Diffuse Alveolar Damage

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinjauan kepustakaan

Citation preview

TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUANDiffuse Alveolar Damage (DAD) atau kerusakan alveolar difus adalah bentuk histologis pada penyakit paru. DAD relatif sering ditemukan saat pemeriksaan histopatologis dari biopsi paru-paru dan disebabkan oleh berbagai macam sebab, yaitu: Acute Interstitial Pneumonia (AIP) atau pneumonia interstitial akut, infeksi virus pada paru yang bersifat progresif, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) atau sindrom gawat pernapasan akut serta Transfusion Related Acute Lung Injury (TRALI) atau cedera akut paru terkait transfusi (Cotran et al, 2005). Gambaran khas pasien dengan kerusakan alveolar difus adalah dispnea onset cepat, infiltrat paru difus dan berkurangnya volume paru pada pencitraan serta kegagalan napas akut. Angka mortalitas pasien dengan kerusakan alveolar difus cukup tinggi yaitu 50-80% (Ghosh, 2010). Pasien DAD tidak terlalu responsif dengan terapi, termasuk pemberian kortikosteroid dosis tinggi via intravena atau dengan rejimen imunosupresif lainnya. Sebagian besar terapi untuk DAD hanya bersifat suportif.Pemahaman yang lebih baik dari mekanisme yang mendasari reaksi DAD diperlukan, mengingat prognosis buruk dari pasien-pasien penyakit paru terkait DAD serta tingginya angka mortalitas pasien. Kali ini akan dijabarkan definisi, patogenesis, patologi dan etiologi penyakit paru terkait DAD.

II. DEFINISI DAN LATAR BELAKANGDiffuse Alveolar Damage (DAD) atau kerusakan alveolar difus adalah bentuk histologis pada penyakit paru. DAD biasanya ditemukan pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) atau sindrom gawat pernapasan akut, Transfusion Related Acute Lung Injury (TRALI) atau cedera akut paru terkait transfusi, dan Acute Interstitial Pneumonia (AIP) atau pneumonia interstitial akut. Kondisi-kondisi tersebut akan dijabarkan pada bab etiologi. Laporan studi mengenai DAD pertama kali diterbitkan sekitar 40 tahun yang lalu, namun fenomena ini masih merupakan misteri. Dalam salah satu dari studi-studi tahun pertama yaitu pada tahun 1965 Cederberg et al. menggambarkan adanya membran hialin pada otopsi pasien yang menerima terapi oksigen berkonsentrasi tinggi. Istilah DAD sendiri dikemukakan oleh Katzentein pada tahun 1976. Katzentein menyimpulkan bahwa DAD merupakan reaksi nonspesifik dari paru terhadap berbagai agen penyebab cedera paru, dan bahwa cedera sel alveolar dan endotel menyebabkan eksudasi cairan dan seluler, dengan membran hialin dan edema sebagai gambaran histologis yang utama. Pada tahun 1995, Matsubara mengemukakan adanya gambaran destruksi membran basal alveolar pada DAD. Studi mengenai MMPs (matrix metalloproteinases) dan TIMP (tissue inhibitor) pada DAD berkaitan dengan myofibroblas dan sel epitel. Studi berikutnya menunjukkan keberadaan -actin positif otot polos miofibroblas pada fase proliferatif DAD. Membran hialin pada pasien dengan DAD sangat beragam. Keberagaman tersebut diduga terjadi oleh mekanisme yang berbeda dari tiap penyebab DAD. Sampai saat ini studi DAD belum mengalami perkembangan jika dibandingkan dengan penemuan lebih dari 40 tahun yang lalu (Poletii et al, 2010). Suatu retrospektif studi pada tahun 2007 terhadap 58 pasien yang didiagnosis patologis dengan DAD menunjukkan bahwa 60% merupakan pasien imunokompremis dan 90% memenuhi kriteria ARDS pada saat dilakukan biopsi paru (Poletii et al, 2010). Penyebab DAD pada studi tersebut yaitu infeksi (22%), AIP (21%), komplikasi tranplantasi organ atau stem-cell (17%), eksarsebasi akut dari fibrosis pneumonia interstitial (12%), reaksi obat (10%), dan terapi radiasi (2%). Angka mortalitas sebesar 53%, kecuali pada eksarsebasi akut dari pneumonia interstitial fibrotik yang memiliki angka mortalitas 86%. Studi terkini dari Kang et al. (2009) menunjukkan adanya 2 bentuk DAD pada pasien ARDS, yang mana proliferasi miofibroblas interstitial lebih umum pada pasien kemoterapi atau akibat komplikasi obat dibanding pada pasien dengan infeksi serius. Untuk itu, adalah penting untuk memahami bahwa pola histologis DAD adalah sebagai bentuk reaksi paru yang non-spesifik, dan tidak dapat memberikan informasi pasti penyebab penyakit pasien, apakah sepsis, trauma, aspirasi, infeksi, obat-obatan ataupun penyakit idiopatik seperti AIP.

III. ETIOLOGIKerusakan alveolar difus merupakan bentuk histologis dari penyakit paru, dengan kata lain adalah manifestasi dari berbagai penyakit paru. Penyebab kerusakan alveolar difus digolongkan menjadi 8 yaitu (Kaarteenaho & Kinnula, 2011): 1. Infeksi, seperti infeksi virus (influenza, virus herpes simpleks tipe 1, sitomegalovirus, adenovirus, respiratory syncytial virus), infeksi jamur (histoplasmosis, pneumonia kriptokokkus) dan infeksi mikobakterial non-tuberkulosis2. Penyakit jaringan ikat, seperti arthritis rheumatoid, polimiositosis, lupus sistemik erimatosus, sklerosis sistemik, penyakit jaringan ikat campuran, sindroma Sjogren dan sindrom sintetase anti-Jo-1 tRNA;3. Obat, obat-obatan sitotoksik (azathioprine, carmustin, bleomycin, busulfan, romustin, siklofosfamid, melfalan, metrotreksat, mitomycin, prokarbazin, temposid, vinblastine, zinoztatin), obat-obatan non toksik (amiodaron, amitriptilin, kolkisin, heksamethovirum, nitrofurantoin, penisilinamin, streptokinase, silfathiazole) dan heroin (Fein et al, 2006).4. Aspirasi5. Radiasi6. Syok (septik, kardiogenik)7. Komplikasi dari transplantasi organ;8. Toksin (toksin inhalasi seperti O2, NO2, merkuri; toksin yang tertelan seperti parket).Berikut adalah pemaparan beberapa penyakit yang bermanifestasi menjadi gambaran kerusakan alveolar difus:1. Sindrom Gawat Pernapasan Akut atau ARDSKerusakan alveolar difus berhubungan erat dengan sindrom gawat pernapasan akut. Sekumpulan kriteria klinis dari ARDS yaitu (Mukhopadhyay & Parambil, 2012) : (1) onset akut, (2) rasio PaO2: FIO2 200 mmHg, (3) gambaran infiltrat di kedua lapang paru, dan (4) tidak ada gagal jantung kongestif maupun hipertensi atrium kiri, dimana tekanan arteri pulmonal 18 mmHg. Kriteria ARDS murni dinilai secara klinis dan tidak membutuhkan kriteria histologis. ARDS merupakan kumpulan gejala yang bisa didasari oleh berbagai penyebab sehingga seringkali tumpang tindih dengan penyakit paru yang lain.Gambaran klinis ARDS antara lain pasien dalam onset cepat mengalami takipnea dan dispnea. Bila ARDS berlanjut, dispnea bertambah buruk dan pasien tampak sianosis. Dari gambran radiologi tampak infiltrat alveolar difus, bilateral dan interstitial. Dengan pemberian oksigen, hipoksemia arterial tidak dapat segera teratasi, sehingga memerlukan pemberian ventilasi mekanik yaitu ventilator. Kasus fatal akan berlanjut pada hipoventilasi alveolar, hipoksemia progresif dan pCO2 yang meningkat. Berikut adalah kriteria ARDS menurut definisi Berlin 2011 (Weinberger et al, 2013) :

WaktuDalam waktu 1 minggu terjadi perburukan fungsi pernapasan.

Rontgen ThoraxPerselubungan bilateral bukan karena efusi, kolaps paru atau nodul paru.

Asal EdemaGagal napas bukan karena gagal jantung atau overload cairan; memerlukan penilaian objektif (misal ekokardiografi) untuk menyingkirkan edema hidrostatik bila tidak ada faktor risiko ARDS.

OksigenasiKasus Ringan200 < PaO2/FIO2 300 dengan PEEP atau CPAP 5 cmH2OKasus Sedang100 < PaO2/FIO2 200 dengan PEEP 5 cmH2OKasus BeratPaO2/FIO2 100 dengan PEEP 5 cmH2O

Patologi ARDS termasuk diantaranya adalah DAD, yang terdiri dari kerusakan parah sel epitel alveoli, bentukan membran hialin dan proliferasi cepat dari miofibroblas dan fibrosis pada ruang intra-alveolar.

Gambar 1 . Patofisiologi ARDS terkait DAD (Schaefer-Prokop, 2009)Patofisiologi mekanisme yang mendasari kerusakan alveolar difus, salah satunya adalah gangguan distribusi sirkulasi sistemik. ARDS menunjukkan bentuk terberat permeabilitas edema, dimana berujung pada gambaran kerusakan alveolar difus di akhir perjalanan sindrom. Permeabilitas edema ditemukan pada fase awal ARDS. Kondisi ini ditandai oleh kerusakan endotel kapiler, sehingga cairan bisa masuk ke interstitium. Hal ini menyebabkan kerusakan luas pada epitel alveoli. Alveoli akan penuh dengan protein plasma, yang kemudian menimbulkan nekrosis sel dan memicu reaksi inflamasi hiperplastik pada epitel alveoli dengan bentukan ateletaksis dan membran hialin. Proses ini akan berujung pada fibrosis tahap akhir. Kerusakan paru ini akan meluas dan dapat mempengaruhi seluruh bagian paru. Penumpukan cairan pada paru akan meningkatkan massa paru sehingga menyebabkan kompresi dan ateletaksis pada organ paru yang lain (Schaefer-Prokop, 2009). Penanganan pada pasien ARDS yang paling penting adalah manajemen hemodinamik (Kradin, 2012) Banyak ahli paru mengira ARDS sebagai keadaan paru-basah sehingga diberikan obat diuresis sementara tekanan arteri pulmonal diawasi. Pada pemeriksaan patologis dari otopsi paru didapatkan paru-paru dengan berat lebih dari 2000 gram yang menggambarkan adanya proliferasi elemen seluler saat fase fibroproliferatif, tetapi sebagian besar berat paru didominasi oleh keberadaan air yang terperangkap dalam gel fibrin. Prokoagulasi adalah faktor penting dalam DAD yang ditunjukkan oleh keberadaan membran hialin yang kaya akan fibrin, fibrin intra-alveolar dan thrombosis vaskular in situ. Untuk itu mobilisasi air dari paru tergantung pada efikasi jalur fibrinolitik dan drainase limfatik yang efektif.Sebagian besar pasien ARDS yang dibiopsi sedang dalam fase fibroproliferatif, yang mulai terjadi 72 jam setelah onset ARDS. Dua puluh persen bagian paru menunjukkan gambaran bronkiolitis obliteratif, dan penting harus dibedakan dengan pneumonia lanjut (OP - organizing pneumonia). Walaupun organizing pneumonia dapat menyebabkan ARDS, diagnosis keduanya harus dibedakan karena pasien ARDS dengan OP dapat berespon baik dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Selain itu, drainase limfatik pada pasien OP dengan ARDS berjalan dengan baik (Kradin, 2012).

Gambar 2. DAD pada kasus ARDS. Sel pneumosit tipe I akan mati oleh karena kerusakan alveolar difus. Diikuti oleh edema intra-alveolar, terbentuknya membran hialin yang tersusun atas eksudat protein dan debris sel. Pada fase akut, terjadi kongesti paru-paru sehingga massa paru bertambah berat. Sel pneumosit tipe II multiplikasi membentuk permukaan alveoli. Terjadi inflamasi interstitial dan bentukan akhirnya berupa fibrosis interstitial (Rubin et al, 2011)

Gambar 3: Diagnosis banding ARDS dan DAD (Mukhopadhyay & Parambil, 2012)2. Pneumonia Interstitial Akut atau AIPPneumonia interstitial akut merupakan kegagalan pernapasan akut dengan penemuan infiltrat di kedua lapang paru dan gambaran kerusakan alveolar difus (DAD). AIP dapat ditegakkan bila ditemukan 4 kriteria berikut: (1) onset akut gejala pernapasan seperti hipoksia berat atau gagal pernapasan akut, (2) infiltrat di kedua lapang paru, (3) tidak ditemukannya penyebab sakit atau idiopatik, (4) histopatologis berupa kerusakan alveolar difus6.Baik secara klinis dan radiologis bentuk AIP sama dengan ARDS, namun tidak ada penyebab pasti yang ditemukan, sehingga AIP dikatakan sebagai ARDS idiopatik (Mukhopadhyay & Parambil, 2012).

DAD

AIP2 bulanEksarsebasi IPF4 mingguARDS7 hari

Gambar 3. Diagnosis banding pada DAD. Kerusakan alveolar difus terbentuk pada ketiga kondisi penyakit tersebut, namun berangkat dari substrat histologis asal masing-masing penyakit, UIP (usual interstitial pneumonia) pada eksarsebasi IPF (idiopathic pulmonary fibrosis); paru-paru normal pada AIP; dan paru-paru yang telah rusak pada ARDS (Papiris et al, 2010). Karena kriteria DAD pada pemeriksaan histopatologis adalah salah satu kunci penegakan diagnosis AIP, biopsi paru diperlukan pada kasus-kasus tertentu, yaitu pasien yang meninggal tanpa sebelumnya dilakukan biopsi antemortem. Biopsi paru melalui pembedahan (open atau thorakoskopi dengan video) dilakukan pada hampir semua pasien, walaupun DAD dapat diagnosis melalui biopsi transbronkial. Gambaran histologis pada AIP menunjukkan adanya DAD. Gambaran histologis AIP adalah adanya gambaran kerusakan alveolar difus dengan membran hialin, edema dan inflamasi akut interstitial. Selain membran hialin dan proliferasi fibroblast interstitial, penemuan histologis lain yaitu: alveoli kolaps/ atelektasis, hyperplasia pneumosit tipe 2, edema dalam septum alveoli, thrombosis pada arteri pulmonal kecil, metaplasia skuamosa, dan inflamasi interstitial kronik yang ringan. Sel-sel inflamasi, terutama neutrofil, adalah yang membedakan AIP dari bronkopneumonia akut dan nekrosis kapiler akut. Diagnosis AIP dapat ditegakkan bila ditemukan gambaran kerusakan alveolar difus pada fase lanjut, yaitu adanya penebalan fibroblast pada interstitial alveoli.

Gambar 4. Infiltrat pada kedua lapang paru (Mukhopadhyay & Parambil, 2012).

Gambar 5. CT-scan, infiltrat di kedua lapang paru. Gambaran ini tidak spesifik untuk AIP, bisa ditemukan pada penyakit paru lain (Mukhopadhyay & Parambil, 2012).Belum ada bukti terapi yang efektif untuk AIP. Pasien memerlukan bantuan ventilasi mekanik dan perawatan suportif. Menurut beberapa studi, pemberian kortikosteroid intravena dosis tinggi dapat menurunkan angka mortalitas. Namun studi lain tidak menemukan adanya manfaat pemberian kortikosteroid tersebut8. Pendekatan terapi bagi AIP dirasa sangat sulit oleh karena jarangnya diagnosis AIP ditegakkan. Prognosis AIP adalah buruk dan angka mortalitas masih tinggi. Dengan pendekatan diagnosis yang agresif, pemberian bantuan ventilasi mekanis dan terapi imunosupresif diharapkan akan meningkatkan hasil klinis pasien AIP. 3. Fibrosis Pulmoner Idiopatik (IPF Idiopathic Pulmonary Fibrosis)Fibrosis pulmoner idiopatik adalah penyakit fibrosis yang berkembang cepat dan bersifat ireversibel dan kronik; eksarsebasi IPF merupakan komplikasi paling buruk dari penyakit ini. Eksarsebasi IPF bersifat subakut/ akut, menyebabkan perburukan fungsi pernapasan yang tiba-tiba tanpa diketahui penyebabnya. Kriteria diagnosis eksaserbasi IPF termasuk diantaranya perburukan fungsi pernapasan setelah 30 hari, perselubungan bilateral pada hasil pemeriksaan radiologis, dan tidak ditemukannya infeksi atau penyebab yang diketahui.

Gambar 6. Perkembangan IPF sampai tahap akhir (Papiris et al, 2010).. Gambaran histopatologis eksaserbasi IPF sama dengan DAD. Pada IPF terjadi cedera epitel dan hilangnya integritas alveolar-kapiler, yang mana kedua hal ini akan berujung pada pembentukan jaringan parut paru atau dinamakan UIP (usual interstitial pneumonia). DAD pada UIP menunjukkan cedera epitel dan endotel yang masif dimana jaringan parut sedang terbentuk. Perkembangan DAD dari UIP diduga terkait dengan infeksi, aspirasi atau manifestasi patobiologik IPF.Terapi dengan kortikosteroid dosis tinggi tanpa atau dengan pemberian imunosupresan terbukti tidak efektif dan bahkan menyebabkan kematian (coup de grace) bagi pasien. Perawatan suportif dan terapi bagi penyakit dasarnya merupakan pilihan penanganan bagi pasien ini. Transplantasi organ merupakan satu-satunya pilihan terapi IPF (Papiris et al, 2010).

Gambar 7. Urutan tatalaksana pasien IPF dengan keluhan dispneu subakut/akut yang datang ke IGD (Papiris et al, 2010). 4. Penyakit Jaringan Ikat (CTD Connective Tissue Disease)DAD pada penyakit jaringan ikat atau CTD, seperti pada polimiositosis, dermatomiositosis, arthritis rheumatoid, lupus sistemik erimatosus dan sklerosis sistemik, merupakan manifestasi yang tidak umum. Angka kejadian DAD pada pasien-pasien ini dikaitkan oleh prognosis yang buruk yang disebabkan baik oleh cedera akut paru yang tidak terdeteksi maupun akibat penggunaan obat-obatan untuk menerapi pasien CTD (Capobianco et al, 2012). 5. Obat-ObatanKerusakan alveolar difus juga merupakan salah satu komplikasi kemoterapi (azathioprine, bleomycin, bortezomib, busulfan, klorambusil, siklofosfamid, sitosin-arabinosid, doksesatel, etoposide, fludarabin, gemsitabin, imatinib, irinotekan, melphalan, 6-mercatopurin, methotreksat, mitomisin C, agen nitrosamine seperti biskloretil nitrosourea, CCNU, dan kloroetil-sikloheksil nitrosourea serta paklitaxel); agen terapi target (erlotinib, gefitinib, imatinib), modifikator biologik (interleukin-2, TNF-, infliximab), transplantasi stem cell, dan agen nontoksik (amiodaron, imunisasi BCG, -interferon, meflokuin, nitrofurantoin, ATRA, sirolimus dan tiklopidin).Kerusakan alveolar difus terjadi pada pemberian dosis tinggi kemoterapi atau pada pemberian multi agen, jika dibandingkan dengan pemberian agen tunggal. Begitu pula sebagai komplikasi dari overdosis aspirin, karbamazepin, narkotik dan agen psikotropik. Pada radioterapi HRCT (Hypofractioned Conformal Radiotherapy) tampak gambaran penebalan intralobular, perselubungan difus, ground glass appearance dan air-bronchogram. Bilas bronkoalveolar seharusnya dilakukan sejak awal untuk mengetahui apakah terjadi infeksi. Biopsi paru dilakukan untuk menentukan penyebab kerusakan alveolar difus. Pada pemeriksaan histopatologis akan tampak gambaran membran hialin yang menunjukkan adanya fibrin intraalveolar dan hilangnya surfaktan, sel alveolar deskuamasi, displasia sel pneumosit dan inflamasi interstitial Terapi pada keadaan kerusakan alveolar difus oleh karena obat-obatan adalah menghentikan obat dan pemberian kortikosteroid intravena (Fein et al, 2006).6. Inhalasi Gas dan AsapBeberapa dekade terakhir ditemukan adanya hubungan paparan inhalasi okupasional dengan sindrom gawat pernapasan akut pada usia dewasa. Gagal napas onset cepat dengan infiltrat paru yang luas memiliki perjalanan penyakit yang sama dengan sindrom gawat pernapasan akut non-okupasi. Fibrosis interstitial difus yang membutuhkan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun untuk terbentuk berbeda dengan kerusakan alveolar difus yang terbentuk dalam jangka waktu harian sampai mingguan. Gambaran patologis dari kerusakan alveolar difus akibat inhalasi gas dan asap tidak berbeda dengan gambaran patologis DAD oleh sebab yang lain. Walapun bentuk akut membran hialin dan beragam tingkat jaringan granulasi mudah dikenali, adalah penting untuk tidak salah menilai bentuk fibrosis dengan bronkiolus dan duktus alveoli yang berdilatasi, serta parenkim yang kolaps dengan jaringan granulasi yang luas pada fibrosis interstitial yang sesungguhnya. Karena bentuk lesi yang tidak spesifik ini, perlu ditanyakan riwayat paparan gas atau asap pada penderita untuk mengetahui etiologinya (Churg et al, 2005).

Gambar 8. Gambaran mikroskopis kerusakan alveolar difus akibat inhalasi kloretil, tampak gambaran khas membran hialin dan parenkim alveolar yang kolaps (Churg et al, 2005).7. Cedera Akut Paru Terkait Transfusi (TRALI Transfusion-related Acute Lung Injury)TRALI adalah penyebab utama kematian karena transfusi di Amerika Serikat. Diagnosis TRALI ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan radiologis yang mana tidak dapat dibedakan dengan sindrom gawat pernapasan akut atau ARDS. TRALI diasumsikan sebagai salah satu bentuk dari ARDS. Namun pada tahun 2008 Danielson dkk melaporkan dua kasus fatal TRALI yang berhubungan dengan ARDS dan tidak ditemukan gambaran kerusakan alveolar difus (DAD). Danielson dkk (2008) melaporkan dua pasien laki-laki berumur 75 dan 83 tahun, menerima unit tunggal plasma sebagai penanganan bagi kenaikan INR (international normalized ratios) yang terjadi. Donor dari plasma tersebut diketahui memiliki antibodi leukosit yang spesifik terhadap antigen yang diekspresikan oleh resipien donor (HLA kelas I atau kelas II dan/atau antibodi HNA-3b [5a]). Dalam autopsi, keduanya ditemukan adanya efusi pleura bilateral dan area patchy luas yaitu alveoli yang terisi oleh protein plasma. Kapiler paru terisi oleh eritrosit dan leukosit. Tidak ditemukan gambran kerusakan alveolar difus, inflamasi interstitial, infiltrasi granulosit intraalveolar dan formasi membran hialin. Kedua kasus langka ini menunjukkan bahwa secara gambaran klinis dan radiologis TRALI tidak dapat dibedakan dari ARDS, namun dari temuan histopatologis dengan tidak ditemukannya DAD, diduga ada patogenesis yang berbeda.

IV. PATOGENESIS DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGIS

DAD adalah manifestasi dari cedera akut paru. Apapun penyebabnya, cedera tersebut merusak epithelium alveoli dan juga endotelium kapiler septum alveolar. Cedera yang mengenai kedua bagian ini (epitel dan endotel) menghasilkan campuran debris dari sel epitel yang nekrosis dan serum protein dari kapiler yang bocor akibat pembentukan membran hialin. Fase lanjut berupa proliferatif fibroblast dalam interstitium akan memecah bentukan membran hialin. Bentukan fibroblast ini membedakan DAD dengan UIP (usual interstitial pneumonia), dimana pada UIP gambaran fibrosis dominan tersusun oleh deposisi kolagen dan hanya sebagian kecil terdiri dari proliferasi fibroblast.

Gambar 9. DAD pada kasus ARDS. Sel pneumosit tipe I akan mati oleh karena kerusakan alveolar difus. Diikuti oleh edema intra-alveolar, terbentuknya membran hialin yang tersusun atas eksudat protein dan debris sel. Pada fase akut, terjadi kongesti paru-paru sehingga massa paru bertambah berat. Sel pneumosit tipe II multiplikasi membentuk permukaan alveoli. Terjadi inflamasi interstitial dan bentukan akhirnya berupa fibrosis interstitial (Rubin et al, 2011).Pada kasus DAD yang disebabkan oleh inhalasi gas toksin atau pada pasien tenggelam, kerusakan terjadi pada permukaan epitel alveolar. Kerusakan pada epithelium merusak tautan antar epitel alveoli, sehingga terjadi eksudasi cairan dan protein dari interstitium ke dalam rongga alveolar (Rubin et al, 2011). Diagnosis patologis kerusakan alveolar difus diketahui melalui biopsi paru yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikroskopis. Berikut adalah gambaran biopsi paru pada pasien ARDS (De Hemptinne et al, 2009; UTAH, 2013) :

Gambar 10 Biopsi paru pada pasien ARDS, tampak batas tegas paru serta paru tampak elastik.

Secara histologi, kerusakan alveolar difus terjadi melalui beberapa tahap:1. Fase eksudatifFase eksudatif terbentuk pada minggu pertama cedera akut alveolar; terbentuk edema, kebocoran plasma protein, akumulasi sel-sel inflamasi dan membran hialin. Cedera akut alveoli ditandai dengan perubahan degeneratif sel endotel dan sel pneumosit tipe I. kemudian diikuti rusak dan hilangnya sel pneumosit tipe I sehingga membran basal alveoli tampak gundul. Pada hari pertama tampak dominasi edema alveoli dan interstitial, kemudian menghilang. Membran hialin mulai tampak pada hari kedua, berlanjut pada gambaran fase eksudatif selama 4-5 hari. Tampak gambaran eosinofilik, dan membran basal tampak seperti kaca karena presipitasi protein plasma. Pada tahap awal ini, terjadi pembentukan membran hialin, dimana struktur linear eosinofilik menyusun sel epitel alveoli yang telah nekrotik dan protein serum keluar dari kapiler yang bocor dan rusak. Fase ini mirip dengan edema pulmo, alveoli dipenuhi dengan transudat.

Gambar 11: gambaran mikroskopis fase awal DAD, tampak adanya pembentukan membran hialin (tanda panah), penebalan septum alveoli dan hiperplasi sel pneumosit tipe II (segitiga) (UTAH, 2013).

Gambar 12. DAD pada fase akut (eksudatif). Septa alveoli menebal oleh karena edema dan infiltrasi sel-sel inflamasi. Alveoli dikelilingi oleh membran hialin eosinofilik (tanda panah) (Rubin & Reisner, 2011).

2. Fase proliferatifSeiring dengan perkembangan penyakit, membran hialin teresorpsi dan fibroblast mulai bermigrasi dalam septum alveoli (interstitium).

Gambar 13. Tampak hiperplasi dari sel pneumosit tipe II kuboid yang melapisi dinding alveoli (Rubin & Reisner, 2011)..

3. Fase fibrosis/ organizing phasePada tahap lanjut (fase fibrotik), yaitu hari ke 6-7 mulai sel pneumosit tipe 2 di sepanjang septum alveolar. Kapiler alveolar dan arteri pulmonary menghasilkan trombi fibrin. Gambaran histologis fase ini didominasi oleh penebalan interstitial oleh fibroblast. Pada fase ini, membran hialin bisa masih ada atau sudah menghilang. Makrofag alveolar memakan membran hialin dan debris sel yang lain. Fibrosis ini dapat berhenti pada kasus ringan, namun pada kasus berat dapat berkembang menjadi fibrosis tahap akhir dimana remodeling dari arsitektur paru menghasilkan rongga seperti kista di semua lapang paru (honey comb appearance). Rongga ini dipisahkan satu sama lain oleh jaringan fibrosa dan sel pneumosit tipe II, epitel bronkiolar atau sel skuamosa (Rubin et al, 2011).

Gambar 14: tampak penebalan interstitial oleh proliferasi fibroblast (tanda panah), gambaran membran hialin juga masih tampak (Mukhopadhyay & Parambil, 2012).

Gambar 15. Fase fibrosis. Dinding alveoli dilapisi oleh fibroblast yang menebal (tanda panah) (Rubin et al, 2011).

Gambar 16. Tampak fibrosis interstitial dan proliferasi fibroblast (tanda panah) pada fase akhir DAD (Mukhophadyay & Parambil, 2006).

V. SIMPULANKerusakan alveolar difus atau diffuse alveolar damage (DAD) adalah manifestasi patologis dari beberapa penyakit yang mengenai paru. Gambaran histopatologis DAD dapat muncul pada beberapa keadaan seperti infeksi serius pada paru, penyakit jaringan ikat yang menyerang organ paru, akibat toksisitas obat, aspirasi, komplikasi dari transplantasi organ atau stem-cell maupun sebagai komplikasi dari penggunaan oksigen konsentrasi tinggi. Istilah DAD sendiri baru diketahui dan dipelajari selama 40 tahun terakhir. Melalui beberapa studi diketahui patogenesis DAD yang terdiri dari 3 fase yaitu fase eksudatif, proliferatif dan fibrotik. Namun banyak faktor dalam patogenesis DAD lebih lanjutnya masih belum diketahui. Untuk itu, diharapkan studi lanjut mengenai mekanisme yang mendasari reaksi DAD sehingga didapatkan perbaikan penanganan bagi banyak jenis penyakit paru, yang saat ini masih belum dapat diatasi secara tuntas. Salah satu penemuan utama pada banyak studi mengenai DAD adalah cedera pada epitel alveoli, sehingga strategi terapi seharusnya menjurus pada perlindungan epitel alveoli. Pandangan selanjutnya mengenai strategi terapi ini membutuhkan evaluasi lebih lanjut di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKACapobianco J, Grimberg A, Thompson BM, Antunes VB, Jasinowodolinski D, Meirelles GSP. Thoracic manifestations of collagen vascular diseases. RadioGraphics. 2012; 32: 33-50.Churg AM, Myers JL, Tazelaar HD, Wright JL. Thurlbecks pathology of the lung. Third edition. New York: Thieme Medical Publishers; 2005. pp. 62-64. Cotran RS, Kumar V, Fausto N, Robbins SL, Abbas AK. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. St. Louis, Mo: Elsevier Saunders: 2005. p. 715.Danielson C, Benjamin RJ, Mangano MM, Mills CJ, Waxman DA. Pulmonary pathology of rapidly fatal transfusion-related acute lung injury reveals minimal evidence of diffuse alveolar damage or alveolar granulocyte infiltration. Transfusion. 2008; 48(11): 2401-8.De Hemptinne Q, Remmelink M, Brimioulle S, Salmon I, Vincent JL. ARDS: a clinicopathological confrontation. Chest. 2009; 135(4): 944949. Fein A, Kamholz S, Ost D. Respiratory emergencies. New York: CRC Press; 2006. p. 227Ghosh AK. Mayo clinic internal medicine board review. Ninth edition. Oxford: Oxford University Press; 2010, p. 6.Kaarteenaho R, Kinnula VL. Diffuse alveolar damage: a common phenomenon in progressive interstitial lung disorders. Pulmonary Medicine. 2011. Kang D, Nakayama T, Togashi M, Yamamoto M, Takahashi M, Kunugi S, Ishizaki M, Fukuda Y. Two forms of diffuse alveolar damage in the lungs of patients with acute respiratory distress syndrome. Humman Pathology. 2009; 40(11): 1618-27.Kini SR. Color atlas of pulmonary cytopathology. New York: Springer Verlag; 2002. pp. 40-41 Kradin RL. Guiding the pulmonologists hand: what they need to know about lung pathology and what is lost in translasion. Pathology & Laboratory Medicine. 2012; 136(12): 1528 1532.Mukhopadhyay S, Parambil JG. Acute interstitial pneumonia (AIP): relationship to Hamman-Rich syndrome, diffuse alveolar damage (DAD), and acute respiratory distress syndrome (ARDS). Semin Respir Crit Care Med. 2012; 33 (3): 476-485. Peter JV, John P, Graham PL, Moran JL, George IA, Bersten A. Corticosteroids in the prevention and treatment of acute respiratory distress syndrome (ARDS) in adults: meta-analysis. BMJ 2008; 336 (7651): 10061009Poletii V, Casoni GL, Cancellieri A, Piciucchi S, Dubini A, Zompatori M. Diffuse alveolar damage. Pathologica. 2010; 102 (6): 453-63.Rubin E, Reisner HM. Rubins pathology. Sixth edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 327Papiris SA, Manali ED, Kolilekas L, Kagouridis K, Triantafilidou C, Tsangaris I, Roussos C. Clinical review: Idiopathic pulmonary fibrosis acute exacerbation unraveling Ariadnes thread. Crit care. 2010; 14(6): 246.Schaefer-Prokop C. Critical care radiology. New York: Thieme Publisher; 2009.Schwaiblmair M, Behr W, Haeckel T, Markl B, Foerg W, Berghaus T. Drug induced interstitial lung disease. Open Respir Med J. 2012; 6: 63-74.UTAH. Diffuse alveolar damage: Histopathology. 2013. Diambil dari: http://library.med.utah.edu/WebPath/LUNGHTML/LUNG133.html (diakses tanggal 2 Juli 2013).Weinberger SE, Cockrill BA, Mandel J. Principles of pulmonary medicine. US: Elsevier Publisher; 2013. p. 1.