Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL
POLA KOMUNIKASI ANAK AUTIS
(Studi tentang Pola Komunikasi Guru dengan Siswa Autis dalam Proses
Belajar Mengajar di Sekolah Luar Biasa Anugerah Colomadu,
Karanganyar)
Oleh:
ANISA CANDRA YULIVIA
D0214012
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
POLA KOMUNIKASI SISWA AUTIS
(Studi tentang Pola Komunikasi Guru dengan Siswa Autis dalam Proses
Belajar Mengajar di Sekolah Luar Biasa Anugerah Colomadu,
Karanganyar)
Anisa Candra Yulivia
Monika Sri Yuliarti
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
AbstractAutism children are children who have abnormalities. They have their
own world and enjoy that world by their own. Thus, they have obstacles in communicating, interacting and socializing with the people around them. Meanwhile, in communication pattern theory, it is stated that every communication process has pattern which happens due to habit.
This study was conducted to find out how the pattern of communication between teacher and autism children in the learning process in Anugrah Special Needs School Colomadu, Karanganyar. The obstacles of the communication which autism children have may influence the learning process in the class.
This study is a qualitative study. The writer used interview and observation as the source for collecting the data. Teacher in this study is the main source. Purposive Sampling Technique was used because the study took the sample based on criteria which has been made to fulfill the goal of the study. This study used Miles and Huberman model data analysis technique reference. The theory used is the communication pattern theory delivered by DeVito.
From the study which has been conducted by the writer, it can be concluded that communication pattern between teacher and autism children in the learning process in Anugerah Special Needs School is primer communication which is delivered by DeVito. This primer communication pattern consists of verbal communication and non-verbal communication. Verbal communication is used in lecture learning methods and non-verbal communication patterns are used as an introduction to the message that the teacher wants to convey. The pattern of non-verbal communication is more dominant as the teacher gives direct instructions / examples for autistic students such as applause. Autistic students understand messages that are delivered non-verbally.
Keywords: autism, communication pattern, learning process
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna jika
dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang lainnya karena manusia memiliki akal
dan hati. Namun, tidak semua manusia itu dilahirkan sempurna secara fisik
maupun mental, ada beberapa manusia yang terlahir berbeda dengan sesamanya
atau yang sering disebut dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). ABK yang
terlahir special ini memerlukan perlakuan yang special juga, baik dari orang tua
maupun orang sekitar. Autis merupakan salah satu jenis dari ABK.
Autis sendiri memiliki beberapa arti, seperti yang disampaikan oleh
(Geniofam, 2010: 29) bahwa secara neurologis, anak autis adalah anak yang
mengalami hambatan perkembangan otak terutama pada area bahasa, sosial, dan
fantasi. Hambatan perkembangan inilah yang menjadikan anak autis memiliki
perilaku yang berbeda dengan anak-anak biasanya.
Sedangkan Muhammad dalam bukunya Special Education For Special
Children mengatakan bahwa istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti
diri sendiri dan isme yang berarti paham. Ini berarti bahwa autisme memiliki
makna keadaan yang menyebabkan anak-anak hanya memiliki perhatian terhadap
dunianya sendiri. Autisme adalah kategori ketidakmampuan yang ditandai dengan
adanya gangguan dalam komunikasi, interaksi sosial, gangguan indrawi, pola
bermain dan peilaku emosi (Muhammad, 2008: 103).
Dua pengertian di atas menjelaskan bahwasannya autis merupakan kondisi
dimana seorang anak memiliki kesulitan dalam membentuk hubungan dengan
orang lain atau sulit melakukan interaksi sosial, asik dengan dirinya dan dunianya
sendiri serta sulit dalam melakukan sebuah komunikasi yang disebabkan oleh
perkembangan otak yang terhambat. Seperti halnya yang dikatakan oleh Wing dan
Gould yang dikutip dari skripsi Fitri Rahayu ada tiga jenis interaksi sosial yang
mencirikan anak autistic spectrum disorder yaitu ; Aloof (bersikap menjauh atau
menyendiri), Passive (bersikap pasif), Active and Odd (bersikap aktif tetapi aneh)
(Rahayu, 2014: 19).
Komunikasi dan interaksi sosial merupakan dua hal penting yang harus
ada disetiap kehidupan kita agar kita bisa bertahan hidup dan mampu menjalin
hubungan baik dengan orang lain. Maka ketika dua hal itu tidak bisa dilakukan
oleh anak autis, maka masalah akan muncul, seperti masalah komunikasi yaitu
kegagalan dalam berkomunikasi.
Di sekolah, guru yang harusnya berperan dalam membantu anak autis
untuk bisa berkomunikasi serta memahami maksud si anak autis itu sendiri.
Proses komunikasi interpersonal dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran
seorang guru harus memiliki sejumlah keterampilan dalam berkomunikasi, baik
dalam bentuk verbal maupun non verbal agar sesuatu pesan yang disampaikan
dapat dipahami atau dimengerti dan direspon dengan baik oleh peserta didik
(Zulfikri dan Martunis, 2017: 3).
Kekurangan anak autis dalam hal berkomunikasi dan berinteraksi
mengharuskan orang-orang di sekitarnya mampu untuk menyesuaikan diri.
Penyesuaian diri tersebut dilakukan dengan berbagai cara baik komunikasi verbal
maupun non verbal. Penyesuaian diri juga dilakukan oleh guru pengajar anak autis
di SLB, agar anak autis tersebut mampu untuk menerima materi yang
disampaikan.
Namun sayangnya tidak semua guru di sekolah memiliki keahlian dalam
menangani peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus seperti anak autis.
Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Martunis Yahya dan Zulfikri, bahwa
ada beberapa hambatan pengajar dalam berkomunikasi dengan siswa autis di
YPAC Ingin Jaya Aceh Besar, yaitu belum idealnya jumlah pengajar anak autis
pada sekolah dimaksud, guru autis yang tidak mencukupi kebutuhan, guru yang
mengajar tidak sesuai dengan bidangnya, rendahnya dukungan keluarga dalam
mempririotaskan kebutuhan anak, rendahnya keinginan anak autis untuk
bersekolah setiap minggunya, rendahnya kesepahaman dalam memahami
pendidikan anak autis oleh stakeholder (Zulfikri dan Martunis, 2017: 8).
Pola komunikasi satu arah antara guru dan siswa autis ini mengakibatkan
kurang maksimalnya materi pelajaran yang diterima oleh siswa, apalagi jika guru
tersebut termasuk guru yang kurang memiliki kompetensi yang baik. Pola
komunikasi bisa terbentuk dari proses komunikasi yang dilakukan berulang-ulang
oleh guru kepada siswa. Berarti pola komunikasi ini juga bervariasi bentuknya
tergantung siapa komunikan, komunikator dan lingkungan sekitarnya. Oleh sebab
itu peneliti ingin melakukan penelitian mengenai Studi Deskriptif Kualitatif
tentang Pola Komunikasi Guru dengan Anak Autis dalam Proses Belajar di
Sekolah Luar Biasa Anugerah Colomadu, Karanganyar, agar bisa mengetahui
bagaimana pola komunikasinya. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi
bagi para pengajar di SLB pada khususnya dan dapat pula menjadi referensi cara
berkomunikasi dengan anak autis dengan baik bagi masyarakat pada umumnya.
Rumusan Masalah
Bagaimana pola komunikasi guru dengan siswa autis dalam proses belajar
mengajar di Sekolah Luar Biasa Anugerah Colomadu, Karanganyar?
Tinjauan Pustaka
1. Komunikasi
Komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari seorang komunikator
kepada komunikan dengan menggunakan media tertentu. Dalam penelitian ini
komunikatornya adalah guru sedangkan komunikannya adalah siswa, dimana
komunikasi yang dilakukan oleh guru disini berfungsi mendidik para siswa
agar mengerti setiap pesan yang disampaikan sehingga tercapailah tujuan dari
pembelajaran itu sendiri.
Pengertian komunikasi itu sendiri telah dijabarkan oleh beberapa ahli
seperti Harold Lasswell dalam (Mulyana, 2010: 69) yang menyebutkan bahwa
cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut. Who Says What in Which Channel To Whom
With What Effect.
2. Komunikasi Antarpribadi
Menurut Hafied Cangara dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi,
komunikasi antar pribadi yaitu kegiatan berkomunikasi yang dilakukan secara
langsung antar seseorang dengan orang lain atau secara tatap muka (face to
face). Misalnya percakapan secara tatap muka di antara dua orang (seperti guru
dengan murid saat berkonsultasi), surat menyurat pribadi dan percakapan lewat
telepon. Corak komunikasinya juga bersifat pribadi, dalam arti pesan atau
informasi yang disampaikan hanya diajukan untuk kepentingan pribadi para
pelaku komunikasi yang terlibat (Cangara, 2012: 29).
Menurut Widjaja, untuk mendapatkan pemahaman mengenai komunikasi
antarpribadi maka dapat dilihat dari tiga perspektif yang meliputi, pertama
perspektif komponensial yaitu melihat komunikasi antarpribadi dari
komponen-komponennya, artinya komununikasi antarpribadi diartikan sebagai
proses terjadinya pertukaran pesan (messages) dari seseorang (communicator)
kepada orang lain (communican) yang dilakukan secara langsung dan tatap
muka (face to face communication), untuk mendapatkan tujuan komunikasi
yang telah ditetapkan sebelumnya. Kedua perspektif pengembangan,yaitu
melihat komunikasi antarpribadi dari proses pengembangannya, artinya proses
komunikasi antarpribadi terus berlangsung antara dua orang yang
melakukakannya, dengan memperhatikan adanya perkembangan pada diri
seseorang yang menerima pesan, perubahan inilah yang disebut dengan
pengembangannya. Ketiga perspektif relasional, yaitu melihat komunikasi
antar pribadi dari hubungannya, artinya hubungan orang yang melakukan
proses komunikasi antarpribadi adalah hubungan personal yang dekat, dimana
dengan adanya kedekatan ini akan mempermudahkan bagi pelaku komunikasi
tersebut untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan pada diri seseorang
yang menerima pesan (Widjaja, 2002: 121).
Komunikasi antarpribadi pada penelitian ini terfokus pada komunikasi
antar pribadi yang disampaikan oleh Mulyana dan Widjaja, dimana komunikasi
atarpribadi merupakan komunikasi tatap muka seperti yang terjadi antara guru
dan siswa yang kemudian dapat dilihat dengan 3 perspektif yaitu perspektif
komponensial, perspektif pekembangan dan perkpektif relasional. Karena
proses komunikasi antarpribadi antara guru dan siswa di SLB Anugerah
memerlukan 3 perspektif tersebut untuk mengukur keberhasilan proses
belajarnya.
3. Pola Komunikasi
Pola komunikasi menurut Djamarah mengatakan bahwa pola komunikasi
dapat dipahami sebagai pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam
pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang
dimaksud dapat dipahami (Djamarah, 2010: 52).
Ada beberapa pola-pola komunikasi dikelas antara guru dan siswa yang
dapat berlangsung, yaitu:
a. Pola guru-siswa, komunikasi sebagai aksi yang hanya berlangsung satu
arah. siswa tidak berperan aktif dan guru yang berperan aktif.
Guru
Siswa Siswa Siswa
b. Pola guru-siswa-guru, ada feedback bagi guru. Komunikasi sebagai
interaksi kedua belah pihak. Guru dan siswa sama aktif.
Guru
Siswa Siswa Siswa
c. Pola guru-siswa-siswa-guru. Komunikasi multi arah dengan interaksi yang
optimal.
Guru
Siswa Siswa Siswa
d. Pola guru-siswa-siswa-guru, siswa-siswa. Komunikasi multi arah, kelas
lebih hidup. Semua terlibat dalam menciptakan suasana belajar yang
memotivasi.
Guru
Siswa Siswa
Siswa Siswa
e. Pola melingkar. Setiap siswa mendapat giliran untuk mengemukakan
pendapat, tidak diperkenankan mengemukakan pendapat 2 kali apabila
siswa lain belum mendapatkan giliran ( Djamarah, 2010: 54).
Guru
Siswa Siswa
Siswa Siswa
Siswa
4. Autis
Autisme adalah kategori ketidakmampuan yang ditandai dengan adanya
gangguan dalam komunikasi, interaksi sosial, gangguan indrawi, pola bermain
dan peilaku emosi (Muhammad, 2008: 103).
Menegaskan sebuah diagnosa bahwa seorang anak mengidap autisme, ada
beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Selama ini panduan yang dipakai oleh para
dokter, psikiater, psikolog biasanya merajuk pada ICD-10 (International
Classification of Diseases) 1993, atau yang mengunakan rumusan dalam DSM-IV
(Diagnostic Statistical Manual) 1994 yang disusun oleh kelompok Psikiatri
Amerika Serikat sebagai panduan untuk menegaskan diagnosa. Pada dasarnya
diagnosa autisme yang ditegakkan berdasarkan ICD-10 atau DSM- IV
menunjukan kriteria yang sama (Boham, 2013: 4) .
Beberapa kriteria tersebut seperti:
1. Aspek sosial
a. Tidak mampu menjalani interaksi sosial yang memadai, seperti kontak
mata sangat kurang hidup, ekspresi muka kurang hidup, ekspresi mata
kurang hidup, dan gerak-geriknya kurang tertuju.
b. Tidak dapat bermain dengan teman sebaya
2. Aspek Komunikasi
a. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang-ulang
b. Jika bicara, biasanya tidak dipakai untuk berkomunikasi
3. Aspek perilaku
a. Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak
adagunanya.
b. Seringkali sangat terpukau pada benda (Boham, 2013: 4).
Jadi, dari pengertian beberapa ahli diatas pengertian yang cocok untuk
penelitian kali ini autis adalah gangguan dialami oleh seseorang dimana
gangguan ini membuat orang kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan, berinteraksi, komunikasi dan juga tingkah lakunya yang berbeda
dari orang normal kebanyakan. Sedangkan untuk kriterianya yang sesuai adalah
kriteria yang disampaikan Paul dan juga Muhammad, kriteria terebut mencakup
aspek sosial, komunikasi, perilaku derta hubungan dengan orang lain.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.
Penelitian kualitatif yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada
kondisi objek alamiah (Kuswana, 2011: 278). Istilah penelitian kualitatif
memiliki pengertian sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Contohnya
dapat berupa penelitian tentang kehidupan. Riwayat dan perilaku seseorang, di
samping itu juga tentang peranan organisasi, pergerakan sosial, atau hubungan
timbal balik. (Strauss dan Corbin, 2009: 4).
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian pada penelitian kali ini adalah penelitian deskriptif yaitu
suatu metode untuk memecahkan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian
(seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Data yang dikumpulkan
adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan
oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan
berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang telah diteliti (Moeleong,
2007: 11).
b. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih pada penelitian ini adalah Sekolah Luar
Biasa (SLB) Anugerah Colomadu, Karanganyar. SLB tersebut dipilih karena
memiliki kelas perkembangan yaitu kelas yang berisi khusus anak-anak autis.
Seluruh SLB di Solo memang mempunyai kelas untuk anak autis, namun hanya
SLB Anugerah yang membebaskan biaya sekolah untuk semua siswanya.
c. Sumber Data
Pada penelitian kali ini menggunakan sumber data primer dan sekunder.
Sumber data primer nya adalah guru pengajar anak autis. Guru dipilih sebagai
salah satu informan karena guru ini merupakan informan inti dari penelitian ini,
guru tersebut dapat meberikan data mengenai bagaimana proses belajar mengajar
di kelas tersebut berjalan dan bagaimana pola komunikasi guru dan siswa autis
terbentuk di dalam kelas. Sedangkan sumber data sekundernya adalah sumber
data sekunder adalah literatur, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan
dengan penelitian yang dilakukan.
d. Teknik Pengambilan Sampel
Peneliti dalam melakukan riset ini menggunakan teknik purposive
sampling. Alasan menggunakan teknik purposive sampling karena tidak semua
sampel memiliki kriteria yang sesuai dengan fenomena yang diteliti.
e. Teknik Pengumpulan Data
Wawancara dan observasi merupakan teknik pengumpulan data yang
dipilih oleh peneliti. Teknik pengumpulan data wawancara mendalam dan
observasi digunakan peneliti karena dua teknik tersebut saling melengkapi untuk
mendapatkan data dalam permasalahan penelitian ini.
f. Teknik Analisis Data
Penelitian kali ini menggunakan referensi teknis analisis data model
Miles dan Huberman dalam (Sugiyono, 2013: 91-99) yaitu reduksi data, penyajian
data dan kesimpulan.
Hasil Penelitian
Penjelasan mengenai penggunaan pola komunikasi primer Devito dalam
proses belajar di kelas autis dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pola Komunikasi Primer dengan Lambang Verbal
1. Bahasa Lisan
Komunikasi verbal melalui bahasa lisan digunakan juga oleh guru
untuk melatih siswa autis dalam hal berbicara, karena ada beberapa siswa
seperti Cece, Willy, Rafa, Archi dan juga Gobin yang belum bisa
berbicara. Seperti jawaban dari Hana selaku guru ketika peneliti bertanya
mengenai komunikasi terbaik untuk berkomunikasi dengan siswa autis,
beliau menjawab
“Komuniskai terbaik itu ya pendekatan satu persatu. Satu satu didekatin, diajak ngomong kalau belum bisa ngomong ya diajarin minimal A I U E O” (Wawancara dengan Hana pada tanggal 8 Agustus 2018).Penggunaan komunikasi verbal melalui lisan selalu digunakan guru
dalam berkomunikasi dengan siswa autis di kelas perkembangan, baik
ketika menyampaikan pelajaran maupun belajar berkomunikasi dengan
satu per satu siswanya. Saat dilaksanakan observasi pada 8 Agustus 2018,
Hana selaku guru melatih Cece untuk belajar berbicara dengan vokal A, I,
U, E dan O. Guru mempraktekkan yang kemudian diikuti oleh Cece secara
perlahan, hal ini akan dilakukan setiap hari oleh guru kepada siswa autis
yang memang belum bisa berbicara.
Kegiatan lain yang peneliti temui di kelas ketika guru mengajar
adalah menggunakan komunikasi verbal lisan untuk bernyanyi. Setiap
memulai pelajaran guru mulai bernyanyi lagu Tanah Air dilanjutkan
dengan Mars SLB Anugerah setelah menyapa siswanya dan juga setelah
berdoa. Selain itu, sebelum pulang guru juga mengajak siswa autis untuk
bernyanyi lagu Gelang Sepatu Gelang atau Sayonara yang dilanjutkan
dengan berdoa bersama.
2. Bahasa Tulisan
Komunikasi verbal melalui tulisan digunakan oleh guru untuk
memberikan materi tentang bentuk bangun atau menggambar sesuatu,
bahasa tulisan tidak digunakan guru untuk menulis abjad ataupun kalimat
karena ke 13 siswa autis yang ada di kelas perkembangan belum bisa
membaca semuanya. Ketika proses belajar yang menggunakan media
pensis dan kertas tidak semua siswa auitis bisa menggunakannya dengan
benar, 6 dari 13 siswa autis masih belajar bagaimana cara menggunakan
pensil.
Hanya 5 dari 13 siswa autis yang bisa mengikuti setiap perintah
yang disampiakan oleh guru, ketika siswa diperintahkan untuk
menggambar lingkaran sesuai dengan contoh yang ada hanya 5 siswa autis
yang mendekati bisa menggambar lingkaran. Siswa autis yang belum bisa
atau sedang belajar untuk menggunakan pensil akan melakukan hal sesuai
dengan keinginannya seperti mencoret-coret atau mewarnai bukunya
dengan asal, bahkan ada siswa bernama Willy yang memakan pensil warna
yang berwarna merah, bagi dia pensil warna berwarna merah mirip dengan
makanan.
Jika digambarkan dalam bentuk pola, maka pola komunikasi
primer dengan lambang verbal menjadi seperti dibawah ini:
Guru berperan sebagai komunikator yang menyampaikan pesan kepada
komunikan yaitu siswa autis, namun dalam proses transmisi pesan tersebut
terdapat noise atau gangguan yang menyebabkan pesan tidak dapat diterima
Komunikator Noise Komunikan
Feedback
Pola Komunikasi Primer Lambang Verbal
secara maksimal oleh komunikan. Gangguan tersebut berasal dari
ketidakmampuan siswa autis untuk mengartikan setiap bahasa lisan maupun
tulisan yang disampaikan oleh guru. Feedback verbal melalui bahasa lisan hanya
diberikan oleh 1 siswa saja dari 13 siswa yang ada, yaitu siswa bernama Ica yang
bisa menjawab beberapa sapaan dan pertanyaan dari guru.
b. Pola Komunikasi Primer Lambang Non Verbal
Komunikasi non verbal sering digunakan oleh Hana karena siswa autis yang
sulit untuk menerima pesan dan memahami pesan yang telah disampaikan oleh
beliau. Siswa autis lebih bisa memahami setiap pesan yang disampiakn jika itu
menggunakan bendanya langsung atau langsung diberikan dengan contoh.
“Misalkan kita menggambar pepaya, pepaya digambar dengan menggunakan warna kuning katakanlah, diluarnya itu kebanyakan itu kuning, terus didalmnya itu merah, terus habis itu dimakan manis rasanya, jadi ada gambarnya biar ada gambaran. Oo pepaya itu kayak gitu, warnanya kayak gitu dalemnya kayak gitu, jadi diusahakan ada wujudnya ada pepayanya.” (Wawancara dengan Hana pada tanggal 8 Agustus 2018).Komunikasi non verbal juga digunakan oleh guru ketika memberikan
apresiasi pada siswa autis dengan mengajak semua untuk bertepuk tangan. “Ayo
tepuk tangan buat Ica”, siswa autis mengikuti gerakan tepuk tangan yang telah
dicontohkan oleh Hana. Ketika materi pengenalan anggota tubuh komunikasi non
verbal berperan dominan disini, guru memberi informasi tentang mana yang
dinamakan kepala, mata, hidung, bibir, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya.
Siswa autis biasanya menirukan setiap gerakan guru, walaupun gerakannya
lambat dan kadang tertinggal.
Ada 4 klasifikasi komunikasi non verbal yang akan dibahas pada penelitian
kali ini, yaitu kinesik, proksemik, artifaktual dan paralinguistik. Klasifikasi non
verbal dijabarkan sebagai berikut:
1. Kinesik
Kinesik merupakan bidang yang menelaah mengenai gerakan tubuh
yang berarti, komponen-komponen kinesik terbagi menjadi tiga yaitu pesan
fasial, pesan gestural dan pesan postural. Ketiga hal tersebut dapat dijabarkan
dalam uraian berikut ini
Pesan Fasial
Pesan ini menggunakan ekspresi wajah untuk menunjukkan makna
tertentu. Beberapa ekspresi wajah baik guru maupun siswa dapat terlihat
ketika peneliti melaksanakan penelitiannya selama tiga hari di kelas autis
SLB Anugerah. Ekspresi wajah datar dan diiringi dengan dahi yang berkerut
menandakan guru sedang marah atau kesal kepada siswanya. Hal ini terjadi
bila siswanya sudah mulai tidak bisa diatur, berlarian kesana kemari bahkan
sering juga mereka bertengkar satu sama lain. Diawal pelajaran guru selalu
memberikan ekspresi wajah yang ceria yaitu senyum lebar dan mata belia
yang berbinar menyapa siswa autis di kelas.
2. Pesan Gestural
Pesan gestural merupakan gerakan tubuh yang digunakan untuk
memberikan informasi dengan berbagai makna, pesan ini bisa disampaikan
oleh gerakan tangan, kaki, kepala dan lainnya yang dapat digunakan untuk
menyampaikan pesan. Tepuk tangan biasanya dilakukan guru yang kemudian
diikuti oleh siswa autis lainnya untuk memberikan apresiasi terhadap siswa
autis lain yang berani maju di depan kelas, tepuk tangan juga digunakan
untuk mengiringi ketika mereka sedang bernyanyi. Tepuk tangan menjadi
pesan sebuah penghargaan kepada teman dan juga bisa untuk menunjukkan
ekspresi kegembiraan.
3. Pesan Postural
Pesan ini berkaitan dengan seluruh anggota tubuh,seperti postur
seorang siswa ketika berhadapan dengan gurunya. Siswa autis jika
berhadapan dengan guru atau orang asing akan menundukkan kepalanya,
siswa autis tidak berani untuk melihat langsung atau berhadap-hadapan. Ada
siswa yang bernama Ni’mah ketika dia bertemu dengan orang siapapu itu, dia
akan menutup wajahnya dengan tangan tau dengan baju yang sedang dia
pakai, hal ini menunjukkan bahwa Ni’mah memang kurang bisa
berkomunikasi dengan orang lain dan kurang bisa berinteraksi dengan prang
lain.
4. Proksemik
Pesan ini disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Kelas autis
atau kelas perkembangan di SLB Anugerah ini memiliki ruang kelas yang
cukup kecil yaitu 3x2 meter, dimana ada dua kelas yang dihubungkan dengan
pintu yang tidak dipasang pintunya. Jadi dua kelas ini digabung menjadi satu
dengan satu guru yaitu Hana. Jika menyampaikan materi, guru akan berdiri di
pintu yang menyambungkan dua kelas tersebut. Guru akan berkeliling satu
persatu ke kursi siswa autis jika guru ingin memberikan pengertian lebih
dalam lagi atau melakukan komunikasi interpersonal.
5. Artifaktual
Pesan ini disampaikan melalui body image, pakaian, kosmetik, dan lain-
lain. Pada umumnya pakaian yang digunakan untuk menyampaikan identitas
diri kita, menunjukkan bagaimana perilaku kita kepada orang lain dan
bagaimana orang lain sepatutnya memperlakukan kita. Guru menggunakan
pakaian formal seperti kemeja, batik, blazer dan juga baju olahraga pada hari
Jumat. Siswa menggunakan seragam yang sudah disediakan oleh sekolah,
namun ada beberapa siswa yang memang belum memiliki baju seragam.
Tidak 6. Paralinguistik
Guru akan menaikkan volume bicaranya di depan kelas jika siswa sudah
mulai tidak konsentrasi atau sudah mulai berisik. Guru menaikkan nada dan
volumenya diiringi dengan memanggil nama siswa nya satu per satu agar
mereka perhatian lagi terhadap guru. Begitupun juga siswa autis, dia akan
bertieriak secara tiba-tiba ketika merasa tidak nyaman dengan lingkungannya
atau sedang marah. Teriakan siswa ini diikuti dengan gerakan tangan, kaki
dan seluruh anggota tubuhnya yang menunjukkan bahawa dia sedang
berontak atau dia sedang tantrum (ledakan emosi).
Pola komunikasi primer lambang nonverbal jika digambarkan dalam
bentuk pola akan jadi seperti dibawah ini:
Komunikator Media Nois
e
Komunikan
Feedback
Pola Komunikasi Primer Lambang Non Verbal
c. Pola Komunikasi Gabungan Verbal+Non Verbal
Pola komunikasi yang terjadi antara guru dengan siswa autis dalam proses
belajar mengajar merupakan pola komunikasi gabungan antara verbal dan
nonverbal. Dua pola komunikasi tersebut berjalan beriringan dengan pola
komunikasi non verbal lebih dominan. Pertama, pola komunikasi verbal
digunakan guru untuk menjelaskan dengan menggunakan bahasa lisan dan tulisan
kepada seluruh siswa autis di depan kelas yang kemudian dilengkapi dengan pola
komunikasi non verbal dengan contoh seperti memberikan mainan pesawat yang
kemudian guru menjelaskan dengan menunjukkan bagian-bagian dari pesawat
tersebut. Contoh lain adalah ketika guru menggunakan pola komunikasi verbal
memerintah siswa autis untuk bertepuk tangan, maka setelahnya guru akan
memberikan contoh bagaimana tepuk tangan itu.
Pola komuniaksi verbal dan non verbal saling melengkapi, karena siswa
autis tidak akan paham jika dijelaskan dengan bahasa lisan dan tulisan. Pola
komunikasi verbal lebih dominan pada penemuan kali ini, karena siswa autis akan
lebih paham jika apa yang dikatakan oleh guru itu dibahasan dengan pesan facial,
pesan gestural, pesan postural serta klasifikasi komunikasi non verbal lainnya.
Siswa autis lebih memahami apa yang dia lihat daripada apa yang dia dengar
karena perbendaharaan kata siswa autis yang cenderung sedikit.
Pola komunikasi gabungan verbal dan non verbal jika digambarkan dalam
bentuk pola akan jadi seperti dibawah ini:
d. Pola Komunikasi Final
Pola komunikasi antara guru dengan siswa autis dalam proses belajar
mengajar di SLB Anugerah Colomadu adalah pola komunikasi gabungan antara
pola komunikasi verbal dan pola komunikasi non verbal. Pada praktiknya pola
KomunikatorKomunikasi
Verbal
Komunikasi Non Verbal
KomunikanNoise
Noise
Feedback
komunikasi non verbal lebih dominan dalam penemuan ini daripada pola
komunikasi verbalnya. Hal ini disebabkan oleh siswa autis yang kurang bisa
memahami bahasa yang disampaikan oleh guru, karena autis sendiri memiliki
hambatan dalam komunikasi. Pola komunikasi non verbal ada untuk memperjelas
apa yang telah disampaikan guru dalam pola komunikasi verbal, dalam
keberjalanannya dua pola ini berjalan beriringan.
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Pola komunikasi yang terjadi antara guru dengan siswa autis di SLB
Anugerah tidaklah sama dengan kelima pola komunikasi yang disampaikan
oleh Djamarah. Tidak satupun dari kelima pola komunikasi Djamarah yang
menjadi referensi penulis diawal bisa dimasukkan dalam pola komunikasi
guru dengan anak autis di SLB Anugerah Colomadu, Karanganyar.
2. Pola komunikasi guru dengan siswa autis dalam proses belajar di SLB
Anugerah Colomadu merupakan pola komunikasi verbal dan non verbal. Pola
komunikasi verbal dan non verbal digunakan guru secara bergantian dengan
pola komunikasi non verbal yang lebih dominan.
3. Pola komunikasi non verbal lebih dominan daripada pola komunikasi verbal
karena anak autis lebih memahami apa yang dimaksud oleh guru jika
dikomunikasikan dengan bahasa tubuh yang disertai dengan contoh langsung.
Pola verbal digunakan sebagai pengantar pesan seperti ketika guru
memberikan tugas “Hari ini kita bermain ya” kemudian dilanjutkan dengan
pola non verbal yaitu guru akan mengambil mainan kemudian menunjukkan
kepada anak autis bahwa ini maianan, pelajaran hari ini bermain di depan
kelas sambil guru menunjuk tempat bermain atau menarik anak ke depan
kelas.
Daftar Pustaka
Boham ,Sicillya E. (2013). Pola Komunikasi Orang Tua Dengan Anak Autis (Studi Pada Orang Tua Dari Anak Autis di Sekolah Luar Biasa Agca Center Pumorow Kelurahan Banjer Manado . Jurnal Komunikasi. Volume Ii. No. 4. Hal 4.
Cangara, Hafied. (2012). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Djamarah, Syaiful Bahri. (2010). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Geniofam, (2010). Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogtakarta: Gerai Ilmu.
Kuswana, Dadang. (2011). Metode Penelitian Sosial. Bandung: CV Pustaka Setia. Moeleong, Lexy J. (2007). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.Muhammad, Jamila. (2008). Special Education For Special Children ( Panduan
Pendidikan Khusus Anak-anak Dengan Ketunaan dan Learning Disabilites). Jakarta: Hikmah (PT. Mizan Publika).
Mulyana, Deddy. (2010). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Rahayu,Fitri. (2014). Kemampuan Komunikasi Anak Autis Dalam Interaksi Sosial (Kasus Anak Autis di Sekolah Inklusi, SD Negeri Giwangan Kotamadya Yogyakarta). Yogyakarta.
Strauss, Anselm dan Corbin, Juliet. (2009). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.Widjaja, A.W. (2002). Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta : PT.
Bumi Aksara.Yahya, Martinus dan Zulfikri. (2017). Komunikasi Interpersonal pengajar dengan
anak penyandang autisme (studi kasus pada yayasan pembinaan anak cacat (YPAC) Aceh Desa Santan Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar). Jurnal Ilmiah. Vol 2. No 4. Hal 34.