Upload
tranxuyen
View
237
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
0
DAYA BUNUH EKSTRAK DAUN KEMANGI UNGU (Ocimum sanctum)
TERHADAP LARVA Anopheles aconitus
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
USTAVIAN HASANAH
G 0006166
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anopheles adalah vektor penyakit malaria. Penyakit ini merupakan
salah satu momok kesehatan masyarakat yang sangat penting di dunia. Malaria
adalah penyebab utama terjadinya kematian di banyak negara berkembang
terutama pada anak-anak dan ibu-ibu hamil sebagai kelompok utama yang
mudah terinfeksi. Malaria tersebar di sekitar 100 negara miskin di daerah
tropis dan subtropis seperti India, Afganistan, Srilangka, Thailand, Vietnam,
Kamboja, Cina, Filipina, Amerika Tengah, Meksiko, Afrika dan Indonesia
(Sembel, 2009). Hampir separuh populasi Indonesia sebanyak lebih dari 90
juta orang tinggal di daerah endemik malaria dan diperkirakan ada 30 juta
kasus malaria setiap tahunnya di Indonesia. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat,
malaria termasuk penyakit yang muncul kembali (re-emerging diseases)
(Bappenas, 2009). Di Indonesia kawasan timur mulai dari Kalimantan,
Sulawesi Tengah sampai ke Utara, Maluku, Irian Jaya dan dari Lombok
sampai Nusa Tenggara Timur serta Timor Timur merupakan daerah endemik
malaria. Beberapa daerah di Sumatra mulai dari Lampung, Riau, Jambi dan
Batam kasus malaria cenderung meningkat (Sudoyo, 2007).
Malaria adalah penyakit infeksi yang secara alami ditularkan melalui
gigitan nyamuk Anopheles betina (Depkes RI, 2003). Lebih dari 400 spesies
Anopheles di dunia dan hanya sekitar 64 spesies yang telah terbukti
mengandung sporozoit dan dapat menularkan malaria (Harijanto, 2000). Di
1
2
Indonesia telah ditemukan 24 spesies Anopheles yang menjadi vektor penting
(Gambiro, 2007). Salah satunya adalah Anopheles aconitus yang telah
dibuktikan sebagai vektor malaria di Cianjur, Purworejo, Banjarnegara, Jepara
dan Wonosobo (Depkes RI, 1983).
Upaya untuk menekan angka kejadian malaria dilakukan melalui
Program Pemberantasan Malaria yang salah satu kegiatannya adalah
pengendalian vektor untuk memutus mata rantai penularan malaria (Depkes
RI, 2003). Menurut WHO (2007), pengendalian vektor adalah tindakan yang
secara umum paling efektif untuk mencegah transmisi malaria. Pengendalian
vektor ini antara lain pengendalian lingkungan, mekanik, kimiawi, fisik,
biologik, genetika dan legislatif. Pengendalian yang dapat menekan populasi
vektor dalam waktu singkat adalah secara kimiawi dengan insektisida. Namun,
keburukan pengendalian ini adalah menimbulkan pencemaran lingkungan
(Gandahusada dkk., 1998). Penggunaan insektisida dari bahan alami pun
semakin tinggi karena semakin banyaknya resistensi nyamuk terhadap
insektisida sintetik (Seyoum et al., 2002). Oleh karena itu sekarang banyak
dilakukan penelitian secara meluas untuk mencari bahan-bahan alami yang
ramah lingkungan untuk digunakan sebagai pengontrol vektor untuk
kepentingan kedokteran. Dibandingkan dengan senyawa sintetik lainnya,
produk alami dianggap lebih aman penggunaannya. Kandungan kimia yang
terdapat dalam ekstrak herbal tertentu dapat digunakan sebagai larvasida
(Kweka et al., 2008).
Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai insektisida alami
adalah daun kemangi ungu (Ocimum sanctum). Kemangi ungu mudah
3
ditemukan disekitar kita dan sering digunakan sebagai sayur lalapan
(Tugiyanti, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Anees (2008) membuktikan
bahwa ekstrak daun dan bunga kemangi ungu (Ocimum sanctum) bersifat
sebagai larvasida bagi larva instar IV Aedes aegypti dan Culex
quinquefasciatus. Kematian larva tertinggi ditemukan dalam ekstrak daun
kemangi ungu dengan pelarut kloroform dan ethanol. Ocimum sanctum di
India secara tradisi telah digunakan sebagai obat tradisional untuk demam
malaria, kecacingan, repellen dan larvasida terhadap Aedes aegypti dan Culex
quinquefasciatus.
Sejak tahun 1965 di Jawa, Nyamuk Anopheles aconitus telah
dilaporkan oleh Soerono,dkk telah resisten terhadap DDT dan dieldrin.
Kemudian pada tahun 1982 tingkat resistensi ini mulai bertambah. Belakangan
ini dilaporkan pula timbulnya resistensi vektor ini terhadap DDT di Jawa
Timur dan Yogyakarta (Simanjuntak dkk., 1989). Dulu DDT sangat efektif
dalam mengurangi kasus malaria. Kampanye antimalaria WHO yang sebagian
besar menggunakan DDT sangat sukses di beberapa negara, namun sekarang
nyamuk Anopheles aconitus telah resisten terhadap DDT (Okie, 2008). Larva
pada umumnya termasuk larva Anopheles aconitus bersifat menetap,
imobilisasi hidup di air dan mudah dikendalikan (Nour et al., 2009).
Berdasarkan uraian diatas, ingin dibuktikan lebih lanjut apakah benar
ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) memiliki efek larvasida
terhadap larva Anopheles aconitus. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui efek larvasida ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum
sanctum) terhadap larva Anopheles aconitus.
4
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka didapatkan permasalahan
sebagai berikut :
Apakah ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) memiliki efek
larvasida terhadap larva Anopheles aconitus ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek larvasida ekstrak daun
kemangi ungu (Ocimum sanctum) terhadap larva Anopheles aconitus.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Menambah pengetahuan dalam bidang fitofarmaka
b. Menambah data khusus adanya efek larvasida ekstrak daun kemangi
ungu (Ocimum sanctum) terhadap larva Anopheles aconitus, dengan
adanya bukti-bukti empiris dalam penelitian.
2. Manfaat aplikatif
a. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat ilmiah tentang
manfaat ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) yang dapat
digunakan sebagai larvasida.
b. Membuka peluang kemungkinan pembuatan preparat larvasida dari
ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum).
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kemangi ungu (Ocimum sanctum)
Gambar 1. Ocimum sanctum (Sumber. Dattani, 2009)
a. Nama Botani :
Ocimum sanctum
b. Taksonomi (Chopra, 2009)
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Bangsa : Lamiales
Famili : Lamiaceae
Marga : Ocimum
Spesies : Ocimum sanctum
5
6
c. Nama Lokal (Dewi, 2009)
Indonesia : Kemangi ungu, selasih ungu
Sunda : Surawung, Lampes
Madura : Kemangek
Bali : Uku-uku
Maluku : Lufe-lufe
Inggris : Holi basil
d. Deskripsi Tumbuhan
Kemangi ungu adalah tanaman semak yang bertajuk membulat,
bercabang banyak, sangat harum dan mempunyai tinggi antara 0,3-1,5
m. Batang pokoknya tidak jelas dan berwarna hijau sering keunguan,
dapat berambut atau tidak. Daun kemangi ungu bersifat tunggal,
berhadapan, dan panjang tangkai daun 0,25-3 cm. Helaian daun
berbentuk bulat telur, elips sampai memanjang. Ujung daun
meruncing-runcing atau tumpul, pangkal bangun pasak sampai
membulat, di kedua permukaan daunnya berambut halus, berbitik-
bintik kelenjar yang rapat. Tepi daun kemangi ungu bergerigi lemah
dan bergelombang rata.
Bunga kemangi ungu tersusun secara majemuk berkarang atau
tandan, terminal dan berukuran 2,5-14 cm terletak di ketiak daun
ujung, daun pelindungnya berbentuk elips atau bulat telur, panjangnya
0,5-1 cm. Kelopak bunganya berlekatan berbentuk bibir, satu
membentuk bibir atas, sedangkan satu bibir bawah membentuk 4 gigi.
Sisi luarnya berambut kelenjar, berwarna ungu atau hijau. Mahkota
7
bunganya terdiri atas 3 bibir atas dan 2 bibir bawah. Panjang tabung
mahkota adalah sekitar 1,5-2 mm, dan mahkota bunga kemangi ungu
berwarna putih. Benang sari ada 4 tersisip di dasar mahkota. Kepala
putik bercabang dua dan berukuran tidak sama.
Buah juga dibentuk oleh kelopak. Buah kemangi ungu tegak
dan tertekan. Ujungnya berbentuk kait melingkar dengan panjang
kelopak buah antara 6-9 mm. Sedangkan biji kemangi ungu bertipe
keras, berwarna coklat tua, gandul dan waktu biji dibasahi maka akan
membengkak.
(Sudarsono dkk., 2002)
e. Habitat
Di Indonesia kemangi ungu banyak terdapat di daerah Jawa dan
Madura. Banyak ditemukan di sekitar pinggiran ladang, sawah kering,
juga ditanam di taman dan di pinggir jalan, hutan terbuka, padang
rumput, tumbuh liar di jalanan dan kadang-kadang juga
dibudidayakan. Tanaman ini dapat tumbuh pada dataran rendah hingga
ketinggian 1100 meter diatas permukaan air laut. Ocimum sanctum
biasanya tumbuh antara pertengahan Februari sampai akhir September
dan berbunga sekitar bulan April (Sudarsono dkk., 2002).
f. Kandungan Kimia
Secara keseluruhan tanaman kemangi ungu mengandung tanin
dan saponin (Sudarsono dkk., 2002). Menurut Shashi,dkk (1991) zat
saponin memiliki sifat sebagai larvasida. Sedangkan minyak atsiri
dalam daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) mengandung aldehid,
8
alkaloid, asam askorbat, beta carotene, carvacrol, cineole, eugenol,
eugenol-metil-eter, glikosida, linalol, metil chavicol, limatrol,
caryofilin, asam ursolat, n-triacontanol dan fenol. Kandungan pada biji
kemangi ungu antara lain beta-sitosterol, lemak, asam linoleat, asam
linolenat, asam oleat, asam palmitat, pentosa dan protein (Duke, 2009;
Singh et al, 2009; Sudarsono dkk., 2002). Kandungan kimia dari daun
kemangi ungu yang bersifat larvasida adalah eugenol dan metil
chavicol (Duke, 2009).
Eugenol merupakan anggota dari kelas alilbenzena. Warnanya
kuning jernih sampai kuning pucat. Bentuknya cairan berminyak yang
diekstraksi dari tanaman tertentu, salah satunya dari Ocimum sanctum.
Sifatnya sedikit larut dalam air namun mudah larut dalam pelarut
organik. Aromanya menyegarkan dan pedas sehingga sering menjadi
komponen untuk menyegarkan mulut. Senyawa ini dipakai dalam
industri parfum, penyedap, minyak atsiri, obat pencuci hama dan
pembius lokal. Dalam industri, eugenol digunakan dalam
memproduksi isoeugenol yang dipakai untuk membuat vanillin. Metil
eugenol juga digunakan sebagai atraktan. Lalat buah jantan terpikat
oleh metil eugenol karena senyawa ini mirip feromon seks yang
dikeluarkan oleh betina (Harrison, 2007). Feromon merupakan bahan
yang disekresikan oleh organisme dan berguna untuk berkomunikasi
secara kimia dengan sesamanya dalam spesies yang sama. Berdasarkan
fungsinya feromon seks termasuk dalam jenis feromon releaser yang
memberikan pengaruh langsung terhadap sistem syaraf pusat individu
9
penerima untuk menghasilkan respon tingkah laku dengan segera
(Nurnasari, 2009). Menurut Isman (1999) dan Tugiyanti (2008),
eugenol yang dapat mempengaruhi sistem susunan saraf, khas dipunyai
oleh serangga dan tidak terdapat pada hewan berdarah panas. Senyawa
eugenol ini dapat menyebabkan kematian serangga tersebut. Selain itu
eugenol dalam ekstrak daun kemangi ungu mampu menekan
pertumbuhan nematoda pada tanaman lada.
Metil chavicol atau estragol terbentuk dari cincin benzena yang
bergabung dengan ikatan metoksi dan propenil. Metil chavicol
biasanya digunakan dalam parfum dan zat perasa tambahan pada
makanan (Nurnasari, 2009). Menurut Duke (2009) metil chavicol yang
terkandung dalam Ocimum sanctum bersifat larvasida.
Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder yang
dihasilkan beberapa spesies tanaman, terutama tanaman dikotil dan
berperan sebagai bagian dari sistem pertahanan tanaman. Saponin
merupakan senyawa glikosida kompleks dengan berat molekul tinggi
(Suparjo, 2009). Ternyata saponin tanpa dicampur dengan apapun
dapat berfungsi sebagai insektisida. Cara kerja saponin dalam
meracuni serangga belum sepenuhnya diketahui dengan jelas.
Pengaruh saponin terlihat pada gangguan fisik pada tubuh luar
serangga (kutikula), yakni mencuci lapisan lilin yang melindungi tubuh
serangga dan menyebabkan kematian, karena serangga akan
kehilangan banyak cairan tubuh. Beberapa kasus menunjukkan bahwa
saponin dapat masuk melalui organ pernafasan dan menyebabkan
10
kerusakan membran sel atau mengganggu proses metabolisme
(Novizan, 2002). Saponin juga mengandung steroid yang dapat
menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus
larva sehingga dinding traktus digestivus larva menjadi korosif (Shashi
et al., 1991).
g. Manfaat
Kemangi ungu (Ocimum sanctum) mempunyai banyak khasiat,
antara lain adalah :
1) Sebagai Obat
Kemangi ungu berfungsi untuk menambah nafsu makan,
membantu pencernaan, menyehatkan jantung, menurunkan panas,
menghilangkan sesak napas, mengobati diare (Tugiyanti, 2008).
Menurut beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa
kemangi ungu mempunyai efek sebagai antikatarak, antiinflamasi,
antilipidperoksidase, antioksidan, antistres, antitoksin, antitussif,
antiulser, kemoprotektif, hepatoprotektif terhadap paracetamol, dan
radioprotektif (Dattani, 2009).
2) Penghasil pestisida nabati
Kemangi ungu berfungsi sebagai atraktan hama lalat buah
atau pemikat hama lalat buah (Tugiyanti, 2008).
3) Fungisida, bakterisida, nematisida dan repellen
Minyak atsiri daun kemangi ungu (Ocimum sanctum)
mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli
sehingga berfungsi sebagai antibiotika. Efek fungisidanya untuk
11
mengendalikan Pyricularia oryzae yang merupakan penyebab
penyakit bercak dan busuk daun yang menyerang tanaman padi.
Kandungan eugenolnya mampu menekan pertumbuhan nematoda
(Tugiyanti, 2008). Selain itu kemangi ungu telah terbukti efektif
digunakan sebagai repellen (Anees, 2008).
4) Penghasil minyak atsiri
Minyak atsiri kemangi ungu berbau harum yang dikenal
dengan nama basil oil, minyak ini digunakan sebagai bahan
pembuatan parfum, shampo dan aroma terapi (Tugiyanti, 2008).
5) Sayuran dan minuman penyegar
Daun kemangi ungu digunakan sebagai sayuran atau
lalapan untuk menambah nafsu makan (appetizer). Selain daunnya,
biji kemangi ungu juga sering dimanfaatkan sebagai bahan
minuman penyegar. Biji kemangi ungu dapat menurunkan
kolesterol, penambah daya ingat dan tonik (Tugiyanti, 2008).
h. Ekstraksi Daun Kemangi Ungu (Ocimum sanctum) dengan Cara
Perkolasi
Proses ekstraksi dan evaporasi daun kemangi ungu (Ocimum
sanctum) menggunakan bahan pelarut ethanol 70 %. Menurut Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional (B2P2TO2T) Tawangmangu, langkah-langkah ekstraksi
daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) dengan metode perkolasi
adalah sebagai berikut :
12
1) Daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) dengan berat 1 kg diserbuk
dengan mesin penyerbuk dengan saringan diameter lubang 1 mm.
2) Serbuk daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) ditimbang setelah
dikeringkan sesuai dengan derajat kehalusan hingga diameter
1mm.
3) Serbuk tersebut dimasukkan dalam bejana kemudian dibasahi
dengan pelarut ethanol 70% (10 bagian bahan dengan 2-5 bagian
pelarut). Pelarut ethanol digunakan karena murah dan ekstrak
dengan pelarut ini menyebabkan kematian larva tertinggi pada uji
efek larvasida terhadap Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus.
4) Serbuk diaduk sampai rata, ditutup dan dibiarkan ditempat yang
terlindung cahaya matahari selama 3 jam.
5) Alat perkolasi disiapkan lalu glass whole dimasukkan dalam
perkolator dan dibasahi dengan pelarut ethanol.
6) Serbuk yang telah didiamkan tadi dimasukkan ke dalam perkolator
sedikit demi sedikit lalu dimasukkan kertas saring.
7) Perkolator ditutup dengan aluminium foil yang tengahnya
berlubang.
8) Corong pemisah dipasang di atas perkolator kemudian diisi dengan
cairan pelarut.
9) Pelarut diteteskan pada perkolator dengan kecepatan 1 ml/menit
kemudian didiamkan selama 24 jam, setelah itu pelarut dan ekstrak
diteteskan secara bersamaan.
10) Didapatkan ekstrak sebesar 10 kali berat bahan.
13
11) Ekstrak diuapkan dalam vacuum rotary evaporator, sehingga
didapatkan ekstrak kental.
12) Ekstrak kental daun kemangi ungu diuapkan di atas water bath
untuk menghilangkan sisa pelarut lalu ditimbang hingga
mendapatkan bobot konstan. Ekstrak kental yang dihasilkan setelah
penguapan pelarut adalah 100 gr.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional (B2P2TO2T) Tawangmangu melakukan ekstraksi
daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) dengan cara perkolasi karena
proses pelarutannya lebih sempurna.
2. Anopheles aconitus
a. Secara taksonomis menurut Gandahusada (1998), Anopheles aconitus
tergolong ke dalam :
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Sub ordo : Nematocera
Famili : Culicidae
Sub famili : Anophelini
Genus : Anopheles
Spesies : Anopheles aconitus, Donitz
14
b. Morfologi
1) Morfologi Anopheles sp.
Nyamuk Anopheles sp. berbeda jika dibandingkan dengan
morfologi nyamuk Culicini, terutama mengenai bagian bagian
badannya. Secara umum morfologi Anopheles sp. adalah sebagai
berikut :
Telur Anopheles diletakkan satu per satu di atas permukaan
air sehingga berbentuk seperti perahu yang bagian bawahnya
konveks dan bagian atasnya konkaf. Telur Anopheles mempunyai
sepasang pelampung yang terletak pada sebelah lateral. Larva
Anopheles terdiri atas caput, thorax dan abdomen dan mempunyai
bagian-bagian yang bentuknya khas (Gandahusada dkk., 1998).
Pupa Anopheles berbentuk setengah lingkar seperti koma
ketika dilihat dari samping. Kepala dan thoraks bersatu menjadi
cephalothoraks dengan abdomen yang membengkok di bagian
bawah. Sama dengan ketika menjadi larva, pupa berenang di
permukaan untuk bernafas dengan menggunakan tabung
pernafasan (respiratory trumpet) yang bentuknya lebar, pendek dan
tumpul (Depkes RI, 1983; Gandahusada dkk., 1998).
Nyamuk Anopheles sp. dewasa seperti nyamuk pada
umumnya mempunyai tubuh langsing dengan 3 bagian : kepala,
thoraks dan abdomen. Pada kepala Anopheles terdapat antena yang
berbeda antara nyamuk jantan dengan betina. Antena nyamuk
15
jantan berbulu panjang disebut plumose sedangkan antena nyamuk
betina berbulu pendek (pilose) (Soedarto, 1989). Pada kepala juga
terdapat proboscis yang berguna untuk menghisap darah dan
terdapat pula dua palpus sensor (Depkes RI, 1983). Nyamuk
Anopheles baik jantan maupun betina mempunyai palpus yang
hampir sama panjang dengan proboscisnya. Perbedaannya adalah
pada nyamuk jantan ruas palpus pada bagian apikal berbentuk gada
(club form), sedangkan pada nyamuk betina ruas tersebut mengecil.
Sayap pada kosta dan vena I ditumbuhi sisik-sisik sayap yang
berkelompok membentuk gambaran belang-belang hitam dan
putih. Bagian posterior abdomen tidak seruncing nyamuk Aedes
dan tidak setumpul nyamuk Mansonia, tetapi sedikit melancip
(Gandahusada dkk., 1998). Siphon berbentuk seperti cincin
sehingga disebut spirakel pada stadium larva sangat pendek
(Stojanovich et al., 1966).
2) Morfologi khas Anopheles aconitus
Telur Anopheles aconitus berukuran 0,44mm x 0.18mm.
Permukaan dorsal telur sempit seperti celah, lurus dengan sisi
paralel, berwarna gelap, granular, dan polos kecuali bagian
ujungnya. Permukaan ventralnya berwarna polos, biasanya
menunjukkan beberapa tanda berbentuk poligonal tetapi tanpa
ornamen berwarna pucat. Pelampung telur tidak berbatasan dengan
tepi permukaan dorsal, sangat panjang, dan berukuran hampir sama
dengan telur. Ujung pelampung sangat dekat dengan ujung telur
16
yang hanya berjarak 1/12 dari panjang telur. Terminasi pelampung
berukuran panjang, sempit, dengan punggung pelampung yang
tidak jelas. Punggung pelampung berjumlah sekitar 18-22 dan
antara anterior-posterior sangat lebar (Christophers et al., 1931).
Gambar 2. Telur Anopheles aconitus (Sumber. Christophers et al., 1931)
Caput larva Anopheles aconitus terdiri atas antena yang
tidak bercabang dan memiliki clypeal hairs yang tumbuh di depan
frons clypeus yang terdiri atas inner, outer dan posterior.
Anopheles aconitus memiliki clypeal hairs yang khas yaitu inner
clypeal hairs berukuran sangat besar, berpigmen dan terdiri dari
bulu-bulu yang bercabang pendek. Jarak antara inner clypeal hairs
berjauhan. Sedangkan outer clypeal hairs mempunyai panjang
setengah dari inner clypeal hairs, berukuran besar dan berbulu
seperti duri. Sedangkan posterior clypeal hairs berukuran pendek
17
dan memiliki 3-5 cabang dari pangkal. Sutural hairs terdiri atas 2-6
cabang kecil dan transutural terdiri atas 5-6 cabang (Wepster et al.,
1953; Depkes RI, 1989).
Thorax larva Anopheles aconitus terdiri atas prothorax,
mesothorax dan metathorax. Shoulder hairs pada prothorax
berwarna gelap dengan inner submedian prothorax dan middle
submedian prothorax bercabang lebat dan mempunyai dasar
dengan warna yang mencolok yang bisa menjadi satu. Outer
submedian prothorax kadang muncul dari basal tuberkel middle
submedian prothorax. Thorax larva Anopheles aconitus juga
terdapat bulu palma seperti pada abdomen (Wepster et al., 1953).
Abdomen larva Anopheles aconitus terdapat bulu palma
yang tumbuh mulai dari metathorax sampai segmen abdomen 1-7,
dan hanya bulu palma pada segmen abdomen ke-2 sampai 7 yang
lengkap dan berbentuk selebaran dengan filamen yang nyata
berukuran 1/5-1/3 dari panjang mata pisau . Hair 0 pada tergal
plate segmen 2-8 sangat sederhana atau bifida, muncul hanya dari
tepi tergal plate. Tergal plate anterior pada segmen 3-4 berukuran
sangat besar dengan tepi konveks yang meluas hingga setengah
segmen dan melebihi lebar jarak antara bulu palma (Wepster et al.,
1953; Depkes RI, 1989).
Nyamuk dewasa Anopheles aconitus mempunyai ciri khas
yaitu pada palpusnya terdapat 2 garis kecil berwarna pucat yang
terletak antara palpus yang berwarna gelap. Pada vena 6 berwarna
18
pucat pada setengah proksimal vena dengan titik hitam pada bagian
subbasal. Sedangkan pada setengah distal vena 6 berwarna gelap
dengan garis pucat pada tengahnya (Wepster et al., 1953).
Gambar 3. Larva Anopheles aconitus (Sumber. Harrison, 1980)
19
c. Habitat
Larva Anopheles aconitus banyak ditemukan di sekitar
persawahan dengan saluran irigasi, tepi sungai pada musim kemarau,
kolam ikan dengan tanaman rumput di tepinya (Inge, 2008). Tempat
yang paling disenangi adalah tempat dengan air jernih yang mengalir
lambat. Kepadatan mulai tinggi pada tanaman padi cukup tinggi yaitu
antara 2-3 minggu (Depkes RI, 1983).
Sedangkan tempat istirahat tetap nyamuk Anopheles aconitus
dewasa lebih banyak di luar rumah (Gandahusada dkk., 1998).
d. Siklus Hidup
Siklus hidup nyamuk Anopheles aconitus seperti pada
umumnya siklus nyamuk mengalami metamorfosis sempurna yaitu
dari telur, larva, pupa hingga menjadi nyamuk dewasa. Stadium telur
hingga pupa hidup di dalam air sedangkan stadium nyamuk dewasa
hidup berterbangan (Gandahusada dkk., 1998). Anopheles aconitus
membutuhkan waktu selama 10-14 hari sejak stadium telur hingga
menjadi nyamuk dewasa pada iklim tropis (Centers for Disease
Control and Prevention, 2008).
Nyamuk menghasilkan 50-200 telur sekali bertelur. Telur
nyamuk diletakkan satu per satu tanpa melekat satu sama lain pada
permukaan air. Setelah satu sampai dua hari telur akan menetas dan
keluarlah larva. Pada cuaca dingin, telur Anopheles aconitus dapat
menetas setelah 2-3 minggu (Centers for Disease Control and
Prevention, 2008).
20
Larva yang baru keluar masih halus seperti jarum dan dalam
pertumbuhannya larva mengalami pelepasan kulit sebanyak 4 kali.
Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva antara 8-10 hari
tergantung suhu dan keadaan makanan. Larva instar 4 awal adalah
larva yang berumur 7 hari (Depkes RI, 1983).
Dari stadium larva akan berkembang menjadi pupa atau
kepompong yang merupakan stadium istirahat atau tidak makan. Pada
stadium ini akan dibentuk alat-alat tubuh nyamuk dewasa dan alat
kelamin untuk penentuan jenisnya (Depkes RI, 1983). Stadium pupa
Anopheles ini memakan waktu 2-3 hari (Soedarto, 1989).
Nyamuk dewasa pada umumnya kawin dalam beberapa hari
setelah muncul dari stadium pupa. Pada kebanyakan spesies, nyamuk
jantan membentuk kumpulan biasanya pada senja hari, dan nyamuk
betina terbang ke kumpulan nyamuk jantan tersebut untuk kawin.
Nyamuk betina biasanya kawin satu kali selama hidupnya. Perkawinan
ini terjadi setelah 24-48 jam setelah nyamuk keluar dari kepompong
(Depkes RI, 1983).
e. Perilaku
Aktivitas nyamuk Anopheles aconitus sangat dipengaruhi oleh
kelembapan udara dan suhu. Umumnya Anopheles aconitus aktif
menghisap darah hospes pada malam hari atau sejak senja sampai dini
hari.
Jarak terbang Anopheles aconitus biasanya 0,5-3 km, tetapi
dapat mencapai puluhan kilometer karena dipengaruhi oleh
21
transportasi (kendaraan, kereta api, kapal terbang) dan kencangnya
angin. Umur nyamuk dewasa di alam bebas 1-2 minggu, tetapi di
laboratorium dapat mencapai 3-5 minggu.
Nyamuk Anopheles aconitus dewasa lebih banyak yang
zoofilik daripada antropofilik, menggigit di waktu senja sampai dini
hari dan bersifat eksofagik yang berarti lebih senang menggigit di luar
rumah.
(Sutanto, 2008).
22
B. Kerangka Pemikiran
Untuk menggambarkan hubungan berbagai variabel penelitian, maka
dapat disusun kerangka pemikiran sebagai berikut.
Kualitas Air
Kepadatan Larva
Tempat Hidup
Umur Larva
Volume Air
Ekstrak Daun Kemangi Ungu (Ocimum sanctum)
Larva Anopheles aconitus
Efek Larvasida
Eugenol : Mempengaruhi
Sistem Saraf
Metil chavicol : Belum Diketahui
Saponin : Bersifat Korosif
(Menurunkan Tegangan Permukaan Traktus Digestivus)
Kematian Larva
Variabel Luar Terkendali Variabel Luar Tidak Terkendali
Kesehatan Larva
23
C. Hipotesis
Ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) memiliki efek
larvasida terhadap larva Anopheles aconitus.
24
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik yang menggunakan
rancangan penelitian the post test only controlled group design
(Taufiqurahman, 2004).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, Jawa
Tengah.
C. Subyek Penelitian
Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva Anopheles
aconitus instar IV awal yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, Jawa
Tengah.
D. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu
metode pemilihan subjek berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang
berkaitan dengan karakter populasi (Taufiqurahman, 2004). Sifat tertentu yang
24
25
dipakai pada penelitian ini adalah dipakainya sampel larva Anopheles aconitus
khusus pada fase instar IV awal.
E. Jumlah Sampling
Pada uji pendahuluan menggunakan 6 kelompok perlakuan dengan 1
kelompok kontrol. Pada penelitian menggunakan 5 kelompok perlakuan
dengan 1 kelompok kontrol. Masing-masing kelompok terdapat 25 ekor larva
sebagai sampel.
F. Waktu Penelitian
Uji pendahuluan dilaksanakan pada tanggal 4 Februari 2010 dan
penelitian dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 2010.
G. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum)
2. Variabel terikat
Jumlah kematian larva Anopheles aconitus
3. Variabel luar terkendali
a. Umur larva
b. Kepadatan larva
c. Tempat hidup
d. Kualitas air
e. Volume air
f. Suhu ruangan
26
4. Variabel luar tak terkendali
Kesehatan larva
H. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum).
Pada penelitian ini dipakai ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum
sanctum) yang diperoleh di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO2T) Tawangmangu yang
didapat lewat ekstraksi dengan metode perkolasi.
Konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) yang
akan dipakai pada masing-masing kelompok perlakuan penelitian
ditentukan berdasarkan uji pendahuluan. Pada uji pendahuluan, penentuan
konsentrasi didasarkan pada penelitian Fatimah (1997) yang menetapkan
LC50= 2,75% untuk ekstrak daun Ocimum basilicum terhadap larva
Anopheles aconitus. Hasil uji pendahuluan yang paling optimal yaitu LC50
dan LC99 akan digunakan sebagai dasar penentuan konsentrasi ekstrak
daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) pada penelitian. Skala variabel
bebas adalah skala ordinal.
2. Variabel terikat
Jumlah kematian larva Anopheles aconitus adalah banyaknya larva
Anopheles aconitus yang mati setelah 24 jam sejak diberi perlakuan.
Larva dianggap mati apabila tidak ada tanda-tanda kehidupan, misalnya:
a. Larva diberi rangsangan gerakan air tidak ada respon gerakan
27
b. Larva disentuh dengan lidi tidak ada respon gerakan
Larva dianggap hidup apabila:
a. Larva aktif bergerak
b. Larva diberi rangsangan gerakan air ada respon gerakan
c. Larva disentuh dengan lidi ada respon gerakan
Skala variabel terikat adalah skala rasio.
Larva Anopheles aconitus instar IV awal diperoleh di Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP)
Salatiga, Jawa Tengah.
3. Variabel luar terkendali
a. Umur larva
Adalah umur larva sejak telur menetas. Pada percobaan ini
dikendalikan dengan menyamakan umur (instar IV awal) karena umur
tersebut sudah agak besar sehingga lebih mudah diamati. Larva instar
IV awal berumur 7 hari.
b. Kepadatan larva
Dikendalikan dengan menyamakan jumlah larva dalam satuan volume
air tiap kelompok uji yaitu 25 ekor larva.
c. Tempat hidup
Dikendalikan dengan menyamakan wadah dalam eksperimen yaitu
wadah mangkuk plastik berukuran 250ml.
d. Kualitas air
Dikendalikan dengan mengambil air dari tempat dan waktu yang sama.
Dalam penelitian ini digunakan aquadest.
28
e. Volume air
Dikendalikan dengan cara menyamakan volume tiap wadah yaitu
100ml.
f. Suhu dan kelembaban ruangan
Suhu ruangan penelitian disamakan yaitu pada suhu 26ºC dengan
kelembaban udara ruangan 82-83%.
4. Variabel luar tak terkendali
Kesehatan larva, karena tidak dapat disamakan kesehatannya.
29
I. Desain Penelitian
1. Uji Pendahuluan
25 larva
25 larva
25 larva
25 larva
25 larva
25 larva
Kelompok I
(kontrol) Aquades
Kelompok II
konsentrasi ekstrak daun
kemangi ungu
0,75%
Kelompok III
konsentrasi ekstrak daun
kemangi ungu
1,75%
Kelompok IV
konsentrasi ekstrak daun
kemangi ungu
2,75%
Kelompok V
konsentrasi ekstrak daun
kemangi ungu
3,75%
Kelompok VI
konsentrasi ekstrak daun
kemangi ungu
4,75%
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva mati
∑ larva mati
∑ larva mati
∑ larva mati
∑ larva mati
∑ larva mati
24 J A M
Uji analisis probit untuk menentukan berapa konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu
yang harus dipakai pada penelitian
Kelompok VII
konsentrasi ekstrak daun
kemangi ungu
5,75%
25 larva
∑ larva hidup
∑ larva mati
30
2. Penelitian
24 J A M
25 larva
25 larva
25 larva
25 larva
25 larva
25 larva
One Way ANOVA Uji Analisis Probit
∑ larva hidup
∑ larva mati
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva mati
∑ larva mati
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva hidup
∑ larva mati
∑ larva mati
∑ larva mati
LSD
Kelompok I
(kontrol) Aquades
Kelompok III
konsentrasi ekstrak daun
kemangi ungu*
Kelompok VI
konsentrasi ekstrak daun
kemangi ungu*
Kelompok V
konsentrasi ekstrak daun
kemangi ungu*
Kelompok IV
konsentrasi ekstrak daun
kemangi ungu*
Kelompok II
konsentrasi ekstrak daun
kemangi ungu*
31
J. Alat dan Bahan
1. Alat Penelitian
a. Wadah mangkuk plastik ukuran 250ml
b. Gelas ukur 100ml
c. Pipet ukur 10ml
d. Lidi
e. Alat penghitung (counter)
2. Bahan Penelitian
a. Ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum)
b. Larva Anopheles aconitus instar IV awal
c. Aquades
K. Cara Kerja :
Dibagi dalam 3 tahapan
1. Tahap persiapan
a. Disiapkan ekstrak daun kemangi ungu berupa ekstrak kental dengan
berat 100gr yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO2T)
Tawangmangu.
b. Disiapkan larva Anopheles aconitus yang diperoleh dari Balai
Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit (BPVRP) Salatiga, Jawa
Tengah.
c. Disiapkan aquades sebanyak 600ml sebagai media penelitian ini.
32
d. Disiapkan 6 buah mangkuk plastik ukuran 250ml sebagai wadah media
dalam penelitian ini.
e. Disiapkan gelas ukur dengan ukuran 100ml untuk mengukur media.
f. Disiapkan 6 buah lidi yang digunakan untuk menyentuh larva agar
diketahui ada respon gerakan atau tidak.
g. Disiapkan alat penghitung (counter)
h. Tahap uji pendahuluan
1) Uji pendahuluan ini dilakukan untuk menentukan nilai ambang
bawah dan ambang atas konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu
yang akan digunakan dalam penelitian sesungguhnya.
2) Pada tahap uji pendahuluan ini akan dipakai 7 kelompok sampel,
dengan 1 kelompok kontrol (hanya aquades) dan 6 kelompok
perlakuan.
3) Sebelumnya ekstrak daun kemangi ungu 100gr yang kental
diencerkan dengan aquades hingga volume 200ml sehingga
didapatkan konsentrasi ekstrak 50%.
4) Selanjutnya ekstrak daun kemangi ungu 50% diambil dengan pipet
ukur lalu dimasukkan ke dalam gelas ukur. Volume ekstrak daun
kemangi ungu yang diambil dihitung dengan rumus (Kitti, 1996) :
33
Keterangan : V1 = volume larutan mula-mula M1 = konsentrasi mula-mula V2 = volume larutan sesudah diencerkan M2 = konsentrasi sesudah diencerkan Contoh :
Konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu 5,75% didapatkan dengan
cara melarutkan 11,5ml ekstrak daun kemangi ungu dengan
aquadest sampai volume larutan 100ml.
V1.M1 = V2.M2
V1.50% = 100ml. 5,75%
V1 = 11,5ml
Konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu pada masing-masing
kelompok adalah sebagai berikut: 0,75%; 1,75%; 2,75%; 3,75%;
4,75% dan 5,75%.
5) Setelah volume ekstrak ditentukan yaitu 1,5ml; 3,5ml; 5,5ml; 7ml;
9,5ml dan 11,5ml, ekstrak daun kemangi ungu tersebut dimasukkan
pada 6 wadah plastik yang tersedia kecuali 1 wadah plastik sebagai
kelompok kontrol dengan menggunakan pipet ukur.
Lalu ditambahkan aquades pada wadah plastik yang sudah terisi
ekstrak daun kemangi ungu dan pada 1 wadah plastik sebagai
kelompok kontrol, masing-masing sampai volume 100ml sehingga
konsentrasi masing-masing larutan adalah 0%; 0,75%; 1,75%;
2,75%; 3,75%; 4,75% dan 5,75%.
V1.M1 = V2.M2
34
6) Setelah media siap, lalu dimasukkan 25 larva Anopheles aconitus
instar IV awal pada masing-masing kelompok, termasuk kelompok
kontrol.
7) Jumlah larva Anopheles aconitus instar IV awal yang mati dihitung
setelah 24 jam sejak diberi perlakuan.
8) Setelah hasil data uji pendahuluan didapatkan, kemudian dianalisis
dengan menggunakan analisis probit untuk menentukan
konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu masing-masing kelompok
yang dipakai pada penelitian yang sesungguhnya.
2. Tahap Penelitian
a. Setelah konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu ditentukan melalui
analisis data pada uji pendahuluan yaitu 0,6%; 1,0%; 1,4%; 1,8% dan
2,2%, maka penelitian dapat dilaksanakan.
b. Pada tahap penelitian ini akan menggunakan 6 kelompok sampel,
dengan 5 kelompok perlakuan dan 1 kelompok sebagai kontrol.
Masing-masing kelompok dimasukkan 25 larva. Jumlah kelompok
sampel pada tahap penelitian ini lebih kecil daripada jumlah kelompok
pada uji pendahuluan karena tujuan uji pendahuluan adalah untuk
menentukan konsentrasi yang kemungkinan efektif untuk membunuh
larva Anopheles aconitus instar IV awal, jadi pada uji pendahuluan
diperlukan kelompok sampel yang lebih banyak dengan interval
konsentrasi ekstrak yang sempit.
c. Seperti pada uji pendahuluan, maka mula-mula ekstrak daun kemangi
ungu yang sudah diencerkan menjadi konsentrasi 50% diambil dengan
35
pipet ukur lalu dimasukkan ke dalam gelas ukur. Volume ekstrak
masing-masing kelompok dengan menggunakan rumus seperti pada uji
pendahuluan yang sudah disebutkan di atas.
d. Setelah volume ekstrak ditentukan yaitu 1,2ml; 2,0ml; 2,8ml; 3,6ml
dan 4,4ml, ekstrak daun kemangi ungu tersebut dimasukkan pada 5
wadah plastik yang tersedia kecuali 1 wadah plastik lain sebagai
kelompok kontrol dengan menggunakan pipet ukur.
e. Kemudian ditambahkan aquades pada masing-masing kelompok
termasuk kelompok kontrol sampai volume 100 ml.
f. Pada masing-masing wadah plastik dimasukkan 25 ekor larva
Anopheles aconitus termasuk kontrol, tanpa diberi makanan.
g. Jumlah larva Anopheles aconitus instar IV awal yang mati dihitung
setelah 24 jam sejak diberi perlakuan.
h. Banyaknya ulangan dalam eksperimen dihitung dengan rumus
(Hanifah, 1993).
Keterangan : t : jumlah perlakuan r : jumlah ulangan (6 –1) (r –1) ≥ 15
5(r-1) ≥ 15
5r-5 ≥ 15
r ≥ 4
Sesuai rumus didapatkan banyaknya ulangan adalah 4 kali ulangan.
(t –1) (r –1) ≥ 15
36
L. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara statistik
menggunakan:
1. Analisis varians (Analysis of Variance / ANOVA)
Dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah ada perbedaan jumlah
kematian larva Anopheles aconitus antar kelompok uji (Dahlan, 2008).
2. Least Significance Difference (LSD)
Dilanjutkan dengan pengujian LSD untuk mengetahui pasangan nilai mean
yang perbedaannya signifikan (Dahlan, 2008).
3. Analisis Probit
Dianalisis seberapa besar daya bunuh ekstrak daun kemangi ungu terhadap
larva Anopheles aconitus yang dinyatakan dengan LC (Lethal
Concentration) yaitu LC50 (Lethal Concentration 50%) dan LC99 (Lethal
Concentration 99%) (Dahlan, 2008).
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
1. Uji Pendahuluan
Setelah dilaksanakan uji pendahuluan pada tanggal 4 Februari 2010
selama 24 jam, diperoleh hasil sebagai berikut
Tabel 1: Jumlah kematian larva Anopheles aconitus setelah perlakuan dengan ekstrak daun kemangi ungu dalam berbagai konsentrasi pada uji pendahuluan.
Kelompok Jumlah awal Jumlah kematian
I 25 0
II 25 21
III 25 22
IV 25 25
V 25 25
VI 25 25
VII 25 25
Keterangan : Kelompok I : 100 ml aquades (kontrol) Kelompok II : Ekstrak daun kemangi ungu 0,75% Kelompok III : Ekstrak daun kemangi ungu 1,75% Kelompok IV : Ekstrak daun kemangi ungu 2,75% Kelompok V : Ekstrak daun kemangi ungu 3,75% Kelompok VI : Ekstrak daun kemangi ungu 4,75% Kelompok VII : Ekstrak daun kemangi ungu 5,75%
37
38
Data hasil uji pendahuluan, sebagaimana tercantum dalam tabel 1
dianalisis Probit dan didapatkan hasil LC50 = 0,658% dan LC99 = 2,063%.
Hasil ini yang mendasari penentuan konsentrasi ekstrak daun kemangi
ungu yang dipakai pada penelitian. Hasil analisis probit selengkapnya
tercantum dalam lampiran 1.
2. Uji Penelitian
Penelitian dilakukan dengan konsentrasi berdasarkan pada uji
pendahuluan, didapatkan hasil sebagai berikut.
Tabel 2 : Jumlah kematian larva Anopheles aconitus setelah perlakuan dengan ekstrak daun kemangi ungu dalam berbagai konsentrasi selama 24 jam.
Kelompok
Jumlah awal tiap
wadah
Ulangan Jumlah
total Rata-rata 1 2 3 4
I 25 0 0 0 0 0 0 (0%)
II 25 10 14 12 15 51 12,75 (51%)
III 25 18 19 16 18 71 17,75 (71%)
IV 25 20 22 21 22 85 21,25 (85%)
V 25 23 23 22 24 92 23 (92%)
VI 25 24 25 23 25 97 24,25 (97%)
Keterangan : Kelompok I : 100 ml aquades (kontrol) Kelompok II : Ekstrak daun kemangi ungu 0,6% Kelompok III : Ekstrak daun kemangi ungu 1,0% Kelompok IV : Ekstrak daun kemangi ungu 1,4% Kelompok V : Ekstrak daun kemangi ungu 1,8% Kelompok VI : Ekstrak daun kemangi ungu 2,2%
39
Persentase kematian larva Anopheles aconitus pada berbagai
konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu bisa dilihat pada grafik sebagai
berikut.
0
20
40
60
80
100
120
Kontrol 0,6% 1,0% 1,4% 1,8% 2,2%
Konsentrasi ekstrak
Grafik 1: Grafik jumlah kematian larva Anopheles aconitus pada berbagai konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu.
Grafik 1 terlihat di atas menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi
ekstrak diikuti oleh kenaikan jumlah kematian larva sampai tingkat
konsentrasi tertentu yaitu 2,2%.
B. Analisis Data
1. Uji Analisis Varian (One Way ANOVA)
Menurut Dahlan (2008), Uji One Way ANOVA digunakan apabila
data memenuhi syarat :
J umlah k e m a t i a n
40
a. Distribusi data normal
Tabel 3: Hasil Uji Shapiro Wilk (Uji Normalitas Data)
Kelompok konsentrasi
Shapiro-Wilk Statistik df Nilai p
Kematian larva
II 0,963 4 0,798 III 0,895 4 0,406 IV 0,863 4 0,272 V 0,945 4 0,683 VI 0,863 4 0,272
Penilaian distribusi data menggunakan Uji Shapiro Wilk karena
sampel yang digunakan masing-masing kelompok adalah 25 (sampel
kurang dari 50) (Dahlan, 2008). Kelompok I (kontrol) bersifat konstan
dan tidak dihitung karena jumlah kematian larva adalah 0. Nilai
signifikansi pada kelompok II sampai VI masing-masing adalah p >
0,05. Maka, kesimpulannya adalah distribusi data normal.
b. Varians data normal
Tabel 4: Hasil Uji Homogenitas Varians
Statistik Levene df1 df2 Nilai p
2,212 5 18 0,098
Pada uji varians, diperoleh nilai p = 0,098. Berdasarkan tabel di
atas, nilai p > 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa varians data
adalah sama (Dahlan, 2008).
Berdasarkan hasil uji Shapiro Wilk dan uji homogenitas varians, maka uji
One Way ANOVA dapat dilaksanakan.
41
Tabel 5: Hasil Uji One Way ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F-hitung Nilai p
Between Groups 1026847,333 5 205369,467 121,441 0,000
Within Groups 30440,000 18 1691,111
Total 1057287,333 23
Dari hasil percobaan pada tabel 2 setelah dianalisis dengan uji One
Way ANOVA pada taraf kepercayaan (α) 0,05 didapatkan nilai
signifikansinya p < 0,05 yaitu 0,000 yang berarti paling tidak terdapat
perbedaan kematian larva yang bermakna pada kelompok-kelompok uji.
Untuk mengetahui pasangan kelompok yang mempunyai perbedaan
signifikan maka dilakukan uji LSD.
Hasil Uji One Way ANOVA selengkapnya tercantum dalam
lampiran 2.
2. Uji Least Significance Difference (LSD)
Tabel 6: Hasil Uji LSD
Kelompok Perbedaan efek larvasida dengan pasangan kelompok lain
Signifikan (p < 0,05) Tidak signifikan (p > 0,05)
I II, III, IV, V, VI -
II I, III, IV, V, VI -
III I, II, IV, V, VI -
IV I, II, III, V, VI -
V I, II, III, IV VI
VI I, II, III, IV V
42
Hasil pengujian data dengan Least Significance Difference (LSD)
menggunakan SPSS 16.0 for Windows, didapatkan adanya perbedaan yang
signifikan antara masing-masing pasangan kelompok (p = 0,016, p =
0,000; p < 0,05), kecuali antara kelompok V dan kelompok VI (p = 0,570;
maka p > 0,05) tidak signifikan. Hasil uji LSD selengkapnya dapat dilihat
pada lampiran 3.
3. Analisis Probit
Selanjutnya data hasil penelitian dianalisis Probit dengan program
SPSS 16.0 for Windows dengan tingkat kepercayaan 95% untuk
mendapatkan nilai LC50 dan LC99. Dari hasil analisa Probit, didapatkan
estimasi besar konsentrasi yang mengakibatkan kematian larva Anopheles
aconitus sebesar 50% (LC50) adalah konsentrasi 0,779% dengan interval
antara 0,643% dan 0,897%. Sedangkan kematian larva sebesar 99% (LC99)
didapatkan pada konsentrasi 2,203% dengan interval antara 1,965% dan
2,550%. Hasil analisis Probit selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.
43
BAB V
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dilakukan uji pendahuluan sebagai dasar penetapan
konsentrasi ekstrak yang dipakai pada penelitian sesungguhnya karena belum ada
literatur yang digunakan untuk menetapkan konsentrasi yang dipakai. Pada uji
pendahuluan didapatkan bahwa pada konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu
0,75% dan 1,75% didapatkan jumlah kematian larva masing-masing 21 dan 22
dari 25 ekor larva. Sedangkan pada konsentrasi 2,75%; 3,75%; 4,75% dan 5,75%
didapatkan jumlah kematian larva yang seragam yaitu 25 ekor larva. Dari hasil uji
pendahuluan, didapatkan hasil yang signifikan (p<0,05) bahwa kenaikan
konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu diikuti dengan kenaikan jumlah kematian
larva Anopheles aconitus. Konsentrasi ekstrak yang dipakai dalam uji penelitian
didasarkan pada hasil analisis probit uji pendahuluan yaitu LC50 = 0,658% dan
LC99 = 2,063%. LC50 adalah konsentrasi suatu zat yang dapat mematikan 50%
hewan uji dalam waktu tertentu dan LC99 adalah konsentrasi zat yang dapat
mematikan 99% hewan uji. LC50 dan LC99 adalah standar pengukuran toksisitas
suatu zat terhadap hewan uji (Stark, 2004). Dari hasil analisis tersebut maka
konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu yang dipakai dalam uji penelitian yaitu
0,6%; 1,0%; 1,4%; 1,8%; dan 2,2%.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa ekstrak daun kemangi
ungu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kematian larva Anopheles
aconitus. Dapat dikatakan demikian karena dari hasil analisis statistik dengan
menggunakan uji One Way ANOVA pada taraf kepercayaan (α) 0,05, didapatkan
43
44
nilai signifikasi p = 0,000 (<0,05) yang berarti Ho ditolak dan H1 diterima. Hasil
analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan efek larvasida yang bermakna
pada kelompok konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu yang berbeda. Secara
garis besar, kenaikan konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu juga diikuti
kenaikan jumlah kematian larva sampai tingkat konsentrasi tertentu seperti yang
dapat dilihat pada grafik 1.
Setelah hasil penelitian diuji dengan One Way ANOVA, dilanjutkan
dengan menggunakan LSD, didapatkan adanya perbedaan yang signifikan antara
masing-masing pasangan kelompok (p = 0,016, p = 0,000; p < 0,05), kecuali
antara kelompok V dan kelompok VI (p = 0,570; maka p > 0,05) tidak signifikan.
Berarti kelompok V dan kelompok VI memiliki pengaruh yang sama terhadap
mortalitas larva Anopheles aconitus. Hal ini dapat dimengerti karena persentase
kematian larva antara dua kelompok tersebut mempunyai selisih yang sedikit
sehingga perbedaan efek larvasida pada dua kelompok tersebut tidak
bermakna/signifikan.
Berdasarkan analisis Probit, didapatkan hasil estimasi besar LC50 pada
konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu adalah 0,779% dengan interval antara
0,643% dan 0,897%. Pada penelitian lain yang menggunakan kandungan yang
sama yaitu pada ekstrak daun selasih (Ocimum basilicum) terhadap kematian larva
Anopheles aconitus didapatkan hasil LC50 pada konsentrasi 2,75% (Fatimah,
1997). Pada penelitian lain dengan menggunakan ekstrak daun bengkuang
(Pachyrrhizus erosus) didapatkan hasil LC50 pada konsentrasi 2,8771%, ekstrak
bawang putih (Allium sativum) LC50 pada konsentrasi 0,29308% dan ekstrak buah
tomat (Solanum lycopersicum) LC50 pada konsentrasi 1,271 % (Wahyuningsih,
45
2000; Maesaroh, 2005; Nugroho, 2004). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) dengan LC50 0,779% mempunyai
aktivitas larvasida yang lebih tinggi dibandingkan dengan Ocimum basilicum
(LC50 2,75%), Pachyrrhizus erosus (LC50 2,8771%) dan Solanum lycopersicum
(LC50 1,271 %) dan lebih rendah dari ekstrak bawang putih (Allium sativum)
(LC50 0,29308%). Kelebihan Ocimum sanctum daripada Ocimum sp. yang lain
adalah Ocimum sanctum mempunyai kadar eugenol, metil chavicol, dan saponin
yang lebih tinggi.
Pemakaian istilah Lethal Concentration (LC) pada penelitian ini lebih
dipilih daripada istilah Lethal Dose (LD) karena sulit untuk menentukan dosis
(jumlah ekstrak daun kemangi ungu yang masuk ke dalam tubuh serangga)
sehingga lebih dipilih istilah Lethal Concentration yang secara lebih tepat
menggambarkan konsentrasi ekstrak pada media percobaan (Matsumura, 1975).
Kematian hewan coba dipengaruhi oleh durasi dan intensitas suatu zat. Semakin
rendah nilai LC50 suatu zat berarti zat tersebut mempunyai aktivitas yang lebih
tinggi dalam membunuh hewan coba dan sebaliknya, semakin tinggi nilai LC50
berarti zat tersebut mempunyai aktivitas yang lebih rendah dalam membunuh
hewan coba. Berarti zat dengan LC50 yang lebih tinggi membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk membunuh hewan coba yang sama (Zhao et al., 2004).
Sedangkan estimasi besar LC99 ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum
sanctum) terhadap larva Anopheles aconitus didapatkan pada konsentrasi 2,203%
dengan interval antara 1,965% dan 2,550%. Estimasi konsentrasi insektisida yang
diperlukan untuk mendapatkan probabilitas 0,99 untuk membunuh seekor
serangga (LC99) sangat penting karena menggunakan konsentrasi yang lebih besar
46
daripada nilai estimasi ini menyebabkan pemborosan dan kemungkinan dapat
berbahaya bagi lingkungan, kehidupan binatang lain, dan kehidupan manusia.
Sedangkan menggunakan konsentrasi yang lebih kecil juga menyebabkan tidak
tercapainya target dan mungkin akan berakibat adanya resistensi terhadap
insektisida tersebut (Payton et al., 2003).
47
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) memiliki efek larvasida
terhadap larva Anopheles aconitus dengan LC50 = 0,779%, LC99 = 2,203% dan
kenaikan konsentrasi ekstrak daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) diikuti
dengan kenaikan jumlah kematian larva Anopheles aconitus sampai tingkat
konsentrasi tertentu.
B. Saran
Mengingat keterbatasan dalam penelitian ini maka peneliti sarankan
sebagai berikut:
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap pengaruh ekstrak daun
kemangi ungu (Ocimum sanctum) terhadap kematian vektor-vektor
penyakit yang lain sehingga pemanfaatan ekstrak daun kemangi ungu
dapat maksimal karena keunggulan ekstrak daun kemangi ungu yang
murah, aman, dan mudah didapatkan di Indonesia.
2. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai isolasi metil
chavicol, eugenol dan saponin yang digunakan sebagai larvasida terhadap
larva Anopheles aconitus supaya didapatkan hasil yang lebih efektif.
47
48
3. Agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan formulasi ekstrak
daun kemangi ungu (Ocimum sanctum) yang lebih praktis sehingga
memudahkan dalam pendistribusiannya kepada masyarakat.
49
DAFTAR PUSTAKA
Anees A.M. 2008. Larvicidal activity of Ocimum sanctum Linn. (Labiatae) against Aedes aegypti (L.) and Culex quinquefasciatus (Say). Parasitol
Res. 103, pp:1451–1453. Azhari H.N., Salah A.E, Nour A.O., Abduelrahman H.N. and Mashitah M.Y.
2009. A Study of the Essential Oils of Four Sudanese Accessions of Basil (Ocimum basilicum L.) Against Anopheles Mosquito Larvae. American Journal of Applied Sciences. 6(7), pp: 1359-1363.
Bappenas, 2009. Memerangi HIV/AIDS, Malaria, Dan Penyakit Menular Lainnya.
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/1206/ (24 September 2009). Centers for Disease Control and Prevention, 2008. Anopheles mosquitoes.
http://www.cdc.gov/Malaria/biology/mosquito/ (24 September 2009). Chopra D. 2009. Plantamor Informasi Spesies Kemangi ungu ( Ocimum sanctum
L.). http://www.plantamor.com/index.php?plant=914. ( 24 September 2009).
Christophers S.R. and Barraud P.J. 1931. The Eggs of Indian Anopheles with
Descriptions of the Hitherto Undescribed Eggs of A Number of Species. Records of the Malaria Survey of India. 2(1), pp: 23-30.
Dahlan M.S. 2008. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika, hh: 84-95. Dattani M. 2009. Ocimum Sanctum And Its Therapeutic Applications.
http://www.pharmainfo.net/reviews/ocimum-sanctum-and-its-therapeutic-applications. (28 September 2009).
Dewi S.P. 2007. Tanaman Obat Indonesia.
http://toiusd.multiply.com/journal/item/110/Ocimum_sanctum-068114098. (8 Oktober 2009). Depkes RI. 1983. Malaria Entomologi jilid 10. Jakarta: Dirjen Pemberantasan dan
Pencegahan Penyakit Menular, hh: 9-17. Depkes RI. 1989. Kunci Bergambar Identifikasi Jentik Anopheles di Indonesia.
Jakarta: Dirjen Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Menular, hh: 7-20.
Depkes RI. 2003. Pedoman Tata Laksana Kasus Malaria (Gebrak Malaria).
Jakarta: Dirjen Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Menular, hh: 1-3
49
50
Duke J. 2009. Phytochemical and Ethnobotanical Databases (Ocimum sanctum).
http://sun.ars-grin.gov:8080/npgspub/xsql/duke/plantdisp.xsql?taxon=2021 (4 Oktober 2009).
Fatimah S. 1997. Studi Laboratorium Uji Kepekaan Larva Anopheles aconitus
terhadap Ekstrak Ocimum basilicum. Semarang, UNDIP. Skripsi. Gambiro S.K.M. 2007. Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Penyakit-
penyakit Parasit di Indonesia (Terutama Malaria dan Filariasis). Depkes RI, h: 6.
Gandahusada S., Ilahude H.D. dan W Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI, hh: 220-224. Hanifah K.A. 1993. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali
Press, h: 35. Harijanto P.N. 2000. Malaria Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi, Klinis dan
Penanganan. Jakarta: Penerbit EGC, hh: 4-7. Harrison B.A. 1980. The Myzomyia Series of Anopheles (Cellia) In Thailand
With Emphasis on Intra-Interspecific Variations. Medical Entomology Studies-XIII. 17(8), p: 160.
Isman M. 1999. UBC Researcher Helps Develop Environmentaly Safe Pesticide.
http://www.publificaffairs.ubc.ca/media/releases/1999/mr-99-61.html. (12 Maret 2009).
Kitti S. 1996. Kimia I. Klaten: PT. Intan Pariwara, hh: 37-38. Kweka E.J., Franklin M., Asanterabi L., Aneth M.M., Jovin K., Johnson M.,
Michael J.M., Charles P.M, Filemoni T., Emmanuel F., Ester E.L., Michael A.M, Rajabu M., Grace C. and Emmanuel A.T. 2008. Ethnobotanical Study of Some of Mosquito Repellent Plants in North-Eastern Tanzania. Malaria Journal. 7, pp:152.
Maesaroh S. 2005. Daya Bunuh Larvasida Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum
Linn) Terhadap Larva Vektor Malaria Anopheles Aconitus Donitz. http://www.unissula.ac.id/perpustakaan/index.php?option=com_content&view=article&id=304:daya-bunuh-larvasida-ekstrak-bawang-putih-allium-sativum-terhadap-larva-vektor-malaria-anopheles-aconitus-donitz=37:skripsi-kedokteran&Itemid=45. (9 Maret 2010).
Matsumura F. 1975. Toxicology of Insecticides. New York: Plenum Press, pp: 17-
22.
51
Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan.
Jakarta: Agromedia Pustaka, hh: 37-40. Nugroho H.B. 2004. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Tomat (Solanum
lycopersicum L.) terhadap Jumlah Kematian Larva Anopheles aconitus. http://www.unissula.ac.id/perpustakaan/index.php?option=com_content&view=article&id=304:pengaruh-pemberian-ekstrak-buah-tomat-solanum-lycopersicum-l-terhadap-jumlah-kematian-larva-anopheles=37:skripsi-kedokteran&Itemid=58. (9 Maret 2010).
Nurnasari E. 2009. Pemanfaatan senyawa kimia alami sebagai alternatif
pengendalian hama tanaman. http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_pangan/pemanfaatan-senyawa-kimia-alami-sebagai-alternatif-pengendalian-hama-tanaman/ (31 oktober 2009).
Okie S. 2008. A New Attack on Malaria. New England Journal Medicine. 358, p:
23 Payton M.E., Greenstone M. and Schenker N. 2003. Overlapping Confidence
Intervals or Standard Error Intervals What Do They Mean In Terms of Statistical Significance. Journal of Insect Science. 3, p: 34.
Sembel D.T. 2009. Entomologi Kedokteran. Yogyakarta: Penerbit Andi. hh: 10-
14. Seyoum A., Ephantus W.K., Wilber L., Gerry F.K., Ahmed H. and Bart G.J.K.
2002. Repellency Of Live Potted Plants Against Anopheles Gambiae From Human Baits in Semi-field Experimental Huts. American Journal Tropical Medicine Hygiene. 67(2), pp: 191–195.
Shashi B.M. and Ashoke K.N. 1991. Tripenoid saponins discovered between 1987
and 1989. Phytochemistry, 30(5), pp: 1357-85. Simanjuntak C.H. dan Arbani. 1989. Status Malaria di Indonesia. Cermin Dunia
Kedokteran. 55, h: 6. Singh N., Hoette Y. and Miller R. 2009. Tulsi The Mother Medicine of Nature.
http://www.holi-basil.com/herbs/ocimum-sanctum.htm. (4 Oktober 2009). Soedarto. 1989. Entomologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, h: 64. Soerono M., Badawi A.S., Muir D.A., Soedono A. And Siran M. 1965.
Observations on Doubly Resistant Anopheles aconitus donitz in Java, Indonesia, and on Its Amenability to Treatment with Malathion. Malaria Journals. 33, pp: 453-459.
52
Stark D.J. 2004. How Closely Do Acute Lethal Concentration Estimates Predict
Effects of Toxicants on Populations. Integrated Environmental Assessment and Management. 1(2), pp: 109–113.
Stojanovich C.J. and Scott H.G. 1966. Illustrated Key to Mosquitoes of Vietnam.
Georgia: US Department of Health Education and Welfare Public Health Service Atlanta, pp: 9-10.
Sudarsono, Gunawan D., Wahyuono S., Donatus I.A. dan Purnomo. 2002.
Tumbuhan Obat II. Yogyakarta: Pusat Studi Obat Tradisional Universitas Gadjah Mada, hh: 136-140.
Sudoyo A.W., Bambang S., Idrus A., Marcellus S.K. dan Siti S. 2007. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam edisi IV jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI, h: 1732.
Suparjo. 2009. Saponin Peran dan Pengaruhnya Terhadap Ternak dan Manusia.
http://jajo66.files.wordpress.com/2009/06/saponin.pdf (9 Oktober 2009). Sutanto I., Suhariah I., Pudji K.S. dan Saleha S. 2008. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran edisi 4. Jakarta: Departemen Parasitologi FK UI, hh: 255-256. Taufiqurahman M.A. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu
Kesehatan. Klaten: CSGF, hh: 1-125. Tugiyanti A. 2008. Manfaat dan Khasiat Minyak Atsiri Daun Selasih Ungu
(Ocimum sanctum Linn). http://naniqs.wordpress.com/2008/05/27/daun-selasih-ungu/. (28 September 2009).
Wahyuningsih H. 2000. Uji Kepekaan Larva Nyamuk Anopheles Aconitus
Terhadap Ekstrak Daun Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) di Laboratorium. http://www.unissula.ac.id/perpustakaan/index.php?option=com content&view=article&id=311:uji-kepekaan-larva-nyamuk-anopheles-aconitus-terhadap-ekstrak-daun-bengkuang-pachyrrhizus-erosus-di-laboratorium=37:skripsi-kedokteran&Itemid=58. (9 Maret 2010).
Wepster J.B. and Swellengrebel N.H. 1953. the Anopheline Mosquitoes of the
Indo-Australian Region. Amsterdam: The Department Of Tropical Hygiene and Geographical Pathology of the Royal Tropical Institute, pp: 366-367.
World Health Organization. 2008. World Malaria Report. WHO, pp: 1-4. World Health Organization. 2009. Vector Control of Malaria.
http://apps.who.int/malaria/vectorcontrol.html. (25 September 2009).
53
Zhao Y. and Newman M.C. 2004. Shortcomings Of The Laboratory-Derived
Median Lethal Concentration For Predicting Mortality In Field Populations: Exposure Duration And Latent Mortality. Environmental Toxicology and Chemistry. 23(9), pp. 2147–2153.