Upload
fuadaffan
View
83
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
daftar pustaka ala konsulen
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia Penelitian restropektif di
RSUP Persahabatan Jakarta tahun 1997-1999 ditemukan kasus demam tifoid yang terbukti dari
kultur darah rata-rata dalam 1 bulan sebesar 5-18 kasus (Iskandar 2000)
Morbiditas dan mortalitas penyakit ini masih cukup tinggi dan terjadi perluasan dari
daerah endemik ke daerah non-endemik Penyakit ini juga banyak menimbulkan masalah
terutama pada kelompok dewasa muda karena tidak jarang disertai komplikasi dan dapat
berakhir dengan kematian Dari laporan penelitian yang dilakukan RSUP Persahabatan Jakarta
ditemukan usia penderita demam tifoid berkisar 12-74 tahun dengan usia rata-rata 14-35 tahun
(Iskandar 2000)
Diagnosis dini demam tifoid sangat bermanfaat agar dapat diberikan pengobatan yang
tepat dan dapat dihindari terjadinya komplikasi Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat
penting untuk membantu mendeteksi secara dini penyakit ini Walaupun demikian pada kasus-
kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis Pada
keadaan demikian peranan labolatorium dalam diagnosis menjadi sangat penting (Iskandar
2000)
1
BAB II
DEMAM TIFOID
Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit akut yang sering disebabkan bakteri Salmonella typhi
Demam tifoid dapat disebabkan juga oleh Salmonella paratyphi akan tetapi gejalanya kurang
berat dibandingkan dengan infeksi bakteri S typhi (Badrijah 2009)
Etiologi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi
B dan S paratyphi C ( Aulia 2010) Demam tifoid merupakan penyakit endemis di beberapa
Negara berkembang dimana sanitasi lingkungan kurang dijaga dengan baik (Badrijah 2009)
Epidemiologi
Di seluruh dunia setiap tahun terdapat 13 juta orang menderita demam tifoid dengan
lebih dari 500 ribu orang mengalami keadaan kritis Insiden demam tifoid di amerika menurun
tajam sejak awal tahun 1900 an Saat ini kira-kira ada 400 kasus tifoid dilaporkan di amerika
serikat terutama menyerang orang-orang yang telah bepergian ke tempat-tempat endemis Hal
ini terjadi karena adanya perbaikan sanitasi di Amerika Serikat Amerika selatan Mexico
Pakistan Mesir merupakan daerah endemis bagi demam tifoid ( Balentine 2011)
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik tetapi lebih sering bersifat
sporadik terpencar-pencar disuatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada
orang-orang serumah Sumber penularannya biasanya tidak dapat ditemukan ( Aulia 2010)
Sementara ada pendapat yang mengatakan bahwa demam tifoid merupakan penyakit
endemik di Indonesia Penyakit ini termasuk penyakit menular dan mewabah sejak tahun
Laporan dari Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Penyehatan Lingkungan
Pemukiman Departemen Kesehatan (Ditjen P2MLP Depkes) dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai 1986 memperlihatkan jumlah penderita sekitar 358 yaitu
19596 menjadi 26606 kasus Data dari Sub Direktorat Surveilans Depertemen Kesehatan
frekuensi demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 1991 1992 1993 1994 berturut-turut 92
134 158 174 154 per 10000 penduduk (Budi 2000)
2
Data dari rumah sakit di Jakarta menunjukan proporsi penderita demam tifoid yang
dirawat di rumah sakit meningkat dari 114-189 (tahun 1983-1990) menjadi 22-365 (1991-
1996) Laporan kejadian demam tifoid dari rumah sakit pusat kesehatan juga meningkat dari 92
kasus (1994) menjadi 125 kasus per 100000 orang per tahun (1996) (Budi 2000)
Pada tahun 1986 case fatality rate (CRF) demam tifoid menurut laporan Ditjen P2MPLP
Depkes tahun 1996 sebesar 108 dari seluruh kematian di Indonesia Namun demikian
berdasarkan hasil survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes
RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi
(Budi 2000)
Transmisi
Ada dua sumber penularan S typhi pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering
karier Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 bakteri pergram tinja (Aulia 2010)
Bakteri yang menyebabkan demam tifoid terdapat pada air atau makanan yang terkontaminasi
melalui kontak langsung dengan orang yang sudah terinkeksi tifoid Pada negara berkembang
daerah endemis demam tifoid sebagian kasus tifoid disebabkan oleh sanitasi yang buruk dan air
minum yang terkontaminasi Sementara sebagian besar penderita di Negara industri menderita
tifoid setelah bepergian ke daaerah endemis Hal ini berarti S typhi terdapat pada feces dan urine
penderita Seseorang dapat terinfeksi jika mengkonsumsi makanan yang disentuh oleh tangan
penderita demam tifoid yang tidak mencuci tangan dengan bersih setelah ke toilet Seseorang
juga dapat terinfeksi setelah minum air minum yang sudah terkontaminasi bakteri Styphi (
Balentine 2011)
Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita Penyebaran bakteri ke
dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah
buang air besar maupun setelah berkemih Dengan kata lain penyebarannya melalui fecal-oral
Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan (Badrijah et al
2009)
Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam
peredaran darah Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar
Pada kasus yang berat yang bisa berakibat fatal jaringan yang terkena bisa mengalami
perdarahan dan perforasi (perlubangan) Sekitar 3 penderita yang terinfeksi oleh Salmonella
3
typhi dan belum mendapatkan pengobatan di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama
lebih dari 1 tahun Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari
demam tifoid Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun kejadian
meningkat setelah umur 5 tahun Pada minggu pertama sakit demam tifoid sangat sukar
dibedakan dengan penyakit demam lainnya Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan biakan bakteri untuk konfirmasi (Badrijah 2009)
Patofisiologi
Masuknya bakteri Salmonella Typhi dan Salmonella Parathypi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi bakteri Sebagian bakteri dimusnahkan di dalam
lambung oleh asam lambung dan sebagian lainnya lolos ke usus halus kemudian akan
berkembang biak (Sudoyo et al 2002)
Bila respon imunitas humoral mukosa usus yakni IgA kurang baik maka bakteri akan
menembus sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia Di lamina propia bakteri
berkembang baik dan di fagosit oleh makrofag Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika Selanjutnya melalui duktus torakikus bakteri yang terdapat dalam
makrofag ini akan masuk ke srkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ di RES terutama hati dan limpa Di organ-organ
ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau di ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kembali ke sirkulasi darah dan menyebabkan bakterimia kedua
disertai tanda-tanda penyakit infeksi (Sudoyo et al 2002)
4
Gambar 1 Patofisiologi Demam Tifoid diambil dari Christoper 2002
Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kantung empedu Bakteri kemudian berkembang
biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus
Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses sementara sebagian lainnya masuk kedalam sirkulasi
setelah menembus usus Proses yang sama terulang lagi berhubung makrofag sudah teraktivasi
sebelumnya maka saat fagositosis bakteri salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sitemik seperti demam
malaise mialgia sakit kepala gangguan gastrointestinal instabilitas vaskuler gangguan mental
dna koagulasi (Sudoyo et al 2002)
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia jaringan (S thypi
intra makrofag menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak
peyeri uyang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel mononuclear di dinding
usus Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskular
pernapasan dan gangguan organ lainnya (Sudoyo et al 2002)
5
Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis
1 Masa inkubasi Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari walaupun pada umumnya adalah
10-12 hari Gejala awal yang biasa terjadi adalah (Rahman 2010)
- Anoreksia
- Malaise
- Cephalgia
- Myalgia
- Tiphoid Tongue
- Gangguan gastroinstestinal (diare konstipasi kembung)
2 Minggu pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari gejala infeksi sama seperti
penyakit infeksi akut lainnya seperti demam tinggi berkepanjangan 39 derajat sampai 40
derajat sakit kepala pusing pegal-pegal anoreksia mual muntah batuk dengan nadi
antara 80-100 kali per menit denyut lemah pernapasan makin cepat perut kembung dan
merasa tidak nyaman diare dan konstipasi Rose Spot umumnya muncul di hari ke tujuh
dan hanya terdapat di dada tidak merata bercak-bercak ini berlangsung 3-5 hari
kemudian hilang dengan sempurna Roseola terjadi terutama pada penderita golongan
kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm berkelompok timbul paling
sering pada kulit perut lengan atas atau dada bagian bawah kelihatan memucat bila
ditekan Pada infeksi yang berat purpura kulit yang difus dapat dijumpai Limpa menjadi
teraba dan abdomen mengalami distensi (Rahman 2010)
3 Minggu ke-2 Jika pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam
hari Karena itu pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam) Suhu badan yang tinggi dengan penurunan sedikit pada pagi hari
berlangsung Terjadi bradikardia relatif nadi penderita Yang semestinya nadi meningkat
bersama dengan peningkatan suhu saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan
peningkatan suhu tubuh Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan
penderita yang mengalami delirium Gangguan pendengaran umumnya terjadi Lidah
tampak keringmerah mengkilat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun
sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi
perdarahan Pembesaran hati dan limpa Perut kembung dan sering berbunyi Gangguan
6
kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain
(Rahman 2010)
4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu
Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-
gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat
ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak
dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat
dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga
tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian
mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal
maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan
keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya
kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)
5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)
Diagnosis
Kriteria Mansoni 1987
- Demam lebih dari 7 hari
- Bradikardia relative
- Coated Tongue
- Hepatosplenomegali
- Roseola spot
- Aneosinofilia
- Gangguan GI tract konstipasi diare
Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam
tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam
tifoid meliputi (Maripaandi 2010)
7
1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik
- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien
- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT
- Adanya aneosinofilia
2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk
pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik
standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih
tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu
pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya
volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur
organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam
mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi
empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki
keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat
pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan
sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium
diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah
mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk
deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan
tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat
sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung
hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan
kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol
(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit
demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena
hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah
tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil
darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan
uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)
8
3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di
dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi
aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)
o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)
o Aglutinin H (flagela bakteri)
o Aglutinin Vi (simpai bakteri)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini
(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering
diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji
cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan
oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan
oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan
antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu
dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan
pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering
dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing
labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160
dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari
ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan
setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal
agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)
4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif
dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada
pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)
Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat
invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan
dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak
semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum
tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan
9
jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume
sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah
memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang
maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)
5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas
tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan
durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang
mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya
Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan
yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan
standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan
Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan
(John 2008)
6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah
dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)
Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering
terjadi (Christoper 2002)
7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari
sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe
typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada
penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid
menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen
tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan
titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas
tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi
dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal
TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)
(Brush 2010)
10
Terapi
1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari
daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan
yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan
antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda
untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis
mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali
lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa
komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan
teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang
lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi
Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)
2 Medika Mentosa
Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua
obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat
yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-
rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari
pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones
harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari
Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan
cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam
tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam
waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat
kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)
Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan
azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan
kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini
11
ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan
pilihan (Agarwal2004)
Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan
untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab
demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana
fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan
gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7
hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka
kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)
Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah
sebagai berikut (Suhendro 2000)
1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah
4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang
2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya
saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya
Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6
3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol
Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol
400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu
4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu
5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari
6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4
a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari
b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari
c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari
d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari
e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari
12
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
BAB II
DEMAM TIFOID
Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit akut yang sering disebabkan bakteri Salmonella typhi
Demam tifoid dapat disebabkan juga oleh Salmonella paratyphi akan tetapi gejalanya kurang
berat dibandingkan dengan infeksi bakteri S typhi (Badrijah 2009)
Etiologi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi
B dan S paratyphi C ( Aulia 2010) Demam tifoid merupakan penyakit endemis di beberapa
Negara berkembang dimana sanitasi lingkungan kurang dijaga dengan baik (Badrijah 2009)
Epidemiologi
Di seluruh dunia setiap tahun terdapat 13 juta orang menderita demam tifoid dengan
lebih dari 500 ribu orang mengalami keadaan kritis Insiden demam tifoid di amerika menurun
tajam sejak awal tahun 1900 an Saat ini kira-kira ada 400 kasus tifoid dilaporkan di amerika
serikat terutama menyerang orang-orang yang telah bepergian ke tempat-tempat endemis Hal
ini terjadi karena adanya perbaikan sanitasi di Amerika Serikat Amerika selatan Mexico
Pakistan Mesir merupakan daerah endemis bagi demam tifoid ( Balentine 2011)
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik tetapi lebih sering bersifat
sporadik terpencar-pencar disuatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada
orang-orang serumah Sumber penularannya biasanya tidak dapat ditemukan ( Aulia 2010)
Sementara ada pendapat yang mengatakan bahwa demam tifoid merupakan penyakit
endemik di Indonesia Penyakit ini termasuk penyakit menular dan mewabah sejak tahun
Laporan dari Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Penyehatan Lingkungan
Pemukiman Departemen Kesehatan (Ditjen P2MLP Depkes) dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai 1986 memperlihatkan jumlah penderita sekitar 358 yaitu
19596 menjadi 26606 kasus Data dari Sub Direktorat Surveilans Depertemen Kesehatan
frekuensi demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 1991 1992 1993 1994 berturut-turut 92
134 158 174 154 per 10000 penduduk (Budi 2000)
2
Data dari rumah sakit di Jakarta menunjukan proporsi penderita demam tifoid yang
dirawat di rumah sakit meningkat dari 114-189 (tahun 1983-1990) menjadi 22-365 (1991-
1996) Laporan kejadian demam tifoid dari rumah sakit pusat kesehatan juga meningkat dari 92
kasus (1994) menjadi 125 kasus per 100000 orang per tahun (1996) (Budi 2000)
Pada tahun 1986 case fatality rate (CRF) demam tifoid menurut laporan Ditjen P2MPLP
Depkes tahun 1996 sebesar 108 dari seluruh kematian di Indonesia Namun demikian
berdasarkan hasil survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes
RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi
(Budi 2000)
Transmisi
Ada dua sumber penularan S typhi pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering
karier Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 bakteri pergram tinja (Aulia 2010)
Bakteri yang menyebabkan demam tifoid terdapat pada air atau makanan yang terkontaminasi
melalui kontak langsung dengan orang yang sudah terinkeksi tifoid Pada negara berkembang
daerah endemis demam tifoid sebagian kasus tifoid disebabkan oleh sanitasi yang buruk dan air
minum yang terkontaminasi Sementara sebagian besar penderita di Negara industri menderita
tifoid setelah bepergian ke daaerah endemis Hal ini berarti S typhi terdapat pada feces dan urine
penderita Seseorang dapat terinfeksi jika mengkonsumsi makanan yang disentuh oleh tangan
penderita demam tifoid yang tidak mencuci tangan dengan bersih setelah ke toilet Seseorang
juga dapat terinfeksi setelah minum air minum yang sudah terkontaminasi bakteri Styphi (
Balentine 2011)
Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita Penyebaran bakteri ke
dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah
buang air besar maupun setelah berkemih Dengan kata lain penyebarannya melalui fecal-oral
Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan (Badrijah et al
2009)
Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam
peredaran darah Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar
Pada kasus yang berat yang bisa berakibat fatal jaringan yang terkena bisa mengalami
perdarahan dan perforasi (perlubangan) Sekitar 3 penderita yang terinfeksi oleh Salmonella
3
typhi dan belum mendapatkan pengobatan di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama
lebih dari 1 tahun Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari
demam tifoid Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun kejadian
meningkat setelah umur 5 tahun Pada minggu pertama sakit demam tifoid sangat sukar
dibedakan dengan penyakit demam lainnya Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan biakan bakteri untuk konfirmasi (Badrijah 2009)
Patofisiologi
Masuknya bakteri Salmonella Typhi dan Salmonella Parathypi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi bakteri Sebagian bakteri dimusnahkan di dalam
lambung oleh asam lambung dan sebagian lainnya lolos ke usus halus kemudian akan
berkembang biak (Sudoyo et al 2002)
Bila respon imunitas humoral mukosa usus yakni IgA kurang baik maka bakteri akan
menembus sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia Di lamina propia bakteri
berkembang baik dan di fagosit oleh makrofag Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika Selanjutnya melalui duktus torakikus bakteri yang terdapat dalam
makrofag ini akan masuk ke srkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ di RES terutama hati dan limpa Di organ-organ
ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau di ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kembali ke sirkulasi darah dan menyebabkan bakterimia kedua
disertai tanda-tanda penyakit infeksi (Sudoyo et al 2002)
4
Gambar 1 Patofisiologi Demam Tifoid diambil dari Christoper 2002
Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kantung empedu Bakteri kemudian berkembang
biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus
Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses sementara sebagian lainnya masuk kedalam sirkulasi
setelah menembus usus Proses yang sama terulang lagi berhubung makrofag sudah teraktivasi
sebelumnya maka saat fagositosis bakteri salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sitemik seperti demam
malaise mialgia sakit kepala gangguan gastrointestinal instabilitas vaskuler gangguan mental
dna koagulasi (Sudoyo et al 2002)
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia jaringan (S thypi
intra makrofag menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak
peyeri uyang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel mononuclear di dinding
usus Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskular
pernapasan dan gangguan organ lainnya (Sudoyo et al 2002)
5
Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis
1 Masa inkubasi Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari walaupun pada umumnya adalah
10-12 hari Gejala awal yang biasa terjadi adalah (Rahman 2010)
- Anoreksia
- Malaise
- Cephalgia
- Myalgia
- Tiphoid Tongue
- Gangguan gastroinstestinal (diare konstipasi kembung)
2 Minggu pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari gejala infeksi sama seperti
penyakit infeksi akut lainnya seperti demam tinggi berkepanjangan 39 derajat sampai 40
derajat sakit kepala pusing pegal-pegal anoreksia mual muntah batuk dengan nadi
antara 80-100 kali per menit denyut lemah pernapasan makin cepat perut kembung dan
merasa tidak nyaman diare dan konstipasi Rose Spot umumnya muncul di hari ke tujuh
dan hanya terdapat di dada tidak merata bercak-bercak ini berlangsung 3-5 hari
kemudian hilang dengan sempurna Roseola terjadi terutama pada penderita golongan
kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm berkelompok timbul paling
sering pada kulit perut lengan atas atau dada bagian bawah kelihatan memucat bila
ditekan Pada infeksi yang berat purpura kulit yang difus dapat dijumpai Limpa menjadi
teraba dan abdomen mengalami distensi (Rahman 2010)
3 Minggu ke-2 Jika pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam
hari Karena itu pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam) Suhu badan yang tinggi dengan penurunan sedikit pada pagi hari
berlangsung Terjadi bradikardia relatif nadi penderita Yang semestinya nadi meningkat
bersama dengan peningkatan suhu saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan
peningkatan suhu tubuh Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan
penderita yang mengalami delirium Gangguan pendengaran umumnya terjadi Lidah
tampak keringmerah mengkilat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun
sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi
perdarahan Pembesaran hati dan limpa Perut kembung dan sering berbunyi Gangguan
6
kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain
(Rahman 2010)
4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu
Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-
gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat
ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak
dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat
dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga
tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian
mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal
maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan
keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya
kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)
5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)
Diagnosis
Kriteria Mansoni 1987
- Demam lebih dari 7 hari
- Bradikardia relative
- Coated Tongue
- Hepatosplenomegali
- Roseola spot
- Aneosinofilia
- Gangguan GI tract konstipasi diare
Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam
tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam
tifoid meliputi (Maripaandi 2010)
7
1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik
- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien
- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT
- Adanya aneosinofilia
2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk
pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik
standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih
tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu
pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya
volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur
organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam
mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi
empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki
keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat
pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan
sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium
diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah
mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk
deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan
tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat
sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung
hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan
kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol
(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit
demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena
hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah
tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil
darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan
uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)
8
3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di
dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi
aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)
o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)
o Aglutinin H (flagela bakteri)
o Aglutinin Vi (simpai bakteri)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini
(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering
diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji
cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan
oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan
oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan
antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu
dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan
pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering
dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing
labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160
dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari
ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan
setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal
agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)
4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif
dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada
pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)
Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat
invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan
dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak
semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum
tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan
9
jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume
sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah
memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang
maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)
5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas
tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan
durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang
mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya
Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan
yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan
standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan
Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan
(John 2008)
6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah
dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)
Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering
terjadi (Christoper 2002)
7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari
sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe
typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada
penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid
menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen
tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan
titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas
tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi
dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal
TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)
(Brush 2010)
10
Terapi
1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari
daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan
yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan
antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda
untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis
mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali
lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa
komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan
teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang
lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi
Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)
2 Medika Mentosa
Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua
obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat
yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-
rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari
pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones
harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari
Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan
cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam
tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam
waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat
kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)
Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan
azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan
kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini
11
ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan
pilihan (Agarwal2004)
Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan
untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab
demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana
fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan
gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7
hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka
kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)
Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah
sebagai berikut (Suhendro 2000)
1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah
4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang
2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya
saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya
Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6
3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol
Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol
400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu
4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu
5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari
6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4
a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari
b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari
c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari
d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari
e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari
12
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
Data dari rumah sakit di Jakarta menunjukan proporsi penderita demam tifoid yang
dirawat di rumah sakit meningkat dari 114-189 (tahun 1983-1990) menjadi 22-365 (1991-
1996) Laporan kejadian demam tifoid dari rumah sakit pusat kesehatan juga meningkat dari 92
kasus (1994) menjadi 125 kasus per 100000 orang per tahun (1996) (Budi 2000)
Pada tahun 1986 case fatality rate (CRF) demam tifoid menurut laporan Ditjen P2MPLP
Depkes tahun 1996 sebesar 108 dari seluruh kematian di Indonesia Namun demikian
berdasarkan hasil survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes
RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi
(Budi 2000)
Transmisi
Ada dua sumber penularan S typhi pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering
karier Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 bakteri pergram tinja (Aulia 2010)
Bakteri yang menyebabkan demam tifoid terdapat pada air atau makanan yang terkontaminasi
melalui kontak langsung dengan orang yang sudah terinkeksi tifoid Pada negara berkembang
daerah endemis demam tifoid sebagian kasus tifoid disebabkan oleh sanitasi yang buruk dan air
minum yang terkontaminasi Sementara sebagian besar penderita di Negara industri menderita
tifoid setelah bepergian ke daaerah endemis Hal ini berarti S typhi terdapat pada feces dan urine
penderita Seseorang dapat terinfeksi jika mengkonsumsi makanan yang disentuh oleh tangan
penderita demam tifoid yang tidak mencuci tangan dengan bersih setelah ke toilet Seseorang
juga dapat terinfeksi setelah minum air minum yang sudah terkontaminasi bakteri Styphi (
Balentine 2011)
Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita Penyebaran bakteri ke
dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah
buang air besar maupun setelah berkemih Dengan kata lain penyebarannya melalui fecal-oral
Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan (Badrijah et al
2009)
Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam
peredaran darah Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar
Pada kasus yang berat yang bisa berakibat fatal jaringan yang terkena bisa mengalami
perdarahan dan perforasi (perlubangan) Sekitar 3 penderita yang terinfeksi oleh Salmonella
3
typhi dan belum mendapatkan pengobatan di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama
lebih dari 1 tahun Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari
demam tifoid Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun kejadian
meningkat setelah umur 5 tahun Pada minggu pertama sakit demam tifoid sangat sukar
dibedakan dengan penyakit demam lainnya Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan biakan bakteri untuk konfirmasi (Badrijah 2009)
Patofisiologi
Masuknya bakteri Salmonella Typhi dan Salmonella Parathypi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi bakteri Sebagian bakteri dimusnahkan di dalam
lambung oleh asam lambung dan sebagian lainnya lolos ke usus halus kemudian akan
berkembang biak (Sudoyo et al 2002)
Bila respon imunitas humoral mukosa usus yakni IgA kurang baik maka bakteri akan
menembus sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia Di lamina propia bakteri
berkembang baik dan di fagosit oleh makrofag Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika Selanjutnya melalui duktus torakikus bakteri yang terdapat dalam
makrofag ini akan masuk ke srkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ di RES terutama hati dan limpa Di organ-organ
ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau di ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kembali ke sirkulasi darah dan menyebabkan bakterimia kedua
disertai tanda-tanda penyakit infeksi (Sudoyo et al 2002)
4
Gambar 1 Patofisiologi Demam Tifoid diambil dari Christoper 2002
Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kantung empedu Bakteri kemudian berkembang
biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus
Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses sementara sebagian lainnya masuk kedalam sirkulasi
setelah menembus usus Proses yang sama terulang lagi berhubung makrofag sudah teraktivasi
sebelumnya maka saat fagositosis bakteri salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sitemik seperti demam
malaise mialgia sakit kepala gangguan gastrointestinal instabilitas vaskuler gangguan mental
dna koagulasi (Sudoyo et al 2002)
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia jaringan (S thypi
intra makrofag menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak
peyeri uyang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel mononuclear di dinding
usus Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskular
pernapasan dan gangguan organ lainnya (Sudoyo et al 2002)
5
Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis
1 Masa inkubasi Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari walaupun pada umumnya adalah
10-12 hari Gejala awal yang biasa terjadi adalah (Rahman 2010)
- Anoreksia
- Malaise
- Cephalgia
- Myalgia
- Tiphoid Tongue
- Gangguan gastroinstestinal (diare konstipasi kembung)
2 Minggu pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari gejala infeksi sama seperti
penyakit infeksi akut lainnya seperti demam tinggi berkepanjangan 39 derajat sampai 40
derajat sakit kepala pusing pegal-pegal anoreksia mual muntah batuk dengan nadi
antara 80-100 kali per menit denyut lemah pernapasan makin cepat perut kembung dan
merasa tidak nyaman diare dan konstipasi Rose Spot umumnya muncul di hari ke tujuh
dan hanya terdapat di dada tidak merata bercak-bercak ini berlangsung 3-5 hari
kemudian hilang dengan sempurna Roseola terjadi terutama pada penderita golongan
kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm berkelompok timbul paling
sering pada kulit perut lengan atas atau dada bagian bawah kelihatan memucat bila
ditekan Pada infeksi yang berat purpura kulit yang difus dapat dijumpai Limpa menjadi
teraba dan abdomen mengalami distensi (Rahman 2010)
3 Minggu ke-2 Jika pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam
hari Karena itu pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam) Suhu badan yang tinggi dengan penurunan sedikit pada pagi hari
berlangsung Terjadi bradikardia relatif nadi penderita Yang semestinya nadi meningkat
bersama dengan peningkatan suhu saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan
peningkatan suhu tubuh Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan
penderita yang mengalami delirium Gangguan pendengaran umumnya terjadi Lidah
tampak keringmerah mengkilat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun
sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi
perdarahan Pembesaran hati dan limpa Perut kembung dan sering berbunyi Gangguan
6
kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain
(Rahman 2010)
4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu
Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-
gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat
ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak
dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat
dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga
tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian
mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal
maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan
keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya
kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)
5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)
Diagnosis
Kriteria Mansoni 1987
- Demam lebih dari 7 hari
- Bradikardia relative
- Coated Tongue
- Hepatosplenomegali
- Roseola spot
- Aneosinofilia
- Gangguan GI tract konstipasi diare
Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam
tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam
tifoid meliputi (Maripaandi 2010)
7
1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik
- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien
- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT
- Adanya aneosinofilia
2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk
pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik
standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih
tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu
pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya
volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur
organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam
mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi
empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki
keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat
pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan
sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium
diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah
mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk
deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan
tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat
sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung
hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan
kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol
(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit
demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena
hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah
tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil
darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan
uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)
8
3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di
dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi
aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)
o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)
o Aglutinin H (flagela bakteri)
o Aglutinin Vi (simpai bakteri)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini
(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering
diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji
cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan
oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan
oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan
antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu
dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan
pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering
dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing
labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160
dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari
ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan
setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal
agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)
4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif
dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada
pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)
Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat
invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan
dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak
semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum
tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan
9
jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume
sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah
memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang
maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)
5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas
tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan
durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang
mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya
Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan
yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan
standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan
Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan
(John 2008)
6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah
dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)
Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering
terjadi (Christoper 2002)
7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari
sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe
typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada
penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid
menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen
tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan
titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas
tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi
dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal
TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)
(Brush 2010)
10
Terapi
1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari
daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan
yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan
antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda
untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis
mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali
lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa
komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan
teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang
lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi
Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)
2 Medika Mentosa
Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua
obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat
yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-
rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari
pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones
harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari
Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan
cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam
tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam
waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat
kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)
Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan
azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan
kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini
11
ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan
pilihan (Agarwal2004)
Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan
untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab
demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana
fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan
gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7
hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka
kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)
Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah
sebagai berikut (Suhendro 2000)
1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah
4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang
2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya
saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya
Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6
3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol
Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol
400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu
4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu
5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari
6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4
a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari
b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari
c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari
d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari
e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari
12
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
typhi dan belum mendapatkan pengobatan di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama
lebih dari 1 tahun Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari
demam tifoid Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun kejadian
meningkat setelah umur 5 tahun Pada minggu pertama sakit demam tifoid sangat sukar
dibedakan dengan penyakit demam lainnya Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan biakan bakteri untuk konfirmasi (Badrijah 2009)
Patofisiologi
Masuknya bakteri Salmonella Typhi dan Salmonella Parathypi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi bakteri Sebagian bakteri dimusnahkan di dalam
lambung oleh asam lambung dan sebagian lainnya lolos ke usus halus kemudian akan
berkembang biak (Sudoyo et al 2002)
Bila respon imunitas humoral mukosa usus yakni IgA kurang baik maka bakteri akan
menembus sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia Di lamina propia bakteri
berkembang baik dan di fagosit oleh makrofag Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika Selanjutnya melalui duktus torakikus bakteri yang terdapat dalam
makrofag ini akan masuk ke srkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ di RES terutama hati dan limpa Di organ-organ
ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau di ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kembali ke sirkulasi darah dan menyebabkan bakterimia kedua
disertai tanda-tanda penyakit infeksi (Sudoyo et al 2002)
4
Gambar 1 Patofisiologi Demam Tifoid diambil dari Christoper 2002
Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kantung empedu Bakteri kemudian berkembang
biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus
Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses sementara sebagian lainnya masuk kedalam sirkulasi
setelah menembus usus Proses yang sama terulang lagi berhubung makrofag sudah teraktivasi
sebelumnya maka saat fagositosis bakteri salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sitemik seperti demam
malaise mialgia sakit kepala gangguan gastrointestinal instabilitas vaskuler gangguan mental
dna koagulasi (Sudoyo et al 2002)
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia jaringan (S thypi
intra makrofag menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak
peyeri uyang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel mononuclear di dinding
usus Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskular
pernapasan dan gangguan organ lainnya (Sudoyo et al 2002)
5
Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis
1 Masa inkubasi Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari walaupun pada umumnya adalah
10-12 hari Gejala awal yang biasa terjadi adalah (Rahman 2010)
- Anoreksia
- Malaise
- Cephalgia
- Myalgia
- Tiphoid Tongue
- Gangguan gastroinstestinal (diare konstipasi kembung)
2 Minggu pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari gejala infeksi sama seperti
penyakit infeksi akut lainnya seperti demam tinggi berkepanjangan 39 derajat sampai 40
derajat sakit kepala pusing pegal-pegal anoreksia mual muntah batuk dengan nadi
antara 80-100 kali per menit denyut lemah pernapasan makin cepat perut kembung dan
merasa tidak nyaman diare dan konstipasi Rose Spot umumnya muncul di hari ke tujuh
dan hanya terdapat di dada tidak merata bercak-bercak ini berlangsung 3-5 hari
kemudian hilang dengan sempurna Roseola terjadi terutama pada penderita golongan
kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm berkelompok timbul paling
sering pada kulit perut lengan atas atau dada bagian bawah kelihatan memucat bila
ditekan Pada infeksi yang berat purpura kulit yang difus dapat dijumpai Limpa menjadi
teraba dan abdomen mengalami distensi (Rahman 2010)
3 Minggu ke-2 Jika pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam
hari Karena itu pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam) Suhu badan yang tinggi dengan penurunan sedikit pada pagi hari
berlangsung Terjadi bradikardia relatif nadi penderita Yang semestinya nadi meningkat
bersama dengan peningkatan suhu saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan
peningkatan suhu tubuh Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan
penderita yang mengalami delirium Gangguan pendengaran umumnya terjadi Lidah
tampak keringmerah mengkilat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun
sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi
perdarahan Pembesaran hati dan limpa Perut kembung dan sering berbunyi Gangguan
6
kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain
(Rahman 2010)
4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu
Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-
gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat
ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak
dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat
dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga
tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian
mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal
maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan
keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya
kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)
5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)
Diagnosis
Kriteria Mansoni 1987
- Demam lebih dari 7 hari
- Bradikardia relative
- Coated Tongue
- Hepatosplenomegali
- Roseola spot
- Aneosinofilia
- Gangguan GI tract konstipasi diare
Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam
tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam
tifoid meliputi (Maripaandi 2010)
7
1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik
- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien
- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT
- Adanya aneosinofilia
2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk
pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik
standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih
tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu
pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya
volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur
organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam
mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi
empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki
keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat
pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan
sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium
diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah
mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk
deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan
tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat
sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung
hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan
kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol
(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit
demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena
hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah
tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil
darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan
uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)
8
3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di
dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi
aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)
o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)
o Aglutinin H (flagela bakteri)
o Aglutinin Vi (simpai bakteri)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini
(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering
diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji
cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan
oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan
oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan
antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu
dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan
pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering
dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing
labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160
dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari
ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan
setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal
agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)
4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif
dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada
pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)
Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat
invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan
dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak
semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum
tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan
9
jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume
sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah
memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang
maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)
5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas
tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan
durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang
mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya
Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan
yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan
standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan
Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan
(John 2008)
6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah
dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)
Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering
terjadi (Christoper 2002)
7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari
sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe
typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada
penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid
menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen
tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan
titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas
tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi
dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal
TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)
(Brush 2010)
10
Terapi
1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari
daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan
yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan
antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda
untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis
mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali
lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa
komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan
teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang
lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi
Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)
2 Medika Mentosa
Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua
obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat
yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-
rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari
pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones
harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari
Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan
cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam
tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam
waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat
kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)
Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan
azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan
kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini
11
ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan
pilihan (Agarwal2004)
Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan
untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab
demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana
fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan
gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7
hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka
kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)
Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah
sebagai berikut (Suhendro 2000)
1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah
4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang
2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya
saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya
Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6
3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol
Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol
400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu
4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu
5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari
6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4
a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari
b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari
c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari
d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari
e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari
12
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
Gambar 1 Patofisiologi Demam Tifoid diambil dari Christoper 2002
Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kantung empedu Bakteri kemudian berkembang
biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus
Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses sementara sebagian lainnya masuk kedalam sirkulasi
setelah menembus usus Proses yang sama terulang lagi berhubung makrofag sudah teraktivasi
sebelumnya maka saat fagositosis bakteri salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sitemik seperti demam
malaise mialgia sakit kepala gangguan gastrointestinal instabilitas vaskuler gangguan mental
dna koagulasi (Sudoyo et al 2002)
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia jaringan (S thypi
intra makrofag menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak
peyeri uyang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel mononuclear di dinding
usus Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskular
pernapasan dan gangguan organ lainnya (Sudoyo et al 2002)
5
Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis
1 Masa inkubasi Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari walaupun pada umumnya adalah
10-12 hari Gejala awal yang biasa terjadi adalah (Rahman 2010)
- Anoreksia
- Malaise
- Cephalgia
- Myalgia
- Tiphoid Tongue
- Gangguan gastroinstestinal (diare konstipasi kembung)
2 Minggu pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari gejala infeksi sama seperti
penyakit infeksi akut lainnya seperti demam tinggi berkepanjangan 39 derajat sampai 40
derajat sakit kepala pusing pegal-pegal anoreksia mual muntah batuk dengan nadi
antara 80-100 kali per menit denyut lemah pernapasan makin cepat perut kembung dan
merasa tidak nyaman diare dan konstipasi Rose Spot umumnya muncul di hari ke tujuh
dan hanya terdapat di dada tidak merata bercak-bercak ini berlangsung 3-5 hari
kemudian hilang dengan sempurna Roseola terjadi terutama pada penderita golongan
kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm berkelompok timbul paling
sering pada kulit perut lengan atas atau dada bagian bawah kelihatan memucat bila
ditekan Pada infeksi yang berat purpura kulit yang difus dapat dijumpai Limpa menjadi
teraba dan abdomen mengalami distensi (Rahman 2010)
3 Minggu ke-2 Jika pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam
hari Karena itu pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam) Suhu badan yang tinggi dengan penurunan sedikit pada pagi hari
berlangsung Terjadi bradikardia relatif nadi penderita Yang semestinya nadi meningkat
bersama dengan peningkatan suhu saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan
peningkatan suhu tubuh Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan
penderita yang mengalami delirium Gangguan pendengaran umumnya terjadi Lidah
tampak keringmerah mengkilat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun
sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi
perdarahan Pembesaran hati dan limpa Perut kembung dan sering berbunyi Gangguan
6
kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain
(Rahman 2010)
4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu
Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-
gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat
ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak
dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat
dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga
tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian
mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal
maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan
keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya
kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)
5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)
Diagnosis
Kriteria Mansoni 1987
- Demam lebih dari 7 hari
- Bradikardia relative
- Coated Tongue
- Hepatosplenomegali
- Roseola spot
- Aneosinofilia
- Gangguan GI tract konstipasi diare
Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam
tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam
tifoid meliputi (Maripaandi 2010)
7
1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik
- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien
- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT
- Adanya aneosinofilia
2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk
pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik
standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih
tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu
pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya
volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur
organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam
mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi
empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki
keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat
pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan
sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium
diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah
mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk
deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan
tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat
sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung
hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan
kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol
(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit
demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena
hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah
tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil
darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan
uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)
8
3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di
dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi
aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)
o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)
o Aglutinin H (flagela bakteri)
o Aglutinin Vi (simpai bakteri)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini
(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering
diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji
cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan
oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan
oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan
antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu
dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan
pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering
dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing
labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160
dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari
ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan
setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal
agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)
4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif
dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada
pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)
Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat
invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan
dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak
semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum
tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan
9
jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume
sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah
memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang
maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)
5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas
tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan
durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang
mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya
Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan
yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan
standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan
Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan
(John 2008)
6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah
dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)
Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering
terjadi (Christoper 2002)
7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari
sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe
typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada
penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid
menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen
tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan
titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas
tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi
dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal
TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)
(Brush 2010)
10
Terapi
1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari
daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan
yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan
antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda
untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis
mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali
lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa
komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan
teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang
lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi
Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)
2 Medika Mentosa
Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua
obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat
yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-
rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari
pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones
harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari
Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan
cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam
tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam
waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat
kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)
Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan
azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan
kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini
11
ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan
pilihan (Agarwal2004)
Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan
untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab
demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana
fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan
gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7
hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka
kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)
Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah
sebagai berikut (Suhendro 2000)
1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah
4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang
2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya
saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya
Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6
3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol
Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol
400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu
4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu
5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari
6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4
a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari
b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari
c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari
d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari
e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari
12
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis
1 Masa inkubasi Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari walaupun pada umumnya adalah
10-12 hari Gejala awal yang biasa terjadi adalah (Rahman 2010)
- Anoreksia
- Malaise
- Cephalgia
- Myalgia
- Tiphoid Tongue
- Gangguan gastroinstestinal (diare konstipasi kembung)
2 Minggu pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari gejala infeksi sama seperti
penyakit infeksi akut lainnya seperti demam tinggi berkepanjangan 39 derajat sampai 40
derajat sakit kepala pusing pegal-pegal anoreksia mual muntah batuk dengan nadi
antara 80-100 kali per menit denyut lemah pernapasan makin cepat perut kembung dan
merasa tidak nyaman diare dan konstipasi Rose Spot umumnya muncul di hari ke tujuh
dan hanya terdapat di dada tidak merata bercak-bercak ini berlangsung 3-5 hari
kemudian hilang dengan sempurna Roseola terjadi terutama pada penderita golongan
kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm berkelompok timbul paling
sering pada kulit perut lengan atas atau dada bagian bawah kelihatan memucat bila
ditekan Pada infeksi yang berat purpura kulit yang difus dapat dijumpai Limpa menjadi
teraba dan abdomen mengalami distensi (Rahman 2010)
3 Minggu ke-2 Jika pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam
hari Karena itu pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam) Suhu badan yang tinggi dengan penurunan sedikit pada pagi hari
berlangsung Terjadi bradikardia relatif nadi penderita Yang semestinya nadi meningkat
bersama dengan peningkatan suhu saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan
peningkatan suhu tubuh Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan
penderita yang mengalami delirium Gangguan pendengaran umumnya terjadi Lidah
tampak keringmerah mengkilat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun
sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi
perdarahan Pembesaran hati dan limpa Perut kembung dan sering berbunyi Gangguan
6
kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain
(Rahman 2010)
4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu
Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-
gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat
ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak
dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat
dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga
tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian
mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal
maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan
keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya
kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)
5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)
Diagnosis
Kriteria Mansoni 1987
- Demam lebih dari 7 hari
- Bradikardia relative
- Coated Tongue
- Hepatosplenomegali
- Roseola spot
- Aneosinofilia
- Gangguan GI tract konstipasi diare
Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam
tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam
tifoid meliputi (Maripaandi 2010)
7
1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik
- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien
- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT
- Adanya aneosinofilia
2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk
pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik
standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih
tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu
pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya
volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur
organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam
mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi
empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki
keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat
pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan
sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium
diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah
mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk
deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan
tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat
sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung
hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan
kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol
(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit
demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena
hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah
tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil
darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan
uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)
8
3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di
dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi
aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)
o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)
o Aglutinin H (flagela bakteri)
o Aglutinin Vi (simpai bakteri)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini
(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering
diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji
cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan
oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan
oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan
antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu
dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan
pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering
dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing
labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160
dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari
ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan
setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal
agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)
4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif
dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada
pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)
Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat
invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan
dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak
semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum
tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan
9
jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume
sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah
memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang
maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)
5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas
tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan
durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang
mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya
Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan
yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan
standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan
Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan
(John 2008)
6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah
dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)
Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering
terjadi (Christoper 2002)
7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari
sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe
typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada
penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid
menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen
tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan
titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas
tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi
dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal
TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)
(Brush 2010)
10
Terapi
1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari
daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan
yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan
antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda
untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis
mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali
lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa
komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan
teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang
lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi
Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)
2 Medika Mentosa
Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua
obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat
yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-
rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari
pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones
harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari
Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan
cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam
tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam
waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat
kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)
Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan
azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan
kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini
11
ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan
pilihan (Agarwal2004)
Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan
untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab
demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana
fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan
gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7
hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka
kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)
Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah
sebagai berikut (Suhendro 2000)
1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah
4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang
2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya
saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya
Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6
3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol
Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol
400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu
4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu
5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari
6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4
a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari
b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari
c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari
d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari
e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari
12
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain
(Rahman 2010)
4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu
Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-
gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat
ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak
dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat
dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga
tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian
mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal
maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan
keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya
kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)
5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)
Diagnosis
Kriteria Mansoni 1987
- Demam lebih dari 7 hari
- Bradikardia relative
- Coated Tongue
- Hepatosplenomegali
- Roseola spot
- Aneosinofilia
- Gangguan GI tract konstipasi diare
Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam
tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam
tifoid meliputi (Maripaandi 2010)
7
1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik
- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien
- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT
- Adanya aneosinofilia
2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk
pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik
standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih
tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu
pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya
volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur
organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam
mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi
empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki
keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat
pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan
sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium
diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah
mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk
deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan
tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat
sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung
hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan
kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol
(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit
demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena
hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah
tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil
darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan
uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)
8
3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di
dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi
aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)
o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)
o Aglutinin H (flagela bakteri)
o Aglutinin Vi (simpai bakteri)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini
(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering
diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji
cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan
oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan
oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan
antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu
dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan
pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering
dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing
labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160
dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari
ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan
setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal
agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)
4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif
dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada
pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)
Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat
invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan
dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak
semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum
tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan
9
jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume
sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah
memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang
maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)
5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas
tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan
durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang
mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya
Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan
yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan
standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan
Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan
(John 2008)
6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah
dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)
Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering
terjadi (Christoper 2002)
7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari
sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe
typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada
penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid
menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen
tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan
titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas
tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi
dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal
TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)
(Brush 2010)
10
Terapi
1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari
daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan
yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan
antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda
untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis
mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali
lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa
komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan
teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang
lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi
Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)
2 Medika Mentosa
Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua
obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat
yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-
rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari
pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones
harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari
Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan
cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam
tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam
waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat
kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)
Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan
azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan
kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini
11
ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan
pilihan (Agarwal2004)
Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan
untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab
demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana
fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan
gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7
hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka
kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)
Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah
sebagai berikut (Suhendro 2000)
1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah
4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang
2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya
saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya
Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6
3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol
Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol
400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu
4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu
5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari
6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4
a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari
b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari
c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari
d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari
e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari
12
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik
- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien
- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT
- Adanya aneosinofilia
2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk
pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik
standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih
tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu
pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya
volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur
organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam
mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi
empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki
keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat
pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan
sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium
diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah
mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk
deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan
tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat
sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung
hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan
kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol
(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit
demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena
hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah
tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil
darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan
uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)
8
3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di
dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi
aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)
o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)
o Aglutinin H (flagela bakteri)
o Aglutinin Vi (simpai bakteri)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini
(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering
diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji
cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan
oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan
oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan
antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu
dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan
pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering
dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing
labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160
dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari
ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan
setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal
agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)
4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif
dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada
pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)
Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat
invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan
dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak
semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum
tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan
9
jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume
sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah
memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang
maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)
5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas
tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan
durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang
mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya
Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan
yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan
standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan
Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan
(John 2008)
6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah
dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)
Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering
terjadi (Christoper 2002)
7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari
sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe
typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada
penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid
menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen
tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan
titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas
tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi
dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal
TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)
(Brush 2010)
10
Terapi
1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari
daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan
yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan
antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda
untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis
mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali
lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa
komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan
teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang
lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi
Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)
2 Medika Mentosa
Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua
obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat
yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-
rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari
pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones
harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari
Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan
cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam
tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam
waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat
kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)
Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan
azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan
kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini
11
ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan
pilihan (Agarwal2004)
Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan
untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab
demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana
fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan
gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7
hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka
kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)
Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah
sebagai berikut (Suhendro 2000)
1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah
4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang
2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya
saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya
Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6
3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol
Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol
400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu
4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu
5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari
6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4
a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari
b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari
c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari
d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari
e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari
12
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di
dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi
aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)
o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)
o Aglutinin H (flagela bakteri)
o Aglutinin Vi (simpai bakteri)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini
(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering
diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji
cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan
oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan
spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan
oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan
antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu
dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan
pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering
dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing
labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160
dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari
ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan
setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal
agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)
4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif
dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada
pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)
Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat
invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan
dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak
semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum
tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan
9
jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume
sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah
memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang
maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)
5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas
tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan
durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang
mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya
Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan
yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan
standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan
Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan
(John 2008)
6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah
dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)
Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering
terjadi (Christoper 2002)
7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari
sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe
typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada
penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid
menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen
tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan
titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas
tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi
dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal
TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)
(Brush 2010)
10
Terapi
1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari
daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan
yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan
antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda
untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis
mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali
lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa
komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan
teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang
lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi
Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)
2 Medika Mentosa
Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua
obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat
yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-
rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari
pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones
harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari
Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan
cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam
tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam
waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat
kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)
Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan
azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan
kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini
11
ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan
pilihan (Agarwal2004)
Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan
untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab
demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana
fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan
gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7
hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka
kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)
Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah
sebagai berikut (Suhendro 2000)
1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah
4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang
2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya
saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya
Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6
3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol
Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol
400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu
4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu
5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari
6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4
a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari
b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari
c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari
d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari
e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari
12
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume
sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah
memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang
maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)
5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas
tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan
durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang
mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya
Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan
yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan
standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan
Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan
(John 2008)
6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah
dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)
Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering
terjadi (Christoper 2002)
7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari
sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe
typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada
penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid
menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen
tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan
titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas
tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays
(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi
dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal
TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)
(Brush 2010)
10
Terapi
1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari
daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan
yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan
antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda
untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis
mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali
lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa
komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan
teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang
lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi
Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)
2 Medika Mentosa
Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua
obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat
yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-
rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari
pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones
harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari
Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan
cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam
tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam
waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat
kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)
Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan
azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan
kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini
11
ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan
pilihan (Agarwal2004)
Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan
untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab
demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana
fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan
gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7
hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka
kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)
Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah
sebagai berikut (Suhendro 2000)
1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah
4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang
2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya
saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya
Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6
3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol
Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol
400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu
4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu
5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari
6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4
a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari
b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari
c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari
d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari
e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari
12
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
Terapi
1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari
daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan
yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan
antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda
untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis
mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali
lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa
komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan
teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang
lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi
Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)
2 Medika Mentosa
Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua
obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat
yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-
rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari
pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones
harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari
Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang
dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan
cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam
tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam
waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat
kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)
Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan
azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan
kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini
11
ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan
pilihan (Agarwal2004)
Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan
untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab
demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana
fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan
gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7
hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka
kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)
Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah
sebagai berikut (Suhendro 2000)
1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah
4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang
2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya
saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya
Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6
3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol
Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol
400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu
4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu
5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari
6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4
a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari
b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari
c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari
d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari
e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari
12
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan
pilihan (Agarwal2004)
Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan
untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab
demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana
fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan
gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7
hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka
kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)
Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah
sebagai berikut (Suhendro 2000)
1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah
4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang
2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya
saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya
Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6
3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol
Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol
400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu
4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu
5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam
dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari
6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4
a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari
b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari
c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari
d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari
e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari
12
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2
macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)
Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
(diambil dari Agarwal2004)
Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe
13
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
(diambil dari Agarwal 2004)
3 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid
yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)
4 Demam tifoid pada wanita hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat
terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik
Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)
5 Perawatan Bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan
ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum
Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan
antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi
Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang
persisten (Duncan 2008)
6 Konsultasi
14
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi
Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal
perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal
(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)
7 Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral
dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus
(Duncan 2008)
8 Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan
demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan
2008)
Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya
Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara
lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)
1 malaria
2 abses dalam
3 tuberkulosis
4 abses hati amebic
5 ensefalitis
6 influenza
7 demam berdarah
8 leptospirosis
9 infeksi mononucleosis
10 endokarditis
11 brucellosis
15
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
12 tipus
13 visceral leishmaniasis
14 toksoplasmosis
15 penyakit lymphoproliferative
16 penyakit jaringan ikat
Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah
2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK
3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah
endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi
secara umum (Christoper 2002)
Komplikasi
Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada
pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)
Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
(diambil dari Duncan 2008)
Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid
16
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella Staph
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic karier
(diambil dari Duncan 2008)
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada
penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi
juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan
2008)
Penderita Karier
Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada
10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama
seperti semula (Ferdinando2007)
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa
dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis
mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium
obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason
pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap
enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan
oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah
17
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan
penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier
intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)
Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik
Carier tanpa batu
empedu
Terapi Dosis harian
(mgKg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
(diambil dari Hellena 2008)
Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien
demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada
beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)
Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan
kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat (Jhon 2010)
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)
- Sanitasi lingkungan
18
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi
resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah
Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas (Moehario 2009)
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)
1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi
subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga
ahun
2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif
Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk
dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada
beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95
3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak
lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian
dan bertahan selama 2 tahun
19
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
BAB III
KESIMPULAN
Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama
bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang
buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi
yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat
menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu
intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya
mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya
20
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
Daftar Pustaka
Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4
Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not
Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008
Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at
httpwww Medical
journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010
Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at
http adulgoparfileswordpresscom
200912demam-tifoidpdf 2009
Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine
Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011
Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1
Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at
httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis
Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J
Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437
Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782
Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing
Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252
Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases
(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007
Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)
431-437
Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect
Developing Countries 2008 2(4) 267-271
Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000
Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal
6-10
21
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid
Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474
Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361
403-405
Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever
J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266
Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain
Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis
and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596
Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing
Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282
Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia
Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58
Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med
Coll 2010 19(2) 135-143
Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at
httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf
Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven
Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478
Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06
Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku
Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan
Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3
22
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
REFERAT
DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh
Andyan Yugatama
03008028
Dokter Pembimbing
Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD
23
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
REFERAT
ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Disusun Oleh
Andyan Yugatama
03008028
Referat telah dipresentasikan pada
Tanggal 16 Januari 2013
Tempat RSUD Kardinah Tegal
Referat telah direvisi pada
Tanggal Revisi 17 Januari 2013
Telah Disetujui oleh
Dosen Pembimbing Penguji
24
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM
TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan
kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu
1 Dr Sunarto SpPD
2 Dr Nurmilawati SpPD
3 Dr Said Baraba SpPD
4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU
Kardinah Kota Tegal
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik
Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam referat ini
Tegal Januari 2013
25
Penulis
26
Penulis
26