11
1.1. Definisi CKD Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan abnormalitas fungsi dan struktur ginjal seperti kerusakan struktur nefron secara ireversibel yang terjadi lebih dari 3 bulan. CKD dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab, GFR (Glomerular Filtration Rate), dan albuminuria. Klasifikasi berdasarkan GFR diestimasikan secara klinis menggunakan klirens kreatinin (CrCl). CKD didefinisikan terjadi kerusakan ginjal dengan normal atau penurunan GFR ringan (mild) yakni pada stage 1 dan stage 2 atau bila terjadi penurunan nilai GFR <60 ml/menit/1,73 m 2 selama lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa bukti adanya kerusakan ginjal pada stage 3 dan 4. Klasifikasi CKD berdasarkan nilai GFR dijelaskan pada Gambar 1.1. Marker dari kerusakan ginjal antara lain terjadi abnormalitas tes darah dan urin, adanya protein pada urin (proteinuria, albuminuria, microalbuminuria) merupakan marker yang paling sensitif terhadap kerusakan ginjal. Abnormalitas tes darah meliputi penumpukan nitrogen dan urea di plasma (azotemia). Azotemia secara klinis dapat terlihat dari peningkatan BUN (Blood Urea Nitrogen), selain itu juga terjadi Hyperphosphatemia,, hypocalcemia, hyperkalemia, metabolic acidosis, dan anemia. Pada CKD terdapat komplikasi dan tanda klinis seperti hipertensi, sindrom uremik (seperti mual dan anorexia)

Ckd

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jhb

Citation preview

Page 1: Ckd

1.1. Definisi CKD

Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan abnormalitas fungsi dan struktur ginjal

seperti kerusakan struktur nefron secara ireversibel yang terjadi lebih dari 3 bulan. CKD

dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab, GFR (Glomerular Filtration Rate), dan

albuminuria. Klasifikasi berdasarkan GFR diestimasikan secara klinis menggunakan klirens

kreatinin (CrCl). CKD didefinisikan terjadi kerusakan ginjal dengan normal atau penurunan

GFR ringan (mild) yakni pada stage 1 dan stage 2 atau bila terjadi penurunan nilai GFR <60

ml/menit/1,73 m2 selama lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa bukti adanya kerusakan ginjal

pada stage 3 dan 4. Klasifikasi CKD berdasarkan nilai GFR dijelaskan pada Gambar 1.1.

Marker dari kerusakan ginjal antara lain terjadi abnormalitas tes darah dan urin, adanya

protein pada urin (proteinuria, albuminuria, microalbuminuria) merupakan marker yang

paling sensitif terhadap kerusakan ginjal. Abnormalitas tes darah meliputi penumpukan

nitrogen dan urea di plasma (azotemia). Azotemia secara klinis dapat terlihat dari

peningkatan BUN (Blood Urea Nitrogen), selain itu juga terjadi Hyperphosphatemia,,

hypocalcemia, hyperkalemia, metabolic acidosis, dan anemia. Pada CKD terdapat komplikasi

dan tanda klinis seperti hipertensi, sindrom uremik (seperti mual dan anorexia)

Gambar 1.1 Klasifikasi CKD berdasarkan nilai GFR (K/DOQI ,2002)

1.2. Etiologi

Terdapat 3 faktor yang berperan terhadap etiologi CKD antara lain susceptibility

factors, initation factors, progression factors. Susceptibility factors merupakan faktor resiko

yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, ras atau etnis, penurunan masa ginjal, berat

Page 2: Ckd

badan saat kelahiran yang rendah, tingkat ekonomi dan pendidikan rendah, riwayat keluarga

mengidap CKD. Initiation factors adalah faktor resiko yag dapat dimodifikasi denga terapi

farmakologi. Faktor faktor tersebut antara lain diabetes melitus, hipertensi, penyakit

autoimun, polycystic kidney disease, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu saluran

kemih, toksisitas obat atau induksi obat. Progression factors berkaitan dengan penurunan

fungsi ginjal dimana telah terjadi kerusakan ginjal sebelumnya. Progresifitas keparahan CKD

dipengaruhi oleh initiation factors dan progression factors seperti proteinuria, tekanan darah

yang tinggi, obesitas, merokok.

1.3. Patofisiologi

Progresifitas CKD dan menjadi stage 5 atau kondisi ESRD (End Stage Renal Disease)

dapat muncul seiring dengan menurunnya nilai GFR. Tiap ginjal terdapat 1 milyar nefron

(unit fungsional ginjal) dan tiap nefron dapat menjaga nilai GFRnya sendiri tetap normal.

Apabila terjadi kerusakan pada nefron, terjadi perubahan terhadap kemampuan nefron

untuk menjaga nilai GFRnya. Kompensasi terhadap ketidakseimbangan tersebut dapat

menimbulkan hipertropi dan kerusakan fungsi nefron secara ireversible akibat dari

peningkatan tekanan glomerular. Kemudian hipertropi dapat berkembang menjadi

hipertensi intraglomerular yang dimediasi oleh Angiotensin II. Angiotensin II merupakan

vasokonstriktor poten terhadap aferen dan eferen arteriol sehingga meningkatkan tekanan

capillary glomerular. Peningkatan tekanan intraglomerular juga salah satu perkembangan

dari hipertensi sistemik.

1.3.1. Proteinuria

Proteinuria berperan dalam CKD dimana albumin, transeferin, faktor komplemen,

imunoglobulin, sitokin, dan angiotensin II tokisk terhadap sel tubular ginjal. Adanya

protein pada sel tubular ginjal dapat memicu keluarnya mediator inflamasi seperti

endotelin, monocyt chemoattractant protein (MCP-1) dan RANTES (regulated upon

activation, normal T-cell expressed and secreted). Aktivasi faktor komplemen pada

membran apikal pada tubulus proksimal adalah faktor kunci terhadap progresifitas

nephropathy dan pada akhirnya terjadi penurunan GFR. Mediasi dari sistem imun

tersebut dapat menyebabkan injury dan peningkatan permeabilitas glomerular terhadap

protein. Progresifitas kidney disease dapat diidentifikasi dari terjadi proteinuria secara

terus menerus, glomerulosclerosis (kerusakan arteriol glomerulus), penurunan fungsi

ginjal dari hasil laboratorium yakni serum kreatinin. Sebagian besar tanda dan gejala

uremia tidak akan muncul sampai mencapai stage 4 atau ESRD.

Page 3: Ckd

1.3.2. Diabetes melitus

Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan peningkatan filtrasi yang berlebih di

ginjal yang menyebabkan peningkatan tekanan osmotik dan penebalan capillary

basement membrane.

1.3.3. Hipertensi

Hipertensi salah satu penyebab utama CKD dan berperan dalam peningkatan tekanan

sistemik sampai ke glomerulus hasilnya yakni hiperperfusi dan hipertensi capillary

glomerular. Seseorang yang mengidap hipertensi dan diabetes memiliki peningkatan

resiko ESRD 5-6 kali dibandingkan dengan hipertensi saja.

1.3.4. Dislipidemia

Peningkatan LDL (Low Density Lipoprotein), cholesterol, total cholesterol,

apolipoprotein B dan penurunan HDL (High Density Lipoprotein) juga berperan dalam

CKD. Hiperkolesterolemia berkaitan dengan hilangnya fungsi ginjal pada pasien dengan

atau tanpa diabetes.

1.4. Penatalaksanaan atau Terapi CKD

Tujuan penatalaksanaan CKD yakni memperlambat keparahan dari penyakit CKD.

Upaya penatalaksanaan ini termasuk dalam pengobatan penyakit yang dapat

memperparah CKD seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia. Penatalaksanaan

CKD terdiri dari terapi farmakologi dan non farmakologi.

1.4.1. Diet protein

Direkomendasikan diet protein 0,8g/kg/hari pada orang dewasa dengan atau

tanpa diabetes dan GFR <30ml/menit/1,73 m2 (stage 4-5). Hindari diet protein

tinggi >1,3 g/kg/hari pada orang dewasa dengan CKD yang memiliki resiko

bertambahnya keparahan.

1.4.2. Diet garam

Direkomendasikan diet garam <2g perhari pada orang dewasa dengan CKD.

CKD terjadi gangguan ekskresi sodium. Diet sodium yang tinggi menginduksi

hiperfiltrasi glomerular dan menghambat blokade RAAS (Renin Angiotensin

Aldosteron system). Menurunkan diet garam dapat menurunkan tekanan darah

dan menurunkan albuminuria. Selain diet garam dan protein, diet fosfat dan

kaliium perlu diawasi pada pasien CKD.

1.4.3. Pola hidup

Page 4: Ckd

Pasien CKD disarankan untuk melakukan aktivitas fisik sekurangnya 30 menit

selama 5 kali seminggu dan berhenti merokok

1.4.4. Antihipertensi

Obat antihipertensi dapat memperlambat bertambah parahnya CKD pada pasien

dengan atau tanpa diabetes melitus. Target tekanan darah bervariasi atau berbeda

tiap individu namun secara umum dibawah 140/90 mmHg dan dengan diabetes

di bawah 130/80 mmHg. ACE inhibitor (lisinopril, captopril) dan ARBs

(losartan, irbesartan, candesartan) merupakan antihipertensi lini pertama yang

memiliki manfaat dalam menjaga fungsi ginjal. ACE inhibitor dan ARB terapi

bermanfaat dalam menurunkan tekanan intraglomerular yang dimediasi oleh

angiotensin II. ACE inhibitor dan ARB digunakan pada pasien CKD dengan atau

tanpa diabetes dan albumin urin >300mg/24 jam. Golongan renin inhibitor juga

memiliki manfaat sebagai renoproktektor misalnya Aliskiren. Calcium channel

blocker (CCB) dapat mencegah bertambah parahnya CKD yang memiliki efek

renal hemodinamik, sitoprotektif dan antiproliferatif (mencegah pembengkakan

sel mesangial ginjal dan pembentukan jaringan parut pada ginjal). CCB

nondihidropiridin (diltiazem dan verapamil) memiliki manfaat dalam

menurunkan proteinuria dibandingkan CCB dihidropiridin (amlodipin). CCB

harus dikombinasi dengan ACE inhibitor atau ARB pada pasien dengan

proteinuria. β-bloker memiliki manfaat menurunkan albuminuria pada pasien

diabetes. Monitoring tekanan darah dilakukan 2-4 minggu sekali

Page 5: Ckd

Gambar 1.1 Tatalaksana hipertensi pada pasien CKD

1.4.5. Glikemik kontrol

Direkomendasikan target Hemoglobin A1C (HbA1C) 7,0% (53 mmol/mol), kadar

glukosa preprandial 92-130 mg/dL dan post prandial <180 mg/dL untuk

mencegah komplikasi mikrovaskular dari diabetes melitus. Tidak

direkomendasikan untuk melakukan pengobatan pada HbA1C <7,0 % dan pasien

dengan resiko hipoglikemia. Dalam menurunkan kejadian komplikasi

mikrovaskular termasuk nefropati pada pasien diabetes melitus tipe 1 dan 2,

dibutuhkan intensif terapi berupa insulin dan obat oral antidiabetes.

1.4.6. Terapi dislipidemia

Golongan obat β hydroxy-β-methylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reduktase

inhibitor dan gemfibrozil paling banyak digunakan pada pasien dislipidemia

dengan CKD dengan atau tanpa proteinuria. Tujuan dilakukannya terapi

dislipidemia adalah unutk menurunkan resiko progressive atherosclerotic

disease.

Page 6: Ckd

1.5. Komplikasi CKD

Pada pasien CKD stage 4-5 terdapat banyak tanda dan gejala yang parah sebagai

manifestasi dari keparahan gangguan ginjalnya yang sering disebur uremic

syndrome. Manifestasi tersebut antara lain hipertensi, pruritus, ertropoetin

defisiensi, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hiperkalsemia, metabolik asidosis,

anemia. Pada pasien ESRD direkomendasikan melakukan dialisis baik itu

hemodialisis maupun peritoneal dialisis.

1.5.1. Hiperkalemia

Hiperkalemia didefinisikan sebagai serum potasium lebih dari 5,5 mEq/L.

Hiperkalemia dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya antara

lain mild hiperkalemia (serum potasium 5,5-6 mEq/L), moderate hiperkalemia

(6,1-6,9 mEq/L) dan severe hiperkalemia (>7 mEq/L). Pengobatan hiperkalemia

dapat dirangkum sesuai gambar 1.2

Gambar 1.2 Pengobatan hiperkalemia

Page 7: Ckd

Pada pasien mild sampai moderate hiperkalemia, terapi yang agresif tidak dapat

diberikan, namun beberapa klinisi memberikan kalsium secara intravena pada

pasien tanpa riwayat penyakit jantung. Pada pasien CKD stage 3-4, furosemide

20-40 mg oral sebagai dosis awal daat diberikan, kemudian dapat disesuaikan

sesuai dengan respon yang diberikan. Monitoring volume dan konsentrasi

elektrolit perlu dilakukan pada pemberian furosemide. Pada tabel 1.1 dijelaskan

golongan obat yang diberikan pada severe hiperkalemia (serum potasium >7

mEq/L)

Tabel 1.1 Rejimen dosis terapi hiperkalemia

Anemia

Page 8: Ckd

Daftar pustaka

Koda kimble and young, 2013, Applied therapeutic: The Clinical Use of Drugs

10th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadephia, USA

Dipiro JT et al, 2008, Pharmacotherapy : A pathophysiologic approach 7th

edition, The McGraw-Hill Companies, USA

KDIGO,2012, Clinical Practice guideline for the evaluation and management of

Chronic Kidney Disease, vol 3 issue 1

KDOQI, 2002, Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Diseae:

Evaluation, Classification and Stratification, National Kidney Foundation, New

York