi, tremor dan kejang – kejang.
e. Sistem Kardiovaskuler
1) Hipertensi, akibat penimbunan cairan dari garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin – angiotensin – aldosteron.
2) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, gagal jantung akibat
penimbunan cairan dan hipertensi.
3) Gangguan irama jantung, gangguan elektrolit.
4) Edema akibat penimbunan cairan
f. Sistem Endokrin
1) Gangguan seksual yaitu pada laki – laki libido menurun dan pada
wanita gangguan menstruasi (amenore).
25
2) Gangguan toleransi glukosa.
3) Gangguan metabolisme lemak
4) Gangguan metabolisme Vitamin D.
g. Gangguan sistem lain
1) Tulang : osteodistrofi renal, osteomalasia, klasifikasi metastatik.
2) Asam basa : asidosis metabolic akibat penimbunan asam organik.
3) Elektrolit : hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia.
5. Komplikasi
a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi , asidosis metabolic,
katabolisme, masukan diet berlebih
b. Perikarditis, efusi pericardial, temponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
rennin-angiotensin-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan
kehilangan darah selama hemodialisa
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal.
26
6. Patoflow
27
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urine
1) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (oliguria) atau urine tidak
ada (anuria)
2) Warna: secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat atau urat, sedimen kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, hb, mioglobin porfirin.
3) Berat jenis: kurang dari 1,015 (menetap pada 1.010 menunjukan
kerusakan ginjal berat.
4) Osmolaritas: kurang dari 300 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular
dan rasio urin = Serum sering 1:1
5) Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
6) Natrium : lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorpsi natrium
7) Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4) secara kuat menunjukan
kerusakan glomerulus bila sel darah merah dan fragmen juga ada
b. Darah
1) BUN atau Creatinin: biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin
10 mg/dl diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
2) Hitung darah lengkap: Ht menurun pada adanya anemia, Hb biasanya
kurang dari 7-8 g/dl
3) Sel darah merah : waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin
seperti pada azotemia
4) Analisa gas darah : Ph: penurunan Ph kurang dari 7,2 terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan hydrogen dan
amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bicarbonate menurun, PCO2
menurun
5) Natrium serum : mungkin rendah bila ginjal kehabisan natrium atau
normal (menunjukan status defusi hipernatremia)
6) Kalium: peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada
tahap akhir perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5
mEq atau lebih besar.
7) Magnesium/fosfat : meningkat
8) Kalium menurun
9) Protein khususnya (albumin) : kadar serum menurun dapat menunjukan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial
c. Osmolaritas serum : lebih besar dari 285 mosm/kg sering sama dengan urin
d. KUB foto : menunjukan ukuran ginjal / ureter/ kandung kemih dan adanya
obstruksi (batu)
e. Pielogram retrograd : menunjukan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
f. Artenogram ginjal : mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler
g. Sistouretrogram berkemih : menunjukan ukuran kandung kemih reflek
kedalam ureter, retensi
h. Ultrasona ginjal : mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan
sel jaringan untuk diagnostik histologis
i. Endoskopi ginjal, nefroskopi : dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal :
keluar batu, hematuria, dan pengangkatan tumor selektif
j. EKG : mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan, elektrolit dan
asam/basa
k. Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan dapat menunjukan
deminralisasi, klasifikasi
8. Penatalaksanaan Konservatif Gagal Ginjal Kronik.
a. Memperlambat Progresi Gagal Ginjal.
1) Pengobatan hipertensi target penurunan tekanan darah yang dianjurkan
lebih dari 140/90 mmHg.
2) Pembatasan asupan protein bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus.
3) Restriksi fosfor untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder.
4) Mengurangi proteinurea.
5) Mengendalikan hiperlipidemia.
b. Mencegah Kerusakan Ginjal Lebih Lanjut.
1) Pencegahan kekurangan cairan, dehidrasi dan kehilangan elektrolit dapat
menyebabkan gagal ginjal. Kelainan yang dapat ditemukan adalah
penurunan tugor kulit, kulit dan mukosa kering, gangguan sirkulasi
ortostatik, penurunan vena jugularis dan penurunan tekanan vena sentral
merupakan tanda-tanda yang membantu menegakkan diagnosis.
2) Sepsis dan ISK akan memperburuk faal ginjal.
3) Hipertensi yang tidak terkendali. Kenaikan tekanan yang lanjut akan
memperburuk fungsi ginjal. Tetapi penurunan tekanan darah yang
berlebihan juga akan memperburuk fungsi ginjal. Obat-obatan yang dapat
diberikan adalah furosemial, obat penyekat beta, vasodilator, antagonis
kalsium dan penghambat alfa. Dosis obat disesuaikan dengan GFR
karena kemungkinan adanya akumulasi obat.
4) Obat-obat nefrotoksik seperti amino-glikosid, OAINS (obat anti inflamasi
nonsteroid), kontras radiology harus dihindari.
5) Kehamilan dapat memperburuk fungsi ginjal, memperburuk hipertensi
dan meningkatkan kemungkinan terjadinya eklamsia. Resiko kehamilan
meningkat apaabila kreatinin serum > 1.5 mg/dl dan apaabila kadar
kreatinin serum > 3 mg/dl dianjurkan tidak hamil.
c. Pengelolaan Uremia dan Komplikasinya.
1) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pasien dengan gagal ginjal
lanjut mengalami peningkatan jumlah cairan ekstraseluler karena retensi
cairan dan natrium. Peningkatan cairan intravaskuler menyebabkan
hipertensi, sementara ekspansi cairan ke ruang interstisial menyebabkan
edema. Hiponatremi sering juga ditemukan pada kasus GGK lanjut akibat
ekskresi air yang menurun oleh ginjal. Penatalaksanaan meliputi retraksi
asupan cairan dan natrium serta pemberian terapi diuretic. Jenis diuretic
yang menjadi pilihan adlah furosemid karena efek furosemid tergantung
pada sekresi aktif ditubulus proksimal. Asupan cairan dibatasi <
1000ml/hari pada keadaan berat < 500 ml/hari. Natrium diberikan < 2-4
gram/hari.
2) Asidosis metabolic. Manifestasi timbul apabila GFR < 25 ml/menit. Diet
rendah protein 0,6 gram/hari membantu mengurangi kejadian asidosis.
Bila bikarbonat serum turun sampai < 15-17 mEq/L harus diberikan
substitusi alkali (tablet natrium bikarbonat).
3) Hiperkalemia terjadi akibat ekskresi kalium melalui urin berkurang,
keadaan metabolic, makanan (pisang) dapat meningkatkan kadar kalium.
Hiperkalemia dapat menimbulkan kegawatan jantung dan kematian
mendadak akibat aritmia kordis yang fatal. Untuk mengatasi kegawatan
akibat hiperkalemi dapat diberikan obat-obat berikut:
a) Kalsium glukosa 10%, 10 ml darah waktu 10 menit IV.
b) Bikarbonas natrikus 50-150 mEq IV dalam waktu 15-30 menit.
c) Insulin dan glukosa 6 U insulin dan glukosa 50 g dalam waktu 1 jam.
d) Kayexalate (resin pengikat kalsium) 25-50 gram oral atau rectal.
4) Diet rendah protein. Diet rendah protein akan mengurangi akumulasi
hasil akhir metabolisme protein yaitu ureum dan toksik uremik. Selain itu
diet tinggi protein akan mempercepat timbulnya glomerulosklerosis
akibat meningkatnya beban kerja glomerulus (hiperfiltrasi glomerulus)
dan fibrosis interstisial. Kalori diberikan 35 kal/kg BB, protein 0,6
gram/kg BB/hari.
5) Anemia, penyebab utama anemia pada GGK adalah defisiensi
eritropoetin. Penyebab lainnya adalah perdarahan gastrointestinal, umur
eritrosit yang pendek dan adanya hambatan eritropoiesis, malnutrisi dan
defisiensi besi. Tranfusi darah yang baik apabila hemoglobin kurang dari
8gram% dengan pemberian eritropoetin.
d. Kalsium dan Fosfor.
Untuk mencegah terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, kadar
fosfor serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfor (daging dan susu).
Apabila GFR < 30 ml/menit,diperlukan pemberian pengikat fosfor seperti
kalsium karbonat atau kalsium asetat serta pemberian vitamin D yang bekerja
meningkatkan absorbsi kalsium di usus. Vitamin D juga mensupresi sekresi
hormone paratiroid.
e. Hiperuresemia. Alopurinol sebaiknya diberikan 100-300 mg apabila kadar
asam urat >10mg/dl atau apabila adaa riwayat penyakit gout.
Penatalaksanaan konservatif dihentikan apabila pasien sudah memerlukan
dialysis tetap atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10 mL/
menit dan ditemukan keadaan berikut :
a. Asidosis metabolic yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
b. Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
c. Overload cairan (edema paru)
d. Ensefalopati uremik, penurunan kesadaran
e. Efusi pericardial
f. Sindrom uremia: mual, muntah, anoreksia dan neuropati yang memburuk
Asuhan Keperawatan Cronik Kidney Desease
1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan melalui
wawancara, observasi langsung dan melihat catatan medis, adapun yang perlu
dilakukan pada klien dengan Gagal Ginjal Kronik adalah sebagai berikut :
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, alamat,
tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
b. Riwayat Keperawatan
1) Riwayat kesehatan sekarang, meliputi perjalanan penyakitnya, awal
gejala yang dirasakan klien, keluhan timbul secara mendadak atau
bertahap, faktor pencetus, upaya yang dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut.
2) Riwayat kesehatan masa lalu, meliputi penyakit yang berhubungan
dengan penyakit sekarang, riwayat kecelakaan, riwayat dirawat dirumah
sakit dan riwayat penggunaan obat.
3) Riwayat kesehatan keluarga, meliputi adakah keluarga yang mempunyai
penyakit keturunan Hipertensi, Gagal Ginjal dan lain-lain.
4) Riwayat psiko sosial meliputi, adakah orang terdekat dengan klien,
interaksi dalam keluarga, mekanisme koping yang digunakan klien untuk
mengatasi masalah dan bagaimana motivasi kesembuhan dan cara klien
menerima keadaannya, masalah yang mempengaruhi klien, persepsi klien
terhadap penyakitnya dan sistem nilai kepercayaan yang bertentangan
dengan kesehatan.
5) Kondisi lingkungan rumah, lingkungan rumah merupakan faktor utama
yang mempengaruhi kesehatan klien.
6) Kebiasaan sehari-hari sebelum sakit dan di rumah sakit, meliputi pola
nutrisi, pola eliminasi, pola personal higiene, pola istirahat tidur, pola
aktivitas dan latihan serta pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan.
c. Pengkajian fisik yang dapat dilakukan mulai dari ujung rambut sampai ujung
kaki dengan menggunakan teknik yaitu : inspeksi, palpasi, auskultasi dan
perkusi, adapun hasil pengkajian dari ujung rambut sampai ujung kaki
dengan teknik tersebut pada klien Gagal Ginjal Kronik adalah sebagai berikut
:
1) Aktivitas atau istirahat : gejalanya kelelahan ekstrem, kelemahan,
malaise, gangguan tidur (insomnia /gelisah atau somnolen). Tandanya
kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
2) Sirkulasi : gejalanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi; nyeri
dada (angina). Tandanya hipertensi; DJV, nadi kuat, edema jaringan
umum dan pitting pada kaki, telapak tangan. Disritmia jantung. Nadi
lemah halus, hipotensiortostatik menunjukkan hipovolemia, yang jarang
pada penyakit tahap akhir. Friction rub pericardial (respons terhadap
akumulasi sisa). Pucat; kulit coklat kehijauan, kuning. Kecenderungan
perdarahan.
3) Intergeritas Ego : gejalanya faktor stress, contoh financial, hubungan dan
sebagainya. Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tandanya menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.
4) Eliminasi : gejalanya penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria (gagal
tahap lanjut). Abdomen kembung, diare atau konstipasi. Tandanya
perubahan warna urin, contoh kuning pekat, merah, coklat, berawan.
Oliguria, dapat menjadi anuria.
5) Makanan atau cairan : gejalanya peningkatan berat badan cepat (edema),
penurunan berat badan (malnutrisi). Anoreksia, nyeri ulu hati,
mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut (pernafasan ammonia).
Penggunaan diuretic. Tandanya distensi abdomen/asites, pembesaran hati
(tahap akhir). Perubahan turgor kulit/kelembaban. Edema (umum,
tergantung). Ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah. Penurunan otot,
penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga.
6) Neurosensori : gejalanya adalah sakit kepala, penglihatan kabur. Kram
otot/kejang; sindrom ‘kaki gelisah’; kebas rasa terbakar pada telapak
kaki. Kebas/kesemutan dan kelemahan, khususnya ekstremitas bawah
(neuropati perifer). Tandanya gangguan status mental, contoh penurunan
lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori,
kacau, penurunan tingkat kesadaran, stupor, koma. Kejang, fasikulasi
otot, aktivasi kejang. Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
7) Nyeri atau kenyamanan : gejalanya nyeri panggul, sakit kepala; kram
otot/nyeri kaki (memburuk saat malam hari). Tandanya perilaku berhati
– hati/distraksi, gelisah.
8) Pernapasan : gejalanya nafas pendek; dispnea nocturnal paroksimal;
batuk dengan/tanpa sputum kental dan banyak. Tandanya takipnea,
dispnea, penigkatan frekuensi/kedalaman (pernafasan kussmaul). Batuk
produktif dengan sputum merah muda – encer (edema paru).
9) Keamanan : gejalanya kulit gatal. Ada/berulangnya infeksi. Tandanya
pruritus. Demam (sepsis, dehidrasi); normotermia dapat secara actual
terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami suhu tubuh lebih
rendah dari normal (efek GGK/depresi respons imun). Petekie, area
ekimosis pada kulit.fraktur tulang; deposit fosfat kalsium (klasifikasi
metatastik) pada kulit, jaringan lunak, sendi; keterbatasan gerak sendi.
10) Seksualitas : gejalanya penurunan libido; amenorea; infertilitas.
11) Interaksi sosial : gejalanya kesulitan menetukan kondisi, contoh tak
mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga.
12) Penyuluhan/pembelajaran : gejalanya riwayat DM keluarga (risiko tinggi
untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefritis herediter, kalkulus
urinaria, malignansi. Riwayat terpajan pada toksin, contoh obat, racun
lingkungan. Penggunan antibiotic nefrotoksik saat ini/berulang.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine, diet berlebihan dan
retensi cairan serta natrium
b. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan reabsorpsi bikarbonat dan gangguan
sekresi asam organik
c. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual dan
muntah
d. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anoreksia
e. Gangguan harga diri b.d perubahan peran, perubahan pada citra diri
f. Kurang pengetahuan tentang kondisi b.d keterbatasan informasi
g. Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d peningkatan tekanan darah
3. Intervensi
a. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine diet berlebihan dan
retensi cairan serta natrium.
Tujuan dan kriteria hasil :
- Menunjukkan perubahan –perubahan berat badan yang lambat
- Menunjukkan turgor kulit normal tanpa edema
- TTV dalam batas yang dapat diterima sesuai usia
TD =
100-13060-90
mmHg
S : 35,9-37,40C
N : 60-80x/mnt
R :12 -24x/mnt
Intervensi
Mandiri
1) Kaji status cairan
- Timbang berat badan harian
- Keseimbangan intake dan output harian
- Turgor kulit dan adanya edema
- Distensi vena jugularis
- Tekanan darah, denyut dan irama jantung
R/ : Peningkatan berat badan harus tidak lebih dari 0,5 kg/ hari ,
hipertensi dan takikardi dapat diakibatkan overhidrasi dan atau
gagal jantung
2) Batasi intake cairan kurang lebih 1 lt/ hari
R/ : Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal, haluaran
urin dan respon terhadap terapi
3) Identifikasi sumber potensial cairan
R/ : Sumber cairan yang tidak diketahui dapat memperberat gagal
ginjal
4) Jelaskan pada klien / keluarga rasional pembatasan cairan
R/ : Pemahaman pasien / keluarga meningkatkan kerjasama dan
kepatuhan terapi
5) Tingkatkan dan dorong oral hygiene
R/ : Mengurangi kekeringan membran mukosa mulut
6) Perhatikan adanya status perubahan mental
R/ : Hipervolemia berpotensi untuk edema serebral
Kolaborasi :
7) Kolaborasi untuk pengawasan kadar natrium serum
R/ : Kadar natrium yang tinggi dihubungkan dengan kelebihan cairan,
edema, dan komplikasi jantung
8) Kolaborasikan dengan dokter mengenai pemberian laksik sesuai indikasi
R/ : Membantu menyeimbangkan cairan melalui pengeluaran urine.
b. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan reabsorpsi bikarbonat dan gangguan
sekresi asam organik
Tujuan dan kriteria hasil :
Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan GDA
dalam rentang normal
- pH : 7,37-7,45
- PCO2 : 35-45 mmHg
- PO2 : 70-100 mmHg
- HCO3 : 24-28mEq/L
- B E : ±2 mEq/L
- O2 saturasi : 94-98 %
RR : 12-24x/menit
Bebas gejala distress pernafasan
- sesak
- apnoe
Intervensi :
Mandiri
1) Kaji frekwensi, kedalaman pernafasan, catat penggunaan otot aksesori,
nafas bibir, ketidakmampuan bicara/ berbincang
R/ : Berguna dalam derajat distress pernafasan dan/ kronisnya proses
penyakit
2) Tinggikan kepala tempat tidur , Bantu klen untuk memilih posisi yang
mudah untuk bernafas
R/ : Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi
dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas
3) Kaji dan awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa
R/ : Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku), sentral(terlihat
pada bibir)
4) Dorong mengeluarkan sputum , penghisapan bila diindikasikan
R/ : Kental, tebal dan banyaknya sekresi adalah sumber utama
gangguan pertukaran gas pada jalan nafas kecil
5) Awasi tingkat kesadaran/status mental. Selidiki adanya perubahan
R/ : Gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia
GDA memburuk disertai bingung/somnolen menunjukkan
disfungsi serebral yang berhubungan dengan hipoksemia
6) Awasi tanda-tanda vital
R/ : Takikardi,disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung
Kolaborasi
7) Awasi gambaran seri AGD
R/ : pH umumnya menurun, PCO2 biasanya normal atau turun, HCO3
turun dan B E turun
8) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan
toleransi pasien
R/ : Dapat mencegah memburuknya hipoksia
c. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual dan
muntah
Tujuan dan kriteria hasil :
- mengkonsumsi makanan tinggi kalori dalam batasan diet
- klien makan secara mandiri
- menunjukkan peningkatan BB yang sesuai
Intervensi :
1) Kaji status nutrisi : perubahan berat badan
R/ : Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan
mengevaluasi intervensi
2) Kaji pola diet nutrisi klien : riwayat diet , makanan kesukaan dan intake
cairan
R/ : Pola diet dapat dipertimbangkan dalam menyususn menu dengan
mengkonsumsi makanan tinggi kalori dalam batasan diet.
3) Kaji adanya anoreksia, mual, muntah, depresi, stomatitis dan kurang
memahami batasan diet
R/ : Data untuk mengetahui faktor yang dapat dirubah atau
dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet
4) Tingkatkan intake protein bernilai biologis tinggi (telur, daging, susu)
R/ : Protein yang lengkap untuk mencapai keseimbangan nitrogen
untuk pertumbuhan dan penyembuhan
5) Kaji bukti adanya intake protein yang tidak adekuat
R/ : Insufisiensi protein dapat ditandai dengan pembentukan edema,
penyembuhan luka yang lambat dan rendahnya kadar albumin
serum
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi b.d keterbatasan informasi
Tujuan dan kriteria hasil :
- Menyatakan pemahaman kondisi /proses penyakit dan pengobatan
Intervensi :
1) Kaji pengetahuan klien tentang penyebab gagal ginjal, pengertian gagal
ginjal, pemahaman tentang fungsi ginjal, dan rasional penanganan gagal
ginjal
R/ : Tingkat pengetahuan klien tentang gagal ginjal merupakan
intruksi dasar untuk pemberian penkes yang dibutuhkan
2) Sediakan informasi yang tepat tentang fungsi dan kegagalan ginjal,
pembatasan cairan dan diet, medikasi, tanda dan gejala, jadwal tindak
lanjut
R/ : Informasi yang tepat dapat digunakan sebagai klarifikasi terhadap
proses penyakit
3) Kaji ulang pembatasan diet termasuk fosfat dan magnesium
R/ : Pembatasan fosfat merangsang kelenjar paratiroid untuk
pergeseran kalsium dari tulang (osteodistrasi ginjal) dan
akumulasi magnesium mengganggu fungsi neurologis dan mental
e. Intoleransi aktifitas b.d keletihan dan anemia
Tujuan dan kriteria hasil :
Mendemontrasikan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur yaitu
TD dalam batas normal, kulit hangat, merah muda.
Intervensi :
1) Kaji faktor yang menimbulkan keletihan
R/ : Menyediakan indikasi tingkat keletihan
2) Tingkat kemandirian dalam aktifitas perawatan diri yang dapat ditoleransi
R/ : Meningkatkan aktifitas ringan/sedang dan memperbaiki harga diri
3) Anjurkan aktifitas alternatif sambil istirahat
R/ : Mendorong latihan dan aktifitas dalam batas yang dapat
ditoleransi dan istirahat yang adekuat
4) Bantu dalam latihan rentang gerak aktif/pasif
R/ : Mempertahankan kelenturan sendi, mencegah kontraktur dan
membantu menurunkan tegangan otot
5) Lakukan program pelatihan rutin sesuai batasan tolerabsi dan jadwal
istirahat latihan
R/ : Mempertahankan tonus otot dan kelenturan sendi, mencegah
kelemahan
6) Kaji ulang tindakan untuk mencegah perdarahan seperti latihan keras
R/ : Menentukan resiko sehubungan dengan anemia dan penurunan
trobosit
7) Kaji adanya pembengkakan sendi / nyeri tekan
R/ : Hiperfosfatemia dengan pergeseran kalsium dapat mengakibatkan
depresi, kelebihan fosfat kalsium sebagai kalsifikasi di dalam
sendi dan jaringan lunak
8) Kaji adanya sakit kepala, pandangan kabur , edema peritoneal dan mata
merah
R/ : Dugaan terjadinya kontrol hipertensi buruk dan perubahan akibat
hiperkalsemia
f. Gangguan harga diri b.d perubahan peran, perubahan pada citra diri
Tujuan dan kriteria hasil :
- Mengidentifikasi perasaan dan metode koping untuk persepsi negative
pada diri sendiri
- Menyatakan penerimaan terhadap situasi diri
Intervensi
1) Kaji respon dan reaksi pasien terhadap penyakit
R/ : Menyediakan data tentang masalah pada pasien dalam
menghadapi perubahan
2) Kaji hubungan antara klien dengan anggota keluarga.
R/ : Penguatan dan dukungan terhadap pasien diidentifikasi
3) Kaji pola koping pasien
R/ : Pada koping yang telah efektif dimasa lalu mungkin potensial
destruktif ketika memandang pembatasan yang ditetapkan akibat
penyakit.
4) Gali cara alternative untuk defresi lain selain hubungan seksual
R/ : Bentuk alternatif ekspresi seksual dapat diterima
h. Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d peningkatan tekanan darah
Tujuan dan kriteria hasil :
- Pertahankan curah jantung dengan bukti TD dan frekuensi jantung dalam
batas normal; nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler.
Intervensi
Mandiri:
1) Auskultasi bunyi kantung dan paru. Evaluasi adanya edema
perifer/kongesti vascular dan keluhan dispnea.
R/ : S3/S4 dengan tonus muffled, takikardia, frekuensi jantung tak
teratur, takipnea, dispnea, gemerisik, mengi dan edema/distensi
jugular menunjukkan GGK
2) Kaji adanya/derajat hipertensi: awasi TD, perhatikan perubahan postural,
contoh: duduk, berbaring, berdiri.
R/ : Hipertensi bermakna dapat terjadi karena gangguan pada system
aldosteron renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal).
Merskipun hopertensi umum, hipotensi ortostatik dapat terjadi
sehubungan dengan dfisit cairan, respon terhadap obat anti
hipertensi atau tenponade pericardial uremik.
3) Selidiki keluhan nyeri dada,perhatiakan lokasi,radiasi, beratnya (skala 1-
10) dan apakah tidak memetap dengan inspirasi dalam dan posisi
terlentang.
R/ : Hipertensi dan GJK kronis dapat menyebabkan IM, kuang lebih
pasien dengan GGK dengan dialisis mengalami perikarditis,
potensial risiko efusi pericardial/temponade.
4) Evaluasi bunyi jantung (perhatikan friction rub), TD, nadi perifer,
pengisian kapiler, kongesti vascular, suhu dan sensori/mental.
R/ : Adanya hipertensi tiba-tiba, nadi paradoksik , penyempitan
tekanan nadi, penurunan/tak adanya nadi perifer, distensi jugular
nyata, pucat dan penyimpangan mental cepat menunjukkan
temponade, yang merupakan kedaruratan medik.
5) Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas.
R : Kelelahan dapat mentertai GJK juga anemia.
Kolaborasi:
6) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh:
a) Elektrolit (kalium, natrium, kalsium, magnesium) BUN
R/ : Ketidakseimbangan dapat mengganggu konduksi elektrikal
dan fungsi jantung.
b) Foto dada
R/ : Berguna dalam mengidentifikasi terjadinya gagal jantung atau
kalsifikasi jaringan lunak.
7) Berikan obat anti hipertensi, contoh prazozin (minipress), kaptopril
(capoten), klonodia (catapres), hidralaszin (apresoline).
R/ : Menurunkan tahanan vaskular sistemik dan/atau pengeluaran
rennin untuk menurunkan kerja miokardial dan mambantu
mencegah GJK dan/atau IM
8) Bantu dalam perikardiosentesis sesuai indikasi.
R/: Akumulasi cairan dalam kantung pericardial dapat mempengaruhi
pengisian jantung dan kontraktilitas miokardial mengganggu
curah jantung dan potensial risiko henti jantung.
9) Siapkan dialisis
R/ : Penurunan ureum toksik dan memperbaiki keseimbangan
elektrolit dan kelebihan cairan dapat mebatasi/mencegah
manifestasi jantung, termasuk hipertensi dan efusi perikardial.
C. KONSEP DASAR HEMODIALISA
1. Definisi
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya
menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada
penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury)
yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD
dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD
persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
Hemodialisa adalah proses pemisahan cairan yang berlebihan dengan
retensi zat-zat sisa metabolism dari dalam darah ke cairan dialisa melalui
membrane semi permiabel yang ada dalam mesin dialisa dengan cara difusi,
ultrafiltrasi dan konveksi sehingga komposisi zat-zat dan cairan dalam darah
mendekati normal. Proses pengobatan tersebut dapat membantu memperbaiki
homeostasis tubuh, namun tidak mengganti fungsi ginjal yang lainnya, sehingga
untuk mempertahankan hidupnya pasien harus melakukan minimal dua kali
seminggu sepanjang hidupnya,( Iskandasyah,2010).
Cuci darah (Hemodialisis, sering disingkat HD) adalah salah satu terapi
pada pasien dengan gagal ginjaldalam hal ini fungsi pencucian darah yang
seharusnya dilakukan oleh ginjal diganti dengan mesin. Dengan mesin ini pasien
tidak perlu lagi melakukan cangkok ginjal, namun hanya perlu melakukan cuci
darah secara periodic dengan jarak waktu tergantung dari keparahan dari
kegagalan fungsi ginjal. Fungsi ginjal untuk pencucian darah adalah dengan
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah
manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, ureum, kreatinin, asam urat, dan
zat-zat lain. Cuci darah dilakukan jika ginjal tidak dapat melaksanakan fungsinya
dengan baik atau biasa disebut dengan gagal ginjal. Kegagalan ginjal ini dapat
terjadi secara mendadak (gagal ginjal akut) maupun yang terjadi secara perlahan
(gagal ginjal kronik) dan sudah menyebabkan gangguan pada organ tubuh atau
system dalam tubuh lain. Hal ini terjadi karena racun – racun yang seharusnya
dikeluarkan oleh ginjal tidak dapat dikeluarkan karena rusaknya ginjal. Kelainan
yang dapat terjadi yaitu meningkatnya kadar keasaman darah yang tidak bisa lagi
diobati dengan obat – obatan, terjadinya ketidakseimbangan elektrolit dalam
tubuh, kegagalan jantung memompa darah akibat terlalu banyaknya cairanyang
beredar di dalam darah, terjadinya peningkatan dari kadar ureum dalam tubuh
yang dapat mengakibatkan kelainan fungsi otak, radang selaput jantung, dan
perdarahan. (Ratnawati, 2014)
2. Indikasi Hemodialisa
a. Gagal ginjal akut
b. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit
c. Kalium serum lebih dari 6 mEq/l
d. Ureum lebih dari 200 mg/dl
e. pH darah kurang dari 7,1
f. Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari
g. Intoksikasi obat dan zat kimia
h. Sindrom Hepatorenal
i. Fluid overload
j. The National Kidney Foundation USA menyarankan apabila :LFG ≤ 10ml
/menit/1,73m2
Indikasi absolut untuk dimulainya hemodialisis:
a. Perikarditis
b. Keadaan overload sampai menimbulkan gejala-gejala oedem paru
c. Hipertensi berat dan progresif
d. Uremic Bleeding
e. Mual muntah yang persisten
f. Kreatinin serum ≥ 10 mg%
3. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi
infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut (PERNEFRI, 2003).
Tidakdilakukanpadapasien yang mengalamisuhu yang tinggi.Cairan
dialysis padasuhutubuhakanmeningkatkankecepatandifusi, tetapisuhu yang
terlalutinggimenyebabkan hemodialysis sel-sel darah merah sehingga
kemungkinan penderita akan meninggal.
4. Tujuan Pengobatan Hemodialisa
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara
lain :
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu
dengan Blood flow (QB) 200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000)
hemodialisa memerlukan waktu 3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada
akhir interval 2 – 3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH
sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena
sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa.
5. Prinsip dan cara kerja hemodialysis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu,
kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi
proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya
beredar di dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser
(Daurgirdas et al., 2007).Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute
(bahan terlarut) suatu larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara
memaparkan larutan ini dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui
membran semi permeable (dialiser). Perpindahan solute melewati membran
disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan
UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara
acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya
solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama
molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh
mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure)
atau mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et
al.,2007). Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan
gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et
al., 2007).
Skema Mekanisme Kerja Hemodialisis
(Bieber dan Himmelfarb, 2013)
6. Komponen Hemodialisa
a. Dialyzer / Ginjal Buatan
Suatu alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, bila
fungsi kedua ginjal sudah tidak memadai lagi, mengatur keseimbangan cairan
dan elektrolit, mengeluarkan racun-racun atau toksin yang merupakan
komplikasi dari Gagal Ginjal. Sedangkan fungsi hormonal/ endokrin tidak
dapat diambil alih oleh ginjal buatan. Dengan demikian ginjal buatan hanya
berfungsi sekitar 70-80 % saja dari ginjal alami yang normal.
Macam-macam ginjal buatan :
1) Paraller-Plate Diyalizer
Ginjal pertama kali ditemukan dan sudah tidak dipakai lagi, karena darah
dalam ginjal ini sangat banyak sekitar 1000 cc, disamping cara
menyiapkannya sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama.
2) Coil Dialyzer
Ginjal buatan yang sudah lama dan sekarang sudah jarang dipakai karena
volume darah dalam ginjal buatan ini banyak sekitar 300 cc, sehingga bila
terjadi kebocoran pada ginjal buatan darah yang terbuang banyak. Ginjal
ini juga memerlukan mesin khusus, cara menyiapkannya juga memerlukan
waktu yang lama.
3) Hollow Fibre Dialyzer
Ginjal buatan yang sangat banyak saat ini karena volume darah dalam
ginjal buatan sangat sedikit sekitar 60-80 cc, disamping cara
menyiapkannya mudah dan cepat.
b. Dialisat
Adalah cairan yang terdiri dari air, elektrolit dan zat-zat lain supaya
mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan darah.
Fungsi Dialisat pada dialisit:
1) Untuk mengeluarkan dan menampung cairan dan sisa metabolisme
2) Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa
Tabel perbandingan darah dan dialisat :
Komponen elektrolit Darah Dialisat
Natrium/sodium 136mEq/L 134mEq/L
Kalium/potassium 4,6mEq/L 2,6mEq/L
Kalsium 4,5mEq/L 2,5mEq/L
Chloride 106mEq/L 106mEq/L
Magnesium 1,6mEq/L 1,5mEq/L
Ada 3 cara penyediaan cairan dialisat :
1) Batch Recirculating
Cairan dialisat pekat dicampur air yang sudah diolah dengan
perbandingan 1 : 34 hingga 120 L dimasukan dalam tangki air kemudian
mengalirkannya ke ginjal buatan dengan kecepatan 500 – 600 cc/menit.
2) Batch Recirculating/single pas
Hampir sama dengan cara batch recirculating hanya sebagianlangsung
buang. Proportioning Single pasAir yang sudah diolah dan dialisat pekat
dicampus secara konstan oleh porpropotioning dari mesin cuci darah
dengan perbandingan air : dialisat = 34 : 1 cairan yang sudah dicampur
tersebut dialirkan keginjal buatan secara langsung dan langsung dibuang,
sedangkan kecepatan aliran 400 – 600 cc/menit.
c. AksesVaskularHemodialisis
Untuk melakukan hemodialysis intermiten jangka panjang, maka perlu ada
jalan masuk kedalam sistem vascular penderita. Darah harus keluar dan
masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200 sampai 400 ml/menit.Teknik
akses vascular diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Akses Vaskuler Eksternal (sementara)
Pirau arterio venosa (AV) atau system kanula diciptakan dengan
menempatkan ujung kanul ada riteflon dalam arteri dan sebuah vena yang
berdekatan. Ujung kanula dihubungkan dengan selang karet silicon dan
suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau.
a) Kateter vena
Femoralis sering dipakai pada kasus gagal ginjal akut bila diperlukan
akses vascular sementara,atau bila teknik akses vaskuler lain tidak
dapat berfungsi. Terdapat dua tipe kateter dialysis femoralis. Kateter
saldon adalah kateter berlumen tunggal yang memerlukan akses
kedua. Tipe kateter femoralis yang lebih baru memiliki lumen ganda,
satu lumen untuk mengeluarkan darah menuju alat dialysis dan satu
lagi untuk mengembalikan darah ketubuh penderita. Komplikasi pada
kateter vena femoralis adalah laserasi arteria femoralis, perdarahan,
thrombosis, emboli, hematoma, dan infeksi.Kateter vena subklavia
semakin banyak dipakai sebagai alat akses vascular karena
pemasangan yang mudah dan komplikasinya lebih sedikit disbanding
kateter vena femoralis. Kateter vena subklavia mempunyai lumen
ganda untuk aliran masuk dan keluar. Kateter vena subklavia dapat
digunakan sampai empat minggu sedangkan kateter vena femoralis
dibuang setelah satu sampai dua hari setelah pemasangan. Komplikasi
yang disebabkan oleh katerisasi vena subklavia serupa dengan
katerisasi vena femoralis yang termasuk pneumotoraks robeknya
arteriasubklavia, perdarahan, thrombosis, embolus, hematoma, dan
infeksi.
2) AksesVaskular Internal (permanen)
a) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan yang (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau
menyambungkan (anastomosis) pembuluh aretri dengan vena secara side
to-side (dihubungkan antar-sisi) atau end-to-side (dihubungkan antara
ujung dan sisi pembuluh darah). Segmen-arteri fistula diganakan untuk
aliran darah arteri dan segmen vena digunakan untuk memasukan
kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis. Umur fistula AV adalah
empat tahun dan komplikasinya lebih sedikit dengan pirau AV. Masalah
yang paling utama adalah nyeri pad apungsi vena terbentuknya
aneurisma, trombosis, kesulitanhemostatispascadialisis, dan iskemia pada
tangan.
b) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis,
sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh
arteri atau vena dari sapi, material Gore-Tex (heterograft) atau tandur
vena safena dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila
pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula.Tandur
biasanya dipasang pada lengan bawah, lengan atas atau paha bagian atas.
Pasien dengan sistem vaskuler yang terganggu, seperti pasien diabetes,
biasanya memerlukan pemasangan tandur sebelum menjalani
hemodialisis. Karena tandur tersebut merupakan pembuluh drah artifisial
risiko infeksi akan meningkat. Komplikasi tandur AV sama dengan
fistula AV. trombosis, infeksi, aneurisma dan iskemia tangan yang
disebabkan oleh pirau darah melalui prosthesis dan jauh dari sirkulasi
distal. (Sylvia, 2005: 975).
7. Komplikasi Hemodialisa
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi
ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK)
stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini
mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita
yang mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering
terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan
hemodinamik.Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau
penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita
yang menjalani HD reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan
darahnya justru meningkat.Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan Light, 2010).Komplikasi HD
dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik (Daurgirdas et
al., 2007).
a. Komplikasi Akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialysis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot,
mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan
menggigil (Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013).
Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik
hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang
terjadi adalah sindrom disekuilibrium,reaksi dialiser, aritmia, tamponade
jantung, perdarahan intrakranial, kejang,hemolisis, emboli udara, neutropenia,
aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).
Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan,
terapi antihipertensi,infark jantung,
tamponade, reaksi anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air,
ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung,
heparin, besi, lateks
Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan
cairan yang terlalu cepat, obat
antiaritmia yang terdialisis
Kram otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan
elektrolit
Emboli udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis disequilibirium Perpindahan osmosis antara intrasel
dan ekstrasel menyebabkan sel
menjadi bengkak, edema serebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma
yang terlalu cepat
Masalah pada dialisat / kualitas
air
Chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya
kolom charcoal
Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal,
sinkop, tetanus, gejala
neurologi, aritmia
Kontaminasi bakteri / endotoksin Demam, mengigil, hipotensi oleh
karena kontaminasi dari
dialisat maupun sirkuti air
b. Komplikasi Kronik
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien denganhemodialisis kronik.
1) Penyakit jantung
2) Malnutrisi
3) Hipertensi / volume excess
4) Anemia
5) Renal osteodystrophy
6) Neurophaty
7) Disfungsi reproduksi
8) Komplikasi pada akses
9) Gangguan perdarahan
10) Infeksi
11) Amiloidosis
12) Acquired cystic kidney disease
8. Penatalaksanaan Pasien yang menjalani HD jangka Panjang
a. Diet dan masalah cairan
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu
mengeksresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini
akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksik.
Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal
sebagai gejala uremik dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Lebih
banyak toksin yang menumpuk, lebih berat gejala yang timbul. Diet rend
protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian
meminimalkan gejala. Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat
mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian,
pembatasan cairan juga merupakan bagian dengan resep diet untuk pasien ini.
Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat
diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan. Berkaitan
dengan pembatasan protein, maka protein dari makanan harus memiliki nilai
biologis yang tinggi dan tersusun dari asam-amino esensial untuk mencegah
penggunaan protein yang buruk serta mempertahankan keseimbangan
nitrogen yang positif. Contoh protein dengan nilai biologis yang tinggi adalah
telur, daging, susu dan ikan.Dampak Diet Rendah Protein. Diet yang bersifat
membatasi akan merubah gaya hidup dan dirasakan pasien sebagai gangguan
serta tidak disukai bagi banyak penderita gagal ginjal kronis. Karena
makanan dan minuman merupakan aspek penting dalam sosialisasi, pasien
sering merasa disingkirkan ketika berada bersama orang-orang lain karena
hanya ada beberapa pilihan makanan saja yang tersedia baginya. Jika
pembatasan ini dibiasakan, komplikasi yang dapat membawa kematian
seperti hiperkalemia dan edema paru dapat terjadi.
b. Pertimbangan medikasi
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal.
Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik,
antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan
agar kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa
menimbulkan akumulasi toksik.Beberapa obat akan dikeluarkan dari darah
pada saat dialisis oleh karena itu, penyesuaian dosis oleh dokter mungkin
diperlukan. Obat-obat yang terikat dengan protein tidak akan dikeluarkan
selama dialisis. Pengeluaran metabolit obat yang lain bergantung pada berat
dan ukuran molekulnya. Apabila seorang pasien menjalani dialisis, semua
jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi dengan cermat. Pasien harus
mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, jika
obat antihipertensi diminum pada hari yang sama dengan saat menjalani
hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan
menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya.
9. TEKNIK HEMODIALISA
a. Sirkulasi ekstrakorporeal
b. Sirkulasi diluar tubuh selama terjadi hemodialisa.
c. Sirkulasi sistemik
d. Sirkulasi dalam tubuh
e. Selaput semipermiabel
f. Selaput yang sangat tipis mempunyai pori-pori halus, hanya dapa dilihat
dengan mikroskop.
g. Blood pump (Roller Pump)
Pompa mesin hemodialisa yang gunanya mengalirkan darah dari sirkulasi
sistemik ke sirkulasi ekstrakorporea dan kembali lagi ke sirkulasi sistemik
selama proses hemodialisa. Blood Lines, selang darah yang mengalirkan
darah dari tubuh penderita ke dyalizer disebut arteria blood lines/inlet,
sedangkan selang yang mengalirkan darah dari dyalizer ke tubuh penderita
disebut venous blood line/outlet.
10. Langkah-Langkah Hemodialisa
a. Timbang dan catat BB
b. Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk menginterpretasikan
kelebihan cairan)
c. Tentukan akses darah yang akan ditusuk.
d. Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine 10% lalu alcohol 70%
kemudian ditutup pakai duk steril.
e. Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil :spuit 2,5cc sebanyak
1, spuit 1 cc 1 buah, mangkok kecil berisi saline 0,9% dan kasa steril.
f. Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonestdan heparin.
g. Pakai masker dan sarung tangan steril.
h. Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan ditusuk.
i. Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak 2000unit pada inlet
sedangkan outlet sebanyak 1000 unit.
j. Siap sambungkan ke sirkulasi tertutup yang telah disediakan.
k. Aliran darah permulaan sampai 7 menit 75 ml/menitkemudian dinaikkan
perlahan sampai 200 ml/menit.
l. Tentukan TMP sesuai dengan kenaikkan berat badan.
m. Segera ukur kemabali tekanan darah, nadi, pernapasan, akses darah yang
digunakan dicatat dalam status yang telah tersedia.
11. Perawatan Pasien Hemodialisa
Perawatan Pasien HD Terbagi 3 yaitu :
a. Perawatan sebelum hemodialisa
1) Mempersiapkan perangkat HD
2) Mempersiapkan mesin HD
3) Mempersiapkan cara pemberian heparin
4) Mempersiapkan pasien baru dengan memperhatikan factor
BioPsikososial, agar penderita dapat bekerja sama dalam hal program
HD
5) Mempersiapkan akses darah
6) Menimbang berat badan, mengukur tekanan darah, nadi, pernapasan
7) Menentukan berat badan kering
8) Mengambil pemeriksaan rutin dan sewaktu
b. Perawatan Selama Hemodialisa
1) Selama HD berjalan ada 2 hal pokok yang diobservasi yaitu penderita
dan mesin HD
2) Observasi terhadap pasien HD
3) Tekanan darah, nadi diukur setiap 1 jam lalu dalam status
4) Dosis pemberian heparin dicatat setiap 1 jam dalam status
5) Cairan yang masuk perparenteral maupun peroral dicatat jumlahnya
dalam status
6) Akses darah dihentikan
7) Observasi terhadap mesin HD
8) Kecepan aliran darah /Qb, kecepatan aliran dialisat/Qd dicatat setiap 1
jam
9) Tekanan negatif, tekanan positif, dicatat setiap jam
10) Suhu dialisa, conductivity diperhatikan bila perlu diukur
11) Jumlah cairan dialisa, jumlah air diperhatikan setiap jam
12) Ginjal buatan, slang darah, slang dialisat dikontrol setiap 1 jam.
c. Perawatan sesudah Hemodialisa
1) Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu cara menghentikan
HD pada pasien dan mesin HD
2) Cara mengakhiri HD pada pasien
3) Ukur tekanan darah nadi sebelum slang inlet dicabut
4) Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
5) Kecilkan aliran darah menjadi 75 ml/menit
6) Cabut AV fistula intel/ lalu bilas slang inlet memakai saline normal
sebanyak 50-100 cc, lalu memakai udara hingga semua darah dalam
sirkulasi ekstrakorporeal kembali ke sirkulasi sistemik
7) Tekan pada bekas tusukan inlet dan outlet selama 5-10 menit, hingga
darah berhenti dari luka tusukan
8) Tekanan darah, nadi, pernapasan ukur kembali lalu catat
9) Timbang berat badan lalu dicatat
10) Kirimkan darah ke laboratorium
11) Cara mengakhiri mesin HD
12) Kembalikan tekanan negative, tekanan positif, ke posisi nol
13) Sesudah darah kembali ke sirkulasi sistemik cabut selang dialisat lalu
kembalikan ke Hansen connector
14) Kembalikan tubing dialisat pekat pada konektornya
15) Mesin ke posisi rinse, lalu berikan cairan desifektan (hipoclhoride
pekat) sebanyak 250 cc, atau cairan formalin 3% sebanyak 250 cc
16) Formalin dibiarkan selama 1-2 x 24 jam, baru mesin dirinsekan kembali
ASUHAN KEPERAWATAN HEMODIALISA
A. Pengkajian
1. Keluhan utama
Keluhan utama pada pasien hemodialisa adalah
a. Sindrom uremia
b. Mual, muntah, perdarahan GI.
c. Pusing, nafas kusmaul, koma.
d. Perikarditis, cardiar aritmia
e. Edema, gagal jantung, edema paru
f. Hipertensi
Tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh (mual,
muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfunsi mental), kadar serum
yang meningkat. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1397)
2. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien penderita gagal ginjal kronis (stadium terminal). (Brunner & Suddarth,
2001: 1398)
3. Riwayat obat-obatan
Pasien yang menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi dengan
cermat. Terapi antihipertensi, yang sering merupakan bagian dari susunan terapi dialysis,
merupakan salah satu contoh di mana komunikasi, pendidikan dan evaluasi dapat
memberikan hasil yang berbeda. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan
menundanya. Sebagai contoh, obat antihipertensi diminum pada hari yang sama dengan
saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan
menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya. (Brunner & Suddarth, 2001: 1401)
4. Psikospiritual
Penderita hemodialisis jangka panjang sering merasa kuatir akan kondisi penyakitnya
yang tidak dapat diramalkan. Biasanya menghadapi masalah financial, kesulitan dalam
mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, dipresi
akibat sakit yang kronis dan ketakutan terhadap kematian. (Brunner & Suddarth, 2001:
1402)Prosedur kecemasan merupakan hal yang paling sering dialami pasien yang
pertama kali dilakukan hemodialisis.(Muttaqin, 2011: 267)
5. ADL (Activity Day Life)
Nutrisi : pasien dengan hemodialisis harus diet ketat dan pembatasan cairan masuk
untuk meminimalkan gejala seperti penumpukan cairan yang dapat mengakibatkan gagal
jantung kongesti serta edema paru, pembatasan pada asupan protein akan mengurangi
penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala, mual
muntah. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1400)
Eliminasi : Oliguri dan anuria untuk gagal
Aktivitas : dialisis menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu yang
diperlukan untuk terapi dialisis akan mengurangi waktu yang tersedia untuk melakukan
aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustasi. Karena waktu yang terbatas
dalam menjalani aktivitas sehai-hari.
6. Pemeriksaan fisik
BB : Setelah melakukan hemodialisis biasanya berat badan akan menurun.
TTV :Sebelum dilakukan prosedur hemodialisis biasanya denyut nadi dan
tekanan darah diatas rentang normal. Kondisi ini harus di ukur kembali pada saat
prosedur selesai dengan membandingkan hasil pra dan sesudah prosedur.(Muttaqin,
2011: 268)
Manifestasi klinik
a. Kulit : kulit kekuningan, pucat, kering dan bersisik, pruritus atau gatal-
gatal
b. Kuku : kuku tipis dan rapuh
c. Rambut : kering dan rapuh
d. Oral : halitosis / faktor uremic, perdarahan gusi
e. Lambung : mual, muntah, anoreksia, gastritis ulceration.
f. Pulmonary : uremic “lung” atau pnemonia
g. Asam basa : asidosis metabolik
h. Neurologic : letih, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan otot : pegal
i. Hematologi : perdarahan
g. Pemeriksaan Penunjang
Kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada laki-laki, 4mg/dl pada perempuan,
dan GFR 4 ml/detik. (Sylvia A. Potter, 2005 : 971)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre HD
1) Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, Hb ≤ 7 gr/dl,
Pneumonitis dan Perikarditis d.dPenggunaan otot aksesoris untuk bernafas,
Pernafasan cuping hidung, Perubahan kedalaman nafas, dan Dipneu.
2) Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine, diet cairan berlebih,
retensi cairan & natrium b.d Perubahan berat badan dalam waktu sangat singkat,
Gelisah, Efusi pleura, Oliguria, Asupa melebihi haluran, Edema, Dispnea,
Penurunan hemoglobin, Perubahan pola pernapasan , dan Perubahan tekanan
darah
3) Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual &
muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa oral d.d nyeri
abdomen bising usus hiperaktif, kurang makanan, diare, kurang minat pada
makanan, dan berat badan 20% atau lebih dibawah berat badan ideal.
4) Ansietas b.d krisis situasional d.d gelisah, wajah tegang, bingung, tampak
waspada, ragu/tidak percaya diri dan khawatir.
b. Intra HD
1) Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap penusukan &
pemeliharaan akses vaskuler.
2) Risiko terjadi perdarahan b.d penggunaan heparin dalam proses hemodialisa
c. Post HD
1) Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur
dialisis d,d menyatakan merasa lemah, menyatakan merasa letih, dispnea setelah
beraktifitas, ketidaknyamanan setelah beraktifitas, dan respon tekanan darah
abnormal terhadap aktivitas.
2) Risiko Harga diri rendah b.d ketergantungan, perubahan peran dan perubahan
citra tubuh dan fungsi seksual d.d gangguan citra tubuh, Mengungkapkan
perasaan yang mencerminkan perubahan individudalam penampilan, Respon
nonverbal terhadap persepsi perubahan pada tubuh
(mis;penampilan,steruktur,fungsi), Fokus pada perubahan, Perasaan negatif
tentang sesuatu
3) Resiko infeksi b.d prosedur invasif berulang
INTERVENSI
1. PRE HD
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional
1 Pola nafas tidak
efektif b.d edema
paru, asidosis
metabolic, Hb ≤ 7
gr/dl, Pneumonitis
dan Perikarditis
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 1x24
jam diharapkan
Pola nafas efektif setelah
dilakukan tindakan HD 4-5
jam, dengan Kriteria hasil:
a. Nafas 16-28 x/m
b. edema paru hilan
c. tidak sianosis
1. Observasi penyebab
nafas tidak efektif.
2. Observasi respirasi &
nadi
3. Berikan posisi semi
fowler.
4. Ajarkan cara nafas
yang efektif
5. Berikan O2
6. Lakukan SU pada
saat HD
7. Kolaborasi pemberian
tranfusi darah.
1. Untuk menentukan
tindakan yang harus
segera dilakukan
2.Menentukan tindakan
3.Melapangkan dada klien
sehingga nafas lebih
longgar
4. Hemat energi
sehingga nafas tidak
semakin berat
5. Hb rendah, edema,
paru pneumonitis,
asidosis, perikarditis
8. Kolaborasi pemberian
antibiotic
9. Kolaborasi foto torak
10. Evaluasi kondisi klien
pada HD berikutnya
menyebabkan suplai O2
ke jaringan berkurang
6. SU adalah
penarikan secara cepat
pada HD, mempercepat
pengurangan edema
paru.
7. Untuk ↑Hb,
sehingga suplai O2 ke
jaringan cukup
8. Untuk mengatasi
infeksi paru & perikard
9. Follow up
penyebab nafas tidak
efektif
10. Mengukur keberhasilan
tindakan
2 Kelebihan volume
cairan b.d
penurunan haluaran
urine, diet cairan
berlebih, retensi
cairan & natrium
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 1x24
jam diharapkan
Keseimbangan volume
cairan tercapai setelah
dilakukan HD 4-5 jam
dengan Kriteria Hasil:
a. BB post HD sesuai
dry weight
b. Edema hilang
c. Retensi 16-28 x/m
d. Kadar natrium
darah 132-145
1. Observasi status cairan,
timbang bb pre dan post HD,
keseimbangan masukan dan
haluaran, turgor kulit dan
edema, distensi vena leher dan
monitor vital sign.
2. Batasi masukan cairan pada
saat priming & wash out HD
3. Lakukan HD
dengan UF & TMP
sesuai dg kenaikan bb
interdialisis
4. Identifikasi sumber
1. Pengkajian merupakan
dasar untuk
memperoleh data,
pemantauan 7 evaluasi
dari intervensi.
2. Pembatasan cairan
akan menetukan dry
weight, haluaran urine
& respon terhadap
terapi
3. UF & TMP yang
sesuai akan ↓
mEq/l masukan cairan masa
interdialisis
5. Jelaskan pada keluarga
& klien rasional
pembatasan cairan
6. Motivasi klien untuk
↑ kebersihan mulut
kelebihan volume
cairan sesuai dg target
BB edeal/dry weight
4. Sumber kelebihan
cairan dapat diketahui
5. Pemahaman↑kerjasam
a kliendankeluarga
dalam pembatasan
cairan
6. Kebersihan mulut
mengurangi
kekeringan mulut,
sehingga ↓ keinginan
klien untuk minum
3 Ketidakseimbangan
nutrisi, kurang dari
kebutuhan tubuh b.d
anoreksia, mual &
muntah, pembatasan
diet dan perubahan
membrane mukosa
oral
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 1x24
jam
diharapkanKeseimbangan
nutrisi tercapai setelah
dilakukan HD yang
sdekuat (10-12 jam/mg)
selama 3 bulan, diet
protein terpenuhi, dengan
Kriteria Hasil:
a.Tidak terjadi
penambahan atau ↓ BB
yang cepat
b. Turgor kulit normal
tanpa udema
c.Kadar albumin plasma
3,5-5,0 gr/dl
1. Observasi status nutrisi:
a. Perubahan BB
b.Pengukuran antropometri
c. Nilai lab. (elektrolit, BUN,
kreatinin, kadar albumin,
protein
2. Observasi pola diet.
3. Observasi faktor yang
berperan dalam
merubah masukan
nutrisi
4. Kolaborasi
menentukan tindakan
HD 4-5 jam 2-3
1. Sebagai dasar untuk
memantau perubahan &
intervensi yang sesuai.
2. Pola diet dahulu &
sekarang berguna untuk
menentukan menu
3. Memberikan informasi,
faktor mana yang bisa
dimodifikasi.
4. Tindakan HD yang
adekuat, ↓ kejadian
mual-muntah &
anoreksia, sehingga ↑
nafsu makan
d.Konsumsi diet nilai
protein tinggi
minggu
5. Kolaborasi pemberian
infus albunin 1 jam
terakhir HD
6. Tingkatkan masukan
protein dengan nilai
biologi tinggi: telur,
daging, produk susu
7. Anjurkan camilan
rendah protein, rendah
natrium, tinggi kalori
diantara waktu makan
8. Jelaskan rasional
pembatasan diet,
hubungan dengan
penyakit ginjal dan
↑ureum dan kreatinin
9. Anjurkan timbang BB
tiap hari
10. Observasi adanya
masukan protein yang
tidak adekuat, edema,
penyembuhan yang
lama, albumin serum
turun
5. Pemberian albumin
lewat infus iv akan ↑
albumin serum.
6. Protein lengkap akan ↑
keseimbangan nitrogen
7. Kalori akan ↑ energi,
memberikan
kesempatan protein
untuk pertumbuhan
8. ↑ pemahaman klien
sehingga mudah
menerima masukan
9. Untuk menentukan
status cairan & nutrisi
10. Penurunan protein
dapat ↓ albumin,
pembentukan udema &
perlambatan
penyembuhan
4 Ansietas b.d krisis
situasional
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 1x24
jam diharapkan kesadaran
1. Evaluasi respon verbal
dan non verbal pasien.
1. Ketakutan dapat terjadi
karena nyeri
pasien terhadap perasaan
dan cara yang sehat untuk
menghadapi masalah
Kriteria hasil :
a. Melaporkan ansietas
menurun sampai tingkat
dapat ditangani.
b. Tampak rileks.
2. Berikan penjelasan
hubungan antara
proses penyakit dan
gejalanya.
3. Berikan kesempatan
pasien untuk
mengungkapkan isi
pikiran dan perasaan
takutnya.
4. Catat perilaku dari
orang
terdekat/keluarga yang
meningkatkan peran
sakit pasien.
5. Identifikasi sumber
yang mampu
menolong
hebat,meningkatkn
perasaan sakit, dan
kemungkinan
pembedahan
2. Meningkatkan
pemahaman,
mengurangi rasa takut
karena ketidaktahuan,
dan dapat membantu
menurunkan ansietas
3. Mengungkapkan rasa
takut secara terbuka
dimana rasa takut dapat
ditujukan.
4. Orang
terdekat/keluarga
mungkin secara tidak
sadar memungkinkan
pasien untuk
mempertahankan
ketergantungan dengan
melakukan sesuatu
yang pasien sendiri
mampu melakukannya.
5. Memberikan keyakinan
bahwa pasien tidak
sendiri dalam
menghadapi masalah
2. INTRA HD
No Diagnosa Tujuan& KH Intervensi R
a
s
i
o
n
a
l
1 Resiko cedera b.d
akses vaskuler &
komplikasi
sekunder terhadap
penusukan &
pemeliharaan akses
vaskuler
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 1x24
jam diharapkan pasien
tidak mengalami cedera
dengan Kriteria hasil :
a. Kulit pada sekitar AV
shunt utuh/tidak rusak
b. Pasien tidak
mengalami komplikasi HD
1. Observasikepatenan
AV shunt sebelum
HD
2. Monitor kepatenan
kateter sedikitnya
setiap 2 jam
3. Observasi warna
kulit, keutuhan
kulit, sensasi sekitar
shunt
4. Monitor TD setelah
HD
5. Lakukan
heparinisasi pada
shunt/kateter pasca
HD
6. Cegah terjadinya
infeksi pd area
shunt/penusukankat
eter
1. AV yg sudah tidak baik
bila dipaksakan bisa
terjadi rupture vaskuler
2. Posisi kateter yg berubah
dapat terjadi rupture
vaskuler/emboli
3. Kerusakanjaringandapatd
idahuluitandakelemahanp
adakulit, lecetbengkak, ↓
sensasi
4. Posisi baring lama stlh
HD dpt menyebabkan
orthostatik hipotensi
5. Shunt dapat mengalami
sumbatan & dapat
dihilangkan dg heparin
6. Infeksi dapat
mempermudah kerusakan
jaringan
2 Resiko terjadi Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda- 1. Penurunan trombosit
perdarahan
berhubungan
dengan penggunaan
heparin dalam
proses hemodialisa
keperawatan selama
1x4jam, diharapkan tidak
terjadi perdarahan dengan
Kriteria hasil :
1. TD 120/80 mmHg,
N: 80-100x/menit reguler,
pulsasi kuat
2. Tidak ada tanda
perdarahan lebih lanjut,
trombosit meningkat.
tanda penurunan
trombosit yang
disertai tanda klinis.
2. Anjurkan pasien
untuk banyak
istirahat (bedrest)
3. Berikan penjelasan
kepada klien dan
keluarga untuk
melaporkan jika ada
tandaperdarahan
seperti:
hematemesis,
melena, epistaksis.
4. Antisipasi adanya
perdarahan:
gunakan sikat gigi
yang lunak, pelihara
kebersihan mulut,
berikan tekanan 5-
10 menit setiap
selesai ambil darah
5. Kolaborasi, monitor
trombosit setiap
hari
merupakan tanda adanya
kebocoran pembuluh
darah yang pada tahap
tertentu dapat
menimbulkan tanda-tanda
klinis seperti epistaksis,
ptekie
2. Aktifitas pasien yang tidak
terkontrol dapat
menyebabkan
terjadinyaperdarahan.
3. Keterlibatan pasien dan
keluarga dapat membantu
untuk penaganan dinibila
terjadi perdarahan
4. Mencegahterjadinyaperdar
ahanlebihlanjut.
5. Dengan trombosit yang
dipantau setiap hari, dapat
diketahui tingkat
kebocoran pembuluh
darah dan kemungkinan
perdarahan yang dialami
pasien.
3. POST HD
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional
1. Intoleransi aktivitas
b.d keletihan,
anemia, retensi
produk sampah dan
prosedur dialisis
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan &
HD, selama 1x24 jam
diharapkan klien mampu
berpartisipasi dalam
aktivitas yang dapat
ditoleransi, dengan
Kriteria Hasil:
a. Berpartisipasi
dalam aktivitas
perawatan mandiri yang
dipilih
b. Berpartisipasi
dalam↑ aktivitas dan
latihan
c. Istirahat & aktivitas
seimbang/bergantian
1. Observasi faktor
yang menimbulkan
keletihan: Anemia,
Ketidakseimbangan
cairan & elektrolit,
Retensi produk sampah
depresi
2. Tingkatkan
kemandirian dalam
aktifitas perawatan diri
yang dapat ditoleransi,
bantu jika keletihan
terjadi
3. Anjurkan aktivitas
alternatif sambil istirahat
4. Anjurkan untuk
istirahat setelah dialisis
1. Menyediakan
informasi tentang
indikasi tingkat
keletihan
2. Meningkatkan aktifitas
ringan/sedang &
memperbaiki harga
diri
3. Mendoronglatihan&ak
tifitas yang
dapatditoleransi&istira
hat yang adekuat
4. Istirahat yang adekuat
dianjurkan setelah
dialisis, karena adanya
perubahan
keseimbangan cairan
& elektrolit yang cepat
pada proses dialisis
sangat melelahkan
2. Harga diri rendah
b.d ketergantungan,
perubahan peran
dan perubahan citra
tubuh dan fungsi
seksual
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama
1x24 jam diharapkan
Memperbaiki konsep
diri, dengan
Kriteria Hasil:
a. Pola koping klien
dan keluarga efektif
b. Klien & keluarga
bisa mengungkapkan
1. Observasi respon &
reaksi klien &
keluarganya terhadap
penyakit &
penanganannya.
2. Observasihubunganklien
dankeluargaterdekat
3. Observasi pola koping
1. menyediakan data klien
& keluarga dalam
menghadapi perubahan
hidup
2. Penguatan&dukungante
rhadapkliendiidentifika
si
3. Pola koping yang
perasaan & reaksinya
terhadap perubahan
hidup yang diperlukan
klien & keluarganya
4. Ciptakan diskusi yang
terbuka tentang
perubahan yang terjadi
akibat penyakit &
penangannya Perubahan
peran, Perubahan gaya
hidup, Perubahan dalam
pekerjaan, Perubahan
seksual dan
Ketergantungan dg
center dialysis
efektif dimasa lalu bisa
berubah jika
menghadapi penyakit &
penanganan yang
ditetapkan sekarang
4. Kliendapatmengidentifi
kasimasalahdanlangkah
-langkah yang
harusdihadapi
3. Resiko infeksi b.d
prosedur invasif
berulang
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama
3x24 jam diharapkan
Pasien tidak mengalami
infeksi dengan Kriteria
Hasil:
a. Suhu tubuh
normal (36-37 C)
b. Tak ada
kemerahan
sekitar shunt
c. Area shunt tidak
nyeri/bengkak
1. Pertahankan area steril
selama penusukan
kateter
2. Pertahankantekniksterils
elamakontak dg
aksesvaskuler:
penusukan,
pelepasankateter
3. Monitor area akses HD
terhadapkemerahan,
bengkak, nyeri.
4. Beripenjelasanpadapasie
npentingnya ↑status gizi
5. Kolaborasi pemberian
antibiotik
1. Mikroorganisme
dapat dicegah masuk
kedalam tubuh saat
insersi kateter
2. Kuman tidak
masuk kedalam area
insersi
3. Inflamasi/
infeksiditandai dg
kemerahan, nyeri,
bengkak
4. Gizi yang baik
↑dayatahantubuh
5. Pasien HD
mengalami sakit kronis,
↓imunitas
DAFTAR PUSTAKA
Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses keperawatan),
Bandung.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa:
Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J, 2004. Buku Saku Patofisiologi, Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn. E. 1999, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan & Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi : 3, Jakarta : EGC.
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan
untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih
bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
Guyton, Arthur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi, 9. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.Jilid 2. Jakarta :
Mediaesculapius
McCloskey&Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classifications, Second edisi, By
Mosby-Year book.Inc,Newyork
NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification,Philadelphia,
USA
Price, Sylvia A. 2004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC
Ratnawati. (2014). Efektivitas Dialiser Proses Ulang (DPU) Pada Penderita Gagal
Ginjal Kronik (Hemodialisa), Jurnal ilimiah widya volume 2 nomor 1 Maret-
April 2014 .
Silbernagl,Stefan.2006. Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2 Edisi 8.
Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC
Suyono, Salmet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi III. Jakarta : Balai
Penerbit:FKUI
University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome Classifications,
Philadelphia, USA
Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik. Jakarata : EGC