Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
EFEKTIVITAS PE
DITINJAU DAR
SIS
(Studi Kasus M
FAKULTAS
UN
i
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEK
ARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAK
SWA TAHUN AJARAN 2009 / 2010
s Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta
SKRIPSI
OLEH
ARY KUSMAWATI
NIM : K6406002
AS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
KERTI
AKU
rta)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
DITINJAU DARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAKU
SISWA TAHUN AJARAN 2009/2010
(Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta)
Oleh
ARY KUSMAWATI
NIM : K6406002
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Ary Kusmawati. EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DITINJAU DARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAKU SISWA TAHUN AJARAN 2009/2010 (Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta). Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Desember. 2010.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman keras di SMP Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010. (2) Mengetahui perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum dan setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti. (3) Mengetahui tingkat efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti ditinjau dari tingkat penyimpangan perilaku minuman keras.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan adalah informan, peristiwa dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Validitas data yang diperoleh dengan teknik trianggulasi data. Analisis data menggunakan analisis interaktif yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Prosedur penelitian menggunakan langkah-langkah yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyusunan laporan penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman keras dapat dikelompokan menjadi dua yaitu: faktor dari dalam individu (instrinsik) meliputi: keinginan minum-minuman keras hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan, dorongan untuk menumbuhkan rasa percaya diri, menghilangkan rasa frustasi, dan rasa ingin tahu yang tinggi. Faktor dari luar individu (ekstrinsik) meliputi: penjualan minuman keras secara bebas, faktor keluarga, faktor lingkungan pergaulan dan faktor sekolah. (2) Perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti pada tahun ajaran 2004/2005 lebih rendah dengan prosentase 0,4 % dibandingkan setelah sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti tahun ajaran 2009/2010 lebih tinggi dengan prosentase 4,8 %. (3) Sesuai dengan indikator dari efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti, pembelajaran pendidikan budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta dapat dikatakan belum efektif dan tingkat efektifnya masih rendah hal tersebut dapat dilihat dari indikator input, proses dan outputyang belum sesuai dengan yang diharapkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Ary Kusmawati. MORAL PHYLOSOPHY EDUCATION EFFECTIVENESS OBSERVED FROM STUDENTS’ BEHAVIORAL DEVIATION LEVEL IN ACADEMIC YEAR 2009/2010 (Alcoholic Drink Case Study at State Junior High School 14 Surakarta). Thesis. Surakarta: Faculty of Teaching and Education Training. University of Sebelas Maret. December. 2010.
This reserach was aimed (1) To know factors that encourage students of State Junior High School 14 Surakarta in academic year 2009/2010 consume alcoholic drink. (2) To know the difference level of alcoholic behavior before and after State Junior High School 14 Surakarta applying moral phylosophy education to its students. (3) To know moral phylosophy education effectiveness level observed from alcoholic deviation behavior level.
This research used descriptive-qualitative method with strategy of a case study reserach. Sources of data in this reserach were informant, happening and document. The sampling technique was purposive sampling. The technique of collecting data were by interview, observation and document analysis. Data validity was gained by data trianggulation. The data analysis used interactive analysis i.e data collection, data reduction, data presentation and drawing conclusion. The research procedure used steps as follow: phase of preparation, phase of collecting data, phase of analyzing data and phase of arranging report.
Based on the analysis, some conclusion can be drawn as follow (1)Factors that encourage students to consume alcoholic drink can be clasified into two: First, intrinsik factors (from the inside of the students) covering: to get pleasure and satisfaction, to grew self confidence, to release frustation and to fulfil high couriousity . Second, ekstrinsik factors (from the outside of the students) covering: freely access to alcoholic drink, factor from family, environment and school. (2) The difference level of alcoholic behavior before State Junior High School 14 Surakarta applying moral phylosophy education was lower with 0,44 %. While after the school has applied moral phylosophy education was higher with 4,8 %. (3) According to the effectiveness indicator, moral phylosophy education in State Junior High School 14 Surakarta can be said ineffective. It can be seen from input, process and output indicator which were inappropriate with the expectation.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Keluaran pendidikan seharusnya dapat menghasilkan orang pintar,
tetapi juga orang baik”
(M. Furqon Hidayatullah)
”Sesungguhnya orang yang paling mulia pada sisi Allah, ialah orang yang paling
taqwa ”.
( Surat Al-Hujarat ayat 13 )
“Ilmu menata pengetahuan, kearifan menata kehidupan”
(Immanuel Kant)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
• Bapak dan Ibu tercinta yang telah
memberikan doa dan motivasi
• Adik-adik tersayang, Budi, Lina dan Ferdy
• Mas Umar yang selalu mendukung
• Teman-teman PKn angkatan 2006
khususnya teman-teman Ra_Mbaong
• Almamater
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta karunia- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul ”Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti
Ditinjau Dari Tingkat Penyimpangan Perilaku Siswa Tahun Ajaran 2009/2010
(Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta)”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari prasyarat guna
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada program Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk
bantuannya, disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan
ijin penelitian guna menyusun skripsi ini.
2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FKIP UNS Surakarta, yang telah menyetujui penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Sri Haryati, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan
FKIP UNS Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
4. Drs. Machmud, AR, SH, Msi selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah
memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
5. Drs. Suyatno, M.Pd selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah
memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis
menyelesaikan skripsi ini
6. Wijianto S. Pd selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
bimbingan serta pengarahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
7. Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Drs. Y. Himawan Samudra selaku Kepala SMP Negeri 14 Surakarta yang
telah memberikan ijin penelitian
9. Gatot Katmanto, S. Pd, Drs. Wardoyo, Mastyasto, S. Pd selaku guru
Pendidikan Budi Pekerti SMP Negeri 14 Surakarta yang dengan senang hati
membantu penulis dalam pengumpulan data yang penulis perlukan dalam
penyusunan skripsi ini
10. Siswa SMP Negeri 14 Surakarta yang telah membantu penulis dalam
pengumpulan data yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.
11. Semua pihak yang membantu penulis demi lancarnya penulisan skripsi ini.
Penulis berharap, semoga Allah SWT selalu memberikan barokah dan
anugerah yang terbaik atas jasa yang mereka berikan.
Penyusunan skripsi ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin,
namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan karena
keterbatasan penulis. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan bagi pembaca pada umumnya.
Surakarta, Desember 2010
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PENGAJUAN .......................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………... .. iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAK ............................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................... vi
MOTTO ....................................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ................................................................... 9
1. Teori Sikap dan Perilaku .................................................. 9
2. Efektivitas Pembelajaran .................................................. 12
3. Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti ............................. 15
4. Penyimpangan Perilaku Minuman Keras .......................... 26
B. Kerangka Berpikir ................................................................. 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................ 35
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ............................................... 35
C. Sumber Data .......................................................................... 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
D. Teknik Sampling ................................................................... 38
E. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 39
F. Validitas Data ........................................................................ 40
G. Analisis Data ......................................................................... 42
H. Prosedur Penelitian ................................................................ 43
BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ................................................... 45
1. Letak Geografis SMP Negeri 14 Surakarta ....................... 45
2. Profil SMP Negeri 14 Surakarta ....................................... 45
3. Visi dan Misi Sekolah ...................................................... 46
4. Sejarah Singkat Berdirinya SMP Negeri 14 Surakarta ...... 46
5. Keadaan Guru, Siswa, dan Karyawan di SMP Negeri 14
Surakarta .......................................................................... 47
6. Waktu Pelaksanaan Pembelajaran di SMP Negeri 14
Surakarta ......................................................................... 49
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian ....................................... 50
1. Faktor-Faktor yang Mendorong Siswa Melakukan
Minuman Keras di SMP Negeri 14 Surakarta Tahun
Ajaran 2009/2010 ........................................................... 50
2. Perbedaan Tingkat Penyimpangan Perilaku Minuman
Keras Sebelum dan Setelah SMP Negeri 14 Surakarta
Menerapkan Pendidikan Budi Pekerti............................... 62
3. Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti
Ditinjau dari Tingkat Penyimpangan Perilaku Siswa
Tahun Ajaran 2009/2010 (Studi Kasus Minuman Keras
Di SMP Negeri 14 Surakarta) .......................................... 65
C. Temuan Studi ........................................................................ 75
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................ 79
B. Implikasi ................................................................................ 81
C. Saran ...................................................................................... 82
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 83
LAMPIRAN ................................................................................................. 85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
1. Jadual Kegiatan Penelitian …………………………….......
2. Informan yang Melakukan Penyimpangan Perilaku
Minuman Keras.....................................................................
3. Daftar Nama Kepala Sekolah SMP Negeri 14
Surakarta...............................................................................
4. Daftar Kelas dan Jumlah Seluruh Siswa Tahun Ajaran
2009/2010.............................................................................
5. Waktu Pelaksanaan KBM di SMP Negeri 14
Surakarta…...........................................................................
6. Faktor Pendorong Penyimpangan Perilaku Minuman
Keras.....................................................................................
7. Jumlah Faktor Pendorong Siswa Melakukan
Penyimpangan Perilaku Minuman
Keras.....................................................................................
8. Jumlah Faktor dari Dalam Individu (Instrinsik)..................
9. Jumlah Faktor dari Luar Individu (Ekstrinsik)....................
10.Jumlah Seluruh Siswa SMP Negeri 14 Surakarta Tahun
2004/2005.............................................................................
11.Jumlah Seluruh Siswa SMP Negeri 14 Surakarta Tahun
2009/2010.............................................................................
12.Jumlah Siswa yang Melakukan Minuman keras dan
Jumlah Siswa........................................................................
Halaman
35
37
47
48
49
60
60
61
61
64
64
64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Gambar
1. Skema Kerangka Pemikiran ……………………………
2. Analisis Data Model Interaktif .......................................
Halaman
34
43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
1. Daftar Informan ...............................................................
2. Silabus, RPP dan Jurnal Kegiatan Pendidikan Budi
Pekerti...............................................................................
3. Panduan Wawancara.........................................................
4. Catatan Lapangan Wawancara dengan Koordinator
Bidang Kurikulum...........................................................
5. Catatan Lapangan Wawancara dengan Guru Pendidikan
Budi Pekerti.....................................................................
6. Catatan Lapangan Wawancara dengan Siswa yang
Melakukan Minuman Keras ...........................................
7. Gambar Kegiatan Penelitian.............................................
8. Trianggulasi Data..............................................................
9. Trianggulasi Metode.........................................................
10. Penanganan Siswa Yang Melanggar Tata
Tertib...............................................................................
11. Data Jumlah Pelanggaran Siswa....................................
12. Pembagian Tugas Tenaga Edukatif dan Non
Edukatif..........................................................................
13. Raport Siswa..................................................................
14. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada
Dekan FKIP UNS ...........................................................
15. Surat Keputusan Dekan FKIP UNS Tentang Ijin
Penyusunan Skripsi ........................................................
16. Surat Permohonan Ijin Survey Kepada Kepala SMP
Negeri 14 Surakarta.........................................................
17. Surat Permohonan Ijin Research/ Penelitian Kepada
Rektor UNS ....................................................................
18. Surat Permohonan Ijin Research Kepada Kepala SMP
Halaman
85
87
206
209
212
221
239
242
244
247
250
252
255
256
257
258
259
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Negeri 14 Surakarta ........................................................
19. Surat Permohonan Surat Pengantar Ijin Survey Kepada
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga kota
Surakarta..................................................
20. Surat Keterangan Telah Melakukan Survey dari Ketua
MGMP Pendidikan Budi Pekerti dan Kasi Kurikulum
Diknas SMP.....................................................................
21. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari
SMP Negeri 14 Surakarta................................................
260
261
262
263
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam
pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan
sumber daya manusia (SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat
dilakukan melalui pendidikan, mulai dari dalam keluarga, hingga lingkungan
sekolah dan masyarakat. Salah satu SDM yang dimaksud dapat berupa generasi
muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader
pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan
secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Bab 1 Pasal 1,
tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa:
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (Mendiknas, 2003: 6)
Menurut Yahudi (2006, http://en wikipedia.teacher.com/) menyatakan
bahwa:
Hal itu berarti bahwa pendidikan yang diberikan kepada peserta didik merupakan perpaduan dari keseluruhan aspek kehidupan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat ditempuh melalui perbaikan sistem pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter siswa sejak tingkat pra sekolah sampai perguruan tinggi. Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk: perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian, transmisi cultural, integrasi sosial, inovasi, dan pra seleksi serta pra alokasi tenaga kerja.
Tugas pendidikan sekolah dalam hal ini adalah untuk mengembangkan
segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui
pendidikan sekolah. Perbaikan sistem pendidikan harus mengarah pada
peningkatan kualitas pembelajaran yang meliputi unsur kognitif yang ditunjukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
dengan hasil belajar dan afektif yang ditunjukkan dengan perilaku siswa yang
baik. Proses pendidikan terarah pada peningkatan penguasaan pengetahuan,
kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam rangka
pembentukan dan pengembangan diri peserta didik.
Kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah bersifat formal, disengaja,
direncanakan, dengan bimbingan guru serta pendidik lainnya. Kegiatan belajar
tersebut sangat diperlukan, karena semakin banyaknya dan semakin tingginya
tuntutan kehidupan masyarakat. Siswa di sekolah memperoleh pelajaran dan
pengetahuan, diharapkan nanti bukan hanya aspek kognitifnya yang diperoleh
melainkan aspek afektif dan psikomotorik yaitu siswa mampu menilai perbuatan
itu baik atau buruk serta mampu mengimplementasikan perbuatan yang baik itu
dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu mata pelajaran yang dibutuhkan siswa
untuk mengembangkan kepribadiannya agar memiliki hati nurani yang baik yaitu
pendidikan budi pekerti.
Menurut Sjarkawi (2006: 32) mengungkapkan bahwa “Pendidikan
budi pekerti memiliki esensi yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak”, sedangkan menurut Jarolimek (dalam Nurul Zuriah, 2007: 19-20)
dijelaskan bahwa:
Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin dan kerjasama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill/psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerjasama).
Hakikat dari pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan budi pekerti yang diajarkan di sekolah dengan maksud antara lain untuk membangun generasi masa depan agar selain cerdas juga berakhlak dan berbudi pekerti luhur. Adapun kurikulum yang digunakan untuk pendidikan nilai adalah pendidikan budi pekerti, artinya nama yang digunakan bukan pendidikan akhlak, bukan pendidikan tata krama, dan bukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pendidikan etika melainkan istilah yang digunakan adalah pendidikan budi pekerti. (Sjarkawi, 2006: 32).
Pembelajaran pendidikan budi pekerti pada dasarnya tidak hanya
mempelajari tentang konsep, teori dan fakta tetapi juga aplikasi dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, materi pembelajaran pendidikan budi pekerti tidak
hanya tersusun atas hal-hal yang bersifat hafalan tetapi juga tersusun atas materi
yang memerlukan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan program-
program pendidikan budi pekerti perlu disertai dengan keteladanan guru, orang
tua, dan orang dewasa pada umumnya.
Usia remaja adalah usia dimana anak atau individu berada pada masa-
masa labil, sehingga kondisi penekanan-penekanan atau masalah yang muncul
membuat remaja kehilangan kontrol diri, akhirnya mereka mencari pelarian.
Tempat pelarian inilah yang mereka salahgunakan untuk melepaskan semua
masalah yang dihadapi, dan kemudian munculah penyimpangan perilaku. Salah
satunya adalah pelarian kepada minum-minuman keras. Tersedianya tempat-
tempat untuk membeli minuman keras menyebabkan mereka dengan mudah
mendapatkan minuman keras. Kondisi keluarga yang buruk atau tidak harmonis,
biasanya akan membuat anak mencari sesuatu yang tidak ia dapat di dalam
keluarganya yaitu dengan jalan pelarian ke arah tindakan yang menyimpang.
Selain itu pengaruh lingkungan pergaulan terutama dari teman sebaya sangat
dominan membentuk tingkah laku anak, dan tidak sedikit pengaruh tersebut
membawa pada tingkah laku yang menyimpang. Faktor dari dalam individu
sendiri juga mempengaruhi tingkah laku anak dalam melakukan tindakan
minuman keras.
Pembelajaran pendidikan budi pekerti di sekolah menjadi alternatif
membantu siswa berkembang menjadi pribadi yang berbudi pekerti baik, oleh
karena itu pembelajaran pendidikan budi pekerti sangat diharapkan dapat
mengatasi penyimpangan perilaku khususnya minuman keras sehingga efektif
tidaknya pendidikan budi pekerti sangat berpengaruh terhadap perkembangan
perilaku siswa. Apabila pendidikan budi pekerti dilaksanakan secara efektif maka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
diharapkan akan mencapai tujuan yang semaksimal mungkin sehingga dapat
mengurangi bahkan menghilangkan penyimpangan perilaku yang terjadi.
Berdasarkan wawancara dengan kepala sub bidang kurikulum SMP
Dikpora di Surakarta mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti mulai
diterapkan di SMP Surakarta, untuk tahun 2003/2004 hanya 4 sekolah yang sudah
menerapkan pendidikan budi pekerti, sedangkan tahun 2004/2005 meningkat
menjadi 10 sekolah baik negeri maupun swasta, dan untuk tahun berikutnya
penerapan pendidikan budi pekerti dinilai berhasil maka pada tahun 2005 seluruh
SMP baik negeri maupun swasta sudah menerapkan pendidikan budi pekerti,
Dikpora kota Surakarta bekerja sama dengan UNICEF dan BAPPEDA. Oleh
karena itu, Dikpora kota Surakarta menghimbau kepada SMP Negeri maupun
Swasta untuk menerapkan kembali pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi
pekerti diberikan di SMP karena usia anak SMP dinilai pola berpikir anak sudah
mampu untuk diajak memahami dan melihat nilai-nilai hidup berdasar
pertanggungjawabannya serta dasar pemikirannya.
SMP Negeri 14 Surakarta merupakan salah satu sekolah yang
menerapkan pendidikan budi pekerti. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah
satu guru pendidikan budi pekerti mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti ini
bukan suatu mata pelajaran yang diujikan dalam semesteran atau kenaikan kelas,
melainkan hanya suatu pendidikan nilai yang diberikan kepada siswa untuk
membentuk dan mengembangkan unsur karakter atau watak yang mengandung
hati nurani sebagai kesadaran diri untuk berbuat kebajikan dengan cara
menanamkan nilai-nilai budi pekerti dalam diri siswa. Paul Suparna, Moerti
Yoedho, Detty Titisari dan Kartono (2002: 45-52) mengungkapkan bahwa
“Berbagai metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan seperti metode
demokrasi, pencarian bersama, siswa aktif, keteladanan, live in dan metode
penjernihan nilai dalam berbagai pendekatan dapat digunakan juga dalam proses
pengajaran pendidikan budi pekerti”. Oleh karena itu, diterimanya nilai-nilai budi
pekerti oleh siswa sejalan dengan berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai yang diinginkan.
Efektif tidaknya suatu pembelajaran dapat diukur dengan indikator
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
efektivitas, salah satu indikator efektivitas adalah indikator output, yaitu
mencakup hasil-hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap atau tujuan
pembelajaran dapat tercapai semaksimal mungkin. Tujuan pendidikan budi
pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta belum mencapai hasil atau tujuan yang
maksimal, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya siswa yang melakukan
penyimpangan minuman keras. Adanya penyimpangan perilaku minuman keras di
SMP Negeri 14 Surakarta, dengan jumlah siswa yang tidak sedikit, maka hal
tersebut perlu adanya penilaian keberhasilan dari pendidikan budi pekerti. Selain
tujuan pembelajaran pendidikan budi pekerti yang belum mencapai hasil yang
maksimal, keteladanan guru, metode pembelajaran dan alokasi waktu
pembelajaran pendidikan budi pekerti juga sangat mempengaruhi keberhasilan
pendidikan budi pekerti. Guru pendidikan budi pekerti harus memiliki pribadi
yang baik yang dapat memberikan contoh, menjadi motivator, dalam penanaman
budi pekerti serta mampu menyampaikan materi agar siswa lebih mudah dalam
memahaminya. Metode pembelajaran pendidikan budi pekerti yang digunakan
kurang bervariasi, hal ini disebabkan karena alokasi waktu yang diberikan SMP
Negeri 14 Surakarta hanya 40 menit setiap minggunya, hal tersebut dirasakan oleh
guru sangat kurang untuk memberikan pemahaman tentang pendidikan budi
pekerti.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru bimbingan
konseling di SMP Negeri 14 Surakarta, terungkap bahwa di sekolah tersebut ada
sebagian siswa yang tidak mencerminkan nilai-nilai budi pekerti misalkan dari
data yang diperoleh menunjukan bahwa siswa yang melakukan pesta minuman
keras sebanyak 31 siswa terdiri dari kelas VII sampai kelas IX, perkelahian,
membolos dan melakukan perbuatan yang kurang sopan seperti memecahkan kaca
di ruangan kelas, tetapi pada waktu sekolah belum menerapkan pendidikan budi
pekerti, penyimpangan perilaku yang terjadi menurut data yang peneliti peroleh
hampir sama yaitu, minuman keras, perkelahian, pencurian, dan membolos
sekolah dengan angka yang berbeda dibandingkan dengan yang terjadi sekarang.
Sebelum sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti, penyimpangan yang
terjadi relatif lebih rendah dibandingkan dengan setelah sekolah tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
menerapkan pendidikan budi pekerti, khususnya untuk penyimpangan perilaku
dalam kasus minuman keras.
Siswa yang masih duduk di bangku SMP sudah berani melakukan
minuman keras yang sangat membahayakan bagi dirinya. Siswa tersebut
melakukan pesta minuman keras secara bersama-sama. Pesta minuman keras
tersebut dilakukan oleh para siswa pada waktu jam sekolah, kemudian dari
masyarakat mengetahui keadaan tersebut, sehingga melaporkan ke pihak sekolah.
Setelah kejadian itu siswa kemudian diberi teguran dan peringatan oleh pihak
sekolah sampai diberikan penyuluhan dari kepolisian setempat. Masalah minuman
beralkohol telah menimbulkan masalah yang mengganggu kondisi ketertiban dan
keamanan sekolah maupun masyarakat. Menyadari akan pengaruh bahaya minuman
beralkohol bagi tubuh manusia khususnya bagi pelajar, maka tatanan pengaturan
pengawasan dan pengendalian dari berbagai pihak, misalnya keluarga, sekolah dan
masyarakat memang sangat diperlukan. Hal tersebut membuktikan bahwa faktor
yang mempengaruhi siswa melakukan penyimpangan perilaku minuman keras
bukan karena ada tidaknya pendidikan budi pekerti tetapi ada faktor lain yang
mendorongnya.
Tingginya penyimpangan perilaku yang terjadi di SMP Negeri 14
Surakarta membuat para pendidik khususnya guru pendidikan budi pekerti harus
memberikan pendidikan yang mampu membuat siswa menjadi lebih paham dalam
mengimplementasikan budi pekerti yang baik di masyarakat. Pola pembelajaran
budi pekerti yang diajarkan sehari-hari di sekolah tersebut perlu diadakan
penataan ulang agar penyimpangan perilaku di kalangan pelajar bisa dikurangi
bahkan dihilangkan sama sekali.
Bertitik tolak dari uraian di atas maka penulis mengambil judul skripsi
”Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Ditinjau Dari Tingkat
Penyimpangan Perilaku Siswa Tahun Ajaran 2009/2010 (Studi Kasus
Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta)”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut ini :
1. Faktor-faktor apa yang mendorong siswa melakukan minuman keras di SMP
Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010 ?
2. Bagaimana perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum
dan setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti ?
3. Bagaimana tingkat efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti ditinjau
dari tingkat penyimpangan perilaku minuman keras siswa di SMP Negeri 14
Surakarta tahun ajaran 2009/2010 ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai, antara lain :
1. Mengetahui faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman keras
di SMP Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010.
2. Untuk mengetahui perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras
sebelum dan setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi
pekerti.
3. Untuk mengetahui tingkat efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti
ditinjau dari tingkat penyimpangan perilaku minuman keras.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini memberikan sumbangan bagi bidang studi PPKn
dalam mengimplementasikan mata kuliah yang berhubungan dengan pendidikan
budi pekerti seperti mata kuliah dasar dan konsep pendidikan moral (DKPM).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai masukan yang bermanfaat bagi pihak sekolah dalam upaya
mengatasi penyimpangan perilaku siswa.
b. Diharapkan dapat memberikan masukan bagi guru pendidikan budi pekerti
dalam meningkatkan pembelajaran pendidikan budi pekerti agar lebih efektif.
c. Memberikan motivasi bagi siswa agar tidak melakukan penyimpangan
perilaku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Teori Tentang Sikap dan Perilaku
a. Teori Rosenberg (Teori Affective-Cognitive Consistency)
Teori ini disebut juga teori dua faktor. Teori ini memusatkan
perhatiannya pada hubungan komponen kognitif dan komponen afektif.
Pengertian kognitif dalam sikap tidak hanya mencakup tentang pengetahuan-
pengetahuan yang berhubungan dengan objek sikap, melainkan juga mencakup
kepercayaan atau beliefs tentang hubungan antara objek sikap itu dengan
sistem nilai yang ada dalam diri individu. Rosenberg (dalam Bimo Walgito
2008: 136) menyatakan bahwa “Komponen afektif akan selalu berhubungan
dengan komponen kognitif, dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten”.
Rosenberg menciptakan skala sikap dan berpendapat bahwa adanya
hubungan yang konsisten antara komponen afektif dengan komponen kognitif.
Hal tersebut berarti apabila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap
sesuatu objek, maka indeks kognitifnya juga akan tinggi, demikian sebaliknya.
Suatu hal yang penting penerapan teori Rosenberg ini ialah dalam kaitannya
dengan pengubahan sikap, karena hubungan komponen afektif dengan
komponen kognitif konsisten, maka apabila komponen afektifnya berubah
maka komponen kognitifnya juga akan berubah, demikian pula sebaliknya.
Pada umumnya dalam rangka pengubahan sikap, orang akan mengubah dahulu
komponen kognitifnya, hingga akhirnya komponen afektifnya akan berubah.
Rosenberg mencoba mengubah komponen afektif terlebih dahulu, dengan
berubahnya komponen afektif akan berubah pula komponen kognitifnya, yang
pada akhirnya akan berubah pula sikapnya.
Jadi kesimpulan dari teori ini adalah dengan komponen kognitif yaitu
siswa memperoleh pendidikan budi pekerti, maka dengan adanya pembelajaran
pendidikan budi pekerti yang efektif, komponen afektif pun akan berubah
sehingga berubah pula perilakunya. Pembelajaran pendidikan budi pekerti yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
efektif akan membawa perubahan sikap yang positif bagi siswa, sebaliknya
dengan pembelajaran pendidikan budi pekerti yang dinilai kurang efektif akan
membawa perubahan yang negatif bagi siswa yang dapat melakukan
penyimpangan-penyimpangan perilaku. Agar proses pembelajaran semakin
efektif maka metode pembelajaran dalam penyampaian materi yang digunakan
harus tepat sampai ke pemahaman siswa. Komponen afektif berhubungan
dengan bagaimana perasaan yang timbul pada siswa, dapat positif tetapi juga
dapat negatif.
b. Teori Belajar Sosial dan Tiruan dari Millers dan Dollard
Teori belajar sosial dan tiruan dari Miller dan Dollard menegaskan
bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil belajar. Oleh karena itu untuk
memahami tingkah laku sosial dan proses belajar sosial, kita harus mengetahui
prinsip-prinsip psikologi belajar. Prinsip belajar itu terdiri dari 4, yakni
dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku-balas (respons), dan ganjaran
(reward). Dorongan adalah rangsangan yang sangat kuat terhadap organisme
(manusia) untuk bertingkah laku. Menurut Miller dan Dollard (dalam Sarlito,
2008: 24) menyatakan bahwa ”Semua tingkah laku (termasuk tingkah laku
tiruan) didasari oleh dorongan”. Isyarat merupakan rangsangan yang
menentukan bila dan dimana suatu tingkah laku-balas akan timbul dan tingkah
laku-balas apa yang akan terjadi.
Mengenai tingkah laku balas (respons), Menurut Miller dan Dollard
(dalam Sarlito, 2008: 24-25) berpendapat bahwa:
Manusia mempunyai hierarki bawaan tingkah laku-tingkah laku. Pada saat manusia dihadapkan untuk pertama kali kepada suatu rangsangan tertentu maka respons (tingkah laku balas) yang timbul didasarkan pada hierarki bawaan tersebut. Setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan hukuman maka tingkah laku balas yang sesuai dengan faktor-faktor penguat tersebut disusun menjadi hierarki resultan (resultant hierarchy of respons). Disinilah pentingnya belajar dengan coba-coba dan ralat (trial and error learning). Dalam tingkah laku sosial, belajar coba-ralat dikurangi dengan belajar tiruan dimana seseorang tinggal meniru tingkah laku orang lain untuk dapat memberikan respons yang tepat. Sehingga ia tidak perlu membuang waktu untuk belajar dengan coba-ralat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Ganjaran merupakan rangsang yang menetapkan apakah tingkah laku
balas diulang atau tidak dalam kesempatan yang lain. Selanjutnya, Miller dan
Dollard (dalam Sarlito, 2008: 25) menyatatakan bahwa ”Ada tiga macam
mekanisme tingkah laku tiruan, yakni: tingkah laku sama (same behavior),
tingkah laku tergantung (matched dependent behavior), tingkah laku salinan
(copying behavior)”. Pada tingkah laku salinan, peniru bertingkah laku atas
dasar isyarat yang berupa tingkah laku pula yang diberikan oleh model.
Demikian juga dalam tingkah laku salinan ini, pengaruh ganjaran dan hukuman
sangat besar terhadap kuat atau lemahnya tingkah laku tiruan.
Perbedaannya dengan tingkah laku tergantung adalah dalam tingkah
laku tergantung ini si peniru hanya bertingkah laku terhadap isyarat yang
diberikan oleh model pada saat itu saja. Sedangkan pada tingkah laku salinan,
si peniru memperhatikan juga tingkah laku model di masa yang lalu maupun
yang akan dilakukan diwaktu mendatang. Hal ini berarti perkiraan tentang
tingkah laku model dalam kurun waktu yang relatif panjang ini akan dijadikan
patokan oleh di peniru untuk memperbaiki tingkah lakunya sendiri dimasa
yang akan datang sehingga lebih mendekati tingkah laku model.
Sesuai dengan teori tersebut, tujuan atau hasil dari pembelajaran
pendidikan budi pekerti di sekolah adalah siswa berperilaku sesuai dengan budi
pekerti. Penyimpangan perilaku minuman keras yang dilakukan siswa di
sekolah bukan merupakan tujuan dari pendidikan budi pekerti melainkan
masalah yang harus dihadapi dengan bekerja sama antara pihak sekolah,
keluarga dan masyarakat. Perilaku siswa didasarkan pada dorongan tertentu,
siswa yang melakukan penyimpangan perilaku minuman keras didorong oleh
faktor-faktor tertentu. Apabila yang dipelajari pada bidang ilmu budi pekerti di
sekolah tersebut mampu diterapkan oleh siswa dengan baik maka siswa akan
mampu memilah dan memilih mana perilaku yang patut dan mana perilaku
yang semestinya dihindari sehingga penyimpangan perilaku yang dilakukan
oleh siswa tidak akan terjadi. Oleh karena itu, tujuan dari pendidikan budi
pekerti dalam membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur dapat tercapai.
Siswa yang melakukan penyimpangan perilaku minuman keras merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
pelanggaran peraturan yang dibuat oleh sekolah. Oleh karena itu siswa
mendapat hukuman dari pihak sekolah agar siswa tidak mengulanginya lagi.
Selain itu Pengaruh peranan guru terhadap pendidikan budi pekerti sangatlah
besar, karena guru merupakan salah satu tokoh identifikasi yang ditiru oleh
siswa, pengaruh peranan orang tua dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti
juga besar, karena orang tua yang utama dan pertama mendidik anak-anaknya.
Peran guru dalam implementasi atau pelaksanaan pendidikan budi pekerti tidak
mudah. Guru dituntut menjadi figur yang harus mampu memberi teladan
kepada murid-muridnya. Guru juga harus mampu memberi motivasi kepada
murid untuk belajar keras. Sebagai guru pendidikan budi pekerti, harus bisa
memberikan pemahaman yang jelas kepada siswa.
2. Efektivitas Pembelajaran
a. Pengertian Efektivitas
Menurut Chester I Barnad (dalam Suyadi Prawiro Sentono, 1994: 14)
menyatakan bahwa “Bila suatu tujuan yang akhirnya dapat dicapai, kita boleh
mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah efektif ”. Ia juga mengatakan
bahwa “Efektivitas dari kelompok adalah bila tujuan kelompok tersebut dapat
dicapai sesuai dengan yang direncanakan”. (Suyadi Prawiro Sentono, 1994:
14).
E. Mulyasa (2005: 82) menyatakan bahwa:
Efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju. Efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Hasil yang semakin mendekati tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan semakin tinggi tingkat efektivitasnya.
William N Dunn (2000: 498) “Efektivitas (effectiveness) adalah suatu
kriteria untuk menseleksi berbagai alternatif untuk dijadikan rekomendasi
didasarkan pertimbangan apakah alternatif yang direkomendasikan tersebut
memberikan hasil (akibat) yang maksimal, lepas dari pertimbangan efisiensi”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
E. Mulyasa (2005: 82-83) kembali menegaskan bahwa “Efektivitas
berhubungan dengan terlaksananya tugas pokok, tujuan, ketepatan waktu, dan
partisipasi aktif dari anggota, dimana dapat dijadikan barometer untuk
mengukur keberhasilan pendidikan”.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa efektivitas merupakan suatu keadaan yang dikehendaki yang merupakan
akibat dari yang dikerjakannya dan merupakan suatu pengukuran terhadap
tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
b. Indikator Efektivitas
Adapun indikator efektivitas menurut E. Mulyasa (2005: 84-85)
adalah “Indikator input, indikator process, indikator output, dan indikator
outcome”.
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Indikator input; indikator input ini meliputi karakteristik guru, fasilitas,
perlengkapan, dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen.
2) Indikator process; indikator proses meliputi perilaku administratif, alokasi
waktu guru, dan alokasi waktu peserta didik.
3) Indikator output; indikator dari output ini berupa hasil-hasil dalam bentuk
perolehan peserta didik dan dinamikanya sistem sekolah, hasil-hasil yang
berhubungan dengan prestasi belajar, dan hasil-hasil yang berhubungan
dengan perubahan sikap, serta hasil-hasil yang berhubungan dengan
keadilan, dan kesamaan.
4) Indikator outcome; indikator ini meliputi jumlah lulusan ke tingkat
pendidikan berikutnya, pretasi belajar di sekolah yang lebih tinggi dan
pekerjaan, serta pendapatan.
c. Efektivitas Pembelajaran
Bill Cope menyatakan bahwa “ Learning is how a person or group
comes to know, and knowing consist of varety of types action, in learning, a
knower positions themselves in relation to the knowable, and engages”. (2007,
http://ijl.cgpubluiher.com/about.html). Sesuai dengan jurnal internasional di
atas yang artinya belajar adalah bagaimana seseorang atau kelompok yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
datang untuk mengetahui dan akhirnya mengetahui bermacam-macam tindakan
dalam pembelajaran, dalam pembelajaran siswa menempatkan dirinya dalam
hubungan saling mengetahui (yang dipengaruhi oleh pengalaman, konsep,
analisis atau penerapan).
Slameto (1995: 92) berpendapat bahwa:
Pengajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dapat membawa belajar siswa yang efektif. Belajar di sini adalah suatu aktivitas mencari, menemukan dan melihat pokok masalah. Siswa berusaha memecahkan masalah termasuk pendapat bahwa bila seseorang memiliki motor skill maka dia telah menghasilkan masalah dan menemukan kesimpulan.
Medley (dalam Soekartawi, 1995: 38), mendefinisikan efektivitas
pembelajaran sebagai berikut:
Pertama, efektivitas dirasakan sebagai kemuliaan karakteristik atau sifat pribadi tertentu yang dimiliki oleh seorang guru... . Kemudian, efektivitas tidak terlalu terlihat sebagai suatu fungsi karakteristik guru tetapi sebagai metode mengajar yang digunakan... . Maka, efektivitas sangat bergantung pada suasana kreatif dan penegakan disiplin seorang guru di dalam kelas... .
Medley (dalam Soekartawi, 1995: 38), kembali berpendapat bahwa
ada empat karakteristik dari mengajar yang efektif, yakni: “1) Penampilan
pengajar (penguasaan baha ajar), persiapan mengajar, dsb. 2) Cara mengajar
(pemilihan model instruksi, alat bantu mengajar dan evaluasi yang dipakai), 3)
Kompetensi dalam mengajar, 4) Pengambilan keputusan yang bijaksana”.
Selanjutnya menurut Medley (dalam Soekartawi, 1995: 38), jika
diperhatikan pengajaran akan menjadi efektif bila pengajar menguasai “1) Apa
yang diajarkan, 2) Teori pengajaran (pemilihan instructional design) yang
relevan, 3) Hal-hal baru (penelitian untuk memperkaya isi bahan ajar yang
diberikan), 4) Karakteristik siswa”.
Jadi kesimpulannya adalah keefektifan pembelajaran merupakan
pembelajaran yang di dalamnya terdapat pemanfaatan potensi yang mampu
sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan
efektivitas pembelajaran diartikan sebagai pengukuran terhadap perubahan-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
perubahan yang terjadi setelah siswa mempelajari suatu bahan pelajaran (dalam
hal ini mengenai keberhasilan belajar siswa).
3. Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti
a. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti
Menurut Sjarkawi (2006: 32) berpendapat bahwa:
Istilah budi pekerti yang pada dasarnya tidak berbeda dengan akhlak adalah kata yamg berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki kedekatan dengan istilah tata krama. Inti ajaran tata krama ini sama dengan inti ajaran budi pekerti. Pendidikan budi pekerti adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur.
Menurut Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga kota Surakarta
(2009: VIII) mengungkapkan bahwa “Pengertian pendidikan budi pekerti dapat
ditinjau secara konsepsional dan secara oprasional”. Secara konsepsional
pengertian pendidikan budi pekerti mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Usaha secara sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang.
2) Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang (lahir batin, materiil, spiritual dan individu sosial).
3) Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasan, pengajaran, dan pelatihan serta keteladanan.
(Dispora kota Surakarta, 2009: VIII)
Adapun pengertian pendidikan budi pekerti secara operasional, yakni:
Pendidikan budi pekerti melalui kegiatan, bimbingan, pengajaran dan pelatihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal bagi masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan menjaga terhadap sesama mahluk, sehingga terbentuk pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, dan kerja hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa.
(Dispora kota Surakarta, 2009: VIII)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Menurut Nurul Zuriah (2007: 17) dijelaskan bahwa:
Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Namun, pengertian budi pekerti secara hakiki adalah perilaku. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik. Budi pekerti berinduk pada etika atau filsafat moral. Secara etimologis kata etika sangat dekat dengan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (jamak: ta etha) yang berarti adat kebiasaan. Adapun moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang juga mengandung arti adat kebiasaan.
Menurut Emile Durkheim (1990: X) menyatakan bahwa “Moralitas
meliputi konsistensi, keteraturan tingkah laku: apa yang menjadi moral hari ini
akan menjadi moral esok hari”.
Menurut Hamid Darmadi (2007: 56-57) menjelaskan bahwa
“Pendidikan moral adalah konsep kebaikan yang diberikan kepada siswa
untuk membentuk budi pekerti luhur, berakhlak mulia dan berperilaku terpuji
terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945, dimana guru diharapkan membantu
siswa mengembangkan dirinya, secara keilmuan maupun keagamaan”.
Sedangkan menurut Bertens (dalam Nurul Zuriah, 2007: 17)
dijelaskan bahwa:
Etika merupakan ilmu yang mempelajari adat kebiasaan, termasuk di dalamnya moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang bagi pengaturan tingkah lakunya. Dalam kaitannya dengan budi pekerti, etika membahasnya sebagai kesadaran seseorang untuk membuat pertimbangan moral yang rasional mengenai kewajiban memutuskan pilihan yang terbaik dalam menghadapi masalah nyata. Keputusan yang diambil seseorang wajib dapat dipertanggungjawabkan secara moral terhadap diri dan lingkungannya.
Menurut Sjarkawi (2006: 27-28) menjelaskan bahwa “Pendidikan
etika adalah cabang filsafat tentang nilai dan norma yang menentukan perilaku
manusia yang lebih dalam dan luas dari pendidikan budi pekerti”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Menurut Nurul Zuriah (2007: 17) berpendapat bahwa “Budi pekerti
berinduk pada etika atau filsafat moral. Secara etimologis kata etika sangat
dekat dengan moral yang artinya adat kebiasaan”.
Sjarkawi (2006: 28) menyatakan bahwa “Akhlak berasal kata khalaqa
dengan akar kata khuluqan (bahasa arab) yang artinya perangai, tabiat, dan
adat; atau dari kata khalqun (bahasa arab) yang berarti: kejadian, buatan, atau
ciptaan”. Jadi secara epistimologis akhlak merupakan perangai, adat, tabi’at,
atau sistem perilaku yang dibuat. Di samping istilah akhlak juga dikenal etika
dan moral. Ketiga istilah ini sama-sama menentukan nilai baik dan buruk
terhadap sikap dan perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar
masing-masing istilah. Bagi akhlak standarnya adalah Al-Qur’an dan As-sunah
(Hadits), bagi etika standarnya adalah akal pikiran, sedangkan moral
standarnya adalah adat kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat. Jadi
pendidikan akhlak adalah pendidikan yang diberikan kepada peserta didik
sebagai sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di muka
bumi.
Pendidikan akhlak di dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan
teladan dari orang tua. Perilaku dan sopan santun orang tua dalam pergaulan
antara ibu dan bapak, perlakuan orang tua terhadap anak-anak dan perlakuan
orang tua terhadap orang lain di dalam lingkungan keluarga akan menjadi
teladan bagi anak. Adapun ruang lingkup akhlak menurut Muslim Nurdin dkk,
(1993: 205-209) adalah “Pola hubungan manusia dengan Allah, manusia
dengan Rasulullah SAW, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan
keluarga, dan manusia dengan masyarakat”.
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Pola hubungan manusia dengan Allah, seperti mentauhidkan Allah dan
menghindari syirik, bertaqwa kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-
Nya, memohon pertolongan kepada-Nya melalui berdo’a, berdzikir di waktu
siang ataupun malam, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun
berbaring, dan bertawakal kepada-Nya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
2) Pola hubungan manusia dengan Rasullulah SAW. yaitu: menegakkan sunah
Rasul, menziarahi kuburnya di Madinah, dan membacakan shalawat.
3) Pola hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti: menjaga kesucian
diri dari sifat rakus dan mengumbar nafsu, mengembangkan keberanian
dalam menyampaikan yang hak, menyampaikan kebenaran, dan
memberantas kedzaliman, mengembangkan kebijaksanaan dengan
memberantas kebodohan dan jumud, bersabar ketika mendapat musibah dan
dalam kesulitan, bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, rendah hati
dan tawadhu’ dan tidak sombong, menahan diri dari melakukan larangan-
larangan Allah atau iffah, menahan diri dari marah walaupun hati tetap
dalam keadaan marah atau hilmun, memaafkan orang, jujur atau amanah,
dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah diperoleh dengan susah payah
atau qona’ah.
4) Pola hubungan dengan keluarga, seperti: berbakti kepada kedua orang tua
atau birrul walidaini, baik dengan perkataan, pemberian nafkah, ataupun
do’a, memberikan bantuan material ataupun moral kepada karib kerabat atau
aati dzal qurba.
5) Pola hubungan dengan masyarakat. Dalam konteks kepemimpinan, pola-
pola hubungan yang perlu dikembangkan adalah: menegakkan keadilan,
berbuat ihsan, menjunjung tinggi musyawarah, memandang kesederajatan
manusia, dan membela orang-orang lemah (seperti orang miskin, orang yang
tersiksa, dan orang yang tidak berpendidikan), mentaati pemimpin, dan
berperan serta dalam kegiatan-kegiatan kepemimpinan. Sementara sebagai
anggota kemanusiaan, saling tolong menolong, pemurah dan penyantun,
menepati janji, saling wasiat dalam kebenaran dan ketaqwaan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan budi pekerti adalah
proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan
perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Jadi
pendidikan budi pekerti pada dasarnya tidak berbeda dengan pendidikan akhlak
yaitu sama-sama mengatur dan mengembangkan nilai, sikap dan perilaku
manusia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
b. Sejarah Dikpora Surakarta dalam Menerapkan Pendidikan Budi Pekerti
Sejarah Dikpora Surakarta dalam menerapkan pendidikan budi pekerti
di SMP pada mulanya menurut Kurikulum Pendidikan Budi Pekerti Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olah Raga tahun 2009 Kota Surakarta adalah sebagai
berikut:
Tiga ranah dalam proses pembelajaran yakni kognitif, afektif, dan
psikomotorik dirasakan belum seimbang saat ini, suka atau tidak, kurang lebih
dekade dunia pendidikan khususnya jajaran Disdasmen lebih banyak
terkonsentrasi pada aspek kognitif. Hal ini ditandai dengan diutamakannya
perolehan nilai ujian nasional.
Mengamati perilaku masyarakat termasuk generasi muda akhir-akhir
ini yang cukup memprihatinkan dan munculnya tindakan anarkhis di berbagai
tempat termasuk kasus kerusuhan yang terjadi di kota Surakarta belakangan ini
menyadarkan kita akan arti penting keseimbangan ketiga ranah tersebut,
dengan demikian diperlukan perubahan strategi proses pembelajaran selama ini
yang cenderung mengutamakan aspek kognitif, termasuk di dalamnya
pendidikan budi pekerti yang sebenarnya termasuk komponen penting di dalam
tujuan pendidikan nasional kita yakni membentuk siswa yang berakhalak
mulia.
Akhlak mulia dapat terwujud jika di dukung budi pekerti yang baik.
Proses pembelajaran budi pekerti di sekolah diperlukan perubahan pendekatan
yang variatif mulai dari andragogi, permainan, simulasi, portofolio,
konstekstual dan sejenisnya, yang diharapkan budi pekerti dihayati sejak
proses pembelajarannya. Oleh karena itu mengacu pelaksanaan tujuan
pendidikan nasional, proses pembelajaran yang variatif diharapkan menguatkan
kompetensi perilaku dalam kehidupan sosial yang toleren, menghargai
perbedaan dan dapat menjalani hidup damai dalam keberagaman di masyarakat
luas.
Berangkat dari perihal tersebut di atas, Dinas Dikpora Kota Surakarta
bekerjasama dengan UNICEF dan Pemerintah Kota Surakarta mencoba
memformulasikan proses pembelajaran budi pekerti sebagaimana tertuang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
dalam konsep materi pendidikan budi pekerti berikut ini, dan pada tahun 2005
sudah mulai diberlakukan untuk semua SMP di kota Surakarta, di mana pada
awalnya sudah diuji cobakan di sepuluh sekolah SMP uji coba, dimulai dari
kelas VII, VIII, dan IX.
c. Kegunaan Pendidikan Budi Pekerti
Cahyoto (dalam Nurul Zuriah, 2007: 104) menyatakan kegunaan
pendidikan budi pekerti antara lain sebagai berikut:
1) Siswa memahami susunan pendidikan budi pekerti dalam lingkup etika bagi pengembangan dirinya dalam bidang ilmu pengetahuan.
2) Siswa memiliki landasan budi pekerti luhur bagi pola perilaku sehari-hari yang didasari hak dan kewajiban sebagai warga negara.
3) Siswa dapat mencari dan memperoleh informasi tentang budi pekerti mengolahnya dan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah nyata di masyarakat.
4) Siswa dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain untuk mengembangkan nilai moral.
d. Pentingnya Pendidikan Budi Pekerti
Pentingnya pendidikan budi pekerti diselenggarakan baik di sekolah,
keluarga, maupun masyarakat diantaranya dalam rangka:
1) Membantu meningkatkan kemampuan kita supaya berbudi pekerti baik dan mengembangkan lingkungan yang berbudi pekerti agar dalam kehidupan sehari-hari kepribadian kita dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
2) Mengajak kita dan keluarga serta masyarakat mengembangkan pola hidup dengan perilaku yang baik yang bermanfaat bagi diri kita sendiri dan lingkungan.
3) Berusaha membantu kita, keluarga, dan masyarakat beradaptasi yang efektif dengan pola hidup sesuai dengan norma, kaidah, dan aturan masyarakat.
4) Membantu kita, keluarga dan masyarakat untuk hidup secara teratur, bertatakrama, dan menjauhi segala perbuatan tercela serta melakukan perbuatan terpuji.
(Tabrani Rusyan M. Sutisna WD dan AS. Hidayat, 2004: 6).
e. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti
Tujuan pendidikan budi pekerti dibagi menjadi 2 (dua), yaitu secara
umum dan secara khusus. Dikpora (2009: IX-X) menyatakan bahwa:
Tujuan umum pendidikan budi pekerti yaitu pendidikan budi pekerti secara umum bertujuan untuk menfasilitasi siswa agar mampu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan ketrampilan sosial yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri peserta didik serta mewujudkan dalam perilaku sehari-hari dalam berbagai konteks sosial budaya yang berbhinneka. Sedangkan tujuan khusus adalah sebagai berikut: 1) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta
didik sebagai penerus bnagsa 2) Memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta didik terhadap
situasi sekitarnya tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang baik secara individual maupun sosial.
3) Meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
f. Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti
Peningkatkan keberhasilan peserta didik untuk membentuk mental,
moral, spiritual, personal dan sosial, maka penerapan pendidikan budi pekerti
dapat menggunakan berbagai pendekatan dengan memilih pendekatan yang
terbaik (eklektif) dan saling mengaitkannya satu sama lain agar menimbulkan
hasil yang optimal (sinergis). Nurul Zuriah (2007: 75-76) membagi pendekatan
pendidikan budi pekerti menjadi “Pendekatan penanaman nilai, pendekatan
perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi
nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat”.
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Pendekatan Penanaman Nilai (Inculcation Approach).
Pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima
nilai sebagai milik mereka dan bertanggungjawab atas keputusan yang
diambilnya melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan,
menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri.
Cara yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain keteladanan,
penguatan positif, dan negatif, simulasi dan bermain peran.
2) Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development
Appoarch).
Pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral.
Guru dapat mengarahkan anak dalam menerapkan proses pemikiran moral
melalui diskusi masalah moral sehingga peserta didik dapat membuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
keputusan tentang pendapat moralnya. Mereka akan menggambarkan
tingkat yang lebih tinggi dalam pemikiran moral, yaitu takut hukuman,
melayani kehendak sendiri, menuruti peranan yang diharapkan, menuruti
dan menaati otoritas, berbuat untuk kebaikan orang banyak, bertindak
sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang universal. Cara yang dapat
digunakan dalam penerapan budi pekerti dengan pendekatan ini antara lain
melakukan diskusi kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual
maupun yang abstrak (hipotetikal).
3) Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach)
Pendekatan ini menekankan agar peserta didik dapat menggunakan
kemampuan berpikir logis dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial
yang berhubungan dengan nilai tertentu. Selain itu, peserta didik dalam
menggunakan proses berpikir rasional dan analitik dapat menghubung-
hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri. Cara
yang dapat digunakan dalam pendekatan ini, antara lain diskusi terarah
yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis
terhadap kasus, debat dan penelitian.
4) Pendekatan Klarifikasi Nilai (Values Clarification Approach)
Pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-
nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Selain itu, pendekatan ini
juga membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara
jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan
membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional
dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka
sendiri. Cara yang dapat dimanfaatkan dalam pendekatan ini, antara lain
bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktivitas
yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi
kelompok.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
5) Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik
seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai. Selain itu, pendekatan
ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri
sendiri sebagai mahluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan
bermasyarakat. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini, selain
cara-cara pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai, adalah metode
proyek atau kegiatan di sekolah, hubungan antar pribadi, praktik hidup
bermasyarakat dan berorganisasi.
Menurut Maman Rachman (2002: 238) menyatakan bahwa:
Perlu disadari dan disikapi benar bahwa pembentukan watak dan budi pekerti anak tidak cukup hanya diberikan di sekolah melainkan harus ditunjang oleh pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah seperti dalam keluarga oleh orang tua, dalam kelompok belajar oleh para instruktur atau tutor, dalam kursus-kursus oleh para pelatih atau pembina dan dalam lingkungan masyarakat oleh teman sebaya, masyarakat, tokoh masyarakat, elit politik dan sejenisnya. Mereka itu semua, secara proporsional harus dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan. Keterpaduan, kesinambungan, dan keberlanjutan pendidikan budi pekerti yang dikembangkan di sekolah dengan pendidikan budi pekerti di luar sekolah diharapkan akan mengahasilkan generasi bangsa yang memiliki watak dan budi pekerti luhur seperti yang diharapkan.
g. Metode Pendidikan Budi Pekerti
Yahudi (2006, http// en wikipedia.teacher com/):
In education, a teacher is a person who provides schooling for others. A teacher who facilitates education for an individual student may also be described as a personal tutor. The role of teacher is often formal and ongoing, carried, out by way of occupation or profession at a school or other place of formal education. Teachers may use a lesson plan to facilitate student learning, providing a course of study which covers a standardized curriculum. A teachers role may vary between cultures. Teacher teach literacy, or some of the other school subjects. Other teachers may provide instruction in craftsmanship or vocational training, the Arts, religion or spirituality, civics, community roles, or life skiils.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Arti dari kutipan jurnal internasional di atas yaitu: dalam pendidikan,
seorang guru adalah seseorang yang menyediakan pendidikan bagi orang lain.
Seorang guru memfasilitasi pendidikan bagi seorang individu siswa juga dapat
digambarkan sebagai pribadi guru. Peran guru sering formal dan berkelanjutan,
dilakukan dengan cara dari pekerjaan atau profesi di sekolah atau tempat
formal pendidikan. Guru dapat menggunakan rencana pelajaran untuk
memfaslitasi siswa belajar, menyediakan suatu program studi yang mencakup
standar kurikulum. Peran guru mungkin beragam diantar budaya. Guru
mengajar melek huruf dan menghitung, atau sebagian yang lain mata pelajaran
sekolah. Guru-guru lain dapat memberikan intruksi dalam pengerjaan atau
pelatihan kejuruan, seni, agama atau spiritualitas, kewarganegaraan, peran
masyaarkat, atau keterampilan hidup.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa peranan guru
adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang
dijalankan secara profesional dalam rangka meningkatkan sumber daya
manusia melalui pendidikan yang berhubungan dengan kemajuan perubahan
tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya.
Menurut Paul Suparna (2002: 45) mengungkapkan bahwa “Secara
teoritis keberhasilan proses pendidikan budi pekerti antara lain dipengaruhi
oleh ketepatan seorang guru dalam memilih metode-metode penanaman nilai-
nilai budi pekerti”. Metode pendidikan budi pekerti sangatlah penting, karena
apabila tidak tepat maka tujuan yang akan dicapai juga sulit untuk diperoleh.
Metode menyangkut cara pendekatan dan penyampaian nilai-nilai hidup yang
akan ditawarkan dalam diri anak. Ada beberapa metode yang dapat digunakan
untuk pendidikan budi pekereti, antara lain: “1) Metode Demokrasi, 2) Metode
Pencarian Bersama, 3) Metode Siswa Aktif, 4) Metode Keteladanan, 5) Metode
Live In, 6) Metode Penjernihan Nilai”. (Paul Suparna, 2002: 45-52).
Metode-metode tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Metode Demokrasi
Metode demokrasi menekankan pencarian secara bebas dan
penghayatan nilai-nilai hidup tersebut dalam pendampingan dan pengarahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
guru. Anak diberi kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai diantaranya
keterbukaan, kejujuran, penghargaan dan penilaian terhadap nilai-nilai yang
ditemukan. Metode ini digunakan untuk menanamkan nilai-nilai diantaranya
keterbukaan, kejujuran, penghargaan pendapat orang lain, sportivitas,
kerendahan hati, dan toleransi. Melalui metode pendekatan ini anak diajak
mulai dengan berani mengungkapkan gagasan, pendapat maupun
perasaannya.
2) Metode Pencarian Bersama
Metode ini menekankan pencarian bersama yang melibatkan siswa
dan guru. Melalui pendidikan ini siswa diajak aktif untuk mencari dan
menemukan tema yang sedang berkembang dan menjadi perhatian bersama.
Selain menemukan nilai-nilai dari permasalahan yang diolah, anak juga
diajak untuk secara kritis analitis mengolah sebab dari permasalahan yang
muncul tersebut.
3) Metode Siswa Aktif
Metode ini menekankan pada proses yang melibatkan anak sejak
awal pembelajaran. Guru memberikan pokok bahasan dan anak dalam
kelompok mencari dan mengembangkan proses selanjutnya. Anak membuat
pengamatan, pembahasan analisis sampai pada penyimpulan atas kegiatan
mereka. Metode ini mendorong anak mempunyai kreatifitas, ketelitian,
kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, kerjasama, kejujuran dan daya juang.
4) Metode Keteladanan
Proses pembentukan pekerti pada anak diawali dengan melihat
orang yang akan diteladani. Guru dapat menjadi tokoh idola dan panutan
bagi anak. Dengan keteladanan guru dapat membimbing anak untuk
membentuk sikap yang kokoh. Untuk itu dituntut ketulusan, keteguhan,
kekonsistanan hidup seorang guru.
5) Metode Live In
Metode ini memberi pengalaman kepada anak untuk mempunyai
pengalaman hidup bersama orang lain secara langsung dalam situasi yang
berbeda sama sekali dari kehidupan sehari-hari. Dengan pengalaman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
langsung ini anak dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam
cara berfikir, tantangan, permasalahan dan dapat tentang nilai-nilai
hidupnya.
6) Metode Penjernihan Nilai
Metode penjernihan nilai ini, anak diajak untuk secara kritis
melihat nilai-nilai hidup yang ada dalam masyarakat. Anak diajak untuk
melihat bahwa tindakan salah dan benar tidak tergantung pada banyak dan
sedikitnya pelaku namun pada nilai tindakan itu sendiri. Pada akhirnya anak
diajak melihat duduk permasalahannya dan berani mengambil sikap dan
pilihan dalam hidupnya. Oleh sebab itu penjernihan nilai dalam kehidupan
anak sangat penting.
4. Penyimpangan Perilaku Minuman Keras
a. Pengertian Minuman Keras
Menurut Dadang Hawari (1999: 161) mengemukakan bahwa “Miras
atau minuman keras adalah jenis minuman yang mengandung alkohol, tidak
peduli berapa kadar alkoholnya”.
Menurut Edy Karsono (2004: 12) menjelaskan bahwa “Alkohol adalah
jenis minuman yang mengandung etil-alkohol, disesuaiakan dengan kadar etil-
alkoholnya”, sedangkan menurut Soedjono (1995: 108) menyatakan bahwa
“Sering-sering minum alkohol (minuman keras) menyebabkan orang menjadi
kecanduan alkohol tidaklah cukup tepat, keseringan minum membawa
ketagihan psikologis karena sudah terbiasa minum”.
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian
dari minuman keras adalah bahan kimia yang mempunyai daya pengaruh
terhadap tubuh dengan memberi rangsangan-rangsangan tertentu dan
mengakibatkan ketidaksadaran diri seseorang.
b. Penggolongan Minuman Beralkohol
Menurut Soedjono (1995: 137) menjelaskan bahwa:
Minuman beralkohol memiliki fungsi ganda yaitu selain berbahaya bagi kesehatan dipihak yang berlawanan memiliki manfaat khusus dalam bidang medis atau kesehatan yaitu untuk obat atau bahan baku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
obat. Alkohol mempunya daya pengaruh pada manusia, pengaruh yang ditimbulkan oleh alkohol yaitu memberi istirahat pada otot-otot sehingga perasaan yang tegang akan menjadi longgar atau bahkan hilang. Di pihak lain, bagi penderita penyakit jantung alkohol dapat digunakan untuk membantu memperbesar pembuluh darah, dalam hal ini alkohol bekarja sebagai sistem yang menekan susunan saraf pusat sehingga dapat menghilangkan perasaan tidak enak, bingung dan lain sebagainya. Efek yang ditimbulkan adalah badan akan terasa lebih baik dan lebih sehat karena darah dapat mengalir lancar. Adapun jenis minuman keras (minuman beralkohol) yang dapat digunakan sebagai obat atau bahan baku obat adalah minuman beralkohol yang mengandung ethanol, jenis amilenhidrat, trikoretol, klarobutanol, dan etinilkarbonal.
Pemakaian alkohol yang wajar adalah sebagai bahan obat. Alkohol
setelah bekerja akan diuraikan oleh hati sehingga menjadi zat sisa yang
dikeluarkan melalui buang air kecil. Selain fungsi tersebut alkohol juga dapat
digunakan sebagai penghilang rasa sakit dan juga sebagai pengering luka lecet
akibat kecelakaan kecil dimana alkohol disini berfungsi menghentikan
pendarahan dan membuat luka cepat kering.
Menurut Moch. Sulchan (1999: 4) menjelaska bahwa:
Minuman keras adalah semua minuman beralkohol tetapi bukan obat, minuman keras terbagi dalam tiga golongan yaitu: 1) Golongan A kadar alkohol 01%-5% yaitu golongan rendah,
contoh: Bir 2) Golongan B kadar alkohol 05%-20% yaitu golongan sedang,
contoh: Anggur 3) Golongan C kadar alkohol 20%-50% yaitu golongan tinggi, di
mana jenis ini jarang sekali ada dipasaran mengingat terlalu tingginya kadar alkohol yang dikandungnya, contoh: Brandy.
Dengan melihat kualifikasi minuman keras di atas dapat dikatakan
bahwa tidak semua minuman beralkohol merupakan minuman keras, sebab ada
beberapa minuman beralkohol dapat digunakan atau bahkan cenderung
digunakan obat. Berdasarkan penggolongan di atas, bisa ditarik dua
kesimpulan bahwa pemakaian yang wajar akan sangat bermanfaat bagi
kesehatan sedangkan pemakaian yang berlebihan akan sangat berpengaruh
buruk pada kesehatan bahkan akan berakibat pada kematian seseorang.
Alkohol memang memiliki manfaat yang besar akan tetapi secara kasat mata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
alkohol cenderung merusak dan merugikan manusia. Hal ini dikarenakan
alkohol merupakan zat adiktif yaitu zat yang dapat menimbulkan ketagihan dan
ketergantungan bagi pemakainya. Pemakaian minuman keras dapat
menimbulkan gangguan mental organik (GMO) yaitu gangguan fungsi berfikir,
perasaan dan perilaku. GMO ini disebabkan adanya reaksi langsung alkohol
pada syaraf pusat (otak)
Menurut Kartini Kartono (1986: 138) mengemukakan bahwa:
Perubahan stemming dasar juga bisa disebabkan oleh penggunaan alkohol yang menyebabkan hilangnya beberapa rem psikis. Sebagai akibatnya beberapa tabu dan larangan, baik yang sosial sifatnya maupun yang ditetapkannya sendiri oleh individu menjadi longgar dan mudah dilanggar. Jadi pengaruh alkohol adalah mempertinggi tingkat suasana hati.
Akibat buruk di atas juga diperkuat lagi oleh Moch. Sulchan (1999:
21) yang menyatakan bahwa “Miras atau minuman keras adalah jenis minuman
yang mengandung alkohol, tidak peduli berapa kadar alkoholnya”.
c. Dampak Minuman Keras
Semua jenis minuman yang mengandung alkohol berbahaya karena
akan berakibat buruk pada manusia. Adapun akibat buruk yang ditimbulkan
dari minuman keras (minuman beralkohol) adalah “Farmologi, gangguan
kesehatan fisik, gangguan kesehatan jiwa, gangguan terhadap kamtibnas”.
(Moch Sulchan, 1999: 21-22).
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Farmologi
Bahwa alkohol larut dalam air sebagai molekul kecil, sehingga cepat
menyebar yang kemudian mengakibatkan ketergantungan.
2) Gangguan Kesehatan Fisik
Mengkonsumsi minuman keras dalam jumlah banyak dan dilakukan secara
terus menerus akan menimbulkan kerusakan hati, jantung, pankreas,
lambung dan otak. Pada pemakaian kronis minuman keras akan
mengakibatkan terjadinya pengerasan hati, peradangan pankreas dan
peradangan lambung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
3) Gangguan Kesehatan Jiwa
Minum-minuman keras secara kronis dalam jumlah berlebihan dapat
mengakibatkan kerusakan permanen jaringan otak sehingga menimbulkan
gangguan daya ingatan, kemampuan penilaian, kemampuan belajar dan
gangguan jiwa yang lain seperti, perasaan berubah, mudah tersinggung
dan lain sebagainya.
4) Gangguan Terhadap Kamtibnas
Akibat dari minuman-minuman keras akan menekan pusat pengendalian
diri seseorang, sehingga yang bersangkutan menjadi berani dan agresif.
Karena keberanian dan keagresifannya serta tertekan pengendalian diri
tersebut, seseorang melakukan gangguan kamtibmas baik dalam bentuk
pelanggaran norma dan sikap moral bahkan tidak sedikit yang melakukan
tindak pidana atau kriminal.
d. Faktor Penyebab Penyimpangan Perilaku Minuman Keras
Soedjono (1995: 108) menyatakan bahwa “Faktor umum penyebab
penyimpangan perilaku minuman keras adalah lingkungan sosial dan
kepribadian”. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial, yang terdiri dari
a) Motif ingin tahu
Faktor ini biasanya menghinggapi para remaja yang mempunyai sifat
selalu ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu yang belum atau kurang
diketahui dampak negatifnya.
b) Kesempatan
Hal ini dikarenakan kesibukan orang tua, broken home, kurang kasih
sayang yang kemudian terpengaruh lingkungan teman sepermaian ynag
selalu dekat dan dianggap menengrti akan dirinya yang sama-sama
mencari pelarian dengan cara penyalahgunaan minuman keras.
c) Sarana dan prasarana
Hal ini biasanya terjadi pada orang kaya dimana karena kasih sayang yng
berlebihan yang memberikan fasilitas yang serba baik berupa uang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
ataupun yang lain namun disalahgunakan untuk memenuhi rasa
keingintahuan yang diawali dengan mengkonsumsi minuman keras.
2) Kepribadian
Kepribadian, yang terdiri dari:
a) Rendah diri
Disebabkan karena tidak dapat mengatasi perasaan tersebut maka
menutupi kekurangan dan agar dapat menunjukkan eksistensinya
ditempuh jalan sesat dengan cara menyalahgunakan minuman keras
sehingga merasa lebih aktif dan lebih berani
b) Emosional
Remaja pada umumnya memiliki emosional yang lebih labil yang selalu
ingin lepas dari aturan-aturan orang tua, tetapi disis lain masih
bergantung pada orang tua untuk memenuhi kebutuhan pribadinya yang
berakibat pada konflik pribadi. Karena kesulitan menghadapi konflik
maka ditempuh jalan dengan mencari pelampiasan yang dirasa mudah
menyelesaikan masalah yaitu mengkonsumsi minuman keras.
c) Mental
Lemahnya mental seseorang akan dengan mudah dipengaruhi oleh
lingkungan untuk berindak dan melakukan hal-hal yang negatif.
Sehingga suatu saat akan merasa dirinya tidak dapat mengimbangi
perilaku dalam lingkungannya dan dirinya merasa diasingkan oleh
lingkungannya. Berawal dari hal ini maka kecenderungan melakukan
tindakan mengkonsumsi minuman keras akan sangat besar demi
mendapat pengakuan dari lingkungan yang diikutinya.
Masalah yang utama mengapa seseorang masuk ke alam
ketergantungan pada alkohol adalah sebagai berikut:
1) Kurang terpenuhinya kebutuhan emosional 2) Merasa mempunyai banyak kekurangan 3) Menghindari atau melarikan diri dari masalah 4) Tidak ada rasa percaya pada dirinya endiri 5) Kurang bersifat tegas dan mudah terpengaruh oleh orang lain 6) Mudah sekali kecewa dan tidak ada inisiatif untuk perubahan 7) Kecemasan, depresi cepat bosan bahkan gangguan kepribadian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
8) Kondisi dalam keluarga baik keutuhan kembali suatu keluarga, kesibukan dari orang tua, hubungan interpersonal, tidak ada penekanan nilai-nilai agama, komunikasi satu arah, ketidakharmonisan keluarga, tidak terbukannya dalam satu keluarga
9) Adanya pengaruh yang kuat dari bujukan teman atau kelompok, lingkungan sekolah dan mudahnya mendapatkan minuman keras yang beralkohol. (Dadang Hawari, 1999: 193).
Alkohol mempunyai daya pengaruh terhadap tubuh dengan memberi
rangsangan-rangsangan tertentu dan mengakibatkan ketidaksadaran diri yang
mana hal itu diawali dengan adanya kecemasan dalam diri, kekecewaan yang
mendalam dan berbagai kepahitan hidup, termasuk mereka yang menderita
sakit-sakitan kronis, menganggap lebih baik minum alkohol sampai mabuk,
sampai akhirnya terjdi ketergantungan pada alkohol.
Soedjono (1995: 138-139) menyatakan bahwa “Faktor-faktor yang
menimbulkan terjadinya penyalahgunaan alkohol yaitu karena diri individu
sendiri dan masyarakat yang mensuplai”.
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Sebab dalam diri individu, termotivasi oleh adanya:
a) Keinginan minum-minuman keras hanya untuk mencari kesegaran dan
kesenangan saja, dengan volume minum semakin meningkat.
b) Untuk meringankan rasa sakit yang dideritanya, yang sebenarnya ia
tidak sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh alkohol tersebut, justru
lebih menambah berat rasa sakitnya.
c) Perasaan kecewa, tekanan batin, kecemasan, dan ketegangan, yang
kemudian mencari jalan pintas untuk melupakananya melaui alkohol.
d) Peminum yang frustasi dan secara sadar ingin menunjukkan sikap
protes kepada masyarakat, ia protes terhadap norma yang sudah
mapan, terhadap generasi sebelumnya terhadap ajaran agama dan
protes terhadap otoritas orang tua.
2) Sebab dari masyarakat yang mensuplai:
a) Untuk kepentingan dagang atau ekonomi, atau untuk mengeruk banyak
uang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
b) Untuk tujuan politik, yaitu memperlemah individu dalam masyarakat.
e. Ciri Anak Pengguna Minuman Keras
Soedjono (1995: 130-131) menyatakan bahwa ada beberapa ciri yang
mudah dilihat pada anak yang sudah terlibat dalam penyalahgunaan minuman
keras, antara lain “Perubahan perilaku, emosional, tidak disiplin, suka mencuri
uang dan barang, mata merah, suka mengasingkan diri, prestasi belajar
menurun, sering menyendiri, suka menipu, badan menjadi kurus, berpakaian
tidak rapi, dan sering didatangi orang-orang yang baru”.
Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Adanya perubahan tingkah laku yang tiba-tiba terhadap kegiatan sekolah,
keluarga, dan teman-teman. Misalnya bertindak kasar, tidak sopan, mudah
curiga, dan penuh rahasia terhadap orang lain.
2) Suka marah yang tidak terkendali.
3) Pembangkangan terhadap disiplin yang tiba-tiba, baik di rumah maupun di
sekolah.
4) Mencuri uang di rumah, di sekolah atau toko untuk membeli minuma
keras.
5) Mencuri barang berharga yang berada dalam rumah untuk dijual guna
pembelian minuman keras.
6) Selalu mengenakan kacamata gelap pada saat tidak tepat untuk
menyembunyikan matanya yang bengkak dan merah.
7) Suka mengasingkan diri atau bersembunyi di kamar mandi atau di tempat-
tempat yang janggal, seperti di gudang dan di bawah tangga dalam waktu
lama serta berkali-kali.
8) Penurunan tingkat kehadiran di kelas dan prestasi belajar di sekolah secara
drastis.
9) Lebih banyak menyendiri dari biasanya, sering bengong dan berhalusinasi.
10) Sering menipu karena kehabisan uang jajan.
11) Berat badan turun drastis, karena nafsu makan yang tidak menentu.
12) Selalu mengenakan pakaian secara sembarangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
13) Sering dikunjungi oleh orang-orang yang belum dikenal keluarga atau
temen-temannya.
B. Kerangka Berfikir
Selain kecerdasan berpikir dan kemampuan intelektual, pendidikan budi
pekerti juga sangat penting bagi pembentukan dan perkembangan kepribadian
siswa. Kegiatan proses belajar mengajar di sekolah menyangkut guru dan siswa.
Apabila salah satu dari mereka tidak ada maka tidak akan terjadi kegiatan proses
belajar mengajar. Guru bertugas membantu siswa untuk mencapai tujuan
pendidikan sedangkan siswa berusaha untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut.
Oleh karena itu sebagai seorang guru pendidikan budi pekerti harus melaksanakan
apa yang menjadi tugas dan peranannya dengan baik. Apalagi guru pendidikan
budi pekerti mempunyai tugas yang sangat berat, bukan hanya masalah
kognitifnya tetapi juga perilaku siswanya.
SMP Negeri 14 Surakarta merupakan salah satu sekolah yang
menerapkan pendidikan budi pekerti. Kegiatan pembelajaran pendidikan budi
pekerti yang sudah disampaikan kepada peserta didik seharusnya mampu
mengurangi bahkan menghilangkan perilaku siswa yang tidak sesuai dengan budi
pekerti. Agar dapat diketahui efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti,
dapat menggunakan indikator dari efektivitas itu sendiri. Pembelajaran pendidikan
budi pekerti yang efektif akan mengakibatkan perubahan-perubahan yang terjadi
setelah siswa mempelajarinya. Pembelajaran ini harus mencapai tujuan yang
semaksimal mungkin yaitu membentuk siswa agar berbudi pekerti luhurdan
berakhlak mulia.
Seorang guru pendidikan budi pekerti juga harus membangkitkan dan
memotivasi siswa agar lebih memahami pendidikan budi pekerti, sehingga
perilaku mereka sesuai dengan nilai budi pekerti, sehingga dari proses
pembelajaran pendidikan budi pekerti dengan metode yang digunakan oleh
seorang guru di kelas akan mempengaruhi pemahaman siswa tentang nilai-nilai
budi pekerti sehingga pada akhirnya juga mempengaruhi keberhasilan belajarnya
yaitu perubahan perilaku siswa menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
pembelajaran dengan metode yang digunakan oleh guru dalam pendidikan budi
pekerti berpengaruh terhadap keberhasilan tujuan dari pembelajaran yaitu
membentuk siswa yang berbudi pekerti luhur sehingga tidak ada penyimpangan
perilaku oleh siswa.
Secara sistematis hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: Skema Kerangka Pemikiran
Pendidikan Budi Pekerti
Efektivitas Pembelajaran Pend.
Budi Pekerti
Indikator Efektivitas
Tujuan Pembelajaran
Manusia yang berbudi pekerti
luhur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian merupakan sumber diperolehnya data yang
dipergunakan dalam penelitian. Dalam penelitian ini penulis memilih lokasi
penelitian di SMP Negeri 14 Surakarta. Hal ini diambil dengan pertimbangan:
1. Ada masalah yang menarik untuk diteliti.
2. Tersedianya data yang menunjang penelitian.
3. Adanya keterbukaan dari pihak sekolah sehingga memudahkan di dalam
melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian selama dua belas (12) bulan yang dimulai pada bulan
Desember 2009 sampai dengan bulan Desember 2010. Kegiatan tersebut dapat
digambarkan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 1 . Jadual Kegiatan Penelitian
No Kegiatan Tahun 2009-2010
Des Jan Feb Mar Apr Mei Des
1. Pengajuan Judul
2. Penyusunan Proposal
3. Ijin Penelitian
4. Pengumpulan Data
5. Analisis Data
6. Penyusunan Laporan
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu
dengan berusaha menggambarkan keadaan atau fenomena sosial. Menurut Lexy J.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Moleong (2008: 4) yang mengutip pendapatnya Bogdan dan Taylor tentang
penelitian kualitatif adalah sebagai berikut “Metodologi kualitatif adalah prosedur
yang menghasilkan data diskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati”.
2. Strategi Penelitian
Setiap penelitian diperlukan sebuah strategi agar tujuan yang telah
direncanakan dapat dicapai. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model tunggal terpancang. Menurut H.B. Sutopo (2002: 42) menjelaskan bahwa
“Bentuk penelitian terpancang (embedded research) yaitu penelitian kualitatif
yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang akan
dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat penelitinya sebelum peneliti ke lapangan
studinya”.
Dalam penelitian ini peneliti sudah menentukan terlebih dahulu fokus
pada variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan
variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian
yang diteliti tetap diusahakan pada posisi saling berkaitan dengan bagian-bagian
dari konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap.
Jadi penelitian ini menggunakan strategi tunggal terpancang karena objek
penelitian adalah tunggal yaitu hanya pada SMP Negeri 14 Surakarta serta
pembahasan masalah hanya terpancang pada perumusan masalah yang telah
diuraikan di depan pada bab pendahuluan yaitu tentang efektivitas pembelajaran
pendidikan budi pekerti ditinjau dari tingkat penyimpangan perilaku siswa
minuman keras di SMP Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010.
C. Sumber Data
Menurut H.B. Sutopo (2002: 50) menyatakan bahwa, “Sumber data
dalam penelitian kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa atau aktifitas, tempat
atau lokasi, benda, beragam gambar dan rekaman, dokumen atau arsip”.
Pendapat lain tentang sumber data dalam penelitian kualitatif adalah
yang diungkap oleh Lofland yang dikutip oleh Lexy j. Moleong (2004: 157)
menjelaskan bahwa “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
kata, dan tindakan, selebihnya data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”.
Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata
dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan statistik.
Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data
yang berupa informan, peristiwa atau aktivitas, serta dokumen dan arsip, lebih
lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1. Informan
Pengertian informan menurut H.B. Sutopo (2002: 50) adalah “Sumber
data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut sebagai
informan”. Informan adalah orang yang dipandang mengetahui permasalahan
secara mendalam dan dapat dipercaya, sehingga dapat dijadikan sumber yang
mantap. Adapun informan yang diperlukan antara lain:
a. Koordinator bidang kurikulum, yaitu Sudarsono, S. Pd
b. Guru Pendidikan Budi Pekerti, yaitu:
1) Gatot Katmanto, S. Pd
2) Drs. Wardoyo
3) Mastyasto, S. Pd
c. Siswa yang melakukan penyimpangan perilaku minuman keras
Tabel 2. Informan yang Melakukan Penyimpangan Perilaku Minuman Keras
No Nomor Induk
Nama Siswa Kelas
1 7184 Yanuar Kristianto VII A
2 7007 Eksan Ari Ruswanto VII D
3 7200 Evan Asdianto VIII A
4 7227 Adityo Nugroho VIII B
5 7275 Dedi Setiawan VIII D
6 6951 Yuli Setiawan IX A
7 6965 Dony Kurniawan IX B
8 7019 Oscar Patria Dewa IX C
9 7056 Novan Saputra IX D
10 7076 Bobby Setyawan IX E
Adapun daftar informan di atas dapat dilihat pada lampiran no. 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
2. Peristiwa atau Aktivitas
Peristiwa atau aktivitas merupakan pengamatan terhadap proses
bagaimana sesuatu terjadi secara lebih pasti karena menyaksikan sendiri secara
langsung. Aktivitas yang peneliti amati adalah kegiatan atau aktivitas dari
kegiatan belajar mengajar untuk mata pelajaran pendidikan budi pekerti di SMP
Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010.
3. Dokumen dan Arsip
Dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang berhubungan dengan
suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Dalam mengkaji dokumen tidak hanya
mencatat apa yang tertulis, tetapi juga berusaha menggali dan menangkap makna
yang tersirat dari dokumen tersebut.
Adapun dokumen dan arsip yang digunakan peneliti sebagai sumber data
adalah:
a. Silabus, RPP dan Jurnal kegiatan pendidikan budi pekerti (Lampiran no. 2)
b. Data jumlah pelanggaran siswa
c. Penanganan siswa yang melanggar tata tertib
d. Raport siswa
e. Pembagian tugas tenaga edukatif dan non edukatif
D. Teknik Sampling
Sampel dalam suatu penelitian merupakan hal yang penting dalam
memperoleh data dan bahan pengolahan data. Dalam suatu penelitian kualitatif
sering kali peneliti menggunakan teknik Purposive Sampling. Menurut Goetz dan
Le Compte (dalam H.B. Sutopo, 2002: 185) bahwa “Purposive Sampling yaitu
teknik mendapatkan sampel dengan memilih individu-individu yang dianggap
mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya
untuk menjadi sumber data”.
Jadi dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling adalah
sampel dengan memilih siswa-siswa yang melakukan penyimpangan perilaku
minuman keras sebanyak 10 siswa, 3 guru pendidikan budi pekerti kelas VII,
VIII, dan IX serta koordinator bidang kurikulum yang dianggap mengetahui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
informasi dan masalah yang berkaitan dengan penelitian, dengan populasi adalah
seluruh anggota SMP Negeri 14 Surakarta. Teknik ini digunakan karena
dipandang mampu menangkap kedalaman data yang akan digali dari informan
kunci.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara operasional yang ditempuh
oleh penulis untuk memperoleh data yang diperlukan. Berhasil tidaknya suatu
penelitian tergantung pada data yang obyektif. Oleh karena itu sangat perlu
diperhatikan teknik pengumpulan data yang dipergunakan sebagai alat pengambil
data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang diperlukan adalah :
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Menurut Lexy J.
Moleong (2008: 186) mengatakan bahwa, “Percakapan itu dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara (interviwer) yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai (responden) yang memberikan jawaban atas pertanyaan”.
Peneliti dalam hal ini menggunakan teknik wawancara mendalam secara
terbuka. Wawancara dalam penelitian ini menggunakan cara antara lain:
a. Menggunakan metode diskusi yaitu antara informan dengan peneliti.
b. Peneliti memberikan pertanyaan kepada informan mengenai pokok
permasalahan.
c. Informan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti
d. Peneliti memberikan feedback atas jawaban dari informan mengenai
permasalahan yang belum jelas.
e. Informan kembali menjelaskan feedback dari peneliti.
f. Sebelum mengakhiri wawancara, peneliti kembali menegaskan jawaban yang
diberikan oleh informan serta peneliti menanyakan kembali jawaban yang
peneliti belum pahami.
g. Wawancara diakhiri setelah peneliti benar-benar mendapatkan data yang
dianggap peneliti dapat mendukung penelitiannya.
Adapun panduan wawancara dengan informan di atas dapat dilihat pada
lampiran no. 3, catatan lapangan dengan koordinator kurikulum, catatan lapangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
dengan guru pendidikan budi pekerti dan catatan lapangan dengan siswa yang
melakukan minuman keras secara urut dapat dilihat pada lampiran no. 4, lampiran
no. 5, dan lampiran no. 6. Sedangkan gambar kegiatan penelitian tersebut dapat
dilihat pada lampiran no. 7.
2. Observasi
Observasi dilakukan peneliti dengan cara mengamati kondisi sosial
pelaku dalam hal ini siswa yang di wawancara. Peneliti menggunakan observasi
berperan pasif terlibat langsung dalam kegiatan belajar mengajar SMP Negeri 14
Surakarta dengan mencatat berbagai hal yang dianggap perlu untuk mendukung
penelitian ini.
3. Analisis Dokumen
Dalam teknik dokumentasi peneliti melakukan telaah kepustakaan dan
content analysis. Menurut H.B Sutopo (2002: 69) berpendapat bahwa “Mencatat
dokumen disebut juga content analysis dan yang dimaksud bahwa peneliti bukan
hanya sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip tetapi
juga tentang maknanya yang tersirat”.
Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah silabus, RPP dan
jurnal pendidikan budi pekerti, data jumlah pelanggaran siswa, penanganan siswa
yang melanggar tata tertib, raport siswa dan pembagian tugas tenaga edukatif dan
non edukatif. Peneliti melakukan analisis mengenai efektivitas pendidikan budi
pekerti melalui dokumen yang ada dan dianggap penting yang mendukung hasil
penelitian.
F. Validitas Data
Validitas data adalah keabsahan data yang diperoleh di dalam penelitian
atau suatu data yang diakui kebenarannya. Jadi dalam penelitian ini untuk
menjamin keabsahan data yang diperoleh, maka uji validitas datanya dapat
dilakukan berbagai cara yaitu: trianggulasi, informan review dan member chek.
1. Trianggulasi
Menurut Patton yang dikutip oleh H.B. Sutopo (2002: 78-82) trianggulasi
data ada 4 (empat) macam yakni “Trianggulasi data, trianggulasi metode,
trianggulasi peneliti, dan trianggulasi teori”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Trianggulasi data atau trianggulasi sumber, artinya data yang sama atau
sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang
berbeda.
2. Trianggulasi metode, jenis trianggulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti
dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik dan
metode yang berbeda.
3. Trianggulasi peneliti, yaitu hasil penelitian baik data atau simpulan mengenai
bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa
peneliti.
4. Trianggulasi teori, triangulasi ini dilakukan peneliti dengan menggunakan
perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji.
Untuk memperoleh validitas data, peneliti menggunakan teknik
trianggulasi data, dimana data penelitian diambil dari berbagai sumber yang
berbeda dengan memanfaatkan berbagai informasi, yaitu dari informan, peristiwa
atau aktivitas, dokumen atau arsip untuk menghasilkan data yang sejenis.
Disamping itu peneliti juga menggunakan teknik trianggulasi metode yaitu
dengan cara mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau
metode pengumpulan data yang berbeda. Dalam hal ini penulis menggunakan
teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dan analisis dokumen.
Dengan demikian maka data yang satu dengan yang lainnya akan dapat saling
melengkapi dan sekaligus mengujinya sehingga dalam hasil akhir nantinya data
yang diperoleh mencerminkan suatu kenyataan yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Adapun yang menjadi alasan untuk memilih trianggulasi data dan
trianggulasi metode adalah untuk menutup kemungkinan adanya kekurangan data
dari salah satu sumber dan metode, maka dapat dilengkapi dengan data dari
sumber atau data yang dikumpulkan dengan metode lain.
Adapun trianggulasi data pada penelitian ini dapat dilihat pada lampiran
no. 8, sedangkan hasil trianggulasi metode dapat dilihat pada lampiran no. 9.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
2. Informan Review
Informan review yaitu laporan penelitian direview oleh informan (key
informan) khususnya kegiatan informan untuk mengetahui apakah yang ditulis
merupakan sesuatu yang disetujui mereka atau tidak.
3. Member Chek
Penelitian ini selain menggunakan trianggulasi dan informan review belum
dirasakan cukup untuk membuktikan bahwa data yang diperoleh dalam penelitian
tersebut benar-benar valid. Untuk itu masih menggunakan member chek sehingga
laporan hasil penelitian diperiksa oleh kelompok atau peneliti lain untuk
mendapatkan pengertian yang tepat atau mencantumkan kekurangan untuk lebih
dimantapkan.
G. Analisis Data
Lexy J. Moleong (2008: 280) menyatakan bahwa “Analisis data adalah
proses mengorganisasikan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar,
sehingga dapat ditemukan tema dan tempat dirumuskan hipotesis kerja seperti
disarankan oleh data”. Adapun komponen utama dalam proses analisis ini
meliputi pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan kegiatan yang digunakan untuk
memperoleh informasiberupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan
observasi, wawancara, dan dokumen. Data yang diperoleh masih berupa data
mentah yang tidak teratur, sehingga diperlukan analisis agar data menjadi teratur.
2. Reduksi Data
H.B. Sutopo (2002: 92) berpendapat bahwa “Reduksi data adalah bagian
dari proses analisis, yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus,
membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa
sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan”.
3. Sajian Data
Sajian data merupakan rakitan dari organisasi informasi yang
memungklinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kegiatan dan tabel. Semuanya dirakit
secara teratur guna mempermudah pemahaman informasi.
4. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Penarikan kesimpulan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir
pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa
pengulangan dengan melihat kembali fieldnote (data mentah) agar kesimpulan
yang diambil lebih kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Keempat komponen utama tersebut merupakan suatu rangkaian dalam
proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan,
dimana komponen yang satu merupakan langkah menuju komponen yang lainnya,
sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak bisa mengambil
salah satu komponen saja. Penarikan kesimpulan merupakan hasil dari suatu
proses penelitian yang tidak dapat terpisahkan dari proses sebelumnya, karena
merupakan satu kesatuan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini :
Gambar 2. Analisis Data Model Interaktif
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
langkah-langkah sebagai berikut :
1 Pengumpulan Data
4 Verifikasi/pengambilan
kesimpulan
3 Sajian Data
2 Reduksi Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
1. Persiapan
Tahap ini terbagi menjadi dua kegiatan meliputi :
a. Mengurus perijinan penelitian.
b. Menyususun protokol penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan data
dan menyusun jadwal kegiatan penelitian.
2. Pengumpulan Data
Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan meliputi :
a. Mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan observasi, wawancara
mendalam, dan mencatat serta menyimpan dokumen.
b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul.
c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.
3. Analisis Data
Tahap ini terbagi menjadi empat kegiatan meliputi :
a. Menentukan teknik analisa data yang tepat sesuai proposal penelitian
b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di cross check
kan dengan temuan di lapangan
c. Setelah dapat data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses
verifikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan dengan orang yang
dianggap lebih ahli
d. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian
4. Penyusunan Laporan Penelitian
Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan meliputi :
a. Penyusunan laporan awal
b. Review laporan: dengan melakukan pengecekan ulang laporan yang telah
tersusun bilamana terdapat kekeliruan atau kesalahan untuk kemudian
dilakukan perbaikan laporan
c. Penyusunan laporan akhir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
BAB IV
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
Deskripsi lokasi penelitian merupakan tahapan dimana data yang
diperoleh peneliti di lapangan penelitian yaitu di SMP Negeri 14 Surakarta
dikumpulkan, kemudian data tersebut diolah dan dianalisis sehingga dapat
disajikan secara sistematis. Aspek-aspek yang diteliti dapat dijabarkan sebagai
berikut : 1. Letak geografis SMP Negeri 14 Surakarta, 2. Profil SMP Negeri 14
Surakarta, 3. Visi dan misi sekolah, 4. Sejarah singkat berdirinya SMP Negeri 14
Surakarta, 5. Keadaan guru, siswa, dan karyawan di SMP Negeri 14 Surakarta, 6.
Waktu pelaksanaan pembelajaran di SMP Negeri 14 Surakarta. Aspek-aspek
tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Letak Geografis SMP Negeri 14 Surakarta
SMP Negeri 14 Surakarta terletak di jalan Prof. W. Z. Yohanes 54,
kelurahan Purwodiningratan, kecamatan Jebres, Surakarta, kode pos 57128. SMP
Negeri 14 Surakarta terletak di pinggir kota Surakarta dengan batas-batas sebagai
berikut.
a. Sebelah Timur : Jagalan
b. Sebelah Selatan : Purwodiningratan
c. Sebelah Barat : Purwodiningratan
d. Sebelah Utara : Purwodiningratan
Berdasarkan letak geografisnya, SMP Negeri 14 Surakarta dapat
dikatakan strategis untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran. Letak SMP
Negeri 14 Surakarta berada di tepi kota dan cukup jauh dari suara kebisingan
kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya sehingga membuat suasana
pembelajaran menjadi kondusif.
2. Profil SMP Negeri 14 Surakarta
b. Nama Sekolah : SMP Negeri 14 Surakarta
c. No. Statistik Sekolah : 201036104014
d. Tipe Sekolah : B
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
e. Alamat Sekolah : Jl. Prof. WZ. Johanes, no. 54
desa Purwodiningratan, kecamatan Jebres, kota Surakarta, provinsi Jawa
Tengah
f. Telepon/HP/Fax : (0271)636995
g. Status Sekolah : Negeri
h. Akreditasi Sekolah : A
i. NSS/ NSM/ NDS : 201036104014
j. Kepemilikan Tanah : Pemerintah
k. Status Tanah : Pemerintah
l. Luas Tanah : 5.525 m2
m. Status Bangunan : Pemerintah
n. Luas Seluruh Bangunan : 4.860 m2
3. Visi dan Misi Sekolah
a. Visi
Terwujudnya sekolah yang berwawasan Imtaq dan IPTEK serta budaya bangsa
untuk mendukung peningkatan prestasi sekolah, ketrampilan, kemandirian dan
berbudi luhur.
b. Misi
1) Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2) Meningkatkan kemampuan dan profesionalisme.
3) Meningkatkan prestasi akademik.
4) Meningkatkan prestasi olahraga, kesenian dan ketrampilan.
5) Meningkatkan tatakrama dan budi pekerti.
6) Meningkatkan kerjasama antara sekolah, orang tua dan masyarakat.
4. Sejarah Singkat Berdirinya SMP Negeri 14 Surakarta
SMP Negeri 14 Surakarta berdiri sejak tanggal 1 April 1979 yang awal
mulanya SMP Negeri 14 bermula dari adanya alih fungsi atau intergrasi dari
SKKP (sekolah kesejahteraan keluarga pertama) yang beralamat di jalan Adi
Sucipto Manahan Surakarta yang sekarang digunakan oleh SMK Neg. 6 (SMEA
3), berdasarkan SK Mendikbud RI No. 030/U/1979 tertanggal 17-02-1979.
Sekolah inipun beberapa kali pindah lokasi, berdasarkan perintah dari Kabid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Dikmenjur Kanwil Debdikbud Prop. Jateng pada tahun 1978 pindah ke gedung
Ho Hap jalan Urip Sumoharjo 53 dan gedung bekas SD Negeri Tegalharjo di
Margorejo Gilingan Surakarta. Pada tahun 1980 SMP Negeri 14 pindah ke jalan
Urip Sumoharjo 53 menempati gedung bekas SMP Negeri 6 Surakarta , karena
kekurangan ruangan maka siswa kelas 1 dan 3 masuk pagi dan kelas 2 masuk sore
selama ± 1 (satu) tahun. Tahun 1981 siswa kelas 2 menempati lokasi di jalan Prof.
WZ. Johanes 54 Jagalan, sedangkan kelas 1 dan 3 menempati ruang di Widuran.
Pada tanggal 23 Juli 1984 baru pindah ke lokasi yang sekarang yakni jalan Prof.
WZ. Johanes 54 kelurahan Purwodiningratan kecamatan Jebres, Surakarta kode
pos 57128. Adapun kepala sekolah yang pernah menjabat adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Daftar Nama Kepala Sekolah SMP Negeri 14 Surakarta
No Nama Tanggal Jabatan
1 Sri Nartini Suprapto 01 /04/1979-14/06/1986
2 Slamet Soerbroto 15/06/1986-23/08/1991
3 Drs. Sunarto 24/08/1991-30/03/2000
4 Suyadi, SPd 31/03/1995-24/03/2000
5 Drs. Sudarno 25/03/2000-03/01/2003
6 Drs. Y. Himawan Samodra 04/01/2003-2010
7 Hj. Ratna P, S.Pd, M.Pd 2010-Sekarang
5. Keadaan Guru, Siswa, dan Karyawan di SMP Negeri 14 Surakarta
Hasil pembelajaran dapat tercapai secara maksimal salah satunya
disebabkan oleh hubungan antara guru, siswa, maupun karyawan yang terjalin
dengan harmonis. Keadaan seperti itu juga peneliti temukan di SMP Negeri 14
Surakarta.
a. Guru
SMP Negeri 14 Surakarta mempunyai 56 tenaga edukatif yang terdiri
dari 51 guru PNS dan 5 orang guru tidak tetap (GTT). Guru mempunyai tugas
untuk mengajar sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya. Selain itu,
beberapa orang guru juga bertanggung jawab menjadi wali kelas yang bertugas
mengajar mata pelajaran yang diampunya dan bertanggung jawab terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
kelas yang menjadi perwaliannya. Dalam hal ini seorang wali kelas juga
dituntut untuk membuat laporan hasil belajar siswa tiap tengah semester
maupun semester termasuk dalam pembuatan rapor dan membagikannya
kepada orang tua siswa.
b. Siswa
Siswa di SMP Negeri 14 Surakarta berasal dari latar belakang sosial
yang beraneka ragam. Meskipun demikian, mereka mampu berinteraksi dengan
baik dengan teman lain, guru, atupun karyawan yang ada di SMP Negeri 14
Surakarta. Pada tahun ajaran 2009/2010 SMP Negeri 14 Surakarta memiliki 17
kelas yang terdiri dari; kelas VII berjumlah lima (5) kelas dengan pembagian
kelas VII A-VII E, kelas VIII berjumlah enam (6) kelas dengan pembagian
kelas VIII A-VIII F, dan kelas IX berjumlah enam (6) kelas dengan pembagian
kelas IX A-IX F. Berikut ini rincian daftar kelas dan jumlah siswa yang
disajikan dalam bentuk tabel.
Tabel 4. Daftar Kelas dan Jumlah Seluruh Siswa Tahun Ajaran 2009/2010
Nomor Kelas Siswa
Jumlah Putera Puteri
1 VII A 16 20 36
2 VII B 16 20 36
3 VII C 16 20 36
4 VII D 16 20 36
5 VII E 17 21 38
6 VIII A 20 20 40
7 VIII B 19 20 39
8 VIII C 18 20 38
9 VIII D 18 20 38
10 VIII E 18 20 38
11 VIII F 18 20 38
12 IX A 20 20 40
13 IX B 18 22 40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
14 IX C 15 24 39
15 IX D 18 20 38
16 IX E 19 19 38
17 IX F 23 15 38
JUMLAH 305 341 646
c. Karyawan
Karyawan merupakan salah satu komponen yang mempunyai andil
dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. SMP Negeri 14 Surakarta
mempunyai 11 tenaga nonedukatif. Tugas tenaga nonedukatif tersebut adalah:
1 orang sebagai koordinator staf TU, 1 orang mengurusi kepegawaian
bendahara, 1 orang bagian perlengkapan, 1 orang petugas administrasi, 1 orang
bertugas terhadap urusan kesiswaan, 1 orang bertugas sebagi penjaga sekolah,
1 orang sebagai petugas perpustakaan, 2 orang sebagai petugas komputer, 1
orang sebagai petugas laborat, dan 1 orang mengurusi urusan luar.
6. Waktu Pelaksanaan Pembelajaran di SMP Negeri 14 Surakarta
Mengenai waktu pelaksanaan pembelajaran di SMP Negeri 14
Surakarta menggunakan sistem semester sama dengan sekolah yang lain, yakni
dalam satu tahun terdapat dua semester. Adapun waktu pelaksanaan kegiatan
belajar di SMP Negeri 14 Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010 dapat dijelaskan
dalam tabel berikut.
Tabel 5. Waktu Pelaksanaan KBM di SMP Negeri 14 Surakarta
Nomor Hari Nama Kegiatan Waktu
1 Senin KBM 07.00 - 12.10
2 Selasa KBM 07.00 - 12.10
3 Rabu KBM 07.00 - 12.10
4 Kamis KBM 07.00 - 12.10
5 Jumat KBM 07.00 - 10.35
6 Sabtu KBM 07.00 - 12.10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian
1. Faktor-Faktor yang Mendorong Siswa Melakukan Minuman
Keras di SMP Negeri 14 Surakarta Tahun
Ajaran 2009/2010
Masa remaja merupakan masa transisi dimana terjadi perubahan pada
dirinya baik secara fisik, psikis, maupun secara sosial. Pada masa tersebut
kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan
kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku
menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu. Melihat kondisi
tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat
keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai
penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan
dan norma yang ada di masyarakat salah satunya adalah penyimpangan perilaku
minuman keras.
Tingkat penyalahgunaan minuman beralkohol dalam masyarakat pada
umumnya, dan lingkungan remaja atau pelajar pada khususnya sudah sangat
meresahkan semua pihak termasuk dunia pendidikan dan masyarakat. Akibat dari
penyalahgunaan minuman beralkohol tersebut sangat memprihatinkan dan
berdampak membahayakan masa depan bangsa di masa yang akan datang.
Minuman beralkohol secara kronis dalam jumlah yang berlebihan dapat
menimbulkan kerusakan permanen pada jaringan otak sehingga menimbulkan
gangguan daya ingatan, kemampuan daya penilaian, kemampuan belajar, dan
gangguan jiwa. Minuman beralkohol ini juga menyebabkan ketergantungan atau
ketagihan pada diri mereka, sehingga mereka melakukan berbagai upaya untuk
mendapatkannya, bahkan dengan melakukan tindak kejahatan. Siswa yang
melakukan penyimpangan perilaku minuman keras didorong oleh faktor-faktor
tertentu yang menyebabkan mereka melakukan perbuatan yang dilarang dan
berbahaya bagi kesehatan mereka.
Adapun faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman
keras di SMP Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010 adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
a. Faktor dari Dalam Individu (Intrinsik)
1) Keinginan Mencari Kesenangan dan Kepuasan
Dorongan dari dalam individu untuk mengkonsumsi minuman
keras atau melakukan tindakan alkoholik antara lain: sekedar mencari
kesenangan (have fun) dan kepuasan batin. Seperti yang diungkapkan oleh
Yanuar Kristianto (VII A) pada hari Rabu tanggal 7 April 2010 mengatakan
bahwa:
“Saya minum hanya untuk keisengan saja, dan ada perasaan bangga di depan teman-teman saya, serta saya ingin menunjukkan bahwa saya tidak bisa diremehkan, terlebih lagi rasa senangnya tidak bisa diungkapkan”.
Begitu juga dengan Adityo Nugroho (VIII B) pada hari Rabu
tanggal 7 April 2010, dia mengkonsumsi minuman keras karena ingin
mencari kepuasan, dengan mengatakan bahwa:
“Saya dulu tidak tahu dengan yang namanya bir, ciu, whisky, tetapi sekarang saya ketagihan, pertama hanya mencoba, tetapi lama-kelamaan merasa enak, mencoba lagi dan akhirnya ketagihan, kalau beberapa tidak minum, maka saya merasa ada yang kurang”.
Bagi keduanya, minuman keras dianggap sebagai barang istimewa
yang mampu menghadirkan perasaan bangga dan kepuasan tersendiri.
Perasaan bangga dan kepuasan tersendiri hanya dapat dirasakan oleh
individu itu sendiri, mereka tidak peduli orang lain berkata apa. Hal ini
siswa melakukan tindakan alkoholik didasarkan atas orientasi motivasional,
yaitu orientasi yang merujuk pada keinginan individu yang bertindak untuk
memperbesar kepuasan. Mereka tidak memperhatikan lagi apakah tindakan
yang dipilihnya benar atau salah, yang jelas bagi mereka bahwa dengan
mengkonsumsi minuman keras, mereka mendapatkan apa yang mereka cari.
Mereka berpendapat bahwa minuman keras adalah sesuatu yang istimewa
yang dapat menghadirkan suasana tersendiri bagi mereka dan mereka hidup
dalam suasana tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
2) Dorongan untuk Menumbuhkan Rasa Percaya Diri
Selain untuk mencari kesenangan dan kepuasan, faktor pendorong
siswa melakukan minuman keras adalah dorongan untuk menumbuhkan
rasa percaya diri, seperti yang dikatakan oleh Dony Kurniawan (IX B) pada
hari Rabu tanggal 7 April 2010, yang mengatakan bahwa:
Bu, kalau saya tidak minum saya orangnya tidak punya rasa percaya diri yang tinggi, diajak berbicara sama orang, saya malu, tetapi kalau saya minum-minuman keras, saya menjadi berani dan bisa menguasai keadaan, dan kalau bicara tidak akan salah, terlebih lagi jika ada yang menentang pada saat minum, maka akan saya tanggapi.
Hal serupa dikatakan oleh Novan Saputra (IX D) pada hari Rabu
tanggal 7 April 2010, yang mengatakan bahwa “Kalau saya sudah minum
Bu, rasanya percaya diri saya tinggi, teman-teman tidak meremehkan saya
lagi Bu”.
Dorongan untuk mencapai kepercayaan diri ini berasal dari dalam
diri individu yang mengakibatkan siswa mengkonsumsi minuman keras.
Pada keadaan seperti ini mereka merasakan antara keinginan dan kenyataan
tidak seimbang sehingga muncul ketegangan di dalam dirinya dan
ketegangan-ketegangan tersebut masih bersifat labil yaitu tidak tetap kadang
naik kadang turun. Pada masa yang sangat labil tersebut, mereka yang
semestinya masih membutuhkan nasehat dan bimbingan, tetapi bertindak
layaknya orang dewasa. Mereka mengambil salah satu alternatif yang
menurut mereka paling benar, yaitu dengan mengkonsumsi minuman keras
untuk menumbuhkan kepercayaan diri.
3) Menghilangkan Rasa Frustasi
Faktor pendorong selanjutnya adalah untuk menghilangkan rasa
frustasi yang disebabkan oleh masa lalu ataupun pengalaman buruk yang
pernah dialaminya. Perasaan frustasi tersebut dialami oleh Eksan Ari
Ruswanto ( VII D) pada hari Kamis tanggal 8 April 2010 mengungkapkan
bahwa “Kalau kebanyakan masalah di rumah, dimarahi orang tua saya atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
kebanyakan tugas rumah dan sekolah, dan kebanyakan pikiran, saya minum
bu, kalau kebanyakan menyimpan masalah sendiri saya bisa stress”.
Siswa tersebut seharusnya dapat menikmati masa-masa indahnya,
ternyata harus kecewa dengan segala kenyataan hidup yang dialaminya.
Kekecewaan yang sangat berat dapat membuat seseorang atau individu
menjadi jatuh. Keluarga yang kurang harmonis dan pergaulan bebas yang
dijalaninya, membuatnya mencari pelarian diri. Mengkonsumsi minuman
keras yang dilakukan siswa tersebut di atas adalah sebagai perwujudan sikap
protes terhadap keluarga, jadi tindakan ini ditujukan kepada orang lain dan
yang dimaksud di sini adalah orang tuanya, supaya ia merasa diperhatikan.
4) Rasa Ingin Tahu yang Tinggi
Penggunaan minuman keras di kalangan pelajar pada umumnya
karena minuman tersebut menjanjikan sesuatu yang menjadi rasa
kenikmatan, kenyamanan, kesenangan dan ketenangan. Seperti yang
disampaikan oleh Yuli Setiawan (IX A) pada hari Kamis tanggal 8 April
2010 mengungkapkan bahwa ”Saya minum untuk pertama kali karena ingin
tahu, seperti apa rasa minuman keras itu, pada waktu pertama kali minum
saya sedikit aneh rasanya tetapi kemudian saya ketagihan Bu”.
Seorang anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, apabila mereka
belum pernah merasakan sesuatu, mereka memiliki rasa penasaran dan ingin
mencoba hal-hal yang baru. Apabila seseorang bergaul dengan orang lain
yang suka minuman keras karena seringnya melihat teman-temannya
minum, maka ia mulai tetarik untuk mencobanya, sehingga walaupun
sebelumnya sudah tahu, rasa minuman keras tersebut beserta akibat yang
ditimbulkan. Selain itu ia merasa takut, apabila temannya marah, dan
akhirnya kehilangan teman-temannya.
b. Faktor dari Luar Individu (Ekstrinsik)
1) Penjualan Minuman Keras Secara Bebas
Dengan diperjualbelikannya minuman keras secara bebas, siswa
mudah untuk mendapatkan minuman keras tersebut. Melihat dari segi
ekonomi, walaupun banyak pihak-pihak yang menentang minuman keras
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
dijual belikan secara bebas, akan tetapi kenyataannya masih banyak yang
menjual minuman keras, terbukti masih ada toko-toko yang menjual
minuman keras. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara dengan
informan yaitu Evan Asdianto (VIII A) pada hari Kamis tanggal 8 April
2010 mengatakan bahwa ”Saya patungan dengan teman untuk membeli
minuman keras, saya membeli minuman keras dengan mudahnya yang
penting ada uang ada barang, saya membeli di daerah bekonang”.
Tersedianya tempat-tempat untuk membeli minuman keras
menyebabkan mereka dengan mudah membeli minuman keras. Apabila
mereka ada uang, mereka dengan sangat mudah membeli minuman keras
dan memilih merek minuman keras tersebut sesuai dengan uang yang
dimilikinya.
2) Faktor Keluarga
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi
primer bagi perkembangan anak. Kualitas dan kondisi keluarga memainkan
peranan penting dalam membentuk kepribadian anak. Hubungan sosial yang
baik antar anggota keluarga sangat diharapkankan oleh setiap anak. Kondisi
keluarga yang buruk atau tidak harmonis, biasanya akan membuat anak
mencari sesuatu yang tidak ia dapat di dalam keluarganya yaitu dengan jalan
pelarian ke arah tindakan yang menyimpang, seperti yang diungkapkan oleh
Dedi Setiawan (VIII D) pada hari Rabu tanggal 7 April 2010 mengatakan
bahwa:
Saya di rumah tidak nyaman bu, orang tua saya sering bertengkar, makanya saya lebih nyaman di luar rumah dan berkumpul dengan teman-teman Bu, saya tertekan kalau di rumah, soalnya Bapak saya sering pulang malam, terus keadaan ekonomi keluarga saya kurang mampu Bu.
Dedi Setiawan adalah salah satu contoh dari sekian banyak remaja
yang mengalami keadaan atau kondisi keluarga yang tidak harmonis.
Keluarga yang harmonis seperti yang diharapkan tidak ia dapatkan. Padahal
sebagai anak, apabila mengalami kesulitan membutuhkan kasih sayang dan
perhatian dari orang tuanya , serta pendidikan yang baik dari keluarganya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Salah satu pelarian terhadap perasaan frustasi adalah dengan jalan minum-
minuman keras.
Tindakan alkoholik siswa tidak hanya didukung oleh faktor
keluarga yang broken home atau disharmonisasi keluarga. Remaja yang
hidup di tengah-tengah keluarga yang harmonisasi pun dapat terlibat dalam
minuman keras, seperti yang diungkapkan oleh Bobby Setyawan (IX E)
pada hari Kamis tanggal 8 April 2010 yang mengatakan bahwa:
Keluarga saya tidak punya masalah Bu, baik-baik saja, orang tua saya kalau bertengkar hanya biasa saja, kalau sudah marah hanya sebentar saja setelah itu selesai dan dengan anak-anaknya pun baik-baik saja, kalau memberitahu tidak pernah kasar, karena itu Bu kalau saya minum jangan sampai ketahuan orang tua saya, bisa-bisa mereka sedih, setahunya saya tidak pernah ada masalah.
Bobby berasal dari keluarga yang tingkat ekonominya menengah
ke atas, semua kebutuhannya sangat terpenuhi, keluarganya harmonis, tetapi
ia masih saja dapat terjerumus melakukan tindakan penyimpangan perilaku
minuman keras. Hal tersebut disebabkan kontrol dari keluarga yang sangat
lemah atau mereka mudah sekali mempercayai anaknya, pengawasan yang
kurang, dan memberi kebebasan yang terlalu besar terhadap anaknya. Orang
tua salah menafsirkan kata demokratis, takut dikatakan terlalu kolot,
mengekang dan sebagainya, sehingga anak diberi kebebasan yang terlalu
besar. Kebebasan yang tidak terbatas dan tidak diarahkan inilah yang akan
membawa remaja berkeinginan untuk melakukan hal-hal yang disukainya,
sekalipun itu adalah tindakan menyimpang, karena kurangnya pengawasan
dan kontrol dari orang tua. Perhatian yang berlebihan dari orang tua juga
akan membuat anak hidup dalam ketergantungan, dan terhambat
pertumbuhan kedewasaannya. Hal ini akan mengganggu proses interaksi
anak dalam bermasyarakat. Terganggunya proses ini dapat menimbulkan
tingkah laku menyimpang pada anak. Pendidikan yang benar dalam
keluarga memegang peranan penting dalam pertumbuhan kepribadian anak.
Anak yang kurang mendapatkan pendidikan budi pekerti dan agama,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
cenderung tidak dapat menolak pengaruh negatif dalam pergaulannya di
masyarakat.
Pada prinsipnya setiap orang tua harus memperhatikan
perkembangan kepribadian anaknya terutama sikap dan tingkah lakunya
yang kadang sering naik turun dan cenderung bersifat emosi. Anak yang
tumbuh menjadi remaja perlu perhatian khusus karena pada masa ini remaja
sangat labil dan dalam masa pencarian jati diri. Pengaruh keluarga sebagai
penyebab terbentuknya alkoholik remaja disebabkan oleh disharmonisasi
keluarga mereka yang tidak memiliki keluarga yang utuh, hubungan di
dalam keluarga dan antar anggota keluarga tidak terjalin dengan baik,
komunikasi yang tidak lancar, orang tua yang seharusnya memberikan
contoh yang baik pada anak, tetapi sebaliknya mereka berbuat buruk
sehingga dengan mudahnya anak meniru serta kurangnya pengawasan dan
kontrol dari orang tua mereka.
3) Faktor Lingkungan Pergaulan
Keluarga mempersiapkan anak untuk hidup dan bersosialisasi serta
berinteraksi di dalam masyarakat. Masyarakat yang baik akan membawa
pembentukan tingkah laku yang baik pula pada diri individu. Pengaruh
lingkungan pergaulan terutama dari teman sebaya sangat dominan
membentuk tingkah laku remaja, dan tidak sedikit pengaruh tersebut
membawa pada tingkah laku yang menyimpang. Siswa yang terlibat
tindakan minuman keras tidak terlepas dari pengaruh teman
sepermainannya. Awalnya hanya berkumpul biasa, kemudian menjadi
teman dan ada ikatan kuat diantara mereka. Ikatan tersebut muncul karena
siswa ada perasaan senasib sepenannggungan, sehingga tidak jarang ada
yang mengatasnamakan setia kawan untuk segala perbuatan yang
dilakukannya. Hal tersebut dialami oleh Oscar Patria Dewa (IX C) pada hari
Kamis tanggal 8 April 2010, siswa ini menyatakan bahwa:
”Bu, bergaul itu harus tahu situasi dan kondisi, kalau diajak minum tidak mau, nanti dikira sok, dan tidak setia kawan, tidak senasib seperjuangan. Apalagi kalau minumnya ditraktir ada perasaan tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
enak apabila sampai tidak mau, apabila itu sampai terjadi mereka tdak mau main lagi disitu, saya nanti tidak diperhatiin lagi”.
Begitu juga yang diungkapkan oleh Yanuar Kristianto (VII A) pada
hari Rabu tanggal 7 April 2010 mengatakan bahwa ”Saya sebenarnya takut
bu kalau diajak minum tetapi teman-teman mengajak saya, jadi saya tidak
takut lagi, kan teman-teman minum semua, jadi saya juga harus minum”.
Rasa solidaritas dan saling memiliki yang kuat diantara siswa,
dapat menimbulkan pemilihan alternatif tindakan yang salah. Seperti kasus
tersebut, tindakan minuman keras siswa benar-benar hanya untuk
memberikan kepuasan terhadap temannya. Tindakan minum keras ini hanya
untuk meyakinkan teman-teman pergaulannya bahwa ia setia kawan,
sehingga teman-temannya akan percaya bahwa ia adalah teman sejati dalam
susah maupun senang.
Teman-teman yang biasa minum, ataupun memang di lingkungan
tersebut banyak orang mengkonsumsi minuman keras, menyebabkan siswa
tidak mampu membentengi diri untuk tidak terpengaruh. Apalagi dengan
mudahnya mereka mendapatkan minuman keras, seperti penuturan Evan
Asdianto (VIII A) pada hari Kamis tanggal 8 April 2010 yang mengatakan
bahwa:
Saya jarang sekali bu minum memakai uang saya sendiri, biasanya saya dibelikan, apabila dibelikan siapa yang tidak mau Bu, tetapi apabila sedang tidak ingin maka saya tidak minum, biasanya saya beralasan perut saya sakit atau Bapak saya di rumah, apabila sudah alasan seperti itu mereka sudah tidak bisa memaksa saya.
Seperi halnya dengan Bobby Setyawan (IX E) pada hari Kamis
tanggal 8 April 2010 yang mengatakan bahwa: ”Saya pertama kali minum
juga karena teman saya mengajak minum Bu, jadi saya mau diajak minum”.
Begitu juga dengan Dony Kurniawan (IX B) pada hari Rabu
tanggal 7 April 2010, yang mengatakan bahwa: ”Saya tadinya juga diajak
sama teman terus kemudian saya mencoba untuk minum”.
Anak yang merasa dirinya dapat bersikap dewasa menganggap arti
pergaulan dari segi materi saja. Mereka senang apabila ada teman yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
memperhatikan kebutuhannya, dalam hal ini kebutuhan materi saja, tetapi
mereka belum dapat menilai arti persahabatan yang sebenarnya ataupun
pergaulan yang bagaimana yang harus ia pertahankan. Lingkungan
pergaulan di mana siswa tinggal dapat mempengaruhi tingkah laku siswa
tersebut. Masyarakat memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan
pribadi anak atau siswa, apabila ia tinggal atau bergaul di suatu tempat, ia
akan mengikuti apa yang dilakukan oleh temen pergaulannya.
4) Faktor Sekolah
Faktor pendorong terbentuknya tindakan penyimpangan perilaku
minuman keras siswa, selain faktor keluarga dan lingkungan pergaulan
adalah lingkungan sekolah. Sekolah merupakan salah satu faktor dominan
dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku siswa. Sekolah merupakan
wadah kedua di mana anak mendapatkan pendidikan setelah keluarga.
Lingkungan sekolah dapat membentuk kepribadian individu menjadi lebih
baik atau menjadi lebih buruk. Pergaulan atau interaksi dengan teman
sekolah, pengajar atau staff sekolah akan menjadi dasar yang penting bagi
pembentukan tingkah laku anak. Walaupun sebenarnya sekolah menerapkan
aturan yang terlalu keras atau berdisiplin tinggi, hal tersebut demi kebaikan
siswa-siswa itu sendiri, tetapi karena masing-masing individu memiliki sifat
dan karakter sendiri-sendiri, maka timbul perasaan yang berbeda-beda pada
masing-masing siswa, ada yang menyadari bahwa peraturan tersebut
memang bermanfaat, tetapi ada juga yang merasa peraturan tersebut terlalu
ketat, sehingga membuat anak menjadi jenuh dan ingin keluar dari
kejenuhan tersebut, yaitu dengan mengkonsumsi minuman keras.
Seperti yang diungkapkan oleh Dedi Setiawan (VIII D) pada hari
Rabu tanggal 7 April 2010 mengatakan bahwa: ”Saya pusing Bu, malas
ingin pindah sekolah yang peraturannya tidak seketat SMP Negeri 14
Surakarta, di rumah tidak nyaman, terus di sekolah peraturannya ketat
sekali, jadi saya tertekan”.
Sekolah yang terlalu longgar peraturannya juga mempengarauhi
anak untuk bertindak menyimpang. Sekolah yang terlalu ketat dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
mempengaruhi siswa apalagi sekolah yang terlalu longgar dapat dengan
mudahnya untuk mempengaruhi anak. Terlebih lagi jika mereka bergaul
dengan teman-teman satu sekolah yang suka melakukan perbuatan-
perbuatan yang menyimpang, maka dengan mudah siswa tersebut untuk
beradaptasi, yaitu mengikuti perilaku teman-temannya. Selain pengetahuan
dan ilmu yang diberikan, sekolah juga mampu mendidik siswa untuk
berperilaku yang baik dan berbudi pekerti yang baik. Jadi pengetahuan dan
perilaku harus seimbang, jangan sampai siswa yang pandai dalam kognitif
tetapi budi pekertinya tidak baik. Sesuai dengan pendapat dari bapak
Sudarsono, S. Pd pada hari Jumat tanggal 14 Mei 2010 yang mengatakan
bahwa ”Pendidikan budi pekerti sangat penting diterapkan di sekolah,
karena nilai-nilai budi pekerti sangat diperlukan untuk perkembangan
perilaku siswa”.
Oleh karena itu siswa juga harus mendapatkan pendidikan di luar
pendidikan yang mengutamakan kognitif yaitu pendidikan budi pekerti.
Pendidikan budi pekerti sangat penting bagi perkembangan sikap siswa,
oleh karena itu efektif tidaknya pendidikan budi pekerti sangat
mempengaruhi perilaku siswa. Jumlah dan penanganan siswa yang
melakukan minuman keras di atas dapat di lihat pada lampiran no. 10.
Berdasarkan wawancara dengan informan yaitu siswa yang
melakukan minuman keras, dapat diketahui bahwa golongan atau jenis
minuman yang dikonsumsi oleh siswa tersebut yaitu:
a. Golongan A dengan kadar alkohol 1-5 % yaitu termasuk golongan
rendah seperti bir.
b. Golongan B dengan kadar alkohol 5-20 % yaitu termasuk golongan
sedang seperti anggur.
Siswa yang melakukan minuman keras mengkonsumsi dua
golongan diatas karena menurut mereka, golongan tersebut yang banyak
dijual di toko atau lebih mudah didapatkan, selain itu juga harga yang lebih
murah dibandingkan dengan golongan yang lainnya. Jadi mengkonsumsi
jenis minuman keras tergantung dari banyaknya uang yang siswa miliki.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Faktor-faktor penyimpangan perilaku minuman keras yang dialami
oleh siswa di atas dapat dibuat tabel, sebagai berikut:
Tabel 6. Faktor Pendorong Penyimpangan Perilaku Minuman Keras
No Faktor dari Dalam Individu (Instrinsik)
Faktor dari Luar Individu (Ekstrinsik)
1 Keinginan mencari kesenangan dan kepuasan
Penjualan minuman keras secara bebas
2 Dorongan untuk menumbuhkan rasa percaya diri
Faktor keluarga
3 Menghilangkan rasa frustasi Faktor pergaulan
4 Rasa ingin tahu yang tinggi Faktor sekolah
Setiap siswa didorong oleh faktor-faktor yang berbeda satu sama
lainnya, ada yang didorong oleh satu faktor dan ada juga yang lebih dari
satu faktor. Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa yang melakukan
minuman keras dapat diketahui jumlah faktor yang mendorong mereka
melakukannya, yaitu dengan melihat tabel jumlah faktor pendorong siswa
melakukan penyimpangan perilaku minuman keras sebagai berikut:
Tabel 7. Jumlah Faktor Pendorong Siswa Melakukan Penyimpangan Perilaku Minuman Keras
No Nama Siswa Kelas Faktor Pendorong Melakukan Minuman
Keras Jml
1 Yanuar Kristianto VII A Mencari kesenanangan dan kepuasan, pergaulan
2
2 Eksan Ari R. VII D Rasa frustasi 1 3 Evan Asdianto VIII A Penjualan secara bebas dan pergaulan 2 4 Adityo Nugroho VIII B Kesenanangan dan kepuasan 1 5 Dedi Setiawan VIII D Rasa Frustasi, keluarga dan sekolah 3 6 Yuli Setiawan IX A Rasa ingin tahu dan pergaulan 2 7 Dony Kurniawan IX B Rasa percaya diri dan pergaulan 2 8 Oscar Patria Dewa IX C Pergaulan 1 9 Novan Saputra IX D Rasa percaya diri 1
10 Bobby Setyawan IX E Keluarga dan pergaulan 2
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui jumlah faktor yang paling
banyak mendorong siswa melakukan minuman keras baik dari dalam
individu maupun dari luar individu, yaitu sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Tabel 8. Jumlah Faktor dari Dalam Individu (Instrinsik)
No Faktor dari dalam individu (Instrinsik) Jumlah
1 Keinginan mencari kesenangan dan kepuasan 2
2 Dorongan untuk menumbuhkan rasa percaya diri 2
3 Menghilangkan rasa frustasi 2
4 Rasa ingin tahu yang tinggi 1
Berdasarkan tabel di atas faktor instrinsik yang banyak dialami
siswa adalah keinginan mencari kesenangan dan kepuasan, menumbuhkan
rasa percaya diri serta menghilangkan rasa frustasi.
Tabel 9. Jumlah Faktor dari Luar Individu (Ekstrinsik)
No Faktor dari dalam individu (Ekstrinsik) Jumlah
1 Penjualan minuman keras secara bebas 1
2 Faktor keluarga 2
3 Faktor lingkungan pergaulan 6
4 Faktor sekolah 1
Berdasarkan tabel di atas faktor Ekstrinsik yang paling banyak
dialami siswa adalah faktor lingkungan pergaulan.
Berdasarkan dari data yang diperoleh peneliti di SMP Negeri 14
Surakarta, peneliti membuat catatan lapangan yang berguna mencatat hasil
wawancara. Setelah dilakukan pencatatan maka dilakukan validitas data
dengan menggunakan trianggulasi data, dari hasil olah validitas tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran pendidikan budi
pekerti belum sepenuhnya tercapai, yaitu walaupun di sekolah tersebut
sudah menerapkan pendidikan budi pekerti tetapi masih ada beberapa siswa
yang melakukan penyimpangan perilaku khususnya minuman keras. Hal
tersebut belum sepenuhnya tercapai karena adanya faktor yang mendorong
siswa melakukan minuman keras. Hasil wawancara dengan beberapa siswa
yang melakukan minuman, kemudian peneliti melakukan pengecekan
terhadap koordinator dan guru pendidikan budi pekerti dengan melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
wawancara tentang faktor pendorong siswa melakukan minuman keras.
Hasilnya adalah faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman
keras sebagai berikut:
a. Menurut koordinator kurikulum bahwa siswa melakukan minuman keras
itu didorong oleh faktor dari dalam dirinya sendiri dan faktor dari luar.
Faktor dari dalam dirinya sendiri diantaranya ingin mencoba-coba,
mengalami frustasi, dapat menumbuhkan percaya diri. Kemudian faktor
dari luar siswanya meliputi: kondisi keluarga yang kurang harmonis,
kurang kontrol dari keluarga, faktor pergaulan yang salah, pendidikan
budi pekertinya kurang dapat memberikan implementasi dan pemahaman
kepada siswanya.
b. Menurut guru pendidikan budi pekerti baik kelas VII, VIII dan kelas IX
bahwa faktor yang mendorong siswa melakukan minuman keras adalah
faktor dari dalam individu dan dari luar individu, faktor dari dalam
meliputi, siswa frustasi karena banyak masalah, ingin mencoba-coba.
Kemudian faktor dari luar meliputi karena adanya toko yang menjual
minuman keras yg mudah diketahui siswa, faktor keluarga, pergaulan
dan kurangnya waktu yang dibutuhkan dalam pendidikan budi pekerti.
2. Perbedaan Tingkat Penyimpangan Perilaku Minuman Keras
Sebelum dan Setelah SMP Negeri 14 Surakarta
Menerapkan Pendidikan Budi Pekerti
SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti
berdasarkan himbauan dari Dikpora pada tahun 2005. Pada tahun ajaran 2004/
2005, jumlah penyimpangan perilaku relatif lebih rendah dari tahun setelah
sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti jika ditinjau dari tingkat
penyimpangan perilaku minuman keras. Seperti pendapat dari bapak Sudarsono,
S. Pd pada hari Jumat tanggal 14 Mei 2010 mengatakan bahwa:
Seharusnya dengan adanya pendidikan budi pekerti, penyimpangan perilaku setiap tahunnya memang berkurang, tetapi tidak hanya faktor pendidikan budi pekerti saja yang mempengaruhi ada faktor lain yang mendorong siswa melakukannya sehingga masih ada siswa yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
melanggar, oleh karena itu penyimpangan perilaku bukan menurun tetapi dapat juga meningkat.
Siswa yang berbudi pekerti luhur merupakan siswa yang diharapkan
dengan adanya pendidikan budi pekerti di sekolah. Untuk menjadikan seorang
siswa memiliki budi pekerti luhur atau berakhlak mulia diperlukan pembelajaran
pendidikan budi pekerti terus menerus dan berkesinambungan di sekolah.
Pembelajaran akan berhasil hanya dengan usaha keras dan penuh kesabaran dari
para guru, selain itu harus didukung oleh peran serta dari orang tua murid dan
masyarakat. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan metode pembelajaran pendidikan
budi pekerti yang mampu dipahami siswa sehingga siswa melakukan perbuatan
sesuai dengan apa yang diberikan oleh guru, untuk dapat mengembangkan metode
pembelajaran yang efektif maka setiap guru harus memiliki pengetahuan yang
memadai berkenaan dengan konsep dan cara-cara mengimplementasikan metode-
metode tersebut dalam proses pembelajaran.
SMP Negeri 14 Surakarta sudah cukup lama menerapkan pendidikan
budi pekerti, namun demikian masih banyak dijumpai siswa yang berperilaku
negatif di sekolah salah satunya minuman keras yang dilakukan oleh 31 siswa
baik kelas VII, VIII, dan IX. Keberhasilan penerapan pendidikan budi pekerti
tersebut tergantung adanya kerjasama yang efektif di antara berbagai faktor di
sekolah, beberapa diantaranya adalah faktor guru, orang tua siswa, dan perangkat
pendidikan lainnya.
Perbedaan tahun ajaran antara 2004/2005 dengan 2009/2010 karena pada
tahun 2004/2005 merupakan tahun ajaran terakhir sebelum sekolah menerapkan
pendidikan budi pekerti, sedangkan tahun ajaran 2009/2010 karena tahun ajaran
tersebut paling banyak jumlah penyimpangan perilaku minuman keras. Adapun
jumlah seluruh siswa tahun 2004/2005 dan tahun 2009/2010 adalah sebagai
berikut:
a. Jumlah seluruh siswa pada tahun ajaran 2004/2005 adalah 681 siswa
diantaranya:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Tabel 10. Jumlah Seluruh Siswa SMP Negeri 14 Surakarta Tahun 2004/2005
Nomor Kelas Siswa
Jumlah Putera Puteri
1 I 106 113 219
2 II 116 117 233
3 III 106 123 229
Jumlah 328 353 681
b. Jumlah seluruh siswa pada tahun ajaran 2009/2010 adalah 646 siswa
diantaranya:
Tabel 11. Jumlah Seluruh Siswa SMP Negeri 14 Surakarta Tahun 2009/2010
Nomor Kelas Siswa
Jumlah Putera Puteri
1 VII 81 101 182
2 VIII 111 120 231
3 IX 113 120 233
Jumlah 305 341 646
Adapun perbedaannya dapat dilihat dari prosentase (%) banyaknya yang
melakukan minuman keras adalah sebagai berikut:
Tabel 12: Jumlah Siswa yang Melakukan Minuman keras dan Jumlah Siswa
NomorTahun
Ajaran
Jumlah Siswa yang Melakukan
Minuman Keras Jumlah Siswa
1 2004/ 2005 3 681
2 2009/ 2010 31 646
Data jumlah pelanggaran siswa yang melakukan penyimpangan perilaku
dapat dilihat pada lampiran no. 11.
Dimisalkan n adalah jumlah siswa yang melakukan penyimpangan
perilaku minuman keras dan N adalah jumlah keseluruhan siswa pada tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
ajaran itu. Cara menghitung prosentase (%) menurut Muhammmad Ali (1996:
194) adalah:
Jadi prosentase (%) siswa yang melakukan minuman keras sebelum
sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti pada tahun 2004/ 2005 adalah:
Sedangkan prosentase (%) siswa yang melakukan minuman keras setelah
sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti pada tahun 2009/ 2010 adalah:
Jadi dapat disimpulkan bahwa prosentase (%) siswa yang melakukan
penyimpangan perilaku minuman keras pada tahun ajaran 2009/2010 lebih besar
daripada tahun ajaran 2004/2005.
3. Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Ditinjau dari
Tingkat Penyimpangan Perilaku Siswa Tahun Ajaran
2009/2010 (Studi Kasus Minuman Keras
Di SMP Negeri 14 Surakarta)
Efektivitas pembelajaran merupakan pengukuran terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi setelah siswa mempelajari suatu bahan pelajaran dalam hal
ini mengenai keberhasilan belajar siswa.
Efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, dan adanya partisipasi aktif dari anggota... . Masalah efektivitas biasanya berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan... . Efektivitas dapat dijadikan barometer untuk mengukur keberhasilan pendidikan. (E. Mulyasa, 2005: 82-83).
Untuk mengukur efektivitas dapat menggunakan indikator efektivitas.
Adapun indikator efektivitas menurut E. Mulyasa (2005: 84-85) adalah “Indikator
input, indikator process, indikator output, dan indikator outcome”.
%.100×=N
nprosentase
%.44.0%1006813 =×
%80.4%10064631 =×
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Indikator input; indikator input ini meliputi karakteristik guru, fasilitas,
perlengkapan, dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen.
2) Indikator process; indikator proses meliputi perilaku administratif, alokasi
waktu guru, dan alokasi waktu peserta didik.
3) Indikator output; indikator dari output ini berupa hasil-hasil dalam bentuk
perolehan peserta didik dan dinamikanya sistem sekolah, hasil-hasil yang
berhubungan dengan prestasi belajar, dan hasil-hasil yang berhubungan
dengan perubahan sikap, serta hasil-hasil yang berhubungan dengan keadilan,
dan kesamaan.
4) Indikator outcome; indikator ini meliputi jumlah lulusan ke tingkat pendidikan
berikutnya, pretasi belajar di sekolah yang lebih tinggi dan pekerjaan, serta
pendapatan.
Berawal dari kajian di atas pembahasan mengenai Efektivitas
Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Ditinjau Dari Tingkat Penyimpangan
Perilaku Siswa Tahun Ajaran 2009/2010 khususnya minuman keras di SMP
Negeri 14 Surakarta akan dikaji.
Hasil wawancara dengan koordinator kurikulum SMP Negeri 14
Surakarta pada hari Jumat tanggal 14 Mei 2010 dengan Bapak Sudarsono, S. Pd
mengatakan bahwa “SMP Negeri 14 Surakarta mulai menerapkan pendidikan
budi pekerti pada tahun 2005, hal tersebut merupakan himbauan dari Dikpora kota
Surakarta, yang menyatakan bahwa seluruh SMP baik negeri maupun swasta
harus menerapkan pendidikan budi pekerti”.
Jadi dalam hal ini SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi
pekerti sesuai dengan perintah dari Dikpora yang pelaksanaanya sesuai dengan
kebijakan masing-masing sekolah guna mencapai tujuan dari diajarkannya
pendidikan budi pekerti. Efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti dapat
diukur dengan menggunakan indikator dari efektivitas, jadi efektif tidaknya
pendidikan budi pekerti tergantung dari tercapainya indikator efektivitas. Adapun
indikator efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti antara lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
a. Indikator Input
Indikator input ini mencakup:
1) Karakteristik Guru Pendidikan Budi Pekerti
Guru mempunyai peran yang sangat penting bagi dunia pendidikan,
bahkan dapat dikatakan bahwa guru merupakan tokoh sentral dalam
kemajuan dunia pendidikan, yang mana dalam kehidupan sehari-hari
seorang guru dihadapkan pada berbagai keadaan dimana dia harus bisa
untuk mengambil keputusan, bertindak, berperilaku serta bertutur sesuai
dengan peranan mereka sebagai seorang guru. Peran guru dalam
implementasi atau pelaksanaan pendidikan budi pekerti tidak mudah. Guru
dituntut menjadi figur: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani. Ungkapan ini, menurut Ki Hajar Dewantara diartikan
sebagi sikap pimpinan (guru) harus mampu memberi teladan, memberi
contoh, menjadi motivator, dalam penanaman budi pekerti kepada siswanya.
Guru juga harus mampu memberi motivasi kepada siswa untuk belajar
keras. Guru juga perlu untuk memberikan kepercayaan kepada siswanya
untuk mempelajari sesuatu sesuai minat dan kemampuannya. Guru harus
bertanggungjawab atas hasil kegiatan belajar siswa melalui interaksi belajar
mengajar. Guru merupakan faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya
proses belajar mengajar, dan karenanya guru harus menguasai prinsip-
prinsip belajar disamping menguasai materi yang akan diajarkan serta guru
harus mampu menciptakan situasi kondisi belajar yang sebaik-baiknya.
Berdasarkan himbauan dari Dikpora kota Surakarta, pada tahun
2005 seluruh SMP baik negeri maupun swasta harus menerapkan
pendidikan budi pekerti, adapun guru yang mengajarkan pendidikan budi
pekerti sesuai dengan kebijakan masing-masing sekolah. Di SMP Negeri 14
Surakarta, guru yang mengajar pendidikan budi pekerti adalah guru PKn,
hal tersebut sesuai dengan penuturan bapak Sudarsono, S. Pd pada hari
Jumat tanggal 14 Mei 2010 yang mengatakan bahwa ”Guru yang
mengajarkan pendidikan budi pekerti adalah guru PKn, jadi selain
mengajarkan PKn, mereka juga mengajarkan pendidikan budi pekerti,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
karena pendidikan budi pekerti identik dengan moralitas seseorang dan
sangat relevan dengan materi PKn”. Hal tersebut dapat dilihat pada lampiran
no. 12.
Pelaksanaan pembelajaran pendidikan budi pekerti terdapat
beberapa kendala, seperti yang disampaikan guru pendidikan budi pekerti
kelas VIII yaitu bapak Mastyasto, S. Pd pada hari Senin tanggal 10 Mei
2010 yakni, “ Adapun kendala dalam pembelajaran pendidikan budi pekerti
antara lain, terlalu minimnya referensi, alokasi waktu yang digunakan
sangatlah kurang, secara keseluruhan alokasi waktu kegiatan pembelajaran
pendidikan budi pekerti adalah 40 menit setiap minggunya”.
Menurut Medley dalam Soekartawi ( 1995: 38-39), menyebutkan
bahwa “Ada empat karakteristik dari mengajar yang efektif, diantaranya
adalah penampilan pengajar (penguasaan baha ajar), persiapan mengajar”.
Sesuai dengan pendapat tersebut, seorang guru harus menguasai materi
pendidikan budi pekerti dan mempunyai persiapan mengajar yaitu
menggunakan perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran tersebut
berupa silabus dan jurnal kegiatan. Setiap guru pendidikan budi pekerti,
memberikan materi sesuai dengan silabus pendidikan budi pekerti dari
Dikpora kota Surakarta, dan setelah pembelajaran selesai, guru diwajibkan
untuk mengisi jurnal kegiatan. Jadi guru pendidikan budi pekerti kelas VII
dapat membuat RPP beserta mengisi jurnal kegiatan setelah pembelajaran
selesai.
Ketua MGMP Pendidikan Budi Pekerti Titik Rumsari, S. Pd
mengatakan bahwa ”Agar seorang guru antusias dalam memberikan
pembelajaran pendidikan budi pekerti dan untuk mengukur pencapaian
siswa, seorang guru harus memberikan penilaian dan harus mengisi jurnal
kegiatan”. Berdasarkan dari data yang didapat peneliti, guru pendidikan
budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta kurang antusias dalam
pembelajaran pendidikan budi pekerti hal tersebut dapat dilihat dari guru
pendidikan budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta baik yang mengajar
kelas VIII dan kelas IX tidak mengisi jurnal kegiatan pendidikan budi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
pekerti, yang artinya guru kurang antusias terhadap perubahan perilaku
siswa setelah mereka mengajarkan pendidikan budi pekerti, sehingga
membuat tidak efektifnya dalam pembelajaran.
2) Materi Pembelajaran
Peran guru sebagai pengajar jelas sebagai fasilitator bagi siswanya
dalam menerima materi yang disampaikan, akan tetapi bukan hanya sekedar
pengajar tapi juga sebagai pendidik. Terkadang melihat banyak guru hanya
terlibat aktif pada perannya sebagai pengajar, sekedar menuntaskan tugas
kemudian selesai. jika hal ini terus tumbuh dan tidak disadari, maka siswa
ke depannya akan menjadi siswa yang hanya mementingkan kognitifnya
saja tanpa nilai-nilai budi pekerti dalam kehidupan. Jadi dalam hal ini peran
guru sebagi pendidik sekaligus sebagai pengajar harus tetap terjaga,
sehingga kemudian hari tidak akan ada siswa yang pandai dalam kognitif
tetapi juga baik budi pekertinya dengan lingkungan. Sebagai seorang guru
hendaknya tetap merefleksikan materi-materi pembelajaran yang terkait
dengan kondisi lingkungan, apalagi pendidikan budi pekerti yang harus
mengajarkan interaksi dengen lingkungan.
Materi Pembelajaran adalah materi yang digunakan untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran dikembangkan dengan
mengacu pada materi pokok yang ada dalam silabus. Proses belajar
mengajar ini guru menggunakan materi yang sesuai dengan silabus yang
digunakan. Adapun sumber buku ynag digunakan oleh guru pendidikan budi
pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta bersumber pada satu buku yaitu
Lembar Kerja Siswa (LKS). Sumber buku juga merupakan salah satu
kendala dalam pembelajaran pendidikan budi pekerti. Seperti pendapat dari
bapak Gatot Katmanto, S. Pd pada hari Jumat tanggal 14 Mei 2010
mengatakan bahwa “Saya hanya memakai satu buku untuk pendidikan budi
pekerti, itu pun buku yang diberikan dari Dikpora, saya kesulitan untuk
mencari buku yang sesuai dengan materi pendidikan budi pekerti”.
Materi yang diberikan oleh guru kepada peserta didik hanya berasal
dari satu sumber buku, sehingga hal itu merupakan salah satu kendala guru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
dalam memberikan materi kepada peserta didik dan peserta didik hanya
memperoleh materi dari satu buku. Kurangnya sumber buku yang
digunakan dalam pendidikan budi pekerti akan menjadikan pendidikan budi
pekerti kurang efektif.
3) Metode Pembelajaran
Metode dapat diartikan benar-benar sebagai metode, tetapi dapat
pula diartikan sebagai model atau pendekatan pembelajaran, yang tepat
untuk memperlancar kegiatan pembelajaran. Untuk melakukan kegiatan
belajar mengajar yaitu menyampaikan materi pembelajaran kepada peserta
didik diperlukan metode pembelajrana yang tepat. Penggunaan metode
pembelajaran disesuaikan dengan tujuan dan materi pelajaran yang akan
dikuasai oleh peserta didik. Pertimbangan utama yang digunakan untuk
menentukan metode pembelajaran adalah bahwa metode mengajar yang
akan digunakan harus dapat membantu kelancaran dan keefektifan kegiatan
belajar mengajar. Metode pembelajaran sangat banyak dan bervariasi
sehingga dalam menentukan metode mengajar yang akan digunakan, guru
pendidikan budi pekerti harus tetap memperhatikan pola pembelajaran.
Kegiatan belajar mengajar terbagi atas belajar mengajar di dalam
kelas dan di luar kelas. Kegiatan belajar mengajar di dalam kelas merupakan
program baku yang dirancang oleh guru pendidikan budi pekerti di kelas
sehingga terjadi interaksi belajar antara guru dan peserta didik. Kegiatan
belajar mengajar di dalam kelas lebih banyak bersifat teoritis saja sehingga
metode yang sering digunakan adalah metode ceramah dan diskusi.
Sedangkan kegiatan belajar mengajar di luar kelas merupakan suatu
kegiatan dalam rangka mengembangkan rasa kepedulian dan tanggung
jawab terhadap masyarakat, dengan kegiatan belajar mengajar di luar kelas,
maka peserta didik akan terdorong untuk mengenal lingkungan masyarakat
di sekitarnya. Selain itu kegiatan belajar mengajar di luar kelas dapat
dijadikan oleh peserta didik sebagai pembuktian antara teori-teori yang telah
didapatkan di kelas dengan kondisi atau fakta-fakta yang ada di masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Metode pembelajaran yang dapat digunakan pada waktu kegiatan belajar
mengajar di luar kelas adalah metode observasi/pengamatan.
Pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan nilai yang
membutuhkan keterampilan khusus untuk proses penanamannya, maka
dibutuhkan kompetensi pendidik untuk memilih model dan metode yang
tepat. Pemilihan metode dan model yang tepat serta memperhatikan tingkat
perkembangan siswa secara menyeluruh akan mempermudah proses
penanaman nilai dalam diri siswa. Selain metode yang cocok, menarik, tidak
membosankan, melibatkan seluruh siswa akan membuat anak tidak
menyadari bahwa dirinya sedang belajar untuk mencapai kematangan
pribadinya, melalui pencarian nilai-nilai hidup bersama dengan teman-
teman sebayanya dalam tuntutan pendamping guru.
Metode pembelajaran yang digunakan guru dalam pembelajaran
pendidikan budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta dalam hal ini kurang
bervariasi dengan minimnya sumber buku yang digunakan, selain itu guru
belum memberikan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari. Seperti
pendapat dari bapak Mastyasto, S. Pd bahwa “Saya hanya menggunakan
metode ceramah dan tanya jawab saja karena sangat dibatasi oleh waktu
yang sangat sedikit, oleh karena itu saya di dalam kelas saja karena
waktunya yang sangat sedikit, jadi apabila pembelajaran di lakukan di luar
kelas sangat sulit untuk diterapkan”
Pengetahuan siswa tentang materi yang diberikan dalam
pendidikan budi pekerti kurang dikatakan baik. Akan tetapi tujuan dari
pembelajaran dalam pendidikan budi pekerti tidak hanya mengacu pada
kecerdasan kognitif saja, melainkan harus diimbangi dengan kecerdasan
afektif dan psikomotorik, apalagi pendidikan budi pekerti lebih mengacu
kepada pembentukan dan pengembangan perilaku siswa.
Pendidikan budi pekerti merupakan spesifikasi pendidikan nilai di
sekolah. Oleh karena itu, pendidikan budi pekerti di sekolah harus mampu
melatih dan mengarahkan perkembangan siswa agar budi pekerti mereka
merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dikenal dan diyakininya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Pemanifestasian nilai dalam diri manusia membutuhkan proses yang
panjang dan terus-menerus. Demikian pula penanaman nilai dalam
pendidikan formal di sekolah haruslah terus menerus diberikan dan diulang-
ulang agar terinternalisasi dan dapat diwujudkan dalam tindakan nyata,
dalam budi pekerti yang konkret. Keberhasilan untuk menawarkan dan
menanamkan nilai-nilai hidup melalui pendidikan budi pekerti dipengaruhi
juga oleh cara penyampaiannya. Seperti pendapat dari bapak Gatot
Katmanto, S. Pd pada thari Jumat tanggal 14 Mei 2010 yang mengatakan
bahwa, “Saya hanya menggunakan metode ceramah saja karena waktu yang
sangat terbatas, dan terkadang memberikan tugas kepada siswa saja”.
b. Indikator Proses
Indikator proses mencakup alokasi waktu yang dibutuhkan seorang
guru dalam mengajarkan pendidikan budi pekerti kepada siswanya. Untuk
pendidikan budi pekerti alokasi waktu yang dipakai adalah kebijakan masing-
masing sekolah. SMP Negeri 14 Surakarta dalam mengajarkan pendidikan
budi pekerti, guru diberi waktu selama 1 jm pelajaran atau 40 menit. Hal
tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan salah satu guru pendidikan
budi pekerti, yaitu bapak Wardoyo pada hari rabu tanggal 12 Mei 2010,
mengungkapkan bahwa:
Saya sebenarnya kesulitan dalam memberikan materi pendidikan budi pekerti, karena hanya diberikan waktu 1 jam pelajaran yaitu 40 menit untuk satu kelas setiap minggunya, materi yang sangat banyak, dengan alokasi waktu yang sangat sedikit. Saya mengharapkan untuk tahun ajaran berikutnya ada penambahan jam, khususnya untuk pendidikan budi pekerti, karena apabila hanya 40 menit, siswa kurang mampu untuk memahami dan sangat dibatasi sekali oleh waktu yang sangat sedikit.
Waktu yang diberikan kepada guru pendidikan budi pekerti dirasa
masih kurang, apalagi pendidikan budi pekerti bukan hanya pemberian materi
tapi harus memberikan pemahaman kepada siswa agar mampu dimengerti dan
dipahami siswa sehingga, perilaku siswa sesuai dengan pendidikan budi
pekerti yang diajarkan di sekolah.
Selain materi yang diberikan, seorang guru pendidikan budi pekerti
juga harus bisa memberikan contoh-contoh kasus yang berada di lingkungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
sekitar. Kerjasama untuk mengatasi penyimpangan perilaku dengan guru BP,
wali kelas dan orang tua.tidak segan-segan selalu mengingatkan dan
memberikan motivasi untuk ke arah ynag lebih baik dalam rangka
meningkatkan kualitas peserta didik baik prestasi belajar maupun perilaku
siswa.
c. Indikator Output
Indikator output mencakup perubahan perilaku atau sikap siswa
setelah mereka menerima pelajaran dari gurunya. Belajar merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan
pribadi dan perilaku individu. Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar
memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula
perubahan dalam sikap atau perilakunya. berubah perilakunya karena
memiliki pengetahuan baru yang dihayatinya untuk diamalkan. Perubahan
perilaku akibat pengetahuan baru yang dihayatinya kemudian diamalkannya.
Posisi pendidikan nilai menjadi sangat vital dalam pembentukan pribadi
manusia, sebab manusia yang memiliki kecerdasan intelektual setinggi apapun
tidak akan bermanfaat secara positif bila tidak memiliki kecerdasan afektif
secara emosional, sosial, maupun spiritual.
Untuk menjadikan seorang anak didik memiliki budi pekerti luhur
atau berakhlak mulia diperlukan pendidikan yang mengajarkan budi pekerti
yang terus menerus dan berkesinambungan di sekolah. Pendidikan budi
pekerti hanya suatu pendidikan nilai yang diberikan kepada siswa untuk
membentuk dan mengembangkan unsur karakter atau watak yang
mengandung hati nurani sebagai kesadaran diri untuk berbuat kebajikan
dengan cara menanamkan nilai-nilai budi pekerti dalam diri siswa. Pendidikan
budi pekerti ini bukan pendidikan yang mengutamakan kognitif tetapi
merupakan pengembangan diri, jadi penilaian bukan berbentuk angka tetapi
perilaku pada masing-masing siswa. Hal tersebut dapat dilihat pada lampiran
no. 13. Untuk mewujudkan budi pekerti luhur pada diri anak didik tidaklah
mudah karena menyangkut kebiasaan hidup. Pendidikan budi pekerti dituntut
untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
nilai budi pekerti dalam keseluruhan dimensi pendidikan. Oleh karena itu,
diyakini bahwa pendidikan budi pekerti akan memberi kontribusi yang
bermakna terhadap pendewasaan anak usia sekolah dan pemuda yang harus
mampu menunjukkan dirinya bukan hanya cerdas secara rasional, tetapi juga
cerdas secara emosional, sosial, dan spiritual.
Pendidikan budi pekerti akan berhasil hanya dengan usaha keras dan
penuh kesabaran dari para guru, selain itu harus didukung oleh peran serta
dari orang tua murid dan masyarakat. Dalam mewujudkan budi pekerti luhur
terhadap para siswa di sekolah diperlukan upaya keras dari semua guru secara
bersama-sama, secara konsisten dan berkesinambungan dengan pendekatan
yang tepat. Budi pekerti adalah nilai-nilai hidup manusia yang sungguh-
sungguh dilaksanakan bukan karena sekedar kebiasaan, tetapi berdasar
pemahaman dan kesadaran diri untuk menjadi baik.
Untuk mengetahui apakah seorang anak didik telah berbudi pekerti
luhur dapat dinilai dari kecenderungan tingkah laku atau perilaku yang
ditunjukannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya sekolah yang
menerapkan pendidikan budi pekerti, dengan adanya pendidikan budi pekerti
diharapkan mencapai hasil yang semaksimal mungkin yaitu semua siswanya
memiliki budi pekerti yang baik dan tidak melakukan penyimpangan perilaku
tetapi di SMP Negeri 14 Surakarta, siswa yang melakukan penyimpangan
perilaku tidak sedikit. Meskipun di sekolah tersebut sudah menerapkan
pendidikan budi pekerti tetapi perilaku dari beberapa siswa tidak mengalami
perubahan ke arah yang lebih baik.
Sekolah tersebut sudah menerapkan pendidikan budi pekerti tetapi
masih ada yang melakukan penyimpangan perilaku, khususnya minuman
keras yang paling banyak dilakukan. Sebelum sekolah menerapkan
pendidikan budi pekerti yaitu pada tahun ajaran 2004/2005 penyimpangan
perilaku relatif sedikit tetapi setelah sekolah menerapkan pendidikan budi
pekerti, misalnya pada tahun ajaran 2009/2010, masih ada yang melakukan
penyimpangan perilaku, khususnya minuman keras yang paling banyak
dilakukan oleh siswa. Oleh karena itu, dengan adanya pendidikan budi pekerti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
perubahan perilaku siswa belum sepenuhnya mencapai hasil yang maksimal
karena masih ada beberapa siswa yang melakukan penyimpangan perilaku.
Sesuai dengan indikator dari efektivitas pembelajaran pendidikan budi
pekerti di atas, pendidikan budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta dapat
dikatakan belum efektif dan tingkat efektifnya masih rendah karena menurut
E. Mulyasa (2005: 82) berpendapat bahwa “Hasil yang semakin mendekati
tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan semakin tinggi tingkat
efektivitasnya”. Padahal di SMP Negeri 14 Surakarta tersebut dari indikator
input, proses dan output belum sesuai dengan yang diharapkan.
Hal ini juga dapat diperkuat dari hasil wawancara dengan koordinator
kurikulum, siswa yang melakukan minuman keras dan Ketua MGMP
pendidikan budi pekerti kota Surakarta, yaitu:
a. Menurut koordinator kurikulum bahwa buku yang digunakan dalam
pembelajaran pendidikan budi pekerti hanya satu yaitu dari Dikpora,
kurangnya waktu yang dibutuhkan, setiap minggu hanya satu jam yaitu 40
menit, pendidikan budi pekerti belum mencapai tujuan yang semaksimal
mungkin.
b. Menurut siswa bahwa buku yang digunakan hanya satu, metode yang
digunakan hanya ceramah dan penugasan, waktunya hanya 40 menit
setiap minggunya.
c. Menurut Ketua MGMP Pendidikan Budi Pekerti kota Surakarta bahwa
agar seorang guru antusias dalam memberikan pembelajaran pendidikan
budi pekerti dan untuk mengukur pencapaian siswa, seorang guru harus
memberikan penilaian dan harus mengisi jurnal kegiatan.
C. Temuan Studi
Berdasarkan data penelitian yang dipaparkan di atas, peneliti menemukan
beberapa temuan studi yaitu:
1. Faktor Pendorong Siswa Melakukan Minuman Keras
Setelah mengetahui hasil penelitian terhadap para responden, dapat
diketahui bahwa siswa melakukan minuman keras didorong oleh beberapa faktor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
yang dapat dikelompokan menjadi dua yaitu faktor dari dalam individu dan faktor
dari luar individu. Faktor pendorong siswa melakukan minuman keras antara lain
adalah faktor dari dalam individu meliputi keinginan minum-minuman keras
hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan, dorongan untuk menumbuhkan
rasa percaya diri, menghilangkan rasa frustasi, dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Sedangkan faktor pendorong siswa melakukan minuman keras dari luar individu
meliputi penjualan minuman keras secara bebas, faktor keluarga, faktor
lingkungan pergaulan dan faktor sekolah. Faktor pendorong siswa melakukan
minuman keras sesuai dengan teori belajar sosial dan tiruan dari Millers dan
Dollard yang menyatakan bahwa, ”Semua tingkah laku (termasuk tingkah laku
tiruan) didasari oleh dorongan” (Sarlito, 2008: 24). Perilaku siswa didasarkan
pada dorongan tertentu, siswa yang melakukan penyimpangan perilaku minuman
keras didorong oleh faktor-faktor tertentu yaitu faktor instrinsik dan ekstrinsik.
2. Perbedaan Tingkat Penyimpangan Perilaku Minuman Keras
Sebelum dan Setelah SMP Negeri 14 Surakarta
Menerapkan Pendidikan Budi Pekerti
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebelum sekolah menerapkan
pendidikan budi pekerti, tingkat penyimpangan perilaku siswa khususnya
minuman keras relatif lebih sedikit atau rendah dibandingkan dengan setelah
sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti relatif lebih banyak atau lebih tinggi
yang melakukan minuman keras. Indikator semakin rendah tingkat penyimpangan
perilaku minuman keras sebelum sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti
tersebut diketahui ketika 3 siswa (0.44 %) dari jumlah siswa pada tahun
2004/2005 681 siswa, melakukan minuman keras. Sedangkan Indikator semakin
banyak atau tinggi tingkat penyimpangan perilaku minuman keras setelah sekolah
menerapkan pendidikan budi pekerti tersebut diketahui ketika 31 siswa (4.8 %)
dari jumlah siswa pada tahun 2009/2010 646 siswa, melakukan minuman keras.
Hasil penelitian tersebut setelah disesuaikan dengan teori yang ada
ternyata sesuai dengan teori belajar sosial dan tiruan dari Millers dan Dollard.
Sebelum sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti, tingkat penyimpangan
perilaku lebih sedikit dibandingkan setelah sekolah menerapkan pendidikan budi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
pekerti pada tahun 2009/ 2010. Hal tersebut karena bukan hanya dipengaruhi oleh
ada tidaknya pendidikan budi pekerti tetapi juga dapat di dorong oleh faktor-
faktor dari dalam dan luar individu.
3. Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Ditinjau dari Tingkat
Penyimpangan Perilaku Minuman Keras Siswa Tahun Ajaran
2009/2010 di SMP Negeri 14 Surakarta
Efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti dapat diukur dengan
menggunakan indikator dari efektivitas. Adapun indikator efektivitas
pembelajaran pendidikan budi pekerti antara lain:
a. Indikator Input
Indikator Input ini mencakup:
1) Karakteristik Guru Pendidikan Budi Pekerti
Berdasarkan dari data yang didapat peneliti, guru Pendidikan budi
pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta kurang antusias dalam pembelajaran
pendidikan budi pekerti, hal tersebut dapat dilihat dari lampiran jurnal
kegiatan Pendidikan Budi Pekerti kelas VII, VIII dan kelas IX yang masih
kosong. Guru tidak mengisi jurnal kegiatan pendidikan budi pekerti, artinya
guru kurang antusias dalam pembelajaran.
2) Materi Pembelajaran
Materi yang diberikan oleh guru kepada peserta didik hanya berasal
dari satu sumber buku, sehingga hal itu menjadi salah satu kendala guru
dalam memberikan materi kepada peserta didik dan peserta didik hanya
memperoleh materi dari satu buku.
3) Metode Pembelajaran
Metode yang digunakan guru pendidikan budi pekerti hanya
metode ceramah dan hanya jawab. Hal tersebut disebabkan oleh alokasi
waktu yang dirasa oleh guru sangat kurang.
b. Indikator Proses
Indikator proses mencakup alokasi waktu yang dirasa oleh guru
pendidikan budi pekerti sangat kurang yaitu 40 menit setiap minggunya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
c. Indikator Output
Indikator output salah satunya mencakup perubahan perilaku atau
sikap sebagai hasil dari proses belajar dalam hal ini pembelajaran pendidikan
budi pekerti, yang pada kenyataannya belum mencapai tujuan yang maksimal,
hal ini terbukti dari banyaknya siswa yang melakukan penyimpangan perilaku
minuman keras.
Untuk mengukur efektivitas dapat menggunakan indikator efektifitas,
sesuai dengan teori Teori Rosenberg (Teori Affective-Cognitive Consistency)
yang menyatakan bahwa, “Komponen afektif akan selalu berhubungan dengan
komponen kognitif, dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten sampai
pada akhirnya perilakunya juga akan berubah” (Bimo Walgito, 2008: 137).
Komponen kognitif yaitu siswa memperoleh pendidikan budi pekerti, maka
dengan adanya pembelajaran pendidikan budi pekerti yang efektif, komponen
afektif pun akan berubah sehingga berubah pula perilakunya menjadi lebih
baik. Kurang efektifnya pendidikan budi pekerti sehingga masih ada
penyimpangan perilaku yang dilakukan siswa di SMP Negeri 14 Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan di lapangan dan analisis
yang telah dilakukan oleh peneliti maka dapat ditarik suatu kesimpulan guna
menjawab perumusan masalah. Adapun kesimpulan peneliti adalah sebagai
berikut :
1. SMP Negeri 14 Surakarta sudah menerapkan pendidikan budi pekerti tetapi
masih ada siswa yang melakukan penyimpangan perilaku minuman keras
sebanyak 31 siswa. Hal tersebut didorong oleh beberapa faktor yang dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu:
a. Faktor dari dalam individu meliputi keinginan mencari kesenangan dan
kepuasan, dorongan untuk menumbuhkan rasa percaya diri,
menghilangkan rasa frustasi, dan rasa ingin tahu yang tinggi.
b. Faktor dari luar individu meliputi penjualan minuman keras secara bebas,
faktor keluarga, faktor lingkungan pergaulan dan faktor sekolah.
2. Perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum dan
setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti adalah
sebagai berikut:
a. Sebelum sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti yaitu pada tahun
ajaran 2004/2005, tingkat penyimpangan perilaku siswa khususnya
minuman keras lebih rendah atau sedikit dengan prosentase 0, 44 %.
b. Setelah sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti yaitu pada tahun
ajaran 2009/2010, tingkat penyimpangan perilaku siswa khususnya
minuman keras lebih tinggi atau lebih banyak dengan prosentase 4, 8 %.
3. Efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti ditinjau dari tingkat
penyimpangan perilaku minuman keras di SMP Negeri 14 Surakarta tahun
ajaran 2009/2010 dapat dikatakan belum sepenuhnya efektif dan tingkatnya
masih rendah, hal ini dapat dilihat dari:
a. Indikator input meliputi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
1) Karakteristik guru pendidikan budi pekerti yang kurang antusias
dalam mengisi jurna kegiatan pendidikan budi pekerti setelah
pembelajaran.
2) Materi pembelajaran yang banyak serta tidak diimbangi dengan
sumber buku yang ada, guru hanya berpedoman dengan hanya satu
sumber buku saja.
3) Metode pembelajaran yang kurang bervariasi karena sangat dibatasi
oleh alokasi waktu dengan satu jam pelajaran atau 40 menit setiap
minggunya.
b. Indikator proses berupa alokasi waktu yang diberikan dari kebijakan
sekolah dalam pembelajaran pendidikan budi pekerti. Waktu yang
diberikan hanya satu jam pelajaran selama 40 menit. Berdasarkan
wawancara dengan guru pendidikan budi pekerti, alokasi waktu yang
diberikan terlalu sedikit sehingga guru merasa kesulitan untuk
menyampaikan nilai-nilai budi pekerti secara keseluruhan serta mencapai
hasil yang maksimal
c. Indikator output berupa hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap.
Adapun salah satu tujuan dari pembelajaran pendidikan budi pekerti
adalah siswa tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang serta
meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang
dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Tetapi dalam
kenyataannya banyak siswa yang melakukan penyimpangan perilaku
minuman keras sebanyak 31 siswa. Jadi dalam hal ini, tujuan dari
pembelajaran pendidikan budi pekerti belum mencapai hasil yang
semaksimal mungkin, artinya pembelajaran sudah dijalankan tetapi masih
ada siswa yang melakukan minuman keras. Hal tersebut dapat dikatakan
belum efektif karena hasil pembelajaran yang berhubungan dengan
perubahan sikap belum tercapai secara maksimal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan atas jawaban yang telah dirumuskan yang
berkaitan dengan efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti ditinjau dari
tingkat penyimpangan perilaku siswa tahun ajaran 2009/2010 (studi kasus
minuman keras di SMP Negeri 14 surakarta) sebagaimana dikemukakan di atas,
dapat menimbulkan implikasi sebagai berikut:
1. Setelah mengetahui faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan
penyimpangan perilaku minuman keras maka guru mata pelajaran pendidikan
budi pekerti dalam hal ini dapat mengatasi masalah-masalah yang ada
sehingga tujuan dari pembelajaran pendidikan budi pekerti dapat tercapai
secara maksimal. Untuk mencapai tujuan pendidikan budi pekerti secara
maksimal diperlukan adanya kerjasama dengan berbagai pihak, diantaranya
keluarga, masyarakat dan warga sekolah.
2. Perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum dan setelah
SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti sangat jauh,
hal ini dapat dilihat dengan prosentase jumlah siswa yang melakukan
minuman keras. Setelah sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti, tingkat
penyimpangan perilaku minuman keras semakin tinggi atau semakin banyak.
Tingginya penyimpangan perilaku minuman keras yang terjadi di SMP Negeri
14 Surakarta membuat pihak sekolah pada umumnya dan khususnya guru
pendidikan budi pekerti harus mampu mengatasi masalah tersebut serta
mampu menerapkan pembelajaran yang lebih efektif dalam rangka
meningkatkan kualitas peserta didik.
3. Pembelajaran pendidikan budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta dapat
dikatakan belum sepenuhnya efektif. Setelah mengetahui hal tersebut maka
guru mata pelajaran pendidikan budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta
berusaha dan memperdalam mengenai metode pembelajaran yang lebih efektif
agar mampu mencapai tujuan pembelajaran yang semaksimal mungkin sesuai
dengan harapan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, maka
peneliti dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi Sekolah
a. Diharapkan perlu mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak,
diantaranya keluarga, masyarakat dan warga sekolah dalam mengatasi
penyimpangan perilaku minuman keras.
b. Memberikan penyuluhan tentang bahaya minuman keras kepada seuluruh
siswa.
2. Bagi Siswa
a. Siswa diharapkan lebih selektif dalam pergaulan dan protektif terhadap
pengaruh-pengaruh negatif yang datang dari luar
b. Siswa diharapkan lebih terbuka terhadap orang tua, terlebih jika memiliki
masalah atau problem yang tidak bisa dipecahkan sendiri.
c. Siswa hendaknya lebih berpikiran positif akan sesuatu hal dan mengambil
jalan keluar dengan akal sehat.
d. Siswa hendaknya lebih memperhatikan dan memahami guru dalam
kegiatan pembelajaran khususnya pendidikan budi pekerti.
3. Bagi Guru Pendidikan Budi Pekerti
a. Pembelajaran diharapkan lebih bervariasi dan tidak membosankan dengan
memberikan contoh-contoh yang ada di masyarakat sekitar.
b. Pembelajaran hendaknya tidak di ruang kelas saja melainkan di luar kelas
misalkan mendatangi tempat-tempat guna memperlancar pendidikan budi
pekerti.
c. Guru diharapkan mampu menjadi contoh teladan yang baik bagi siswanya