Upload
brian-hammond
View
219
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
dfg
Citation preview
Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:https://www.researchgate.net/publication/259678851
PenegakanHukumTerhadapTindakPidanaPenghinaanMelaluiMediaSiberDiIndonesia(CyberDefamationLawEnforcementInIndonesia)
ConferencePaper·January2011
READS
664
1author:
AntonHendrik
UniversitasSurabaya
3PUBLICATIONS0CITATIONS
SEEPROFILE
Availablefrom:AntonHendrik
Retrievedon:27April2016
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA
PENGHINAAN MELALUI MEDIA SIBER DI INDONESIA
Oleh: Anton Hendrik S., S.H., M.H.
1. PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi telah mengubah tatanan kehidupan manusia di
dunia. Dalam melakukan berbagai aktifitas, manusia saat ini telah bergantung
pada pemanfaatan teknologi. Sebelum ada e-mail, surat menyurat membutuhkan
waktu yang relatif lama. Sekarang sudah ada banyak smartphone yang
menawarkan fitur real time push mail, jadi berkirim e-mail langsung diterima
kepada penerima seketika itu juga. Fitur yang lain adalah software jejaring sosial
(social network) yang terintegrasi di dalam telepon seluler, dan lain semacamnya.
Teknologi tidak hanya memberikan nilai yang positif terhadap peningkatan
kesejahteraan manusia, melainkan juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk
melakukan berbagai perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatig) atau
bahkan melawan hukum (wederechttelijk). Didasarkan pada pemikiran tersebut,
berbagai upaya dalam hal pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang
bisa mencegah berbagai dampak negatif akibat dari perbuatan hukum harus segera
dilakukan.
KUHP sebagai lex generali bagi aturan hukum pidana materiil pada
akhirnya tidak dapat lagi digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan mutakhir.
Inilah latar belakang munculnya peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana di luar KUHP. Salah satu tindak pidana mutakhir sekarang
adalah tindakan yang merugikan kepentingan hukum yang dilakukan di media
TIK. Oleh karena itu terbentuklah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843) yang untuk selanjutnya disebut UU
ITE. Sebelum lahirnya UU ITE, peraturan tentang pencemaran nama baik diatur
dalam Bab XVI Buku Kedua KUHP tentang Penghinaan.
Salah satu contoh kasus menarik bagaimana UU ITE digunakan oleh
penegak hukum untuk memberantas tindak pidana yang dilakukan menggunakan
TIK adalah kasus Prita Mulyasari. Prita Mulyasari didakwa oleh Jaksa Penuntut
Umum dengan alasan pencemaran nama baik. Prita Mulyasari didakwa karena
menyebarkan e-mail dan menulis surat suara pembaca online di situs
www.detik.com yang berisi muatan pencemaran nama baik.
Ada beberapa peristilahan dalam peraturan perundang-undangan yang
digunakan untuk menyebutkan tindak pidana Pencemaran Nama Baik, ada yang
menggunakan istilah tindak pidana Kehormatan, tindak pidana Penghinaan. Untuk
keseragaman penyebutan, pemakalah menggunakan istilah Pencemaran Nama
Baik. Pencemaran nama baik menggunakan media TIK diatur tersendiri dalam
UU ITE karena dampak yang diakibatkan lebih mengglobal dibandingkan
pencemaran nama baik konvensional. Surat elektronik dapat dikirim ke berbagai
penjuru dunia hanya dalam hitungan detik dan dampak yang diakibatkannya bisa
demikian kompleks dan rumit.
2. UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIKA
1. Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Menggunakan Media TIK
Pencemaran nama baik menggunakan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK)
diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang menyebutkan:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Untuk dapat mengetahui perbuatan yang dilarang dalam pasal tersebut,
perlu dijelaskan mengenai setiap unsur-unsurnya.
1. Setiap orang
Dalam Pasal 1 angka 21 disebutkan bahwa orang yang
dimaksudkan dalam UU ITE melingkupi orang perseorangan baik WNI
maupun WNA, dan badan hukum. Jadi orang perseorangan baik WNI
maupun WNA dan badan hukum yang melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE
diancam dengan pidana jika memenuhi unsur delik.
2. Sengaja
Dalam UU ITE tidak dijelaskan mengenai pengertian sengaja.
Dalam KUHP sebagai lex generali dari peraturan perundang-undangan
pidana pun tidak dijelaskan. Dalam, teori tentang kesengajaan, terdapat 1
dua aliran:
! Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 1711
a. Teori kehendak
Menurut Moeljatno, untuk menentukan bahwa suatu perbuatan
dikehendaki oleh terdakwa harus memenuhi : 2
- Harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai.
- Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.
b. Teori pengetahuan
Teori ini lebih praktis dari teori kehendak , karena untuk membuktikan 3
adanya kesengajaan dengan teori ini terdapat dua alternatif:
- Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan; atau
- Pembuktian adanya keinsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan beserta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Perbedaan teori kehendak dan teori pengetahuan, yaitu pada teori
kehendak mengharuskan memenuhi kesesuaian antara perbuatan, motif
dan tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan pada teori pengetahuan
mengharuskan terbukti adanya keinsyafan atau pengertian terhadap
perbuatan yang dilakukan, akibat perbuatan, dan keadaan-keadaan yang
menyertainya.
Lawan dari sengaja adalah kealpaan. Kealpaan untuk melakukan
penghinaan atau pencemaran nama baik tidak mungkin terjadi. Namun
! Ibid, hal. 1732
! Ibid, hal. 1743
mungkinkah kealpaan itu terjadi dalam perbuatan mendistribusi dan atau
mentransmisikannya ke dalam media TIK? Misalnya apabila A meminta
tolong B untuk mengunggah (upload) sebuah dokumen ke dalam suatu
situs yang dapat diakses secara bebas untuk diunduh (download), dan
karena A diminta tolong, maka A langsung mengunggah dokumen tanpa
dibuka dan dibaca terlebih dahulu. Konsekuensi dari adanya unsur sengaja
dalam pasal ini adalah perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan tidak
dapat dijerat atau diancamkan sanksi.
3. Tanpa hak
Istilah ini dipakai untuk menyinggung anasir “melawan hukum” yang
biasa disebut “wederrechtelijk” . Hazewinkel-Suringa dengan gigih 4
berpendapat bahwa perkataan “wederrechtelijk” ditinjau dari
penempatannya dalam suatu rumusan delik menunjukkan bahwa perkataan
tersebut haruslah ditafsirkan sebagai “zonder eigen recht” atau “tanpa
adanya suatu hak yang ada pada diri seseorang” . Menurut Memori 5
Penjelasan dari rencana Kitab Undang-undang Hukum Pidana Negeri
Belanda, istilah “melawan hukum” itu setiap kali digunakan, apabila
dikhawatirkan, bahwa orang yang didalam melakukan sesuatu perbuatan
yang pada dasarnya bertentangan dengan undang-undang, padahal didalam
hal itu ia menggunakan haknya, nanti akan terkena juga oleh larangan dari
! E.Utrecht, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, 1986, hal. 2694
! Hazewingkel-Suringa, Inleiding, hal. 124 dalam Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana 5
Indonesia, hal. 353.
pasal undang-undang yang bersangkutan. Jika ia menggunakan haknya 6
maka ia tidak “melawan hukum” dan untuk ketegasan bahwa yang
diancam hukuman itu hanya orang yang betul-betul melawan hukum saja,
maka di dalam pasal yang bersangkutan perlu dimuat ketegasan “melawan
hukum” sebagai unsur perbuatan terlarang itu. Misalnya Seorang Polisi 7
karena perintah atasan mengunggah (upload) daftar pencarian orang atau
DPO ke website agar diketahui oleh publik, tidak dipidana karena Polisi
tersebut tidak melawan hukum.
4. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Mengenai unsur ini sudah cukup jelas mengatur tindakan konkrit yang
dilakukan.
5. Memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Konsep “penghinaan” dan “pencemaran” nama baik dalam Pasal ini masih
belum jelas. Jika kita melihat dalam penjelasan pasal ini hanya dikatakan
cukup jelas. Sehingga perlu ada penafsiran dalam mengartikan konsep
pencemaran nama baik.
Dari unsur-unsur Pasal 27 ayat 3 UU ITE masih ada beberapa proposisi yang
belum jelas. Misalnya adalah apa yang dimaksud dengan proposisi “tanpa hak”,
kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan “penghinaan” dan “pencemaran”
! R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, Pustaka Tinta Mas, 1994, hal. 716
! Ibid.7
nama baik, dalam Penjelasan Pasal hanya dinyatakan cukup jelas. Oleh karena itu
norma dalam Pasal ini dapat dikatakan sebagai norma kabur (vague norm) yang
hanya mengatur perbuatan pencemaran nama baik dan/atau penghinaan secara
tanpa hak yang dilakukan menggunakan media TIK, namun tidak menjelaskan
perbuatan yang dimaksud untuk disiarkan dalam TIK yang dilarang itu apa.
Menurut pemakalah dua hal ini perlu diperjelas karena pengaturan mengenai
pencemaran nama baik seringkali bersinggungan dengan kebebasan berpendapat
yang dilindungi oleh Undang-undang Dasar RI 1945 teramandemen.
Kekhasan Pasal 27 ayat 3 UU ITE dibandingkan dengan Pasal-pasal dalam
KUHP yang mengatur Pencemaran Nama Baik, yaitu dalam KUHP tidak diatur
mengenai pencemaran nama baik yang didistribusikan dan/atau ditransmisikan
dalam Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, sedangkan dalam
Pasal 27 ayat 3 UU ITE hal itu telah diatur. Namun sayangnya apa yang dimaksud
‘penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ sama sekali tidak dijelaskan dalam
UU ITE.
2. Kaitan Pengaturan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam UU
ITE dengan KUHP
Karakteristik UU ITE adalah UU bersanksi pidana, bukan murni UU
pidana. KUHP merupakan lex generali semua peraturan perundang-undangan
berdimensi pidana.
Dalam Pasal 103 KUHP dinyatakan bahwa Bab I sampai dengan Bab VIII
Buku Kesatu KUHP juga diberlakukan untuk undang-undang yang bersanksi
pidana, kecuali oleh undang-undang tersebut diatur lain atau menyimpangi KUHP.
Lalu bagaimana dengan konsep pencemaran nama baik? Konsep pencemaran
diatur oleh KUHP dalam buku Kedua, bukan Buku Kesatu. Dan dalam UU ITE
sama sekali tidak disebutkan bahwa pengertian pencemaran nama baik mengacu
pada KUHP.
Pengertian ‘penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ dalam Pasal 27
ayat 3 UU ITE haruslah diketahui terlebih dahulu sebelum menerapkan pasal ini.
Aturan hukum dalam rumus yang membingungkan hanya dapat diterapkan
apabila kebingungan itu sudah teratasi. 8
Menurut van Hamel, tujuan suatu penafsiran adalah selalu untuk
memastikan arti keputusan kehendak atau wilsbesluit pembentuk undang-undang. 9
Dikatakan lebih lanjut oleh van Hattum, bahwa perkataan-perkataan yang terdapat
dalam undang-undang seringkali tidak cukup jelas, hingga setiap kali orang
merasa perlu mengetahui maksud atau artinya dengan cara menyelidiki maksud
yang sebenarnya dari pembentuk undang-undang, dengan cara menghubung-
hubungkan secara sistematis suatu peraturan tertentu dengan peraturan-peraturan
! Neil MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory, Clarendon Press, Oxford, dalam P. M. 8
Hadjon dan Tatiek S. Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 2005, hal. 24
! P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, 9
hal 53
pidana selebihnya atau dengan cara menyelidiki sejarah pertumbuhan suatu
lembaga yang terdapat dalam hukum pidana. 10
Oleh karena itu untuk membaca pengertian dari proposisi “penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik” dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE, kita harus
mengaitkannya dengan Pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur tentang
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dalam KUHP pengaturan tersebut
ada di Bab XVI tentang Penghinaan. Dalam Bab Penghinaan ini mengatur tentang
tindak pidana:
1. Pencemaran (Pasal 310 ayat 1 KUHP)
2. Pencemaran tertulis (Pasal 310 ayat 2 KUHP)
3. Fitnah (Pasal 311 KUHP)
4. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)
5. Penghinaan terhadap pejabat negara (Pasal 316 KUHP)
6. Pengaduan fitnah kepada penguasa (Pasal 317 KUHP)
7. Menimbulkan Persangkaan palsu (Pasal 318 KUHP)
8. Pencemaran terhadap orang yang sudah mati (Pasal 320 KUHP)
Dengan adanya unsur ‘penghinaan’ dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE, dapat
diartikan bahwa proposisi tersebut mengacu kepada Bab tentang Penghinaan
dalam KUHP, yang meliputi beberapa tindak pidana yang tersebut di atas. Secara
singkat dijelaskan di bawah ini.
Ad. 1. Pencemaran
! Ibid, hal 5110
Dalam Pasal 310 ayat 1 KUHP disebutkan:
“Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam, karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Berdasarkan rumusan di atas, maka unsur-unsur pasal tersebut adalah:
1. Sengaja
Menurut doktrin (ilmu pengetahuan), sengaja termasuk unsur subyektif,
yang ditujukan terhadap perbuatan. Artinya pelaku mengetahui
perbuatannya ini, pelaku menyadari mengucapkan kata-katanya yang
mengandung pelanggaran terhadap kehormatan atau nama baik orang
lain. 11
2. Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain
Kata ‘menyerang’ ini bukan berarti menyerbu, melainkan maksudnya
dalam artian melanggar. Kata ‘nama baik’ dimaksudkan sebagai
kehormatan yang diberikan oleh masyarakat umum kepada seseorang baik
karena perbuatannya atau kedudukannya. Kata ‘orang’ berarti natuurlijk 12
persoon, hal ini dikarenakan KUHP masih belum mengenal Badan Hukum
(recht persoon).
3. Menuduhkan sesuatu hal
! Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan: Pengertian dan Penerapannya, Raja 11
Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal 13
! Ibid, hal 1512
Menurut Leden Marpaung, ‘sesuatu hal’ lebih tepat jika diartikan suatu
‘perbuatan tertentu’. Demikian halnya dengan R. Soesilo.
Menuduhkan sesuatu hal berarti hal tersebut masih belum tentu benar dan
terbukti. Mengenai pembuktian kebenaran hal yang dituduhkan terbatas
terhadap hal-hal yang diatur dalam Pasal 312 KUHP, yaitu:
- Berkaitan dengan kepentingan umum
- Karena membela diri.
- Berkaitan dengan pejabat yang dituduh sesuatu hal dalam
menjalankan tugasnya.
4. Yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum
Kejahatan pencemaran ini tidak perlu dilakukan di muka umum, sudah
cukup bila dibuktikan bahwa terdakwa ada maksud untuk menyiarkan
tuduhan itu. 13
Ad. 2. Pencemaran tertulis
Perumusan Pasal 310 ayat 2 KUHP, yaitu:
“Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Berdasarkan rumusan pasal di atas, maka pencemaran dan pencemaran
tertulis bedanya adalah bahwa pencemaran tertulis dilakukan dengan tulisan atau
! R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal 13
Demi Pasal, Politeia, Bogor,1996, hal 226
gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan. Sedangkan unsur-
unur lainnya tidak berbeda.
Kata ‘disiarkan’ merupakan terjemahan dari bahasa Belanda atas kata
verspreid yang juga dapat diterjemahkan dengan ‘disebarkan’. ‘Disebarkan’ atau 14
‘disiarkan’ mengandung arti bahwa tulisan atau gambar tersebut lebih dari satu
helai atau satu eksemplar. 15
Kata ‘dipertunjukkan’ maksudnya bahwa tulisan atau gambar tidak perlu
berjumlah banyak tetapi dapat dibaca atau dilihat orang lain. Kata-kata ‘disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum’ semua bermakna agar dapat
dibaca atau dilihat oleh orang lain. 16
Ad. 3. Fitnah
Tentang fitnah dalam KUHP diatur dalam Pasal 311, yang menyebutkan:
“Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Fitnah terjadi bilamana yang melakukan tindak pidana pencemaran atau
pencemaran tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu
! Leden Marpaung, Opcit, hal 1814
! Ibid, hal 1915
! Ibid.16
benar namun dia gagal. Kesempatan untuk membuktikan kebenaran tuduhan
dibatasi oleh Pasal 312 KUHP.
Penerapan Pasal 311 KUHP ini juga hendaknya memperhatikan Pasal 314 KUHP,
yang mengatur mengenai kebenaran tuduhan dikaitkan dengan proses peradilan
hal yang dituduhkan. Misalnya: Susno Duadji menuduh Rekanannya melakukan
tindak pidana korupsi, kemudian Susno Duadji dilaporkan oleh Rekanannya atas
tuduhan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, maka demi kepentingan
umum/negara, kebenaran dari tuduhan Susno harus dilakukan yaitu dengan
memulai proses pemeriksaan tentang adanya tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Rekanan Susno Duadji. Jika hakim memutuskan bahwa Rekanan
Susno bersalah melakukan tindak pidana korupsi, maka Susno tidak dapat
dihukum karena fitnah. Namun jika yang terjadi sebaliknya maka putusan hakim
sudah menjadi bukti yang cukup untuk membuktikan Susno melakukan tindak
pidana fitnah.
Ad. 4. Penghinaan ringan
Diatur dalam Pasal 315 KUHP yang menyebutkan:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Bila penghinaan itu dilakukan dengan jalan ‘menuduhkan sesuatu hal (perbuatan)’
terhadap seseorang maka masuk ranah Pasal 310 atau 311 KUHP. Apabila dengan
jalan lain, misalnya dengan mengatakan: ‘anjing’, ‘sundal’, ‘bajingan’, dan lain
sejenisnya masuk ranah Pasal 315 KUHP dan dinamakan penghinaan ringan. 17
Ad. 5. Penghinaan terhadap Pejabat (Negara)
Diatur dalam Pasal 316 KUHP, yang menyebutkan:
“Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugas yang sah.” Penghinaan terhadap pejabat (negara) dikecualikan dari delik aduan.
Ruang lingkup pejabat (negara) dapat dilihat dalam Pasal 92 KUHP, yang
melingkupi:
- Orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum;
- Orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota badan
pembentuk undang-undang badan pemerintahan atau badan
perwakilan rakyat, badan yang dibentuk oleh Pemerintah atau atas
nama Pemerintah;
- Orang yang menjadi anggota Dewan-dewan daerah;
! R. Soesilo, Opcit, hal 22817
- Semua kepala bangsa Indonesia asli dan kepala golongan Timur
asing yang menjalankan kekuasaan yang sah (yang terakhir ini
sudah tidak relevan lagi)
Ancaman pidana penghinaan terhadap pejabat (negara) ini lebih berat dibanding
dengan Pasal-pasal sebelumnya dalam Bab XVI KUHP.
Ad. 6. Pengaduan fitnah kepada Penguasa
Diatur dalam Pasal 317 KUHP, yang menyebutkan:
“Barangsiapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan tentang seseorang, sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam, karena melakukan pengaduan fitnah, dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun.” Perbuatan ini dinamakan ‘pengaduan fitnah kepada penguasa’. Pengaduan
atau pemberitahuan yang diajukan itu, baik secara tertulis maupun lisan dengan
permintaan supaya ditulis, harus sengaja palsu. Orang itu harus mengetahui benar-
benar bahwa apa yang ia adukan kepada Penguasa itu tidak benar, sedangkan
pengaduan itu akan menyerang kehormatan atau nama baik pihak yang
diadukan. 18
Ad. 7. Menimbulkan Persangkaan Palsu
Diatur dalam Pasal 318 KUHP, yang menyebutkan:
! Ibid, hal 22918
“Barangsiapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana, diancam, karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai fitnah dengan perbuatan. Misalnya jika
A melakukan penghinaan secara online dan anonim kepada B menggunakan
komputer milik C, kemudian dilacak IP Address komputer yang digunakan untuk
mengunggah (upload) materi penghinaan dan C dipersangkakan melakukan
tindak pidana penghinaan menggunakan media TIK akibat tindakan A. Dengan
demikian jika dapat dibuktikan, A dapat dikenai Pasal ini sebagai rujukan (juncto)
dari Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Ad. 8. Pencemaran terhadap orang yang sudah mati
Diatur dalam Pasal 320 dan 321 KUHP. Pada prinsipnya sama dengan
pencemaran atau pencemaran tertulis, tetapi korban atau pihak yang dicemarkan
adalah orang yang sudah meninggal dunia. Pasal ini bermaksud melindungi ahli
waris yang berkepentingan melindungi kehormatan dan nama baik keluarganya. 19
3. Fungsi keberadaan ketentuan pidana
Ketentuan pidana dalam UU ITE berfungsi sebagai sarana mencegah
terjadinya perbuatan tindak pidana dengan menimbulkan ketakutan dengan
ancaman sanksi, dan pemberi efek jera kepada pelanggar UU.
! Leden Marpaung, Opcit, hal 5619
Selain itu dalam hukum pidana, secara umum menganut asas legalitas yang
dirumuskan oleh von Feuerbach dengan adagium: “nullum delictum sine praevia
lege poenali”. Perumusan dan UU ITE sangat penting, perumusan sanksi pidana 20
membuat klasifikasi perbuatan yang dilarang dalam UU ITE sebagai tindak
pidana.
3. PIDANA SEBAGAI ULTIMUM REMEDIUM , EKSPLORASI
PREVENTIVE LAW ENFORCEMENT
Sanksi pidana dalam UU ITE tergolong sebagai ultimum remedium. Hal ini
dapat dilihat dari sistematika UU ITE yang meletakkan penyelesaian
menggunakan hukum pidana sebagai hal yang terakhir. UU ITE masih
mengedepankan cara penyelesaian yang lain.
Penegakan hukum pidana merupakan cara represif untuk menanggulangi
tindak pidana pencemaran nama baik. Cara yang lain yang dapat digunakan untuk
menanggulangi hal ini adalah dengan cara preventif. Pendidikan merupakan salah
satu sarana strategis yang dapat digunakan sebagai alat penegakan hukum
preventif, dengan penanaman nilai-nilai akhlak dan pengetahuan tentang ITE
sejak dini dalam masa pendidikan dapat mengurangi terjadinya tindak pidana
pencemaran nama baik.
! Moeljatno, Op.cit, h. 2320
4. KESIMPULAN
Dari paparan-paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Pengaturan mengenai pencemaran nama baik melalui media TIK yang diatur
dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE normanya masih belum jelas, khususnya pada
unsur ‘penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’.
b. Agar pasal dapat diterapkan, kejelasan tentang unsur tersebut harus dicari
terlebih dahulu menggunakan metode penafsiran.
c. Penafsiran yang dapat digunakan adalah penafsiran sistematis, dengan
mengaitkan UU ITE sebagai lex specialis dengan KUHP sebagai lex generali.
d. Pengaturan dalam Bab XVI tentang Penghinaan berlaku dalam ruang lingkup
unsur ‘penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ dalam Pasal 27 ayat 3
UU ITE. Sehingga apabila Pasal 27 ayat 3 UU ITE diterapkan pada kasus
konkret, hendaknya juga merujuk kepada Pasal yang sesuai tentang
penghinaan terkait dalam KUHP.
e. Yang dicemarkan nama baiknya adalah natuurlijk persoon saja, recht persoon
tidak termasuk subyek hukum yang mendapatkan perlindungan dari tindak
pidana pencemaran nama baik.
f. Upaya penegakan hukum preventif dapat dilakukan melalui kurikulum
pendidikan yang mengajarkan mengenai penggunaan media TIK secara
bijaksana dan penanaman nilai akhlak pada peserta didik.
DAFTAR BACAAN
Hadjon, P.M. dan Tatiek S. Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada
University Press, Jogjakarta, 2005
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Terjemahan Moeljatno
Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997
------------------------, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990
Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan: Pengertian dan
Penerapannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
Marpaung, Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993
Purwoleksono, Didik Endro, Kapita Selekta Hukum Pidana, Surabaya, 2010
Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor,1996
Tresna, R, Azas-azas Hukum Pidana, Pustaka Tinta Mas, 1994
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58)
Utrecht, E., Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, 1986
Van Bemmelen, J. M., Hukum Pidana 3: Bagian khusus delik-delik khusus,
Binacipta, Bandung, 1986