Upload
sons
View
7
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1. Pengertian Perilaku Organisasi
Pengertian perilaku organisasi adalah suatu bidang studi yang mengamati
tentang pengaruh perilaku individu, kelompok dan perilaku dalam struktur organisasi
dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan guna memperbaiki keefektifan
organisasi.
Dari pengertian tersebut diatas berdasarkan thesis bahwa pengertian
manajemen ialah pencapaian tujuan dengan bantuan orang lain, maka manajemen harus
memusatkan pada hubungan antar orang. Hal ini kadang-kadang juga disebut penelahaan
“human relation”, “leadership” atau “behavioral sciences approach”. Pada perilaku
keorganisasian dikembangkan teori-teori baru, metode dan teknik ilmu pengetahuan sosial
dalam peristiwa-peristiwa antara perorangan dan dalam hubungan perorangan sampai pada
hubungan kebudayaan. Dengan kata lain hubungan ini menekankan pada aspek
kemanusiaan didalam manajemen, dengan prinsip apabila orang-orang bekerjasama untuk
mencapai tujuan tujuan tertentu, maka sudah seharusnya apabila orang sudah mengerti
orang lain yang menjadi teman/kelompok kerjanya.
Perilaku organisasi konsern dengan situasi hubungan manusia, sebab hal ini
erat kaitannya dengan pekerjaan, absensi, pergantian karyawan, produktivitas, prestasi
seseorang dan manajemen. Perilaku keorganisasian juga meliputi: motivasi, perilaku dan
kekuatan/tenaga kepemimpinan, komunikasi antar personal, struktur kelompok dan proses,
konflik, desain pekerjaan, dan stres. da
Dari keterangan tersebut diatas dapat diilustrasikan statemen yang berkaitan
dengan manfaat perilaku keorganisasian sebagai berikut :
Tingkat kegembiraan/keserasian karyawan menjadikan karyawan tersebut menjadi
produktif.
Semua individu karyawan produktif, bila pimpinan bersahabat, menaruh
kepercayaan dan mengadakan pendekatan.
Efektifitas interview dalam seleksi.
Setiap orang berkeinginan/bertantang dalam pekerjaan.
Pelaksanaan pekerjaan dengan baik.
Setiap termotivasi oleh uang.
Sebagian besar orang sangat lebih konsern terhadap ukuran besarnya gaji
kemudian yang lainnya.
Sebagaian besar efektivitas kelompok dengan ketiadaan konflik.
A. Konsep Perilaku Organisasi
Sistem kerja sama sekelompok orang yang mempunyai aturan
dan keterikatan tertentu untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Struktur pembagian kerja dan mekanisme kerja antara
sekelompok orang yang mempunyai aturan dan keterikatan
tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
B. Perilaku Organisasi
Sikap dan tindakan
Ilmu Perilaku organisasi
Ilmu tentang perilaku tiap individu dan kelompok serta
pengaruh tiap individu dan kelompok terhadap organisasi,
maupun perilaku interaksi antara individu dengan individu,
individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok
dalam organisasi demi kemanfaatan suatu organisasi.
C. Prinsip organisasi.
Suatu organisasi bisa dikatakan solid jika memiliki sifat sbb.
1. mempunyai tujuan yang jelas.
2. tujuan organisasi harus di terima dan di fahami oelh setiap orang
di dalam organisasi.
3. memiliki kesatuan arah.
4. keseimbangan antara wewenang dan tanggungjawab.
5. berkesinambungan.
6. penempatan orang harus sesuai ahlinya.
7. adanya pembagian tugas.
D. Manfaat organisasi
1. Menumbuhkan rasa kebersamaan.
2. Memperkuat tali persaudaraan.
3. Menyebarkan rasa tolong menolong.
4. Memperkaya informasi.
5. Meningkatkan kualitas pribadi.
6. Membangkitkan semangat juang.
7. Meningkatkan kualitas fakir.
8. Mengurangi sifat egoisme.
9. Membina kesatuan berfikir untuk menyamakanpemahaman
mencapai tujuan.
10. Melatih toleransi
E. 4 unsur utama perilaku organisasi :
1. pandangan psikologi
2. - pandangan ekonomi
3. pandangan bahwa individu dipengaruhi aturan org. dan
pemimpinnya
4. pandangan tentang penekanan kepada tuntutan manajer untuk
mencapai tujuan organisasi.
A. PENDEKATAN PERILAKU ORGANISASI :
1. Pendekatan Antar disiplin, perpaduan banyak disiplin.
2. Pendekatan Sumber Daya Manusia (Suportif), dukungan pertumbuhan atau
perkembangan pegawai untuk mencapai keefektifan .
3. Pendekatan Kontingensi, peluang adanya perilaku yang berbeda-beda yang
diperlukan oleh berbagai lingkungan yang berlainan untuk mencapai keefektifan.
4. Pendekatan Produktivitas, rasio yang membandingkan berberbagai unit keluaran
dengan unit masukan.
5. Pendekatan Sistem, interaksi semua bagian organisasi dalam hubungan yang rumit.
B. IKLIM DAN MODEL PERILAKU ORGANISASI
Iklim Organisasi : lingkungan manusia dimana para pegawai organisasi melakukan pekerjaan
mereka
Unsur – unsur Iklim yang menyenangkan:
- Kualitas kepemimpinan
- Kadar kepercayaan
- Komunikasi keatas dan kebawah
- Perasaan melakukan pekerjaan yang bermanfaat
- Tanggung Jawab
- Imbalan yang adil
- Tekanan pekerjaan yang nalar
- Pengendalian, Struktur, dan birokrasi yang nalar
- Keterlibatan pegawai, keikutsertaan
C. Hakekat Organisasi
Dalam perilaku organisasi, organisasi terbagi dalam dua hakekat yaitu sistem sosial dan
kepentingan bersama.
a. Sistem Sosial
Sistem Sosial adalah Seperangkat hubungan manusia yang rumit yang
berinteraksi dalam banyak cara.Dimana sebuah sistem dikatakan dalam
keseimbangan sosial apabila terdapat suatu dinamika yang menyeimbangkan
semua bagiannya yang saling tergantung dan memberikan perubahan yang
fungsional / menguntungkan bagi system.
SISTEM SOSIAL
PERANBUDAYA STATUS
SosialisasiPersepsi PeranKonflik PeranPeran ganda
Hubungan StatusSimbol StatusSumber StatusPentingnya Status
Keseimbangan SosialTindakan fungsionalitasPerjanjian psikologis & ekonomiKeadilan
PEGAWAI
MAJIKAN
PerjanjianPsikologis
PerjanjianEkonomi
Pegawai:Apabila harapan terpenuhi:-Kepuasan kerja tinggi-Prestasi tinggi-Tetap bertahan dalam organisasi
Bila harapan tidak terpenuhi :-Kepuasan Kerja rendah-Prestasi Rendah-Pengunduran diriMajikanApabila harapan terpenuhi:-Pegawai dipertahankan-Kemungkinan Promosi
Apabila harapan tidak terpenuhi:-Tindakan Perbaikan /Disiplin-Kemungkinan pemberhentian
PERJANJIAN PSIKOLOGIS DAN EKONOMI
2. Perilaku Kewargaan Karyawan (Organizational Citizenship Behavior)
A. Definisi OCB
Saat ini banyak kajian baru dan menarik di bidang sumber daya manusia. manusia
dijadikan sebagai subjek dan juga objek dalam penelitian-penelitian SDM untuk mencari
hal-hal baru yang dapat dijadikan sebagai sumber peningkatan kemampuan manusia itu
sendiri. Salah satu aspek baru yang diungkap tentang manusia adalah OCB (Organizational
Citizenship Behavior / perilaku kewargaan karyawan).
Menurut Aldag dan Resckhe, (1997), Organizational Citizenship Behavior merupakan
kontribusi individu dalam melebihi tuntutan peran di tempat kerja. OCB ini melibatkan
beberapa perilaku meliputi perilaku suka menolong orang lain, menjadi volunteer untuk
tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja.
Perilaku ini menggambarkan nilai tambah karyawan yang merupakan salah satru bentuk
perilaku prososial, yaitu perilaku social yang positif, konstruktif dan bermakna membantu.
KEKUATAN-KEKUATAN PENDORONG PERUBAHAN
Organ mendefiniskan OCB sebagai perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan
secara langsung atau eksplisit dengan system reward dan bisa meningkatkan fungsi efektif
organisasi. Organ juga mencatat bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB)
ditemukan sebagai alternative penkelasan pada hipotesis “kepuasan berdasarkan
performance”.
Organ mendefinisikan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas
(discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari sistem
imbalan formal, dan yang secara keseluruhan mendorong keefektifan fungsi-fungsi
organisasi. Bersifat bebas dan sukarela,
karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan,
yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi; melainkan sebagai pilihan
personal (Podsakoff, dkk, 2000).
Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB dapat mempengaruhi keefektifan organisasi
karena beberapa alasan.
Pertama, OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja.
OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial.
OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial.
OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumberdaya organisasional
untuk tujuan-tujuan produktif.
OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumberdaya
organisasional untuk tujuan-tujuan pemeliharaan karyawan.
OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas koordinasi
antara anggota-anggota tim dan antar kelompok-kelompok kerja.
OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan
mempertahankan SDM-SDM handal dengan memberikan kesan bahwa organisasi
merupakan tempat bekerja yang lebih menarik.
OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi.
OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi terhadap
perubahan-perubahan lingkungan bisnisnya.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Organizational Citizenship Behavior
(OCB) merupakan :
1. Perilaku yang bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan yang terpaksa terhadap
hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi
2. Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan kinerja, dan tidak
diperintah secara formal
3. Tidak berkaitan langsung dengan system reward. Artinya, perilaku ekstra peran yang
dilakukan karyawan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk uang.
B. Dimensi OCB
Istilah Organizational Citizenship Behavior (OCB) pertama kali diajukan oleh Organ yang
mengemukakan lima dimensi primer dari OCB (Allison, dkk, 2001) :
1. Altruism, yaitu perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada
tugas-tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi organisasional.
2. Civic Virtue, menunjukkan partisipasi sukarela dan dukungan terhadap fungsi-fungsi
organisasi baik secara professional maupun social alamiah.
3. Conscinetiousness, berisi tentang kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standar
minimum.
4. Courtesy, adalah perilaku meringankan problem-problem yang berkaitan dengan
pekerjaan yang dihadapi orang lain.
5. Sportmanship, berisi tentang pantangan-pantangan membuat isu yang merusak
meskipun merasa jengkel.
Permasalahan utama yang muncul adalah bahwa penelitian di bidang ini lebih lanjut
hanya terfokus pada substantive validity, ketimbang construct validity (Schwab, dalam
Podsakoff, dkk,2000). Karenanya, penelitian-penelitian empiris di bidang ini lebih
menekankan hubungan dan
pengaruh OCB terhadap konstruk-konstruk lainnya, ketimbang konseptualisasi dan
pendefinisian konstruk OCB itu sendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut, operasionalisasi dimensi-dimensi OCB di kalangan
peneliti menjadi Berkaitan dengan hal tersebut, operasionalisasi dimensi-dimensi OCB di
kalangan peneliti menjadi sangat beragam. Podsakoff dkk. (2000) misalnya, mengajukan 5
dimensi OCB, yaitu altruism,
conscientiousness, sportsmanship, courtesy, dan civic virtue. Sementara Van Dyne dkk,
(1994), mengkonseptualisasikan 3 dimensi OCB yang diadopsi dari literatur-literatur politik
klasik dan modern, yaitu Obedience, loyalty, dan Participation.
Perbedaan konseptualisasi terhadap satu konstruk ini menurut Podsakoff dkk.
(2000), dapat menimbulkan bahaya-bahaya yang cukup serius, di antaranya dapat
mengakibatkan pertentangan-pertentangan konotasi konseptual bagi orang-orang yang
berbeda.
Sementara, literatur-literatur OCB mengindikasikan bahwa dimensi-dimensi yang
berbeda-beda tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan konsep. Dengan kata lain, terjadi
pelabelan (penamaan) yang berbeda-beda terhadap dimensi yang sama, yang pada
gilirannya, mengakibatkan penggunaan-penggunaan ukuran yang tumpang tindih.
C. Perilaku Kewargaan Organisasi (Organizational Citizenship Behavior)
Merupakan perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal
seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.
Organizational Citizenship Behavior (OCB) ini juga sering diartikan sebagai perilaku yang
melebihi kewajiban formal (ekstra role) yang tidak berhubungan dengan kompensasi
langsung. Artinya, seseorang yang memiliki OCB tinggi tidak akan dibayar dalam bentuk
uang atau bonus tertentu, namun OCB lebih kepada perilaku sosial dari masing-masing
individu untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan, seperti membantu rekan di saat jam
istirahat dengan sukarela adalah salah satu contohnya.
Kedudukan OCB sebagai salah satu bentuk perilaku extra-role, telah menarik
perhatian dan perdebatan panjang di kalangan praktisi organisasi, peneliti maupun
akademisi. Podsakoff (2000) mencatat lebih dari 150 artikel yang diterbitkan di jurnal-jurnal
ilmiah dalam kurun waktu 1997 hingga 1998. Namun demikian, penelitian di lapangan masih
meninggalkan beberapa permasalahan krusial yang menuntut penanganan yang lebih
intensif dan menyeluruh.
Beberapa faktor yang mempengaruhi OCB antara lain (Organ, 1995; Sloat, 1999) :
1. Budaya dan iklim organisasi
2. Kepribadian dan suasana hati
3. Persepsi terhadap dukungan organisasional
4. Persepsi terhadap kualitas hubungan/interaksi atasan bawahan
5. Masa kerja, dan
6. Jenis Kelamin
Sedangkan Spector (1997, dalam Robbins, 2003:105) menambahkan kepuasan
terhadap kualitas kehidupan kerja sebagai penentu utama dari perilaku kewarganegaraan
yang baik dari seorang karyawan (organizational citizenship behavior-OCB).
OCB lebih dipengaruhi oleh kepribadian atau lebih tepatnya kecerdasan emosi.
Dibandingkan faktor2 situasional dan kondisi kerja di atas atau dapat dijadikan mediator
atau perantara dari faktor-faktor di atas. Karena berdasarkan pengalaman kerja saya selama
ini, dapat dilihat bahwa banyak karyawan yang puas dengan kondisi dan situasi kerja namun
tetap tidak memiliki perilaku ekstra seperti ini. Orang-orang yang memiliki OCB tinggi ini
umumnya supel dan ramah, perilaku nya tidak didorong oleh embel-embel duit, sukarela
dan iklas membantu.
D. Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
Kepuasan kerja merupakan penerimaan positif atas kondisi dan situasi kerja.. Tidak
seperti variabel sebelumnya, kepuasan kerja lebih menggambarkan sikap daripada perilaku.
Dijadikannya kepuasan sebagai variabell dependen yang utama didasarkan pada berbagai
penelitian yang memeperlihatkan hubungan kepuasan kerja dengan banyak faktor lain oleh
peneliti PO.
Keyakinan bahwa karyawan yang merasa puas lebih produktif bila dibandingkan
dengan karyawan yang tidak puas telah menjadi prinsip dasar di antara para manager
selama bertahun-tahun, meski pun akhir-kahir ini terdapat keraguan tentang hubungan
antara kepuasan – kinerja.
Penelitian yang mendukung berhasil dikumpulkan dari 2.500 unit bisnis yang
menemukan bahwa unit yang mendapat nilai di atas 25 persen dalam survey opini karyawan
adalah mencapai rata-rata 4,6% di atas anggaran penjualan mereka untuk tahun tersebut.
Sementara mereka yang mendapat nilai dibawah 25 persen adalah 0,8 di bawah anggaran.
Artinya, memang terdapat perbedaan yang signifikan dilihat dari kinerja berdasarkan
kepuasan kerja.
Namun sebuah model yang dikembangkan oleh Lawyer justru sebaliknya. Dengan
mengadopsi teori pengharapan, Lawyer menyusun sebuah model dengan urutan : Motivasi
– Usaha / Kemampuan – Kinerja – Hasil kerja – Kepuasan. Atau dapat dinyatakan bahwa :
1. Pertama, kekuatan motivasi seseorang untuk berkinerja baik secara langsung nampak
dari usahanya (seberapa keras ia bekerja). Usaha yang dihasilkan ini bisa saja
menghasilkan kinerja yang bagus tepai bisa juga tidak, karena sekurang-kurangnya
dua faktor harus benar jika usaha (effort) harus dikonversikan menjadi kinerja.
Pertama, orang tersebut harus memiliki kemampuan yang dibutuhkan agar mampu
bekerja dengan baik. Jika kemampuan dan usaha yang tidak tinggi maka tidak akan
menghasilkan kinerja yang baik. Faktor kedua adalah persepsi orang tersebut tentang
bagaimana usahanya dikonversikan dengan sebaik-baiknya menjadi kinerja. Di
asumsikan bahwa persepsi ini dipelajari oleh individu dari pengalaman sebelumnya
pada situasi yang sama. Persepsi “bagaimana melakukannya” ini jelas bisa lebar sekali
variannya, dan kalau muncul persepsi salah maka kinerja bisa saja rendah meskipun
usaha dan motivasi tinggi.
2. Kedua, ketika terjadi kinerja, individu memperoleh sejumlah hadil dari kerja. Hasil
kerja ekstrinsik yang bisa saja tidak diterima oleh individu
3. Ketiga, sebagai akibat dari diperolehnya hasil kerja dan persepsi yenyang nilai rata-
rata hasil kerja, individu memiliki respon efektif positif atau negatif (kepuasan atau
ketidakpuasan)
4. Keempat, model ini menunjukkan peristiwa yang terjadi mempengaruhi perilaku
organisasi dengan mengubah persepsi E – P,P – O, dan V. Proses ini digambarkan
dalam garis putar umpan balik dan kemudian kembali ke motivasi.
3. Pendekatan Perilaku Organisasi
A. Definisi Kepribadian
Menurut Alport dalam Setyobroto (2005) kepribadian merupakan organisasi dinamis
meliputi sistem psiko-fisik yang menentukan ciri-ciri tingkah laku yang tercermin dalam cita-
cita, watak, sikap dan sifat-sifat serta perbuatan manusia”.
Dalam konteks organisasi, kepribadian didefinisikan oleh Kreitner dan Kinicki (2005) sebagai
gabungan ciri fisik dan mental yang relative stabil yang memberi kesan identitas pada
individu. Ciri-ciri ini termasuk bagaimana penampilan, pikiran, tindakan, dan perasaan
seseorang merupakan hasil dari pengaruh genetik dan lingkungan yang saling berinteraksi.
Robbins (2007) mendefinisikan kepribadian sebagai organisasi dinamis dalam sistem
psikologis individu yang menentukan caranya untuk menyesuaikan diri secara unik terhadap
lingkungannya.
B. Ciri dan Atribut Kepribadian
Ciri kepribadian menurut Kreitner dan Kinicki (2005) terdiri dari konsep diri yang
terdiri dari self-esteem (penghargaan diri), self eficacy (kepercayaan atas kemajuan diri) dan
self monitoring (evaluasi diri), letak kendali, kepribadian tipe A.
Sementara karakteristik kepribadian menurut Robbins (2007:15-18) diantaranya
adalah agresif, malu, pasrah, malas, ambisius, setia, jujur. Semakin konsisten karakteristik
tersebut muncul di saat merespon lingkungan, hal itu menunjukkan faktor keturunan atau
pembawaan (traits) merupakan faktor yang penting dalam membentuk kepribadian
seseorang.
Menurut Robbins dan Judge (2007), kepribadian utama terkait dengan perilaku kerja
seseorang dibagi terdiri dari 6 yaitu machiavellianisme, narsisme, pemantauan diri, berani
mengambil resiko, kepribadan pro aktif dan kepribadian Tipe A.
C. Ciri Kepribadian Populer
1. Locus of Control (LOC)
Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh
Rotter pada tahun 1966, seorang ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control merupakan
salah satu variabel kepribadian (personility), yang didefinisikan sebagai keyakinan individu
terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny) sendiri. Individu yang memiliki
keyakinan bahwa nasib atau event-event dalam kehidupannya berada dibawah kontrol
dirinya, dikatakan individu tersebut memiliki internal locus of control. Sementara individu
yang memiliki keyakinan bahwa lingkunganlah yang mempunyai kontrol terhadap nasib atau
event-event yang terjadi dalam kehidupannya dikatakan individu tersebut memiliki external
locus of control.
Kreitner & Kinichi (2005) mengatakan bahwa hasil yang dicapai locus of control
internal dianggap berasal dari aktifitas dirinya. Sedangkan pada individu locus of control
eksternal menganggap bahwa keberhasilan yang dicapai dikontrol dari keadaan sekitarnya.
lebih lanjut dinyatakan bahwa dimensi internal-external locus of control dari Rotter
memfokuskan pada strategi pencapaian tujuan tanpa memperhatikan asal tujuan tersebut.
Bagi seseorang yang mempunyai internal locus of control akan memandang dunia
sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan didalamnya.
Pada individu yang mempunyai external locus of control akan memandang dunia sebagai
sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam mencapai tujuan sehingga
perilaku individu tidak akan mempunyai peran didalamnya (Kreitner dan Kinicki, 2005)
Individu yang mempunyai external locus of control diidentifikasikan lebih banyak
menyandarkan harapannya untuk bergantung pada orang lain dan lebih banyak mencari dan
memilih situasi yang menguntungkan. Sementara itu individu yang mempunyai internal
locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri sendiri
dan diidentifikasikan juga lebih menyenangi keahlian-keahlian dibanding hanya situasi yang
menguntungkan.
2. Intorvert dan Esktrovert
Pribadi ekstrovert adalah kondisi seseorang dimana dia menyenangi bergaul dan
bersama orang lain. Dia tidak merasa terpaksa untuk berbicara di depan orang lain dalam
acara sosial dan tidak canggung untuk berbicara di depan orang banyak yang belum dikenal.
Biasanya ia disenangi oleh lingkungannya karena cenderung lebih pandai mengelola emosi
dan siap berempati dengan orang lain.
Sebaliknya, pribadi introvert merupakan kepribadian seseorang dimana ia cenderung
kurang menyenangi bersama orang lain, dia lebih suka menyendiri, tidak suka dengan orang
baru, tidak suka berbicara di depan umum, kurang yakin diri, pemalu dan pendiam
(Hariwijaya, 2005).
3. Kepribadian Tipe A
Kepribadian Tipe A merupakan kompleks tindakan emosi yang dapat diamati dalam
setiap orang yang terlibat secara agresif dalam suatu perjuangan yang terus-menerus dan
tak henti-henti untuk mencapai hal yang lebih dari sekarang. (Kreitner dan Kinicki, 2005).
Meyer Friedmen dan Rosenman (dalam Kreitner dan Kinicki, 2005) memberikan
penjelasan mengenai pola perilaku tipe A yang merupakan suatu kompleks tindakan emosi
yang dapat diamati dalam setiap orang yang terlibat secara agresif dalam suatu perjuangan
yang terus menerus dan tak henti-hentinya untuk mencapai hal yang lebih, dan lebih dalam
waktu singkat dan lebih singkat lagi, dan jika perlu melawan usaha yang berkebalikan dari
orang lain.
Individu dengan jenis kepribadian tipe A adalah manusia yang tak henti-hentinya
ingin mencapai sesuatu yang lebih tinggi (tinggi dan banyak), dengan waktu yang terasa
selalu kurang. Ciri-ciri dari jenis kepribadian tipe A termasuk pemikiran yang sarat dengan
bagaimana manusia dapat mengejar waktu, bagaimana manusia bersaing terus-menerus
dengan ketat, bagaimana tingkah laku manusia hampir selalu mengarah kepada
permusuhan, keinginan yang besar untuk menggunakan waktu yang luang dan
ketidaksabaran menyelesaikan tugas.
Ada beberapa konsep kepribadian yang banyak digunakan oleh praktisi sumber daya
manusia maupun para peneliti untuk melihat kencederungan pribadi seseorang, diantaranya
adalah Myers-Briggs Type Indicators (MBTI), dan Model Lima Besar (the big five model).
A. Model Myers-Briggs Type Indicators :
Myers-Briggs Type Indicators merupakan instrumen yang paling sering
dipergunakan. Instrumen ini berisi 100 pertanyaan mengenai bagaimana individua kan
merasa atau bertindak dalam situasi tertentu. Berdasarkan jawaban-jawbaan yang diberikan
dalam tes tersebut, individu diklasifikasikan ke dalam karakteristik ekstrovert-introvert (E
atau I), sensitif atau intuitif (S atau N), pemikir atau perasa (E atau F), dan memahami atau
menilai (judging atau perceiving : J atau P).
Istilah-istilah ini didefinisikan sebagai berikut (Robbins, 2007):
1. Ekstraver versus Introvert. Individu dengan karakteristik ekstravert digambarkan
sebagai individu yang ramah, suka bergaul, dan tegas. Sedangkan individu dengan
karakteristik introvert digambarkan sebagai individu yang pendiam dan pemalu
2. Sensitif versus Intuitif. Individu dengan karakteristik sensitif digambarkan sebagai
individu yang praktis dan lebih menyukai rutinitas dan urutan. Mereka berfokus pada
detail. Sebaliknya, individu dengan karakteristik intuitif mengandalkan proses-proses
tidak sadar dan melihat gambaran umum
3. Pemikir versus Perasa. Individu yang termasuk dalam karakteristik pemikir
menggunakan alasan dan logika untuk menganangi masalah, sednagkan individu
dengan karakteristik perasa mengandalkan nilai-nilai dan emosi pribadi mereka
4. Memahami versus Menilai. Individu yang cenderung memiliki karakteristik memahami
menginginkan kendali dan lebih suka dunia mereka teratur dan terstruktur,
sedangkan individu dengan karakteristik menilai cenderung lebih fleksibel dan
spontan.
B. Model Kepribadian Lima Besar (Kepribadian the Big Five)
Kepribadian lima besar meliputi ekstaversi (extravertion), mudah akur atau mudah
bersepakat (agreeableness), sifat berhati-hati (conscientiousness), stabilitas emosi
(emotional stability), dan terbuka terhadap hal-hal baru (openness to experience).
1. Esktraversi. Dimensi ini mengungkapkan bahwa tingkat kenyamanan seseorang dalam
berhubungan dengan individu lain. Individu yang memiliki sifat ekstraversi cenderung
suka hidup berkelompok, tegas, dan mudah bersosialisasi. Sebaliknya individu yang
memiliki sifat introvert cenderung suka menyendiri, penakut dan pendiam.
2. Mudah akur atau bersekapakat. Dimensi merujuk pada kecenderungan individu untuk
patuh terhadap individu lainnya. Individu sangat mudah bersepakat adalah individu
yang tidak mudah bersepakat cenderung bersikap dingin, tidak ramah, dan suka
menentang.
3. Sifat kehati-hatian. Dimensi ini merupakan ukuran kepercayaan. Individu yang sangat
berhati-hati adalah individu yang bertanggungjawab, teratur, dapat diandalkan, dan
gigih. Sebaliknya, individu dengan dengan sifat kehati-hatian yang rendah cenderung
mudah bingung, tidak teratur, dan tidak bisa diandalkan.
4. Stabilitas emosi. Sering juga disebut berdasarkan kebalikannya yaitu neurosis. Dimensi
ini menilai kemampuan seseorang untuk menahan stres. Individu dengan stabilitas
emosi positif cenderung tenang, pecaya diri dan memiliki pendirian yang teguh.
Sementara individu dengan stabilitas emosi yang negatif cenderung mudah gugup,
khawatir, depresi, dan tidak memiliki pendirian yang teguh.
5. Terbuka terhadap hal-hal baru. Dimensi ini merupakan dimensi terakhir yang
mengelompokkan individu berdasarkan lingkup minat dan ketertarikannya terhadap
hal-hal baru. Individu yang sangat terbuka, kreatif, ingin tau dan sensitif terhadap hal
yang bersifat seni. Sebaliknya mereka yang tidak terbuka cenderung memiliki sifat
konvensional dan merasa nyaman dengan hal-hal yang telah ada.
4. Variabel Intervening
A. Definisi :
A variable which is postulated to be a predictor of one or more dependent variables,
and simultaneously predicted by one or more independent variables. Synonym : mediating
variable. (1)
A variable (as memory) whose effect occurs between the treatment in a
psychological experiment (as the presentation of a stimulus) and the outcome (as a
response), is difficult to anticipate or is unanticipated, and may confuse the results (2)
Menurut Tuckman (dalam Sugiyono, 2007) variabel intervening adalah variabel yang
secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak dapat diamati dan diukur.
Variabel ini merupakan variabel penyela / antara variabel independen dengan variabel
dependen, sehingga variabel independen tidak langsung mempengaruhi berubahnya atau
timbulnya variabel dependen.
“A mediating variable is one which specifies how (or the mechanism by which) a
given effect occurs between an independent variable (IV) and a dependent variable (DV).”
(Holmbeck, 1997, p. 599).
Dari definisi ini, intervening (mediator) dikatakan memberikan pengaruh di antara IV
dan DV. Dapat merubah hasil, persamaannya adalah mediator variabel / variabel perantara,
sulit untukj diantisipasi, dll. Dimananakah posisinya ?? yaitu di tengah.
Perhatikan penjelasan berikut (cth variabel diambil dari buku Prof. Sugiyono, 2007) :
Penghasilan (IV) —> gaya hidup (M) —> harapan hidup (Y)
Dari gambar anak panah dapat diketahui bahwa :
1. Penghasilan mempengaruhi gaya hidup.
2. Gaya hidup mempengaruhi harapan hidup
3. Karena adanya variabel gaya hidup ini maka hubungan yang terjadi antara
penghasilan (X) ke harapan hidup (M) menjadi hubungan yang tidak langsung karena
diperantarai gaya hidup (Y)
Penjelasan model ini dapat didownload pada artikel Paul Jose tentang Model Mediasi
B. PERBEDAAN VARIABEL MEDIATOR DENGAN MODERATOR
Ditinjau dari definisinya, variabel mediasi (intervening) dan moderator sama-sama
mempengaruhi hubungan independen terhadap dependen, lalu dimana perbedaannya ??
Untuk menjelaskan hal ini saya kembali mengambil contoh dalam buku Prof.
Sugiyono (2007:40-41) mengenai variabel dan paradigma hubungan.
Perhatikan dua model di atas ..ada dua perbedaan mendasar yaitu :
1. Variabel mediator berada dalam satu jalur hubungan, moderator di luar
2. Variabel mediator dipengaruhi IV dan mempengaruhi DV, moderator lebih banyak
tidak
3. dan…ciri khas variabel mediator (terutama dalam penelitian sosial/keperilakuan)
adalah mudah berubah, misal mood, emosi, rasa puas, benci, sedih, dll. Sedangkan
moderator lebih susah berubah seperti kepribadian, usia, masa kerja, budaya, dll.
5. Stres Kerja
A. DEFINISI STRES KERJA
Kreitner dan Kinicki (2005) mendefinisikan stres sebagai respon adaptif dihubungkan
oleh karaktersitik dan atau proses psikologis individu, yang merupakan suatu konsekuensi
dari setiap tindakan eksternal, situasi, atau peristiwa yang menempatkan tuntutan
psikologis/fisik khusus pada seseorang.
Charles D, Spielberger (dalam Handoyo, 2001) menyebutkan bahwa stres adalah
tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam
lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa
diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang
berasal dari luar diri seseorang.
Sedangkan Gibson mengemukakan bahwa stress kerja dikonseptualisasi dari beberapa
titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon dan stres sebagai stimulus-
respon. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada
lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan
individu untuk memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres
sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu.
Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara
stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak sekedar sebuah stimulus
atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi unik antara kondisi stimulus
lingkungan dan kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan.
Sondang Siagian (2008) menyatakan bahwa stres merupakan kondisi ketegangan yang
berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang tidak bisa
di atasi denganbaik biasanya berakibat pada ketikmampuan orang beriteraksu secara positif
dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan pekerjaan maupun lingkungan luarnya.
Artinya, karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai gejala negatif yang pada
gilirannya berpengaruh pada prestasi kerja.
B. Penyebab Stres kerja
Menurut Luthans (2002), penyebab terjadinya stres yang bersifat organisasi, salah
satunya adalah struktur dalam organisasi yang terbentuk melalui desain organisasi yang ada,
misalnya melalui formalisasi, konflik dalam hubungan antar karyawan, spesialisasi, serta
lingkungan yang kurang mendukung. Hal lain dalam desain organisasi yang juga dapat
menyebabkan stres antara lain adalah, level diferensiasi dalam perusahaan serta adanya
sentralisasi yang menyebabkan karyawan tidak mempunyai hak untuk berpatisipasi dalam
pengambilan keputusan (Robbins, 2003).
Sedangkan faktor yang bersifat non-organisasi, yaitu faktor individual, antara lain
adalah tipe kepribadian karyawan. (Robbins, 2003). Tipe kepribadian yang cenderung
mengalami stres kerja yang lebih tinggi adalah tipe kepribadian A. Individu tipe A lebih cepat
untuk mengalami kemarahan yang apabila ia tidak dapat menangani hal tersebut, individu
tersebut akan mengalami stres yang dapat menuju terjadinya masalah pada kesehatan
individu tersebut (Luthans, 2002).
Karyawan dapat menanggapi kondisi-kondisi tekanan tersebut secara positif maupun
negatif. Stres dikatakan positif dan merupakan suatu peluang bila stres tersebut
merangsang mereka untuk meningkatkan usahanya untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Stres dikatakan negatif bila stres memberikan hasil yang menurun pada produktifitas
karyawan. Akibatnya, ada konsekuensi yang konstruktif maupun destruktif bagi badan usaha
maupun karyawan. Pengaruh dari konsekuensi tersebut adalah penurunan ataupun
peningkatan usaha dalam jangka waktu pendek maupun berlangsung dalam jangka waktu
lama.
Dalam model stres kerja yang dikembangkan oleh Ivansevich dan Matteson,
“Organizational Stressor and Heart Disease”, (dalam Kreitner dan Kinicki, 2005) penyebab
stres antara lain meliputi : Level individual, level kelompok, level organisasional, dan level
ekstra organisasional. Stressor level individual yaitu yang secara langsung dikaitkan dengan
tugas pekerjaan seseorang (person-job interface). Contoh yang paling umum stressors level
individual ini adalah:
1) Role overload merupakan kondisi dimana pegawai memiliki terlalu banyak
pekerjaan yang harus dikerjakan atau di bawah tekanan jadwal waktu yang
ketat
2) Role conflict. Terjadi ketika berbagai macam pegawai memiliki tugas dan
tanggung jawab yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Konflik ini
juga terjadi ketika pegawai diperintahkan untuk melakukan sesuatu
tugas/pekerjaan yang berlawanan dengan hati nurani atau moral yang mereka
anut.
3) Role ambiguity. Terjadi ketika pekerjaan itu sendiri tidak didefinisikan secara
jelas. Oleh karena pegawai tidak mampu untuk menentukan secara tepat apa
yang diminta organisasi dari mereka, maka mereka terus menerus merasa
cemas apakah kinerja mereka telah cukup atau belum.
4) Responsibility for other people. Hal ini berkaitan dengan kemajuan karir
pegawai. Kemajuan karir yang terlalu lambat, terlalu cepat, atau pada arah
yang tidak diinginkan akan menyebabkan para pegawai mengalami tingkat
stres yang tinggi. Apalagi jika mereka harus bertanggung jawab terhadap karir
seseorang yang lain akan menyebabkan level stres menjadi lebih tinggi.
A. Pengertian
Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu
mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda, seperti yang didefinisikan oleh Kreitner &
Kinicki (2005), bahwa kepuasan kerja sebagai efektivitas atau respons emosional terhadap
berbagai aspek pekerjaan.
Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep
tunggal, sebaliknya seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan
tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek lainnya.
Tidak berbeda dari pengertian di atas, kepuasan kerja menurut Kreiter dan Kinicki
(2005) adalah respon emosional terhadap pekerjaan seseorang. Keith Davis dalam
(Mangkunegara, 2005) mengemukakan bahwa “job satisfaction is the favorableness or
unfavorableness with employees view their work”, (kepuasan kerja adalah perasaan
menyokong atau tidak menyokong yang dialami pegawai dalam bekerja). Sedangkan Wexley
dan Yukl dalam (Mangkunegara, 2005) mendefinisikan kepuasan kerja “is the way an
employe feels about his or her job” . (Adalah cara pegawai merasakan dirinya atau
pekerjaannya).
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja
adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang
berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya. Perasaan yang
berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upah atau gaji yang
diterima, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lainnya,
penempatan kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, mutu pengawasan
sedangkan perasaan yang berhubungan dengan dirinya . antara lain umur, kondisi
kesehatan, kemampuan, pendidikan. Pegawai akan merasa puas dalam bekerja apabila
aspek-aspek pekerjaan dan aspek-aspek dirinya menyokong dan sebaliknya jika aspek-aspek
tersebut tidak menyokong, pegawai akan merasa tidak puas.
Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu mempunyai
tingkat kepuasan yang berbeda-beda, seperti yang didefinisikan oleh Kreitner & Kinicki
(2005), bahwa kepuasan kerja sebagai efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai
aspek pekerjaan. Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu
konsep tunggal, sebaliknya seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari
pekerjaannya dan tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek lainnya.
Menurut Strauss dan Sayles dalam Handoko (2001) kepuasan kerja juga penting
untuk aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah
mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang
seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan
bosan, emosi tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada
hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan.
B. Dampak Kepuasan Kerja
Menurut Handoko (2001:193) ”kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana karyawan memandang pekerjaan
mereka”. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini
nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi
dilingkungan kerjanya. Secara historis, pegawai yang mendapatkan kepuasan kerja akan
melaksanakan pekerjaan dengan baik. Masalahnya adalah terdapatnya pegawai yang
kepuasan kerjanya tinggi tidak menjadi pegawai yang produktivitasnya tinggi.
Banyak pendapat mengemukakan bahwa kepuasan kerja yang lebih tinggi, terutama
yang dihasilkan oleh prestasi kerja, bukan sebaliknya. Prestasi kerja lebih baik
mengakibatkan penghargaan lebih tinggi. Bila penghargaan tersebut dirasakan adil dan
memadai, maka kepuasan kerja pegawai akan meningkat karena mereka menerima
penghargaan dalam proporsi yang sesuai dengan prestasi kerja mereka.
C. Model-Model Kepuasan Kerja
Dalam beberapa litelature dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu pemenuhan kebutuhan, ketidakcocokan, pencapaian nilai, persamaan dan komponen watak/generic. Penjelasan kelima konsep tersebut adalah sebagai berikut (Kreitner dan Kinicki, 2005).
a. Pemenuhan KebutuhanModel-model ini menjelakan bahwa kepuasan ditentukan oleh karakteristik dari sebuah pekerjaan memungkinkan seorang individu untuk memenuhi kebutuhannya
b. KetidakcocokanKetidakcocokan menjelaskan bahwa kepuasan adalah hasil dari harapan yang terpenuhi. Harapan yang terpenuhi mewakili perbedaan antara apa yang
diharapkan oleh seorang individu dari sebuah pekerjaan, seperti upah dan kesempatan promosi yang baik dan apa yang pada kenyataannya diterima.
c. Pencapaian nilaiGagasan yang melandasi pencapaian nilai adalah bahwa kepuasan berasal dari persepsi pada suatu pekerjaan yang memungkinkan untuk pemenuhan nilai-nilai kerja yang penting untuk individu
d. Watak/genericModel watak / generic umumnya menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan sebagian fungsi dari kepribadian manusia atau faktor generic
e. Persamaan.Model persamaan menyebutkan kepuasan adalah suatu fungsi dari bagaimana seorang individu diperlakukan secara adil ditempat kerja
D. Cara Mengukur Kepuasan Kerja
Terdapat banyak cara untuk mengukur kepuasan kerja karyawan dalam suatu organisasi/perusahaan baik besar maupun kecil. Paling tidak terdapat tiga cara yang dapat dipakai untuk mengukur kepusan kerja, yaitu (1) Rating Scale, (2) Critical incidents, (3) Interviews
a. Rating Scale
Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur kepuasan kerja dengan menggunakan Rating Scale antara lain: (1) Minnessota Satisfaction Questionare, (2) Job Descriptive Index, dan (3) Porter Need Satisfaction Questionare.
Minnesota Satisfaction Questionare (MSQ) adalah suatu instrumen atau alat pengukur kepuasan kerja yang dirancang demikian rupa yang di dalamnya memuat secara rinci unsur-unsur yang terkategorikan dalam unsur kepuasan dan unsur ketidakpuasan. Skala MSQ mengukur berbagai aspek pekerjaan yang dirasakan sangat memuaskan, memuaskan, tidak dapat memutuskan, tidak memuaskan dan sangat tidak memuaskan. Karyawan diminta memilih satu alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi pekerjaannya.
Job descriptive index. adalah suatu instrumen pengukur kepuasan kerja yang dikembangkan oleh Kendall, dan Hulin. Dengan instrumen ini dapat diketahui secara
luas bagaimana sikap karyawan terhadap komponen-komponen dari pekerjaan itu. Variabel yang diukur adalah pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, supervisi dan mitra kerja.
Porter Need Satisfaction Questionare adalah suatu intrumen pengukur kepuasan kerja yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja para manajer. Pertanyaan yang diajukan lebih mempokuskan diri pada permasalahan tertentu dan tantangan yang dihadapi oleh para manajer.
b. Critical Incidents
Critical Incidents dikembangakan oleh Frederick Herzberg. Dia menggunakan teknik ini dalam penelitiannya tentang teori motivasi dua faktor. Dalam penelitiannya tersebut dia mengajukan pertanyaan kepada para karyawan tentang faktor-faktor apa yang saja yang membuat mereka puas dan tidak puas.
c. Interview
Untuk mengukur kepuasan kerja dengan menggunakan wawancara yang dilakukan terhadap para karyawan secara individu. Dengan metode ini dapat diketahui secara mendalam mengenai bagaimana sikap karyawan terhadap berbagai aspek pekerjaan.
PKATA PENGANTAR
Kami panjatkan Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan karunia-
Nya Dan Hidayah-Nya yang telah membantu kami dalam pengerjaan Tugas Dalam
penyusunan proposal ide bisnis yang mana tema yang kami ambil dalah bisnis dalam dunia
Kuliner dengan judul yang kami usung “café remaja”. Dan kami berharap dalam
penyusunan Tugas Proposal ini dapat menambah wawasan, pengetahuan dan kreatifitas kami.
Walaupun kami menyadari segala keterbasan tentang pengetahuan bisnis. Untuk itu kami
membutuhkan kritik dan saran dari berbagai pihak dalam perbaikan Tugas Proposal ini. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada:
1. Ibu Dosen yang telah memberikan tugas pembuatan makalah ini
2. Orang tua yang telah memberikan dorongan materi maupun non material
Teman-Teman yang tidak kurang-kurangnya memberikan motifasi dalam pengerjaan
Tugas Makalah ini.
Daftar Isi
Kata Pengantar .......................................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................................... ii
Perilaku Organisasi
Pengertian Perilaku Organisasi ....................................................................... 1
Manfaat Perilaku Organisasi ........................................................................... 1
Konsep Perilaku Organisasi ............................................................................ 2
Perilaku Organisasi ......................................................................................... 2
Prinsip Organisasi ........................................................................................... 3
Manfaat Organisasi ......................................................................................... 3
4 Unsur Perilaku Organisasi ............................................................................ 4
Pendekatan Perilaku Organisasi ..................................................................... 4
Iklim dan Model Perilaku Organisasi ............................................................. 4
Hakekat Perilaku Organisasi ........................................................................... 5
Perilaku Kewargaan Karyawan / Organizational Citizen Behaviors
Definisi OCB ................................................................................................... 7
Dimensi OCB .................................................................................................. 9
Perilaku Karyawan ........................................................................................ 10
Kepuasan Kerja ............................................................................................. 11
Pendekatan Perilaku Organisasi
Definisi Kepribadian ..................................................................................... 13
Ciri dan Atribut Keprbadian ......................................................................... 13
Ciri Kepribadian Populer ...............................................................................14
Model Kepribadian ........................................................................................ 16
Variabel Intervening
Definisi Variabel Intervening ........................................................................ 18
Perbedaan Variabel Mediator dan Moderator ............................................... 19
Stres Kerja
Definisi Stres Kerja ....................................................................................... 21
Penyebab Stres Kerja .................................................................................... 22
Kepuasan Kerja
Pengertian Kepuasan Kerja............................................................................ 24
Dampak Kepuasan Kerja............................................................................... 25
Model-Model Kepuasan Kerja ..................................................................... 25
Cara Mengukur Kepuasan Kerja .................................................................. 26
Daftar Pustaka ........................................................................................................ 27
Daftar Pustaka
Gibson, dkk. 1996. Organisasi Perilaku, Struktur dan Proses. Jakarta : Binarupa Aksara.
Kreitner dan Kinicki. 2005. Perilaku Organisasi. Jakarta : Salemba empat
Paul Jose. 2008. Workshop on Statistical Mediation and Moderation : Statistical Mediation.
Victoria University of Wellington, 27 March, 2008. SASP Conference
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta
Ivancevich, dkk. 2008. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jakarta : Erlangga
Robbins dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi. Jakarta : Salemba Empat
Sopiah. 2008. Perilaku Organisasi, Yogyakarta : Andi
Lilly, J,D., Duffy, J.A., Virick, M (2006) “A gender-sensitive study of McClelland’s needs,
stress, and turnover intent with work-family conflict”, Women In Management Review, Vol.
21 Iss: 8, pp.662 – 680.
“Makalah Perilaku Organisasi”
Disusun Oleh :
Rizki Yulianto
SKG D7
Sekolah Tinggi Tekhnologi dan Komputer
STEKOM