123

DASDSAD - PPPM

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DASDSAD - PPPM
Page 2: DASDSAD - PPPM

Volume 1, No. 1, Mei 2015 ISSN 2442-6954

Jurnal Agraria dan Pertanahan

BHUMI Volume 1 Nomor 1Halaman

1-116

Yogyakarta

Mei 2015

ISSN

2442-6954

Daftar Isi

Pengantar Redaksi

Manusia dan Tanah: Kehilangan danKompensasi dalam Kasus Lapindo

Anton Novenanto1-11

Analisis Kritis Substansi dan ImplementasiUndang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentangKeistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

dalam Bidang PertanahanKus Sri Antoro

12-32

Memahami Reorganisasi Ruang MelaluiPerspektif Politik Agraria

Noer Fauzi Rachman33-44

Masa Depan Anak Muda Pertanian di TengahLiberalisasi Pertanahan

Ahmad Nashih Luthf i & Surya Saluang45-58

Peta P4T Hasil Pemetaan Partisipatif sebagaiInstrumen Identif ikasi Tanah Absentee

Mujiati59-68

Pentingnya Peta DesaFisko69-73

Interaksi Kepentingan dalam Penentuan BeaPerolehan Hak Atas TanahPriyo Katon Prasetyo74-83

Pengaturan Zoning sebagai PengendaliPemanfaatan Ruang (Studi Kasus KawasanPreservasi Budaya Kotagede)Ayu Wahyuningtyas & Westi Utami84-98

Rekonstruksi Batas Bidang TanahMenggunakan Jaringan Referensi SatelitPertanahanKariyono, Eko Budi Wahyono, & Tanjung Nugroho99-112

Review Buku:Kapitalisme Pedalaman dan Praktik PolitikEtnograf iDarmanto113-116

Page 3: DASDSAD - PPPM

DASDSAD

Page 4: DASDSAD - PPPM

PENGANTAR REDAKSI

Jurnal BHUMI yang diterbitkan oleh SekolahTinggi Pertanahan Nasional mulai tahun 2015 inimemiliki deskripsi lebih luas menjadi ‘BHUMI,Jurnal Agraria dan Pertanahan’. Didalamnyaditambahkan kata ‘agraria’. Semula nama jurnaladalah “Bhumi, Jurnal Pertanahan STPN” yangterbit pertama kali tahun 2001. Jurnal yang seka-rang ini memuat karangan ilmiah dalam bentukhasil penelitian, tinjauan teori dan konsep, sertatinjauan buku bertemakan agraria dan perta-nahan. Perubahan deskripsi ini memiliki maksudpenegasan bahwa dengan penambahan katatersebut secara ontologis kajian Bhumi mencakupapa yang secara formal disebut dalam UUPA 1960dengan kata ‘agraria’ sebagai penerjemahan daripasal 33 ayat 1 UUD 1945, yakni bumi, air dan keka-yaan alam yang terkandung di dalamnya.

Telaah spesif ik obyek material ‘pertanahan danagraria’ dilakukan melalui kajian teknis, adminis-tratif dan manajemennya, perpetaan, tata ruang,kajian hukum, dan secara luas melalui kajian ilmusosial, sejarah dan budaya. Hal ini tidak terlepasdari bangun pengetahuan yang ingin dikem-bangkan oleh Jurnal Bhumi ini berupa kajianpertanahan dan agraria secara multidimensional,serta memahami bahwa soal tanah dan agrariaadalah lebih merupakan persoalan manusiaketimbang soal alam itu sendiri. Oleh karena itutulisan-tulisan yang tersaji didalamnya tidakdibingkai oleh disiplin ilmu tertentu, namun men-cakup semua isu pertanahan dan agraria yangkami anggap relevan.

Arah perubahan di atas memerlukan beberapapenyesuaian teknis seperti penomoran edisi jur-

nal, standardisasi penulisan, dan beberapa peru-bahan teknis lainnya. Pada edisi ini kami memu-lainya dengan Volume 1, Nomor 1, Mei 2015. Edisikali ini memuat sepuluh tulisan yang merupakanhasil penelitian, telaah gagasan, dan tinjauanbuku.

Dari tulisan Anton Novenanto kita disodorianalisa bahwa proses ganti rugi pelepasan tanahmelalui berbagai proses dan mekanisme tidakmampu mengganti ‘kehilangan’ yang ditimpa olehmasyarakat yang semula hidup di atas tanah terse-but. Administrasi pertanahan (dan pihak ap-praisal) hanya ma(mp)u menjangkau pema-haman hubungan tanah dengan masyarakatsebagai hubungan ekonomi semata, sehingga ni-lai ganti rugi tersebut menafikan aspek kehilanganhubungan sosial-kultural dan historis. Akibatlanjutannya, tindakan mengganti rugi korbansecara substantif bukan lagi berupa kewajibankompenasi, namun dapat jatuh pada tindakanjual beli atas tanah antara negara atau swastadengan pemilik tanah yakni masyarakat. Demi-kianlah yang dihasilkan dari kajian mengenaikompensasi terhadap masyarakat yang terkenasemburan lumpur Lapindo di Sidoarjo JawaTimur.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentangKeistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta mem-pengaruhi secara mendasar masalah pertanahandi Yogyakarta. Penetapan Kasultanan/Kadipaten(Pakualaman) sebagai badan hukum khususdengan sebutan Badan Hukum Warisan dinya-takan dapat memiliki tanah. Dalam kajian KusAntoro ini, digaris-bawahi bahwa badan hukum

Page 5: DASDSAD - PPPM

tersebut bersifat swasta (privat) dan bukan badanhukum publik, namun berperan seperti badanhukum publik yang merepresentasikan negaradalam mengatur dan memiliki tanah-tanah yangdinyatakan sebagai tanah kasultanan danpakualamanan. Penafsiran dan kebijakan yanglahir pasca UU No. 13 Tahun 2012 tersebut mem-buat hubungan antara masyarakat beserta hak atastanah yang dimilikinya, desa dengan segenap hakdan kewenangannya terhadap tanah, denganlembaga keraton dan negara menjadi tidak jelas.Maka lebih jauh penulis mengusulkan perlunyadilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atasUU tersebut.

Noer Fauzi Rachman yang berangkat dariperspektif politik agraria mengajak kita memi-kirkan proses longitudinal pembentuk perubahanruang-spasial berupa kekuatan pasar melaluiproduksi komoditas yang bersifat kapitalistik.Melalui gagasan Meikson Wood tentang pasarsebagai kekuatan pemaksa, alih-alih bekerja secaranormal dan alamiah, pemenuhan terus meneruskebutuhan komoditas global itu mereproduksihubungan sosial yang bersifat menyingkirkan satusama lain dan secara ekologis bersifat merusak.Telaah ini senada dengan apa yang ditunjukkanoleh Darmanto atas tinjaunnya terhadap bukuLand’s End: Capitalist Relations in an IndigenousFrontier karya Tania M. Li. Di bagian akhir jurnalini, penulis menunjukkan bahwa buku ini berhasilmeyakinkan terjadinya pembentukan produksikapitalistik yang berlangsung dari bawah, apayang senyatanya terjadi bahwa masyarakat secaraaktif terlibat dalam perubahan yang diakibatkanhadirnya komoditas kakao di Lauje, SulawesiTengah. Terjadi perebutan tanah antar merekasecara intim yang berlangsung ‘sunyi dan sehari-hari’. Buku ini sekaligus memantik gugatanmengenai adanya kekosongan politik agraria padakonteks terjadinya ‘capitalism from below’tersebut.

Gambaran optimistik dalam hubungan masya-

rakat dengan tanahnya disajikan oleh AhmadNashih Luthfi dan Surya Saluang. Berangkat daripandangan Alexander Chayanov yang menaruhperhatian pada kemampuan dan keberlanjutanpetani kecil, penulis mengajak melihat komposisidemografis keluarga masyarakat tani, khususnyaperan generasi muda mereka dalam pertanian.Kajiannya terhadap dua kasus di dua desa di kepu-lauan Halmahera dan satu desa di Kulonprogo,Yogyakarta, memperkuat argumen bahwagenerasi muda pertanian akan tumbuh ketikasegenap akses terbuka luas bagi mereka, yakniberupa tanah, keterlibatan dalam produksi, pasar,pengetahuan pertanian, serta kebijakan pertanianskala rumah tangga.

Tulisan Mujiati dan tulisan ringkas Fiskomemiliki kesamaan perhatian mengenai penting-nya peta desa yang memuat data spasial maupundata tekstual (yuridis). Peta desa tidak hanyadiperlukan untuk memberi informasi mengenaibatas wilayah desa, namun secara lebih dalamsemestinya bisa digunakan untuk mengidenti-f ikasi penguasaan-pemilikan tanah masyarakat,sehingga akan dapat diketahuai lebih lanjut ada-tidaknya tanah abseente di wilayah desa tersebut.Kebijakan lanjutan berupa landreform berangkatdari kesiapan peta desa tersebut. Pembuatan petadesa penting dilaksanakan secara partisipatifmelibatkan masyarakat, baik sebagai penyupaliinformasi maupun pelaku pelaksana pembuatanpeta dan identif ikasi P4T.

Administrasi pertanahan mendapat porsidalam kajian Priyo Katon Prasetyo mengenai pajakatas Bea Perolehan Hak Atas Tanah danBangunan di Magelang. Kebijakan desentralisasikategori perpajakan ini masih menciptakankondisi yang tidak sinergis antara pelaksana dipemerintahan kabupaten dengan pihak PejabatPembuat Akta Tanah (PPAT) dalam hal pe-mungutan pajak maupun penetuan Nilai JualObjek Pajak (NJOP).

Salah satu fungsi penataan ruang yang utama

Page 6: DASDSAD - PPPM

adalah pengendalian, ini sejalan dengan peru-bahan perspektif kebijakan lembaga pertanahanyang semula berbasis bidang menjadi berbasiskewilayahan (ruang). Model zonasi adalah salahsatu kontrol yang bisa dilakukan dalam memper-tahankan wilayah Kotagede Yogyakarta sebagaidaerah preservasi budaya. Tulisan yang disajikanoleh Ayu Wahyuningtyas dan Westi Utami inimasih di luar kerangka politik (sesuatu yangsemestinya muncul mengingat soal tata ruangadalah soal politik), untuk menguji misalnyakeseimbangan antara arus perpindahan pendu-duk, pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan

kebutuhan sarana prasarana f isik dengan kebi-jakan dalam mempertahankan Kotagede sebagaipreservasi budaya dimaksud.

Tinjauan teknis pertanahan melalui tulisanKariyono, Eko Budi Wahyono dan TanjungNugroho menelaah bahwa penggunaan JaringanReferensi Satelit Pertanahan (JRSP) dalam pelak-sanaan rekonstruksi batas bidang tanah harusdioptimalkan lebih lanjut di Kementerian Agrariadan Tata Ruang/BPN.

Demikian yang dapat kami sajikan untuk parapembaca. Selamat menelaah.

Redaksi

Page 7: DASDSAD - PPPM

ASDASDSA

Page 8: DASDSAD - PPPM

MANUSIA DAN TANAH:KEHILANGAN DAN KOMPENSASI DALAM KASUS LAPINDO

Anton Novenanto1

Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: The paper is trying to discuss on how land forms social relation and what happens when the relation is forced to beended. Two types of social relationship will be discussed. They are human-human and human-land relationship. The tworelations are getting more sophisticated due to the lost of land. Based on Lapindo case, the discussion on how the compen-sation is given to those undergoing the lost of land. This causes a new problem. There is a unique relation between man and hisland- that is not only the relation on economic value but also on cultural value. This paper, later on, is offering the agrarianreflective thinking on the lost of land and its compensation.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: land, compensation, lost, sense of belongs, Lapindo case

AbstrakAbstrakAbstrakAbstrakAbstrak: Artikel ini membahas bagaimana tanah membentuk relasi sosial dan apa yang terjadi bila relasi itu diputus paksa. Artikelini mengangkat dua jenis relasi sosial, yaitu relasi antar-aktor manusia dan antara manusia dengan tanah. Kedua relasi tersebutsemakin kompleks seiring dengan hilangnya tanah secara paksa. Berangkat dari kasus Lapindo, artikel ini mendiskusikan bagaimana“kompensasi” yang diterapkan untuk mengganti “kehilangan” yang dialami manusia justru memunculkan permasalahan baru.Argumen yang diangkat sangat umum, bahwa relasi manusia dengan tanahnya sangat unik karena pada tanah manusia tidakhanya melekatkan nilai ekonomi tapi juga nilai sosial dan budaya. Dengan demikian, artikel ini hendak menawarkan bahan refleksibagi studi agraria untuk memikirkan kembali tentang konsep “kehilangan” dan “kompensasi” atas tanah.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: tanah, kompensasi, kehilangan, rasa memiliki, kasus Lapindo

A. Pendahuluan

Bagaimana rasanya kehilangan? Pada sebuahperjumpaan, saya bertanya pada seorang informanperempuan korban Lapindo tentang apakah diamenyimpan foto rumah lamanya yang tenggelamdalam luapan lumpur. Sang informan yangsebelumnya bergelora menyampaikan pada sayatentang ketidakadilan yang bertubi-tubi

Untuk semua yang sudah kamu hilangkan, kamumemperoleh sesuatu; dan untuk semua yang sudah kamu

peroleh, kamu kehilangan sesuatu.– Ralph Waldo Emerson

menderanya selama menuntut haknya sebagaikorban Lapindo, sebagai warganegara yangterabaikan, tiba-tiba terdiam. Air matanya menetes,dia menangis. Saya tidak tahu apa yangdipikirkannya sekaligus khawatir atas apa yang akanterjadi bila berusaha menenangkannya. Sayamemilih diam, menunggu. Setelah emosinyamereda, dia mulai bercerita bahwa semua fotorumah lama mereka, disembunyikan suaminya.Alasannya, sang suami tidak ingin melihatnyamenangis begitu teringat rumah mereka yangsudah terendam lumpur. Sang suami memutuskanmenyembunyikan seluruh foto rumah mereka dan

1 Penulis adalah pengajar pada Jurusan Sosiologi,FISIP, Universitas Brawijaya, Malang; kandidat doktorpada Institut für Ethnologie, Ruprecht-Karls-Universität Heidelberg, Jerman; dapat dihubungi [email protected]

Diterima: 3 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 21 Mei 2015

Page 9: DASDSAD - PPPM

2 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

berusaha memutus segala kenangannya atas rumahitu. Sang informan melanjutkan cerita tentang biayapembangunan rumah yang diperolehnya dari hasilkeringatnya selama bekerja sebagai tenaga kerjawanita (TKW) di Hong Kong. Setiap bulan diamenyisihkan sebagian upahnya untuk dikirimkepada sang suami guna membangun rumah diDesa Siring, Kecamatan Porong, KabupatenSidoarjo. Setelah rumah itu berdiri, dia pulang keIndonesia, kembali bergabung bersama suami dananaknya. Tapi belum genap dua tahun dia meng-huninya, lumpur Lapindo menyembur danmenenggelamkan rumah hasil jerih payahnya itu.

Dalam kasus konflik/sengketa agraria, kitasering menjumpai gagasan bahwa kompensasi atastanah perlu mempertimbangkan faktor sosial danbudaya dari tanah tersebut. Namun, dalampraktiknya di Indonesia, kompensasi atas tanahtidak pernah melampaui fungsi tanah sebagai“komoditas” yang punya nilai tukar denganmengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP) yangberlaku di suatu daerah. Jual beli adalah praktikyang umum dan juga diberlakukan pada korbanLapindo, nilai kompensasi yang diterima korbandihitung berdasarkan luas tanah dan bangunanyang dimilikinya.

Praktik semacam ini mengandung beberapapermasalahan mendasar. Pertama, penerimakompensasi adalah “pemilik aset,” orang yangnamanya tertera di atas sertif ikat tanah danbangunan, yang belum tentu menghuninya.Kedua, kompleksitas problem semakin berlipatkarena sebagian besar warga hanya berpegang padaberkas ekstra-legal (letter C atau pethok D) dan tidakmemiliki sertipikat “resmi” (keluaran BPN) atas asettersebut itu. Ketiga, mengacu pada UUPA 5/1960,setiap petak tanah yang dibeli perusahaan(termasuk Lapindo) status kepemilikannya akanmenjadi “tanah negara,” yang memunculkanpertanyaan serius sehubungan dengan rencanapemerintah “menyita” tanah tersebut sebagaijaminan memberi pinjaman pada Lapindo.

Dari kisah informan di awal tadi, kita menda-patkan contoh riil tentang bagaimana manusiamelekatkan pada objek lebih dari sekadar nilaiekonomis atas fungsinya sebagai komoditas yangmemiliki nilai tukar. Pada tanah, manusia mele-katkan nilai sosial dan budaya yang tak dapatsemudah itu hilang dan justru semakin meningkatmenyusul hilangnya. Oleh karenanya, kita tidakberbicara sekadar tentang hilangnya tanah sebagaiobjek, namun juga “perasaan kehilangan.”

Artikel ini merepetisi argumen Stuart Kirschtentang “(perasaan) kehilangan,” yang sepertihalnya “(perasaan) memiliki,” adalah manifestasidari relasi sosial (2001a, 168–9). Mengambil contohkasus Lapindo, artikel ini hendak mengangkatbahwa “perasaan kehilangan” cenderung menguatakibat pemutusan paksa manusia dari tanahhuniannya. Cerita informan dalam paragrafpembuka hanyalah satu dari pelbagai kisah yangdapat ditemukan pada kasus pemindahan paksa ditempat lain (bdk. Oliver-Smith 2010). Belajar darikasus Lapindo, artikel ini hendak menawarkansebuah bahan refleksi yang mungkin berguna bagipeminat studi agraria untuk memikirkan kembalitentang “kehilangan” dan “kompensasi” atas tanah.

B. “Kompensasi” bagi Korban Lapindo2

Sepanjang sejarah berdirinya republik inimungkin tidak ada fitur ekologi yang lebih menarikdikaji dengan kacamata politik-ekologi diban-dingkan kemunculan lumpur panas di Porong, Jawa

2 Bagian ini hanya memberi gambaran sekilas ten-tang kasus Lapindo untuk memberi konteks relasi ma-nusia dan tanah yang akan dibahas. Di antara beragamliteratur yang membahas tentang kasus Lapindo, adabeberapa yang layak dipertimbangkan berdasar tema:dampak ekonomi dan ekologi (McMichael 2009),politik-ekonomi (Batubara & Utomo 2012; Schiller etal 2008), identitas korban (Drake, 2012, 2013), konstruksimedia massa (Novenanto et al 2013), organisasi non-pemerintah (Hamdi, Hafidz, & Sauter 2009). Bagipembaca yang berniat untuk menelusuri kasus Lapindodisarankan untuk merujuk literatur tersebut.

Page 10: DASDSAD - PPPM

3Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11

Timur. Lumpur Lapindo adalah gunung lumpur3

terbesar di dunia; yang pertama diterima manusiasebagai “bencana” (Novenanto 2010).

Sejak lahirnya, pada 29 Mei 2006, lumpurLapindo telah menenggelamkan lebih dari 800hektar wilayah terdiri dari kawasan permukiman,lahan pertanian, pabrik, sekolah, masjid, danfasilitas publik lainnya. Pada setahun pertama,pemerintah menghitung kerugian ekonomi makroyang diderita mencapai Rp.28,3 trilyun (BPK 2007;Bappenas 2007).

Penanganan bencana lumpur Lapindo menjadilebih rumit daripada bencana yang lain karenabanyak orang meyakininya sebagai “antropogenik,”disebabkan oleh kelalaian Lapindo Brantas Inc saatmelakukan pengeboran sumur gas alam BanjarPanji 1. Sementara itu, Lapindo dan pemerintahberusaha untuk menggiring opini publik padapemahaman bahwa lumpur itu muncul secara“alamiah,” dipicu oleh gempa bumi.

Lapindo adalah satu anak perusahaan GrupBakrie dan posisi ini menguntungkan Lapindo.Posisi strategis Aburizal Bakrie, f igur pentingkeluarga Bakrie, adalah kunci bagi Lapindomenghadapi krisis akibat lumpur itu (Schiller, Lucas& Sulistiyanto 2008). Saat semburan, Aburizalduduk sebagai Menteri Koordinator KesejahteraanRakyat (2004-2009) dan sekalipun tidak lagi dudukdi kabinet sejak 2009, Aburizal terpilih sebagaiketua umum Partai Golkar. Dengan posisi semacamitu, sangat mudah bagi Aburizal untuk mengin-tervensi politik bencana lumpur Lapindo melaluipenempatan kader Golkar di eksekutif maupun di

legislatif (Novenanto 2015). Selain itu, Grup Bakrieadalah induk dari sebuah stasiun televisi beritabesar di Indonesia, TVOne, yang semakin memu-dahkan Lapindo mengendalikan opini publiktentang kelalaian yang dilakukannya di Banjar Panji1 (Andriarti & Novenanto 2013).

Sampai sekarang, semburan lumpur Lapindodan permasalahan yang melekat pada dandiakibatkan olehnya belum juga berakhir. Para ahligeologi memperkirakan bahwa lumpur masih akanterus menyembur dalam volume yang sama sampaitiga dekade dan masih akan terus keluar denganjumlah lebih kecil selama ratusan tahun lagi(Davies, Mathias; Swarbrick & Tingay 2011).Sementara itu, tanah di sekitar semburan terusmengalami amblesan (Abidin, Davies; Kusuma,Andreas; & Deguchi 2009) mengakibatkandegradasi kualitas tanah di wilayah yang lebih luaslagi. Kini, luapan lumpur Lapindo telah menga-kibatkan pengosongan wilayah yang mencakup 15(lima belas) desa/kelurahan di tiga kecamatan diKabupaten Sidoarjo, yang merupakan hunian bagilebih dari 150.000 penduduk. Kelima belas desa/kelurahan itu adalah: Gempolsari, Kedungbendo,Kalitengah, dan Ketapang di Kecamatan Tang-gulangin; Renokenongo, Glagaharum, Siring,Gedang, Jatirejo, Mindi, dan Porong di KecamatanPorong; serta Kedungcangkring, Pejarakan, danBesuki di Kecamatan Jabon. Para penduduk harusmencari hunian baru dan membuka lembaran barukehidupannya, bersamaan dengan itu mereka jugaharus mengatasi perasaan kehilangan tanah yangterbenam lumpur.

Sebagai pengganti kerugian dan kehilanganyang dideritanya, warga mendapatkan “kompen-sasi” yang bentuk dan besarannya muncul daripenghitungan spontan Wakil Bupati (sekarangBupati Sidoarjo Saiful Ilah) pada pertengahan Sep-tember 2006 (Karib 2012, hlm. 67–68). Konteksnya,ada kebutuhan mendesak untuk membanguntanggul di Desa Jatirejo agar luberan lumpur tidakmeluas. Saiful, dikawal oleh aparat militer,

3Gunung lumpur (mud volcano) adalah fenomenaalam yang jamak ditemui di bumi ini. Keberadaannyaselalu berdekatan dengan sumber-sumber hidrokarbon(minyak dan gas bumi) (Higgins & Saunders 1974).Berdasarkan catatan kolonial, di Pulau Jawa sendiri ter-catat beberapa gunung lumpur yang dinamai oleh pen-duduk lokal “bledug.” Salah satu yang paling terkenalmungkin Bledug Kuwu di Grobogan, Jawa Tengah(Goad 1817).

Page 11: DASDSAD - PPPM

4 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

menemui 12 (dua belas) warga Jatirejo dan mem-bujuk mereka untuk menjual tanah dan rumahnyauntuk keperluan penanggulan itu. Dia menawar-kan harga satu juta rupiah per meter persegi tanahkering dan 1,5 juta rupiah per meter persegibangunan. Alasannya, harga itu sudah jauh di atasrata-rata ketentuan pemerintah untuk mengom-pensasi pembangunan ataupun bantuan bencana.Warga yang berada di bawah ancaman f isik darilumpur panas dan tekanan psikologis daripemerintah tak punya pilihan lagi selain menerimatawaran tersebut.

Informasi tentang transaksi aset kedua belaswarga itu menyebar luas ke korban lainnya dandesakan mereka menuntut “kompensasi” dariLapindo semakin menguat. Negosiasi berlangsungalot dan baru pada awal Desember 2006 usahatersebut berbuah hasil. Melalui surat yangditujukan pada Tim Nasional PenanggulanganLumpur Panas Sidoarjo (Timnas), tertanggal 4Desember 2006, Lapindo menyatakan kesang-gupannya untuk memenuhi tuntutan warga itusebagai bentuk “kepedulian sosial dan tanggung-jawab moral” perusahaan. Lapindo akan “membeli”aset (tanah dan bangunan) warga didasarkan padapenghitungan nilai tukar yang berlaku pada duabelas warga Jatirejo dengan ditambah ketentuannilai tukar tanah sawah sebesar 120 ribu rupiah permeter persegi. Keputusan Lapindo tersebut men-dapatkan legalitas hukum setelah keluarnya Perpres14/2007 yang mencantumkan tentang kewajibanLapindo “membeli” tanah dan bangunan warga(Pasal 15 ayat 1).

Dengan ketentuan ini, yang diperhitungkansebagai “korban” bukanlah manusia, melainkanaset (i.e. tanah dan bangunan). Juga, tidak adapembedaan penghitungan berdasarkan jenisperuntukkan aset, apakah itu aset produktif ataukonsumtif. Berdasarkan hasil wawancara denganbeberapa korban, harga tanah kering sebelumlumpur menyembur rata-rata berkisar antara 75.000dan 150.000 rupiah per meter persegi. Kalau pun

ada yang lebih mahal dari harga itu biasanya karenaberada di pinggir jalan besar ataupun untukkeperluan industri. Dengan demikian, nilai tukaryang ditawarkan pada warga atas aset mereka yangterbenam lumpur Lapindo jauh di atas NJOP diPorong, bahkan di Kabupaten Sidoarjo. Kenyataanini berulang kali dilontarkan pihak Lapindo untukmengklaim bahwa nilai tukar yang ditawarkan olehperusahaan jauh dari harga “normal.”

Perpres 14/2007 juga mengatur pembatasantanggung jawab Lapindo hanya pada wilayah yangtercantum di dalam peta area terdampak 22 Maret2007, sementara wilayah di luar peta adalah ke-wajiban pemerintah (Pasal 15 ayat 3). Dan begitulahadanya, seiring dengan meluasnya dampak luapanlumpur Lapindo, pemerintah merevisi Perpres 14/2007 dengan menerbitkan peraturan baru. Hinggatulisan ini dibuat, telah terjadi lima kali perubahanyaitu pada 17 Juli 2008 (Perpres 48/2008), 23 Sep-tember 2009 (Perpres 40/2009), 27 September 2011(Perpres 68/2011), 5 April 2012 (Perpres 37/2012), dan8 Mei 2013 (Perpres 33/2013). Setiap revisi menan-dakan perluasan wilayah yang akan dibeli olehpemerintah, tidak lagi oleh Lapindo.

C. Aktor, Objek, dan Kompensasi

Ada dua pendekatan yang dapat digunakanuntuk membahas persoalan pertanahan. Pertama,pendekatan politik-ekologi4 yang menekankan padaperan aktor manusia dan bagaimana merekaterlibat dalam relasi-relasi kuasa memperebutkanakses terhadap tanah. Pendekatan semacam ini,yang cukup populer di kalangan peneliti persoalanagraria di Indonesia belakangan ini, saya sebutdengan “pendekatan aktor” dan cenderung bersifatsosiologis. Pendekatan ini perlu dipahami sebagaisatu dimensi dalam studi politik-ekologi yangdiusulkan oleh duo geografer Inggris Raymond

4 Saya sengaja menggunakan istilah “politik-ekologi,” bukan “ekologi politik” – seperti halnya sayalebih sepakat penggunaan istilah “politik-ekonomi”ketimbang “ekonomi politik.”

Page 12: DASDSAD - PPPM

5Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11

Bryant dan Sinéad Bailey (1997)5 yang berangkat daripendekatan neo-Marxist dalam menganalisis peranaktor, utamanya negara dalam pengaturan(pengubahan/pelestarian) ekologi. Selain negara,juga ada aktor lain, yaitu lembaga dan perusahaantrans dan multi-nasional, organisasi non-peme-rintahan di Dunia Pertama dan di Dunia Ketiga,dan komunitas akar rumput.

Pendekatan aktor berguna untuk mengurairelasi kuasa para aktor yang dipicu oleh keberadaanobjek tertentu (yakni, tanah), akan tetapi konklusiyang ditarik nyaris seragam: negara tidak pernahaktif mengatasi konflik agraria, karena terdapatmotif akumulasi kapital. Alih-alih mengatasinya,negara justru membiarkan konf lik itu terusberlanjut dan menunggunya tuntas melalui meka-nisme pasar. Jika pun negara hadir, perannyacenderung represif mendukung akumulator kapitaldemi terlaksananya “pembangunan untuk kepen-tingan umum” sekalipun itu harus dilakukandengan mengabaikan eksistensi masyarakat akarrumput. Solusi yang ditawarkan adalah memantap-kan posisi negara untuk bersikap tegas menun-taskan segala konflik agraria di republik ini, sebuahsolusi yang, seolah-olah, menempatkan negarasebagai satu-satunya aktor yang mampu menye-lesaikan permasalahan yang ada (Afandi 2013,Aprianto 2013, Cahyati 2014a, 2014b, Rachman 2013,Tohari 2013).

Dengan demikian, pendekatan aktor cenderungmengabaikan analisis tentang tanah (objek yangmenjadi alasan bagi terjadinya relasi kuasa) karenapendekatan ini memfokuskan pada relasi antar-manusia dan mengabaikan pembahasan soal relasi

antara manusia dan objek. Stuart Kirsch (2001b,hlm. 147) menyebut relasi antar-manusia itu sebagai“transaksi” dan relasi manusia dan objek sebagai“kepemilikan.” Pada relasi “transaksi,” tanah diang-gap sebagai objek yang pasif, “yang dipolitisasi”olehmanusia (bdk. Bryant & Bailey 1997, hlm. 26, Bryant1998, hlm. 82–83) sehingga persoalan hilangnya“kepemilikan” atas suatu objek dan kompensasi ataskehilangan itu tidak bisa diurai dengan baik. Untukitu, dalam mendiskusikan “kehilangan” dan“kompensasi” tulisan ini juga akan mempertim-bangkan “pendekatan objek.”Sekalipun masihantroposentris, pendekatan kedua ini cenderungmelihat bagaimana aktor terikat atau mengikatkandiri pada suatu objek, d.h.i. tanah.

Pendekatan objek akan sangat membantudalam menggali nilai-nilai yang dilekatkan manusiapada tanah dan membahas kadar “kehilangan”ketika manusia diputus paksa dari tanahnya. Nilaiadalah persoalan budaya dan dengan demikian jugaadalah persoalan identitas suatu komunitas.Argumen saya sederhana: kekhawatiran utamamanusia bukanlah soal hilangnya tanah, melainkanlebih pada kekhawatiran akan hilangnya nilai-nilaiyang sudah dilekatkan pada tanah tersebut.Argumen semacam ini ditujukan untuk memper-soalkan penyederhanaan yang selama ini dilakukanatas “kehilangan” dan “kompensasi.”

Secara umum, “kompensasi” adalah bagaimanamengatasi ketidakseimbangan akibat kehilangansesuatu/seseorang yang terjadi secara mendadak(Bäckman & Dixon 1992, Faure 2007, Sugarman2007). Akan tetapi, berangkat dari kacamata filsafathukum, “kompensasi” terkait dengan “hukuman”yang diberikan pada aktor-pelaku yang telahmengakibatkan ketidakseimbangan (Fletcher 1981,hlm. 693). Sementara “hukuman” titik tolaknyaadalah pada aktor-pelaku, orientasi “kompensasi”adalah aktor-korban yang dirugikan akibatketidakseimbangan yang terjadi. Mengacu padaargumen itu, kita dapat mendef inisikan“kompensasi” sebagai hak yang harus diterimakan

5 Bryant dan Bailey menulis buku berjudul ThirdWorld Political Ecology yang lahir dari kuliah yang di-asuh oleh Raymond Bryant, pengajar di JurusanGeografi, King’s College, London, dengan judul yangsama. Sepanjang 1990an, Bryant telah menulis beberapaartikel yang menjadi bahan dasar penulisan bukutersebut. Sinéad Bailey adalah salah satu murid Bryantyang kemudian menjadi partner penelitian dan penu-lisan buku tersebut.

Page 13: DASDSAD - PPPM

6 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

pada aktor-korban dari aktor-pelaku menyusulketidakseimbangan akibat penghilangan sesuatu/seseorang yang bernilai bagi aktor-korban olehaktor-pelaku.

Dengan demikian, “kompensasi” tidak samadengan “bantuan” karena yang terakhir ini dapatberasal dari pihak manapun,tidak harus dari sipelaku, dan sifatnya sukarela. Tulis Fletcher, “kitadapat membantu korban dengan uang kita, tapisecara konseptual kita tidak sedang mengompen-sasi mereka” (1981, hlm. 699), sehingga sekalipunbentuk dan jumlahnya sama hakikat keduanyaberbeda.

D. Relasi Para Aktor

Sekalipun terdapat perbedaan pendapat tentangpemicu semburan (kesalahan pengeboran ataugempa bumi), sebagian besar warga meyakinibahwa lumpur panas yang menghancurkan tanahmereka itu disebabkan oleh kelalaian Lapindo.Wacana “kelalaian Lapindo” telah mengendapmenjadi “kebenaran” karena diperkuat pernyataan-pernyataan awal yang dilontarkan oleh aktor pen-ting dari pemerintah, ahli, dan bahkan dari pihakLapindo – sebelum akhirnya banyak yang berpin-dah haluan (Batubara 2013; Mudhoff ir 2013;Novenanto 2013a, 2013b). Dalam konteks semacamini, warga sedang menuntut pelaku untuk meng-ganti segala kerugian yang diderita sebagai akibatdari ulahnya itu; mereka tidak sedang meminta“bantuan,” tapi menuntut “kompensasi.” Sayangnya,tidak demikian yang terjadi dalam perjalanan kasusLapindo.

Seperti sudah dibahas pada bagian sebelum ini,terdapat perbedaan mendasar antara “kompensasi”dan “bantuan.” Sementara “kompensasi” mengan-daikan relasi antara “korban” (warga) dan “pelaku”(Lapindo), “bantuan” mengandaikan relasi antara“korban” (warga) dan “non-pelaku”(pemerintah).Kedua bentuk relasi itu berubah total pasca diterap-kannya mekanisme “jual beli,” yang berarti relasiyang melibatkan “penjual” (warga) dan “pembeli”

(Lapindo/pemerintah) dengan objek transaksinyaadalah aset di “dalam peta” dan “luar peta”. Yangdimaksud “peta” adalah peta area terdampak 22Maret 2007, lampiran Perpres 14/2007.

Transaksi tanah di “dalam peta” menjadi sangatrumit untuk diurai karena tidak hanya melibatkanaktor-penjual (warga) dan aktor-pembeli (Lapin-do), tapi juga aktor-pengatur (pemerintah). Sepertidibahas pada bagian sebelumnya, bentuk danbesaran “kompensasi” bagi korban Lapindo meru-pakan turunan dari kalkulasi spontan Wakil BupatiSidoarjo, Saiful Ilah, untuk membeli tanah danbangunan dua belas warga Jatirejo guna mem-bangun tanggul. Model jual beli dan nilai tukar asetitu diadopsi warga untuk mendesak Lapindo untukmengompensasi mereka atas kelalaiannya. Legiti-masi atas transaksi tanah “dalam peta” adalah Per-pres 14/2007, yang secara sederhana dapatdiilustrasikan seperti berikut:

Bagan .1. Relasi aktor berbasis tanah“dalam peta”

Perpres 14/2007 mengatur agar Lapindomembayar secara bertahap: 20 persen uang mukadan sisanya dibayarkan sekaligus tidak lebih dariwaktu dua tahun setelah pembayaran pertama.Untuk mengurusi proses itu, Lapindo mendirikananak perusahaan, Minarak Lapindo Jaya (MLJ).Pada kenyataannya, proses itu tidaklah semulus dansesederhana seperti bayangan warga. Sepertibanyak dibahas sebelumnya, jual beli tanah yangdiatur Perpres 14/2007 bertentangan dengan UUPA5/1960 (Gustomy 2012, Kurniawan 2012). Perusa-haan (Lapindo) bukanlah subjek hukum yangberhak membeli tanah. Mengacu UUPA, segalapraktik jual beli tanah yang melibatkan perusahaanakan batal secara hukum dan status tanah akan

Page 14: DASDSAD - PPPM

7Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11

berubah menjadi “tanah negara.” Dengan demi-kian, Perpres 14/2007 membuka peluang bagiberagam tafsir hukum dan sosial atas apa yangdimaksudkan “Lapindo membeli tanah danbangunan dari warga. “Pada 24 Maret 2008, BPNPusat menerbitkan petunjuk pelaksanaan yangmerinci alur mekanisme jual beli tanah “dalampeta” berdasarkan status tanah (tanah hak milik,tanah yasan/letter c/petok d/gogol, hak gunabangunan, dan aset pemerintah pusat/daerah).Dalam setiap alur itu disebutkan bahwa setelahterjadi ikatan jual beli status tanah akan menjadi“tanah negara” dan kemudian pemerintah akanmemberikan “hak guna bangunan” pada Lapindoatas tanah tersebut (lih. Bagan 2).

Bagan .2. Proses perubahan status tanah “dalampeta”

Pada pertengahan 2008, MLJ menyatakan tidaksanggup melunasi seluruh sisa pembayaran secaratunai dan mengangkat kembali opsi “relokasi”dengan membarter nilai tukar aset warga denganunit rumah baru di Kahuripan Nirvana Village(KNV), sebuah perumahan elite di bawah benderaBakrieland. Dengan dalih transaksi jual beli tanahmembutuhkan sertif ikat “resmi” dari BPN, MLJmemaksa warga tanpa sertif ikat tanah untukmengambil opsi yang populer dengan istilah “cashand resettlement.” Sebagian besar warga yang ter-gabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo(GKLL) menerima opsi itu melalui mediasibudayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Semen-tara itu, banyak juga warga yang menolak tawaranMLJ itu. Mereka menuntut pembayaran dilakukansesuai Perpres 14/2007, yaitu tunai sekaligus.Kepada kelompok warga ini, pada Desember 2008,MLJ berjanji akan membayar kekurangan dengan

cara cicilan sejumlah Rp 30 juta/bulan/berkas. PadaFebruari, janji itu berubah menjadi Rp 15 juta/bulan/berkas.

Mulai Januari 2013, pembayaran cicilan ituberhenti karena MLJ menyatakan tidak punya uanglagi. Hingga kini, MLJ masih menunggak padawarga sebesar lebih dari Rp 700 milyar dan berharappemerintah mau menalangi tunggakan itu. MelaluiAPBN Perubahan 2015, pemerintah menganggar-kan dana sebesar Rp.781,7 milyar untuk menalangikekurangan pembayaran MLJ pada korban. DanaAPBN itu sifatnya bukanlah bantuan (bail out),melainkan pinjaman bersyarat dan Lapindo/MLJberkewajiban mengembalikannya. Sebelum men-cairkan dana itu, pemerintah harus mendapatkanjaminan dari Lapindo/MLJ berupa seluruh berkastanah “dalam peta” yang akan diambil alih peme-rintah bila Lapindo/MLJ tidak dapat mengem-balikan dana pinjaman itu dalam kurun empattahun.

Jika keputusan itu betul dilaksanakan, makaterjadi perubahan drastis dalam relasi antara paraaktor dalam transaksi tanah “dalam peta”: wargasebagai penjual, Lapindo sebagai pembeli, danpemerintah sebagai talang/makelar dalam prosesjual beli itu (lih. Bagan 3). Kelanjutan status tanah“dalam peta” akan amat tergantung pada apakahpemerintah akan memberikan “hak gunabangunan” tanah tersebut pada Lapindo atau me-nahannya.

Bagan.3. Relasi bila pemerintah menalangipembayaran tanah “dalam peta”

Proses jual beli tanah di “luar peta” cenderunglebih mudah diurai karena Lapindo tidak lagiterlibat di dalamnya dan relasi hanya melibatkanaktor-penjual (warga) dan aktor-pembeli (peme-rintah).Tidak hanya itu, menurut Perpres 48/2008,status tanah setelah transaksi pun lebih jelas, yaitu

Page 15: DASDSAD - PPPM

8 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

menjadi barang milik negara di bawah MenteriKeuangan dan dipergunakan oleh BPLS (Pasal 15c).Namun, transaksi tersebut masih menyisakanpertanyaan seputar dasar bagi pemerintah “mem-beli” tanah tersebut karena Pasal 15 ayat 4 Perpres48/2008 menyebutkan bahwa dalam transaksi ituPerpres 36/2005 jo Perpres 65/2006 tentangPengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum tidakberlaku. Terlepas dari itu, secara sederhana relasiyang terjadi atas tanah di “luar peta” dapat diilus-trasikan seperti Bagan 4.

Bagan .4.Relasi aktor berbasis tanah “luar peta”

E. Relasi Manusia dan Tanah

Cernea (1997, 2003) menyebutkan bahwaberagam jenis kehilangan yang dialami korbanpemindahan paksa, namun artikel ini hanya akanmembahas ihwal kehilangan yang terkait denganrelasi manusia dan tanah. Berkaca pada kasusLapindo, ada tiga hal yang patut kita catat berpo-tensi untuk ikut hilang menyusul hilangnya tanah.Pertama, hilangnya kehidupan sosial/keseharianterkait dengan tanah yang hilang itu. Secara kasatmata, lumpur Lapindo tidak menghilangkan tanah,namun mengalihkan fungsi tanah, dari tanahproduktif menjadi tanah mangkrak. Yang hilang,kemudian, adalah kehidupan sosial/keseharianyang pernah terjadi di atas tanah itu.

Pada sebuah petang di pertengahan Juni 2012,saya diantarkan oleh seorang pemuda korbanLapindo pergi ke “titik 25.”6 Di sana kami bertemudengan beberapa wisatawan lokal yang dipandu

oleh beberapa “ojek tanggul.” Sementara parawisatawan itu mengambil gambar senja di atastanggul, satu tukang ojek bertindak seperti seorangpemandu wisata profesional menjelaskan padamereka tentang bencana lumpur Lapindo. Diamenunjuk beberapa titik di atas permukaan danaulumpur yang diklaimnya sebagai lokasi bekasdesanya. “Sekarang semua hilang,” ujarnya. Begituhari mulai gelap, kami turun dari tanggul. Sambilmengemudikan sepeda motornya, pengantar sayabercerita tentang kenangan masa kecilnya bermaindi wilayah yang sekarang terbenam lumpur.“Dahulu ada rumah dan sekolah, tapi sekarangsemua sudah tiada,” katanya.

Kedua, hilangnya objek membuka kemung-kinan bagi hilangnya pengetahuan tentang objektersebut (Kirsch 2001a, hlm. 173–174). Karena objekyang hilang adalah tanah tempat kehidupan sosial/keseharian terjadi, yang hilang bukan sekadarpengetahuan tentang tanah melainkan jugakehidupan sosial/keseharian yang pernah terjaditerkait tanah itu. Setiap subjek berkesempatanuntuk membangun pengetahuan intersubjektiftentang tanah dan kehidupan sosial/keseharianyang hilang itu. Pengetahuan itu tersimpan dalamingatan setiap subjek yang mengalaminya danhanya dikeluarkan pada momentum tertentu.Namun, tidak semua orang punya peluang yangsama dalam mereproduksi dan mengartikulasikanpengetahuannya itu kepada orang lain, kalaupunada peluang belum tentu juga orang lain itu akanmenerimanya begitu saja (Drake 2013).

Hal ini membawa kita kembali pada kisahinforman di awal tulisan ini. Dari kisah itu kita dapatmenyaksikan fungsi foto sebagai medium pemicureproduksi pengetahuan tentang sebuah rumahyang secara f isik sudah tiada, namun masih eksisdalam ingatan informan. “Perasaan memiliki”rumah dari informan tersebut justru semakin kuatkarena objek itu sudah tiada lagi. Objek bisa sajahilang, namun pengetahuan tentangnya itu tidakbegitu saja hilang dari ingatan subjek. Namun,

6 “Titik 25” adalah titik terdekat dengan semburanutama yang dapat diakses oleh publik. Untuk memu-dahkan pembangunan tanggul, Badan PenanggulanganLumpur Sidoarjo (BPLS) mengode dengan sebutan“titik” menggantikan nama desa/dusun administratifyang terendam lumpur.

Page 16: DASDSAD - PPPM

9Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11

karena subjek itu telah terputus dari objek danpengetahuan bersifat intersubjektif, konstruksipengetahuan tentang objek itu akan berubahbersamaan dengan proses interaksi subjek denganobjek baru.

Kisah informan itu menunjukkan bahwa tanahbukan objek sembarangan. Bagi f ilsuf Jerman Mar-tin Heidegger (1971), tanah adalah “hunian” (Jer.Wohnung)yang merujuk bukan sekadar tempatyang kita diami atau tinggali tapi juga tempat yangkita pelihara dan rawat seperti halnya kitamemelihara dan merawat diri kita sendiri. Padalevel ini kita tidak sedang berbicara tentang “kepe-milikan,” tapi lebih tentang “perasaan memiliki”tanah. Kondisi ini membawa kita pada kehilanganketiga yang patut kita catat, yaitu hilangnyaidentitas kolektif dan intersubjektif yang terbentukdari kehidupan sosial/keseharian bersama tanahitu. Tanah adalah objek yang turut membentukidentitas para aktor yang terikat dan mengikatkandiri padanya. Hilangnya tanah berarti juga hilang-nya nilai-nilai lama yang dilekatkan pada tanah itutergantikan oleh nilai-nilai baru.

Keunikan relasi manusia dan tanah pada kasusLapindo adalah kenyataan bahwa nilai yang dile-katkan warga pada tanah jauh lebih besar justrusetelah f isik tanah itu hilang dan tidak lagi dapatdipergunakan untuk hunian. Melepas “kepemi-likan,” tidak sama dengan melepas “perasaan memi-liki” tanah. Perasaan itu bukanlah sesuatu yangdapat dengan mudah tergantikan oleh penggantianberdasarkan nilai tukar atas tanah itu. “Kom-pensasi” yang didapatkan korban hanya berfungsisebagai perantara untuk mendapatkan tanah barumenggantikan tanah lama yang terendam lumpur.Caranya adalah dengan melepas “kepemilikan” atastanah lama dan menggantinya dengan “kepe-milikan” atas tanah baru. Sementara lumpurmenghilangkan objek tanah, jual beli melepaskan“kepemilikan” atas tanah. Akan tetapi, proseskompensasi melalui mekanisme jual beli tidakpernah bisa mengganti “perasaan memiliki” tanah.

E. Kesimpulan

Hubungan antara manusia dan tanah adalahunik karena pada tanah manusia melekatkan nilaiekonomi, sosial, dan budaya. Tanah merupakanbasis bagi dua jenis relasi sosial, yaitu relasi antaraaktor manusia dan relasi antara manusia dan tanah,dan artikel ini membahas keduanya. Artikel inimendiskusikan kedua jenis relasi itu denganmengangkat proses kehilangan dan kompensasidalam kasus Lapindo.

Selama ini, persoalan kehilangan tanah akibatlumpur Lapindo diselesaikan melalui mekanisme“jual beli” yang menandakan pencabutan “kepemi-likan” atas tanah yang hilang itu dengan nilai tukartertentu. Mekanisme itu dilegitimasi melalui pener-bitan Perpres 14/2007 yang membagi tanggungjawab pembelian pada Lapindo dan pemerintahdengan acuan peta 22 Maret 2007. Lapindo berke-wajiban membeli tanah di “dalam peta” dan peme-rintah menanggung pembelian tanah di “luar peta.”Relasi sosial dalam transaksi tanah “luar peta”mudah diurai, sementara relasi sosial yang terben-tuk dalam transaksi tanah “dalam peta” menjadi rumitkarena sejak awal melibatkan interrelasi tiga aktor(penjual, pembeli, dan pengatur) dan dalam proses-nya terjadi perubahan peran yang cukup signif ikan.

Berkaca pada kasus Lapindo ada tiga hal yangpotensial hilang menyusul hilangnya tanah:1)kehidupan sosial/keseharian terkait dengan tanahyang hilang itu, 2) pengetahuan atas tanah dankehidupan sosial/keseharian terkait dengan tanahitu, dan 3) identitas yang terbentuk dari interaksimanusia dan tanah itu. Keunikan relasi manusiadan tanah terbukti pada persoalan melepas “kepe-milikan” yang tidak pernah sama dengan melepas“perasaan memiliki” tanah. “Perasaan memiliki”bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudahtergantikan oleh penggantian berdasarkan nilaitukar, bahkan tak jarang perasaan itu semakin kuatketika manusia diputus paksa dari tanahnya. Halini dipicu oleh fakta bahwa tanah bukanlah objeksembarangan, di atas tanah manusia “menghuni”

Page 17: DASDSAD - PPPM

10 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

yang berarti memelihara dan merawatnya sepertimanusia memelihara dan merawat dirinya sendiri.

Konsep “kehilangan” tanah perlu didiskusikanlebih serius untuk menemukan cara mengom-pensasi kehilangan-kehilangan yang terjadi ketikamanusia diputus paksa dari tanahnya. Selama ini,kompensasi atas kehilangan tanah hanya mem-perhitungkan nilai ekonomis semata dan belummenyentuh pertimbangan nilai sosial dan budayayang dilekatkan manusia pada tanah. Saya melihatadanya kebutuhan yang mendesak bagi peminatstudi agraria untuk menggali pelbagai gagasanseputar ihwal yang potensial hilang ketika manusiadiputus paksa dari tanahnya dan bagaimana caramengompensasi kehilangan semacam itu.Untukitu, fokus kajian studi agraria perlu melampauisekadar analisis relasi kuasa antar-aktor manusia(pendekatan aktor), tapi juga mengurai relasi-relasiunik yang terjadi antara manusia dengan tanahnya(pendekatan objek).

Daftar Pustaka

Abidin, H. Z., Davies, R. J., Kusuma, M. A., Andreas,H., & Deguchi, T, 2009, Subsidence and upliftof Sidoarjo (East Java) due to the eruption ofthe Lusi mud volcano (2006 – present). Envi-ronmental Geology, 57, 833–844.

Afandi, M, 2013, Perlawanan Ekstra-Legal:Transformasi Perlawanan Petani MenghadapiKorporasi Perkebunan. Bhumi, 12(37), 63–95.

Andriarti, A., & Novenanto, A, 2013, Kasus Lapindodi balik layar “tivi merah.” In A. Novenanto(Ed), Membingkai Lapindo: Pendekatan Kon-struksi Sosial atas Kasus Lapindo (pp. 67–91),Jakarta & Yogyakarta, MediaLink & Kanisius.

Aprianto, T. C, 2013, “Perampasan Tanah danKonflik: Kisah Perlawanan Sedulur Sikep”.Bhumi, 12(37), 157–168.

Bäckman, L., & Dixon, R. A, 1992, “PsychologicalCompensation: A Theoretical Framework”.Psychological Bulletin, 112 (2), 259–283.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), 2007, LaporanPemeriksaan atas Penanganan Semburan

Lumpur Panas Sidoarjo, Jakarta, Badan Peme-riksa Keuangan.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional(Bappenas), 2007, Laporan Awal PenilaianKerusakan dan Kerugian akibat SemburanLumpur Panas Sidoarjo, Jawa Timur, 29 Mei2006, Jakarta, Bappenas.

Batubara, B, 2013, Perdebatan tentang penyebablumpur Lapindo. In A. Novenanto (Ed.),Membingkai Lapindo: Pendekatan KonstruksiSosial atas Kasus Lapindo (pp. 1–16). Jakarta &Yogyakarta, MediaLink & Kanisius.

Batubara, B., & Utomo, P. W, 2012, Kronik LumpurLapindo: Skandal Bencana Industri PengeboranMigas di Sidoarjo. (H. Prasetia, Ed.), Yog-yakarta, INSIST Press.

Bryant, R. L, 1998, Power, knowledge and politicalecology in the third world: a review. Progressin Physical Geography, 22 (1), 79–94.

Bryant, R. L., & Bailey, S, 1997, Third World PoliticalEcology, New York: Routledge.

Cahyati, D. D, 2014a, Konflik Agraria di Urutsewu: Pen-dekatan Ekologi Politik, Yogyakarta: STPN Press.

Cahyati, D. D, 2014b, “Pertarungan Aktor dalamKonflik Penguasaan Tanah dan PenambanganPasir Besi di Urut Sewu Kebumen”, Bhumi,13(39), 369–386.

Cernea, M. M, 1997, The risks and reconstructionmodel for resettling displaced populations.World Development, 25(10), 1569–1587.

Cernea, M. M, 2003, For a new economics of re-settlement: a sociological critique of the com-pensation principle. International Social Sci-ence Journal, 55(175), 37–45.

Davies, R. J., Mathias, S., Swarbrick, R. E., & Tingay,M. (2011). Probabilistic longevity estimate forthe LUSI mud volcano, East Java. Journal ofthe Geological Society, London, 168, 517–523.

Drake, P, 2012, The goat that couldn’t stop the mudvolcano: sacrif ice, subjectivity, and Indonesia’s“Lapindo mudflow.” Humanimalia, 4(1), 80–111.

Drake, P, 2013, Under the Mud Volcano: Indonesia’sMudflow Victims and the Politics of Testimo-ny, Indonesia and the Malay World, 41, 299–321.

Faure, M. G, 2007, Financial compensation for vic-tims of catastrophes: a law and economics per-

Page 18: DASDSAD - PPPM

11Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11

spective. Law and Policy, 29(3), 339–367.Fletcher, G. P, 1981, Punishment and Compensa-

tion, Creighton Law Review, 14(1893), 691–705.Goad, S. T, 1817, Miscellanous observations on the

volcanic eruptions at the islands of Java andSumbawa, with a particular account of themud volcano at Grobogan, Journal of Science& the Arts, 1, 245–258.

Gustomy, R, 2012, Menjinakkan negara, menun-dukkan masyarakat: menelusuri jejak strategikuasa PT Lapindo Brantas dalam kasus lumpurpanas di Sidoarjo. In H. Prasetia (Ed.), LumpurLapindo: Kekalahan Negara dan MasyarakatSipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (pp.31–97). Depok: Yayasan Desantara.

Hamdi, M., Hafidz, W., & Sauter, G, 2009, UplinkPorong: responses to the mud volcano disasterin Sidoarjo, Gatekeeper, London, InternationalInstitute for Environment and Development(IIED).

Heidegger, M, 1971, Building Dwelling Thinking. InA. Hofstadter (Trans.), Poetry, Language,Thought. New York: Harper Colophon Books.

Higgins, G. E., & Saunders, J. B, 1974, Mud volca-noes - their nature and origin. VerhandlungenDer Naturforschenden Gesellschaft in Basel,1(30), 101–152.

Karib, F, 2012, Programming Disaster: SwitchingNetwork, Village Politics and Exclusion be-yond Lapindo Mudflow. Unpublished Thesis,University of Passau, Germany.

Kirsch, S, 2001a, Lost Worlds: Environmental Di-saster, “Cultural Loss,” and the Law. CurrentAnthropology, 42(2), 167–198.

Kirsch, S, 2001b, Property Effects: Social Networksand Compensation Claims in Melanesia. So-cial Anthropology, 9(2), 147–163.

Kurniawan, J. A, 2012, Lumpur Lapindo: sebuahpotret mitos tentang negara hukum Indone-sia. In H. Prasetia (Ed.), Lumpur Lapindo:Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalamPenanganan Lumpur Lapindo (pp. 99–148),Jakarta, Yayasan Desantara.

McMichael, H, 2009, The Lapindo mudflow disas-ter: environmental, infrastructure and eco-nomic impact. Bulletin of Indonesian Economic

Studies, 45(1), 73–83.Mudhoffir, A. M, 2013, Berebut kebenaran: politik

pembentukan subjek pada kasus Lapindo. InA. Novenanto (Ed.), Membingkai Lapindo:Pendekatan Konstruksi Sosial atas KasusLapindo (pp. 17–48), Jakarta & Yogyakarta,MediaLink & Kanisius.

Novenanto, A. 2010, Melihat Kasus Lapindo sebagaiBencana Sosial. Masyarakat, Kebudayaan, DanPolitik, 23(1 (Jan-Mar)), 63–75.

Novenanto, A, 2013°, Kasus Lapindo oleh mediaarusutama, In A. Novenanto (Ed.), Membing-kai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atasKasus Lapindo (pp. 93–115). Jakarta & Yogya-karta, MediaLink & Kanisius.

Novenanto, A, 2013b, Menguak ketertutupan infor-masi kasus Lapindo, In A. Novenanto (Ed.),Membingkai Lapindo: Pendekatan KonstruksiSosial atas Kasus Lapindo (pp. v–xviii). Jakarta& Yogyakarta, MediaLink & Kanisius.

Novenanto, A, 2015, April 8, Golkar dan Lapindo,IndoProgress.com, Retrieved April 11, 2015,from http://indoprogress.com/2015/04/golkar-dan-lapindo.

Novenanto, A., Batubara, B., Mudhoff ir, A. M.,Andriarti, A., Suryandaru, Y. S., & Kriyantono,R. (2013), Membingkai Lapindo: PendekatanKonstruksi Sosial atas Kasus Lapindo, (A.Novenanto, Ed.), Jakarta & Yogyakarta,MediaLink & Kanisius.

Oliver-Smith, A, 2010, Defying Displacement:Grassroot Resistance and the Critique of De-velopment, Austin, TX: University of Texas Press.

Rachman, N. F, 2013, Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria yang Kronis, Sistemik danMeluas di Indonesia. Bhumi, 12(37), 1–14.

Schiller, J., Lucas, A., & Sulistiyanto, P, 2008, Learn-ing from the East Java mudflow: disaster poli-tics in Indonesia, Indonesia, 85 (April), 51–77.

Sugarman, S. D, 2007, Roles of Government in Com-pensating Disaster Victims, Issues in LegalScholarship, 6(3), 1–33.

Tohari, A, 2013, Land Grabbing dan Potensi Inter-nal Displacement Persons (IDP) dalamMerauke Integrated Food and Energy Estate(MIFEE) di Papua, Bhumi, 12(37), 49–62.

Page 19: DASDSAD - PPPM

ANALISIS KRITIS SUBSTANSI DAN IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANGNOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG KEISTIMEWAAN

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM BIDANG PERTANAHANKus Sri Antoro1

AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: The structure of land tenure and ownership in Special Province of Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta/DIY) haschanged radically since The Law No 13/2012 on Yogyakarta’s Special Status (UUK DIY) was enacted.. The changes include 1)establishment of both the Sultanate (Kasultanan) and Pakualaman Regency as special legal bodies allowed to possess lands,according to this article by the name of Culture Heritage Legal Body (Badan Hukum Warisan Budaya/BHWB); 2) establishmentof the existence of lands categorized as Sultan’s (Sultanaat Grond/SG) and Pakualaman’s (Paku Alamanaat Grond/PAG). Thispaper is the result of a community desk study conducted from September 2014 to February 2015, and is aimed at showing:1) the legal position of SG and PAG; 2) the legal position of state-controlled lands; 3) the legal position of lands belonging tosociety, either individual or communal (village-owned lands), 4) the position of agrarian law to UUK DIY. The analysis of officialdocuments carried out using historical; legal; and social-cultural approaches to critically analyze the substance and implemen-tation of UUK DIY.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: UUK DIY, Kasultanan, Pakualaman, Sultanaat Grond, Paku Alamanaat Grond

AbstrakAbstrakAbstrakAbstrakAbstrak: Struktur penguasaan dan kepemilikan tanah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami perubahanmendasar sejak UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK DIY) disahkan. Perubahan tersebut meliputi 1)penetapan Kasultanan/Kadipaten (Pakualaman) sebagai badan hukum khusus yang dapat memiliki tanah, dalam tulisan ini disebutBadan Hukum Warisan Budaya (BHWB); 2) pengukuhan eksistensi tanah-tanah yang digolongkan sebagai Sultanaat Grond (SG)dan Paku Alamanaat Grond (PAG). Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian pustaka oleh komunitas masyarakat yang dilakukandari September 2014 hingga Februari 2015, dan bertujuan untuk menunjukkan 1) kedudukan hukum dari tanah dengan statusSG dan PAG; 2) kedudukan hukum dari tanah yang dikuasai negara, 3) kedudukan hukum dari tanah yang dimiliki masyarakat,baik individu maupun komunitas (tanah desa), 4) kedudukan hukum agraria terhadap UUK DIY. Analisis terhadap isi dokumen-dokumen resmi dilakukan dengan pendekatan sejarah, hukum, dan sosial budaya untuk menelaah secara kritis substansi danimplementasi UUK DIY.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: UUK DIY, Kasultanan, Pakualaman, Sultanaat Grond, Paku Alamanaat Grond

A. Pendahuluan

Sistem politik otonomi daerah membukakesempatan bagi kebangkitan kekuasaan bekasswapraja tanpa kecuali Kasultanan dan Kadipaten(Pakualaman) di Daerah Istimewa Yogyakarta(DIY), sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1mengenai gerakan kebangkitan bekas swapraja di

Yen butuh mbenerake UU Keistimewaan, dhasare Sabdatama lan ngowah-owahi Undang-undange. Jika perlumerevisi UU Keistimewaan, landasannya adalah Sabdatama (ucapan raja) dan mengubah Undang-undangnya.

(Sultan HB X, Sabdatama 7 Maret 2015)

beberapa daerah di Indonesia (van Klinken 2010).Di ranah hukum, Pasal 18 B UUD 1945 merupakanjaminan konstitusional yang dapat ditafsirkan dandimanfaatkan oleh keturunan penguasa bekasswapraja untuk memperjuangkan hak danwewenang swapraja atas sumberdaya agraria2 dan

1 Penulis adalah Relawan Peneliti pada ForumKomunikasi Masyarakat Agraris (FKMA), email:[email protected]

2Hak dan Wewenang Swapraja atas sumberdayaagraria telah dihapuskan melalui Diktum IV UU No 5Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria(UUPA)

Diterima: 1 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 20 Mei 2015

Page 20: DASDSAD - PPPM

13Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

eksistensi feodalisme dalam pemerintahan3. Yaitumenggunakan argumentasi bahwa swapraja tidakberbeda dengan masyarakat hukum adat yangdiatur hukum adat. Secara khusus di DIY, swaprajadan masyarakat hukum adat jelas terbedakanmenurut sejarah kemunculannya, posisi politikterhadap kolonial, kedaulatan, watak dalampenguasaan sumberdaya, pola pengambilankeputusan, dan eksistensi keduanya di dalamproduk hukum4, sebagaimana ditunjukkan padaTabel 2. Di ranah ekonomi, kepentingan ekonomiglobal juga mendorong kebangkitan kembalikekuasaan swapraja. Khusus di DIY, MasterplanPercepatan dan Perluasan Pembangunan EkonomiIndonesia (MP3EI) memotivasi pewaris swaprajauntuk melakukan organisasi ekonomi dan politikagar menjadi bagian dalam sirkuit kapital5, yangakhirnya melahirkan model tatanan baru yaitufeodalisme kapitalistik6 (Antoro 2010, p. 95; Yanuar-

di 2012, p.17; Aditjondro 2013, p. 91-94).Dibandingkan dengan swapraja di daerah lain,

Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta mampumengambil kesempatan pada setiap pergantianrezim kekuasaan baik pada masa Revolusi Kemer-dekaan, Orde Demokrasi Terpimpin, Orde Baru,hingga Orde Reformasi. Raja atau bangsawanKasultanan dan Pakualaman mengambil bagiandalam momentum-momentum nasional dan men-duduki posisi penting dalam panggung politik,sehingga keduanya mampu mempertahankanpengaruh di tingkat nasional dan lokal7. Salah satumomentum nasional yang penting adalah pernya-taan Kasultanan dan Pakualaman untuk menjadibagian dari NKRI melalui Amanat 5 September19458 yang kemudian menjadi modal politik bagiupaya organisasi ekonomi dan politik.

Puncak dari upaya organisasi politik danekonomi tersebut adalah penerbitan UU No. 13

3Sekitar 177 perwakilan raja dan sultan hadir dalamSilaturahmi Nasional (Silatnas) Raja dan SultanNusantara IV digelar di Puri Agung Klungkung, Bali,Selasa 28 April 2015, menyepakati lima poin sikap,yaitu: 1) Meminta pemerintah mengembalikan sejarahyang ada di Bumi Nusantara, 2) Mengharapkan supayaRaja dan Sultan dilibatkan dalam proses pembahasan-nya Rencana Undang-Undang (RUU) PMA (Perlin-dungan Masyarakat Adat), 3) Pemerintah melakukanpemberdayaan ekonomi terhadap Raja dan Sultan.Artinya, ada perbaikan ekonomi dan pemberdayaanterhadap Raja atau Sultan sebagai tokoh masyarakat,4) Pemerintah melakukan pengendalian dan pengem-balian posisi raja dan sultan sebagai tokoh masyarakata-nya di daerah-daerahnya, dan 5) Raja dan Sultansebagai mitra pemerintah. Pertemuan tersebut jugadihadiri oleh perwakilan Kerajaan Klantan Malaysia,Philipina, dan Jerman. Lihat http://bali.tribunnews.com/2015/04/28/ini-5-sikap-yang-diajukan-silatnas-raja-dan-sultan-iv-ke-pemerintah.

4UUPA melindungi hukum adat namun menia-dakan swapraja dengan tujuan mengakhiri feodalismewarisan kolonial.

5Dua Megaproyek MP3EI di DIY adalah Pertam-bangan Pasir Besi dan Bandara Internasional di KulonProgo.

6 Pola yang terjadi di DIY mengarah pada modelFeodalisme Kapitalistik, yaitu swapraja menggunakan

kultur feodalisme untuk memegang kendali ataspenguasaan agraria dan tata ruang, birokrasi, dansistem politik-pemerintahan lokal yang steril dariintervensi negara dan masyarakat sipil demi akumulasilaba dan reproduksi kapital. Pola FeodalismeKapitalistik membutuhkan legitimasi secara legal,sehingga dapat diterima sebagai bagian dari prosesdemokratisasi hukum dan politik. Lihat Wicaksanti,(2014: 22-28) dalam Majalah BALAIRUNG: “Dualismedalam Gerak Tranformasi Agraria”

7 Sultan HB IX pernah menjabat sebagai WakilPresiden, Paku Alam VIII pernah menjabat sebagaiGubernur Propinsi DIY; Sultan HB X merupakantokoh reformasi dan kini menjabat Gubernur PropinsiDIY, dan Paku Alam IX sebagai wakil Gubernur DIYsaat ini. Tokoh lain misalnya Ki Hajar Dewantara danSoerjopranoto.

8Amanat 5 September 1945 dikeluarkan oleh Sul-tan HB IX dan Paku Alam VIII, dengan bunyi yangsama:

1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang ber-sifat keradjaan adalah daerah istimewa dari NegaraRepublik Indonesia.

2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegangsegala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Ha-diningrat, dan oleh karena itu berhubung dengankeadaan pada dewasa ini segala urusan peme-

Page 21: DASDSAD - PPPM

14 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah IstimewaYogyakarta (UUK DIY) yang menjamin hak danwewenang Kasultanan dan Pakualaman dalam halpemerintahan dan pertanahan. Tidak hanyadipengaruhi oleh mobilisasi massa yang menuntutkeistimewaan DIY, UUK DIY juga diperjuangkandengan argumentasi-argumentasi, antara lain ialah:1) Argumentasi sejarah bahwa Kasultanan danPakualaman merupakan negeri yang berdaulatsebelum kemerdekaan RI serta memiliki tatahukum sendiri9 (Antoro 2014, p. 2) Argumentasihukum bahwa kedudukan istimewa dari hak sertawewenang Kasultanan dan Pakualaman belumdiatur UU sehingga di DIY masih terjadi “keko-songan hukum” terutama di bidang pertanahan(Sembiring 2012 dan Munsyarief 2013); 3) Argu-mentasi politik bahwa revitalisasi UUPA diperlukanuntuk mengakomodasi hak swapraja atas tanah10.Studi-studi terdahulu tentang DIY juga mengu-atkan argumentasi di atas, yang dihadirkan untukmeluhurkan citra feodalisme-kolonialisme11

(Soemardjan 2009) dan mengawetkan eksistensidualisme hukum pertanahan12 (Suyitno 2006).

Tabel 1 Gerakan Kebangkitan Swapraja diIndonesia

Sumber: Van Klinken (2010, p. 169)

rintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningratmulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.

3. Bahwa perhubungan antara Negeri NgajogjakartaHadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Re-publik Indonesia, bersifat langsung dan Kami ber-tanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepa-da Presiden Republik Indonesia.Kami memerintahkan supaja segenap penduduk

dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindah-kan Amanat Kami ini.

9Sabdatama Hamengku Buwono X tanggal 10 Mei2012, lihat Antoro 2014, p. 436.

10Rapat Dengar Pendapat Panja RUUK DPR RIdengan pihak Kasultanan, lihat Ibid, 2014, p. 437.

11 “Pangeran Mangkubumi, saudara kandung Susu-hunan, menawarkan diri secara sukarela [untuk mem-basmi gerakan RM Said yang akan mengubah kebi-jakan Susuhunan yang berpihak pada VOC, denganimbalan daerah Sukowati, keterangan: alinea sebelum-nya]… akan tetapi, Susuhunan tidak memenuhi janji…Pangeran Mangkubumi dan sekelompok bangsawanyang sangat kecewa terhadap pengingkaran janji itusecara diam-diam meninggalkan istana pada 19 Mei1796 (semestinya sebelum Giyanti 1755, catatan

penulis)” dan “ Anugerah ini [perlindungan dariPemerintah Inggris kepada Pangeran Paku Alam]diberikan kepada Pangeran Paku Alam untuk jasa-jasanya kepada pemerintah Inggris dalam usahanyamemantapkan kekuasaan (yang dimaksud semestinyapemerintah kolonial) di Jawa” Lihat (Soemardjan 2009,p.12, 15). Argumentasi ini menyembunyikan faktabahwa posisi Kasultanan dan Pakualaman sejatinyasubordinat kolonial, daripada sebagai negara merdekaberdaulat.

12 “Dengan telah berlakunya UUPA secara penuhdi DIY berdasar Kepress RI No 33/1984, yang antaralain ditindaklanjuti dengan keputusan Mendagri No69 tahun 1984 .maka yang dimaksud dengan tanah-tanah Hak Adat sebagaimana dimaksud dalam PasalII Ketentuan Konversi UUPA dan selanjutnyadikonversi Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria(PMPA) No 2 Tahun 1962, adalah hak-hak atas tanahadat DIY sebagaimana diatur dalam Perda DIY No 5Tahun 1954. Dengan demikian terhadap tanah-tanahHak Milik Keraton Kasultanan Yogyakarta-KadipatenPakualaman yang selama ini belum pernah dilepaskan,masih hak milik atau merupakan domein bebas dariKasultanan Yogyakarta-Kadipaten Pakualaman danhingga kini belum terjangkau ketentuan-ketentuanUUPA” Lihat Suyitno (2006, p. 7).

Daerah Kabupaten

TahunKeruntuhan (de

facto)/ Pewaristerakhir

TahunKebangkitan

Kembali

Jawa

Jawa Barat Kasepuhan - -

Jawa Barat Banten 1832 1985

Jawa Barat Cirebon - 2002

DIY Yogyakarta - 2001

Jawa Tengah Surakarta - 2000

SumateraSumatera Utara Deli 2001

Sumatera Utara Serdang 2002

Sumatera Selatan Palembang 1825 2003

Sumatera Barat Minangkabau 1815 2002

NAD Aceh 1903 1976

Kalimantan

Kalimantan Barat Mempawah - 2002

Kalimantan Barat Landak 1944 2000

Kalimantan Barat Pontianak 1950 2004

Kalimantan Barat Sambas 1950 2001Kalimantan Timur Kutai 1960 2001

Kalimantan Timur Bulungan 1964 2002

Sulawesi (SulawesiSelatan)

Gowa- 2001

NTT Kupang - 2003

Maluku

Maluku utara Bacan 1983 1998Maluku utara Ternate 1974 1986

Maluku utara Tidore 1967 1999

Maluku utara Jailolo 1656 2002

Page 22: DASDSAD - PPPM

15Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

Tabel 2 Perbedaan Swapraja di DIY danMasyarakat Hukum Adat

a. Permasalahan Agraria Terkait Isu TanahSwapraja Di DIY

UUK DIY mengatur lima kewenangan istimewa,yaitu: 1) tata cara pengisian jabatan, kedudukan,tugas, dan wewenang Gubernur dan WakilGubernur; 2) kelembagaan Pemerintah DaerahDIY; 3) kebudayaan; 4) pertanahan; dan 5) tataruang. Segera setelah UUK DIY disahkan, GubernurDIY menerbitkan kebijakan-kebijakan pertanahanyang berdampak pada ketidakpastian hukum,

antara lain:1) Penerbitan Surat Gubernur kepada Kepala

Kanwil BPN DIY No 593/4811 (12 Nopember2012) dan No 593/0708 (15 Februari 2013) tentangPengendalian Permohonan Hak Atas TanahNegara yang Dikuasai Pemerintah Daerah DIY.Surat itu diterbitkan dalam rangka inventarisasidan penataan tanah negara yang dikuasai olehPemda DIY yang diberikan kepada Perorangan,Lembaga Pemerintah, Lembaga Swasta, danYayasan yang didasarkan pada SK Gubernuruntuk semua tahun. Akibatnya, setiap permo-honan perpanjangan Hak Pakai dan Hak GunaBangunan (HGB), peningkatan hak dan pera-lihan hak terhenti hingga inventarisasi danpenataan tanah tersebut selesai dilaksanakan.HGB yang digunakan sebagai agunan bank danhabis masa berlakunya tidak dapat diperpan-jang, sehingga berpotensi memacetkan usahaatau sanksi terhadap bank yang telah menge-luarkan pinjaman tanpa agunan. Perpanjangandapat dilakukan dengan perubahan status dariHGB di atas tanah negara menjadi HGB di atastanah hak milik Kasultananan atau Pakualamansebagai Badan Hukum Warisan Budaya(BHWB)13 yang bersifat swasta (bukan badanhukum publik). Bukti otentik dari implementasikebijakan ini ialah penambahan stempel padaSertif ikat HGB salah satu pemegang hak14 yang

Pembeda SwaprajaMasyarakat Hukum

Adat

Sejarahkemunculan

Kontrak politik denganVOC/pemerintah kolonial(Antoro, 2014; PerjanjianGiyanti 1755 dan PerjanjianPaku Alam-Rafles 1813)

Sistem asli komunitasnusantara yang masihhidup sampai saat ini(Zakaria, 2014)

Posisi politikterhadapkolonial

Kepanjangan kolonial(Ranuwidjaja, 1955 danShiraisi, 1997)

Tidak diakomodasihukum kolonial(Fitzpatrick, 2010)

Kedaulatan

Tidak penuh, di bawahkontrol pemerintah kolonial(Perjanjian Politik HB IX danBelanda 1940 dan Luthfi et al,2009)

Penuh, hukum adatmendahului hukumbarat(Burns, 2010)

WatakPenguasaanSumberdaya

Individual, menganut sistemkepemilikan(Rijksblad Kasultanan No 16Tahun 1918 dan RijksbladPakualaman No 18 Tahun1918)

Komunal,penguasaan bersama(Topatimasang, 2005)

Eksistensi didalam hukum

Didudukkan sebagai warisanbudaya(UU No 13 Tahun 2012)

Didudukkan sebagaikesatuan masyarakat(Putusan MK No 35Tahun 2012)

Kepmendagri No 69 Tahun 1984 tentang Pene-gasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Mi-lik Perorangan berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 1954di Propinsi DIY menegaskan bahwa bahwa Hak MilikPerorangan (individu) atas tanah berdasarkan PerdaNomor 5 Tahun 1954 di Propinsi DIY adalah Hak Miliksebagaimana dimaksud dalam ketentuan Konversiyang diatur UU Nomor 5 Tahun 1960 (eigendom men-jadi hak milik). PMPA No 2 Tahun 1962 juga tidakmengatur tentang pendaftaran bagi tanah adat atautanah swapraja (yang hapus dengan Diktum IVUUPA). Maksud istilah Grand Sultan pada KetentuanKonversi II UUPA kiranya mengacu pada hak milikSultan sebagai individu (bukan Sultanaat Grond), jelasberbeda antara hak eigendom Sultan yang bisa diwaris-kan dan Sultanaat Grond yang tak dapat diwariskan. DiDIY, terdapat tanah-tanah yang asal mulanya eigendomindividu Sultan, misal: Ambarukmo Plaza (HB VII),Hastorenggo (HB VIII), DPRD DIY (HB VII).

13Istilah Badan Hukum Warisan Budaya (BHWB)digunakan dalam tulisan ini untuk membedakan kedu-dukan hukum dari subyek hukum Kasultanan dan Pa-kualaman yang dilahirkan oleh UUK DIY dengan Ka-sultanan dan Pakualaman yang dilahirkan olehPerjanjian Giyanti 1755 dan Perjanjian PA I-Rafless 1813sebagai Badan Hukum Swapraja yang sudah diakhirioleh HB IX da PA VIII baik secara hukum maupunpolitik pada 5 September 1945. Istilah Badan HukumWarisan Budaya merujuk pada Pasal 1 huruf 5 dan 6serta Pasal 32 ayat (1) UUK DIY.

14Sertifikat sebagai contoh terjadi di Klitren, KotaYogyakarta dengan nomor 13.01.03.03.3.001113 (berakhir15 April 2010) dan 13.01.03.03.3.001112 (berakhir 15 April2010).

Page 23: DASDSAD - PPPM

16 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

berbunyi: “AKTA PERJANJIAN No. 186 Tanggal20/08/1986 Tanah SULTAN GROND” yangtersaji dalam Gambar 1 dan Gambar 2.

2) Pengambilalihan Hak Menguasai Negara(HMN) terhadap tanah negara dengan cara ser-tifikasi tanah-tanah negara menjadi tanah milikBHWB Kasultanan dan Pakualaman menggu-nakan dana yang bersumber APBN. Akibatnya,APBN berpeluang dipergunakan untuk mem-perkaya badan hukum swasta berupa akumulasiaset tanah. Dasar hukum sertif ikasi terhadaptanah-tanah negara tersebut masih perlu dikaji,mengingat bahwa Kewenangan Istimewasebagaimana disebut dalam Pasal 1 huruf 3 danPasal 49 UUK DIY adalah kewenangan tam-bahan dalam ruang lingkup UU PemerintahanDaerah. Dengan demikian, UUK DIY adalah lexspecialis (aturan khusus) dari UU PemerintahanDaerah.

3) Pengambilalihan Hak Milik masyarakat atastanah desa sebagai aset publik menjadi hak milikBHWB dengan cara penerbitan Peraturan Gu-bernur DIY No 112 Tahun 2014 tentang Peman-faatan Tanah Desa yang bertentangan denganUU No 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 76 danUUK DIY Pasal 16.

4) Penerbitan Rancangan Perda Istimewa bidangPertanahan (Rancangan Perdais Pertanahan)yang menyatakan bahwa tanah swapraja yangdisebut sebagai Sultan Grond (SG) dan PakuAlaman Grond (PAG) masih tunduk padaRijksblad15. Rijksblad Kasultanan No 16 Tahun1918 dan Rijksblad Pakualaman No 18 Tahun 1918sudah dihapus dengan Perda DIY No 3 Tahun1984 tentang Pelaksanaan Berlaku SepenuhnyaUndang-Undang No 5 Tahun 1960 Di PropinsiDaerah Istimewa Yogyakarta. Upaya penghi-dupan Rijksblad ini bertentangan dengan UUD1945 Pasal 33 ayat (3), UU No 5 Tahun 1960

(UUPA) Diktum IV, dan UUK DIY Pasal 4, Pasal16, dan Pasal 32.Kebijakan pertanahan di DIY dengan alasan

implementasi UUK DIY ternyata tidak sesuaidengan harapan masyarakat terhadap keistime-waan16 dan tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.Wacanatentang ketiadaan tanah negara di DIY dan atautidak berlaku UUPA di DIY mulai dikampanyekandi berbagai forum oleh pihak kasultanan danpengambil kebijakan17.

Bahkan, pada tahun 2008 telah terjadi pem-batalan sepihak terhadap kurang lebih 100 sertifikatHak Milik penduduk di Gunungkidul hasil PRONA

15 Lihat Bagian Penjelasan Rancangan PerdaisPertanahan.

16 Sebuah forum masyarakat yang menamai diriForum Darurat Agraria mencatat sekurang-kurangnyasepuluh masalah agraria struktural di DIY (beberapadi antaranya termanifestasikan sebagai persoalan tataruang) yang berpotensi atau sudah menimbulkankonflik dengan disertai korban, antara lain 1) Per-tambangan Pasir Besi dan Pembangunan Pabrik Bajadi Kulon Progo; 2) Pembangunan Bandara Interna-sional di Kulon Progo; 3) Ancaman penggusuran wargadi Parangkusumo; 4) Ancaman penggusuran tambakrakyat di pesisir Bantul; 5) Diskriminasi rasial/etnisterhadap WNI yang dikategorikan “Non Pribumi”dengan pelarangan Hak Milik atas tanah secara turun-temurun; 6) Pembalikan nama sertifikat Hak Milik atastanah desa menjadi hak milik badan hukum swasta; 7)Pembangunan apartemen di tengah padat penduduk;8) Ancaman penggusuran warga di sepanjang Suryat-majan; 9) Penggusuran warga Suryowijayan; 10)Perampasan Hak Tanah melalui perubahan status daritanah negara menjadi hak milik badan hukum swasta.Selengkapnya dapat dicermati diwww.selamatkanbumi.com

17Diantaranya ialah a) Public Hearing RancanganPerdais Induk di DPRD DIY September 2013, Peng-hageng Panitikismo (badan pengurus pertanahanKasultanan) menyatakan “tidak berlaku UUPA diDIY, kasultanan adalah pemerintahan dan pemerin-tahan adalah kasultanan”. b)”Menurut Sultan HB Xdi DIY ini tidak berlaku UUPA, sedangkan Hak tanahSultan Ground dan PA Ground berlangsung terusmenerus sehingga rakyat tidak bisa meminta hak miliksertifikat” (Sultan: Permintaan PPLP Soal SertifikasiTanah Tidak Dapat Dipenuhi, Harian Jogja, 16 Juli 2012)c) “Apabila dari hasil pendataan tersebut ditemukan

Page 24: DASDSAD - PPPM

17Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

BPN RI18, dengan cara pencoretan status hak milikmenjadi berstatus hak pakai sebagaimana tersajipada Gambar 3.

b. Nilai Penting Penelitian terhadapSubstansi dan Implementasi UUK DIY

Mengingat hak atas agraria adalah hak atasruang hidup dan sumber penghidupan, maka hakatas tanah tidak lain adalah hak asasi manusia.Perubahan-perubahan struktur penguasaan tanah

di DIY pasca pengesahan UUK DIY mengubahsistem pertanahan secara radikal karena polanyamengarah pada hilangnya tanah negara dan tanahmilik masyarakat (individu dan komunal/desa),serta BHWB berpotensi menjadi satu-satunyasubyek hak milik atas tanah di DIY, terutama yangdikategorikan sebagai SG/PAG. UUK DIY ber-dampak pada ketidakpastian hukum ketikaditafsirkan dan diimplementasikan untuk melayanikepentingan tertentu yang merugikan masyarakatdan negara.

Gambar 1 Sertifikat HGB di atas TanahNegara diubah menjadi HGB di atas tanah SG

No 00113. Gambar 2 Sertifikat HGB di atasTanah Negara diubah menjadi HGB di atas

tanah SG No 00112

Gambar 3 Sertifikat Hak Milik diubah menjadiHak Pakai dengan cara dicoret

SG maupun PAG yang sudah menjadi hak milik atautelah diperjualbelikan tetap akan didata kembali danmendapatkan sertifikat tanah hak milik kraton.‘Upayaini hanya untuk menertibkan kembali tanah-tanah mi-lik kraton meskipun sudah dilepas menjadi hak mi-lik.Tetapi tetap dicantumkan asal-muasalnya merupa-kan SG atau PAG’ ujar Kepala BPN Kanwil DIY (BPNDIY Siap Sertifikat Tanah SG dan PAG, KadaulatanRakyat, 2 Oktober 2013). d) “Masyarakat tahunya hanyamenggunakan tanah itu dan tiba-tiba ada pendataantanah dan sosialisasi, tidak tahu itu SG/PAG. Saatdidata ada yang menjawab itu tanah negara, padahaldi DIY kan tidak ada tanah negara dan Pemda DIYtidak boleh menguasai tanah negara” ujar Kepala BiroTata Pemerintahan Sekda DIY (Cegah Jual Beli SG danPAG, Pemda DIY Targetkan Buat 1000 Sertifikat, Kedau-latan Rakyat, 12 November 2014), e) “Penghageng Pani-tikismo, KGPH Hadiwinoto hanya mengatakan yangmenjadi pegangan Kraton adalah Rijksblad 1918, bahwatanah di DIY adalah tanah Kraton kecuali yang telahmenjadi hak milik.’Logikanya ya, Sultan Grond ituadalah tanah di DIY dikurangi jumlah luas tanah hakmilik yang ada di BPN,” kata Gusti Hadi dalam wa-wancaranya dengan Harian Jogja beberapa waktu lalu.Biro Tata Pemerintahan dan Kanwil Badan PertanahanNasional DIY tengah mengiventarisasi Sultan Gronddan Pakualaman Grond. Inventarisasi akan dilakukandengan mencocokan pendataan tanah pada buku Legger(buku kewilayahan zaman Belanda) dengan pendataanpertanahan di desa-desa kemudian memastikan lang-sung di lapangan (Tanah Kraton Ngayogyakarta DataTanah Kraton Masih Mentah, Harian Jogja, 6 Septem-ber 2013).

18Sertifikat sebagai contoh terjadi di Desa Pun-dungsari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkiduldengan perubahan nomor 13.02.13.04.1.00582 (SuratKeputusan 420.3/489/KPTS/68/BPN/2007) menjadi13.02.13.04.2.00014 (Surat Keputusan No 420.3/185A/KPTS/68/BPN/2008, tertanggal 22 Agustus 2008berlaku hingga 21 Agustus 2033).

Page 25: DASDSAD - PPPM

18 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

B. Metodologi

Tulisan ini merupakan hasil penelitian pustaka(desk study) yang dilakukan oleh komunitasmasyarakat dan bersifat swadaya19, bertujuan untukmenelaah secara kritis 1) Substansi UUK DIYdengan perspektif hukum dan politik dan 2)Implementasi UUK DIY beserta argumentasi yangmendasarinya. Di ranah hukum, telaah kritisterhadap substansi dan implementasi UUK DIYmendasarkan pada koherensi antara kondisisesungguhnya (de facto) dan kenyataan hukum (dejure). Sedangkan di ranah politik, telaah kritisterhadap isu tersebut menekankan pada situasipolitik yang melatari kelahiran produk hukumpertanahan dari masa-masa tertentu. Penelitianyang dilakukan September 2014 - Februari 2015 inihendak menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:1) Seberapa jauh UUK DIY dapat menjadi landasan

hukum bagi pengaturan pertanahan?2) Seberapa kuat argumentasi yang digunakan

untuk mengukuhkan eksistensi tanahKasultanan dan Pakualaman dalam perspektifsejarah, hukum, dan sosial budaya?

3) Sejauh mana UUK DIY mampu memberikankepastian hukum bagi hak-hak atas tanah yangdijamin UUD 1945 dan UUPA?

C. Pembahasan

Bagian ini akan dimulai dengan menguraikana) Sejarah dan perkembangan hukum pertanahandi DIY untuk memperoleh gambaran yang utuhmengenai kebijakan pertanahan di DIY, b)Substansi UUK DIY dengan perspektif hukum danpolitik, dan c) Implementasi UUK DIY danargumentasi yang melandasinya sebagai pemban-ding dua poin sebelumnya. Hasil penelitian iniberupaya menunjukkan 1) kedudukan hukum dari

tanah-tanah dengan status SG dan PAG, 2) kedu-dukan hukum dari tanah negara, 3) kedudukanhukum dari tanah hak milik baik individu maupuntanah desa, dan 4) kedudukan hukum agrariaterhadap UUK DIY.

1. Sejarah dan Perkembangan HukumPertanahan di DIY

Sejarah Mataram di DIY harus dibatasi dariPerjanjian Giyanti 1755 sebagai titik permulaankarena sebelum era tersebut adalah Mataram islamdan pendahulunya yang tidak ada hubungannyadengan urusan keistimewaan DIY di masa sekarang.

a. Masa Pra Kemerdekaan RI

Kasultanan Yogyakarta lahir dari PerjanjianGiyanti 13 Februari 175520, dengan status BadanHukum Swapraja di bawah kedaulatan VOC. IsiPerjanjian Giyanti 1755 antara lain:1. Pengangkatan Pangeran Mangkubumi menjadi

Sultan Hamengku Buwono (HB) I sebagaipemimpin dari wilayah yang dipinjamkankepadanya21, dengan hak mewariskan pengelo-

19Forum Komunikasi Masyarakat Agraris wilayahDIY. FKMA digagas dan dibentuk oleh organisasi akarrumput dari 8 kabupaten se-Jawa pada 2012 dan keang-gotaan telah bertambah 15 kabupaten yang tersebar diJawa, Sumatera, dan Sulawesi pada 2013.

20Perjanjian Giyanti 1755 disetujui oleh HamengkuBuwono I yang diangkat oleh VOC (Generaale Vere-nigde Nederlanden Nicolaas Hartingh), sebagai bentukpenyelesaian konflik kekuasaan antara PangeranMangkubumi (HB I) dengan Paku Buwana (PB) IIIraja Mataram Surakarta. Perjanjian Giyanti 1755 dila-tarbelakangi oleh penyesalan Sultan HB I karena telahterlibat dalam pemberontakan terhadap KasunananSurakarta dan permohonan Sultan HB I agar mem-peroleh perlindungan dan dukungan dari VOC. IsiPerjanjian Giyanti 1755 versi bahasa Belanda dan terje-mahannya begitu pula Perjanjian Ponorogo 11 Desem-ber 1749; Perjanjian PA I Rafless 1813, Perjanjian PolitikHB IX –Gubernur Jenderal Hindia Belanda 18 Maret1940 dapat dicermati di www.forpetankri.com

21 Pada masa PB II, wilayah kerajaan Mataramsudah diserahkan secara sukarela kepada VOC melaluiSurat Perjanjian 11 Desember 1749, yang dikenal denganPerjanjian Ponorogo (Antoro 2014, p.430) :

“Punika serat prakawis –dening hangutjulaken sarttahannrahaken menggah karaton Matawis saking KangdjengSusuhanan Paku Buwana Sennapati Hangalaga Ngabudul-rahman Sajidin Panatagama, hinggih hawit saking hingkang

Page 26: DASDSAD - PPPM

19Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

laan kepada ahli warisnya dengan kewajibanmenjaga itikad baiknya terhadap VOC dan Sul-tan HB I menerima isi perjanjian sebagai hukumabadi yang tidak terputus dan mutlak (Pasal 1).

2. Sultan berkewajiban menjalin persahabatandengan warga VOC dan rakyat Jawa, dalamhubungan yang saling menguntungkan (Pasal2), untuk menjamin hal tersebut maka semuapejabat pemerintahan maupun bupati danseluruh penguasa dataran tinggi yang diangkatoleh Sultan berkewajiban melakukan sumpahsetia secara pribadi kepada VOC di Semarang(Pasal 3).

3. Sultan dilarang mengangkat pejabat tanpapersetujuan VOC (Pasal 4) dan tidak akan meng-ganggu gugat bupati yang pernah bersengketadengannya, dengan imbalan VOC memaafkankesalahan Sultan (Pasal 5).

4. Sultan wajib melepaskan pulau Madura dandaerah pesisir yang telah diduduki VOC danmembantu VOC untuk mempertahankankepemilikannya atas provinsi laut, imbalannyaSultan digaji 2000 real Spanyol per tahun oleh

VOC (Pasal 6). Sultan juga wajib membantuSunan Paku Buwana penguasa SurakartaHadiningrat dengan imbalan dilindungi darimusuh dari dalam dan luar negeri (Pasal 7).

5. Sultan mengukuhkan dan mengesahkan semuakontrak, perikatan, dan perjanjian yang telahdiadakan sebelumnya antara VOC dan para rajaMataram, khususnya yang disepakati padatahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749, sejauh tidakmenentang Perjanjian Giyanti 1755. Apabila Sul-tan dan keturunannya melanggar isi perjanjianmaka diberi sanksi berupa pelepasan wilayahyang telah dipinjamkan (Pasal 9)22.Setelah VOC bubar pada 31 Desember 1799,

kontrak politik terhadap Kasultanan Yogyakartadilanjutkan oleh Pemerintah Kolonial HindaBelanda hingga tahun 1940, pengecualian padamasa pemerintahan Hamengku Buwono IIIKasultanan Yogyakarta di bawah kedaulatanPemerintah Kolonial Inggris. Isi dari PerjanjianPolitik HB IX dengan Gubernur Jenderal HindiaBelanda (Dr. Lucien Adam) 18 Maret 1940 antaralain adalah:1. Pasal 1 ayat (1) Kesultanan merupakan bagian

dari wilayah Hindia Belanda dan karenanyaberada di bawah kedaulatan Baginda RatuBelanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal.(2) Kekuasaan atas Kesultanan Yogyakartadiselenggarakan oleh seorang Sultan yangdiangkat oleh Gubernur Jenderal.

2. Pasal 3 ayat (1) Kesultanan meliputi wilayah yangbatas-batasnya telah diketahui oleh kedua belahpihak yang menandatangani Surat Perjanjianini. (2) Kesultanan tidak meliputi daerah laut.(3) Dalam hal timbul perselisihan tentang batas-batas wilayah, maka keputusan berada di tanganGubernur Jenderal.

parentah Kangdjeng Kumpni kangageng wahu, karatonpunuka kasrah dateng Kangdjeng Tuwan Gupernur sarttaDirektur hing tanah Djawi Djohan Handrijas Baron VanHohendoref. Kawula Kangdjeng Susuhunan Paku BuwanaSennapati Hangalaga Ngabudulrahman Sajidin Panatagamahangngakenni sertta hamratelakaken kalajan iklasing manahjenning make hawit saking sangette gerrah kawula, sakingkarsaning Allah kawula sangsaja saja boten kengingjennajekkelia karaton Matawis kalajan parentah kangng-apenned, hinggih rehning hamrih dadosa kapenneeddanpaparentahhan karaton Matawis punika, sartta saweweng-konanipun sadaja, kang hing make sampun kawula hasta,punnika sadaja sami kahaturaken dumateng Kumpnikangngageng… kawula mboten pisan jennaderbeja karsahagadaha malih.” (Surat perjanjian Paku Buwana II-Kompeni, 11 Desember 1749).

Konsekuensi politik dari perjanjian ini ialah men-dudukkan VOC sebagai pemilik seluruh wilayah kera-jaan pada masa itu serta pemegang kedaulatan kerajaan.Hal ini berlanjut hingga Perjanjian Giyanti (13 Februari1755) yang melahirkan Kesultanan Yogyakarta.Lihatibid.

22 Hal ini terjadi pada akhir masa pemberontakanPangeran Diponegoro (1825-1830), Kasultanan Yogya-karta melepas daerah Kedu, Magelang, dan Banyumasmelalui Perjanjian Klaten 27 September 1830. LihatAdjikoesoemo (2012, p.9).

Page 27: DASDSAD - PPPM

20 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

3. Pasal 6 ayat (1) Sultan akan dipertahankan dalamkedudukannya selama ia patuh dan tetapmenjalankan kewajiban-kewajibannya yangdiakibatkan oleh perjanjian ini ataupun yangakan ditandatangani kemudian berikutperubahan-perubahannya ataupun penam-bahan-penambahannya, dan ia bertindaksebagaimana layaknya seorang Sultan.

4. Pasal 12 ayat (1) Bendera Kesultanan, Sultan danpenduduk Kesultanan adalah bendera NegeriBelanda. (2) Pengibaran bendera Kesultananataupun bendera atau panji-panji lain pengenalkebesaran Sultan di samping bendera Belandatunduk di bawah ketentuan-ketentuan yangditetapkan oleh atau atas nama GubernurJenderal.

5. Pasal 25 ayat (1) Peraturan-peraturan yangditetapkan Sultan memerlukan persetujuanGubernur Yogyakarta sebelum dinyatakanberlaku. (2) Peraturan-peraturan itu tidak ber-sifat mengikat sebelum diumumkan sebagai-mana mestinya dalam Lembaran Kerajaan(Rijksblad).Adapun Pakualaman lahir dari Perjanjian Paku

Alam (PA) I dengan Thomas Stamford Raffles 18Maret 1813, Raffles adalah Gubernur Jenderal HindiaBelanda ketika Belanda jatuh kepada Inggris. Isiperjanjian tersebut antara lain:1. Paku Alam dan keluarganya memperoleh

perlindungan dari Inggris (Pasal 1) dan PakuAlam memperoleh gaji bulanan sebesar 720 Realyang harus dikelola bersama Sultan, Paku Alammendapat penguasaan atas wilayah seluas 4000cacah (Pasal 2)

2. Wilayah tersebut di bawah jaminan PemerintahInggris, dan menjadi subyek administrasi danpemerintah serta harus disediakan sewaktudiperlukan untuk modif ikasi oleh pemerintah(Pasal 3). Terhadap tanah-tanah tersebut tidakdikenakan pajak baru (Pasal 4)

3. Atas keuntungan yang diperolehnya, Paku Alamharus membantu Pemerintah Inggris satu Korps

yang terdiri atas 100 pasukan berkuda (Pasal 6)Isi perjanjian Giyanti 1755, Perjanjian Politik HB

IX-Lucien Adam 1940, dan Perjanjian PA I –Rafless1813 menunjukkan posisi subordinat kasultanandan pakualaman terhadap Pemerintah Kolonialdaripada posisi sebagai kekuasaan yang otonom,bahkan kasultanan dan pakualaman memerankanperpanjangan tangan dari kolonialisme melaluikontrak politik sebagaimana ditunjukkan olehShiraishi (1997, p.1), Ranuwidjaja (1955) dan Luthfiet al. (2009, p.32). Hal ini bertolak belakang denganSabdatama HB X pada 10 Mei 2012:

Aku yang bertahta di negara Mataram mengucapkansabda:

Bahwa Kraton Yogyakarta dan KadipatenPakualaman itu keduanya satu kesatuan.

Mataram adalah negeri yang merdeka danmempunyai hukum dan tata pemerintahan sendiri.

Seperti yang dikehendaki dan diperbolehkan,Mataram memimpin nusantara, mendukung

tegaknya negara, tetapi tetap menggunakan hukumdan tata pemerintahan sendiri.

Yang seperti itu sebagaimana dikehendaki SultanHamengku Buwono dan Adipati Paku Alam yangbertahta, ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil

Gubernur.

Otonomi kasultanan dan pakualaman tam-paknya terbatas pada penerbitan rijksblad (lembarkerajaan) yang pernah dilakukan pada masareorganisasi tanah 1918 untuk menghemat biayasipil Pemerintah Kolonial, termasuk gaji Sultan.Pada 1918 itulah kasultanan dan pakualamanmemiliki klaim atas kepemilikan wilayah (domeinverklaring) yang dimaksudkan untuk dapat men-cukupi kebutuhan kerajaan (Adjikoesoemo 2012,p. 11). Meskipun, jika merujuk pada isi PerjanjianGiyanti 1755-Perjanjian 1940 wilayah yang dikuasaitetap berstatus hak pengelolaan di bawah Peme-rintah Kolonial.

Rijksblad adalah istilah bagi aturan hukum yangberlaku di wilayah kasultanan dan pakualamandengan persetujuan pemerintah kolonial. Dalambidang pertanahan terdapat dua rijksblad yang

Page 28: DASDSAD - PPPM

21Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

penting, yaitu Rijksblad Kasultanan No 16 tahun 1918dan Rijksblad Pakualaman No 18 tahun 1918menyatakan bahwa:

“Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektinekadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadibumi kagungane keraton Ingsun”. Artinya, “semuatanah yang tidak ada bukti kepemilikan menurut hakeigendom (hak milik, menurut Agrarische Wet 1870),maka tanah itu adalah milik kerajaanku.”

Kedua rijksblad tersebut merupakan dasarhukum bagi status tanah swapraja di Yogyakarta,yang dianggap masih ada hingga saat ini, yangdikenal sebagai Sultanaat Grond (SG) dan PakuAlamanaat Grond (PAG), kedudukannya samaseperti Domein Verklaring (Sembiring 2012, p. 19-22). Kedua Rijksblad 1918 itu juga menjadi sumberhukum bagi tanah Kas Desa dan Bengkok/lungguh(keduanya hak anggaduh), serta pangarem-arem(pensiun perangkat desa, hak anganggo/pakai).Pada periode reorganisasi tanah selanjutnya,kepada penduduk kotapraja diberikan hak andarbemenurut Rijksblad Kasultanan No. 23 Tahun 1925dan Rijksblad Pakualaman No. 25 Tahun 1925.

b. Masa Kemerdekaan dan PascaKemerdekaan

Pada 1945, kasultanan dan pakualaman sebagaibadan hukum swapraja diakhiri oleh HB IX dan PAVIII melalui Amanat 5 September 1945. Secarasepihak, keduanya tidak lagi terikat dengan isiPerjanjian Giyanti 1755 maupun PA-Rafles 1813 danjustru memilih menyatu dengan NKRI dan tundukpada konstitusi23. Sebagai bentuk penghargaan atas

sikap politik kedua republikan tersebut, pemerintahpusat menerbitkan UU No 3 Tahun 1950 jo UU No19 Tahun 1950 tentang Pembentukan DaerahIstimewa Yogyakarta (UU Pembentukan DIY).

UU Pembentukan DIY mengatur bahwa Sultandan Paku Alam adalah kepala daerah yangmempunyai kewenangan-kewenangan khusus diDIY. Salah satu kewenangan khusus yang diatur UUPembentukan DIY adalah di bidang agraria, yaituwewenang otonomi untuk mengatur pertanahanyang bersumber dari Agrarische Wet 1870 (Pasal4)24. Peraturan Daerah (Perda) DIY No 5 Tahun 1954tentang Hak atas Tanah di DIY diterbitkan sebagaipelaksanaan UU Pembentukan DIY, isinya antaralain:1. Hak atas tanah di kota praja Yogyakarta buat

sementara masih berlaku Rijksblad KasultananNo 23 Tahun 1925 dan Rijksblad Paku AlamanNo 25 Tahun 1925 (Pasal 2).

2. DIY memberikan hak milik perseorangan turuntemurun (erfelijk individueel bezitsrecht) atassebidang tanah kepada WNI, dengan tanda hak

23Pada masa pendudukan Jepang, kedudukan Sul-tan HB IX dan Paku Alam VIII tidak berubah namundalam pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (GubernurJepang) yang bekantor di Gedung Tjokan Kantai(Gedung Agung). Pada saat Jepang kalah, Belanda(NICA) kembali menduduki Hindia Belanda. ApabilaSultan HB IX dan Paku Alam VIII tidak bergabungmenjadi bagian dari NKRI maka DIY kembalikedudukan semula, yaitu menjadi wilayah HindiaBelanda, sebagaimana daerah Swapraja yang lain. Sikap

politik Sultan HB IX dan Paku Alam VIII inilah yangmenyelamatkan eksistensi Kasultanan dan PakuAlaman sebagai entitas warisan budaya dan politikyang dihormati hingga hari ini karena sejarah Kasul-tanan dan Pakualaman prakemerdekaan Indonesiasama seperti swapraja yang lain, yaitu sebagai negaraprotektorat (negara yang berada di bawah kekuasaannegara lain) atau Vazal Koninkrijk (kerajaan bagian).dengan status Zelfbesturende Landschappen (otonomi).Lihat: Adjiekoesoemo op.cit p. 3-4.

24Penjelasan Pasal 4 UU Pembentukan DIY, we-wenang otonomi (medebewind) meliputi: a) penerimaanpenyerahan hak eigendom (milik) atas tanah eigendomkepada negeri (medebewind); b) penyerahan tanahNegara (beheersoverdracht) kepada jawatan-jawatanatau kementerian lain atau kepada daerah otonom(medebewind); c) pemberian idzin membalik nama hakeigendom dan hak opstal (hak guna bangunan) atastanah, jika salah satu pihak atau keduanya masukgolongan bangsa asing (medebewind); d) pengawasanpekerjaan daerah otonom dibawahnya (sebagian adayang medebewind). Kewenangan ini berakhir pada 1984dengan Perda DIY No 3 Tahun 1984 tentang Pelak-sanaan Berlaku Sepenuhnya UU No 5 Tahun 1960.

Page 29: DASDSAD - PPPM

22 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

milik (Pasal 4)3. Kelurahan sebagai badan hukum mempunyai

hak milik atas tanah, yang disebut tanah desa,dengan fungsi meliputi: Lungguh, Kas Desa, danPengarem-arem (Pasal 6)

4. Hak memakai turun temurun menjadi hak milik(Pasal 10)Wewenang dan hak-hak atas tanah di wilayah

swapraja Yogyakarta baru berakhir secara de jureketika UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan DasarPokok-Pokok Agraria (UUPA) diterbitkan. DiktumIV UUPA menyatakan bahwa:

Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan airdari swapraja atau bekas swapraja yang masih adapada waktu mulai berlakunya Undang-undang inihapus dan beralih kepada Negara.

Subyek hukum yang dapat memiliki tanahmenurut UUPA adalah individu dan badan hukumyang diatur oleh PP No 38 tahun 1963 tentangPenunjukan Badan-Badan Hukum yang DapatMempunyai Hak Milik atas Tanah meliputi: a)Badan hukum sosial, b) Badan hukum keagamaan,c) Koperasi pertanian, dan d) Bank pemerintah.Artinya, kasultanan dan pakualaman sebagai badanhukum swapraja bukan subyek hak atas tanahmenurut UUPA. Lebih lanjut, aturan pelaksanaanDiktum IV UUPA antara lain adalah:1. PP No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan

Pembagian Tanah Dan Pemberian GantiKerugian25

2. Keputusan Presiden (Kepres) No 33 Tahun 1984tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Di PropinsiDaerah Istimewa Yogyakarta

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kemendagri)No 66 Tahun 1984 tentang Pelaksanaanpemberlakuan sepenuhnya UU No.5 Tahun 1960di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

4. Perda DIY No 3 Tahun 1984 tentang PelaksanaanBerlaku Sepenuhnya Undang-Undang Nomor5 Tahun 1960 Di Propinsi Daerah IstimewaYogyakarta.26

Dengan berlaku sepenuhnya UUPA besertaaturan-aturan pelaksanaannya di Propinsi DIY,pengurusan agraria yang semula berdasarkanwewenang otonomi (medewebind) beralih menjadiwewenang dekonsentrasi. Perda DIY No 3 Tahun1984 menghapus:1) Rijksblad Kasultanan No 16 Tahun 19182) Rijksblad Pakualaman No 18 Tahun 1918

25 PP 224 Tahun 1961 tidak diakui keberadaan ataukekuatan hukumnya sebagai aturan pelaksanaan dariUUPA Diktum IV dalam sejumlah karya akademikterkait hapusnya tanah swapraja, akibatnya dualismehukum pertanahan di DIY tetap dipertahankan. Halini tidak terjadi di daerah bekas swapraja/swaprajayang masih ada selain DIY, di mana UUPA bisa berla-ku sepenuhnya tanpa dualisme hukum. Penulis berpen-dapat ini persoalan political will daripada persoalan le-gal problems of law enforcement. Terdapat dua ketentuanpenting yang berhubungan dengan tanah Swapraja/bekas Swapraja yang diatur dalam PP No. 224 Tahun1961, yaitu:

a) Bahwa tanah-tanah yang akan dibagikan dalamrangka Land-reform adalah tanah-tanah Swapraja/bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara(Pasal 1 c).

b) Bahwa tanah Swapraja/bekas Swapraja tersebutdiberi peruntukan: sebagian untuk kepentinganpemerintah, sebagian untuk mereka yang langsungdirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atastanah itu, dan sebagian untuk rakyat yang membu-tuhkan (Pasal 4) Artinya, keturunan penguasaswapraja masih diberi kesempatan untuk memilikihak milik secara pribadi dengan cara mengajukanpermohonan kepada negara. Karya akademik terse-but antara lain: Sembiring (2012, p. 58-60), Suyitno(2006, p. 6-10); dan Munsyarief (2013, p. 62-63).

26 Perda DIY No 3 Tahun 1984 diabsenkan dalamsejumlah karya akademik beberapa karya ilmiah yangcukup penting. Perda No 5 tahun 1984 tentang Bea BalikNama Kendaraan Bermotor justru dijadikan dasarpendapat yang menyatakan tanah SG dan PAG diaturoleh perda tersebut. Lihat Karjoko (57-66); Luthfi et.al(2009, p. 177); Basuki (2014, p. 42) dalam majalahBALAIRUNG: “Tumpang Tindih Pengelolaan TanahYogyakarta”. Sebagai pengecualian, Kusumoharyono(2006, p. 1-5) ; Puri (2013, p. 169-180); dan Antoro (2014,p. 427-441).

Page 30: DASDSAD - PPPM

23Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

3) Rijksblad Kasultanan No 23 Tahun 19254) Rijksblad Pakualaman No 25 Tahun 1925

c. Ikhtisar

Apa yang dipahami masyarakat pada umumnya;pemerintah; kasultanan; dan pakualaman tentangsejarah dan perkembangan hukum DIY, terkaiteksistensi kasultanan dan pakualaman sebagaibagian dari sejarah tersebut, ternyata bertolakbelakang dengan fakta sejarah sesungguhnya.Kasultanan dan pakualaman justru menjadimerdeka dari Belanda dan berkedudukan sebagaiwarisan budaya yang dihadiahi otonomi ketikamelebur ke dalam NKRI di bawah UUD 1945.Otonomi pertanahan berakhir pada 1984, sedang-kan sifat khusus dalam pemerintahan berupapenetapan Gubernur dan Wakil Gubernur seumurhidup masih dipertahankan.

2. Substansi UUK DIY dalam halPertanahan

Bagian ini akan menguraikan isi UUK DIYterkait dengan apa yang dimaksud sebagai subyekhukum, hak asal usul, tanah Kasultanan (SG) dantanah Kadipaten/Pakualaman (PAG) dan bagaima-na SG dan PAG dihadirkan menurut sistempertanahan yang berlaku di Indonesia dalam ruanglingkup UUK DIY.

a. Subyek Hukum atas Tanah menurutUUK DIY

Pertama, perlu dipahami bahwa kasultanan danpakualaman sebagai Badan Hukum Swaprajabukan subyek hak atas tanah menurut UUPA danPP No 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak MilikAtas Tanah, badan-badan hukum menurut PPtersebut ialah: a) Badan Hukum Sosial; b) BadanHukum Keagamaan; c) Koperasi Pertanian; dan d)Bank-bank pemerintah.

Kedua, perlu dipahami bahwa UUK DIY adalahproduk hukum di atas PP sehingga dengan asas

“peraturan yang lebih tinggi menggugurkanperaturan yang lebih rendah” maka kasultanan danpakualaman ditetapkan menjadi Badan HukumKhusus yang dapat memiliki hak milik atas tanah,yang disebut Badan Hukum Warisan Budaya(BHWB). Makna khusus dalam Badan HukumKhusus tersebut bukan berarti posisi BHWBsebagai badan hukum transisi antara badan hukumpublik dan badan hukum swasta, melainkan padaupaya membuka kemungkinan bagi BHWB sebagaisubyek hak menurut UUPA. Artinya, BHWBtunduk pada peraturan perundang-undangan yangmengatur badan hukum swasta karena jika BHWBdikategorikan sebagai badan hukum publik makaasetnya (termasuk tanah) menjadi aset negara.

Ketiga, perlu dipahami bahwa Badan HukumSwapraja lahir dari Perjanjian Giyanti 1755 danPerjanjian PA I-Rafless 1813 sudah gugur sejakAmanat 5 September 1945 diterbitkan oleh HB IXdan PA VIII. Sedangkan BHWB lahir dari UUK DIYyang tunduk pada ketentuan-ketentuan UUD 1945dan UUPA. Artinya Badan Hukum Swapraja danBHWB tidak ada hubungan hukum sama sekali.Kasultanan dan pakualaman menurut PerjanjianGiyanti 1755 dan Perjanjian PA I-Rafless 1813 dengankasultanan dan pakualaman menurut UUK DIYadalah subyek hukum yang berbeda, sehinggaBHWB Kasultanan dan Pakualaman tidak sertamerta “mewarisi kepemilikan” wilayah bekaskekuasaan Mataram pra kemerdekaan karenawilayah yang dimaksud sejatinya bekas domeinPemerintah Hindia Belanda yang telah beralihmenjadi tanah negara. Bahkan, dasar hukum klaimkepemilikan SG dan PAG, yaitu Rijksblad 1918, telahgugur melalui Diktum IV UUPA dan Perda DIY No3 Tahun 1984 sebagai aturan pelaksanaannya yangpaling rendah.

Keempat, pengertian Kasultanan adalah warisanbudaya bangsa yang berlangsung secara turuntemurun dan dipimpin oleh Sultan HamengkuBuwono (Pasal 1 Angka 5). Pengertian Pakualamanadalah warisan budaya bangsa yang berlangsung

Page 31: DASDSAD - PPPM

24 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

secara turun temurun dan dipimpin oleh AdipatiPaku Alam (Pasal 1 Angka 6). Kedudukan hukumkasultanan dan pakualaman menurut UUK DIYsebatas warisan budaya bukan entitas kekuasaanswasta yang dilekati privillige melampaui negara.

b. Hak asal-usul menurut UUK DIY

Pertama, UUK DIY mengatur bahwa keistime-waan adalah keistimewaan kedudukan hukumyang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hakasal-usul menurut Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 untuk mengaturdan mengurus kewenangan istimewa (Pasal 1Angka 2). Adapun yang dimaksud dengan “asaspengakuan atas hak asal-usul” (Pasal 4 huruf a)adalah bentuk penghargaan dan penghormatannegara atas pernyataan berintegrasinya kasultanandan kadipaten ke dalam Negara Kesatuan RepublikIndonesia untuk menjadi bagian wilayah setingkatprovinsi dengan status istimewa (Penjelasan Pasal4 huruf a). Artinya, hak asal-usul menurut UUKDIY tidak diukur dari hak dan wewenang kasul-tanan dan pakualaman pada era sebelum kemer-dekaan.

Kedua, UUK DIY di dalam ruang lingkup UUD1945 dan tidak berlaku surut ke masa sebelum RIlahir ketika aturan-aturan pemerintah kolonialmasih berlaku, termasuk dalam hal ini adalahRijksblad 1918 (aturan hukum kolonial).

Ketiga, pengaturan keistimewaan DIY dilaksa-nakan berdasarkan asas-asas tertentu, salah satunyaialah asas pendayagunaan kearifan lokal (Pasal 4huruf g). Adapun yang dimaksud dengan “asaspendayagunaan kearifan lokal” adalah menjagaintegritas Indonesia sebagai suatu kesatuan sosial,politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan ke-amanan, serta pengakuan dan peneguhan perankasultanan dan kadipaten (pakualaman) tidakdilihat sebagai upaya pengembalian nilai-nilaidan praktik feodalisme, melainkan sebagai upayamenghormati, menjaga, dan mendayagunakankearifan lokal yang telah mengakar dalam kehi-

dupan sosial dan politik di Yogyakarta dalamkonteks kekinian dan masa depan (Penjelasan Pasal4 huruf f). Dengan demikian, hak asal-usul atastanah tidak bersumber pada aturan-aturan hukumprakemerdekaan, melainkan setelah kemerdekaanyaitu UUPA yang lebih lanjut diatur dengan PP No224 Tahun 1961, Keputusan Presiden No 33 Tahun1984; Keputusan Menteri Dalam Negeri No 66Tahun 1984; dan Perda DIY No 3 Tahun 1984.

c. Batasan Tanah Kasultanan dan TanahKadipaten menurut UUK DIY

Pertama, Kewenangan DIY sebagai daerahotonom mencakup kewenangan dalam urusanpemerintahan daerah sebagaimana maksud dalamUU tentang pemerintahan daerah dan urusankeistimewaan yang ditetapkan dalam UU ini (UUKDIY) (Pasal 7 ayat (1) ). Kewenangan dalam urusankeistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)meliputi: 1) tata cara pengisian jabatan, kedudukan,tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Guber-nur; 2) kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; 3).kebudayaan; 4) pertanahan; dan 5) tata ruang (Pasal7 ayat (2) ). Dalam pasal ini urusan keistimewaantermasuk pertanahan diletakkan sebagai Kewe-nangan, bukan Hak. Artinya, BHWB sebagaiwarisan budaya berwenang untuk mengaturpertanahan sebagaimana UUPA, bukan berhak atastanah yang diatur di luar UUPA. Namun, ayatlanjutan dari pasal ini tiba-tiba mengatur tentangHak bersumber dari pasal yang mengaturKewenangan27.

27 Penulis berpendapat, Hak dan Kewenangan ada-lah dua hal yang sama sekali berbeda. Negara mem-punyai Hak Menguasai menurut Pasal 33 ayat (3) UUD1945 pada saat yang sama negara mempunyai Kewe-nangan untuk mengatur hak-hak dari subyek hak yangdiatur UUPA, misalnya: memberikan dan melepaskanhak milik, hak guna dan hak pakai. Ketidakmampuanmembedakan Hak dan Kewenangan sama halnyadengan tidak dapat membedakan Hak dan Kewajiban,hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum menjadiinheren di dalam UUK DIY.

Page 32: DASDSAD - PPPM

25Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

Kedua, dalam penyelenggaraan kewenanganpertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7ayat (2) huruf d, kasultanan dan kadipaten denganUndang-Undang ini dinyatakan sebagai badanhukum (Pasal 32 ayat (1) ). Adapun yang dimaksuddengan “badan hukum” adalah badan hukumkhusus bagi kasultanan dan kadipaten, yangdibentuk berdasarkan UUK DIY (Penjelasan Pasal32 ayat (1) ). Artinya, pasal ini membuka peluangbagi BHWB mempunyai hak milik atas tanah samaseperti badan-badan hukum yang diatur oleh PPNo 38 Tahun 1963, yang menjadi persoalan adalahtanah yang manakah yang dapat dimiliki olehBHWB? Dan, apakah pembentukan BHWBdilakukan sebelum legalisasi aset yang saat inisudah berjalan?

Ketiga, kasultanan sebagai badan hukummerupakan subjek hak yang mempunyai hak milikatas tanah kasultanan (Pasal 32 ayat (2) ). Adapunyang dimaksud dengan “tanah Kasultanan(Sultanaat Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem,adalah tanah milik Kasultanan (Penjelasan Pasl 32ayat (2) ). Kadipaten sebagai badan hukum meru-pakan subjek hak yang mempunyai hak milik atastanah kadipaten (Pasal 32 ayat (3) ). Adapun yangdimaksud dengan “tanah kadipaten (paku-alamanaat grond)”, lazim disebut kagungan dalem,adalah tanah milik kadipaten (Penjelasan Pasal 32ayat (3) ). Dengan merujuk pengertian hak asal-usul, SG dan PAG adalah istilah untuk tanah-tanahyang kemudian akan dimiliki oleh BHWB, bukantanah-tanah yang pernah dikuasakan dengan sta-tus pinjaman turun temurun menurut PerjanjianGiyanti 1755 dan Perjanjian PA I-Rafless. SG dan PAGbersumber dari tanah negara, bukan tanah hakmilik.

Keempat, tanah kasultanan dan tanah kadipatensebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)meliputi tanah keprabon dan tanah bukankeprabon yang terdapat di seluruh kabupaten/kotadalam wilayah DIY (Pasal 32 ayat (4)). Adapun yangdimaksud tanah keprabon adalah tanah yang

digunakan untuk bangunan istana dan keleng-kapannya, seperti pagelaran, kraton, sripanganti,tanah untuk makam raja dan kerabatnya (diKotagede, Imogiri, dan Giriloyo), alun-alun, masjid,taman sari, pesanggrahan, dan petilasan. Tanahbukan keprabon terdiri atas dua jenis tanah, yaitutanah yang digunakan penduduk/lembaga denganhak (magersari, ngindung, hak pakai, hutan,kampus, rumah sakit, dan lain-lain) dan tanah yangdigunakan penduduk tanpa alas hak (PenjelasanPasal 32 ayat (4)). Tanah keprabon mempunyaidasar klaim untuk dimiliki karena ditempatisebagai situs warisan budaya. Tanah bukankeprabon didasarkan pada klaim kepemilikan atastanah-tanah negara atau tanah yang kemudiansudah dilekati dengan hak milik. Klaim terhadapkepemilikan tanah bukan keprabon tidak dapatdilakukan terhadap tanah negara dan tanah milikmasyarakat, karena UUK DIY berlaku ke depan(tidak berlaku surut) sebagaimana pengertian hakasal-usul. BHWB terlebih dahulu harus membuk-tikan kepemilikan dengan tanda bukti kepemilikanyang sah sebelum meniadakan klaim pihak lainyang dianggap tidak sah.

Kelima, kasultanan dan kadipaten berwenangmengelola dan memanfaatkan tanah kasultanandan tanah kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingansosial, dan kesejahteraan masyarakat (Pasal 32 ayat(5) ). Artinya, klausul ini membatasi pemanfaatantanah-tanah yang dilekati status SG dan PAG untukkepentingan non bisnis, hal ini menjadi koreksibagi proyek-proyek berorientasi bisnis di atas tanahklaim SG dan PAG saat ini.

Keenam, hak milik atas tanah kasultanan dantanah kadipaten sebagaimana dimaksud dalamPasal 32 ayat (2) dan ayat (3) didaftarkan padalembaga pertanahan (Pasal 33 ayat (1)). Adapunyang dimaksud dengan “lembaga pertanahan”adalah lembaga pemerintah non-kementerian yangmenangani bidang pertanahan (Penjelasan Pasal33 ayat (1)). Pendaftaran hak atas tanah Kasultanan

Page 33: DASDSAD - PPPM

26 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud padaayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan (Pasal 33 ayat (2)).Pendaftaran atas tanah Kasultanan dan tanahKadipaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2)yang dilakukan oleh pihak lain wajib mendapatkanpersetujuan tertulis dari Kasultanan untuk tanahKasultanan dan persetujuan tertulis dari Kadipatenuntuk tanah Kadipaten (Pasal 33 ayat (3)). Adapunyang dimaksud dengan “pihak lain” adalahperseorangan, badan hukum, badan usaha, danbadan sosial yang mengelola dan memanfaatkantanah Kasultanan dan tanah Kadipaten. Pengelo-laan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanahKadipaten oleh pihak lain harus mendapatkan izinpersetujuan Kasultanan untuk tanah Kasultanandan izin persetujuan Kadipaten untuk tanahKadipaten (Pasal 33 ayat (4)). Lembaga pertanahanyang dimaksud adalah Badan Pertanahan Nasional,pendaftaran dilakukan menurut peraturanpelaksanaan dari UUPA. Pendaftaran oleh pihaklain menunjukkan bahwa BHWB tidak mempunyaibukti klaim kepemilikan atas tanah-tanah negaraatau tanah milik masyarakat, sehingga diperlukanpengakuan dari pihak lain bahwa tanah yangdigunakan pihak lain asal-usulnya adalah milikBHWB.

d. Sistem Pertanahan menurut UUK DIY

Pertama, kewenangan istimewa sebagaimanadisebut dalam Pasal 1 Angka 3 dan Pasal 49 UUKDIY adalah kewenangan tambahan dalam ruanglingkup UU Pemerintahan Daerah. Dengandemikian, UUK DIY adalah lex specialis (aturankhusus) dari UU Pemerintahan Daerah28; bukanlex specialis dari UU No 26 Tahun 2007 tentangPenataan Ruang; bukan lex specialis dari UU No 6Tahun 2014 tentang Desa; maupun bukan lexspecialis dari UU No 5 Tahun 1960 dan aturan pelak-

sanaannya.Kedua, Pasal 4 UUK DIY melarang upaya

penghidupan kembali feodalisme dan Pasal 16melarang Gubernur untuk membuat kebijakanyang menguntungkan diri sendiri; keluarga, kroni,dan diskriminatif. Pengertian SG dan PAG menurutUUK DIY yang tidak surut ke belakang tentunyabukan berdasarkan Rijksblad 1918 yang telahdihapus, melainkan bersumber dari UUPA danaturan pelaksanaannya. Sehingga, SG dan PAGbersumber dari tanah negara yang dimohonkanoleh BHWB kepada negara, bukan berdasarkan dariklaim tanpa bukti kepemilikan. Dengan demikian,UUK DIY dapat sinkron dengan UU Desa maupunUUPA.

Ketiga, UUK DIY dapat menjamin kepastianhukum atas tanah sepanjang pemaknaan danpenerapan UUK DIY tidak dimaksudkan untukmenghidupkan feodalisme pertanahan(Rijksblad) baik dalam kultur sosial dan politik dantata hukum NKRI.

e. Ikhtisar

Dalam bidang pertanahan, UUK DIY dirumus-kan dari pemahaman yang keliru terhadap sejarahdan perkembangan hukum pertanahan di DIY,dimana posisi politik dan hukum Kasultanan danPakualaman terhadap negara mengalami peru-bahan dari badan hukum swapraja (feodal) menjadiwarisan budaya. Akibatnya UUK DIY rancu untukmenentukan obyek tanah yang akan dimiliki,terutama terhadap tanah non keprabon. UUK DIYtidak memadai sebagai instrumen untuk mengam-bil alih hak tanah dari pihak lain, baik negaramaupun masyarakat, meskipun menggunakan atasnama hak asal- usul. Perdais Pertanahan akan men-jadi instrumen memadai untuk mengeksekusi hak-hak atas tanah di DIY.

3. Implementasi UUK DIY dalam halPertanahan dan Argumentasinya

UUK DIY menjadi alasan utama perubahan

28 Pada tahun 2012 UU Pemerintahan yang dimak-sud adalah UU No 32 Tahun 2004 dan pada 2014 UUyang dimaksud adalah UU No 23 Tahun 2014.

Page 34: DASDSAD - PPPM

27Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

struktur penguasaan tanah di DIY yang dicirikandengan penghidupan kembali makna dansemangat Rijksblad 1918 (aturan hukum pemerintahkolonial) di dalam tata hukum NKRI.

a. Kasultanan dan Kadipaten sebagaiSubyek Hak atas tanah

Penerbitan Surat Gubernur kepada KepalaKanwil BPN DIY No 593/4811 (12 Nopember 2012)dan No 593/0708 (15 Februari 2013) tentangPengendalian Permohonan Hak Atas Tanah Negarayang Dikuasai Pemerintah Daerah DIY berakibatpada terhentinya proses administrasi pertanahanterhadap tanah-tanah negara yang diterbitkandengan SK Gubernur. HGB yang dikonversi dariRecht van Opstal (RVO) dikategorikan sebagaipemberian Kasultanan atau Pakualaman oleh BPNKanwil DIY melalui Surat No 1031/300-34/VII/201429

yang ditujukan kepada Kepala Kantor BPN.Akibatnya, seluruh HGB berubah statusnya men-jadi SG atau PAG jika hendak diperpanjang.

Argumentasi yang digunakan Kepala KanwilBPN DIY:1) RVO di DIY berasal dari SG yang berdasar

Rijksblad 1918 berjangka waktu 75 tahun.2) Asas pemisahan horizontal yang mendasari

Pasal 35 dan Pasal 37 UUPA terjadi untuk tanahyang dikuasai langsung oleh negara dan tanahmilik karena perjanjian otentik antara pemiliktanah dengan pihak lain yang akan memperolehHGB dan menimbulkan hak baru.

3) Bahwa Pasal 32 UUK DIY mengamanatkanpendaftaran hak milik untuk Kasultanan atauPakualaman terhadap tanah-tanah yangdikategorikan sebagai SG atau PAG, sehinggaHGB wajib didaftarkan sebagai hak milikKasultanan/Pakualaman.

b. Pengalihan Hak Atas Tanah Hak MilikDesa Dan Hak Menguasai Negara

Pergub No 112 Tahun 2014 tentang PemanfaatanTanah Desa menyatakan bahwa:1) Tanah Desa adalah tanah yang asal-usulnya dari

Kasultanan dan/atau Kadipaten dengan hakanggadhuh, dan pemanfaatannya untuk kasdesa, bengkok/lungguh, dan pengarem-arem(Pasal 1 angka 10),

2) Tanah Desa yang berasal dari hak anggadhuhdan tanah pengganti yang telah disertipikat-kan atas nama Pemerintah Desa untukdilakukan peralihan hak menjadi tanah milikKasultanan dan/atautanah milik Kadipaten; danPeraturan Gubernur Nomor 65 Tahun 2013tentang Tanah Kas Desa dan Peraturan Guber-nur Nomor 39 Tahun 2014 tentang PerubahanPeraturan Gubernur Nomor 65 Tahun 2013tentang Tanah Kas Desa dicabut dan dinyatakantidak berlaku (Pasal 19).Tidak ada argumentasi eksplisit atas ketentuan

tersebut, namun argumentasi umum yang dapatditemukan adalah Rijksblad 1918 yang menjadidasar tanah desa dengan hak anggaduh. Pergub No112 Tahun 2014 bertentangan dengan UU Desa Pasal76 dan UUK DIY Pasal 4 dan 16. Pergub No 65 Tahun2013 tentang Tanah Kas Desa diterbitkan setelahUUK DIY disahkan, Pergub ini sejalan dengan UUDesa yang mengamanatkan sertif ikasi tanah desasebagai hak milik desa atas nama pemerintah desa.

c. Rancangan Perda Istimewa BidangPertanahan

Pertama, bagian penjelasan Rancangan PerdaisPertanahan menyatakan bahwa SG dan PAG masihtunduk pada Rijksblad meskipun telah terbit KepresNo 33 Tahun 198430. Argumentasi yang digunakandalam bagian penjelasan tersebut adalah tanah-tanah Kasultanan dan Kadipaten masih belum29Surat tersebut mengacu pada bidang tanah

dengan Sertifikat HGB No 13. 04.16.05.3.00206 berlokasidi Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabu-paten Sleman yang dikeluarkan tanggal 25 Februari1991.

30 Dalam rancangan perdais tersebut disebut Kepu-tusan Pemerintah No 33 Tahun 1984.

Page 35: DASDSAD - PPPM

28 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

diatur karena masih ada syarat yaitu harusdilakukan identif ikasi keberadaannya. Sampaisekarang, syarat yang ditentukan dalam PeraturanPemerintah belum dilaksanakan.

Kedua, pengertian Tanah Kasultanan (SultanGrond) dan Tanah Kadipaten (Pakualaman Grond)adalah tanah-tanah yang sejak semula dimiliki dandi bawah pengelolaan Kasultanan dan Kadipatenmeliputi tanah keprabon dan tanah bukankeprabon (Pasal 1 Angka 5 dan 6) Pengertian SGPAG menurut Rancangan Perdais Pertanahanberbeda dengan pengertian SG dan PAG menurutUUK DIY.

Ketiga, batasan Tanah non Keprabon adalahtanah yang digunakan masyarakat atau lembagadengan hak dan/atau tanah tanpa alas hak, hutandan wedi kengser. Wedi kengser adalah sepanjangbantaran sungai yang belum jelas kepemilikannya(Pasal 8). Pendaftaran hak atas tanah Kasultanandilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono danAdipati Paku Alam dengan membentuk timajudikasi pertanahan (Pasal 12 dan Pasal 13).

Keempat, salah satu tugas Tim Ajudikasi Perta-nahan ialah menyelidiki riwayat tanah Kasul-tanan/tanah Kadipaten dan menilai kebenaranalat bukti pemilikan atau penguasaan tanahKasultanan/tanah Kadipaten (Pasal 14 huruf c).Tidak ada argumentasi tentang ketentuan ini.Namun akibat potensial dari ketentuan ini tidakhanya berupa hilangnya hak guna dan hak pakai diatas tanah negara, tetapi juga hilangnya hak milikyang terbukti tidak dilengkapi sertif ikat hakeigendom pada tahun 1918, ketika SG PAG dilahirkanoleh Rijksblad 1918.

d. Ikhtisar

Rijksblad 1918 menjadi pokok persoalan dalamimplementasi UUK DIY, sehingga implementasiUUK DIY bertentangan dengan UUD 1945 Pasal33, UUPA dan UU Desa. Rijksblad 1918 tidaktercantum dalam UUK DIY. Namun disisipkandalam Rancangan Perdais Pertanahan sehingga jika

Perdais Pertanahan disahkan sebagaimana bunyipasal-pasal dalam rancangannya, maka PerdaisPertanahan akan bertentangan dengan UUK,UUPA, UU Desa, dan UUD 1945. Saat ini sertif ikasiterhadap tanah-tanah negara dan pembalikannama tanah desa menjadi hak milik Kasultanan danPakualaman sudah berjalan meskipun PerdaisPertanahan belum disahkan.

4. Kedudukan Hukum Dari Tanah denganStatus SG dan PAG

Berdasarkan 1) definisi SG dan PAG serta hakasal usul menurut UUK DIY, 2) sifat UUK yang tidakberlaku surut, dan 3) kedudukan UUK DIY sebagailex specialis dari UU Pemerintahan Daerah, makakedudukan hukum dari tanah dengan status SG danPAG sejatinya adalah tanah negara yang belumdibebani hak yang saat ini masih digunakan olehKasultanan atau Pakualaman, bukan semua tanahnon eigendom yang didasarkan Rijksblad No 16 danNo 18 Tahun 1918. Artinya, obyek tanah SG atau PAGdan pendaftarannya harus tunduk pada UUPA.

5. Kedudukan Hukum Dari Tanah yangDikuasai Negara

UUK DIY mengatur 1) kedudukan Kasultanandan Pakualaman sebagai BHWB dan 2) kewajibanBHWB melakukan pendaftaran tanah SG dan PAG.Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan-ketentuanUUPA tetap berlaku, termasuk Diktum IV danaturan pelaksanaannya. Kedudukan tanah negarasesungguhnya tetap ada di DIY, bukan ditiadakandengan alasan asal-usulnya sebagai tanah kerajaan.Perlakuan negara terhadap tanah bekas swaprajadi luar DIY kiranya dapat menjadi teladan.

6. Kedudukan Hukum dari Tanah MilikMasyarakat (Individu dan Tanah Desa)

Hak Milik yang terbit sesudah UUPA lahir, baikitu hak milik individu maupun milik desa, tetapsah dan tidak dapat diganggu gugat oleh UUK DIYkarena kedudukan SG dan PAG menurut UUK telahjelas obyeknya. Rijksblad 1918 tidak dapat dijadikan

Page 36: DASDSAD - PPPM

29Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

landasan hukum untuk mengklaim kembalikepemilikan tanah desa melalui Pergub No 112Tahun 2014 maupun kepemilikan tanah milikindividu melalui Perdais Pertanahan yang akandisahkan kemudian31.

7. Kedudukan Hukum Agraria terhadapUUK DIY

1) Kapasitas UUK DIY Untuk Menjadi LandasanHukum Pertanahan DIYMeninjau kembali sejarah dan substansinya,kapasitas UUK DIY adalah aturan khusus dariUU Pemerintahan Daerah, sehingga sesungguh-nya tidak perlu terlalu jauh mengatur perta-nahan. Namun, apabila UUK DIY hendak tetapdigunakan untuk mengatur pertanahanmenurut kewenangan istimewa, maka dasarnyaadalah UUPA dan aturan pelaksanaannya,bukan berdasar Rijksblad.

2) Kekuatan Argumentasi bagi SG dan PAGSG dan PAG yang dimaksud oleh UUK DIYberlaku ke depan, sedangkan SG PAG yangdimaksud dalam Rancangan Perdais Pertanahandan Pergub No 112 Tahun 2014 adalah berlakusurut, yaitu Rijksblad 1918 yang sudah resmidicabut. Argumentasi bahwa SG dan PAGtunduk pada Rijksblad tidak dapat dibenar-kan, karena eksistensi dan kekuatan hukumdari suatu aturan tetap ada meski terdapatpelanggaran atau tidak dijalankan. Begitu pulaargumentasi yang menyatakan bahwa UUK DIYhadir untuk mengisi kekosongan hukum(Munsyarief 2013) tidak dapat dibenarkankarena kekosongan hukum tidak pernah terjadibaik secara de jure (UUPA dan aturan pelaksa-naannya berlaku penuh di DIY) maupun de facto(eksistensi tanah negara dan tanah milik diakuidan kukuh). Pelaku yang berupaya menghi-dupkan Rijksblad dalam tata hukum NKRI justru

dapat terancam dengan KUHP Pasal 106 dan 110tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara(tindakan subversif).

3) Kepastian Hukum Atas Hak TanahKepastian hukum atas tanah tetap terjaminsepanjang UUPA digunakan sebagai dasar dalammengatur pertanahan di DIY, dan implementasiUUK DIY tidak dimaksudkan untuk meng-hidupkan kembali feodalisme pertanahan.Substansi UUK DIY perlu dikoreksi kembaliterutama dalam mendef inisikan tanah nonkeprabon.

4) Kedudukan UUPA dan Aturan Pelaksanaannyaterhadap UUK DIYUUPA tetap berlaku meskipun UUK DIYdisahkan karena UUPA adalah satu-satunyasumber hukum agraria di NKRI dan aturankhusus secara langsung dari Pasal 33 Ayat (3)UUD 1945.

D. Kesimpulan

Pembahasan diawal tadi memberikan kitabeberapa kesimpulan, diantaranya:1. Kedudukan hukum dari tanah dengan status SG

dan PAG harus tunduk pada UUPA. Artinya,tanah-tanah yang hendak dimiliki oleh BHWBdiperoleh dari tanah negara, meliputi: tanahyang digunakan untuk kegiatan kebudayaan(untuk tanah keprabon) dan tanah yangdiperoleh dengan pelepasan hak milik pihak lainmelalui jual beli dengan BHWB (untuk tanahbukan keprabon).

2. Kedudukan Hukum dari tanah negara (HGB,Hak Pakai, dan tanah tanpa hak) tetap terjaminkeberadaannya sepanjang UUPA tetap berlakudi NKRI.

3. Kedudukan hukum tanah dengan status hakmilik baik individu maupun desa tetap terjaminoleh UUPA dan UU Desa sepanjang UUK DIYtidak dimaksudkan untuk menghidupkankembali aturan hukum kolonial.

4. Kedudukan sumber-sumber hukum tentang

31Lihat Pasal 1 dan Pasal 14 Rancangan Perdais Per-tanahan DIY yang berpotensi mengambil hak-hak mi-lik yang ada setelah UUPA.

Page 37: DASDSAD - PPPM

30 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

agraria terhadap UUK DIY tetap berlaku karenaUUK DIY lex specialis dari UU PemerintahanDaerah.Mempertimbangkan kebutuhan akan kepastian

hukum dalam hal pertanahan, terutama jaminaneksistensi hak menguasai negara atas tanah negaradan hak milik masyarakat atas tanah (individu dankomunal/desa), maka terhadap UUK DIY perluuntuk:1. Dilaksanakan sesuai UUD 1945 Pasal 33 ayat (3),

UUPA dan aturan pelaksanaannya, dan UU Desaatau

2. Dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusijika substansi dan implementasi UUK DIY dapatatau telah merugikan negara dan masyarakat.

Daftar Pustaka

Adjiekoesoemo, BSW 2012, Pembelaan Tanah untukRakyat, Jogja Gate: Pengkhianatan TerhadapHB IX dan PA VIII, Sami Aji Center, Yogyakarta.

Aditjondro, George Junus, SG dan PAG PenumpangGelap RUUK (epilog) dalam Warso Gurun (ed)2013, Menanam Adalah Melawan, PaguyubanPetani Kulon Progo-Tanah Air Beta, Yogya-karta.

Antoro, Kus Sri 2010, Konflik-konflik di KawasanPertambangan Pasir Besi: Studi ImplikasiOtonomi Daerah (Studi Kasus DIY), IPB, Tesis(tidak dipublikasikan)

____, 2014, ‘Legitimasi Identitas Adat dalamDinamika Politik Agraria’, Jurnal Bhumi No 39Tahun 13, April 2014, STPN Yogyakarta, p. 427-441,

Burns, Peter 2010, Adat, yang Mendahului SemuaHukum dalam J,S, Davidson, D, Henley, S,Moniaga (ed), 2010, Adat dalam Politik Indo-nesia, KITLV-Jakarta Yayasan Obor, Jakarta.

Fitzpatrick, Daniel 2010, Tanah, Adat, dan Negaradi Indonesia pasca-Soeharto: Perspektifseorang ahli hukum asing dalam J,S, Davidson,D, Henley, S, Moniaga (ed), 2010, Adat dalamPolitik Indonesia, KITLV-Jakarta YayasanObor, Jakarta.

Klinken, Gerry van, Kembalinya Para Sultan: PentasGerakan Komunitarian dalam Politik Lokal’dalam J,S, Davidson, D, Henley, S, Moniaga(ed.) 2010, Adat dalam Politik Indonesia,KITLV-Jakarta Yayasan Obor, Jakarta.

Karjoko, Lego 2006, ‘Komparasi Antara SistemHukum Tanah Nasional Dengan SistemHukum Tanah Keraton Yogyakarta’, YustisiaEdisi Nomor 68 Mei - Agustus 2006, p.57-66,

h t t p : / / e p r i n t s , u n s , a c , i d / 7 6 5 / 1 /Komparasi_Antara_Sistem_Hukum_Tanah_Nasional_Dengan_Sistem%C2%A0_Hukum_ Tanah_Keraton_Yogyakarta,pdf

Kusumoharyono, Umar 2006, ‘Eksistensi TanahKasultanan (Sultan Ground) YogyakartaSetelah Berlakunya UU No, 5 / 1960’, YustisiaEdisi Nomor 68 Mei - Agustus 2006http://eprints,uns,ac,id/1816/1/44-fullteks,pdf.

Luthfi, Ahmad N, M. Nazir S, A, Tohari, Dian A,W,dan Diar Candra T 2009, KeistimewaanYogyakarta: Yang Diingat dan Yang Dilupakan,STPN Press, Yogyakarta.

Munsyarief 2013, Menuju Kepastian Hukum atasTanah: Kasultanan dan Pakualaman Di DaerahIstimewa Yogyakarta, Penerbit Ombak, Yog-yakarta.

Puri, Widhiana H 2014,’Kontekstualitas Aff irma-tive Action dalam kebijakan Pertanahan diYogyakarta’, Jurnal Bhumi No 37 Tahun 12, April2013, STPN Yogyakarta, p. 169-180,

Ranuwidjaja, Usep 1995, Swapraja Sekarang dan DiHari Kemudian, Penerbit Djambatan, Jakarta.

Sembiring, Julius 2012, Tanah Negara, STPN Press,Yogyakarta.

Shiraishi, Takashi 1997, Zaman Bergerak: Radi-kalisme Rakyat di Jawa 1912-1926,: PustakaUtama Grafiti, Jakarta.

Soemardjan, Selo 2009, Perubahan Sosial diYogyakarta, Komunitas Bambu, Depok.

Suyitno 2006, ‘Hak atas Tanah Kraton KasultananYogyakarta’, Bulletin LMDP LAND, Edisi 01November 2006-Januari 2007, p 6-10.

Topatimasang, Roem, ‘Mapping as Tool for Com-munity Organizing Agains Power: A MoluccasExperience’ In Brosius, P,J, et al, (ed) 2005,Communities and Conservation: Histories and

Page 38: DASDSAD - PPPM

31Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

Politics of Community-Based Natural ResourceManagement, Rowman & Littlef ield, Lanhamand Oxford.

Yanuardy, Dian 2012, Commoning, DispossessionProjects and Resistance: A Land DispossessionProject for Sand Iron Mining in Yogyakarta,Indonesia, International Conference onGlobalLandGrabbing IIOctober 17 19, 2012LandDealsPolitics Initiative (LDPI), Department ofDevelopment Sociology at Cornell University,Ithaca, New York.

Zakaria, Yando 2014, ‘Konstitusionalitas KriteriaMasyarakat (Hukum) Adat pasca-PutusanMahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/2012’,Jurnal Kajian,Vol 19 No 2 Juni 2014, PusatPengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi(P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan PerwakilanRakyat RI, Jakarta p. 127-144.

Dokumen Sejarah:

Amanat 5 September 1945.Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755.Perjanjian Paku Alam I-Raffles, 13 Maret 1813.Perjanjian Politik Hamengku Buwono IX-

GUbernur Jenderal Hindia Belanda (LucienAdam), 18 Maret 1940.

Perjanjian Ponorogo Pakubuwono II, 11 Desember1749.

Sabdatama Sri Sultan Hamengku Buwono X, 10 Mei2012.

Sabdatama Sri Sultan Hamengku Buwono X, 7Maret 2015.

Peraturan perundang-undangan dankebijakan:Undang-undang No 3 Tahun 1950 jo UU No 19

Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.Undang-undang No 13 Tahun 2012 tentang

Keistimewaan DIY.Undang-undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.Keputusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/

2012 perihal Pengujian UU No 41 Tahun 1999tentang Kehutanan.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No 69 Tahun1984 tentang Penegasan Konversi Dan Pendaf-

taran Hak Atas Tanah Milik Perorangan Berda-sarkan Perda Nomor 5 Tahun 1954 Di PropinsiDIY.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No 66 Tahun1984 tentang Pelaksanaan pemberlakuansepenuhnya UU No,5 Tahun 1960 di propinsiDaerah Istimewa Yogyakarta.

Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 tentangPemberlakuan Sepenuhnya Undang-UndangNomor 5 Tahun 1960 Di Propinsi DaerahIstimewa Yogyakarta.

Peraturan Gubernur DIY No 65 Tahun 2013 tentangTanah Kas Desa.

Peraturan Gubernur DIY No 112 Tahun 2014 tentangPemanfaatan Tanah Desa.

Peraturan Menteri Pertanian Dan Agraria No 2Tahun 1962 tentang Penegasan KonversiDanPendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia AtasTanah.

Peraturan Pemerintah No 224 Tahun 1961 tentangPelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pem-berian Ganti Kerugian.

Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1963 tentangPenunjukan Badan-Badan Hukum yang DapatMempunyai Hak Milik atas Tanah.

Peraturan Daerah DIY No 3 Tahun 1984 tentangPelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Di PropinsiDaerah Istimewa Yogyakarta.

Peraturan Daerah DIY No 5 Tahun 1954 tentang HakAtas Tanah Di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Rancangan Perda Istimewa Bidang Pertanahan,dipublikasikan Juni 2014.

Surat Gubernur DIY kepada Kepala Kanwil BPN DIYNo 593/0708, tertanggal 15 Februari 2013.

Surat Gubernur kepada Kepala Kanwil BPN DIY No593/4811, tertanggal 12 Nopember 2012.

Surat Kepala Kanwil BPN DIY kepada Kepala KantorBPN Sleman No 1031/300-34/VII/2014,tertanggal 03 Juli 2014.

Media massa

Anonim,2015, Himpunan Masalah AgrariaStruktural DIY,www,selamatkanbumi,com

Ardhiangga, I Made, 2015, “Ini 5 Sikap YangDiajukan Silatnas Raja dan Sultan IV ke

Page 39: DASDSAD - PPPM

32 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

Pemerintah”, http://bali,tribunnews,com/2015/04/28/ini-5-sikap-yang-diajukan-silatnas-raja-dan-sultan-iv-ke-pemerintah.

Basuki, Udar, 2014, “Tumpang Tindih PengelolaanTanah Yogyakarta”, Majalah BALAIRUNG,Edisi 51/XXIX/November 2014,hlm 42.

Harian Jogja, 16 Juli 2012, “Sultan: Permintaan PPLPSoal Sertif ikasi Tanah Tidak Dapat Dipenuhi”,

____, 6 September 2013, “Tanah Kraton Ngayog-yakarta Data Tanah Kraton Masih Mentah”.

Kedaulatan Rakyat, 2 Oktober 2013, “BPN DIY SiapSertif ikat Tanah SG dan PAG”.

____, 12 November 2014, “Cegah Jual Beli SG danPAG, Pemda DIY Targetkan Buat 1000Sertif ikat”.

Wicaksanti, Auviar Rizky, 2014, “Dualisme DalamGerak Transformasi Agraria”, MajalahBALAIRUNG , Edisi 51/XXIX/November 2014,hlm. 22-28.

www.forpetankri.com

Page 40: DASDSAD - PPPM

MEMAHAMI REORGANISASI RUANGMELALUI PERSPEKTIF POLITIK AGRARIA

Noer Fauzi Rachman1

Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: The article bases on agrarian politic perspective to show the significance to consider the changing forces of “spatialreorganization” to expand capitalists mode of production for producing global commodities. Urbanized Indonesians are accus-tomed to fill their needs through market transaction. They take for granted that the transaction is natural. Moreover, for thosewho have interest to get profit, the transaction is the normalized mechanism. Different from the general view which assumingthat the market mechanism is treated as opportunity, the article considers a market as an imperative force. Referring to Wood(1994, 2002) which promote market-as-imperative approach, the paper shows various mechanisms of deploying violence,including to change property relations in terms of land, natural resource, and territory.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: spatial reorganization, capitalist production, market as imperative

AbstrakAbstrakAbstrakAbstrakAbstrak: Naskah ini mempergunakan perspektif politik agraria ini untuk menunjukkan pentingnya kita mempertimbangkan perubahandari waktu kewaktu kekuatan-kekuatan pembentuk “reorganisasi ruang” untuk perluasan cara/ system produksi kapitalis yangmenghasilkan komoditas-komoditas global. Banyak orang kota Indonesia sudah terbiasa dan dibiasakan memenuhi kebutuhanhidupnya melalui transaksi jual beli. Semua cenderung menganggap transaksi jual-beli itu adalah alamiah. Lebih dari itu, untukberhasil memenuhi kepentingan memperoleh pendapatan atau keuntungan, cara jual beli merupakan sesuatu yang sudah lazimditempuh. Berbeda dengan pandangan umum bahwa pasar sebagai penyedia kesempatan, naskah ini menganggap pasar sebagaikekuatan yang memaksa. Merujuk pada karya Wood (1994, 2002) yang promosikan pendekatan market-as-imperative (pasar-sebagai-paksaan), naskah ini menunjukkan berbagai mekanisme operasi-operasi paksa reorganisasi ruang tersebut, termasukmekanisme pemutusan hubungan kepemilikan rakyat terhadap tanah, sumberdaya alam dan wilayahnya.Kata KKata KKata KKata KKata Kunciunciunciunciunci: reorganisasi ruang, produksi kapitalis, pasar sebagai pemaksa

A. Pendahuluan

Kelompok-kelompok rakyat miskin di banyakdesa, di pinggir kota, di dataran tinggi, di pedalamanmaupun di pesisir dari pulau-pulau, dilanda rasarisau dan kuatir sehubungan dengan ketidakpas-

tian hak atas tanah, sumber daya alam, dan wilayahkelola kepunyaannya. Mereka adalah korban-korban operasi paksa pelepasan hubungan kepemi-likan rakyat terhadap tanah, sumber daya alam danwilayah, yang pada gilirannya berakibat lanjutanberupa perubahan secara drastis tata guna daritanah, sumber daya alam dan wilayah, sertaperubahan posisi kelas dari rakyat dalamhubungannya dengan keberadaan sistem produksibaru yang berdiri dan bekerja atas tanah, sumberdaya alam dan wilayah itu. Kebanyakan rakyatmengalah dan kalah. Mereka menyingkir ataumeninggalkan kampung halamannya karena tidaklagi bisa mengandalkan hidup dari tanah, sumber

1 Penulis adalah peneliti utama Sajogyo Institute,Ketua Dewan Pengarah Badan Prakarsa PemberdayaanDesa dan Kawasan (BP2DK), anggota Dewan PakarKonsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan PengajarMata Kuliah “Politik dan Gerakan Agraria”, Program S2Sosiologi Pedesaan, Institute Pertanian Bogor. Ia mem-peroleh PhD di University of California, Berkeley tahun2011 dalam bidang Environmental Science, Policy andManagement. Penulis bisa dihubungi lewat:[email protected]

Diterima: 7 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 25 Mei 2015

Page 41: DASDSAD - PPPM

34 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

daya alam, dan wilayah yang telah dikaplingperusahaan-perusahaan. Ada sedikit saja rakyatyang berhasil mempertahankan diri atau meng-halau perusahaan-perusahaan yang mengkaplingtanah-tanah mereka itu.

Ketika naskah ini ditulis, Koran Kompas edisi 18April 2015 mengangkat tulisan “Konflik Lahan AdatMeningkat”. Suryati, Sekretaris Pelaksana KelompokStudi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat(KSPPM) yang menjadi narasumber berita itumelaporkan bahwa sejak tahun 2003 hingga 16 April2015, terdapat setidaknya konflik lahan antara 18komunitas adat dengan PT Toba Pulp and Paper (PTTPL) yang beroperasi di kawasan Toba. “Setidaknyakonflik itu melibatkan 3.777 keluarga atau 17.722jiwa di lahan seluas 26.560,398 hektar di KabupatenHumbalang Hasundutan, Tapanuli Utara, Samosir,Toba Samosir, Dairi, dan Simalungun.” (‘Kompas’2015). Perlu diketahui bahwa PT TPL memperolehlisensi izin pemanfaatan lahan untuk HutanTanaman Industri melalui Surat KeputusanMenteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor 58/2011untuk lahan seluas 188.000 hektar. Izin ini meru-pakan pembaruan atas SK Menhut 493/1992 hektaruntuk lahan seluas kurang lebih 269.000 hektar atasnama PT Inti Indorayon Utama (IIU).

Kasus konflik lahan di wilayah ini bukan hanya18 kasus itu saja. Ke-18 kasus itu adalah mereka yangbertahan hingga saat ini. Banyak komunitas yangsudah kalah atau akhirnya mengalah terhadap PTTPL atau PT IIU.2 Konflik-konflik lahan di wilayahini sudah berlangsung dalam jangka waktu yangpanjang, semenjak PT IIU bekerja di sana menda-patkan lisensi pembalakan kayu (alias: Hak Pengu-

sahaan Hutan/HPH) dari Menteri Kehutananseluas 100.000 hektar pada tanggal 23 Oktober 1984dengan jangka waktu pengusahaan 20 tahun.

Di akhir tahun 2003, saya memiliki satu kesem-patan mengharukan saat mengunjungi salah satudari konflik-konflik lahan itu, yakni yang terjadi dikampung Naga Hulambu, Kabupaten Simalungun.Saya bertemu dan mendengar cerita bagaimanaseorang ibu (inang) memimpin rakyatnya memper-tahankan tanah air mereka dengan cara mengusirkontraktor-kontraktor PT TPL yang telah, sedang,dan akan menghabisi kebun-kebun kepunyaanmereka yang telah dipenuhi oleh pohon kayu,buah-buahan, maupun sayur-sayuran.

Uraian di atas dimaksudkan untuk menunjuk-kan masalah konflik agraria ini bersifat kronis danmeluas. Kasus-kasus konflik agraria tersebar diseantero nusantara. Salah satunya dibuat olehKonsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mela-porkan bahwa sepanjang tahun 2014 sedikitnyatelah terjadi 472 konflik agraria di seluruh Indone-sia dengan luasan konflik mencapai 2.860.977,07hektar. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya105.887 kepala keluarga (KK). Data KPA memper-lihatkan konflik agraria tertinggi pada tahun initerjadi pada proyek-proyek infrastruktur, yaitusebanyak 215 konflik agraria (45,55%). Selanjutnyaekspansi perluasan perkebunan skala besarmenempati posisi kedua yaitu 185 konflik agraria(39,19%), dilanjutkan oleh sektor kehutanan 27kasus (5,72%), pertanian 20 (4,24%), pertambangan

2Pertama kalinya saya membaca satu kasus dariwilayah ini melalui buku Ibrahim Gidrach Zakir (1980)Dari Jenggawah ke Sirua-ria: Sebuah Peneguhan Sikap diHadapan Pengadilan Mahasiswa, yang diterbitkan diBandung oleh Badan kerjasama Pembelaan MahasiswaIndonesia. Buku ini adalah Pledoi Ibrahim Gidrach Zakir,salah seorang mahasiswa yang dipenjarakan oleh rezimmiliter Orde Baru karena tuntutan mereka agar Soeharto

mundur dari jabatan sebagai Presiden Republik Indone-sia. Kasus ini telah menjadi perhatian para pekerja hakasasi manusia sejak akhir tahun 1989. Salah satu yang sayabaca dari YLBHI (1990) berjudul Laporan Keadaan HakAsasi Manusia di Indonesia 1989. Sedangkan naskahakademik terbaik mengenai perjuangan agraria disana,termasuk yang digerakkan oleh ibu-ibu Sugapa, adalahSimbolon, Indira Juditka 1998, Peasant Women and Accessto Land; Customary Law, State Law and Gender Based Ideol-ogy; The Case of the Toba - Batak (North Sumatra), sebuahnaskah PhD thesis di Wageningen University.

Page 42: DASDSAD - PPPM

35Noer Fauzi Rachman: Memahami Reorganisasi Ruang ...: 33-44

14 (2,97%), perairan dan kelautan 4 (0,85%), danlain-lain ada 7 konflik (1,48%). Dibandingkan tahunsebelumnya, terjadi peningkatan jumlah konfliksebanyak 103 atau meningkat 27,9% dari tahun 2013.Secara kumulatif selama 10 tahun masa pemerin-tahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) (2004-2014)setidaknya telah terjadi 1.520 konflik agraria diseluruh wilayah Republik Indonesia, dengan luasanareal konf lik seluas 6.541.951,00 hektar danmelibatkan lebih dari 977.103 kepala keluarga (KK),yang harus menghadapi ketidakadilan agraria dankonflik berkepanjangan. Dapatlah dikatakanbahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir inirata-rata hampir dua hari sekali meletus satu kasuskonflik agraria (Konsorsium Pembaruan Agraria2014).

Di sini saya tidak akan mengurai kasus-per-kasus, melainkan mengarahkan penjelasanmengenai sebab utama dari porak-porandanyakehidupan rakyat dan tanah air yang berlangsungsecara sistemik, yakni reorganisasi ruang untukperluasan sistem produksi kapitalisme yang meng-hasilkan komoditas-komoditas global demipenciptaan keuntungan dan akumulasi modalperusahaan-perusahaan raksasa.

B. Reorganisasi Ruang

Saat ini tidak bisa tidak, kita harus membica-rakan kapitalisme dan memahami cara bekerjanya.Sebab, kapitalisme telah menjadi suatu sistemproduksi yang menguasai Indonesia dan duniasekarang ini. Fernand Braudel, sejarawan Perancisdan pemimpin dari Aliran Annales (Annales School)dalam ilmu sejarah, menulis kalimat yang dikutip-kan di atas itu dalam salah satu karya klasiknyaCivilization and Capitalism 15th – 18th Century Vol-ume II: the Wheels of Commerce: “manakala ka-pitalisme diusir keluar dari pintu, ia akan masukkembali lewat jendela.” Ia melanjutkan, “Suka atautidak, … terdapat suatu bentuk kegiatan ekonomiyang tak bisa dihindari memanggil ingatan kitapada kata ini dan tidak bisa tidak” (Braudel 1979,

p.231). Kapitalisme adalah suatu sistem produksiyang mendasarkan pada pemisahan antara pemilikdan pekerja, serta manajer pengelola produksi, danyang senantiasa berorientasi untuk pelipatgandaankeuntungan si pemilik. Mesin-mesin produksi nyaharus terus bergerak memproduksi tidak henti-henti untuk menghasilkan komoditi atau barangdagangan secara standar dan massal. Barangdagangan atau komoditi itu kemudian disirkula-sikan sedemikian rupa lewat berbagai rantaidistribusi sehingga bisa sampai pada konsumen.

Seperti diuraikan secara padat oleh Schumpeter(1944/1976, p. 82-83), sebagai suatu sistem ekonomiyang khusus, kapitalisme tidak pernah statis tetapisangat dinamis. Perubahan yang dihasilkan olehkapitalisme bukan hanya dikarenakan fakta bahwakehidupan ekonomi berlangsung dalam suatulingkungan sosial dan alam yang berubah. Memangpenting juga melihat pengaruh kekuatan politikdan segala pergolakan yang timbul dari padanyaterhadap perubahan industrial, akan tetapi kese-mua itu bukanlah penggerak utamanya. Tidak pulahanya karena pengaruh yang begitu rupa dari ilmudan jumlah modal yang diinvestasikan, atau olehpengaruh khusus dari sistem-sistem moneter, yangsemuanya memang benar berpengaruh. Doronganpokok yang membentuk dan menggerakkan mesinkapitalis sesungguhnya berasal dari kemampuan-nya membuat rakyat mengkonsumsi barang-barang yang baru, yang dimungkinkan melaluicara-cara produksi baru, transportasi baru, pasar-pasar baru, dan manajemen organisasi industrialbaru.

Barang-barang dagangan selalu harus dibeli danrakyat kita dipacu untuk terus menjadi konsumenbelaka. Mekanisme-mekanisme baru untukmemperbesar konsumsi terus-menerus diperbaha-rui, yang lama diganti dan yang baru diciptakan.Kapitalisme akan mati bila tidak ada yang membelibarang dagangan (komoditi) yang mereka hasilkan.Dari hari ke hari, sistem produksi kapitalis terusmenerus menghasilkan barang-barang baru, ter-

Page 43: DASDSAD - PPPM

36 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

masuk untuk menggantikan barang-barangdagangan yang dihasilkan oleh sistem produksinon-kapitalis. Saat ini, kita lihat kenyataan bahwaselera rakyat dibentuk melalui iklan dan gaya hidupkonsumtif yang mampu membangkitkan gairahmengidamkan dan membeli barang-barang baru.Upaya pembiasaan membeli pun digencarkanmelalui iklan-iklan TV, radio, billboard penjualandi mall-mall, supermarket di kota-kota hinggaminimarket dan toko-toko di kelurahan/desa-desa,serta situs-situs maya yang menawarkan secaraonline.

Ekspansi sistem produksi kapitalis memerlukanreorganisasi ruang (spatial reorganization) yangkhusus agar sistem produksi yang bercorakkapitalistik bisa meluas secara geograf is (geo-graphic expansion). Istilah yang dimaksudkan disini lebih luas maknanya dari istilah yang disebutoleh pemerintah sebagai “penataan ruang”. Secaraumum, yang dimaksudkan dengan istilah ruangdalam “reorganisasi ruang” di sini mencakup: (a)ruang imajinasi dan penggambaran, termasukperancangan teknokratik yang diistilahkan masterplan, grand design, dan sebagainya; (b) ruang ma-terial, tempat dimana kita hidup; dan (c) praktik-praktik keruangan dari berbagai pihak dalammembuat ruang, memanfaatkan ruang, memodifi-kasi ruang, dan melenyapkan ruang, dalam rangkaberbagai upaya memenuhi keperluan, termasukmereka yang berada dalam posisi sebagai bagiannegara, atau korporasi, atau rakyat.3

Reorganisasi ruang dilakukan terus-menerusoleh perusahaan-perusahaan yang bermaksuduntuk terus melipatgandakan keuntungan danmenghindari kerugian. Keuntungan itu padadasarnya diperoleh dari privatisasi tanah dansumber daya alam, pemisahan antara penghasil danpemilik barang yang dihasilkan, dan eksploitasitenaga kerja untuk menghasilkan barang dagangan

yang bernilai tambah. Komoditas atau barangdagangan yang dihasilkan oleh sistem produksikapitalis itu ditransportasikan sedemikian rupamulai dari tempat ia diproduksi hingga diperda-gangkan dan dikonsumsi rakyat, baik untukmemenuhi kebutuhan hidup maupun melayanikebiasaan berbelanja (budaya konsumtif).

Manusia-manusia yang sepenuhnya menikmatimenjadi bagian dari sirkuit produksi-konsumsikomoditas itu terus menyebarluaskan kehebatandari sistem produksi ini, dan meyakini bahwa kitatidak bisa mengelak kecuali menjadi bagian darikapitalisme. Kita sepenuhnya bisa memahamimereka yang bekerja mengabdikan dirinya secaraprofesional dengan andalan keahliannya, mem-peroleh upah, penghargaan, dan jaminan karir yangdiatur lewat manajemen tertentu.

Umumnya yang tidak mereka ceritakan adalahcara sistem-sistem produksi kapitalis ini makinmemperluas wilayah kerjanya melalui operasi-operasi kekerasan, terutama merampas tanah ke-punyaan rakyat, dan membatasi bahkan membuatrakyat tidak bisa lagi menikmati tanah dan sumberdaya alamnya, mengubah secara drastis dandramatis tata guna tanah yang ada, dan mencip-takan kelompok-kelompok pekerja yang dengansukarela maupun terpaksa siap sedia didisiplinkanuntuk menjadi penggerak sistem produksi kapitalisitu. Sistem pertanian keluarga, perladangan suku,wana-tani, penggembalaan suku, kebun-hutan ber-sama, hingga pengelolaan pesisir dan laut itu dilu-luh-lantakkan.

Ekspansi sistem-sistem produksi kapitalis akanmemaksa kehidupan mereka berubah. Keadaankampung, ladang, sawah, hutan, sungai, dan pantaimereka telah, sedang dan akan terus diubah olehindustri pengerukan (batu bara, timah, nikel, pasirbesi, bauksit, emas, semen, marmer, dsb), industripulp and paper, industri perkebunan kelapa sawit,industri perumahan dan turisme, industrimanufaktur, dan lain sebagainya.

Semua sistem produksi baru ini perlu dipahami3 Rujukan komponen ini berangkat dari pemikiran

Henri Lefebrve (1992).

Page 44: DASDSAD - PPPM

37Noer Fauzi Rachman: Memahami Reorganisasi Ruang ...: 33-44

sebagai bagian dalam jaringan produksiinternasional/global yang ekspansif. Perusahaan-perusahaan raksasa di bidang industri pertam-bangan, kehutanan, pekebunan, manufaktur,perumahan dan turisme, infrastruktur, dan lainnya,bekerja berdasarkan lisensi atau surat izin yangdiperoleh dari pejabat publik yang berwenang.Lisensi-lisensi itu menjadi alas hukum untukmenyingkirkan dan meminggirkan rakyat agraris(petani, nelayan, masyarakat adat yang mengum-pulkan hasil hutan/laut, dan sebagainya) dari tanahdan ruang hidupnya, baik oleh perusahaan-perusahaan pemegang lisensi itu, maupun aparaturkeamanan/polisi yang bekerja untuk perusahan-perusahaan pemegang lisensi itu. Konsesi-konsesiberupa taman-taman nasional dan kawasan kon-servasi lainnya, yang dihasilkan oleh keputusan-keputusan Menteri Kehutanan, juga menjadi dasarpenyingkiran rakyat atas nama biodiversity hotspot,di mana spesies-spesies flora fauna yang langka danekosistemnya perlu dikonservasi.

Saat ini, yang sedang menjadi andalan peme-rintah adalah pembangunan berbagai mega proyekinfrastruktur, seperti pembangunan jalan, pela-buhan, lapangan terbang beserta aerocity,kompleks industri pengolahan, dan semacamnya.Berbeda dengan yang lain, infrastruktur memilikifungsi khusus melayani komoditas untuk bersir-kulasi, khususnya dengan jalan darat atau keretaapi, pelabuhan, atau bandara udara. Komoditasditransportasikan dari satu tempat ke tempatlainnya hingga sampai ke konsumen. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang masif iniikut menyumbang juga pada penyingkiran rakyatdari kampung halamannya.

Sejak masa kebijakan otonomi daerah dimulaitahun 2000, pemerintah daerah lebih tertarikmemburu rente yang dapat diperolehnya, baik daripembagian keuangan dari pemerintah pusat,maupun dari pemberian izin-izin. Bertarung dalampemilu kepala daerah (pemilukada) menghabiskanbiaya yang sangat mahal, dan itu membuat kepala

daerah harus mempunyai cara mendapatkankompensasi dari pengeluarannya ketika bertandingdalam pemilukada itu. Cara itu menemukanbentuk praktisnya ketika desakan desentralisasiberujung pada kewenangan kabupaten dalampemberian izin lokasi, izin usaha pertambangan,dan sebagainya.

Alih-alih mengurus masalah porak-porandanyatanah air, kampung halaman rakyat, negaramemfasilitasi pemenuhan kepentingan akumulasikekayaan segelintir orang, sebagaimana disinyaliroleh Karl Marx dan Friedrich Engels (1848/1993)dalam pamfletnya yang termasyhur Manifesto ofThe Communist Party bahwa “(t)he executive of themodern state is nothing but a committee for man-aging the common affairs of the whole bourgeoisie.”Tentu saja, keberadaan negara yang melulu bersifatinstrumental terhadap perluasan sistem kapitalis-me ini sesungguhnya bertentangan dengan maksudpembentukan Republik Indonesia, sebagaimanadicita-citakan pada masa pendiriannya. Justrusebaliknya, negara diidamkan sebagai kekuatanpembebas rakyat.

Barang-barang yang diperjualbelikan dihasilkandi pabrik-pabrik yang lokasinya jauh dari tempatbarang itu dijual. Semua barang itu dimungkinkanhadir melalui rantai komoditas (commodity chain)yang merupakan bagian dari sirkuit produksi-sirkulasi-konsumsi. Indonesia menduduki posisikhusus dalam sirkuit ini. Istilahnya, terdapat pem-bagian kerja yang telah diatur secara internasional(international division of labour), di mana posisi danandil Indonesia dalam tata perekonomian globalitu sungguh penting untuk dicermati. Kebijakanindustri mengatur kehadiran pabrik-pabrik yangmenghasilkan barang dagangan sesuai standar dansecara massal. Semua itu diatur dalam perjalananindustrialisasi Indonesia secara nasional, yang telahmelintasi berapa kali periode. Kita telah mengalamisuatu pengalaman Industrialisasi Substitusi Import(ISI) yang dimulai awal tahun 1970-an hinggaIndustrialisasi Orientasi Eksport (IOE) pada tengah

Page 45: DASDSAD - PPPM

38 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

tahun 1980-an. Muaranya adalah pembangunankawasan-kawasan industri khusus (special eco-nomic zone), yang menjadi lokasi pabrik-pabrik,dengan sistem produksi kapitalis yang mendasar-kan diri pada cara pabrik model Fordism. IstilahFordism ini berasal dari nama industrialis AmerikaHenry Ford, yang membangun pabrik mobil Forddengan suatu sistem sosial dan ekonomi modernberbasiskan bentuk produksi massal industri yangmemiliki standar. Teknik dalam manajemenindustrinya disebut sebagai assembly line denganalat “ban berjalan” dan tugas buruh yang repetitif.

Di akhir tahun 1990-an, setelah PresidenJenderal Soeharto turun tahta dan rezim otoritarianorde baru kehilangan cengkeramannya, sebagairespon manajemen industri terhadap gerakan-gerakan serikat buruh yang semakin menguat,marak mekanisme sub-contracting, dimana tidakdiperlukan suatu hubungan industrial yangmemberi peran bagi serikat-serikat buruh, teruta-ma dalam kontrak kerja yang mencakup kondisikerja dan penentuan nilai upah. Lebih dari itu,suatu model manajemen industri baru, yang dise-but sebagai post-fordism, yakni suatu sistem mana-jemen industri untuk produksi barang daganganyang masal melalui mekanisme yang lebih lenturdalam skala produksi, spesialisasi, lokasi produksi,dan sebagainya, dengan basis penggunaanteknologi informasi, komunikasi dan transportasibaik dalam rantai pasokan (supply chain) untukproduksi hingga sirkulasi barang dagangan sampaike konsumen.

Model paling akhir dan terbaru adalah yangdisebut sebagai “jaringan produksi internasional”(international production network), atau jugadisebut sebagai jaringan produksi global (globalproduction network). Jaringan produksi internasio-nal/global berlangsung dalam skala besar dansedang dilayani oleh negara, termasuk melaluipembangunan berbagai mega proyek infrastrukturdalam kerangka pelaksanaan Comprehensive AsiaDevelopment Plan (CADP) dan Master Plan

Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia(MP3EI) (lihat ERIA 2009, 2010, Pemerintah Indo-nesia 2011). Pelajarilah kritik atas rancangan MP3EIsebagai Master Plan untuk mereorganisasi ruangbagi perluasan investasi dan pasar di Asia melaluipembangunan proyek infrastruktur raksasa, dankonsekuensi-konsekuensinya bagi penciptaankrisis sosial ekologis (Rachman dan Januardi 2014).

Konsep-konsep baru seperti koridor ekonomi,konektivitas, kawasan ekonomi khusus, danlainnya, diandalkan untuk meyakinkan pembacamengenai keharusan proyek-proyek infrastrukturraksasa dalam rangka menjadikan Indonesiasebagai sumber bahan mentah bagi investasiperusahaan-perusahaan untuk menghasilkan danmensirkulasikan komoditas global. Pada gilirannyaIndonesia hendak dijadikan bagian dari “PabrikAsia” (Asia Factory). Istilah Asia Factory ini dibuatuntuk menunjukkan suatu model baru dalamproduksi komoditas yang berisi jaringan-jaringanproduksi tingkat regional yang menghubungkanpabrik-pabrik di berbagai wilayah ekonomi Asiayang memproduksi bagian-bagian dan komponen-komponen yang kemudian dirakit, dan produkakhirnya dikirim ke wilayah-wilayah “ekonomimaju” (Asian Development Bank 2013, p. 2).

C. Merasani Kutukan Kolonial

Ellen M. Wood (1994, 2002) membedakan mar-ket-as-opportunity (pasar-sebagai-kesempatan),dan market-as-imperative (pasar-sebagai-keha-rusan). Pasar sebagai kesempatan bekerja melaluiproses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhanmanusia pada gilirannya dibentuk agar dapatmengkonsumsi apa-apa yang diproduksi. Sebagaisuatu sistem produksi yang khusus, ia mendo-minasi cara pertukaran komoditas melalui pasar.Lebih dari itu, perusahaan-perusahaan raksasasanggup membentuk bagaimana cara sektorekonomi dikelola oleh badan-badan pemerintahanhingga pada pemikiran bagaimana ekonomi pasaritu diagung-agungkan.

Page 46: DASDSAD - PPPM

39Noer Fauzi Rachman: Memahami Reorganisasi Ruang ...: 33-44

Sementara itu, pasar-sebagai-keharusan dapatdipahami mulai dari karakter sistem produksikapitalis sebagai yang paling mampu dalammengakumulasikan keuntungan melalui kemajuandan pemutakhiran teknologi, serta peningkatanproduktivitas tenaga kerja per unit kerja, sertaef isiensi hubungan sosial dan pembagian kerjaproduksi dan sirkulasi barang dagangan. Karenakarakter kapitalisme yang progresif inilah kitamenyaksikan penggantian pabrik-pabrik yang telahusang, sektor-sektor ekonomi yang tidak kompe-titif, hingga penggantian para pekerja yangketerampilannya tidak lagi dapat dipakai. IstilahJoseph Schumpeter yang dibuat terkenal oleh DavidHarvey adalah creative destruction (Harvey 2006).Maksudnya, sebagai sistem produksi yang khusus,kapitalisme ini memberi tempat hidup dan insentifbagi semua komponen yang ef isien, danmenghukum mati atau membiarkan mati hal-halyang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya.Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancur-leburkan itulah dibangun sesuatu yang baru, yangdapat lebih menjamin penciptaan keuntungan dankeberlangsungan akumulasi modal. Hal inimencakup juga perubahan hubungan kepemilikandan tata guna mengenai tanah dan sumber dayaalam, tata guna tanah, hutan, pantai, dan seba-gainya. Membangun sistem produksi kapitalistikdimulai dengan menghancurkan terlebih dahulusistem produksi nonkapitalis yang telah terlebihdahulu ada di wilayah yang disasar itu.

Menurut David Harvey (2006), creative destruc-tion itu semakin mencolok saat berbagai praktikdan kebijakan pemerintah didasari oleh pahamneoliberalisme. Dalam hal ini neoliberalismemerupakan suatu paham yang menempatkankebebasan individu untuk berusaha sebagai normatertingi dan paling baik dilindungi dan dicapaidengan tata kelembagaan ekonomi yang mengan-dalkan jaminan atas hak kepemilikan pribadi, pasarbebas, dan perdagangan bebas. Paham neoliberalis-me tidak anti pada intervensi pemerintah, melain-

kan justru mendayagunakannya. Aransemenkelembagaan dan kebijakan ekonomi yangdiabdikan untuk mengoperasionalisasikan pahamini secara sungguh-sungguh dirancang untukterwujud, termasuk privatisasi, f inansialisasi, danberbagai formula menghadapi krisis-krisis f inansialdan ekonomi.

Membicarakan kapitalisme bukanlah sesuatutopik yang baru bagi Indonesia sebagai bangsa. Carabagaimana kapitalisme ini bekerja memporak-porandakan tanah air Indonesia sudah secaragamblang dulu ditunjukkan oleh Soekarno dalamkaryanya Indonesia Menggugat (1930). Lebih lanjut,bagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesiadimaknai sebagai arus balik menandingi kapitalis-me, imperialisme dan kolonialisme dapat dipelajaripada karya Tan Malaka (1925) Naar de ‘Republiek-Indonesia’ (Menudju Republik Indonesia), Moham-mad Hatta (1932) Ke Arah Indonesia Merdeka,Soekarno (1933) Mentjapai Indonesia Merdeka.4

Di sini kita musti secara khusus menyebut andilSoekarno dalam merumuskan Pancasila sebagaidasar negara dalam pidato di BPUPKI 1 Juni 1945. Ia

4Siapakah yang sekarang membaca naskah-naskahmereka itu? Mereka adalah para pendiri bangsa yang fasihmengkritik kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme.Karya-karya mereka itu sanggup menjadi rujukan utamabagi semua elite pemimpin kemerdekaan bangsa Indo-nesia yang berusaha mencari tahu akar-akar kesengsaraanrakyat Indonesia. Selanjutnya pamflet yang ditulis TanMalaka, Soekarno dan Mohammad Hatta yang ditulishampir secara bersamaan mampu menjadi rujukan untukmengerti mengapa Indonesia Merdeka adalah suatu cita-cita dan sekaligus pembentuk dari cara rakyat mem-perjuangkan kemerdekaan Indonesia, zonder kapitalisme,dan kolonialisme. Bagi yang sulit mendapatkan naskah-naskah ini, ikutilah ikhtisar karya-karya itu yang dibuatoleh seorang cedekiawan cum wartawan bernama penaParakitri. Silakan kunjungi majalah yang diasuhnya padasitus sebagai berikut http://zamrudkatulistiwa.com/2009/06/21/naar_de_republiek_indonesia_/. http://z a m r u d k a t u l i s t i w a . c o m / 2 0 0 9 / 0 6 / 2 4 /k e _ a r a h _ i n d o n e s i a _ m e r d e k a / . h t t p : / /z a m r u d k a t u l i s t i w a . c o m / 2 0 0 9 / 0 7 / 0 1 /mancapai_indonesia_merdeka/

Page 47: DASDSAD - PPPM

40 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

dengan jelas dan jenius menunjukkan bagaimanaNegara Republik Indonesia musti difungsikansebagai Ibu Pertiwi yang memangku rakyat sebagaiwarga negaranya. “Apakah kita mau Indonesia mer-deka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukahyang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orangcukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kese-jahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yangcukup memberi sandang pangan kepadanya?”

Arah politik agraria Indonesia di masa awalkemerdekaan adalah menghilangkan sisa-sisafeodalisme dan kolonialisme untuk memberi jalanbagi sistem ekonomi nasional bekerja atas prinsipPasal 33 ayat (3) “Bumi, air dan kekayaan alam yangterkandung di dalamnya dikuasai oleh negarauntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” – kalimatyang perumusannya dibuat oleh Drs. MohammadHatta, Wakil Presiden pertama Republik Indone-sia. Meski wacana land reform berhasil menjadikebijakan nasional, namun dua sistem agraria wa-risan kolonialisme, yakni perkebunan-perkebunanbesar di Jawa dan Sumatera dan penguasaan lahanhutan oleh Perhutani di Jawa, berhasil berlanjuthidup dengan menempatkan diri sebagai peru-sahaan-perusahaan milik negara, yang dikerang-kakan sebagai bagian dari Ekonomi Terpimpin.Selanjutnya, kebijakan land reform berfokus padaurusan membatasi penguasaan tanah-tanahpertanian rakyat, melarang penguasaan tanahswapraja dan tanah-tanah guntai, redistribusitanah-tanah negara dan pengaturan bagi hasil(Fauzi 1999; Rachman 2013).

Land reform kemudian bergeser dari agendabangsa untuk mewujudkan keadilan agrariaberubah menjadi isu politik yang membelah penge-lompokan sosial-politik dan membuat perebutantanah menjadi basis dari pertarungan yang lebihluas di pedesaan Jawa, Bali, sebagian Sumatera dansebagian Nusa Tenggara, termasuk dengan meli-batkan aksi-aksi sepihak, pembunuhan massal,penangkapan, dan pemenjaraan puluhan riburakyat yang digolongkan komunis (Utrecht 1969a,

1973b, 1976c; Lyon 1970; and Mortimer 1972).Konflik itu berkulminasi pada kudeta merangkakpada rezim Soekarno, yang membuat jenderalSoehato naik sebagai Presiden RI, dan dimulainyarezim otoritarianisme militer (Wardaya 2007a,2007b).

Seperti ditunjukkan oleh Hilmar Farid (2005),keseluruhan rangkaian kekerasan itu perlu di-mengerti sebagai bagian dari primitive accumula-tion, proses awal kembalinya kapitalisme bekerjadi Indonesia.

Apa yang diwariskan oleh rezim nasionalis ‘De-mokrasi Terpimpin’ 1958-1965 kepada kita sekarangini adalah ajaran-ajaran untuk menandingi fondasidari kapitalisme kolonial, termasuk dalam bidangpolitik agaria. Mohammad Hatta telah meletakandasar-dasar yang melarang tanah (dan sumber dayaalam) untuk diperlakukan sebagai komoditas(barang dagangan). Kita ingat juga MochammadTauchid dalam bukunya Masalah Agraria jilid 1 dan2 (1952/3), yang memberikan penjelasan palingmenyeluruh tentang politik agraria Indonesia,termasuk meletakkan dasar bahwa penyelesaianmasalah agraria menentukan kelangsungan hidupbangsa dan rakyat Indonesia.

Selain Pancasila yang telah menjadi ideologinegara, Soekarno telah pula melahirkan formulaTrisakti (Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalamEkonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan)untuk menginspirasi perjuangan dekolonisasidalam segala bentuknya, bukan hanya untuk In-donesia tapi untuk perjuangan kemerdekaannegeri-negeri terjajah lainnya, sebagaimana secarafundamental ditegaskan dalam deklarasi “DasasilaBandung” yang dihasilkan oleh Konferensi Asia-Afrika Tahun 1955. Namun, selama kepemimpinanlangsung Presiden Soekarno (1958-1965), Indone-sia belum berhasil mengatasi apa yang saya istilah-kan “kutukan kolonial”, yang secara lantang pernahdisampaikan oleh Presiden Soekarno pada sidangpleno pertama Dewan Perantjang Nasional (1959)di Istana Negara, 28 Agustus 1959. Kutukan itu,

Page 48: DASDSAD - PPPM

41Noer Fauzi Rachman: Memahami Reorganisasi Ruang ...: 33-44

pertama, “Indonesia mendjadi pasar penjualandaripada produk-produk negeri pendjadjah ataunegeri-negeri luaran di tanah air kita”; kedua, “In-donesia mendjadi tempat pengambilan bahan-bahan pokok bagi industriil kapitalisme di negeripendjadjah atau negeri-negeri lain”, dan ketiga, “In-donesia mendjadi tempat investasi daripada modal-modal pendjadjah dan modal-modal asing jang lain.”

Betapa ironisnya bahwa sebagian dari wajah In-donesia masih mengidap “kutukan kolonial”setelah hampir 70 tahun berjalan melewati“jembatan emas” kemerdekaan. Sesungguhnya,“kutukan kolonial” itu, oleh Soekarno dikontraskandengan keperluan untuk secara leluasa “menyusunmasyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat,sehat, kekal dan abadi”. Secara jelas hal ini dipi-datokan oleh Ir. Soekarno dalam Badan PersiapanUsaha-usaha Kemerdekaan 1 Juni tahun 1945,setelah memaknai kemerdekaan Indonesia sebagai“jembatan emas”.

Kutukan kolonial ini menemukan rezim pengu-asa politik yang mewujudkannya, rezim otoritarian-militer Orde Baru (1966-1998), yang kembalimenjalankan politik agraria kolonial, khususnyadengan mempraktekkan kembali azas domeinNegara. Sejarah politik agraria di Hindia-Belandamemberi pelajaran bahwa pemberlakuan azazdomein negara, baik dengan Boschordonantie voorJava en Madoera 1865 (Peraturan Kehutanan untukJawa dan Madura 1865), dan Agrarische Wet 1870,menyatakan klaim bahwa setiap tanah (hutan) yangtidak dapat dibuktikan adanya hak kepemilikanpribadi (eigendom) di atasnya maka menjadi do-main pemerintah. Pemberlakukan pernyataandomein (domein verklaring) ini merupakan suatucara agar perusahaan-perusahaan dari negara-negara Eropa dapat memperoleh hak-hak peman-faatan yang eksklusif atas tanah/wilayah di tanahjajahan, membentuk rezim tenaga kerja kolonialyang khusus, dan menjadi sistem-sistem agrariakehutanan dan perkebunan, yang menghasilkankomoditas eksport (Tauchid 1952/2009, p. 32-90;

Peluso 1992, p. 44-67; Simbolon 1995/2007, p. 155-7; Fauzi 1999, p. 33-37).

Rezim penguasa Orde Baru di bawah kepim-pinan Jenderal Suharto yang berkuasa melaluiperalihan kekuasaan yang berdarah-darah ditahun1965-1966, kembali memberlakukan azas domeinini. Melalui sistem perijinan (lisensi) yang serupadijalankan oleh pemerintah kolonial, badan-badanpemerintahan pusat mengkapling-kapling tanah-air Indonesia untuk konsesi pertambangan, kehu-tanan dan perkebunan, dan mengeluarkan paksapenduduk yang hidup di dalam konsesi itu. Tiap-tiap rezim kebijakan dari badan pemerintah pusatmemiliki instrumen hukum dan birokrasi pembe-rian lisensi yang berbeda-beda. Nama, definisi, danbentuk dari lisensi-lisensi itu berubah dari waktuke waktu, sesuai dengan keperluan perusahaanuntuk mengakumulasikan kekayaan, karakteristiksumber daya alam yang disasar, dan rancanganpemerintah untuk mengkomodifikasi atau meng-konservasi sumber daya alam.

Wilayah-wilayah rakyat yang masuk dalamtanah negara atau kawasan hutan negara nasibnyabergantung pada kelompok kategori di manawilayah rakyat itu berada, dan lisensi-lisensi yangdikeluarkan Menteri Kehutanan yang mencakupatau mengenai wilayah rakyat itu. Konflik-konflikagraria struktural muncul ketika rakyat menolakdisingkirkan oleh perusahaan pemegang izin, danmelakukan perlawanan secara terus menerus.Konflik-konflik ini merebak di mana-mana danmenjadi kronis, karena pemerintah terus sajaberfungsi melayani dan melindungi kepentingan-kepentingan perusahaan-perusahaan, dan tidakada mekanisme penyelesaian konflik yang tepatuntuk menjamin tercapainya keadilan agraria(Rachman 2013).

Persis di titik ini hubungan dan cara pendudukmenikmati hasil dari tanah airnya telah diputusmelalui pemberlakuan hukum, penggunaankekerasan, pengkaplingan wilayah secara f isik,hingga penggunaan wacana dan simbol-simbol

Page 49: DASDSAD - PPPM

42 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

baru yang menunjukkan status kepemilikan yangbukan lagi dipunyai rakyat. Bila saja sekelompokrakyat melakukan protes dan perlawanan untukkembali mengklaim dan menguasai kembali tanahdan wilayah yang telah diambil-alih oleh peme-rintah dan diberikan ke perusahaan-perusahaan itu,mereka menerima akibat yang sangat nyata, yaknimenjadi sasaran tindakan kekerasan secara lang-sung maupun melalui birokrasi aparatus hukumnegara.

Pengkapling-kaplingan dan pemutusan hu-bungan kepemilikan rakyat dengan tanah airnyaitu pada intinya adalah penghentian secara paksaakses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu,lalu tanah dan kekayaan alam itu masuk ke dalammodal perusahaan-perusahaan kapitalistik. Jadi,perubahan dari alam menjadi “sumber daya alam”ini berakibat sangat pahit bagi rakyat petani yangharus tersingkir dari tanah airnya dan sebagiandipaksa berubah menjadi tenaga kerja/buruhupahan. Ini adalah proses paksa menciptakanorang-orang yang tidak lagi bekerja dan hidup ditanah airnya. Orang-orang ini akan mengandalkanhanya pada tenaga yang melekat pada dirinya saja,lalu menjadi para pekerja bebas. Sebagian merekapergi dari tanah mereka di desa-desa ke kota-kotauntuk mendapatkan pekerjaan. Kantung-kantungkemiskinan di kota-kota paska-kolonial, yangdijuluki planet of slums (Davis 2006), banyakdilahirkan oleh proses demikian ini.

D. Penutup

Masalah agraria dan pengelolaan sumber dayaalam dari bangsa Indonesia secara umum pernahdirumuskan secara sederhana oleh elite pemerin-tahan nasional di jaman Reformasi melaluiKetetapan MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber DayaAlam, sebagai berikut: (i) Ketimpangan (terkonsen-trasinya) penguasaan tanah dan sumber daya alamdi tangan segelintir perusahaan, (ii) konflik-konflikagraria dan pengelolaan sumber daya alam yang

meletus di sana-sini dan tidak ada penyelesaiannya,dan (iii) kerusakan ekologis yang parah danmembuat layanan alam tidak lagi dapat dinikmatirakyat. Tiga golongan masalah ini sayangnyadiabaikan oleh banyak pejabat publik dan samasekali tidak diurus secara serius oleh presiden-presiden, menteri-menteri dan para pejabat peme-rintahan daerah, paska-tumbangnya pemerintahansentralistik-otoriter Orde Baru.

Satu mandat utamanya dari TAP MPR ini adalahpenyelesaian pertentangan, tumpang tindih dantidak sinkronnya berbagai perundang-undanganagraria dan pengelolaan sumber daya alam yangberlaku. Ironisnya tidak ada satupun PresidenRepublik Indonesia yang menjalankan arah kebi-jakan dan mandat yang termuat di dalam KetetapanMPR itu, dan berhasil secara berarti mengubahsituasi dari tiga masalah utama di atas. Semenjakdibentuknya Mahkamah Konstitusi pada tahun2003 melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun2003 sudah cukup banyak undang-udang agrariadan pengelolaan sumber daya alam yang telah diujikonstitusionalitasnya dan sebagian telah dibatalkankarena tidak sesuai dengan UUD 1945 yang berlaku.Seperti ditunjukkan oleh Arizona (2014), yang kitabutuhkan sekarang ini adalah suatu cara pandangkonstitusionalisme agraria dari para penyelenggaraNegara, khususnya pejabat pemerintahan, agarpraktek-praktek kelembagaan dapat bersesuaindengan konstitusi Republik Indonesia, dan mampumenyelesaikan masalah-masalah agraria yangstruktural dan kronis.

Daftar Pustaka

Arizona, Yance 2014, Konstitusionalisme Agraria,STPN Press, Yogyakarta..

Braudel, Fernand 1979, Civilization and Capitalism15th–18th Centur: Vol. 2. The Wheels of Com-merce, Harper & Row, New York.

Breman, Jan 1996, Footloose Labour, Work and Lifein the Informal Sector Economy of West India,Cambridge University Press, Cambridge.

Page 50: DASDSAD - PPPM

43Noer Fauzi Rachman: Memahami Reorganisasi Ruang ...: 33-44

Davis, Mike 2006, Planet of Slums, Verso, New York.De Angelis, Massimo 2007, The Beginning of His-

tory, Value Struggles and Global Capital, PlutoPress, London.

ERIA 2009, Comprehensive Asia Development Plan,ERIA, ERIA, Jakarta.

____, 2010, “Comprehensive Asia Development Planand Beyond-Growth Strategies to More Pros-perous East Asia”, ERIAPolicy Brief no, 2010-02, October 2010,

Fauzi, Noer 1997, “Penghancuran Populisme danPembangunan Kapitalisme: Dinamika PolitikAgraria Indonesia Paska Kolonial”,dalamReformasi Agraria: Perubahan Politik,Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria diIndonesia p.67-122, LP-FEUI dan KPA, Jakarta.

____, 1999, Petani dan Penguasa, DinamikaPerjalanan Politik Agraria Indonesia, Konsor-sium Pembaruan Agraria bekerjasama denganInsist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

____, 2001, Bersaksi untuk Pembaruan Agraria,Karsa bekerjasama dengan Insist Press,Yogyakarta.

Farid, Hilmar 2005, “Indonesia’s Original Sin: MassKillings and Capitalist Expansion, 1965–66",Inter-Asia Cultural Studies 6(1), p.3-16.

Geller, Paul K 2010, “Extractive Regimes: Toward aBetter Understanding of Indonesian Develop-ment”, Rural Sociology 75(1), p. 28–57.

Harvey, David 1990, The Condition of Postmoder-nity: An Inqiury into the Origins of CulturalChange, Oxford University Press, Oxford.

____, 2003, The New Imperialism, Oxford Univer-sity Press, Oxford.

____, 2005, A Brief History of Neoliberalism, Ox-ford University Press, Oxford.

____, 2006, “Neo-liberalism as Creative Destruc-tion, Geogr, Ann,, 88 B (2), p.145–158.

Hadiz, Vedi dan Robison, Richard 2004, Reorga-nizing Power in Indonesia: The Politics of Oli-garchy in the Age of Markets, RoutledgeCurzon, London.

____, 2014, “Ekonomi Politik Oligarki dan peng-organisasian Kembali Kekuasaan di Indone-sia”, Prisma 33(1), p. 35-56.

Hobsbawm, Eric 1994, Age of Extremes: The Short

Twentieth Century, 1914–1991, Penguin, Lon-don.

Khudori 2014, “Darurat Lahan Pertanian” Kompas,30 Januari 2013.

Kurosawa, Aiko 1993, Mobilisasi dan Kontrol: Studitentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa1942 – 1945, Terjemahan Hermawan Sulistyo,1993, Grasindo, Jakarta.

Lefebvre, Henri 1992, The Production of Space,Donald Nicholson-Smith (Translator), Wiley-Blackwell, London.

____, 1970/2003, The Urban Revolution, Forewordby Neil Smith, Translated by Robert Bononno,University of Minnesota Press.

Marx, Karl 1976/1898, Capital, Vol, One, trans, BenFowkes, Harmondsworth, Penguin Books.

Pemerintah Indonesia, 2011, Master Plan Percepatandan Perluasan Ekonomi Indonesia, KantorKementerian Kordinator Perekonomian,Jakarta.

Polanyi, Karl 1967 (1944), The Great Transforma-tion: The Political and Economic Origins of OurTime, Beacon Press, Boston.

____, 2001 (1944) The Great Transformation: ThePolitical and Economic Origins of Our Time,Beacon Press, Boston.

Rachman, Noer Fauzi 2013, “Mengapa Konflik-Konflik Agraria Terus-Menerus Meletus DiSana Sini?” Sajogyo Institute‘s Working PaperNo, 1/2013, Bogor: Sajogyo Institute, http://www,sajogyo-institute,or,id/article/mengapa-konf lik-konf lik-agraria-terus-menerus-meletus-di-sana-sini (pada unduh 29 Juni2013).

Schumpeter, Joseph A 1944, Capitalism, Socialismand Democracy, Allen & Unwin.

Saasen, Saskia 2001, The Global City: New York, Lon-don Tokyo, Updated 2 ed, Princeton UnivesityPress, Princeton.

Sangkoyo, Hendro 1998, Pembaruan Agraria danPemenuhan Syarat-syarat Sosial dan EkologisPengurusan Daerah, Kertas Kerja No, 9,Konsorsium Pembaruan Agraria,

Toer, Pramoedya 1984, Arus Balik, Hasta Mitra,Jakarta.

Tauchid, Muhammad 1952/3, Masalah Agraria, Jilid

Page 51: DASDSAD - PPPM

44 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

1 dan 2, Jakarta: Penerbit Tjakrawala,White, Ben 2011, “Who will own the countryside”

Disposession, rural youth and the future offarming”, Valedictory Address delivered on 13October 2011 on the occasion of the 59th DiesNatalis of the International Institute of SocialStudies, The Hague.

____, 2012, “Agriculture and the Generation Prob-lem: Rural Youth, Employment and Farming”,DS Bulletin Volume 43 Number 6 November2012, p. 9-19.

Winters, Jeffrey A 2014, “Oligarki dan Demokrasidi Indonesia”, Prisma 33(1), p. 11-34.

Wood, Ellen Meiksins 1994, “From Opportunity toImperative: The History of the Market”,Monthly Review 46(3).

____, 2002, The Origin of Capitalism, A Longer View,London, Verso.

Zakaria, R, Yando 2000, Abih Tandeh, MasyarakatDesa di Bawah Rezim Orde Baru, LembagaStudi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.

Page 52: DASDSAD - PPPM

MASA DEPAN ANAK MUDA PERTANIAN DI TENGAHLIBERALISASI PERTANAHAN

Ahmad Nashih Luthfi1 & Surya Saluang2

AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: The opitimism and persistence of small farmers, such as Alexander Chayanov’s view, need to be thoroughly exploredby examining the demographic composition of the farmers’ families, especially those of their younger genarations. The paperis aimed at finding the critical existance of the Indonesian agricultural regeneration caused by the structural constraints. Theycan be in the form of political large-sacle land alocation for corporates; and other stuctural patriarchal and grontocraticconstraints; instead of the young generations’ motivation. If the above constraints are able to be eliminated, as two cases inHalmahera islands and one village in Kulonprogo regency, Yogyakarta, there will be large opportunity for them. The youths’enthusiasm will grow if there is an open access for them. The access can be in the form of land, work opportunity, knowledge onagriculture as well as agricultural policy for household-scale.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: youth farming generation, alocation policy, patriarchal and grontocratic cultures, access.

AbstrakAbstrakAbstrakAbstrakAbstrak: Optimisme peran dan persistensi petani kecil sebagaimana pandangan Alexander Chayanov perlu lebih didalami denganmelihat komposisi demografis keluarga masyarakat tani, khususnya generasi muda mereka. Tulisan ini mengkaji adanya krisisregenerasi pertanian Indonesia yang lebih disebabkan adanya kendala-kendala struktural berupa politik pengalokasian tanahskala besar untuk korporasi; dan kendala kultural yang bersifat patriarkis dan grontokratis; alih-alih absennya motivasi generasimuda. Ketika kendala-kendala tersebut dapat dihilangkan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam kasus di dua desa di kepulauanHalmahera dan satu desa di Kulonprogo, Yogyakarta, maka terbuka peluang besar keterlibatan mereka. Antusiasme generasimuda akan tumbuh ketika segenap akses terbuka luas bagi mereka, yakni berupa tanah, keterbukaan tenaga kerja, pengetahuanpertanian, serta kebijakan pertanian skala rumah tangga.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: generasi muda pertanian, politik alokasi, budaya patriarkis dan grontokratis, akses

A. Pendahuluan

Diferensiasi agraris dalam studi agraria setidak-tidaknya selama ini dilihat dari tiga pandanganutama. Pertama, pandangan yang melihatmasyarakat desa secara romantik sebagai satu unitsosial yang kohesif, solid, idyllic dalam lingkungandesa yang rukun dan tanpa konflik. Retakan sosialdianggap sebagai ‘deviasi’ yang disebabkan faktoreksternal seperti masuknya pengaruh pasar dankolonialisme, mengabaikan kenyataan diferensiasiyang telah ada terjadi jauh sebelumnya. Pandangan

kedua melihat desa secara dikotomis yang bersifattransisional maupun terpisah antara ‘tradisionalatau mekanik’, ‘modern atau organik’, seperti yangdirintis pemahaman ini oleh Emile Durkheim. Danyang paling lazim adalah pandangan ketiga, Marx-ian, yang melihat masyarakat desa dalam hubungankekuasaan antar-kelas sosial berbasis penguasaanala-alat produksi (Wiradi 2009, hlm.198). Studimutakhir mengenai dinamika kelas dalamperubahan agraria mendasarkan beberapapertanyaan kunci mengenai penguasaan alatproduksi, hubungan ketenagakerjaan, produksi-reproduksi dan akumulasi (Bernstein 2010).

Di luar pemahaman di atas, terdapat pandanganyang meletakkan isu kelompok usia (generasi) atausecara ‘diferensiasi demograf is’ di dalam melihat

1 Pengajar di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional,email: [email protected]

2 Peneliti di Sajogyo Institute, Bogor, email:[email protected]

Diterima: 5 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 24 Mei 2015

Page 53: DASDSAD - PPPM

46 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

masyarakat tani (peasant society) di pedesaan.Untuk memahaminya, dilakukan studi yangmengambil tema mobilitas vertikal dalam kontekssosial. Pandangan ini dirintis oleh ilmuwan Rusiabernama Alexander Chayanov (1888-1937). Strukturdan dinamika masyarakat pertanian terbentuk darirelasi antara tenaga kerja dan produksi. Telaahmutakhir terhadap pemikiran Chayanov meng-garisbawahi bahwa ‘masyarakat tani’—bukankorporasi dan skala luas negara pilihannya—memainkan peran penting di dalam produksipangan dan keberlanjutannya pada masa kini,meskipun mereka dalam kenyataannya seringdiabaikan (van der Ploeg 2013). Pandangan optimisyang disertai dengan argumen-argumen mendalamitu harus disertai pertanyaan mengenai siapa dandalam kelompok usia mana mereka masyarakattani yang dapat mengambil peran penting dalamperjuangan atas pangan, keberlanjutan dan kedau-latan pangan tersebut. Generasi muda tidak dalamkondisi tertanggung, sehingga menjadi bebankonsumsi yang dapat mengarah terjadinya krisiskeluarga petani. Di sinilah pula inti dari gagasanChayanov berupa keseimbangan antara labor danconsumption. Oleh karena itu penting membacakembali ‘masyarakat tani’ ala Chayanovian dalamkonteks antar-generasi.

Tulisan ini didasarkan pada telaah teoretismengenai optimisme terhadap masyarakat tani diatas (van der Ploeg ibid.) dan berbagai kendala yangdihadapinya utamanya kelompok usia muda (BenWhite 2011, Ben White 2012). Disajikan dua kasusempiris di Indonesia untuk mendukung argumenoptimistis itu.

B. Asumsi Dasar

Tulisan ini berasumsi bahwa keterbatasangenerasi muda dalam aktivitas pertanian adalah‘akibat’ dari persoalan dan struktur yang lebih luas,dan bukan ‘sebab’ internal lemahnya motivasimereka. Mendorong mereka masuk kedalampertanian berarti mengubah kendala-kendala

struktural dan kondisi yang kompleks ke arah yanglebih accessible bagi generasi muda, melebihipeningkatan kapasitas mereka.

Istilah-istilah kunci perlu terlebih dahulu dikon-septualisasi dalam mengkaji isu kelompok usiamasyarakat petani: anak muda dan pertanian.Istilah ‘anak muda’ dapat dilihat sebagai kategorisosial maupun kategori biologis. Mereka dapatdilihat sebagai kategori tindakan, praktik(sub)kultur, identitas, dan generasi. Dalam kosakata resmi, istilah anak muda digunakan bukanuntuk menandai usia atau konstruksi biologis,namun seringkali konstruksi sosial, contoh PemudaMuhammadiyah, Pemuda Pancasila, GerakanPemuda Ansor, Pemuda Karang Taruna, PemudaPDI, Kementerian Pemuda dan Olah Raga,sinoman; bahkan kepangkatan kepegawaian sepertipenata muda; dan sebagainya. Rentang usianyasangat fleksibel, mulai dari belasan hingga 40-antahun (Ben White 2011).

Penggunaan istilah “muda” sering berfungsiuntuk menjadikan mereka sebagai masa transi-sional yang dalam relasi kekuasaan berfungsimenjadi zona pengaman bagi posisi di atasnya, dandapat diabaikan keberadaannya sewaktu-waktutatkala tidak dibutuhkan. Ben White (2011, hlm. 2)menyatakannya, “to exclude them from mainstreamsocial, economic and political processes as some-thing less than full members of society, less than fullcitizens”. Istilah ini didef inisikan dalam amatanorang tua yang melihatnya sebagai fase yang tidakstabil. Bahkan, ada kecenderungan negara (peng-ganti patron sebagai orang tua) untuk memperpan-jang usia sebutan anak muda untuk kepentingantersebut (untuk Indonesia 18-35, Malaysia 18-40/45). Sementara bagi anak muda sendiri, kepemu-daan berarti adalah “sekarang dan di sini”, “sebagaimanusia penuh”, “mengalami saat ini dan bukanuntuk nanti”.

Istilah pertanian dalam studi agraria dibedakanantara pertanian sebagai farm (usaha tani), denganagriculture (pertanian); peasant (kaum tani) dan

Page 54: DASDSAD - PPPM

47AN Luthfi dan Surya S.: Masa Depan Anak Muda Pertanian ...: 46-58

farmer (pengusaha pertanian) (Bernstein 2010).Maka menjadi penting membaca anak mudabertani itu sebagai kaum tani (mulai dari buruh,petani gurem, petani menengah, petani kaya),ataukah bertani sebagai pengusaha pertaniandalam skala luas ataukah buruh perusahaanpertanian-perkebunan (agribisnis, estate).

C. Kebijakan dan Struktur Pertanahanyang Kompleks

Krisis regenerasi menjadi salah satu bentukkekhawatiran bagi masa depan pertanian. Dalamrentang hampir satu dekade, angka penyerapantenaga kerja sektor pertanian di Jawa mengalamipenurunan, dari yang semula 43% (tahun 1993)menjadi 32% (tahun 2010). Data BPS tahun 2011menyebutkan jumlah pemuda sebanyak 62,92 jutajiwa, hanya sekitar 6,9 juta atau sekitar 11 % yangbekerja di sektor pertanian. Sisanya ‘bekerja’ disektor lain yang tidak juga bisa didef inisikansebagai pekerja tetap. Menurunnya generasi mudapertanian ini seiring dengan penurunan secara to-tal tenaga kerja pertanian di Indonesia. Hasil Sen-sus Pertanian BPS 2013 menyatakan bahwa dalamrentang satu dekade terakhir ini terdapat penu-runan jumlah rumah tangga usaha pertanian(RTUP) tanaman pangan sebanyak 979.867 jiwadari yang semula 18.708.052 (2003) menjadi17.728.185 (2013). Ditambah dengan RTUP tanamannon-pangan, maka jumlah keseluruhan petani diIndonesia adalah 26,13 juta (BPS 2013) yang jugamengalami angka penurunan.

Untuk membaca kecenderungan penurunantersebut, kita harus meletakkan ke dalam konteksyang lebih luas. Makin rendahnya usia muda dalampekerjaan berbasis tanah di berbagai negara didunia adalah akibat dari kebijakan dan kondisistruktural pertanahan yang kompleks (Ben White2011, hlm. 6). Ia menjelaskan bahwa pertama, terjadipenurunan pengetahuan dan keahlian di bidangpertanian (deskilling youth on agriculture knowl-edge). Pendidikan keluarga hingga pendidikan for-

mal menganggap pertanian dan pedesaan adalahmasa lalu, bukan masa depan. Pendidikan menga-baikan urgensitas pertanian. Bahkan, fakultaspertanian semakin hari sepi peminat. Pendidikanmengajarkan generasi muda “ilmu pergi” daripertanian-pedesaan dan bukan mengajarkan “ilmumenetap” kembali ke pertanian-pedesaan setelahmereka belajar di kota. Akibatnya, terjadi penu-runan keterampilan anak muda dan pengetahuanmereka mengenai pertanian. Dalam kondisidemikian, kembali ke pertanian adalah mimpi yangromantik.

Kedua, akibat menurunnya kehidupan perta-nian dan pedesaan sebab pembangunan dankebijakan yang bias perkotaan. Desa hanya diposisi-kan sebagai penyuplai tenaga kerja murah yang bisadipekerjakan di perkotaan, penyedia stok panganuntuk diangkut ke jalur-jalur distribusi supra-desa.Industrialisasi pedesaan tidak tumbuh yangsemestinya menempatkan populasi desa sebagaiaktor pelaku dan penerima manfaatnya. Maka yangterjadi adalah industri di desa, dan bukan oleh desa.Dengan demikian, desa dan pertanian adalahpelontar bagi tenaga kerjanya untuk ditarik magnit-magnit perkotaan yang dinilai menjanjikan, atauditempatkan di enclave-enclave perkebunan sebagaikuli kontrak (ala Kolonial) atau buruh perusahaanperkebunan (Orde Baru) yang diantaranya melaluiprogram transmigrasi yang diintegrasikan denganperluasan industri perkebunan. Setiap desa di pulauJawa memiliki sejarah migrasi dan transmigrasiyang panjang.

Ketiga, jika pun anak muda ingin bertani, tidakada akses atas tanah bagi mereka. Budaya patriarkisdan grontokrasi, dimana masyarakat berorientasimementingkan orang dewasa ketimbang anakmuda, tercermin dalam budaya pewarisan. Warisanbaru diberikan oleh orang tua menjelang merekameninggal, kepada anak-anaknya yang juga telahberusia dewasa. Tidak banyak orang tertarik me-mulai menjadi petani ketika mereka menerimawarisan pada usia 40-an tahun. Akibatnya, tanah

Page 55: DASDSAD - PPPM

48 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

tetap ada di tangan orang tua atau komunal (kelu-arga). Menginginkan anak muda bertani berartimengubah budaya patriakis-grontokratis danbudaya mewaris yang tidak berpihak pada anakmuda ini.

Keempat, terdapat masalah serius yang terjadidi keluarga pedesaan Indonesia, yakni keterlepasantanah keluarga. Orang tua memodali anak menem-puh pendidikan dengan cara menjual cadangankekayaan mereka utamanya tanah. Demikian jugasaat mereka memodali anak untuk bekerja (yangtragisnya hanya untuk menjadi buruh kota), bah-kan untuk biaya pernikahan anak-anaknya. Merekatidak berupaya memberinya tanah agar bisa bekerjadi pertanian. Akibatnya, generasi tua dan generasimuda pedesaan kehilangan tanah. Ketika anakmuda ingin kembali lagi ke pertanian, merekasudah tidak punya akses atas tanah. Salah satuproses pemiskinan pedesaan terjadi melalui caratersebut.

Kelima, ancaman pembangunan ekonomiekstraktif dan pembangunan infrastruktur yangmengkonversi lahan-lahan produktif pertanian,atau mengubah pertanian skala rumah tanggamenjadi skala korporasi. Banyak media membe-ritakan atas hasil olah data BPS 2012 yang melapor-kan adanya konversi lahan pangan sejumlah100.000 ha/tahun, dan jumlah petani berkurang 3,1juta/tahun (7,42% populasi). Akan tetapi kebijakanpemerintah di banyak kabupaten di Indonesiaseakan menutup mata proses penghilangan lahanpangan ini (Kompas 12 Juni 2012).

Bahkan jika kita melihat perubahan penguasa-an, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah(P4T) dari tahun ke tahun, terdapat ketimpanganyang luar biasa bagi lahan pertanian, sebagaimanayang dianalisa oleh Bachriadi dan Wiradi (2011).Berbagai kebijakan telah membagi bentang alamIndonesia ke dalam sektoralisasi berupa kehutanan,pertambangan, perkebunan, industri dan perluasankota, serta pariwisata dan pertanian. Di sektor perta-nian pada tahun 2003 terdapat sejumlah 37,7 juta

petani yang menguasai 21,5 juta ha dalam berbagaivariasi luasan penguasaannya. Jika dirata-rata makamereka menguasai tanah seluas 0,89 ha. Rataan inisangat jauh ketimpangannya bila dibandingkandengan penggunaan-peruntukan lain sektor-sektorlain. Secara internal, kelas penguasaan tanah ma-syarakat tani dari tahun ke tahun mengalamipergeseran berdampak membesarnya angka petanigurem.

D. Membiarkan krisis tenaga kerja muda

Generasi muda di dunia menghadapi masalahserius yakni masalah pengangguran. Diperkirakan,lebih dari separo penduduk di negara berkembangtinggal di desa (Amerika Latin, Karibean, TimurTengah, Afrika Selatan, termasuk Indonesia).Sejumlah 70% dari mereka hidup miskin, 80% darimereka bekerja di pertanian. Sementara terdapatfakta bahwa jumlah pengangguran anak muda usia15-24 dua kali lipat dibanding orang tua. Kemis-kinan melanda anak muda yang perkiraan jumlah-nya adalah 1/5 dari populasi dunia (Ben White 2011,hlm. 3).

Pengangguran terkait dengan banyak hal.Temuan menarik dari suatu penelitian menun-jukkan ada korelasi antara pendidikan dengankesempatan kerja. Pendidikan memperpanjangusia kanak-kanak (postpone childhood) generasimuda, dan menghilangkan kesempatan merekapada pekerjaan. Penelitian longitudinal yangdilakukan oleh Ben White (1970, 1980, 1990-an)membandingkan waktu yang dihabiskan olehanak-anak dalam tiga jenis kegiatan (pekerjaanrumah tangga, pekerjaan produktif, dan sekolah).Kesimpulan penelitian menyatakan bahwa sekolahmemperpanjang ke-kanak-kanakan (childhood)diiringi gaya hidup yang berubah cepat. Kebutuhankonsumtif yang harus dipenuhi dengan menge-luarkan uang meningkat drastis sebab bersekolahdan perubahan gaya hidup tsb, namun anak-remajaberkurang kesempatannya dalam aktivitas produk-tif yang menghasilkan uang. Akibatnya, perubahan

Page 56: DASDSAD - PPPM

49AN Luthfi dan Surya S.: Masa Depan Anak Muda Pertanian ...: 46-58

yang terjadi dari dekade ke dekade menunjukkansemakin tergantungnya secara f inansial generasimuda terhadap orang tua, “in a condition of strongdependence on parents, elder siblings or other rela-tives for access to cash and this become a source oftension” (Ben White 2012 hlm. 96). Penganggurangenerasi muda semakin terjadi dan bisa menjadisumber konflik.

Selain aktivitas sekolah, model pembangunanneoliberal menghancurkan kesempatan kerjabanyak sektor sehingga terjadi surplus tenaga kerja.Pembangunan industrial bukan penyedia pasartenaga kerja, malah banyak melakukan PemutusanHubungan Kerja (PHK). Generasi muda pedesaanmengalami kondisi terlepas dari (calon) tenagakerja pertanian menjadi buruh, dan terlepas dariburuh menjadi pengangguran sebab di-PHK.Sebagian mengadu nasib menjadi buruh mig-ran. Kondisi inilah yang disebut sebagai deagraria-nisasi atau depeasantitation.

Pemerintah tidak memiliki kebijakan mendasarmengenai surplus populasi yang terlempar daripertanian sebagaimana angka-angkanya disebut dimuka. Mereka yang terlempar menjadi buruh-buruh di perkotaan dipromosikan sebagai daya tarikinvestasi. Salah satu nilai keunggulan investasimanufaktur dan garmen di Indonesia adalah karenanegeri ini memiliki tenaga kerja murah, bisa di-outsourcing-kan sehingga bisa dipecat sewaktu-waktu jika tidak lagi dibutuhkan. Inilah cara peme-rintah dalam ‘menyalurkan’ tenaga kerja negerinya.Politik upah murah secara resmi dan menyolokdigunakan oleh BKPM untuk mengundang inves-tasi. Dalam promosinya yang bertajuk Invest inRemarkable Indonesia, upah buruh yang murahdijadikan daya tarik. Mengutip Economic Intelli-gence Unit, brosur BKPM mencantumkan upahburuh Indonesia yang hanya USD 0.6 per jamdibandingkan dengan India (1.03), Filipina (1.04),Thailand (1.63), Cina (2.11) dan Malaysia (2.88).Menyertai angka-angka tersebut brosur promosi itumencantumkan “labor cost is relatively low, even as

compared to investment magnets China and India”(Tjandraningsih 2012). Maka tidak ayal, beberapatahun belakangan muncul iklan penjualan TKI diMalaysia yang menuai kritik, “Indonesian Maids,now on SALE!”.

Bukan dengan menjadikan pertanian dan pede-saan sebagai basis pembangunan yang disertaipengutamaan golongan lapis bawahnya agar dapatbertransformasi, dan memberi iklim kondusif bagipertanian agar mampu menarik tenaga mudapedesaan Indonesia, pemerintah memilih ‘men-transformasikan’ mereka sebagai tenaga kerja lepas(footlose labor) yang tidak terserap ke sektor kerjamanapun (surplus labor). Kecenderungan inilahyang disebut sebagai “negara agraris, ingkariagraria” (Tjondronegoro 2008). Program enter-preunership juga bagian dari ketidak-mampuannegara dalam membuka saluran tenaga kerja daridan di pertanian. Program kewiraswastaan yangdiajarkan di universitas (enterpreneur university)menjadi indikasi dari lepas-tangannya negaradalam penyedia lapangan kerja baru.

E. Persistensi Anak Muda Bertani

Hal-hal yang telah disajikan di atas adalah sebab-sebab yang bersifat struktural dan kompleks yangberada di luar kendali anak muda sendiri. Penga-laman-pengalaman berikut sesungguhnya cukupmemberi bukti bahwa ketika kendala-kendala (con-strain) yang bersifat struktural dan kultural di atasteratasi, generasi muda pedesaan dapat mengambilperan penting dalam pertanian.

Ada beberapa contoh keterlibatan dan kepedu-lian anak-anak muda terhadap pedesaan danaktivitas mereka di pertanian. Qaryah Thayyibahdi Salatiga mengembangkan pendidikan alternatifdengan visi pendidikan kemandirian dan berbasiskomunitas desa (Bahruddin 2007). Pesantren AthThaariq di Garut mendidik santri-santrinya bertanidan berdaulat benih lokal. Mereka mengumpulkandan menanam kembali benih-benih pangan dannon-pangan yang mulai sulit dijumpai di masyara-

Page 57: DASDSAD - PPPM

50 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

kat. Pesantren ini menyebut diri sebagai pesantrenekologi (Ibang Lukmanurdin tt). Kedua komunitasdi Salatiga dan Garut ini memiliki perencanaanjangka panjang pengembangan komunitas mereka(Master Plan Pemuda Qaryah Thayyibah 2012-2016;Renstra Ath Thaariq 2015-2019). Demikian pula diCiamis dengan adanya SMP Plus Pesawahan,Ciamis. Anak-anak didik di sana akrab dengan ‘penadan cangkul’, berhasil menulis pengalamannyadalam buku Aku Bangga Jadi Anak Desa (TimPergerakan ed 2005).

Pada bagian ini disajikan pengalaman empirislokal di Lolobata dan Gotowasi, Halmahera, danpesisir Kulonprogo di Yogyakarta, yang anak-anakmudanya terlibat aktif dalam aktivitas pertanian.Ketiganya mencerminkan hal serupa bahwa keter-bukaan akses atas tanah dan dibukanya keterlibatandalam produksi pertanian menjadi ciri utamakemauan anak muda dalam ekonomi pertanian.

1. Pengalaman dari Kepulauan Halmahera

Dari bagian timur Indonesia, di kepulauanHalmahera setidaknya ada dua desa yang membericontoh bagaimana para pemudanya secara aktifterlibat sebagai petani: Lolobata dan Gotowasi.(a)Desa Lolobata dan Kebun Kelapanya

Desa ini terletak di bagian paling dalam dari sisitimur kepulauan, dengan pertanian utamakebun kelapa. Memasuki era 2000-an, menya-dari ancaman berubahnya kondisi pertanianlokal akibat pertambangan dan konversi lahanyang terus-menerus terjadi, desa Lolobatamengembangkan sistem kebun komunal(kelapa) yang telah ada untuk satu desa bersamayang disebut dengan Kebun Teba. Posisi anakmuda cukup penting dalam tata kebun komunalini, dengan suatu pemahaman bersama bahwakebun komunal adalah alat untuk menjaminmasa depan generasi Lolobata. Artinya, KebunTeba tidak sekedar soal pengasilan saat inisemata, namun mereka harapkan sebagaitumpuan keberlangsungan sumber penghi-

dupan di masa depan. Kepada anak-anak mudaitu kerap ditekankan, bahwa biaya merekabersekolah sampai ke perguruan tinggi didapatdari keberkahan kebun komunal.Begitulah, anak muda Lolobata dengan banggamenyebutkan bahwa kemampuan merekamengenyam pendidikan adalah berkat hasilpertanian dari kebun kelapa milik bersama.Pertanian mengongkosi mereka bersekolah diTernate, tidak kemudian ‘pergi’ meninggalkanpertanian yang telah berjasa untuk beralih kebidang pekerjaan yang lain. Tatkala menjalanikuliah anak muda Lolobata mengatur waktumereka antara berada di Ternate dan kampunghalaman. Daur keluar-masuknya mengikutisiklus panen kelapa. Setiap empat bulan sekalimereka akan pulang melakukan kerja panen,seperti menurunkan kelapa dari pohon,mengupasnya, menjemur ataupun memanas-kan kelapa menjadi kopra, menyisihkan bebera-pa kelapa tua untuk dapur sendiri (membuatsantan dan minyak goreng), menggiring gerobakdari kebun sampai ke kampung, dan menjalintransaksi dengan pedagang pengepul. Setelahsemua putaran ini selesai, mereka akan kembalilagi ke Ternate membawa sejumlah uang. Uangbersumber dari kampung halaman dan diha-biskan di kota untuk biaya pendidikan. Di hari-hari biasa, perawatan kelapa yang tidak terlaluintensif itu diserahkan kepada keluarga. Jikamereka telah lulus kuliah, keluarga akan berun-ding kepada siapa kebun kelapa akan dititipkan,diwariskan pengurusannya, dan didistribusikanpekerjaan mengelolanya.Saat ini sekitar 50 orang lebih pemuda Lolobatamengenyam pendidikan Strata 1 di Ternate danManado, dan sekitar 5 orang menempuh pendi-dikan Strata 2 di Jawa dan Sulawesi. JumlahKepala Keluarga di desa ini sekitar 275 KK,dengan total penduduk 920 jiwa. Hampir bisadipastikan terdapat satu mahasiswa di setiap 17orang penduduknya. Fenomena ini sangat

Page 58: DASDSAD - PPPM

51AN Luthfi dan Surya S.: Masa Depan Anak Muda Pertanian ...: 46-58

mencengangkan, untuk sebuah desa yang secarageograf is paling tersuruk di bagian timur lautkepulauan Halmahera, dibandingkan dengandesa-desa sekitarnya yang lebih dekat ke pusatpemerintahan dan ekonomi namun untukmenempuh pendidikan tingkat atas pun masihterkendala.Kebun Teba mulai dibangun tahun 1999.Perataannya sempat terhenti akibat konflikbesar tahun 1999-2000 di kawasan kepulauanAmbon ini. Pasca konflik perawatan kembalidilakukan, dan pada tahun 2005 gelombanganak muda yang mengenyam pendidikan tinggidari Lolobata mulai merambah ke Ternate.Kesemuanya bermodalkan hasil kebuntersebut.Walau saat ini masih belum secara pasti dikata-kan apakah mereka mengamalkan ‘ilmu pergi’atau ‘ilmu menetap’, sementara mereka masihberkuliah, setidaknya sampai penelitian inidilakukan, umumnya anak-anak muda Lolobatamemiliki visi untuk menjaga dan meneruskanpertanian sebagai basis ekonomi utama. Sekitar50 orang pemuda yang sedang menempuhpendidikan Strata 1, membentuk suatu wadahkerja bersama untuk memberikan penyuluhankepada warga desanya sendiri, mengenaipentingnya pertanian bagi ekonomi dan ekologi,dan betapa pertambangan yang digencarkanoleh pemerintah daerah melalui keberadaan PTAneka Tambang dan beberapa perusahaan lain,yang kini sedang gencar mengupayakan kon-versi lahan, sangatlah membahayakan ekologidan sama sekali tidak menjanjikan bagi keber-lanjutan ekonomi. Generasi muda dan parawarga belajar dari fenomena pertambanganyang telah marak di sekitar mereka. Ajakanuntuk kembali pada pertanian disuarakan olehpara pemuda dengan contoh nyata adalah dirimereka sendiri (Saluang dkk 2015).

(b) Hutan Cengkeh dan Pala di GotowasiTak jauh berbeda dari Lolobata, Gotowasi

sebuah desa yang juga berada di bagian palingtersuruk, di belahan tenggara kepulauanHalmahera. Hampir tidak ada pengangguran didesa ini, sekaligus hanya ada satu anak putussekolah. Tingkat pendidikan terendah untukanak muda desa ini adalah sarjana. Denganposisinya yang sangat tersuruk secara geograf is,desa ini ternyata merupakan penyumbanggenerasi berpendidikan yang cukup dikenal diTernate. Hampir semua kalangan pendidikandi kota ini mengenal bahwa arus pelajar danmahasiswa baru dari Gotowasi akan selalu adasetiap tahunnya. Jika tidak ada, maka dalamanggapan masyarakat, berarti kampung ini telahkehabisan anak muda usia sekolah. Sejak pendi-dikan tingkat atas, pemuda Gotowasi sudahberangkat ke kota dan terus melanjutkan pendi-dikannya sampai tingkat sarjana. Semua ini lagi-lagi dibiayai dari hasil pertanian. Jika di Lolobatamengandalkan pertanian kelapa, pemuda Goto-wasi mengandalkan pertanian pala dan cengkeh.Desa ini sangat menikmati keberadaan pala dancengkeh yang sudah ada sejak masa kolonialis-me rempah di kepulauan ini. Tidak perlu pera-watan khusus atau kerumitan-kerumitantertentu, pala dan cengkeh yang sudah berusiaabad itu tinggal dipanen setiap kali berbuahmatang. Mereka menyebut satuan lahan perta-niannya sebagai hutan, bukan lagi kebun atauladang, mengingat demikian luas dan suburnyakebun pala mereka. Hutan pala dan hutancengkeh, jika dipanen oleh lima desa sekaligus,hasilnya tidak akan habis-habis (Novrian 2012).Polanya tidak jauh berbeda, anak-anak mudaini melibatkan diri menjadi petani setiap masapanen, sampai menjalin transaksi denganpengepul dan seterusnya pergi ke kota memba-wa uang hasil jualan panenan, dan terus berse-kolah kembali. Bisa menempuh pendidikantinggi di kota besar dengan mengandalkan hasildari pertanian menjadi kebanggaan bagi anakmuda Gotowasi. Tidak sedikit komentar

Page 59: DASDSAD - PPPM

52 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

bermunculan, bagaimana tenang dan khusuk-nya pemuda Gotowasi menjalani pendidikan,berkat jaminan pembiyaan dari kegiatanpertanian mereka sendiri. Bisa menempuhpendidikan tinggi di Ternate, bukanlah hal yangmudah bagi kebanyakan masyarakat kepulauanHalmahera (Novrian 2012).Anak-anak muda Gotowasi masih bisa menik-mati keberadaan kebun-kebun pala dan cengkehyang harga buahnya masih baik. Namunketerlibatan mereka dalam pelestarian ekono-mi-sosial berbasis tanah mulai mendapattantangan berat. Ada beberapa perubahanketika gelombang pendidikan tinggi berlang-sung demikian semarak di Gotowasi, beriringdengan semakin banyaknya anak muda Gotowa-si yang terserap ke dalam kerja formal di perko-taan. Keterlibatan anak muda pada pertaniandi Gotowasi, sepertinya masih lebih banyaksebatas memetik hasil dari kebun, dan sedikitsaja yang kembali terlibat langsung memper-kuat keberadaan kebun. Perubahan situasi danberbagai pengaruh cara pandang dari pendidi-kan tinggi itu sendiri serta cara hidup di perko-taan, bisa menjadi ancaman bagi kelestariansumber penghidupan pertanian.Memasuki tahun 2008 ekspansi pertambanganyang secara aktif didorong oleh pemerintahsetempat bersama PT. Antam menjadi ancamanbagi desa ini. Beberapa warga tergoda mengalih-fungsikan lahan ke pertambangan melaluimekanisme pemberian ganti rugi atau jual beli.Sebagian warga yang bekerja di sektor formalyang umumnya memiliki latar belakangpendidikan tinggi, melihat bahwa tambang akanmampu menghasilkan lebih besar lagi uangdalam waktu singkat. Akan tetapi mereka men-jadi paham bahwa pertambangan di beberapatempat lain di wilayah Halmahera, selalu gagalmenunjukkan adanya jaminan keselamatanekologi dan ekonomi bagi warga sekitar, kecualihanya dinikmati oleh pemburu rente tatakala

memperoleh tanah masyarakat. Membanding-kan kegiatan pertanian hutan pala dan hutancengkeh yang telah mereka nikmati, pada akhir-nya terdapat rasionalitas petani, bahwa merekatetap memilih cengkeh dan pala.Pada awal tahun 2012 warga desa Gotowasisecara keseluruhan bisa bersepakat untukmenolak pertambangan, termasuk gagasanpertanian inti-plasma perkebunan sawit yangjuga disodorkan pemerintah daerah ke desa inipada pertengahan tahun 2011. Sampai saat ini,bagi mereka belum ada satupun sistem ekologi-ekonomi yang lebih baik ketimbang apa yangsudah mereka miliki dan jalani saat ini melaluihutan pala dan hutan cengkeh.

2. Wong Cubung menjadi Petani Makmurdi Lahan Pesisir

Di titik pusat pulau Jawa, ‘ilmu menetap’ daripertanian bisa dicermati lebih seksama dalampengalaman beberapa desa di pesisir Kulonprogo,Yogyakarta. Desa-desa sepanjang wilayah inimerupakan penghasil utama cabe merah keritingdan buah melon, khususnya sejak era 2000-an dansemakin terkenal saat ini. Beberapa di antaranyaadalah desa Karang Wuni, Bugel dan Garongan.Warga di ketiga desa ini menanam cabe keriting dihamparan pasir pantai, suatu hal yang sebelumnyatidak masuk akal baik bagi para petani itu sendiriapalagi bagi kalangan ilmuwan pertanian.

Cerita di sekitar awal pembudidayaan tanamancabe keriting hingga kini di sepanjang pesisir Kulon-progo adalah cerita tentang pemuda. Pada awalnyadi sekitar tahun 1983/84, seorang pemuda bernamaSukarman, baru saja lulus kuliah jurusan tekniksipil di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta.Mengandalkan ijazah yang dimilikinya, Sukarmanhijrah ke Jakarta, mengikuti harapan umumnya saatitu bahwa Jakarta adalah tempat yang tepat untukmengadu peruntungan. Selama dua tahun iamencoba peruntungan di ibu kota, namun tidakjuga bisa mendapatkan pekerjaan tetap, kecuali

Page 60: DASDSAD - PPPM

53AN Luthfi dan Surya S.: Masa Depan Anak Muda Pertanian ...: 46-58

hanya kerja serabutan di sana-sini, khususnyamenjadi kuli bangunan. Ijazahnya hanya mampumengantarkan menjadi kuli bangunan dari satu boske bos yang lain. Hingga akhirnya pada tahun 1986Sukarman memutuskan untuk pulang ke desanya,Bugel, yang bersama desa-desa lain di sekitarnyasaat itu dikenal sebagai tempatnya ‘Wong Cubung’.Istilah ini memiliki konotasi negatif untuk meren-dahkan, yang berarti orang miskin dan berkulitkotor (karena kesulitan air tawar).

Pertanian hortikultura di wilayah pesisir inibermula dari ketidaksengajaan. Sosok Sukarmandi atas pada suatu ketika berjalan-jalan di pinggirpantai dan melihat sebatang cabe rawit tumbuhberbuah di atas onggokan tanah. Menurut penu-turannya, ada tiga buah cabe yang telah menghijaudi atas tanah tersebut. Setelah dikorek, onggokantanah tersebut ternyata adalah kotoran sapi (Cahyo-no dan Yanuardy 2009). Ia memutuskan untukmencoba bertanam di sebidang kecil lahan pasirdengan menambahkannya kotoran sapi terlebihdahulu, sebelum menaburkan benih di atasnya.Banyak warga desanya menganggap apa yangdikerjakan Sukarman tidak mungkin berhasil.Bahkan ia dikira sudah ‘stress’, sakit jiwa karena takjuga mendapat kerja dan frustasi sepulang dari ibukota.

Dua tahun Sukarman berusaha menyempur-nakan usaha bertanam cabe itu di tengah sinismedan pesimisme warga. Akan tetapi perubahanmulai tampak. Satu-dua warga mulai melirik apayang diusahakannya. Hingga makin lama, perta-nian cabe keriting di lahan pantai semakin nyatamenjadi satu-satunya hal yang hanya ada di pesisirKulonprogo. Memasuki pertengahan tahun 1990-an sudah mulai merata warga pesisir di ketiga desatadi mengusahakan pertanian ini. Tanah pesisiryang semula menganggur dalam bentuk luasanpasir dengan berbagai jenis status kepemilikannyaitu menjadi lahan pertanian yang produktif dandikuasai serta dimiliki oleh para petani yang aktifmengusahakannya. Meski demikian, saat itu

gelombang anak muda pergi ke kota mencaripekerjaan masih tinggi di ketiga desa ini sampaiakhir 1990-an. Mereka menjadi buruh migran teru-tama untuk tujuan Malaysia dan Taiwan.

Dengan luasan lahan yang sama, di lahan pesisirhasilnya bisa 3 kali lipat lebih banyak ketimbang dilahan biasa, dengan durasi panen yang juga lebihlama. Pasar pun juga meminati cabe dari pesisirKulonprogo, selain tampilannya yang mengkilatdan padat, daya tahannya juga lebih lama, antara 1minggu sampai 10 hari setelah panen. Alhasil pen-dapatan masyarakat tani meningkat pesat. Mema-suki era 2000-an, terjadi arus balik tenaga kerja.Ketika makin terbukti bahwa tanaman cabe dilahan pantai justru bisa menghasilkan jauh lebihbanyak dibanding di lahan biasa, generasi mudanyamulai tertarik dan masuk kembali ke pertanian.Mereka yang semula pergi merantau di kota hinggamenjadi buruh migran, berdatangan pulang.Fenomena ini berlangsung di sekitar tahun 2003sampai 2005. Sebelumnya, didahului dengan kepu-langan para perantau ketiga desa ini dari berbagaikota di Jawa dan Sumatra (umumnya menjadipekerja bangunan). Saat ini hampir semua pemudadi ketiga desa ini melibatkan diri sepenuhnya padapertanian. Pertanian cabe di lahan pantai telahberkembang ke seluruh hamparan pesisir pantaiKulonprogo dan Bantul.

Pengolahan lahan pesisir melibatkan banyakkeluarga petani, sekitar 30 ribu orang, yakni merekayang ada di sepanjang 22 kilometer pesisir, melewatisekitar 10 desa. Masing-masing petani menguasailahan seluas 1000-5000 m2. Mulai dari anak-anakkecil hingga kakek-nenek bercocok tanam. Anak-anak sekolah pun pagi sebelum berangkat sekolah,menyempatkan untuk merawat tanaman, demi-kian juga saat pulang sekolah. Pegawai negeri didaerah itu, bahkan ada seorang polisi, yang peng-hasilan terbesarnya berasal dari bertani (Luthf i2012).

Keberhasilan bertani di lahan pesisir memaham-kan bahwa petani telah melahirkan serangkaian

Page 61: DASDSAD - PPPM

54 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

inovasi (sains petani), berupa (1) pengolahan lahanpertanian di atas lahan pesisir, (2) sistem pengairandengan sumur renteng, (3) penanganan hama, (4)penangkalan terpaan angin pantai yang dapatmerusak tanaman dan merontokkan bunga-bungacabe, (5) penjualan panenan melalui sistem lelangsehingga antar petani tidak saling bersaing dankonflik, serta membuat posisi petani kuat dalammengontrol harga. Menghadapi berbagai tekananatas kebijakan pemerintah mengubah lanskappesisir menjadi penambangan pasir besi denganmemberikan ijin penambangan pada PT JMI danPT JMM yang dimiliki oleh keluarga keraton danpemodal Australia, warga pesisir Kulonprogo me-nunjukkan (6) kemampuan dan kekuatan berorga-nisasi, berjejaring, dan berargumentasi demimempertahankan hak asasinya atas tanah mereka(Djafar Shiddieq dkk 2007, Luthfi 2012).

Usaha tani serta organisasi petani masyarakatpertanian lahan pesisir digerakkan oleh parapemuda. Apa yang mereka kembangkan itu padagilirannya mengintegrasikan pergaulan merekasecara luas dengan pasar, komunitas organisasi tanilainnya, kalangan akademisi dan gerakan sosial.Tidak jarang masyarakat petani lahan pesisir yangtergabung dalam organisasi Paguyuban PetaniLahan Pesisir ini menjadi tujuan belajar mahasiswapertanian dan organisasi sosial lain. Bahkanbeberapa kali Fakultas Pertanian UGM mengun-dang petani pesisir Kulonprogo, khususnya Sukar-man, untuk memberi kuliah di hadapan mahasiswamengenai sejarah dan teknik pertanian lahanpesisir.

Pada tahun 2008, anak-anak muda di desaGarongan mengiktikadkan semboyan, “Yang MudaYang Bertani”. Mereka membentuk kegiatan-kegiatan komunitas dengan basis pendanaan darikerja sebagai petani, dan menyuarakan semangatkhususnya pada sesama anak muda agar kembalimenekuni pertanian. Ditempuh cara-cara seder-hana, seperti mengunjungi dari satu desa ke desalainnya di luar Kulonprogo, saling bertemu dan

berbagi pengalaman, dan bahkan melalui kegiatankesenian teater agar bisa menjangkau animo anakmuda dan kaum perkotaan secara lebih luas dalammenjaring semangat dan dukungan mereka padapertanian. Satu-dua respon terus bertumbuhan dariberbagai tempat yang dikunjungi; di Klaten, Blora,Kebumen, Cilacap, Lumajang, dsb. Bahkan seke-lompok anak muda di Kroya, Cilacap, yang terga-bung dalam suatu wadah bernama Cahaya MudaIndonesia, menyambut ajakan ini dan mengem-bangkan kerja pertanian berkelompok di daerahmereka. Pada awalnya pemuda Kroya ini fokus padapemulihan benih padi langka, yakni beras merah-putih yang penemuannya kembali serta perjuanganpembenihannya sempat mengemuka di mediamassa. Mereka juga mengembangkan pertanianberbasis pupuk organik cair. Melalui jejaringnya diseluruh Indonesia, semboyan “Yang Muda YangBertani” terus disuarakan. Mereka adalah generasimuda pertanian yang mengenyam pendidikanmencukupi, kemudahan akses di perkotaan, tekno-logi, pasar dan informasi. Bagi mereka, pengalamanmembangun jaringan pertanian tidak sama sulitnyaanak muda di perkotaan membangun jejaringorganisasi mahasiswa. Pada panen raya cabe tahun2008, petani muda di daerah ini berbondong-bon-dong mendatangi dealer untuk membeli motorsecara tunai. Dengan motor besar buatan Jepangyang baru dibeli, mereka melakukan touring kebeberapa kota di Jawa.

Pesisir Kulonprogo sebagai “prototipe” pertanianlahan pantai, justru populer di berbagai tempatmelalui jejaring warga petani sendiri. Sudah banyakpetani dari berbagai tempat dari seluruh Indone-sia dengan kondisi ekologi yang sama, datangbelajar menerapkan pertanian pantai di pesisirKulonprogo, dari Lampung, Bengkulu, Tasikma-laya, Kebumen, Cilacap, Klaten, Pacitan, SulawesiSelatan, bahkan dari kalangan peminat pertanianmancanegara; Jepang, Belanda, Finlandia, Amerikadan Kanada. Salah satu tokoh mudanya, meng-hadiri berbagai forum dan bahkan menulis kesak-

Page 62: DASDSAD - PPPM

55AN Luthfi dan Surya S.: Masa Depan Anak Muda Pertanian ...: 46-58

sian berorganisasi dan pengalamannya menjadibertani dalam bukunya, Menanam adalah Melawan(Widodo 2013).

Apa yang berlangsung di pesisir Kulonprogoadalah bukti tak terelakkan bagaimana pertanianmasih merupakan pilihan yang relevan hari ini,tidak hanya dalam perekonomian rumah tangga,namun lebih jauh dari itu. Namun seringkalipengambil kebijakan justru menggunakan apa yangdiistilahkan oleh Muhammad Yunus sebagai ‘mataelang’ dalam pertimbangan makro ekonomi.Mereka tidak mampu melihat optimisme lokalekonomi pertanian yang tumbuh jika melihatnyamelalui ‘mata cacing’ (Yunus 2007). Secara sepihak,sejak tahun 2006 pemerintah daerah kabupatenmengumumkan kawasan pesisir Kulonprogo akandijadikan sebagai areal pertambangan pasir besi.Kebijakan ini dengan sendirinya akan menimpalahan-lahan pertanian dan pemukiman warga.Bukannya menjadikan wilayah ini sebagai prototipebagaimana masyarakat bisa mengupayakankeswadayaannya sejak dari nol, pemerintah malahmenutup mata dan telinga atas reaksi negatif yangterus berkembang atas rencana pertambangan.

F. Agenda Global Perampasan Tanah

Berbagai gambaran di atas merupakan ilustrasiuntuk memperlihatkan bahwa daya dan etos anakmuda pada pertanian sesungguhnya masihmengandung optimisme yang besar. Contoh dangambaran seperti di atas, daftarnya akan semakinpanjang jika kita membuka cara pandang lebih luaspada kenyataan yang boleh jadi dekat saja di sekitarkita masing-masing. Masih cukup banyak contohhidup untuk dijadikan sumber belajar bersamabagaimana pertanian masih relevan sebagai pilihanekonomi rumah tangga yang menjanjikan pada erasekarang. Secara global, bahkan terdapat kecende-rungan gerakan perjuangan menuju ‘repeasanti-zation’ melalui berbagai bentuk, proses, dan cara.Di Cina transisi pertanian berlangsung dari sistemkolektif menuju usaha tani keluarga; Movimento

dos Trabalhadores Sem Terra di Brazil menghasilkanlebih dari 400.000 petani baru; bahkan di Eropayang sekitar 15-20% petaninya saat ini menempuhjalur ‘enterpreneurial road” (van der Ploeg 2013).

Optimisme di atas saat ini menghadapi tan-tangan besar berupa kebijakan pengalokasian tanahdalam skala gigantic. Merosotnya luasan lahanpertanian telah menjadi keprihatinan banyak pihaksebagaimana uraian di atas, namun secara kontra-diktif muncul kebijakan pemerintah yang bertolakbelakang. Saat ini kita dihadapkan pada agendabesar pengadaan tanah skala raksasa (land grab)untuk berbagai kepentingan: pangan, energi (bio-fuel), perumahan, wisata, zona ekonomi khusus,kawasan lindung, transaksi tanah obyek spekulasioleh negara-negara Utara dan Selatan di negara-negara Selatan (Zoomers 2010).

Di ujung timur Indonesia kepulauan Papuamenghadapi kebijakan yang mengancam tanah-tanah warga. Pemerintah pada tahun 2010 menge-luarkan kebijakan yang terkenal dengan sebutanMerauke Integrated Food and Energy Estate(MIFFE). Kebijakan pemerintah pusat dan daerahini adalah operasionalisasi dari pewacanaan global,dan inilah yang menjadi asumsi dasarnya, bahwadunia sedang mengalami krisis energi dan pangan.Diperlukan terobosan kebijakan antar-negara gunamengatasinya, dan pilihannya berupa produksipangan dan energi terbarukan (bio-fuel) dalamskala luas di negara-negara berkembang. ProyekMIFEE yang berlangsung di Merauke berupapembukaan hutan-hutan alami dalam klaim-kuasaadat yang ijin kuasanya (total sekitar 2 juta hektar)kemudian diberikan kepada puluhan perusahaan-perusahaan asing maupun domestik. Hingga tahun2012 diperkirakan sejumlah 46 perusahaan telahmengantongi ijin lokasi (Tempo, 8 April 2012 hlm.54-68). Alih kuasa ini tidak dengan pendefinisianyang jelas; disewa, dipinjam, ataukah dibeli. Legi-timasi adat seperti ‘potong babi’ sering digunakandalam alih penguasaan adat ini, melalui peran parabroker yang ironisnya muncul dari aktor adat-

Page 63: DASDSAD - PPPM

56 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

pemerintah sendiri (Savitri 2012). Yang jelas, hutan-hutan ditebang untuk menghasilkan kayu cabikekspor, dan tanah-tanahnya kemudian ditanamikomoditas baru untuk pangan dan bio-fuel: sawit,sorgum, kedelai, jagung, dan gandum. Meskisebagian kecil telah berproduksi dan terbesarlainnya dalam tahap pembukaan lahan bahkanmasih perencanaan, perusahaan-perusahaan yangsudah mengantongi ijin konsesi tersebut beranimenawarkan kepada calon investor untuk mena-namkan sahamnya dalam proyek Merauke ini.

Pada tahun 2015 ini hubungan antara tanah,ke(tidak)terserapan tenaga kerja (muda), danketidak-adilan alokasi lahan demikian jelasditunjukkan dalam pengalaman Papua dalamkonteks perluasan lahan pangan tersebut. Padatanggal 9 Mei 2015 yang lalu, Presiden Joko Widodomelakukan panen raya di atas lahan sawah padiyang dikelola dalam bentuk perusahaan pertanianpadi PT. Parama Pangan Papua (PPP) yang dimilikioleh salah satu taipan terkenal di Indonesia, Arif inPanigoro. Lahan sawah yang dipanen seluas 300hektar dari 500 ha lahan yang dibuka pada Desem-ber 2014, berlokasi di Wapeko, Kampung Ivi Mahad,Distrik Kurik, Kabupaten Merauke. Lahan sawahditanami padi varietas lokal, dengan hasil 8 ton/hektar, angka fantastis di atas rata-rata hasil perta-nian keluarga 4-5 ton/ha. Diprediksi dalam waktu3 tahun akan ada perluasan lahan untuk perusahaanpadi 1,2 juta hektar dengan produksi 24 ton perta-hun, sehingga akan dihasilkan sekitar 24 juta tonpertahun atau menyumbang 30 persen kebutuhanproduksi nasional (HuMA 2015).

Optimisme makro berupa semata-mata peme-nuhan stok bahan pangan itu berkebalikan denganpesimisme secara lebih luas jika melihat persoalantenurial dan ketenagakerjaan. Lahan yang direnca-nakan pemerintah seluas 1,2 juta hektar itu akandiletakkan di bentangan alam Merauke, yangposisinya saat ini sebagian kawasan budidaya nonkehutanan yang ada dalam izin-izin usaha perke-bunan kelapa sawit (266.274 ha), perkebunan tebu

(579.563 ha), hutan tanaman industri (593.942 ha),dan lahan pangan padi, ubi, kacang-kancangan, dsb(69.883 ha). Tersisa kawasan hutan lindung, hutankonservasi dan hutan produksi (HPT dan HPK)(Catatan, ibid). Jika lahan dimaksud berada diluarlahan yang sudah berizin, artinya akan ada peru-bahan peruntukkan kawasan hutan untuk pele-pasan kawasan hutan menjadi lahan pangan. Dam-paknya sangat berarti terhadap masyarakat lokaldan atau masyarakat adat yang telah tinggal didalamnya serta dampaknya terhadap kondisi ling-kungan.

Dampak lain adalah pada tenaga kerja. Pertaniandengan sistem perusahaan skala besar (korporasi),selain melakukan pengambil-alihan tanah skalaluas, juga membutuhkan kapital besar, teknologitinggi, namun justru dengan tingkat keterserapantenaga kerja yang rendah dan terseleksi. Bisa dipas-tikan bahwa kebutuhan tenaga kerja dipenuhi dariluar dan bukan mengambil tenaga kerja lokal,dengan stigma-stigma negatif terhadap penduduklokal. Akibatnya akan terjadi surplus population,utamanya tenaga kerja muda, yang terlempar daritanahnya dan tidak terserap dalam ruang-ruangbaru yang mengkonversinya. Di sinilah terjadi dis-koneksi antara wilayah pengusiran dengan situs-situs pekerjaan yang dibuka sebagaimana dijelaskanoleh Tania Murray Li (2009).

Wacana bahwa dunia mengalami krisis pangandan energi menemukan konteks pada level kebi-jakan nasional melalui Masterplan Percepatan danPerluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia(MP3EI) yang menitik-beratkan pada pem-bangunan infrastruktur dan peningkatan kapasitasproduksi ekspor. Indonesia merasa dalam dinamikaekonomi dan politik regional dan global yangsedang menghadapi tantangan-tantangan kontem-porer. Untuk itulah, dirancang koridor-koridorekonomi yang menghubungkan basis-basis pro-duksi lokal sehingga dapat berhubungan langsungdengan distribusi dan tujuan ekspornya: (1) KoridorEkonomi Sumatera fokus pada “Produksi dan

Page 64: DASDSAD - PPPM

57AN Luthfi dan Surya S.: Masa Depan Anak Muda Pertanian ...: 46-58

Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung EnergiNasional”; (2) Koridor Ekonomi Jawa sebagai“Pendorong Industri dan Jasa Nasional”; (3) KoridorEkonomi Kalimantan sebagai “Pusat Produksi danPengolahan Hasil Tambang & Lumbung EnergiNasional”; (4) Koridor Ekonomi Sulawesi sebagai“Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian,Perkebunan, Perikanan, Migas dan PertambanganNasional”; (5) Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggarasebagai “Pintu Gerbang Pariwisata dan PendukungPangan Nasional”; dan (6) Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku sebagai “Pusat PengembanganPangan, Perikanan, Energi, dan PertambanganNasional” (Perpres RI. No. 32/2011 tentang MP3EI ).

Konteks global dan nasional inilah yang menjadikekuatan terbesar dalam mentransformasikanpenguasaan tanah di Indonesia saat ini. Kontekssemacam ini menjadi kondisi-kondisi yangmemungkinkan tereksodusnya populasi pedesaan,termasuk generasi mudanya dari tanah-tanahmereka. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimananantinya masyarakat (adat) Papua tidak lagi memi-liki tanah yang dianggap sebagai ‘ibu’, sehinggamereka tidak bisa lagi mewariskan kepada generasiturunannya kelak kemudian hari. Generasi penerusmereka adalah generasi tanpa ibu. Juga, tidakterbayangkan jika generasi muda Lolobata, Goto-wasi, dan pesisir Kulonprogo ditransformasikan dariposisinya mereka sebagai pelaku utama pertanianmenjadi buruh aktivitas pertambangan, ataubahkan menjadi eksodus dari tanahnya dan tidakterserap secara marjinal dalam ekonomi pertam-bangan baru.

G. Kesimpulan

Masa depan anak muda dan pertanian akansuram gambarannya jika struktur lebih luasmengenai kebijakan agraria dan struktur sosial-kebudayaan masyarakat Indonesia masih berorien-tasi pada ekonomi skala besar korporasi dan bukanrumah tangga, serta patriarkis dan gerontokratif.Di sisi lain absennya negara dalam memenuhi hak

dasar warganegaranya dan bahkan melegitimasiproses kapitalisasi agraria melalui pengembangansistem produksi skala korporasi yang mengambilalih lahan skala luas serta meminimalisir keterse-rapan tenaga kerja, semakin menjauhkan aksestenaga kerja muda pada pertanian.

Optimisme Chayanovian di Indonesia akanmenemukan dasarnya jika kebijakan agraria danpertanian lebih berorientasi pada jaminan alatproduksi serta pengelolaan pertanian pada masya-rakat tani skala rumah tangga. Pengalaman anakmuda Lolobata, Gotowasi dan Kulonprogo yangmemiliki akses pada alat-produksi, reproduksikapital serta hasilnya, dan keterbukaan secara luaspada akses pasar (harga) dan informasi, menunjuk-kan bahwa optimisme tenaga kerja muda pertaniandan dunia pertanian itu sendiri bukanlah mitosnamun situasi dari proses-proses yang terus-menerus diciptakan. Di Gotowasi dan Kulonprogo,masyarakat tani kini menghadapi alih fungsi lahanpertanian/kebun menjadi penggunaan barupertambangan nikel dan besi. Politik alokasi lahandi kedua wilayah juga memberi dukungan pada alihfungsi tersebut. Pendidikan yang ditempuh merekadi perkotaan juga secara berangsur-angsur mem-beri orientasi keluar (pergi) daripada membuatnyamengkreasikan sumberdaya komunitas danalamnya dengan prinsip-prisnip keberlanjutan.Menjual tanah untuk penambangan adalah pilihan-pilihan menggoda yang berhasil mereka tentang.Kedua kekuatan baru itu mengancam masa depangenerasi muda potensial dan pertanian.

Daftar Pustaka

Anonim, Sensus Pertanian BPS 2013Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi 2011, Enam

Dekade Ketimpangan Masalah PenguasaanTanah di Indonesia, Bandung, KPA AgrarianResource Center Bina Desa Konsorsium Pem-baruan Agraria.

Bahruddin 2007, Pendidikan alternatif QaryahThayyibah, Yogyakarta, PT. LKiS Pelangi Aksara.

Page 65: DASDSAD - PPPM

58 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

Bernstein, Henry 2010, Class Dynamics of Agrar-ian Change: Agrarian Change and PeasantStudies, Initiatives on Critical Agrarian Stud-ies, Fernwood Publishing.

Cahyono, Eko dkk. 2009, “Konflik Lahan Pasir Besidan Dinamika Sosial-Ekonomi Petani PesisirKulon Progo, dalam, Laksmi A. Savitri, Moh.Shohibuddin, dan Surya Saluang. Memahamidan Menemukan Jalan Keluar dari ProblemAgraria dan Krisis Sosial Ekologi, STPN Pressdan Sajogyo Institute.

HuMA 2015, “Catatan dari Diskusi dan SharingInformasi: Program Pertanian Pangan alaJokowi”, Perkumpulan HuMA, Pasar Minggu,Jakarta, 20 Mei 2015.

Kompas, 12 Juni 2012, “Dirampok Keserakahan danKerakusan”.

Li, Tania Murray 2009, “To Make Live or Let Die?Rural Dispossession and the Protection of Sur-plus Populations”, jurnal Antipode Vol. 41 No. S1.

Lukmanurdin, Ibang. tt. http://pesantrenekologi.blogspot.com/2015/05/r e n c a n a - s t r a t e g i s - p e s a n t r e n -aththaariq.html?m=1.

Luthf i, Ahmad Nashih 2012, “Mencari MaknaKeseharian dalam Isu Keistimewaan Yogya-karta”, makalah Seminar Nasional ReformaAgraria, BPSNT Diknas, Yogyakarta, UC UGM,11 Juli.

Novrian, Didi 2012, Tenurial Assesment in EastHalmahera, Catatan Lapang Riset Sajogyo In-stitute, Maret 2012.

Perpres RI, No. 32/2011 tentang MP3EI.Ploeg, Jan Douwe van der 2013, Peasant and The

Art of Farming, A Chayanovian Manifesto,Canada, Fernwood Publishing.

Saluang, Surya, Didi Novrian, Risman Buamona,Meif ita Handayani 2015, Orang HalmaheraTimur dan Tanahnya, Tanah Air Beta danSajogyo Institute.

Savitri, Laksmi A 2012, “Hidup Kita, Tanah Kita:Hidup Malind dalam Gelombang PertanianIndustrial”, Presentasi hasil penelitian olehTim SKP-KAM, Sajogyo Institute, dan Komu-nitas Perf ilman Intertekstual.

Shiddieq, Djafar, Sulakhudin dan BD Kertonegoro2007, Optimalisasi Lahan Pasir Pantai BugelKulonprogo untuk Pengembangan TanamanHortikultura dengan Teknologi Inovatif Ber-kearifan Lokal. Disampaikan dalam SeminarNasional Sumberdaya Lahan dan LingkunganPertanian, Deptan 8-9 November 2007.

Tempo, 8 April 2012, “Bom Waktu di HamparanTanah Merauke”, Investigasi majalah Tempo

Tim Pergerakan, ed. 2005, Aku Bangga Jadi AnakDesa, Bandung, Pergerakan.

Tjandraningsih, Indrasari 2012, “Kebijakan Ketena-gakerjaan Yang Memiskinkan”, http://akatiga.org/index.php/artikeldanopini/perburuhan/134-indrasari-tjandraningsih,diunduh 09-11-2012.

Tjondronegoro, Sediono M.P. 2008, Negara AgrarisIngkari Agraria, Bogor, KPM IPB bekerjasamadengan Sajogyo Institute.

White, Ben 2011, “Who Will Own the Countryside:Dispossession, Rural Youth and the Future ofFarming”, Valedictory Lecture, ISS, 13 October2011.

White, Ben 2012, “Changing Childhoods: JavaneseVillage Children in Three Generations”, Jour-nal of Agrarian Change, Vol. 12 No. 1, January.

Widodo 2013, Menanam adalah Melawan, Yogya-karta, Tanah Air Beta.

Yunus, Muhammad 2007, Bank Kaum Miskin,Depok, Marjin Kiri.

Zoomers, Annelies 2010, “Globalisation and theForeignisation of Space: Seven Processes Driv-ing the Current Global Land Grab”, Journal ofPeasant Studies 37(2).

Page 66: DASDSAD - PPPM

PETA P4T HASIL PEMETAAN PARTISIPATIFSEBAGAI INSTRUMEN IDENTIFIKASI TANAH ABSENTEE

Mujiati1

AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: An absentee land is one of the pieces of land for a Land Reform Object Tanah needed for distribution. Data of landsderived from absentee lands have not been available up to the present moment. The government needs to publish a policy toidentify and enlist the above mentioned absentee lands. Those lands can be identified by Maps on Land Ownership, LandTenure, Land Use and Land Utilization (P4T) made through Participative Mapping on Community-based Land Management(MPBM)..The data base of the MPBM activity are in the forms of Book A on land Register, Book B on spatial data resulted fromparcel measurement, Book C on notes of transfer and cases, Book D on spatial planning, land use, water use and buildingconstruction planning. The main data needed for IP4T mapping is Book A. The change of Article 3 on The GovernmentRegulation No. 224 of 1961 is required to make the identification more effective.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: participative mapping, absentee lands, IP4T maps.

AbstrakAbstrakAbstrakAbstrakAbstrak: Tanah absentee merupakan salah satu Tanah Obyek Landreform yang diperlukan dalam rangka kegiatan redistribusitanah. Data tanah obyek landreform yang berasal dari tanah absentee sampai saat ini belum tersedia. Pemerintah perlu melakukankebijakan untuk mengidentifikasi dan menginventarisir data tanah absentee tersebut. Tanah absentee dapat diidentifikasi melaluiPeta Pemilikan Penguasaan Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) yang dibuat melalui Pemetaan Partisipatif kegiatanManajemen Pertanahan Bernbasis Masyarakat (MPBM). Data base kegiatan MPBM berupa Buku A tentang daftar tanah, BukuB tentang data spasial hasil pengukuran bidang tanah, Data C tentang catatan mutasi dan masalah tanah, Buku D tentangpenataan ruang, penggunaan tanah, tata guna air dan tata bangunan. Sedangkan data pokok yang diperlukan dalam membuatpeta IP4T adalah Buku A yang berisi daftar tanah dan data spasial mengenai bidang tanah di Buku B. Berdasarkan peta P4Ttersebut dapat diidentifikasi tanah pertanian absentee. Perlu perubahan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961agar identifikasi tanah absentee dapat lebih efektif.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: pemetaan partisipatif, tanah absentee, peta IP4T

A. Pendahluan

Pemetaan partisipatif adalah pemetaan yangmelibatkan masyarakat. Kegiatan pemetaanpartisipatif bertujuan untuk melakukan percepatandalam pemetaan seluruh wilayah di Indonesia.Ketersediaan peta yang lengkap untuk seluruhwilayah Indonesia memerlukan waktu yang cukuppanjang dengan mengandalkan pemetaan yangdilakukan oleh pemerintah baik oleh Badan

Informasi Geospasial (BIG), Badan PertanahanNasional dan instansi yang lain. Berdasarkaninformasi BIG, dari sekitar 77 ribu desa yang adandi Indonesia baru 19 persen yang telah terpetakan.Peta lengkap desa demi desa tersebut diperlukanuntuk pemecahan berbagai permasalahan dansengketa yang timbul terkait dengan tanah. Tahun2001 telah keluar Tap MPR Nomor IX/MPR/ 2001tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alamatau dikenal dengan Reforma Agraria. Sampai saatini pun belum terlihat hasil yang menggembirakan.Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga

1 Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Penu-lis bisa dihubungi di: [email protected]

Diterima: 12 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 27 Mei 2015

Page 67: DASDSAD - PPPM

60 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

pemerintah yang mempunyai tugas untuk mela-kukan penataan pemilikan dan penguasaan tanahagar tujuan negara sebesar-besar kemakmuranrakyat dapat terwujud.

Menurut Setiaji dan Deden (2014), kebijakanReforma Agraria bertujuan melakukan perbaikanstruktur agaria yang timpang sejak tahun 1960 agarmenjadi adil dan merata. Dengan struktur agrariayang baru tersebut diharapkan juga kemiskinan dipedesaan dan persoalan kesejahteraan petani dapatdiatasi. Hasil penelitian Lembaga Penelitian Indo-nesia (LIPI) tahun 2013 terdapat temuan kunci yangdapat dijadikan pedoman dalam merancang pro-gram pengurangan kemiskinan yang berbasisagraria adalah meliputi:1. Aspek Kerentanan mempengaruhi cara orang

miskin mengelola aset dalam kehidupannya.Misalnya orang tua (lansia), janda atau sakitmenjadi sulit baginya untuk keluar dari kemis-kinan meskipun telah memiliki aset tanah danrumah. Kerentanan tersebut merupakan kenya-taan yang harus dihadapi oleh penerima man-faat dengan karakteristik khusus sepertimenjual dan mengalihkan hak atas tanah yangdidapatnya melalui program Reforma Agrariakepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhanhidupnya, yaitu pemeliharaan kesehatan. Bagikelompok tersebut yang penting sebenarnyatidak hanya aset saja, namum akses pada sistemjaminan sosial nasional berupa jaminan kese-hatan, pendidikan, jaminan hari tua akan jauhlebih bermanfaat dibandingkan programReforma Agraria yang mengandalkan kemam-puan penerima manfaat untuk mengelola asetmenjadi sumber produksi.

2. Aset sebagai jaminan keamanan bukan alatproduksi. Aset bagi orang miskin di perkotaanlebih berfungsi sebagai jaminan keamanan(semacam asuransi) jika ada keadaan mendesakbaik untuk digadaikan atau dijual atau untukjaminan hari tua atau untuk diwariskan padaketurunannya.

3. Heterogenitas mata pencaharian dan potensipribadi penerima manfaat. Bentuk-bentukpemberdayaan bagi penerima manfaat diwilayah perkotaan menjadi tantangan sendirikarena matapencaharian dan potensi tiap priba-di penerima manfaat yang heterogen.

4. Dari sisi kelembagaan tingkat nasional, adapersoalan mendasar yang merupakan warisankebijakan agaria yang diterapkan PresidenSoeharto, dimana kebijakan yang dikeluarkantelah menjadikan pengelolaan sumberdayaagraria menjadi sangat tersektor (sektoral).Terdapat ketidakseimbangan kewenangan yangdimiliki antara instansi pelaksana ReformaAgraria (BPN) dengan kementerian yang memi-liki kewenangan besar dalam mengelola tanahbaik yang berupa hutan maupun tanah perta-nian dan pertambangan. Persoalan kelemba-gaan lain yang penting adalah sosialisasi mau-pun konsultasi yang dilakukan BPN masihbelum cukup bila tidak didukung oleh kemauanpolitik yang sungguh-sungguh dari pucukpinpinan tinggi negara ini.

5. Persoalan kelembagaan yang juga mencakuppermasalahan institusional yang harus disele-saikan dalam konteks administrasi pertanahanyang dilakukan BPN untuk kemudian berubahmenjadi pelaksanaan salah satu fungsi sosialtanah sebagaimana diamanatkan UUPA.Tradisikelembagaan dan birokrasi yang telah terlanjurterbentuk membutuhkan waktu untuk dapatdireformasi. Permasalahan internal ini diperu-mit dengan permasalahan institusional ditingkat pelaksanaan di daerah (provinsi/kabu-paten) dimana kompleksitas permasalahansemakin bertambah dengan diberlakukansistem desentralisasi pemerintahan tahun 1999yang direvisi tahun 2003 yang memperlihatkantarik menarik kewenangan administrasi perta-nahan antara pemerintah pusat dengan peme-rintah daerah.

6. Permasalahan legal dan institusional dari pelak-

Page 68: DASDSAD - PPPM

61Mujiati: Peta P4T Hasil Pemetaan Pertisipatif sebgai Instrumen...: 59-68

sana program PPAN atau Reforma Agrariamenyebabkan kurang optimalnya pelaksanaanprogram diberbagai daerah dan inisiatif pelak-sanaan program secara konprehensif (mulai asethingga akses) hanya dapat dilakukan berdasar-kan inisiatif pengambil keputusan tingkatdaerah. Salah satu rekomendasi awal penelitianLIPI adalah mekanisme kerjasama antar lem-baga sudah dapat dirumuskan sehingga pelak-sanaan program tidak semata-mata didasarkanpada personal seseorang.Apabila mekanismetelah dibuat, siapapun pelaksananya tinggalmengimplementasikan program dan kebijakantersebut di daerah yang menjadi kewenangan-nya.

7. Permasalahan konseptual yang berimplikasipada permasalahan dasar hukum pelaksanaanreforma agraria. Ketika terjadi kekosonganhukum karena dasar pelaksana Undang-Un-dang (berupa peraturan Pemerintah untukmelaksanakan Reforma Agraria Versi BPN yangbaru yaitu konsep landreform Plus atau ReformaAgararia–Landreform–Access Reform, makalandasan hukum pelaksanaannya kemudiandikembalikan pada aturan lama, yaitu PP No.224 tahun 1961 dan aturan lain yang berkaitan.Rekomendasi hasil penelitian LIPI pada angka

7 di atas perlu mendapatkan penyelesaian khu-susnya dari lembaga Badan Pertanahan Nasionalyang saat ini secara kelembagaan lebih memilikikeleluasaan dalam mengambil kebijakan denganbergabungnya Badan Pertanahan Nasional danKementerian Agraria dan Tata Ruang berdasarkanPasal 3 butir d Perpres Nomor 20 Tahun 2015 ten-tang Badan Pertanahan Nasional. Kedudukan,Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasionaladalah perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pengaturan, penataan dan pengendalianpertanahan.

Implementasi pelaksanaan Reforma Agrariadengan mendasarkan pada PP 224 Tahun 1961tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti

Kerugian dalam rangka penataan Aset Reform(landreform) untuk mengurangi ketimpanganpenguasaan dan pemilikan tanah terutama bagipetani yang dari waktu ke waktu semakin tinggiketimpangannya berdasarkan Sensus PertanianTahun 2013. Hal utama yang perlu dipikirkan dalampelaksanaan PP 224 Tahun 1961 bukanlah tentangbagaimana melaksanakan pembagian tanahkepada rakyat yang menjadi prioritas untuk menda-patkan tanah dalam rangka redistribusi tanah.Tanah-tanah obyek landreform yang akan diredis-tribusi itulah yang harus diidentif ikasi keberada-anya khususnya tanah absentee.

Obyek /tanah- tanah yang diredistribusi menu-rut Pasal 1 peraturan pemerintah ini meliputi tanahkelebihan maksimum, tanah absentee, tanahswapraja dan bekas swapraja serta tanah-tanah yangdikasai langsung oleh negara. Tanah obyek land-reform yang diredistribusi yang berasal dari tanahabsentee sudah tidak ditemukan lagi. Penulis yakinbahwa tanah absentee di negara ini masih ada,tetapi data mengenai tanah absentee sebagai bagiandari tanah-tanah yang akan diredistribusikankepada masyarakat tersebut belum tersedia. Datatersebut dapat diidentif ikasi melalui InventarisasiPemilikan Penguasaan, Penggunaan dan Peman-faatan Tanah (IP4T) yang dikumpulkan berda-sarkan informasi yang melibatkan masyarakat dandituangkan dalam peta IP4T. Hal ini dapat terwujuddan didapatkan melalui kegiatan pemetaanpartisipatif.

B. Pengertian dan Dasar Hukum

1. Pemetaan Partisipatif

Pemetaan Partisipatif adalah satu metodepemetaan yang menempatkan masyarakat sebagaipelaku pemetaan wilayahnya, sekaligus juga akanmenjadi penentu perencanaan pengembanganwilayah mereka sendiri (Anonim, 2014). Pemetaanpartisipatif adalah proses pembuatan peta yangmencoba untuk membuat hubungan antara tanah

Page 69: DASDSAD - PPPM

62 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

dan komunitas lokal dengan menggunakan kaidahkartograf i yang umum dipahami dan diakui.Kelebihan yang disukai adalah munculnya pengeta-huan lokal dan pembangunan dinamika lokaluntuk menfasilitasi komunikasi antara orang dalam(penduduk setempat) dengan orang luar yaitupeneliti dan aparat pemerintah). Pemetaan Partisi-patif ditandai dengan peran serta masyarakat untukberkontribusi dalam kegiatan. Pemetaan partisipa-tif sebagaimana dilakukan oleh Jaringan KerjaPemetaan Partisipatif di wilayah-wilayah masyara-kat adat di seluruh wilayah Indonesia. Manfaatpemetaan partisipatif adalah : a) masyarakatmenjadi sadar dan paham atas berbagai permasa-lahan di dalam ruang hidupnya, dengan demikianmereka menjadi lebih mampu menentukan strategidan tindakan kolektif untuk beradaptasi denganataupun melakukan perlawanan terhadap ancamanyang muncul dari luar. b) Masyarakat menjadi lebihmampu mengidentif ikasi data sekaligus mem-bangun prakarsa untuk menyelesaikan masalahyang mereka hadapi dengan menggunakansumberdaya lokal yang mereka miliki. c) Masya-rakat lebih bertanggung jawab untuk memperbaikipengaturan pengelolaan dan pengendalian ataspemanfaatan sumberdaya alam di wilayah yangsudah dipetakan secara partisipatif. d) Masyarakatmenjadi lebih mudah untuk merencanakan alokasiruang dan menentukan bentuk-bentuk kegiatanekonomi yang akan dikembangkan sesuai denganketersediaan sumberdaya alam di wilayahnya untukkeberlanjutan mata pencaharian mereka untukjangka panjang. e) Masyarakat menjadi lebih perca-ya diri dan memiliki posisi yang lebih kuat untukmenyatakan hak-haknya dan melakukan negosiasiruang dengan pihak-pihak lain yang dianggapsebagi lawan mereka. Harapannya hasil pemetaanpartisipatif dapat terintegrasi dengan one mappolicy yang dibuat oleh Badan Informasi Geospasial(Rahardian 2015).

Hasil pemetaan partisipatif wilayah adat didaf-tarkan atau diregistrasi oleh Badan Registrasi

Wilayah Adat (BRWA). Informasi yang diperlukanuntuk registrasi wilayah adat antara lain: a)Informasi sejarah keberadaan masyarakat adatbeserta bukti-bukti yang mendukungnya. b) Infor-masi kelembagaan adat seperti: nama lembaga adat,struktur lembaga adat, tugas dan fungsi masing-masing pemangku adat, dan mekanisme pengam-bilan keputusan. c) Informasi wilayah adat yangmeliputi batas-batas wilayah adat, satuan unit-unitkewilayahan, kondisi fisik umum wilayah adat (laut,pesisir, daratan, pegunungan). d) Sistem kelolawilayah adat yang memuat tata carapenguasaan danpengelolaan tanah dan wilayah, model-modelpengelolaan ruang berdasarkan aturan-aturan adatdan kearifan lokal.

Pemetaan partisipatif yang senada yang dilaku-kan melalui Manajemen Pertanahan BerbasisMasyarakat (MPBM). MPBM merupakan pemetaandesa demi desa dengan melibatkan seluruh pemiliktanah sebagai pengumpul data fisik dan data yuridisdengan bimbingan Badan Pertanahan Nasional.Peta yang dihasilkan berupa peta bidang tanah dandata Pemilikan Penguasaan Penggunaan danPemanfaatan tanah (P4T).

2. Data Pemilikan, Penguasaan,Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah

Kegiatan prioritas nasional ke-VI yang tertuangdalam RENSTRA Badan Pertanahan NasionalRepublik Indonesia (BPN RI) tahun 2009-2014.Kegiatan IP4T merupakan amanat TAP MPRNomor IX/MPR/2001 khususnya pasal 5 Ayat 1(c)yang menyatakan bahwa untuk merumuskan ArahKebijakan Pembaruan Agraria perlu diselengga-rakan pendataan pertanahan melalui inventarisasidan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaandan pemanfaatan tanah secara komprehensif dansistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.Hal ini dilakukan untuk mengatasi kondisi masihrendahnya bidang tanah yang telah terdaftar.Tanpatersedianya data P4T sangat sulit untuk melaksa-nakan arah pembaruan agraria sesuai amanat TAP

Page 70: DASDSAD - PPPM

63Mujiati: Peta P4T Hasil Pemetaan Pertisipatif sebgai Instrumen...: 59-68

MPR Nomor IX/MPR/2001 tersebut. BerdasarkanPeraturan Kepala Badan Pertanahan NasionalRepublik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 pasal 246butir d menyatakan bahwa Direktorat Landreformmenyelenggarakan fungsi Inventarisasi P4T danevaluasi tanah-tanah obyek landreform. Tuntutantupoksi itulah Direktorat Landreform melaksa-nakan kegiatan IP4T mulai tahun 2009 sampaidengan tahun 2014 (Direktorat Landreform 2013).

Pendataan adalah kegiatan pengumpulan ataupencarian keterangan mengenai penguasaan,pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.Penguasaan tanah adalah hubungan penguasaanlangsung secara fisik antara orang per orang, kelom-pok atau badan hukum dengan tanah yang didasar-kan kepada hubungan hukum tertentu sepertisewa, gadai, hak milik serta hubungan lain sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-un-dangan. Pemilikan tanah adalah hubungan hukumantara orang per orang, kelompok orang atau badanhukum yang dilengkapi dengan bukti kepemilikanbaik yang sudah terdaftar (sertipikat HAT) maupunbelum terdaftar. Penggunaan tanah adalah wujudtutupan permukaan bumi baik yang merupakanbentukan alami maupun buatan manusia menurutPP Nomor 16 Tahun 2004. Pemanfaatan tanahadalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambahtanpa mengubah wujud f isik penggunaan tanah-nya. Data yang dihasilkan dari kegiatan IP4T berupadata f isik dan data yuridis. Data f isik adalah kete-rangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanahserta satuan rumah susun termasuk keteranganmengenai adanya bangunan atau bagian bangunandi atasnya. Sedangkan data yuridis adalah kete-rangan mengenai status hukum bidang tanah dansatuan rumah susun, pemegang haknya dan pihaklain serta beban-beban lain yang membebaninyamenurut PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaf-taran Tanah.

3. Pengertian Tanah Absentee

Tanah Absentee atau Guntai (bahasa Sunda)

adalah pemilikan tanah yang letaknya di luar daerahtempat tinggal yang empunya (Boedi Harsono 1997hlm. 349). Pembahasan mengenai tanah absenteeberawal dari pasal 10 Undang-Undang PokokAgraria (UUPA) bahwa seseorang yang memilikitanah pertanian pada asasnya wajib mengerjakandan mengusahakan sendiri tanahnya secaraaktif.Agar yang empunya tanah dapat secara lang-sung turut serta dalam proses produksi. Syaratutama yang harus dipenuhi adalah bahwa iabertempat tinggal dekat pada letak tanah yangdipunyainya. Sebagai langkah pertama menujupada pelaksanaan asas Pasal 10 UUPA tersebutdalam rangka penyelenggaraan Landreform makadiadakanlah ketentuan untuk menghapuskanpenguasaan tanah pertanian secara absentee.

2. Larangan Penguasaan dan PemilikanTanah Absentee

Ketentuan Larangan Penguasaan dan PemilikanTanah Absentee diatur dalam pasal 3 PeraturanPemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dan Pasal 1Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964(tambahan Pasal 3 butir a sampai dengan butir e).Larangan pemilikan tanah pertanian oleh orangyang bertempat tinggal di luar kecamatan tempatletak tanahnya. Larangan tersebut tidak berlakuterhadap pemilik tanah yang bertempat tinggal dikecamatan yang berbatasan dengan kecamatantempat letak tanah yang bersangkutan. Asal jarakantar tempat tinggal pemilik tanah dan letaktanahnya menurut pertimbanagan PanitiaLandreform Daerah Tingkat II masih memung-kinkan untuk mengerjakan tanah tersebut secaraef isien. Tanah-tanah pertanian pada umumnyaterletak di desa sedangkan pemilik tanah absenteeumumnya bertempat tinggal di kota. Tujuanlarangan pemilikan tanah pertanian secara absen-tee adalah agar hasil yang diperoleh dari pengu-sahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmatioleh masayrakat perdesan tempat letak tanah yangbersangkutan, karena pemilik tanah akan bertem-

Page 71: DASDSAD - PPPM

64 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

pat tinggal di daerah penghasil.Ketentuan tersebut diberlakukan kepada pemi-

lik tanah pertanian yang absentee di dalam jangkawaktu 6 bulan sejak tanggal 24 September 1961 wajibmengalihkan hak atas tanahnya kepada orang laindi kecamatan tempat letak tanah yang bersang-kutan atau pindah ke kecamatan tersebut. Ternyatajangka waktu 6 bulan tidaklah cukup untuk menga-lihkan tanah-tanah pertanian absentee sehinggadiperpanjang hingga 31 Desember 1962 sesuaiKeputusan Menteri Agraria No.SK VI/6/Ka/1962dimuat dalam TLN No. 2461). Ketentuan pindahke kecamatan yang bersangkutan harus diartikanbahwa mereka benar- benar berumah tangga danmenjalankan kegiatan hidup bermasyarakat dalamkehidupan sehari hari di tempat yang baru,sehingga memungkinkan penggarapan tanahmiliknya secara ef isien. Hal tersebut tidak cukupbila seseorang telah mempunyai kartu tandapenduduk di tempat baru, padahal kenyataanyasehari hari masih tetap berada di tempat tinggalnyayang lama. Jika pemilik tanah berpindah tempatatau meninggalkan tempat kediamannya keluarkecamatan letak tanah selam 2 tahun berturutturut, maka ia wajib memindahkan hak milik atastanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggaldi kecamatan tersebut, tetapi apabila ia laporkepada pejabat setempat yang berwenang, makadalam waktu 1 tahun terhitung setelah berakhirnyajangka waktu 2 tahun diwajibkan untuk memin-dahkan hak milik atas tanah kepada orang lain yangtempat tinggalnya di kecamatan letak tanah.Apabila tudak lapor kepada pejabat setempat yangberwenang maka dalam waktu 2 tahun terhitungsejak ia menonggalkan tempat kediamannya itudiwajibkan untuk memindahkan hak milik atastanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggaldi kecamatan letak tanah.

Pengecualian bagi mereka yang menjalankantugas negara, menunaikan kewajiban agama ataumempunyai alasan khusus lainnya yang dapatditerima pada waktu itu oleh Menteri Agraria (seka-

rang Menteri Agaria dan Tata Ruang/Kepala BadanPertanahan Nasional). Pengecualian tersebutdiberlakukan kepada Pegawai-pegawai Negeri,pejabat militer dan yang dipersamakan denganmereka yang sedang melaksankan tugas negara.Pegawai negeri dan Angkatan bersenjata serta oranglain yang dipersamakan dengan mereka, yang telahberhenti dalam menjalankan tugas negara dan yangmemepunyai hak atas tanah pertanian di luarkecamatan tempat tinggalnya dalam waktu 1 tahunterhitung sejak ia mengakhiri tugasnya tersebutdiwajibkan pindah ke kecamatan letak tanah ituatau memindahkannya kepada orang lain yangbertempat tinggal di kecamatan dimana tanah ituterletak. Dalam hal-hal yang dapat dianggap mem-punyai alasan yang wajar, jangka waktu tersebutdiatas dapat diperpanjang oleh menteri Agraria.

Jika seseorang memiliki hak atas tanah pertaniandi luar kecamatan di mana ia bertempat tinggalyang diperolehnya dari warisan maka dalam waktu1 tahun terhitung sejak si pewaris meninggal diwa-jibkan untuk memindahkannya kepada orang lainyang bertempat tinggal di kecamatan di mana tanahitu terletak atau pindah ke kecamatan letak tanah.Dalam hal-hal yang dapat dianggap mempunyaialasan yang wajar, jangka waktu tersebut di atasdapat diperpanjang oleh menteri Agraria.

Larangan untuk melakukan semua bentukpemindahan hak baru atas tanah pertanian yangmengakibatkan pemilik tanah yhang bersangkutanmemiliki bidang tanah di luar kecamatan di manaia bertempat tinggal. Ketentuan-ketentuan diatasmengakibatkan baik tanah dan pemilik tanah yangbersangkutan dikenakan ketentuan- ketentuanPasal 3 Ayat 5 dan Pasal 6 PP Nomor 224 Tahun1961, yaitu apabila kewajiban tersebut tidak dipe-nuhi maka tanah yang bersangkutan diambil peme-rintah untuk dibagi-bagikan menurut ketentuanperaturan ini. Pemilik tanah yang diambil tanahnyaoleh pemerintah diberikan ganti kerugian menurutketentuan peraturan ini. Pemberian ganti kerugianbagi bekas pemilik tanah yang diambil pemerintah

Page 72: DASDSAD - PPPM

65Mujiati: Peta P4T Hasil Pemetaan Pertisipatif sebgai Instrumen...: 59-68

ditetapkan oleh Panitia Landreform di Tingkat IIyang bersangkutan atas dasar perhitunganperkalian hasil bersih rata-rata selam 5 tahunterakhir yang ditetapkan tiap hektarnya menurutgolongan kelas tanah dengan menggunakandegresivitet sebagai berikut: 5 ha pertama: tiaphektarnya 10 kali hasil bersih setahun; 5 ha kedua,ketiga dan keempat tiap hektarnya 9 kali hasilbersih setahun. Untuk selebihnya tiap hektarnya 7kali hasil bersih setahun dengan ketentuan jikaharga tanah tersebut menurut perhitungan diatasatau lebih tinggi darpada harga umum, maka hargaumum yang dipakai untuk penetapan ganti keru-gian. Harga bersih adalah seperdua hasil kotor bagitanaman padi atau sepertiga hasil kotor tanamanpalawija. Bagi pemilik tanah yang tidak menyetujuibesarnya ganti kerugian yang ditetapkan PanitiaLandreform TK II maka dapat minta banding kepa-da Panitia Landreform Tingka I dalam tempo 3bulan sejak tanggal penetapan ganti kerugian.Keputusan Panitia Landreform Tingkat I tidakboleh bertentangan dengan dasar perhitungantermaktub dalam ketentuan ayat 1 pasal 6 ini. Tanahabsentee yang telah diambil pemerintah dan pemi-lik asalnya telah diberikan ganti kerugian menurutPP 224 Tahun 1961 kemudian ditetapkan sebagaitanah negara sebagai obyek landreform.

C. Identifikasi Tanah Absentee MelaluiPeta IP4T

Amanat Pasal 10 UUPA telah jelas bahwaseseorang atau badan hukum yang memiliki hakatas tanah pada azasnya diwajibkan mengerjakanatau megusahakan sendiri secara aktif denganmencegah cara-cara pemerasan. Pasal 10 UUPAtersebut ditindaklanjut dengan pasal 3 PP Nomor224 Tahun 1961, bahwa pemilik tanah yang beradadi luar kecamatan letak tanah untuk mengalihkankepemilikan tanahnya kepada orang lain ataupindah ke lokasi letak tanah. Apabila seseorangyang meninggalkan tanah pertaniannya selama 2tahun berturut-turut tanpa melaporkan kepada

pejabat setempat yang berwenang (bupati), makatanah tersebut dapat diambil pemerintah danpemiliknya diberikan ganti kerugian sesuai Pera-turan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961. Kenya-taan di lapangan penerapan peraturan pemerintahini tidak dapat dilaksanakan. Penyebab utamapemilikan tanah absente tidak terdapat data yangakuran maupun laporan yang diterima oleh kantorpertanahan untuk menerapkan peraturan tersebut.Penulis yakin kepemilikan tanah absentee banyakterjadi di wilayah seluruh Indonesia. Penyebabkepemilikan tanah absentee adalah faktor darimasyarakat itu sendiri karena kesadaran yang ku-rang maka banyak terjadi proses jual beli dibawahtanah. Jual beli dibawah tangan terjadi asalkanantara pemilik tanah dan penjual telah terjadikesepakatan antara keduanya, walaupun pembeliberada di luar kecamatan bahkan di luar provinsi.Jual beli secara administrasi dalam pendaftarantanah belum dilakukan. Kepemilikan tanah masihberada pada penjual seperti halnya banyak terjadidi wilayah Bandungan kabupaten Semarang. Pemi-lik tanah banyak yang berasal dari Jakarta, Surabayatetapi tanah diusahakan oleh bekas pemilik tanah.

Proses pewarisan juga sebagai faktor penyebabadanya tanah absentee, terutama kepercayaanmasyarakat di Jawa, bahwa tanah warisan sebaiknyatidak boleh diperjual belikan karena sebagai hartapusaka. Walaupun si pewaris berada di luar keca-matan atau diluar provinsi tetap dipertahankan.Penyebab lain adanya kepemilikan tanah absenteejuga terjadi akibat penegak hukum yang tidakmelaksanakan tugasnya dengan sebaik- baiknya.Banyak terdapat kartu tanda penduduk ganda,sehingga secara adminitratif di kantor pertanahanmemenuhi persyaratan dalam pendaftaran pera-lihan hak atas tanah melalui jual beli maupun pewa-risan. Badan Pertanahan Nasional tidak memilikikewenangan untuk memutuskan KTP palsu atau-pun ganda. Aparat pemerintah yang paling dekatdengan masyarakat yang melakukan pengurusanatau pebuatan KTP ada di tingkat desa. Pemerintah

Page 73: DASDSAD - PPPM

66 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

desa dianggap yang paling mengetahui apakahseseorang tersebut benar-benar bertempat tinggaldi wilayah desa atau kecamatan yang bersangkutanatau tidak. Aparat desa sebagai pihak yang palingmenentukan dalam memutuskan seseorangtersebut diperbolehkan untuk mendapatkan kartutanda penduduk di suatu wilayah. Adanya KTPganda atau palsu dapat diantisipasi melalui peme-rintah desa setempat untuk mengetahui dan meng-identifikasi adanya tanah absentee di wilayahnya.

Identif ikasi tanah absentee dapat dilakukandengan memanfaatkan data pemilikan, penguasa-an, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) yangdihasilkan dari kegiatan Manajemen PertanahanBerbasis Masyarakat (MPBM). Manajemen perta-nahan berbasis masyarakat adalah sistem tata keloladata kepemilikan, penguasaan, penggunaan danpemanfaatan tanah (P4T) yang dibangun sebagaisistem yang terbuka, disiapkan dalam kontrolmasyarakat. MPBM juga sebagai sarana kerjaadministrasi pertanahan di pemerintah desa ataukelurahan yang menjadi rujukan dalam pelayanansurat keterangan tanah dilampiri peta bidang tanahagar kualitas surat keterangan yang diterbitkantanpa menimbulkan sertipikat dobel dan tanpamelahirkan sengketa dan konflik pertanahan. Ujicoba MPBM yang telah dimulai sejak tahun 2006di 35 desa/kelurahan di Jawa Tengah. Materisosialisasi kegiatan MPBM Kantor PertanahanKabupaten Wonosobo (2006). Basis data yangdihasilkan dalam kegiatan Manajemen PertanahanBerbasis Masyakat terdiri dari :1. Buku A yang berisi data-data No C, Nama

pemilik/penguasa, alamat, Identif ikasi bidang,Status, Kelas, sumber air, luas, Nomor Sertipikat,NIB, Luas, NOP, IMB dan Mutasi Tanah;

2. Buku B berisi gambar hasil pengukuran bidangtanah;

3. Buku C berisi Catatan mutasi dan masalah tanah(Identifikasi Bidang Tanah, dasar Mutasi,UraianMutasi, Uraian masalah);

4. Buku D berisi tentang Penataan Ruang, Peng-

gunaan Tanah, Tata Bangunan dan TataGunaAir.Tata cara kegiatan tersebut terdiri dari tim kerja

di Kantor Pertanahan dan tim kerja di Desa/Kelurahan. Tim kerja kantor pertanahan terdiridari: Kasi Survei Pengukuran dan Pemetaan, KasiPengaturan dan Penataan Pertanahan, KasiPengendalian dan Pemberdayaan, Kasi Hak AtasTanah dan Pendaftaran Tanah, Kasi Sengketa,Konflik dan Perkara. Tugas tim kantor pertanahanadalah sebagai berikut:1. Mempersiapkan lokasi kegiatan2. Mempersiapkan peta pendukung, berupa peta

desa dan peta rincikan (bila ada)3. Mempersiapkan kegiatan pelatihan4. Penyiapan sarana kerja5. Pengawasan pengumpulan data6. Mengelola kompilasi buku A, B, C dan D7. Melakukan sosialisasi dan penyuluhan8. Menggerakan kegiatan sadar tertib pertanahan

seperti pemasangan tanda batas9. Penggalian potensi-potensi pengembangan10. Optimalisasi penggunaan dan pemanfaatan

tanah terutama pada kawasan lindung11. Fasilitasi pembuatan riwayat tanah dan mutasi,

solusi sengketa dan masalah tanah.Sedangkan tim kerja dari desa/kelurahan terdiri

dari tim pengumpul data dan tim verif ikasi data.Tugas tim di desa/kelurahan sebagai berikut:1. Bertugas mengumpulkan data-data pemilik atau

yang menguasai bidang tanah tersebut, gambardan lokasi, penggunaan dan peralihan daribidang tanah.

2. Data yang dikumpulkan di tuangkan dalamBuku A, B, C dan D

3. Memeriksa dan melakukan koreksi hasilpendataan bidang tanah yang dibuat oleh timpengumpul data.Tahapan identif ikasi data Pemilikan Pengua-

saan Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah yangdikumpulkan dan dimasukkan ke dalam Buku Amengenai Daftar Tanah meliputi:

Page 74: DASDSAD - PPPM

67Mujiati: Peta P4T Hasil Pemetaan Pertisipatif sebgai Instrumen...: 59-68

1. Nomor urut2. Nama dan alamat3. Identif ikasi bidang tanah: status tanah, peng-

gunaan tanah, luas tanah dan bangunan4. Data-data tanah yang ada di desa: buku C, luas

tanah5. Data-data dari kantor pertanahan: NIB, luas

tanahData-data yang telah dikumpulkan dan dibuku-

kan dalam buku A menjadi basis data sesuai denganform sebagai berikut:

Gambar 1. Buku Induk A

Sedangkan hasil pengumpulan data f isik tanahberupa hasil pengukuran bidang tanah dibuat petabidang tanah yang masuk ke dalam Buku B. ContohBuku Induk B yang terdapat di Desa BakalanKecamatan Tulis Kabupaten Batang sebagaiberikut:

Gambar 2. Buku Induk B

Basis data yang telah dihasilkan dari kegiatanmanajemen pertanahan berbasis masyarakat yangtertuang dalam Buku Induk (Buku A dan Buku B)

tersebut dapat dibuat peta P4T yang berupa hasilpengukuran bidang dan juga data mengenaipenguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman-faatan tanah yang bersangkutan. Berdasarkan petaP4T tersebut dapat dilakukan identif ikasi adanyatanah absentee di suatu desa/kelurahan yangbersangkutan dimana pemilik hak atas tanahtersebut bertempat tinggal. Sebagai contoh desayang menjadi pilot project kegiatan MPBM adalahDesa Tolokan masih konsisten melakukan kegiatanpemeliharaan data pertanahan mencakup dataP4T-nya. Wujud konsistensinya berupa pencatatansetiap perubahan data tanah akibat perbuatanhukum (jual beli) maupun peristiwa hukum(waris). Berdasarkan Buku Induk hasil pemetaanpartisipatif dari kegiatan Manajemen PertanahanBerbasis Masyarakat yang sampai saat ini DesaTolokan hingga akhir tahun 2014 jumlah bidangtanah sebanyak 3475 bidang dengan 746 bidangtanah telah bersertipikat/ terdaftar.

Data base hasil pemetaan partisipatif kegiatanMPBM tersebut, nantinya dapat diinventarisasiadanya tanah obyek landreform yang berasal daritanah absentee tanpa menunggu adanya laporandari pemilik tanah absentee sesuai dengan keten-tuan pasal 3 PP 224 Tahun 1961. Perlu dilakukanpenelitian cara-cara mengidentif ikasi tanah absen-tee tersebut, diperlukan cross check ke lapangan,apakah daftar tanah dan gambar bidang tanah yangterdapat dalam Buku A dan B tersebut sesuaidengan kondisi kenyataan di lapangan. KetentuanPasal 3 PP 224 tahun 1961 apabila diterapkan saatini sudah tidak sesuai lagi. Jarak antara kecamatansatu dengan kecamatan yang lain tidak menaja-dikan kendala bagi pemilik tanah untuk dapatmengerjakan tanahnya secara aktif tanpa menelan-tarkan tanah tersebut tetap dapat berproduksi. Jarakantar kecamatan satu dengan yang lain dapatditempuh dengan cepat karena adanya kemajuantransportasi. Perlu ditentukan peraturan barumengenai jarak letak tanah dan pemilik tanahtersebut dapat dikatakan absentee. Apalagi daerah

Page 75: DASDSAD - PPPM

68 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

yang berada di Pulau Jawa, jarak antara kecamatansatu dengan yang lain dapat ditempuh kurang dari30 menit.

D. Kesimpulan

Data mengenai tanah absentee yang menjadibagian tanah obyek landreform menurut Pasal 1 PP224 Tahun 1961 sampai saat belum tersedia secarapasti. Keberhasilan reforma agraria sebagai sebagaipengemban amanat Tap MPR No.IX/MPR/2001dapar tercapai dengan dilaksanakannya kegiatanlandreform khususnya redistribusi tanah. Sedang-kan data tanah- tanah yang akan diredistribusi tidaktersedia, sehingga diperlukan kebijakan untukmengidentif ikasi adanya tanah obyek landreformyang berasal dari tanah absentee. Peta P4T hasilpemetaan partisipatif melalui kegiatan ManajemenPertanahan Berbasis Masyarakat dapat menjadiinstrumen untuk mengidentif ikasi adanya tanahabsentee. Diperlukan perubahan PP 224 Tahun 1961khususnya Pasal 3 mengenai batas wilayah ataujarak antar letak tanah dan tempat tinggal pemiliktanah untuk menentukan tanah tersebut dapatdikatakan absentee ataukah tidak. Mengingatadanya kemajuan di bidang transportasi untukmenjangkau tanah pertanian sehingga pemiliktanah tetap dapat mengusahakan tanahnya denganbaik.

Daftar Pustaka

Deny, Rahardian 2014, Implementasi one map policy,Republika, 6 Januari 2015.

LIPI 2013, Merancang Strategi Pembaruan AgraiaUntuk Keadilan dan Pengurangan Kemiskinan,Workshop Diseminasi, STPN Yogyakarta.

Prabowo, Hary Listyanto 2011, “Penetapan BatasWilayah Desa Dalam Rangka PendaftaranTanah Melalui Pemetaan Partisipatif (StudiKasus Desa Permu dan Desa Imigrasi Permu,Kecamatan Kepahiang, Kabupaten Kepa-hiang),” Tesis, Universitas Gajah Mada.Yogyakarta, Hlm. 12.

Setiaji, Heri dan Dani Saleh, Deden 2014, Belajardari Cilacap: Kebijakan Reforma Agraria AtauRedistribusi Tanah, Bhumi, Yogyakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Peraraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentangKementerian Agraria dan Tata Ruang/BadanPertanahan Nasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004tentang Penatagunaan Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961tentang Pembagian Tanah dan PemberianGanti Rugi.

Petunjuk Pelaksanaan Landreform Tahun 2013Direktorat Landreform Badan PertanahanNasional.

Lampiran 2 Prosedur Registrasi Wilayah Adat.

Page 76: DASDSAD - PPPM

PENTINGNYA PETA DESAFisko1

AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: The making of Village Boundary Map is mandated by the Law No 6 0f 2014 on Village. The map of Village Boundaryshould not only present the boundary of the area but should also present the data and information included in the village..Theactivity of listing done by P4T should result a village map.. The implementation of the activity is suggested to change—that isby applying the participatory Mapping Model. There should be a comprehensive understanding of society, the Local Govern-ment, together with the ministry of ATR/BPN on a Village map as the map will show not only parcels of lands but also potentialof land as well as problems related to the existence of lands. This will make us aware of the importance of a village map. Themodel will also benefit the ministry of ATR/BPN. One the benefits are that the map presents objects of Agrarian reform of 9million hectares of within 2015- 2019.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: Village map, Participative Mapping.

Abstrak: Abstrak: Abstrak: Abstrak: Abstrak: Pembuatan Peta Batas Wilayah Desa merupakan amanat Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. PetaBatas Wilayah Desa seyogyanya tidak hanya menyajikan batas wilayah desatetapi juga menyajikan data dan informasi yang adadalam desa tersebut.Kegiatan inventarisasiP4T merupakan kegiatan pertanahan yang salah satu hasilnya adalah Peta Desa.Pelaksanaan kegiatan inventarisasi P4T kedepan disarankan diubah dengan menerapkan Model Pemetaan Partisipatif. Partisipasimasyarakat, Pemerintah Daerah bersama Kementerian ATR/BPN akan Peta Desa yang komprehensif dan berdayaguna karenamenyajikan batas wilayah desa plus data dan informasi P4T setiap bidang tanah serta kondisi, potensi dan permasalahan yangada dalam desa tersebut.Dengankondisi seperti ini, kita akan menyadari betapa pentingnya Peta Desa. Bagi Kementerian ATR/BPN, model kegiatan seperti ini mempunyai banyak keuntungan. Salah satunya adalah menyediakan potensi obyek ReformaAgraria sebanyak 9 juta hektar sesuai RPJMN Bidang Pertanahan 2015-2019.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: Peta Desa, Pemetaan Partisipatif

A. Pendahuluan

Berapa jumlah desa yang ada di negeri kitatercinta? Menurut catatan statistik jumlah desa atauyang setara dengan desa sekitar 81.000 lebih.Diantara desa-desa tersebut, berapa yang sudah adapeta desanya? Badan Informasi Geospasial (BIG)mempunyai peta desa dalam skala kecil, tetapitidak memiki data dan informasi detail tentangdesa-desa tersebut. Kantor Pelayanan Pajakmempunyai peta desa tetapi terbatas untukkepentingan obyek dan subyek Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB). Badan Pertanahan Nasional(BPN) mempunyai peta desa,tetapi terbatas padadesa-desa yang sudah terdaftar (bersertipikat) saja.

Menurut Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun2014 tentang Desa dalam pasal 8 ayat 3 huruf (f)menyatakan bahwa batas wilayah desa dinyatakandalam bentuk Peta Desa yang telah ditetapkandalam peraturan Bupati/Walikota. Lebih lanjutdalam Penjelasan pasal 17 ayat 2 menyatakan bahwapembuatan Peta Batas Wilayah Desa harus menyer-takan instansi teknis terkait. Namun, ada hal yanglebih penting dari hanya batas wilayah desa sepertiyang dimaksud dalam UU tersebut yaitu data daninformasi bidang-bidang tanah yang ada dalam

1 Penulis adalah Kepala Seksi Basis Data DirektoratLandreform Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.Email: [email protected]

Diterima: 10 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 25 Mei 2015

Page 77: DASDSAD - PPPM

70 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

desa tersebut.Salah satu sasaran Nawacita Pemerintahan

Jokowi-JK 2015-2019 adalah melaksanakan ReformaAgraria (RA) melalui landreform(redistribusi tanah)dan kepemilikan tanah (legalisasi asset) seluas 9juta Ha.Tugas untuk melaksanakan RA ini dibeban-kan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Disisi lain,Kementerian ATR/BPN juga dibebani tugas untukmelaksanakan identif ikasi dan inventarisasipenguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman-faatan tanah (IP4T) sebanyak 10 juta hektar sebagaisarana untuk mendapatkan obyek RA tersebut.Program 9 juta hektar RA ini akan lebih mudahdilaksanakan jika potensinya sudah diketahuiterlebih dahulu melalui identif ikasi dan inven-tarisasi P4T.

B. Apakah Peta Itu dan Mengapa Penting?

Saat ini kata “peta” banyak dipakai masyarakatluas, misalnya; peta politik, peta kerawanan sosial,peta tingkat pendidikan.Pemakaian kata tersebuttidak sepenuhnya benar dan juga tidak salah.Menurut ilmu kebumian (earth sciences),petamenggambarkan fenomena kebumian(geosphare)baik fenomena alam maupun buatan manusia yangdikecilkan (skala) yang digambarkan pada bidangdua dimensi (bidang datar) dengan metode yangbenar (sistem proyeksi, sistem koordinat, generali-sasi, klasif ikasi dan design peta). Namun, perkem-bangan teknologi dan informasi mengakibatkanbatasan-batasan yang ditetapkan di atas menjaditidak kaku. Peta digital sudah menggantikan petayang dicetak pada kertas atau film. Peta digital dapatmerupakan bagian dari aplikasi smartphone. Kitajuga dengan mudah dapat mengunduh (download)peta digital melalui internet.Selain itu, peta jugadengan mudah dapat dibuat dengan bantuan alatGlobal Navigation Satellite System atau GNSS (duluGlobal Positioning System atau GPS). Melaluipelatihan itensif, masyarakat yang awan denganpeta dapat membuat peta dengan bantuan alat

GNSS. Saat ini, peta sudah sangat familiar bagimasyarakat luas.

Mengapa peta penting? Peta menjadi pentingkarena peta sangat baik untuk menggambarkanfenomana kebumian terkait dengan kewilayahan(regional)dan keruangan (spatial). Tidak sah rasa-nya menggambarkan fenomana kebumian hanyadengan tulisan, gambar, grafik bila tanpa peta. Bagiinsan Kementerian ATR/BPN istilah seperti say inmap, no map no work menggambarkan betapa pen-tingnya peta untuk menyelenggarakan tugas danfungsi BPN.

C. Pemetaan Desa

Bagi BPN istilah pemetaan desa bukanlah halyang asing. Kegiatan pemetaan desa pernah dilaksa-nakan oleh BPN pada beberapa dekade yang lalu.Pelaksanaan pemetaan desa merupakan amanatPeraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961tentang Pendaftaran Tanah. Berdasarkan PP 10/1961diamanatkanuntuk melakukan pengukuran, pe-metaan dan penyelenggaraan tata usaha pendaf-taran tanah desa demi desa atau setingkat denganitu. Lebih lanjut pada pasal 4 mengatakan bahwapeta pendaftaran desa memperlihatkan segala jenishak atas tanah dengan batas-batasnya, nomorpendaftaran, nomor buku tanah, nomor surat ukur,nomor pajak (jika mungkin), tanda batas dansedapat-dapatnya juga gedung-gedung, jalan-jalan,saluran air dan lain-lain (benda tetap yang penting).

Jika kita membandingkan amanat untukmelaksanakan pemetaan desa pada PeraturanPemerintah Nomor 10 tahun 1961 jauh lebihkomprehensif dibandingkan dengan peta bataswilayah desa pada UU nomor 6 tahun 2014.Namun,pemetaan desa sudah ditinggalkan KementerianATR/BPN seiring dengan dengan diterbitkannya PP24/19972 sebagai pengganti PP 10/1961 halmana

2PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang PendaftaranTanah ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 8 Juli1997. PP ini termasuk yang akan direvisi sesuai programkerja BPN 2015-2019.

Page 78: DASDSAD - PPPM

71Fisko: Pentingnya Peta Desa: 69-73

tidak lagi mengamanatkan pemetaan desa.Kegiatan pemetaan desa digantikan dengan ke-giatan yang lebih menekankan penerbitan serti-pikat hak atas.

Kini setelah beberapa puluh tahun, peta desayang komprehensif tidak pernah terwujud.Sehubungan hal tersebut, Prof. Silalahi (2004)pernah mengatakan bahwa jumlah sertipikat hakatas tanah memang bertambah, tetapi peta desadengan skala besar belum juga dihasilkan sehinggasistem informasi pertanahan yang didambakanbelum juga terwujud3.

D. Kegiatan Inventarisasi Penguasaan,Pemilikan, Penggunaan danPemanfaatan Tanah

Kegiatan Invetarisasi Penguasaan, Pemilikan,Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T)merupakan amanat TAP MPR IX/2001 pasal 5 ayat1 yaitu arah Pembangunan Agraria adalah menye-lenggarakan pendataan pertanahan melalui inven-tarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, peng-gunaan dan pemanfaatan tanah secara kompre-hensif dan sistimatis dalam rangka pelaksanaanlandreform.

Berdasarkan hasil rumusan Rapat Kerja NasionalBPN yang dilaksanakan di Malino (SulawesiSelatan) dan di Bandar Lampung (Lampung) Tahun2002 mengatakan bahwa:a. inventarisasi adalah kegiatan pra-pelayanan

dengan hasil adalah data dan informasi bidangtanah bagi perumusan kebijakan, perencanaan,penataan dan pengendalian P4T; dan

b. registrasi adalah kegiatan pelayanan denganhasil akhirnyaadalah sertipikat hak atas tanahsebagai jaminan kepastian hukum.

Inventarisasi dilaksanakan untuk memperolehdata dan informasi bidang tanah melalui survei,pemetaan bahkan pengukuran bidang-bidangtanah. Sedangkan registrasi merupakan kegiatanpenerbitan sertipikat hak atas tanah.

Menurut Petunjuk Pelaksanaan KegiatanLandreform, kegiatan inventarisasi P4T didefini-sikan sebagai kegiatan pertanahan untuk mem-peroleh data dan informasi P4T dengan unitpendataan bidang tanah dalam satu desa.

Sejak pertama dilaksanakan pada tahun 2003,kegiatan ini telah menerapkan kaidah desalengkapyaitu menginventarisasi seluruh bidang-bidangtanah baik yang belum terdaftar maupunyang sudah terdaftardalam satu desa. Kegiatan inimempunyai tujuan menunjang kegiatan landre-form yaitu untuk mendapatkan potensi obyekredistribusi tanah, disamping untuk memperolehdata dan informasi P4T desa yang komprehensif.

Dalam perjalanannya, pelaksanaan kegiataninventarisasi P4T mengalami disorientasi tujuanserta terkendala dengan hal-hal yang bersifat teknismeskipun ekspektasi terhadap kegiatan ini begitutinggi. Akhirnya, hasil kegiatan inventarisasi P4Tini tidak begitu besar manfaatnya untuk menda-patkan obyek redistribusi tanah dan juga petadesakomprehensif yang diharapkan belumterwujud. Menurut data yang diterima DirektoratLandreform hasil kegiatan inventarisasi P4T yanglanjutkan dengan redistribusi tanah maupunpenerbitan sertipikat hak atas tanah tidak sampai10%. Untuk itu, menurut penulis perlu kajian ulangterhadap kegiatan inventarisasi P4T berkaitandengan tujuan dan strateginya untuk memperolehhasil yang maksimal.

E. Pemetaan Partisipatif

Saat ini disegala lini pembangunan sedanggencar ditingkatkan partisipasi masyarakat,misalnya peranserta masyarakat dalam penataantata ruang, partisipasi masyarakat dalamperencanaan dan penganggaran, model hukum

3Silalahi S.B. 2004, Peta Perjalanan UUPA, PidatoPengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Tanah,Ilmu Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Tanah,Manajemen Pertanahan, Universitas Nusa Bangsa,Bogor.

Page 79: DASDSAD - PPPM

72 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

humanis partisipatoris dan lain-lain. Tidakterkecuali dibidang pemetaan yang dikenal dengannama Pemetaan Partisipatif.

Pemetaan partisipatif adalah pemetaan melibat-kan partisipatif aktif dari masyarakat. MenurutHidayat dkk. dalam Sulaiman Daud (2012)4

pemetaan partisipatif adalah suatu metode peme-taan yang menempatkan masyarakat sebagai pela-ku pemetaan diwilayahnya, sekaligus juga akanmenjadi penentu perencanaan pengembanganwilayah mereka sendiri. Berikutnya dijelaskanpemetaan partisipatif mempunyai ciri-ciri: melibat-kan seluruh anggota masyarakat, masyarakatmenentukan sendiri proses yang berlangsung,proses pemetaan dan peta yang dihasilkan bertu-juan untuk kepentingan masyarakat, sebagian besarinformasi yang terdapat dalam peta berasal daripengetahuan masyarakat setempat dan masyarakatmenentukan sendiri penggunaan peta yang dihasil-kan. Pada internal BPN pemetaan partisipatif belumbegitu populer.

Kita menyadari bahwa kegiatan pemetaan yangdilaksanakan BPN khususnya pemetaan skala besarmasih bersifat top-down dan merupakan bagiandari program kerja BPN. Kegiatan pemetaan mem-butuhkan sumberdaya yang besar baik segi pelak-sana, anggaran dan peralatan waktu yang lama.Hingga kini pemetaan yang dilaksanakan olehKementerian ATR/BPN belum mencakup seluruhwilayah negeri kesatuan Republik Indonesia.Menurut Kementerian ATR/BPN hingga saat inicakupan existing base map baru sekitar 5% dari totalwilayah Indonesia, keseluruhan base map wilayahIndonesia akan selesai dalam waktu 18 tahunberikut dengan pendaftaran tanahnya5. Sebenarnya,Model Pemetaan Partisipatif (MPP) pernah digagasdan diujicobakan Kantor Wilayah BPN ProvinsiJawa Tengah pada masa kepemimpinan Bapak

Bambang S. Widjarnako (2004-2008). Modelpemetaan ini disebut dengan Manajemen Perta-nahan Berbasis Masyarakat (MPBM)6. MPBM telahdiujicobakan di Jawa Tengah di 35 desa/kelurahanyaitu setiap kabupaten/kota satu desa/kelurahan.MPBM yang diujicobakan ini mendapatkandukungan positif dari Pemerintah Daerah setempat.

Selanjutnya dijelaskan bahwa MPBM padaprinsipnya adalah sebuah bentuk manajemenpertanahan berbasis masyarakat. Sesuai denganmodel ini, pengelolaan P4T ditekankan pada usahauntuk menggerakan partisipasi masyarakat dalammenyelenggarakan fungsi administrasi pertanahantingkat desa/kelurahandan sebagai partner KantorPertanahan Kabupaten/Kota dan PemerintahKabupaten/Kota melalui pemberdayaan Pemerin-tahan Desa/Kelurahan dan seluruh masyarakatnyadalam rangkamewujudkan tertib administrasipertanahan, tertib hukum pertanahan, tertibpenggunaan dan pemeliharaan tanah, lingkunganhidup menuju makmur mandiri alam lestaridengan menggunakan pendekatan partisipasimasyarakat dan gotong royong dalam pem-bangunannya dan pemeliharaan serta operasional-nya.

Atas dasar pemikiran itu,menurut penulis perludikembangkan pemetaan dengan melibatkanpartisipasi masyarakat atau pemetaan partisipatif.Dalam hal ini, pemetaan partisipatif bukanmenyerahkan seluruh kegiatan pemetaan kepadamayarakat tetapi dengan melibatkan partisipasimasyarakat sebagai mitra Kementerian ATR/BPNdalam melaksanakan pemetaan. Mengapa melibat-kan masyarakat? Selain alasan yang telah disebut-kan di atas, masyarakat setempat yang lebih pahammengenai kondisi, potensi dan permasalahan yangterdapat wilayahnya, serta segala aktif itas yangberkaitan dengan penguasaan, pemilikan, peng-gunaan dan pemanfaatan tanah.

4Sulaiman Daud (2012), Pemetaan Partisipatif, http://www.academia.edu/3647639/pemetaan-partisipatif

5 Joyo Winoto, (2008), Land for Justice, Welfare,Sustainability and Social Harmony, BPN RI.

6Bambang S. Widjarnako2006, Manajemen PertanahanBerbasis Masyarakat, Kanwil BPN Jawa Tengah.

Page 80: DASDSAD - PPPM

73Fisko: Pentingnya Peta Desa: 69-73

F. Pentingnya Peta Desa

Beberapa hal yang dipaparkan di atas meliputi:Reforma Agraria, Peta Batas Wilayah Desa, kegiataninventarisasi P4T dan pemetaan partisipatif dapatditarik hubungan ‘benang merahnya’dalam kerang-ka pentingnya peta desa. Kegiatan inventarisasi P4Tmerupakan kegiatan pertanahan yang salah satuhasilnya adalah Peta Desa. Mengapa demikian,karena prinsip pelaksanaan kegiatan inventarisasiP4T adalah desa lengkap. Pelaksanaan kegiatanIP4T disarankan diubah dengan menerapkanModel Pemetaan Partisipatif (MPP). Kegiataninventarisasi P4T dengan MPP menjadi alternatifsolusi terbatasnya sumberdaya manusia, anggarandan peralatan yang selalu menjadi kendala di BPN.

Kegiatan inventarisasi P4T dengan MPP sepertiapa yang akan diterapkan Kementerian ATR/BPNperlu dikaji lebih mendalam. Sebagai contoh MPPyang pernah digagas dan diujicobakan serta berhasilyaitu Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat(MPBM).

Kegiatan inventarisasi P4T dengan MPP disaran-kan bersinergi dengan pembuatan Peta BatasWilayah Desa yang akan dilaksanakan oleh Peme-rintah Daerah. Partisipasi masyarakat, PemerintahDaerah bersama Kementerian ATR/BPN nantinyatidak saja menghasilkan Peta Batas Wilayah Desa,tetapi menghasilkan Peta Desa yang komprehensifdan berdayaguna karena menyajikan batas wilayahdesa plus data dan informasi P4T setiap bidangtanah serta kondisi, potensi dan permasalahan yangada dalam desa tersebut.

Bagi Kementerian ATR/BPN, model kegiatanseperti ini mempunyai banyak keuntungan. PetaDesa yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untukperencanaan, pelaksanaan dan evaluasi tugas danfungsi BPN. Misalnya menyediakan potensi obyekReforma Agraria sebanyak 9 juta hektar sesuaidengan RPJMN Bidang Pertanahan 2015-2019, in-put bagi sistem informasi pertanahaan, evaluasitanah terlantar serta penyelesaian konflik dansengketa pertanahan dan lain sebagainya.

G. Daftar Pustaka

Bambang S. Widjarnako 2006, Manajemen pertana-han berbasis masyarakat, Kantor WilayahBPN Provinsi Jawa Tengah.

Direktorat Landreform 2014, Petunjuk pelaksanaankegiatan landreform, BPN RI.

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan 2015, Pre-sentasi kerangka RPJMN 2015-2019 bidangpertanahan, Kementerian PPN/Bappenas.

Joyo Winoto 2008, Land for justice, welfare,sustainability and social harmony, BPN RI.

Silalahi, S.B. 2004, Peta perjalanan UUPA, PidatoPengukuhan Guru Besar dalam Bidang IlmuTanah, Ilmu Sumber Daya Fisik Wilayah danTata Guna Tanah, Manajemen Pertanahan,UNB, Bogor.

Sulaiman Daud 2012, Pemetaan partisipatif,http://www.academia.edu/3647639/ Pemetaan-Partisipatif.

Peraturan Perundang-undanganPeraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ten-

tang Pendaftaran Tanah.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ten-

tang Pendaftaran Tanah.

Page 81: DASDSAD - PPPM

INTERAKSI KEPENTINGAN DALAM PENENTUANBEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH

Priyo Katon Prasetyo1

AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan atau (BPHTB) is a tax given by the Central Government to the Local Govern-ment. This is based on the Law No. 28 of 2009. Magelang Regency, as a local government, which was given the duty, hasprepared regulations in the form of Regional Regulation (Perda) No 13 of 2010. In collecting the taxes, the Magelang Regencydelegates to Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKAD). Based on the above order, the verification processof the deeds made by the Land Deed Officials was done. It was proved that the process took a longer time than that of theprocess before it was delegated. The determination of NJOP at the beginning of the year was also late. This causes the processof making the deeds was done later than the time already determined. The dual interest in determining BPHTB in Magelangregency needs to be cooperated so that both parties are accommodated.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: BPHTB, dual interest.

AbstrakAbstrakAbstrakAbstrakAbstrak: Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan atau (BPHTB) merupakan pajak yang telah dilimpahkan oleh Pemerinatah Pusatkepada Pemerintah Daerah berdasarkan Undang Undang No 28 Tahun 2009, Kabupaten Magelang sebagai daerah yang menerimapelimpahan kewenagan tersebut telah mempersiapkan perangkat peraturan perundang-undangan berupa Perda No 13 Tahun2010, Dalam melakukan pemungutan pajak Pemerintah Kabupaten Magelang mendelegasikan kewenangannya kepada DinasPengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKAD), Kabupaten Magelang untuk melakukan pemungutan pajak. Atas dasarhal itu maka dilakukan proses verifikasi atas akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Verifikasi yang dilakukanternyata mememerlukan waktu yang lebih lama dari pada waktu sebelum ada pelimpahan, sementara itu dalam penentuan NJOPdi awal tahun juga mengalami keterlambatan. Hal ini menyebabkan pengunduran tanggal dalam pembuatan akta. Interaksikepentingan yang terjadi di dalam penentuan BPHTB di Kabupaten Magelang, mmerlukan sinergi agar kepentingan seluruhpihak terakomodir..Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: BPHTB, Interksi kepentingan

A. Pengantar

Dengan berlakunya Undang- Uundang Nomor28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan RetribusiDaerah diamanatkan bahwa beberapa pajak yangselama ini menjadi kewenangan pemerintah pusatdiserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai salah satu sumber pendapatan daerah,yang antara lain Bea Perolehan Hak Atas Tanah danBangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan

Bangunan/Nilai Jual Obyek Pajak. Kewenanganpenarikan Bea Perolehan Hak Atas Tanah danBangunan telah sepenuhnya dilaksanakan olehpemerintah daerah kabupaten/kota sejak 1 Januari2011, namun Pajak Bumi dan Bangunan baru akandiserahkan pemerintah daerah kabupaten/kotapaling lambat 31 Desember 2013. Pemerintah daerahperlu menentukan nilai obyek pajak yang dalamhal ini BPHTB dan PBB yang up to date, adil, dantransparan sebagai sumber pendapatan.

Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1), disebutkanbahwa obyek pajak BPHTB ini merupakan pero-lehan hak atas tanah dan bangunan, yang secara

1 Penulis adalah staf Pengajar di Sekolah TinggiPertanahan Nasional, email:[email protected]

Diterima: 11 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 23 Mei 2015

Page 82: DASDSAD - PPPM

75Priyo Katon Prasetyo: Interaksi Kepentingan dalam Penentuan ...: 74-83

rinci antara lain :

Tanah termasuk tanaman yang ada di atasnya; Tanahdan bangunan; dan Bangunan. Dari beberapa jenisatau kategori tersebut, Nilai Perolehan Obyek Pajak(NPOP) merupakan dasar pengenaan BPHTB. Keten-tuan NPOP untuk setiap perolehan hak yang dike-nakan BPHTB tentunya berbeda-beda. Berdasarketentuan tersebut disebutkan di dalam Pasal 87Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 yaitu NPOPdalam hal: Jual beli adalah harga transaksi, Tukarmenukar adalah nilai pasar, Hibah adalah nilai pasar,Hibah wasiat adalah nilai pasar, Waris adalah nilaipasar, Pemasukan dalam perseroan atau badan hukumlain adalah nilai pasar, Pemisahan hak yangmengakibatkan peralihan adalah nilai pasar, Peralihanhak karena pelaksanaan putusan hakim yangmempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar,Penggabungan usaha adalah nilai pasar, Peleburanusaha adalah nilai pasar, Pemekaran usaha adalah nilaipasar, Hadiah adalah nilai pasar, dan/atau Penunjukanpembeli dalam lelang adalah harga transaksi yangtercantum dalam risalah lelang. Dasar pengenaanBPHTB adalah nilai perolehan objek pajak bisa berupanilai transaksi ataupun nilai pasar dengan besar pajaksebesar 5% dari nilai perolehan objek pajak,sedangkan objek pajak tidak kena pajak ditetapkansebesar 60.000.000 untuk setiap wajib pajak2

Selain mengetahui NPOP sebagai dasar di dalampengenaan BPHTB, perlu juga untuk mengetahuiNilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak(NPOPTKP). Hal ini penting karena NPOPTKPyang ditetapkan untuk setiap kabupaten/kota ber-beda-beda. Perbedaan di dalam pengenaanNPOPTKP di masing-masing daerah disesuaikandengan nilai pasar dan NJOP PBB di daerahtersebut. Penetapan NPOPTKP tersebut diaturdengan peraturan daerah/kota yang tidak berlakusurut serta tidak boleh bertentangan denganketentuan dalam Undang-undang Nomor 28 Ta-hun 2009. Mengacu pada undang-undang tersebututamanya Pasal 53 ayat (3) disebutkan bahwa :

Dalam hal peraturan daerah bertentangan dengankepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuanganmerekomendasikan pembatalan peraturan daerahdimaksud kepada Presiden melalui Menteri DalamNegeri.3

Di era otonomi daerah dewasa ini, ada kewe-nangan mengenai pajak yang telah dialihkan ataudiserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerahyang dirasa sangat penting untuk menopang rumahtangga bagi pemerintahan di daerah, baik untukdaerah provinsi maupun kabupaten/kota.

Dalam upaya menyederhanakan dan memperbaikijenis dan struktur pajak daerah, meningkatkanpendapatan daerah, memperbaiki sistem perpajakan,dan distribusi daerah maka telah terbit Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerahdan Retribusi Daerah. Penerbitan UU tersebutmerupakan langkah yang sangat strategis untuk lebihmemantapkan kebijakan desentralisasi fiskal,khususnya dalam rangka membangun hubungankeuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yanglebih ideal. 4

Salah satu kabupaten yang melaksanakandesentraliasai f iskal adalah Kabupaten Magelangyang berdasarkan UU No. 2 Tahun 1948 beribukotadi Kota Mungkid. Pada tahun 1950 berdasarkan UUNo. 13 Tahun 1950 Kota Magelang berdiri sendiridan diberi hak untuk mengatur rumah tangga sen-diri, sehingga ada kebijaksanaan untuk memindahibu kota kabupaten ke daerah lain. Ada dua alterna-tif ibu kota sebagai penganti Kota Magelang,yaitu Kawedanan Grabag atau Kawedanan Muntilan,namun kedua daerah ini ditolak. Pada tanggal 22Maret 1984, Kecamatan Mertoyudan bagian selatandan Kecamatan Mungkid bagian utara dipilihsecara resmi sebagai ibu kota Kabupaten Magelang

2 Indra Ismawan, 2000, Memahami Reformasi Perpa-jakan, Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia,Jakarta.

3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentangPajak Daerah dan Retribusi Daerah

4 http://litbang.magelangkota.go.id/...undang-undang-nomor-28-tahun-2009-tentang-pajak-daerah-dan-retribusi-daerah. Diunduh : 13 Februari 2014 Jam 19.36 WIB

Page 83: DASDSAD - PPPM

76 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

oleh Gubernur Jawa Tengah dengan nama KotaMungkid.

Secara geografis keberadaan Kabupaten Mage-lang terletak di cekungan sejumlah rangkai-an pegunungan. Di bagian timur (perbatasandengan Kabupaten Boyolali) terdapat GunungMerbabu (3.141 m dpl) dan Gunung Merapi (2.911m dpl). Di bagian barat (perbatasan denganKabupaten Temanggung dan Kabupaten Wono-sobo) terdapat Gunung Sumbing (3.371 m dpl). Dibagian barat daya terdapat rangkaian Bukit Meno-reh. Pada bagian tengah mengalir Kali Pro-go beserta anak-anak sungainya menuju selatan. DiKabupaten Magelang juga terdapat Kali Elo yangmembelah dua wilayah ini. Pertemuan kembalikedua kali tersebut terletak di Desa Progowati yangkonon dahulu di tempat itu lebih banyak pendudukberjenis kelamin wanita daripada pria.

Kabupaten Magelang berada di wilayah ProvinsiJawa Tengah dengan luas wilayah kurang lebih108.573 ha dan jumlah penduduknya 1.181.916 jiwa.Kabupaten Magelang dibagi dalam 21 kecamatan,5 kelurahan, dan 367 desa dengan prakiraaanjumlah bidang tanah 939.889. Dari jumlah bidangtanah di Kabupaten Magelang tersebut yang sudahbersertipikat/terdaftar 348.108 bidang atau sekitar37%.

B. Kepentingan Pemerintah Daerah

BPHTB merupakan salah salah satu jenis pajakyang menjadi salah satu andalan PemerintahDaerah dalam menggali pendapatan daerah, tetapidalam pelaksanaannya memerlukan dukungansumber daya manusia dan prasarana yang lain,misalnya pembuatan tabel Nilai Jual Obyek Pajak(NJOP). Pemerintah Daerah perlu mempunyaisumber daya manusia yang mampu melakukanpenilaian terhadap suatu obyek pajak. Bila sumberdaya manusia di tingkat Pemerintah Daerah belummemadai, maka dalam menentukan besaran NJOPakan terkendala, sehingga terjadi keterlambatan da-lam pembuatan tabel besaran NJOP yang menjadi

acuan PPAT, atau bisa jadi harga yang tertera dalamtabel besaran NJOP lebih kecil dari harga yangberlaku atau harga pasar.

Penetapan NJOP dilakukan olah DPPKAD, yangsering menjadi permasalahan antara lain seringnyaketerlambatan di dalam penetapan surat keputusanpenetapan NJOP. Permasalahannya SK PenetapanNJOP ini tidak dapat dikeluarkan pada awal tahunyaitu karena NJOP belum pasti. Hal seperti ini terja-di pada awal tahun, sehingga mengakibatkanpengunduran tanggal dan dibuat perkiraan ke-naikan NJOP. Akibatnya SK NJOP dan waktuvalidasi kurang lebih 3 hari.

Dengan lebih lamanya waktu yang diperlukandalam penentuan proses validasi, dibandingkanpada waktu sebelum dilimpahkannya urusanpembayaran dan penentuan besaran pajak yangharus ditanggung oleh wajib pajak menyebabkanketerlambatan dalam pekerjaan-pekerjaan yanglain. Hal ini tidak akan terjadi bila dalam pelim-pahan BPHTB dari Perintah Pusat kepada Peme-rintah Daerah ditindaklanjuti oleh peraturan dansumber daya manusia yang memadai.

Pada awal penerapan BPHTB kewenangan yangtelah diberikan kepada daerah berdasarkanperundang-undangan belum bisa berjalan denganlancer. Diduga hal ini dikarenakan kurangnyasarana dan prasarana. Contoh pada tanggal pem-bayaran BPHTB lewat PPAT paling lambat (lama)selisih satu hari. Selama ini keluhan–keluhan yangmuncul di kalangan di PPAT adalah sumber dayamanusia di jajaran DPPKAD belum siap. Ketidak-lancaran tersebut berjalan sekitar satu bulan sejakPerda No 13 Tahun 2010 di Kabupaten Magelangditerbitkan.5

Dari ungkapan-ungkapan informan tersebut,mengemuka sebuah kenyataan bahwa dengandiberikannya mandat oleh undang-undang kepadaPemerintah Daerah untuk mengelola BPHTB setiap

5 Wawancara dengan Kepala Seksi HT & PT tanggal20 Maret 2014.

Page 84: DASDSAD - PPPM

77Priyo Katon Prasetyo: Interaksi Kepentingan dalam Penentuan ...: 74-83

daerah perlu menyiapkan diri, baik berupa saranadan prasarana maupun sumbar daya manusia agarmampu melaksanakan amanat undang-undang.Tetapi Pemerintah Daerah Kabupaten Magelangbelum mempersiapkan diri dengan optimal(walaupun sudah ada langkah-langkah yangdiambil). Peraturan Daerah No 13 Tahun 2010tentang Pajak Daerah, hanya mengatur penetapanbesarnya NJOP. SK NJOP pada awal tahun tidakdapat diterbitkan, sehingga pemberian tanggaldalam akta yang dibuat oleh PPAT tidak seperti yangterjadi sebenarnya (tanggal mundur).

Tidak dapat dipungkiri bahwa BPHTB merupa-kan salah satu sumber keuangan yang bisa dian-dalkan daerah. Dalam perimbangan Keuanganantara Pemerintah Pusat dan PemerintahanDaerah. Subsistem Keuangan Negara memberikonsekuensi berupa pembagian tugas antaraPemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pem-berian sumber keuangan Negara kepada Pemerin-tahan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentra-lisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh Peme-rintah Pusat kepada Pemerintah Daerah meru-pakan upaya stabilitas dan keseimbangan f iskal.

Perimbangan Keuangan antara PemerintahPusat dan Pemerintahan Daerah juga merupakansuatu sistem yang menyeluruh dalam rangkapendanaan penyelenggaraan asas desentralisasi,dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dana bagihasil bersumber dari pajak dan sumber daya alamantara lain meliputi kehutanan, pertambanganumum, perikanan, pertambangan minyak bumi,pertambangan gas bumi, dan pertambangan panasbumi. Sementara itu dana bagi hasil yang bersum-ber dari pajak terdiri atas Pajak PBB dan BPHTBserta Pajak Penghasilan (PPh).

Pembagian dana bagi hasil dari penerimaan PBBdan BPHTB dibagi antara daerah provinsi, daerahkabupaten/kota, dan Pemerintah. Dana bagi hasildari penerimaan PBB sebesar 90% (sembilan puluhpersen) untuk daerah dengan rincian sebagai beri-kut: 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk

daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkanke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, 64,8%(enam puluh empat koma delapan persen) untukdaerah kabupaten/kota yang bersangkutan dandisalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabu-paten/kota, 9% (sembilan persen) untuk biaya pe-mungutan. 10% (sepuluh persen) bagian pemerin-tah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruhdaerah kabupaten dan kota yang didasarkan atasrealisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan,dengan imbangan sebagai berikut: 65% (enampuluh lima persen) dibagikan secara merata kepadaseluruh daerah kabupaten dan kota; dan 35% (tigapuluh lima persen) dibagikan sebagai insentifkepada daerah kabupaten dan kota yang realisasitahun sebelumnya mencapai/melampaui rencanapenerimaan sektor tertentu.

C. Kepentingan Kantor Pertanahan

Salah satu tugas Kementerian Agraria dan TataRuang/Badan Pertanahan Nasional, yang dalam halini menjadi tugas Kantor Pertanahan KabupatenMagelang adalah percepatan pendaftaran tanah.Hal ini diamanatkan dalam Pasal 19 UUPA yaituuntuk menjamin kepastian hukum, pemerintahmengadakan pendaftaran tanah. Dalam usahapercepatan inilah maka proses penentuan BPHTBmenjadi bagian dari proses pendaftaran tanah.Cepat atau lambatnya proses penentuan BPHTByang dijalankan oleh para pihak, PPAT danDPPKAD akan berpengaruh terhadap kelancaranproses pendaftaran di kantor pertanahan.

Dengan diterbitkanya Surat Edaran KepalaBadan Pertanahan Nasional Republik IndonesiaNomor 500-1757 Tahun 2004 bahwa setiap jenispelayanan pendaftaran hak atas tanah dan peralihanhak atas tanah yang dilakukan di kantor perta-nahan, terlebih dahulu disyaratkan untuk melaku-kan verif ikasi bukti setoran pembayaran BPHTBpada instansi yang berwenang. Tetapi setelah dite-tapkan Surat Edaran Kepala Badan PertanahanNasional Republik Indonesia Nomor 5/SE/IV/2013,

Page 85: DASDSAD - PPPM

78 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

verif ikasi bukti setoran pembayaran BPHTB tidaklagi diperlukan dalam setiap jenis pelayananpendaftaran dan peralihan hak atas tanah. Padakenyataannya Kantor Pertanahan KabupatenMagelang belum dapat menerapkan Surat Edarandimaksud dengan alasan Surat Edaran KBPN (tidakperlu dilakukan validasi) tidak dapat diberlakukan,validasi (atas inisiatif PPAT) tetap dilakukan agartidak terkendala.

Dari ungkapan tersebut mengandung maknabahwa surat edaran yang di terbitkan oleh KepalaBPN RI untuk tidak melakukan proses validasiBPHTB, tidak bisa dilaksanakan dengan alasantidak mau terkendala dalam proses selanjutnyaatau malah menterjemahkannya sama dengantetap harus melakukan validasi dalam bentuk lain.

Hal ini mengindikasikan tentang belum adanyakoordinasi yang baik antara instansi BPN denganDPPKAD dalam hal verif ikasi, berkoordinasi dantercapai kesepakatan maka kendala dalam halverif ikasi dapat diatasi. Proses validasi yangdilaksanakan oleh PPAT dan Kantor PertanahanKabupaten Magelang selama ini membuat waktuproses pendaftaran tanah menjadi lebih panjang

Sementara itu buruknya pelayanan publikselama ini menjadi salah satu variabel penting yangmendorong munculnya krisis kepercayaanmasyarakat kepada pemerintah, yang teraktualisasidalam bentuk protes dan demonstrasi yangcenderung tidak sehat, karena menunjukkankefrustasian publik terhadap pemerintahnya.Perbaikan pelayanan publik mutlak diperlukan,agar image buruk masyarakat kepada pemerintahdapat diperbaiki. Perbaikan kualitas pelayananpublik yang semakin baik, dapat mempengaruhikepuasan masyarakat, sehingga kepercayaanmasyarakat terhadap pemerintah dapat dibangunkembali. Konstruksi model kebijakan dalamkerangka kebijakan publik sangat dipengaruhi olehmesin birokrasi sebagai motor penggerak utamadalam merealisasikan tugas pemerintahan negara,yang sangat ditentukan efektivitas dan efesiensi

birokrasi dalam mengaplikasikan kebijakan pela-yanan publik. 6

Kompetensi pelayanan prima yang diberikanoleh aparatur pemerintahan kepada masyarakat,selain dapat dilihat dalam Keputusan MenpanNomor 81 Tahun 1993, juga dipertegas dalamInstruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentangPeningkatan Kualitas Aparatur Pemerintah KepadaMasyarakat. Oleh karena itu, kualitas pelayanankepada masyarakat saat ini tidak dapat diabaikanlagi bahkan hendaknya disesuaikan dengantuntutan globalisasi.

Ada beberapa kategori teknik analisis dalammengkaji pelayanan prima, seperti analisis makrodan analisis mikro. Serta analisis Mc. Kinsey yangmengkaitkan upaya pelayanan prima dengan 7(tujuh) unsur S, terdiri dari: Strategi, Struktur,System, Staff, Skill, Style, Share Value.7

Tuntutan dibuatnya “Standar Pelayanan Prima”didasarkan pada pandangan bahwa: The customeris always right. If the customer is wrong, see rulenumber one

Meskipun rumusan diatas seperti sesuatu yangtidak serius, namun mengandung konsekuensipenting yakni adanya tuntutan untuk terus mem-perhatikan secara serius terhadap kepentinganpelanggan dan pengembangan pelayanan primayang tetap terpusat pada manusia. Jika dikaitkandengan masalah kepemimpinan sering diung-kapkan bahwa “Excellence starts at the top… lead-ership by example”.

Kepuasan pelanggan (masyarakat) dapat dicapaiapabila aparatur pemerintah yang terlibat langsungdalam pelayanan, dapat mengerti dan menghayatiserta berkeinginan untuk melaksanakan pelayananprima. Untuk dapat melaksanakan pelayananprima, unsur aparatur seyogyanya mengerti dan

6 Lijan Poltak Sinambela,dkk, Reformasi PelayananPublik :Teori, Kebijakan dan Implementasi.

7 Sudarsono Hardjosoekarto dalam Bisnis danBirokrasi Nomor 3/Vol. IV/September 1994 , p. 16.

Page 86: DASDSAD - PPPM

79Priyo Katon Prasetyo: Interaksi Kepentingan dalam Penentuan ...: 74-83

memahami apakah kepemimpinan pelayan itu?dan siapakah pemimpin pelayan?

Kepemimpinan pelayan membahas realitaskekuasaan dalam kehidupan sehari-hari yangmeliputi legitimasi, kekangan etika dan hasil yangmenguntungkan yang dapat dicapai melaluipenggunaan kekuasaan yang semestinya. LarrySpears dalam karyanya Greenleaf mengidentif ikasisepuluh ciri khas pemimpin pelayan, yakni mampu:mendengarkan, berempati, menyembuhkan,berkesadaran, membujukan atau persuasif,konseptualisasi, meramalkan, melayani, berko-mitmen terhadap pertumbuhan manusia, danmembangun masyarakat.

Kepemimpinan pelayan seperti yang dikemu-kakan di atas dapat bermakna terhadap masyarakatpelanggannya apabila aparatur pelayan (pemerin-tah) sungguh-sungguh memperhatikan beberapadimensi atau atribut perbaikan kualitas jasa terma-suk kualitas pelayanan yang terdiri dari: ketepatanwaktu pelayanan, akurasi pelayanan, kesopanan,keramahan dalam memberikan pelayanan, tang-gung jawab, kelengkapan, kemudahan mendapat-kan pelayanan, variasi model pelayanan, pelayananpribadi, kenyamanan dalam memperoleh pela-yanan serta atribut pendukung pelayanan lainnya.

D. Kepentingan PPAT

Salah satu konsep dasar dalam memuaskanpelanggan, minimal mengacu pada keistimewaanyang terdiri dari sejumlah keistimewaan produk,baik keistimewaan langsung maupun keistime-waan atraktif yang dapat memenuhi keinginanpelanggan dan dengan demikian dapat membe-rikan kepuasan dalam penggunaan produk itu.Salah satu produk pelayanan pertanahan adalahsertipikat hak atas tanah. Pelanggan atau konsumenakan merasa puas atau semakin puas apabila serti-pikat tanah yang dihasilkan oleh kantor pertanahanmempunyai keunggulan atau keistimewaan dalammemberi jaminan kepastian hukum.

Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas

dari kekurangan atau kerusakan. Kualitas selaluberfokus pada kepentingan/kepuasan pelanggan(customer focused quality) sehingga dengandemikian produk-produk didesain, diproduksi,serta pelayanan diberikan untuk memenuhikeinginan pelanggan. Kualitas produk layananpertanahan haruslah diutamakan, misalnya kuali-tas sertipikat tanah dapat dinilai dari fungsinyadalam memberikan jaminan kepastian hukumterhadap subyek maupun obyek hak atas tanah.Kualitas mengacu pada segala sesuatu yang menen-tukan kepuasan pelanggan, suatu produk yangdihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabilasesuai dengan keinginan pelanggan, dapat diman-faatkan dengan baik serta diproduksi dengan carayang baik dan benar.

Ketika kualitas produk (sertipikat hak atas ta-nah) diletakkan pada konteks BPHTB maka pene-tapan NJOP yang dilakukan olah DPPKAD seringterjadi pada awal tahun karena SK Penetapan NJOP,ini disebabkan NJOP belum dibuat. Kondisi iniberakibat pada pengunduran tanggal dan kenaikanNJOP yang hanya perkiraan.

Hal ini seharusnya tidak terjadi bila dalampelimpahan BPHTB dari Pemerintah Pusat kepadaPemerintah Daerah segera ditindaklanjuti denganperaturan daerah dan sumber daya manusia yangmemadai. Pada awal penerapan BPHTP yang telahdilimpahkan kepada Pemerintah Daerah berda-sarkan perundang-undangan belum bisa berjalandengan lancar, karena kurangnya sarana danprasarana. Tanggal pembayaran BPHTB melaluiPPAT paling lambat (lama) selisih satu hari. TetapiPPAT mengeluhkan adalah sumber daya manusiadi jajaran DPPKAD belum siap, setelah berjalansekitar satu bulan Perda No 13 Tahun 2010 diKabupaten Magelang.8

Ada istilah “podho ngertine” antara penjual danpembeli, yang memiliki makna positif dan negatif.

8 Wawancara dengan Kepala Seksi HT & PT tanggal20 Maret 2014.

Page 87: DASDSAD - PPPM

80 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

Dapat dipahami positif apabila penjual dan pembelitidak mempermasalahkan besaran yang akan ditanggung masing masing. Sebaliknya akan dapatdipahami negatif apabila atara penjual dan pembelimengadakan kesepakatan untuk menurunkan nilaidalam transaksi agar tidak sesuai dengan kenya-taannya. Hal ini mungkin sekali dilakukan untukmenurunkan BPHTB atau menurunkan hargasampai tidak kena pajak.

Lambatnya validasi dan penerbitan SK NJOPyang dilakukan oleh DPPKAD, menunjukaan ku-rangnya koordinasi atau ketidakpercayaanDPPKAD terhadap lembaga yang lain (PPAT danBPN). Ada hal yang kurang jelas tentang besaranpajak yang harus dibayarkan oleh para pihak. Bilayang diacu adalah NJOP yang ditetapkan olehDPPKAD, nilai transakasi yang lebih kecil dari NJOPharus dinaikkan dari harga yang tertera dalamNPOP atau diistilahkan (NJOP Plus).

E. Kepentingan Masyarakat

Masyarakat adalah pihak yang tidak terlibat lang-sung dalam penentuan BPHTB, tetapi merupakanpihak yang memberikan informasi awal tentangterjadinya kesepakatan dalam transaksi yangberkaitan dengan subyek (tanah). Informasi inilahyang menjadi dasar seorang PPAT dalam menen-tukan suatu transaksi atau kesepakatan tentang hakatas tanah yang terkena ketentuan BPHTB dan besar-nya BPHTB yang harus di tanggung oleh masyarakat.

Persepsi masyarakat tentang tentang sertipikathak atas tanah berkaitan dengan manfaat sertipikatsebagai bukti kepemilikan yang kuat. Sertipikatmemberi rasa aman, dan tanah yang sudah ber-sertipikat lebih mudah dijual. Oleh karena itu,sertipikat hak atas tanah mampu meningkatkanharga jual. Selain itu sertipikat hak atas dapat dija-dikan jaminan kredit.9

Dalam hal pemanfaatan hak atas tanah yangsudah terdaftar (bersertipikat) sebagai agunanuntuk mendapatkan kredit dari lembaga keuanganatau bank, didukung oleh adanya perlindunganbagi pemberi kredit. Hal ini memudahkan merekadalam menentukan jumlah pinjaman dan pema-sangan hak tanggungan terhadap tanah yang dija-dikan agunan. Rasa aman yang didapatkan seseo-rang yang telah mengikuti legalisasi aset atau telahmempunyai sertipikat hak atas tanah, menyebab-kan berkurangnya permasalahanan atau konflikbaik berupa sengketa batas ataupun keabsahankepemilikan. Hal ini dikarenakan dalam prosespenerbitan hak atas tanah telah melalui proses yangdapat meminimalkan permasalahan dikemudianhari. Kata kuncinya berupa kesepakatan atas nilaidan norma yang berlaku di masyarakat.

Kesepakatan atas nilai dan norma digunakansebagai media kehidupan sosial dan sebagai matarantai yang menghubungkan transaksi sosial.Norma dan nilai memungkinkan pertukaran sosialtak langsung dan menentukan proses integrasi dandeferensiasi sosial dalam struktur sosial yangkompleks dan menetukan perkembangan organi-sasi dan reorganisasi sosial di dalamnya.10

Sementara itu dalam konteks kesepakatan,Emerson menawarkan teori pertukaran yangmemusatkan perhatian utamanya pada keun-tungan yang didapat dan kontribusi yang disum-bangkannya dalam proses interaksi sosial.11 Kese-pakatan sebagai salah satu komponen dalampenentuan besarnya BPHTB yang harus ditang-gung, merupakan kunci bagi terjadinya transaksiyang kemudian disahkan /dilegalkan denganpembuatan akta oleh PPAT. Berdasarkan kesepakanmaka diupayakan agar masing-masing pihakmendapatkan manfaat dari hal-hal merekakerjakan.

9 Sugiyanto, Hermanto Siregar, Indriatmo Soetarta,2008, Analisis Dampak Pendaftaran Tanah SistematisTerhadap Kondisi Social Ekonomi Masyarakat di Kota Depok,Jurnal manajemen & Agribisnis Vo 5 No Oktober 2008,IPB Bogor.

10 George Ritzer, Douglas J. Goodman, 2008, TeoriSosiologi Modern, edisi ke enam, Kencana, Jakarta.

11 Ibid. hal 375.

Page 88: DASDSAD - PPPM

81Priyo Katon Prasetyo: Interaksi Kepentingan dalam Penentuan ...: 74-83

F. Interaksi Para Pihak

Dalam proses penentuan BPHTB yang meli-batkan berbagai pihak diperlukan keselarasan atausinergi dalam pelaksanaannya, agar semua berjalandengan baik dan lancar. DPPKAD sebagai lembaga/dinas di Pemerintahan Daerah boleh saja berupayamendapatkan pemasukan/pendapatan dari prosesperalihan hak atas tanah, tetapi mereka harusmemiliki sumber daya manusia yang berkualitasagar dapat membuat besaran harga yang dican-tumkan dalam NJOP dengan cepat. Sehingga padaawal tahun sudah dapat dilihat besaran NJOP yangada di tiap wilayah serta dapat dilakukan prosesverif ikasi dengan cepat.

Sementara itu Kantor Pertanahan dalam mela-kukan tugas percepatan pendaftaran tanah, ber-gantung pada proses verif ikasi. Untuk itu DPPKADperlu melakukan sosialisasi ke masyarakat melaluipenyuluhan bagi pemahaman masyarakat tentangproses yang harus dilalui pada pendaftaran danperalihan hak atas tanah.

Pada pihak lain PPAT dalam tugas membuat aktayang berkaitan dengan peralihan hak atas tanahberkaitan langsung dengan para pihak atau masya-rakat yang menghadap. Dalam hal ini hendaknyadapat memberikan pemahaman tentang proses danbesaran pajak yang harus ditanggung, selain mem-punyai kewajiban untuk segera mendaftarkan aktayang telah dibuat berdasarkan undang-undang.

Selain itu masyarakat atau para pihak yangmelakukan transaksi atau kesepakatan tentangpendaftaran atau peralihan hak atas tanah, hendak-nya mempunyai kesadaran tentang beban atau pajakyang harus ditanggung, serta harus mempunyaikejujuran atas nilai atau harga yang telah disepakati.

Dalam teori fungsional struktural masyarakatmerupakan suatu sistem sosial yang terdiri atasbagian-bagian atau elemen yang saling berkaitandan saling menyatu dalam keseimbangan. Peru-bahan yang terjadi pada satu bagian akan membawaperubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsidasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem

sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknyakalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akanada atau akan hilang dengan sendirinya.12

Berdasarkan dari teori itu maka kesepakatanatau kompromi yang bisa diambil adalah dengankerja sama antara aparat Kantor Pertanahan danDPPKAD melalui pembuatan peta zona nilai tanahyang dapat dipergunakan dalam penentuan NJOPdan melakukan sosialisasi kepada masyarakat. PetaZona nilai tanah (ZNT) akan memudahkanpenentuan pemasukan bagi Pemerintah Daeraholeh DPPKAD sehingga memudahkan verif ikasi.Dengan demikian keluhan PPAT dapat teratasi danmasyarakat dapat mengetahui dengan mudahbesaran pajak yang harus dibayar.

G. Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang bisa diambil dariuraian di atas adalah:a. Dalam penetapan BPHTB yang mengacu pada UU

Nomor 28 Tahun 2009 masih memerlukan waktuyang relatif lama karena adanya proses validasi.

b. Kesiapan sumber daya manusia di DPPKADbelum maksimal karena belum bisa memper-cepat proses pelayanan.

c. Ada perbedaan kepentingan dalam hal pe-nanganan BPHTB antara DPPKAD, KantorPertanahan, PPAT dan Masyarakat.Hal-hal di atas kiranya membutuhkan upaya

terus menerus untuk melakukan penyempurnaan.Berbagai upaya yang dapat diusulkan seperti:a. Koordinasi dan kerja sama antar instansi meru-

pakan jawaban dalam mengatasi hambatanyang terjadi dalam proses pemungutan danvalidasi BPHTB.

b. Keterlambatan dalam proses validasi dapatdisiasati dengan meningkatkan dan menambahsumber daya manusia dan sarana dan prasaranadi DPPKAD.

12 George Ritzer, 2002, Sosiologi Ilmu PengetahuanBerparadigma Ganda, penerjemah Alimadan-Ed, cetakanke 2, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta , p. 21.

Page 89: DASDSAD - PPPM

82 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

Daftar Pustaka

Bambang Prakoso, Kesit 2005, Pajak dan RetribusiDaerah, Edisi Revisi, UII Press, Yogyakarta

Direktorat PBB dan BPHTB, Penerimaan PBB danBPHTB Tahun 1996-2000.

http://litbang.magelangkota.go.id:implikasi-pemberlakuan-undang-undang-nomor-28-tahun-2009-tentang-pajak-daerah-dan-retribusi-daerah&catid=16:kajian-isu-isustrategis&Itemid=22. Diunduh : 13 Februari2014 Jam 19.36 WIB

Indonesia, Memori Penjelasan Undang-undangNomor 21 Tahun 1997 tentang Bea PerolehanHak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Ismawan, Indra 2000, Memahami ReformasiPerpajakan, Elex Media Komputindo, Kelom-pok Gramedia, Jakarta.

Ispriyarso, Budi 2005, Aspek Perpajakan DalamPengalihan Hak Atas Tanah dan/atauBangunan Karena Adanya Transaksi Jual Beli,Masalah-masalah Hukum Volume 34 No. 4,Oktober-Desember 2005.

Kaho & Riwu, Josef 1998, Prospek Otonomi Daerahdi Negara Republik Indonesia, Identif ikasiBeberapa Faktor yang Mempengaruhi Penye-lenggaraannya, PT. Raja Graf indo Persada,Jakarta.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direk-torat Jenderal Perimbangan, 2011, Keuangan,Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Pero-lehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)Menjadi Pajak Daerah, Jakarta.

Mardiasmo, 2002, Perpajakan, Edisi Revisi, Andi,Yogyakarta

Mardijaya, Tri 2014, Implikasi Penghapusan Veri-vikasi BPHTB Terhadap Pelayanan Pertanahan,Skripsi (tidak diterbitkan), Yogyakarta.

Moleong, Lexy 2010, Metodologi Penelitian Kuali-tatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Nugroho, Aristiono 2012, Pengetahuan RingkasMetode Penelitian Kualitatif, STPN Press,Yogyakarta

____, 2014, Seeds for a Better Tomorrow, Empower-ment of Society Institute, Yogyakarta.

Pudiatmoko, Sri 2002, Pengantar Hukum Pajak,Penerbit Andi, Yogyakarta.

Poltak Sinambela,dkk. Lijan 2008, “ReformasiPelayanan Publik: Teori, Kebijakan danImplementasi, Bumi Aksara, Jakarta.

Redaksi Sinar Grafika, 2002, Seri Perpajakan PBB,Sinar Garfika, Jakarta.

Ritzer, G 2002, Sosiologi Ilmu PengetahuanBerparadigma Ganda. Alimadan-Ed, cetakanke 2, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta

Ritzer, G &. Goodman, DJ 2008, Teori SosiologiModern, edisi ke enam, Kencana, Jakarta.

Santoso Brotodiharjo, R.1987, Pengantar IlmuHukum Pajak, Cet. 3, PT. Eresco, Bandung.

Siahaan, Marihot P 2003, Bea Perolehan Hak AtasTanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek, EdisiI, Cet. I, PT. Raja Grafindo, Jakarta

Suandi, Erly 2002, Hukum Pajak, Salemba Empat,Jakarta.

Sudarsono Hardjosoekarto dalam Bisnis danBirokrasi Nomor 3/Vol. IV/September 1994, p.16.

Sugiyanto, Hermanto Siregar, Soetarta, Endriatmo2008, Analisis Dampak Pendaftaran TanahSistematis Terhadap Kondisi Social EkonomiMasyarakat di Kota Depok, Jurnal manajemen& Agribisnis Vo 5 No Oktober 2008, IPB Bogor.

Sugiyono, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif,Alfabeta, Bandung.

Wirawan B. Ilyas, Burton, Richard 2004, HukumPajak, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentangPajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah danBangunan (BPHTB)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 21Tahun 1997 tentang Pajak Bea Perolehan HakAtas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentangPajak Daerah dan Retribusi Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.03/2005 tentang Tata Cara Pembagian Hasil

Page 90: DASDSAD - PPPM

83Priyo Katon Prasetyo: Interaksi Kepentingan dalam Penentuan ...: 74-83

Penerimaan BPHTB antara Pusat dan DaerahPeraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia No. 1 Tahun 2010 tentangStandar Pengaturan dan Pelayanan Perta-nahan (SP3).

Peraturan Kepala Badan Pertanahan NasionalRepublik Indonesia No. 1 Tahun 2013 tentangPola Jenjang Karier Pegawai Negeri Sipil DiLingkungan Badan Pertanahan Republik In-donesia.

Page 91: DASDSAD - PPPM

PENGATURAN ZONING SEBAGAI PENGENDALI PEMANFAATAN RUANG(Studi Kasus Kawasan Preservasi Budaya Kotagede)

Ayu Wahyuningtyas1, Westi Utami2

AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: The development of a historic and aesthetic region such as Kotagede need controlling and managing in order not todegrade its regional image. One of the efforts to maintain the region is that planning the conservation of old bulidings in theform of blocks or zoning. The method used in plaaning the zone is called evaluative method. The result of the evaluation willbe the base of directing the development at Kotagede. Therefore, the space utilization and land use would be optimal. This willsuit with the the function of sustainable environment. The result of the research showed that Kotagede has undergone changesso that it replaces the originality of Kotagede. The formulated concept was blocks which include land use, land parcels, buildinginfrastructures, environments, as well as the elements supporting the buildings.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: spatial planning, blocks, building constructions, preservation, Kotagede

AbstrakAbstrakAbstrakAbstrakAbstrak: Perkembangan kawasan yang bernilai historis dan estetis seperti Kawasan Kotagede perlu dikontrol dan dikendalikanagar tidak menurunkan citra kawasan. Salah satu upaya mempertahankan kawasan adalah rencana penataan pengaturan konservasibangunan kuno yangdituangkan dalam bentuk penataan blok atau zoning.Metode yang digunakan dalam perencanaan adalahmetode evaluatif. Hasil dari evaluasi menjadi dasar untuk melakukan arahan bagi pengembangan di Kotagede, sehingga pemanfaatanruang dan penggunaan tanah dapat dioptimalkan sesuai dengan fungsi kawasan dan keberlanjutan lingkungan.Hasil dari penelitianmenunjukkan bahwa Kotagede telah mengalami banyak perubahan yang mengakibatkan pudarnya karakter asli Kotagede. Konsepyang dirumuskan meliputi blok yang berkaitan dengan penggunaan tanah, perpetakan tanah, infrastruktur bangunan dan lingkungan,dan unsur penunjang bangunan.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: perencanaan tata ruang, blok, bangunan, preservasi, Kotagede

A. Pendahuluan

Pertumbuhan dan pertambahan penduduk3

yang pesat khususnya di daerah kota4, kegiatanperekonomian yang melesat cepat tentunya

membutuhkan ruang atau dalam hal ini “tanah”yang semakin hari semakin terbatas keterse-diaannya. Bertambahnya kegiatan penduduk dikota yang dipicu oleh dua hal tersebut di atasmengakibatkan meningkatnya frekuensi kegiatanpenduduk, sehingga konsekuensi keruangan yaitutuntutan akan ruang untuk mengakomodasi saranaatau struktur f isik semakin bertambah. Berbagaibenturan kepentingan seperti kepentingan

1Penulis adalah Praktisi Bidang PerencanaanWilayah, Alumni Magister Manajemen Bencana UGM.email: [email protected]

2Penulis asisten dosen Sekolah Tinggi PertanahanNasional, Alumni Magister Manajemen Bencana UGM.email: [email protected]

3Determinan pertambahan penduduk kota tidakhanya natural growth, namun juga pengaliran pendudukdari bagian wilayah lain. Pengaliran penduduk danpertumbuhan penduduk/natural growthyang berlangsunglama menyebabkan terjadinya proses densifikasi pendu-duk, pemukiman maupun non pemukiman yang tidakterkendali (Yunus2005).

4Kota dalam pengertian umum sebagai suatu daerah

terbangun yang didominasi penggunaan ruang nonpertanian dengan jumlah penduduk dan penggunaanruang cukup tinggi. Kota dalam pengertian administratifsebagai bentuk pemerintahan daerah yang mayoritaswilayahnya merupakan daerah perkotaan (MulyonoSadyohutomo, MRCP, Manajemen Kota dan Wilayahrealita dan tantangan, Bhumi aksara, 2008).

Diterima: 19 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 27 Mei 2015

Page 92: DASDSAD - PPPM

85Ayu Wahyuningtyas & Westi Utami: Pengaturan Zoning sebagai Pengendali ...: 84-98

individu, kepentingan publik dan kepentinganpembangunan terhadap pemanfaatan ruangseringkali menimbulkan permasalahan sepertipenyimpangan terhadap tata ruang dan salahsatunya menyebabkan kekhasan serta fungsi zonadari suatu wilayah pudar dan suatu saat akan hilang.Yunus (2005) menyebutkan bahwa problematikayang dihadapi daerah kota sebagai konsekuensikebutuhan keruangan mengubah penggunaan danpemanfaatan lahan terbuka hijau untuk pem-bangunan gedung-gedung yang pada akhirnyaberakibat pada kerusakan lingkungan dan timbul-nya urban heat island5. Desakan berbagai kepen-tingan tersebut seringkali menimbulkan berbagaipelanggaran dalam pemanfaatan ruang berupapelanggaran fungsi kawasan, misalnya fungsilindung digunakan untuk budidaya. Pelangggaranyang lain dapat pula pelanggaran jenis penggunaandalam satu fungsi kawasan, misalnya kawasanbudidaya untuk perumahan digunakan untukperdagangan. Dan yang terakhir pelanggaran yang

sering terjadi adalahpelanggaran teknis bangunan,misalnya pelanggaran IMB (Izin MendirikanBangunan), sempadan bangunan, KDB (KoefisienDasar Bangunan), KLB (Koef isien LantaiBangunan) dan ketinggian bangunan.

Pembangunan kota yang mengatasnamakankepentingan umum dan pemenuhan kebutuhanekonomi selain mengakibatkan disparitas kebu-tuhan pangan juga seringkali mengakibatkan ter-abaikannya sektor budaya dan arsitektur tradisio-nal. Hal inilah yang menyebabkan rusaknyakawasan konservasi budaya pada daerah perko-taan6. Terbatasnya ruang hijau pada kawasan kotadan tidak adanya tanah untuk dibangun semakinmendesak kawasan warisan budaya dijadikansebagai incaran untuk pembangunan gedungdengan arsitek modern. Pembongkaran warisanbudaya7 yang telah terjadi yaitu Gedung Proklamasidi Jakarta, Penjara Banceuy tempat Bung Karnoditahan di Bandung,dan dua gedung kuno dikomplek Bale Agung Kraton Solo hendaknyamenjadi pembelajaran terhadap arti pentingnyapengelolaan bangunan kuno serta arsitek tradisio-nal. Tak dipungkiri bahwa beberapa lokasi warisanbudaya terletak pada area strategis seperti kawasanbudaya Kotagede di Yogyakarta, lingkungan Kasul-tanan Solo, gedung lawang sewu di jantung kotaSemarang, dan masih banyak lagi peninggalanwarisan budaya serta bangunan bersejarah di kota-kota yang letaknya strategis menjadi incaranpengusaha untuk dibongkar dan diubah menjadibangunan modern bertingkat dengan alasan peme-nuhan kebutuhan ruang untuk alasan ekonomi.Bangunan bersejarah dan bernilai estetika tinggitentunya membutuhkan perlindungan untukmenjaga kelestarian agar kekhasan bangunan/

Bintarto (1977), Kota adalah sebuah bentang budayayang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alamidengan gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dancorak kehidupan yang bersifat heterogin dan materialis-tik.Kota merupakan daerah tertentu dalam wilayahNegara yang mempunyai aglomerasi jumlah pendudukminimal yang telah ditentukan dan penduduk mana yangbertempat tinggal pada satuan pemukiman yang kompak(Kota ditinjau dari jumlah penduduk).

Bintarto (1977), Kota adalah sebuah bentang budayayang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alamidengan gejala pemusatan penduduk.

5Kecenderungan di mana sebuah kota temperaturnyalebih panas dibanding rural area di sekitarnya, denganperbedaan temperatur pada malam hari lebih tinggidaripada siang hari. UHI ini disebabkan oleh panas mata-hari yang disimpan oleh “impervious engineered surfaces”(bangunan dengan bahan beton, aspal, atap berwarnagelap, dll) pada siang hari, dan panas tersebut dilepaskanke atmosfer pada malam hari.Urban heat island ini dise-babkan karena berkurangnya pohon pada area perkotaansementara jumlah bangunan semakin padat (ShacletonChema, 2015, Multiple Benefit and Values of Tress in UrbanLanscapes in Two Towns in Northern South Africa).

6Sadyohutomo, Multono. 2008. Manajemen Kota danWilayah Realita dan Tantangan. Bhumi Aksara.

7Membongkar bangunan kuno, apalagi yang bernilaisejarah, bukanlah dosa kecil namun merupakan dosa besarterhadap generasi mendatang.

Page 93: DASDSAD - PPPM

86 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

kawasan tetap terjaga. Perlindungan terhadapkawasan ini memunculkan adanya konsep konser-vasi yang bermula dari preservasi yaitu memper-tahankan bangunan sama seperti keadaan aslinya.Dalam perjalanannya konsep konservasi8 ini selan-jutnya bergerak lebih dinamis dan menjadi payungdalam kegiatan pelestarian lingkungan dan budaya.

Pengaturan dan penataan ruang serta berbagaiupaya konservasi terhadap suatu kawasan sering-kali mengalami kendala dan hambatan, sehinggapelanggaran terhadap aspek keruangan banyakterjadi.Sadyohutomo (2009) menegaskan bahwapermasalahan penataan ruang yang terjadi di In-donesia disebabkan kurangnya sistem pengendalipenataan ruang baik berupa penyediaan prasaranafisik (public capital investment) maupun perangkathukum (land use control) belum dimanfaatakandan diaplikasikan secara optimal.Belum ditetap-kannya pengaturan zonasi kawasan-kawasan khu-sus/kawasan budaya juga menjadi kendala dalampemanfaatan ruang. Penyimpangan terhadap tataruang dan zonasi kawasan kota tentunya membu-tuhkan penanganan serius dan hal ini tidaklahmudah dilaksanakan. Zoning regulation sebagaiacuan serta petunjuk operasional terhadap peman-faatan ruang tentunya harus ditetapkan dan dite-rapkan dengan sistem pengendalian yang optimalsehingga penyimpangan dapat dikurangi dandicegah.

B. Intervensi Pemerintah Terhadap Tataruang dan Preservasi KawasanBersejarah

Pemerintah dalam hal ini memiliki peran dalammemberikan intervensi terhadap pemanfaatanruang khususnya ruang kota. Dalam beberapakonsep menyebutkan bahwa bentuk intervensiyang dapat dilakukan pemerintah untuk mengaturkeadilan terhadap sumber daya dapat berupa 4(empat) hal yaitu 1) perencanaan tata ruang kotadan wilayah (diwujudkan dalam perencanaan tataruang berjenjang berupa tata ruang wilayahNasional, Provinsi, Kabupaten, dan Kecamatan); 2)pengaturan pemanfaatan ruang (yaitu peman-faatan ruang untuk perumahan, industri, jasa,wilayah konservasi dan lindung, pertanian danprasarana umum); 3) intervensi pemerintah dalambentuk penyediaan pelayanan Publik, 4) penga-turan pemerintah dalam bentuk pendistribusiansumber daya (Yunus 2005).

Cadwallader (1985)9, menyebutkan bahwaperanan pemerintah dalam mengelola kota danwilayah dapat diwujudkan melalui berbagaikegiatan dan kebijakan antara lain:a. Penyedia service dan barang publik (supplier of

public goods and services);b. Mengatur dan memfasilitasi (regulating and fa-

cilitating) berjalannya ekonomi pasar agartercipta alokasi sumber daya sebaik-baiknya;

c. Sebagai social enginering dalam mengarahkanmasyarakat untuk mencapai tujuan atau nilai-nilai yang diinginkan bangsa dan negara. Alokasisumber daya diserahkan kepada pasar, namunpemerintah berkewajiban mengoreksi ketidak-seimbangan sosial ekonomi dan melindungigolongan ekonomi lemah dan minortas;

d. Sebagai abiliter dalam konflik antar kelompokmasyarakat.8Konservasi meliputi preservasi, restorasi, rehabili-

tasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi.Dalam ke-giatan konservasi bangunan tidak hanya dikembalikanke bentuk asli namun dapat pula beralih fungsi/new usesfor building.Namun dalam tampilan bangunan tidakmengabaikan keunikan bangunan (Budiharjo, 1997).

9Cadwallader, M.T., 1985, Analytical Urban Geogra-phy; Spatial pattern and Theories.New Jersey; PrenticeHall.

Page 94: DASDSAD - PPPM

87Ayu Wahyuningtyas & Westi Utami: Pengaturan Zoning sebagai Pengendali ...: 84-98

Perencanaan tata ruang merupakan upaya stra-tegis dalam mengelola ruang agar dapat diman-faatkan seoptimal mungkin sehingga terwujudruang terpadu, serasi, ruang berkualitas dan berke-lanjutan. Zonasi sebagai bagian dari perencanaantata ruang merupakan cara efektif untuk mengen-dalikan dan mengatur tentang persyaratanpemanfaatan ruang dan ketentuan pengenda-liannya yang disusun untuk setiap blok/zonaperuntukan (UU No. 26 Tahun 2007), dimana blok/zona peruntukan yang menjadi acuan ditetapkanmelalui rencana rinci tata ruang. Zoning diterapkansebagai upaya yang merujuk pada pembagianlingkungan kota ke dalam zona-zona pemanfaatanruang10 dimana di dalam tiap zona tersebutditetapkan pengendalian pemanfaatan ruang ataudiberlakukan ketentuan hukum. Peraturan zoning/zoning regulation menjadi bagian penting sebagairujukan dalam perizinan, penerapan insentif/disinsentif, penertiban ruang, menjadi jembatandalam penyusunan rencana tata ruangyang bersifatoperasional, serta dapat menjadi panduan teknisdalam pengembangan/pemanfaatanruang.

Perencanaan tata ruang tidak hanya mengaturperuntukan penggunaan ruang tetapi juga menga-tur kegiatan pelayanan publik sehingga redistribusisumber daya dapat terwujud.Kegiatan pengaturanperencanaan dan pemanfaatan ruang tersebutdapat terwujud apabila terdapat sistem manajemenpengendalian. Dalam teori manajemen spasial kota11

dikenal adanya 4 bagian manajemen spasial yaituperencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan

pengendalian. Dalam sistem pengendalian terha-dap tata kota dapat dilaksanakan melalui investasiprasarana umum (public capital investment) danperaturan perundangan pemanfaatan ruang (landuse control). Peraturan pengendalian penatagunaantanah/tata ruang berbentuk petunjuk penggunaan,perizinan, dan larangan misalnya:a. Izin lokasi (izin untuk membeli/memperoleh

tanah untuk usaha);b. Izin perubahan penggunaan tanah;c. Pembatasan sawah irigasi teknis ke penggunaan

non pertanian;d. Pembatasan KDB (Koefisien Dasar Bangunan/

Building Covered Ratio);e. Pembatasan ketinggian bangunan dan KLB

(Koefisien Lantai Bangunan/floor area ratio);f. Batasan Luas kaveling maksimum dan minimum;g. Pengaturan kerapatan antar bangunan;h. Pengaturan sempadan bangunan;i. IMB dan IPB (izin pemanfaatan bangunan);j. Izin UUG/HO (Undang-undang gangguan/

Hinder Ordonantie).Pengaturan Pengendalian perencaan f isik

penggunaan tanah di berbagai Negara memilikisistem dan konsep yang berbeda-beda, pengaturanpengendalian yang diterapkan di Amerika menge-nai pengendalian penggunaan tanah dalamperencanaan f isik dapat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Peraturan Pengendalian Perencanaan Fisik

Sumber : Sadyohutomo, 2009

10UU No. 11 Tahun 2010 Pasal73 Ayat (3). Sistemzonasi dapat terdiri dari: zona inti, zona penyangga,zonapengembangan, dan/atauzona penunjang.

11Manajemen merupakan upaya yang dijalankanuntuk mengatur-mengarahkan sesuatu untuk mencapaitujuanyang diinginkan. Manajemen spasial bertujuanuntuk menciptakan kondisi spasial kota yang bersang-kutan menuju kearah bentuk yang memenuhi persyaratanpembangunan berkelanjutan/sustainable development(Yunus 2005).

No Peraturan Aspek Yang Dikendalikan

1 Pengavelingan

(Sub Division )

- Pemecahan bidang tanah

- Desain rencana tapak ( site plan )

- Standar lebar jalan

- Desain persimpangan jalan

- Ruang untuk bangunan dan jaringan utilitas

- Saluran pembuangan air

- Saluran pembuangan air hujan dan limbah

2 Zoning - Jenis penggunaan tanah

- Intensitas penggunaan tanah; kepadatan

bangunan, sempadan jalan, KDB, KLB, ketinggian

bangunan

- Parkir kendaraan3 Peraturan

perumahan

(Housing code )

- Standar kelayakan rumah tinggal: bahan

bangunan, pencahayaan, sirkulasi

- Pembatasan jumlah penghuni

4 Peraturan

bangunan

- Kualitas bahan bangunan

- Standar pipa

- Peralatan teknis

Page 95: DASDSAD - PPPM

88 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

Pemerintah dan pihak swasta seringkalimemandang konservasi sebagai hal yang mewahdan tidak dapat dipenuhi dari segi biaya, waktu danenergi. Amat disayangkan ketika terdapat permo-honan dari pihak swasta yang tujuan utamanyaadalah f inansial mengajukan untuk membongkarkawasan bersejarah dan pemerintah menyetujuibegitu saja, kondisi seperti ini sering disebut sebagai“bunuh diri arsitektur”. Pemicu utamanya adalahtekanan pembangunan ekonomi cukup kuat,adanya tokoh pemerintah/pengambil keputusanterobsesi pada modernisasi dimana mereka me-mandang konservasi hanyalah sebagai penghambatperkembangan kota, dan kurangnya payunghukum mengenai konservasi12. Dalam perjalanan-nya konservasi sering mengalami kendala dalamhal pendanaan yang terbatas, pandangan terhadapbangunan yang hanya memperhitungkan analisisbiaya manfaat (cost benef it analysis) tanpa meng-hargai arsitek dan pentingnya sejarah menjadikendala utama dalam konservasi.

C. Kawasan PreservasiKotagede

Kota Yogyakarta termasuk dalam Kota Orde Iyang merupakan ibukota dari Daerah IstimewaYogyakarta. Kota Yogyakarta memiliki peransebagai kota pariwisata karena memiliki nilaihistoris dan estetis yang tinggi. Secara f isik (estetis)maupun sejarah budaya (historis), banyak kawasanyang perlu dilakukan preservasi untuk menjaganilai-nilai tersebut. Salah satu kawasan di KotaYogyakarta yang perlu dilakukan preservasi adalahKawasan Kotagede.Kotagede merupakan salah satukecamatan di Kota Yogyakarta yang awalnya adalahsebuah kota lama dari abad ke-16 yang pernah

menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam. Nilaisejarah dan budaya yang tumbuh pada abad 16memberikan nilai pada bangunan-bangunan dikawasan Kotagede berupa karakteristik jawa kunoyang terpengaruh dari Kerajaan Mataram. Kotagedeselain sebagai ibukota juga merupakan pusatperdagangan pada masa itu dan menjadi tempattinggal orang-orang kaya karena usaha perda-gangannya yang maju dan dilengkapi dengan mas-jid yang dikenal dengan Masjid Mataram Kotagede.Kotagede tidak berubah menjadi desa agrariswalaupun sudah tidak menjadi ibukota Mataram.Sifat kekotaannya tetap terpelihara, yaitu kehi-dupan ekonominya tetap bersifat non-agrarisseperti kerajinan, pertukangan, perdagangan danusaha-usaha sejenisnya yang dahulu menjadibagian dari kehidupan istana hidup terus menjadiprofesi-profesi bebas sehingga fungsi politikKotagede berubah menjadi fungsi pasar (DjokoSoekiman, 1993).

Bekas-bekas yang menunjukan bahwa Kotagedepernah menjadi tempat kerajaan, sekarang hanyaberupa masjid beserta makam pendiri Mataram,beberapa reruntuhan bekas bangunan bentengkerajaan, nama-nama kampung, bentuk-bentukrumah, dan mata pencaharian penduduk berupaindustri kecil kerajinan tradisional. Bangunan-bangunan yang menunjukkan ciri khas Kotagedesebagian besar berada di sepanjang Koridor JalanKemasan – Jalan Mandarakan – Jalan Tegal Gendu.Sepanjang koridor jalan tersebutlah yang palingdiingat oleh masyarakat dan orang yang datang keKotagede sejak jaman dahulu sampai sekarang baikdalam hal bangunan kuno, kerajinan perak tradi-sional maupun perdagangan yang mendominasikoridor jalan tersebut. Namun seiring denganperkembangan jaman, bangunan-bangunan yangterdapat di sepanjang koridor tersebut kini telahberubah menjadi bangunan-bangunan baru yangtidak lagi menunjukan nilai historis, terutamasetelah terjadi gempa tahun 2006 yang merobohkansebagian besar bangunan kuno di Kotagede.

12Payung hukum konservasi baru terbit dalam bentukUndang-undang tentang Benda Cagar Budaya pada bulanMaret 1992.Sementara peraturan turunan dan teknisnyatergantung pada Pemerintah Daerah dalam bentukpenetapan zonasi.Kelemahan dari payung hukum iniadalah belum semua Pemerintah daerah menetapkanzonasi bagi kawasan konservasi.

Page 96: DASDSAD - PPPM

89Ayu Wahyuningtyas & Westi Utami: Pengaturan Zoning sebagai Pengendali ...: 84-98

Perkembangan kawasan yang bernilai historisdan estetis seperti Kawasan Kotagede khususnyaKoridor Jalan Kemasan – Jalan Mandarakan – JalanTegal Gendu perlu dikontrol dan dikendalikan agartidak menurunkan citra kawasan. Oleh karena itudiperlukan suatu rencana penataan yang mengaturkonservasi bangunan kuno yang ada di KoridorJalan Kemasan – Jalan Mandarakan – Jalan TegalGendu. Dalam hal ini, rencana penataan tersebutdituangkan dengan bentuk penataan blok atauzoning. Selain itu, penataan zoning juga diperlukanuntuk mengembalikan ciri khas kawasan Kotagedekhususnya Koridor Jalan Kemasan – Jalan Manda-rakan – Jalan Tegal Gendu sebagai pusat perda-gangan dan kerajinan perak. Penyelarasan antaraciri khas kawasan berupa perdagangan dan kera-jinan perak dengan bangunan kuno sebagai cirikhas Kotagede juga perlu dilakukan. Adapun tujuandari penataan zoning adalah untuk menciptakansuatu tata ruang kota yang memiliki nilai ketera-turan dan keharmonisan struktur kota antara satuelemen dengan elemen pembentuk ruang lainnyadi masing-masing koridor jalan dan lingkunganyang direncanakan.Gambar 1 menunjukkan lokasiwilayah studi dengan pembagian Koridor JalanKemasan – Jalan Mandarakan – Jalan Tegal Gendusebagai daerah yang diteliti.

Gambar 1. Wilayah Studi (Kawasan Kotagede)Sumber: Citra GeoEye, 2014 dan Survei

Lapangan, 2015

Tata guna tanah merupakan pola penggunaantanah yang berfungsi untuk mengetahui struktur

tata ruang13 yang ada di wilayah studi. Penggunaantanah eksisting pada kawasan Kotagede berupapermukiman, perdagangan, jasa, pemerintahandan perkantoran, kesehatan, pendidikan, industridan pergudangan serta ruang terbuka hijau danlapangan voli. Fasilitas pendidikan di kawasanKotagede berupa SLTP Perak, SDN Kotagede danTK Muhamadiyah. Pemerintahan dan perkantorandi Jalan Kemasan berupa kantor pos, Pegadaian,balai kelurahan dan Koramil. Penggunaan tanahberupa perdagangan berupa toko penjual kerajinanperak, swalayan, warung yang menjual makanandan kebutuhan sehari-hari. Penggunaan tanahuntuk jasa berupa wartel, salon, warnet, bengkel,fotokopi dan penitipan sepeda. Untuk Penggunaantanah berupa kesehatan terdiri dari rumah sakit danpuskesmas.Data mengenai penggunaan tanah diKotagede dapat disajikan pada tabel 2.

Tabel 2.Eksisting Penggunaan Tanah di KawasanKotagede

Sumber: Survei Lapangan, 2015dan Data PotensiDesa, 2014

Penggunaan Tanah Luas (m2)Permukiman 54.610,03

Perdagangan 45.615,91

Jasa 8.385,97

Pemerintahan dan perkantoran 2.987,75

Kesehatan 7.703,53

Pendidikan 16.812,08

Industri dan Pergudangan 4.139,19

Peribadatan 2.472,24

RTH 7.843,86

Jumlah 150.570,59

13Yunus (2005): Konsep dan pendekatan mengenaistruktur tata ruang memiiki model dan konsep yang bera-gam, berbagai model tersebut menekankan adanyahubungan yang erat antara proses sosial, ekonomi, budayadan pola keruangan yang tercipta. Berbagai faktor yangberperan menghasilkan pola persebaran penggunan tanahsehingga menciptakan kekhasan suatu pola keruangankota. Secara garis besar pendekatan tersebut meliputi:pendekatan ekologikal, pendekatan ekonomi, pendekatanmorfologi, pendekatan sistem kegiatan dan pendekatanekologi faktorial.

Page 97: DASDSAD - PPPM

90 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

Gambar 2. Diagram Penggunaan Tanah diKawasan Kotagede. Sumber: Citra GeoEye, 2014

dan Survei Lapangan, 2015

Kotagede merupakan kota peninggalan padajaman kerajaan Mataram. Kotagede yang memilikiluas 220 ha juga dimanfaatkan sebagai pusatekonomi, sosial dan budaya pada masa pemerin-tahan Sutawijaya. Kotagede yang didirikan padaabad ke-16 merupakan salah satu kota Jawa yangmenganut prinsip penataan “Catur Gatra Tunggal”,yaitu empat komponen dalam satu kesatuan.Keunikan Kotagede nampak melalui kampung-kampungnya dengan bangunan-bangunan berse-jarah berarsitektur tradisional dan gang-gang sem-pit serta jalan ‘rukunan’ yang terbentuk dari deretanhalaman rumah-rumah yang ada.

Koridor Jalan Kemasan – Jalan Mandarakan –Jalan Tegal Gendu terbentuk dari bentuk luar yangmembentuk kesan pada lingkungannya. Koridorjalan yang membelah kawasan Kotagede ini terben-tuk oleh ‘rentang waktu’ yang telah terlewati hinggasaat ini. Kawasan Kotagede merupakan bekas pusatpemerintahan Kerajaan Mataram, dengan rajanyaKi Ageng Pemanahan.

Pola jalan merupakan kerangka lingkungan,sehingga bentuk luar menjadi pengisi kerangkatersebut. Keunikan Kotagede nampak melaluideretan-deretan bangunan yang memiliki ciri khas.Baik ciri bangunan Indisch, bangunan rumahtradisional Jawa, rumah Kalang, maupun rumahkampung biasa. Rumah-rumah di kawasan inidibangun sejak ratusan tahun yang lalu. Hal inimenunjukkan bahwa Kotagede sejak lama telah

memiliki kemampuan tinggi untuk membangunrumah tradisional yang khas. Komponen-kom-ponen kota dibangun secara bertahap diawalidengan pembangunan hunian penduduk.

Sebagai kawasan tradisional tertua di Yogya-karta, Kotagede secara f isik berbeda dengan ka-wasan-kawasan lain di Daerah Istimewa Yogya-karta. Semula kampung-kampung di Kotagedediwarnai dengan rumah-rumah tradisional dankemudian rumah-rumah Kalang yang kesemuanyamerupakan bangunan satu lantai. Makin lamakepadatan bangunan di Kotagede semakin tinggi,area terbuka atau halaman rumah semakin terbatas.Perkembangan pesat terjadi pada penggal JalanMondorakan yang tumbuh menjadi area komersialdengan beberapa bangunan berlantai dua. Selainitu banyak rumah tradisional telah dijual atauberubah bentuk menjadi rumah-rumah modern.Hal ini patut disayangkan dan dikhawatirkan akanmenghilangkan nilai sejarah dan budaya Kotagede,sehingga Kotagede akan kehilangan keunikannya.

Sepanjang Jalan Kemasan – Jalan Mandarakan– Jalan Tegal Gendu, didominasi oleh kegiatanperdagangan dan jasa, terutama kegiatan perda-gangan kerajinan perak. Karakter tersebut mem-bentuk ‘wajah’ bentuk luar di sepanjang Jalan Ke-masan – Jalan Mandarakan – Jalan Tegal Gendu.Dari waktu ke waktu, Kotagede telah mengalamibanyak perubahan yang mengakibatkan pudarnyakarakter asli Kotagede. Beberapa hal yang mem-pengaruhi perubahan tersebut antara lain:a. Adanya kebutuhan untuk mewadahi kehidupan

modern yang menuntut perubahan tata ruangdan desain bangunan sehingga beberapa rumahtradisional telah berganti wajah menjadi rumah‘modern’ baik sebagian atau seluruhnya.

b. Adanya kebutuhan ekonomi yang mendorongpemilik rumah untuk menjual sebagian atauseluruh rumahnya sehingga beberapa rumahtradisional telah berpindah ke tempat lain di luarKotagede dan dengan bangunan non-tradi-sional.

Page 98: DASDSAD - PPPM

91Ayu Wahyuningtyas & Westi Utami: Pengaturan Zoning sebagai Pengendali ...: 84-98

c. Adanya bencana gempa bumi Mei 2006 lalutelah menyebabkan banyak rumah roboh danrusak sehingga perlu segera diperbaiki ataudibangun kembali.Adanya perubahan f isik dan non f isik di ka-

wasan Kotagede ternyata juga memberikan dampakpada potensi dan juga permasalahan, diantaranyadapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Potensi dan Permasalahan Fisik dan NonFisik di Kawasan Kotagede

Sumber: Hasil Analisis, 2015

D. Zoning sebagai Pengendali PenataanRuang di Kawasan Kotagede

Arahan konsep zoning yang dikemukakanadalah dengan mengkaji kondisi faktual besertakecenderungannya terhadap arahan rencana kota,tidak menutup kemungkinan juga landasanpemikiran-pemikiran yang melatarbelakangi, aspeksejarah, aspek karakteristik yang spesif ik, keten-tuan yang berlaku, serta teori-teori yang relevanterhadap masalah yang terjadi.Adapun konseppengendali yang dirumuskan meliputi konsep yangberkaitan dengan penggunaan tanah, perpetakantanah, infrastruktur bangunan dan lingkungan, danunsur penunjang bangunan yang disertai denganstrategi percepatan perwujudan tata bangunanyang terarah berdasarkan standar dan model peren-canaan bangunan dan lingkungan.

Konsep penggunaan tanah pada KawasanKotagedeselain mengikuti arahan dalam strukturtata ruang kota dan juga arahan dari PenyusunanPedoman Penataan Bangunan Kawasan Kotagedejuga memperhatikan kecenderungan perkem-bangan guna tanah yang telah terjadi. Arahanpemanfaatan tanah menurut Penyusunan Pe-doman Penataan Bangunan Kawasan Kotagedeyang terkait dengan wilayah studi adalah sebagaiberikut:a. Pemanfaatan bangunan dan ruang yang

diijinkan di Kawasan Kotagede meliputi: tempattinggal, perdagangan, industri kecil, fasilitasperibadatan, fasilitas pendidikan, dan fasilitaskesehatan.

b. Kawasan Kotagede diarahkan untuk tidakdidirikan bangunan modern/bertingkat danatau mengubah ruang terbuka hijau.

c. Area seputar pasar diarahkan untuk tetap men-jadi perdagangan retail dan dijaga agar tidakmenjadi perdagangan grosir karena akan mem-bawa dampak pada sistem sirkulasi dan polaspasial.

d. Jalan Mandarakan – Jalan Tegal Gendu diarah-kan sebagai kawasan hunian dagang dalam skalalingkungan agar tidak terjadi perubahankenampakan kawasan yang mencolok. Suasanayang berkarakter kuat ini juga dapat dimanfaat-kan sebagai area show room kerajinan dengandidukung perbaikan sarana dan prasaranatransportasi.

Aspek Potensi PermasalahanBanyak bangunan tradisional dalamkondisi rusakMuncul bangunan-bangunan baruyang modernSirkulasi kendaraan bermotorterkadang terhambat karenasempitnya jalan, parkir on street

Tidak ada fasilitas pejalan kaki yangnyamanBanyak fasilitas penunjang dalamkondisi kurang terawat dan kurangmemenuhi kebutuhan yang adaSignage, street furniture)

Utilitas yang ada sudah memenuhikebutuhan masyarakat akan tetapisecara visual kurang baik

setempat

Perkembangan industri perak mulaimenurunMasyarakat kurang peduli terhadappeninggalan yang memiliki nilaihistoris

Page 99: DASDSAD - PPPM

92 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

Gambar 3. Perbandingan Eksisting PenggunaanTanah dan Arahannya. Sumber: Survei

Lapangan dan Hasil analisis, 2015

Perpetakan tanah adalah unit perpetakanberupa sistem blok perencanaan yang terdiri darigabungan beberapa persil dan sistem kavling.Pertimbangan untuk menentukan luasan blokperencanaan adalah:a. Jalan, gang, atau saluran yang berpotensi untuk

digunakan sebagai batas f isik blok perencanaanb. Ketentuan luas kavling minimum yang telah

ditetapkan pada setiap wilayahc. Klasif ikasi perpetakan tanah berdasarkan

Keputusan Menteri Permukiman dan PrasaranaWilayah Nomor 327/KPTS/M/2002.

Tabel 4 menunjukkan delapan klasif ikasi petakperuntukan dan penggal jalan.

Tabel 4. Klasif ikasi Perpetakan Tanah

Sumber: Kepmen Kimpraswil No. 327/KPTS/M/2002

Perpetakan tanah yang terdapat pada wilayahstudi berupa perumahan, perkantoran, pendidikan,peribadatan, industri/pergudangan, dan ruangterbuka hijau. Perpetakan tanah tersebut dikem-bangkan dengan sistem kavling atau sistem blok.Adapun pengembangan sistem blok adalah sebagaiberikut:a. Pengembangan dengan sistem blok dilakukan

bila ada pihak yang membebaskan seluruh areayang dibatasi secara f isik oleh jalan atau saluran.

b. Bila dalam area yang akan dibebaskan terdapatbangunan yang mempunyai nilai kesejarahanatau nilai arsitektural yang khas, maka pengem-bangan blok harus diarahkan untuk memper-tahankan eksistensi bangunan tersebut.

c. Konsep perpetakan pada kawasan perencanaandiarahkan pada pengembangan kavling menjadibesar dan tetap.

Klasifikasi KeteranganI sistem blok dengan luas tanah di atas 2500 m 2

IIkavling sangat besar dengan luas 1000 – 2.500m2

III kavling besar dengan luas 600 – 1.000 m2

IV kavling sedang dengan luas 250 – 600 m2

V kavling kecil dengan luas 100 – 250 m2

VI kavling sangat kecil dengan luas 50 – 100 m2

VII tanpa kavling dengan luas di bawah 50 m²

VIII rumah susun/ flat

Page 100: DASDSAD - PPPM

93Ayu Wahyuningtyas & Westi Utami: Pengaturan Zoning sebagai Pengendali ...: 84-98

Gambar 4. Arahan Blok Perpetakan LahanSumber : Survei Lapangan dan Analisis Data, 2015

Eksisting perpetakan yang terdapat di Kotagededidominasi oleh petak-petak sedang hingga kecilyang mana bangunan di atasnya didominasi olehbangunan yang diperuntukkan bagi aktivitasperdagangan dan permukiman. Akan tetapi karenakondisi eksisting perpetakan yang ada tidak me-nunjukkan kesan rapi dan tertata maka diusulkanbahwa rencana perpetakan yang dapat diterapkanpada Kotagede adalah pengembangan perpetakandengan sistem blok. Sistem ini terutama dipriori-taskan bagi petak–petak bangunan perdagangandan permukiman yang mana mayoritas bangunantersebut merupakan bangunan yang dimiliki olehperseorangan. Pengembangan sistem blok padabangunan perdagangan dan permukiman yangdimiliki oleh perorangan di Kotagede dapat dilaku-kan dengan cara melakukan pembebasan di sejum-lah area perdagangan dan permukiman yang tidaksesuai dengan arahan, baik arahan guna tanah mau-pun intensitas bangunannya untuk kemudiandikembangkan secara lebih terarah baik dalam segiintensitas bangunannya maupun dalam segiestetika bangunan yang antara lain dapat dilihatdari rencana tampilan bangunan. Pengembangansistem blok tersebut yaitu pada sepanjang koridorjalan utama di Kotagede merupakan blok perda-gangan perak dan pada lapisan dalam merupakanblok permukiman.

Petak bangunan permukiman di Kotagede yangpada eksistingnya berkembang secara sporadisdapat ditata dengan cara dikembangkan melalui

sistem blok. Seluruh area permukiman yang adadibebaskan untuk kemudian disatukan ke dalamblok-blok permukiman. Hal yang perludiperhatikan dalam pengembangan petakpermukiman adalah bahwa untuk masa yang akandatang bangunan permukiman tidak lagi dibangunsecara horizontal melainkan dibangun vertikalguna mengantisispasi kelangkaan tanah diperkotaan, khususnya di wilayah perencanaan.

Sedangkan untuk petak – petak yang di atasnyadiperuntukkan bagi bangunan industri danpergudangan di Kotagede yang pada umumnya jugadimiliki oleh perorangan dapat dikembangkandengan sistem blok. Walaupun berbeda denganpetak bangunan perdagangan dan permukiman,petak bangunan industri dan pergudangan yangpada umumnya lebih besar tetap dapat dikem-bangkan dengan sistem blok. Hal ini dilakukanuntuk mendukung fungsi kawasan Kotagedesebagai kawasan wisata budaya dan wisata belanja(perak) sehingga wisatawan yang datang danberbelanja perak dapat pula melihat bagaimanaproses pembuatan kerajinan perak.

Sedangkan untuk petak bangunan fasilitasumum seperti perkantoran maupun fasilitaskesehatan diarahkan tetap, karena kecenderunganyang terjadi saat ini dan prediksi di masa yang akandatang bangunan-bangunan tersebut masihmampu memberikan pelayanan sesuai dengankebutuhan masyarakat. Namun bangunan tersebuttidak diarahkan lebih menonjol dari karakteristikyang akan dikembangkan pada Kotagede yaitudengan dominasi guna tanah perdagangan danpermukiman. Hal tersebut dilakukan agarbangunan fasilitas umum tidak mencolok danmenimbulkan kesan (sense of welcoming) yang ber-beda atau bahkan yang salah.

Arahan blok perpetakan tanah ini juga berfungsiuntuk mempertahankan eksistensi bangunan. Halini dikarenakan kawasan Kotagede banyak terdapatbangunan yang mempunyai nilai kesejarahan ataunilai arsitektural yang dilindungi sehingga upaya

Page 101: DASDSAD - PPPM

94 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

untuk mempertahankannya adalah dengan mela-kukan rencana blok (zoning). Zoning ini disesu-aikan dengan kajian penilaian makna bangunanyang kemudian disesuaikan dengan arahanperkembangan kawasan, sehingga kemudianditetapkan arahan preservasi bangunan yang sesuai.Adapun pembagian blok perpetakan preservasibangunan kawasan dibagi menjadi beberapa bagiandengan masing-masing cirinya, sebagai berikut:1. Preservasi

- perubahan sangat kecil, hanya memerlukanperawatan berkala pada bangunan sepertipengecatan kembali dan pemeliharaan

- apabila kondisi f isik lingkungan buruk dapatdilakukan perbaikan, namun harus sesuaidengan kondisi aslinya

- melibatkan masyarakat dalam pemugarandan pelestarian lingkungan

2. Rehabilitasi (renovasi)- perlunya menjaga bentuk asli bangunan dan

menyesuaikan kegunaannya untuk masayang akan datang

- perbaikan pada setiap elemen bangunanyang rusak dan perlunya perawatan berkala

- menambah elemen bangunan Indische padakawasan

- memberikan keringanan PBB, subsidi,pinjaman.

3. Rekonstruksi- dimungkinkan adanya adaptasi namun tidak

mengurangi unsur-unsur keaslian elemenfisik lingkungan

- adanya perbaikan dan mengembalikankondisi bangunan sedekat mungkin denganaslinya yang diketahui dan penrubahan in-terior untuk menampung penggunaan baru

- mengembalikan struktur bangunan yangrusak dengan menggunakan bahanbangunan yang baru seperti cat warna ataubahan lainnya yang bentuknya sesuai denganbangunan aslinya

4. Restorasi

- mengganti setiap elemen yang digantidengan menghilangkan tambahan ataumengganti komponen dengan meterial barutetapi dengan bentuk sesuai aslinya

- meningkatkan kondisi bangunan tersebut,boleh diubah bentuk dan wajah dalamnya,tetapi harus disesuaikan dengan pola tampakbangunan dan lingkungan

5. Adaptasi- untuk bangunan yang baru dibangun, maka

bentuk dan jenis harus sama pada bangunanyang baru dibangun

- ketinggian bangunan harus disesuaikandengan bangunan di sampingnya

6. Bangunan baru- apabila terdapat bangunan baru, maka

bangunan tersebut harus disesuaikandengan bangunan lama yang sudah ada

- bangunan baru tidak dianjurkan melebihiKLB dari kebijakan yang sudah ada sebelum-nya

- adanya keharmonisan bangunan dalam halukuran, skala, bentuk, hingga material dandetil bangunan baru dengan bangunan lama

- untuk konstruksi baru, elemen bangunanseperti ukuran, bentuk, desain, proporsi, danpeletakan jalan depan, jendela, dan pintudepan harus disesuaikan dengan bangunanasli

Untuk lebih jelasnya mengenai arahan blokperpetakan untuk arahan preservasi kawasanKotagede dapat dilihat pada Gambar 5.

Page 102: DASDSAD - PPPM

95Ayu Wahyuningtyas & Westi Utami: Pengaturan Zoning sebagai Pengendali ...: 84-98

Gambar 5. Blok Perpetakan untuk ArahanPreservasi Kawasan Kotagede. Sumber : Survei

Lapangan dan Analisis Data, 2015

E. Konsep Zoning dalam PenatagunaanTanah

Kota dapat dipandang sebagai man-made objectas total architecture, berupa konsentrasi elemen-elemen f isik spasial yang selalu tumbuh danberkembang (Rossi 1982). Elemen-elemen f isiktersebut terbentuk karena adanya fungsi-fungsikegiatan yang berlangsung dalam suatu kota, yangmeliputi aktif itas ekonomi, sosial dalam suatukesatuan tingkah laku kultural dan ritual masya-rakat.

Perkembangan kota yang sedemikian pesatsemakin dirasakan bahwa beban daya dukungperkotaan akan fungsi dan aktivitas manusia diperkotaan semakin berat. Karena akumulasi aktif i-tas yang semakin tinggi di pusat kota, menga-kibatkan semakin tingginya aksesibilitas, sertaterasa bangunan semakin tinggi sehingga apabilafenomena seperti ini tidak diantisipasi akan mem-berikan dampak negatif pada kualitas f isik ling-kungan binaan secara umum, baik yang menyang-kut kehidupan alam, f isik arsitektural, maupunaspek kehidupan sosial-budaya masyarakat kota.Oleh sebab itu, dalam pengelolaan lingkungan fisikkota perlu dilakukan pendekatan yang terpadu,yakni pendekatan perancangan kota dengan mem-perhatikan seluruh aspek f isik dan non f isik kehi-dupan kota.

Pengembangan kota melalui proses formal

(melalui proses perencanaan dan perancangan)merupakan suatu usaha untuk menciptakanlingkungan f isik kota yang sesuai dengan tuntutanperkembangan f isik spasial maupun perkem-bangan non-f isik (sosial-budaya, ekonomi, danpolitik). Produk perancangan kota harus dapatberfungsi sebagai arahan kebijaksanaan perkem-bangan, pedoman rancang bangun elemen kota,serta sebagai pranata pengendali yang sesuaidengan konteks perkembangan kawasan kota. Ran-cangan kota sebagai pranata pengendali kawasankota, dituntut sebagai bentuk pengendali yangbersifat operasional dan spesif ik sesuai dengankarakteristik tiap kawasan atau bagian wilayah kota.

Penatagunaan tanah sebagai bagian dari mana-jemen pertanahan (land manajemen) merupakansub sistem dari penataan ruang. Istilah penata-gunaan tanah diartikan sebagai usaha untukmenata penggunaan tanah. Penatagunaan tanahadalah bentuk kegiatan dari tataguna tanah yangmerupakan bagian dari proses pemanfaatan ruangdalam rangka penataan ruang. Sesuai dengan UU26 Tahun 2007 Pasal 33 yang berbunyi :1) Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang

yang ditetapkan dalam rencana tata ruangdilaksanakan dengan mengembangkan penata-gunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaanudara, dan penatagunaan sumber daya alamlain.

2) Dalam rangka pengembangan penatagunaansebagaimana dimaksud pada ayat (1) diseleng-garakan kegiatan penyusunan dan penetapanneraca penatagunaan tanah, neraca penata-gunaan sumber daya air, neraca penatagunaanudara, dan neraca penatagunaan sumber dayaalam lain.

3) Penatagunaan tanah pada ruang yang diren-canakan untuk pembangunan prasarana dansarana bagi kepentingan umum memberikanhak prioritas pertama bagi Pemerintah danpemerintah daerah untuk menerima pengalihanhak atas tanah dari pemegang hak atas tanah.

Page 103: DASDSAD - PPPM

96 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

4) Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yangberfungsi lindung, diberikan prioritas pertamabagi Pemerintah dan pemerintah daerah untukmenerima pengalihan hak atas tanah daripemegang hak atas tanah jika yang bersang-kutan akan melepaskan haknya.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penatagunaantanah, penatagunaan air, penatagunaan udara,dan penatagunaan sumber daya alam lainnyasebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaturdengan peraturan pemerintah.

6) Walaupun penatagunaan tanah disebutkansebagai bagian dari proses kedua dari penataanruang, yaitu proses pemanfaatan ruang, akantetapi prakteknya tidak terlepas dari proses kesatu (perencanaan tata ruang) dan proses ketiga(pengendalian pemanfaatan ruang).Perencanaan tataguna tanah merupakan inti

praktek perencanaan perkotaan. Sesuai dengankedudukannya dalam perencanaan fungsional,perencanaan tata guna tanah merupakan kunciuntuk mengarahkan pembangunan kota. Olehkarena adanya berbagai asumsi-asumsi mengenaipengembangan tata guna tanah yang tidak samamaka sering timbul masalah-masalah yang ber-kaitan dengan penggunaan tanah itu sendiri. Per-soalan yang sering timbul adalahmengenai hakmilik pribadi dan tidak adanya kesepakatan peng-gunaan tanah bagi kepentingan umum.

Perencanaan guna tanah sebenarnya merupa-kan pokok masalah perencanaan kota (urban plan-ning), sesuai dengan kedudukannya sebagai peren-canaan fungsional yang berfungsi sebagai pengarahpembangunan kota. Aspek-aspek yang menen-tukan perencanaan guna tanah adalah unsur-unsuraktif itas, manusia atau masyarakat, dan lokasi.Rencana guna tanah menyangkut kebijaksanaan-kebijaksanaan pengembangan, pedoman atauaturan pemanfaatan yang tertuang dalam peta-petarencana penggunaan ruang kota baik secara umummaupun terperinci, dengan penetapan penggunaanruang pada suatu wilayah tertentu.

Tata guna tanah dalam perancangan kota tidakhanya mengatur pemanfaatan ruang kota (tanah)secara horizontal, tetapi juga mengatur peman-faatan ruang secara vertikal, agar pemanfaatanruang kota dapat optimal dan terkendali. Karenapada prinsipnya perancangan kota adalah meru-pakan perancangan f isik ruang atau lingkungankawasan kota, yang di dalamnya memuat pranatapengendaliannya. Sehingga aspek pengendaliandalam perancangan kota (urban design) merupakansuatu keharusan yang menjamin terwujudnyarancangan suatu kawasan.

Rencana tata guna tanah yang merupakanarahan penggunaan ruang kota, di dalamnya diten-tukan penggunaan (fungsi) ruang kota, kepadatan,dan intensitas kategori penggunaan, dengan katalain rencana tata guna tanah berkaitan dengan zon-ing atau mintakat suatu kawasan kota.

Pengertian Zoning (pendaerahan/mintakat)berasal dari kata zone yang berarti bagian dari suatudaerah atau wilayah yang terpisah dari wilayah lainyang didasarkan atas macam penggunaan atauperuntukan tanah. Penggunaan Zoning dalamperencanaan kota dimaksudkan sebagai peraturanyang sah dalam penggunaan tanah sebagai pene-rapan dari usaha memelihara ketertiban gunamelindungi masyarakat serta menjaga kebutuhankehidupan di perkotaan. Peraturan Zoning juga me-muat ketentuan-ketentuan untuk penggunaan,kepemilikan, dan penentuan batas-batas cakupanbangunan di dalam ruang kota (lahan kota). Peren-canaan Zoning dibuat melalui suatu studi yangmendalam dan komperehensif dari aspek-aspekyang terkaitdengan ketentuan perencanaan,kemudian secara hukum disahkan oleh pemerintahdalam bentuk peraturan-peraturan Zoning, yangberfungsi sebagai perangkat pengendali perkem-bangan pemanfaatan ruang kota. Sebagai perang-kat pengendali, seringkali dalam praktek dilapangan ada benturan antara peraturan Zoningyang ada dengan implementasi f isik di lapangan,sehingga dalam pelaksanaan peraturan Zoning

Page 104: DASDSAD - PPPM

97Ayu Wahyuningtyas & Westi Utami: Pengaturan Zoning sebagai Pengendali ...: 84-98

harus selalu dilakukan pengawasan. Meskipunperaturan Zoning sudah memiliki kekuatan hukumyang mengikat, dengan pertimbangan tertentumasih dimungkinkan adanya perubahan dalamZoning(Catanese 1989).

Pertimbangan perubahan tata guna tanah ter-sebut dapat disebabkan karena situasi lingkunganalam, kondisi lingkungan binaan yang ada, ataukarena kebutuhan yang belum jelas pada saatperaturan Zoning ditetapkan. Perubahan tersebutdapat juga dikarenakan pertimbangan batas-batasZoning tidak dapat menyelesaikan permasalahankebutuhan dan kebebasan ruang gerak bagi pemi-kiran baru atas kemajuan teknologi. Untuk menye-suaikan dengan perkembangan, ketentuan menge-nai tata guna tanah dievaluasi setiap 5 tahun untuklebih menyesuaikan dengan perkembangan kota.Perlu diperhatikan bahwa perubahan ketentuanZoning harus melalui prosedur formal, denganpertimbangan-pertimbangan antara lain(Catanese1989):a. Tidak merugikan masyarakat banyakb. Merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat

yang sangat mendesakc. Untuk melindungi lingkungan yang harus diles-

tarikand. Pada dasarnya tidak bertentangan dengan ren-

cana induk yang telah disahkanZoning sebagai produk perencanaan kota harus

mampu berperan sebagai pengendali (guidelines)perkembangan kota. Hamid Shirvani (1985)mengemukakan guidelines dibuat untuk mengatasiperkembangan rencana yang ada, yang ditujukanuntuk mengarahkan bentuk f isik kota. Guidelinessifatnya spesifik dan lebih menjamin kualitas ruangkota skala mikro. Hingga saat ini belum ada keten-tuan baku tentang pembuatan guidelines, namundengan melihat lingkup skala mikro, maka guide-lines merupakan kerangka desain pada tingkatdistrik, jalan, dan pada skala proyek tertentu.

F. Kesimpulan

Desakan pertumbuhan dan perpindahanpenduduk di Kota, pertumbuhan ekonomi danpemenuhan kebutuhan sarana prasarana f isikdidaerah kota tentunya berdampak pada kebu-tuhan akan tanah dan ruang yang semakin hariharganya semakin mahal dan ketersediaanyasemakin terbatas. Kompleksitas permasalahan ber-bagai kepentingan dan kebutuhan dengan keter-sediaan tanah seringkali berdampak buruk terha-dap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai denganrencana tata ruang yang telah ditetapkan sehinggaruang yang ada menjadi tidak teratur, tidak sesuaidan dikhawatirkan terjadi ketidaksinambunganyang akhirnya berujung pada timbulnya bencanaserta slum area di daerah kota.

Zonasi sebagai kontrol terhadap pemanfaatanruang dan penggunaan tanah tentunya menjadibagian penting dalam sebuah pengendalianperencanaan tata ruang.Konsep ini dapat diterap-kan sebagai pengendali perencanaan ruang apabiladituangkan dalam wujud peraturan yang mengikatsehingga penggunaan tanah dan pemanfaatanruang yang menyimpang dapat diminimalisisr dandicegah. Kotagede sebagai kawasan preservasibudaya yang menyimpan nilai sejarah, nilai ekono-mi dan nilai budaya yang tak ternilai harganyatentunya membutuhkan penanganan khususuntuk perlindungan kawasan ini.Zoning yangdilakukan pada kawasan preservasi Kotagedemerupakan guideline (pedoman) untuk mengen-dalikan terjadinya desain dan konstruksi baru yangtidak sesuai dan merusak karakter bangunan ataulingkungan lama. Pedoman dapat berupa pengen-dalian terhadap ketinggian bangunan, bahan, setback, proporsi, gaya arsitektur, atau perpetakanlahan. Zoning pada kawasan preservasi Kotagededapat diberlakukan dengan batasan-batasan tam-bahan secara khusus berkaitan dengan penggunaandan konstruksi baru yang diijinkan. Beberapa keun-tungan melalui zoning dalam tujuan preservasikawasan Kotagede adalah untuk memperkaya

Page 105: DASDSAD - PPPM

98 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

hasrat kontinuitas, yang berarti memberi kaitandengan masa lalu serta memberi pilihan untuk ting-gal dan bekerja di samping lingkungan modern.Zoning yang telah ditetapkan juga bermanfaatuntuk mewariskan arsitektur dan sebagai aset ko-mersial dalam kegiatan wisata khususnya di ka-wasan Kotagede.

Daftar Pustaka

Bradstock Ross 2014, ‘Countervailing effects of ur-banization and vegetation extent on f ire fre-quency on the wildland urban interface: dis-entangling fuel and ignition effects’, Journalof Landscape and Urban Planning, Elsevier,Vol. 130, Pages 81–88.

Bintarto, R1977, Pengantar geograf i kota,Yogyakarta, U.P. Spring.

Budiharjo, Eko 1997, Tata ruang perkotaan, Alumni:Bandung.

Cadwallader, M.T 1985, Analytical urban geogra-phy; spatial pattern and theories, New Jersey:Prentice Hall.

Catanese, Anthony, J 1989, Perencanaan kota,Jakarta: Erlangga.

Citra GeoEye 2014, Kawasan kotagede, Yogyakarta.Ding Chengri, Kung Lai Shih, Wang Ming-

Shen2012, ‘Global urbanization and urbanmanagement’, Journal of Urban Management,Vol. 1, No. 1, pages 1 – 2.

Djoko Soekiman1993, Kotagede, Jakarta: Departe-men Pendidikan dan Kebudayaan.

Higano, Y2013, ‘Reflections on theories of social op-timization and theirrelevance for future citymanagement in Japan’, Journal of Urban Man-agement, Vol. 2, No. 1, pages 67 – 83.

Kostof, Spiro 1991, The city shaped: urban patternsand meanings through history, Little, Brownand Company.

Rossi, Aldo 1982, Architecture of thecity, The MITPress, London: England

Rupprecht D. Christoph, Byrne, J2014, ‘Informal ur-ban greenspace; a typology and trilingual syste-matic review of its role for urban residents andtrends in the literature’, Journal of Urban Fo-restry and Urban Grenning, Vol 13, Pages 597-611.

Sadyohutomo, Multono2008, Manajemen kota danwilayah realita dan tantangan, Bhumi Aksara.

Shackleton Chema, Chinymba, A 2015, ‘Multiplebenefit and values of tress in urban lanscapesin two towns in Northern South Africa’, Jour-nal of Landscape and Urban Planning, Elsevier,Vol. 136, Pages 76 – 86.

Shirvani, Hamid, 1985, The urban design process,Van Nostrand Reinhold Company: New York.

Yunus, H.S. 2001, Struktur tata ruang kota, PustakaPelajar.

Yunus, H.S. 2005, Manajemen kota perpektif spasial,Pustaka Pelajar.

Peraturan Perundang-undangan:Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Tata Ruang.Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Cagar Budaya.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 ten-

tang Pembagian Urusan Pemerintahan antaraPemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, danPemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Keputusan Menteri Permukiman dan PrasaranaWilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 tentangPenetapan Enam Pedoman Bidang PenataanRuang.

Page 106: DASDSAD - PPPM

REKONSTRUKSI BATAS BIDANG TANAHMENGGUNAKAN JARINGAN REFERENSI SATELIT PERTANAHAN

Kariyono1, Eko Budi Wahyono2, Tanjung Nugroho3

Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: ORS is a GNSS station operating continuously for 24 hours. It is also used as a reference for determining a, both asa real time and as post-processing. Cors in BPN RI is known as Jaringan Referensi Satelit Pertanahan (JRSP). BPN RI has notyet optimized the use JRSP to reconstruct parcel boundaries. The research is aimed at examine the JRSP in reconstructingparcel boundaries. The analysis on lateral displacement tolerance and the difference on the area of parcles was based ontechnical guidance of PMNA/KBPN No. 3 of 1997 and the t test using the level of significance of ( )=5%. The resultswere:1)The reconstruction of parcels using JSRP can be done by firstly implementing the coordinate transfer and the mostaccurate Helmert coordinate transfer method using a posteriori variance of ( ) = 1.143020313; 2) The lateral transfor-mation and the difference on parcel areas using JRSP suited the tolerance and the result of the t test did not show anysignificance level of ( ) = 5% .KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: reconstruction, parcel boundaries, JRSP

AbstrakAbstrakAbstrakAbstrakAbstrak: CORS merupakan stasiun GNSS yang beroperasi secara kontinyu selama 24 jam sebagai acuan penentuan posisi, baiksecara real time maupun post-processing. CORS di BPN RI dikenal sebagai Jaringan Referensi Satelit Pertanahan (JRSP). BPN RIbelum mengoptimalkan pelaksanaan rekonstruksi batas bidang tanah menggunakan JRSP. Tujuan dalam penelitian ini adalahuntuk menguji JRSP dalam pelaksanaan rekonstruksi batas bidang tanah. Analisis terhadap toleransi pergeseran lateral danperbedaan luas bidang tanah hasil rekonstruksi batas bidang tanah menggunakan JRSP berdasarkan Juknis PMNA/KBPN No 3tahun 1997 dan uji t dengan taraf signifikansi ( )=5%. Hasil penelitian ini adalah : 1)Rekonstruksi batas bidang tanah tanahmenggunakan JRSP dapat di laksanakan dengan terlebih dahulu melaksanakan transformasi koordinat dan metode transformasikoordinat yang paling teliti adalah metode Helmert dengan varian posteriori ( ) = 1.143020313; 2)Pergeseran lateral danperbedaan luas bidang tanah hasil rekonstruksi batas bidang tanah menggunakan JRSP memenuhi syarat toleransi dan dari uji tdengan taraf signifikansi ( ) = 5% tidak terdapat perbedaan yang signifikan.Kata KKata KKata KKata KKata Kunciunciunciunciunci: Rekonstruksi, Batas Bidang Tanah , JRSP

A. Pendahuluan

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuansekarang ini sangatlah pesat. Hal ini juga memacuperkembangan teknologi alat ukur pemetaan danmetode pengolahan data, serta kecepatan dalam

melakukan pemetaan. Salah satu dari perkem-bangan teknologi penentuan posisi berbasiskansatelit adalah Global Navigation Satellite System(GNSS) Continuous Operating Reference System(CORS). CORS merupakan stasiun GNSS yangberoperasi secara kontinyu selama 24 jam sebagaiacuan penentuan posisi, baik secara real timemaupun post-processing.

CORS di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dikenal sebagai Jaringan Referensi Satelit Per-tanahan (JRSP) yang merupakan sebuah teknologihandal dan layak dengan sistem memberi ketelitiantinggi untuk penentuan posisi di permukaan bumi

1 Penulis adalah Analis Kendali Mutu Pengukurandan Pemetaan, Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan,Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN KantorWilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, Email:[email protected]

2 Penulis adalah staf pengajar STPN Yogyakarta,email : [email protected]

3 Penulis adalah staf pengajar STPN Yogyakarta,email : [email protected]

Diterima: 9 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 26 Mei 2015

Page 107: DASDSAD - PPPM

100 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

(Direktorat Pengukuran Dasar BPN RI 2009, 1).JRSPdibangun untuk mempermudah dan mempercepattercapainya tertib pertanahan, meningkatnyaproduktif itas dan akurasi, serta meningkatnyakualitas pelayanan kepada masyarakat di bidangsurvei dan pemetaan (Direktorat Pengukuran DasarBPN RI 2009,10). Permasalahan sistem koordinatpada kegiatan survei dan pemetaan dapat teratasikarena pengukuran dengan receiver berbasiskanGNSS menggunakan sistem koordinat yangbereferensi global (georeference).

JRSP dengan aktivitasnya yang kontinu, dapatjuga diterapkan untuk dynamic cadastre, yaitusebagai kerangka geodetik yang dinamis danmemiliki akurasi homogen. Dengan adanya refe-rensi yang dinamis, maka titik titik kerangka JRSPdapat mengatasi permasalahan yang ditimbulkanoleh efek geodinamika (Direktorat PengukuranDasar BPN RI 2009, 6). Dengan mengembangkandynamic cadastre, dinamika posisi suatu titik dapatdipantau dan kemudian dapat dilakukan koreksiterhadap posisi tersebut sesuai dengan kondisiperubahan yang terjadi. Dengan adanya fakta In-donesia sebagai dynamicregion yang paling cocokditerapkan adalah semy dynamic datum denganepoch reference tertentu (Andreas 2011, 7).

Dengan adanya JRSP yang dapat diterapkanuntuk dynamic cadastre tersebut sangat pentingdijadikan acuan dalam perubahan posisi titik ikatdan batas bidang tanah yang telah diukur dan didaf-tar pada waktu lampau untuk terjaminya kepastianhukum terhadap obyek hak. Kepastian hukumterhadap obyek hak atas tanah meliputi kepastianletak, batas dan luas bidang tanah (Abidin 2005,2). Seringkali dijumpai tanda batas bidang tanahhilang atau bergeser dan untuk mengatasi hilang-nya tanda batas f isik bidang tanah tersebut perludilakukan rekonstruksi batas bidang tanah.

Permasalahan rekonstruksi batas bidangdengan menggunakan teknologi JRSP adalahpengukuran terdahulu yang menggunakan kerang-ka referensi yang berbeda yaitu JRSP BPN RI terikat

pada kerangka referensi global International Teres-trial Reference Frame 2008 (ITRF 2008) sedangkansebelumnya berdasarkan Datum Geodesi Nasional1995 (DGN 95) dengan acuan International Teres-trial Reference Frame 1992 (ITRF 92) pada epoch1993. Menurut Mustaqim (2013, 51) menyatakanakibat penggunaan sistem kerangka referensi yangberbeda pergeseran lateral rata-rata sebesar 0,991meter kearah 43,9530 dari utara, dimana base sta-tion pengukuran menggunakan ITRF 2008 sedang-kan TDT pengukuran menggunakan DGN 95.Dengan adanya hal tersebut akan berdampak terha-dap pekerjaan survei dan pemetaan di lingkunganKementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN salahsatunya dalam kegiatan rekonstruksi batas bidangtanah.

Dengan adanya pergeseran posisi tersebut makakoordinat (TDT) dan batas bidang tanah berdasar-kan pengukuran dengan sistem lama tidak bisasecara langsung digunakan dalam pelaksanaan re-konstruksi batas bidang tanah. Maka perlu adanyapengukuran koordinat pengamatan antar epochreference (Nugroho 2013, 259). Koordinat tersebutdapat bermanfaat untuk mengetahui besar danarah dislokasi posisi titik ikat dan batas bidangtanah serta dapat digunakan untuk melakukantranformasi koordinat dalam suatu pemetaankadastral antar waktu sehingga dapat menunjangkesahihan data pendaftaran tanah sehingga mampumenjamin kepastian hukum obyek hak atas tanah.

B. Tinjauan Pustaka

1. Titik Dasar Teknik

Menurut pasal 1 butir 13 PP No.24/1997, TitikDasar Teknik adalah titik yang mempunyaikoordinat yang diperoleh dari suatu pengukurandan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yangberfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikat untukkeperluan pengukuran dan rekonstruksi batas. TDTdibagi ke dalam beberapa orde berdasarkan tingkatketelitian dan kerapatan titik. Spesifikasi TDT dapatdilihat pada tabel 1 berikut ini:

Page 108: DASDSAD - PPPM

101Kariyono, dkk: Rekonstruksi Batas Bidang Tanah ...: 99-112

Tabel 1. Spesif ikasi Titik Dasar Teknik

Sumber: SNI Jaring Kontrol Horisontal Tahun2002

2. Rekonstruksi Batas Bidang Tanah

Secara bahasa “merekonstruksi” adalahmengembalikan dalam arti meletakkan kembalipatok-patok batas bidang tanah yang hilang atauberpindah tempat namun yang telah terukur sebe-lumnya ke posisi asalnya (artinya panjang sisi, ben-tuk, luas dan letak bidang tanah sama antarasebelum dan sesudah rekonstruksi) berdasarkandokumen yang tersedia atau alat bukti valid lainnya(Mardiyono dkk. 2009, 72). Dokumen yang diper-lukan untuk keperluan rekonstruksi yang tersediabisa berbagai macam, mulai dari Gambar Ukur,Surat Ukur, Peta Pendaftaran dan dokumen lainnya(Deputi Bidang Informasi Pertanahan BPN 2001,45). Untuk merekonstruksi batas bidang tanah,data yang paling utama adalah data dari GambarUkur karena data tersebut berasal dari pengamatandi lapangan.

Prinsip rekonstruksi adalah pegangan, acuanatau panduan yang tidak perlu dibuktikan karenakebenarannya secara umum telah terwujud dengansendirinya. Prinsip-prinsip rekonstruksi menurutMardiyono dkk. (2009, 73) adalah sebagai berikut:a) Semua yang tercantum dalam dokumen pengu-

kuran dianggap benar;b) Metode rekonstruksi minimal sepadan dengan

metode saat pengukuran;c) Hasil rekonstruksi merupakan hasil baru yang

minimal memiliki ketelitian yang sepadandengan sebelumnya;

d) Rekonstruksi adalah proses surveyor menemu-kan kembali batas yang benar.

Prinsip rekonstruksi batas bidang tanah tersebutditerapkan dalam rekonstruksi batas bidang tanahbaik secara terestris maupun menggunakan GPS.Secara terestris rekonstruksi titik batas bidangtanah menggunakan pita ukur/EDM sebagai alatukur jarak, theodolite/total station sebagi alat ukursudut. Menurut Abidin (2006, 232) pada prinsipnyaada dua metode perekonstruksian batas denganGPS yang dapat diaplikasikan, yaitu metodelangsung dan metode tidak langsung. Metodelangsung perekontruksian titik-titik batas bidangtanah dilakukan hanya menggunakan GPS, yaitudengan langsung mencari koordinat titik-titik batasbidang tanah yang diinginkan dan metodediferensial GPS secara realtime perlu diaplikasikan.Sedangkan metode tidak langsung dilaksanakandengan dua buah titik bantu di sekitar lokasi bidangtanah ditentukan koordinatnya secara diferensialdengan GPS terhadap suatu titik dasar teknikterdekat. Dari dua titik bantu GPS tersebut denganmenggunakan data jarak dan sudut, yang dihitungdari data koordinat titik batas dan titik bantu, makatitik batas dapat direkonstruksikan kembali dilapangan. Perkembangan teknologi penentuanposisi dengan JRSP yang dikembangkan oleh BPNRI dapat digunakan untuk pelaksanaan rekonstruk-si batas bidang tanah. Untuk mengetahui rekon-struksi batas bidang tanah dengan JRSP memenuhitoleransi yang ditetapkan atau tidak perlu adapegujian terhadap hasil dari rekonstruksi batasbidang tanah tersebut.

Untuk menghasilkan rekonstruksi batas bidangtanah yang akurat perlu adanya standarisasi. Dalamrekonstruksi batas bidang tanah belum adastandarisasi khusus terhadap ketelitian hasil darirekonstruksi. Di lingkup pengukuran dan peme-taan di BPN RI telah dikeluarkan Petunjuk TeknisPMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 Materi Pengu-kuran dan Pemetaan Pendaftaran Tanah yangmengatur tentang toleransi pergeseran posisi danluas terhadap pengukuran lebih dari 2(dua) kali.Sehingga diasumsikan bahwa rekonstruksi titik

TDT Kerapatan Instansi PengukuranOrde 0 > 50 km Bakosurtanal GPS

Orde 1 ± 20 s.d 50 km Bakosurtanal GPS

Orde 2 ± 10 km BPN GPS

Orde 3 ± 1 s.d 2 km BPN GPS

Orde 4 ± 150 m BPN Poligon

Page 109: DASDSAD - PPPM

102 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

batas bidang tanah terdapat toleransi pergeseranposisi yang diperbolehkan setiap titik adalah 10 cmuntuk daerah pemukiman dan 25 cm untuk daerahpertanian. Dalam hal luas bidang tanah toleransiluas adalah ½ L (Petunjuk Teknis PMNA/K.BPNNo. 3 Tahun 1997).

3. Gambar Ukur dan MetodaPengukurannya

Petunjuk Teknis PMNA/K.BPN No. 3 Tahun1997 (2002, V-15) menyebutkan bahwa GambarUkur pada prinsipnya adalah dokumen yangmemuat data hasil pengukuran bidang tanahberupa jarak, sudut, azimuth maupun gambarbidang tanah dan situasi sekitarnya. Catatan-catatan pada Gambar Ukur harus dapat digunakansebagai data rekontruksi batas bidang tanah. Dalampenelitian ini menggunakan Gambar Ukur daripengukuran terestris. Metode pengukuran secaraterestris diikatkan terhadap Titik Dasar Teknik(TDT). Titik Dasar Teknik adalah titik yang mem-punyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengu-kuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentuyang berfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikatuntuk keperluan pengukuran dan rekonstruksibatas.

Metode pengikatan yang sering digunakanadalah metode offset cara trilaterasi sederhana danmetode polar dengan unsur azimuth dan jarak, tiaphasil ukuran dicantumkan dalam Gambar Ukursesuai dengan aturan penulisan, kecuali padapengukuran yang dilaksanakan dengan peralatandigital seperti total station, format perekamandatanya akan berlainan (Nugroho 2004, 10).

4. Sistem Kerangka Referensi

ITRF direpresentasikan dengan koordinat dankecepatan dari sejumlah titik yang tersebar diseluruh permukaan bumi, dengan menggunakanmetode-metode pengamatan VLBI, LLR, GPS, SLR,dan DORIS (Subarya 2004, 12). Jaring kerangkaITRF dipublikasikan setiap tahunnya oleh IERS, dan

diberi nama ITRF-yy, dalam hal ini yy menun-jukkan tahun terakhir dari data yang digunakanuntuk menentukan kerangka tersebut (BadanStandarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia19-6724-2002). Sebagai contoh ITRF 92 adalahkerangka koordinat dan kecepatan yang dihitungpada tahun 1993 dengan menggunakan data IERSsampai akhir tahun 1992. ITRF dapat diperbaharuisecara terus-menerus dan yang terbaru adalah ITRF2008. Pada saat ini kerangka ITRF terdiri dari sekitar300 titik di permukaan bumi, yang mempunyaikoordinat dengan ketelitian sekitar 1-3 cm sertakecepatan dengan ketelitian sekitar 2-8 mm/tahun(Abidin 2001, 45).

Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Bakosur-tanal Nomor: HK.02.04/II/KA/96 tanggal 12Februari 1996 menetapkan bahwa setiap kegiatansurvei dan pemetaan di wilayah Republik Indone-sia harus mengacu DGN 95 atau yang biasa disebutsferoid WGS 84. Perwujudan DGN 95 di lapangandiwakili oleh sejumlah titik Jaring Kerangka GeodesiNasional (JKGN) orde 0 dan 1 yang menyebar diseluruh wilayah Indonesia hasil pengukurandengan teknologi GPS oleh Bakosurtanal (BadanInformasi Geospasial). Di lingkungan KementerianAgraria dan Tata Ruang/BPN, JKGN yang dikem-bangkan disebut KDKN di mana pengukurannyadengan teknologi GPS dengan ellipsoid referensiWGS 84 yang menyebar di Indonesia baik orde 2,orde 3 maupun orde 4 dengan bereferensi padaDGN 95 (Sunantyo dkk. 2011, 32).

5. Pergerakan Kerak Bumi

Pergerakan lempeng tektonik memilikipengaruh yang besar pada berbagai fenomena alam,misalnya menyebabkan terbentuknya sesar danjuga terjadinya gempa bumi (Meilano dkk.2012, 2).Bersamaan dengan gempa terjadi pergeseran titiksecara dramatis kisaran centimeter hingga meter.

Dinamika kerak bumi seperti pergerakan lem-peng, deformasi pada batas antar lempeng, defor-masi akibat mekanisme gempa bumi merupakan

Page 110: DASDSAD - PPPM

103Kariyono, dkk: Rekonstruksi Batas Bidang Tanah ...: 99-112

beberapa contoh yang memperlihatkan sifat bumidinamis, disamping bentuk dinamika lainnya yangbegitu kompleks dan beragam. Sifat dinamis bumiini akan memberikan konsekuensi terhadap sta-tus geometrik jaring titik kerangka dasar pemetaan.Salah satu contoh hasil penelitian Abidin dkk (2009,283) pasca gempa Yogyakarta yang terjadi pada 2006memperlihatkan hasil deformasi pascaseismiknyadalam arah horizontal adalah sekitar 0,3 sampai 9,1cm.

Proses geodinamika dan deformasi sedikitbanyaknya pasti akan mempengaruhi status geo-metrik titik-titik kerangka dasar pemetaan. Akibatproses geodinamika dan deformasi, bench Mark/tugu-tugu titik kerangka dasar pemetaan dapatberubah posisinya, sehingga akan mempengaruhinilai koordinat yang telah didefinisikan sebelum-nya.Untuk mengetahui pergerakan titik perluadanya survei deformasi dan geodinamika. Surveideformasi untuk mengetahui perubahan kedu-dukan titik secara absolut maupun relatif, sedang-kan survei geodinamika untuk memantau pergera-kan bumi yang sedang berlangsung.

Jaring Kontrol Geodesi Nasional (JKGN) sebagaititik ikat pengukuran dan pemetaan serta untukrekonstruksi batas dengan adanya fakta bahwa In-donesia adalah dynamic region rentan terhadappergerakan lempeng tektonik sehingga kondisigeometriknya berubah sewaktu waktu, makapendef inisian semi dynamic datum pada epochreference tertentu perlu diperhatiakan. MenurutAndreas (2011, 4) dengan adanya epoch referencetersebut dapat mengadopsi pengaruh deformasidan geodinamika terhadap set (kumpulan)koordinat dengan pendekatan transformasi ketikamelakukan proses rekonstruksi batas bidang tanahatau redef inisi sistem.

6. Transformasi Koordinat

Untuk dapat melaksanakan transformasi koor-dinat, diperlukan titik sekutu atau commonpoint(Jurusan Teknik Geodesi FTSP ITB 1997, 57). Titik

sekutu ini merupakan titik-titik yang berada dalamsistem koordinat lama dan sistem koordinat baru.Titik sekutu digunakan untuk mengetahui besar-nya parameter transformasi (skala, rotasi, translasi).Setelah parameter diketahui nilainya (berdasarkanhitungan), maka koordinat titik lainnya dalamsistem koordinat lama dapat ditransformasikan kesistem koordinat baru. Metode transformasi koor-dinat yang sering digunakan oleh Badan Perta-nahan Nasional adalah metode Helmert, metodeAff ine dan Metode Lauf.

Metode Helmert dikenal sebagai transformasisebangun (mempertahankan bentuk, sedangukuran dilepas) dan dibutuhkan minimal 2 titiksekutu. Metode Aff ine dan Lauf ini dikenaltransformasi tidak sebangun dalam arti ukuran danbentuk dilepas dan jumlah minimal titik sekutuadalah 3 buah. Metode Aff ine cakupan wilayahnyakurang dari 36 x 36 km2, sedangkan metode Laufcakupan wilayahnya 300 x 300 km2 (Kurniawan dkk.2006, 5).

7. Jaringan Referensi Satelit Pertanahan

GNSS merupakan sistem satelit navigasi danpenentuan posisi geospasial dengan cakupan danreferensi global yang menyediakan informasi posisidengan ketelitian bervariasi, yang diperoleh dariwaktu tempuh sinyal radio yang dipancarkan darisatelit dan ditangkap oleh receiver (Roberts dkk.2004 dalam Sunantyo 2010, 17). Beberapa satelitnavigasi yang merupakan bagian dari GNSSdiantaranya adalah GPS milik Amerika Serikat,GLONASS milik Rusia, Galileo milik Eropa, Com-pass milik China, the Indian Regional NavigationSatellite System (IRNSS) milik India, danJapan’sQuasi-Zenith Satellite System (QZSS) milikJepang.

CORS adalah salah satu teknologi berbasis GNSSyang berwujud suatu jaring kerangka geodetik yangpada setiap titik jaringnya terdapat receiver yangberguna untuk menangkap sinyal dari satelit-satelitGNSS yang beroperasi secara kontinyu. CORS dapat

Page 111: DASDSAD - PPPM

104 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

digunakan sebagai stasiun acuan dalam penentuanposisi relatif, baik secara real time maupun post-processing, dengan stasiun CORS sebagai single baseataupun sebagai multi base.

JRSP merupakan pengembangan teknologiCORS atau teknologi untuk menentukan posisisecara global menggunakan GNSS. StasiunreferensiJRSP dibangun secara permanen padalokasi yang stabil di beberapa kantor pertanahanyang ada di Indonesia dengan jarak antar stasiunreferensi sekitar ± 30 – 70 km (Direktorat Pengu-kuran Dasar BPN RI. 2009, 8). Stasiun referensidigunakan oleh pengguna (user) atau rover sebagaireferensi dalam penentuan posisi atau koordinatsuatu titik atau kumpulan titik pada suatu cakupanatau area secara real time maupun post processing.

Transfer data JRSP dapat dilakukan dengan 2(dua) cara yaitu via radio modem dan via internet(Sunantyo2009, 4). Pada transfer data via radiomodem range tergantung kekuatan dari radio mo-dem. Melalui internet, data hasil pengamatan dapatdiakses untuk penggunaan secara post processingmaupun real time. Data dalam post processingdiakses dalam format RINEX sedangkan untukpenggunaan secara real time data hasil pengamatandiakses dengan NTRIP (Networked Transport ofRTCM via Internet Protocol). Konfigurasi sistemJRSP dapat dilihat pada gambar 1 berikut:

Gambar 1. Konfigurasi Sistem JRSP (Sunantyo, 2009)

Dalam penelitian ini rekonstruksi batas bidangtanah menggunakan JRSP dilaksanakan secaralangsung. Pelaksanaan rekonstruksi batas bidangtanah secara langsung dengan base station JRSPdigunakan sebagai titik acuan yang telah diketahuikoordinatnya, sedangkan receiver digunakan sebagi

rover yang bergerak mencari koordinat dari titikbatas bidang tanah yang telah diketahui koordinat-nya. Selain lokasi yang terbuka dan bebas dariobstruksi, pengukuran metode real time mensya-ratkan adanya jaringan internet pada lokasi bidangtanah yang akan diukur, sehingga diperlukan me-dia komunikasi internet melalui suatu provider.

Pelaksanaanya rekonstruksi batas bidang tanahdengan JRSP menggunakan data koordinat yangada dalam Gambar Ukur, kemudian koordinattersebut dicari di lapangan dengan metoderealtime.Konsepnya dapat dilihat pada gambar 2 berikut:

Gambar 2. Pelaksanaan Rekonstruksi BatasBidang Tanah Secara Langsung Menggunakan

JRSP (Abidin,2006)

C. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Banyuraden,Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Base sta-tion yang digunakan adalah base station KantorPertanahan Kabupaten Sleman dengan koordinatX=293486.407, Y= 647745.779dan Z=256.791.Antena dan receiver base station nya dapat di lihatpada gambar 3 berikut:

Gambar 3 (a) antena EICA AR25 LEIT(b)receiver Leica GRX 1200+GNSS. (Sumber:

Kantor Pertanahan Kab. Sleman, 2014)

Page 112: DASDSAD - PPPM

105Kariyono, dkk: Rekonstruksi Batas Bidang Tanah ...: 99-112

2. Data

Data yang digunakan dalam penelitian antaralain: (a) data koordinat hasil pengukuran bidangtanah secara terestris yang diperoleh tanggal 19Februari 2014 di lokasi penelitian Desa Banyuraden;(b) data koordinat hasil pengukuran receiver GNSSyang terformat dalam RINEX (pengukuran postprocessing) yang diperoleh tanggal 20 dan 21Februari 2014 di Desa Banyuraden; (c) koordinatTDT orde 3 pada Buku Tugu tahun 1996 di lokasipenelitian Desa Banyuraden; (d) Data pergeseranlateral dan perbedaan luas bidang tanah hasilrekonstruksi batas bidang tanah menggunakanJRSP yang diperoleh tanggal 28 Februari 2014 diDesa Banyuraden.

3. Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitianmeliputi: (a) Receiver tipe geodetik double frequencysebanyak 2 buah merk Topcon Hiper Ga (Base danRover); (b) Rover CORS merk JAVAD TRIUMP-VS;(c) Base station JRSP Kantor Pertanahan KabupatenSleman; (d) Pita ukur; (e) Total Station Leica TC407; (f) Autocad Map 2004; (g) Program TopconLink v.8.2; (h) Program PCCDU versi 2.1.14p1 Lite;(i) Program Topcon Tools v. 7.2; (j) ProgramMicrosoft Excel versi 2007; (k) Program SPSS (Sta-tistical Package for the Social Sciences) Statis-tics16.0; (l) Program Microsoft Off ice versi 2007;(m) Laptop Acer 2930Z; SIMCARD Simpati(Telkomsel); (n) Aplikasi Spiderweb BPN RI; (o)Aplikasi Arc Gis 9.3; (p) Aplikasi Google Earth.

4. Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini populasi adalah seluruhtitik batas bidang tanah. Sedangkan sampel yangdigunakan adalah 24 batas bidang tanah (15 bidangtanah). Pengambilan sampel dilakukan secara acaksederhana (simple random sampling) dimana setiappopulasi memiliki kesempatan yang sama untukdiambil sebagai sampel penelitian.

5. Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Gambar 4. Diagram Alir Penelitian

6. Teknik Analisis Data

Melaksanakan transformasi koordinat denganmetode Helmert, Aff ine dan Lauf. Mencari masing-masing varian pasteriorinya dengan rumus sebagaiberikut:

Keterangan = varianposteriori; V= Matrik residu dan

r = degree of freedomMelaksanakan analisis data berdasarkan Juknis

PMNA/K.BPN No 3 Tahun 1997 dan uji t.a. Pergeseran Lateral

Berdasarkan Juknis PMNA/K.BPN No 3 tahun1997 pergeseran lateral ini dengan nilai toleransi 10cm daerah pemukiman dan 25 cm untuk daerahpertanian

Rumus pergeseran lateral;

KeterangandLi= Pergeseran Lateral titik I; Xi,Yi =Koordinat

Page 113: DASDSAD - PPPM

106 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

titik batas bidang tanah dalam Gambar Ukur;xi,yi =Koordinat titik batas bidang tanahhasilrekonstruksi JRSP.Uji t (taraf á = 5%)

Keterangan :dL = Rata-rata penyimpanganlateral posisi; S = Simpangan Baku penyim-pangan lateral; n= Jumlah sampel.

Untuk dapat menguji apakah harga thitung

perhitungan dengan rumus di atas sama dengannol atau tidak berbeda secara signifikan, maka perludikonsultasikan dengan ttabel, dengan memakaitingkat kepercayaan 95 % dan besar derajatkebebasan untuk uji t adalah dengan n-1 (Sugiyono2002, 93). Jika ttabel thitung + ttabel, maka tidakterdapat perbedaan yang signif ikan terhadappergeseran lateral batas bidang tanah hasilrekonstruksi menggunakan JRSP.b. Perbedaan Luas

Berdasarkan Juknis PMNA/K.BPN No 3 tahun1997 toleransi perbedaan luasnya adalah sebagaiberikut:

Keterangan: T = Toleransi selisish/perbedaanluas; L = Rata-rata luasUji t (taraf = 5%)Keterangan :e = Nilai rata-rata perbedaan luas.;Se = Simpangan baku perbedaan luas;n = Jumlah sampelUntuk dapat menguji apakah harga thitung

perhitungan dengan rumus di atas sama dengannol atau tidak berbeda secara signifikan, maka perludikonsultasikan dengan ttabel, dengan memakaitingkat kepercayaan 95 % dan besar derajatkebebasan untuk uji t adalah dengan n-1(Sugiyono2002, 93). Jika ttabel thitung d” + ttabel, maka tidakterdapat perbedaan yang signif ikan terhadapperbedaan luas bidang tanah hasil rekonstruksimenggunakan JRSP.

D. Hasil dan Pembahasan

1. Transformasi Koordinat Datum GeodesiNasional 1995 (DGN 95) dengan AcuanITRF 92 ke ITRF 2008

a. Titik Sekutu Transformasi KoordinatTitik sekutu pada sistem koordinat lama adalah

TDT yang dilaksanakan pengukuran tahun 1996berdasarkan DGN 95 (ITRF 92 pada epoch 1993).Titik sekutu berdasarkan sistem koordinat baruyaitu ITRF 2008 diukur secara statikpengolahandata post processing yang diikatkan menggunakantitik tetap dari base station JRSP Kantor PertanahanKabupaten Sleman. Pengukuran statiknya meng-gunakan alat Topcon Hyper Ga. Data rinexbase sta-tion JRSP Kantor Pertanahan Kabupaten Slemandiperoleh dengan melakukan pengunduhan melauispiderweb BPN RI yang dapat diakses pada http://www.bpnri-cors.net/spiderweb. Pengolahan datapost processing menggunakan software komersialTopcon Tools 7.2demo mode tanpa menggunakandongle di karenakan titik yang akan diolah hanya5(lima) buah titik.

Pada hasil pengolahan data diketahui bahwadengan jarak baseline sekitar 8 km didapat hori-zontal precision 0,003 m (pada baseline SLM1-TDT002), 0,003 m (pada baseline SLM1-TDT 103P), 0,004(pada baseline TDT B1"TDT TB2), 0,001m (padabaseline TDT TB1"TDT 002), 0,001m (pada baselineTDT TB2"TDT 002), 0,001m (pada baseline TDTTB2"TDT 103P) dan 0,001m (pada baseline TDT002"TDT 103P).Dikarenakan perbedaan pengikatantersebut maka koordinat yang dihasilkan punberbeda. Besar dan arah pergeseran lateral akibatperbedaan pengikatan antara DGN 95 denganacuan ITRF 92 dan ITRF 2008 dapat di lihat padatabel 2 berikut ini :

Page 114: DASDSAD - PPPM

107Kariyono, dkk: Rekonstruksi Batas Bidang Tanah ...: 99-112

Berdasarkan tabel 2 tersebut dapat diketahuibahwa besarnya pergeseran lateral pengukuranterhadap DGN 95 dengan acuan ITRF 92 dan ITRF2008 adalah 0,971 meter, sedangkan arahpergeseranya adalah 380 33’ 30,24" dari titik utara.

Menurut Subarya (2013, 15) perihal DGN 95dengan laju kecepatan (velocity rate) permukaanpulau jawa rata-rata 27mm/tahun. Dengan melihathal tersebut bahwa pada tahun 2014 ini waktu telahberlalu ± 18 tahun sejak 12 februari 1996. Sehinggaposisi awal telah berubah sebesar 18 x 27 mm=486mm = 0,486 meter. Namun dalam hal ini hasilperhitungan terdapat ± 0,971 meter perbedaanmengikat antara ITRF 2008 dan DGN 95 acuanITRF 92. Perbedaan yang cukup signif ikan antaraITRF 2008 dengan DGN 95 dengan acuan ITRF 92disebabkan oleh karena dokumentasi pendefini-sian mengenai DGN 95 yang masih kurang jelas(Mustaqim 2013, 52).

Selain itu Mausaura (2012, 49) pergeseran TDTyang ada di wilayah Kabupaten Bantul terdapatpada kuadran yang sama yaitu kuadran I atau kearah utara timur. Arah pergeseran utara timur inisama dengan hasil penelitian penulis di DesaBanyuraden, Kecamatan Gamping, KabupatenSleman. Arah pergeseran ini kemungkinan terjadikesalahan sistematik yang dipengaruhi olehbeberapa faktor. Salah satu faktor adalah gempabumi Yogyakarta pada tahun 2006yang menggun-cang kawasan Bantul, Yogyakarta, Sleman, danKlaten. Merujuk pada penelitian yang dilakukanoleh Abidin, dkk (2009, 10), nampak bahwa defor-masi koseismik gempa Yogyakarta pada tahun 2006sebesar 10 sampai dengan 15 cm dan deformasipascaseismik hingga tahun 2008 sebesar 0,3 sampai

dengan 9,1 cm. Jadi, masih besar kemungkinanpergerakan pascaseismik terus berlanjut hinggadiadakan penelitian ini.

Faktor lain menurut Andreas dkk (2011, 9)permasalahan status geometrik dari titik-titikkerangka dasar pemetaan nasional akibat kon-sekuensi dari dinamika bumi, dan akibat ketidak-cermatan dalam pengolahan data. Permasalahanini baik kita sadari atau tidak akan mempengaruhipekerjaan survei dan pemetan.Faktor lainnyaadalahkarena cara pengukuran yang berbeda.Oleh karenaitu, perlu dilakukan pengkajian lanjut sebabperbedaanya yang bersifat sistematis ini.

b. Parameter dan Varian PosterioriTransformasi Koordinat

Terdapat beberapa model dalam transformasikoordinat yang digunakan di lingkungan BPN RIdiantaranya metode Helmert, metode Aff ine danmetode Lauf. Parameter masing-masing metodedapat dilihat pada tabel 3, 4 dan 5 berikut:

Tabel 3. Parameter Transformasi Metode Helmert

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer Tahun2014.

Tabel 2. Titik Sekutu Transformasi Koordinat

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer Tahun 2014.

TitikKoordinat lama ( DGN 95

acuan ITRF 92)Koordinat Baru ( ITRF

2008) ΔX (m) ΔY (m) ΔL(m)Azimuth

X (m) Y(m) X(m) Y(m) ο ' "

TDT 002 292929.439 639386.131 292930.044 639386.890 0.605 0.759 0.971 38 33 30.24

TDT 103P 293088.510 639325.651 293089.115 639326.409 0.605 0.758 0.970 38 35 32.41

TDT TB 2 293066.491 639220.045 293067.096 639220.804 0.605 0.759 0.971 38 33 30.24

TDT TB 1 292902.266 639261.475 292902.871 639262.234 0.605 0.759 0.971 38 33 30.24

Parameter Nilai

P 0.999999367

Q -2.15322E-06

A -0.5859375

B 1.796875

Page 115: DASDSAD - PPPM

108 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

Tabel 4. Parameter Transformasi Metode Aff ine

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer Tahun 2014.

Tabel 5. Parameter Transformasi Metode Lauf

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer Tahun 2014.

Hitungan transformasi koordinat metodeHelmert, metode Aff ine dan metode Lauf tersebutmenghasilkan varian posteriorisebagaimana ditunjukkan pada tabel 6 sebagai berikut:

Tabel 6. Varian Posteriori Transformasi Koordinat

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer Tahun 2014.

Berdasarkan tabel 6 tersebut dapat di ketahuibahwa varian posteriori transformasi koordinatmetode Helmert lebih kecil dibandingkantransformasi koordinat metode Aff ine dan metodeLauf sehingga metode transformasi koordinat yangpaling teliti adalah metode Helmert.

c. Transformasi Koordinat Batas BidangTanah

Sebelum di lakukan rekonstruksi batas bidangtanahmenggunakan JRSP, koordinat batas bidang

tanah hasil pengukuran secara terestris pengikatanke DGN 95 dengan acuan ITRF 92 ditransformasi-kan ke ITRF 2008 menggunakan transformasikoordinat metode Helmert dengan parametersesuai dengan tabel 3.

Secara visual hasil dari transformasi koordinatbatas bidang tanah menggunakan metode Helmertmenghasilkan bentuk konform (sama bentuk/samasudut), hal inidapat di lihat pada gambar 5 berikut:

Gambar. 5. Peta Hasil Transformasi KoordinatBatas Bidang Tanah Menggunakan MetodeHelmert. (Sumber : Pengolahan Data Primer

Tahun 2014)

2. Pergeseran Lateral dan Perbedaan LuasBidang TanahHasil RekonstruksiBatasBidang Tanah MenggunakanJaringan Referensi Satelit Pertanahan

a. Pergeseran Lateral Hasil RekonstruksiBatas Bidang Tanah Menggunakan JRSP

Sebelum dilaksanakan pengukuran rekonstruk-si batas bidang tanah menggunakan JRSP terlebihdahulu data koordinat batas bidang tanah hasilpengukuran terestris yang sudah ditransformasikoordinat ke ITRF 2008 dimasukkan ke dalam roverJavad Triumph -VS dan dilakukan setting alat sesuaibuku panduan.

Sebelum pelaksanaan rekonstruksi batas bidangtanah menggunakan JRSP dengan alat rover JavadTriumph-VS di pastikan pada alat solusi RTK f ixedbaru selanjutnya di lakukan pencarian titik batasyang akan di rekonstruksikan di lapangan. Dalampenelitian ini data yang akan direkonstruksikanmenggunakan proyeksi TM 30. Hasil rekonstruksi

Parameter Nilai

A 1.000000011

B 7.45058E-09

C -4.03076E-06

D 0.99999693

C1 0.59375

C2 3.90625

Parameter Nilai

a1 9.53674E-07

a2 -5.72205E-06

b1 0.25

b2 2

C1 524288

C2 0

No Metode Data Lebih Varian Posteriori

Transformasi <r> < >

1 Helmert 4 1.143020313

2 Affine 2 8.805661004

3 Lauf 2 1.37439E+11

Page 116: DASDSAD - PPPM

109Kariyono, dkk: Rekonstruksi Batas Bidang Tanah ...: 99-112

batas bidang tanah tersebut dapat di lihat pada tabel7 berikut:

Tabel 7.Pergeseran Lateral Hasil RekonstruksiMenggunakan JRSP

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer Tahun 2014.

Secara visul pergeseran lateral tersebut dapatdilihat pada gambar 6 berikut ini:

Gambar 6. Peta Pergeseran Lateral HasilRekonstruksi Batas Bidang Tanah MenggunakanJRSP. (Sumber : Pengolahan Data Primer Tahun

2014)

Teknik analisis data terhadap pergeseran lateralbatas bidang tanah menggunakan dua cara yaitusebagai berikut:1) Juknis PMNA/K.BPN No 3 Tahun 1997

Sesuai dengan tabel 7 tersebut terlihat bahwapergeseran lateral hasil rekontruksi batas bidangtanah menggunakan JRSP terendah sebesar 4 cmmeter s/d 7,8 meter. Toleransi pergeseran lateralyang ditetapkan berdasarkan Juknis PMNA/KBPNNo 3 Tahun 1997 adalah 10 cm untuk daerahpemukiman dan 25 cm untuk daerah pertanian.Dengan demikian, pergeseran hasil rekonstruksibatas bidang tanah menggunakan JRSP memenuhisyarat toleransi yang telah disyaratkan.2) Uji t

Uji t (two tail test)pergeseran lateral pada tarafsignif ikansi ( ) 5% menggunakan SPSS 16.0 danhasilnya dapat dilihat pada tabel 8 berikut:

Tabel 8. Hasil uji t Pergeseran Lateral = 0,05dengan SPSS 16.0One-Sample Test

Sumber: Pengolahan data primer dengan SPSS16.0, Tahun 2014

One-Sample Test

Test Val

Berdasarkan tabel 8 diatas maka dapat dilihatbahwa thitung = 1.295 sedangkan ttabel ±2.069 dalamhal ini berarti thitung berada pada daerah penerimaanyang dapat di lihat pada kurva berikut:

Gambar 7. Nilai Kritis Pengujian Two Tailuntuk = 5% df =23.

TitikPergeseran Lateral Hasil Rekonstruksi

Jarak (m) Arah

1 0.070 Utara- Timur

2 0.052 Utara- Timur

3 0.048 Utara- Timur

4 0.050 Utara- Timur

5 0.042 Utara- Timur

6 0.045 Utara- Timur

7 0.044 Utara- Timur

8 0.070 Utara- Timur

9 0.060 Utara- Timur

10 0.052 Utara- Timur

11 0.050 Utara- Timur

12 0.050 Utara- Timur

13 0.047 Utara- Timur

14 0.050 Utara- Timur

15 0.040 Utara- Timur

16 0.066 Utara- Timur

17 0.060 Utara- Timur

18 0.042 Utara- Timur

19 0.050 Utara- Timur

20 0.050 Utara- Timur

21 0.048 Utara- Timur

22 0.048 Utara- Timur

23 0.050 Utara- Timur

24 0.078 Utara- TimurN Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Pergeseran 24 .0526 .00978 .00200

Test Val

t DfSig. (2-tailed)

MeanDifference

95% ConfidenceInterval of the

Difference

Lower Upper

Pergeseran 1.295 23 .208 .00258 -.0015 .0067

Page 117: DASDSAD - PPPM

110 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

Selain itu p-value (2 tailed)= 0,208lebih besar dari = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak

terdapat perbedaan signifikan terhadap pergeseranlateral batas bidang tanah hasil rekonstruksi batasbidang tanah menggunakan JRSP.

b. Perbedaan Luas bidang Tanah HasilRekonstruksi Batas Bidang TanahMenggunakan JRSP

Teknik analisis data terhadap perbedaan luasbidang tanah menggunakan dua cara yaitu sebagaiberikut:1) Juknis PMNA/K.BPN No 3 Tahun 1997

Tabel 9.Perbedaan Luas bidang Tanah HasilRekonstruksi Menggunakan JRS

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer Tahun 2014.

Berdasarkan Petunjuk Teknis PMNA/KBPN No3 Tahun 1997 bahwa syarat dari perbedaan luasadalah T= ½ “L. Dalam tabel 9 tersebut dapat dilihatbahwa untuk bidang tanah I s/d XV diterima ataumemenuhi toleransi yang dipersyaratkan.2) Uji t

Uji t (two tail test)perbedaan luas pada tarafsignif ikansi ( ) 5% menggunakan SPSS 16.0 danhasilnya dapat dilihat pada tabel 10 berikut:

Tabel 10. Hasil uji tPerbedaan Luasá = 0,05dengan SPSS 16.0One-Sample Test

One-Sample Test

Sumber: Pengolahan Data Primer dengan SPSS16.0, Tahun 2014

Berdasarkan tabel 10 diatas maka dapat dilihatbahwa thitung = 1.337 sedangkan ttabel ±2.145 dalam halini berarti thitung berada pada daerah penerimaanyang dapat di lihat pada kurva berikut:

Gambar 8. Nilai Kritis Pengujian Two Tailuntuk = 5% df =14.

Selain itu p-value (2 tailed)= 0,202 lebih besardari = 0,05, makadapat disimpulkan bahwa tidakterdapat perbedaan signifikan terhadap perbedaanluas bidang tanah hasil rekonstruksi batas bidangtanah menggunakan JRSP.

E. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapatditarik kesimpulan yaitu :1) Rekonstruksi batas bidang tanah tanah

menggunakan JRSP dapat dilaksanakan denganterlebih dahulu melaksanakan transformasikoordinat dan metode Helmert merupakanmetode paling teliti dengan varian posteriori ()

No

BidangL ? L(m

2)

T(±1/2?L)

(m2)

Penerimaan

(Ya/Tidak)

I 199.47 0.000253 7.062 Ya

II 200.6705 0.000254 7.083 Ya

III 201.9094 0.000256 7.105 Ya

IV 200.3025 0.000254 7.076 Ya

V 200.7774 0.000254 7.085 Ya

VI 197.7156 0.00025 7.031 Ya

VII 193.2498 0.000245 6.951 Ya

VIII 201.0995 0.00 0255 7.090 Ya

IX 201.4282 0.000255 7.096 Ya

X 201.0632 0.000255 7.090 Ya

XI 200.5864 0.000254 7.081 Ya

XII 186.5067 0.000236 6.828 Ya

XIII 193.2802 0.000245 6.951 Ya

XIV 208.6093 0.000264 7.222 Ya

XV 199.9229 0.000253 7.070 Ya

N Mean Std. DeviationStd. Error

Mean

Perbedaan_Luas15 .000252187 .0000063325 .0000016351

T df

Sig. (2-

tailed)

Mean

Difference

95% Confidence Interval

of the Difference

Lower Upper

Perbedaan

_Luas1.337 14 .202 .0000021869 -.000001320 .000005694

Page 118: DASDSAD - PPPM

111Kariyono, dkk: Rekonstruksi Batas Bidang Tanah ...: 99-112

= 1.143020313.2) Pergeseran lateral hasil rekonstruksi batas

bidang tanah dengan rata-rata 0.053 metermemenuhi syarat toleransi yang disyaratkanJuknis PMNA/KBPN No 3 Tahun 1997 yaitu 10cm untuk daerah pemukiman, 25cm untukdaerah pertanian dan dari uji t pergeseran lat-eral ( = 5%, df=23, thitung= 1.295, dan p-value =0,208) tidak terdapat perbedaan yang signifikanterhadap pergeseran lateral hasil rekonstruksibatas bidang tanah menggunakan JRSP. Untukperbedaan luas hasil rekonstruksi batas bidangtanah dengan rata-rata 0.000252 m2, memenuhisyarat toleransi sesuai Juknis PMNA/KBPN No3 Tahun 1997 yaitu T = ½ L dan dari uji t perbe-daan luas ( = 5%, df=14, thitung= 1.337 dan p-value= 0,202) tidakterdapat perbedaan signif ikanterhadapperbedaan luas bidang tanah hasilrekonstruksi batas bidang tanah menggunakanJRSP.Dari penelitian ini, terdapat beberapa saran yang

dapat diberikan untuk kemajuan penelitian selan-jutnya, yaitu :1) Perlunya pembenahan sistem pengelolaan

stasiun JRSP BPN RI karena sistem yang selamaini terpusat dan terkadang sedang dalamkeadaan maintenance menyebabkan downloaddata RINEX stasiun JRSP Kantor PertanahanKabupatenSleman cukup lama;

2) BPN RI di harapkan mampu mengoptimalkanpemanfaatan JRSP salah satunya untuk pelaksa-naan rekonstruksi batas bidang tanah;

3) Perlu dilakukan pendefinisian ulangkoordinattetap (f ixed point) basestation JRSP KantorPertanahan Kabupaten Sleman secara berkalaoleh BPN RI. Hal ini untuk mengetahui tingkatperubahan posisi base station dan terkait konseppenerapan JRSP untuk dynamic cadastre.

Daftar Pustaka

Abidin,H.Z 2001,Geodesi satelit, Jakarta: PradnyaParamita.

____, 2005, ‘Rekonstruksi batas persil tanah di Acehpasca tsunami: beberapa aspek dan perma-salahannya’, Jurnal Infrastruktur dan Ling-kungan Binaan,Vol. I No. 2 h. 1-10.

____, 2006, Penentuan posisi dengan gps danaplikasinya, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita.

Andreas, Heri 2011, Epoch Refrence 2012, FIT ISIdan seminar nasional 2011, Semarang, 24 No-vember 2011.

Badan Pertanahan Nasional 1998, Petunjuk teknisPMNA/K.BPN No. 3 tahun 1997: materi pengu-kuran dan pendaftaran tanah,Badan Perta-nahan Nasional, Jakarta.

Badan Pertanahan Nasional 2001, Pegangan petugasukur: materi pengukuran dan pemetaankadastral, Deputi Bidang Informasi Perta-nahan, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.

Badan Pertanahan Nasional RI 2009, Pelaksanaanpengukuran dan pemetaan bidang tanah denganCORS/JRSP, Deputi Survei Pengukuran danPemetaan BPN Republik Indonesia, Jakarta.

Badan Pertanahan Nasional RI 2009, Pedoman danpetunjuk teknis jaringan referensi satelit perta-nahan,Deputi Survei Pengukuran dan Peme-taan Badan Pertanahan Nasional RepublikIndonesia, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional 2002, Standart Nasio-nal Indonesia jaring kontrol horisontal SNI 19-6724-2002, Jakarta.

Jurusan Teknik Geodesi FTSP ITB 1997, Petunjukpenggunaan proyeksi TM 30 dalam pengu-kuran dan pemetaan kadastral, kbk pemetaansistematik dan rekayasa. Bandung.

Kurniawan, Buyung dkk 2004, ‘Uji perbandinganmetode lauf dan aff ine dalam transformasikoordinat sistem lokal ke sistem nasional,Jurnal Widya Bhumi STPN, Yogyakarta No 15Tahun 6 November 2006, h.1-13.

Mardiyono, Yuli dan Arief Syaifullah 2009, Materipokok pengukuran dan pemetaan kadastral II,Cetakan Pertama, Sekolah Tinggi PertanahanNasional, Yogyakarta.

Meilano, Irwan dkk 2012, ‘Analisis deformasi gempa

Page 119: DASDSAD - PPPM

112 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

mentawai tahun 2010 berdasarkan datapengamatan GPS kontinu tahun 2010-2011’.Jurnal Geof isika Vol. 13 No. 2 h. 42-51.

Musaura, Amon Yoga2012, Pemanfaatan GNSSCORS untuk penentuan titik dasar teknik orde3 menggunakan metode rapid static denganmoda radial, Skripsi, Yogyakarta: JurusanTeknik Geodesi , Fakultas Teknik UGM.

Mustaqim, Miftah 2013, Perbandingan antara hasilpengamatan GPS JRSP metode single base danmulti base, Skripsi, Program DIV STPN Yog-yakarta.

Nugroho, Tanjung 2004, ‘Bagaimanakah gambarukur yang standart? ’Jurnal Widya BhumiSTPN, Yogyakarta No. 14 Tahun 5 h.8-14.

Nugroho, Tanjung 2005,‘Distorsi bentuk dalamtransformasi dari UTM ke TM 30’, Jurnal WidyaBhumi STPN, Yogyakarta No. 13 Tahun 5Desember 2005 h. 26-33.

Nugroho, Tanjung 2013, ‘Kadaster 4D: sebuahkeniscayaan menurut kondisi geologis Indo-nesia’, Jurnal Ilmiah Pertanahan Bhumi, No.38 Tahun 12, Oktober 2013, hal 253-262.

Subarya, Cecep 2004, Jaring kontrol geodesinasional dengan pengukuran global position-ing system dalam itrf 2000 epoch 1998, Bogor:Bakosurtanal Pusat Geodesi dan Geodinamika.

Sugiyono 2002,Statistika untuk penelitian. Ban-dung: CV Alfabeta.

Sunantyo, T.A 2009, GNSS CORS infrastructure andstandard in Indonesia, 7th FIG Regional Con-ference, 19-22 October 2009, Hanoi, Vietnam.

Sunantyo, T.A 2010, ‘Tinjauan status titik dasarteknik dan prospeknya di masa mendatangbagi BPN-RI’, Makalah Seminar NasionalGNSS-CORS, Jurusan Teknik Geodesi FT, Uni-versitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sunantyo, T.A dan Jawahir F 2011, ‘Jaring kontrolgeodetik dinamik di wilayah tektonik Indo-nesia’, FIT ISI dan Seminar Nasional 2011,Semarang, 24 November 2011.

Page 120: DASDSAD - PPPM

Judul Land’s End: Capitalist Relations inan Indigenous Frontier

Pengarang Tania Murray LiPenerbit Duke University Press (2014)Halaman ix + 225

Karya etnograf i mengenai penduduk peda-laman cenderung didominasi oleh pandanganhitam-putih mengenai suku-suku terpencil berbu-daya unik dan peduli lingkungan yang menghadapikekuatan merusak dari luar. Buku Land’s End: Capi-talist Relations on an Indigenous Frontier (selan-jutnya disebut LE) mengisahkan penduduk peda-laman tetapi tidak menghadirkan cerita sederhanapahlawan-pecundang. Sebaliknya, LE berisi kisahpenduduk Lauje di pedalaman Sulawesi Tengahyang aktif terlibat dalam perubahan, mengagumigaya hidup konsumtif dan aktif memanfaatkanpeluang pasar. Berdasar penelitian dua dekade(1990-2009) di dataran tinggi Lauje, antropologTania Li mendeskripsikan dan menganalisis hu-bungan sosial orang Lauje setelah terlibat denganproduksi kakao. Produksi kakao menghasilkanhubungan kapitalis yang tidak hanya menawarkanharapan dan kemakmuran namun juga mencip-takan hubungan sosial baru berdasar kelas sosialdan kepemilikan sarana produksi.

Kapitalisme sebagai hubungan sosial

Meskipun perhatian utama buku ini adalahdeskripsi etnografi atas kemunculan relasi produksikapitalis dekade 1990-an, penjelasan historis

KAPITALISME PEDALAMAN DAN PRAKTIK POLITIK ETNOGRAFIDarmanto1

formasi posisi dan identitas orang Lauje mengawalibab pertama. Orang Lauje bukanlah orang tertutup.Interaksi dengan penguasa dan pedagang di pesisirberlangsung paling tidak dua abad. Pungutan,pajak, kerja paksa, dan ekstraksi sumberdayamenandai riwayat Lauje dengan kekuatan dariluar—kerajaan pesisir, pemerintah Belanda, danpemerintah Indonesia paskakolonial. Sementara itutembakau, jagung dan bawang memerantaihubungan mereka dengan perdagangan global.

Pembacaan sejarah regional dan global inimemberi latar belakang bagi pembentukan relasikapitalis Sulawesi Tengah. Selama relasi panjangtersebut, posisi geograf is dan sosial orang Laujemarjinal. Terletak di teluk Tomini, dataran tinggiLauje berbukit curam dan terpapar siklus el-ninosecara rutin. Produksi pertanian dan hasil hutanrentan dilanda kekeringan dan serangan hama,sementara topograf i bergelombang membatasikomunikasi dan transportasi. Posisi geografis inimenciptakan hubungan asimetris. Secara sosial,ketimpangan relasi kuasa menempatkan posisi or-ang Lauje sebagai pihak pinggiran dan membentukidentitas mereka sebagai orang-orang terbelakang.Kedatangan kakao disambut antusias sebagai jalankeluar bagi kemiskinan.

Sebelum kakao, orang Lauje mengembangkaninstituti sosial yang mengatur penggunaan tanahdan sumberdaya. Bab kedua menjelaskan orangLauje memiliki pengaturan tanah yang fleksibeldan menjamin akses bagi kelompok kerabat dantetangga. Prinsipnya, siapa yang menginvestasikantenaga kerja dengan membuka hutan maka dialahyang memiliki hak mengolah lahan. Kepemilikanpribadi yang dihasilkan oleh kerja dan keringatdiakui, tanpa memandang jenis kelamin. Tekstursehari-hari hubungan dan lembaga sosial berada

1 Mahasiswa riset di Kajian Asia UniversitasMurdoch dan Departemen Antropologi Budaya danSosiologi Pembangunan Universitas Leiden. Email:[email protected]

Review Buku

Diterima: 20 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 26 Mei 2015

Page 121: DASDSAD - PPPM

114 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

dalam ketegangan untuk bekerja secara individudan hidup bersama orang lain. Meskipun merekamempraktikkan etika berbagi lahan yangdijalankan secara kolektif, institusi mereka tidakmengelaborasi dan mengantisipasi praktik akumu-lasi, terutama karena, sebelum kakao, tanah masihdianggap melimpah.

Bab ketiga mengisahkan perubahan pengaturantanah orang Lauje seiring produksi baru. Transfor-masi ini ditandai dengan munculnya konsep danistilah lokasi yang merujuk pada sebidang tanahyang dapat dimiliki secara pribadi dan dapat diper-tukarkan secara individual. Munculnya istilah inimenggambarkan proses penutupan akses lahanbersama yang diatur melalui prinsip investasi tena-ga kerja dan pewarisan melalui keturunan bilateral.Kemunculan lokasi mengubah lahan bersamamenjadi situs kontestasi yang diperebutkan olehkerabat dan sanak-famili untuk dijadikan tanahpribadi. Proses pengaplingan tanah ini menandaifase krusial dalam hubungan kapitalis yang dikenalsebagai pematokan (enclosure). Fase ini melandasiproses akumulasi primitif, sebuah proses gandayang melibatkan pemisahan petani dengan tanahdan penciptaan tenaga kerja ‘bebas’.

Proses pematokan dan akumulasi primitifdiikuti oleh perampasan hak dan akses atas lahanbersama. Perampasan ini berlangsung sunyi dansehari-hari, karena setiap orang berkehendakmengubah nasib. Menariknya, tindakan akumulasilewat perampasan hak dan akes lahan bersama inirelatif tidak mendapat tentangan moral (hal 97, 151).Orang tak bertanah tidak mengeluhkan kekerasansosial dari proses pematokan, namun mengeluhkanhabisnya cadangan lahan. Mulanya, hampir semuaorang Lauje menikmati prospek kemakmuranlewat penguasaan lokasi sebanyak mungkin. Segerasetelah akumulasi primitif bekerja, hubungan kapi-talis menjerat orang Lauje kedalam sirkuit “tanah,kerja upahan, dan kapital” yang bergerak denganhukum kompetisi. Proses ini tidak bekerja acak.Orang-orang yang terlambat mematok, panen bela-

kangan, gagal produksi atau tidak kuasa memutusikatan kekerabatan akan berakhir menjadi tenagakerja upahan.

Produksi kakao mentransformasikan penga-turan lahan, memunculkan kepemilikan pribadi,dan menciptakan hubungan sosial berdasar prinsipkerja upahan. Hubungan kekerabatan atas prinsipresiprokal yang mendasari ikatan sosial digesermenjadi sekedar hubungan kerja bayaran. Tepat dibab empat, LE mengembangkan argumen dan me-nunjukkan bahwa kapitalisme adalah sebuahhubungan sosial. Mengelaborasi gagasan MeiksonWood (2002: 3-7), Tania memaparkan bahwa kuali-tas definitif hubungan kapitalis adalah “memaksaelemen produksi bekerja untuk pasar”. Hubunganini memiliki hukum gerak sendiri yang memaksarangkaian proses sosial orang Lauje ditujukan bagiproduksi pasar. Untuk bertahan hidup, tidak ada jalanbalik bagi orang Lauje untuk menanam tanamansubsisten atau berproduksi diluar pasar. Merekaharus ikut terlibat dalam produksi tanaman palingkompetitif—baik sebagai pemilik atau pekerja.

Proses pembentukan hubungan kapitalis diLauje terjadi kurang dalam satu generasi danberlangsung murni di antara kerabat dan tetanggadekat yang memiliki sejarah sosial yang sama.Akumulasi, penyingkiran, dan kekerasan bukanistilah abstrak, tetapi kenyataan sosial yang ditemuisehari-hari. Ada kisah paman mengambil alih tanahwarisan keponakan dengan kekuatan supranaturaldan suami mengeksploitasi tenaga kerja istri. Petaniyang jatuh bangkrut merelakan tanahnya berpin-dah tangan ke ipar atau sepupu yang siap denganuang di tangan. Sementara mereka yang terjerathutang untuk biaya pernikahan anak, merelakanladangnya diambil tetangga. Sebaliknya, petanikaya harus meminjam uang di bank atau mengeks-ploitasi mertua sendiri agar terus mempertahankanproduksi. Hubungan kapitalis bekerja bukan seba-gai seperangkat teori dan jargon, tetapi merasukke dalam kisah orang-orang nyata, yang punya hatiserta perasaan.

Page 122: DASDSAD - PPPM

115Darmanto: Kapitalisme Pedalaman dan Praktik Politik ...: 113-116

Etnografi sebagai praktik politik

Buku LE ini tidak hanya menghadirkan pan-dangan dunia dan tekstur kehidupan orang Laujeseperti banyak karya etnografi brilian. Lebih dariitu, LE membawa kekuatan etnograf i sebagaiperangkat analisis-kritis ketika ia digabungkandengan pembacaan sejarah dan pendekatan politik-ekonomi. LE menyegarkan kembali kajian agrariadan membawa perdebatan tentang kapitalismekembali ke arena percakapan akademik dan perde-batan politik. Sebagai antropolog, Tania Li memilikikepekaan untuk menautkan rincian hasil observasi,catatan lapangan, dan deskripsi pengalamandengan bingkai yang dipilihnya secara cermat.Hasilnya, buku ini berhasil memadukan penga-laman etnografi yang bersifat partikular dan lokaldengan pembacaan proses sosial-politik global. Iajuga berhasil memilin cerita yang spesif ik tentangorang Lauje dengan pembahasan teoritik klasikmengenai proses pembentukan relasi kapitalis.

Keberhasilan ini dimungkinkan oleh pilihanmetodologi. Tania Li tidak memilih situs penelitianberupa desa atau dusun tertentu. Ia melacak ‘hu-bungan sosial’ di antara banyak pelaku (individu,keluarga, lingkungan tetangga) tanpa dibatasi olehunit wilayah. Sebaliknya, LE menggabungkanpelbagai elemen dan proses yang membentukformasi spasial dan posisi orang Lauje, yang terpisahmenjadi tiga kategori batas sosial—orang pesisir,penduduk tengah, dan penduduk pedalaman.Metode ini memberi kesempatan untuk menerap-kan ‘analisis konjungtur’, yang fokus pada “elemen,proses, dan hubungan yang membentuk kehidupanmanusia pada ruang dan waktu tertentu” (hal 4).Dengan analisis konjungtur, Tania Li bisa membacaberagam kekuatan yang bertemu pada ruang danwaktu tertentu dan menghasilkan dinamika geraksejarah spesif ik. Analisis konjungtur ini menje-laskan kenapa hubungan kapitalis muncul dipedalaman Lauje pada 1990-an melalui produksikakao dan kenapa tidak di waktu dan tempat yanglain.

Yang utama, buku ini secara eksplisit diniatkansebagai kerja politik dalam pengertian Gramsci-an(hal 5). Buku ini berusaha mengembalikan etno-graf i sebagai kerja-kerja yang ‘secara instrinsikbersifat politik’ dengan cara menghadirkan rekahanantara kategori dan pemahaman yang dianggapmapan dengan tekstur kehidupan harian yangmenyimpan kejutan. Rekahan ini memberi tan-tangan bagi narasi dominan yang selama inimenawarkan solusi bagi masalah penduduk peda-laman. Secara khusus, Tania menantang wacanatentang penggencaran relasi kapitalis sebagaijawaban atas kemiskinan pedalaman sekaligusmengulas gerakan sosial yang mengabaikan keter-singkiran orang Lauje karena tidak memenuhi citradan representai orang-orang pedalaman yang “baik”berjuang menghadapi kekuatan luar yang “jahat”.

Buku ini membawa pertanyaan kunci: kenapasuara orang-orang Lauje ini tidak menjadi perde-batan publik, percakapan politik, kampanye ge-rakan sosial dan diskusi akademik? Tania Li berpen-dapat bahwa orang Lauje tidak mendapat perhatianpublik karena tidak memadainya pemahamanproses sosial yang menyingkirkan mereka. Narasimodernisasi yang dipegang teguh pemerintah danagen pembangunan utama (Bank Dunia, IMF)percaya bahwa masalah penduduk yang tersingkirdari pertanian seharusnya pergi ke kota mencarikerja di pabrik atau ‘sektor informal’ (hal 2, 169).Masalahnya, industri di kota-kota di Indonesiatidak tumbuh dan kesempatan menjadi pekerja diluar negeri sangat kompetitif. Kebanyakan orang-orang Lauje yang tersingkir ini tidak baca-tulis,tidak punya kualif ikasi formal dan sedikit kemam-puan membangun jaringan sosial. Lapangan kerjayang dijanjikan hanya akan membawa pendudukLauje memindahkan kemiskinan dari pedalamanke pinggiran kota.

Sementara itu, sarjana sosial dan aktivis seringterperangkap dalam gagasan ‘komunitas’ peda-laman yang lincah menghindari tekanan negaradengan bergerak mencari lahan-lahan kosong di

Page 123: DASDSAD - PPPM

116 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

sekitar hutan. Gagasan ini berasumsi pendudukpedalaman dapat memperagakan ‘senjata orang-orang kalah’ dan terus berpencar untuk menghin-dari kekuatan dari luar. Masalahnya, wilayahpedalaman sudah tidak lagi menjadi tempat idealuntuk melarikan diri. Kawasan tapal-batas (fron-tiers) telah dirambah oleh perkebunan, perusahaankayu, pendatang lapar-lahan, atau ditetapkansebagai kawasan konservasi (hal 167-169). Banyakpenduduk pedalaman terkunci dalam area sempittanpa bisa bergerak ke mana-mana karena hutandi sekitar sudah diawasi jagawana atau satpamperkebunan.

Gerakan sosial petani cenderung memotret pen-duduk pedalaman sebagai petani kecil-menengahideal yang mengembangkan pengaturan lahan yangdemokratis, egaliter, dan berorientasi padatanaman pangan. Gagasan ini mengkampanyekankedaulatan petani dan mengandaikan bahwapenduduk pedalaman punya ‘otonomi’ untukmengontrol apa yang mereka tanam agar produksiterus berkesinambungan. Seperti yang ditunjukkanbuku ini, pandangan seperti ini ahistoris. Gagasankedaulatan pangan yang mengidealkan etikasubsisten dan produksi terbatas untuk pasarmengabaikan relasi panjang penduduk pedalamandengan ekonomi global (hal 165). Mereka menga-baikan fakta bahwa orang pedalaman tidak pernahhidup terisolasi dan terlibat dalam ekstraksi sum-berdaya selama berabad-abad dan sangat cepatmerespon kebutuhan pasar global.

Orang-orang Lauje juga tidak mendapat simpatigerakan sosial mengatasnamakan masyarakat adatkarena mereka sulit memenuhi kriteria sebagaimasyarakat adat. Penduduk Lauje tidak mudahdidentif ikasi dan didengar suaranya karena tidakpunya penampilan kultural (tarian, praktik perdu-kunan, pakaian adat, benda budaya) yang spek-takuler. Mereka hidup berpindah-pindah selamaratusan tahun, tidak memiliki ikatan teritorialseperti yang diimajinasikan aktivis gerakan adat danjuga tidak memiliki seperangkat pengaturan lahan

yang menolak relasi pasar. Terlebih lagi, gerakanadat masih bertolak dari politik perbedaan dan abaipada relasi produksi (Sangaji 2012). Pembelaanpetani tanpa tanah Lauje juga nyaris asing dalamprogram kerja pemerintah, perdebatan politik for-mal di parlemen dan dalam program kerja partaipolitik. Program-program pembangunan datangdan pergi silih berganti ke pedalaman namun mere-ka abai pada relasi kuasa dan justru mengekalkanoligarki lokal yang terus mengkonsolidasikan ba-sis ekonomi-politik. Perdebatan politik formal tabumengungkapkan dan memakai isu-isu kelas.

Jutaan penduduk pedalaman di Indonesia ber-nasib seperti orang Lauje. Suara mereka tak ter-dengar karena praktik kultural, politik, dan perju-angan mereka tidak cukup terkoneksi dengan plat-form gerakan sosial, produksi pengetahuandominan, dan praktik politik formal. Masalahmereka tidak teridentif ikasi oleh pihak luar karenaagensi mereka dan gerakan sosial-politik tidaknyambung. Tepat di sini Tania Li menunjukkanbahwa kerja-kerja etnografi, sebagai praktik politik,dapat menjembatani jarak antara wacana danpengetahuan dominan tentang apa yang seharus-nya dengan apa yang sebenarnya. Etnografi dapatmenghasilkan debat, pemahaman, dan kemung-kinan solusi bagi masalah jutaan orang, dengan caramenginterupsi kategori yang telah mapan danmengkonfrontasi asumsi yang dianggap sebagaikebenaran melalui deskripsi realita yang dialamiorang-orang nyata. Buku ini sangat penting untukditerjemahkan kedalam bahasa Indonesia danmenjadi pegangan bagi aktivis, sarjana, mahasiswa,dan juga pemegang kebijakan dan petugas partaipolitik untuk membuka perdebatan produktif danpemahaman cermat atas tentang nasib orang-orangtersingkir nun jauh di pelosok-pedalaman.

Pustaka:

Sangaji, Anto 2012, Masyarakat Adat, Kelas, danKuasa Eksklusi. Kompas, 21Juni

Wood, E.M 2002, The Origin of Capitalism: A LongerView. London and New York: Verso.