50
PENERAPAN ASAS CONTRADICTOIRE DELIMITATIE DALAM PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI A. LATAR BELAKANG Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa dan rakyat Indonesia yang merupakan salah satu modal dasar pembangunan dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang berdasarkan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara yang dipergunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hakekat hubungan antara wilayah kesatuan Republik Indonesia dan bangsa Indonesia adalah bersifat abadi yang merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Esa. 1

Contradictoire Delimitatie

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tesis

Citation preview

Page 1: Contradictoire Delimitatie

PENERAPAN ASAS CONTRADICTOIRE DELIMITATIE DALAM PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI

A. LATAR BELAKANG

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa dan

rakyat Indonesia yang merupakan salah satu modal dasar pembangunan dalam

upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang berdasarkan Pancasila

sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa

bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara yang dipergunakan

untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hakekat hubungan antara

wilayah kesatuan Republik Indonesia dan bangsa Indonesia adalah bersifat

abadi yang merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Pengaturan mengenai bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam

yang terkandung didalamnya, didalam wilayah negara Indonesia harus selalu

dilandasi dengan upaya ke arah persatuan dan kesatuan bangsa untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat. Oleh Pemerintah telah diundangkan Undang-

Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

atau biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA. UUPA

memberikan kewenangan kepada negara agar mengelola tanah untuk sebesar–

besar kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat dari UUD 1945 itu sendiri.

1

Page 2: Contradictoire Delimitatie

Kewenangan negara di Indonesia disebut Hak Menguasai Negara

disingkat HMN yang mengatur hubungan manusia dengan tanah dalam

pemanfaatannya diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Hak mrnguasai oleh

negara memberi wewenang untuk (1) mengatur dan menyelenggarakan

peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang

angkasa, (2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, (3) menentukan dan

mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-

perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Selain memberikan kewenangan kepada Negara, salah satu tujuan

UUPA adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum

mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat indonesia, sebagaimana

Pasal 19 UUPA ayat (1) bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh

Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia

menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam pembangunan jangka panjang peranan tanah untuk pemenuhan

berbagai keperluan akan meningkat baik sebagai tempat tinggal maupun untuk

kegiatan usaha. Sehubungan dengan itu maka akan meningkat pula kebutuhan

akan dukungan berupa jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.

Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memrlukan

perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas, yang dilaksanakan secara

konsisten sesuai engan jiwa dan isi ketentuannya.

2

Page 3: Contradictoire Delimitatie

Dalam kenyataannya, pendaftaran tanah yang diselengarakan

berdasarkan PP. 10 tahun 1961 selama 30 tahun belum cukup memberikan

hasil yang memuaskan. Dari sekitar 55 juta bidang tanah hak yang memenuhi

syarat untuk didaftar, baru lebih kurang 16,3 juta bidang tanah yang sudah

didaftar.1

Oleh karena itu dalam rangka memberikan dukungan yang lebih baik,

Pada tanggal 8 Juli 1997 Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah

(PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menggantikan

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Dalam ketentuan peralihan

Pasal 64 dinyatakan, bahwa semua peraturan perundang-undangan

pelaksanaan PP. 10/1961 yang telah ada tetap berlaku, sepanjang tidak

bertentangan atau diubah ataupun diganti berdasarkan PP yang baru.

Pendaftaran hak atas tanah pada mulanya dilakukan sebagai usaha untuk

menuju kearah kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang

haknya, pada perkembangannnya yaitu dengan berlakunya PP 24 tahun 1997,

Tujuan pelaksanaan Pendaftaran Tanah sebagaimana Pasal 3 adalah:

a. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum

kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,

b. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan termasuk Pemerintah,

c. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambtan 1997, Hal 424

3

Page 4: Contradictoire Delimitatie

Kepastian hukum yang dimaksudkan dalam Pasal 3 PP 24 Tahun 1997

tersebut adalah kepastian hukum mengenai subyek, kepastian hukum

mnegenai obyek dan kepastian hukum mengenai hak yaitu hubungan hukum

antara subyek dan obyek. Kepastian hukum mengenai obyek hak atas tanah

yaitu kepastian hukum mengenai bidang tanah itu sendiri meliputi letak, luas,

dan batas bidang tanah serta adanya kepastian batas dalam hal rekonstruksi

batas yaitu batas bidang tanah dapat dikembalikan kepada posisi seharusnya

jika batas tersebut hilang atau disengketakan.

Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah untuk kepastian hukum tersebut,

data yang dihimpun pada dasarnya meliputi 2 bidang, yaitu (1) data fisik

bidang tanah berupa lokasi, letak, batas-batas serta luas bidang tanah, dan (2)

data yuridis mengenai haknya berupa siapa subyeknya, ada tidaknya hubungan

subyek lain atas bidang tanah tersebut dan hubungan subyek obyek.

Selengkapnya dalam PP 24 Tahun 1997 dikenal dengan Pengumpulan dan

Pengolahan Data Fisik yang terkait dengan obyek bidang tanah dan

Pengumpulan Data Yuridis yang terkait dengan bukti kepemilikan dan

hubungan hukum antara subyek obyek.

Kegiatan Pendaftaran tanah dibedakan menjadi dua bagian yaitu

pendaftaran tanah pertama kali dan kegiatan perubahan data pendaftaran

tanah. Kegiatan pendafatran tanah pertama kali meliputi Pengumpulan dan

Pengolahan data fisik, Pembuktian hak dan pembukuannya, Penerbitan

Sertipikat, Penyajian data fisik dan data yuridis, Penyimpanan Daftar Umum

dan Dokumen.

4

Page 5: Contradictoire Delimitatie

Kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik, salah satu

kegiatannya adalah pelaksanaan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang

tanah. Pengukuran harus dilaksanakan secara kadastral dalam rangka

memberikan jaminan kepastian hukum mengenai obyek bidang tanah yang

meliputi letak, batas-batas dan luas dapat diperoleh apabila pengukuran dan

pemetaan dilaksanakan memenuhi persyaratan : (a) batas yang diukur adalah

batas yang sebenarnya (b) batas-batas tersebut dapat di rekonstruksikan

apabila diperlukan.

Fakta dan fenomena yang bekembang di masyarakat bahwa sengketa

pertanahan yang marak salah satu penyebabnya adalah ketidakpastian batas-

batas bidang tanah atau sering disebut sengketa batas, selain itu ada keraguan

dari pihak penegak hukum mengenai kesesuaian antara bukti kepemilikan

(data yuridis) dengan obyek bidang tanah (data fisik).

Untuk memastikan bahwa batas-batas bidang tanah yang diukur adalah

batas yang sebenarnya dan sekaligus untuk mencapai kepastian hukum

mengenai obyek hak atas tanah tersebut, dalam pelaksanaan pendaftaran

tanah menurut PP 24 Tahun 1997 dikenal asas Contradictoire Delimitatie

yaitu pemasangan dan penetapan batas bidang tanah berdasarkan kesepakatan

atau persetujuan batas dengan pihak pemilik bidang tanah yang berbatasan.

Tujuan penerapan asas Contradictoire Delimitatie adalah agar bidang

tanah yang sudah diukur dan dipetakan tidak terjadi perselisihan atau

senngketa mengenai batas-batasnya, sehingga pemilik tanah merasa aman dari

sanggahan mengenai batas-batas tanah yang ditetapkan. Hal tersebut tentunya

5

Page 6: Contradictoire Delimitatie

dapat terwujud apabila dalam pelaksanaan pengukuran pemilik bidang tanah

yang berbatasan hadir dilokasi pengukuran atau terjadi kesepakatan dalam

pemasangan tanda batas.

Penerapan asas Contradictoire Delimitatie tentunya akan berjalan lancar

apabila pada saat pelaksanaan pengukuran batas-batas bidang tanah, pihak-

pihak terkait dapat hadir pada lokasi sekaligus masing-masing pihak tersebut

sepakat mengenai batas-batas dimaksud.

Kegiatan pengukuran yang dilaksanakan tidak selamanya berjalan

lancar, salah satu penyebabnya adalah pihak yang berbatasan tidak hadir

dalam penunjukan batas, dikarenakan sibuk, berdomisili diluar daerah atau

tidak jelas pemiliknya.

Mengingat kultur hukum atau budaya hukum masyarakat Indonesia

yang majemuk memungkingkan pelaksanaan atau penerapan asas

Contradictoire Delimitatie tidak dapat dilaksanakan secara efektif sehingga

pencapaian kepastian hukum mengenai obyek tidak dapat diwujudkan

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan masalah:

Bagaimana Penerapan asas Contradictoire Delimitatie dalam memberikan

kepastian hukum mengenai obyek hak milik atas tanah

C. TUJUAN PENELITIAN

6

Page 7: Contradictoire Delimitatie

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis Penerapan asas

Contradictoire Delimitatie dalam memberikan kepastian hukum mengenai

obyek hak milik atas tanah

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat

1. sebagai salah satu sumber referensi bagi peneliti dimasa yang akan

datang terhadap permasalahan yang sama untuk melakukan studi secara

mendalam

2. sebagai bahan masukan bagi kantor pelaksana pendaftaran tanah

untuk tercapainya tujuan pendaftaran tanah yaitu tercapainya kepastian

hukum.

E. KAJIAN PUSTAKA

1. Pendaftaran Tanah Di Indonesia sebelum UUPA

Menurut R. Hermanses dalam Prof Dr. M. Yamin Lubis dan Abd.

Rahim Lubis bahwa ‘”berdasarkan sejarah perkembangannya, pendaftaran

tanah di Indonesia, diuraikan dalam tiga periode, dengan uraian sebagai

berikut: 1). Periode Pra Kadaster tahun 1620-1837, 2). Periode Kadaster

lama tahun 1837-1875, 3) Periode Kadaster Baru setelah tahun 1875”.2

Sejalan dengan itu, Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur

menjelaskan bahwa:

2 ? Prof Dr. M. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, 2008, hal 25

7

Page 8: Contradictoire Delimitatie

periode pra kadaster, ...... untuk mengatur pemberian tanah VOC mengeluarkan suatu plakat (maklumat) tanggal 18 Agustus 1620 yang menetapkan bahwa “BALJUW” yaitu pegawai pengadilan dan “SCHEEPEN” yaitu hakim atau anggota pemerintah kota untuk menyelenggarakan kadaster dan pendaftaran hak. Menurut hal tersebut di atas, bahwa penyelenggaraan kadaster dan pendaftaran hak pada tahun-tahun pertama kali dilakukan oleh satu instansi yang dibentuk dari pemerintah VOC. Pendaftaran tanah dalam suatu daftar oleh “Baljuw” dan “Scheepen” dapat diartikan “kadaster kuno” yaitu kadaster yang dilakukan tanpa didasari peta-peta.3

Pada tanggal 23 Juli 1680, dikeluarkan suatu plakat (maklumat)

yang mengatur susunan dan tugas suatu dewan yaitu ‘DEWAN

HEEMRADEN”.Dewan Heemraden tersebut adalah suatu instansi

pemerintahan yang dibentuk oleh VOC untuk daerah kekuasaan di luar

kota Jakarta yang mempunyai tugas pokok sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan kadaster di daerah kekuasannya (di luar Kota

Jakarta) dengan pembuatan peta yang teliti untuk semua tanah

beserta jalan-jalan yang telah ada atau sedang direncanakan.

Jembatan-jembatan, selokan saluran air, mencatat luas tanah serta

nama pemiliknya.

b. Dalam pembuatan peta atau peta-peta tanah Dewan Heemraden

dapat mengangkat beberapa orang ahli ukur.

c. Mengadili perkara-perkara mengenai batas-batas tanah.

d.Memelihara jalan, jembatan, saluran air, tanggul, bendungan dan

sungai.4

3 ? Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur, Pengantar Pendaftaran Tanah, STPN Yogyakarta, 2007 hal 31

4 ? Ibid Hal 32

8

Page 9: Contradictoire Delimitatie

Selanjutnya Prof Dr. M. Yamin Lubis menjelaskan bahwa “Untuk

mengatur persoalan yang timbul berhubungan denngan pemberian tanah

dan pendaftarannya serta persoalan yang melingkupinya, VOC

mengeluarkan beberapa maklumat(plakaat)”5

Plakat dimaksud antara lain Instruksi Pemerintah (stb. 1837 Nomor

3) yakni kepada ahli ukur atau dewan scheepen ditugaskan mendirikan

suatu kantor bagi para ahli ukur, ketentuan tersebut mencakup 3 pokok

penyelenggaraan suatu kadaster yang modern, yaitu:

1). pemetaan bidang-bidang tanah;

2). pendaftaran bidang-bidang tanah itu dalam dafatar-daftar tanah;

3). pemeliharaan peta-peta dan daftar-daftar tanah. 6

Periode kadaster lama berlangsung dari tahun 1837 sampai tahun

1875. Kadaster lama ini dikenal juga sebagai periode ahli ukur pemerintah

karena dengan keputusan “Gouverneur General” S. 1837 No. 3 tanggal

18 Januari 1837, menetapkan instruksi kepada “Gouverneur Landmater”

atau ahli ukur pemerintah dalam penyelenggaraan kadaster secara

terperinci sesuai dengan pokok-pokok penyelenggaraan kadaster modern

di Jakarta, Semarang dan Surabaya.

Lebih lanjut Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur menjelaskan

bahwa Adapun instruksi Gouverneur General” kepada “Gouverneur

Landmater” adalah sebagai berikut:

5 ? M. Yamin Lubis, Opcit hal 276 ? Ibid hal 36

9

Page 10: Contradictoire Delimitatie

1. Menyimpan dan memelihara peta-peta tanah yang telah ada dan

membuat peta-peta tanah dari blok-blok yang belum diukur dan

dipetakan. Peta ditetapkan skala yang harus digunakan dalam peta-

peta tanah, pada peta-peta tersebut telah dicantumkan pula nomor

dan huruf dari blok yang bersangkutan sedang tiap bidang tanah

dalam peta itu diberikan nomor atau huruf.

2. Menyelenggarakan daftar-daftar sebagai berikut:

a. Daftar tanah, yaitu daftar tiap bidang tanah yang didaftar

menurut nomor atau huruf yang diberikan pada bidang-bidang

tanah, uraian mengenai batas-batas, letak serta luas bidang

tanah yang diambil dari peta-peta.

b. Daftar-daftar semua peta, peta kasar dan peta lain yang mereka

terima dan mereka buat sendiri.

c. Daftar-daftar dari peralihan hak milik atas benda-benda tetap

d. Daftar dari pengukuran-pengukuran dan penaksiran-

penaksiran yang dilakukan para ahli ukur.

3. Memberikan landmeters kennis (surat keterangan ahli ukur)

memberikan landmeters kennis yaitu pemberitahuan dari kantor

kadaster kepada pegawai baliknama, bahwa akan terjadi

baliknama karena warisan, jual beli, hibah dan sebagainya.

a. Landmeters kennis adalah sebagai salah satu syarat pendaftaran

hak (pendaftaran peralihan hak) yang diatur dalam staatsblad

1834 No. 27.

10

Page 11: Contradictoire Delimitatie

b. Landmeters kennis merupakan alat bagi para ahli ukur untuk

memelihara peta-peta dan daftar-daftar tanah yang

diselenggarakan tetap sesuai dengan keadaan hukum dari

bidang-bidang tanah yang sebenarnya.

4. Memelihara daftar-daftar Verpondings salah satu tugas dari para

ahli ukur dalam hubungannya dengan pajak verpondings adalah

memberi nomor-nomor verpondings pada hak-hak 7

Kadaster Baru, berlangsung dari tahun 1875 hingga sekarang.

Periode kadaster baru ini, dikenal dengan periode “KADASTER

DIENST”, karena dengan “Besluit van Gouverneur Generaal van

Nederlandsch van 10 Mei 1879 No. 4”, penyelenggaraan pendaftaran

tanah diserahkan pada “KADASTRALE DIENST” dari departemen

kehakiman. 8

Periode ini oleh CG Van Huls disebut periode Jawatan Pendaftaran

Tanah (periode Van den Kadastrale dienst), yakni tata cara

penyelenggaraan kadaster distur itu secara terperinci`. 9

Setelah peta-peta kadaster dari suatu daerah kadaster selesai dibuat,

maka harus disusun tata usaha kadaster menurut contoh-contoh dan

denngan daftar-daftar yang harus diadakan menurut Bijblad 3308 antara

lain;

7 ? Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur Opcit hal 348 ? ibid hal 359 ? Prof Dr. M. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, opcit hal 42

11

Page 12: Contradictoire Delimitatie

(1). daftar tanah yang merupakan daftar utama dsari usaha kadaster.

Dalam daftar itu bidang-bidang tanah kadaster yang telah

dipetakan diuraikan secara lengkap menurut seksi dan nomor

kadaster yang diberikan pada tiap-tiap bidang tanah

(2). daftar nama yang disusun menurut abjadnya, yakni para

pemegang hak didaftar dengan hak-hak yang mereka punyai 10

Lebih lanjut Prof Dr. M. Yamin, menjelaskan bahwa kedua daftar

tersebut merupakan daftar yang harus diselenggarakan dalam rangka tata

usaha pendaftaran tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor

10 tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997.11

Penyelenggaran pendaftaran hak di Indonesia, dasar-dasarnya telah

diletakkan oleh pemerintah VOC dengan maklumat VOC tanggal 18

Agustus 1620. Sistim peralihan hak dilakukan di depan pengadilan,

menurut hukum Belanda kuno yang pada waktu itu berlaku di negeri

Belanda. Ketentuan tersebut juga diberlakukan di daerah-daerah VOC

seperti di Indonesia. Sistim pengalihan hak ini, dilakukan oleh Baljuw dan

sheepen dan selanjutnya oleh 2 orang scheepen. Ketentuan pengalihan hak

di depan pengadilan dikenal sebagai asas “konkordansi”. 12

Selanjutnya pendaftaran hak-hak yang diadakan dalam hubungannya

dengan pengalihan hak di depan pengadilan yang bersifat administrasi,

berkembang menjadi pendaftaran hak untuk menjamin kepastian hukum

10 ? ibid, hal 4611 ? ibid hal 4712 ? Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur, Opcit hal 48

12

Page 13: Contradictoire Delimitatie

dari hak-hak atas tanah. Perkembangan selanjutnya pendaftaran hak di

Indonesia diatur dalam ordonansi balik nama S. 1834 Nomor 27, yang

berlangsung sampai dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1961 tentang Pendfataran Tanah (PP 10 Tahun 1961). 13

Di Negeri Belanda, Pendaftaran hak atas setiap peralihan hak

dilakukan didepan pengadilan yang pada pokoknya bersifat

administrasi. .... Sejarah perkembangan peralihan hak Indonesia dibagi

dalam dua periode yakni:

1). Periode sebelum Ordonansi Balik Nama (tahun 1620 s/d 1834)

2). Periode Ordonansi Balik Nama (setelah tahun 1934) , 14

Periode sebelum ordonansi baliknama ini, berlangsung dari tahun

1920 sampai tahun 1834 Perkembangan pendaftaran hak-hak yang

diselenggarakan oleh VOC pada tahun 1620, dalam hubungannya dengan

peralihan hak di depan pengadilan oleh hakim Panitera Pengadilan Negeri,

maka pengalihan hak tersebut harus diberitahukan kepada 2 (dua) orang

scheepen untuk dicatat dalam “Stadboeken” atau daftar-daftar tanah dan

dibuat akta pemberitahuan pengalihan hak.

Pemberitahuan pengalihan hak tersebut kepada 2 (dua) orang

scheepen, adalah suatu penyerahan hak antara penjual kepada pembeli di

depan 2 orang scheepen. Pendaftaran hak-hak karena pengalihan hak yang

diselenggarakan pemerintah VOC adalah bersifat administrasi yaitu untuk

13 ? ibid14 ? Prof Dr. M. Yamin Lubis, Opcit hal 61

13

Page 14: Contradictoire Delimitatie

keperluan pemasukan pajak pengalihan hak dan untuk memperoleh suatu

ikhtisar pemilik hak atas tanah yang telah dikeluarkan. 15

Akta pengalihan yang telah didaftar dalam daftar-daftar tanah oleh 2

(dua) orang scheepen tersebut dterbitkan akta pendaftaran peralihan hak

atau akta over schrijving ordonantie atau akta van Eigendom yang

sekaligus merupakan hak eigendom sebagai bukti hak atas tanah.16

Pokok-pokok pendaftaran hak yang diatur dalam ordinansi balik

nama adalah sebagai berikut:

a. Setiap peralihan hak harus didaftar pada pejabat balik nama

(overschrijvings ambtenaaren) dulu oleh 2 orang scheepen

(jaman VOC) dalam menyelenggarakan pendaftaran hak

pejabat balik nama dibantu pejabat-pejabat pembantu

(bijstaande ambtenaarcn).

b. Untuk pendaftaran peralihan hak oleh pejabat balik nama

dibuat akta pendaftaran peralihan hak atau akta balik

nama/akta van over schrijving yang sekaligus merupakan

pendaftaran lahirnya hak eigendom. 17

Menurut pasal 20 ordonansi balik nama 1834 No. 27, bahwa setiap

peralihan hak dibuat akta peralihan hak baik di bawah tangan atau autentik

yang disebut penyerahan nyata (di lapangan dengan menduduki atau

15 ? Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur Opcit hal 4916 ? ibid17 ? ibid hal 50

14

Page 15: Contradictoire Delimitatie

menguasai fisik tanahnya, kemudian akta peralihan hak tersebut didaftar

dalam daftar-daftar tanah yang dikenal dengan “Yuridische Levering”.

Pendaftaran akta peralihan hak dalam daftar tanah oleh pejabat balik

nama tersebut diterbitkan akta pendaftaran peralihan hak atau akta balik

nama atau akta van eigendom yang sekaligus merupakan akta eigendom.

Sebagai tanda bukti hak atas tanah dan kepada pemegang haknya

diberikan salinan sah dari “akta van eigendom” yang disebut “groose akta

hak eigendom”.18

2. Pendaftaran Tanah di Indonesia Menurut UUPA

UUPA dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa Untuk

menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah

diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang

diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selengkapnya rumusan ketentuan

Pasal 19 UUPA sebagai berikut:

Pasal 19.(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan

pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak

tersebut;c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai

alat pembuktian yang kuat.(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan

Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi

18 ? ibid hal 51

15

Page 16: Contradictoire Delimitatie

serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Peraturan Pemerintah yang mengatur Pendaftaran tanah adalah PP

Nomor 10 tahun 1961 yang telah diganti dengan PP Nomor 24 tahun

1997. Pasal 1 ayat 1 PP. 24 tahun 1997 menerangkan bahwa

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Asas pendaftaran tanah menurut Pasal 2 PP 24/1997, bahwa

Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman,

terjangkau, mutakhir dan terbuka. Tujuan Pendaftaran Tanah sebagaimana

dalam PP. 24/1997 Pasal 3 adalah:

a. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah,

b. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk Pemerintah,

c. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Obyek pendaftaran tanah dijelaskan dalam Pasal 9 PP 24/1997

bahwa Obyek pendaftaran tanah meliputi:

16

Page 17: Contradictoire Delimitatie

a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna

usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;

b. tanah hak pengelolaan;

c. tanah wakaf;

d. hak milik atas satuan rumah susun;

e. hak tanggungan;

f. tanah Negara.

Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah

untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pasal 12 PP

24 tahun 1997 menerangkan bahwa Kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali meliputi:

a. pengumpulan dan pengolahan data fisik;

b. pembuktian hak dan pembukuannya;

c. penerbitan sertipikat;

d. penyajian data fisik dan data yuridis;

e. penyimpanan daftar umum dan dokumen.

Sedangkan Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi:

a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;

b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.

Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan yang

dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar

berdasarkan PP. 10/1961. Pendaftaran tanah pertama kali dilaksanakan

17

Page 18: Contradictoire Delimitatie

melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara

sporadik.19

Pendaftaran tanah dilaksanakan melalui dua cara, yaitu pertama-

tama secara sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau kelurahan

atau sebagiannya yang terutama dilakukan atas prakarsa Pemerintah

atas permintaan pemegang atau penerima hak yang bersangkutan secara

individual atau massal.

3. Sistem Pendaftaran Tanah

Beberapa Sistem Pendaftaran Tanah yang ada diberbagai negara

yang menyelenggarakan pendaftaran tanah adalah sebagaimana yang

dikemukakan oleh Bachtiar Effendi sebagai berikut:

a. Sistem Torrens

Sistem ini banyak dipakai di beberapa negara, dengan cirinya

yaitu manakala seseorang mengklaim sebagai pemilik free simple baik

karena undang-undang atau karena harus mengajukan suatu

permohonan agar lahan yang bersangkutan diletakkan atas namanya.

Permohonan ini kemudian diteliti oleh Kepala Kantor Pertanahan

sesuai dengan PP Nomor 24 tahun 1997.

Beberapa keuntungan penerapan Sistem Torrens adalah:

1. Menetapkan biaya-biaya tak terduga sebelumnya

2. Meniadakan pemeriksaan yang berulang-ulang

19 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta 1999, hal 460dan secara sporadik, yaitu pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah

18

Page 19: Contradictoire Delimitatie

3. Meniadakan kenbanyakan rekaman

4. Secara tegas menyatakan dasar haknya

5. Melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak

disebut dalam sertipikat

6. meniadakan (hampir tidak mungkin) kepalsuan

7. Meniadakan atas hak Pajak

8. Memberi suatu hak yang abadi, oleh karena negara

menjaminnya tanpa batas

Keuntungan lain dari sistem ini sebagaimana dijelaskan oleh AP

Parlindungan adalah:

1. Ketidakpastian diganti dengan kepastian

2. Mengurangi biaya dari peralihan hak dari pound kepada shilling,

dan waktu penyelesaian dari bulanan menjadi harian

3. Merubah ketidakjelasan yang bertele-tele menjadi singkat dan

jelas.20

Adapun sertipikat tanah menurut sistem ini merupakan alat bukti

pemegang hak atas tanah yang paling lengkap serta tidak bisa

diganggu gugat, ganti rugi terhadap pemilik sejati adalah melalui dana

asuransi. Untuk merubah buku tanah adalah tidak mungkin terkecuali

bila memperoleh tanah dengan jalan memalsukan tulisan atau

memperoleh dengan cara penipuan.

20 ? AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, 1990, hal 19

19

Page 20: Contradictoire Delimitatie

b. Sistem Positif

Menurut sistem ini, sertipikat merupakan tanda bukti hak atas

tanah yang mutlak dan satu-satunya. ciri pokok dari sistem ini adalah

bahwa pendaftaran tanah menjamin dengan sempurna nama yang

terdaftar dalam buku tanah sehingga tidak dapat dibantah lagi,

sekalipun sebenarnya ia bukan pemilik sesungguhnya. Disini pejabat

balik nama dalam sistem ini meiliki peranan yang sangat penting dan

aktif, karena mereka harus menyelidiki hak atas tanah yang

dipindahkan itu dapat terdaftar atau tidak, menyelidiki identitas para

pihak wewenangnya dan apakah formalitas-formalitas yang

disyaratkan untuk itu sudah terpenuhi.

Kebaikan sistem positif ini adalah:

a. adanya kepastian hukum dari buku tanah

b. adanya peranan aktif dari pejabat balik anam

c. mekanisme kerja dengan penerbitan sertipikat mudah

dipahami oleh masyarakat awam. 21

Kelemahan Sistem Positif ini adalah

1. Peranan aktif dari pejabat balik nama tanah, memakan waktu

yang lama

21 Bachtiar Effendy, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, Alumni Bandung, 1983, hal 32

20

Page 21: Contradictoire Delimitatie

2. Pemilik yang sebenarnya berhak atas tanah akan kehilangan

haknya oleh karena ketidakpastian hukum itu sendiri

3. Wewenang pengadilan diletakkan dalam kewenangan

administratif 22

c. Sistem Negatif

Menurut sistem ini segala apa yang tercantum dalam sertipikat

tanah dianggap benar sampai terbukti sebaliknya di muka pengadilan.

Asas dalam sistem negatif adalah nemo plus yuris, artinya melindungi

pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang lain

yang mengalihkan haknya tanpa diketahui pemegang hak yanng

sebenarnya.

Pendaftaran tanah tidaklah merupakan jaminan pada nama yang

terdaftar dalam buku tanah, hal ini merupakan ciri pokok dari sistem

negatif. Dengan kata lain buku tanah bisa berubah sepanjang dapat

dibuktikan bahwa dialah pemilik yang sebenarnya melalui putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum pasti.

Sertipikat menurut sistem ini tidak dapat dipergunakan

sepanjang sertipikat itu ad yang menyanggah dari pihak lain dan dapat

dibuktikan sebaliknya, sertipikat dapat dibatalkan oleh Badan

Pertanahan Nasional atas dasar Putusan Pengadilan.

Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di Indonesia adalah

sistem negatif yang bertendensi positif. Dalam penjelasan pasal 32 (2) 22 Bachtiar Effendy, ibid hal 33

21

Page 22: Contradictoire Delimitatie

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa pendaftaran tanah

yang diperintahkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria

menggunakan sistem publikasi negatif, tetapi walaupun demikian

tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif

secara murni, seperti tampak dari pernyataan pasal 19 ayat (2) huruf C

UUPA.

d. Sistem Pendaftaran Tanah Menurut PP 24

Tahun 1997

Ketentuan Pasal 19 UUPA ayat (2) huruf c UUPA, secara umum

menjelaskan bahwa pendaftaran dilakukan dengan tujuan untuk

memberikan alat bukti yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa dalam

UUPA, dianut sistem pendaftaran yang disebut dengan “registration

of title” stetsel negatif yang mengandung unsur positif.

Selanjutnya Penjelasan umum PP 24 tahun 1997 paragraf 4

bahwa “pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan

jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem

publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur

positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan

dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2)

dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.

22

Page 23: Contradictoire Delimitatie

Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Prof . Budi Harsono

bahwa Sistem publikasi yang digunakan UUPA dan PP 24 tahun 1997

dalah sistem negatif yang mengandung unsur positif. Sistemnya bukan

negatif murni karena dinyatakan dalam pasal 19 ayat (2) huruf c,

bahwa pendaftaran menghasilkan tanda bukti hak, yang berlaku

sebagai alat pembuktian yang kuat.23

Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa pemerintah selaku

penyelenggara pendaftaran tanah harus berusaha agar sejauh mungkin

dapat disajikan data yang benar dalam buku tanah dan peta

pendaftaran. Hingga selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data

yang disajikan dalam buku tanahdan peta pendaftaran harus diterima

sebagai data yang benar. Baik dalam perbuatan hukum sehari-hari

maupun dalam berperkara di pengadilan. Demikian juga data yang

dimuat dalam sertipikat hak, sepanjang data tersebut sesuai dengan

yang ada dalam buku tanah dan peta pendaftaran. tetapi namun

demikian sistemnya juga bukan positif . Dalam sistem positif data

yang disajikan dijamin kebenarannya. Bukan hanya berlaku sebagai

alat pembuktian yang kuat, tetapi data yang dimuat dalam register

sebagai pembuktian yang mutlak.24

4. Asas Contradictoire Delimitatie

23 ? Prof. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonsia, Djambatan, 1999, Hal. 8224 ? Prof. Boedi Harsono, ibiid

23

Page 24: Contradictoire Delimitatie

Dalam tujuan memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah,

maka diselenggarakan pendaftaran tanah yang meliputi : (1) Pengukuran,

perpetaan dan pembukuan tanah, (2) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan

peralihan hak-hak tersebut, (3) Pemberian surat-surat tanda bukti hak

yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Mewujudkan Jaminan kepastian hukum, sebelum diterbitkan surat

tanda bukti hak berupa sertipikat maka terlebih dahulu dilaksanakan

pekerjaan lapangan berupa kegiatan pengukuran yang meliputi orientasi

lapang dan orientasi titik ikatan, pengukuran kerangka dasar dan

penetapan batas bidang tanah.

Khusus untuk tanah hak, penetapan batas-batas bidang tanah yang

sebenarnya dalam pelaksanaan pengukuran, maka harus ditempuh suatu

cara penunjuk batas berdasarkan Contradictoire Delimitatie. Dalam hal ini

para pemilik tanah yang berbatasan secara bersama-sama melakukan

kesepakatan dalam penentuan batas-batas bidang tanah sebelum diadakan

pengukuran dan menandatangan gambar ukur atau daftar riwayat tanah

yang telah disediakan pada saat pengukuran..

Penetapan batas-batas bidang tanah wajib dilakukan berdasarkan

penunjukan batas oleh para pemilik atau pemegang hak atas tanah dan

diupayakan telah memperoleh kesepakatan pihak yang berbatasan. Hal

tersebut dimaksud agar penguasaan obyek dapat diketahui secara tepat dan

tidak terjadi saling tumpang tindih batas antara pemilik bidang satu

24

Page 25: Contradictoire Delimitatie

dengan pemilik bidang lainnya serta menghindari kemungkinan adanya

suatu persengketaan batas-batas bidang tanah.

Disisi lain proses pengolahan data fisik yang dilaksanakan oleh

petugas pengambilan data dari Kantor Pertanahan dapat diperoleh dengan

mudah serta cepat dalam memperoleh jaminan batas, letak, dan luas

bidang tanah yang bersangkutan.

Adapun cara-cara penetapan batas menurut Sujito, SH bahwa,

“Batas-batas ditetapkan atas persesuaian pendapat antara pemilik tanah

yang berbatasan (system Contradictoire Delimitatie)”.25

Sejalan dengan itu Menurut Russel C. Brinker dan Kawan-kawan

bahwa, “Menetapkan batas-batas hak harus dikerjakan atas persetujuan

pemilik-pemilik yang berbatasan atau tindakan pengadilan”.26

Kesepakatan penunjukan batas-batas bidang tersebut merupakan

syarat dari diterbitkannnya surat ukur dan sertipikat. Hal ini menunjukkan

bahwa pengukuran bidang tanah dilaksanakan setelah ditetapkan batas-

batasnya untuk melihat tanda pada batas-batas yang ditentukan

ditempatkan tanda-tanda batas pada setiap sudut bidang tanah yang

bersangkutan.

Dalam penetapan batas bidang tanah tersebut diupayakan

berdasarkan kesepakatan para pihak yang berbatasan, Boedi Harsono

mengemukakan bahwa :“Penetapan batas bidang tanah yang sudah

25 ? Sujuito, PRONA persertipikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah yang bersifat Strategis, Liberty 1987, Hal 6526 ? Brinker, C. Russel, dan Kawan-kawan, Dasar-dasar Pengukuran Tanah, Erlangga 1986, Hal 134

25

Page 26: Contradictoire Delimitatie

dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar

tetapi belum ada surat ukur/gambar situasinya atau surat ukur/gambar

situasinya yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya,

dilakukan penunjukan batas oleh pemegang yang bersangkutan dan

sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang

berbatasan (Contradictoire Delimitatie)”.27

Pelaksanaan pendaftaran tanah didahului dengan kegiatan

pengukuran dan pemetaan kadastral. Pengukuran dan pemetaan kadastral

harus dilaksanakan dengan berdasarkan azas-azas yang disebutkan

berikut:

a. Azas Contradictoire Delimitatie

1). Pengukuran batas bidang tanah hanya dapat terlaksana apabila

batas-batas bidang tanah tersebut telah ditetapkan berdasarkan

hasil kesepakatan dalam penunjukan batas yang dilakukan oleh

pihak pemilik tanah yang berbatasan. Penetapan yang didasarkan

azas tersebut dituangkan kedalam Risalah Penelitian Data Yuridis

dan Penetapan Batas (daftar isian 201)

2). Hasil pengukuran batas bidang tanah digambarkan pada Gambar

Ukur dengan menuliskan angka-angka ukur, sketsa pengukuran

serta kronologi jalannya pengukuran, termasuk penandatanganan

petugas ukur, pemilik bidang tanah yang bersangkutan dan

pemilik tanah yang berbatasan.

27 ? Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan 1999, Hl 474

26

Page 27: Contradictoire Delimitatie

3). Bersama-sama dengan Berita Acara, Gambar Ukur tersebut

merupakan bagian yang saling tidak terpisahkan dan menjadi

dokumen bernilai yuridis atau memiliki kekuatan bukti dalam

persidangan dilembaga peradilan berkaitan dengan batas-batas

bidang tanah.

b. Azas Publisitas

1). Sebelum dilakukan pendaftaran tanah, hasil pengukuran dan

pemetaan kadastral tersebut diumumkan kepada masyarakat.

2). Lembaga pengumuman tersebut dimaksudkan agar pihak-pihak

yang berkepentingan mengerti hasil pengukuran dan pemetaan

kadastral yang telah dilakukan dan untuk memberikan kesempatan

kepada mereka yang dengan etikad baik mengajukan keberatan

atas hasil pengukuran dan pemetaan tersebut.

c. Azas Spesialitas

1). Bidang tanah yang telah diukur dan dipetakan secara kadastral

memiliki letak, luas dan bentuk yang unik diatas permukaan bumi.

2). Bidang tanah tersebut diikatkan kepada titik-titik dasar teknik,

yang merupakan bagian jaringan Kerangka Dasar Kadastral

Nasional (KDKN), sehingga apabila sewaktu-waktu tanda-tanda

batas bidang tanah dilapangan dikemudan hari tidak diketemukan,

maka bidang yang telah dipetakan tersebut dapat

direkonstruksikan kembali di lapangan secara cepat.

27

Page 28: Contradictoire Delimitatie

F. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Masalah

Penelitian yang akan dilaksanakan ini adalah Penelitian Normatif

dengan pendekatan masalah Yuridis Normatif dengan tipe penelitian yaitu

analisis Bahan Hukum yang menjadi obyek penelitian sekaligus data

dalam penelitian.

2. Sumber Bahan Hukum

Sumber Bahan Hukum dalam penlitian ini dibedakan menjadi 3

(tiga) yaitu:

a. Sumber Bahan Hukum Primer, terdiri dari:

1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

2). Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria

3). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah

4). Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 3 tahun

1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

24 tahun 1997

28

Page 29: Contradictoire Delimitatie

b. Sumber Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku

tentang Pendaftaran tanah.

c. Sumber Bahan Hukum Tersier, meliputi Hasil Penelitian

pihak lain, kamus dan ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan

Hukum

Teknik pengumpulan dan pengolahan Bahan Hukum dalam

penelitian yuridis normatif ini secaragaris besar dapat digambarkan:

1. Inventarisasi dan pengumpulan Bahan Hukum

2. Pengelompokan Bahahn hukum

3. Analisis bahan hukum

4. Analisis Bahan Hukum

Adapun analisis bahan hukum yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deduktif yaitu analisis dari umum ke yang

khusus.

29

Page 30: Contradictoire Delimitatie

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika Penulisan Tesis dalam Penelitian normatif ini adalah sebagai

berikut:

1. BAB I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

1.2. Rumusan Masalah

1.3. Tujuan Penelitian

1.4. Manfaat Penelitian

1.5. Kajian Pustaka

2. BAB II. Metode Penelitian

2.1. Jenis dan Tipe Penelitian

2.2. Sumber Bahan Hukum

2.3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

2.4. Analisis Bahan Hukum

3. BAB III. Penerapan Asas Contradictoire Delimitatie Dalam Pendaftaran Tanah Pertama Kali

Pemasangan Batas berdasarkan Azas Contradictoire Delimitatie

Penetapan Batas berdasarkan Azas Contradictoire Delimitatie

30

Page 31: Contradictoire Delimitatie

Penyelesaian sengketa batas pada Azas Contradictoire Delimitatie

dalam pendaftaran tanah pertama kali

Kepastian obyek bidang tanah dalam penerapan Azas Contradictoire

Delimitatie

4. BAB IV. Penutup

4.1. Kesimpulan

4.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

AP. Parlindungan, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju.

Bachtiar Effendy, 1983, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, Alumni Bandung.

Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan Jakarta

Brinker, C. Russel dan Kawan-kawan, 1986, Dasar-dasar Pengukuran Tanah, Erlangga

M. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju.

Soeradji dan I Gusti Nyoman Guntur, 2007, Pengantar Pendaftaran Tanah, STPN Yogyakarta.

Sujito, 1987, PRONA persertipikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah yang bersifat Strategis, Liberty

31