Click here to load reader
Upload
apex-tasya
View
1.289
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
MENGENAL COST OF QUALITY
(Oleh Okasatria Novyanto)
Andaikan Anda seorang penjual Bakso Sapi yang baru pertama kali menekuni usaha tersebut, apa yang tersirat dalam benak anda?
Saya yakin dari sekian banyak angan-angan, misalnya : banyak pelanggannya, rasa yang nikmat, tempat usaha yang permanent dan strategis, harga
yang terjangkau, dll. Faktor biaya (faktor ekonomi) akan menjadi skala prioritas yang utama untuk dipikirkan dan sangat jarang sekali seorang penjual
Bakso Sapi akan menempatkan motivasi membuka lapangan pekerjaan (faktor sosial) sebagai urutan pertama diatas faktor biaya.
Lantas tentunya akan timbul sebuah pertanyaan, Mengapa faktor biaya perlu dipikirkan?
Secara umum, faktor biaya merupakan “Jantung” dari kelangsungan suatu usaha atau organisasi. Dengan kita mengetahui keseluruhan biaya yang
dikeluarkan maka kita dapat menentukan :
1. Berapa laba usaha yang kita peroleh
2. Strategi-strategi dan perbaikan kinerja organisasi (usaha) yang perlu dilakukan
3. Bagaimana kita meningkatkan nilai tambah pada pelanggan
4. dll.
Nah, pada pembahasan sederhana berikut ini, kita akan mencoba membicarakan lebih dalam lagi mengenai “biaya” yang saya rangkum dalam
pembahasan tentang Cost of Quality.
Definisi
Secara umum Cost of Quality terdiri atas 2 buah elemen biaya penting, yakni : Biaya kesesuaian Mutu dan Biaya-biaya ketidaksesuaian Mutu. Biaya
kesesuaian Mutu ialah Biaya yang diperlukan untuk memproduksi dengan benar suatu produk ataupun jasa pertama kali, umumnya biaya kesesuaian
mutu ditentukan dengan perhitungan secara matematis yang mencakup biaya produksi, man power, laba yang dikehendaki, dll. Sedang biaya-biaya
ketidaksesuaian mutu ialah biaya- biaya yang dikeluarkan karena pengendalian mutu yang tidak baik, misalnya : biaya yang harus dikeluarkan karena
adanya sorting produk, biaya punishment dari customer (akibat customer complaint), dll.
Konsep Dasar Biaya
1. Prinsip Biaya Plus (Harga Jual = Biaya + Laba) – Pada konsep ini, elemen biaya tidak mengalami perubahan (tetap atau berupa garis lurus) sedang
elemen harga jual jutru mengalami kenaikan akibatnya terjadi peningkatan laba yang signifikan.
2. Prinsip Penurunan Biaya (Laba = Harga Jual – Biaya) – Pada konsep
ini, elemen harga jual tidak mengalami perubahan (tetap dan berupa garis lurus) sedang elemen biaya-lah yang mengalami penurunan akibatnya
terjadi peningkatan perolehan laba yang signifikan. Pentingnya
Pengukuran Biaya
Umpama Anda seorang QA Supervisor, pernahkah anda melakukan pengukuran Cost of Quality? James Harrington mengatakan bahwa Measurement
is the first step that leads to control and eventually to improvement. If you can’t measure something you can’t understand it. If you can’t understand it,
can’t control it. If you can’t control it, you can’t improve it. Atau secara bebas dapat diartikan bahwa pengukuran adalah langkah awal menuju
pengendalian dan pada gilirannya penningkatan. Bila anda tidak dapat mengukur sesuatu, Anda tidak dapat memahaminya. Bila anda tidak
memahaminya, Anda tidak dapat mengendalikannya. Bila Anda tidak dapat mengendalikannya, Anda tidak dapat meningkatkannya (James
Harrington)
Sekedar informasi untuk anda bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh The American Productivity and Quality Center dengan lokasi
penelitian di USA, Australia dan Eropa menyebutkan :
1. Cost of quality di Industri manufaktur besarnya sekitar 15-20% dari sales turn over.
2. Cost of quality di sektor jasa besarnya sekitar 20-45% dari total biaya operasional.
Tuntutan terhadap Cost Of Quality (COQ)
1. Military Standard (MIL-Q-9858A) - Departement Pertahanan USA- Memelihara dan mengguunakan data biaya mutu sebagai eleman dari program
mutu bagi managemen. Data ini harus mengidentifikasi biaya pencegahan dan biaya perbaikan dari produk pasokan yang tidak sesuai (Misalnya :
karyawan dan bahan baku yang terbuang akibat kurangnya pengendalian mutu oleh pemasok).
2. Military Standard MIL-STD-1520C - Tindakan Koreksi dan Disposisi untuk Bahan Baku yang Tidak Sesuai -.…Scarp, pengerjaan ulang, perbaikan,
digunakan apa adanya dan pengendalian bahan baku merupakan biaya pemasok dan ditambah biaya lainnya yang ditentukan.
Hubungannya dengan ISO : 9000
1. ISO 9004:1994 Bagian 3
Biaya mutu Operasional :
a. Biaya Pencegahan dan Pemeriksaan
b. Biaya kesalahan : Kesalahan Internal dan kesalahan External
c. Biaya jaminan mutu external
d. Manajemen kelayakan
e. Ekonomis : biaya mutu, tujuan utama laporan biaya mutu adalah untuk menentukan efektivitas sistem manajemen mutu untuk program peningkatan
berkesinambungan.
2. ISO 9004:2000 6.8
a. … manajemen harus mempertimbangkan pengembangan pendekatan keuangan yang inovatif untuk mendukung dan memotivasi peningkatan.
b. Efektifitas dan efisiensi dari sistem manajemen mutu dapat mempengaruhi keuangan organisasi, contohnya : Internal, melalui kesalahan produk dan
proses atau buangan dari bahan baku dan waktu dan Eksternal, melalui kesalahan produk, biaya kompensasi dan jaminan dan biaya kehilangan
pelanggan dan pasar.
c. Pelaporan hal-hal tersebut dapat memberikan masukan tentang proses yang tidak efektif dan tidak efesien dan mendorang tindakan perbaikan.
d. Laporan keuangan mengenai kinerja sistem manajemen mutu seharusnya digunakan dalam tinjauan manajemen.
Elemen-elemen dari Cost Of Quality
Pembagian dari Cost Of Quality
Prevention Cost
Beberapa contoh dalam Prevention Cost, misalnya :
1. Quality Planning
2. New Product Review
3. Process Planning
4. Process Capability Analysis
5. Quality Audit
6. Vendor Quality Evaluation
7. Vendor Technical Support
8. Quality Training and Education
Appraisal Cost
Beberapa contoh dari Appraisal Cost, misalnya :
a. Receiving Inspection (Incoming Inspection dan IPQ Inspection)
b. In-Process and Final Inspection
c. Material Consumed for Inspection dan Test
d. Inspection dan Test Reporting
e. Field performance Testing
f. Approvals and endorsements by Outside Authorities
Internal Failure Cost
Beberapa contoh dari Internal Failure Cost, misalnya :
1. Scrap
2. Rework and repair
3. Diagnosis of Non corformance
4. Failed item disposition Determination
5. Re-Inspection and re-test
6. Downgrading
7. Downtime due to Quality Problem
External Failure Cost
Beberapa contoh dari External Failure Cost, misalnya :
a. Waranty Charges
b. Customer Complaints Adjusment
c. Product Liability Claim
d. Product Recalls
e. Allowence
f. Investigation of Customer complaints
g. Test and Repair
Strategi Penggunaan Cost of Quality (COQ)
1. Tentukan sasaran pada biaya kesalahan yang besar
2. Invest pada tindakan pencegahan untuk menurunkan biaya kesalahan
3. Turunkan biaya pemeriksaan tergantung hasil yang dicapai
4. Evaluasi secara terus menerus tindakan pencegahan untuk mendapatkan keuntungan peningkatan lebih lanjut
5. Setiap kesalahan pasti ada sumber masalahnya
6. Sumber masalah dapat dicegah
7. Pencegahan selalu lebih murah
Tahap-tahapa Penerapan Cost of Quality (COQ)
a. Mendapakan komitmen dan dukungan Top Manajemen.
b. Membentuk tim COQ (jika diperlukan).
c. Mengidentifikasi item-item COQ.
d. Menentukan sumber informasi COQ.
e. Menentukan kode biaya dan merancang laporan COQ.
f. Menyimpan prosedur-prosedur COQ.
g. Mengumpulkan dan melaporkan COQ.
h. Menganalisa COQ.
i. Meningkatkan mutu dan menurunkan biaya.
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk Cost of Quality (COQ)
1. Mempunyai tujuan dan strategi yang jelas untuk penerapan COQ.
2. Melaporkan biaya hanya setelah diverifikasi oleh bagian keuangan.
3. Memulai dari biaya mutu yang non-comformance
4. Mengumpulkan data-data COQ yang paling dapat diakses
5. Konsentrasi pada biaya-biaya yang dapat diubah dengan peningkatan
Hal-hal yang jangan dilakukan untuk Cost of Quality (COQ)
a. Hanya Sendirian. Usahakan selalu melibatkan juga bagian yang terkait.
b. Terlampau ambisius. Cobalah dengan memulai dari penelitian awal
c. Mengharap terlalu banyak pada fase awal penerapan sistem COQ.
d. Terlalu fokus pada biaya mutu yang tidak signifikan.
e. Konsentrasi hanya pada biaya yang telah diketahui.
Posted by Okasatria Novyanto at 9:53 PM http://okasatria.blogspot.com/2008/01/mengenal-cost-of-quality-coq.html
INTRODUCTION OF TQM (TOTAL QUALITY MANAGEMENT)
(Written by Okasatria Novyanto)
Definition
On ISO 8402:1994, TQM (Total Quality Management) is defined as a management approach of an organization centered on quality, based on the
participation of all its members and aiming at long-term success. This is achieved through customer satisfaction and benefits to all members of the
organization and to society.
In other words, TQM is a philosophy for managing an organization in a way, which enables it to meet stakeholder needs and expectations efficiently
and effectively, without compromising ethical values.
TQM also can be defined as a way of thinking about goals, organizations, processes and people to ensure that the right things are done right first time.
This thought process can change attitudes, behavior and hence results for the better.
Note : TQM is not a system, a tool or even a process but systems, tools and processes are resources to achieve the various principles of TQM.
Scope of TQM
The total in TQM applies to the whole organization. Therefore, unlike an ISO 9000 initiative, which may be limited to the processes producing
deliverable products, TQM applies to every activity in the organization. Also, unlike ISO 9000, TQM covers the soft issues such as ethics, attitude and
culture.
Philosophy of TQM
There are several ways of expressing this philosophy. There are also several “gurus” whose influence on management thought in this area has been
considerable, for example Deming, Juran, Crosby, Feigenbaum, Ishikawa and Imai. The wisdom of these “gurus” has been distilled into eight principles
defined in ISO 9000:2000. The principles of quality management :
1.Customer-focused organization - Organizations depend on their customers and therefore should understand current and future customer needs,
meet customer requirements and strive to exceed customer expectations
2.Leadership - Leaders establish unity of purpose, direction and the internal environment of the organization. They create the environment in which
people can become fully involved in achieving the organization’s objectives
3.Involvement of people - People at all levels are the essence of an organization and their full involvement enables their abilities to be used for the
organization’s benefit
4.Process approach - A desired resul is achieved more efficiently when related resources and activities are managed as a process
5.System approach to management - Identifying, understanding and managing a system of interrelated processes for a given objective contributes to
the effectiveness and efficiency of the organization
6.Continual improvement - Continual improvement is a permanent objective of an organization
7.Factual approach to decision making - Effective decisions are based on the logical and intuitive analysis of data and information
8.Mutually beneficial supplier relationships - Mutually beneficial relationships between the organization and its suppliers enhance the ability of both
organizations to create value
The Relationship Between TQM and EQA
The European Quality Award (EQA) model is used to assess business excellence. Business excellence is the result of adopting a TQM philosophy and
realigning the organization towards satisfying all stakeholders (customers, owners, shareholders, suppliers, employees and society). The quality
awards criteria offers measures of performance rather than a methodology.
The Reason TQM is Adopted
1. TQM will make an organization more competitive
2. It will establish a new culture, which will enable growth and longevity
3. TQM will provide a working environment in which everyone can succeed
4. It will reduce stress, waste and friction
5. TQM will build teams, partnerships and cooperation
Note : TQM can be adopted at any time after executive management has seen the error of its ways, opened its mind and embraced the philosophy. It
cannot be attempted if management perceives it as a quick fix, or a tool to improve worker performance.
The Fundamental Questions
The first steps in order to focus all efforts in any TQM initiative and to yield permanent benefits, a company must answer some fundamental questions
below :
a. What is its purpose as a business?
b. What is its vision for the business?
c. What is its mission?
d. What are the factors upon which achievement of its mission depends?
e. What are its values?
f. What are its objectives?
Note : A good way to accomplish this is to take top management off site for a day or two for a brainstorming session. Until management shares the
same answers to these questions and has communicated them to the workforce there can be not guarantee that the changes made will propel the
organization in the right direction.
Methodology of TQM
There are a number of approaches to take towards adopting the TQM philosophy. The teachings of Deeming, Juran, Taguchi, Ishikawa, Imai, Oakland,
etc. Can help (all) an organization realign itself and embrace the TQM philosophy. However, there is not single methodology, only a bundle of tools and
techniques.
TQM’s Tools that is Needed
To Support TQM activity, some of tool is needed, for example :
1. Flowchart
2. Statistical process control (SPC)
3. Parrot analysis
4. Cause and effect diagrams
5. Employee and customer surveys
6. Etc.
TQM’s Techniques that is Needed
To Support TQM activity, some of technique is needed, for example :
a. Benchmarking
b. Cost of quality
c. Quality function deployment
d. Failure mode effects analysis
e. Design of experiments
f. Measurements
g. Etc.
Note : After using the tools and techniques an organization needs to establish the degree of improvement. Any number of techniques can be used for
this including self-assessment, audits and SPC.
Pitfalls of TQM
TQM initiatives have been prone to failure because of common mistakes. These include :
1. Allowing external forces and events to drive a TQM initiative
2. An overwhelming desire for quality awards and certificates
3. Organizing and perceiving TQM activities as separate from day-to-day work responsibilities
4. Treating TQM as an add-on with little attention given to the required changes in organization and culture
5. Senior management underestimating the necessary commitment to TQM
http://okasatria.blogspot.com/2008/01/introduction-of-tqm.html
ADVANCED PRODUCT QUALITY PLANNING (APQP)
(Written By Okasatria Novyanto)
In Generally Manufacturing Industry, maybe you will recognize with therminology of APQP or Advance Product Quality Planning. In Indonesia, [on my
understanding] that all of Automotive Company already had applicated APQP Program. But actually, APQP is not only for Automotive Industry. APQP
also suitable for Electronics Industry, Metal Industry, etc.
Introduction
As Etimology, APQP consist of words : Advance(Kelanjutan) – Product (Produk) – Quality (Kualitas) – Planning (Perencanaan).
And as Epistimology, APQP is defined as a framework of procedures and techniques used to develop products in industry, particularly the automotive
industry. APQP is a ‘defined’ process for a product development system for General Motors, Ford, Chrysler and their suppliers.
Product Quality Planning is a structured method of defining and establishing the steps necessary to assure that a product satisfies the customer. The
goal of product quality planning is to facilitate communication with everyone involved to assure that all required steps are completed on time.
The classic reason that will be asked to you if you presented APQP in your company is “What is the benifits for our Company?”. Some of the benifits of
APQP are :
1. To direct resources to satisfy the customer.
2. To promote early identification of required changes.
3. To provide a quality product on time at the lowest cost.
4. To avoid late changes.
The Fundamentals of APQP
Just for your notification that the actual timing and sequence of execution is dependent on customer needs and expectations and or the other practical
matters. It’s more better if the earlier a work practice, tool and or analytical technique can be implemented in the Product Quality Planning Cycle.
Organize the Team
Team coordination and solid team is one of sucess key factors of APQP implementation. The first step in Product Quality Planning is to assign
responsibility to a cross functional team. Effective product quality planning requires the involvement of more than just the quality department. In the
apllication time, the initial team should include representatives from engineering, manufacturing, supply chain management, quality control, sales, field
service, subcontractors and customer [If Needed].
Communication Team to Team
The Team must establish lines of communication with other customer and supplier teams.
Simultaneous Engineering
This is a process where cross functional teams strive for a common goal. It replaces the sequential series of phases where results are transmitted to
the next area for execution.
Define the Scope
Scope of APQP have to be defined before starting process. It is important for the Product Quality Planning Team in the earliest stage of the product
program to identify customer needs, expectations and requirements.
At a minimum, the team must :
a. Select a project team leader responsible for overseeing the planning process.
b. Define the roles and responsibilities of each area represented.
c. Identify the customers (internal and external).
d. Define customer requirements (It is recommended to use Quality Function Deployment - QFD). e. Select the disciplines, individuals and or
subcontractors that must be added to the team and those not required.
f. Understand customer expectations, for example : design, number of tests.
g. Assess the feasibility of the proposed design, performance requirements and manufacturing process.
h. Identify costs, timing, and constraints that must be considered.
i. Determine assistance required from the customer.
j. Identify documentation process or method.
Training
The success of a Product Quality Plan is dependent upon an effective training program that communicates all the requirements and development skills
to fulfill customer needs and expectations.
Customer and Supplier Involvement
The primary customer may initiate the quality planning process with a supplier.
Control Plans
Control Plans are written descriptions of the systems for controlling parts and processes. Separate Control Plans cover three distinct phases :
1. Prototype - A description of the dimensional measurements and material and performance tests that will occur during Prototype build.
2. Pre-launch - A description of the dimensional measurements and material and performance tests that will occur after Prototype and before full
Production.
3. Production - A comprehensive documentation of product/process characteristics, process controls, tests, and measurement systems that will occur
during mass production.
Concern Resolution
During the planning process, the team will encounter product design and or processing concerns. These concerns should be documented on a matrix
with assigned responsibility and timing.
Note : Disciplined problem-solving methods are recommended in difficult situations.
Product Quality Timing Plan
The Team’s first order of business following organizational activities should be the development of a Timing Plan. The type of product, complexity and
customer expectations should be considered in selecting the timing elements that must be planned and charted.
Note : A well-organized timing chart should list tasks, assignments, and or the other events.
The Timing Chart
The Phases of APQP
1. Plan and Define Program [Where do we want to go?]
2. Product Design and Development Verification [Can we design one?]
3. Process Design and Development Verification [Can we make one?]
4. Product and Process Validation [Proof of Phases 2 and 3]
5. Launch, Feedback, Assessment and Corrective Action [Production, Continuous Improvement, Prevent Recurrence]
The Activities of APQP
On APQP, there are five major activities :
1. Planning.
2. Product Design and Development.
3. Process Design and Development.
4. Product and Process Validation.
5. Production.
Target and Goal
The APQP Process
Phase 1st of APQP – Plan adn Define Program
Input of Phase 1st
Voice of the Customer
The “Voice of the Customer” encompasses complaints, recommendations, data and information obtained from internal and or external
customers. Several methods for this are:
Market Research
The Team may need to obtain market research data and information reflecting the Voice of the Customer. The following sources can assist in
identifying customer concerns or wants and translating those concerns into product and process characteristics. The Sources of Market Researche
are :
1. Customer interviews.
2. Customer questionnaires and surveys.
3. Market test and positioning reports.
4. New product quality and reliability studies.
5. Competitive product quality studies.
6. Things Gone Right (TGR) reports.
Historical Warranty and Quality Information
A list of historical customer concerns or wants should be prepared to assess the potential for recurrence during the design, manufacture, installation
and use of the product. These should be considered as an extension of the other design requirements and included in the analysis of customer needs.
The Assisting Items are :
a. Things Gone Wrong (TGW) reports.
b. Warranty reports.
c. Capability indicators.
d. Supplier plant internal quality reports.
e. Problem resolution reports.
f. Customer plant returns and rejections.
g. Field return product analysis.
Team Experience
The Team may use any source of any information as appropriate, including :
1. Input from higher system level or past QFD projects.
2. Media commentary and analysis (magazine and newspaper reports, etc.)
3. Customer letters and suggestions.
4. TGR or TGW reports.
5. Dealer comments.
6. Fleet Operator’s comments.
7. Field service reports.
8. Internal evaluations using surrogate customers.
9. Road trips.
10. Management comments or direction.
11. Problems and issues reported from internal customers.
12. Government requirements and regulations.
13. Contract review.
Business Plan or Marketing Strategy
The customer business plan and marketing strategy will set the framework for the product quality plan. The business plan may place constraints (e.g.,
timing, cost, investment, product positioning, R and D resources) on the team that affect the direction taken. The marketing strategy will define the
target customer, the key sales points, and key competitors.
Product or Process Benchmark Data
The use of Benchmarking will provide input to establishing product or process performance targets. One method to successful benchmarking is:
a. Identify the appropriate benchmarks.
b. Understand the reason for the gap between your current status and the benchmark.
c. Develop a plan to either close the gap, match the benchmark, or exceed the benchmark.
Product or Process Assumptions
There will be assumptions that the product has certain features, design, or process concepts. These include technical innovations, advanced materials,
reliability assessments, and new technology. All should be utilized as inputs.
Product Reliability Studies
This type of data considers frequency of repair or replacement of components within designated periods of time and the results of long-term
reliability/durability tests.
Customer Inputs
The next users of the product can provide valuable information relating to their needs and expectations. In addition, the next product users may have
already conducted some or all of the aforementioned reviews and studies. These inputs should be used by the customer and or supplier to develop
agreed upon measures of customer satisfaction.
Output of Phase 1st
Design Goals
Design goals are a translation of the Voice of the Customer into tentative and measurable design objectives. The proper selection of Design Goals
assures that the Voice of the Customer is not lost in subsequent design activity.
Reliability and Quality Goals
Reliability goals are established based on customer wants and expectations, program objectives and reliability benchmarks. Overall reliability goals
should be expressed in terms of probability and confidence limits.
Quality goals are targets based on continual improvement. Some examples are parts per million, defect levels, or scrap reduction.
Preliminary Bill of Material
The Team should establish a preliminary bill of material based on product/process assumptions and include an early subcontractor list. In order to
identify the preliminary special product/process characteristics it is necessary to have selected the appropriate design and manufacturing process.
Preliminary Process Flow Chart
The anticipated manufacturing process should be described using a process flow chart developed from the preliminary bill of material and
product/process assumptions.
Preliminary Listing of Special Product and Process Characteristics
Special product and process characteristics are identified by the customer in addition to those selected by the supplier through knowledge of the
product and process.
At this stage, the team should assure that a preliminary list of special product and process characteristics resulting from the analysis of the inputs
pertaining to customer needs and expectations is developed.
This listing could be developed from but is not limited to the following :
1. Product assumptions based on the analysis of customer needs and expectations.
2. Identification of reliability goals/requirements.
3. Identification of special process characteristics from the anticipated manufacturing process.
4. Similar part FMEAs.
Product Assurance Plan
This Plan translates design goals into design requirements. The Plan can be developed in any understandable format and should include, but is not
limited to the following actions :
a. Outlining of program requirements.
b. Identification of reliability, durability, and apportionment/allocation goals and/or requirements.
c. Assessment of new technology, complexity, materials, application, environment, packaging, service, and manufacturing requirements, or any other
factor that may place the program at risk.
d. Development of Failure Mode Analysis (FMA).
e. Development of preliminary engineering standards requirements.
Note : The Product Assurance Plan is an important part of the Product Quality Plan.
Management Support
One of the keys to the Team’s success is the interest, commitment and support of upper management. Participation by management in product quality
planning meetings is vital to ensuring the success of the program.
Phase 2nd of APQP – Product Design and Development Verification
Output of Phase 2nd
Design Failure Mode and Effect Analysis
The DFMEA is a disciplined analytical technique that assesses the probability of failure as well as the effect of such failure.
A DFMEA is a living document continually updated as customer needs and expectations require.
Note : Preparing the DFMEA provides the team an opportunity to review the previously selected product and process characteristics and
make necessary additions, changes, and deletions.
DFMA is a Simultaneous Engineering process designed to optimize the relationship between design function, manufacturability, and ease of assembly.
At a minimum, the Team should consider :
1. Design, concept, function, and sensitivity to manufacturing variation.
2. Manufacturing and/or assembly process.
3. Dimensional tolerances.
4. Performance requirements.
5. Number of components.
6. Process adjustments.
7. Material handling.
Note : The Team’s knowledge, experience, the product or process, government regulations, and service requirements may require other factors to be
considered.
Design Verification
Design Verification verifies that the product design meets the customer requirements derived form activities described in Phase 1.
Design Reviews
The Design Review is an effective method to prevent problems and misunderstandings; it also provides a mechanism to monitor progress and report to
management.
Design Reviews are a series of verification activities that are more than an engineering inspection.
At a minimum, Design Reviews should include evaluation of :
a. Design or Functional requirement(s) considerations.
b. Formal reliability and confidence goals.
c. Component/subsystem/system duty cycles.
d. Computer simulation and bench test results.
e. DFMEA(s).
At a minimum, Design Reviews should include evaluation of :
1. Review of the Design for Manufacturability and Assembly effort.
2. Design of Experiments (DOE) and assembly build variation results.
3. Test failures.
4. Design Verification progress.
A major function of Design Reviews is the tracking of design verification progress. The company should track the progress through the use of a plan
and report format, referred to as Design Verification Plan and Report (DVP and R). The plan and report is a formal method to assure :
a. Design verification.
b. Product and process validation of components and assemblies through the application of a comprehensive test plan and report.
Prototype Build Control Plan
Prototype Control Plans are a description of the dimensional measurements and material and functional tests that will occur during prototype build. The
Team should ensure that a prototype control plan is prepared.
The manufacture of prototype parts provides an excellent opportunity for the team and the customer to evaluate how well the product or service meets
Voice of the Customer objectives. All prototypes should be reviewed to :
1. Assure that the product or service meets specification and report data as required.
2. Ensure that particular attention has been given to special product and process characteristics.
3. Use data and experience to establish preliminary process parameters and packaging requirements.
4. Communicate any concerns, deviations, and/or cost impact to the customer.
Engineering Drawings including Math Data
Engineering drawings may include special (governmental regulatory and safety) characteristics that must be shown on the control plan.
Drawings should be reviewed to determine if there is sufficient information for a dimensional layout of the individual parts.
Control or datum surfaces or locators should be clearly identified so that appropriate functional gages and equipment can be designed for
ongoingcontrols.
Dimensions should be evaluated to assure feasibility and compatibility with industry manufacturing and measuring standards.
Note : If appropriate, the team should assure that math data is compatible with the customer’s system for effective communications.
Engineering Specifications
A detailed review and understanding of the controlling specifications will help the Team to identify the functional, durability and appearance
requirements of the subject component or assembly. Sample size, frequency, and acceptance criteria of these parameters are generally defined in the
in-process test section of the Engineering Specification.
Material Specifications
Material specifications should be reviewed for Special Characteristics relating to physical properties, performance, environmental, handling, and
storage requirements.
Drawing and Specification Changes
Where drawing and specification changes are required, the team must ensure that the changes are promptly communicated and properly documented
to all affected areas.
Phase 3rd of APQP – Process Design and Development Verification
Phase 4th of APQP – Product and Process Validation
Phase 5th of APQP – Launch, Feedback, Assessment and
Corrective Action
Control Plan Methodology - Advanced Product Quality Planning
(APQP)
Phase 1st
1. Determining customer needs, requirements and expectations using tools such as quality function deployment (QFD).
2. Review the entire quality planning process to enable the implementation of a quality program.
3. How to define and set the inputs and the outputs.
Phase 2nd
Review the inputs and execute the outputs, which include FMEA, DFMA, design verification, design reviews, material and engineering specifications.
Phase 3rd
a. Addressing features for developing manufacturing systems and related control plans.
b. These tasks are dependent on the successful completion of phases 1 and 2.
c. Execute the outputs.
Phase 4th
1. Validation of the selected manufacturing process and its control mechanism through production run evaluation outlining mandatory production
conditions and requirements.
2. Identifying the required outputs.
Phase 5th
a. Focuses on reduced variation and continuous improvement.
b. Identifying outputs and links to customer expectations and future product program.
Additional Materials
Understand customer needs
This is done using voice of customer techniques to determine customer needs and using quality function deployment (QFD) to organize those needs
and translate them into product characteristics or requirements.
Proactive feedback and corrective action
The advance quality planning process provides feedback from other similar projects with the objective of developing counter-measures on the current
project. Other mechanisms with verification and validation, design reviews, analysis of customer feedback and warranty data also satisfy this objective.
Design within process capabilities
This objective assumes that the company has brought processes under statistical control, has determined its process capability and has communicated
it process capability to its development personnel.
Note: Once this is done, development personnel need to formally determine that critical or special characteristics are within the enterprise’s process
capability or initiate action to improve the process or acquire more capable equipment.
Analyze and mitigate failure modes
This is done using techniques such as failure modes and effects analysis or anticipatory failure determination.
Verification and validation
Design verification is testing to assure that the design outputs meet design input requirements. Design verification may include activities such as:
design reviews, performing alternate calculations, understanding tests and demonstrations, and review of design documents before release.
Validation is the process of ensuring that the product conforms to defined user needs, requirements, and or specifications under defined operating
conditions.
Design validation is performed on the final product design with parts that meet design intent.
Production validation is performed on the final product design with parts that meet design intent produced production processes intended for normal
production.
Design reviews
Design reviews are formal reviews conducted during the development of a product to assure that the requirements, concept, product or process
satisfies the requirements of that stage of development, the issues are understood, the risks are being managed, and there is a good business case for
development. Typical design reviews include:
1. Requirements review,
2. Concept or preliminary design review,
3. Final design review, and
4. A production readiness or launch review.
Control special or critical characteristics
Special or critical characteristics are identified through quality function deployment (QFD) or other similar structured method. Once these
characteristics are understood, and there is an assessment that the process is capable of meeting these characteristics (and their tolerances), the
process must be controlled.
A control plan is prepared to indicate how this will be achieved. Control plans provide a written description of systems used in minimizing product and
process variation including equipment, equipment set-up, processing, tooling, fixtures, material, preventive maintenance and methods.
The Elements
The APQP process has seven major elements :
a. Understanding the needs of the customer.
b. Proactive feedback and corrective action.
c. Designing within the process capabilities.
d. Analyzing and mitigating failure modes.
e. Verification and validation.
f. Design reviews.
g. Control special or critical characteristics.
Reference : Training Module of Sachbudi Abbas Ras, S.T., M.T.
(Head of INDONUSA Quality Center and INDONUSA Operations Research Center)
Posted by Okasatria Novyanto at 8:11 PM http://okasatria.blogspot.com/2008/01/advanced-product-quality-planning-apqp.html
Cost of Quality
Written by Administrator Friday, 12 June 2009 06:40
Menanggapi diskusi teman-teman professional Manajemen Mutu dalam milis QMS-Forum saya jadi terdorong untuk membuat tulisan ini. Cost of Quality (COQ) pertama sekali dipopulerkan oleh Philip Crosby dalam bukunya Total Quality Control. Beliau mengemukakan bahwa mutu memiliki konsekuensi biaya yakni: biaya untuk mengendalikan (cost of control) dan biaya karena kegagalan mengendalikan (cost of failure to control). Philip Crosby adalah pemikir manajemen mutu. Beliau memang bukan pencetus six sigma, tetapi beliau melakukan penanganan atas kegagalan mutu secara cepat, langsung pada titik, dimana mutu seharusnya diciptakan.Setelah pensiun dari ITT dimana beliau menjabat sebagai vice-president selama 14 tahun, pada tahun 1991, beliau mendirikan perusahaan konsultan dan lembaga pendidikan di bidang mutu. Setelah pensiun sebagai tentara pasca PDII, beliau bekerja di pabrik dan setiap hari bergelut dengan lini perakitan (assembly line). Beliau wafat di bulan Agustus 2001, pada usia 75 tahun. Sebenarnya, pemikiran yang beliau ingin sampaikan adalah, bahwa begitu mahalnya harga yang harus dibayar apabila organisasi menghasilnya produk yang tidak bermutu (poor quality). Maka, bagian paling penting dari pemikiran beliau adalah “cost of poor quality” (COPQ). Setiap non-conformance atau defect atau kegagalan mutu akan membawa konsekuensi biaya. Inilah yang ingin beliau tanamkan di hati setiap insan. Maka beliau menulis buku yang berjudul “Quality is Free”, yang menyatakan bahwa untuk menghasilkan suatu produk yang berkualitas, tidak berarti diperlukan biaya yang besar, tetapi justru sebaliknya “free”. Berikut ini adalah philosophy yang prinsip yang beliau serukan dalam hal pengendalian mutu, yang beliau sebut sebagai “Four Absolutes of Quality Management”:1. Quality is defined as conformance to requirements, not as 'goodness' or 'elegance'.
2. The system for causing quality is prevention, not appraisal.
3. The performance standard must be Zero Defects, not "that's close enough".
4. The measurement of quality is the Price of Nonconformance, not indices.
Dari prinsip dasar (absolutes) di atas jelaslah bahwa mutu itu sebenarnya haruslah diukur dari sudut “harga yang harus dibayarkan” untuk kegagalan (nonconformance). Inilah yang dimaksud dengan “Cost of Poor Quality”. Lebih dalam lagi, pada point 2, beliau menyebutkan bahwa system yang menghasilkan mutu adalah “pencegahan”, bukan “penilaian”. Dalam hal ini, diperlukan perubahan mendasar dalam pola pikir
tentang mutu dan kegagalan mutu. Bahwa “quality is free” akan menjadi kenyatakan jika maanjemen menciptakan suatu sistem yang dapat mencegah kegagalan. System tidak hanya berarti infrastruktur, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah pola pikir, sikap terhadap mutu. Maka pada point 3 di atas, Philip Crosby menegaskan bahwa standar kinerja adalah “zero defect”, sesuatu yang sempurna tanpa cacat. Prinsip “zero defect” harus menjadi sikap mental yang mendasari manajemen mutu. Oleh sebab itu pimpinan tertinggi di perusahaanlah yang harus menjadi orang pertama yang menerima dan menghargai prinsip ini. Kalau ini yang terjadi, maka COPQ dapat dihindari dan “quality is free” akan tercapai. Sesungguhnya, COPQ yang paling tinggi harganya bukanlah biaya material dan sumber daya lainnya (waktu, energi, pemikiran, opportunity cost, dll). Harga yang paling mahal adalah nama baik, yang konsekuensinya adalah tingkat kepercayaan konsumen dengan perusahaan. Bila persepsi konsumen terhadap perusahaan telah berubah semakin negatif, maka perusahaan berada dalam bahaya, karena future business tidak lagi bisa diharapkan. Yang paling buruk lagi adalah, bahwa nama perusahaan yang negatif ini cepat menyebar, dan calon konsumen atau konsumen lainpun akan menjauh. Saya menyebutnya sebagai “disaster of quality”, karena “image” perusahaan atau brand menjadi hancur berkeping-keping. Mengakhiri tulisan ini, saya ingin sampaikan bahwa quality is free harus dimulai dari dalam. Zero defect dan excellence akan menjadi kenyataan jika hati anda memang benar-benar ada di situ, dan anda mendedikasikan diri untuk menjaga komitmen itu. Maka dengan sendirinya yang lain akan mengikuti dan “zero defect is free” akan menjadi kenyataan. And finally you are ready to enjoy your future success! Semoga bermanfaat.
http://www.indonesiaqualitylinks.co.cc/index.php?option=com_content&view=article&id=5:cost-of-quality&catid=2:quality-basics&Itemid=3
"The cost of quality."
It’s a term that's widely used – and widely misunderstood.
The "cost of quality" isn't the price of creating a quality product or service. It's the cost of NOT creating a quality product or service.
Every time work is redone, the cost of quality increases. Obvious examples include:
The reworking of a manufactured item.
The retesting of an assembly.
The rebuilding of a tool.
The correction of a bank statement.
The reworking of a service, such as the reprocessing of a loan operation or the replacement of a food order in a restaurant.
In short, any cost that would not have been expended if quality were perfect contributes to the cost of quality.
Total Quality Costs
As the figure below shows, quality costs are the total of the cost incurred by:
Investing in the prevention of nonconformance to requirements.
Appraising a product or service for conformance to requirements.
Failing to meet requirements.
Quality Costs—general description
Prevention Costs
The costs of all activities specifically designed to prevent poor quality in products or services.
Examples are the costs of:
New product review
Quality planning
Supplier capability surveys
Process capability evaluations
Quality improvement team meetings
Quality improvement projects
Quality education and training
Appraisal Costs
The costs associated with measuring, evaluating or auditing products or services to assure conformance to quality standards and performance requirements.
These include the costs of:
Incoming and source inspection/test of purchased material
In-process and final inspection/test
Product, process or service audits
Calibration of measuring and test equipment
Associated supplies and materials
Failure Costs
The costs resulting from products or services not conforming to requirements or customer/user needs. Failure costs are divided into internal and external failure categories.
Internal Failure Costs
Failure costs occurring prior to delivery or shipment of the product, or the furnishing of a service, to the customer.
Examples are the costs of:
Scrap
Rework
Re-inspection
Re-testing
Material review
Downgrading
External Failure Costs
Failure costs occurring after delivery or shipment of the product — and during or after furnishing of a service — to the customer.
Examples are the costs of:
Processing customer complaints
Customer returns
Warranty claims
Product recalls
Total Quality Costs:
The sum of the above costs. This represents the difference between the actual cost of a product or service and what the reduced cost would be if there were no possibility of substandard service, failure of products or defects in their manufacture.
Excerpted from the ASQ Quality Costs Committee,Principles of Quality Costs: Principles, Implementation, and Use, Third Edition, ed. Jack Campanella, ASQ Quality Press, 1999, pages 3-5.
Definition and Explanation of Quality Costs:
A product that meets or exceeds its design specifications and is free of defects that mar its appearance or degrade its performance is said to have high quality of conformance. Note that if an economy car is free of defects, it can have a quality of conformance that is just as high as defect-free luxury car. The purchasers of economy cars cannot expect their cars to be as opulently as luxury cars, but they can and do expect to be free of defects.
Preventing, detecting and dealing with defects cause costs that are called quality costs or costs of quality. The use of the term "quality cost" is confusing to some people. It does not refer to costs such as using a higher grade leather to make a wallet or using 14K gold instead of gold plating in jewelry. Instead the term quality cost refers to all of the costs that are incurred to prevent defects or that result from defects in products.
Quality costs can be broken down into four broad groups. These four groups are also termed as four (4) types of quality costs. Two of these groups are known as prevention costs andappraisal costs. These are incurred in an effort to keep defective products from falling into the hands of customers. The other two groups of costs are known as internal failure costs andexternal failure costs. Internal and external failure costs are incurred because defects are produced despite efforts to prevent them therefore these costs are also known as costs of poor quality.
The quality costs do not just relate to just manufacturing; rather, they relate to all the activities in a company from initial research and development (R & D) through customer service. Total quality cost can be quite high unless management gives this area special attention.
Four types of quality cost are briefly explained below:
Prevention Costs:
Generally the most effective way to manage quality costs is to avoid having defects in the first place. It is much less costly to prevent a problem from ever happening than it is to find and correct the problem after it has occurred. Prevention costs support activities whose purpose is to reduce the number of defects. Companies employ many techniques to prevent defects for example statistical process control, quality engineering, training, and a variety of tools from total quality management (TQM).
Prevention costs include activities relating to quality circles and statistical process control.Quality circles consist of small groups of employees that meet on a regular basis to discuss ways to improve quality. Both management and workers are included in these circles.
Statistical process control is a technique that is used to detect whether a process is in or out of control. An out of control process results in defective units and may be caused by a miscalibrated machine or some other factor. In statistical process control, workers use charts to monitor the quality of units that pass through their workstations. With these charts, workers can quickly spot processes that are out of control and that are creating defects. Problems can be immediately corrected and further defects prevented rather than waiting for an inspector to catch the defect later.
Some companies provide technical support to their suppliers as a way of preventing defects. Particularly in just in time (JIT) systems, such support to suppliers is vital. In a JIT system, parts are delivered from suppliers just in time and in just the correct quantity to fill customer orders. There are no stockpiles of parts. If a defective part is received from a supplier, the part cannot be used and the order for the ultimate customer cannot be filled in time. Hence every part received from suppliers must be free from defects. Consequently, companies that use just in time (JIT) often require that their supplier use sophisticated quality control programs such as statistical process control and that their suppliers certify that they will deliver parts and materials that are free of defects.
Appraisal Costs:
Any defective parts and products should be caught as early as possible in the production process. Appraisal costs, which are sometimes called inspection costs, are incurred to identify defective products before the products are shipped to customers. Unfortunately performing appraisal activates doesn't keep defects from happening again and most managers realize now that maintaining an army of inspectors is a costly and ineffective approach to quality control.
Employees are increasingly being asked to be responsible for their own quality control. This approach along with designing products to be easy to manufacture properly, allows quality to be built into products rather than relying on inspections to get the defects out.
Internal failure Costs:
Failure costs are incurred when a product fails to conform to its design specifications. Failure costs can be either internal or external. Internal failure costs result from identification of defects before they are shipped to customers. These costs include scrap, rejected products, reworking of defective units, and downtime caused by quality problem. The more effective a company's appraisal activities the greater the chance of catching defects internally and the greater the level of internal failure costs. This is the price that is paid to avoid incurring external failure costs, which can be devastating.
External Failure Costs:
When a defective product is delivered to customer, external failure cost is the result.External failure costs include warranty, repairs and replacements, product recalls, liability arising from legal actions against a company, and lost sales arising from a reputation for poor quality. Such costs can decimate profits.
In the past, some managers have taken the attitude, "Let's go ahead and ship everything to customers, and we'll take care of any problems under the warranty." This attitude generally results in high external failure costs, customer ill will, and declining market share and profits.
External failure costs usually give rise to another intangible cost. These intangible costs are hidden costs that involve the company's image. They can be three or four times greater than tangible costs. Missing a deadline or other quality problems can be intangible costs of quality.
Internal failure costs, external failure costs and intangible costs that impair the goodwill of the company occur due to a poor quality so these costs are also known as costs of poor qualityby some persons.
Examples of four types of quality cost are given below:
Prevention Costs Internal Failure CostsSystems developmentQuality engineeringQuality trainingQuality circlesstatistical process controlSupervision of prevention activitiesQuality data gathering, analysis, and reportingQuality improvement projectsTechnical support provided to suppliersAudits of the effectiveness of the quality system
Net cost of scrapNet cost of spoilageRework labor and overheadRe-inspection of reworked productsRetesting of reworked productsDowntime caused by quality problemsDisposal of defective productsAnalysis of the cause of defects in productionRe-entering data because of keying errorsDebugging software errors
Appraisal Costs External Failure CostsTest and inspection of incoming materialsTest and inspection of in-process goodsFinal product testing and inspectionSupplies used in testing and inspectionSupervision of testing and inspection activitiesDepreciation of test equipmentMaintenance of test equipmentPlant utilities in the inspection areaField testing and appraisal at customer site
Cost of field servicing and handling complaintsWarranty repairs and replacementsRepairs and replacements beyond the warranty periodProduct recallsLiability arising from defective productsReturns and allowances arising from quality problemsLost sales arising from a reputation for poor quality.
Real Business Example:SIMPLE SOLUTION:Very simple and inexpensive procedures can be followed to prevent defects. Yamada Electric Company had a persistent problem assembling a simple push button switch. The switch has two buttons, an on button and an off button, with a small spring under each button. Assembly is very simple. A worker inserts the small spring in the device and then installs the buttons. However the workers some time forget to put in one of the springs. When the customers discover such a defective switch in a shipment from Yamada, an inspector has to be sent to the customer's plan to check every switch in the shipment. After each such incident, workers are urged to be more careful, and for a while quality improves. But eventually, someone forgets to put in a spring, and Yamada gets into trouble with the customers again. This chronic problem was very embarrassing to Yamada.
Shigeo Shingo, an expert on quality control, suggested a very simple solution. A small dish was placed next to the assembly station. At the beginning of each operation, two of the small springs are taken out of a parts box containing hundreds of springs and placed in the dish. The worker then assembles the switch. If a spring remains on the dish after assembling the switch, the worker immediately realizes a spring has been left out, and the switch is reassembled. This simple change in procedures completely eliminated the problem.
Source: Shigeo Shingo and Dr. Alan Robinson, editor-in-chief, Modern Approaches to Manufacturing Improvement: The Shingo System, (Cambridge, MA: Productivity Press, 1990), pp. 214-216.
http://www.accountingformanagement.com/quality_costs.htm
How to Distribute Quality Costs?
A company's total quality cost is likely to be very high unless management gives this area special attention. Experts say that these costs should be more in 2% to 4% range. How does a company reduces its total quality cost? The answer lies in how the quality costs are distributed. Total quality cost is a function of quality of conformance. A high quality of conformance means that a product is free of defects and a low quality of conformance means that a product has defects. In this sense an economy car may have a quality of conformance same as a very expensive car if it has no defects. Like wise an expensive car may have less quality of conformance if it has defects that effect its use. When the quality of conformance is low, total quality cost is high and most of this cost consists of cost of internal and external failure. A low quality of conformance means that a high percentage of units is defective and hence the company must incur high failure costs. However, as a company spends more and more on prevention and appraisal activities, the percentage of defective units drops. This results in lower costs of internal and external failure costs. Ordinarily total quality cost drops rapidly as the quality of conformance increases.
Thus, a company can reduce its total quality cost by focusing its efforts on prevention and appraisal. The cost savings from reduced defects usually swamp the costs of the additional prevention and appraisal efforts.
As a company's quality program becomes more refined and as its failure costs begin to fall, prevention activities usually become more effective than appraisal activities. Appraisal can only find defects, whereas prevention can eliminate them. The best way to prevent defects from happening is to design processes that reduce the likelihood of defects and to continually monitor processes using statistical process control methods.
Quality Cost Report:
A quality cost report details the prevention costs, appraisal costs, and internal failure costand external failure cost that arise from company's current level of defective products or services. Companies often construct a quality cost report that provides an estimate of the financial consequences of the company's current level of defects. A simple quality cost reportis shown in the following example:
Example of Quality Cost Report
Ventura CompanyQuality Cost ReportFor the Year1 & 2
Prevention Cost
Appraisal Costs
Year 2 Year 1 Amount
1,000,000
Percent
2.00%
Amount
650,000
Percent
1.30%
Internal Failure Costs
External Failure Costs
Total Quality Cost
1,500,000
3,000,000
2,000,000-----------7,500,000======
3.00%
6.00%
4.00%---------15.00%=====
1,200,000
2,000,000
5,150,000----------
9,000,000======
2.40%
4.00%
10.30%---------18.00%=====
Prevention cost increased by (1,000,000 – 650,000) = 350,000Appraisal cost increased by (1,500,000 – 1,200,000) = 300,000
Internal Failure cost (3,000,000 – 2,000,000) = 1,000,000Total Increase = 1,650,000
External failure cost decreased by = 3,150,000
Net Quality Cost Benefit = 3,150,000 – 1,650,000= 1,500,000
Several things should be noted from the data in the quality cost report. First, note that the quality costs are poorly distributed in both years, with most of costs being traceable to either internal or external failure. The external failure costs are particularly high in year 1 in comparison to other costs. Second note that the company increased its spending on prevention and appraisal activities in year 2. As a result, internal failure costs went up in that year (from $2 million in first year to $3 million in year 2), but external failure costs dropped sharply (from $5.15 million in year 1 to $3 million in year 2). Because of the increase in appraisal activates in year 2,more defects were caught inside the company before they were shipped to the customers. This resulted in more cost for scrap, rework, and so forth, but saved huge amounts in warranty repairs, warranty replacements, and external failure costs. Third, note that as a result of greater emphasis on prevention and appraisal, total quality cost decreased inyear2.As continued emphasis is placed on prevention and appraisal in future years, total quality cost should continue to decrease. That is , future increases in prevention and appraisal costs should be more than offset by decreases in failure costs. Moreover, appraisal costs should also decrease as more effort is placed into prevention.
http://www.accountingformanagement.com/distribution_of_quality_costs.htm
A quality cost report has several uses. First quality cost information helps managers see the financial significance of defects. Managers usually are not aware of the magnitude of their quality costs because these costs cut across departmental lines and are not normally tracked and accumulated by the cost system. Thus, when first presented with a quality cost report, managers often are surprised by the amount of cost attributable to poor quality.
Second quality cost information helps managers identify the relative importance of the quality problems faced by the firm. For example, the quality cost report may show that scrap is a major quality problem or that the company is incurring huge warranty costs. With this information, managers have a better idea of where to focus efforts.
Third, quality cost information helps managers see whether their quality costs are poorly distributed. In general, quality costs should be distributed more toward prevention and appraisal activities and less toward failures.
Limitations of Quality Cost Information:
Three limitations of quality cost information should be recognized.
1. Simply measuring and reporting quality costs does not solve quality problems. Problems can be solved by taking actions.
2. Results usually lag behind quality improvement programs. Initially quality cost may even increase as quality control systems are designed and installed. Decrease in these costs may not begin to occur until the quality program has been in effect for a year or more.
3. The most important quality costs lost sales arising from customers ill will, is usually omitted from the quality cost report because it is difficult to estimate.
Typically during the initial years of a quality improvement program, the benefits of compiling a quality cost report outweigh the costs and limitations of the reports. As managers gain experience in balancing prevention and appraisal activities, the need for quality cost report often diminishes.
http://www.accountingformanagement.com/uses_of_quality_cost_information.htm
Creating an Initial Quality Cost Study
1. Review the literature on quality costs. Consult with others in similar industries who have had experience
with applying quality cost concepts.
2. Select one organizational unit of the company to serve as a pilot site. This unit may be one plant, one
large department, one product line, etc.
3. Discuss the objectives of the study with the key people in the organization, particularly those in the
accounting function. Two objectives are paramount...Determine the size of the quality problem and identify
specific projects for improvement.
4. Collect whatever cost data are conveniently available from the accounting system . Use this information to
gain management support to make a full cost of quality study.
5. The proposal should provide for a task force of all concerned parties. The task force will identify the work
activities that contribute to the cost of poor quality. Use work records, job descriptions, flowcharts,
interviews, and brainstorming to identify these activities.
6. Publish a draft of the categories defining the cost of quality. Secure comments and revise.
7. Finalize the definitions and secure management approval.
8. Assign responsibility for data collection and report preparation.
9. Collect and summarize the data. Ideally, this should be done by accounting.
10. Present the initial and final quality cost results from the quality improvement project to management.
Request authorization to proceed with a broader company wide program of measuring the costs and
pursuing projects.
Clearly, the sequence must be tailored for each organization.
Capturing Qaulity Cost Tips
1. Established expense accounts. Examples include inspection department appraisal activities and customer
response warranty expenses.
2. Define and analysis the ingredients of established expense accounts: For example, suppose an account
called customer returns reports the cost of all goods returned. Some customers returned defective goods.
Categorized these as cost of poor quality. Some customers return goods to reduce inventory. These are not
cost of poor quality. You must break the customer returns into two separate expense accounts. To help
distinguish the quality costs returns, someone must study of the return documents and classify all returns.
3. Improve accounting documents: For example, some production department employees conduct product
inspection. By securing their names, the associated payroll data, and inspection time you can quantify these
cost of quality.
4. Include estimates: Input from knowledgeable personnel is clearly important.
5. Use temporary records. For example, some production workers spend part of their time repairing defective
product. Here you can create a temporary record to determine the repair time and thereby the repair cost.
This cost can then be projected for the study time period.
6. Utilize work sampling: Take random observations of activities. Within a few sampling you can calculate
the percent of time spent in each of a number of predefined quality cost categories. Ask employees to record
the observation as prevention, appraisal, failure, or first time work.
7. Improve allocation of total resources: For example, some engineers are part-time engaged in making
product failure analyses. The engineering department, however, makes no provision for charging
engineering time to multiple accounts. Ask each engineer to make an estimate of time spent on product
failure analysis. Do this by keeping a temporary engineering activity log for several representative weeks.
Categorized time spent due to a product failure as a failure cost.
d. Track unit cost data: Here, the cost of correcting one error is estimated and multiplied by the number of
errors per year. Examples include billing errors and scrap. Note that the unit cost per error may consist of
corrections costs from several departments.
e. Utilize market research data: Cost of quality includes lost sales revenue due to poor quality. Although
difficult to estimate, market research studies on customer satisfaction and loyalty can provide input data on
dissatisfied customers and customer defections.
http://www.bexcellence.org/Cost-Of-Quality.html
"Highest quality is lowest cost" is a Japanese manufacturing aphorism based on the premise that the highest quality manufacturer will earn a
reputation that makes buyers prefer, price being reasonably similar, to buy its goods. This means that the manufacturer will produce more than its
competitors, and thus will both have economies of scale and be able to accept a lower profit per unit—thus the highest quality goods will have a lower
cost by driving other goods from the market. The production of higher quality goods can also reduce quality costs.
http://en.wikipedia.org/wiki/Highest_quality_is_lowest_cost 2009
Cost of poor quality (COPQ) or poor quality costs (PQC), are defined as costs that would disappear if systems, processes, and products were
perfect.
COPQ was popularized by IBM quality expert H. James Harrington in his 1987 book Poor Quality Costs.[1] COPQ is a refinement of the concept
of quality costs. In the 1960s, IBM undertook an effort to study its own quality costs and tailored the concept for its own use.[2]. While Feigenbaum's
term "quality costs" is technically accurate, it's easy for the uninitiated to jump to the conclusion that better quality products cost more to produce.
Harrington adopted the name "poor quality costs" to emphasize the belief that investment in detection and prevention of product failures is more than
offset by the savings in reductions in product failures.
COPQ decomposes COPQ into the following elements:
Cost Description
Direct poor-quality costs
Controllable poor-quality
cost
Direct COPQ can be directly derived from entries in the company ledger.[3]
Controllable COPQ is directly controllable costs to ensure that only acceptable products and services reach the customer.[4]
Resultant COPQ are costs incurred because unacceptable products and services were delivered to the customer, resulting
Prevention cost
Appraisal cost
Resultant poor-quality cost
Internal error cost
External error cost
Equipment poor-quality
cost
from earlier decisions about how much to invest in controllable COPQ.[5]
Equipment COPQ are costs to invest in equipment to measure, accept, or control a product or service[6]. It is treated
separately from controllable costs to accommodate the effects of depreciation.
Indirect poor-quality costs
Customer-incurred cost
Customer-dissatisfaction
cost
Loss-of-reputation cost
Indirect COPQ is difficult to measure because it is a delayed result of time, effort, and financial costs incurred by the customer. These customer costs add up to lost sales and therefore do not appear in the company's ledger.[7]
Examples
Cost element Examples
Direct poor-quality costs
Controllable poor-quality cost
Prevention cost
Quality planning (for test, inspection, audits, process control)
Education and training
Performing capability analyses
Conducting design reviews
Appraisal cost
Test and inspection
Supplier acceptance sampling
Auditing processes
Resultant poor-quality cost
Internal error cost
In-process scrap and rework
Troubleshooting and repairing
Design changes
Additional inventory required to support poor process yields and rejected lots
Reinspection and retest of reworked items
Downgrading
External error cost Sales returns and allowances
Service level agreement penalties
Complaint handling
Field service labor and parts costs incurred due to warranty obligations
Equipment poor-quality costMicrometers, voltmeters, automated test equipment (but not equipment used to make the product)
Indirect poor-quality costs
Customer-incurred cost
Loss of productivity due to product or service downtime
Travel costs and time spent to return defective product
Repair costs after warranty period
Backup product or service to cover failure periods
Customer-dissatisfaction cost Dissatisfaction shared by word of mouth
Loss-of-reputation cost Customer perception of firm
[edit]White collar COPQ
Harrington noted that expanding cost analyses to management and clerical workers could also make a significant dent in waste.[8] He defined the
following costs by functional area:
Functional area Controllable COPQ Resultant COPQ
Controller COPQ
Timecard reviews
Capital equipment reviews
Invoicing reviews
Billing errors
Incorrect accounting entries
Payroll errors
Software COPQ Design reviews
Code reviews
Crashes
Deadlocks
Incorrect outputs
Plant administration COPQ
Security
Facility inspection and testing
Machine maintenance training
Disclosure of trade secrets
Facilities redesign
Overstaffing/understaffing
Equipment downtime/idle time
Purchasing COPQ
Vendor reviews
Periodic vendor surveys
Follow-up on delivery dates
Strike built-in costs
Line-down cost
Excessive inventory due to suppliers
Premium freight cost
Marketing COPQ
Sales material review
Marketing forecast
Customer surveys
Sales training
Overstock
Loss of market share
Incorrect order entry
Personnel COPQ
Prescreening applications
Appraisal reviews
Exit interviews
Attendance tracking
Absenteeism
Turnover
Grievances
Industrial engineering COPQ
Packaging evaluations
Layout reviews
OSHA reports
Inspection of contract work
OSHA fines
Shipping damage
Redoing layout
Paying contractors for poor work
[edit]Cost of poor quality by inception point
The damages of poor quality augment as the inception point is farther down the supply chain:
TCFP [Total Cost of Faulty Part] =
Direct Cost (manufacturing cost)
➔ failure at supplier's site (bad)
+ Labor Cost (assembly and testing)
+ Overhead Cost (Inventory, handling, shipping costs)
+ Scrapping Cost (of part and attached parts assemblies: Sometimes assemblies cannot be disassembled and have to be scrapped altogether)
+ Rework (applying a new part instead)
➔ failure at manufacturer's site (worse)
+ Repair / Recall Costs (these are costs associated with repairing or replacing a new part / assembly under warranty)
+ Product Liability Costs (These are costs resulting from damages caused by the faulty part to 3rd parties)
➔ failure at customers' site (worst)
http://en.wikipedia.org/wiki/Cost_of_poor_quality 2010
he concept of quality costs is a means to quantify the total cost of quality-related efforts and deficiencies. It was first described by Armand V.
Feigenbaum in a 1956 Harvard Business Reviewarticle.[1]
Prior to its introduction, the general perception was that higher quality requires higher costs, either by buying better materials or machines or by hiring
more labor.[2] Furthermore, while cost accountinghad evolved to categorize financial transactions into revenues, expenses, and changes in shareholder
equity, it had not attempted to categorize costs relevant to quality. By classifying quality-related entries from a company's general ledger, management
and quality practitioners can evaluate investments in quality based on cost improvement and profit enhancement.
Feigenbaum defined the following quality cost areas[3]:
Cost area Description Examples
Costs of control (Costs of conformance)
Prevention costs Arise from efforts to keep defects from occurring at all
Quality planning
Statistical process control
Investment in quality-related
information systems
Quality training and workforce
development
Product-design verification
Systems development and
management
Appraisal costs Arise from detecting defects via inspection, test, audit
Test and inspection of purchased
materials
Acceptance testing
Inspection
Testing
Checking labor
Setup for test or inspection
Test and inspection equipment
Quality audits
Field testing
Costs of failure of control (Costs of non-conformance)
Internal failure costs
Arise from defects caught internally and dealt with by discarding or repairing the defective items
Scrap
Rework
Material procurement costs
External failure costs
Arise from defects that actually reach customers
Complaints in warranty
Complaints out of warranty
Product service
Product liability
Product recall
Loss of reputation
The central theme of quality improvement is that larger investments in prevention drive even larger savings in quality-related failures and appraisal
efforts. Feigenbaum's categorization allows the organization to verify this for itself.[4] When confronted with mounting numbers of defects, organizations
typically react by throwing more and more people into inspection roles. But inspection is never completely effective, so appraisal costs stay high as
long as the failure costs stay high. The only way out of the predicament is to establish the "right" amount of prevention.
Once categorized, quality costs can serve as a means to measure, analyze, budget, and predict.[5]
Variants of the concept of quality costs include cost of poor quality and categorization based on account type, described by Joseph M. Juran: [6]
Cost area Examples
Tangible costs—factory accounts
Materials scrapped or junked
Labor and burden on product scrapped or junked
Labor, materials, and burden necessary to effect repairs on salvageable product
Extra operations added because of presence of defectives
Burden arising from excess production capacity necessitated by defectives
Excess inspection costs
Investigation of causes of defects
Tangible costs—sales accounts
Discount on seconds
Customer complaints
Charges to quality guarantee account
Intangible costs
Delays and stoppages caused by defectives
Customer good will
Loss in morale due to friction between departments
http://en.wikipedia.org/wiki/Quality_costs 2011
Peningkatan Kualitas merupakan suatu hal yang paling esensial bagi suatu perusahaan untuk tetap eksis dalam dunia bisnis yang competitif
ini. Kini sudah tidak jamannya lagi perusahaan hanya mementingkan volume penjualan yang begitu besar untuk mencapai keuntungan yang
maksimal, tetapi lebih berorientasi pada aspek kepuasan konsumen. Dengan adanya kemampuan perusahaan untuk memberikan kepuasan
terhadap konsumen yang membeli produknya, maka secara otomatis perusahaan akan mencapai keuntungan yang maksimal. Oleh karena itu
dikembangkan berbagai cara dan teknik untuk mengidentifikasi besarnya biaya kualitas (kerugian yang muncul akibat barang yang dihasilkan
menyimpang dari standar) suatu perusahaan. Apabila biaya kualitas yang muncul tersebut nampak dalam catatan akuntansi perusahaan yang
bersangkutan, maka perusahaan akan lebih mudah melakukan pengendalian, tetapi apabila biaya kualitas tersebut sifatnya tersembunyi,
maka akan lebih sulit untuk melakukan pengendalian dan estimasi. Berbagai teknik telah dikembangkan untuk memecahkan masalah Hidden
Quality Cost ini. Salah satu metode yang populer adalah dengan menggunakan metode Taguchi. Dengan metode Taguchi ini akan membantu
perusahaan dalam melakukan pengendalian dan estimasi khususnya terhadap biaya kualitas yang tersembunyi.
BIAYA KUALITAS
Meningkatkan kualitas dapat menjadi kunci perjuangan hidup banyak perusahaan. Banyak yang percaya
bahwa, meningkatnya kualitas dapat meperbaiki keuangan perusahaan dan posisi persaingan. Penekanan pada
kualitas akan meningkatkan profitabilitas dalam dua cara yaitu: dengan meningkatkan permintaan pelanggan dan
dengan menurunkan biaya penyediaan barang-barang dan jasa. Sebelum melangkah pada definisi biaya kualitas,
ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu kualitas.
Definisi Kualitas Definisi tipikal dari kamus tentang kualitas adalah tingkat atau nilai keunggulan, dalam artian kualitas
merupakan tolak ukur relatif terhadap kebaikan. Secara operasional kualitas suatu produk atau jasa adalah
sesuatu yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. Jadi, kualitas adalah kepuasan pelanggan, sesuatu
yang melampaui pengharapan pelanggan akan delapan dimensi berikut ini:
1. Kinerja (performance), merujuk ke bagaimana konsisten dan baiknya fungsi suatu produk.
2. Estetika (esthetic), berkaitan dengan penampilan produk-produk yang berwujud sekaligus juga dengan
penampilan fasilitas, peralatan, personel, dan perlengkapan komunikasi yang berkaitan dengan jasa.
3. Kemampuan memberikan jasa (serviceability), berkaitan dengan kemudahan pemeliharaan dan atau
perbaikan suatu produk.
4. Bentuk (features), merujuk ke karakteristik suatu produk yang membedakannya dengan produk lain
yang sejenis secara fungsional.
5. Kemampuan untuk diandalkan (reliability), probabilitas suatu produk atau jasa dalam menjalankan
fungsinya untuk jangka waktu tertentu.
6. Daya tahan (durability), jangka waktu berfungsinya suatu produk.
7. Kesesuaian (conformance), suatu tolak ukur mengenai bagaimana suatu produk memenuhi
spesifikasinya.
8. Kecocokan dengan kegunaan (fitness for use), kesesuaian suatu produk dengan fungsi-fungsinya
sesuai dengan yang diiklankan.
Jadi, perbaikan kualitas berarti memperbaiki satu atau lebih dari delapan dimensi kualitas tetapi tetap
memepertahankan kinerja dimensi-dimensi lainnya. Keempat dimensi pertama menjelaskan atribut-atribut
kualitas yang penting, tapi sulit untuk diukur. Walaupun kedelapan dimensi tersebut sangat penting dan dapat
mempengaruhi kepuasan pelanggan, atribut kualitas yang dapat diukur cenderung mendepatkan penekanan yang
lebih. Kesesuaian kualitas khususnya sangat ditekankan. Kesesuaian dengan kualitas setidaknya adalah dasar
untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan suatu produk yang cacat.
Produk cacat adalah produk yang tidak dapat memenuhi spesifikasinya. Cacat nihil berarti bahwa semua
produk sesuai dengan spesifikasinya. Pandangan kualitas yang sehat tentang kesesuaian kualitas menekankan
kecocokan dengan kegunaan. Keadaan yang sehat berarti mencapai nilai sasaran setiap waktu.
Definisi Biaya Kualitas Biaya kualitas merupakan biaya-biaya yang timbul karena kualitas buruk mungkin dan memang ada. Biaya
kualitas berkaitan dengan dua subkategori dari aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan kualitas yaituaktivitas
kontrol dan aktivitas gagal.
Aktivitas kontrol adalah aktivitas yang dilakukan oleh sebuah organisasi untuk menghindari atau
mendeteksi kualitas buruk. Jadi aktivitas kontrol terdiri dari aktivitas pencegahan dan aktivitas penilaian. Dan
biaya kontrol adalah biaya yang ditimbulkan akibat dari dilakukannya aktivitas kontrol.
Aktivitas gagal adalah aktivitas yang dilakukan oleh sebuah organisasi atau pelanggannya dalam
menanggapi kualitas buruk. Dalam menanggapi kualitas yang muncul sebelum pengiriman suatu produk yang
jelek ke pelanggan, aktivitas ini diklasifikasikan sebagai aktivitas gagal internal, jika tidak demikian maka
aktivitas tersebut diklasifikasikan sebagai aktivitas gagal eksternal. Biaya kegagalan adalah biaya yang
dikeluarkan atau dimunculkan oleh sebuah organisasi karena dilakukannya aktivitas gagal. Definisi-definisi
aktivitas yang berkaitan dengan kualitas ini mengimplikasikan empat kategori dari biaya kualitas yaitu:
1. Biaya pencegahan
Biaya ini muncul untuk mencegah terjadinya kualitas buruk dalam produk atau jasa yang dihasilkan. Ketika biaya
pencegahan meningkat, maka diharapkan biaya kegagalan akan menurun.
2. Biaya penilaian
Biaya ini muncul untuk menentukan apakah produk atau jasa sesuai dengan kebutuhan pelanggan atau spesifikasi
mereka. Tujuan utama dari fungsi penilaian adalah menghindari dikirimnya barang-barang yang tidak sesuai
dengan kualitas kepada para pelanggan.
3. Biaya gagal internal
Biaya ini timbul karena produk dan jasa tidak sesuai dengan spesifikasi atau kebutuhan pelanggan.
Ketidaksesuaian ini dideteksi sebelum produk dan jasa dikirimkan ke pihak luar. Biaya-biaya ini tidak ada jika
barang cacat tidak ada.
4. Biaya gagal eksternal.
Biaya ini timbul karena produk dan jasa gagal memenuhi persyaratan atau memenuhi kebutuhan pelanggan
setelah dikirim ke pelanggan. Dari semua biaya, kategori ini merupakan biaya yang paling menghancurkan
perusahaan. Seperti halnya biaya gagal internal, biaya ini tidak akan timbul jika tidak ada barang cacat.
Pengukuran Biaya Kualitas
Biaya kualitas juga dapat diklasifikasikan sebagai biaya yang dapat diamati atau tersembunyi. Biaya
kualitas yang dapat diobservasi adalah biaya-biaya yang tersedia dari pencatatan akuntansi organisasi. Biaya
kualitas yang tersembunyi adalah biaya kesempatan yang dihasilkan dari kualitas buruk. Ada tiga metode yang
diusulkan untuk menaksir biaya kualitas tersembunyi, yaitu:
1. Metode Multiplikasi
Mengasumsikan bahwa total biaya gagal hanya merupakan multiplikasi biaya-biaya gagal yang diukur.
Total biaya gagal eksternal = k (biaya gagal eksternal yang diukur)
Dimana k adalah efek multiplikasi berdasarkan pada pengalaman. Memasukkan biaya tersembunyi dalm
penilaian jumlah biaya gagal eksternal membuat manajemen dapat lebih akurat dalam menentukan tingkat
pengeluaran sumber daya untuk aktivitas-aktivitas pencegahan dan penilaian. Dengan kenaikan biaya gagal,
diharapkan pihak manajemen akan meningkatkan investasinya dalam biaya kontrol.
2. Metode Riset Pemasaran
Metode riset pasar formal adalah metode-metode yang digunakan untuk menilai efek dari kualitas buruk pada
penjualan dan pangsa pasar. Hasil riset pemasaran dapat digunakan untuk memproyeksikan laba rugi akan
datang yang disebabkan oleh kualitas buruk.
3. Fungsi Kerugian Kualitas Taguchi
Fungsi ini mengasumsikan bahwa setiap variasi dari nilai sasaran karakteristik kualitas menyebabkan biaya
kualitas tersembunyi. Biaya tersembunyi meningkat secara kuadratikal ketika nilai aktual menyimpang dari nilai
sasaran.
Rumus:
Dimana:
k = konstanta proporsional yang tergantung pada struktur biaya gagal eksternal organisasi
y = karakteristik nilai kualitas aktual
T = karakteristik nilai kualitas sasaran
Untuk menerapkan fungsi taguchi, k harus diestimasi. Nilai untuk k dihitung dengan membagi estimasi biaya
pada satu batas spesifik dengan deviasi kuadrat batas tersebut dari nilai sasaran:
k = c
d2
dimana:
c = kerugian pada batas spesifikasi atas atau bawah
d = jarak antara batas dengan nilai sasaran
Pelaporan Informasi Biaya Kualitas Suatu sistem pelaporan biaya kualitas menjadi penting jika organisasi tersebut serius dengan biaya
perbaikan dan pengontrolan kualitas. Langkah pertama dalam menciptakan sistem tersebut adalah dengan
melaporkan biaya-biaya kualitas aktual saaat ini. Daftar yang rinci dari biaya kulaitas aktual per kategori akan
dapat memberikan dua informasi penting yaitu:
1. Menunjukan berapa yang dikeluarkan untuk tiap kategori biaya kualitas dan pengaruhnya terhadap laba.
2. Menunjukkan distribusi biaya kualitas dengan kategori, memungkinkan para manajer menilai
kepentingan relatif tiap kategori.
L(y) = k (y – T)2
Laporan Biaya Kualitas
Signifikansi finansial dari biaya kualitas dapatb dinilai secara lebih mudah dengan mengekspresikan biaya-
biaya ini sebagai persentasi penjualan aktual. Terdapat dua pandangan tentang biaya kualitas optimal
yaitu :pandangan tradisional, yang mensyaratkan adanya tingkat kualitas yang dapat diterima, dan pandangan
yang diadopsi oleh perusahaan-perusahaan kontemporer, yang disebut sebagai totak kontrol kualitas (total quality
control). Setiap pandangan menawarkan kepada manajer, informasi-informasi tentang bagaimana biaya-biaya
kualitas harus dimanajemen.
Distribusi Optimal dari Biaya Kualitas : Pandangan Tradisional
Pandangan tradisional terhadap kualitas adalah bahwa terdapat pertukaran antara biaya kontrol
(pencegahan dan nilai) dan biaya kegagalan (kegagalan eksternal dan internal). Ketika biaya pencegahan dan
penilaian meningkat, seharusnya biaya kegagalan menurun. Selama penurunan biaya kegagalan lebih besar dari
kenaikan korespondensi dalam biaya kontrol, perusahaan tersebut harus terus memperluas usahanya untuk
mencegah atau mendeteksi unit-unit yang tidak sesuai kualitasnya. Sampai pada akhirya, suatu titik dicapai,
dimana setiap kenaikan biaya tambahan ini lebih banyak dari pengurangan korespondensi dari biaya-biaya
kegagalan. Tanpa perubahan dalam teknologi, titik ini mewakili tingkat minimum dari total biaya kualitas. Ini
adalah keseimbangan optimal antara biaya kontrol dan biaya kegagalan dan diilustrasikan dengan gambar
berikut.
Dua fungsi biaya diasumsikan yaitu biaya kontrol dan biiaya kegagalan. Fungsi kontrol adalah kurva yang
menurun ke bawah, menunjukkan persentase unit cacat yang meningkat ketika jumlah dana yang dikeluarkan
untuk aktivitas pencegahan dan penilaian meningkat. Fungsi biaya kegagalan adalah grafik yang meningkat ke
atas, menunjukkan bahwa biaya kegagalan meningkat ketika jumlah unit barang cacat meningkat. Total biaya
kualitas menurun ketika kualitas meningkat sampai pada titik tertentu. Tingkat optimal unit cacat diidentifikasi
dan perusahaan bekerja untuk bekerja untuk mencapai tingkat tersebut. Tingkat unit cacat yang diterima ini
diidentifikasi sebagai tingkat kualitas yang dapat diterima (acceptable quality level – AQL).
Fungsi Biaya Kualitas : Pandangan Kontemporer
Sudut pandang AQL berdasarkan pada definisi produk detektif (cacat) tradisionsl. Dalam skema klasik,
sebuah produk detektif (cacat) jika beradadi luar batas yang dapat ditoleransi untuk suatu karakteristik kualitas.
Di bawah pandangan ini, biaya kegagalan hanya muncul jika produk-produk gagal untuk sesuai dengan
spesifikasinya dan pertukaran optimal ada antara biaya gagal dan kontrol. Pandangan AQL mengizinkan, dan
kenyataannya, mendorong produksi sejumlah tertentu unit yang cacat. Pada dasarnya, model cacat nihil
mengklaim bahwa nerupakan keuntungan biaya untuk mengurangi unit yang tidak sesuai dengan kualitas smpai
titik nol.menurut pandangan model kualitas sehat, suatu kerugian dialami dari aktivitas produksi produk yang
bervariasi dari nilai sasaran dan semakin jauh jaraknya dari nilai sasaran, maka semakin besar kerugiannya.
Model kualitas sehat memperketat definisi unit cacat, memurnikan pandangan kita terhadap biaya kualitas, dan
mengintensifkan persaingan kualitas.
Tingkat optimal bagi biaya kualitas adalah tingkat dimana produk-produk yang diproduksi memenuhi
nilai sasaran. Pencarian untuk menemukan cara-cara mencapai nilai sasaran menciptakan dunia kualitas yang
dinamis, berlawanan dengan dunia kualitas yang statis dari AQL.
Hakikat Dinamis dari Biaya Kualitas
Suatu fungsi total biaya kualitas konsisten dengan relasi biaya kualitas. Terdapat beberapa perbedaan
pokok, yaitu:
1. Biaya kontrol tidak meningkat tanpa batas ketika status cacat nihil sehat didekati.
2. Biaya kontrol dapat meningkat dan kemudian menurun ketika status cacat nihi sehat didekati.
3. Biaya kegagalan dapat dipicu sampai ke titik nol
Strategi untuk menggunakan biaya kualitas cukup sederhana:
1. Lakukan serangan langsung terhadap biaya-biaya kegagalan untuk mendesak mereka sampai ke titik nol.
2. Lakukan investasi dalam aktivitas-aktivitas pencegahan yang ”benar” untuk membawa perbaikan.
3. Kurangi biaya penilaian sesuai dengan hasil yang dicapai.
4. Secara kontinu evaluasi dan secra tidak langsung lakukan usaha-usaha pencegahan untuk mendapatkan
keuntungan dari perbaikan selanjtnya.
Strategi ini bedasarkan pada premis-premis:
a. Untuk setiap kegagalan terdapat satu akar penyebabnya.
b. Penyebab-penyebab tersebut dapat dihindari.
c. Tindakan pencegahan selalulebih murah.
Manajemen Berdasarkan-Aktivitas dan Biaya Kualitas Optimal
Manajemen berdasarkan aktivitas mengklasifikasikan aktivitas-aktivitas sebagai bernilai tambah dan tidak
bernilai tambah dan hanya mempertahankan aktivitas yang bernilai tambah.
Hubungan antara Manajemen Biaya dan kualitas Total
Para akuntan berperan penting dalam menghasilkan informasi biaya kualitas. Begitu pentingnya
sehingga pemahaman mereka akan pengaruh –pengaruh tersebut terhadap kegiatan operasi perusahaan menjadi
kritikal.
Penggunaan Informasi Biaya Kualitas Biaya kualitas dilaporkan untuk memperbaiki perencanaan manajerial, kontrol, dan pengambilan
keputusan. Menggunakan informasi biaya kualitas untuk menerapkan dan mengawasi efektifitas program kualitas
merupakan salah satu kegunaan dari sistem biaya kualitas. Informasi biaya kualitas merupakan input yang
penting untuk pengambilan keputusan manajemen.
Menggunakan Informasi Biaya Kualitas untuk Pengambilan Keputusan
Para manajer memerlukan informasi biaya kualitas sesuai dengan jumlah konteks pengambilan keputusan.
Dua diantaranya adalah penetapan harga stratejik dan analisis biaya-volume-laba.
Sertifikasi Kualitas Melalui ISO 9000
Ketika sebuah perusahaan menilai kualitas dari suppliernya, perusahaan yang sama dapat mensuplai dari
perusahaan lain yang mensyaratkan sertifikasi kualitas penjual. Program yang terbaru disebut dengan ISO 9000.
ISO 9000 merupakan standar pengukuran kualitas. Program ini merupakan satu rangkaian seri dari lima
standar kualitas internasional. Standar ini berpusat pada konsep dokumentasi dan pengontrolan ketidaksesuaian
kualitas dan perubahan.
Perlu diperhatikan bahwa ISO 9000 tidak mensertifikasi kualitas produk tersebut, tidak juga komitmen
perusahaan unutk melakukan perbaikan berkelanjutan. Pada kenyataannya, ISO 9000 merupakan suatu kosakata
dan serangkaian lima standar.
Pada sisi positifnya, banyak perusahaan telah menemukan bahwa proses aplikasi untuk sertifikasi ISO
9000, disamping memeakan waktu dan mahal, program ini menghasilkan keuntungan penting dalam arti
pengetahuan diri. ISO 9000 bukan merupakan sistem kualitas. Program ini merupakan langkah pertama dalam
sertifikasi supplier. Tapi, perusahaan-perusahaan mendapati bahwa sulit untuk bertahan membayar audit
independen untuk menilai proses kualitas mereka.
Pelaporan biaya kualitas sehingga dapat digunakan untuk mengambil keputusan hanya merupakan salah
satu tujuan dari sistem pembiayaan kualitas yang baik. Tujuan lain adalah untuk mengontrol biaya kualitas-sebuah
faktor kritikal yang membantu keputusan.
Dedy Suarjaya http://dedysuarjaya.blogspot.com/2010/09/biaya-kualitas.html
PENINGKATAN MUTU SEKOLAH
Oleh : Drs. H. Nurochim, M.M*
Pendahuluan
Banyak siswa yang telah lulus dari lembaga pendidikan menjadi pengangguran, tidak siap untuk menjadi warga negera yang bertanggung jawab dan produktif, sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat, bangsa dan negara serta akhirnya mendorong terjadinya instabilitas nasional, baik dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Kondisi tersebut, permasalahan pokoknya adalah para siswa yang merupakan produk sistem pendidikan yang diselenggarakan tidak berfokus pada mutu.
Pendidikan yang berfokus pada mutu menurut konsep Juran adalah bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat.[1] Masyarakat dimaksud adalah secara luas sebagai pengguna lulusan, yaitu dunia usaha, lembaga pendidikan lanjut, pemerintah dan masyarakat luas, termasuk menciptakan usaha sendiri oleh lulusan.
Menurut Crosby mutu adalah sesuai yang disyaratkan atau distandarkan (Conformance to requirement), yaitu sesuai dengan standar mutu yang telah
ditentukan, baik inputnya, prosesnya maupun outputnya.[2] Oleh karena itu, mutu pendidikan yang diselenggarakan sekolah dituntut untuk memiliki baku.standar mutu pendidikan. Mutu dalam konsep Deming adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar.[3]Dalam konsep Deming, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dapat menghasilkan keluaran, baik pelayanan dan lulusan yang sesuai kebutuhan atau harapan pelanggan (pasar)nya. Sedangkan Fiegenbaum mengartikan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction).[4] Dalam pengertian ini, maka yang dikatakan sekolah bermutu adalah sekolah yang dapat meuaskan pelanggannya, baik pelanggan internal maupun eksternal.
Mutu menurut Carvin, sebagaimana dikutip oleh Nasution, adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen. Selera atau harapan pelanggan pada suatu produk selalu berubah, sehingga kualitas produk juga harus berubah atau disesuaikan. Dengan perubahan mutu produk tersebut, diperlukan perubahan atau peningkatan keterampilan tenaga kerja, perubahan proses produksi dan tugas, serta perubahan lingkungan organaisasi agar produk dapat memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.[5]
Pada tulisan ini akan dipaparkan bagaimana peningkatan mutu terpadu sekolah agar dapat mewujudkan lulusan sesuai harapan para lulusan, orang tua, pendidikan lanjut, pemerintah dan dunia usaha serta masyarakat secara luas. Pembahasan dalam tulisan ini dimulai uraian tentang sekolah bermutu terpadu, kepemimpinan sekolah bermutu terpadu, kriteria penghargaan bagi sekolah bermutu terpadu, manajemen mutu terpadu dalam pendidikan, penerapan prinsip mutu dalam pendidikan, mengorganisasikan mutu, membentuk satuan tugas mutu, pemecahan masalah, biaya mutu, perbaikan berkesinambungan dan kesimpulan.
Sekolah Bermutu Terpadu
Manajemen Mutu Terpadu merupakan metodologi yang jika diterapkan secara tepat dapat membantu para pengelola atau penyelenggara pendidikan di lembaga pendidikan termasuk sekolah dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan dan lulusan yang dapat memenuhi atau melebihi keinginan atau harapan para stakeholder-nya.
Manajemen Mutu Terpadu yang sering disebut dengan TQM (Total Quality Management) oleh Fandy diartikan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang berusaha memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses dan lingkungannya.[6]Berdasarkan pengertian tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan dengan manajemen mutu terpadu adalah
menyelenggarakan pendidikan dengan mengadakan perbaikan berkelanjutan, baik produk lulusannya, penyelenggaraan atau layanannya, sumber daya manusia (SDM) yang memberikan layanan, yaitu kepala sekolah, para guru dan staf, proses layanan pembelajarannya dan lingkungannya.
Proses menuju sekolah bermutu terpadu, maka kepala sekolah, komite sekolah, para guru, staf, siswa dan komunitas sekolah harus memiliki obsesi dan komitmen terhadap mutu, yaitu pendidikan yang bermutu. Memiliki visi dan misi mutu yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan dan harapan para pelanggannya, baik pelanggan internal, seperti guru dan staf, maupun pelanggan eksternal seperti siswa, orang tua siswa, masyarakat, pemerintah, pendidikan lanjut dan dunia usaha.
Oleh karena itu, upaya mewujudkan sekolah yang bermutu terpadu dituntut untuk berfokus kepada pelanggannya, adanya keterlibatan total semua warga sekolah, adanya ukuran baku mutu pendidikan, memandang pendidikan sebagai sistem dan mengadakan perbaikan mutu pendidikan berkesinambungan.
Berfokus kepada pelanggannya.
Pelanggan lembaga pendidikan/sekolah terdiri dari pelanggan eksternal dan internal. Pelanggan eksternal utama sekolah adalah siswa dan sekaligus sebagai input utama (main input) yang akan diproses menjadi lulusan. Pelanggan eksternal kedua dan seterusnya adalah orang tua, dunia usaha, pemerintah dan pendidikan lebih lanjut. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa sekolah yang berumutu adalah sekolah yang dapat memenuhi atau melebihi keinginan, harapan dan kebutuhan pelangannya.
Menurut Goetsch dan Davis pelanggan internal maupun eksternal merupakan driver. Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa yang disampaikan kepada mereka, sedangkan pelanggan internal berperan besar dalam menentukan kualitas tenaga kerja, proses dan lingkungan yang berhubungan dengan produk atau jasa.[7] Oleh karena itu, dalam pendirian dan penyelenggaraan sekolah harus didahului dengan mengadakan penelitian dan bertanya kepada masyarakat luas, jenis, jenjang pendidikan dan program studi/jurusan apa yang dibutuhkan pada suatu daerah tertentu. Dengan penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, maka tidak akan terjadi lulusan yang tidak diterima di masyarakat. Semua lulusan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang sesuai dengan keinginannya, dapat diterima di dunia usaha atau dapat menciptakan pekerjaan sendiri serta dapat memperoleh penghasilan sesuai kebutuhan hidupnya. Jika semua lembaga pendidikan/sekolah telah mampu menyelenggaragan pendidikan seperti demikian hasilnya, maka akan terjadi stabilitas nasional baik dalam bidang ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Untuk mewujudkan pendidikan yang dapat memuaskan pelanggan eksternal seperti tersebut di atas, maka kepala sekolah terlebih dahulu harus memuaskan pelanggan internalnya, yaitu para guru, pustakawan, laboran, tenaga administrasi, tenaga keamanan dan tenaga kebersihan. Para personil yang merupakan pelanggan internal inilah merupakan pihak penentu dalam mewujudkan sekolah yang bermutu. Guru adalah pelaksana kegiatan inti (core business) sekolah yaitu proses pembelajaran yanag akan menentukan kualitas lulusannya. Pustakawan adalah SDM/personil yang memberikan layanan sumber pembelajaran tekstual untuk mendukung kegiatan akademik/pembelajaran. Laboran adalah personil/SDM yang mendukung kegiatan akademik/embelajaran siswa pada skala laboratorium sebagai kelanjutan atau membuktikan berbagai teori yang telah dipelajari melalui pembelajaran literatur. Tenaga administrasi adalah kegiatan pendukung, agar kegiatan akademik/pembelajaran di sekolah, baik administrasi akademik maupun administrasi non akademik dapat berjalan dengan baik. Tenaga kebersihan sebagai personil/SDM sekolah yang mendukung agar suasana sekolah tetap asri dan proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar. Dan tenaga keamanan bertanggung jawab untuk menciptakan suasana sekolah agar tetap aman dan terkendali.
Kepuasan pelanggan internal sekolah pada dasarnya adalah jika mereka dapat bekerja atau menjalankan tugas dengan dukungan fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai, mendapatkan kompensasi yang layak atas kinerja yang telah diberikan, baik dalam bentuk finansial, material maupun non material serta kesejahteraan secara luas. Sebagai wujud atau bukti adanya kepuasan pelanggan internal sekolah adalah para guru, tenaga admnistrasi, pustakawan, laboran, tenaga kebersihan dan kemanan menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, sesuai sistem, prosedur dan tata kerja yang telah ditentukan. Dengan adanya kepuasan pelanggan internal ini diharapkan mereka dapat memuwujudkan kepuasan terhadap pelanggan eksternal sekolah.
Adanya keterlibatan total semua warga sekolah.
Keterlibatan total semua warga sekolah berarti sekolah dalam hal ini kepala sekolah menyusun organisasi, menganlisis jabatan dan pekerjaan, menyusun uraian tugas, menempatkan orang sesuai latar belakang pendidikan dan keahliannya serta sesuai dengan beban tugas dan pekerjaannya secara merata. Semua warga sekolah diberikan tugas dan fungsi sesuai keahliannya, sesuai bakat dan minatnya. Sebesar atau sekecil apapun, semua warga sekolah harus dilibatkan, diberikan tugas, peran dan fungsi dalam peningkatan mutu sekolah, mulai dari kepala sekolah itu sendiri, komite sekolah, para guru, staf tata usaha, pustakawan, laboran, siswa dan orang tua.
Pelibatan semua warga sekolah itu harus berlangsung mulai dari planning, organizing, staffing, directing, commanding, coordinating, communicating, budgeting,
leading, motivating, compensating dan sampai kepada controlling. Dengan pelibatan tersebut, maka mereka akan menjalankan tugas, peran dan fungsi serta pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab dan penuh komitmen. Pelibatan semua warga sekolah menurut Goetsch dan Davis sebagaimana di kutip oleh Ariani adalah merupakan bentuk pemberian kepuasan kepada pelangan internal agar mereka mau dan mampu memberikan layanan pendidikan yang memuaskan bagi pelangan eksternalnya. Pelibatan warga sekolah itu dalam seluruh proses atau kegiatan.[8]
Bentuk-bentuk keterlibatan guru dan karyawan sekolah dalam peningkatan mutu sekolah dapat berupa saran, baik secara pribadi maupun kelompok, baik atas permintaan pimpinan ataupun atas inisiatif sendiri, dibentuknya tim pemecahan masalah baik atas inisiatif kelompok maupun atas permintaan pimpinan, terbentuknya komite perbaikan mutu sekolah secara berkesinambungan, terbentuknya gugus kendali mutu sekolah dan terbentuknya kelompok-kelompok kerja dalam peningkatan mutu sekolah.[9] Keberhasilan pemberdayaan guru dan karyawan pada suatu sekolah ditandai bahwa pekerjaan mereka milik mereka sendiri, meraka bekerja, menjalankan tugas dan fungsinya secara bertanggung jawab, mereka memahami betul posisi mereka berada dan mereka memiliki pengendalian atas pekerjaan mereka.[10]
Adanya ukuran baku mutu pendidikan.
Ukuran mutu menurut kriteria mutu Baldrige berfokus pada 7 area topik yang secara integral dan dinamis saling berhubungan, yaitu leadership, information and analysis, strategic quality planning, human resource management, quality assurance product of product and services, quality result and customer satisfaction.[11] Dari 7 area topik ukuran kualitas di atas, jika diukur dengan Kriteria Baldrige Award maka perbaikan sistem manajemen kualitas adalah sebagai berikut :
1. Kepemimpinan :
a. Kepala sekolah memiliki pernyataan kebijakan kualitas
b. Guru dan staf serta seluruh warga sekolah mengetahui sasaran kualitas jangka panjang sekolah
c. Kepala sekolah terlibat secara penuh dalam pengembangan kultur kualitas sekolah
d. Kepala sekolah memiliki pelatihan yang tepat tentang konsep-konsep kualitas
e. Kepala sekolah mempraktikkan konsep-konsep kualitas yang diajarkan
f. Kebijakan kuaitas berlandaskan pada kebutuhan untuk perbaikan terus menerus
g. Tanggung jawab perbaikan kualitas telah secara jelas dikomunikasikan kepada seluruh warga sekolah
h. Komite kualitas sekolah mengkoordinasikan berbagai unit-unit sekolah
i. Masyarakat mengetahui sasaran kualitas sekolah
j. Kepala sekolah membrikan sumber daya yang cukup dan tepat untuk perbaikan kualitas
2. Analisis dan Informasi :
a. Kepala sekolah melaporkan data tentang semua dimensi penting dari kualitas pelanggan sekolah
b. Guru dan karyawan melaporkan data tentang semua dimensi pelayanan yang penting
c. Data kualitas dilaporkan kepada semua unit-unit sekolah
d. Data tentang pelatihan manajemen kualitas dikumpulkan oleh tata usaha
e. Kepala sekolah menganalisis data tentang pandangan masyarakat terhadap kualitas sekolah
f. Kepala sekolah menganalisis biaya yang tidak efisien
g. Kepala sekolah mengidentifikasi kendala-kendala dalam mewujudkan kulialitas sekolah
3. Perencanaan Kualitas Strategis :
a. Kepala sekolah menggunakan data kompetitif dari sekolah lain ketika mengembangkan sasaran kualitas
b. Kepala sekolah memiliki rencana operasional tahunan yang menggambarkan sasaran kualitas
c. Guru dan karyawan dilibatkan dalam perencanaan kualitas
d. Pimpinan unit-unit/komponen sekolah berusaha untuk mencapai sasaran kualitas
e. Fungsi kualitas merupakan bagian rencana kegiatan sekolah
f. Kepala sekolah memiliki metode spesifik untuk memantau kemajuan menuju perbaikan kualitas sekolah
g. Terdapat rencana kualitas yang mempengaruhi semua unit sekolah
h. Kepala sekolah memiliki rencana kualitas untuk masukan
4. Pengembangan Sumber Daya Manusia :
a. Kepala sekolah memiliki rencana peluang bagi guru dan karyawan dalam perbaikan kualitas
b. Kriteria kualitas digunakan dalam evaluasi performa SDM sekolah
c. Sasaran kualitas dikomunikasikan kepada semua guru dan staf
d. Guru dan karyawan percaya dan secara terus menerus memberikan layanan terbaik
e. Semua guru dan kaeyawan dilatih tentang konsep perbaikan kualitas
f. Kepala sekolah memberikan kompensasi/imbalan atas jasa guru/karyawan untuk usaha perbaikan kualitas mereka
g. Kepala sekolah mengumpulkan data tentang moral guru dan karyawan
5. Manajemen Kualitas Proses :
a. Ekspektasi kualitas dari pelanggan didefinisikan secara jelas
b. Kebutuhan pelanggan ditransformasikan ke dalam proses perencanaan untuk perbaaikan kualitas
c. Terdapat sistem yang efektif untuk memproses informasi tentang ekspektasi pelanggan
d. Kepala sekolah melakukan audit sistem manajemen kualitas
e. Kepala sekolah bekerjasama dengan stakeholder untuk meningkatkan kualitas
f. Unit-unit pendukung sekolah mendifinissikan sasaran kuaalitas
g. Kepala sekolah menyimpan dan mempertahankan dokumen-dokumen kualitas yang baru (tidak usang)
h. Terdapat sistem efektif untuk mengkomunikasikan ide-ide kualitas kepada kepala sekolah
6. Hasil-hasil Kualitas :
a. Sekolah sekolah merupakan satu di antara tiga sekolah terbaik dalam lingkup kepuasan pelanggan
b. Kepala sekolah menunjukkan perbaikan kualitas terus menerus selama tiga tahun terakhir
c. Kepala sekolah dapat mendemonstrasikan perbaikan kualitas melalui unit-unit pendukung
d. Kepala sekolah dapat mendemonstrasikan perbaikan kualitas melalui stakeholder
e. Terdapat penurunan terus menerus keluhan pelanggan dalam waktu tiga tahun terakhir
7. Kepuasan Pelanggan :
a. Kepala sekolah dapat menunjukkan bahwa pelanggan puas atas barang dan/aatau jasa yang diberikan
b. Kepala sekolah melaporkan data kepuasan pelaanggan
c. Kepala sekolah dapat menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pelanggan meningkat terus menerus dalam waktu tiga tahun terakhir
d. Kepala sekolah dapat menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pelanggan sekolah yang dipimpinnya lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah pesaingnya
e. Terdapat suatu proses efektif untuk menangani keluhan pelanggan
f. Definisi pekerjaan pendukung guru dan karyawan untuk secara tepat menyesaikan keluhan-keluhan pelanggan
g. Kepala sekolah menggunakan pendekatan inovatif untuk menilai kepuasan pelanggan.
Pengukuran tersebut dapat digunakan skala Likert dengan rentang angka 1 = sangat tidak setuju, 4 = netral dan 7 = sangat setuju.
Memandang pendidikan sebagai sistem.
Pendidikan sebagai sistem di suatu sekolah merupakan suatu keseluruhan yang utuh yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berhubungan, saling terkait, saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya dalam mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan sebagai sistem di suatu sekolah/lembaga pendidikan sub-sub sistemnya adalah kurikulum dan pembalajaran, organisasi dan kelembagaan, manajemen dan administrasi, keteganaan, peserta didik, pembiayaan, sarana dan prasarana, peran serta masyarakat dan iklim/budaya sekolah.
Kesempilan komponen atau subsistem dalam lembaga pendidikan tersebut tidak dapat dipisahkan, kesemuanya saling terkait, saling tergantung dan saling mempengaruhi. Tercapainya kurikulum dan suksesnya proses pembelajaran sangat terkit, tergantung dan dipengaruhi oleh 8 unsur/komponen/subsistem yang lainnya. Organisasi/lembaga sekolah akan dapat berdiri tegak jika, kurikulum dan pembalajaran, manajemen dan administrasi, keteganaan, peserta didik, pembiayaan, sarana dan prasarana, peran serta masyarakat dan iklim/budaya sekolah semuanya ada dan berjalan dengan baik. Manajemen dan administrasi pendidikan akan dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh 8 unsur pendidikan lainnya. Ketenagaan akan dapat menjalankan tugasnya dengan baik, jika didukung oleh 8 unsur pendidikan lainnya. Peserta didik akan dapat belajar dengan baik, jika 8 unsur pendidikan itu ada dan berfungsi dengan baik. Demikian pula pembiayaan, sarana dan prasarana, peran serta masyarakat dan pembentukan budaya dan iklim sekolah yang mendukung semua mempengaruhi dan dipengaruhi oleh 8 unsur lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut :
Mengadakan perbaikan mutu pendidikan berkesinambungan.
Perbaikan mutu berkesinambungan adalah ciri manajemen mutu terpadu. Oleh karena itu, sekolah bermutu terpadu dituntut untuk terus mengadakan perbaikan mutu pendidikan secara berkelanjutan atau berkesinambungan. Jika perbaikan mutu pendidikan berkesinambungan itu mengacu kepada Siklus Deming (Deming Cycle), maka tahapannya adalah :
1. Mengadakan riset pelanggan dan menggunakan hasilnya untuk perencanaan produk pendidikan(plan)
2. Menghasilkan produk pendidikan melalui proses pembelajaran (do)
3. Memeriksa produk pendidikan melalui evaluasi pendidikan/evaluasi pembelajaran, apakah hasilnya sesuai rencana atau belum (check)
4. Memasarkan produk pendidikan dan menyerahkan lulusannya kepada orang tua atau masyarakat, pendidikan lajut, pemerintah dan dunia usaha(action)
5. Menganalisis bagaimana produk tersebut diterima di pasar, baik baik pada pendidikan lajut ataupun di dunia usaha dalam hal kualitas, biaya dan kriteria lainnya (analyze).[12]
Tuntutan peningkatan mutu suatu produk atau layanan jasa termasuk pendidikan oleh pelanggan terus terus menerus berkembang dan meningkat dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun dan dari jaman ke jaman. Masyarakat semakin cerdas dalam memilih lembaga pendidikan, mereka dapat membedakan lembaga pendidikan/sekolah yang berkualitas dan kurang berkualitas. Oleh karena itu, penyelenggara/pengelola sekolah/madrasah atau lembaga pendidikan tidak bisa menyelenggarakan pendidikan asal jadi dan statis tanpa perbaikan berkesinambungan memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Penyelenggaraan lembaga pendidikan pada sekolah ataupun madrasah dituntut untuk memenuhi atau melebihi kebutuhan atau keinginan pelanggannya, melibatkan secara total semua komponen sekolah, mengadakan pengukuran dan evaluasi diri terhadap kemaajuan lembaga pendidikan yang dikelalolanya, peningkatan atau perbaikan mutu pendidikan yang diselenggarakannya secara menyeluruh terhadap semua komponen/susb-subsistem lembaga pendidikan dan mengadakan berbaikan mutu pendidikan secara berkesinambungan untuk menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan jaman dan memenuhi atau melebihi harapan, keinginan dan kebutuhan pelanggannya.
Kepemimpinan Sekolah Bermutu Terpadu
Kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut mau melakukan suatu tindakan untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan yang berlangsung pada lembaga pendidikan adalah kepemimpinan pendidikan yang menurut Syafaruddin berarti menjalankan proses kepemimpinan yang sifatnya mempengaruhi sumber daya personil pendidikan (guru dan karyawan) agar melakukan tindakan bersama guna mencapai tujuan pendidikan.[13]
Dirawat menjelaskan kepemimpinan pendidikan sebagai suatu kemampuan dan proses mempengaruhi, mengkoordnir dan menggerakkan orang-rang lain yang ada hubungannya dengan pengembangan ilmu pendidikan, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, agar kegiatan-kegiatan yang dijalankan dapat lebih efektif dab efesien di dalam pencapaian tujuan pendidikan dan pengajaran.[14]
Kepemimpinan pendidikan di sekolah dalam fungsinya sebagai kepemimpinan manajerial adalah pengelola mutu, yang jika diadaptasi dari Trilogi Juran adalah perencanaan mutu, pengembangan produk dan proses yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhaan pelanggan pendidikan. Pengendalian mutu, yaitu mengevaluasi kinerja mutu riel dan membandingkannya dengan tujuan mutu serta menyelesaikan masalah pendidikan yang ada di sekolah. Terakhir adalah peningkatan mutu dengan membangun prasarana yang diperlukan untuk penjaminan kegiatan peningkatan mutu pendidikan, membentuk tim pelaksana kegiatan peningkatan mutu pendidikan dan memberikan sumber daya, motivasi, dan pelatihan yang dibutuhkan oleh tim untuk mendiagnose penyebabnya, menentukan alternatif pemecahannya dan mempertahankan kondisi mutu pendidikan yang telah diraih.[15]
Kepemimpinan sekolah bermutu terpadu menuntut adanya pemimpin transformasional, yang jika diadaptasi dari Timpe diidentifikasikan dan diasoasikan memiliki kemampuan penciptaan bayangan masa, yaitu memiliki gambaran masa depan sekolah yang ideal dan sekolah yang efektif, yang dapat memuaskan seluruh stakeholders.
Mampu memobilisasi komitmen seluruh warga sekolah untuk mewujudkan bayangan sekolah yang ideal dan efektif serta memuaskan pelanggan tersebut menjadi sebuah kenyataan dan mampu melembagakan perubahan, jika sekolah itu telah bermutu sesuai atau melebihi keinginan, kebutuhan dan harapan pelanggannya.[16]
Dalam mewujudkan sekolah yang bemutu terpadu membutuhkan kepemimpinan sekolah efektif, yaitu yang memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan produktif
2. Dapat menjalankan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat, sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah
5. Mampu bekerja dengan tim manajemen sekolah
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan.[17]
Penerapan Prinsip Mutu Dalam Pendidikan
Penerapan prinsip-prinsip mutu dalam pendidikan sudah tidak dapat dielakkan dan ditawar-tawar lagi oleh penyelenggara atau pengelola lembaga pendidikan, baik sekolah maupun madrasah. Sebab penyelenggaraan pendidikan yang bermutu di lembaga pendidikan sudah menjadi tuntutan mutlak dari seluruh lapisan masyarakat, baik siswa, orang rua, masyarakat, pendidikan lanjut, pemerintah dan dunia usaha.
Prinsip utama manajemen mutu terpadu dalam pendidikan yang diadaptasi dari Hensler dan Brunell yang dikutip oleh Scheuing dan Christopher adalah kepuasan pelanggan, respek terhadap setiap orang, manajemen berdasarkan fakta dan perbaikan berkesinambungan.[18] sebagai berikut :
Kepuasan pelanggan
Dalam dunia usaha, apapun usahanya termasuk usaha dalam jasa pendidikan yaitu sekolah, agar sukses dalam usahanya maka harus memberikan kepuasan kepada pelanggannya, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal. Pada saat ini masyarakat luas mencemooh atau mencibirkan kinerja sekolah/lembaga pendidikan. Mereka yang putra atau putrinya lulus SD/MI dan tidak dapat diterima di SMP/MTs yang favorit sesuai keinginannya, kemudian mengecap bahwa sekolah asal anak mereka mutu atau kualitasnya jelek. Demikian pula para orang tua yang putra/putrinya lulus SMP/MTs, kemudian mereka tidak dapat diterima pada SMA/MA yang favorit sesuai keinginan mereka memberikan label sekolah asal anaknya buruk mutunya dan orang tua yang anak mereka lulus SMA atau Madrasah Aliyah kemuadian melanjutkan ke perguruan tinggi dan jika tidak berhasil masuk perguruan tinggi/universitas sesuai keinginannya, mereka mencela bahwa SMA atau MA asal sekolah anak adalah jelek.
Untuk memperbaiki citra atau image sekolah yang buruk di kalangan masyarakat, maka mau atau tidak mau, pihak sekolah harus terus meningkatkan pengelolaan atau penyelenggaraan pendidikan di sekolah agar dapat terus berusaha memenuhi/melebihi keinginan/harapan/kebutuhan pelanggan atau stakeholder sekolah atau lembaga pendidikan yang dikelolanya. Dengan proses pelayanan atau penyelenggaraan pendidikan yang baik sesuai keinginan pelanggannya dan lulusannya dapat diterima di lembaga pendidikan yang diinginkan dan atau segera dapat diterima di dunia usaha atau dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan penghasilan yang memadai, maka masyarakat atau stakeholder akan merasa puas. Inilah harapan masyarakat stakeholder pendidikan terhadap sekolah/lembaga pendidikan kita semua.
Respek terhadap setiap orang
Setiap orang di manapun berada, termasuk di sekolah perlu perhatian (care), saling menghormati, saling memaafkan dan saling menghargai, baik kepala sekolah terhadap guru dan karyawan dan sebaliknya, antara sesama guru dengan karyawan dan sebaliknya, antara kepala sekolah, para guru dan karyawan dengan peserta didik serta warga sekolah dengan seluruh stakeholder serta setiap orang yang hadir membutuhkan layanan pendidikan di sekolah tersebut.
Di sekolah harus diciptakan iklim atau budaya organisasi saling respek terhadap semua orang, saling menghargai antara tugas dan fungsi orang lain, saling menghormati pekerjaan ataupun jabatan orang lain, saling memaafkan jika terjadi kesalahan, saling menyayangi atau mencintai. Suasana yang demikian, akan sangat mendukung lancarnya proses pembelajaran sebagai kegiatan utama sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Manajemen berdasarkan fakta
Penyelenggaraan sekolah dengan manajemen mutu terpadu, mulai dari perencanaan mutu pendidikan dan pengambilan keputusan, pengorganisasian sekolah,
penempatan personil sekolah, proses kepemimpinan sekolah, yaitu leading, directing, commanding, coordinating, commnucating, pemberian imbalan (compensating) dan pengawasan(controlling) terhadap kegiatan pendidikan di sekolah harus berdasarkan fakta, data dan informasi yang benar dan akurat.
Dengan data yang akurat dan informasi yang benar semua hal yang berkaitan dengan peningkatan mutu sekolah, mulai dari peningkatan mutu kurikulum dan pembelajaran, administrasi dan manajemen, organisasi dan kelembagaan, ketenagaan, peserta didik, pembiayaan, sarana dan prasarana, peranserta masyarakat dan peningkatan mutu budaya atau iklim sekolah, maka akan memudahkan bagi pimpinan sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah tersebut, mulai dari perencanaan mutu pendidikan, pengorganisasian peningkatan mutu pendidikan sampai dengan pengawasan kegiatan peningkatan mutu pendidikan di sekolah itu.
Perbaikan berkesinambungan
Prinsip perbaikan mutu berkesinambungan dalam manajemen mutu terpadu sangat tepat diterapkan di dalam peningkatan mutu pendidikan. Tuntutan peningkatan mutu pendidikan terus mengalir dan terus mengalami peningkatan, baik dari siswa, orang tua, masyarakat, pemerintah maupun dunia usaha. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan tidak dapat hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja kemudian berhenti tidak berkesinambungan atau berkelanjutan.
Banyak sekolah yang telah pernah berprestasi dan dianggap baik atau bermutu pada suatu weaktu, namun sekolah tersebut tidak melakukan perbaikan berkesinambungan sesuai tuntutan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain banyak bermunculan sekolah baru yang tampaknya lebih mampu memenuhi harapan masyarakat, baik dari mutu kurikulum dan pembelajaran, administrasi dan manajemen, organisasi dan kelembagaan, ketenagaan, peserta didik, pembiayaan, sarana dan prasarana, peranserta masyarakat dan mutu budaya atau iklim sekolah.
Kondisi tersebut, membuat sekolah yang tidak mau dan tidak mampu memperbaiki dan meningkatkan mutunya, baik mutu masukannya, mutu manajemen layanannnya, mutu proses pembelajarannya sampai pada mutu lulusannya, maka lembaga pendidikan tersebut tidak akan mendapatkan tempat di hati masyarakat, tidak ada orang tua yang memasukkan putra/putrinya kesekolah tersebut. Akhiurnya, sekolah tersebut hidup susah matipun tak mau. Oleh karena itu, prinsip perbaikan mutu berkesinambungan pada setiap lembaga pendidikan/sekolah mutlak untuk diterapkan, sehingga sekolah tersebut mampu memenunhi/melebihi harapan dan kebutuhan masyarakat.
Siklus Peningkatan Mutu Pendidikan
Siklus peningkatan mutu pendidikan yang dibahas di bawah ini merupakan proses yang dirancang untuk membantu mengimplementasikan mutu di sekolah. Dengan mengikuti langkah-langkah yang merupakan siklus sebagai upaya perbaikan mutu pendidikan di sekolah, maka diharapkan lembaga pendidikan tersebut dapat mewujudkan pendidikan yang berkualitas sesuai kebutuhan dan harapan para stakeholder atau pelanggannya. Berikut ini dijelaskan siklus atau langkah-langkah peningkatan mutu pendidikan di sekolah :
1. Penyusunan Rencana Strategis Peningkatan Mutu
Penyusunan rencana strategis peningkatan mutu pendidikan di sekolah dimulai dengan mengidentifikasi pelanggan, mengidentifikasi kebutuhan pelanggan, mengidentifikasi kebutuhan proses, menentukan kriteria sukses, menentukan tujuan dan sasaran peningkatan mutu pendidikan.
2. Mengomunikasi Rencana Strategis Peningkatan Mutu
Setelah rencana strategis peningkatan mutu pendidikan di sekolah tersebut disusun, kemudian dikomunikasikan atau disosialisasikan kepada semua semua pihak yang terlibat. Mengomunikasikan rencana strategis tersebut diawali dengan menyampaikan tujuan dan sasaran, cakupan informasi, menghimpun berbagai gagasan untuk merealisasikan rencana strategis, menyampaikan rencarna strategis tersebut melalui berbagai media, konferensi, seminar, rapat dan berbagai publikasi lainnya.
3. Pengukuran Program Yang Telah Dilaksanakan
Pengukuran program yang telah dilaksanakan sangat penting sebagai landasan untuk pembuatan program ke depan. Kegiatan ini dimulai dengan mengukur proses , program sosial, program kegiatan pembelajaran, program manajemen sekolah dan program pelatihan yang ada.
4. Mengelola Konflik
Konflik yang terlalu besar akan membahayakan organisasi dan organisasi tanpa konflik akan terjadi stagnan. Oleh karena itu, agar organisasi sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan dengan baik konflik perlu distimulir dan dikelola dengan baik, sehingga terjadi persaingan yang positif dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah tersebut. Namun jika konflik itu semakin basar dan tidak dapat dikendalilan, akan mengancam stabilitas sekolah. Dengan demikian pimpinan sekolah harus mampu mengelola dan memlihara konflik agar tetap moderat, mewujudkan
persaingan positif dan akhirnya proses peningkatan mutu sekolah dapat berhasil dengan baik.
Untuk mengelola konflik yang konstruktif, kepuasan lebih besar lebih besar lewat kekuasaan non-koersif, pengakuan adanya masalah dan pemahaman atas penyebabnya dan pemecahan masalah secara kolaboratif.
5. Seleksi Program
Program peningkatan mutu di sekolah harus diseleksi dan dibedakan antara keinginan dan kebutuhan. Seleksi progam sangat penting untuk melihat mana kegiatan yang merupakan kebutuhan mendesak dan harus segera dilaksanakan dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan. Seleksi program dan penentukan kegiatan peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan memperhatikan kemampuan dukungan berbagai sumber daya yang dimiliki sekolah yang bersangkutan, sehingga program tersebut dapat terlaksana dan berhasil dengan baik.
Dalam menyeleksi dan menentukan fokus program peningkatan mutu pendidikan dilakukan oleh tim terpilih yang memahami betul tentang peningkatan mutu pendidikan, mengembangkan proses pengukuran, sehingga program tersebut terukur dengan tepat dan mengembangkan umpan balik untuk proses perbaikan program.
6. Implementasi Program
Bagus atau tidaknya suatu program termasuk program peningkatan mutu pendidikan akan diuji lewat implementasi. Oleh karena itu, implementasinya harus tepat dan mantap dengan melibatkan partisipasi tim dan semua kelompok, melalui proses pelatihan dan arahan, memilih dan menggunakan jalur program yang tepat, memilih resolusi masalah yang tepat dan melakukan komunikasi yang efektif dan persuasif.
7. Penilaian Pencapaian Program
Pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan di sekolah harus dinilai. Penilaian ini dilakukan untuk mengukur hasil dan mutu program yang telah dicapai, untuk memodifikasi program, unuk mendapatkan dokumen proses dan standar, untuk melihat pola dan proses komunikasi di sekolah tersebut dan menganalisis biaya dibandingkan mafaat yang diperoleh atau analisis efektivitas, efesiensi dan produktivitas program yang telah dilaksanakan.
8. Standarisasi Peningkatan Mutu Pendidikan
Berdasarkan hasil penilaian program peningakatan mutu pendidikan di sekolah, maka dapat ditetapkan bahwa peningkatan mutu pendidikan di sekolah itu dikatakan berhasil jika :
a. Kepercayaan masyarakat terhadap proses dan hasil pendidikan di sekolah tersebut meningkat;
b. Keterbukaan informasi tentang sekolah tersebut dalam proses peningkatan mutu pendidikan meningkat;
c. Mutu kinerja sekolah yang bersangkutan meningkat;
d. Terjadinya komitmen semua pihak dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
e. Terjadinya perbaikan berkesinambungan.
Membentuk Satuan Tugas Mutu
Pemecahan Masalah
Biaya Mutu
Perbaikan Berkesinambungan
Kesimpulan
[1], Jerome S., Quality in Education : An Implementation Handbook, Alih Bahasa : Yosal Iriantara, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2005, hal. 8.
[2] Crosby, Philip B., Quality is Free, New York : New American Library, 1979, hal. 58.
[3] Deming, W. Edward, Out of Crisis, Cambridge : Massachussets Institute of Technologi, 1986, hal. 176.
[4] Fiegenbaum, Armand V, Total Quality Control, 3rd Edition, 1991, hal. 7.
[5] Nasution, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta : Ghalia Indonesia, 2001, hal. 16.
[6] Fandy, Tjiptono, Total Quality Management, Yogyakarta : Andi Offset, 1995, hal. 4.
[7] Goetsch and Davis, Introduction to Total Quality, Englewood Cliffts : Prentice-Hall Inc., 1994, hal. 14.
[8] Ariani, Dorothea Wahyu, Manajemen Kualitas Pendekatan Kualitatif, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003 hal. 35.
[9] Ariani, Dorothea Wahyu, Manajemen Kualitas, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 1999, hal. 35.
[10] Gasperssz, Vincent, Manajemen Kualitas Dalam Industri Jasa, Jakarta : Yayasan Indonesia Emas Institut Vincent dan PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 89.
[11] Hunt, Daniel V., Managing for Quality, Illionis : Business one Irwin Homewood, 1993, hal. 178.
[12] Bounds, G., Beyond Total Quality Management Toward The Emeging Paradigm. New York : McGrow Hill Inc., 1994, hal. 54.
[13] Syafruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat : Ciputat Press, 2005, hal. 160.
[14] Dirawat, dkk., Pengantar Kepemimpinan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1986, hal. 33.
[15] Juran, J. M., Juran on Leadership for Quality, USA : Juran Institute, Inc., 1989, hal. 23-24.
[16] Timpe, A. Dale, The Art and Science of Business Management Leadership, New York : Kend Publishing, Inv, 1987, hal. 342-344.
[17] Mulyasa, E., Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi, Bandung : PT Remaja Rosyda Karya, 2003, hal. 126.
[18] Scheuning and Christipher, The Customer Service Planner, Oxford : Butterworth Heinemann, 1993, hal. 165-166.
2010. http://nurochim.multiply.com/journal/item/1
MANAJEMEN MUTU BERBASIS SEKOLAH
A. Pendahuluan
Pengertian Mutu PendidikanSecara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mencakup input, proses, dan output
pendidikan.
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsunnya proses. Input sumber daya meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dsb.). Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundangundangan, deskripsi tugas, rencana, program, dsb. Input harapan-harapanberupa visi, misi, tujuan, dan sasaran- sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (ditingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses yang dimaksud adalah proses pengembilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi disbanding dengan proses- proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan dsb) dilakukan secara harmonis, sehingganya mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdaykan mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekadar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akantetapi pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan lebih penting lagi peserta didik tersebut mampu belajar secara terus menerus (mampu mengembangkan dirinya).
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efesiendinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khusunya prestasi belajar siswa, menunjukkan pencapaian yangtinggi dalam : (1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum EBTA, EBTANAS, karya ilmiah, lomba akademik, dan (2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olah raga, kesnian, keterampilan kejujuran, dan kegiatan-kegiatan ektsrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
1. Latar BelakangPerkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil.
Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, elatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembagapendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented,diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktoryang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidakberjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengansingkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahanpendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat olehbirokrasi pusat.
2. TujuanKonsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
a. Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.
b. Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosioekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.
c. Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
d. Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing - masing.
e. Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.
f. Memotivasi timbulnya pemikiran - pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.
g. Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.
h. Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi sekolah kedepan. Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut;
a. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib,b. Sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai,c. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat,d. Adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi,e. Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK,f. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu.g. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat.
Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dantenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Kerangka kerja dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolahDalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut ;
1. Sumber daya sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk :
1. Memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu
2. Pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
2. Pertanggung-jawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
3. Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan
relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakantantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;
•pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.•bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.•pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolahsehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
4. Personil sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah danpembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu danpengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal.
Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat. Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnyalebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).
Sementara itu pendanaan walaupun dianggap penting dalam perspektif proses perencanaan dimana tujuan ditentukan, kebutuhan diindentifikasikan, kebijakan diformulasikan dan prioritas ditentukan, serta sumber daya dialokasikan, tetapi fokus perubahan kepada bentuk pengelolaan yang mengekspresikan diri secara benar kepada tujuan akhir yaitu mutu pendidikan dimana berbagai kebutuhan siswa untuk belajar terpenuhi. Untuk itu dengan memperhatikan kondisi geografik dan sosiekonomik masyarakat, maka sumber daya dialokasikan dan didistribusikan kepada sekolah dan pemanfaatannya dipercayakan kepada sekolah sesuai dengan perencanaan dan prioritas yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut dan dengan dukungan masyarakat. Pedoman pelaksanaan peningkatan mutu kalaupun ada hanya bersifat umum yang memberikan rambu-rambu mengenai apa-apa yang boleh/tidak boleh dilakukan.
Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya utnuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.
Blog dengan ID 26250 Tidak ada
Strategi pelaksanan di tingkat sekolahDalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut :
•Penyusunan basis data dan profil sekolah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.
•Melakukan evaluasi diri (self assesment) utnuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personil sekolah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.
•Berdasarkan analisis tersebut sekolah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa
belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.
•Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan termasuk anggarannnya. Program tersebut memuat sejumlahprogram aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang. Perencanaan program sekolah ini harus mencakup indicator atau target mutu apa yang akan dicapai dalam tahun tersebut sebagai proses peningkatan mutu pendidikan (misalnya kenaikan NEM ratarata dalam prosentase tertentu, perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb).
Program sekolah yang disusun bersama-sama antara sekolah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya unik dan dimungkinkan berbeda antara satu sekolah dan sekolah lainnya sesuai dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena fokus kita dalam mengimplementasian konsep manajemen ini adalah mutu siswa, maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk menyampaikannya di dalam proses pembelajaran dan siapayang akan menyampaikannya.
Daftar Pustaka Amakalah Manajemen Mutu Berbasis Sekolah :
www_geocities_com-pakguruonline_filesMANAJEMEN PENINGKATAN MUTU_filesDikmenum, 1999, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah:Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.Semiawan, Conny R., dan Soedijarto, 1991,
Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, PT.Grasindo, Jakarta. Suseno, Muchlas, 1998,Percepatan Pembelajaran Menjelang Abad 21 (makalah hasil analisis dari Accelerated Learning for 21st Century oleh Colin Rose and Malcolm J. Nicholl),
Pasca Sarjana IKIP Jakarta, JakartaTimTeknis Bappenas, 1999, School-Based Management di TingkatPendidikan Dasar, Naskah kerjasama Bappenas dan Bank Dunia,Jakarta.Victorian's Departement of Education, 1997, Developing SchoolCharter: Quality Assurance in Victorian Schools, Education Victoria,Melbourne, Australia.
[Makalah] Peningkatan Mutu Pembelajaran di Sekolah[Posted on 5 Februari 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Oleh : Mustakim, S.Pd.,MM*))
I. Pendahuluan
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus
berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu usaha pengembangan sumber daya manusia ( SDM ), walaupun usaha pengembangan SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal ( sekolah ). Tetapi sampai detik ini, pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan wahana utama untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis, programatis, dan berjenjang.
Kemajuan pendidikan dapat dilihat dari kemampuan dan kemauan dari masyarakat untuk menangkap proses informatisasi dan kemajuan teknologi. Karena Proses informatisasi yang cepat karena kemajuan teknologi semakin membuat horizon kehidupan didunia semakin meluas dan sekaligus semakin mengerut. Hal ini berarti berbagai masalah kehidupan manusia menjadi masalah global atau setidak-tidaknya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kejadian dibelahan bumi yang lain, baik masalah politik, ekonomi , maupun sosial.
Sejalan dengan hal diatas, Tilaar menyatakan bahwa :
“ Kesetiakawanan sosial umat manusia semakin kental, hal ini berarti kepedulian umat manusia terhadap sesamanya semakin merupakan tugas setiap manusia, pemerintah, dan sistem pendidikan nasional. Selanjutnya dikatakan pula bahwa pendidikan bertugas untuk mengembangkan kesadaran akan tanggung jawab setiap warga Negara terhadap kelanjutan hidupnya, bukan saja terhadap lingkungan masyarakat dan Negara, juga umat manusia.” (H.A.R Tilaar , 2004 : 4)
Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain; setiap manusia akan selalu membutuhkan dan berinteraksi dengan orang lain dalam berbagai segi kehidupan. Kesetiakawanan sosial yang merupakan bagian dari proses pendidikan dan pembelajaran mempunyai peranan yang sangat kuat bagi individu untuk berkomunikasi dan berinteraksi untuk mencapai tujuan hidupnya.
Dalam proses pelaksanaannya di lapangan, kesetiakawanan sosial diwujudkan melalui interaksi antarmanusia, baik individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.
Interaksi antarmanusia dapat terjadi dalam berbagai segi kehidupan di belahan bumi, baik dibidang pendidikan,ekonomi, sosial, politik budaya, dan sebagainya. Interaksi di bidang pendidikan dapat diwujudkan melalui interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan masyarakat , guru dengan guru, guru dengan masyarakat disekitar lingkungannya.
Apabila dicermati proses interaksi siswa dapat dibina dan merupakan bagian dari proses pembelajaran, seperti yang dikemukan oleh Corey (1986 ) dalam Syaiful Sagala (2003 : 61 ) dikatakan bahwa :
“ Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi- kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu.”
Selanjutnya Syaiful Sagala , menyatakan bahwa pembelajaran mempunyai dua karakteristik, yaitu :
“ Pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses berfikir. Kedua, dalam proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses Tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir siswa , yang pada gilirannya kemampuan berfikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri. “ (Syaiful Sagala,2003 : 63 )
Dari uraian diatas, proses pembelajaran yang baik dapat dilakukan oleh siswa baik didalam maupun diluar kelas, dan dengan karakteristik yang dimiliki oleh siswa diharapkan mereka mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman- temannya secara baik dan bijak.
Dengan intensitas yang tinggi serta kontinuitas belajar secara berkesinambungan diharapkan proses interaksi sosial sesama teman dapat tercipta dengan baik dan pada gilirannya mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain walaupun dalam perjalanannya mereka saling berbeda pendapat yang pada akhirnya mereka saling menumbuhkan sikap demokratis antar sesama.
Paradigma metodologi pendidikan saat ini disadari atau tidak telah mengalami suatu pergeseran dari behaviourisme ke konstruktivisme yang menuntut guru dilapangan harus mempunyai syarat dan kompetensi untuk dapat melakukan suatu perubahan dalam melaksanakan proses pembelajaran dikelas. Guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak merasa sebagai teacher center, menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang menyenangkan, bergembira, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat sehingga pada akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.
Sejalan dengan pendapat diatas, pembelajaran menurut pandangan konstruktivismeadalah:
“Pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit ) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi Pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata. (Depdiknas,2003:11)
Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Center ) . Guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar sedemikian rupa , sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong (cooperative learning)
Untuk menciptakan situasi yang diharapkan pada pernyataan diatas seoarang guru harus mempunyai syarat-syarat apa yang diperlukan dalam mengajar dan membangun pembelajaran siswa agar efektif dikelas, saling bekerjasama dalam belajar sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dan saling menghargai (demokratis ) , diantaranya :
1. Guru harus lebih banyak menggunakan metode pada waktu mengajar, variasi metode mengakibatkan
penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa, mudah diterima siswa, sehingga kelas menjadi hidup,
metode pelajaran yang selalu sama( monoton ) akan membosankan siswa.
2. Menumbuhkan motivasi, hal ini sangat berperan pada kemajuan , perkembangan siswa,. Selanjutnya
melalui proses belajar, bila motivasi guru tepat dan mengenai sasaran akan meningkatkan kegiatan
belajar, dengan tujuan yang jelas maka siswa akan belajar lebih tekum, giat dan lebih bersemangat.
(Slamet ,1987 :92 )
Kita yakin pada saat ini banyak guru yang telah melaksanakan teori konstruktivismedalam pembelajaran di kelas tetapi volumenya masih terbatas, karena kenyataan dilapangan kita masih banyak menjumpai guru yang dalam mengajar masih terkesan hanya melaksanakan kewajiban. Ia tidak memerlukan
strategi, metode dalam mengajar, baginya yang penting bagaimana sebuah peristiwa pembelajaran dapat berlangsung.
Disisi lain menurut Hartono Kasmadi (1993 :24) bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dimana pengajar masih memegang peran yang sangat dominan, pengajar banyak ceramah (telling method) dan kurang membantu pengembangan aktivitas murid .
Dari uraian diatas, tidak dipungkiri bahwa dilapangan masih banyak guru yang masih melakukan cara seperti pendapat diatas, dan diakui bahwa banyaka faktor penyebabnya sehingga kita akan melihat akibat yang timbul pada peserta didik, kita akan sering menjumpai siswa belajar hanya untuk memenuhi kewajiban pula, masuk kelas tanpa persiapan, siswa merasa terkekang, membenci guru karena tidak suka gaya mengajarnya, bolos, tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru, takut berhadapan dengan mata pelajaran tertentu, merasa tersisihkan karena tidak dihargai pendapatnya, hak mereka merasa dipenjara , terkekang sehingga berdampak pada hilangnya motivasi belajar, suasan belajar menjadi monoton, dan akhirnya kualitas pun menjadi pertanyaan.
Dari permasalahan yang ada , sekolah dalam hal ini kepala sekolah, guru dan stakeloders mempunyai tanggung jawab terhadap peningkatan mutu pembelajaran di sekolah terutama guru sebagai ujung tombak dilapangan (di kelas) karena bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pembelajaran.
Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat terhadap kemajuan dan peningkatan kompetensi siswa , dimana hasilnya akan terlihat dari jumlah siswa yang lulus dan tidak lulus.dengan demikian tangung jawab peningkatan mutu pendidikan di sekolah , selalu dibebankan kepada guru .lalu bagaimana kesiapan unsur-unsur tersebut dalam peningkatan mutu proses pembelajaran ?
II. Pembahasan
A. Hakekat Pendidikan
Menururt pendapat Ki Hajar Dewantoro dalam Kongres Taman Siswa ( 1930 ) mengungkapkan :
“Pendidikan. Umumnja berarti daja-upaja untuk memadjukan bertumbuhnja budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak: …
[Pendidikan. Umumnya berarti daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak: …]” (Ki Hajar Dewantoro, 1962: 3)
Sedangkan Lodge dalam Ismaun menjelaskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
“In the narrower sense, education is restricted to that functions, it’s background, and it’s outlook to the member of the rising generation, ………. In the narrower sense, education becomes, in practice identical with schooling, i.e. formal instruction under controlled conditions”.
Dalam arti yang sempit, pendidikan hanya mempunyai fungsi yang terbatas, yaitu memberikan dasar-dasar dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam prakteknya identik dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan kondisi serta lingkungan belajar yang serba terkontrol. (Ismaun, 2007: 57). Pendidikan dapat dimaknai sebagai proses mengubah tingkah laku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan alam sekitar dimana individu itu berada. (Syaiful Sagala , 2006 : 3).
Sementara itu Hamid Darmadi (2007 : 3 ) berpendapat endidikan mengadung tujuan yang ingin dicapai, yaitu membentuk kemampuan individu mengembangkan dirinya yang kemampuan-kemampuan dirinya berkembang sehinga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sebagai seorang individu.
Selanjutnya Dodi Nandika (2007:15 ) Pendidikan bukan sekedar mengajarkan atau mentransfer pengetahuan, atau semata mengembangkan aspek intelektual, melainkan juga untuk mengembangkan karakter, moral, nilai-nilai, dan budaya peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan adalah membangun budaya, membangun peradaban, membangun masa depan. alam Kamus Besar bahasa Indonesia (1995 : 232) menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku sesorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan;proses, perbuatan, cara mendidik. Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 Bab I Pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa :
”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengambangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan , pengendalian diri, kepribadaian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa, dan Negara .”
Selanjutnya, Sihombing (2002) dalam Ety Rochaety, dkk (2005 :7 ) bahwa pendidikan mengandung pokok-pokok penting sebagai berikut :
1. Pendidikan adalah proses pembelajaran
2. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia
3. Pendidikan berusaha mengubah atau mengembangkan kemampuan, sikap, dan perilaku positif.
4. Pendidikan merupakan perbuatan atau kegiatan sadar
5. Pendidikan berkaitan dengancara mendidik
6. Pendidikan memiliki dampak lingkungan
7. Pendidikan tidak berfokus pada pendidikan formal
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa pendidikan merupakan sutau system yang memiliki kegiatan cukup kompleks, meliputi berbagai komponen yang berkaitan satu dengan yang lain, dengan tujuan untuk membangun masa depan bangsa.
Jika menginginkan pendidikan secara teratur , berbagai elemen (komponen ) yang terlibat dalam kegiatan pendidikan perlu dikenal terlebih dahulu.untuk itu diperlukan pengkajian usaha pendidikan sebagai suatu system yang dapat dilihat secara mikro dan makro .
B. Hakekat Mutu Pendidikan
Sebelum membahas tentang mutu pendidikan terlebih dahulu akan dibahas tentang mutu dan pendidikan. Banyak ahli yang mengemukakan tentang mutu, seperti yang dikemukakan oleh Edward Sallis (2006 : 33 ) mutu adalah Sebuah filsosofis dan metodologis yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan. Sudarwan Danim (2007 : 53 ) mutu mengandung makna derajat keunggulan suatu poduk atau hasil kerja, baik berupa barang dan jasa. Sedangkan dalam dunia pendidikan barang dan jasa itu bermakna dapat dilihat dan tidak dapat dilihat, tetapi dan dapat dirasakan. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991 :677 ) menyatakan Mutu adalah (ukuran ), baik buruk suatu benda;taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan, dsb) kualitas. Selanjutnya Lalu Sumayang ( 2003 : 322) menyatakan quality (mutu ) adalah tingkat dimana rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa
sesuai dengan fungsi dan penggunannya, disamping itu quality adalah tingkat di mana sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan rancangan spesifikasinya.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulan bahwa mutu (quality ) adalah sebuah filsosofis dan metodologis, tentang (ukuran ) dan tingkat baik buruk suatu benda, yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan fungsi dan penggunannya agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan
Dalam pandangan Zamroni ( 2007 : 2 ) dikatakan bahwa peningkatan mutu sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien.
Peningkatan mutu berkaitan dengan target yang harus dicapai, proses untuk mencapai dan faktor-faktor yang terkait. Dalam peningkatan mutu ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian, yakni aspek kualitas hasil dan aspek proses mencapai hasil tersebut.
Teori manajemen mutu terpadu atau yang lebih dikenal dengan Total Quality Management.(TQM) akhir-akhir ini banyak diadopsi dan digunakan oleh dunia pendidikan dan teori ini dianggap sangat tepat dalam dunia pendidikan saat ini.
Konsep total quality management pertama kali dikemukakan oleh Nancy Warren, seorangbehavioral scientist di United States Navy (Walton dalam Bounds, et. al, 1994). Istilah ini mengandung makna every process, every job, dan every person (Lewis & Smith, 1994). Pengertian TQM dapat dibedakan menjadi dua aspek (Goetsch & davis, 1994).
Aspek pertama menguraikan apa TQM. TQM didefinisikan sebagai sebuah pendekatan dalam menjalankan usaha yang berupaya memaksimumkan daya saing melalui penyempurnaan secara terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan organisasi.
Aspek kedua menyangkut cara mencapainya dan berkaitan dengan sepuluh karakteristik TQM yang terdiri atas : (a) focus pada pelanggan (internal & eksternal), (b) berorientasi pada kualitas, (c) menggunakan pendekatan ilmiah, (d) memiliki komitmen jangka panjang, (e) kerja sama tim, (f) menyempurnakan kualitas secara berkesinambungan, (g) pendidikan dan pelatihan, (h) menerapkan kebebasan yang terkendali, (i) memiliki kesatuan tujuan, (j) melibatkan dan memberdayakan karyawan.(Ety Rochaety,dkk,2005 :97)
Edward Sallis ( 2006 :73 ) menyatakan bahwa Total Quality Management (TQM) Pendidikan adalah sebuah filsosofis tentang perbaikan secara terus- menerus , yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan , keinginan , dan harapan para pelanggannya saat ini dan untuk masa yang akan datang
Di sisi lain, Zamroni memandang bahwa peningkatan mutu dengan model TQM , dimana sekolah menekankan pada peran kultur sekolah dalam kerangka model The Total Quality Management (TQM). Teori ini menjelaskan bahwa mutu sekolah mencakup tiga kemampuan, yaitu : kemampuan akademik, sosial, dan moral. (Zamroni , 2007 :6 )
Menurut teori ini, mutu sekolah ditentukan oleh tiga variabel, yakni kultur sekolah, proses belajar mengajar, dan realitas sekolah. Kultur sekolah merupakan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, upacara-
upacara, slogan-slogan, dan berbagai perilaku yang telah lama terbentuk di sekolah dan diteruskan dari satu angkatan ke angkatan berikutnya, baik secara sadar maupun tidak. Kultur ini diyakini mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah, yaitu : guru, kepala sekolah, staf administrasi, siswa, dan juga orang tua siswa. Kultur yang kondusif bagi peningkatan mutu akan mendorong perilaku warga kearah peningkatan mutu sekolah, sebaliknya kultur yang tidak kondusif akan menghambat upaya menuju peningkatan mutu sekolah.
C. Faktor-Faktor Dominan dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran diSekolah
Selanjutnya untuk meningkatkan mutu sekolah seperti yang disarankan oleh Sudarwan Danim ( 2007 : 56 ), yaitu dengan melibatkan lima faktor yang dominan :
1. Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas,
mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam
bekerja, memberikanlayananyang optimal, dan disiplin kerja yang kuat.
2. Siswa; pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat “ sehingga kompetensi dan
kemampuan siswa dapat digali sehingga sekolah dapat menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa
.
3. Guru; pelibatan guru secara maksimal , dengan meningkatkan kopmetensi dan profesi kerja guru
dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari kegiatan tersebut
diterapkan disekolah.
4. Kurikulum; sdanya kurikulum yang ajeg / tetap tetapi dinamis , dapat memungkinkan dan memudahkan
standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan ) dapat dicapai secara maksimal;
5. Jaringan Kerjasama; jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan masyarakat
semata (orang tua dan masyarakat ) tetapi dengan organisasi lain, seperti perusahaan / instansi
sehingga output dari sekolah dapat terserap didalam dunia kerja
Berdasarkan pendapat diatas, perubahan paradigma harus dilakukan secara bersama-sama antara pimpinan dan karyawan sehingga mereka mempunyai langkah dan strategi yang sama yaitu menciptakan mutu dilingkungan kerja khususnya lingkungan kerja pendidikan. Pimpinan dan karyawan harus menjadi satu tim yang utuh (teamwork )yangn saling membutuhkan dan saling mengisi kekurangan yang ada sehingga target(goals ) akan tercipta dengan baik
D. Unsur-unsur yang terlibat dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di sekolah
Unsur yang terlibat dalam peningkatan mutu pendidikan dapat lihat dari sudut pandang makro dan mikro pendidikan, seperti yang dijabarkan di bawah ini :
1. Pendekatan Mikro Pendidikan :
Yaitu suatu pendekatan terhadap pendidikan dengan indicator kajiannya dilihat dari hubungan antara elemen peserta didik, pendidik, dan interaksi keduanya dalam usaha pendidikan. Secara lengkap elemen mikro sebagai berikut :
Kualitas manajemen
Pemberdayaan satuan pendidikan
Profesionalisme dan ketenagaan
Relevansi dan kebutuhan.
Berdasarkan tinjauan mikro elemen guru dan siswa yang merupakan bagian dari pemberdayaan satuan pendidikan merupakan elemen sentral. Pendidikan untuk kepentingan peserta didik mempunyai tujuan, dan untuk mencapai tujuan ini ada berbagai sumber dan kendala, dengan memperhatikan sumber dan
kendala ditetapkan bahan pengajaran dan diusahakan berlangsungnya proses untuk mencapai tujuan. Proses ini menampilkan hasil belajar. hasil belajar perlu dinilai dan dari hasil penilaian dapat merupakan umpan balik sebagai bahan masukan dan pijakan.
Secara mikro diagram alur proses pendidikan dapat dilihat dibawah ini :
Sumber : Ety Rochaety,dkk (2005:8 )
Dari gambar diatas, bahwa pengetahuan teori yang didapatkan dari seorang guru melalui kualitas manajemen dengan harapan tujuan pendidikan akan tercapai, tujuan akan tercapai jika dibekali dengan bahan sehingga proses pendidikan akan terlaksana dengan baik sehingga akan menghasilkan penampilan (hasil belajar) hasil belajar dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu melalui penilaian dengan dasar criteria penilaian , hasil dari penampilan akan dijadikan umpan balik.
2. Pendekatan Makro Pendidikan ;
Yaitu kajian pendidikan dengan elemen yang lebih luas dengan elemen sebagai berikut:
>Standarisasi pengembangan kurikulum
Pemerataan dan persamaan, serta keadilan
Standar mutu
Kemampuan bersaing.
Tinjauan makro pendidikan menyangkut berbagai hal yang digambarkan dalam dua bagan ( P.H Coombs, 1968 ) dalam Etty Rochaety, dkk (2005 : 8 ) bahwa pendekatan makro pendidikan melalui jalur pertama yaitu INPUT SUMBER – PROSES PENDIDIKAN – HASIL PENDIDIKAN , seperti pada gambar di bawah ini :
Sumber : Ety Rochaety, dkk (2005 : 9 )Input sumber pendidikan akan mempengaruhi dalam kegiatan proses pendidikan , dimana proses pendidikan didasari oleh berbagai unsur sehingga semakin siap suatu lembaga dan semakin lengkap komponen pendidikan yang dimiliki maka akan menciptakan hasil pendidikan yang berkualitas.
Selanjutnya Syaiful Sagala (2004 : 9 ) menyatakan solusi manajemen pendidikan secara mikro dan makro yang dituangkan dalam gambar berikut :
Sumber: Syaiful Sagala (2004 : 9)
E. Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran di Sekolah
Secara umum untuk meingkatkan mutu pendidikan harus diawali dengan strategi peningkatan pemerataan pendidikan, dimana unsure makro dan mikro pendidikan ikut terlibat, untuk
menciptakan (Equality dan Equity ) , mengutip pendapat Indra Djati Sidi ( 2001 : 73 ) bahwa pemerataan pendidikan harus mengambil langkah sebagai berikut :
1. Pemerintah menanggung biaya minimum pendidikan yang diperlukan anak usia sekolah baik negeri
maupun swasta yang diberikan secara individual kepada siswa.
2. Optimalisasi sumber daya pendidikan yang sudah tersedia, antara lain melalui double shift ( contoh
pemberdayaan SMP terbuka dan kelas Jauh )
3. Memberdayakan sekolah-sekolah swasta melalui bantuan dan subsidi dalam rangka peningkatan mutu
embelajaran siswa dan optimalisasi daya tampung yang tersedia.
4. Melanjutkan pembangunan Unit Sekolah Baru (USB ) dan Ruang Kelas Baru (RKB ) bagi daerah-daerah
yang membutuhkan dengan memperhatikan peta pendidiakn di tiap –tiap daerah sehingga tidak
mengggangu keberadaan sekolah swasta.
5. Memberikan perhatian khusus bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, masyarakat terpencil,
masyarakat terisolasi, dan daerah kumuh.
6. Meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dan pemerintah daerah untuk ikut serta mengangani
penuntansan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Sedangkan peningkatan mutu sekolah secara umum dapat diambil satu strategi dengan membangun Akuntabilitas pendidikan dengan pola kepemimpinan , seperti kepemimpinan sekolah Kaizen ( Sudarwan Danim, 2007 : 225 ) yang menyarankan :
1. Untuk memperkuat tim-tim sebagai bahan pembangun yang fundamental dalam struktur perusahaan
2. Menggabungkan aspek –aspek positif individual dengan berbagai manfaat dari konsumen
3. Berfokus pada detaiol dalam mengimplementasikan gambaran besar tentang perusahaan
4. Menerima tanggung jawab pribadi untuk selalu mengidentifikasikan akar menyebab masalah
5. Membangun hubungan antarpribadi yang kuat
6. Menjaga agar pemikiran tetap terbuka terhadap kritik dan nasihat yang konstruktif
7. Memelihara sikap yang progresif dan berpandangan ke masa depan
8. Bangga dan menghargai prestasi kerja
9. Bersedia menerima tanggung jawab dan mengikuti pelatihan
III Penutup.
Kepemimpinan kepala sekolah dan kreatifitas guru yang professional, inovatif, kreatif, mrupakan salah satu tolok ukur dalam Peningkatan mutu pembelajaran di sekolah ,karena kedua elemen ini merupakan figure yang bersentuhan langsung dengan proses pembelajaran , kedua elemen ini merupakan fugur sentral yang dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat (orang tua ) siswa , kepuasan masyarakat akan terlihat dari output dan outcome yang dilakukan pada setiap periode. Jika pelayanan yang baik kepada masyarakat maka mereka tidak akan secara sadar dan secara otomatis akan membantu segala kebutuhan yang di inginkan oleh pihak sekolah,sehingga dengan demikian maka tidak akan sulit bagi pihak sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah.
Referensi :
Darmadi, Hamid. 2007. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung : Alfabeta.
Dewantoro, Ki Hajar. 1962. Bagian Pertama: Pendidikan. Jogjakarta : Taman Siswa.
Edward Sallis. 2006. Total Quality Management In Education (alih Bahasa Ahmad Ali Riyadi ). Jogjakarta : IRCiSoD
Eti Rochaety,dkk.2005 . Sistem Informamsi Manajemen Pendidikan. Jakarta : bumi Aksara
Indra Djati Sidi.2003. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta : Logos
Ismaun. 2007. Filsafat Administrasi Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan.
Lalu Sumayang.2003. Manajemen produksi dan Operasi. Jakarta : Salemba Empat
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia..1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :Balai Pustaka
Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Kloang klede Putra Timur
Sagala,Syaiful.2005.Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta
—————–.2004. Manajemen Berbasis Sekolah &Masyarakat. Bandaung : alfabeta
Sudarwan Danim.2007.Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara
Suyadi Prawirosentono. 2007 . Filosofi Baru tentang Manajemen Mutu terpadu abad 21. Jakarta : Bumi Aksara
Zamroni. 2007 . Meningkatkan Mutu Sekolah . Jakarta : PSAP Muhamadiyah
*)) Mustakim, S.Pd.,MM adalah guru di SMP Negeri 2 Parungpanjang Kabupaten Bogor, saat ini sedang menempuh Program Doktoral (S3) pada Program Studi Administrasi Pendidikan-Pendidikan Pasca Sarjana UPI Bandung
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/05/peningkatan-mutu-pembelajaran-di-sekolah/