13
PEMBAHARUAN HUKUM WARIS DAN WAKAF ISLAM (studi kasus di Maroko dan Indonesia ) khoirul Hadi alumni pasca sarjana UIN Jogja dan prose untuk melanjutkan study doktoral d kampus yang sama. [email protected] This article discusses the law of inheritance and waqf reform in Morocco and Indonesia , du countries that experienced in the field of inheritance law reform and endowments . This article seeks to find the causes and indicators that is the press law reform in the two countries . Within a few years ago pembeharuan Methods Islamic law can be categorized to several kinds , namely intra - dokrinal ( by taking the doctrine of jurisprudence manzhab other ) , extra - dokrinal ( by taking elements ungsur outside Islamic law at all ) , regulatory and codification . therefore it can be said that the reform of the law of inheritance and endowments that occurred in the two countries, namely Morocco and Indonesia also be analyzed with two approaches that have been presented , whether the two countries, namely Morocco and Indonesia using the extra - dokrinal reform or vice versa. Based on the above explanation , this paper will discuss how the law of inheritance and waqf in Indonesia and Morocco , why there is a big change from the concept of Islamic inheritance da kewakafan in general , and ungsur - ungsur what affect these changes . Results from this study is that the law of inheritance and endowments in between Morocco and Indonesia is no extra karean dokrinal ( by taking out elements of Islamic law at all ) and also using the method of extra - dokrinal reform that ultimately influential in the development of Islamic law that exist in Indonesia and Morocco . Artikel ini membahas reformasi hukum kewarisan dan wakaf di Maroko dan Indonesia, du negara yang mengalami

Copy of Pembaharuan Hukum Waris Dan Wakaf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hukum wares

Citation preview

Page 1: Copy of Pembaharuan Hukum Waris Dan Wakaf

PEMBAHARUAN HUKUM WARIS DAN WAKAF ISLAM

(studi kasus di Maroko dan Indonesia )

khoirul Hadi

alumni pasca sarjana UIN Jogja dan prose untuk melanjutkan study doktoral d kampus yang sama.

[email protected]

This article discusses the law of inheritance and waqf reform in Morocco and Indonesia , du countries that experienced in the field of inheritance law reform and endowments . This article seeks to find the causes and indicators that is the press law reform in the two countries . Within a few years ago pembeharuan Methods Islamic law can be categorized to several kinds , namely intra - dokrinal ( by taking the doctrine of jurisprudence manzhab other ) , extra - dokrinal ( by taking elements ungsur outside Islamic law at all ) , regulatory and codification . therefore it can be said that the reform of the law of inheritance and endowments that occurred in the two countries, namely Morocco and Indonesia also be analyzed with two approaches that have been presented , whether the two countries, namely Morocco and Indonesia using the extra - dokrinal reform or vice versa. Based on the above explanation , this paper will discuss how the law of inheritance and waqf in Indonesia and Morocco , why there is a big change from the concept of Islamic inheritance da kewakafan in general , and ungsur - ungsur what affect these changes . Results from this study is that the law of inheritance and endowments in between Morocco and Indonesia is no extra karean dokrinal ( by taking out elements of Islamic law at all ) and also using the method of extra - dokrinal reform that ultimately influential in the development of Islamic law that exist in Indonesia and Morocco .

Artikel ini membahas reformasi hukum kewarisan dan wakaf di Maroko dan Indonesia, du negara yang mengalami reformasi hukum dalam bidang waris dan wakaf. Artikel ini berupaya untuk mencari sebab-sebab dan indikator yang menjadi titik tekan terjadinya reformasi hukum dalam dua negara tersebut. Dalam beberapa tahun yang lalu Metode pembeharuan hukum Islam dapat dikatagorikan kepada beberapa macam, yaitu intra-dokrinal (dengan mengambil dokrin dari manzhab fikih lain), extra-dokrinal(dengan mengambil unsur-ungsur di luar hukum Islam sama sekali), regulatori dan kodifikasi. oleh karena itu dapat dikatakan bahwa reformasi hukum waris dan wakaf yang terjadi pada dua negara yaitu maroko dan Indonesia juga bisa dianalisis dengan dua pendekatan yang sudah dipaparkan tersebut,apakah kedua negara yaitu Maroko dan Indonesia menggunakan metode extra-dokrinal reform atau sebaliknya.. Berdasarkan paparan di atas, maka tulisan ini akan membahas tentang bagaimana hukum waris dan wakaf di Indonesia dan Maroko, mengapa terjadi perubahan besar dari konsep kewarisan Islam da kewakafan secara umum, dan ungsur-ungsur apa saja yang mempengaruhi perubahan tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa hukum waris dan wakaf dalam antara maroko dan Indonesia adalah karean ada extra dokrinal (dengan mengambil unsur-unsur di luar hukum Islam sama sekali) dan juga menggunakan metode metode extra-dokrinal

Page 2: Copy of Pembaharuan Hukum Waris Dan Wakaf

reform yang pada akhirnya berpengaruh dalam perkembangan hukum islam yang ada di indonesia dan maroko.

Kata Kunci : Kewarisan, Wakaf, extra-dokrinal reform.

PENDAHULUAN

Islam diyakini sebagai agama yang Universal, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh Umat.1karena sifatnya yang Universal maka islam diyakini sebagai agama yang mampu menjawab tantanga disetiap zaman dan tempat. Namun sayangnya, klaim tersebut tidak diikuti dengan aplikasi ijtihad yang memadai di lapangan. Hukum Islam yang dipahmi selama ini lebih banyak mengarah kepada seperangkat aturan yang merupakan produk ijtihat ulama masa lalu dengan kondisi social dan budaya yang mengitarinya. Fikih dianggap sebgai refleksi hukum Tuhan yang tidak dapat dirubah. Tanpa disadari, pemhaman inilah yang justru mengakibatkan sifat fleksibilitas dan keakomodatifan Islam seakan-akan hilang, padahal kalau kembali kea kaidah ‘ la yungkaru tagayyur al-ahkam bi tagayur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal”2 akan Nampak betapa sangat elastic sebenarnya Hukum Islam itu. Implikasinya adalah hukum yang di tetapkan di suatu tempat dan waktu tertentu tidak harus selalu di berlakukan di tempat dan waktu berbeda.

Dalam konteks hukum Islam3, setelah melaui abad tengah yang cenderung konservatif dan menolak perubahan, mak asejak abad tengah para ahli hukum semkin menyadari bahwa perubahan baik melauli proses reformasi Islha maupun pembaharuan (tajdid) adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan,4 pembaharuan terhadap persoalan hukum ternyat merambah pada kajian hukum keluarga.5

1 ? Lihat misalnya QS. Saba’ (34) : 28 dan QS. Al-Ambiya’ (21) : 107. 2 ? Jalan al-Din al-rahmah al-suytuthi, Al-Asbah wa al-Nazair fi al-furu, (Bairut: Dar al-fikr, 1415 / 1995 M) halaman 74. 3 ? Menurut Khalil masud, persoalan apakah hukum Islam dapat berubah dan beradaptasi dengan perubahan social, ada dua pandangan, pertama, hukum Islam itu abadai karean tidak beradaptasi dengan perubahan social, hal ini karean hukum Islam bersifat ilmiah dan absolute yang memilki sumbernya pada kehendak Tuhan. Pandangan seperti ini dipegangi oleh sejumblah Ismisis seperti C. S Hurgronje, J. Schat Coulson, HAR gibb, termasuk juga Anderson dan kebanyakan jurist isLAM YANG HADIS Oreanted, kedua, pandangan yang dipengangi oleh sebagian atau sejumblah ahli dalam bidang Islam semiasal Linat de bellefond dan mayoritas reformis dan juris muslim, semisal Subhi mahmasani, berpendapat bahwa prinsip-prinsip hukum atas dasar pertimbangan maslahah, fleksibilitas hukum Islam dalam praktek dan penekanan pada ijtihad cukup menunjukkanbahwa hukum Islam bisa beradaptasi dengan social, lihat Mohamamd Kalid Masoed Filsafat Hukum Islam dan pembahruan Sosial, alih bahasa Yusdian W. Asmin (Surabya: al-ikhlas 1995) halaman 23-29. 4 ? Akh. Minhaji, Persoa;an Gender dalam Prespektif, mtodologi studi Islam”, dalam siti ruhaini dkk, Rekontruksi Metodologis Wacan Kesetaran Jender dalam Islam, (Yogyakarta: PSW IAIN Suka, Mcgill-ICIHEP dan dan pustaka pelajar, 2002) halaman 187. 5 ? Pada mulanya, pembaharuan hanya ditujukan pada aspek-aspek yang menyangkut hukum perdagangan dan pidan yang mengadopsi barat, terutama yang berasal dari perancis jerman, swiss, dan belanda, pad atahun ini para pembeharu dalam bidang hukum keluarga, menolak melakuna pembahruan dalam bidang hukum keluarga karean alasan bahwa hukum keluarga merupakan inti dan jantung hukum Islam itu sendiri , dan merupakan atauran-aturan yang disebut rinci dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, merubahnya berarti merubah Islam. Lihat JND Anderson, Islamic Law in The Muslim Word i(New York, : New York State University Press, 1959) halamn 25-26.

Page 3: Copy of Pembaharuan Hukum Waris Dan Wakaf

Menurt Tahir Mamood ada tiga belas aspek dalam UU Keluarga Muslim Kontemporer yang mengalami pembaharuan.6 Adapun bentuk dari pembaharuan yang dilakukan berbeda antara satu negar dengan negara lainya,7pertama, kebanyakan negara melakukan pembahruan dengan bentuk undang-undang, ada beberapa negara yang melakukannya dengan berdasarkan dekrit (raja/Presiden).8ketiga, ada negara yang berusah pembaharuan hukum Islam dalam bentuk ketetapan-ketetapan Hakim, seperti yang dilakukan di sudan.9 Sejumblah negara melakukan pembahruan hukum keluarga secara menyeluruh yang didalamnya mencakup perkawinan, bahkan ada negara yang melakukan pembahruan secara bertahap demi bertahap di mulai dengan satu aaturan tertentu, seperti keharusan pencatatan pernikahan, dan perceraian, kemuadian barus diteruskan dengan masalah kewarisan. Dan perwakafan.

Dari sisi tujuan maka sebenarnya pembaharuan hukum kelaurga adakalanya untuk terciptanya unifikasi Hukum,10 peningkatan status perempuan dan untuk merespon tuntutan zaman karena konsep fikih tradisonal dianggap kurang mampu menjawab berbagai maslah yang timbul di masyarakat.

Salah satu aspek yang tersentuh pembahruan dalam hukum Islam dan keluarga muslim adalah masalaha kewarisan dan perwakafan. Aspek ini menarik dan penting untuk di kaji bukan semata adanya pengaturan yang kompleksitas tentang peralihan kekayaan antar generasi itu sendiri, tetapi juga menyangkut kedudukan dan hak-hak laki-laki. Kritik terhadap (hukum ) islam dalam soal penghormatan terhadpa perempuan diantaranya berangkat dari “ketentuan” pembagian yang (dianggap) tidak adil antara laki-laki dan perempuan.11maka dari itu sebenarnya dalam hal hukum waris selalu berkembang menurut pola ilat dan kondisi yang mempengaruhinya.

6 ? Tahir Mahmood, personal Law in Islamic Countries (New Delhi: Tri Parthi, 1987) halaman 12, adapun ke tiga belas aspek tersebut adalah: 1) batasan Umur perkwaninan , 2) pembatasan peran wali.3) keharusan pencatatan perkawinan.4) mas kawin dan biaya perkawinan. 5) poligami,6) nafkah istri dan tempat tinggal, 7) talak talak dan cerai di muka keadialan, 8) hak-hak perempuan yang dicerai suaminya, 9) masa hamil dan akibat hukumnya, 10) hadhanah. 11) hak waris, 12 wasiat bagi ahli waris, dan 13) keabsahan dan pengelolaan wakaf keluarga, lihat Atho Mudzhar, Membaca gelombang Ijtihad, antara Tradisi dan Literasi (Yogyakarta: titian Ilahi Press, 1998) halaman 178. Khoirudin Nasutioan, Status wanita di Asia Tenggara Studi terhadap OPerundang-Undangan Perkawina Muslim Kontemporer (Jkarta: Ciputat Press, 2003) halaman 6. 7 ? Atho Mudzar dan Khairudin Nasution, ed, Hukum Keluarga di Dunia Islam Moderen: Studi Perbandingan dan Keterberanjakan UU Modern dari Kitab fiqh (Jakarta: ciputat Press, 2003) hal;aman 1-2. 8 ? Misalnya Yaman selatan dengan Dekrit Raja dan siryia dengan dekrit Presiden Tahun 1983. 9 ? Tahir Mahmood, Family Law in The Muslim word, New Delhi: The Indian Law Institut, 1972,) halaman 64. 10 ? Unifikasi Hukum yang dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar : (1) unifiaksi hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara tanpa memandang agama, misalnya Tunisia, (2) Unifikasi yang bertujuan untuk menyatukan dua aliran pokok dalam sejarah Muslim, yakni antara faham sunni dan faham syi’I misalnya Iran, (3) kelompok yang berusaha memadukan antar amnzhab, (4) unifikasi dalam satu manzhab tertentu, misalnya seperti di Indonesia ed. “pendahuluan”. Dalam Hukum Keluarga, halaman 2 : Khoirudin Nasution Status, halaman 5.

11 David S power, Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan: Kritik Historis Hukum Waris, terjemahan arifin Maftuhin, cetakan, 1 (Yogyakarta: LKIS, 2001) halamn V.

Page 4: Copy of Pembaharuan Hukum Waris Dan Wakaf

Wakaf adalah bagian hukum Islam yang mendapat pengaturan secara khusus. Disamping berfungsi sebagai ibadah kepada Alla, wakaf juga berfungsi sosial, yaitu sebagai aset yang sangat bernilai dalam pembangunan. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penaggulangan kemiskinan merupakan salah satu sasaran wakaf. Dengan demikian, jika wakaf di kelola dengan baik maka akan sangat mennjang pembangunan, baik di bidang ekonomi, agaa, sosial, budaya, politik maupun pertahanan keamanan.

Di berbagai negara yang perwakafannya sudah berkembang dengan baik, wakaf merupakan salah satu pilar ekonomi yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara yang sangat berpengalaman dalam mengembangkan wakaf diantaranya adalah Indonesia dan Maroko. Pengelolaannya dilakukan dengan cara menginfestasikan harta wakaf di bank Islam dan berbagai perusahaan. Dengan dikembangkannya wakaf secara produktif, wakaf dapat dijadikan salah satu lembaga yang diandalkan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa.

Metode pembeharuan hukum Islam dapat dikatagorikan kepada beberapa macam, yaitu intra-dokrinal (dengan mengambil dokrin dari manzhab fikih lain), extra-dokrinal(dengan mengambil unsur-ungsur di luar hukum Islam sama sekali), regulatori dan kodifikasi.12oleh karena itu dapat dikatakan bahwa reformasi hukum Waris dan Wakaf yang ada di Maroko dan Indonesia itu akan menggunakan metode extra-dokrinal reform dan intra-dokrial (dengan mengambil dokrin dari mazhab fikih lain).

Berdasarkan paparan di atas, maka tulisan ini akan membahas tentang bagaimana hukum waris dan Wakaf di Maroko dan Indonesia, mengapa terjadi perubahan besar dari konsep kewarisan Islam secara umum, dan ungsur-ungsur apa saja yang mempengaruhi perubahan tersebut.

HUKUM WARIS ISLAM.

Warisan dalam bahsa Arab al-irts, mirast dari kata warasta-yaritsu-irts-mirast, yang berarti peralihan sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari kaum satu kepada kaum lain secara umum, baik berupa harta, ilmu, kehormatan dan sebagainya. Adapun dalam pengertian syara yaitu peralihan harta dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang hidup baik yang ditinggalkan berupa harta benda, ataupun hak dari hak-hak syari.13

Adapun ayat-ayat yang menjadi dasar hukum kewarisan dan pembagian diantaranya adalah surat an-Nisa ayat 11,12 dan 176. Sebab turunya ayat 11 dan ayat 12 tersebut diatas, menurut at-Tabari ada beberapa riwayat, diantaranya yaitu bahwa pengaduan isteri Sa’ad kepada Rosul karena saudara Sa’ad telah mengambil semua warisan tanpa menyisakan sedikitpun untuk anak perempuan. Riwayat lain mengatakan bahwa ayat ini turun untuk membatalkan praktik-praktik jahiliyyah yang hanya memberikan warisan kepada laki-laki yang sanggup pergi

12 Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombay: NM. Tripthi, 172) halaman 267-270.

13 Muhammad Ali Ash-Shabuni, a-Mawarits fi asy-Syariah al-Islamiyyah fi Kitab wa as-Sunnah, (Kairo : Dar al-Hadist, tt) halaman 33-34.

Page 5: Copy of Pembaharuan Hukum Waris Dan Wakaf

berperang. At-Tabari menukilkan sebuah riwayat tentang keheranan beberapa sahabat, kenapa orang perempuan dan anak-anak yang tidak ikut berperang di beri bagian dari harta warisan bahkan ada yang berharap Rosul merubah ketetapan tersebut dan praktek jahiliyyah diberlakukan kembali. Adapula yang mengatakan turun untuk membatalkan praktik yang dilakukan Nabi saw di awal Islam yaitu praktek kewarisan didasarkan kepada pertalian darah, pengangkatan anak, dan al-Half (sumpah setia). Hampir sama dengan ini, ada riwayat yang mengatakan turun untuk membatalkan praktik pengalihan harta kepada anak melalui kewarisan dan pemberian hak kepada orang tua melalui wasiat.14 Dalam tafsir al-Manar juga disebutkan sebab turunya ayat tersebut diantaranya adalah riwayat tentang kedatangan istrei Sa’ad bin Rabi’ kepada Nabi15, sebagaimana at-Tabari diatas.

At-Tabari juga mengatakan bahwa menurut pendapat Abu Bakar As. Ayat 11 turun untuk mengatur hak kewarisan Anak dan orang tua, ayat 12 tentang suami, isteri dan soudara seibu, dan ayat 176 tentang saudara sekandung (seayah).16

Berdasarkan ayat waris diatas, biasanya Ulama mengelompokkan ahli waris menjadi : ahli waris tingkat pertama yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan semua anak dari orang yang meninggal, ahli waris tingkat kedua yaitu semua kakek dan nenek, diluar ayah dan ibu dan seterusnya keatas, dan semua anak dari kedua orang tua (saudara kandung, seayah ,seibu) serta ahli waris tingkat ketiga yaitu paman dan bibi dari pihak ayah serta anak-anaknya, paman dan bibi dari pihak ibu beserta anak-anaknya.17

Manzhab Hanafi, Maliki ,Syafi’I, Hambali, Zaidi, dan Zahiri membagi ahli waris menjadi dzawil al-furud (ahli waris yang bagianya telah ditetapkan dalam nash), ashabah (ahli waris yang mendapatkan sisa harta warisan setelah dibagikan kepada dzawil al-furud) dzawil arham (ahli waris yang bagian belum ditetapkan dalam nash).18 Jumhur Sahabat yang kemudian diikuti oleh jumhur Ulama menetapkan anak perempuan derajat pertama sebagai dzawil al-furud, sedangkan anak laki-laki dan perempuan derajat kedua menjadi ashabah.19adapun berdasarkan ayat 11 An-Nisa maka para Ulama bersepakat apabila ada anak, maka masing-masing orang tua memperoleh seperenam sebagai dzawil al-furudz. Kalau ahli waris hanya berdua, maka ibu mendapatkan sepertiga dan ayah sebagi ashabah.20sedangkan dalam hal saudara, para Ulama bersepakat untuk membedakan saudara kepada yang kandung, seayah dan seibu. Jumhur Ulama berpendapat bahwa saudara kandung lebih kuat dari pada yang seayah, sedang saudara seibu berbeda kedudukanya dengan saudara sekandung dan seayah, karena dia hanya menjadi dzawil al-Furud, dan tidak dapat menjadi ashabah.

Berdasarkan ayat waris Ulama juga bersepakat bahwa bagian yang telah ditetapkan dalam al Quran (furudz al-Muqaddarah) yaitu seperdua, sepertiga, dan dua pertiga, seperempat, seperenam dan seperdelapan.

14 At-Tabari, Tafsir at-Tabari, (Beirut: Dar Al-fikr, 1978) IV, Halaman 185. 15 Muhammad Rashid Ridha, Tafsir al-Manar (Kairo: Dar al-Fikr, tt) IV, halaman 103. 16 At-Tabari, Tafsir……….. IV, halaman 28.17 Terdapat dalam beberEpa kitab hukum waris, dinyatakan juga dalam J. Anderson, Hukum Islam didunia

moderen, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 1998) halaman 81. 18 Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris pertalian Darah: kajian perbandingan terhadap penalaran hazairin dan

penalaran Manzhab, (Jakarta: INIS, 1998) halanan 139. 19 Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Pertalian Dara,………………. Halaman 143. 20 Ibid, halaman 147.

Page 6: Copy of Pembaharuan Hukum Waris Dan Wakaf

Menurut manzhab empat,21bagian seperdua adalah bagi anak perempuan tunggal jika tidak ada anak laki-laki, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan tunggal yang sekandung atau seayah jika tidak ada saudara laki-laki sekandung atau seayah, dan suami jika istri tidak mempunyai anak. Bagian seperempat diberikan kepada suami jika istri mempunyai anak dan kepada istri jika suami tidak mempunyai anak. Bagian seperdelapan diberikan kepada isteri jika suami mempunyai anak. Bagian dua pertiga diberikan kepda dua orang anak perempuan atau lebih jika anak laki-laki tidak ada, dan kepada dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung atau seayah jika tidak ada saudara laki-laki sekandung atau seayah. Bagian sepertiga diberikan kepada ibu jika tidak ada anak laki-laki dan saudara si mayit, dan juga kepada dua atau lebih saudara perempuan atau laki-laki dari jalur ibu. Bagian seperenam diberikan kepada ayah bila ada anak si mayit, ibu jika ada anak laki-laki atau saudara si mayit, kepada saudara laki-laki atau perempuan si mayit yang seibu jika hanya seorang.

Ahli waris yang menerima ashabah (sisa harta peninggalan) adalah ahli waris dari jalur laki-laki yaitu anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, kakek dari pihak ayah keatas, saudara sekandung, saudara seayah dan sebagainya. Dalam hal ashabah bi al-ghair yaitu jika ada seorang anak perempuan atau lebih, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, bersama-sama dengan keberadaan ahli waris laki-laki (anak laki-laki atau saudara laki-laki), bagian perempuan separuh dari laki-laki.

Dalam Ahli waris tingkat pertama terutama tentang anak dinyatakan dalam kalimat pertama bahwa bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan. Hal ini merupakan solusi bagi segala kombinasi anak laki-laki dan perempuan. Misalnya jika almarhum meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka bagian anak laki-laki dua pertiga dan perempuan sepertiga.22hal ini sebagaimana yang dirumuskan oleh fuqaha dalam ashabah bi al-ghair, dalam kedua kaliamat baru diterangkan bagian anak perempuan jika tidak ada anak laki-laki.

Sedangkan dalam manzhab Ja’fariah (ahli waris yang sepertalian darah) dapat dikelompokkan menjadi dua cara, pertama, berdasarkan saham perolehan dan kedua, berdasarkan bentuk hubungan darah. Berdasarkan yang pertama di bagi menjadi dua golongan yaitu: zawi as-siham, orang yang mendapatkan bagian pasti dan zawi al-qarabah, orang yang mendapatkan sisa setelah dikeluarkan saham golongan pertama tadi. Besarnya saham dan orang-orag yang menjadi zawi as-siham, pada prinsipnya sama dengan apa yang telah diuraikan dalam pendapat enam manzhab sebelumnya. Perbedaan terletak pada aturang hijab-menghijab serta pengembalian dan pengurangan seperti akan diterangkan di bawah nanti.

Zawi alqarabah adalah orang yang akan mendapatkan sisa setelah dikeluarkan bagian zawi as-siham, yaitu keturunan sekiranya terdiri atas laki-laki dan perempuan atau laki-laki saja, ayah sekiranya tidak ada anak (keturunan), serta saudara kandung seayah sekiranya terdiri atas laki-laki dan perempuan atau laki-laki saja.23 Dengan demikian, istilah ini hampir semakna dengan istilah ashabah di kalangan sunni. Perbedaanya, ashabah di kalangan sunni berhak mewarisi walaupun berbeda jenis hubungan dan jarak derajat dengan ahli waris zawi al-furud

21 Muhammad Jawad, Fiqh Lima Manzhab, (Jakarta: lentera Basritama, 1999), cet, IV, Halaman 550. 22 Davis S. Power, Peralihan Kekayaan dan politik kekuasaan, kritik historis hukum waris, alih bahasa Arif

Maftuhin, (yogyakarta: LKIS, 2001) halaman 119. 23 At –Tusi, al-Mabsut fi al-fiqh al-Imamiyyah, jilid 4, (Teheran:almurtadawiyyah,)halaman 69 dan 78.

Page 7: Copy of Pembaharuan Hukum Waris Dan Wakaf

yang ada. Sedangkan zawil al-Qarabah harus dari jenis hubungan dan jarak derajat yang sama dengan zawi as-siham yang ada.

Selanjutnya, berdasarkan bentuk hubungan darah, ahli waris dibedakan kepada tiga kelompok keutamaan, yaitu pertama, kelompok keutamaan anak (keturunan) dan orang tua, kedua, kelompok keutamaan kakek dan saudara (kerabat garis pertama, keturunan orang tua dan seterusnya ke bawah), ketiga, kelompok keutamaan saudara ayah (kerabat garis kedua, keturunan kakek dan seterusnya ke bawah)24.

Mengenai dalil pengelompokan, untuk yag pertama mudah ditemukan, yaitu arti kalalah bahwa kerabat garis sisi tidak berhak mewarisi selama masih ada keterunan dan orang tua. Mengenai yang kedua, tidak disebutkan secara tegas. Tetapi kuat dugaan qiyas kepada hubungan orang tua anaklah yang menyebabkan saudara dan kakek dijadikan satu kelompok keutamaan. Seolah-olah ayah pewaris aslilah yang menjadi pewaris. Tidak ada hadis khusus yang digunakan sebagai dalil bahwa kakek harus mewarisi ketika bersama dengan saudara atau sebaliknya. Mengenai yang ketiga, lebih tidak jelas lagi. Namun dapat dimengerti sekiranya di-qiyas-kan kepada kelompok keutamaan yang pertama dan yang kedua.25

Keturunan dalam manzhab ja’fariyah adalah semua orang yang mempunyai hubungan darah ke bawah, baik melalui garis laki-laki maupun perempuan. Begitu pula kakek dan nenek adalah semua orang yang mempunyai hubungan darah melalui garis keatas, betapapun jauhnya tanpa membeda-bedakan antara yang melalui ayah dan yang melalui ibu.

Mengenai hijab-menghijab, kelompok yang lebih tinggi menghijab kelompok yang lebih rendah. Jadi selama masih ada anggota kelompok satu, maka orang-orang dalam kelompok yang lebih rendah. Jadi selama masih ada anggota kelompok satu, maka orang-orang dalam kelompok dua dan tiga tidak berhak mewarisi dan begitu juga selama masih ada anggota kelompok kedua, kelompok ketiga tidak berhak mewarisi. Selanjutnya di dalam setiap kelompok, derajat yang lebih tinggi menghijab derajat lebih rendah. Misalnya anak (keturunan derajat satu), walaupun hanya satu orang perempuan, akan menghijab semua cucu (keturunan derajat kedua) dan seterusnya ke bawah. Begitu juga selama masih ada kakek dan nenek derajat satu, maka semua kakek dan nenek derajat dua menjadi terhijab.

Terhadap kerabat garis sisi, ada satu asas lagi, yaitu yang kandung menghijab yang seayah. Sedang yang seibu tidak akan terpengaruh apa-apa. Jadi selama ada saudara kandung, walaupun hanya perempuan, semua saudara seayah terhijab. Asas ini dipertimbangkan apabila orang-oang tersebut setingkat jarak derajatnya. Sebab, untuk yang tidak setingkat, hijab-menghijab karena perbedaan derajat telah dianggap memadai.

Dalil tentang hijab menghijab ini adalah al-Anfal ayat 75, yang dipahami secara Amm dan mutlaq, keutamaan sebagai kerabat atas yang lainya itu ditafsirkan meliputi bentuk hubungan darah, jarak derajat dan kekuatan hubungan. Seperti telah disebutkan Ulama ja’fariyah yang menolak hadis Ibnu Abbas. Sedangkan hadis Ibnu Mas’ud dan fatwa Zaid tidak ditemukan penggunaannya dalam buku ja’fariyah. Tuntutan fatimah untuk menerima warisan dari Rasul,

24 Undang-Undang Kekeluargaan Irak (1963) mengambil alih pengelompoan berdasarkan bentuk hubungan darah ja’fariyah ini.

25 Bandingkan, al-Musawi, an-Nass wa al-Ijtihad, (Qum: al-Mujtaba’, 1404 H) halaman 357.

Page 8: Copy of Pembaharuan Hukum Waris Dan Wakaf

menurut mereka, menjadi petunjuk pula terhadap aturan hijab-menghijab seperti disebutkan di atas.26

Sistem hijab menghijab Ja’fariyah lebih sederhana dari pada sistem enan manzhab sebelumnya, karena selalu mempertimbangkan jenis hubungan (kelompok keutamaan), jarak derajat dan kekuatan hubungan darah. Sebagai contoh, dalam ja’fariyah, anak, walaupun perempuan, menghijab semua cucu: sedang dalam sunni, hanya anak laki-laki yang menghijab cucu. Sedang kalau dibandingkan dengan hazairin, beliau lebih sederhana lagi karena hanya kelompok keutamaan yang bisa menghijab; jarak derajat dan kekuatan hubungan sudah tidak dipertimbangkan lagi.

Mengenai sisa bagi dan kelebihan saham, mazhab ini sama dengan enam manzhab sebelumnya dalam hal pengembalian sisa harta kepada zawi as-Siham yang berha mewarisi, kecuali ibu ketika ada ayah atau dua orang saudara (atau lebih). Sedang mengenai kelebihan saham, Ulama-Ulama Ja’fariyah mengikuti pendapat Ali dan Ibn Abbas. Kekurangan itu dibebankan kepada anak perempua atau saudara perempuan (kandung atau seayah). Selain dari alasan yang dikemukakan Ibnu Abbas, manzhab ini menambahkan bahwa pembebanan tersebut adalah untuk menjaga agar perolehan ahli waris perempuan tersebut tidak lebih banyak daripada perolehan ahli waris laki-laki. Maksudnya kalau tempat anak (saudara) perempuan tersebut diisi oleh anak (saudara) laki-laki, maka yang dikurangi adalah bagian mereka, bukan ahli waris yang lain.27

Perbedaan yang mendasar antara syiah dan sunni, adalah adanya penolakan hadis yang dinggap oleh sunni itu adalah hadis hukum waris akan tetapi bagi syiah ituadalah sebaliknya, bukan termasuk hadis hukum waris. Hal ini dapat terlihat pada peristiwa sengketa warisan fatimah pada zaman Khalifah Abu bakar Shiddiq yang hal itu menjadi landasan salah satu penerapan fikih waris dalam manzhab Ja’fariyyah.

Pembaharuan Hukum waris dan Wakaf di Maroko

Pembaharuan Hukum Waris dan Wakaf di Indonesia.

Kesimpulan

26 Jawwad Magniyyah, fiqh al-Imam Ja’far as-Shadiq, (Beirut:Darl al-Ilm li al-malayin,) VI, halaman 212 dan 223. Abu Zahrah, al-Miras ind al-Ja’faiyyah, (Kairo:Jami’at ad-duwal al-Arabiyyah, 1955) halaman 88.

27 Al-Hlli, Syara’I al-Islam fi masail al-Haram wa al-Halal, (Nejef: cetakan I, 1969) halaman 21-23 dan Al-Amili, Miftah al-Karamah, (Kairo: asy-Syura, 1326) halaman 115.