Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
83
Journal of Politics and Policy Volume 1, Number 2, Juni 2019
Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan:
Disparitas Yang Kian Melebar
Rama Mahesaa, Kurniawan Sabarb
aPusat Kajian Daerah Setjen DPD RI, Jakarta, Indonesia
bDepartemen Riset dan Publikasi, Institute For National and Democracy Studies, Jakarta,
Indonesia
[email protected], [email protected]
Abstract
This study aims to examine the implementation of wage system in Indonesia based on
Law No. 13/2003 and Government Regulation No. 78/2015 on labor conditions in
Jabodetabek. The urgency of this study with regard to wage conditions in Indonesia that
are still visible lags tend to widen the gap between workers and employers. It’s a policy
study by collecting secondary data and then analyzed into a conclusion and a
recommendation. Descriptive qualitative study method used data collection techniques
such as: documentation of literature study, discussion and grouping of research object
data. The results of the study indicate that the new formula in determining the minimum
wage and annual wage increase in Indonesia has been implemented based on PP no. 78
years 2015 which is based on inflation rate and economic growth. The new formula of
minimum wage determination is opposed by the workers on the basis of not
accommodating the fulfillment of life-worth needs and narrowing the rights of workers in
democracy demanding a decent wage increase. Entrepreneurs view PP Wage has not
accommodate the condition of UMKM in the implementation of minimum wage that
requires the structure of wages and wage scale (SUSU). The Regional Representative
Council of the Republic of Indonesia (DPD RI), which is preparing the Wage System Bill,
needs field data and facts related to the current wage condition. The important
recommendations that can be considered by the DPD RI in the preparation of the Wage
System Bill is the refinement of the legislative materials related to the evaluation of the
components of Decent Living Needs (KHL) once in five years, the establishment of
policies on the implementation of SUSU for UMKM and strengthening the supervisory
function in the field of manpower especially in the regions
Key words: Employment, Wages, Labor,Regulations,DPD RI
84
Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk menelaah implemetasi sistem pengupahan di Indonesia
berdasarkan UU No 13/2003 dan PP No 78/2015 terhadap kondisi buruh di Jabodetabek.
Urgensi kajian ini kaitannya dengan kondisi pengupahan di Indonesia yang masih terlihat
timpang cenderung melebarnya gap antara buruh dan pengusaha. Kajian ini bersifat
kajian kebijakan (policy research) dengan menghimpun data sekunder kemudian di
analisis menjadi sebuah kesimpulan dan rekomendasi. Metode studi kualitatif deskriptif
digunakan teknik pengumpulan data antara lain: dokumentasi studi literatur, diskusi dan
pengelompokan data objek penelitian. Hasil kajian menunjukkan bahwa formula baru
dalam penentuan upah minimum dan kenaikan upah tahunan di Indonesia telah
diterapkan berdasarkan PP No. 78 tahun 2015 yang didasarkan pada tingkat inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Formula baru penetapan upah minimum ditentang buruh dengan
dasar tidak mengakomodir pemenuhan kebutuhan layak hidup dan mempersempit hak
buruh dalam berdemokrasi menuntut kenaikan upah layak. Pengusaha memandang PP
Pengupahan belum mengakomodir kondisi pengusaha UMKM dalam penerapan upah
minimum yang mewajibkan adanya struktur upah dan skala upah (SUSU). Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang tengah menyusun RUU Sistem
Pengupahan memerlukan data dan fakta lapangan terkait kondisi pengupahan saat ini.
Rekomendasi penting yang dapat dipertimbangkan oleh DPD RI dalam penyusunan RUU
Sistem Pengupahan adalah penyempurnaan materi Perundang-Undangan terkait evaluasi
komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) lima tahun sekali, pembuatan kebijakan
pentahapan penerapan SUSU bagi pengusaha UMKM dan memperkuat fungsi
pengawasan di bidang ketenagakerjaan terutama di daerah.
Kata kunci:ketenagakerjaan, upah, buruh, peraturan, DPD RI
PENDAHULUAN
Polemik sistem pengupahan di Indonesia menjadi sebuah problematika
tersendiri. Persoalan yang bersinggungan dengan pengupahan tidak hanya menjadi
kepentingan bagi kaum buruh namun juga beririsan dengan kepentingan
pengusaha sebagai pihak pemberi kerja dan pemerintah sebagai regulator.
Pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja dalam bentuk uang yang tidak hanya
mencakup komponen pokok, namun juga meliputi uang lembur, honorarium,
tunjangan, dan sebagainya seharusnya menjadi pedoman baik bagi pengusaha
maupun buruh dalam memaknai upah sebagai balas jasa pekerjaan.
Silih berganti kebijakan dan berbagai penyesuaian yang dilakukan oleh
pemerintah pada kenyataanya belum dapat menjembatani tuntutan dari buruh dan
keinginan pengusaha. Hal ini dikarenakan benturan kepentingan antara kelompok
pengusaha dengan buruh yang belum juga dapat diselesaikan secara maksimal
oleh pemerintah. Pasca reformasi, pemerintah telah mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang disusul dengan
Permenaker No. 17 Tahun 2005 Tentang Komponen Kebutuhan Hidup Layak
untuk Pekerja Lajang.
Kedua kebijakan tersebut dinilai belum mampu menjamin peningkatan
kesejahteraan buruh dan disisi pihak pengusaha menganggap peraturan tersebut
belum memberikan kepastian usaha dan iklim investasi yang kondusif. Perspektif
pekerja yang diwakili oleh Serikat Pekerja/ Serikat Buruh (SP/SB) menganggap
85
kebijakan tersebut menetapkan upah minimum bersandar pada Kebutuhan Hidup
Layak (KHL) buruh lajang. Kebijakan tersebut menyebabkan penetapan upah
minimum tidak pernah sesuai dengan KHL. Sebagai contoh, pada tahun 2010,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP)
sebesar Rp 1.290.000, sementara hasil survei KHL dari Dewan Pengupahan DKI
sebesar Rp 1.404.829.
Dalam dua tahun terakhir, persoalan pengupahan semakin mengemuka
seiring dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah berupa PP Nomor 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan. Peraturan tersebut merupakan hasil dari implementasi
Paket Kebijakan Ekonomi jilid IV dari pemerintah yang memuat berbagai
kebijakan ketenagakerjaan dan investasi. Alih-alih ingin memperbaiki iklim
investasi di Indonesia melalui PP No. 78 Tahun 2015, pemerintah justru dinilai
telah membuat perbedaan opini antara pengusaha dan pekerja semakin melebar
dan bagi pekerja peraturan ini dianggap memperburuk sistem pengupahan
sekaligus nasib dari buruh di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan ketetapan dalam
peraturan tersebut yang dinilai tidak menguntungkan buruh dan lebih
menguntungkan pengusaha meskipun pemerintah berdalih bahwa peraturan
pengupahan ini adalah sebuah jalan tengah mempertemukan kepentingan
pengusaha dan buruh sebagai win-win solution terbaik untuk saat ini. Sampai saat
ini dunia industri di Indonesia berpegang pada UU No.3 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan PP No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan sebagai kiblat
dalam merumuskan kebijakan-kebijakan implementasi ditingkat lapangan terkait
peraturan ketengakerjaan dan pengupahan.
Persepsi berbeda pemberlakuan PP No.78 Tahun 2015 disuarakan oleh
pihak pengusaha dan buruh dengan memberikan argumen masing-masing sesuai
kepentingan yang dibawa atas isi materi peraturan tersebut. Seperti halnya pada
PP No. 78 Tahun 2015 Pasal 43 ayat 5 yang menyatakan bahwa untuk peninjauan
komponen hidup layak dilakukan setiap lima tahun sekali. Hal ini dirasa akan
merugikan, karena komponen hidup layak merupakan dasar utama untuk
menetapkan upah.
Lebih jauh lagi, dalam menetapkan upah tahunan pemerintah menyandarkan
pada angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, terdapat perbedaan
pandangan antara pemerintah dengan kelompok buruh. Pemerintah memandang
formulasi upah ini akan lebih melindungi kenaikan upah buruh dan memberikan
kepastian bagi pengusaha. Sementara itu, kelompok buruh menilai formulasi
tersebut justru akan menjadikan kenaikan upah tahunan akan berada pada
prosentase yang rendah. Dalam dua tahun implementasinya, kalangan buruh
menilai PP No. 78 Tahun 2015 menunjukan inkonsistensinya dalam menaikan
upah. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2016 kenaikan Upah Minimum Provinsi
sebesar 11,5%. Sementara itu, pada tahun 2017 Kementerian Ketenagakerjaan
menetapkan prosentase kenaikan Upah Minimum Provinsi hanya menyentuh
angka 8,25%. Hal ini berimbas pada semakin lebarnya level defisit upah dengan
86
tingkat kebutuhan hidup minimum. Kondisi tersebut terjadi secara nasional,
termasuk di wilayah-wilayah industri Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan
Bekasi (Jabodetabek).
Kondisi diatas berupa gambaran bagaimana situasi dilematis mengiringi
pemberlakuan PP. Pengupahan ini. Dilema buruh menerima aturan formulasi
pengupahan dengan kepastian kenaikan upah dengan persentase rendah dan
dilema pengusaha menyangkut keraguan dalam interpretasi beberapa pasal dalam
PP. Pengupahan tersebut. Permasalahan pengupahan yang terjadi diberbagai
daerah dan menyangkut kepentingan nasional membuat Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menginisiasi penyusunan Rancangan
Undang-Undang Sistem Pengupahan Nasional.
Dengan demikian, kajian ini akan menelaah lebih dalam tentang kebijakan
pengupahan, dalam hal ini PP No. 78 Tahun 2015 dengan batasan objek penelitian
di kantong-kantong industri di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
(Jabodetabek) karena dianggap sebagai barometer sistem pengupahan nasional.
Identifikasi masalah yang perlu analisis mendalam dari peraturan pemerintahan ini
terkait pemberlakuan formulasi upah minimum yang berdasar pada tingkat inflasi
dan pertumbuhan ekonomi nasional, penetapan KHL yang ditinjau setiap 5 tahun
sekali dan sikap dari kalangan buruh serta pengusaha terhadap pemberlakukan PP
No. 78 Tahun 2015.
Kajian ini berusaha menjawab pertanyaan mengenai dampak
diberlakukannya peraturan pengupahan terhadap buruh dan pengusaha di wilayah
Jabodetabek tanpa berpihak kepada salah satu pihak dengan tujuan untuk
menggambarkan skema dan implementasi sistem pengupahan yang dijalankan
atas dasar UU No. 13 Tahun 2003 dan PP No. 78 Tahun 2015 di wilayah
Jabodetabek.
Teori yang mengkontruksi kajian ini berawal dari pertentangan kamu
borjuis dan proletaar di populerkan Karl Marx yang menyebut adanya subordinat
golongan dalam kelas masyarakat yang akan selalu menimbulkan perlawanan satu
sama lain. Soejatmoko (1980) mengatakan bahwa golongan masyarakat miskin
terpenjarakan oleh struktur-struktur sosial eksploitatif yang membuat masyarakat
miskin (buruh) akan selalu tergantung dan tidak berdaya. Poin struktur sosial
eksploitatif berkaitan dan dipengaruhi oleh aturan yang berlaku termasuk di
dalamnya regulasi pemerintah.
METODE
Kajian ini bersifat kajian kebijakan (policy research) yang dirancang untuk
memahami satu atau lebih aspek yang berhubungan dengan proses kebijakan
sosial, termasuk pembuatan keputusan (decision making), formulasi kebijakan,
implementasi kebijakan, termasuk tahapan dari proses kebijakan (sebelum dan
sesudah pembentukan kebijakan) yang dilakukan dengan metode studi kualitatif
deskriptif.
87
Kajian literatur dengan menghimpun data sekunder hasil publikasi instansi/
organisasi yang diambil dari berbagai sumber secara open access disertai literatur
para ahli dan dokumen perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan dan
pengupahan yang ada di Indonesia untuk kemudian menganalisa menjadi sebuah
kesimpulan dan rekomendasi tindak lanjut. Literatur dan dokumen yang dimaksud
dapat berupa: Buku, jurnal, dokumen laporan, Peraturan Perundang-undangan,
artikel, berita media, siaran pers, naskah akademik, kertas kebijakan, dan literatur
lainnya yang berhubungan dengan fokus kajian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Dilema Aturan Pengupahan Buruh di Indonesia
Secara nasional, pemerintah telah mengeluarkan regulasi pengupahan
berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebagai payung hukum ketenagakerjaan dan pengupahan. Selain
menegaskan definisi upah, UU ini berisi 11(sebelas) pasal yang secara spesifik
mengatur tentang pengupahan (Pasal 88 hingga pasal 98). Seluruh regulasi dan
kebijakan pengupahan di Indonesia didasarkan pada UU No.13/2003.
Berdasar pada UU No.13/2003, pemerintah Indonesia beberapa kali telah
memberlakukan sejumlah regulasi secara nasional sebagai pedoman dalam
penetapan upah di Indonesia, yakni (a) Peraturan Menteri Tenaga Kerja
(Permenakertrans) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak; (b) Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pembatasan Upah Minimum; (c) Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 7 Tahun 2013 tentang
Upah Minimum; (d) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kepmenakertrans) Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak.
Regulasi yang dikeluarkan pemerintah berupaya untuk memutakhirkan
aturan pengupahan menyesuaikan perubahan kondisi ekonomi setiap waktunya.
Terlihat pemerintah berusaha menjembatani paradoks antara pengusaha dan buruh
melalui penyesuaian regulasi tersebut, melengkapi kekosongan regulasi dan
mengakomodir aspirasi para pihak. Seperti contoh regulasi upah minimum
diakomodir pada Permenakertrans No. 7 Tahun 2013.
Regulasi terbaru terkait pengupahan dan ketenagakerjaan yang dikeluarkan
pemerintah pada Oktober 2015 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan). Selain sebagai regulasi turunan dari
UU No.13 tahun 2003, penerbitan regulasi ini merupakan upaya pemerintah untuk
memberikan kepastian hukum tentang pengupahan dalam rangka perbaikan iklim
investasi dan kondisi pekerja di Indonesia sebagaimana tujuan dari Paket
Kebijakan Ekonomi (PKE) jilid IV yang diterbitkan pemerintah pada tahun 2015.
Ada beberapa pasal dan ayat krusial dalam PP Pengupahan tersebut yang
berpotensi menimbulkan polemik baik dikalangan pengusaha maupun pekerja/
buruh.
88
Definisi upah dalam PP. No. 78/2013 sepenuhnya mengintegrasikan definisi
upah sebagaimana diatur dalam UU. No. 13/2003. Namun, PP ini menempatkan
upah sebagai salah satu item penghasilan (upah dan pendapatan non upah) yang
menjadi hak seorang buruh. PP. No. 78/2015 Pasal 4 ayat 1, penghasilan adalah
jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaanya sehingga
mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.
Hal ini sejalan dengan penjelasan UU No.13/2003 pasal 88.
Persoalan pengupahan menjadi persoalan krusial di Indonesia, khususnya
persoalan penetapan upah minimum dan kenaikan upah tiap tahunnya. PP
Pengupahan mengatur formulasi baru untuk penetapan upah minimum yang
berlaku baik di tingkat provinsi, kotam dan kabupaten. Gubernur dapat
menetapkan upah di tingkat kabupaten/kota dengan memperhatikan rekomendasi,
masukan dan saran dari Bupati/Walikota setempat. Berdasarkan PP No.78/2015
pasal 44 ayat 1, upah minimum didasarkan kepada kebutuhan Hidup Layak
(KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, pasal 44 ayat 2, kenaikan upah buruh setiap tahunnya akan
dihitung berdasarkan formula upah minumun tahun berjalan ditambah dengan
hasil perkalian upah minumum tahun berjalan dikalikan inflasi nasional dari
periode September tahun lalu sampai dengan September tahun berjalan
ditambahkan dengan pertumbuhan produk domestik bruto, yang dirumuskan
sebagai berikut:
UMn = UMt + (UMt x (Inflasi + Δ % PDBt)
Berdasarkan PP No.78/2015 Pasal 43 ayat 5, peninjauan komponen
kebutuhan hidup layak dilakukan setiap lima tahun sekali. Penetapan KHL hanya
menjadi kewenangan Menteri Tenaga Kerja dengan mempertimbangkan hasil
kajian Dewan Pengupahan Nasional berdasarkan data dan informasi dari lembaga
yang berwenang di bidang statistik. Hal ini berbeda dengan skema sebelumnya
dalam penetapan kebutuhan hidup layak. Berdasarkan Permenakertrans No. 13
tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan
Hidup Layak, survei KHL dilakukan oleh Dewan Pengupahan secara periodik
setiap bulan. Hasil survei tersebut akan digunakan sebagai acuan penetapan upah
minimum tahun berikutnya. Bagi buruh, ini adalah masalah krusial karena harga
kebutuhan pokok mengalami perubahan sangat cepat dan terus meningkat tiap
tahun, sedangkan peninjauan komponen KHL yang mestinya menjadi dasar
perhitungan upah minimum dan kenaikan upah hanya dilakukan setiap 5 (lima)
tahun. Dengan demikian, kenaikan upah tiap tahunnya tidak lagi
mempertimbangkan komponen dan pencapaian KHL berdasarkan penghitungan
KHL secara periodik. Selain itu, posisi buruh melalui serikat kerjanya semakin
sulit dalam penetapan upah minimum dan kenaikan upah atau dapat dikatakan
89
nyaris tak dilibatkan. UU. 13/2003 Pasal 90 ayat 1, menerapkan larangan bagi
pengusaha untuk membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
Ada celah bagi pengusaha untuk tetap memberikan upah lebih rendah di
bawah upah minimum dengan menggunakan bunyi materi Pasal 90 ayat 2 dimana
penangguhan upah dapat dilakukan oleh pengusaha jika tidak mampu membayar
upah minimum. Penerapan regulasi ini dinilai tidak adil bagi penghidupan buruh,
karena hanya memberikan keringanan bagi pengusaha untuk menunda pemenuhan
upah minimum, sedangkan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi oleh buruh terus
meningkat dan tidak dapat ditunda.
Disisi lain, pengusaha masih memiliki keleluasaan dalam menerapkan
politik upah murah melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian
kerja bersama. Polemik tersebut seakan tidak dilihat pemerintah yang tetap
menerapkan formulasi pengupahan untuk menghitung besaran UMP tahun 2016.
Provinsi yang telah menerapkan kebijakan ini pada tahun pertama
pemberlakuannya adalah Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Sumatera
Barat, Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan
Nusa Tenggara Barat. Sedangkan provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan
Tengah, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo dan Sulawesi Barat belum
menerapkan karena penetapan UMP daerah bersangkutan telah ditetapkan oleh
Gubernur sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan
dimaksud (data apkindo 2015).
Disparitas upah antar provinsi akibat pemberlakuan PP Pengupahan sudah
dapat diprediksi, mengingat keterikatan pada satu formula yang sama. Disparitas
upah adalah refleksi dari kekuatan termasuk proses pemilahan individu dan
perusahaan dengan karakteristik yang berbeda dan juga berpotensi terhadap
ekternalitas aglomerasi yang mempengaruhi produkitivitas individu sebagai
fungsi dari karakeristik daerah dimana mereka bekerja (Groot,et.all., 2011). Ada
tiga sumber utama dari perbedaan upah regional yaitu 1) komposisi pasar tenaga
kerja, 2) kualitas SDM daerah tersebut, 3) Pola persaingan kedekatan perusahaan
dengan perusahaan lain, ke produsen atau ke distributor.\
Dilema pemberlakuan PP Pengupahan karena adanya perbedaan
kepentingan yang belum menemui titik temu antara pengusaha dan buruh yang
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: Irisan Perbedaan Kepentingan
90
Pihak buruh menuntut jaminan pekerjaan dengan penghasilan yang layak
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan jaminan sosial seperti pendidikan,
transportasi, kesehatan, resistensi terhadap inflasi pangan dan pemenuhan
kebutuhan gaya hidup. Pengusaha pun mengharapkan jaminan iklim investasi
yang kondusif seperti kepastian keamanan, kepastian hukum dan jaminan
kepastian usaha. Irisan dua kepentingan yang berbeda tersebut berupa
produktivitas, kesejahteraan dan keberlanjutan usaha yang seharusnya menjadi
wilayah kepentingan bersama antara buruh dan pengusaha untuk berusaha
mewujudkannya. Jika irisan kepentingan itu dapat disepakati bersama maka
kepentingan buruh dan pengusaha dapat terpenuhi bersamaan.
B. Kondisi Pengupahan Di Jabodetabek
Pemerintah mengklaim pemberlakukan PP No. 78 tahun 2015 ini untuk
melindungi kepentingan semua pihak dimana pengusaha akan mendapat kepastian
iklim investasi dan buruh akan mendapat jaminan kenaikan upah tiap tahunnya.
Lebih jauh lagi, buruh akan memperoleh upah dan pendapatan non-upah, upah
buruh pasti akan naik setiap tahun, pendapatan non-upah bisa dalam bentuk
Tunjangan Hari Raya (THR), bonus perusahaan, uang pengganti fasilitas kerja
dan uang servis pada usaha tertentu. Melalui peraturan ini diharapkan akan terjadi
stabilitas iklim industri yang kondusif.
Kalangan buruh menilai pemberlakuan PP No. 78/ 2015 ini telah
memberikan legalitas bagi pengusaha untuk menerapkan politik upah murah yang
jauh dari nilai standar KHL yang menjadi acuan buruh dalam menuntut upah
layak. Buruh tetap berpedoman pada 60 item kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi pengusaha dalam upah yang diberikan (GSBI, 2015).
Kalangan pengusaha menilai peraturan pengupahan ini akan memberatkan
pengusaha mikro dan menengah yang belum memiliki struktur dan skala upah
yang tersistematis (Psl. 23 PP.78/2015). Karenanya perlu waktu pentahapan
penetapan upah yang awalnya bersifat wilayah privat menjadi wilayah publik
yang kompleks. Kalangan pengusaha menyoroti lemahnya tingkat produktivitas
tenaga kerja Indonesia dibanding negara Asia Tenggara lainnya namun
berbanding terbalik dengan peningkatan upah yang kian tinggi tiap tahunnya
melebihi peningkatan upah tenaga kerja di negara Asia Tenggara Lainnya.
Tabel 1: Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Antar Negara Asia
91
Tabel 2: Grafik Perbandingan Peningkatan Upah Minimum Beberapa
Negara Asia
(Sumber : Apindo, 2015)
Produktivitas tenaga kerja Indonesia yang masih tertinggal dibanding
Malaysia, Thailand bahkan Filipina terlihat kontras dengan perkembangan upah
yang diterima pekerja Indonesia. Tahun 2013 posisi upah pekerja Indonesia sudah
berada di atas negara Malaysia, Thailand, Filipinda dan bahkan Vietnam. Ini
berarti ada kesenjangan antara upah yang diterima buruh dengan hasil
produktivitas kerja mereka.
Kesenjangan tersebut coba direduksi dengan pemberlakuan PP Pengupahan,
untuk gambaran kondisi di ibu kota Jakarta, Gubernur DKI Jakarta menerbitkan
Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 230 Tahun 2015 tentang Upah Minimum
Provinsi (UMP) Tahun 2016 sebesar Rp3.100.000,00 per bulan. Pada tahun 2017,
Gubernur DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 227 Tahun 2017
tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2017 sebesar Rp3.355.750,00 per bulan.
Selain penetapan nominal upah minimum provinsi, Pergub tersebut juga mengatur
tentang penangguhan pembayaran upah. Perusahaan yang tidak mampu
melaksanakan ketentuan UMP dapat mengajukan penangguhan secara tertulis
kepada Gubernur.
Di Provinsi Banten, yang merupakan salah satu wilayah yang memiliki
kawasan industri cukup besar juga memberlakukan kebijakan penetapan upah.
Keputusan Gubernur Banten Nomor 561/Kep.474-Huk/2015 tentang Penetapan
Upah Minimum Provinsi Tahun 2016 sebesar Rp1.784.000,00 Keputusan
Gubernur Banten No. 561/Kep.539-Huk/2016 tentang Penetapan Upah Minimum
Provinsi Tahun 2017 sebesar Rp1.931.180,00. Keputusan Gubernur Banten juga
menetapkan besaran upah minimum kabupaten/kota. Berikut adalah data upah
minimum kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat dan Banten tahun 2016 dan
2017:
92
Dari data UMK pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa penetapan upah
minimum tahun 2017 telah sepenuhnya mengimplementasikan formula penetapan
upah minimum berdasarkan PP Pengupahan. Hal ini belum sesuai dengan harapan
buruh untuk mendapatkan upah layak. Dengan melihat perbandingan UMK tahun
2016 dengan tahun 2017, rata-rata kenaikan upah diJabodetabek tahun 2017 tidak
mencapai 10 persen. Hal ini sesuai dengan persentasi kenaikan upah yang telah
ditetapkan pemerintah melalui penjumlahan angka inflasi dan pertumbuhan
ekonomi untuk tahun 2017 yakni 8,25 persen. Persentasi inilah yang dijadikan
dasar kenaikan upah tahun 2017 dan penetapan jumlah UMP.
Kondisi tersebut dapat diprediksi sebelumnya. Pada tahun 2015, hasil survei
KHL yang dilakukan oleh Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) dibeberapa
kota/kabupaten menunjukkan bahwa kenaikan upah untuk tahun 2016 diprediksi
berkisar 25 hingga 30 persen dari upah minimum tahun 2015. Jika kenaikan upah
tahun 2016 didasarkan pada formulasi dalam PP No. 78/2015, maka dapat
diprediksi bahwa rata-rata kenaikan upah hanya berkisar 10 persen. Hal ini
dikarenakan penetapan kenaikan upah dan penetapan upah minimum tidak lagi
didasarkan pada pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL), tetapi cukup dengan
penjumlahan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Untuk tahun 2017,
kenaikan upah dan penetapan upah minimum juga dapat ditentukan sebelumnya
dengan menggunakan formula yang sama.Contoh Perhitungan Kenaikan Upah
untuk Tahun 2017 sebagai berikut : Pada tahun 2016, asumsi pertumbuhan
ekonomi 2017 adalah 5,18%, dan tingkat inflasi nasional adalah 3,07%. Dengan
menggunakan formulasi dalam PP Pengupahan, maka persentasi kenaikan upah
untuk tahun 2017 adalah 3,07% + 5,18% = 8,25%. Perhitungan jumlah kenaikan
upah = Upah Minimum tahun berjalan (UMt) x 8,25%.
Formulasi penetapan upah minimum tersebut dalam proses penyusunannya
kurang melibatkan pihak buruh dan pengusaha selaku pemangku kepentingan.
Sejalan itu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No.8 Tahun
2005 tentang LKS Tripartit mengamanatkan Presiden untuk membentuk LKS
Tripartit Nasional. Lembaga itu harus dilibatkan dalam membentuk peraturan
terkait ketenagakerjaan. Namun proses pembahasan PP Pengupahan di LKS
Tripnas tidak terjadi. Bahkan kalangan peneliti mengaku kesulitan mengakses
RPP Pengupahan. (Kelompok Kajian Ketenagakerjaan LIPI, 2015). Tidak
93
mengherankan bila keinginan buruh untuk memasukan daftar KHL dalam
komponen pengupahan dan hasrat pengusaha untuk dapat menekan upah tidak
dapat menemui titik temu.
C. Dampak Penerapan PP. No. 78 Tahun 2015 Terhadap Buruh,
Pemerintah dan Pengusaha
Dari data dan kondisi pengupahan di Jabodetabek sangat jelas terlihat bahwa
penerapan PP No.78/2015 memiliki peran ganda. Pertama, menekan upah buruh
serendah-rendahnya dengan formula yang dapat diprediksi bahwa kenaikan upah
tahunan hanya berkisar 10 persen bahkan lebih rendah. Kedua, secara sistematis
melemahkan tuntutan buruh dan perjuangannya untuk perbaikan upah. Hal ini
dikarenakan kenaikan upah telah ditentukan melalui formulasi yang ditetapkan
oleh Menteri Tenaga Kerja dengan pertimbangan Dewan Pengupahan Nasional
dimana keterlibatan buruh dalam penetapan kenaikan upah dapat dikatakan nyaris
tak dilibatkan.
Dengan demikian, penerapan PP Pengupahan memberikan dampak
signifikan secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kondisi buruh di
Jabodetabek dari segi ekonomi dan politik. Tahun 2015, hasil survei Gabungan
Serikat Buruh Indonesia (GSBI) di Kota Tangerang dan Bekasi menemukan
bahwa perhitungan kebutuhan hidup minimum buruh lajang mencapai
Rp3.780.000,00. Buruh mengalami defisit upah sebesar Rp. 1 juta karena upah
buruh saat itu hanya Rp2.780.000,00. Perhitungan kebutuhan untuk 1 keluarga
buruh dengan anak 2 telah mencapai Rp8.000.000,00. Hasil studi ini juga
menunjukkan bahwa lebih dari 60% dari total upah yang diterima oleh buruh
digunakan untuk memenuhi konsumsi kebutuhan pokoknya.
Dari kondisi tersebut, penerapan PP Pengupahan menyebabkan buruh
semakin sulit memenuhi kebutuhan pokoknya, baik secara individu maupun
keluarga. Kualitas hidup buruh akan terus merosot karena daya beli akan semakin
rendah dan harus memilih pemenuhan kebutuhan pada barang-barang ataupun jasa
dengan kualitas rendah. Kondisi ini akan menimbulkan dampak lanjutan karena
semakin sulit memenuhi kebutuhan diluar dari kebutuhan pokok baik kebutuhan
sosial, pendidikan, kebudayaan, dan kebutuhan sekunder atau tersier lainnya.
Formula PP Pengupahan secara tidak langsung telah membatasi kenaikan
upah buruh dibawah 10 persen per tahun. Persentasi kenaikan upah ini tidak akan
bisa mengatasi level defisit upah buruh. Bahkan, di tahun 2017 dimana kenaikan
upah hanya 8,25 persen, sehingga level defisit upah buruh justru semakin lebar.
Meskipun angka inflasi dalam perhitungan kenaikan upah berkorelasi dengan
kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, tetapi kenaikan harga kebutuhan pokok
justru jauh melampaui angka inflasi.
Penerapan PP Pengupahan juga memberikan dampak pada aspek politik
demokratisasi ketenagakerjaan. Proses penentuan kenaikan upah dengan formulasi
yang telah ditetapkan akan menutup ruang dan kesempatan bagi buruh dalam
94
penentuan upah. Keterlibatan buruh dalam penentuan upah melalui perudingan
yang adil, protes dan aksi-aksi bahkan mogok kerja menuntut perbaikan upah
menjadi semakin sulit.
Berdasarkan PP No. 78/2015 pasal 24 ayat 4, pengurus serikat buruh yang
akan menjalankan tugas serikat harus mendapatkan persetujuan dari pengusaha
dan dibuktikan secara tertulis. Pengalaman yang sering terjadi, buruh disebut
mangkir, jika tetap beraktifitas untuk serikat buruhnya namun tidak mendapatkan
persetujuan dari perusahaan. Pemotongan upah, Surat Peringatan (SP), bahkan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak adalah deretan konsekuensi
bagi buruh. Hal ini secara langsung membatasi dan mengekang kebebasan
berserikat bagi buruh sebagai hak politiknya. Regulasi ini bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-
UndangNomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Pengusaha terkena dampak penerapan peraturan pengupahan yang baru
seperti terjadinya kenaikan biaya tenaga kerja (labor cost) yang akan berimplikasi
pada strategi menekan biaya tenaga kerja melalui pengurangan bertahap tenaga
kerja digantikan mesin dan bila sangat krusial melakukan pemindahan lokasi
produksi ke daerah yang memiliki upah lebih rendah atau bisa saja terjadi
pemindahan investasi ke negara tetangga dengan biaya upah murah. Dalam PP
Pengupahan Pasal 23 dijelaskan mengenai kewajiban pengusaha untuk melakukan
peninjauan upah secara berkala menyesuaikan angka kebutuhan hidup. Namun
jenis pengusaha apa belum dijelaskan penggolongannya sebagaimana jenis
pengusaha dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM).
Bagi pengusaha besar penyusunan struktur dan skala upah memang sudah
dipraktekkan tetapi akan menjadi tantangan bagi sebagian perusahaan skala kecil,
menengah dan mikro dengan modal antara 50 juta sampai 10 miliar yang tidak
memiliki struktur dan skala upah yang sistematis dengan jumlah sekitar 300.000
(kemenaker, 2015) perusahan sulit jika harus mengimplemetasikan serentak dalam
waktu 2 tahun sejak terbitnya PP Pengupahan. Penyusunan struktur dan skala
upah tersebut merupakan wilayah privat sehingga mewajibkannya untuk menjadi
wilayah publik akan membutuhkan pengkondisian dan pentahapan. Pengkondisian
diperlukan terkait kondisi ketenagakerjaan dan perekonomian secara umum yang
belum siap untuk membuat transparansi pada tingkat tersebut.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi teknis pengaturan
struktur upah dan skala upah (SUSU) dalam Permenaker No. 1 Tahun 2017
namun tidak mengatur penggolongan perusahaan, tidak melihat besar-kecil skala
usaha dan berlaku baik untuk perseorangan, persekutuan atau badan hukum. Hal
ini menjadi pertanyaan bagi pengusaha UMKM dengan manajemen seadanya dan
tenaga kerja informal tanpa struktur organisasi yang jelas.
Skema SUSU sederhana mewajibkan adanya klasifikasi jabatan, golongan
jabatan, upah terkecil dan terbesar dalam penyusunan SUSU. Hal ini sulit bagi
95
UMKM yang mempekerjakan buruh berdasarkan hasil produksi (dibayar
berdasarkan banyaknya barang/ jasa yang mereka hasilkan). Sanksi yang menanti
akibat belum menerapkan SUSU membuat kalangan UMKM merasa terbebani
regulasi tersebut.
D. Pandangan Pengusaha dan Buruh Atas Penerapan PP. No. 78 Tahun
2015
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memiliki pandangan sendiri dengan
diberlakukannya PP.78/2015 tentang Pengupahan yang berdampingan dengan UU
No. 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa regulasi tentang ketenagakerjaan
dan pengupahan yang ada saat ini diakui tidak ideal (karena banyak kelemahan)
namun yang terbaik (saat ini). Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa kalangan
pengusahapun seakan belum dapat menerima regulasi ini dengan sepenuh hati
dengan alasan banyak kelemahan dalam regulasi tersebut yang merugikan iklim
usaha dan investasi, namun disisi lain mereka menilai regulasi tersebut adalah
yang terbaik untuk saat ini dengan berbagai pertimbangan dan kondisi yang ada.
Kalangan pengusaha menganggap materi dalam regulasi PP Pengupahan tersebut
multi tafsir dan berpotensi terjadinya double bahkan multi paid yang dibayarkan
pengusaha kepada pekerja/ buruh yang disinyalir oleh mereka ada pada pasal 4,
pasal 6, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12. Perbedaan kepentingan terkait
“penghasilan yang layak” antara pengusaha dan buruh selalu tidak menemukan
kata sepakat.
Pengusaha memahami permintaan kenaikan upah yang terjadi tiap tahun
karena meningkatnya angka kebutuhan hidup, namun hal itu harus pula diimbangi
dengan kenaikan tingkat produktivitas buruh. Keputusan pemerintah dalam
menetapkan upah minimum disinyalir menjadi komoditas politik serta mendapat
dukungan politik yang berlebih. Pengusaha memiliki pandangan untuk dilakukan
perbaikan mekanisme penentuan upah minimum dengan menambahkan parameter
produktivitas pekerja dan tingkat pengangguran serta penentuan upah minimum
sebagai jaring pengaman (safety net) ditentukan oleh lembaga independen
kredibel dan tersentralisir tidak lagi ditentukan oleh kepala daerah. Poin
peningkatan kesejahteraan bukan hanya menjadi tanggungajwab pengusaha
namun juga pemerintah harus berperan didalamnya.
Disparitas antara buruh dan pengusaha dalam hal besaran nilai upah tidak
berubah, tetap ada dan cenderung semakin menjauh. Setiap tindakan yang
bermotif ekonomi, semua pihak yang terlibat di dalam aktivitas tersebut, akan
selalu berusaha untuk memaksimalkan manfaat sesuai dengan kepentingan
masing-masing demikian halnya pengusaha dan buruh. Konflik-konflik yang
terjadi didalam masyarakat, terutama disebabkan oleh kelas-kelas yang berbeda
seperti halnya dalam masyarakat kapitalis, sebenarnya terbagi atas dua kelompok
besar yang saling berhadapan secara langsung, yaitu kelas borjuis dan kelas
proletar. Kaum proletar menurut Marx yang selalu sadar akan posisinya yang
96
tertekan akan berusaha berjuang memikirkan untuk perbaikan nasibnya. Kaum
proletar akan berusaha untuk bersatu memperjuangkan kelasnya melawan kaum
borjuis. Soejatmoko (1980) mengatakan bahwa golongan masyarakat miskin
terpenjarakan oleh struktur-struktur sosial eksploitatif yang membuat masyarakat
miskin (buruh) akan selalu tergantung dan tidak berdaya.
Posisi pemerintah menjadi sentral dalam mengakomodir kebutuhan buruh
dan menakar kemampuan pengusaha. Buruh tetap berpegang dengan besaran
angka KHL yang perlu di review tiap tahun sekali dan menolak formulasi
pengupahan berdasarkan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi karena
dianggap tidak dapat memenuhi standar hidup layak, sedangkan pengusaha
menilai aturan pengupahan menggunakan skema struktur dan skala upah belum
dapat diterapkan terutama bagi perusahaan UMKM yang belum tersistematis
dalam organisasinya.
E. Pentahapan Struktur dan Skala Upah Bagi Pengusaha Mikro, Kecil
dan Menengah
Struktur upah dan skala upah (SUSU) dibentuk guna membentuk sistem
pengupahan menjadi berbasis kinerja dan prestasi. Untuk memastikan pekerja
yang sudah bekerja di atas setahun mendapat upah di atas upah minimum,
mendorong pekerja untuk lebih produktif karena reward tercantum dalam skala
upah, lebih memudahkan dalam proses negosiasi kenaikan upah. Memudahkan
proses penegakkan hukum bila ada pelanggaran terhadap upah. Pengusaha
memiliki waktu 2 tahun sejak PP Pengupahan diberlakukan untuk membentuk
struktur dan skala upah bila tidak akan ada sanksi yang menanti.
Bagi pengusaha UMKM yang belum memiliki skala pengupahan dalam
manajemen tentu menjadi tugas yang tidak mudah, apalagi permenaker yang
mengakomodir sesuai PP 78/2015 hal ini tidak secara jelas memposisikan
keberadaan pengusaha UMKM.
Melihat skala usaha dan banyaknya jumlah jabatan serta jenis tingkatan
manajemen, sebaiknya untuk skala upah buruh perusahaan UMKM dibuat lebih
sederhana dibanding perusahaan besar. Minimalnya, struktur dan skala upah di
perusahaan UMKM memuat beberapa parameter yaitu: a) golongan, b) jabatan, c)
masa kerja, d) pendidikan, dan e) kompetensi serta f) batasan upah terbesar dan
terkecil tiap parameternya.
Perlu diatur pula waktu penerapan stuktur dan skala upah bagi pengusaha
mikro dan menengah tidak disamakan dengan perusahaan besar mengingat
kondisi perusahaan dan kesiapan komponen pendukung lainya di internal
perusahaan. Perlu adanya pentahapan mulai dari sosialisasi regulasi oleh
pemerintah, sosialisasi internal di perusahaan, pelatihan penyusunan SUSU bagi
pengusaha UMKM dan penjadwalan terukur pendaftaran SUSU.
Skema pentahapan bisa dilihat dalamgambar berikut:
97
Gambar 2: Skema Pentahapan SUSU.
Proses pentahapan pemberlakuan SUSU bagi UMKM dilakukan bertahap
selama dua tahun sejak tahun 2017. Batas awal pemberlakuan SUSU adalah bulan
Oktober 2017, namun karena kondisi dilapangan tidak memungkinkan sebaiknya
pemerintah merevisi aturan dalam PP No. 78 Tahun 2015 dengan menambah
waktu pemberlakuan SUSU bagi UMKM sampai 2019 dengan pentahapan dibagi
menjadi tiga (3) periode yaitu : 1) periode pendaftaran UMKM teregistrasi (2017),
2) pendampingan pemerintah di internal perusahaan (2018) dan 3) implementasi
SUSU (2019).
Periode pertama perlu pendaftaran ulang UMKM dilakukan karena masih
banyak yang belum terdaftar dan terdata oleh pemerintah, sehingga bila aturan ini
ingin berjalan baik perlu adanya pendataan ulang yang terintegrasi dan tergistrasi
dengan baik. Kemudian pemerintah melakukan penggolongan data UMKM
berdasarkan jenisnya (mikro, kecil atau menengah) untuk kemudian memberikan
pelatihan kepada UMKM sesuai jenisnya menggunakan modul template SUSU
sehingga memudahkan pengusaha UMKM untuk menerapkan sesuai kondisi
internal perusahaan.
Pengusaha UMKM membuat draft SUSU berdasarkan template untuk
disosialisasikan kepada buruh dengan pendampingan berkelanjutan dari
pemerintah sepanjang tahun 2018. Bila telah terjadi kondisi ideal di internal
perusahaan, implementasi SUSU di ujicoba bersamaan waktunya
dengan pendaftaran SUSU ke pemerintah. Kondisi ini diharapkan sudah dapat
dicapai sampai akhir tahun 2019.
PENUTUP
Penerapan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan
yang memberlakukan formula baru penentuan upah minimum dan kenaikan upah
98
tahunan di Indonesia berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi
menimbulkan kondisi dilematis dikalangan buruh dan pengusaha.
Di wilayah Jabodetabek, upah minimum tahun 2017 hanya mengalami
kenaikan rata-rata 8,25 persen. Data dan kondisi pengupahan di Jabodetabek
menunjukkan dua hal penting terkait penerapan PP Pengupahan. Pertama,
menekan upah buruh serendah-rendahnya dengan formula yang dapat diprediksi
bahwa kenaikan upah tahunan hanya berkisar 10 persen bahkan lebih rendah.
Kedua, secara sistematis melemahkan tuntutan buruh dan perjuangannya untuk
perbaikan upah karena kenaikan upah telah ditentukan melalui formulasi.
Paradok regulasi UU No. 3/ 2003 dengan PP No. 78/ 2015 terlihat dalam
penetapan upah minimum. UU Ketenagakerjaan Pasal 90 (1) jelas melarang
pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Dalam PP No.78/
2015 ada mekanisme penangguhan pembayaran kenaikan upah minimum
sehingga seringkali menjadi alasan bagi pengusaha melalui berbagai saluran
aturan dan atau perjanjian kerja.
Dalam aspek ekonomi, penerapan PP Pengupahan menyebabkan buruh di
Jabodetabek akan semakin sulit memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan
lainnya karena kenaikan upah tidak bisa menutupi defisit upah buruh selama ini.
Secara politik, formula yang telah ditetapkan akan menutup ruang dan kesempatan
bagi buruh dalam penentuan upah. PP Pengupahan juga membatasi kebebasan
aktivitas berserikat bagi buruh.
Perlu ruang dan waktu yang lebih serta pendampingan berkelanjutan dari
pemerintah kepada pengusaha UMKM untuk menerapkan proses struktur upah
dan skala upah yang diwajibkan dalam PP Pengupahan.Kebijakan evaluasi KHL
setiap 5 tahun sekali dipandang terlalu lama dan tidak bisa mengakomodasi
kenaikan biaya hidup buruh tiap tahunnya. Jalan tengah setiap 2 atau 3 tahun
sekali dievaluasi dengan mempertimbangkan siklus ekonomi dan politik
Indonesia.
Mendorong pemerintah untuk merevisi aturan tenggang waktu penerapan
SUSU. Agar ada pembeda bagi pelaku UMKM tidak sama dengan pengusaha
besar dan memberikan waktu serta ruang yang lebih longgar untuk
menerapkannya dengan pendampingan berkesinambungan dari pemerintah. Untuk
minimalisir gap kepentingan pengusaha dan buruh, proses komunikasi tripartit
perlu ditingkatkan dalam setiap proses penyusunan regulasi. Selain itu perlu
dilakukan penguatan fungsi pengawasan di bidang ketenagakerjaan terutama di
daerah sebagai representatif keberadaan DPD RI.
DAFTAR PUSTAKA
APINDO. (2015). Memahami PP NO.78/2015 dari sudut pandang
pengusaha.Jakarta: APINDO
99
Dahana, Bambang. Dkk (2016). Dari mana Pakaianmu Berasal?: Upah dan
Kondisi Kerja
Buruh Industri Garmen, Tekstil dan Sepatu di Indonesia. Bogor: LIPS dan TAB.
L.J, Moleong (1995). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Remadja
Rosdakarya.
Simanjuntak, Payaman J. (1996). Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Soejatmoko (1980). Dimensi Manusia Dalam Pembangunan. Jakarta: LP3S
Sukirno, Sadono. (2005). Pengantar Mikro Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Dokumen. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dokumen. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Dokumen. Permenaker No.1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah.
https://fspmi.or.id/adanya-upah-murah-di-indonesia-inilah-penyebabnya.html.
Diakses 13 September 2017.
http://www.infogsbi.org/2011/12/beberapa-masalah-dalam-permenaker-17.html.
Diakses 13 September 2017.
http://majalahsedane.org/kebijakan-pengupahan-masalah-dan-beberapa-pilihan/.
Diakses 14 September 2017.
http://bisnis.liputan6.com/read/2649470/daftar-lengkap-kenaikan-ump-2017-di-
34-provinsi. Diakses 30 Juli 2017.
https://m.tempo.co/read/news/2015/10/27/058713554/upah-minimum-tahun-
depan-naik-11-5-persen . Diakses Juli 2017.
100
--------------------------