24
BUNUH DIRI Topik Klasik, Menggoda, Populer, dan Berbahaya. Wiranata Adisasmita Ketua Lembaga Kajian dan Pencegahan Bunuh Diri Kunang2-Al Qodir P erilaku bunuh diri merupakan fenomena yang sangat menarik banyak ahli psikiatri, psikologi, biologi, sosiologi, hukum, dan filsafat. Seorang filsof terkemuka Perancis, Albert Camus (1955) menuliskan kalimat pertama dalam buku The Myth of Sisyphus sebagai berikut : The only interesting philosophical question worth asking is suicide. Sedang berbagai media sering menurunkan tulisan tentang bunuh diri sebagai ulasan berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan memperhatikan pentingnya pembahasan perilaku bunuh diri dalam budaya modern kehidupan manusia saat ini. Banyak lembaga formal dan non-formal tingkat nasional maupun internasional telah memperlihatkan peningkatan perhatian secara signifikant selama 3-4 dekade akhir-akhir ini. Laporan World Health Organization (2014) sejumlah 803.900 orang melakukan bunuh diri (commit suicide) pada tahun 2012. Sedangkan percobaan bunuh diri diperkirakan 20 – 30 kali lipat kejadiannya. Bunuh diri menempati salah satu dari sepuluh penyebab teratas kematian di setiap negara, dan merupakan satu dari tiga penyebab utama kematian pada kelompok umur 15- 44 tahun, dan nomor dua untuk kelompok 10 – 24 tahun. Pemahaman perilaku bunuh diri yang merupakan topik populer akhir-akhir ini dimulai setelah banyak negara barat mampu mendobrak ketabuan di akhir abad XVIII, dan tidak dianggap sebagai tindakan kriminal pada tahun 1960-1970an (Cantor, 2000). Persepsi masyarakat Bahan Diskusi WED Forum, CRCS – UGM, 15 September 2014.

CRCS-20140915-121257703e87c0c6mcrcs.doc

Embed Size (px)

Citation preview

BUNUH DIRI

BUNUH DIRI

Topik Klasik, Menggoda, Populer, dan Berbahaya.

Wiranata AdisasmitaKetua Lembaga Kajian dan Pencegahan Bunuh Diri Kunang2-Al QodirP

erilaku bunuh diri merupakan fenomena yang sangat menarik banyak ahli psikiatri, psikologi, biologi, sosiologi, hukum, dan filsafat. Seorang filsof terkemuka Perancis, Albert Camus (1955) menuliskan kalimat pertama dalam buku The Myth of Sisyphus sebagai berikut : The only interesting philosophical question worth asking is suicide.Sedang berbagai media sering menurunkan tulisan tentang bunuh diri sebagai ulasan berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan memperhatikan pentingnya pembahasan perilaku bunuh diri dalam budaya modern kehidupan manusia saat ini. Banyak lembaga formal dan non-formal tingkat nasional maupun internasional telah memperlihatkan peningkatan perhatian secara signifikant selama 3-4 dekade akhir-akhir ini. Laporan World Health Organization (2014) sejumlah 803.900 orang melakukan bunuh diri (commit suicide) pada tahun 2012. Sedangkan percobaan bunuh diri diperkirakan 20 30 kali lipat kejadiannya. Bunuh diri menempati salah satu dari sepuluh penyebab teratas kematian di setiap negara, dan merupakan satu dari tiga penyebab utama kematian pada kelompok umur 15- 44 tahun, dan nomor dua untuk kelompok 10 24 tahun.Pemahaman perilaku bunuh diri yang merupakan topik populer akhir-akhir ini dimulai setelah banyak negara barat mampu mendobrak ketabuan di akhir abad XVIII, dan tidak dianggap sebagai tindakan kriminal pada tahun 1960-1970an (Cantor, 2000). Persepsi masyarakat terhadap perilaku bunuh diri sangat dipengaruhi oleh budaya kepercayaan yang dianut sesuai jamannya

Ada sebuah laporan menarik kasus bunuh diri di Inggris di abad pertengahan (tahun 1972-1300) melalui kajian catatan sejarah yang dilakukan oleh Seaborn (2001). Selama rentang tahun kajian ditemukan 198 kasus bunuh diri dengan status masih dipertanyakan. Rasio korban pria banding wanita adalah 1:2, metode yang dipakai dengan menggantung diri atau menenggelamkan diri. Alasan bunuh diri dicatat tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi karena ketakutan atas implikasi berbagai peraturan gereja dan kerajaan. Jika seseorang melakukan bunuh diri, atau bahkan baru dalam tahap ide gereja akan memberikan sangsi sangat keras dan bersifat fatal bagi sipelaku maupun keluarganya. Gereja tidak akan memberikan sakramen terakhir, mayat dibakar, jantung ditusuk, sedang keluarga akan dikucilkan. Sedangkan sangsi kerajaan adalah penyitaan harta benda korban oleh kerajaan. Akibat sangsi-sangsi berat inilah membuat terjadinya penyimpangan pencatatan akibat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sehingga dilaporkan bahwa pelaku menderita sakit jiwa. Dengan status sakit jiwa segala sangsi tidak akan dikenakan terhadap korban beserta keluarga yang ditinggalkan (Silving, 1957).

Sejarah

Sejarah perilaku bunuh diri sempat ditelaah sampai ribuan tahun melingkupi berbagai agama, ras, dan budaya. Catatan sejarahwan Romawi Flavious Josephus (+/- 100SM) dan kajian atas Pentateauch (lima kitab pertama dalam Alkitab perjanjian lama) dalam agama Yahudi ternyata ditemukan adanya 6 kasus yang dapat dikategorikan perilaku bunuh diri. Sedangkan diketahui bahwa 3 agama besar dunia, Katolik/Kristen, Islam, dan Yahudi sangat keras melarang seseorang melakukan bunuh diri, tetapi pelarangan ini bersifat plastis. Perilaku bunuh diri ternyata sering dilakukan dan diberi arti positip jika dilekatkan predikat martir atau menjaga kesucian iman. Pengalaman sejarah, doktrin kekristenan tentang pelarangan bunuh diri diformulasikan secara jelas oleh St.Agustinus (354-430M) dalam The City of God dengan alasan bahwa bunuh diri sebagai tindakan berdosa, melanggar perintah kelima dari sepuluh perintah Allah, dan Allah sendiri tidak membunuh (Cassidy & Russo, 1979; Hankoff, 1979).

Di Asia Hindu dan Budha sebagai agama yang berlandaskan sikap penyerahan diri secara tidak langsung mempunyai kecenderungan untuk mengajarkan bunuh diri walau disertai alasan tertentu. Sedang aliran Khong Hu Cu dengan penekanan nilai-nilai kebajikan berlandaskan kesatuan keluarga mengajarkan bahwa seseorang tidak boleh melukai diri sendiri karena semua sudah merupakan pemberian kepadanya oleh kedua orang tuanya. Bunuh diri sangat dilarang kecuali dalam keadaan tertentu seperti gagal dalam melaksanakan tugas yang diberikan orang tua, atau loyalitas terhadap negara (Murthy, 2000; Chia, 1981).

Perubahan sikap budaya yang terus berkembang membuat pandangan masyarakat terhadap bunuh diri mempunyai spektrum melebar, sehingga bunuh diri di berbagai negara tidak bersifat illegal dengan faktor agama sebagai pembatas. Karena pelarangan agama yang sangat keras membuat angka bunuh diri di negara-negara Islam atau Katolik konservatif sangat rendah walau masih sering dipertanyakan keakuratan pencatatannya.

Pandangan baru terbentuk pada abad XIX dalam bidang teologi, moral, filsafat, dan aspek hukum sebagai problem sosial, media, psikologis, dan statistik. Ada 2 perspektif utama yang mendominasi, yaitu perspektif sosiologis yang dimotori oleh sosiolog terkemuka Perancis Emile Durkheim (1858-1917), dan perspektif psikologis yang dimotori oleh Sigmund Freud (1856-1939).

Durkheim dengan bukunya Le Suicide menyatakan bahwa bunuh diri terjadi karena perpecahan kontrol sosial secara eksternal dan memperkenalkan 4 jenis bunuh diri Anomic, Egoism, Altruism, dan Fatalism sebagai kontrol sosial terhadap individu. Sebagai aturan umum bahwa frekuensi bunuh diri berbanding terbalik dengan derajat integrasi dalam komunitas dimana individu berada. Sedang Freud membuat postulat bahwa bunuh diri merupakan perjuangan intra psikis individu yang menjelaskan perasaan bermusuhan secara tak sadar terhadap obyek yang dicintai dan diarahkan secara introjeksi (pandangan bersifat ambivalensi) (Stoff & Mann, 1997).

Pendapat bahwa bunuh diri dapat ditelusuri sampai proses intra psikis membuat mekanisme internal bunuh diri sebagai titik fokus penelitian. Konsentrasi perhatian pada mekanisme internal menyebabkan bunuh diri dihubungkan secara eksklusif dengan depresi pada tahun 1950an. Pandangan ini sekarang sudah dianggap tidak memadai, sehingga diganti oleh pendekatan multidimensional saling melengkapi antara psikologis, biologis, genetis, psikiatris, dan sosiologis.

Definisi

Bunuh diri secara umum mudah dimengerti sebagai suatu tindakan aktif seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Tindakan untuk mengakhiri kehidupan diri sendiri ternyata menimbulkan berbagai interpretasi dan konotasi.

Ada 2 contoh yang dikemukan oleh Egel (1999) yang dipergunakan sebagai dasar usulan penggunaan istilah Sucism sebagai sebuah istilah ilmiah tanpa referensi dan konotasi tertentu baik untuk bunuh diri secara individu maupun lebih dari seorang. Pertama, seorang Jepang bertanya tentang kasus bunuh diri seseorang dengan orang Jepang lainnya dengan pertanyaan:apakah dia kehilangan muka?. Jika sang penjawab sependapat dengan tindakan bunuh diri yang terjadi maka tindakan ini tidak masuk dalam kategori bunuh diri. Tetapi jika jawabnya bersifat negatip maka dikategorikan sebagai bunuh diri. Jika orang Amerika yang mengajukan pertanyaan di atas maka tidak perlu memperdulikan sifat jawaban, kasus ini akan dikategorikan sebagai bunuh diri. Kedua, ada 2 orang di Jerman sebelum perang dunia I. Masing-masing menembak kepalanya sendiri. Seorang adalah perwira militer yang baru kalah perang, sedang seorang lainnya adalah petani yang kehilangan istri. Maka yang pertama tidak masuk kategori bunuh diri sedang yang kedua adalah bunuh diri.

Peristiwa mengerikan dalam skala luar biasa terjadi akhir-akhir ini dilakukan oleh seorang maupun kelompok menghancurkan sasaran tertentu dengan mengorbankan diri sendiri. Kasus World Trade Center & Pentagon (11-09-2001), Pemboman di Ryadh (15-05-2003), Pemboman di Casablanca (16-05-2003), Pemboman di Bali 1 dan 2, dan berbagai bom bunuh diri di Timur Tengah dan Asia Selatan mengisi berita negatip secara intens dan global. Pengalaman penulis dalam perdebatan pribadi dengan seorang ahli bunuh diri terkemuka, Prof. J.John Mann (New York Psychiatry Institute/Columbia University/The American Foundation for Suicide Prevention), sulit untuk mendapatkan persetujuan untuk mengkategorikan kasus WTC sebagai perilaku bunuh diri. Dalam masalah tersebut Prof. Mann justru mengkategorikan peristiwa WTC sebagai peristiwa pembunuhan, pembunuh yang memilih mati dalam melaksanakan tugas. Suatu debat yang tidak ada akhirnya jika diteruskan karena masing-masing mempunyai sudut pandang berbeda.

Demikian juga dengan kasus lain yang terjadi di kalangan orang Jepang dengan harakiri dan kamikaze, ritual sati atau dowry suicide di kalangan masyarakat Hindu di India, pembakaran diri pendeta Budha di Vietnam, dan berbagai kasus lain ternyata dapat diperdebatkan tanpa henti tergantung siapa yang bertanya dan siapa yang menjawab.Romantisme dan Heroisme

Pelarangan perilaku bunuh diri abad pertengahan di sebagian belahan dunia tidak menyurutkan perkembangan budaya sastra yang mengisi memori pikiran para pembacanya. Memori akan membekas dalam pikiran karena diiringi dengan perspektif romantisme dan heroisme. Cerita romantis dari Shakespeare dengan Romeo & Juliet, Sam Pek Eng Tay di Cina, Roro Mendut di Jawa Tengah khususnya diakhiri dengan fragment akhir bunuh diri oleh tokoh sentral cerita, dan diterima dengan konotasi positif. Konotasi positif dalam aspek kesetiaan kepada orang yang dicintai, dan diterima secara turun temurun sampai saat ini. Proses asosiasi bunuh diri dengan kesetiaan yang dihadapkan dengan pelarangan terhadap bunuh diri ternyata lebih membekas dalam memori karena diiringi oleh romantisme.

Demikian juga, di Timur Tengah yang didominasi oleh masyarakat Muslim, kekerasan melalui bom bunuh diri terjadi hampir setiap saat tanpa diketahui batas akhirnya. Suatu tindakan dilakukan secara terencana oleh para pelaku dan nilai positip kepahlawanan yang diberikan oleh kelompoknya atau tanpa sadar oleh sebagian orang secara luas. Walau sebagian orang mengutuk tindakan ini terutama yang dirugikan secara langsung maupun tidak langsung.Imitasi & media massa

Kejadian bunuh diri selalu meninggalkan penilaian dari masyarakat baik secara langsung maupun lewat media massa. Informasi dipersepsikan dan disimpan dalam pikiran beserta nilai-nilai yang telah dilekatkan. Jika informasi diiringi pembobotan emosi akan tersimpan sebagai memori, dan akhirnya akan berperan sebagai suatu referensi pada suatu saat sebagai jalan ke luar permasalahan.

Peran media massa terhadap munculnya perilaku bunuh diri telah banyak dilakukan dilakukan penelitian. Media massa berupa buku, musik, pertunjukan panggung, harian, televisi, dan film yang berisi informasi bunuh diri akan meningkatkan bunuh diri (Schmidtke & Schaller,2000; Gould & Shaffer,1986; Phillips & Carstensen,1986). Bunuh diri sebagai suatu proses peniruan aksi peniruan disebut bunuh diri imitasi (imitation suicide, atau copycat sebagai istilah populer). Bunuh diri imitasi terjadi dalam segala lapisan masyarakat secara umum dan bersifat lintas budaya. Perilaku bunuh diri dalam film The Deer Hunter dengan russian roulette telah meminta korban di Amerika. Film serial TV Jerman pada tahun 1982 berjudul Death of Student dengan adegan bunuh diri dengan menabrakan diri ke kereta api telah meningkatkan angka bunuh diri sampai 86% dibanding tahun sebelumnya.

Selain bunuh diri imitasi, peristiwa tragedi yang menimpa seorang tokoh figur publik diberitakan secara intensif akan meningkatkan angka bunuh diri secara langsung (Chen dkk, 2010; 2012). Derajat keterpengaruhan tergantung dari derajat integrasi dan kedekatannya terhadap masyarakat sosial. Kematian Putri Diana pada tanggal 31 Agustus 1997 ternyata membuat masyarakat Inggris berduka. Dari hasil penelitian Hawton dkk (2000), diketahui bahwa seminggu setelah kematian Putri Diana, angka bunuh diri di Inggris meningkat 17,4% dibanding periode sama th 1992-1996. Pelaku bunuh diri lebih banyak dilakukan oleh wanita (33,7%), dan didominasi wanita umur 25-44 th (45,1%) sesuai rentang umur Putri Diana.

Dari sekelumit penjelasan perilaku bunuh diri sebagai sebuah topik klasik ternyata menarik untuk dikaji secara multi disiplin ilmu, dan sekaligus menakutkan. Suatu pemahaman secara arif dan mendalam perlu dilakukan sehingga dapat memberi kontribusi positip dalam tindakan pencegahan. Kearifan berbagai pelaku media massa dalam menghasilkan karyanya diharapkan dapat membantu mengurangi angka bunuh diri baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kajian Bio-Psiko-Sosial.Bunuh diri saat ini dipahami sebagai ketidakberesan secara multi-dimensional. Secara umum dikatakan bahwa bunuh diri merupakan konsekuensi dari sebuah komplek interaksi biologis, psikologis, dan sosiologis. Bunuh diri tidak pernah ditemukan oleh suatu sebab tunggal (van Herringen, 2000).

Dari banyak pendekatan suicidology di atas, sebagian besar dapat dirangkum menjadi 3 pendekatan utama, yaitu : biologis, psikologis, dan sosiologis. Pendekatan bio-psiko-sosial menjadi motor penggerak utama dalam suicidology, walaupun berbagai disiplin ilmu lainnya juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Penelitian-penelitian awal berfokus pada masalah psikologis dan sosiologis untuk menemukan faktor-faktor yang menentukan terjadinya perilaku bunuh diri sebagai faktor resiko. Walaupun demikian usaha untuk mengidentifikasi faktor resiko dengan menggunakan data demografi, sosial, perkembangan, dan psikologi, ternyata terasa belum mencukupi jika dipergunakan untuk keperluan klinis. Diperkirakan ada faktor lain mempengaruhi perilaku bunuh diri, yaitu perspektif biologis yang dianggap menjanjikan dapat dipakai sebagai faktor pelengkap pemahaman perilaku bunuh diri secara komprehensif (Stoff & Mann, 1997).Sosiologi

Menurut Emile Durkheim, manusia adalah mahluk pertama dan terutama sebagai mahluk sosial yang dapat bertahan sepanjang sejarah dengan hidup dan bekerja sama dengan sesama manusia. Kebutuhan untuk menjadi bagian dari komunitas tertanam sangat dalam pada individu. Individu dalam komunitas akan saling berinteraksi, dan kebebasan yang dibatasi oleh kontrol sosial berdasarkan seperangkat norma dan nilai sebagai aturan umum. Akhirnya manusia manusia dalam kehidupan sosial akan mengenai dan sekaligus terkena oleh norma dan nilai itu sendiri. Dalam hubungan timbal balik inilah perilaku bunuh diri dapat dipilah-pilah berdasarkan derajat integrasi sosial individu terhadap komunitas. Kuat-lemahnya sikap individu terhadap komunitasnya akan menyebabkan terjadi kasus bunuh diri bertipe altruism dan egoism. Sedang kuat-lemahnya kontrol komunitas terhadap individu akan membentuk kasus bunuh diri bertipe fatalism dan anomic (Bille-Brahe, 2000).

Perilaku bunuh diri sering dihubungkan sebagai fenomena sosial, dan harus dianalisa sebagai faktor predominansi daripada terfokus pada struktur masyarakat. Walaupun pembahasan tentang kultur tidak dapat lepas dari struktur komunitas. Definisi dan pengaruh akibat perilaku bunuh diri sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya, sehingga arti tentang bunuh diri bersifat diturunkan dari pengalaman kultural dan menjadi sejarah.

Transmisi perilaku bunuh diri beserta norma, nilai, dan sikap telah menjadikan perilaku bunuh diri juga dipelajari sebagai suatu komunikasi unik dan diartikan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Beberapa penelitian tentang perilaku bunuh diri dalam keluarga akan meningkatkan resiko untuk bunuh diri untuk anggota keluarga lainnya ( Ide dkk, 2012; Lippsicas dkk, 2012)Proses transmisi ternyata dapat meluas tanpa batas seperti penyakit menular lewat pemberitaan media tertentu atau media massa. Pemberitaan kasus bunuh diri yang diartikan sebagai sesuatu yang hina atau negatip akan tidak menarik perhatian, sehingga tidak dapat dipakai sebagai sumber inspirasi. Tetapi jika diberitakan secara berlebihan dan dimaksudkan sebagai suatu tindakan kepahlawan, maka akan dipakai sebagai sumber inspirasi sebagai alasan atau pembenaran suatu tindakan. Efek bola salju akan bergulir untuk selanjutnya, yaitu peningkatan frekuensi perilaku bunuh diri yang selanjutnya diikuti dengan bertambahnya individu berpikiran untuk bunuh diri (ideation suicide), dan akhirnya akan lebih banyak individu melakukan bunuh diri (commit suicide) (Schmidtke & Schaller, 2000)

Perubahan tatanan sosial dengan sosio-ekonomi sering terjadi dan dianggap sebagai faktor dominan terjadinya kasus bunuh diri. Kondisi anomic (menurut Durkheim) menyebabkan pelaku bunuh diri dikategorikan sebagai korban dari suatu perubahan, yaitu melemahnya stabilitas tentang norma, nilai, dan hubungan antar personal akibat perubahan kondisi komunitas. Dan diketahui bahwa stabilitas merupakan salah satu kekuatan integrasi sosial.

Perubahan aktivitas manusia akibat perubahan musim dan iklim juga telah diketahui berpengaruh secara tidak langsung terhadap kejadian bunuh diri. Variasi musim ternyata dapat menjelaskan perubahan aktivitas baik secara sosiologis maupun biologis. Durkheim menghubungkan puncak musim semi (di negara barat) diisi dengan peningkatan aktivitas sosial, selanjutnya diikuti peningkatan konflik sosial dan konsumsi alkohol. Kedua faktor ini merupakan faktor resiko terjadinya bunuh diri (Bille-Brahe, 2000).Psikologi

Awal pendekatan psikologi terhadap perilaku bunuh diri adalah psikoanalisa dari Sigmund Freud. Freud berpendapat bahwa tindakan pengelakan (coping) kebanyakan individu akibat kehilangan seseorang yang dicintai dilakukan melalui kemurungan (mourning). Pengalaman kehilangan untuk sebagian individu rentan sebagai hal yang sulit untuk diterima dan membangkitkan kemarahan sehingga menyebabkan perasaan ambivalensi. Ingatan terhadap seseorang yang dicintai akan tersimpan melalui proses internalisasi dan selanjutnya menjadi bagian dari ego. Perasaan marah terhadap objek yang hilang tidak memungkinkan untuk diekspresikan sehingga ditransformasikan ke dalam perasaan bersalah dan merugikan diri sendiri. Ketika perasaan bersalah mencapai titik kritis, maka memungkinkan terjadinya tindakan menghancurkan diri sendiri.

Freud memandang bahwa perilaku bunuh diri merupakan hasil perjuangan intra psikis akibat ketidakseimbangan kekuatan-kekuatan utama, yaitu eros dan thanatos. Eros merupakan kekuatan untuk mempertahankan hidup, dan thanatos sebagai insting untuk mati. Pemikiran tentang thanatos dihubungkan oleh ahli lain sebagai perilaku bunuh diri, sehingga tindakan balas dendam, takut, dan fantasi dianggap pemicu terjadinya perilaku bunuh diri.

Sebuah model yang disebut Cry of Pain banyak dipakai untuk menjelaskan faktor-faktor yang berperan sebagai pemicu krisis bunuh diri. Faktor-faktor yang dimaksud adalah psikodinamika, ketidakstabilan kepribadian, dan kognisi. Cry of Pain selanjutnya dapat dilihat sebagai usaha untuk meloloskan diri dari sebuah perangkap, yaitu perasaan dikalahkan dan terkukung. Perasaan dikalahkan oleh faktor eksternal (misal: hubungan tidak harmonis, pengangguran, tekanan dalam pekerjaan) atau pergolakan internal tak terkontrol. Jika seseorang menghadapi kejadian menekan akan mengalami stres (distress), dan dengan adanya proses psikologis tertentu akan menambah kerentanan seseorang terhadap signal tersebut (problem solving, dan autobiographical memory deficit) sebagai kondisi no escape. Proses selanjutnya akan menuju tahapan selanjutnya, yaitu no rescue. Dan akhirnya bermuara pada kondisi hopelessness (biased judgement of the future). Perasaan hopelessness dianggap sebagai faktor yang menghubungkan antara depresi dan keinginan bunuh diri. Abramson dkk (1989) dalam teori hopelessness mengatakan bahwa an expectancy that positive consequences will not occur, or that negative consequences will occur.

Perilaku impulsif sebagai salah satu bagian dari kepribadian dipercaya berperan dalam perilaku merusak diri sendiri. Telah banyak bukti diketemukan bahwa sifat impulsif seseorang membuat perilaku agresif dan bunuh diri. Dengan perasaan impulsif membuat seseorang merespon suatu stimulus lebih bersifat instan tanpa memikirkan konsekuensi dari tindakan responnya.

Faktor kognisi seseorang dengan pola pikir dikotomi (dichotomous thingking, yaitu kecenderungan berpikir antara semua atau tidak, atau black or white) ditemukan lebih dominan dalam kasus percobaan bunuh diri (attempt suicide). Dengan pola pikir dikotomi seseorang melakukan bunuh diri bersifat kaku (rigid) dan ekstrem dalam berpikir terlepas dari status kejiwaannya.

Kekakuan dalam kognisi (cognitive rigidity) adalah faktor lain yang sering ditemukan dalam kasus bunuh diri. Hubungan antara kemampuan menyelesaikan masalah dan perilaku menghancurkan diri sendiri membuktikan bahwa individu yang melakukan bunuh diri bersifat lebih kaku, dan kurang mampu merubah strategi penyelesaian masalah. Kelemahan kognisi membuat seseorang yang mengalami depresi sulit membuat solusi alternatif terhadap problem yang dihadapi, sehingga meningkatkan kejadian negatip yang dikombinasikan dengan kekakuan dalam kognisi akan meningkatkan probabilitas terjadinya bunuh diri.

Peranan kualitas memori tentang riwayat hidup (autobiographical memory) seseorang ternyata mempunyai peran dominan dalam perilaku bunuh diri. Pada individu yang melakukan percobaan bunuh diri atau mengalami depresi mengalami kesulitan untuk mengingat memori spesifik, dan yang muncul adalah memori secara garis besar bersifat negatip. Ada sebuah korelasi antara peningkatan autobiographical memory yang berlebihan dengan penyelesaian masalah yang tidak efektip. Keberhasilan penyelesaian masalah sangat tergantung pada jenis memori seseorang yang dapat dipanggil. Pasien depresi dan pelaku bunuh diri mempunyai kemampuan sangat jelek dalam mengatasi masalah dikarenakan ketidakmampuan mengimajinasikan masa depan dengan cara spesifik (William, 1996).Biologi

Pada kajian bunuh diri pada manusia telah terjadi kekeliruan pengertian bahwa bunuh diri sebagai komplikasi sindroma depresi, dan jarang ditemukan pada gangguan psikiatris lainnya. Tindakan bunuh diri terlihat berhubungan dengan berbagai diagnosa psikiatris, temperamen, dan kondisi biologis seseorang. Faktor resiko biologis yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri sudah bersifat umum juga terjadi pada berbagai gangguan , atau spesifik hanya untuk beberapa gangguan psikiatris (Traskman-Bendz & Mann, 1997).

Ada 3 jalur utama pembuktian hubungan perilaku bunuh diri dengan faktor biologis, yaitu: korelasi antara perubahan aktivitas serotonergic (5-HT, sistem neurotransmiter serotonin di otak) dan percobaan bunuh diri, perubahan aktivitas serotonergic dengan bunuh diri, dan peran unsur genetis terhadap resiko bunuh diri.

Dari tahun 1950an telah diketahui bahwa depresi merupakan mekanisme internal yang memicu perilaku bunuh diri. Asberg dkk (1976) melaporkan hasil penelitiannya mengenai hubungan 5-HIAA (5-Hydroxyindol acetic acid, prekursor serotonin) dengan perilaku bunuh diri pada pasien depresi. Laporan ini mengawali penelitian selanjutnya secara intens dan meluas sampai saat ini (Asberg, 1997). Abnormalitas dalam sistem serotonergic pada pelaku bunuh diri ditemui secara konsisten dalam penelitian neurobiologis psikiatri. Sedang sistem neurotransmiter lain seperti dopaminergic, noradrenergic, GABAergic, dan glutamatergic tidak memberikan data secara konsisten satu sama lainnya.

Penelitian secara lebih mendalam tentang sistem serotonergic akhir-akhir ini telah sampai tingkat genetik, yaitu gen 5-HTR2A (gen dari reseptor serotonin tipe 2A) (Harian Kompas melansir salah satu hasil penelitian ini tanggal 01-02-2000). Kecenderungan perubahan asam nukleat urutan 102 dari timin menjadi sitosin dianggap bertanggung jawab terjadinya perilaku bunuh diri (Du dkk, 2000).

Penelitian tingkat genetik secara secara luas dilakukan secara berkesinambungan (longitudinal studies) dilakukan dengan pendekatan kajian orang kembar (twin studies), yaitu dengan membedakan kembar satu telur dan dua telur (mono dan dizygotic) yang dihubungkan dengan perilaku bunuh diri. Kembar monozygotic ternyata lebih memberikan gambaran yang lebih jelas dibandingkan dengan dizygotic dalam hal perilaku bunuh diri secara bersama untuk masing-masing anggota pasangan. Kesimpulan inilah yang membuat pendapat bahwa faktor genetis berperan dalam perilaku bunuh diri.

Faktor resiko lain yang cukup menarik perhatian adalah hubungan konsentrasi kholesterol dengan perilaku manusia bunuh diri pada manusia. Konsentrasi kholesterol dalam serum darah yang rendah berhubungan dengan faktor resiko bunuh diri. Kecenderungan orang memilih makanan rendah kholesterol untuk mengurangi resiko serangan jantung koroner atau penyakit pengerasan pembuluh darah ternyata meningkatkan resiko kematian non-klinis termasuk bunuh diri (Kaplan dkk, 1997), walau beberapa studi lain mendapatkan hasil yang berbeda.Kendala penelitian

Penelitian tentang perilaku bunuh diri merupakan penelitian unik dan penuh kendala. Pertama, dan yang paling utama adalah bahwa individu sebagai obyek penelitian tidak pernah dapat diketahui keadaan mental (mental state) dan neurofisiologis sebelum dan saat melakukan bunuh diri. Bahkan dalam kasus bom bunuh diri, fisik sang pelaku tidak dapat ditemukan karena ikut hancur. Kedua, jika korban bunuh diri dapat ditemukan maka hanya pendekatan post-mortem dan autopsi psikologis yang dapat dilakukan sehingga sering terjadi bias data. Ketiga, persepsi dan definisi hukum masyarakat dan institusi legal dalam pencatatan laporan bunuh diri berbeda-beda tiap daerah/negara, dan sering tidak akurat, atau bahkan ditutup-tutupi secara sengaja maupun tidak sengaja. Keempat, di sebagian daerah masih tertutup sehingga sulit untuk membicarakan perilaku bunuh diri dari anggota masyarakatnya karena dianggap tabu.

Kritik

Bunuh diri adalah salah satu fenomena perilaku manusia menarik di dunia dari awal peradaban sampai sekarang, dan telah menjadikannya sebagai sebuah fokus permasalahan mendesak untuk dikaji. Sebuah pertanyaan muncul sehubungan dengan penelitian-penelitian yang banyak dilakukan, yaitu mengapa peningkatan laju penelitian suicidology sebagai usaha untuk mendapatkan cara pengganggulangan (prevention) ternyata tetap diikuti dengan peningkatan angka bunuh diri ?.

Pendekatan penelitian dan pemahaman bunuh diri yang terlalu sempit akan menghasilkan jalur-jalur tersendiri, dan bahkan tidak saling bersentuhan. Bahkan penelitian dengan pendekatan yang sama pun sering memberikan hasil inkonsisten jika diterapkan pada objek yang sejenis. Suatu kondisi ironi yang perlu dipertanyakan dari sudut ilmiah.

Selain pembahasan suicidology yang terfragmentasi menjadi berbagai pendekatan, terminology bunuh diri juga masih simpang siur (Egel, 1999; Arranz dkk, 1997) dan pemilihan asumsi dasar penelitian juga cenderung mengarahkan kesimpulan. Penentuan korelasi antara 2 masalah yang berjauhan menjadi vis a vis akan menghasilkan bias yang membingungkan, dan saat ini hampir semua penelitian suicidology menghubungkan langsung antara bunuh diri dengan faktor resiko bunuh diri secara demografi, alcoholisme, genetika, perilaku, gangguan mental , dan kepribadian. Edwin Shneidman sebagai salah seorang pelopor suicidology pernah menyatakan: There are many studies of different chemicals and different methods involving enormous energy and thought, dozens of investigator, and hundreds og subjects, but ini summary they are more equivocal than clear, like a murky fluid in frosted test tube of ambiguous shape (Asberg, 1997).Shneidman (1989) berpendapat : each suicide is an idiosyncratic event. In suicide there are no universals, absolute, "all". I am convinced that the search for universal formulation for all suicide is chimera, sehingga untuk memahami bunuh diri secara ideal haruslah seorang personalis yang memahami perilaku aktifitas pikiran manusia (human mentation) terhadap apa yang terjadi di dalam otak dan pikiran, dan berbagai sebab secara biologis, sosiokultural, hubungan timbal balik antar personal, kognitif, afeksi, aktivitas pikiran bawah sadar. Peneliti sebagai seorang personalis, menyiratkan bahwa seseorang peneliti harus mempunyai empati memadai terhadap objek yang diteliti. Pada satu sisi, kondisi ideal ini sangat tidak efisien dipandang dari sudut biaya, waktu, dan tenaga. Pada sisi lain, pendekatan secara umum membuat penelitian lebih cepat dan relatif murah, tetapi menghasilkan bias dan sering inkonsistensi satu dengan lainnya. Penelitian suicidology akhir-akhir ini dilakukan menurut disiplin ilmu psikiatri, biologi, psikologi, dan sosiologi bersifat umum, artinya objek dikelompokan secara demografi, ganguan mental berdasarkan DSM (Diagnostic and Statistic Manual for Mental Disorder, American Psychiatric Assosiation) atau ICD (International Classification of Diseases, WHO), atau perilaku abnormal tertentu. Sedangkan sistem pembagian sampel/pasien berdasarkan gejala-gejala menurut DSM atau ICD belum menjelaskan proses biologi yang sama untuk tiap individu (Wong & Lichinio, 2001; Fee, 2000) tetapi dipakai sebagai pengelompokan sampel penelitian. Secara umum faktor resiko yang diprediksikan sesuai tingkat kerentannya jauh dari kepastian dalam kesimpulan penelitian.

Saran

Otak beserta neurofisiologisnya merupakan perangkat keras seseorang dalam menjalankan fungsi otak untuk menghasilkan pikiran (mind). Sedangkan sedangkan perangkat lunak terbentuk melalui kejadian dalam kehidupan (live event) dari lahir sampai mati. Kejadian dalam kehidupan merupakan stimulus dari faktor eksternal merupakan rangsangan akan diterima oleh panca indera dan akan diolah, dipersepsikan dan selanjutnya dipakai sebagai bagian proses belajar (McComas, 1999). Hasil proses belajar akan diintrepretasikan dan selanjutnya akan disimpan dalam bentuk memori. Stimulus akan diterima sebagai pengetahuan, dan pengetahuan yang diterima secara berulang-ulang akan membentuk suatu wacana seseorang jika menghadapi situasi yang sama. Perubahan sangat cepat dapat terjadi jika suatu stimulus diimbangi dengan pengalaman emosional. Besarnya emosi yang menyertai menentukan kecepatan dan bobot wacana. Wacana selanjutnya akan mengalami kristalisasi jika pengulangan stimulus sejenis dan tingkat emosi yang menyertai akan membentuk referensi seseorang untuk melakukan sesuatu jika mendapat stimulus sejenis di masa mendatang.

Dalam suicidology, objek teramati adalah manusia, dan manusia merupakan mahluk dinamis dalam interaksinya dengan lingkungannya. Individu sebagai mahluk sosial akan berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya. Ketika manusia sudah hidup bersama dalam suatu komunitas pada waktu tertentu, maka akan membentuk pola budaya spesifik hasil konglomerasi berbagai ide, kebiasaan, pemikiran, tradisi, norma, dan nilai yang berlaku pada saat itu (Bille-Brahe, 2000).Komponen biologis dan stimulus merupakan faktor pembentuk wacana seseorang secara spesifik untuk individu tertentu. Predisposisi faktor biologis/genetis seseorang akan menentukan dalam proses pengolahan stimulus yang masuk. Jika seseorang dalam rentang kehidupan selanjutnya mendapat stimulus kembali, maka memori yang telah ada akan mendasari kognisi (Burke dkk.,1992; Boltz dkk,1991), dan beserta predisposisi faktor biologis/genetis untuk melakukan perilaku tertentu sesuai dengan referensi yang ada.

Secara umum seseorang yang sering dihadapkan pilihan antara hidup dan mati, maka referensi yang diterendapkan di pikiran bawah sadar adalah pilihan hidup dan mati sebagai dasar dari coping.

Salah satu cara untuk memahami wacana beserta isinya sebenarnya telah dijelaskan oleh Sigmund Freud dalam teori psikoanalisa secara cemerlang melalui mimpi dalam bukunya The Intrepretation of Dream, walau dengan terminologi berbeda. Pikiran bawah sadar yang berisi memori pengalaman sebelumnya dan telah mengalami transformasi serta abstraksi selanjutnya akan bermain aktif jika mendapatkan stimulus baik secara langsung maupun lewat proses asosiasi. Pikiran bawah sadar akhirnya akan menjadikan landasan tindakan yang bersifat tidak tersadari, sehingga berjalan secara otomatis.

Proses otomatisasi di atas memungkinkan dapat menjelaskan kenapa sebelum melakukan tindakannya seseorang yang melakukan bunuh diri (commit suicide) tidak memperlihatkan perilaku yang menyimpang. Hal yang berbeda dengan perilaku bunuh diri lainnya (ideation suicide dan attempt suicide) yang secara jelas memperlihatkan perilaku fisik dan verbal abnormal.Bicara tentang bunuh diri di Daerah Istimewa Yogyakarta selalu diasosiasikan dengan daerah Kabupaten Gunung Kidul (secara umum disebut Wonosari) dengan angka bunuh diri tinggi. Sebuah pertanyaan muncul, bagaimana mungkin angka bunuh diri di Kab. Wonogiri lebih rendah walau mempunyai kondisi demografis, geografis, dan sosio-ekonomi- budaya relatip sama. Demikian juga jika membandingkan angka bunuh diri di Kab. Gunung Kidul dengan kabupaten-kabupaten sekelilingnya. Jawaban hipotetis dimungkinkan dengan adanya proses transmisi pemahaman bunuh diri yang bersifat turun temurun (misal mitos cleret ngantung-jawa) dan pengalaman pribadi dalam melihat atau terlibat dengan kasus bunuh diri di lingkungan keluarga atau tetangga. Sehingga pendapat hipotetis lain dapat disimpulkan bahwa seorang asli berasal dari daerah Kab. Gunung Kidul tertentu di mana pun berada akan mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk memilih bunuh diri dalam menyelesaikan masalah. Dan sebaliknya seorang yang berasal dari daerah dengan angka bunuh diri rendah akan mempunyai kecenderungan memilih tindakan non-bunuh diri jika tinggal di Kab. Gunung Kidul..

Perspektif baru

Wacana dan isi wacana bunuh diri sebagai landasan teori merupakan pendekatan baru yang menjanjikan untuk mengkaji proses terjadinya perilaku bunuh diri. Dengan pendekatan yang lebih mendasar diharapkan dapat menyatukan berbagai hasil yang telah diperoleh dari kajian-kajian sebelumnya.

Faktor wacana, stimulus, dan biologis secara bersama saling berinteraksi satu sama lain akan menghasilkan resultan perilaku bunuh diri. Seperti segitiga api yang dipakai untuk menjelaskan proses terjadinya kebakaran suatu bahan. Interaksi 3 faktor utama, yaitu titik bakar, bahan dapat terbakar (flammable material), dan oksigen, maka proses kebakaran dapat terjadi. Tanpa adanya salah satu faktor maka proses kebakaran tidak akan terjadi. Demikian juga tanpa salah satu faktor dari wacana, stimulus, dan biologis maka proses terjadinya perilaku bunuh diri tidak dimungkinkan untuk muncul.

Wacana sebagai referensi merupakan faktor sentral dibanding dengan kedua faktor lainnya sehingga dengan penjelasan diatas dapat lebih mudah dipahami tentang faktor resiko dan kasus bunuh diri secara geografi, epidemiologi, kultural, profesi, dan medis.Masing-masing ketiga faktor mempunyai skala predisposisi bunuh diri yang spesifik untuk masing-masing individu. Kelemahan predisposisi salah satu komponen dapat diimbangi oleh kuatnya kerentanan predisposisi dua komponen lainnya. Atau bahkan kelemahan predisposisi dua komponen dapat diimbangi oleh kekuatan predisposisi komponen yang tersisa.

Implikasi model Stimulus-Bio-Wacana

Model dengan pendekatan Stimulus-Bio-Wacana (SBW) diharapkan dapat menjembatani peran peneliti antara personalis dan generalis. Dengan mengukur derajat wacana/isi wacana objek penelitian sebagai dasar pengelompokan utama diharapkan faktor biologis dan stimulus lebih mudah diprediksi dan diukur.

Kategori bunuh diri berdasarkan model pendekatan SBW dapat dipakai sebagai usaha prevensi yang lebih efektif dan efisien. Jika telah diketahui seseorang atau sekelompok orang mempunyai predisposisi untuk bunuh diri, dan diketahui status kerentanan masing-masing komponen, maka usaha prevensi dapat diarahkan secara terfokus agar jangan sampai terjadi konfigurasi ketiga komponen bunuh diri, atau setidaknya satu komponen dapat dijaga kerentanannya.

Komponen wacana merupakan komponen utama model pendekatan SBW, maka diperlukan suatu alat ukur yang memadai untuk mengukur derajat wacana seseorang yang telah mengalami proses sublimasi/internalisasi di dalam kognisi. Alat ukur sederhana dan valid sangat diharapkan.

Ref.

Abramson, L.Y., Metalsky, G.I. & Alloy, L.B. 1989. Hopelessness depression: A theory-based sub type of depression. Psy Rev. 96:358-372.

Arranz, B., Blennow, K., Eriksson, A., Mansson, J., & Marcusson, J. 1997. Seronergic, noradrenergic, and dopaminergic measures in suicides brains. Biological Psychiatry. 41:1000-1009.

Asberg, M. 1997. Neurotransmitter and suicidal behavior: The evidence from cerebrospinal fluid studies. In Stoff, D.M. & Mann, J.J. (Eds) The neurobiology of suicide: From the bench to clinic. The New York Academy of Science, New York. p. 158-181.

Asberg, M., Traskman, L. & Thoren, P. 1976. 5-HIAA in the cerebrospinal fluid. A biochemical suicide predictor. Arch Gen Psychiatry. 33:1193-1197.

Bille-Brahe, U. 2000. Sociology and suicidal behavior. In Hawton, K. & van Heeringen, K. (Eds) The international handbook of suicide and attempted suicide. John Willey & Sons, LTD. West Sussex. p.193-207.Boltz, M., Schulkind, M., & Kantra, S. 1991. Effects of background music on the remembering of filmed events. Memory & Cognition. 19: 593-606.

Burke, A., Heuer, F., & Reisberg, D. 1992. Remembering emotional events. Memory & Cognition. 20: 277-290.

Cantor, C.H. 2000. Suicide in western world. In Hawton, K. & van Herringen, K (Eds). The international handbook of suicide and attempted suicide. John Willey & Sons, LTD, West Sussex. p.9-28.

Cassidy, J.P.& Russo,, P.M. 1979. Religion: A catholic view. In Hankoff, L.D.& Einsidler, B. Suicide, theory and clinical aspects. PSG Publishing Company, Inc. Littleton. p.73-81.

Chen, Y., Tsai, P., Chen, P., Fan, C., Hung, G.C.& Cheng, A.T.A. 2010. Effect of media reporting of the suicide of a singer in Taiwan: the case of Ivy Li. Soc Psychiat Epidemiol, 45:363369.Chen, Y., Liao, S., Teng, P., Tsai, C., Fan, H., Lee, W. & Cheng, A.T.A. 2012. The impact of media reporting of the suicide of a singer on suicide rates in Taiwan. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol, 47:215221.Chia, B.H. 1981. Suicidal Behavior in Singapore. SEAMIC, Tokyo. p.4-10.

Du, L., Bakish, D., Lapierre, Y.D., Ravindran, A.V. & Hrdina, P.D. 2000. Association of polymorphism of serotonin 2A receptor gene with suicidal ideation in major depressive disorder. Am J Med Gen. 96:56-60.

Egel, L. 1999. On the need for a new term for suicide (letter). Suicide & Life Threatening Behavior. 29:353-394.

Gould, M.S. & Shaffer, D. 1986. The impact of suicide in television movies, evidence of imitation. The New England Journal of Medicine. 315:690-694.Hankoff, L.D. 1979. Judaic origins of the suicide prohibition. In Hankoff, L.D.& Einsidler, B. Suicide, theory and clinical aspects. PSG Publishing Company, Inc. Littleton. p.3-20.

Hankoff, L.D. 1979a. A first century A.D. view of suicide. In Hankoff, L.D.& Einsidler, B. Suicide, theory and clinical aspects. PSG Publishing Company, Inc. Littleton. p.33-45.

Hawton, K., Harris, L., Appleby, L. Juszczak, E., Simkin, S., McDonnell, R., Amos, T., Kiernan, K., & Parrot, H. 2000. Effect of death of Diana, Princess of Wales on suicide and deliberating self-harm. Br. J. Psychiatry. 177:463-466.

Ide, N., Kolves, K., Cassaniti, M. & De Leo, D. 2012. Suicide of first-generation immigrants in Australia, 19742006. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol. DOI 10.1007/s00127-012-0499-4.Kaplan, J.R. Muldoon, M.F., Manuck, S.B. & Mann, J.J. 1997. Assesing the observed relationship between low cholesterol and violence-related mortality. In. Stoff, D.M. & Mann, J.J. (Eds) The neurobiology of suicide: From the bench to clinic. The New York Academy of Science, New York. p. 67-80.

Lipsicas, C.B., Makinen, I.H., Apter, A., De Leo, D., Kerkhof, A., Lonnqvist, J., Michel, K., Renberg, I.S., Sayil, I., Schmidtke, A., van Heeringen, C., Varnik, A. & Wasserman, D. 2012. Attempted suicide among immigrants in European countries: An international perspective. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol. 47:241251Murthy, R.S. 2000. Approaches to suicide prevention in Asia and the Far East. In Hawton, K. & van Herringen, K (Eds). The international handbook of suicide and attempted suicide. John Willey & Sons, LTD, West Sussex. p.631-643.

Phillips, D.P.& Carstensen, L.L. 1986. Clustering of teenage suicides after television new stories. The New England Journal of Medicine. 315:685-699.

Seaborn, A. 2001. Suicide or accident self killing on medieval England: Series of 198 cases from Eyre Records. Br. J. Psychiatry. 177:551-556.

Schmidtke, A., & Schaller, S. 2000. The role of mass media in suicide prevention. In Hawton, K. & van Herringen, K (Eds). The international handbook of suicide and attempted suicide. John Willey & Sons, LTD, West Sussex. p.675-697.

Silving, H. 1957. Suicide and law. In Shneidman, E.S. & Farberow, N. L.(Eds). Clues to suicide. McGraw-Hill Book Company, Inc, New York. p.79-95.Sneidman, E.S. 1989. Approaches and commonalities of suicide. In. Diekstra, R.F.W.,Maris, R., Platt, S., Schidtke, A. & Sonneck, G. (Eds). Suicide and its prevention: The role of attitude and imitation. E.J. Brill, Leiden. p.14-36.

Stoff, D.M. & Mann, J.J. 1997. Suicide research, overview and introduction. In Stoff, D.M. & Mann, J.J.(Eds). The neurobiology of suicide, from the bench to the clinic. The New York Academy of Science, New York. p.1-11.

Traskman-Bendz, L. & Mann,J.J. 2000. Biological aspects of suicidal behavior. In Hawton, K. & van Heeringen, K. (Eds) The international handbook of suicide and attempted suicide. John Willey & Sons, LTD. West Sussex. p.65-77.

Van Herringen, K., Hawton, K. & William, J.M.G. 2000. Pathway to suicide: An integrative approach. In Hawton, K. & van Heeringen, K. (Eds) The international handbook of suicide and attempted suicide. John Willey & Sons, LTD. West Sussex. p.223-234.

William, J.M.G., Ellis, N., Tyer, C., Healy, H., Rose, G. & MacLeod, A.K. 1996. The specificity of autobiographical memory and imageability of the future. Memory & Cognition. 24:116-125.World Health Organization, 2014. Preventing suicide: A global imperative. WHO press. Geneve.

Bahan Diskusi WED Forum, CRCS UGM, 15 September 2014.