Upload
putu-gede-gandhara
View
23
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jhb
Citation preview
1.1. Definisi CKD
Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan abnormalitas fungsi dan struktur ginjal
seperti kerusakan struktur nefron secara ireversibel yang terjadi lebih dari 3 bulan. CKD
dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab, GFR (Glomerular Filtration Rate), dan
albuminuria. Klasifikasi berdasarkan GFR diestimasikan secara klinis menggunakan klirens
kreatinin (CrCl). CKD didefinisikan terjadi kerusakan ginjal dengan normal atau penurunan
GFR ringan (mild) yakni pada stage 1 dan stage 2 atau bila terjadi penurunan nilai GFR <60
ml/menit/1,73 m2 selama lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa bukti adanya kerusakan ginjal
pada stage 3 dan 4. Klasifikasi CKD berdasarkan nilai GFR dijelaskan pada Gambar 1.1.
Marker dari kerusakan ginjal antara lain terjadi abnormalitas tes darah dan urin, adanya
protein pada urin (proteinuria, albuminuria, microalbuminuria) merupakan marker yang
paling sensitif terhadap kerusakan ginjal. Abnormalitas tes darah meliputi penumpukan
nitrogen dan urea di plasma (azotemia). Azotemia secara klinis dapat terlihat dari
peningkatan BUN (Blood Urea Nitrogen), selain itu juga terjadi Hyperphosphatemia,,
hypocalcemia, hyperkalemia, metabolic acidosis, dan anemia. Pada CKD terdapat komplikasi
dan tanda klinis seperti hipertensi, sindrom uremik (seperti mual dan anorexia)
Gambar 1.1 Klasifikasi CKD berdasarkan nilai GFR (K/DOQI ,2002)
1.2. Etiologi
Terdapat 3 faktor yang berperan terhadap etiologi CKD antara lain susceptibility
factors, initation factors, progression factors. Susceptibility factors merupakan faktor resiko
yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, ras atau etnis, penurunan masa ginjal, berat
badan saat kelahiran yang rendah, tingkat ekonomi dan pendidikan rendah, riwayat keluarga
mengidap CKD. Initiation factors adalah faktor resiko yag dapat dimodifikasi denga terapi
farmakologi. Faktor faktor tersebut antara lain diabetes melitus, hipertensi, penyakit
autoimun, polycystic kidney disease, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu saluran
kemih, toksisitas obat atau induksi obat. Progression factors berkaitan dengan penurunan
fungsi ginjal dimana telah terjadi kerusakan ginjal sebelumnya. Progresifitas keparahan CKD
dipengaruhi oleh initiation factors dan progression factors seperti proteinuria, tekanan darah
yang tinggi, obesitas, merokok.
1.3. Patofisiologi
Progresifitas CKD dan menjadi stage 5 atau kondisi ESRD (End Stage Renal Disease)
dapat muncul seiring dengan menurunnya nilai GFR. Tiap ginjal terdapat 1 milyar nefron
(unit fungsional ginjal) dan tiap nefron dapat menjaga nilai GFRnya sendiri tetap normal.
Apabila terjadi kerusakan pada nefron, terjadi perubahan terhadap kemampuan nefron
untuk menjaga nilai GFRnya. Kompensasi terhadap ketidakseimbangan tersebut dapat
menimbulkan hipertropi dan kerusakan fungsi nefron secara ireversible akibat dari
peningkatan tekanan glomerular. Kemudian hipertropi dapat berkembang menjadi
hipertensi intraglomerular yang dimediasi oleh Angiotensin II. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor poten terhadap aferen dan eferen arteriol sehingga meningkatkan tekanan
capillary glomerular. Peningkatan tekanan intraglomerular juga salah satu perkembangan
dari hipertensi sistemik.
1.3.1. Proteinuria
Proteinuria berperan dalam CKD dimana albumin, transeferin, faktor komplemen,
imunoglobulin, sitokin, dan angiotensin II tokisk terhadap sel tubular ginjal. Adanya
protein pada sel tubular ginjal dapat memicu keluarnya mediator inflamasi seperti
endotelin, monocyt chemoattractant protein (MCP-1) dan RANTES (regulated upon
activation, normal T-cell expressed and secreted). Aktivasi faktor komplemen pada
membran apikal pada tubulus proksimal adalah faktor kunci terhadap progresifitas
nephropathy dan pada akhirnya terjadi penurunan GFR. Mediasi dari sistem imun
tersebut dapat menyebabkan injury dan peningkatan permeabilitas glomerular terhadap
protein. Progresifitas kidney disease dapat diidentifikasi dari terjadi proteinuria secara
terus menerus, glomerulosclerosis (kerusakan arteriol glomerulus), penurunan fungsi
ginjal dari hasil laboratorium yakni serum kreatinin. Sebagian besar tanda dan gejala
uremia tidak akan muncul sampai mencapai stage 4 atau ESRD.
1.3.2. Diabetes melitus
Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan peningkatan filtrasi yang berlebih di
ginjal yang menyebabkan peningkatan tekanan osmotik dan penebalan capillary
basement membrane.
1.3.3. Hipertensi
Hipertensi salah satu penyebab utama CKD dan berperan dalam peningkatan tekanan
sistemik sampai ke glomerulus hasilnya yakni hiperperfusi dan hipertensi capillary
glomerular. Seseorang yang mengidap hipertensi dan diabetes memiliki peningkatan
resiko ESRD 5-6 kali dibandingkan dengan hipertensi saja.
1.3.4. Dislipidemia
Peningkatan LDL (Low Density Lipoprotein), cholesterol, total cholesterol,
apolipoprotein B dan penurunan HDL (High Density Lipoprotein) juga berperan dalam
CKD. Hiperkolesterolemia berkaitan dengan hilangnya fungsi ginjal pada pasien dengan
atau tanpa diabetes.
1.4. Penatalaksanaan atau Terapi CKD
Tujuan penatalaksanaan CKD yakni memperlambat keparahan dari penyakit CKD.
Upaya penatalaksanaan ini termasuk dalam pengobatan penyakit yang dapat
memperparah CKD seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia. Penatalaksanaan
CKD terdiri dari terapi farmakologi dan non farmakologi.
1.4.1. Diet protein
Direkomendasikan diet protein 0,8g/kg/hari pada orang dewasa dengan atau
tanpa diabetes dan GFR <30ml/menit/1,73 m2 (stage 4-5). Hindari diet protein
tinggi >1,3 g/kg/hari pada orang dewasa dengan CKD yang memiliki resiko
bertambahnya keparahan.
1.4.2. Diet garam
Direkomendasikan diet garam <2g perhari pada orang dewasa dengan CKD.
CKD terjadi gangguan ekskresi sodium. Diet sodium yang tinggi menginduksi
hiperfiltrasi glomerular dan menghambat blokade RAAS (Renin Angiotensin
Aldosteron system). Menurunkan diet garam dapat menurunkan tekanan darah
dan menurunkan albuminuria. Selain diet garam dan protein, diet fosfat dan
kaliium perlu diawasi pada pasien CKD.
1.4.3. Pola hidup
Pasien CKD disarankan untuk melakukan aktivitas fisik sekurangnya 30 menit
selama 5 kali seminggu dan berhenti merokok
1.4.4. Antihipertensi
Obat antihipertensi dapat memperlambat bertambah parahnya CKD pada pasien
dengan atau tanpa diabetes melitus. Target tekanan darah bervariasi atau berbeda
tiap individu namun secara umum dibawah 140/90 mmHg dan dengan diabetes
di bawah 130/80 mmHg. ACE inhibitor (lisinopril, captopril) dan ARBs
(losartan, irbesartan, candesartan) merupakan antihipertensi lini pertama yang
memiliki manfaat dalam menjaga fungsi ginjal. ACE inhibitor dan ARB terapi
bermanfaat dalam menurunkan tekanan intraglomerular yang dimediasi oleh
angiotensin II. ACE inhibitor dan ARB digunakan pada pasien CKD dengan atau
tanpa diabetes dan albumin urin >300mg/24 jam. Golongan renin inhibitor juga
memiliki manfaat sebagai renoproktektor misalnya Aliskiren. Calcium channel
blocker (CCB) dapat mencegah bertambah parahnya CKD yang memiliki efek
renal hemodinamik, sitoprotektif dan antiproliferatif (mencegah pembengkakan
sel mesangial ginjal dan pembentukan jaringan parut pada ginjal). CCB
nondihidropiridin (diltiazem dan verapamil) memiliki manfaat dalam
menurunkan proteinuria dibandingkan CCB dihidropiridin (amlodipin). CCB
harus dikombinasi dengan ACE inhibitor atau ARB pada pasien dengan
proteinuria. β-bloker memiliki manfaat menurunkan albuminuria pada pasien
diabetes. Monitoring tekanan darah dilakukan 2-4 minggu sekali
Gambar 1.1 Tatalaksana hipertensi pada pasien CKD
1.4.5. Glikemik kontrol
Direkomendasikan target Hemoglobin A1C (HbA1C) 7,0% (53 mmol/mol), kadar
glukosa preprandial 92-130 mg/dL dan post prandial <180 mg/dL untuk
mencegah komplikasi mikrovaskular dari diabetes melitus. Tidak
direkomendasikan untuk melakukan pengobatan pada HbA1C <7,0 % dan pasien
dengan resiko hipoglikemia. Dalam menurunkan kejadian komplikasi
mikrovaskular termasuk nefropati pada pasien diabetes melitus tipe 1 dan 2,
dibutuhkan intensif terapi berupa insulin dan obat oral antidiabetes.
1.4.6. Terapi dislipidemia
Golongan obat β hydroxy-β-methylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reduktase
inhibitor dan gemfibrozil paling banyak digunakan pada pasien dislipidemia
dengan CKD dengan atau tanpa proteinuria. Tujuan dilakukannya terapi
dislipidemia adalah unutk menurunkan resiko progressive atherosclerotic
disease.
1.5. Komplikasi CKD
Pada pasien CKD stage 4-5 terdapat banyak tanda dan gejala yang parah sebagai
manifestasi dari keparahan gangguan ginjalnya yang sering disebur uremic
syndrome. Manifestasi tersebut antara lain hipertensi, pruritus, ertropoetin
defisiensi, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hiperkalsemia, metabolik asidosis,
anemia. Pada pasien ESRD direkomendasikan melakukan dialisis baik itu
hemodialisis maupun peritoneal dialisis.
1.5.1. Hiperkalemia
Hiperkalemia didefinisikan sebagai serum potasium lebih dari 5,5 mEq/L.
Hiperkalemia dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya antara
lain mild hiperkalemia (serum potasium 5,5-6 mEq/L), moderate hiperkalemia
(6,1-6,9 mEq/L) dan severe hiperkalemia (>7 mEq/L). Pengobatan hiperkalemia
dapat dirangkum sesuai gambar 1.2
Gambar 1.2 Pengobatan hiperkalemia
Pada pasien mild sampai moderate hiperkalemia, terapi yang agresif tidak dapat
diberikan, namun beberapa klinisi memberikan kalsium secara intravena pada
pasien tanpa riwayat penyakit jantung. Pada pasien CKD stage 3-4, furosemide
20-40 mg oral sebagai dosis awal daat diberikan, kemudian dapat disesuaikan
sesuai dengan respon yang diberikan. Monitoring volume dan konsentrasi
elektrolit perlu dilakukan pada pemberian furosemide. Pada tabel 1.1 dijelaskan
golongan obat yang diberikan pada severe hiperkalemia (serum potasium >7
mEq/L)
Tabel 1.1 Rejimen dosis terapi hiperkalemia
Anemia
Daftar pustaka
Koda kimble and young, 2013, Applied therapeutic: The Clinical Use of Drugs
10th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadephia, USA
Dipiro JT et al, 2008, Pharmacotherapy : A pathophysiologic approach 7th
edition, The McGraw-Hill Companies, USA
KDIGO,2012, Clinical Practice guideline for the evaluation and management of
Chronic Kidney Disease, vol 3 issue 1
KDOQI, 2002, Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Diseae:
Evaluation, Classification and Stratification, National Kidney Foundation, New
York