Upload
wira-adi
View
37
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
Dampak Peralihan Fungsi Lahan terhadap Banjir di Kelurahan Panjer Kota Denpasar
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sejak manusia pertama kali menempati bumi, lahan sudah menjadi salah satu unsur
utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan. Konkritnya, lahan difungsikan sebagai
tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Aktivitas yang pertama kali
dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam (pertanian). Seiring pertumbuhan
populasi dan perkembangan peradaban manusia, penguasaan dan penggunaan lahan mulai
terusik. Keterusikan ini akhirnya menimbulkan kompleksitas permasalahan akibat
pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika
pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian),
berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan.
Penduduk adalah salah satu komponen yang mempengaruhi perkembangan suatu
kota. Namun yang kemudian menjadi masalah adalah pengendalian pertumbuhan dan
perkembangan kota itu yang harus diseimbangkan dengan daya dukung lingkungan. Banyak
kota yang berkembang secara tidak terkendali, sehingga menyebabkan degradasi lingkungan.
Di antaranya penyebab erosi lingkungan adalah terjadinya invansi penggunaan tanah untuk
pembangunan kawasan baru dan peningkatan infrastruktur pada wilayah-wilayah yang
semestinya menjadi daerah preservasi alami untuk melestarikan sumberdaya air permukaan,
air tanah, dan tanah. Perkembangan dan kemajuan kota diakibatkan oleh pertumbuhan
penduduk dan sebagai konsekuensinya perkembangan kegiatan ekonomi maupun sosial dari
peningkatan penduduk. Beberapa hal yang menjadi daya pikat kota itu sendiri maupun di
wilayah sekitarnya yaitu ketika daya dukung kota melampaui batas. Maka timbul berbagai
macam permasalahan, di antaranya meningkatnya kebutuhan akan fasilitas infrastruktur.
Akibatnya perubahan tata guna lahan berdampak negatif kepada kota sendiri terutama
menurunnya tingkat kenyamanan akibat dari terbatasnya areal lahan terbuka yang ada. Secara
lebih khususnya perubahan tersebut berdampak kepada banjir dan genangan yang cenderung
meningkat dari waktu ke waktu.
Aktivitas perubahan tata guna lahan yang dilakukan di daerah hulu daerah aliran
sungai (DAS) tidak hanya memberikan dampak di daerah di mana kegiatan tersebut
berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk
perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air
lainnya (Asdak, 1995). Banyaknya peralihan fungsi penggunaan lahan terbuka (hutan,
pertanian, padang rumput, dan lain-lain.) menjadi lokasi dan/atau peruntukan lainnya yang
bersifat pemadatan tanah telah memberikan dampak lingkungan di daerah hilir, misalnya:
banjir pada musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau.
Peningkatan jumlah penduduk memberikan konsekuensi pula terhadap terjadinya
kompetisi dalam pemanfaatan tata guna lahan pada suatu DAS, mengandung arti bahwa
penduduk semakin banyak melakukan penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk berbagai
pemanfaatan dan aktivitas serta melakukan konversi atau perubahan vegetasi. Menurut
Soemarwoto (1978), menurun dan merosotnya kondisi suatu DAS pada umumnya disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain: adanya tekanan penduduk, tekanan pembangunan, dan
tekanan sosial ekonomi masyarakat dalam kawasan daerah aliran sungai (DAS).
Pemanfaatan tataguna lahan yang tidak memperhatikan daya dukungnya, budidaya
pertanian yang tidak memperdulikan azas konservasi tanah serta penggunaan lahan yang
tidak sesuai dengan fungsinya dapat menurunkan mutu tanah, degradasi lingkungan di
wilayah aliran sungai, terganggunya tatanan air, terutama ketersediaan air dalam kualitas dan
kuantitasnya.
Urbanisasi yang terjadi hampir di seluruh kota besar di Indonesia akhir-akhir ini
menambah beban daerah perkotaan menjadi lebih berat. Kebutuhan akan lahan, baik untuk
pemukiman maupun kegiatan perekonomian meningkat, sehingga lahan yang berfungsi
sebagai retensi dan resapan menurun, akibatnya aliran permukaan bertambah besar. Kapasitas
saluran drainase yang sudah ada menjadi tidak mampu menampung debit yang terjadi, air
melimpah, dan terjadilah genangan banjir. Genangan banjir tidak hanya menyebabkan
kerugian langsung pada penduduk dan aset-asetnya, tetapi juga menyebabkan kerugian tidak
langsung berupa penundaan aktivitas sehari-hari. Genangan banjir juga menyebabkan
lingkungan menjadi kotor, tidak sehat, dan mengganggu estetika.
Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam
suatu DAS dapat memperbesar atau memperkecil hasil air (water yield). Pada batas-batas
tertentu, kegiatan tersebut dapat mempengaruhi kualitas air, terjadinya perubahan tataguna
lahan dan jenis vegetasi dalam skala besar dan bersifat permanen dapat mempengaruhi besar
kecilnya hasil air. Kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang kontras tentang
perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi,
khususnya curah hujan.
Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat ditambah dengan urbanisasi menyebabkan
wilayah pemukinan semakin meningkat sehingga menambah kerapatan bangunan. Kerapatan
bangunan ini menuntut perubahan dan pembaruan sistem drainase perkotaan, serta akan
memperbesar wilayah kedap air yang secara langsung meningkatkan volume aliran air
permukaan (surface run-off). Dengan kata lain bagian air yang diserap atau terinfiltrasi
semakin kecil. Pengaruh meningkatnya volume aliran permukaan (surface run-off)
menyebabkan debit air semakin tinggi yang secara tidak langsung akan menimbulkan
permasalahn banjir di perkotaan.
Bledsoe (1999) dalam desertasinya tentang sungai terhadap urbanisasi antara lain
menyimpulkan bahwa keseimbangan sungai mulai terganggu jika perubahan fungsi kawasan
bagian hulu (dari hutan menjadi ) telah melebihi 15% dari luas daerah pengaliran sungainya.
Dengan kata lain suatu daerah yang masih asli, masih mungkin dapat beralih fungsi tanpa
harus merubah keadaan alam sungai yang bersangkutan.
Akibat perkembangan penduduk yang pesat dan tingkat urbanisasi ke kota cukup
tinggi, hal ini berpengaruh terhadap kebutuhan akan lahan kawasan perkotaan dan
dikarenakan dengan meningkatnya permintaan akan lahan, masyarakat pendatang tidak
mampu untuk memiliki lahan yang legal. Dengan banyaknya konversi lahan di perkotaan
maka sekarang ini banyak sekali lahan-lahan yang seharusnya menjadi penopang dan
penyerapan air hujan di kawasan terbuka hijau Kota Denpasar berubah menjadi kawasan
terbangun dan menjadi kawasan yang dipenuhi dengan berbagai aktivitas. Keadaan ini dapat
diperhatikan dengan jelas, salah satunya di Kelurahan Panjer. Hal tersebut seolah-olah
menjadi hal yang biasa dan tidak dipikirkan dampak yang akan diperoleh yaitu banjir.
Padahal akhir-akhir ini akibat perubahan lingkungan yang cukup tinggi, Kota Denpasar serta
Kelurahan Panjer yang terletak di Kecamatan Denpasar Selatan ini menjadi sering dilanda
banjir.
1.2 Rumusan Masalah
Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Kota Denpasar, khususnya Kelurahan
Panjer, baik yang disebabkan urbanisasi, migrasi, maupun pertambahan jumlah penduduk
berdampak langsung terhadap peningkatan kebutuhan lahan. Bertambahnya luas daerah
terbangun mengakibatkan daya dukung daerah resapan berkurang yang selanjutnya akan
meningkatkan pengaliran. Peningkatan pengaliran mengakibatkan peningkatan pada kapasitas
pengaliran yang terjadi sehingga mengakibatkan terjadinya genangan atau banjir.
Sebagai kota yang berwawasan budaya sangatlah diperlukan lingkungan yang bersih,
nyaman, dan indah. Permasalahan drainase yang menyebabkan genangan banjir tidak hanya
menyebabkan kerugian langsung pada penduduk dan aset-asetnya, tetapi juga menyebabkan
kerugian tidak langsung berupa penundaan kegiatan sehari-hari. Genangan banjir juga
menyebabkan lingkungan menjadi kotor, tidak sehat dan mengganggu estetika.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dampak peralihan fungsi lahan terhadap banjir di Kota Denpasar pada umumnya
dan di Kelurahan Panjer pada khususnya?
2. Apa saja langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah Kota Denpasar untuk
mengendalikan peralihan fungsi lahan di Kota Denpasar umumnya dan Kelurahan Panjer
khususnya?
1.3 Tujuan
Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana diuraikan diatas,
maka pembuatan makalah ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari peralihan fungsi lahan
terhadap banjir di Kota Denpasar pada umumnya dan di Kelurahan Panjer pada khususnya.
b. Untuk mengetahui besarnya perubahan luasan lahan terbangun yang terjadi di Kota Denpasar
pada umumnya dan di Kelurahan Panjer pada khususnya.
BAB II
METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data dalam makalah ini dilakukan dengan 4 metode, yaitu
metode kajian pustaka, metode wawancara, dan metode observasi.
2.1 Metode Kajian Pustaka
Metode kajian pustaka dilakukan dengan mengumpulkan data dari sejumlah pustaka yang
memiliki kaitan erat dengan judul yang diambil, yaitu Dampak Peralihan Fungsi Lahan
terhadap Banjir di Kelurahan Panjer Kota Denpasar. Selain itu, pustaka online juga
dijadikan media untuk mengumpulkan informasi terkait kepentingan makalah ini.
2.2 Metode Wawancara
Metode wawancara dilakukan dengan mengumpulkan beberapa data dari narasumber yang
memiliki kaitan erat dengan judul yang diambil. Wawancara dilakukan dengan 2 orang
narasumber, yaitu petugas di lingkungan Kantor Lurah Panjer, Denpasar serta Pekaseh
Kelurahan Panjer, Denpasar.
2.3 Metode Observasi
Metode observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan di sejumlah tempat di kawasan
kelurahan Panjer, Denpasar.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Kelurahan Panjer
Kelurahan Panjer adalah salah satu kelurahan di Kota Denpasar yang terletak di
Kecamatan Denpasar Selatan. Kelurahan ini memiliki luas 314, 16 ha dan menaungi 9 banjar,
yaitu Banjar Bekul, Banjar Kertasari, Banjar Antap, Banjar Kangin, Banjar Kaja, Banjar
Sasih, Banjar Tegal Sari, Banjar Celuk, dan Banjar Manik Saga.
Batas-batas Kelurahan Panjer yaitu, sebelah utara Desa Dangin Puri Kelod dan Desa
Sumerta Kelod, sebelah timur Kelurahan Renon, sebelah selatan Desa Sidakarya, dan sebelah
barat Kelurahan Sesetan.
Kelurahan Panjer dilewati oleh 3 sungai, yaitu Tukad Punggawa, Tukad Rangda, dan
sungai yang alirannya di sekitar Jalan Tukad Pakerisan. Tukad Punggawa mengalir di
kawasan Banjar Kangin, sementara Tukad Rangda mengalir di kawasan Banjar Celuk. Aliran
air Tukad Punggawa ditampung di Bendungan Sebun dan Bendungan Pandian, sementara
aliran air sungai di sekitar Jalan Tukad Pakerisan ditampung di Bendungan Bekul. Ketiga
bendungan dibangun kurang lebih 40 tahun yang lalu dan masih berfungsi sampai sekarang.
Jumlah penduduk Kelurahan Panjer pada akhir tahun 2006 tercatat sebanyak 17.037
jiwa, pada akhir tahun 2007 tercatat 17.172 jiwa, pada akhir tahun 2008 tercatat 17.292 jiwa,
dan data terakhir pada akhir 2009 jumlah penduduknya adalah 17.368 jiwa. Data
kependudukan dari masing-masing tahun yang telah disebutkan dapat dilihat pada lampiran.
Menurut data yang penulis peroleh dari narasumber, perbandingan penduduk asli dan
pendatang Kelurahan Panjer tahun 2010 adalah 65% : 35%.
Luas lahan pertanian di Kelurahan Panjer pada tahun 2010 yang masih dapat ditanami
adalah seluas 35 ha dari 314,16 ha luas keseluruhan Kelurahan Panjer dan sisanya merupakan
lahan yang sudah dibangun menjadi perumahan. Produksi padi di lahan pertanian Kelurahan
Panjer pada tahun 2010 adalah 9-11 ton per ha tiap 6 bulan. Hasil panen umumnya langsung
dijual karena ketidakadaan fasilitas penggiling padi di kawasan Kelurahan Panjer untuk saat
ini.
Sistem drainase di kawasan Kelurahan Panjer kondisinya dapat dijelaskan berupa got-
got dangkal dengan trotoar sebagai penutupnya. Kondisi ini dapat dengan jelas diperhatikan
di sepanjang Jalan Waturenggong, Jalan Tukad Jogading, dan Jalan Tukad Pakerisan (sisi
barat). Sementara untuk di kawasan Jalan Tukad Batanghari sistem drainase belum dapat
dikatakan layak, maka dari itu kawasan ini menjadi langganan banjir tiap musim hujan.
Sampah yang dihasilkan di Kelurahan Panjer per hari rata-rata 4 truk mobil Dinas
Pekerjaan Umum (DKP) Kota Denpasar. Sampah dikumpulkan sementara di tempat
penampungan sampah sementara yang terletak di samping belakang Setra Banjar Kangin.
Kondisi sampah di tempat penampungan sampah sementara ini tercampur aduk, baik sampah
organik maupun nonorganik.
3.2 Gambaran Penggunaan Lahan Sawah di Kota Denpasar pada Umumnya dan Kelurahan
Panjer pada Khususnya
Penggunaan lahan Kota Denpasar didominasi oleh pemukiman. Dari 12.778 ha luas
lahan Kota Denpasar, penggunaan lahan untuk pemukiman adalah 7.831 atau 61,29%. Diikuti
oleh sawah dengan luas 2.717 ha (21,26%), hutan negara seluas 538 ha (4,21%), tegalan 396
ha (3,10%), hutan rakyat 75 ha (0,59%), perkebunan 35 ha (0,27%), tambak dan kolam 10 ha
(0,08%) dan sisanya seluas 1.176 ha (9,20%) termasuk penggunaan lainnya seperti rumput,
pasir, rawa, dan tanah kosong. Hampir semua jenis penggunaan lahan tersebar di masing-
masing kecamatan, kecuali hutan negara hanya ditemukan di Kecamatan Denpasar Selatan,
sedangkan perkebunan hanya ditemukan di Kecamatan Denpasar Timur dan Denpasar
Selatan. Sementara tegalan, hutan rakyat, dan tambak/kolam tidak terdapat di Kecamatan
Denpasar Barat.
Pemukiman yang merupakan penggunaan lahan terluas di Kota Denpasar terdistribusi
paling luas di Kecamatan Denpasar Selatan seluas 2.591 ha atau 33,08% dari luas seluruh
pemukiman di Kota Denpasar atau 20,28% dari luas total Kota Denpasar, kemudian diikuti
oleh Kecamatan Denpasar Utara 2.189 ha (27,95% dari luas pemukiman yang ada atau
17,13% dari luas Kota Denpasar), Kecamatan Denpasar Barat 1.834 (23,42% dari total luas
pemukiman atau 14, 35% dari luas Kota Denpasar), dan luasan pemukiman terkecil terdapat
di Kecamatan Denpasar Timur seluas 1.217 ha (15,54% dari luas pemukiman atau 9,53% dari
luas Kota Denpasar).
Sawah merupakan penggunaan lahan terluas kedua setelah pemukiman. Denpasar
Selatan merupakan kecamatan dengan luas sawah terbesar, yaitu 935 ha (34,41% dari luas
keseluruhan sawah di Kota Denpasar). Kemudian diikuti oleh Kecamatan Denpasar Utara
seluas 772 ha (28,41%), Kecamatan Denpasar Timur 726 ha (26,72%), dan Kecamatan
Denpasar Barat 284 ha (10,45%).
Penggunaan lahan tegalan tersebar di 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar
Selatan seluas 183 (46,21%), Kecamatan Denpasar Timur 144 ha (36,36%), dan Kecamatan
Denpasar Utara seluas 69 ha (17,42%). Hutan rakyat terdistribusi di 3 Kecamatan, masing-
masing Kecamatan Denpasar Selatan 53 ha (70,67%), Kecamatan Denpasar Timur 15 ha
(20,00%), dan Kecamatan Denpasar Utara 7 ha (9,33%). Tambak dan Kolam juga terdapat di
3 kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Selatan 6 ha (60,00%), Kecamatan Denpasar Utara
2 ha (20,00%), dan Kecamatan Denpasar Timur 2 ha (20,00%).
Perkebunan hanya terdapat di 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Selatan 21,00
ha (60,00%) dan Kecamatan Denpasar Timur 14 ha (40,00%). Sementara hutan negara
(Tahura) hanya terdapat di Kecamatan Denpasar Selatan seluas 538,00 ha. Penggunaan lahan
lain termasuk di antaranya rumput, pasir, rawa, dan tanah kosong terdapat di semua
kecamatan. Di Kecamatan Denpasar Selatan terdapat 762 ha (57,19%), Kecamatan Denpasar
Barat 288 ha (24,51%), Kecamatan Denpasar Timur 112 ha (9,53%), dan Kecamatn Denpasar
Utara 103 ha (8,77%).
Dari data yang penulis peroleh dari wawancara dengan Pekaseh Kelurahan Panjer,
pada tahun 1980, dari total luas lahan Panjer, 272 Ha merupakan lahan sawah . Seiring
dengan banyaknya pendatang yang menetap di kawasan ini, pembangunan mulai dilakukan
sekitar tahun 1981. Dan puncak dari pembangunan itu sendiri adalah pada tahun 1992. Dari
pihak pemerintah Kota Denpasar sendiri untuk tahun 2010 ironisnya telah memberikan izin
penuh untuk melakukan pembangunan total di kelurahan Panjer yang saat ini tercatat masih
memiliki 35 Ha lahan sawah irigasi. Dan menurut estimasi pekaseh Kelurahan Panjer, 5
tahun lagi keberadaan lahan sawah irigasi di Panjer akan habis.
Dari data yang penulis peroleh dari Kantor Lurah Panjer, pada tahun 2008
pembangunan Kelurahan Panjer didominasi oleh pendirian warung atau toko dengan jumlah
204 toko. Selanjutnya disusul dengan pendirian biro jasa sejumlah 34 kantor. Pendirian
bengkel dan koperasi masing-masing menduduki peringkat ketiga dan keempat yaitu
sejumlah 24 bengkel dan 17 koperasi.
3.3 Perubahan Penggunaan Lahan di Kota Denpasar
Dari 8 jenis penggunaan lahan yang ada di Kota Denpasar, penggunaan lahan sawah
dan pemukiman merupakan 2 penggunaan lahan yang selalu mengalami perubahan setiap
tahun. Sementara penggunaan lahan yang lain tidak selalu mengalami perubahan dan
perubahan yang terjadi pun tidak terlalu signifikan.
Penggunaan lahan sawah dari tahun ke tahun mengalami pengurangan, sedangkan
pemukiman terus mengalami peningkatan. Perubahan luasan sawah dan pemukiman dari
tahun 2001 sampai tahun 2007 selalu mengalami fluktuasi. Penurunan jumlah sawah dan
peningkatan jumlah pemukiman paling drastis terjadi dari tahun peralihan tahun 2001 dan
2002. Pada kisaran waktu tersebut terjadi penurunan luas sawah sebesar 149 ha atau 4,92%.
Sementara luas pemukiman meningkat sebesar 293 ha atau 3,98%. Perubahan luas sawah dan
pemukiman yang cukup signifikan juga terjadi pada kisaran tahun 2005 dan 2006. Luas
sawah pada selang waktu tersebut mengalami penurunan sebanyak 51 ha (1,84%), sedangkan
pemukiman bertambah sebesar 117 ha (1,52%). Sementara pada selang waktu 2002/2003,
2003/2004, 2004/2005, dan 2006/2007, penurunan luas sawah per tahun masing-masing 26
ha (0,90%), 42 ha (1,47%), 46 ha (1,63%), dan 10 ha (0,37%), sedangkan peningkatan luas
pemukiman per tahun pada kurun waktu yang sama berturut-turut 17 ha (0,22%), 11 ha
(0,14%), 35 ha (0,46%), dan 16 ha (0,20%).
Pesatnya pembangunan di berbagai bidang dan semakin bertambahnya jumlah
penduduk Kota Denpasar dari tahun ke tahun menyebabkan semakin banyaknya kebutuhan
lahan baik untuk kebutuhan pembangunan di berbagai sektor maupun untuk tempat tinggal.
Oleh karena itu, terjadi perebutan penggunaan lahan terutama di sekotor pertanian dan non
pertanian. Atas dasar pertimbangan ekonomi atau finansial, banyak lahan-lahan pertanian
dikonversi menjadi penggunaan non pertanian (pemukiman, perkantoran, dan sarana lainnya).
Penurunan luas lahan pertanian khususnya sawah menjadi penggunaan non pertanian
seperti pemukiman tentu akan menimbulkan berbagai konsekuensi ekologis, di antaranya
menurunkan ruang terbuka hijau dan berkurangnya daerah resapan air hujan.
Dampak dari penuruna ruang terbuka hijau adalah meningkatnya kadar CO2 di udara
sehingga temperatur udara di Kota Denpasar menjadi semakin panas. Sementara
berkurangnya daerah resapan akan berakibat terjadinya banjir karena sebagian besar air hujan
akan mengalami run-off dibandingkan dengan yang terinfiltrasi ke dalam tanah.
Berkurangnya potensi air tanah juga merupakan konsekuensi dari berkurangnya daerah
resapan air hujan.
Pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun di satu sisi memerlukan
ketersediaan sumber daya lahan yang semakin banyak. Sementara di sisi lain, pertambahan
jumlah penduduk sendiri akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya lahan tersebut
serta berbagai konsekuensi yang ditimbulkan. Hal ini dapat menimbulkan krisis ekologis
apabila tidak ditangani secara serius, sistematis, dan berkesinambungan.
Dalam hubungannya dengan pemanfaatan dan konservasi lahan terutama lahan
pertanian ke non pertanian khususnya pemukiman, respon Pemerintah Kota Denpasar yang
telah diambil adalah menutup izin pembangunan perumahan. Mempercepat perizinan dalam
pembuatan bangunan dengan melengkapi IMB (Izin Mendirikan Bangunan) sehingga ekses
yang ditimbulkan dari perubahan fungsi lahan tersebut dapat ditangani dengan baik.
3.4 Faktor-faktor Penyebab Perubahan Penggunaan Lahan Sawah di Kelurahan Panjer
Terjadinya perubahan penggunaan lahan secara umum dapat disebabkan karena
adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan
karena mekanisme pasar. Pada masa lampau yang terjadi adalah lebih banyak karena dua hal
yang terakhir, karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai
tata ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan. Sejalan dengan
kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui
kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam
penyediaan tanahnya, maka perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke nonpertanian
terjadi secara meluas.
Secara khusus, lahan yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal
tersebut telah dirasakan oleh Kelurahan Panjer, yang terletak di wilayah selatan Kota
Denpasar. Beberapa faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan sawah Kelurahan
Panjer antara lain:
1. Ketersediaan agroekosistem dominan sawah
Kepadatan penduduk di Kelurahan Panjer pada tahun 1980-an yang mempunyai
agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem
lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi seiring dengan
perkembangan zaman yang menuntut perkembangan bidang infrastruktur.
2. Daerah pesawahan Panjer yang lokasinya berada di daerah perkotaan
Seperti yang kita ketahui bersama, Kelurahan Panjer adalah salah satu Kelurahan yang
terletak di Kota Denpasar, tepatnya di Kecamatan Denpasar Selatan. Seiring dengan
perkembangan Kota Denpasar, Kelurahan Panjer yang termasuk salah satu bagian
wilayahnya pun mendapatkan imbasnya. Maka terjadilah peralihan lahan sawah menjadi
lahan non sawah secara besar-besaran di kawasan ini yang tercatat dimulai pada tahun
1990an.
3. Kelurahan Panjer yang terletak di daerah bertopografi datar
Pembangunan prasarana dan sarana , kawasan industri, dan sebagainya cenderung
berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi
seperti itu ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan. Jika ditinjau dari topografi,
keadaan medan Kota Denpasar secara umum miring ke arah selatan dengan ketinggian
berkisar antara 0-75 meter diatas permukaan laut. Keadaan topografi yang strategis ini sangat
mendukung terjadinya pembangunan di kawasan ini dan terjadilah peralihan lahan
persawahan di Kelurahan Panjer.
4. Lemahnya peraturan perundang-undangan alih funsi lahan
Beberapa peraturan perundang-undangan alih fungsi lahan pertanian yang ada memiliki
berbagai kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain:
a. Obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses alih fungsi ditetapkan berdasarkan
kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan tersebut relative mudah direkayasa, sehingga
alih fungsi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku.
b. Peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik
yang menyangkut dimensi maupun pihak yang dikenai sanksi.
c. Jika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku,
maka sulit ditelusuri pihak mana yang paling bertanggung jawab, mengingat izin alih fungsi
lahan merupakan keputusan kolektif berbagai instansi.
d. Peraturan perundangan-undangan yang berlaku kadangkala bersifat paradoksal dan dualistik.
Di satu sisi bermaksud untuk melindungi alih fungsi lahan sawah, namun di sisi lainnya
pemerintah cenderung mendorong pertumbuhan industri yang notabene basisnya
membutuhkan lahan.
5. Kurangnya keterlibatan petani Panjer
Belum banyak dilibatkannya petani sebagai pemilik lahan dan pelaku dalam kelembagaan
lokal secara aktif dalam berbagai upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Hal ini
akan mendorong ketimpangan persepsi antara kedua pihak yang terlibat, sehingga akan
memperbesar kecenderungan aliih fungsi lahan oleh salah satu pihak.
6. Belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi, dan pengembangan
kompetensi lembaga-lembaga formal dalam menangani alih fungsi lahan pertanian Kelurahan
Panjer.
3.5 Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Menjadi Non-Sawah di Kelurahan
Panjer
Terkonsentrasinya pembangunan di Kelurahan Panjer, di satu sisi menambah
terbukanya lapangan kerja di sektor nonpertanian seperti jasa konstruksi, industri, dan
perdagangan, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan.
Dampak negatif tersebut antara lain :
1. Berkurangnya luas sawah di Kelurahan Panjer yang mengakibatkan turunnya produksi padi,
yang mengganggu tercapainya swasembada pangan, baik itu untuk kebutuhan masyarakat
Panjer sendiri maupun kebutuhan beras Kota Denpasar.
2. Berkurangnya luas sawah Kelurahan Panjer yang mengakibatkan bergesernya lapangan kerja
dari sektor pertanian ke nonpertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap
seluruhnya justru akan meningkatkan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan
berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap
pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial.
3. Investasi pemerintah Kota Denpasar dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan
menjadi tidak optimal pemanfaatannya.
4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri, sebagai
dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak
termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh, sehingga meningkatkan luas tanah tidur yang
pada gilirannya juga menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.
5. Terjadi Banjir di Kelurahan Panjer yang disebabkan oleh produksi sampah-sampah rumah
tangga maupun industri masyarakat di Kelurahan Panjer.
3.6 Dampak Peralihan Fungsi Lahan terhadap Banjir di Kota Denpasar pada Umumnya
dan Kelurahan Panjer pada Khususnya
Banjir merupakan peristiwa atau kejadian di mana volume curah hujan yang jatuh
melebihi kapasitas infiltrasi tanah dan saluran air yang tersedia, sehingga air hujan tidak
dapat menghilang dengan cepat baik ke dalam tanah maupun ke saluran pembuangan akhir
atau laut. Faktor utama penyebab banjir adalah intensitas dan volume curah hujan,
kemiringan lereng, jenis tanah dan kondisi permukaannya, serta ketinggian tempat.
Dilihat dari segi faktor penyebab banjir, Kota Denpasar mempunyai potensi banjir
yang tinggi. Hal ini disebabkan karena topografi Kota Denpasar termasuk datar sampai
landai, kondisi penutup tanah yang kedap air karena banyaknya ruang yang terbangun, curah
hujan yang cukup tinggi (±1800 mm per tahun), dan altitude yang rendah. Kondisi ini
menyebabkan kenapa Kota Denpasar akhir-akhir ini sering terkena banjir.
Banjir di Kota Denpasar terutama terjadi pada saat puncak musim hujan, yaitu bulan
Desember, Januari, dan Februari. Faktor utama penyebab terjadinya banjir di Kota Denpasar
adalah permukaan tanah yang sebagian besar merupakan daerah terbangun dan rendahnya
resapan air hujan. Air hujan yang jatuh pada permukaan yang kedap air menyebabkan tidak
adanya air hujan yang masuk ke dalam tanah melalui proses filtrasi, melainkan langsung
menuju ke tempat yang lebih rendah dan saluran-saluran pembuangan air. Banyaknya volume
limpasan permukaan air hujan tanpa didukung oleh adanya saluran drainase yang memadai
ditambah dengan adanya kebiasaan buruk masyarakat dengan membuang sampah ke saluran-
saluran pembuangan air menyebabkan peluang terjadinya banjir semakin tinggi.
Permasalahan banjir sebenarnya adalah persoalan dampak banjir bagi manusia.
Perilaku manusia yang menyebabkan banjir seperti pembuangan sampah, illegal logging
hanyalah sebagian dari permasalahan penyebab banjir. Penyebab banjir yang utama tentunya
curah hujan yang berlebih sehingga menyebabkan overload sungai. Permasalahan banjir
terbesar adalah penggunaan lahan di daerah rawan bencana banjir (flood plain) oleh manusia.
Bencana banjir di Kota Denpasar yang dicatat sebagai kejadian luar biasa oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Denpasar antara lain adalah banjir yang terjadi pada
awal tahun 2009 dan pertengahan tahun 2010. Bencana banjir terjadi pada 11 sampai dengan
12 Januari 2009 berlokasi di Denpasar Selatan dengan dampak genangan air setinggi 1,5
meter yang menggenangi daerah penduduk sehingga menyebabkan aktivitas masyarakat
terganggu. Di samping itu, beberapa fasilitas umum tembok tempat pemujaan roboh.
Sehingga diperkirakan kerugian yang terjadi akibat bencana banjir tersebut sebesar Rp.
2.582.915.000,00. Selain itu, bencana banjir yang menimpa Kota Denpasar akibat hujan
lebat, pukul 23.00 WITA, pada Rabu 28 Juli 2010 juga sempat menimbulkan kepanikan
warga. Lokasi Bencana Banjir pun ada di beberapa titik, antara lain:
1. Jl. Pura Demak, Br. Tegal Lantang, Desa Pemecutan Klod, Kecamatan Denpasar Barat , Kota
Denpasar, ada korban 3 ekor sapi mati.
2. Perumnas Monang-maning air setinggi orang dewasa.
3. Banjar Buana Santi evakuasi 10 orang
4. Desa Padang Sambian Kaja, Jalan Kebo Iwa di Perumahan Gunung Sari Indah air setinggi
leher orang dewasa.
5. Kawasan Jalan Mahendradata di Gang Manggis air setinggi 1,5 meter.
6. Jalan Buana Raya depan kantor pos.
7. Jalan Gunung Talang I Gg. I/31B melakukan evakuasi korban 10 orang.
8. SD No. 11 dan 13 air setinggi 1 meter, di Jalan Gunung Tangkuban Perahu Lingkungan
Buana Desa Kelurahan Padang Sambian, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar. (lantai
dan halaman sekolah digenangi lumpur dan telah dilakukan penyemprotan dan pembersihan
oleh BPBD dan Dinas PU Kota Denpasar.
9. Gunung Agung (Sebelah barat jembatan tukad mati) air meluap setinggi leher orang dewasa
±1,5 m, Kelurahan Padang Sambian, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar kerugian
material terendam dan melakukan evakuasi 17 orang.
10. Jalan Pudak yang menghubungkan Jalan Cokroaminoto dan Jalan Ken Arok Jebol.
11. Jalan Gunung Gede Melakukan evakuasi 3 orang.
12. Jalan Kebo Iwa Gg. Citarum Banjar Batu Kandik, Desa Padangsambian Kaja ada 4 pelinggih
longsor.
13. Jalan Diponegoro Gg. VI dan jalan Pulau Buru Denpasar, Kel. Dauh Puri.
14. Jalan Kecubung No. 25, Br. Pande, Kec. Denpasar Timur, tembok warga roboh sepanjang 25
meter atas nama Made Yasa.
Untuk Banjir yang terjadi di Kelurahan Panjer, dari data yang penulis peroleh banjir
terkonsentrasi di kawasan Banjar Manik Saga, Banjar Kertasai, Jalan Tukad Jogading, Jalan
Tukad Batanghari, dan Jalan Waturenggong. Pada tahun 1980-an, saluran-saluran air di
Kelurahan Panjer ternyata sudah mengalami penyumbatan namun belum terjadi banjir.
Karena kurangnya partisipasi masyarakat dalam menangani pendangkalan sungai, akibatnya
sekarang ini ketika banjir ketinggian air mencapai 35 cm. Waktu untuk surutnya banjir ini
mencapai 3-4 jam.
Berbagai fenomena bencana yang terjadi di Kota Denpasar pada umumnya dan
Kelurahan Panjer pada khususnya ini pada dasarnya merupakan indikasi yang kuat terjadinya
ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, yakni antara manusia dengan kepentingan
ekonominya dan alam dengan kelestarian lingkungannya.
3.7 Kajian Sistem Drainase dan Konsep Penanganan/Pengendalian Banjir Kota
Denpasar
3.7.1 Kajian Sistem Drainase Kota Denpasar
Kota Denpasar merupakan kota yang kerap kali mengalami genangan pada musim
hujan. Penyebab terjadinya genangan adalah :
1. Kapasitas saluran belum cukup untuk mengalirkan beban drainase maksimum.
2. Penurunan kapasitas saluran akibat pendangkalan saluran.
3. Beban banjir puncak meningkat akibat penurunan kualitas dan kuantitas daerah aliran sungai.
Daerah yang dekat pantai sering terjadi genangan akibat pengaruh back water air laut
pada saat kondisi air laut pasang. Perkembangan guna lahan yang tidak sesuai rencana
mengakibatkan berkurangnya resapan tanah dan jaringan drainase yang telah ada tidak
berfungsi dengan baik.
Instansi penyelenggara sistem drainase Kota Denpasar adalah Dinas Pekerjaan Umum
Kota Denpasar. Tiga sungai penting dalam sistem drainase Kota Denpasar adalah Tukad
Ayung, Tukad Badung, dan Tukad Mati. Sistem drainase primer yang melintasi Kota
Denpasar terdiri dari lima sistem, yaitu Sistem I Tukad Badung, Sistem II Tukad Ayung,
Sistem III Tukad Mati, Sistem IV Niti Mandala-Suwung, dan Sistem V Pemogan. Kondisi
topografi kota relatif rendah maka banyak terjadi genangan rawan banjir. Water storage
dibangun di daerah hilir untuk menampung limpahan air drainase.
Berbagai permasalahan sektor drainase Kota Denpasar, antara lain adalah sistem
perencanaan dan pelaksanaan saluran drainase belum optimal atau dapat dikatakan masih
terbatas. Masalah selanjutnya adalah masih dijumpai saluran drainase tertimbun sampah
akibat masih kurangnya tingkat kesadaran masyarakat dalam membuang sampah. Biaya
operasi dan pemeliharaan saluran drainase belum memadai atau terbatas, adanya tumpang
tindih saluran irigasi (kebutuhan air) dan drainase (pembuangan air) dibeberapa lokasi
perkotaan serta banyak adanya titik-titik rawan banjir atau genangan air di Kota Denpasar
adalah kumpulan permasalahan yang juga menjadi faktor penghambat dalam sistem drainase
Kota Denpasar.
Program pengembangan sektor drainase Kota Denpasar:
a. Program Perencanaan Master Plan Drainase Kota Denpasar 2002 – 2007 yang sudah digarap
secara bertahap melalui proyek drainase Perkotaan setiap tahun.
b. Program Perencanaan Master Plan Kota Denpasar 2007 – 2012 yang dirancang pada tahun
Anggaran Perubahan 2007 untuk menyiapkan master plan drainase berbasis topografi,
memanfaatkan sungai atau tukad di Denpasar.
c. Program kali Bersih (PROKASIH) sarana untuk melaksanakan penggelontoran pada sungai-
sungai di Kota Denpasar yang merupakan titik-titik rawan banjir, termasuk juga pada saluran
drainase perkotaan dilakukan pengerukan secara berkala.
d. Program Pengendalian Banjir Modern sarana sistem dan rangkaian peralatan penyaring
Sampah Otomatis Mekanikal-Electrical Hydraulic yang berlokasi di Sungai Badung-Banjar
Buagan Desa Pemecutan Kelod, Denpasar (program terpadu antara sampah dan drainase).
3.7.2 Penanganan dan Pengendalian Banjir Kota Denpasar pada Umumnya dan Kelurahan
Panjer pada Khususnya
Langkah-langkah umum yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangan banjir
adalah perbaikan dan pemeliharaan saluran drainase seperti perbaikan got dan tanggul-
tanggul sungai, pemasangan jaring penangkap sampah di beberapa sungai, pelanggaran
terhadap pembuangan sampah ke saluran air, dan pelanggaran pembuatan bangunan di
sempadan-sempadan sungai.
Mengantisipasi datangnya musim hujan yang biasanya datang pada bulan Oktober,
Pemerintah Kota Denpasar juga sudah mengambil langkah-langkah antisipasi yakni dengan
menyiagakan tim Penanggulangan Bencana yang tergabung dalam tim Satlak PB (Satuan
Pelaksana Penanggulangan Bencana). Berdasarkan evaluasi, musibah banjir sering terjadi
pada daerah yang rendah dan yang berada dibantaran sungai. Untuk itu Dinas PU segera
membuat peta-peta daerah yang rawan banjir.
Ketua Badan Penaggulangan Bencana Kota Denpasar ini juga akan membuat surat
edaran untuk menginstruksikan kepada camat, Kepala Desa/Lurah untuk lebih rajin
memantau wilayahnya. Para perangkat desa diharapkan segera melapor jika terjadi banjir atau
bencana ke call center 223333 dan ikut mengawasi saluran-saluran sungai yang berada
diwilayahnya. Penyiapan langkah ini sebagai bentuk keseriusan Pemerintah Kota Denpasar
dalam melindungi warga kota Denpasar dari bencana alam. Namun demikian, partisipasi
masyarakat Kota Denpasar untuk ikut menjaga kebersihan lingkungan termasuk got dan
sungai dengan tidak membuang sampah ke selokan atau sungai juga sangat diperlukan.
Seperti diketahui topografi Kota Denpasar realtif landai, dengan penduduk padat serta prilaku
masyarakat yang masih banyak membuang sampah kesungai sehingga sedikit saja turun
hujan akan terjadi banjir.
Sementara itu Dinas Pekerjaan Umum Kota Denpasar mengungkapkan untuk
mengantisipasi banjir pihaknya sedang melakukan penggelontoran di sungai dan trotoar serta
sudah menyiagakan sebanyak 70 orang tenaga penggelontoran untuk membantu masyarakat
bila kena banjir.
3.8 Peran Dinas Tata Kota dan Bangunan serta Badan Perencanaan Daerah Kota Denpasar
dalam Bidang Penataan Ruang Kota Denpasar
Tata ruang merupakan mata ruang yang ditujukan untuk menata fungsi ruang melalui
pengaturan jenis kegiatan sehingga akan terjadi sinergi antara satu jenis kegiatan dengan
kegiatan lainnya dan diharapkan kegiatan-kegiatan tersebut dapat berakselerasi secara
optimal, adanya peningkatan kualitas lingkungan, dan di samping itu melalui penataan ruang
diharapkan dapat digunakannya nila-nilai budaya daerah sebagai landasan penyusunan
pedoman teknis pembangunan yang bercirikan budaya daerah.
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, penataan ruang mutlak diperlukan mengingat
tujuan pembangunan pada umumnya, yang secara garis besar terdiri dari peningkatan
pertumbuhan ekonomi, pemerataan kemakmuran bagi seluruh masyarakat, kestabilan yang
tangguh dan dinamis, terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, terselenggaranya
pengaturan pemanfaatan ruang untuk kawasan kawasan yang dilindungi dan kawasan yang
dapat dibudidayakan serta tercapainya tata ruang berkualitas bagi manusia.
Kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Kota Denpasar dalam mewujudkan
Penataan Ruang Kota Denpasar adalah mengendalikan pemanfaatan ruang yang efektif untuk
menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan keseimbangan antar fungsi.
Untuk mewujudkan sasaran Penataan Ruang Kota Denpasar yang nyaman dan
terkendali, lembaga yang bertanggung jawab adalah Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota
Denpasar serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar.
3.8.1 Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Denpasar
Pemanfaatan ruang di Kota Denpasar sudah terlihat adanya kecenderungan yang
semakin meningkat dari berbagai kepentingan seperti kegiatan untuk bangunan-bangunan
baik perumahan, pertokoan, perdagangan dan jasa serta perkantoran. Dengan kondisi
demikian, pemanfaatan ruang di Kota Denpasar untuk kawasan terbangun dan tidak
terbangun perlu dikendalikan. Memperhatikan kondisi pemanfaatan tata ruang yang
dimaksud, Pemerintah Kota Denpasar memfokuskan pengendalian melalui:
1. Terkendalinya Kawasan Terbangun dan Tak Terbangun
2. Terkendalinya Kawasan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK)
3. Terkendalinya Pelanggaran Tata Ruang dan Tata Bangun pada masa yang akan datang.
Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Denpasar adalah Dinas Daerah yang
melaksanakan sebagian rencana rumah tangga daerah di bidang penataan ruang yang
mencakup penataan fungsi-fungsi ruang dan fungsi bangunan, di mana dalam mewujudkan
Misi Kota Denpasar Dinas Tata Kota dan Bangunan telah menentukan tujuan organisasinya:
“Citra Penataan Kota yang Berwawasan Budaya” yang dijabarkan lebih rinci dalam bentuk
“sasaran” yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun jaitu: “Penataan Ruang
Kota Denpasar yang Nyaman dan Terkendali”
Keberhasilan pencapaian sasaran “Penataan Ruang Kota Denpasar yang Nyaman dan
Terkendali” dicapai melalui indikator sasaran:
No. Indikator Sasaran Target Realisasi Capaian
1. Terkendalinya
pemanfaatan ruang
Terkendalinya kawasan
terbangun dan tak
terbangun
Terkendalinya Kawasan
Ruang Terbuka Hijau
51:49%
45,7%
45,84:54,16%
45,7%
110%
100%
2. Menurunnya angka
pelanggaran terkait tata
ruang dan bangunan
Terkendalinya
pelanggaran tata ruang
dan tata bangunan
555 kasus 271 kasus 47,36%
Kedua indikator tersebut sebagai gambaran hasil pencapaian sasaran sekaligus
mencakup aspek pembangunan masyarakat itu sendiri yaitu dengan meningkatnya kesadaran
masyarakat dalam melaksanakan peraturan tata ruang yang ada. Oleh karena itu seluruh
program yang direncanakan terfokus kepada tercapainya indikator sasaran yang dimaksud.
Meningkatkan kegiatan penataan ruang melalui perencanaan, pengendalian dan
pemanfaatan ruang sesuai dengan peraturan yang berlaku dituangkan dalam 9 Program dan
19 Kegiatan Pembangunan terdiri dari:
a. Program Penataan Ruang dijabarkan dalam 1 kegiatan
Hal ini penting untuk diprogramkan agar pemanfaatan ruang dapat mengakomodasi seluruh
keperluan masyarakat dan dapat mengikuti/menyesuaikan perkembangan kota, di mana
diharapkan seluruh pembangunan baik oleh masyarakat, swasta maupun pemerintah dapat
diarahkan sesuai dengna peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua hal ini akan
berdampak kepada arus pengaturan perpindahan maupun distribusi pemukiman penduduk di
Kota Denpasar, di mana hal ini meliputi: Pelayanan Advice Planning dan Ijin Lokasi
b. Program Pemeliharaan Kamtibnas yang dijabarkan dalam 2 kegiatan
Hal ini dimaksudkan adalah tindaka-tindakan pembinaan serta pengendalian pelanggaran-
pelanggaran yang ada baik pelanggaran tata ruang dan tata bangunan, yang dijabarkan dalam
kegiatan-kegiatan pembinaan dan penertiban pelanggaran serta penegakan tata ruang wilayah
Kota Denpasar.
Capaian kinerja sasaran tahun 2008 dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Terkendalinya kawasan terbangun dan tak terbangun dengan perbandingan 38:62%. Dengan
upaya-upaya yang telah dilakukan kondisi saat ini berada pada posisi 45,84% : 54,16%.
Upaya berkesinambungan dalam pengendalian tata ruang, pengawasan, pembinaan-
pembinaan kepada masyarakat masih tetap dilaksanakan tahun 2008, termasuk pelayanan
perijinan. Sampai dengan tahun 2008 pergeseran kawasan terbangun dan tak terbangun masih
terkendali yaitu di bawah target sasaran tahun 2008.
2) Terkendalinya Kawasan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK):
Berdasarkan hasil kajian atas peta-peta digitasi dan foto udata yang tersedia, hal-hal terkait
RTHK dapat disampaikan sebagai berikut:
a. Kawasan sudah Perbangun (sudah ada bangunan), terdiri dari fungsi-fungsi:
- Pariwisata maksimal KDB 40% luas sudah terbangun 414 ha, berarti yang tidak terbangun
60% = 620 ha;
- Pemukiman, perdagangan, jasa, KDB max 50%, luas yang telah terbangun 3.999 ha (55%)
berarti yang tidak terbangun 3.272 ha (45%). Kawasan dengan peruntukan ini telah melebihi
ketentuan yang berlaku (kurang lebih 5%)
- Pada kawasan KDB 30 yang sudah terbangun 432 Ha, (30%), berarti yang tidak terbangun
pada kawasan KDB 30%=1.008 Ha (70%).
Kesimpulannya pada kawasan yang sudah terbangun, terdapat area terbuka seluas (620 Ha +
3.272 Ha + 1.008 Ha = 4.900 Ha = 38,35% dari luas Kota denpasar).
b. Kawasan tidak terbangun samapai saat ini seluas 3.033 Ha atau 23,73 % dari luas wilayah
Kota Denpasar:
Sesuai arahan UU No. 26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang, RTHK disyaratkan 30% dari
luas wilayah yang terbagi menjadi RTHK Publik (20%) dan RTHK Privat (10%).
Kalau dilihat kondisi saat ini maka dapat disampaikan bahwa total RTHK Publik dan Privat
(kawasan belum terbangun) = 38,35% + 23,73% = 62,08% --- masih lebih besar dari
ketentuan yang ada.
3) Terkendalinya pelanggaran Tata Ruang dan Tata Bangunan
Tahun 2008 pelanggaran tata ruang dan tata bangunan sebanyak 555 buah telah ditindak
lanjuti 271 buah yang belum ditindaklanjuti 284 buah pelanggaran tahun ini menurun
sebanyak 6 buah dari tahun sebelumnya yaitu 568 buah pelanggaran. Sehingga walaupun
pelanggaran-pelanggaran tata ruang masih ada dan telah ditangani sesuai prosedur yang
berlaku, namun jumlah pelanggaran terus menerus menurun setiap tahunnya.
Upaya-upaya lainnya dalam pengendalian tata ruang adalah mengadakan evaluasi
pemanfaatan ruang kota melalui pemantauan-pemantauan yang diharapkan dapat menjadi
pedoman dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang yang dilaksanakan melalui
informasi peruntukan lahan, informasi peruntukan lahan dan ijin lokasi.
3.8.2 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar.
Pada tahun 2008 Bappeda Kota Denpasar dalam sasaran ini melaksanakan 2 kegiatan yaitu
Koordinasi Pelaksanaan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kota Denpasar
dan penyusunan Perda RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Denpasar.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 tahun 2004 tentang Pedoman
Penataan Ruang Daerah, telah dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD)
yang telah ditetapkan dengan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/13/HK/2008
tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah ( BKPRD) Kota Denpasar
untuk kegiatan tahun 2008, dengan maksud untuk meyelenggarakan koordinasi penataan
ruang tingkat daerah dalam rangka membantu Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
dalam merumuskan kebijakan.
Adapun tujuan dari BKPRD ini adalah:
1. Untuk dapat merumuskan dan mengkoordinasikan berbagai kebijakan penataan ruang Kota
Denpasar dengan memperhatikan kebijakan penataan ruang nasional dan provinsi serta
kabupaten lainnya.
2. Untuk dapat memberikan rekomendasi penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang.
3. Untuk dapat memberikan rekomendasi dan memfasilitasi keterpaduan perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang Kota Denpasar dengan
kabupaten yang berbatasan
4. Untuk dapat memberikan rekomendasi dan memfasilitasi permasalahn-permasalahan
mengenai ketataruangan yang terjadi di Kota Denpasar dengan pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten lainnya dalam mencarikan jalan keluar permasalahan tersebut.
3.9 Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana,
Direktorat Pengairan dan Irigasi
Dari penelusuran data ditemukan, baik di daerah kajian utama atau daerah
pembanding penyebab banjir relatif sama, meskipun dengan intensitas berbeda, yaitu:
1. Curah hujan tinggi;
2. Jumlah dan kepadatan penduduk tinggi;
3. Pengembangan kota yang tidak terkendali, tidak sesuai tata ruang daerah, dan tidak
berwawasan lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya daerah resapan dan
penampungan air;
4. Drainase kota yang tidak memadai akibat sistem drainase yang kurang tepat, kurangnya
prasarana darinase, dan kurangnya pemeliharaan;
5. Luapan beberapa sungai besar yang mengalir ke tengah kota;
6. Kerusakan lingkungan pada daerah hulu;
7. Kondisi pasang air laut pada saat hujan sehingga mengakibatkan backwater;
8. Berkurangnya kapasitas pengaliran sungai akibat penyempitan sungai, penggunaan lahan
illegal di bantaran sungai;
9. Kurang lancar hingga macetnya aliran sungai karena tumpukan sampah;
10. Ketidakjelasan status dan fungsi saluran.
Kerugian akibat banjir yang melanda berbagai kota dan wilayah, antara lain meliputi:
1. Korban manusia;
2. Kehilangan harta benda;
3. Kerusakan rumah penduduk; sekolah dan bangunan sosial, prasarana jalan, jembatan, bandar
udara, tanggul sungai, jaringan irigasi, dan prasarana publik lainnya;
4. Terganggunya transportasi,
5. Rusak hingga hilangnya lahan budidaya seperti sawah, tambak, dan kolam ikan.
Di samping kerugian yang bersifat material, banjir juga membawa kerugian non
material, antara lain kerawanan sosial, wabah penyakit, menurunnya kenyamanan
lingkungan, serta menurunnya kesejahteraan masyarakat akibat kegiatan
perekonomianmereka terhambat.
Dalam rangka mengurangi dampak banjir, telah disusun berbagai kebijakan dan
program penanggulangan, baik yang bersifat prevention, intervention maupun recovery.
Pada tahap pra bencana dilakukan:
1. Membuat peta rawan bencana;
2. Membangun, meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai,
tampungan air, dan drainase beserta peralatan dan fasilitas penunjangnya;
3. Menyusun peraturan dan menertibkan daerah bantaran sungai;
4. Membuat peta daerah genangan banjir;
5. Sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir;
6. Menegakkan hokum terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai;
7. Menyediakan cadangan pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya;
8. Membuat sumur resapan;
9. Pemantapan Satkorlak PBP; (
10. Merevisi tata ruang propinsi maupun kota secara terkoordinasi dan terintegrasi;
11. Mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah hulu;
12. Membuat penampungan air berteknologi tinggi;
13. Menerapkan pengelolaan sungai terpadu berdasarkan satuan wilayah sungai (SWS) dan
memberdayakan kelembagaan pengelolaan SWS;
14. Membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah;
15. Mereboisasi kota dan daerah hulu;
16. Mendirikan Posko banjir di wilayah RT/ RW.
Kebijakan dan program pada tahapan ketika terjadi bencana, berupa:
1. Pemberitahuan dini kepada masyarakat tentang kondisi cuaca;
2. Menempatkan petugas pada pos-pos pengamatan;
3. Menyiapkan sarana penanggulangan, termasuk bahan banjiran;
4. Mengevakuasi dan mengungsikan penduduk ke daerah aman, sesuai yang telah direncanakan
dengan memanfaatkan seluruh komponen masyarakat, TNI, Polri, Satlak PBP, Satkorlak
PBP, Badan SAR Nasional (Basarnas), dan Karang Taruna;
5. Memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya, serta pelayanan
kesehatan darurat kepada korban bencana;
6. Mendata lokasi dan jumlah korban bencana.
Pada tahap setelah banjir, program dan kegiatan fisik yang telah dilakukan adalah:
1. Pendataan kerusakan bangunan dan fasilitas publik;
2. Memperbaiki prasarana publik yang rusak;
3. Pembersihan lingkungan;
4. Mengajukan usulan pembiayaan program pembangunan fasilitas penanggulangan banjir.
Sementara itu, belum semua pemerintah daerah melakukan penegakan hukum,
sehubungan dengan penanggulangan banjir. Jika ada, maka penegakan hukum tersebut
terbatas pada penertiban penggunaan lahan secara illegal.
Dalam hal ketersediaan landasan hukum, hampir semua pemerintah daerah (Pemda)
belum mempunyai peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan banjir dan hanya
beberapa propinsi saja yang sedang mempersiapkannya. Sementara itu pemerintah daerah
hanya memiliki Perda yang mengatur pengelolaan sungai dan tata ruang.
Upaya pemerintah daerah mengendalikan banjir banyak menemui kendala, antara lain
lantaran:
1. Kurangnya kepedulian masyarakat menjaga lingkungan;
2. Kurangnya kesadaran masyarakat mematuhi peraturan yang berlaku dan menjaga kebersihan
lingkungan;
3. Kurangnya partisipasi masyarakat, bahkan cenderung tergantung pada bantuan pemerintah;
4. Peraturan daerah masih sangat terbatas;
5. Lemahnya penegakan hukum;
6. Kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah;
7. Terbatasnya dana pemerintah.
Upaya penanggulangan banjir tidak terlepas dari peran stakeholder dalam setiap
kegiatan. Dari hasil survai diketahui bahwa secara umum peran stakeholder, terutama
penerima dampak bencana (beneficiaries), masih terbatas dan peran pemerintah masih sangat
dominan.
Pada tahap pra bencana, partisipasi masyarakat berupa keikutsertaan mereka dalam
berbagai kegiatan, seperti sosialisasi berbagai peraturan, membangun atau membersihkan
saluran drainase lingkungan secara swadaya, memprakarsai lomba kebersihan, menjaga dan
memantau kondisi lingkungan. Di samping itu aspirasi masyarakat belum dikelola dalam
bentuk kelompok/organisasi kemasyarakatan, namun hanya memanfaatkan kelembagaan
RT/RW.
Pada saat bencana, terjadi kerjasama yang baik dalam pengevakuasian korban,
pembagian makanan, pakaian, dan penyediaan obat-obatan. Partisipasi masyarakat seperti ini
muncul secara spontan sebagai bentuk kepedulian sosial sesama masyarakat, tanpa
diupayakan pemerintah. Dengan belum tersedianya peraturan perundangan yang mengatur
penanggulangan banjir, maka pengaturan partisipasi masyarakat juga belum diatur.
Pada semua daerah survai, pendanaan program penanggulangan banjir sebagian besar
sangat tergantung pada pemerintah. Optimalisasi sumber pendanaan masyarakat, meskipun
potensinya cukup besar, belum dikelola secara baik, melainkan hanya mencakup pembiayaan
bantuan spontan yang bersifat charity dan perbaikan kecil prasarana lingkungan secara
swadaya. Di sisi lain, swasta juga mulai ikut berpartisipasi menjaga kebersihan sungai
melalui penyediaan dana pengelolaan, namun belum diimplementasikan di semua kota lokasi
survai.
Secara umum penyebab utama banjir adalah perubahan dan eskalasi perilaku manusia
dalam mengubah fungsi lingkungan. Di kawasan budidaya telah terjadi perubahan tata ruang
secara massive, sehingga daya dukung lingkungan menurun drastis. Pesatnya pertumbuhan
permukiman dan industri telah mengubah keseimbangan fungsi lingkungan, bahkan kawasan
retensi banjir (retarding basin) yang disediakan alam berupa situ-situ telah juga dihabiskan.
Keadaan ini secara signifikan menurunkan kapasitas penyerapan air secara drastis.
Kondisi ini diperparah dengan sistem drainase permukiman yang kurang memadai, sehingga
pada curah hujan tertentu, menimbulkan genangan air di mana-mana. Selain itu, lemahnya
penegakan hukum ikut mendorong tumbuh dan berkembangnya permukiman ilegal di
bantaran sungai, bahkan masuk ke badan sungai. Keadaan ini makin memperburuk sistem
tata air lingkungan, karena kapasitas tampung dan pengaliran sungai menurun dan terjadilah
luapan air. Penambangan pasir illegal, terutama pada areal-areal bangunan pengendali banjir,
yang umumnya mudah diakses juga ikut memperparah keadaan. Sebab, kemampuan
bangunan pengendali banjir menjadi turun. Di sisi lain, ternyata pada wilayah-wilayah kajian,
secara umum belum ada implementasi kebijakan efektif untuk mengendalikan penggundulan
hutan dan perubahan fungsi ruang di daerah hulu. Aktivitas dan perubahan ini makin
meningkatkan debit air yang masuk langsung dan secara cepat ke badan sungai, dan pada
akhirnya karena kapasitas tampung dan pengaliran sungai telah menurun, meluaplah air
sungai ke kawasankawasan permukiman, persawahan, dan pertambakan serta kawasan
industri. Meski demikian, secara umum hasil survai menunjukkan bahwa tidak ada landasan
hukum spesifik yang mengatur penanggulangan banjir, apalagi pengaturan partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan banjir. Namun ada temuan yang menggembirakan, yaitu
partisipasi masyarakat sangat kentara dan dominan, terutama pada kegiatan tanggap darurat.
Bahkan bersama-sama dengan kelompok stakeholder dari unsur intermediaries, mereka
membentuk “gugus tugas reaksi cepat” yang secara mandiri dan tanpa intervensi pemerintah,
mampu memberi bantuan darurat bagi para korban banjir. Temuan lapangan menunjukkan
bahwa partisipasi masyarakat lebih didorong oleh semangat kesetiakawanan dalam
bermasyarakat, bukan merupakan resultant upaya pemerintah untuk menggalangnya.
Mencermati partisipasi masyarakat pada tahap siklus banjir, ternyata tidak dapat
disamaratakan. Pada tahap tertentu partisipasinya sangat besar dan begitu dominan.
Sementara pada tahap lain sulit ditemukan, bahkan tidak ada. Perlu dianalisis lebih jauh
untuk menemukenali jenis dan tingkat partisipasi masyarakat pada kelompok-kelompok
kegiatan penanggulangan banjir.
Analisis stakeholder memberi gambaran bahwa tidak semua unsur stakeholder
(beneficiaries, intermediaris, dan decision/policy maker) mempunyai peran dan pengaruh
yang sama pada tiap tahap penanggulangan banjir. Demikian juga masing-masing
karakteristik/jenis kegiatan penanggulangan banjir, memerlukan jenis dan tingkat partisipasi
yang berbeda.
Mengikuti pengelompokkan kegiatan yang diperkenalkan Bank Dunia, maka dalam
penanggulangan banjir ditemukan tiga jenis kebijakan/kegiatan yaitu:
1. Indirect benefits, direct social cost;
2. Large number of beneficiaries and few social cost;
3. Targeted assistance.
Kegiatan berciri indirect benefits, direct social cost dikenali pada kelompok kegiatan
struktural di luar badan air (off-stream structural measures) yang meliputi kegiatan-kegiatan
peningkatan dan pembangunan sistem drainase, pembangunan parasarana retensi air
(retention facilities), pembangunan sistem serapan air, pembangunan sistem polder, dan
penanganan masalah erosi dan kemiringan tebing.
Kegiatan berciri large number of beneficiaries and few social cost terdapat pada
kelompok kegiatan non-struktural jangka panjang (long term flood prevention nonstructural
measures) yang mencakup kegiatan-kegiatan pengaturan dataran banjir (floodplain),
pengendalian penggunaan lahan di luar dataran banjir, kebijakan penyediaan ruang terbuka
(open space reservastion), kebijakan sarana dan pelayanan umum, pedoman pengelolaan air
permukaan, serta pendidikan dan informasi kepada masyarakat.
Kegiatan berciri targeted assistance ditemukan pada kelompok kegiatan manajemen
darurat banjir jangka pendek (short term flood emergency management) khususnya pada
kegiatan-kegiatan pre-flood preparation, yang terdiri dari kegiatan pemetaan wilayah terkena
banjir, penyimpanan bahan penahan banjir, antara lain karung pasir dan bronjong kawat,
identifikasi lokasi dan pengaturan pemanfaatan peralatan yang diperlukan, pemeriksaan dan
perawatan peralatan dan bangunan pengendali banjir, dan penentuan dan pengaturan lokasi
dan barak-barak pengungsian.
Kelompok Kegiatan Struktural di Luar Badan Air (off-stream structural measures)
Pada kelompok kegiatan ini, di tahap penyusunan konsep, sudah tersedia kebijakan
nasional dan kebijakan daerah yang bersifat umum. Kebijakan ini dapat dijadikan acuan
menyusun konsep pembangunan fisik di luar badan air, baik berupa undang-undang,
peraturan pemerintah, maupun peraturan daerah.
Pada implementasinya di lapangan, teridentifikasi cukup banyak kegiatan-kegiatan
kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat, dalam mengidentifikasi masalah
drainase, hingga penyusunan konsep partisipasi masyarakat dalam skema pembiayaan
pemeliharaan saluran drainase.
Pada tahap pembangunan/konstruksi, tidak teridentifikasi kebijakan/perundangan
yang berlaku spesifik, walaupun pada dasarnya masih dapat digunakan kebijakan umum yang
sudah ada. Dalam implementasinya, tidak teridentifikasi partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan konstruksi dan umumnya dilaksanakan penyedia jasa konstruksi.
Meskipun dalam kebijakan dan peraturan perundangan tidak ditemukan dasar yang
jelas, namun partisipasi masyarakat ditemukan dalam pembiayaan tahap operasionalisasi
prasarana. Pada tahap monitoring dan evaluasi, hanya teridentifikasi peran pemerintah daerah
yang memonitor dan mengevaluasi prasarana off-stream structural measure; sedangkan
partisipasi masyarakat secara langsung tidak ditemukan.
Temuan-temuan tersebut menegaskan masih lemahnya dukungan aspek legal untuk
mengakomodasi dan merekognisi peranserta masyarakat dalam kelompok kegiatan offstream
structural measure yang berciri indirect benefits, direct social cost.
Dengan ciri kegiatan yang biaya sosialnya dapat dirasakan langsung, seharusnya
diperlukan upaya mengakomodasi dan merekognisi kepentingan pihak-pihak yang mungkin
dirugikan (yang terkena adverse impact), misalnya masyarakat yang terkena penggusuran,
karena pembangunan inftastruktur pengendali banjir.
Pengaturan ini sangat penting untuk meminimalisasi dampak negatif (adverseimpact)
yang dapat mempengaruhi kelancaran proses penanggulangan banjir. Selain itu, prosedur
keterlibatan masyarakat harus lebih spesifik dikembangkan. Isu penting dalam hal ini adalah
skema pembiayaan, maupun sistem ganti rugi melalui subsidi yang harus diatur secara jelas
dan adil.
Tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini, dalam kondisi ideal adalah
collaboration (skala ke 4 dari skala 0-6) terutama untuk tahapan konsep dan implementasi;
sedang untuk tahapan kontruksi mencapai skala ke 3 dari skala 0-6 atau pada tataran
concensus building and agreement.
Kelompok Kegiatan Non-Struktural Jangka Panjang (long term flood prevention non
structural measures)
Pada kelompok kegiatan ini, di tahap penyusunan konsep, cukup banyak kebijakan
nasional yang dapat diidentifikasi. Umumnya kebijakan ini hanya menekankan pada
floodplain regulation, terutama pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW), aturan pengelolaan dan pemanfaatan sungai, dan Perda yang
berkaitan dengan tata ruang dan pemanfaatan sumberdaya air.
Pada tahap pengembangan konsep, belum banyak kegiatan yang berkaitan dengan
floodplain regulation. Umumnya kegiatan ini masih berupa konsep yang tertuang dalam
bentuk master plan pengelolaan sumberdaya air yang belum mampu dilaksanakan, karena
keterbatasan dana dan sumberdaya manusia.
Kegiatan konsultasi publik dan penyuluhan ditemukan pada tahapan implementasi
merupakan bentuk dari public information and education yang merupakan tahap lanjutan dari
implementasi floodplain regulation.
Monitoring dan evaluasi terhadap floodplain regulation hanya dilakukan pengelola
sungai dan Pemda. Mereka menindak dengan menggusur pemukim ilegal pada bantaran dan
badan sungai. Meskipun penduduk daerah rawan banjir, pemuka masyarakat dan agama,
profesional/ahli, LSM, dan media massa dapat melakukan monitoring dan evaluasi, namun
belum ada regulasi yang tegas mengatur hal ini.
Dengan ciri kegiatan yang jumlah beneficiaries-nya banyak dan kepentingan yang
berbeda-beda, serta biaya sosial yang rendah, maka dalam penyusunan regulasi, pemerintah
sebagai fasilitator harus mampu menjembatani berbagai kepentingan tersebut dengan
secermat mungkin mengidentifikasi stakeholder utama dan menyusun skema birokrasiyang
sesuai dan efektif, serta perencanaan pelaksanaan yang terintegrasi dan terkoordinasi.
Tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini dalam kondisi ideal adalah
empowerment-risk sharing (skala ke 5 dari skala 0-6) untuk tahapan pengembangan dan
tahapan evaluasi; pada skala ke 4 dari skala 0-6 atau pada tataran collaboration untuk tahapan
konsep; dan pada tahapan implementasi mencapai skala ke 1 dari skala 0-6 atau pada tataran
information-sharing. Dengan demikian menerapkan floodplain regulation secara utuh,
pemerintah harus berperan lebih banyak, sebab tidak ada stakeholder lain yang mempunyai
kekuatan hukum untuk menindak pelanggaran suatu regulasi.
Kelompok Kegiatan Manajemen Darurat Banjir Jangka Pendek (short term flood
emergency management)
Dalam kelompok kegiatan penanganan darurat banjir, terutama pada
kegiatanpersiapan menghadapi banjir (pre-flood prevention), di tahap penyusunan konsep
terdapat cukup banyak aspek legal yang bisa dijadikan acuan, namun belum banyak yang
secara spesifik mengakomodasi partisipasi masyarakat.
Seperti pada tahap penyusunan konsep, dalam tahap pengembangan juga sudah
terdapat peraturan daerah yang mengatur pengembangan peta daerah rawan banjir dan
penetapan daerah alternatif pengungsian korban bencana dan pengadaan sarana perhubungan
di daerah yang terkena bencana. Namun pada tahapan ini, di lapangan tidak teridentifikasi
partisipasi masyarakat dan segala persiapan untuk menghadapi banjir dilakukan instansi
pemerintah.
Pada tahap implementasi persiapan menghadapi banjir, partisipasi masyarakat tidak
teridentifikasi secara spesifik. Sedang instansi pemerintah atau institusi pengelola sungai
melakukan hampir semua kegiatan.8 Pada tahap terakhir dalam kelompok kegiatan ini, tidak
teridentifikasi kegiatan monitoring dan evaluasi persiapan menghadapi banjir yang
melibatkan masyarakat secara langsung.
Dengan ciri kegiatan yang beneficiaries-nya sudah teridentifikasi secara jelas, maka
masyarakat yang secara langsung terkena bencana banjir harus mendapatkan perhatian utama.
Dalam hal ini pemerintah harus memfasilitasi, sehingga kelompok masyarakat ini
mempunyai akses terhadap kegiatan yang memungkinkan mereka menghindari bencana, atau
paling tidak mengurangi kerugian (materi) akibat bencana banjir.
Di samping itu, perlu disusun kebijakan yang memprioritaskan peningkatan kapasitas
sumber daya manusia kelompok masyarakat tersebut, sehingga dalam perencanaan kegiatan
penanggulangan bencana banjir, kelompok ini dapatmenyumbangkan pemikiran mereka lebih
mendalam.
Dari hasil analisis, tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini dalam kondisi
ideal adalah collaboration (skala ke 4 dari skala 0-6) untuk tahapan konsep sampai dengan
implementasi; sedangkan untuk tahapan evaluasi pada skala ke 6 pada skala 0-6 atau pada
tataran empowerment and partnership.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Penggunaan lahan di Kota Denpasar umumnya dan Kelurahan Panjer khususnya didominasi
oleh pemukiman penduduk.
b. Peralihan fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian di Kelurahan Panjer mulai terjadi pada
tahun 1980an dan berlangsung hingga sekarang. Sisa lahan pertanian di Kelurahan Panjer
untuk sekarang ini adalah sekitar 35 ha dari total luas Kelurahan Panjer yaitu 314,16 ha.
c. Peralihan fungsi lahan di Kota Denpasar umumnya dan Kelurahan Panjer khususnya
mengakibatkan berbagai dampak negatif, salah satunya adalah banjir setiap musim penghujan
akibat berkurangnya daerah resapan air.
d. Berbagai langkah telah ditempuh oleh Pemerintah Kota Denpasar untuk menangani banjir di
kawasan kota, namun masalah banjir tetap saja terjadi setiap tahunnya akibat kurangnya
kerjasama dari masyarakat Kota Denpasar sendiri untuk penanganan banjir tersebut.
e. Berbagai fenomena bencana yang terjadi di Kota Denpasar pada umumnya dan Kelurahan
Panjer pada khususnya ini pada dasarnya merupakan indikasi yang kuat terjadinya
ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, yakni antara manusia dengan kepentingan
ekonominya dan alam dengan kelestarian lingkungannya.
4.2 Saran
Masalah banjir sebenarnya adalah masalah lintas sektor dan lintas daerah sehingga
diperlukan adanya kerjasama yang baik, sistematis, dan berkesinambungan antar dinas yang
terkait dan antar pemerintah kabupaten/kota. Beberapa saran terkait dengan permasalahan
yang diangkat pada makalah ini, yaitu:
a. Pemerintah Kota Denpasar diharapkan melakukan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)
secara terpadu dan berkesinambungan antar instansi yang terkait dan antar pemerintah
kabupaten lain seperti Kabupaten Badung, Tabanan, dan Gianyar sesuai dengan kaedah
konservasi tanah dan air.
b. Pemerintah Kota Denpasar diharapkan melakukan penataan pembangunan perumahan
dengan baik, dengan melakukan pengawasan lebih intensif dan memberikan sanksi yang
tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku kepada pihak-pihak yang melanggar.
c. Pemerintah Kota Denpasar diharapkan membuat peraturan pelanggaran pembuangan sampah
ke sungai ataupun ke saluran drainase air, dan dengan peran serta masyarakat Kota Denpasar
agar bersama-sama menjadikan sungai-sungai di Kota Denpasar sebagai tempat rekreasi,
bukan tempat pembuangan sampah.
d. Pemerintah Kota Denpasar diharapkan melakukan penataan dan perbaikan tanggul-tanggul
sungai dan got-got tempat saluran air hujan.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Tata Kota, 2008. Draft Laporan Identifikasi Kawasan Pemukiman Padat/Kumuh dan
Pembuatan Design Engeering Detail (DED) Pemukiman Padat/Kumuh di Kecamatan
Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar Barat dan Denpasar Utara Kota Denpasar.
Denpasar
Kantor Lurah Panjer, 2010. Rekapitulasi Jumlah Penduduk Kelurahan Panjer. Denpasar
Muhammad Iqbal dan Sumaryanto.-. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat. Bogor
Bieri, Stephan. Dr., “Disaster Risk Management and the Systems Approach by”, World Institute
for Disaster Risk Management (DRM), 2003 (www.drmonline.net)
Pemerintah Kota Denpasar, 2008. Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kota Denpasar.
Denpasar
Perintah Kota Denpasar, 2008. Laporan Status Lingkungan Hidup Kota Denpasar. Denpasar
Pemerintah Kota Denpasar, 2008. Program Sanitasi Kota Denpasar. Denpasar
Bambang S. Widjanarko, Moshedayan Pakpahan, bambang Rahardjono, dan Putu Suweken,-.
Aspek Pertanahan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian (Sawah). Jakarta