117

e-ISSN 2477-0051

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: e-ISSN 2477-0051
Page 2: e-ISSN 2477-0051

iDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN Journal of Plantation Based IndustryVol. 14 No. 1 Juni 2019

Penanggung Jawab:Drs. Abd Rachman Supu, MM.Kepala Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Manajer Jurnal:Muh. Mukhlis Afriyanto, ST, M.Si.

Melia Ariyanti,S.TP, M.SI. Dewan Editor:Editor:

Alfrida Lullung S, M.Si.Editor Bagian:

Dr.Ratri Retno Utami, STP, MT.Dr.Asma Assa,ST, M.SI.

Copy EditorMedan Yumas. S.PIJamilah, ST, MT Andi Nur Amalia, STP, M.Si.

Layout Editor:Rahmad Wahyudi, ST.Dwi Indriana,ST

Proof Reader:Rahayu Wulandari,STDrs.Natsir P LatengDyah Wuri Asriati, ST.Wahyuni Daming,ST, MT

Reviewer :Ir. Rosniati (Tek. Hasil Pertanian)Ir. Sitti Ramlah, M.Si. (Tek. Hasil Pertanian, Agribisnis)Ir. Justus Elisa Loppies (Tek. Hasil Pertanian)Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jur. Teknologi Pertanian Fak. Pertanian UNHAS)Dr. Paulina Taba, M.Phil (Kimia UNHAS)Prof. DR. Nunuk Hariani Soekamto (Kimia Bahan Alam UNHAS)Danar Praseptiangga, S.TP, M.Sc. PhD. ( Ilmu Pangan dan Bioteknologi, Universitas Sebelas Maret (UNS), Arifin Dwi Saputro, S.TP, M.Sc. PhD. (Sains Terapan, Universitas Gadjah Mada)Rita Istikowati, ST, MT. (Teknik Industri, Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil Surakarta)Dr. Maherawati Maherawati, S.TP, MP. (Ilmu Pangan, Universitas Tanjungpura Pontianak)

Penerbit : Balai Besar Industri Hasil PerkebunanBadan Penelitian dan Pengembangan IndustriKementerian Perindustrian R.I.Alamat Redaksi : Jalan Prof. Dr. Abdurrahman Basalamah No. 28, Kotak Pos 1148Telp. (0411) 441207, Faks. (0411) 441135Makassar 90231e-mail : [email protected]

Akreditasi LIPI : Nomor : 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016, tanggal 24 Maret 2016

Jurnal Industri Hasil Perkebunan merupakan jurnal Ilmiah berkala yang memuat karya tulis hasil penelitian, pengembangan, dan pemikiran/ulasan ilmiah dibidang ilmu/bidang aplikasi rekayasa (teknik) dan teknologi industri hasil perkebunan. Terbit pertama kali pada tahun 2006 dengan frekuensi terbit setiap semester atau pada bulan Juni dan Desember. Lingkup permasalahan mencakup bahan baku, proses, mesin, peralatan, produk termasuk produk turunan, limbah, dan hasil samping. Bahasa penulisan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

Page 3: e-ISSN 2477-0051

iiiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJournal of Plantation Based IndustryVol. 14 No. 1, Juni 2019

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

PENGANTAR REDAKSI

Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Jurnal Industri Hasil Perkebunan Volume 14 No. 1 Juni 2019 dapat diterbitkan. Edisi kesatu pada volume ini menyajikan sembilan artikel hasil seleksi Tim Review.

Kesembilan artikel tersebut masing-masing adalah: (1). Aplikasi Tepung Kelapa dalam Produk Roti Manis, (2). Formulasi Minuman Emulsi Vco Menggunakan Variasi Emulsifier (Gum Arab, Tween 80) dan Air, (3). Pengaruh Lama Fermentasi dan Pengepresan Berulang Terhadap Mutu Kakao Bubuk, (4). Kajian Penggunaan Hidrokoloid Sebagai Emulsifier pada Proses Pengolahan Cokelat, (5). Pengaruh Suhu Pemanasan pada Ekstrak Teh (C. Sinensis Linn.) Jenis Teh Putih Terhadap Stabilitas Sifat Antioksidatifnya, (6). Produksi Asap Cair dari Kayu Karet dengan Berbagai Waktu Pirolisis dan Aplikasinya sebagai Koagulan Lateks, (7). Karakterisasi Arang Cangkang Kelapa Sawit sebagai Bahan Pembantu untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah Berdasarkan Kromatografi Gc–Ms, (8). Pengaruh Daya Gelombang Mikro Terhadap Rendemen, Mutu dan Komponen Biodiesel dari Biji Kemiri yang Diproses secara Transesterifikasi In Situ, dan (9). Analisis Kebijakan Rencana Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Selatan (Komoditas Kakao, Kopi Dan Markisa).

Kepada para penulis yang telah mengirimkan artikelnya kami ucapkan terima kasih. Semoga hasil-hasil penelitian tersebut dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan industri nasional, khususnya industri hasil perkebunan dan dapat memperkaya khasanah iptek sebagai bagian dari wujud pengabdian kita kepada Tuhan, bangsa dan negara.

Akhirnya kepada para sejawat peneliti, perekayasa, dan dosen baik dari dalam lingkungan maupun dari luar lingkungan Kementerian Perindustrian kami undang untuk mengirimkan artikel karya tulis ilmiahnya untuk dimuat pada Jurnal IHP.

Makassar, Juni 2019

Editor / Ketua Dewan Redaksi

i

Page 4: e-ISSN 2477-0051

ivDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJournal of Plantation Based IndustryVol. 14 No. 1, Juni 2019

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

UCAPAN TERIMA KASIH

Jurnal Industri Hasil Perkebunan p-ISSN 1979 – 0023 dan e-ISSN 2477-0051 menyampaikan terima kasih kepada para Reviewer yang telah menelaah (mereview) artikel-artikel pada penerbitan Vol. 14 No. 1 Juni 2019. Terimakasih disampaikan kepada Ir. Rosniati (Tek. Hasil Pertanian), Ir. Sitti Ramlah, M.Si. (Tek. Hasil Pertanian, Agribisnis), Ir. Justus Elisa Loppies (Tek. Hasil Pertanian), Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jur. Teknologi Pertanian Fak. Pertanian UNHAS), Dr. Paulina Taba, M.Phil (Kimia UNHAS), Prof. DR. Nunuk Hariani Soekamto (Kimia Bahan Alam UNHAS), Danar Praseptiangga, S.TP, M.Sc. PhD. (Ilmu Pangan dan Bioteknologi, Universitas Sebelas Maret (UNS), Arifin Dwi Saputro, S.TP, M.Sc. Ph.D. (Sains Terapan, Universitas Gadjah Mada), Rita Istikowati, ST, MT. (Teknik Industri, Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil Surakarta). Dr. Maherawati Maherawati, S.TP, MP. (Ilmu Pangan, Universitas Tanjungpura Pontianak).

ii

Page 5: e-ISSN 2477-0051

iDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNAN

Journal of Plantation Based Industry

Vol. 14 No. 1, Juni 2019

DAFTAR ISI

iiiiv

1 — 10

11 — 20

21 — 27

28 — 40

41 — 49

50 — 61

DAFTAR ISIPENGANTAR REDAKSILEMBAR ABSTRAK

APLIKASI TEPUNG KELAPA DALAM PRODUK ROTI MANISApplication of Coconut Flour in Sweet Bread ProductJamilah dan Khaerunnisa

FORMULASI MINUMAN EMULSI VCO MENGGUNAKAN VARIASI EMULSIFIER (GUM ARAB, TWEEN 80) DAN AIRFormulation of VCO Emulsion Drink Using Emulsifier Variations (Arabic Gum, Tween 80) and WaterJudith Mandei

PENGARUH LAMA FERMENTASI DAN PENGEPRESAN BERULANG TERHADAP MUTU KAKAO BUBUK The Effect of Fermentation Time and Repeated Pressing on Cocoa Powder Quality Melia Ariyanti, Sitti Ramlah, dan Medan Yumas

KAJIAN PENGGUNAAN HIDROKOLOID SEBAGAI EMULSIFIERPADA PROSES PENGOLAHAN COKELATHydrocolloid Application as An Emulsifier In Chocolate Processing: A ReviewRahayu Wulandari, Dwi Indriana, dan Andi Nur Amalia A.

PENGARUH SUHU PEMANASAN PADA EKSTRAK TEH (C. sinensis Linn.) JENIS TEH PUTIH TERHADAP STABILITAS SIFAT ANTIOKSIDATIFNYAThe Effect of Thermal Treatment on Tea (C. sinensis Linn.) Extract, Type of White Tea on the Stability of Its Antioxidant Activity Rohadi dan Sri Budi Wahjuningsih

PRODUKSI ASAP CAIR DARI KAYU KARET DENGAN BERBAGAI WAKTU PIROLISIS DAN APLIKASINYA SEBAGAI KOAGULAN LATEKSThe Production of Liquid Smoke from Rubber Wood with Various Times of Pyrolysis and Its Applications as Latex CoagulantAfrizal Vachlepi* dan Risal Ardika

iii

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

Page 6: e-ISSN 2477-0051

iiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

iv

KARAKTERISASI ARANG CANGKANG KELAPA SAWITSEBAGAI BAHAN PEMBANTU UNTUK MENINGKATKAN KESUBURAN TANAH BERDASARKAN KROMATOGRAFI GC–MSCharacterization of Palm Oil Charcoal as an Assistant Material to Improve The Fertility of Plants Based on GC-MS ChromatographyZainal Abidin Nasution dan Harry P Limbong

PENGARUH DAYA GELOMBANG MIKRO TERHADAP RENDEMEN, MUTU DAN KOMPONEN BIODIESEL DARI BIJI KEMIRI YANG DIPROSES SECARA TRANSESTERIFIKASI IN SITUEffect of Microwave Power on Yield, Quality and Component of Biodiesel from Candle Nut Seed Processed Through In Situ TransesterificationMahlinda*, Lancy Maurina, dan Ellysa

ANALISIS KEBIJAKAN RENCANA PEMBANGUNAN INDUSTRI PROVINSI SULAWESI SELATAN (KOMODITAS KAKAO, KOPI DAN MARKISA)Policy Analysis Industrial Development Planning of South Sulawesi (Cocoa, Coffee and Markisa Commodities)Zulkifli1, Ahmadi Akil2

62 — 68

69 — 77

78 — 98

Page 7: e-ISSN 2477-0051

ivDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJornal of Platation Based IndustryVol. 9 Juni, 2019

LEMBAR ABSTRAK (ABSTRACT SHEET)

v

FoRMULatIon oF VCo EMULSIon DRInk USInG EMULSIFIER VaRIatIonS (aRabIC GUM, twEEn 80) anD watER

Judith MandeiBalai Riset dan Standardisasi Industri Manado

abstract : VCO emulsion beverage products were developed to overcome the oily taste of VCO, so that people can consume them directly. The aim of this study was to formulate high quality VCO emulsion drinks that can be accepted by consumers. The study consisted of two stages, namely preparation of basic emulsions using two types of emulsifier, i.e. arabic gum and tween 80 which were formulated with VCO and water. The VCO emulsion drinks were made with the ratio of basic emulsion (BE) to water (b/b) as follows: BEGum:water = 1:1; 1:2; and 1:3 as well asBET80:water = 1:1; 1:4; and 1:6. VCO emulsion beverage formula that meets the requirements and can be accepted by consumers is the one having the ratio of the basic emulsion (arabic gum) to water of 1:2. This product has characteristics that include a rather peculiar smell of VCO, slightly sweet sour taste typical of VCO, quite stable, pH 3.94, Total Plate Count (TPC) 1.4x102, Free Fatty Acid (FFA) content of 0.22%, peroxide number 1.64 mg eq O2/kg, 51% lauric acid and the content of Medium Chain Triglyceride (MCT) 65.74%.

keywords: Arabic gum, tween 80, VCO emulsion drinks

aPPLICatIon oF CoConUt FLoUR In SwEEt bREaD PRoDUCt

Jamilah dan KhaerunnisaBalai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar

abstract Coconut flour is coconut meat that is dried, mashed and processed in hygienic conditions for food. The purpose of this study was to determine the effect of addition coconut flour in a good quality sweet breads making process. The treatment in this study is unsqueezed coconut flour of 0, 5, 10, 15, and 20%, and squeezed coconut flour of 0, 5, 10, 15, and 20%. The results showed that the sweet bread with unsqueezed coconut flour addition contained moisture content of 21.01-24.39%, fat content of 9.29-17.18%, protein of 6.74-9.04%, carbohydrates of 34.72-41.75%, crude fiber of 0-1.02%, while sweet bread squeezed coconut flour addition contained moisture content of 21.35-24.39%, fat content of 9.29-14.22%, protein of 6.84-9.04%, carbohydrates of 35.18-43.26%, crude fiber of 0-1.11%, meet the sweet bread quality standard in SNI 01-3840-1995. Organoleptic test results of the color, smell, taste, texture, and appearance showed that the treatment of 5% and 10% addition of unsqueezed and squeezed coconut flour was preferred by panelists. So, it was recommended for coconut sweet bread production.

keywords: coconut flour, crude fiber, organoleptic test, sweet bread.

Page 8: e-ISSN 2477-0051

vDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

v

thE EFFECt oF FERMEntatIon tIME anD REPEatED PRESSInG on CoCoa PowDER QUaLIty

Melia Ariyanti, Sitti Ramlah, dan Medan YumasBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

abstract This study aims to determine the effect of fermentation time and repeated pressing on the cocoa powder quality produced according to SNI 3747: 2009. The research method used experiment method with 4 treatments ie fermentation length 5 and 6 days and repetition of 3 and 4 presses, and then the results being analized descriptively. The cocoa beans used are from Belopa, Luwu Regency of South Sulawesi. Parameters analyzed in accordance with SNI 3747: 2009 cocoa powder include state, smoothness, moisture content, fat content, metal contamination, and microbial contamination. The results showed that in general the quality of fermented cocoa powder of the research results have met the quality standards of Cocoa Powder SNI 3747: 2009. Water content of cocoa powder according to the maximum standard of 5.0% that is between 3,69-4,3 %. More pressing treatment can reduce the fat content contained in cocoa powder. The resulting fat content ranged from 11,32 - 14,82 %.

keywords: cocoa powder, fermentation time, quality, pressing, SNI 3747:2009

hyDRoCoLLoID aPPLICatIon aS an EMULSIFIER In ChoCoLatE PRoCESSInG: a REVIEw

Rahayu Wulandari, Dwi Indriana, dan Andi Nur Amalia A.Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

abstract: The inappropriate tempering and cooling process of chocolate will cause the occurrence of white spots on the chocolate’s surface (fat bloom). The emulsifier can be used to prevent fat bloom. Lecithin commonly used as emulsifier in chocolate processing, as well as hydrocolloid. Hydrocolloids have the advantage of being able to increase the release of active components and easily dissolve in the digestive system. This study is useful to find out the exact type and concentration of hydrocolloid as an emulsifier in chocolate production to prevent fat bloom appearance. Hydrocolloid types of glucomannan and carrageenan have the potential to be used as the emulsifier at range optimal concentrations 0.1-0.75%.

keywords: hydrocolloid, emulsifier, carrageenan, glucomannan, chocolate processing

Page 9: e-ISSN 2477-0051

viDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

thE PRoDUCtIon oF LIQUID SMokE FRoM RUbbER wooD wIth VaRIoUS tIMES oF PyRoLySIS anD ItS aPPLICatIonS aS LatEx CoaGULant

Afrizal Vachlepi dan Risal ArdikaBalai Penelitian Sembawa – Pusat Penelitian Karet

abstract The wood and stump from the replanting of rubber plantation have not been fully utilized and become waste. Rubber wood waste can be processed to liquid smoke through pyrolysis process to become more useful. It is predicted that the liquid smoke can be used to produce a good quality rubber accordance to SNI 06-1903-2000 about SIR. This research was aimed to study the effect of rubber wood pyrolysis time on liquid smoke characteristics, dry rubber content of latex coagulum and technical quality of natural rubber that produced by using rubber wood liquid smoke. This study used complete randomized design with 8 treatments. The results showed that rubber wood pyrolysis process for 5 hours would produce liquid smoke with latex coagulant characteristics, i.e pH 2.72 and acid content 11.4%. Latex coagulation using liquid smoke from pyrolysis process for 5 hours would produce coagulum with dry rubber content of 34.45%. The technical quality of natural rubber that coagulated with liquid smoke from pyrolysis process for 5 hours meet the quality standard of SNI 06-1903-2000 about SIR, i.e. Po 41, PRI 83.6, Mooney viscosity 74, SVI 2.7, ash content 0.49%, and volatile content 0.40%.

keywords: coagulant, liquid smoke, quality, rubber wood

thE EFFECt oF thERMaL tREatMEnt on tEa (C. SInEnSIS LInn.) ExtRaCt, tyPE oF whItE tEa on thE StabILIty oF ItS antIoxIDant aCtIVIty

Rohadi dan Sri Budi WahjuningsihProgram Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Semarang

abstract The thermal process is able to improve the nutrition and antioxidant activity of coriander leaves. However, the high temperature thermal process (>120oC) can damage and reduce the antioxidant activity. The aim of the study was to analyze the effect of oven heating temperature on the antioxidant stability of aqueous white tea extract (ETP). The extract was concentrated with a rotary vacuum evaporator and dried freeze with a freeze dryer. ETP was heat treated in oven (30, 80, 90, 100, 110 and 120°C/3 minutes) and ETP was assay, for antioxidant activity: total phenolic, total flavonoids, DPPH free radical scavenging assay and total reduction, at various concentrations (50-250 ppm). The results showed that there were significant differences in the effect of heating on the assay of total phenolic, total flavonoids, free radical scavenging activity, total reduction and IC50 at all concentrations (p<0.05). DPPH free radical scavenging activity assay at ETP 50 ppm increased from 5.25±1.0%(30oC) to 29.15±0.13 (120oC), ETP 250 ppm rose from 42.78±2.4%(30oC) to 58.21±0.13%(120oC). The total ferric ion reduction assay (OD value) increased from 0.046 (50 ppm/30oC) to 0.091 (50 ppm/120oC) to 0.28 (250 ppm/30oC) to 0.662 (250 ppm/120oC). The IC50 ETP value increased from 320 ppm (30oC)-182.5 ppm (120oC).

keywords: thermal process, white tea extract, IC50; antioxidant activity

Page 10: e-ISSN 2477-0051

viiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

ChaRaCtERIzatIon oF PaLM oIL ChaRCoaL aS an aSSIStant MatERIaL to IMPRoVE thE FERtILIty oF PLantS baSED on GC-MS ChRoMatoGRaPhy

Zainal Abidin Nasution dan Harry P LimbongBalai Riset dan Standardisasi Industri Medan

abstrak: In 2015, the area of oil palm plantations in Indonesia had reached 10,701,436 ha, with details of the people’s oil palm plantation 4,810,271 ha, state-owned oil palm plantations 704,094 ha and private oil palm plantations 5,207,071 ha. A ton base of fresh palm oil fruit bunches will produce 20-23% CPO, 5-7% PKO, 20-23% oil palm empty bunches as solid waste, 10-12% oil palm fruit fiber and 7-9% oil palm shells. Oil palm shell charcoal was made by treating palm oil shells. From the treatment of oil palm shell roasting, the average yield was 38.20% (the last temperature of roasting 348 oC, when the palm shells being roasted were no longer smoke). From the results of the chromatogram analysis of GC-MS, oil palm shell charcoal is known as 25 organic compounds with the dominant composition being cyclopropyl with a concentration of 14.87%, 17.01% of acetic acid,12.11% of benzenesulfonic acid, 7.3% of benzene and 15.59% of phenol. The characterization of the composition of the organic palm shell charcoal organic compounds needs to be done in order to develop the use of oil palm shell charcoal as an auxiliary material to increase plant fertility.

keywords: roasting, oil palm shell charcoal, GC-MS chromatogram, increasing soil fertility

EFFECt oF MICRowaVE PowER on yIELD, QUaLIty anD CoMPonEnt oF bIoDIESEL FRoM CanDLE nUt SEED PRoCESSED thRoUGh In SItU

tRanSEStERIFICatIon

Mahlinda*, Lancy Maurina, dan EllysaBalai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh

abstract: The in situ transesterification of biodiesel by conventional heating is simple but need high energy and long reaction time to produce biodiesel. Microwave radiation, delivers energy directly to the reactants, therefore, heat transfer is more effective. The research aims was to explore the effect of microwave power toward yield, quality and compound of biodiesel from candlenut seed through in situ transesterification. The in situ transesterification was run on microwave power 450, 600 and 800 watts, 4 minutes, methanol ratio 25:1 (w/w), co-solvent ratio 0.5 : 1 (w/w) and 5% KOH catalyst concentration. The results showed, highest biodiesel yield 85.58% was obtained under the microwave power of 600 watts with reaction time 4 minutes. A test result of biodiesel quality according to SNI 7182-2012 showed kinematic viscosity and acid value was approriate with standars, meanwhile density test was below of SNI standars. GC-MS analysis of biodiesel produced under 450, 600 and 800 watts microwave power showed, the main components were methyl stearate, methyl palmitate and methyl miristate but the percentage component was slightly different according to the various microwave power. It can be concluded that microwave power just affected on biodiesel yield but not significant affected on biodiesel quality and component.

Kata kunci: biodiesel, gelombang mikro, transesterification in situ, kemiri.

Page 11: e-ISSN 2477-0051

viiiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PoLICy anaLySIS InDUStRIaL DEVELoPMEnt PLannInG oF SoUth SULawESI (CoCoa, CoFFEE anD MaRkISa CoMMoDItIES)

Zulkifli, Ahmadi AkilFakultas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan, Universitas Muslim Maros

Dinas Perindustrian Provinsi Sulawesi Selatan

abstract: The objectives of this study were to formulate industry development vision, mission, goals, objectives, and strategies, to determine South Sulawesi superior industrial commodities, and to design industry development programs in South Sulawesi from 2018 to 2038. The analytical methods that used to determine potential and superior industries in South Sulawesi were location quotient analysis, shift share, focus group discussion and SWOT. From this study, we obtained that South Sulawesi industry development plan vision is make industry sector as a superior economic pillar in South Sulawesi, South Sulawesi superior commodities from 2018 to 2038 are cocoa, coffee, and passion fruit, and South Sulawesi industry development program are industry human resource development program, industry technology development and utilization program, innovation and creativity development and utilization program, SMEs empowerment program, financial source provision program, standardization support infrastructure development program, utilization program, natural resources provision and distribution, industry information system development, environmental management/infrastructure development program, land provision program for industry, electricity and energy network development program, telecommunications network development program, water resources network development program, sanitation/infrastructure development program and transportation development program.

keywords: advanced industries, focus group discussion, Location Quentient analysis, shift share, and SWOT.

Page 12: e-ISSN 2477-0051

ixDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

APLIKASI TEPUNG KELAPA DALAM PRODUK ROTI MANIS

Jamilah dan KhaerunnisaBalai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar

abstrak: Tepung kelapa adalah daging buah kelapa yang dikeringkan, dihaluskan dan diproses pada kondisi yang higienis untuk bahan pangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung kelapa pada pembuatan roti manis yang berkualitas. Perlakuan pada penelitian ini yaitu penambahan tepung kelapa tanpa peras sebanyak 0, 5, 10, 15, dan 20%, dan tepung kelapa sudah peras sebanyak 0, 5, 10, 15, dan 20%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa roti manis dengan penambahan tepung kelapa tanpa peras mengandung kadar air 21,01-24,39%, lemak 9,29-17,18%, protein 6,74-9,04%, karbohidrat 34,72-41,75%, serat kasar 0-1,02%, sedangkan roti manis dengan penambahan tepung kelapa sudah peras mengandung kadar air 21,35-24,39%, lemak 9,29-14,22%, protein 6,84-9,04%, karbohidrat 35,18-43,26%, serat kasar 0-1,11%, telah memenuhi persyaratan roti manis sesuai SNI 01-3840-1995. Hasil uji organoleptik dari kriteria warna, bau, rasa, tekstur, dan kenampakan menunjukkan bahwa perlakuan 5% dan 10% penambahan tepung kelapa tanpa peras maupun sudah peras lebih disukai panelis sehingga direkomendasikan untuk kegiatan produksi pembuatan roti manis kelapa.

kata kunci: roti manis, serat kasar, tepung kelapa, uji organoleptik.

FORMULASI MINUMAN EMULSI VCO MENGGUNAKAN VARIASI EMULSIFIER (GUM ARAB, TWEEN 80) DAN AIR

Judith MandeiBalai Riset dan Standardisasi Industri Manado

Abstrak: Produk minuman emulsi VCO dikembangkan untuk mengatasi rasa berminyak VCO, agar masyarakat dapat langsung mengonsumsinya. Tujuan penelitian adalah membuat formulasi minuman emulsi VCO yang berkualitas dan bisa diterima oleh konsumen. Penelitian ini terdiri atas dua tahap yaitu pembuatan emulsi dasar dengan menggunakan dua jenis emulsifier antara lain gum arab dan tween 80 yang diformulasikan dengan VCO dan air. Minuman emulsi VCO dibuat dengan perbandingan emulsi dasar (ED) dan air (b/b) sebagai berikut EDGum:air (1:1; 1:2; 1:3), dan EDT80:air (1:1; 1:4; 1:6). Formula yang memenuhi syarat dan dapat diterima konsumen adalah minuman emulsi VCO dengan perlakuan emulsi dasar gum arab dan air 1:2. Produk ini mempunyai karakteristik meliputi bau agak khas VCO, rasa asam manis sedikit khas VCO, cukup stabil, pH 3,94, Angka Lempeng Total (ALT) 1,4x102, kadar asam lemak bebas (FFA) 0,22%, bilangan peroksida 1,64 mg ek O2/kg, asam laurat 51%, dan kandungan Medium Chain Triglyceride (MCT) 65,74%.

Kata kunci: Gum arab, tween 80, minuman emulsi VCO

Page 13: e-ISSN 2477-0051

xDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENGARUH LAMA FERMENTASI DAN PENGEPRESAN BERULANG TERHADAP MUTU KAKAO BUBUK

Melia Ariyanti, Sitti Ramlah, dan Medan YumasBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi dan pengepresan berulang terhadap mutu kakao bubuk yang dihasilkan sesuai SNI 3747: 2009. Metode penelitian menggunakan metode eksperimen dengan 4 perlakuan yaitu lama fermentasi 5 dan 6 hari serta pengulangan pengepresan 3 dan 4 kali press, kemudian dianalisis secara deskriptif. Biji kakao yang digunakan berasal dari Belopa, Luwu, Sulawesi Selatan. Parameter yang dianalisa sesuai dengan SNI 3747: 2009 kakao bubuk meliputi keadaan, kehalusan, kadar air, kadar lemak, cemaran logam, dan cemaran mikroba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum mutu kakao bubuk fermentasi hasil penelitian sudah memenuhi standar mutu kakao bubuk SNI 3747: 2009. Kadar air kakao bubuk sesuai standar maksimum 5,0 % yaitu antara 3,69-4,3 %. Semakin banyak perlakuan pengepresan dapat mengurangi kadar lemak yang terdapat dalam kakao bubuk. Kadar lemak yang dihasilkan berkisar antara 11,32-14,82%.

Kata kunci: kakao bubuk, lama fermentasi, mutu, pengepresan, SNI 3747: 2009

KAJIAN PENGGUNAAN HIDROKOLOID SEBAGAI EMULSIFIERPADA PROSES PENGOLAHAN COKELAT

Rahayu Wulandari, Dwi Indriana, dan Andi Nur Amalia A.Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstrak: Proses tempering dan pendinginan cokelat yang tidak tepat akan menimbulkan terjadinya bintik putih pada permukaan luar cokelat (fat bloom). Untuk menghindari terjadinya hal tersebut maka perlu digunakan emulsifier. Salah satu emulsifier yang sering digunakan pada pembuatan cokelat adalah lesitin. Selain lesitin, emulsifier yang biasa digunakan dalam produksi pangan adalah hidrokoloid. Hidrokoloid memiliki kelebihan mampu meningkatkan daya lepas komponen aktif dan mudah larut dalam sistem pencernaan. Kajian ini bermanfaat untuk mengetahui jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang tepat sebagai emulsifier pada proses pembuatan cokelat untuk menghindari fat bloom. Hidrokoloid jenis glukomanan dan karagenan berpotensi dimanfaatkan sebagai emulsifier dengan konsentrasi optimal berkisar antara 0,1–0,75%.

Kata Kunci: hidrokoloid, emulsifier, karagenan, glukomanan, pengolahan cokelat

Page 14: e-ISSN 2477-0051

xiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENGARUH SUHU PEMANASAN PADA EKSTRAK TEH (C. sinensis Linn.) JENIS TEH PUTIH TERHADAP STABILITAS SIFAT ANTIOKSIDATIFNYA

Rohadi dan Sri Budi WahjuningsihProgram Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Semarang

Abstrak: Proses termal mampu memperbaiki nutrisi dan aktivitas antioksidan daun ketumbar (Coriandrum sativum L.). Namun proses termal suhu tinggi (>120oC) dapat merusak senyawa bioaktif dan menurunkan aktivitas antioksidan. Tujuan penelitian adalah melakukan analisis pengaruh suhu pemanasan oven terhadap stabilitas antioksidatif aqueous ekstrak teh putih (ETP). Ekstrak dipekatkan dengan a rotary vacuum evaporator dan dikering bekukan dengan freeze dryer. ETP dipanaskan dengan microwave-oven (30, 80, 90, 100, 110 dan 120°C/3 menit) dan ETP diuji aktivitas antioksidan: total fenolik, flavonoid, uji penangkapan radikal bebas DPPH, dan total reduksi pada berbagai konsentrasi (50-250 ppm). Hasil penelitian menunjukan ada perbedaan signifikan pengaruh pemanasan terhadap uji total fenolik, total flavonoid, aktivitas penangkapan radikal bebas, total reduksi, dan IC50 pada semua konsentrasi (p<0,05). Uji aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH pada ETP 50 ppm naik dari 5,25±1,0% (30oC) menjadi 29,15±0,13% (120oC), ETP 250 ppm naik dari 42,78±2,4% (30oC) menjadi 58,21±0,13 % (120oC). Pada uji total reduksi ion feri (nilai OD) meningkat dari 0,046 (50 ppm/30oC) menjadi 0,091 (50 ppm/120oC) hingga 0,28 (250 ppm/30oC) menjadi 0,662 (250 ppm/120oC). Nilai IC50 ETP meningkat dari 320 ppm (30oC)-182,5 ppm (120oC).

Kata kunci: Proses termal, ekstrak teh putih, IC50; aktivitas antioksidan

PRODUKSI ASAP CAIR DARI KAYU KARET DENGAN BERBAGAI WAKTU PIROLISIS DAN APLIKASINYA SEBAGAI KOAGULAN LATEKS

Afrizal Vachlepi dan Risal ArdikaBalai Penelitian Sembawa – Pusat Penelitian Karet

Abstrak: Kayu dan tunggul dari hasil peremajaan perkebunan karet masih belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga menjadi limbah. Limbah kayu karet dapat diolah menjadi asap cair melalui proses pirolisis supaya lebih bermanfaat. Penggunaan asap cair dari kayu karet ini diprediksi menghasilkan karet bermutu baik sesuai dengan SNI 06-1903-2000 tentang SIR. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh waktu proses pirolisis kayu karet terhadap karakteristik asap cair, kadar karet kering koagulum lateks dan mutu teknis karet alam yang diproduksi menggunakan asap cair dari kayu karet. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pirolisis kayu karet selama 5 jam menghasilkan asap cair dengan karakteristik yang diperlukan sebagai koagulan lateks, yaitu pH 2,72 dan kadar asam 11,4%. Penggumpalan lateks menggunakan asap cair dari perlakuan pirolisis selama 5 jam akan menghasilkan koagulum dengan kadar karet kering sebesar 34,45%. Mutu teknis karet alam yang digumpalkan dengan asap cair tersebut memenuhi persyaratan mutu SNI 06-1903-2000 tentang SIR, yaitu Po 41, PRI 83,6, viskositas Mooney 74, SVI 2,7, kadar abu 0,49%, dan kadar zat menguap 0,40%.

Kata kunci: asap cair, koagulan, kayu karet, mutu

Page 15: e-ISSN 2477-0051

xiiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENGARUH DAYA GELOMBANG MIKRO TERHADAP RENDEMEN, MUTU DAN KOMPONEN BIODIESEL DARI BIJI KEMIRI YANG DIPROSES SECARA

TRANSESTERIFIKASI IN SITU

Mahlinda, Lancy Maurina, dan EllysaBalai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh

Abstrak: Transesterifikasi in situ biodiesel adalah metode untuk produksi biodiesel menggunakan pelarut alkohol dengan bantuan katalis asam atau basa melalui pemanasan konvensional sederhana. Namun, metode konvensional ini dianggap tidak efisien karena memerlukan energi dalam jumlah besar untuk memanaskan media dan proses reaksinya berlangsung lama. Dewasa ini telah dikembangkan metode produksi biodiesel yang lebih efisien dan cepat, yaitu menggunakan gelombang microwave. Tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari pengaruh daya gelombang mikro terhadap rendemen, mutu dan komponen biodiesel dari biji kemiri yang diproses melalui transesterifikasi in situ. Proses transesterifikasi in situ berjalan pada daya gelombang mikro 450, 600 dan 800 watt, waktu reaksi empat menit, rasio metanol 25:1 (g/g), rasio co-solvent 0,5:1 (g/g) dan 5% konsentrasi KOH katalis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen tertinggi 85,58% diperoleh pada daya gelombang mikro 600 watt dengan waktu reaksi empat menit. Hasil uji mutu biodiesel berdasarkan SNI 7182-2012 menunjukkan nilai viskositas kinematik dan angka asam memenuhi standar, namun terhadap masa jenis belum memenuhi standar. Hasil analisa biodiesel menggunakan GC-MS pada ketiga daya gelombang mikro mengandung metil stearat, metil palmitat dan metil miristat. Daya gelombang mikro berpengaruh terhadap rendemen biodiesel tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap mutu dan komponen biodiesel.

Kata kunci: biodiesel, gelombang mikro, transesterification in situ, kemiri.

KARAKTERISASI ARANG CANGKANG KELAPA SAWITSEBAGAI BAHAN PEMBANTU UNTUK MENINGKATKAN KESUBURAN TANAH

BERDASARKAN KROMATOGRAFI GC–MS

Zainal Abidin Nasution dan Harry P LimbongBalai Riset dan Standardisasi Industri Medan

Abstrak: Luas lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia tahun 2015 mencapai 10.701.436 Ha, dengan rincian perkebunan kelapa sawit rakyat 4.810.271 Ha, perkebunan kelapa sawit milik BUMN 704.094 Ha dan perkebunan kelapa sawit swasta 5.207.071 Ha. Satu ton tandan buah sawit segar kelapa sawit menghasilkan 20-23% CPO, 5-7% PKO, 20-23% limbah padat tandan kosong, 10-12% serat buah kelapa sawit dan 7-9% cangkang kelapa sawit. Arang cangkang kelapa sawit dibuat dengan perlakuan penyangraian cangkang dan diperoleh rendemen rata-rata 38,20% (suhu terakhir penyangraian 348 °C, pada saat cangkang kelapa sawit tidak lagi mengeluarkan asap). Dari hasil analisis kromatogram GC–MS arang cangkang kelapa sawit diketahui sebanyak 25 senyawa organik dengan komposisi yang dominan adalah 14,87% cyclopropyl,17,01% acetic acid, 12,11% benzenesulfonic acid, 7,3% benzene dan 15,59% phenol. Karakterisasi komposisi senyawa organik arang cangkang kelapa sawit ini perlu dilakukan untuk mengembangkan pemanfaatan arang cangkang kelapa sawit sebagai bahan pembantu untuk meningkatkan kesuburan tanaman.

Kata kunci: penyangraian, arang cangkang kelapa sawit, kromatogram GC–MS, meningkatkan kesuburan tanah

Page 16: e-ISSN 2477-0051

xiiiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

ANALISIS KEBIJAKAN RENCANA PEMBANGUNAN INDUSTRI PROVINSI SULAWESI SELATAN

(KOMODITAS KAKAO, KOPI DAN MARKISA)

Zulkifli, Ahmadi AkilFakultas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan, Universitas Muslim Maros

Dinas Perindustrian Provinsi

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah menformulasikan visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi pembangunan industri, menetapkan komoditas industri unggulan, dan mendesain program pengembangan industri pada Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038. Metode analisis yang digunakan untuk menentukan potensi dan industri unggulan Provinsi Sulawesi Selatan adalah analisis location quotient, shift share, focus group discussion, dan SWOT. Dari hasil penelitian diperoleh visi rencana pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038 adalah menjadikan sektor industri sebagai pilar perekonomian terdepan Sulawesi Selatan, komoditas industri unggulan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038 adalah kakao, kopi, dan markisa, serta program pengembangan industri Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038 adalah program pengembangan sumber daya manusia industri, program pengembangan dan pemanfaatan teknologi industri, program pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi, program pemberdayaan industri kecil menengah, program penyediaan sumber pembiayaan, program pembangunan infrastruktur penunjang standarisasi, program pemanfaatan, penyediaan dan penyaluran sumber daya alam, program pembangunan sistem informasi industri, program pembangunan infrastruktur/pengelolaan lingkungan, program penyediaan lahan untuk industri, program pengembangan jaringan energi dan kelistrikan, program pengembangan jaringan telekomunikasi, program pengembangan jaringan sumber daya air, program pembangunan infrastruktur/sanitasi, dan program pembangunan transportasi.

Kata Kunci: analisis Location Quotient, focus group discussion, industri unggulan, shift share, dan SWOT.

Page 17: e-ISSN 2477-0051

1Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

APLIKASI TEPUNG KELAPA DALAM PRODUK ROTI MANISApplication of Coconut Flour in Sweet Bread Product

Jamilah dan KhaerunnisaBalai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar

Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah No.28 Makassar email: [email protected]

Terima 21Februari 2019

abstract Coconut flour is coconut meat that is dried, mashed and processed in hygienic conditions for food. The purpose of this study was to determine the effect of addition coconut flour in a good quality sweet breads making process. The treatment in this study is unsqueezed coconut flour of 0, 5, 10, 15, and 20%, and squeezed coconut flour of 0, 5, 10, 15, and 20%. The results showed that the sweet bread with unsqueezed coconut flour addition contained moisture content of 21.01-24.39%, fat content of 9.29-17.18%, protein of 6.74-9.04%, carbohydrates of 34.72-41.75%, crude fiber of 0-1.02%, while sweet bread squeezed coconut flour addition contained moisture content of 21.35-24.39%, fat content of 9.29-14.22%, protein of 6.84-9.04%, carbohydrates of 35.18-43.26%, crude fiber of 0-1.11%, meet the sweet bread quality standard in SNI 01-3840-1995. Organoleptic test results of the color, smell, taste, texture, and appearance showed that the treatment of 5% and 10% addition of unsqueezed and squeezed coconut flour was preferred by panelists. So, it was recommended for coconut sweet bread production.

keywords: coconut flour, crude fiber, organoleptic test, sweet bread.

abstrak Tepung kelapa adalah daging buah kelapa yang dikeringkan, dihaluskan dan diproses pada kondisi yang higienis untuk bahan pangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung kelapa pada pembuatan roti manis yang berkualitas. Perlakuan pada penelitian ini yaitu penambahan tepung kelapa tanpa peras sebanyak 0, 5, 10, 15, dan 20%, dan tepung kelapa sudah peras sebanyak 0, 5, 10, 15, dan 20%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa roti manis dengan penambahan tepung kelapa tanpa peras mengandung kadar air 21,01-24,39%, lemak 9,29-17,18%, protein 6,74-9,04%, karbohidrat 34,72-41,75%, serat kasar 0-1,02%, sedangkan roti manis dengan penambahan tepung kelapa sudah peras mengandung kadar air 21,35-24,39%, lemak 9,29-14,22%, protein 6,84-9,04%, karbohidrat 35,18-43,26%, serat kasar 0-1,11%, telah memenuhi persyaratan roti manis sesuai SNI 01-3840-1995. Hasil uji organoleptik dari kriteria warna, bau, rasa, tekstur, dan kenampakan menunjukkan bahwa perlakuan 5% dan 10% penambahan tepung kelapa tanpa peras maupun sudah peras lebih disukai panelis sehingga direkomendasikan untuk kegiatan produksi pembuatan roti manis kelapa.

kata kunci: roti manis, serat kasar, tepung kelapa, uji organoleptik.

PENDAHULUAN Pengolahan tepung kelapa merupakan

salah satu alternatif pemanfaatan daging buah kelapa yang diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis, mempertahankan nilai gizi, serta memudahkan konsumen dalam mendapatkan tepung kelapa.Tepung kelapa diproses dari kelapa parut kering (desiccated coconut). Kelapa parut kering adalah parutan kelapa yang dikeringkan dengan segera sehingga rasa dan aromanya sama seperti

daging buah segar (Suhardiman, 1991). Menurut Suhardiyanto (1990), kelapa parut kering secara ringkas dapat dinyatakan sebagai daging buah kelapa kering yang diproses secara higienis untuk keperluan bahan makanan. Kelapa parut kering dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk makanan, seperti tepung kelapa yang digunakan sebagai bahan baku krim kelapa dan bahan campuran kue dan produk lainnya sebagai makanan kesehatan sehingga dapat menunjang diversifikasi pangan.

Page 18: e-ISSN 2477-0051

2Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

bahan seperti garam, minyak, mentega, ataupun telur. Telur berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pemberi rasa, dan sebagai penambah protein pada produk roti. Roti merupakan sumber karbohidrat yang terbuat dari bahan terigu, pengembang (yeast), lemak, gula, dan garam (Naim, 2016). Roti dikenal di kalangan masyarakat dalam berbagai rasa. Ada roti manis, roti tawar, roti dengan berbagai taburan hiasan makanan dan sebagainya. Pada Penelitian ini dipilih roti manis sebagai salah satu produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dan tepung kelapa yang dikombinasikan dengan bahan lain seperti ragi (fermipan), gula, garam, dan telur. Roti manis merupakan jenis roti yang dipanggang melalui proses pembuatan dan pemanggangan di oven bersuhu yang telah diatur, dimana proses ini menjadi sangat penting dalam menentukan mutu produk akhir dari roti (Suprapti, 2003). Hampir semua jenis roti dibuat dengan proses yang sama yaitu pencampuran (mixing), fermentasi, pembentukan (proo-fing), pengempesan (sheeting), pencetakan (molding), pemanggangan (baking), pe-nurunan suhu (cooling), dan terkadang pengirisan/slicing (Zhou & Hui, 2004).

Composite Flour atau tepung campuran adalah campuran antara komoditi nonterigu (misalnya palawija, tepung ikan, tepung kelapa) dengan tepung terigu dan dapat diolah dalam berbagai macam makanan. Teknologi Composite Flour (tepung campuran) dalam pembuatan roti manis tampaknya cukup prospektif dalam mendorong diversifikasi pangan makanan fungsional bagi kesehatan. Roti manis adalah roti yang dibuat dari tepung terigu kuat (yaitu tepung yang mampu menyerap air dalam jumlah besar) serta bahan tambahan lainnya yang dapat mencapai konsistensi adonan yang tepat serta memiliki elastisitas yang baik (Kumolontang, 2014). Teknologi Composite Flour dalam pembuatan roti manis tampaknya cukup prospektif sebagai pendorong diversifikasi pangan sebagai salah satu solusi sebagai makanan fungsional bagi kesehatan.

Kelapa kering diproses terlebih dahulu menjadi tepung kelapa sebelum digunakan sebagai bahan baku untuk produk makanan. Tepung kelapa (coconut flour) adalah daging buah kelapa yang dikeringkan, dihaluskan dan diproses pada kondisi yang higienis untuk bahan pangan. Tepung kelapa mengandung gizi yang bermanfaat bagi kesehatan manusia karena kandungan minyak dan serat yang tinggi. Faktor yang dapat mempengaruhi pembuatan tepung kelapa adalah proses pengeringan. Pengeringan merupakan salah satu cara yang digunakan dalam menurunkan kadar air makanan. Sebelum mengalami proses pengeringan, daging buah kelapa berkadar air di atas 50% (Asrawaty, 2015).

Tepung kelapa dapat dimanfaatkan dalam pengolahan produk seperti kue, biskuit, roti dan sebagai bahan tambahan isian maupun bahan penghias. Menurut Asrawaty (2015), tepung kelapa diketahui cukup mengandung gizi yang dapat bermanfaat bagi kesehatan manusia (functional food) dan dapat digunakan sebagai subtitusi makanan kesehatan. Meskipun tepung kelapa merupakan hasil samping pembuatan santan, tepung kelapa sudah mulai banyak diminati oleh para pelaku industri umumnya industri pengolahan makanan dan produk makanan ringan. Salah satu pemanfaatan tepung kelapa pada produk makanan, dengan mencampurkan tepung kelapa dan tepung terigu dalam pembuatan roti manis. Pembuatan roti manis berbahan dasar tepung terigu yang mengandung protein dan karbohidrat yang tinggi dapat dipadu dengan melakukan subtitusi tepung kelapa yang mengandung serat tinggi. Rindengan (2015) menyatakan bahwa tepung kelapa memiliki sifat-sifat tepung yaitu tidak lengket dan berwarna putih sehingga dapat mengganti tepung terigu dalam pembuatan produk roti manis.

Roti adalah makanan berbahan dasar utama tepung terigu dan air yang difermentasikan dengan ragi, tetapi ada juga yang tidak menggunakan ragi. Namun teknologi manusia semakin maju dimana pembuatan roti juga dapat menggunakan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 19: e-ISSN 2477-0051

3Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan penambahan tepung kelapa pada pembuatan roti manis untuk menghasilkan roti manis yang berkualitas.

METODOLOGIBahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain kelapa yang sudah tua, air, telur, tepung terigu, yeast, dan bahan kimia untuk pengujian parameter kadar protein, karbohidrat, dan serat kasar dalam tepung kelapa dan produk roti manis.

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain parang, pisau, baskom, pemarut kelapa, spatula, ayakan, timbangan digital merek AND kapasitas 0,01 g-5 kg, gelas piala 1 L merek Pyrex, cawan petri, cawan porselin, desikator, erlenmeyer 250 ml merek Pyrex, gelas ukur 100 ml merek Pyrex, pengaduk, pipet skala 10 ml merek Pyrex, buret 25 ml merek Pyrex, tanur merek Nabertherm kapasitas 30-3000 °C, labu didih 500 ml merek Schott, hot plate merek Gerhardt, alat destilasi protein merek Gerhardt, dan kemasan plastik.

Metode PenelitianPenelitian ini dilaksanakan mengguna-

kan metode deskriptif secara kuantitatif dengan perlakuan penggunaan tepung kelapa tanpa peras sebanyak 0, 5, 10, 15, dan 20%, dan tepung kelapa sudah peras 0, 5, 10, 15, dan 20% dalam pembuatan roti manis. Analisis terhadap produk roti manis dengan penambahan tepung kelapa tanpa peras dan dengan penambahan tepung kelapa sudah peras meliputi kadar air, kadar lemak, kadar protein, serat kasar, dan uji organoleptik.

Prosedur penelitian meliputi hal-hal berikut:

a. Penyiapan Tepung KelapaPenyiapan kelapa parut tanpa peras

dengan mengeringkan kelapa parut pada suhu 70 °C selama 16 jam, dan kelapa parut sudah peras terlebih dahulu dikeluarkan

santannya dengan penambahan air, selanjutkan dikeringkan pada suhu 70 °C selama 16 jam. Kelapa yang telah dikeringkan, selanjutnya dilakukan penggili-ngan dan pengayakan. Tepung kelapa yang sudah halus dikemas dengan kemasan plastik.

b. Pembuatan Roti Manis KelapaPembuatan roti manis diawali dengan

melakukan penimbangan tepung terigu, tepung kelapa sesuai perlakuan, ragi, telur, gula, susu bubuk, air, garam, dan margarin. Tepung terigu, tepung kelapa, gula, susu bubuk, dan ragi dicampur sampai merata dan ditambahkan telur dan air sedikit demi sedikit sambil terus diuleni. Selanjutnya, ditambahkan margarin dan garam sambil terus diuleni sampai adonan menjadi lembut. Adonan ditutup dengan plastik dan didiamkan selama 1 jam. Adonan dikempiskan kemudian ditimbang masing-masing 25 g, lalu dibulatkan dan dibiarkan selama 30 menit. Setelah adonan mengembang dimasukkan dalam oven dengan suhu pembakaran 180 °C selama 15 menit. Setelah masak didinginkan dan selanjutnya dikemas dalam kemasan plastik (Murdani, 2010).

c. Pengujian Produk Pengujian dilakukan pada roti manis

kelapa meliputi: kadar air metode oven, lemak metode ekstraksi soxhlet, protein metode semimikro Kjeldahl, karbohidrat metode titrimetri, serat kasar metode gravimetric (SNI, 1992; SNI, 1995; dan SNI, 2000). Pengujian warna, aroma/bau, rasa, tekstur dan kenampakan secara organoleptik (Soekarto & Lubeis, 1992) dilakukan terhadap roti manis kelapa dengan menggunakan metode hedonik (uji kesukaan). Uji kesukaan dilakukan terhadap parameter warna, aroma, rasa, tekstur, dan kenampakan. Uji kesukaan ini menggunakan skala hedonik 1-6 yang berturut-turut mewakili kesan sangat tidak suka, tidak suka, netral, suka dan sangat

Aplikasi Tepung Kelapa... (Jamilah)

Page 20: e-ISSN 2477-0051

4Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

suka. Nilai skala hedonik yang digunakan ditunjukkan dengan angka 6 (sangat suka), 5 (suka), 4 (netral), 3 (kurang suka), 2 (tidak suka), dan 1 (sangat tidak suka). Panelis yang melakukan uji organoleptik adalah pegawai, mahasiswa, dan ibu rumah tangga yang termasuk ke dalam panelis semi terlatih dengan jumlah panelis sebanyak 15 orang. Kesan panelis terhadap masing-masing atribut yang ditanyakan dicatat dalam kuesioner. Analisis data menggunakan

analisis sidik ragam (ANOVA) dan dilakukan uji lanjutan apabila Fhitung>FTabel pada taraf kepercayaan 5% dan 1% menggunakan uji Beda Nyata Jujur (Steel dan Torie 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian produk roti manis dengan

penambahan tepung kelapa tanpa peras dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengujian roti manis substitusi tepung kelapa tanpa peras

ParameterPerlakuan tepung kelapa tanpa peras (%) Persyaratan Roti Manis

SNI 01-3840-1995 0 5 10 15 20Kadar air 24,39 23,44 22,78 21,62 21,01 maks. 40 %Lemak 9,29 10,58 12,44 15,09 17,18 -Protein 9,04 8,80 7,84 7,53 6,74 -Karbohidrat 35,18 41,75 40,88 36,86 34,72 -

Tabel 2. Hasil pengujian roti manis substitusi tepung kelapa sudah peras

ParameterPerlakuan tepung kelapa sudah peras (%) Persyaratan Roti Manis

SNI 01-3840-1995 0 5 10 15 20Kadar air 24,39 23,29 22,72 22,13 21,35 maks. 40 %Lemak 9,29 11,48 13,22 13,42 14,22 -Protein 9,04 7,93 7,44 7,27 6,84 -Karbohidrat 35,18 43,26 39,82 36,16 36,08 -

Data hasil pengujian komposisi kimia roti manis dengan penambahan tepung

kelapa sudah peras dapat dilihat pada Tabel 2.

Kadar AirHasil pengujian kadar air pada roti

manis dengan penambahan tepung kelapa tanpa peras (Tabel 1) dan sudah peras (Tabel 2) menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase tepung kelapa terjadi kecenderungan penurunan kadar air yang menyebabkan trend perubahan kadar air. Hal ini disebabkan karena kadar air bahan baku yang telah dianalisa sebelumnya yaitu 1,95% untuk tepung kelapa tanpa peras dan 2,59% untuk yang sudah peras, sedangkan kadar air tepung terigu 10,24%, lebih tinggi dari tepung kelapa. Tingginya kadar air pada bahan baku tepung kelapa sudah peras

disebabkan adanya penambahan air pada saat proses pengolahan tepung kelapa sehingga kandungan air dalam bahan tepung kelapa sudah peras juga tinggi. Menurut Winarno (1997), adanya penambahan air pada proses pengolahan bahan pangan menunjukkan semakin banyaknya air yang terkandung didalam bahan dan air yang terdapat pada matriks bahan akibat adanya ikatan-ikatan fisik. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Polii (2017), dinyatakan bahwa perlakuan penambahan tepung kelapa sangat nyata pengaruhnya terhadap kadar air kue kering dan proses pengolahan, kemampuan menyerap air dan penguapan air selama pemanggangan mempengaruhi

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 21: e-ISSN 2477-0051

5Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

kadar air kue kering. Kemampuan menyerap air tepung kelapa tidak sama dengan tepung terigu karena perbedaan kandungan pati. Kemampuan molekul-molekul pati dalam menyerap air berkurang diduga disebabkan oleh gugus hidroksil antara tepung yang berbeda. Menurut Winarno (1997), jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati yang sangat besar menyebabkan kemampuan menyerap air sangat besar.

Kecenderungan kenaikan kadar air dapat disebabkan oleh pengaruh suhu, udara, kelembaban, dan kemasan yang digunakan. Kemasan yang digunakan merupakan jenis kemasan yang tidak kedap air sehingga memberikan peluang pada bahan pangan menyerap air, dimana air memiliki kemampuan membentuk ikatan hidrogen dan mampu mengikat senyawa-senyawa lain yang mempunyai kutub O atau N, seperti senyawa karbohidrat yang mempunyai gugus OH (Winarno, 1997).

Kadar LemakKadar lemak dari roti manis dengan

penambahan tepung kelapa tanpa peras (Tabel1) dan sudah peras (Tabel 2) terlihat bahwa tren perubahan kadar lemak terjadi seiring dengan penambahan tepung kelapa. Hal ini disebabkan karena kandungan lemak tepung kelapa cukup tinggi terutama tepung kelapa tanpa peras. Lemak merupakan salah satu bahan pilihan yang digunakan, Somaatmardjo (1974) menyatakan bahwa lemak terutama lemak jenuh seperti margarin, mempunyai pengaruh memperlunak gluten memperlunak roti yang dihasilkan dan kandungan lemak pada santan memberikan sensasi aroma gurih karena kandungan total lemak santan 57 gram dan 51 gram lemak jenuh, dan 626 mg asam lemak esensial omega-6 (Detik Food, 2013).

Faktor lain penyebab kandungan lemak tinggi pada penelitian ini juga bersumber dari bahan tambahan yang digunakan yaitu tepung terigu, margarin, dan telur. Sejalan dengan penelitian yang dilaporkan oleh Polii (2017), yaitu pada kue kering yang ditambahkan tepung kelapa menunjukkan

bahwa makin banyak jumlah tepung kelapa yang ditambahkan dalam pengolahan kue kering, makin tinggi kadar lemaknya.

Menurut (Wijaya, 1974) menyatakan bahwa lemak merupakan bahan pilihan lain yang banyak digunakan karena lemak menambah cita rasa roti, membuat roti lebih lembut, dan membantu pencoklatan roti menjadi lebih baik. Lemak membuat roti mengembang lebih besar tanpa memberi kesempatan gas CO2 terlepas sehingga roti mempunyai volume yang lebih besar. Tepung kelapa merupakan tepung yang diperoleh dengan cara menghaluskan kelapa parut kering baik yang tidak dan yang dikeluarkan sebagian kandungan lemaknya melalui proses pressing (Palungkun, 1993).

Kadar ProteinTabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan

bahwa hasil analisis kadar protein berbanding terbalik dengan penambahan tepung kelapa. Dimana semakin tinggi konsentrasi tepung kelapa, maka kadar protein semakin turun. Hal ini disebabkan karena kadar protein bahan baku yang telah dianalisa sebelumnya, yaitu 5,96% untuk tepung kelapa tanpa peras dan 6,52% untuk kelapa sudah peras. Sedangkan kadar protein tepung terigu sendiri lebih tinggi dari kadar protein yang terkandung pada tepung kelapa. Tepung terigu yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung terigu merek Kompas yang mempunyai kadar protein 11%. Tepung terigu dibedakan atas kandungan proteinnya yaitu kandungan glutennya. Kandungan gluten pada tepung terigu mempengaruhi hasil olahan terutama struktur dan bentuk fisik produk yang dihasilkan. Oleh karena itu diperlukan jenis tepung terigu yang sesuai dalam pengolahan pangan berbasis terigu (Kumolontang, 2014).

Kadar KarbohidratHasil pengujian kadar karbohidrat

roti manis menggunakan tepung kelapa tanpa peras (Tabel 1) dan sudah peras (Tabel 2) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi tepung kelapa. Kadar karbohidrat mengalami penurunan. Hal

Aplikasi Tepung Kelapa... (Jamilah)

Page 22: e-ISSN 2477-0051

6Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

ini disebabkan karena tepung kelapa mengandung karbohidrat yang lebih rendah dari tepung terigu. Pada Tabel 1 dan 2 terlihat adanya peningkatan dan penurunan kadar karbohidrat yang tidak konsisten terhadap penambahan tepung kelapa. Hal tersebut disebabkan karena faktor pengolahan yang menggunakan panas pada proses pemanggangan yang dapat mempengaruhi kandungan karbohidrat. Pengolahan bahan pangan yang mengandung karbohidrat dengan menggunakan panas diperlukan untuk mendapatkan daya cerna pati yang tepat dan bila pati dipanaskan granula-granula pati membengkak dan pecah sehingga pati tergalatinisasi (Almatsier, 2010).

Karbohidrat digunakan oleh tubuh manusia sebagai sumber energi dan karbohidrat dari tepung kelapa merupakan karbohidrat kompleks karena terdiri dari serat dan amilosa (Putri, 2014). Karbohidrat dalam produk roti manis kelapa merupakan gabungan antara karbohidrat yang berasal dari tepung terigu dan tepung kelapa. Formula yang direkomendasikan yaitu penambahan tepung kelapa sebanyak 5% dan 10%, dengan pertimbangan bahwa dengan penambahan tepung kelapa akan diperoleh karbohidrat kompleks yang terdiri dari serat dan amilosa sedangkan karbohidrat pada roti manis dengan tepung kelapa 0% hanya mengandung karbohidrat dari amilosa, sehingga roti manis dengan penambahan tepung kelapa dapat menjadi salah satu makanan yang dapat dikategorikan sebagai makanan fungsional. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), jenis karbohidrat yang menaikkan kadar glukosa darah secara perlahan yaitu karbohidrat kompleks dan kadar amilosa tinggi seperti tepung kelapa sehingga cocok dikonsumsi oleh penderita diabetes.

Kadar Serat KasarHasil pengujian serat kasar dalam

produk roti manis menggunakan tepung kelapa pada Gambar 1 menunjukkan adanya peningkatan seiring dengan penambahan tepung kelapa. Hal ini disebabkan karena

tepung kelapa mengandung serat kasar yang tinggi. Putri (2014) menyatakan bahwa kandungan serat kasar disebabkan tepung ampas kelapa cukup tinggi yaitu 15,068% lebih tinggi dari tepung terigu yang hanya sebesar 0,5%. Peningkatan kadar serat kasar pada roti manis berpengaruh terhadap daya kembang dan tekstur roti.

Gambar 1. Hubungan antara kadar serat kasar untuk produk dengan penambahan tepung kelapa

Serat kasar merupakan kumpulan dari semua serat yang tidak bisa dicerna oleh tubuh, yang komponennya terdiri dari selulosa, pentosa, lignin, dan komposisi lainnya. Komponen ini tidak mempunyai nilai gizi, akan tetapi sangat penting untuk memperlancar proses pencernaan. Serat dapat mengikat lemak protein dan karbohidrat, sehingga terbentuk senyawa kompleks protein-karbohidrat-serat. Serat dalam tepung kelapa mengandung senyawa galaktomanan yang dapat menghambat peningkatan kadar kolesterol baik (HDL), sehingga dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes (Rindengan, 2015).

Pengujian Organoleptik Pengujian organoleptik terhadap roti

manis kelapa dengan perlakuan penambahan tepung kelapa tanpa peras dan sudah peras berupa nilai sensorik terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan kenampakan. Sebanyak 15 panelis telah berpartisipasi pada uji organoleptik roti manis yang ditambahkan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 23: e-ISSN 2477-0051

7Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

tepung kelapa tanpa peras dan sudah peras, dengan hasil uji sebagai berikut:

WarnaHasil pengujian organoleptik roti

manis kelapa terhadap warna dapat dilihat pada Gambar 2.

Aroma Hasil pengujian organoleptik roti manis

kelapa terhadap nilai sensori aroma dapat dilihat pada Gambar 3.

Hasil penilaian panelis terhadap aroma roti manis dengan penambahan kelapa berkisar antara 4,33-4,67 (Gambar 3) menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma roti manis yaitu pada kisaran netral (4) dan suka (5). Hasil analisis sidik ragam untuk aroma kedua jenis roti dari bahan tepung kelapa yaitu tidak berbeda nyata (p > 0,05). Ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh formula atau perlakuan yang diberikan sehingga menyebabkan terjadinya perbe-daan aroma pada kedua jenis roti tersebut, sehingga panelis memberikan penilaian yang sama terhadap aroma pada kedua jenis roti tersebut. Aroma berperan penting karena menentukan kesukaan panelis terhadap suatu produk. Aroma roti manis ditentukan oleh bahan yang digunakan rasionya. Kandungan lemak pada tepung kelapa berpengaruh terhadap pembentukan aroma khas pada roti manis. Tepung kelapa memiliki aroma yang harum khas kelapa yang dapat berkurang selama pengolahan (Putri, 2014).

Gambar 2. Hubungan antara penambahan tepung kelapa terhadap warna roti manis

Penilaian panelis terhadap warna roti manis dengan penambahan kelapa berkisar antara 4,00-4,73 (Gambar 2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap warna roti manis, yaitu pada kisaran netral (4) dan suka (5). Hasil analisis sidik ragam untuk warna roti manis dengan penambahan tepung kelapa tanpa peras dan sudah peras yaitu tidak berbeda nyata (p > 0,05). Ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh formula atau perlakuan yang diberikan sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan warna pada kedua jenis roti tersebut, sehingga panelis memberikan penilaian yang sama terhadap warna pada kedua jenis roti tersebut. Warna berperan penting karena menentukan kesukaan panelis terhadap suatu produk. Pembentukan warna pada roti manis dipengaruhi komposisi bahan baku (tepung terigu dan tepung kelapa) dan bahan tambahan lainnya (gula, telur, dan margarin). Gula berperan pada proses pembentukan warna karena bereaksi dengan asam amino dalam tepung terigu dan tepung kelapa sehingga terjadi reaksi Maillard (Afrianti et.al., 2016).

Gambar 3. Hubungan antara penambahan tepung kelapa terhadap aroma roti manis

Rasa Hasil pengujian roti manis kelapa

terhadap nilai sensori rasa dapat dilihat pada Gambar 4.

Hasil penilaian panelis terhadap rasa roti manis dengan penambahan kelapa

Aplikasi Tepung Kelapa... (Jamilah)

Page 24: e-ISSN 2477-0051

8Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

berkisar antara 4,20-4,93 (Gambar 4) pada kisaran netral (4) dan suka (5). Hasil analisis sidik ragam untuk rasa roti manis dengan penambahan tepung kelapa tanpa peras dan sudah peras yaitu tidak berbeda nyata (p > 0,05).

Ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh formula atau perlakuan yang menyebabkan terjadinya perbedaan rasa pada kedua jenis roti tersebut, sehingga panelis memberikan penilaian yang sama pada kedua jenis roti tersebut. Rasa untuk produk roti manis sangat dipengaruhi oleh subjektivitas konsumen (panelis), sehingga akan mempengaruhi tingkat kesukaankonsumen terhadap suatu produk. Pada umumnya warna makanan yang menarik memberikan asumsi bahwa makanan tersebut memiliki rasa yang enak, dan sebaliknya.

ada pengaruh formula yang menyebabkan terjadinya perbedaan kedua jenis roti tersebut dari segi tekstur. Tekstur merupakan kombinasi antara kekerasan, kekenyalan dan kerenyahan. Tekstur roti manis ditentukan oleh bahan yang digunakan. Menurut Karyantina (2010), telur mempengaruhi tekstur roti sebagai akibat dari pengaruh emulsifikasi, pengembangan, pengempukan dan pengikatan. Telur berperan dalam pembentukan tekstur produk, dimanatelur dalam adonan berikatan dengan serat yang berasal dari tepung kelapa membentuk suatu komposit yang kompak. Serat pada tepung kelapa juga berperan terhadap tekstur, penambahan tepung kelapa 20% menghasilkan roti manis yang teksturnya lebih keras dari 5%.

Gambar 4. Hubungan antara penambahan tepung kelapa terhadap rasa roti manis

TeksturHasil pengujian roti manis kelapa

terhadap nilai sensori tekstur dapat dilihat pada Gambar 5.

Panelis memberikan nilai tertinggi pada penambahan tepung kelapa 0% yaitu 5,07 dan terendah pada pada penambahan tepung kelapa tanpa peras 20% yaitu 4,07. Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur roti manis dengan penambahan tepung kelapa pada kisaran netral (4) dan sangat suka (6). Hasil analisis sidik ragam untuk warna roti manis dengan penambahan tepung kelapa tanpa peras dan sudah peras yaitu berbeda nyata (p < 0,05). Ini menunjukkan bahwa

Gambar 5. Hubungan antara penambahan tepung kelapa terhadap tekstur roti manis

KenampakanHasil pengujian roti manis kelapa

terhadap nilai sensori rasa dapat dilihat pada Gambar 6.

Hasil penilaian panelis terhadap kenampakan roti manis dengan penambahan kelapa berkisar antara 4,20-4,87 (Gambar 6) pada kisaran netral (4) dan suka (5). Hasil analisis sidik ragam untuk kenampakan roti manis dengan penambahan tepung kelapa tanpa peras dan sudah peras yaitu tidak berbeda nyata (p > 0,05). Ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh formula atau perlakuan yang diberikan sehingga menye-babkan terjadinya perbedaan kenampakan pada kedua jenis roti tersebut, sehingga panelis memberikan penilaian yang sama

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 25: e-ISSN 2477-0051

9Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

terhadap kenampakan pada kedua jenis roti tersebut. Kenampakan roti manis ditentukan oleh bahan yang digunakan, gula dapat memperbaiki tekstur dan kenampakan produk (Karyantina, 2010).

DAFTAR PUSTAKA1. Afrianti, F., R. Efendi dan Yusmarini. 2016.

Pemanfaatan Pati Sagu dan Tepung Kelapa dalam Pembuatan Kue Bangkit. JOM Faferta. 3(2):1-16.

2. Almatsier S. 2010. Prinsip dasar ilmu gizi. Cetakan Ke 9. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

3. Asrawaty. 2015. Karakteristik Tepung Kelapa Limbah Usaha Pemarutan Dan Pemerasan Santan di Pasar Inpres Manonda. Fakultas Pertanian Universitas Alkhairaat. Palu. Jurnal KIAT. Vol.7 (1).Desember 2015.

4. Detik Food. 2013. Apa Saja Nutrisi yang Terkandung di Dalam Santan. Ulasan. http://m.detik.com. Diakses tgl 22 Mei 2019.

5. Karyantina, Merkuria. 2010. Teknologi Roti dan Kue. https://merkuriakar yantina. files.wordpress.com/ 2010/04/ bahan-uts-tekn-kue-roti.pdf. Diakses tgl 10 April 2019.

6. Kumolontang,Nova.2014. Tepung Kelapa Sebagai Substituen Parsial Dalam Pembuatan White Bread. Balai Riset dan Standardisasi Industri Manado. Jurnal Penelitian Teknologi Industri.Vol. 6. No.2 Desember 2014: 63-70.

7. Murdani,H. 2010. Rahasia Membuat Roti Manis. Demedia Pustaka.Hal-52. http:www.bukabuku.com/browses/product/9789790820197/rahasia-membuat-roti-manis-html. Diakses tgl 19 Mei 2018.

8. Naim. 2016. Pengertian Roti dan Asal-Usul Roti: Cara Membuat Roti/Cake. Naim-ms-blogspot.com/2016/II/pengertian–roti.html.:roti-bolu-blogspot/2013/06/pengertian-roti-dan-asal-usul.html. Diakses tgl 1 Juli 2018.

9. Palungkun, Rony. 1993. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya, Jakarta.

10. Polii, F. Ferdinand. 2017. Pengaruh Substitusi Tepung Kelapa Terhadap Kandungan Gizi dan Sifat Organoleptik Kue Kering. Bulletin Palma. 18(2):91-98.

Gambar 6. Hubungan antara penambahan tepung kelapa terhadap kenampakan roti manis

Dari kriteria warna dan tekstur, perlakuan 5% dan 10% yang lebih disukai panelis, dari kriteria bau, rasa, kenampakan perlakuan 5%-15% yang lebih disukai panelis. Dari kriteria warna, aroma, rasa, tekstur, dan kenampakan menunjukkan bahwa perlakuan 5% dan 10% masuk dalam kategori yang lebih disukai panelis sehingga perlakuan penggunaan tepung kelapa 5-10% direkomendasikan untuk kegiatan produksi pembuatan roti manis. SIMPULAN

Semakin tinggi penambahan tepung kelapa tanpa peras dan tepung kelapa sudah peras pada pembuatan roti manis menyebabkan penurunan kadar air, protein, karbohidrat, sedangkan lemak, dan serat kasar cenderung mengalami peningkatan. Roti manis yang terbaik berdasarkan hasil uji organoleptik yang disukai oleh panelis yaitu roti manis berbahan tepung kelapa tanpa peras dan tepung kelapa yang sudah peras menggunakan 5% dan 10% tepung kelapa tanpa peras dan sudah peras dilihat dari tingkat kesukaan panelis, sehingga dapat direkomendasikan dalam pembuatan roti manis dengan penambahan tepung kelapa.

Aplikasi Tepung Kelapa... (Jamilah)

Page 26: e-ISSN 2477-0051

10Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

11. Putri,M.F.2014. Kandungan Gizi dan Sifat Fisik Tepung Ampas Kelapa Sebagai Bahan Pangan Sumber Serat.Teknobuga. 1(1): 32-43.

12. Rimbawan dan A.Siagian.2004. Indeks Glikemik. Penebar Swadaya Jakarta.

13. Rindengan, B. 2015. Ekstrak Galaktoma-nan Pada Daging Buah Kelapa dan Ampasnya Serta Manfaatnya untuk Pangan. Perspektif.14 (1):37-49.

14. Soekarto, S. dan Lubeis,Musa I. 1992. Petunjuk Laboratorium Metode Penelitian Indrawi. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. IPB Bogor.

15. Somaatmardjo, D. 1974. Pembuatan Roti. Balai Penelitian Kimia. Bogor.

16. Suhardiman. 1991. Pengolahan Buah dan Aneka Olahan dari Buah. Media Press.

17. Suhardiyanto.1990. Mutu Pengolahan Pangan Lokal. Semarang.

18. Suprapti.2003. Pembuatan dan Pe-manfaatan Tepung Ubi Jalar dalam Pembuatan Roti. Kanisius.Yogyakarta.

19. Standar Nasional Indonesia. 1992. Cara Uji Makanan Minuman SNI 01-2891-1992. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

20. Standar Nasional Indonesia. 2000. Kelapa Parut Kering SNI 01-3715-2000. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

21. Standar Nasional Indonesia. 1995. Roti Manis SNI 01-3840-1995. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

22. Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu PendekatanBiometrik. Edisi ke-2. Bambang Sumantri, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Proceduresof Statistics.

23. Wijaya H. 1974. Roti Pengganti Nasi yang Praktis. Majalah Info Pangan.

24. Winarno, 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Jakarta.

25. Zhou dan Hui.2004. Tepung Jagung Dalam Pembuatan Roti. Jurnal Tekno-logi Industri Pangan. Vol.XII. No 4. 2004.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 27: e-ISSN 2477-0051

11Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

FORMULASI MINUMAN EMULSI VCO MENGGUNAKAN VARIASI EMULSIFIER (GUM ARAB, TWEEN 80) DAN AIR

Formulation of VCO Emulsion Drink Using Emulsifier Variations (Arabic Gum, Tween 80) and Water

Judith MandeiBalai Riset dan Standardisasi Industri Manado

Jln. Diponegoro No. 21-23 Manado 95112, Sulawesi Utaraemail: [email protected]

abstract VCO emulsion beverage products were developed to overcome the oily taste of VCO, so that people can consume them directly. The aim of this study was to formulate high quality VCO emulsion drinks that can be accepted by consumers. The study consisted of two stages, namely preparation of basic emulsions using two types of emulsifier, i.e. arabic gum and tween 80 which were formulated with VCO and water. The VCO emulsion drinks were made with the ratio of basic emulsion (BE) to water (b/b) as follows: BEGum:water = 1:1; 1:2; and 1:3 as well asBET80:water = 1:1; 1:4; and 1:6. VCO emulsion beverage formula that meets the requirements and can be accepted by consumers is the one having the ratio of the basic emulsion (arabic gum) to water of 1:2. This product has characteristics that include a rather peculiar smell of VCO, slightly sweet sour taste typical of VCO, quite stable, pH 3.94, Total Plate Count (TPC) 1.4x102, Free Fatty Acid (FFA) content of 0.22%, peroxide number 1.64 mg eq O2/kg, 51% lauric acid and the content of Medium Chain Triglyceride (MCT) 65.74%.

keywords: Arabic gum, tween 80, VCO emulsion drinks

abstrak Produk minuman emulsi VCO dikembangkan untuk mengatasi rasa berminyak VCO, agar masyarakat dapat langsung mengonsumsinya. Tujuan penelitian adalah membuat formulasi minuman emulsi VCO yang berkualitas dan bisa diterima oleh konsumen. Penelitian ini terdiri atas dua tahap yaitu pembuatan emulsi dasar dengan menggunakan dua jenis emulsifier antara lain gum arab dan tween 80 yang diformulasikan dengan VCO dan air. Minuman emulsi VCO dibuat dengan perbandingan emulsi dasar (ED) dan air (b/b) sebagai berikut EDGum:air (1:1; 1:2; 1:3), dan EDT80:air (1:1; 1:4; 1:6). Formula yang memenuhi syarat dan dapat diterima konsumen adalah minuman emulsi VCO dengan perlakuan emulsi dasar gum arab dan air 1:2. Produk ini mempunyai karakteristik meliputi bau agak khas VCO, rasa asam manis sedikit khas VCO, cukup stabil, pH 3,94, Angka Lempeng Total (ALT) 1,4x102, kadar asam lemak bebas (FFA) 0,22%, bilangan peroksida 1,64 mg ek O2/kg, asam laurat 51%, dan kandungan Medium Chain Triglyceride (MCT) 65,74%.

kata kunci: Gum arab, tween 80, minuman emulsi VCO

PENDAHULUANProvinsi Sulawesi Utara merupakan

daerah penghasil tanaman kelapa yang cukup potensial. Menurut data dari Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Utara, luas areal tanaman kelapa Sulut pada tahun 2016 adalah sebesar 277.735,08 dengan produksi sebesar 274.200,12 ton (Kristiningsih et al., 2017). Produk utama yang dikembangkan dari tanaman kelapa adalah minyak kelapa. Saat ini, penelitian-penelitian baru tentang keistimewaan minyak kelapa berkembang dimana minyak dihasilkan tanpa melalui proses pemanasan maupun penambahan

bahan kimia, sehingga kandungan berharga dalam minyak tetap dapat dipertahankan. Minyak yang dihasilkan melalui proses tersebut dikenal dengan minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil). Dalam SNI 7381:2008, VCO didefinisikan sebagai minyak yang diperoleh dari daging buah kelapa (Cocos nucifera L.) tua segar yang diproses dengan diperas, dengan atau tanpa penambahan air, tanpa pemanasan atau pemanasan tidak lebih dari 60°C dan aman dikonsumsi manusia (BSN 2008).

Virgin Coconut Oil memiliki kandungan asam lemak kelompok Medium Chain

Page 28: e-ISSN 2477-0051

12Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

sistem dan penambahan bahan penstabil/pengemulsi (emulsifier) dilakukan untuk mempertahankan sistem untuk tetap terdispersi (Suprobo dan Rahmi, 2015). Emulsifier berfungsi mengurangi tegangan antar muka antara minyak dan air, meminimalkan energi permukaan dari droplet yang terbentuk (Laverius, 2011). Emulsifier adalah bahan tambahan pangan untuk membantu terbentuknya campuran yang homogen dari dua atau lebih fase yang tidak tercampur seperti minyak dan air (BPOM, 2013). Emulsifier biasanya adalah molekul ampifilik yang memiliki gugus hidrofobik dan hidrofilik pada molekul yang sama, seperti surfaktan dengan molekul kecil, fosfolipid, protein, polisakarida, dan polimer aktif permukaan lainnya. Dalam beberapa aplikasi, emulsi dapat diformulasikan menggunakan satu jenis emulsifier. Namun dalam banyak aplikasi, pembentukan stabilitas dan atribut fungsional emulsi dapat ditingkatkan dengan menggunakan kombinasi penge-mulsi (McClements dan Jafari, 2017).

Tipe emulsifier biasa didasarkan pada konsep Hidrophilic Lipophilic Balance, HLB (Kunieda dan Shinoda, 1985). HLB merupakan karakter yang mendefinisikan afinitas relatif untuk minyak dan air. Keseimbangan hidrofilik-lipofilik terletak di tengah, yaitu pada angka 10 dari skala HLB. Surfaktan dengan nilai HLB rendah (2-6) menstabilkan emulsi air dalam minyak, sedangkan surfaktan dengan nilai HLB tinggi (8-18) menstabilkan emulsi minyak dalam air. Untuk surfaktan campuran, HLB yang efektif dapat dihitung dari konsentrasi dan nomor HLB dari pengemulsi individual (Mcclements dan Jafari, 2017). Contoh produk emulsifier yang sesuai untuk membuat emulsi minyak dalam air adalah tween 80 yang memiliki HLB antara 8-16 (Aziz, 2016). Selain itu, gum arab banyak dipakai dalam industri makanan antara lain digunakan sebagai campuran minuman untuk mengurangi tekanan permukaan air dan stabilizer. Gum arab merupakan agen pengemulsi yang efektif karena kemampuannya sebagai koloid pelindung. Gum arab juga sering

Triglycerides (MCT) sebesar 52-68%, dengan jumlah MCT tertinggi berupa asam laurat berkisar 45-55%. Asam lemak tersebut mudah diserap oleh tubuh karena ukuran molekulnya tidak terlalu besar seperti pada asam lemak rantai panjang. VCO mampu mencegah dan mengobati berbagai penyakit seperti mampu membunuh virus, bakteri, meningkatkan daya tahan tubuh, melembutkan kulit dan sebagainya. MCT merupakan hasil pengolahan lebih lanjut dari VCO yang berkualitas bagus melalui proses esterifikasi gliserol yang diturunkan dari minyak nabati dengan kadar laurat yang tinggi. MCT bersifat sangat stabil, tidak berbau, tidak mengental atau menggumpal meski berada pada suhu 0°C karena ikatan kimianya berbentuk ester. Rasa minyak MCT mirip air, tidak seperti minyak. MCT lebih mudah diurai dan diserap tubuh karena molekulnya lebih kecil. Oleh karena itu, lebih sedikit energi dan enzim yang diperlukan untuk memecahnya dalam saluran pencernaan. Pemecahan telah terjadi di usus, sehingga mengurangi penggunaan enzim lipase dari pankreas dan asam empedu. Oleh karena itu, minyak ini sangat baik bagi orang yang bermasalah dengan pencernaan dan metabolik (Syah, 2010). Namun VCO masih memiliki rasa berminyak yang sulit diterima oleh masyarakat sebagai minuman.

Untuk mengatasi hal tersebut, VCO dibuat menjadi emulsi dan sebelum dikonsumsi, emulsi dasar VCO ini dikembangkan menjadi produk minuman dengan cara ditambah air dan bahan tambahan lain. Produk emulsi yang diminum biasanya tipe emulsi o/w dimana minyak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase pendispersi, sehingga produk tersebut mempunyai rasa yang lebih enak walaupun yang diberikan sebenarnya adalah minyak yang tidak enak rasanya (Tensiska et al., 2007). Emulsi ini dapat ditambahkan flavor dan pemanis sehingga menjadi produk yang enak dan disukai.

Emulsi merupakan sistem yang tidak stabil. Oleh karena itu, penggunaan alat mekanis dibutuhkan untuk mendispersikan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 29: e-ISSN 2477-0051

13Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

digunakan dalam persiapan pangan emulsi minyak dalam air yang mampu menstabilkan sebagian besar minyak pada kisaran pH yang luas dan dengan keberadaan elektrolit meskipun tanpa penambahan agen penstabil lainnya. Meskipun mekanisme emulsifikasi gum arab belum dimengerti dengan jelas, namun diduga karena kemampuannya membentuk film sehingga mencegah coalescence globula minyak (Glicksman dan Sand, 1973). Penelitian tentang formulasi produk emulsi kaya beta karoten dari minyak sawit merah menunjukkan bahwa gum arab akan menghasilkan emulsi yang stabil pada rasio minyak:air:gum arab 90:48:22.5 (56:30:14). Uji stabilitas dilakukan dengan cara mendiamkan emulsi selama 5 hari (Aryanto, 2011).

Beberapa faktor penentu stabilitas emulsi antara lain jenis dan jumlah emulsifier. Produk minuman emulsi yang dibuat merupakan produk emulsi minyak dalam air, dimana untuk membuat produk ini dibutuhkan emulsifier dengan nilai HLB tinggi (8-18). Tween 80 mempunyai nilai HLB 8-16 (Aziz, 2016) sehingga sesuai untuk produk ini. Sedangkan menurut (Glicksman dan Sand, 1973) gum arab juga sering digunakan dalam produk pangan emulsi minyak dalam air dan mampu menstabilkan sebagian besar minyak pada kisaran pH yang luas. Oleh karena itu dalam penelitian ini dibuat minuman emulsi VCO menggunakan dua jenis emulsifier yaitu tween 80 dan gum arab dengan beberapa formula. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi minuman emulsi VCO yang berkualitas dan bisa diterima oleh konsumen.

METODOLOGIBahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging buah kelapa, gum arab, tween 80, air mineral, sukrosa (gula pasir), asam sitrat, flavor dan bahan-bahan untuk pengujian laboratorium. Gum arab diperoleh dari Sigma-Aldrich dengan spesifikasi: Warna putih beige, bentuk tepung (powder), kadar air ≤ 15%, residu tidak larut

≤ 0,2%, kadar pati negatif dan tannin-bearing gums negatif. Polisorbat/tween 80 diperoleh dari Sigma-Aldrich dengan spesifikasi: Warna kuning pucat, bentuk cairan kental, indeks refraksi pada 20ºC 1.470-1.475, kadar air dengan metode Karl Fischer ≤ 3,0%, residu abu ≤ 0,25%, bilangan asam ≤ 2 mg KOH/g, bilangan hidroksil 65-80 mg KOH/g, bilangan penyabunan 45-55 mg KOH/g, kandungan arsen ≤ 3 ppm, kadmium ≤ 1 ppm, merkuri ≤ 1 ppm, dan timbal ≤ 10 ppm.

Alat-alat yang digunakan adalah timbangan, gelas ukur, homogenizer, wadah pencampur, pengaduk, sentrifuse, termometer, wadah stoples plastik berlubang, stoples plastik, botol plastik atau botol kaca, dan peralatan untuk pengujian laboratorium.

Metode PenelitianPenelitian terdiri atas dua tahap:

1. Pembuatan emulsi dasar dengan komposisi air:VCO:emulsifier (b/b) dengan komposisi seperti pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1 didasarkan pada penelitian Aryanto (2011) gum arab menghasilkan emulsi yang stabil pada rasio minyak/air/gum arab 90:48:22.5 (56:30:14). Tabel 2 mengacu pada patent No. US 6902756 B2, Juni 2005 inventor (Vlad, 2016), mikroemulsi minyak dalam air (M/A) mengandung minyak sekitar 30%, surfactant 1-30% dengan nilai Hydrophilic-Lipophilic Balance HLB 9-18 (paling baik 12-15), co-solvent kurang dari 20%, air sekitar 30%.

Tabel 1. Perbandingan Air, VCO dan Gum Arab (b/b)

Komposisi Air VCO Gum Arab

A 29 57 14B 36 57 7C 38 57 5

Formulasi Minuman Emulsi... (Judith Mandei)

Page 30: e-ISSN 2477-0051

14Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Parameter yang Diuji1. Bahan baku VCO komposisi asam lemak

dibandingkan dengan syarat mutu VCO SNI 7381:2008 untuk komposisi asam lemak.

2. Emulsi dasar: stabilitas emulsi diamati secara visual dengan melihat gejala creaming (terjadinya pemisahan) fase.

3. Minuman emulsi VCO: uji organoleptik (rasa, bau, warna, kestabilan emulsi) sesuai SNI 7381:2008, kestabilan emulsi dengan pengujian stabilitas terhadap pemanasan dilakukan dengan memanaskan sampel emulsi (15 mL) pada suhu 105 °C selama 5 jam dalam oven (Cho et al., 2012), pengukuran pH sesuai SNI 01-2891-1992, kadar FFA, bilangan peroksida, komposisi asam lemak (SNI 7381:2008) dan Angka Lempeng Total (ALT) sesuai SNI 2897: 2008.

HASIL DAN PEMBAHASANEmulsi Dasar

Emulsi dasar yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa emulsi dasar yang dibuat dengan komposisi A yaitu air: VCO: gum arab (b/b) 29:57:14 sangat tidak stabil dimana ketika dibiarkan segera mulai terjadi pemisahan fase cair dan padatan.

Tabel 2. Perbandingan Air, VCO dan Tween 80 (b/b)

Komposisi Air VCO Tween 80D 53 30 17E 60 30 10F 65 30 5G 36 57 7H 38 57 5

Tahap pertama menggunakan metode Trial and error. Emulsi dasar terbaik digunakan dalam pembuatan minuman emulsi.

2. Pembuatan minuman emulsi VCO menggunakan metode percobaan dengan perlakuan sebagai berikut:

Perbandingan emulsi dasar (ED) dan air (b/b) yaitu :

EDGum:air = 1:1 EDGum:air = 1:2 EDGum:air = 1:3 EDT80:air = 1:1 EDT80:air = 1:4 EDT80:air = 1:6 Masing-masing perlakuan ditambahkan

dengan flavor 0,5% (b/b), sukrosa 10% (b/b), dan asam sitrat 0,1% (b/b).

Pembuatan produk emulsi dengan penambahan pemanis maupun flavor diharap-kan dapat meningkatkan mutu organoleptik, khususnya karakteristik mouthfeel serta rasa dari produk VCO.

Pembuatan Minuman EmulsiEmulsifier dilarutkan dalam air sesuai

perbandingan (Tabel 1 dan 2), dihomogenisasi kemudian tambahkan VCO sambil terus dihomogenisasi. Diperoleh emulsi dasar VCO yang akan digunakan pada pembuatan minuman emulsi VCO.

Masing-masing emulsi dasar baik yang menggunakan emulsifier gum arab maupun tween 80, ditambahkan air sesuai perlakuan, sukrosa 10%, flavor 0,5% dan asam sitrat 0,1%. Selanjutnya produk emulsi VCO dikemas dalam botol plastik atau kaca dan dipasteurisasi pada suhu 63-65,5°C selama 15 menit dan siap untuk dianalisis.

Gambar 1. Emulsi Dasar dengan Beberapa Variasi Perbandingan VCO, Air dan Gum Arab

Untuk emulsi dasar yang dibuat dengan komposisi C (38:57:5), dalam waktu 1 jam mulai terjadi pemisahan fase. Komposisi emulsi dasar paling stabil adalah komposisi B yaitu air: VCO: gum arab (b/b) 36:57:7.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 31: e-ISSN 2477-0051

15Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Dari Gambar 2 terlihat bahwa dari 5 (lima) komposisi perbandingan air, VCO dan tween 80 (b/b) yang dicoba (Tabel 2) maka komposisi D, E, F, H mengalami pemisahan fase sesudah didiamkan selama 2 jam. Sedangkan komposisi G (air:VCO:tween 80 = 36:57:7) tetap stabil dan tidak mengalami pemisahan.

Gambar 2. Emulsi Dasar dengan Beberapa Variasi Perbandingan VCO, Air dan Tween 80.

Berdasarkan hal-hal tersebut, dari beberapa komposisi perlakuan emulsi dasar yang dicobakan, hasil emulsi yang terbaik adalah perbandingan Air, VCO dan emulsifier (gum arab/tween 80) yaitu 57:36:7 (Gambar 3). Hal ini berdasarkan pengamatan kestabilan emulsi dimana formula ini menghasilkan emulsi yang paling stabil dengan penampakan homogen. Produk emulsi dasar ini selanjutnya digunakan untuk pembuatan minuman emulsi VCO dengan perlakuan perbandingan emulsi dasar dan air.

visual untuk gejala terjadinya pemisahan fase dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Gejala Pemisahan Fase pada Produk Emulsi Dasar

Produk Emulsi Dasar

Gejala Pemisahan Fase

Air:VCO:Tween 80(36:57:7)

Tidak terjadi pemisahan (tetap stabil)

Air:VCO:Gum Arab(36:57:7)

Terjadi pemisahan 2 fase setelah 2 jam (5/6 bagian keruh dan 1/6 bagian agak jernih)

Hasil pengamatan terhadap kestabilan emulsi dasar VCO menggunakan dua macam emulsifier yaitu tween 80 dan gum arab menunjukkan bahwa emulsi dasar yang dibuat menggunakan emulsifier tween 80 dengan komposisi VCO:tween 80:air = 57:7:36 sangat stabil karena sampai pengamatan satu bulan belum ada gejala pemisahan dari emulsi dasar ini. Sedangkan emulsi dasar yang menggunakan emulsifier gum arab menunjukkan gejala pemisahan dalam waktu dua jam, dimana terbentuk dua fase dan bagian yang kelihatan kurang stabil sekitar seperenam bagian. Ini sejalan dengan penelitian Glicksman dan Sand (1973), yang menyatakan bahwa tween 80 merupakan emulsifier yang lebih stabil dari gum arab. Hal ini berarti bahwa kesetimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak-menolak yang terjadi antar partikel dalam sistem emulsi yang menggunakan tween 80 dengan komposisi VCO: tween 80:air = 57:7:36 dapat dipertahankan tetap seimbang, dimana partikel-partikel dalam sistem emulsi ini dapat dipertahankan untuk tidak bergabung sehingga emulsi dasar yang dihasilkan tetap stabil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dybowska (2008) tentang prinsip dasar kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak-menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka penggabungan partikel-partikel emulsi dapat dicegah.

Gambar 3. Emulsi dasar dengan Perbandingan Air:VCO:Emulsifier 180:285:35 (36:57:7)

Stabilitas emulsi diamati secara visual dengan melihat gejala creaming (terjadinya pemisahan) fase. Hasil pengamatan secara

Formulasi Minuman Emulsi... (Judith Mandei)

Page 32: e-ISSN 2477-0051

16Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Minuman Emulsi VCOPengujian organoleptik dilakukan

berdasarkan penilaian panelis terhadap

Gambar 4. Stabilitas Pemanasan Minuman VCO dengan Emulsifier Tween 80 (atas)

dan Gum Arab (bawah)

Hasil uji organoleptik minuman emulsi VCO (Tabel 4) menunjukkan bahwa untuk kestabilan, minuman emulsi VCO dengan perbandingan emulsi dasar tween 80:air (1:6)

merupakan minuman emulsi yang paling stabil. Hal ini disebabkan tidak terjadi pemisahan fase/produk terlihat homogen. Namun produk minuman ini tidak disukai karena rasanya agak pahit. Rasa pahit disebabkan oleh emulsifier tween 80 karena semua produk minuman VCO yang menggunakan emulsifier tween 80 memiliki rasa yang agak pahit, seperti yang dinyatakan dalam (Rowe et al., 2009) bahwa pada suhu 25ºC, tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Sedangkan produk minuman yang menggunakan emulsifier gum arab untuk semua variasi perlakuan memiliki rasa manis, asam dan sedikit khas VCO tanpa rasa pahit sama sekali, namun agak kurang stabil dibandingkan minuman VCO yang menggunakan emulsifier tween 80. Bau khas dari VCO muncul pada minuman yang menggunakan emulsifier gum arab disebabkan sifat dari gum arab yang tidak mempengaruhi rasa, bau maupun warna dari produk. Menurut Glicksman dan Sand (1973), gum arab bau khas dari VCO muncul pada

Tabel 4. Hasil Uji Organoleptik Minuman Emulsi VCO

Perbandingan emulsi dasar

dan airPenampakan Bau Rasa Kestabilan Keberterimaan

Panelis

EDG:Air (1:1)Minyak kelihatan

di permukaan produk

Khas VCOManis, asam,

ada sedikit khas VCO

Agak stabil bisa diterima panelis

EDG:Air (1:2)

Sedikit berminyak di permukaan

produk

Sedikit khas VCO

Manis, asam, ada sedikit khas

VCO

Cukup stabil

bisa diterima panelis

EDG:Air (1:3) Minyak tidak kelihatan

Masih ada khas VCO

Manis, asam, ada sedikit

sekali khas VCO

Cukup stabil

bisa diterima panelis

EDT80:Air (1:1) Minyak tidak kelihatan

Khas tween

80Pahit Cukup

stabiltidak diterima

panelis.

EDT80:Air (1:6) Minyak tidak kelihatan

Khas tween

80Agak pahit Stabil tidak diterima

panelis.

penampakan, bau, rasa dan kestabilan dari produk minuman emulsi VCO. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 4.

Hasil pengamatan stabilitas emulsi dasar terhadap pemanasan dapat pada Gambar 4.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 33: e-ISSN 2477-0051

17Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

minuman yang menggunakan emulsifier gum arab disebabkan sifat dari gum arab yang tidak mempengaruhi rasa, bau maupun warna dari produk, tidak beracun, tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, dan benar-benar larut dalam air dan tidak mempengaruhi rasa, bau, atau warna makanan yang ditambahkan. Emulsifier tween 80 menghilangkan bau khas VCO pada minuman emulsi karena bau tween 80 lebih dominan dibandingkan

bau VCO. Produk minuman emulsi VCO yang menggunakan emulsi dasar gum arab untuk semua perlakuan yang dicoba, dapat diterima oleh panelis.

Hasil Uji Kimia dan Mikrobiologi Minuman Emulsi VCO

Hasil analisis laboratorium produk minuman VCO dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisis ALT, pH, FFA dan Bilangan Peroksida Minuman Emulsi VCO

Minuman VCO (perbandingan emulsi

dasar dan air)

Angka Lempeng Total (koloni/g) pH FFA (%) Bilangan Peroksida

(mg ek O2/kg)

EDG:Air (1:1) 3,5x102 4,02 0,18 1,14EDG:Air (1:2) 1,4x102 3,94 0,19 1,64EDG:Air (1:3) 3,5x 02 3,93 0,29 1,57

EDT80:Air (1:1) 2x101 2,92 0,27 3,67EDT80:Air (1:4) 6x101 2,93 0,27 3,27EDT80:Air (1:6) 9x101 2,93 0,22 4,89

Persyaratan Maks. 2x102 *) - Maks. 0,2**) Maks. 2,0**)

*) SNI 7388:2009 Batas Maksimal Cemaran Mikroba dalam Pangan untuk minuman tidak berkarbonat berperisa

**) SNI 7381:2008 Minyak Kelapa Murni (VCO)

Hasil analisis ALT produk minuman emulsi VCO menunjukkan bahwa semua produk yang menggunakan Tween 80 memenuhi syarat mutu SNI 7388:2009. Batas Maksimal Cemaran Mikroba dalam Pangan; ALT untuk minuman tidak berkarbonat berperisa yaitu maksimal 2x102. Sedangkan untuk produk yang menggunakan emulsifier gum arab hanya produk dengan perlakuan perbandingan emulsi dasar:air = 1:2 yang memenuhi syarat SNI 7388:2009.

ALT dari produk minuman emulsi VCO juga dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH), dimana produk minuman emulsi VCO dengan pH rendah (menggunakan Tween 80) memiliki ALT lebih rendah daripada minuman emulsi dengan pH lebih tinggi (menggunakan gum arab). Hal ini berarti pertumbuhan mikroba pada produk minuman emulsi VCO dengan menggunakan emulsifier gum arab lebih cepat terjadi. Menurut Rowe et al.

(2009), tween 80 (surfaktan nonionik) dapat meningkatkan daya tahan suatu produk terhadap mikroba sehingga produk yang dihasilkan awet.

pH dari minuman emulsi VCO berkisar dari 2,92-4,02 atau bersifat asam yang disebabkan keasaman dari emulsifier yang digunakan yaitu tween 80 dan gum arab. Menurut Rowe et al. (2009) tween 80 mempunyai pH 2,0, sedangkan dalam Gidley dan Reid (2006) dinyatakan bahwa pH alami gum arab berkisar 3,9-4,9. Produk minuman emulsi VCO yang menggunakan emulsifier tween 80 mempunyai pH 2,92-2,93, sedangkan yang menggunakan emulsifier gum arab mempunyai pH 3,93-4,02. Derajat keasaman dari produk minuman VCO mempengaruhi pertumbuhan mikroba sehingga produk minuman VCO yang menggunakan emulsifier tween 80 lebih awet karena ALTnya lebih kecil dari produk yang menggunakan emulsifier gum arab.

Produk minuman emulsi yang menggunakan gum arab memiliki kadar FFA yang relatif lebih rendah dibandingkan

Formulasi Minuman Emulsi... (Judith Mandei)

Page 34: e-ISSN 2477-0051

18Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

produk yang menggunakan emulsifier tween 80. Kadar FFA dalam produk minuman emulsi yang menggunakan tween 80 yang nilainya mendekati persyaratan (0,2%) hanya ditunjukkan oleh produk dengan komposisi emulsi dasar:air (1:6). Produk dengan komposisi yang lain memiliki kadar FFA yang melebihi persyaratan. Untuk produk yang menggunakan gum arab, produk dengan komposisi emulsi dasar:air 1:1 dan 1:2 memiliki nilai FFA di ambang batas (0,2%), sedangkan produk dengan komposisi 1:3 mengandung FFA 0,3% (tidak memenuhi syarat SNI 7381:2008).

Nilai rata-rata FFA produk minuman emulsi VCO yang menggunakan emulsifier tween 80 lebih tinggi daripada nilai rata-rata produk minuman emulsi VCO yang menggunakan emulsifier gum arab. Hal ini diduga berhubungan dengan salah satu sifat dari tween 80 yaitu higroskopik (Rowe et al., 2009) sehingga hidrolisis dalam minuman emulsi VCO mudah terjadi yang membentuk FFA.

Semua produk minuman emulsi menggunakan emulsifier gum arab memiliki bilangan peroksida di bawah 2,0 mg ek O2/kg atau memenuhi syarat mutu SNI 7381:2008 untuk Minyak Kelapa Murni

(VCO). Sedangkan semua produk minuman emulsi VCO yang menggunakan emulsifier tween 80 tidak memenuhi syarat mutu untuk kadar bilangan peroksida. Rowe et al. (2009) menyatakan bahwa tween 80 merupakan ester asam oleat yang sensitif terhadap oksidasi. Emulsifier ini dapat membentuk peroksida dalam penyimpanannya. Oleh karena itu, tween 80 harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya, dan dalam tempat sejuk dan kering. Tingginya bilangan peroksida diduga dipengaruhi wadah penyimpanan. Emulsifier tween 80 dikemas dalam botol plastik transparan, sedangkan produk minuman emulsi VCO dikemas dalam wadah/botol plastik Polyethylene Therepthalate (PET) yang transparan sehingga pembentukan peroksida mulai terjadi dari bahan pengemulsi tween 80 sampai ke produk minuman emulsi VCO yang menggunakan emulsifier tween 80.

Komposisi Asam Lemak Hasil analisis komposisi asam lemak

dan perhitungan persentase kandungan asam lemak rantai menengah (Medium Chain Tryglyceride) pada produk minuman emulsi VCO dan emulsi dasar dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Analisis Komposisi Asam Lemak dari Minuman Emulsi VCO

Parameter satuan EDG:Air (1:1)

EDG:Air (1:2)

EDG:Air (1:3)

EDT80:Air (1:1)

EDT80:Air (1:4)

EDT80:Air (1:6) EDT80 EDG

Komposisi asam lemakAsam lemak jenuh:Butirat (C4) % 0 1,07 0 0 0 0 0 0Kaproat (C6) % 0,41 0,82 0,72 0,38 0,48 0,98 0,42 0,45Kaprilat (C8) % 6,66 7,51 7,24 6,19 6,72 7,20 6,53 7,02Kaprat (C10) % 6,03 6,41 6,25 5,71 5,88 6,16 5,78 6,07Laurat (C12) % 49,96 51,00 52,13 49,09 50,11 51,09 47,22 49,01Miristat (C14) % 19,97 17,46 19,16 19,98 19,50 19,00 19,82 19,35Palmitat (C16-0) % 9,61 6,55 7,58 9,81 9,20 8,57 10,05 9,44Stearat (C18-0) % 2,78 1,12 1,35 2,67 2,13 2,05 3,03 2,88Asam lemak tidak jenuhOleat (C18-1) % 0,61 0 0 0,85 0,97 0,75 1,49 1,03Linoleat (C18-2) % 0 0 0 0 0 0 0,31 0,35Linolenat (C18-3) % 0 0 0 0 0 0 0 0Asam elaidat*) % 3,75 - 2,13 5,11 4,44 3,60 5,34 4,23

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 35: e-ISSN 2477-0051

19Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Metil 4-oxopen-tanoat

% 0,23 7,09 3,00 0,20 0,58 0,98 - -

4-oxo-5-metoxy-2-penten-5-olidi

- - 0,97 0,44 - - - - -

11-dodecen-1-ol,2,4,6-trimetil

- - - - - - - - 0,17

Jumlah MCT % 63,08 65,74 66,34 61,37 63,19 65,43 59,95 62,55

Tabel 6 menunjukkan bahwa kandungan MCT dari emulsi dasar maupun produk minuman emulsi VCO berkisar pada 59,95-66,34% (persentase jumlah bahan yang diuji) dan masih sesuai dengan kandungan MCT dari VCO yaitu 52-68% dengan persentase asam lemak tertinggi yaitu asam laurat berkisar 45-55%, sedangkan kisaran persentase asam laurat dari bahan yang diuji adalah 47,22-52,13%. Asam lemak tersebut mudah diserap oleh tubuh karena ukuran molekulnya tidak terlalu besar seperti pada asam lemak rantai panjang.

SIMPULANFormula minuman emulsi VCO yang

memenuhi syarat dan cukup stabil dengan rasa campuran manis, asam, dengan rasa dan bau sedikit khas VCO adalah formulasi dengan perbandingan emulsi dasar gum arab dan air 1:2. Formula ini cukup stabil, mempunyai pH 3,94, Angka Lempeng Total (ALT) 1,4x102, kadar FFA 0,22%, bilangan peroksida 1,64 mg ek O2/kg, dengan persentase asam laurat 51% dan persentase MCT 65,74%.

DAFTAR PUSTAKA 1. Aryanto, D. 2011. Proses Pembuatan

Produk Emulsi Kaya β-Karoten dari Minyak Sawit Merah dengan High Pressure Homogonizer. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor.

2. Azis, A. 2016. Pengaruh Konsentrasi Minyak dan Emulsifier terhadap Karakteristik Nanoemulsi Minyak Kayu Manis (Cinnamomum burma-nii). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor.

3. BPOM, 2013. Batas Maksimum Peng-gunaan Bahan Tambahan Pangan Pengemulsi. Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta.

4. BSN, 2008. Virgin Coconut Oil SNI 7381:2008.1–28. Badan Standar-disasi Nasional. Jakarta.

5. Dybowska and Brygida, E. 2008. Properties of Milk Protein Concentrate Stabilized Oil-in-Water Emulsions. Journal of Food Engineering 88 (4): 507–13. doi:10.1016/ j. jfood-eng.2008.03.010.

6. Gidley, Michael, J.and Reid, J. S. G. 2006. Galactomannans and Other Cell Wall Storage Polysaccharides in Seeds. Food Polysaccharides and Their Applications. doi:doi:10. 1 2 0 1 / 9 7 8 1 4 2 0 0 1 5 1 6 4 . c h 6 \r10.1201/9781420015164.ch6.

7. Glicksman, Martin, and Sand, R. E. 1973. Gum Arabic. Industrial Gums, 197–263. doi:10.1016/B978-0-12-746252-3.50015-0.

8. Kristiningsih, T., Robby A. F, A. Puspita, R. Sulistiowati, E. G. Wongkar, and F. Magdalena. 2018. Provinsi Sulawesi Utara Dalam Angka 2018. Edited by I. T. Raharto, A. Unonongo, and F. A. Tarigan. Manado: BPS Provinsi Sulawesi Utara.

9. Kunieda, Hironobu, and Shinoda, K. 1985. Evaluation of the Hydrophile-Lipophile Balance (HLB ) of Nonionic Surfactants. 107 (1).

10. Laverius, M. F. 2011. Optimasi Tween 80 dan Span 80 sebagai Emulsifying Agent serta Carbopol sebagai Gelling Agent dalam Sediaan Emulgel Photoprotector Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis, L): Aplikasi Desain Faktorial. Fakultas

Formulasi Minuman Emulsi... (Judith Mandei)

Page 36: e-ISSN 2477-0051

20Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Farmasi Universitas Saata Dharma, Yogyakarta.

11. McClements, Julian, D and Jafari, S. M. 2017. Improving Emulsion Formation, Stability and Performance Using Mixed Emulsifiers: A Review. Advances in Colloid and Interface Science. Elsevier B.V. doi:10.1016/j.cis.2017.12.001.

12. Rowe, R. P, Sheskeyand Quinn, M. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients. Handbook of Pharma-ceutical Excipients, 6th Edition, 549–53. doi:10.1016/S0168-3659(01)00243-7.

13. Suprobo, S. dan Rahmi, D. 2015. Pengaruh Kecepatan Homegenisasi terhadap Sifat Fisika dan Kimia Krim Nanopartikel dengan Metode High

Speed Homogenization (HSH). Jurnal Litbang Industri Vol. 5 No. 1, Juni 2015 ; 1-12.

14. Syah, A. N. A. 2010. Teknologi Mikroemulsi 48% Senyawa MCT (Medium Chain Triglyceride) dari Virgin Coconut Oil (VCO) untuk Produksi Minuman Penguat Immunitas (Menekan Jumlah Leukosit dalam Darah < 10.500/µl) dengan Tingkat Kestabilan Emulsi dan Daya Simpan Min. 1 Tahun. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

15. Tensiska, Setiasih, I. S. dan Irawati, D. 2007. Deskripsi Minuman Emulsi VCO. Unpad, FTIP, 978–79.

16.Vlad, F. 2016. (12) United States Patent No. US 6,902,756 B2, issued 2016.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 37: e-ISSN 2477-0051

21Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENGARUH LAMA FERMENTASI DAN PENGEPRESAN BERULANG TERHADAP MUTU KAKAO BUBUK

The Effect of Fermentation Time and Repeated Pressing on Cocoa Powder Quality

Melia Ariyanti, Sitti Ramlah, dan Medan YumasBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof. Dr. H. Abdurahman Basalamah No.28 Makassaremail: [email protected]

abstract This study aims to determine the effect of fermentation time and repeated pressing on the cocoa powder quality produced according to SNI 3747: 2009. The research method used experiment method with 4 treatments ie fermentation length 5 and 6 days and repetition of 3 and 4 presses, and then the results being analized descriptively. The cocoa beans used are from Belopa, Luwu Regency of South Sulawesi. Parameters analyzed in accordance with SNI 3747: 2009 cocoa powder include state, smoothness, moisture content, fat content, metal contamination, and microbial contamination. The results showed that in general the quality of fermented cocoa powder of the research results have met the quality standards of Cocoa Powder SNI 3747: 2009. Water content of cocoa powder according to the maximum standard of 5.0% that is between 3,69-4,3 %. More pressing treatment can reduce the fat content contained in cocoa powder. The resulting fat content ranged from 11,32 - 14,82 %.

keywords: cocoa powder, fermentation time, quality, pressing, SNI 3747:2009

abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi dan pengepresan berulang terhadap mutu kakao bubuk yang dihasilkan sesuai SNI 3747: 2009. Metode penelitian menggunakan metode eksperimen dengan 4 perlakuan yaitu lama fermentasi 5 dan 6 hari serta pengulangan pengepresan 3 dan 4 kali press, kemudian dianalisis secara deskriptif. Biji kakao yang digunakan berasal dari Belopa, Luwu, Sulawesi Selatan. Parameter yang dianalisa sesuai dengan SNI 3747: 2009 kakao bubuk meliputi keadaan, kehalusan, kadar air, kadar lemak, cemaran logam, dan cemaran mikroba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum mutu kakao bubuk fermentasi hasil penelitian sudah memenuhi standar mutu kakao bubuk SNI 3747: 2009. Kadar air kakao bubuk sesuai standar maksimum 5,0 % yaitu antara 3,69-4,3 %. Semakin banyak perlakuan pengepresan dapat mengurangi kadar lemak yang terdapat dalam kakao bubuk. Kadar lemak yang dihasilkan berkisar antara 11,32-14,82%.

kata kunci: kakao bubuk, lama fermentasi, mutu, pengepresan, SNI 3747: 2009

PENDAHULUANKakao bubuk merupakan produk yang

diperoleh dari bungkil kakao yang dihaluskan menjadi bubuk. Kakao bubuk di Indonesia banyak dimanfaatkan oleh industri makanan dan minuman sebagai campuran dalam produk olahan pangan berbasis cokelat. Permasalahan yang ada dalam industri adalah kakao bubuk yang masih tinggi kadar lemaknya, serta kualitas warna bubuk yang belum seragam dibandingkan kakao bubuk impor (Mulato et al., 2005).

Proses pengolahan biji kakao menjadi kakao bubuk melalui proses pengempaan/ press pasta. Sebagian besar lemak kakao

(cocoa butter) yang ada di dalam pasta cokelat (chocolate liquor/ chocolate mass) harus dipisahkan. Proses pengeluaran lemak ini dilakukan dengan mengepress (hidraulik atau mekanis) untuk menghasilkan bungkil (press cake), selanjutnya dihaluskan dan diayak untuk memperoleh ukuran partikel bubuk yang seragam. Kadar lemak di dalam kakao bubuk berkisar antara 10-12% untuk low fat cocoa butter. Kakao bubuk berkadar lemak lebih tinggi biasanya memiliki warna lebih gelap dengan flavor yang lebih ringan (Abraham, 1982).

Standar Nasional Indonesia (SNI) 3747: 2009 menyebutkan bahwa kakao bubuk mempunyai persyaratan tingkat

Page 38: e-ISSN 2477-0051

22Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Absorption Spectrophotometer) Perkin Elmer dan alat gelas lainnya untuk analisis.

Metode PenelitianMenggunakan metode eksperimen

dengan 4 perlakuan yaitu lama fermentasi 5 dan 6 hari karena keragaan fisik dan kimia biji kakao terbaik diperoleh dari hasil fermentasi sempurna selama 5-6 hari (Towaha dkk, 2012) serta pengulangan pengepresan 3 dan 4 kali press yang menghasilkan kadar lemak yang memenuhi standar mutu SNI 3747:2009 (Ariyanti, 2017). Tahapan pengolahan biji kakao menjadi kakao bubuk dapat dilihat pada Gambar 1. Proses pengolahan biji kakao fermentasi yang sudah dikeringkan menjadi kakao bubuk dimulai dengan penyortiran untuk memisahkan kotoran dari biji kakao, kemudian masuk ke penyangraian (roasting), pemisahan kulit biji (winnowing), pemastaan sehingga diperoleh pasta halus (cocoa liquor). Pasta cokelat kemudian dipress menggunakan alat press lemak kakao. Pengepresan dilakukan pada kondisi suhu 50oC, tekanan 60 MPa (kgf/cm2) selama 10 menit. Pengepresan ini dilakukan berulang sebanyak 3 dan 4 kali. Pengulangan perlakuan press dimaksudkan untuk mengoptimalkan kinerja alat press sehingga proses pengempaan dapat mengeluarkan lebih banyak lagi lemak kakao. Selanjutnya kakao bubuk dilakukan pengujian mengacu pada SNI 3747:2009 untuk parameter kehalusan lolos ayakan 200 mesh, kadar air dan kadar lemak menggunakan metode gravimetri (AOAC, 1995), cemaran logam dan cemaran mikroba. Setiap pengujian dilakukan 2 kali ulangan.

kehalusan 200 mesh. Persyaratan tersebut hanya bisa dipenuhi oleh industri besar, sedangkan Industri Kecil Menengah (IKM) sulit memperoleh ayakan dengan ukuran 200 mesh, karena yang umum beredar di pasaran hanya ukuran 120 mesh. Oleh karena itu kakao bubuk yang dihasilkan masih kasar. Kakao bubuk dengan ukuran 120 mesh apabila dibuat menjadi minuman cokelat, akan terasa kasar dan banyak tersisa endapan karena tidak bisa seluruhnya terdispersi dalam air, meskipun minuman tersebut disiram dengan air panas.

Kakao bubuk diolah dari biji kakao yang telah difermentasi. Melalui proses fermentasi kadar lemak yang dihasilkan meningkat karena tekstur biji kakao menjadi berpori sehingga lemak lebih mudah keluar, sedangkan biji yang tidak difermentasi mempunyai tekstur biji pejal yang menyebabkan lemak lebih sulit terekstrak keluar. Untuk itu perlu ada penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi dan pengepresan berulang terhadap mutu kakao bubuk yang dihasilkan sesuai SNI 3747: 2009.

METODOLOGIPenelitian dilaksanakan di Gapoktan

Resoe Pammase, Kabupaten Luwu dan pengujian dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar pada bulan Juni sampai Agustus 2016.

Bahan dan Alat Bahan baku penelitian yaitu biji

kakao fermentasi dari kebun petani di Kec. Larompong, Belopa Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.

Alat pendukung penelitian berupa: alat-alat proses pengolahan kakao yaitu alat penyangrai biji kakao, winnower (pemisah kulit biji), pemasta kasar kapasitas 5 kg, pemasta halus/ ball mill, alat press lemak kakao, blender Madato, ayakan stainless steel, timbangan kasar Ohaus. Alat-alat untuk pengujian antara lain: neraca analitik Explorer Pro, oven Memmert U.30, AAS ( Atomic

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 39: e-ISSN 2477-0051

23Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Gambar 1. Tahapan Pengolahan Biji Kakao Menjadi Kakao bubuk

Analisis DataMetode analisis data yang digunakan

adalah metode analisis deskriptif, yaitu analisis mendasar untuk menggambarkan keadaan data secara umum dan membandingkan dengan standar yang ada. Dalam penelitian ini data yang dianalisis adalah data hasil pengujian sampel kakao bubuk yang dibandingkan dengan standar mutu kakao bubuk sesuai SNI 3747: 2009.

HASIL DAN PEMBAHASANKehalusan

Hasil analisis kehalusan (lolos ayakan mesh 200) kakao bubuk hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil uji kehalusan menunjukkan bahwa semua kakao bubuk yang dihasilkan lolos ayakan mesh 200 melebihi 99% dan telah memenuhi standar mutu SNI. Hasil ini disebabkan proses pengepresan dilakukan secara berulang sehingga lemak yang tertinggal dalam kakao bubuk tersisa sedikit sehingga bubuk menjadi lebih halus dan lebih mudah lolos ayakan.

Gambar 2. Grafik hasil analisis kehalusan kakao bubuk

Keterangan:

F5P3 : Bubuk kakao fermentasi 5 hari dipress sebanyak 3 kaliF5P4 : Bubuk kakao fermentasi 5 hari dipress sebanyak 4 kaliF6P3 : Bubuk kakao fermentasi 6 hari dipress sebanyak 3 kaliF6P4 : Bubuk kakao fermentasi 6 hari dipress sebanyak 4 kali

Pengaruh Lama Fermentasi... (Melia Aryanti)

Page 40: e-ISSN 2477-0051

24Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Kadar AirHasil analisis kakao bubuk yang

diperoleh (Gambar 3) masih memenuhi syarat mutu SNI bubuk yaitu maksimal 5,0%. Kadar air kakao bubuk berada pada rentang 3,69-4,3%. Semakin banyak proses pengepresan pasta kakao menghasilkan kadar air bubuk yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan suhu dan lama pengulangan pengepresan pada suhu 50oC membuat bungkil yang dihaluskan menjadi bubuk lebih lama proses pengeringannya, sehingga bubuk kakao bersifat lebih higroskopis (mudah mengikat air dari udara) dan mengakibatkan kenaikan kadar air kakao bubuk. Semakin lama fermentasi dilakukan maka kadar air kakao bubuk semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena aktivitas mikroba dan enzim dalam mendegradasi jaringan komplek (pulp) menjadi senyawa organik sederhana lebih aktif sehingga pulp hancur akibatnya pori - pori menjadi terbuka yang memudahkan air masuk selama fermentasi (Nasution, et al., 1985). Sementara itu, menurut Mulato dan Widyotomo (2003), waktu fermentasi adalah salah satu faktor penting penyebab meningkatnya kadar air sehingga dengan meningkatnya waktu fermentasi maka kadar air dalam biji kakao akan meningkat pula.

kadar lemak yang terdapat dalam kakao bubuk. Hal ini disebabkan semakin banyak pengulangan pengepresan maka lemak kakao yang dikeluarkan lebih banyak akibat tekanan dan suhu alat press. Dengan proses pemanasan, lemak menjadi cair dan viskositas lemak akan berkurang sehingga lebih memudahkan lemak keluar mengalir dari matriks sel-sel kakao. Hal ini sesuai dengan penelitian Venter et al. (2007), bahwa suhu mempengaruhi perolehan lemak pada proses pengepresan lemak kakao. Menurut Mulato et al (2005), lemak kakao akan relatif mudah dikempa pada suhu 40-45oC, kadar air < 4% dan ukuran partikel <75 mµ. Suhu pengepresan dilakukan pada suhu 50oC, dibawah suhu 70oC karena dapat menyebabkan organoleptik warna dan aroma kakao menurun drastis serta mengurangi peluang terjadinya peningkatan kadar asam lemak bebas.

Hasil analisis kakao bubuk dapat dilihat bahwa secara umum kakao bubuk hasil penelitian sudah memenuhi standar SNI kakao bubuk 3747:2009. Grafik kadar lemak yang diperoleh (Gambar 4) menunjukkan kadar lemak kakao bubuk (11,32-14,82%) sudah memenuhi syarat mutu SNI yaitu minimal10%. Dalam penelitian ini untuk satu kali pengepresan pasta kakao sebanyak 3 kg, sedangkan kapasitas alat press lemak kakao untuk satu kali press maksimal 5 kg.

Semakin lama waktu fermentasi ternyata kandungan lemak yang tersisa dalam kakao bubuk hasil pengepresan semakin sedikit dan semakin pendek waktu fermentasi biji kakao akan memiliki sifat yang lebih keras dan sulit untuk dilumatkan. Diduga biji kakao dengan waktu fermentasi pendek memiliki nisbah antara jumlah partikel non lemak dan senyawa lemaknya masih relatif besar. Makin lama waktu fermentasi, jumlah senyawa organik yang terurai semakin banyak. Senyawa yang telah terurai akan keluar dan meninggalkan rongga-rongga kosong dalam jaringan keping biji kakao (Mulato et al, 2008). Makin lama waktu fermentasi, jumlah rongga akan semakin banyak sehingga biji kakao yang terfermentasi selama 6 hari akan

Gambar 3. Grafik hasil analisis kadar air kakao bubuk

Kadar LemakLemak kakao atau cocoa butter

merupakan lemak yang diperoleh dari pasta cokelat (liquor) melalui proses pengepresan atau pengempaan. Semakin banyak perlakuan pengepresan akan mengurangi

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 41: e-ISSN 2477-0051

25Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

memiliki sifat yang lebih rapuh dan lemak akan lebih mudah terekstraksi dibandingkan biji kakao dengan waktu fermentasi 5 hari. Hasil ini berbanding lurus dengan tingkat kehalusan kakao bubuk yang dihasilkan.

pecah karena tekanan, kemudian senyawa lemak keluar dan bebas. Sifat lemak kakao yang licin menyebabkan keping biji, pasta kasar dan pasta halus yang semula padat dan kental menjadi bahan yang padat dan remah serta menyebabkan pasta kakao yang semula kental menjadi encer. Komponen utama pasta kakao secara umum terdiri atas senyawa lemak dan partikel non lemak. Senyawa lemak memiliki titik leleh yang relatif rendah, 31-35oC dan juga memiliki sifat alir yang baik, sebaliknya partikel non lemak memiliki sifat kesat dan sedikit agak keras (Mulato et al, 2004).

Menurut Yusianto et al (1995) dan Santoso (2014), selama proses fermentasi terjadi peningkatan kadar lemak relatif dan penurunan komponen bukan lemak pada keping biji kakao. Hal ini disebabkan oleh komponen tersebut larut di dalam air dan terurai menjadi komponen-komponen lain yang lebih kecil, sehingga dapat terdifusi keluar dari keping biji. Kadar lemak dapat meningkat 1% dan kadar komponen bukan lemak dapat menurun 1% pada 2 hari pertama fermentasi. Setelah 2-4 hari fermentasi, kadar lemak biji dapat meningkat 2 % dan kadar komponen bukan lemak dapat menurun 2%. Ukuran biji kakao sangat menentukan rendemen lemak. Makin besar ukuran biji kakao, makin tinggi rendemen lemak dalam biji. Kisaran kadar lemak dalam biji kakao Indonesia adalah antara 49-52% (Wahyudi et al., 2013).

Beckett (2008), menyatakan bahwa kakao bubuk yang baik harus mengandung lemak sebesar 10-22%. Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam SNI 3747:2009 mensyaratkan kandungan lemak minimal 10%. Saat ini dikenal tiga jenis kakao bubuk, yaitu kadar lemak rendah (10-12%), medium (12-17%) dan tinggi (17-22%) (Mulato et al, 2005). Kakao bubuk dalam penelitian ini termasuk pada kadar lemak medium (11,32-14,82%) dan kakao bubuk netral yang umumnya berwarna coklat muda atau coklat dan biasanya digunakan untuk bahan baku industri roti atau kue.

Gambar 4. Grafik hasil analisis kadar lemak kakao bubuk

Hasil penelitian ini sejalan dengan Ginting (2011), bahwa semakin lama proses fermentasi biji kakao maka kadar lemak kakao bubuk yang dihasilkan semakin menurun yang disebabkan karena aktivitas mikroba semakin aktif mendegradasi senyawa komplek menjadi senyawa sederhana sehingga memudahkan pengeluaran lemak dari biji kakao pada proses pengepresan. Hal ini berakibat pada kadar lemak kakao bubuk semakin berkurang atau menurun. Kadar lemak yang rendah dipengaruhi oleh komponen kadar air yang terlalu tinggi. Menurut Yusianto et al (1997), kadar lemak biji kakao tanpa fermentasi lebih rendah 0,07-5,69% daripada biji kakao yang difermentasi tergantung pada waktu fermentasinya. Fermentasi dapat menurunkan kadar bahan bukan lemak sehingga secara relatif kadar lemak meningkat.

Pengulangan pengepresan sebanyak 4 kali lebih efektif mengeluarkan lemak kakao dibanding dengan pengepresan sebanyak 3 kali. Proses pengepresan yang dilakukan secara bertahap dan terus menerus menyebabkan ukuran partikel keping biji dan pasta yang semula kasar akan mengecil dan mendekati ukuran sel-sel daging biji tempat senyawa lemak kakao tersimpan di dalamnya. Sel-sel tersebut kemudian

Pengaruh Lama Fermentasi... (Melia Aryanti)

Page 42: e-ISSN 2477-0051

26Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Cemaran LogamHasil analisa cemaran logam dan

cemaran mikroba kakao bubuk semua perlakuan menunjukkan hasil masih di bawah syarat mutu kakao bubuk SNI 3747:2009. Grafik hasil uji cemaran logam kakao bubuk dapat dilihat pada Gambar 5. Cemaran logam timah tertinggi dibanding cemaran logam lainnya tetapi hasil ini masih dibawah ambang batas (maksimal 40). Adanya cemaran logam pada kakao bubuk dapat berasal dari kontaminasi tanah tempat tumbuh pohon kakao yang masuk ke dalam biji buah kakao (bahan baku) serta dari alat-alat proses pengolahan biji menjadi bubuk cokelat.

Gambar 5. Grafik hasil uji cemaran logam pada kakao bubuk

Cemaran MikrobaHasil analisa cemaran mikroba kakao

bubuk semua perlakuan menunjukkan hasil

masih di bawah syarat mutu kakao bubuk SNI 3747: 2009 seperti terlihat pada Tabel 2. Hasil uji parameter Coliform kakao bubuk semua memenuhi syarat SNI 3747-2009 yaitu < 3 APM/ gr (BSN, 2009). Golongan coliform mempunyai spesies dengan habitat dalam saluran pencernaan dan non saluran pencernaan seperti tanah dan air. Yang termasuk golongan coliform adalah Escherichia coli, dan spesies dari Citrobacter, Enterobacter, Klebsiella dan Serratia (BPOM, 2008).

Hasil uji untuk parameter Salmonella ternyata kakao bubuk masih memenuhi syarat SNI karena hasilnya semua negatif/ 25 gr sesuai standar. Adanya kandungan lemak/ lipid yang tinggi dan kadar air yang rendah dari kakao bubuk meningkatkan pertahanan dari Salmonella tetapi tidak mencegah pertumbuhannya. Proses pemanenan, fermentasi dan pengeringan (penjemuran) dapat mengkontaminasi biji kakao karena adanya berbagai varietas mikroflora, bisa juga oleh Salmonella spp (Nascimento et al, 2010). Penelitian lebih lanjut menyatakan bahwa Salmonella tidak mempengaruhi pertumbuhan kelompok mikroorganisme utama yang berperan dalam fermentasi kakao, di sisi lain pathogen dipengaruhi oleh yeast, bakteri asam laktat dan pH (Nascimento et al., 2013).

Tabel 1. Hasil Uji Cemaran Mikroba Kakao bubuk Sesuai SNI 3747:2009

Parameter SatuanSyarat Mutu

Kakao BubukPerlakuan

F5P3 F5P4 F6P3 F6P4Cemaran mikroba:a. Angka Lempeng

Total (ALT) Koloni/g Maks. 5x103 1,9x102 3,8x102 3,7x102 < 10b. Bakteri Bentuk Coli APM/g < 3 < 3 < 3,0 < 3,0 < 3,0c. Escherichia coli Per g Negatif Negatif Negatif Negatif Negatifd. Salmonella Per 25 g Negatif Negatif Negatif Negatif Negatife. Kapang Koloni/g Maks. 50 < 10 < 10 < 10 < 10f. Khamir Koloni/g Maks. 50 < 10 < 10 < 10 < 10

SIMPULANSecara umum mutu kakao bubuk

fermentasi hasil penelitian sudah memenuhi standar mutu kakao bubuk SNI 3747:2009.

Kadar air kakao bubuk sesuai standar maksimum 5,0% yaitu antara 3,69-4,3%. Semakin lama waktu fermentasi dan banyaknya proses pengepresan pasta

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 43: e-ISSN 2477-0051

27Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

E. R., dan Santos, A. R. B. 2010. Enteropathogens in Cocoa Pre-Processing. Food Control, 21(4), 408–411.

11. Nascimento, M. D. S., Pena, P. O., Brum, D. M., Imazaki, F. T., Tucci, M. L. S., dan Efraim, P. 2013. Behavior of Salmonella During Fermentation, Drying and Storage of Cocoa Beans. International Journal of Food Microbiology, 167(3), 363–368. http://doi.org/10.1016/j.ijfoodmicro. 2013.10.003.

12. Nasution, Z., M.C. Wahyudi dan S.L. Betty, 1985. Pengolahan Coklat. Agro- industri. IPB-Press, Bogor.

13. Santoso, Y.P. 2014. Perubahan Kadar Lemak dan Aktivitas Antioksidan Selama Proses Fermentasi Spontan pada Biji kakao (Theobroma cacao L.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

14. Towaha, J; Anggraini, D.A; Rubiyo. 2012. Keragaan Mutu Biji Kakao dan Produk Turunannya Pada Berbagai Tingkat Fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali. Pelita Perkebunan Vol. 28 No. 3. 166-183

15. Venter, M.J., Kuipers, N.J.M, de Haan, A.B. 2007. Modelling and Experime-ntal Evaluation of High Pressure Expression of Cocoa Nibs. Journal of Food Engineering 80, 1157-1170.

16. Wahyudi, T.T.R, Panggabean, dan Pujiyanto. 2013. Kakao, Manajemen Agribisnis dari Hulu ke Hilir. Penebar Swadaya.

17. Yusianto, Wahyudi, T, dan Sumartono, B. 1995. Pola Citarasa Biji Kakao Dari Beberapa Perlakuan Fermentasi. Pelita Perkebunan, 11, 117-131.

18. Yusianto, Winarno, H. dan Wahyudi, T. 1997. Mutu dan Pola Cita Rasa Biji Beberapa Klon Kakao Lindak. Pelita Perkebunan, 13, 171-187.

kakao mempengaruhi kadar air bubuk yang dihasilkan, sedangkan semakin banyak perlakuan pengepresan dapat mengurangi kadar lemak yang terdapat dalam kakao bubuk. Kadar lemak yang dihasilkan berkisar antara 11,32-14,82%.

DAFTAR PUSTAKA1. Abraham, C.S., 1982. Manufacture of

Chocolate. The Planters; 58(657); 256-259.

2. Ariyanti, M., 2017. Pengaruh Pengepresan Berulang Terhadap Kadar Lemak Kakao Bubuk. Jurnal Rekayasa dan Teknologi Industri. Vol. 7 Desember. Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar.

3. Beckett, S.T. 2008. The Science of Chocolate. 2nd Edition. The Royal Society of Chemistry, Thomas Graham House, Science Park, Cambridge, United Kingdom.

4. BSN, 2009. Standar Nasional Indonesia Kakao bubuk. SNI 3747:2009. Badan Standarisasi Nasional.

5. Ginting, S. 2011. Mempelajari Pengaruh Lama Fermentasi dan Lama Penyang-raian Terhadap Mutu Kakao bubuk. STEVIA Vol. 1 No.01, Hal. 6-11.

6. Mulato, S. dan S. Widyotomo, 2003. Teknik Budidaya dan Pengolahan Hasil Tanaman Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.

7. Mulato, S., Widyotomo, S., dan Nur’aini H. 2004. Kinerja Alat Penghalus Pasta Cokelat Tipe Silinder Berputar. Pelita Perkebunan 20, 37-53.

8. Mulato, S., Widyotomo, S., Misnawi, dan Suharyanto, E. 2005. Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.

9. Mulato, S., Widyotomo, S., Purwadaria, H.K. 2008. Kinerja Alat Kempa Hidrolik Sistem Terputus untuk Proses Ekstraksi Lemak Kakao. Pelita Perkebunan, 24 (1), Hal. 62-79.

10. Nascimento, M. D. S., da silva, N., da Silva, I. F. S., Marques, de C. da

Pengaruh Lama Fermentasi... (Melia Aryanti)

Page 44: e-ISSN 2477-0051

28Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

KAJIAN PENGGUNAAN HIDROKOLOID SEBAGAI EMULSIFIERPADA PROSES PENGOLAHAN COKELAT

Hydrocolloid Application as An Emulsifier In Chocolate Processing: A Review

Rahayu Wulandari, Dwi Indriana, dan Andi Nur Amalia A.Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof. Abdurahman Basalamah No. 28 Makassare-mail: [email protected]

abstract The inappropriate tempering and cooling process of chocolate will cause the occurrence of white spots on the chocolate’s surface (fat bloom). The emulsifier can be used to prevent fat bloom. Lecithin commonly used as emulsifier in chocolate processing, as well as hydrocolloid. Hydrocolloids have the advantage of being able to increase the release of active components and easily dissolve in the digestive system. This study is useful to find out the exact type and concentration of hydrocolloid as an emulsifier in chocolate production to prevent fat bloom appearance. Hydrocolloid types of glucomannan and carrageenan have the potential to be used as the emulsifier at range optimal concentrations 0.1-0.75%.

keywords: hydrocolloid, emulsifier, carrageenan, glucomannan, chocolate processing

Abstrak: Proses tempering dan pendinginan cokelat yang tidak tepat akan menimbulkan terjadinya bintik putih pada permukaan luar cokelat (fat bloom). Untuk menghindari terjadinya hal tersebut maka perlu digunakan emulsifier. Salah satu emulsifier yang sering digunakan pada pembuatan cokelat adalah lesitin. Selain lesitin, emulsifier yang biasa digunakan dalam produksi pangan adalah hidrokoloid. Hidrokoloid memiliki kelebihan mampu meningkatkan daya lepas komponen aktif dan mudah larut dalam sistem pencernaan. Kajian ini bermanfaat untuk mengetahui jenis dan konsentrasi hidrokoloid yang tepat sebagai emulsifier pada proses pembuatan cokelat untuk menghindari fat bloom. Hidrokoloid jenis glukomanan dan karagenan berpotensi dimanfaatkan sebagai emulsifier dengan konsentrasi optimal berkisar antara 0,1–0,75%.

kata kunci: hidrokoloid, emulsifier, karagenan, glukomanan, pengolahan cokelat

PENDAHULUANKakao (Theobroma cacao) dikenal

sebagai komoditi yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena mempunyai manfaat yang sangat luas terutama dalam industri makanan, minuman, farmasi, kimia, dan lain-lain (Ramlah, 2014). Bagian tanaman kakao yang dianggap paling bernilai ekonomi adalah biji kakao, yang tersusun atas kulit biji (outer shell) yang melingkupi dua keping biji (cotyledon) dan kecambah (germ) sebagai embrio tanaman (Yunus et al., 2013). Biji kakao mengandung polifenol yang cukup tinggi sehingga sangat berpotensi sebagai sumber antioksidan. Selain itu, biji kakao juga mengandung senyawa alkaloid seperti teobromin dan kafein yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh (Minifie, 1989).

Salah satu produk olahan kakao yang banyak digemari masyarakat saat ini

adalah cokelat karena citarasanya yang khas (Ramlah, 2016). Cokelat dengan kandungan kakao (biji cokelat) lebih dari 70% memiliki manfaat untuk kesehatan, karena cokelat kaya akan kandungan antioksidan yaitu fenol dan flavonoid yang mampu menangkap radikal bebas dalam tubuh (Ramlah, 2014). Bahan baku yang biasa digunakan adalah biji kakao yang difermentasi. Biji-biji tersebut kemudian dibersihkan dan dilakukan proses penyangraian untuk menurunkan kandungan air pada biji kakao dan akan menimbulkan rasa, aroma, dan warna khas dari biji kakao yang siap dibuat menjadi bubuk dan diolah menjadi berbagai macam produk makanan dan minuman. Nib biji kakao tersebut kemudian digiling atau dihaluskan sehingga menghasilkan pasta (liquor) yang selanjutnya dipress untuk memisahkan kandungan lemak kakao dengan cake kakao. Cake kakao

Page 45: e-ISSN 2477-0051

29Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

kemudian dihaluskan sehingga menghasilkan bubuk cokelat (Amraini et al., 2011).

Umumnya, pembuatan cokelat dilakukan dengan cara mencampur bahan baku dan diaduk dengan menggunakan mixer selama 120 menit, kemudian diconching selama 72 jam, dimasukkan emulsifier setelah conching 2 jam, lalu dilakukan proses tempering akhir, selanjutnya dilakukan pencetakan dan didinginkan (Indarti et al., 2013). Proses tempering dan pendinginan cokelat yang tidak tepat akan menimbulkan terjadinya fat bloom. Fat bloom adalah cacat fisik yang muncul selama penyimpanan cokelat dan dicirikan sebagai lapisan putih pada permukaan luar cokelat (Tisoncik, 2013). Untuk itu, digunakan emulsifier yang dimaksudkan untuk menurunkan tegangan antarmuka antara dua fasa sehingga keduanya dapat teremulsi dan memperbaiki pencampuran sehingga fat bloom tidak akan terjadi (Nasution et al., 2004; Weyland dan Hartel, 2008). Salah satu emulsifier yang sering digunakan pada pembuatan cokelat yaitu lesitin. Selain lesitin, emulsifier yang biasa digunakan dalam produksi pangan yaitu hidrokoloid yang memiliki kelebihan mampu meningkatkan daya lepas komponen aktif dan mudah larut dalam sistem pencernaan. Hidrokoloid merupakan komponen polimer yang berasal dari sayuran, hewan, mikroba, atau komponen sintetik yang umumnya mengandung gugus hidroksil. Hidrokoloid dapat ditemukan pada sumber nabati dan hewani. Terdapat berbagai jenis hidrokoloid

potensial yang dapat diekstrak dan dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pangan untuk meningkatkan kualitas produk. Beberapa jenis hidrokoloid dapat diekstrak dari beberapa bagian komponen tanaman seperti akar, biji, buah, umbi dan cangkang.

Hidrokoloid berfungsi sebagai pembentuk gel, pengemulsi, penstabil buih, pengontrol pembentukan kristal, pendispersi, perekat, dan pengontrol pelepasan perisa sering dapat digunakan sebagai bahan tambahan pada produk pangan. Pemanfaatannya sebagai bahan pengental, penstabil, dan emulsifier disebabkan karena hidrokoloid bersifat mudah menyerap air sehingga dapat membantu memperbaiki mutu produk pangan. Hidrokoloid berupa guar gum, natrium alginat, dan xanthan gum digunakan sebagai pengental produk dengan elastisitas tinggi dalam pembuatan produk mie, dan natrium alginat serta kappa karagenan sebagai bahan penstabil susu. Dalam pembuatan produk pangan, hidrokoloid berfungsi sebagai penstabil, pembentuk tekstur, dan meningkatkan daya serap air produk (Herawati, 2018). Selain itu, hidrokoloid juga dapat berperan sebagai dietary fiber (serat pangan) yang menjadikan bahan pangan bernilai fungsional terhadap kesehatan untuk menurunkan obesitas (Mudgil dan Barak, 2013) sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran bagi konsumen yang memiliki masalah kelebihan berat badan atau masalah kesehatan lainnya.

Tabel 1. Sifat-Sifat Hidrokoloid

No. Jenis Hidrokoloid Sifat

1. Glukan •Dapat bersifat terlarut ataupun tidak terlarut dalam air•Tahan terhadap asam•Tidak beracun dan tidak memiliki efek samping•Memiliki berbagai aktivitas biologis sebagai antitumor, antioksidan,

antikolesterol, anti penuaan dini, dan peningkat sistem imun (imunomodulator)

•Dapat dimanfaatkan sebagai zat aditif dalam industri makanan (Widyastuti et al., 2011)

Kajian Penggunaan Hidrokoloid... (Rahayu Wulandari)

Page 46: e-ISSN 2477-0051

30Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

No. Jenis Hidrokoloid Sifat

2. Fruktan •Kaya fruktosa•Larut dalam air•Memiliki sifat prebiotik (Gelinas et al., 2016)

3. Xylan •Merupakan komponen utama dari hemiselulosa•Tidak beracun dan bersifat biokompatibel (Naidu et al., 2018)

4. Rhamnan Memiliki sifat antioksidan, antikoagulan, dan antitrombosit (Patel, 2012)

5. Galaktomanan •Larut dalam air•Memiliki potensi sebagai thickener dalam formula makanan•Memiliki efisiensi yang tinggi sebagai agen suspensi•Kompatibel terhadap konsentrasi berbagai macam garam dan

temperatur (Nwokocha et al., 2017)

6. Glukomanan •Memiliki daya mengembang yang besar•Dapat membentuk gel dan memiliki sifat elastis yang kuat•Dapat melarut kembali bila dilarutkan dalam air (Imeson, 2010)

7. Arabinoksilan •Larut dalam air•Memiliki aktivitas sebagai imunomodulator dan berpotensi sebagai

dietary fibre (Fadel et al., 2018)

8. Galaktan •Memiliki sifat antioksidan, antiinflamasi, antinosiseptif, antikoagulasi, antitrombosit, antivirus (influenza, herpes, HIV)

•Dapat menyebabkan kontraksi pada saluran pencernaan (Patel, 2012)

9. Arabinogalaktan •Dapat terurai dengan cepat dalam air atau larutan (Rodriguez et al., 2017)

•Memiliki sifat antikoagulasi dan antitrombosit (Patel, 2012)

10. Galakturonan •Memiliki sifat antinosiseptif dan anti radang•Bermanfaat untuk kesehatan dan dapat digunakan dalam terapi

pengobatan kanker (Leivas et al., 2016; Zhang et al., 2015)

11. Glikanorhamnogalakturonan

•Mampu membentuk gel dengan sifat yang sangat elastis•Memiliki berat molekul yang tinggi

(Mikshina et al., 2015)12. Glikano-

glukuromannoglikan•Digunakan sebagai penstabil emulsi (Jin-song et al., 2008)•Larut dalam air•Tidak beracun•Dapat digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan seperti

permen karet, sirup, dan sebagainya(Ray et al., 2017)

13. Polimer glukosamin •Memiliki aktivitas anti bakteri•Tidak beracun•Mudah dimodifikasi•Memiliki sifat biodegradabilitas

(Muxika et al., 2017)

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 47: e-ISSN 2477-0051

31Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

No. Jenis Hidrokoloid Sifat

14. Protein •Digunakan sebagai pengental makanan•Kelarutan protein dipengaruhi oleh pH, temperatur, kekuatan ionik

dan konsentrasi•Mampu mengubah sifat reologis sistem secara cepat pada

konsentrasi yang rendah•Sering dimanfaatkan untuk menstabilkan larutan dua fasa atau lebih

(Luyten et al., 2004)

Hidrokoloid memiliki karakteristik spesifik, bergantung pada struktur rantai dan gugus fungsional yang terdapat di dalamnya. Struktur rantai yang mengandung banyak gugus hidroksil menyebabkan hidrokoloid lebih mudah menyerap air. Umumnya, hidrokoloid mampu membentuk gel dalam air dan bersifat reversible, yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali jika didinginkan (Herawati, 2018). Terdapatnya sejumlah besar gugus hidroksil pada hidrokoloid menyebabkan meningkatnya afinitas hidrokoloid untuk mengikat molekul air sehingga disebut sebagai senyawa hidrofilik. Selain itu, hidrokoloid juga menunjukkan sifat-sifat koloid dengan menghasilkan dispersi yang merupakan perantara antara larutan dengan suspensi (Joel et al., 2018). Karakteristik spesifik yang dimiliki hidrokoloid dipengaruhi oleh keberadaan suatu kation dan anion serta struktur dasar maupun gugus fungsional yang terkandung dalam masing-masing jenis hidrokoloid, misalnya karagenan yang dapat dibagi menjadi kappa, iota, dan lamda karagenan. Selain

itu, struktur kimia dan gugus fungsional juga mempengaruhi sinergisitas dari hidrokoloid dengan komponen bahan lainnya terkait dengan bahan baku utama yang digunakan dalam suatu produk (Herawati, 2018). Salah satu contoh adalah sinergisitas hidrokoloid dengan enzim pektinase sebagai penstabil pada nektar jambu biji (Krumreich et al., 2018).

Berdasarkan sumber bahan bakunya, hidrokoloid dikelompokkan menjadi hidrokoloid alami, hidrokoloid termodifikasi, dan hidrokoloid sintetis. Terdapat 14 jenis hidrokoloid jika dilihat dari struktur kimiawinya, yaitu glukan, fruktan, xylan, rhamnan, galaktomanan, glukomanan, arabinoksilan, galaktan, arabinogalaktan, galakturonan, glikano-rhamnogalakturonan, glikano-glukuronomannoglikan, polimer glukosamin, dan protein. Hidrokoloid yang sering dimanfaatkan untuk produk pangan terkait dengan sifat fungsionalnya sebagai thickening agent, emulsifier, dan perekat adalah alginat, glukomanan, pektin, dan karagenan (Herawati, 2018).

Gambar 1. Struktur Kimia lukomanan (Lee et al., 2014)

GlukomananGlukomanan merupakan polisakarida

dari jenis hemiselulosa dan termasuk heteropolisakarida yang memiliki ikatan

rantai utama glukosa dan manosa (The Commission of The European Communities, 2001). Glukomanan dapat diperoleh dari umbi-umbian Amorphophallus spp atau

Kajian Penggunaan Hidrokoloid... (Rahayu Wulandari)

Page 48: e-ISSN 2477-0051

32Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

dikenal dengan nama iles-iles (porang) yang mulai dibudidayakan di Indonesia karena tingginya kadar glukomanan yang dikandungnya, sehingga berpotensi menjadi bahan pangan bernilai fungsional terhadap kesehatan untuk menurunkan obesitas (Harmayani et al., 2014).

Glukomanan memberikan rasa kenyang melalui mekanisme penyerapan air hingga 50 kali volume glukomanan dan merupakan bahan alami bebas kalori (Gorsek, 2002). Glukomanan juga memiliki daya mengembang yang besar, dapat membentuk gel, elastis kuat, serta dapat melarut kembali

bila dilarutkan dalam air (Imeson, 2010). Glukomanan memiliki bobot molekul relatif tinggi, yaitu 200.000–2.000.000 Dalton (The Commission of The European Communities, 2001). Adapun struktur kimia glukomanan dapat dilihat pada Gambar 1. Glukomanan memiliki karakteristik antara selulosa dan galaktomanan karena bobot molekulnya yang relatif tinggi, yaitu dapat mengkristal dan membentuk struktur serat-serat halus. Hal tersebut menyebabkan glukomanan dapat dimanfaatkan lebih luas dibandingkan selulosa dan galaktomanan (Tester dan Al-Ghazzewi, 2012).

Gambar 2. Struktur Kimia Karagenan (Necas dan Bartosikova, 2013)

Karagenan Karagenan merupakan salah satu

polisakarida sulfat yang bersifat hidrofilik. Karagenan termasuk galaktan sulfat yang terdiri dari β-Dgalactopyranose berikatan 3 (G-unit) dan α-Dgalactopyranose berikatan 4 (D-unit) atau 3,6-anhydroα-

D-galactopyranose berikatan 4 (DA-unit), membentuk pengulangan disakarida pada karagenan, dan ditemukan dengan konsentrasi tinggi dalam matriks ekstraseluler rumput laut merah (de Araujo et al., 2012). Menurut Subroto (2011), karagenan memiliki potensi untuk

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 49: e-ISSN 2477-0051

33Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

menurunkan kadar kolesterol. Penurunan kolesterol disebabkan absorpsi kolesterol di usus dihambat dan ekskresi asam empedu meningkat. Sifat utama karagenan adalah mampu mengubah cairan menjadi padatan atau mengubah bentuk sol menjadi gel yang bersifat reversible, dimana kemampuan pembentukan gel berpengaruh pada kadar air pangan. Air yang terperangkap dalam gel akan semakin banyak jika struktur gel semakin kokoh sehingga kemungkinan penguapan air akan semakin kecil dan kadar air akan meningkat. Kemampuan inilah yang meningkatkan potensi tepung karagenan sehingga sangat luas penggunaannya dibandingkan hidrokoloid lainnya, baik dalam bidang pangan maupun non pangan (Wenno, 2009; Widyaningtyas dan Susanto, 2015).

Secara umum, karagenan terbagi menjadi enam bentuk dasar, yaitu Iota (ι) - Karagenan, Kappa (κ) - Karagenan, Lambda (λ) - Karagenan, Mu (μ) - Karagenan, Nu (v) - Karagenan dan Theta (ө) – Karagenan (de Araujo et al., 2012). Struktur kimia karagenan dapat dilihat pada Gambar 2.

Alginat Alginat merupakan polimer alami yang

memiliki berat molekul tinggi. Alginat adalah garam dari asam alginat yang merupakan kopolimer dari blok β-d-mannuronic acid (M) dan epimer C-5, asam α-l-guluronic (G), dihubungkan bersama untuk membentuk polisakarida linier dengan ikatan (1,4) -glikosidik yang terlihat pada gambar 3 berikut:

Gambar 3. Struktur Blok Alginat (blok G, blok M dan blok MG) (Imeson, 2010)

Alginat telah digunakan dalam berbagai macam produk makanan sebagai pembentuk gel, thickening agent, penstabil dan film forming. Alginat dapat membentuk gel yang stabil terhadap panas dimana dapat disimpan pada suhu kamar. Garam alginat berupa natrium alginat untuk produk pangan sering dimanfaatkan dalam menghasilkan produk mie dan sebagai bahan penstabil susu (Imeson 2010; Milani et al., 2012; Herawati, 2018).

Pektin Pektin adalah polisakarida yang

merupakan komponen utama dari dinding sel tumbuhan tingkat tingkat

tinggi, seperti buah-buahan dan sayuran. Pektin secara komersial terbagi dua yaitu pektin teresterifikasi high-methyl dan low-methyl. Bentuk pektin teresterifikasi high-methyl mampu membentuk gel dalam padatan dengan kelarutan yang tinggi dan larutan asam, sedangkan bentuk pektin teresterifikasi low-methyl membentuk gel dalam rentang pH dan kelarutan padatan yang lebih luas, namun membutuhkan kehadiran kation divalen untuk pembentukan gel. Fungsi umum dari pektin adalah sebagai pembentuk gel, thickening agent, dan penstabil dalam makanan. Aplikasi pektin beragam dan mencakup produk berbasis buah, susu, minuman lainnya, kembang

Kajian Penggunaan Hidrokoloid... (Rahayu Wulandari)

Page 50: e-ISSN 2477-0051

34Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

gula, produk roti (Milani et al., 2012; Imeson, 2010).

Struktur pektin yang biasa dikenal mengacu pada polisakarida

linear yang terutama terdiri dari asam anhidrogalakturonik berikatan (1→4) α dengan bagian esterifikasi metil dari grup karboksil, seperti terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Bagian Rantai D-Galakturonan Berikatan (1→4) α Sebagian Bermetilasi pada Posisi C-6 (Imeson, 2010)

Sumber hidrokoloid yang banyak terdapat di Indonesia yaitu rumput laut sebagai penghasil karagenan dan tanaman iles-iles sebagai penghasil glukomanan (Herawati, 2018; Harmayani, et al, 2014) sehingga kedua jenis hidrokoloid tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai emulsifier dalam pembuatan cokelat.

Ulasan ini menggunakan metode kajian pustaka dengan mengumpulkan data sekunder dari jurnal ilmiah, buku, hasil penelitian, artikel dan internet yang terkait dengan ulasan ini. Manfaat ulasan ini adalah memberikan informasi sehingga dapat diketahui jenis dan konsentrasi hidrokoloid sebagai emulsifier pada pembuatan cokelat. Manfaat lain adalah untuk mengembangkan metode dalam pembuatan cokelat yang memiliki dampak positif bagi kesehatan.

Penggunaan Emulsifier pada Pengolahan Cokelat

Kendala yang sering dihadapi dalam pembuatan cokelat adalah terjadinya fat bloom. Fat bloom adalah bintik-bintik putih pada permukaan cokelat akibat kristal lemak pada cokelat belum stabil atau tidak terikat kuat oleh suatu bahan pengemulsi atau penstabil sehingga bermigrasi ke permukaan dan tampak seperti berjamur. Maka salah satu upaya untuk mengurangi terjadinya hal tersebut yaitu dengan menambahkan emulsifier (Sukendar et al., 2012; Weyland dan Hartel, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Minifie (1999), emulsifier

ditambahkan dalam pembuatan cokelat dimaksudkan agar terjadi penurunan viskositas campuran sehingga dapat menjaga kestabilan emulsi minyak dan air. Selain itu, emulsifier mampu mengikat lemak pada cokelat sehingga bercak putih tidak akan timbul. Emulsifier memiliki kemampuan untuk mempertahankan tekstur dari pelelehan. Hal tersebut sebagai akibat adanya dispersi lemak bahan dengan struktur sel udara yang menghasilkan karakter tekstur yang keras dan kering (Ketaren, 1986). Sifat struktural dari cokelat dapat dipengaruhi dengan penambahan emulsifier sehingga hal tersebut akan mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen akan tekstur dan rasa cokelat. Pengaruh lain penggunaan emulsifier dalam pengolahan cokelat adalah stabilitas terhadap migrasi lemak dan stabilitas terhadap oksidasi (Schantz dan Rohm, 2005).

Secara struktural emulsifier adalah molekul amfifilik yang memiliki gugus hidrofilik maupun lipofilik atau gugus yang suka air dan suka lemak dalam satu molekul dan dapat digunakan untuk menurunkan tegangan antarmuka antara dua fasa yang dalam keadaan normal tidak saling bercampur sehingga keduanya dapat teremulsi (Nasution et al., 2004). Berdasarkan penelitian oleh Sukendar et al. (2012), penambahan bahan yang bersifat sebagai emulsi seperti bubuk bungkil kacang tanah, tepung rumput laut, dan kuning telur asin pada pembuatan permen cokelat tidak

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 51: e-ISSN 2477-0051

35Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

menyebabkan terjadinya fat bloom pada produk cokelat walaupun telah disimpan selama 6 minggu pada suhu sekitar 31 oC.

Pengemulsi telah banyak digunakan untuk tujuan memodifikasi tekstur cokelat terutama di lapisan komersial (Walter dan Cornillon, 2001). Sifat cokelat akan berubah bila ditambahkan pengemulsi, termasuk kepekaan terhadap RH, suhu, dan tindakan tempering (Schantz dan Rohm, 2005). Penambahan konsentrasi pengemulsi yang semakin tinggi akan menghasilkan cokelat yang stabil. Hal tersebut dikarenakan zat pengemulsi akan menurunkan tegangan permukaan sehingga emulsi akan menyatu. Ikatan antara air dan lemak akan menjadi semakin kuat ketika pengemulsi ditambahkan. Emulsifier akan terurai di dalam air sehingga bagian yang bersifat hidrofilik akan menyerap air. Proses pengikatan air yang awalnya bergerak bebas akan terjadi sehingga menyebabkan cokelat menjadi semakin stabil (Sudarmadji, 1997).

Salah satu emulsifier yang sering digunakan dalam pembuatan cokelat adalah lesitin. Lesitin dapat diisolasi dari lemak hewani dan nabati seperti otak sapi, jantung dan hati sapi, kuning telur dan juga dari kedelai (Hartomo dan Widiatmoko, 1993). Selain lesitin, hidrokoloid berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai emulsifier dalam bahan pangan yang memiliki kelebihan dapat membantu pelepasan komponen aktif pada cokelat yang selanjutnya mudah diserap oleh tubuh dan bagus untuk kesehatan. Hidrokoloid memiliki matriks hidrofilik yang mampu membantu melepaskan komponen aktif pada produk pangan. Komponen aktif tersebut masuk ke dalam tubuh melalui media air karena matriks hidrofilik mampu mengembang dan akan menjadi erosi gel sehingga membentuk lapisan matriks yang terhidrasi apabila bahan tersebut berinteraksi dengan air dan akan terjadi erosi pada lapisan permukaannya sehingga akan terlarut dengan baik (Siepmann et al., 1999). Karena kemampuannya tersebut, hidrokoloid juga dimanfaatkan untuk keperluan farmasi. Bhise et al. (2007) menyatakan bahwa

pelepasan zat aktif dalam senyawa obat lebih cepat pada matriks yang mengandung 100% kitosan yang merupakan salah satu jenis hidrokoloid. Hal tersebut apabila diterapkan pada pembuatan cokelat akan sangat bermanfaat dimana cokelat banyak mengandung komponen aktif yang berguna bagi tubuh.

Banyak hidrokoloid yang telah dimanfaatkan sebagai bahan tambahan dalam produk pangan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas produk tersebut. Hidrokoloid yang dapat dimanfaatkan sebagai emulsifier adalah glukomanan dan karagenan. Glukomanan banyak ditemukan pada tumbuhan iles-iles (Amorphophallus spp.). Tumbuhan iles-iles tercatat ada 200 spesies di dunia, menyebar terutama di Asia yakni di Tiongkok, Vietnam, Indonesia, dan Thailand masing-masing 15, 21, 24, dan 53 spesies. Saat ini, terdapat tiga spesies yang sudah diusahakan di Indonesia, yaitu Amorphophallus companulatus (Roxb.), A. variabilis, dan A. oncophyllus. Kandungan glukomanan pada iles-iles A. oncophyllus termasuk tinggi, yaitu 55% (Supriati, 2016). Tanaman iles-iles cocok sebagai tanaman sela di areal tanaman perkebunan seperti karet, cengkeh, kopi, cokelat, kelapa sawit dan jati (Afifah et al., 2014).

Glukomanan merupakan satuan polisakarida yang tersusun atas satuan-satuan Dmannosa dan D-glukosa. Sebagai serat pangan, glukomanan memiliki beberapa sifat fungsional yaitu dapat menurunkan kadar kolesterol dan gula dalam darah, meningkatkan fungsi pencernaan dan sistem imun, dan juga dapat membantu menurunkan berat badan (Zhang et al., 2002). Glukomanan memiliki karakter istimewa yaitu dapat cepat mengembang hingga 138-200% di dalam air (pati hanya mengembang 25%). Sifatnya yang larut dalam air dingin akan membuat glukomanan membentuk masa yang kental. Jika dipanaskan hingga membentuk gel, akan menyebabkan ‘manan’ stabil dan tidak terlarut kembali ke dalam air (Syaefullah, 1991). Selain berperan sebagai sumber pangan fungsional karena

Kajian Penggunaan Hidrokoloid... (Rahayu Wulandari)

Page 52: e-ISSN 2477-0051

36Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

manfaatnya terhadap kesehatan, perluasan pemanfaatan glukomanan sebagai emulsifier pada produksi cokelat akan memberikan peluang bagi petani cokelat lokal untuk meningkatkan pendapatan melalui budidaya tanaman iles-iles sebagai tanaman sela di areal perkebunan cokelat.

Karagenan dapat ditemukan pada rumput laut merah kelas Rhodophyceae yang merupakan komoditi andalan Indonesia sebagai negara kepualauan karena mudah dibudidayakan dengan investasi yang relatif kecil dan prospek pasar yang baik serta dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat pantai (Milani et al., 2012). Salah satu jenis Rhodophyceae di Indonesia penghasil karagenan yaitu Kappaphycus alvarezii, memiliki peranan penting di bidang industri makanan, kosmetik, bioteknologi, dan industri nonpangan yang memiliki peluang pasar yang cukup potensial (Siregar et al., 2016). Jenis karagenan yang paling cocok untuk dimanfaatkan dalam pembuatan cokelat adalah iota karagenan karena dapat membentuk gel yang lembut dan fleksibel atau lunak sehingga sangat mendukung sifat organoleptik cokelat yang disukai oleh masyarakat. Kappa karagenan menghasilkan gel yang bersifat kaku dan getas serta keras, sedangkan lambda karagenan tidak dapat membentuk gel, tetapi berbentuk cair yang viscous (Desiana dan Hendrawati, 2015) sehingga kurang cocok untuk dimanfaatkan dalam pembuatan cokelat karena akan mempengaruhi sifat organoleptik pada produk akhir.

Indonesia merupakan penghasil rumput laut terbesar dibandingkan dengan negara lain dimana industri pengolahan karagenan sudah mulai dikembangkan di Sulawesi Selatan (Suparmi dan Sahri, 2009; Fitri, 2013). Ketersediaan yang melimpah sehingga mudah diperoleh dan pemanfaatan karagenan yang diperluas tidak hanya digunakan sebagai emulsifier pada pembuatan es krim tetapi juga pada pembuatan jenis makanan lain seperti mie kering dan cokelat akan membantu pertumbuhan industri lokal di bidang pemanfaatan rumput laut.

Herawati (2018) menyatakan bahwa penggunaan hidrokoloid pada produk pangan harus mengikuti kaidah ambang batas sebagai bahan tambahan pangan (BTP) agar aman dikonsumsi. Oleh karena itu, perlu diperhatikan konsentrasi glukomanan dan karagenan yang akan digunakan dalam pembuatan cokelat ini. Penggunaan glukomanan sebagai bahan tambahan pangan yang diperbolehkan yaitu maksimal 10 g/kg dalam makanan (EFSA Panel on Food Additives and Nutrient Sources added to Food (ANS), 2017). Penelitian terdahulu menggunakan komposisi bubuk bungkil kacang tanah dan variasi konsentrasi tepung porang yang mengandung glukomanan sebanyak 0,1;, 0,3; dan 0,5% dalam pembuatan permen cokelat dan menunjukkan bahwa nilai perlakuan terbaik pada kombinasi komposisi bubuk bungkil kacang tanah 14% dan konsentrasi tepung porang 0,5% dengan persentase fat blooming hanya 5,54% (Deliana et al., 2014). Putri (2016) juga telah melakukan penelitian dengan memanfaatkan glukomanan dari tepung porang sebagai penstabil es krim dari susu kambing. Penelitian tersebut menggunakan glukomanan dengan konsentrasi 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; dan 0,5% serta diperoleh hasil terbaik dengan penggunaan glukomanan pada konsentrasi 0,5%.

Karagenan dinyatakan aman dikonsumsi jika konsentrasinya tidak lebih dari 2000 mg/kg (CDH, 2006). Masykuri et al., (2009) menggunakan 5 variasi konsentrasi karagenan sebagai penstabil dalam pembuatan es krim cokelat yaitu 0; 0,1; 0,3; 0,5; 0,7% dan diperoleh konsentrasi karagenan yang optimal atau tepat dan disukai oleh panelis baik dari kenampakan maupun cita rasanya adalah pada kisaran 0,3-0,5% dimana penggunaan karagenan 0,3% cocok untuk es krim cokelat bentuk mangkok (cup), sedangkan penggunaan karagenan 0,5% cocok untuk es krim cokelat bentuk tongkat (stick). Widyaningtyas dan Susanto (2015) telah melakukan penelitian menggunakan karagenan sebagai hidrokoloid pada karakteristik mie kering

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 53: e-ISSN 2477-0051

37Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

dengan konsentrasi 0,25; 0,5; dan 0,75% dan diperoleh konsentrasi optimal pada 0,75%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan pada produk pangan untuk mendapatkan hasil yang optimal yaitu berkisar antara 0,1-0,75%. Konsentrasi hidrokoloid yang tinggi juga akan mempengaruhi stabilitas emulsi dan sifat organoleptik produk cokelat yang dihasilkan.

SIMPULANHidrokoloid khususnya glukomanan

dan karagenan berpotensi dimanfaatkan sebagai emulsifier pada pembuatan cokelat karena mudah didapat dan kemampuannya dalam melepaskan komponen aktif pada pangan dalam tubuh. Konsentrasi penggunaan glukomanan dan karagenan pada pembuatan cokelat harus memenuhi kaidah ambang batas sebagai bahan tambahan pangan yaitu tidak melebihi 2% dimana hasil produk yang optimal diperoleh pada konsentrasi berkisar antara 0,1-0,75%.

UCAPAN TERIMA KASIHPenulis mengucapkan terima kasih

kepada Dr. Ratri Retno Utami S.TP., MT., atas bantuan teknis dan penulisan dalam menyelesaikan karya tulis ini.

DAFTAR PUSTAKA1. Afifah, E., Nugrahani, M. O., dan Setiono.

2014. Peluang Budidaya Iles-Iles (Amorphophallus spp.) sebagai Tanaman Sela di Perkebunan Karet. Warta Perkaretan, 33, 35-46.

2. Amraini, S. Z., Rionaldo, H., Hermanto., Kurniawan, N., dan Zulfansyah. 2011. Review Teknologi Proses Pengolahan Kakao. STU, B4-1 – B4-7.

3. Bhise, K. S., Dhumal, R. S., Chauhan, B., Paradkar, A., dan Kadam, S. S. 2007. Effect of Oppositely Charged Polymer and Dissolution Medium on Swelling, Erosion, and Drug Release from Chitosan Matrices. AAPS PharmSciTech, 8, E1-E9.

4. CDH. 2006. Carrageenan CAS No. 9000-07-1. Material Safety Data Sheet SDS/MSDS, 1-6, diakses pada 16 Oktober 2018, cdhfinechemical.com.

5. de Araujo, I. W. F., Rodrigues, J. A. G., de Sousa Oliveira Vanderier, E., de Paula, G. A., de Brito Lima, T., dan Benevides, N. M. B. 2012. Iota-Carrageenans from Solieria filiformis (Rhodohyta) and Their Effects In The Inflammation and Coagulation. Acta Scientiarum, 34, 127-135.

6. Deliana, Susilo, B., dan Yulianingsih, R. 2014. Analisa Karakteristik Fisik dan Sensorik Permen Cokelat dari Komposisi Bubuk Bungkil Kacang Tanah dan Variasi Konsentrasi Tepung Porang (Amorphophallus oncophyllus). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis, 2, 62-71.

7. Desiana, E., dan Hendrawati, T. Y. 2015. Pembuatan Karagenan dari Euchema cottonii dengan Ekstraksi KOH Menggunakan Variabel Waktu Ekstraksi. Seminar Nasional Sains dan Teknologi, ISSN : 2407-1846.

8. EFSA Panel On Food Additives and Nutrient Sources Added to Food (ANS)., Mortensen, A., Aguilar, F., Crebelli, R., Di Domenico, A., Frutos, M. J., Galtier, P., Gott, D., Gundert-Remy, U., Lambre, C., Leblanc, J-C., Lindtner, O., Moldeus, P., Mosesso, P., Oskarsson, A., Parent-Massin, D., Stankovic, I., Waalkens-Berendsen. I., Woutersen, R. A., Wright, M., Younes, M., Brimer, L., Christodoulidou, A., Lodi, F., Tard, A., dan Dusemund, B. 2017. Re-Evaluation of Konjac Gum (E 425 i) and Konjac Glucomannan (E 425 ii) as Food Additives. EFSA Journal, 15, 4864.

9. Fadel, A., Plunkett, A., Li, W., Ranneh, Y., Gyamfi, V. E. T., Salmon, Y., Nyaranga, R. R., dan Ashworth, J. 2017. Arabinoxylans from Rice Bran and Wheat Immunomodulatory Potentials: A Review Article. Nutrition and Food Science, 48, 97-110

Kajian Penggunaan Hidrokoloid... (Rahayu Wulandari)

Page 54: e-ISSN 2477-0051

38Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

10. Fitri, M. 2013. Kajian Sifat Fisika-Kimia Karaginan dari Rumput Laut Jenis Euchema sp di Perairan Sulawesi Selatan. Jurnal Galung Tropika, 2, 64-76.

11. Gelinas, P., McKinnon, C., dan Gagnon, F. 2016. Fructans, Water-Soluble Fibre and Fermentable Sugars in Bread and Pasta Made with Ancient and Modern Wheat. International Journal of Food Science and Technology, 51, 555-564

12. Gorsek. 2002. Weight Loss Composition Containing Green Tea, Hydroxycitric Acid, 5-Hydroxytryptophan, Gluco-mannan, Picolinate, and Lacto-bacillus. United States Patent, May 7: US 6,383,482 B1.

13. Harmayani, E., Aprilia, V., dan Marsono, Y. 2014. Characterization of Glucomannan from Amorphophallus oncophyllus and Its Prebiotic Activity In Vivo. Carbohydrate Polymers, 112, 475-479.

14. Hartomo, A. J., dan Widiatmoko, M. C. 1993. Emulsi dan Pangan Instan Ber-Lesitin. Yogyakarta : Andi Offset.

15. Herawati, H. 2018. Potensi Hidrokoloid sebagai Bahan Tambahan pada Produk Pangan dan Non Pangan Bermutu. Jurnal Litbang Pertanian, 37, 17-25.

16. Imeson, A. 2010. Food Stabilisers, Thickeners, and Gelling Agents. United Kingdom : Wiley-Blackwell.

17. Indarti, E., Arpi, N., dan Budijanto, S. 2013. Kajian Pembuatan Cokelat Batang dengan Metode Tempering dan Tanpa Tempering. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia, 5, 1-6.

18. Jin-song, S., Wei-ming, S., Da-feng, S., De-feng, X., dan Gong-ping, G. 2008. Formula Screening and Stability Evaluation of Compound Emulsifier Containing Blettila striata Polysaccharide Gum Based on Histogram. Food Science, 29, 35-38

19. Joel, J. M., Barminas, J. T., Riki, E. Y., Yelwa, J. M., dan Edeh, F. 2018. Extraction and Characterization of

Hydrocolloid Pectin from Goron Tula (Azanza garckeana) Fruit. World Scientific News, 101, 157-171.

20. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, UI Press. Jakarta.

21. Krumreich, F. D., Correa, A. P. A., Nachtigal, J. C., Buss, G. L., Rutz, J. K., Crizel-Cardozo, M. M., Jansen, C., dan Zambiazi, R. C. 2018. Stabilization of Guava Nectar with Hydrocolloids and Pectinases. Polimeros, 28, 53-60.

22. Lee, H. V., Hamid, S. B. A., dan Zain, S. K. 2014. Conversion of Lignocellulosic Biomass to Nanocellulose : Structure and Chemical Process. The Scientific World Journal, 2014, 1-20.

23. Leivas, C. L., Nascimento, L. F., Barros, W. M., Santos, A. R. S., Lacomini, M., dan Cordeiro, L. M. C. 2016. Substitued Galacturonan from Starfruit: Chemical Structure and Antinociceptive and Anti-Inflammatory Effects. International Journal of Biological Macromolecules, 84, 295-300

24. Luyten, H., Vereijken, J., dan Buecking, M. 2004. Using Proteins as Additives in Foods: An Introduction. Proteins in Food Processing. Cambridge England : Woodhead Publishing Limited

25. Masykuri, Nurwantoro, dan Wibawa, R. A. 2009. Pengaruh Penggunaan Karaginan sebagai Penstabil terhadap Kondisi Fisik dan Tingkat Kesukaan pada Es Krim Coklat. Pemberdayaan Peternakan Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan, 503-509

26. Mikshina, P. V., Petrova, A. A., Faizullin, D. A., Zuev, Y. F., dan Gorshkova. 2015. Tissue-Spesific Rhamnogalacturonan I Forms the Gel with Hyperelastic Properties. Biochemistry (Moscow), 80, 915-924

27. Milani, J., dan Malekim G. 2012. Hydrocolloids in Food Industry, Food Industrial Processes – Methods and Equipment. Croatia : Intech Europe.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 55: e-ISSN 2477-0051

39Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

28. Minifie, B. W. 1989. Chocolate, Cocoa, and Confectionery : Science and Technology (3rd ed.). California : Richardson Researches, Inc.

29. Minifie, W.B., 1999. Chocolate, Cacao and Confectionary Sains Technology. An Aspen Publication, London.

30. Mudgil, D., dan Barak, S. 2013. Composition, Properties and Health Benefits of Indigestible Carbohydrate Polymers as Dietary Fiber : A Review. International Journal of Biological Macromolecules, 61 : 1-6

31. Muxika, A., Etxabide, A., Uranga, J., Guerrero, P., dan de la Caba, K. Chitosan as A Bioactive Polymer: Processing, Properties and Applica-tions. International Journal of Biological Macromolecules, 105 (Pt 2), 1358-1368

32. Naidu, D. S., Hlangothi, S. P., dan John, M. J. Bio-based Products from Xylan: A Review. Carbohydrate Polymers, 179, 28-41

33. Nasution, M. Z., Suryani, A., dan Susanti, I. 2004. Pemisahan dan Karakterisasi Emulsifier dalam Minyak Cacing Tanah (Lumbricus rubellus). Teknik Industri Pertanian, 13, 108-115.

34. Necas, J. dan Bartosikova, L. 2013. Carrageenan : A Review. Veterinarni Medicina, 58, 187-205.

35. Nwokocha, L. M., Senan, C., Williams, P. A., dan Yadav, M. P. 2017. Characterisation and Solution Properties of A Galactomannan from Bauhina monandra Seeds. International Journal of Biological Macromolecules, 101, 904-909.

36. Patel, S. 2012. Therapeutic Importance of Sulfated Polysaccharides from Seaweeds: Updating the Recent Findings. 3 Biotech, 2, 171-185

37. Putri, D. I. 2016. Pengaruh Konsentrasi Tepung Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus B.) sebagai Penstabil Es Krim Susu Kambing. Skripsi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian. Unila

38. Ramlah, S. 2014. Pengaruh Suhu Penyangraian Terhadap Mutu Cokelat sebagai Makanan Kesehatan Penurun Kadar Kolesterol Darah. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 9, 115-124.

39. Ramlah, S. 2016. Karakteristik Mutu dan Citarasa Cokelat Kaya Polifenol. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 11, 23-32.

40. Ray, S., Roy, G., Maiti, S., Bhattacharyya, U. K., Sil, A., dan Mitra, R. 2017. Development of Smart Hydrogels of Etherified Gum Ghatti for Sustained Oral Delivery of Ropinirole Hydrochloride. International Journal of Biological Macromolecules, 103, 347-354.

41. Rodriguez, B., Owen, K. Q., Freitas, U., dan Udani, J. 2017. Arabinogalactan for Enhancing the Adaptive Immune Response. United States Patent, Jan 24 : US 9,549,979 B2

42. Schantz, B. dan Rohm, H. 2005. Influence of Lecithin–PGPR Blends on the Rheological Properties of Chocolate. Lebensm.-Wiss. u.-Technol. 38 (2005) 41–45

43. Siepmann, J., Kranz, H., Bodmeier, R., dan Peppas, N. A. 1999. HPMC-Matrices for Controlled Drug Delivery : A New Model Combining Diffusion, Swelling, and Dissolution Mechanisms and Predicting the Release Kinetics. Pharmaceutical Research, 16, 1748-1756.

44. Siregar, R. F., Santoso, J., dan Uju. 2016. Karakteristik Fisiko Kimia Kappa Karagenan Hasil Degradasi Menggunakan Hidrogen Peroksida. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 19, 256-266.

45. Subroto, T. 2011. Efek Anti Hiperkolesterolemik Karagenan Rumput Laut dalam Diet terhadap Plasma Lipid Tikus Putih. Bionatura–Jurnal Ilmu - ilmu Hayati dan Fisik. Vol. 13, No. 1, Maret 2011 : 58-65.

Kajian Penggunaan Hidrokoloid... (Rahayu Wulandari)

Page 56: e-ISSN 2477-0051

40Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

46. Sudarmadji. 1997. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Bogor.

47. Sukendar, N. K., Laga, A., Bilang, M., dan Nur, Z. 2012. Pengaruh Substitusi Gula Sukrosa Oleh Gula Rendah Kalori pada Formulasi Permen Cokelat Fungsional. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 7, 52-61.

48. Suparmi dan Sahri, A. 2009. Juni-Agustus. Mengenal Potensi Rumput Laut : Kajian Pemanfaatan Sumber Daya Rumput Laut dari Aspek Industri dan Kesehatan. Majalah Ilmiah Sultan Agung, 118, 95-116.

49. Supriati, Y. 2016. Keanekaragaman Iles-Iles (Amorphophallus spp.) dan Potensinya untuk Industri Pangan Fungsional, Kosmetik, dan Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian, 35, 69-80.

50. Syaefullah, M. 1991. Studi Karak-teristik Glukomannan dari Sumber “Indegenous” Iles-Iles (Amorpho-phallus oncophyllus) dengan Variasi Proses Pengeringan dan Dosis Perendaman. Tesis Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. 45-48

51. Tester, R. F., dan Al-Ghazzewi, F. H. 2013. Mannans and Health, with A Special Focus On Glucomannans. Food Research International, 50, 384-391.

52. The Commission of The European Communities. 2001. Commission Directice 2001/30/EC of 2 May 2001 Amending Directive 96/77/EC Laying Down Specific Purity Criteria On Food Other Than Colours and Sweeteners. Brussels : Official Journal of The European Communities.

53. Tisoncik, M. 2013. Chocolate Fat Bloom. The Manufacturing Confectioner, 56.

54. Walter, P. dan Cornillon, P. 2001. Influence of Thermal Conditions and Presence of Additives on Fat Bloom in Chocolate. Journal of the American Oil Chemists Society 78: 927–932.

55. Widyastuti, N., Baruji, T., Giarni, R., Isnawan, H., Wahyudi, P., dan Donowati. 2011. Analisa Kandungan Beta-Glukan Larut Air dan Larut Alkali dari tubuh Buah Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan Shiitake (Lentinus edodes). Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 13, 182-191

56. Wenno, M.R. 2009. Karakteristik Fisiko-Kimia Karaginan dari Euchema cottoni pada Bagian Thalus, Berat Bibit dan Umur Panen. Institut Pertanian Bogor.

57. Weyland, M., dan Hartel, R. 2008. Emulsifiers in Confectionery, Food Emulsifiers and Their Applications. Berlin : Springer Science & Business Media.

58. Widyaningtyas, M. dan Susanto, W.H. 2015. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Hidrokoloid (Carboxy Methyl Cellulose, Xanthan Gum, dan Karagenan) terhadap Karakteristik Mie Kering Berbasis Pasta Ubi Jalar Varietas Ase Kuning. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No. 2 p.417-423.

59. Yunus, M. R., Assa, A., dan Pasae, R. 2013. Kajian Pengembangan Pohon Industri Kakao (Theobroma cacao L) dengan Menggunakan Model Conseptual Entity-Relationship. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 8, 9-26.

60. Zhang, W., Xu, P., dan Zhang, H. 2015. Pectin in Cancer Therapy: A Review. Trends in Food Science & Technology, 44, 258-271

61. Zhang, Z., Wheatley, C.C. dan Corke, H. 2002. Biochemical Changes During Storage of Sweet Potato Roots Differing in Dry Material Content. Postharvest Bioland Technol 24: 317 – 325.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 57: e-ISSN 2477-0051

41Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENGARUH SUHU PEMANASAN PADA EKSTRAK TEH (C. sinensis Linn.) JENIS TEH PUTIH TERHADAP STABILITAS SIFAT ANTIOKSIDATIFNYA

The Effect of Thermal Treatment on Tea (C. sinensis Linn.) Extract, Type of White Tea on the Stability of Its Antioxidant Activity

Rohadi dan Sri Budi WahjuningsihProgram Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Semarang

email: [email protected]

abstract The thermal process is able to improve the nutrition and antioxidant activity of coriander leaves. However, the high temperature thermal process (>120oC) can damage and reduce the antioxidant activity. The aim of the study was to analyze the effect of oven heating temperature on the antioxidant stability of aqueous white tea extract (ETP). The extract was concentrated with a rotary vacuum evaporator and dried freeze with a freeze dryer. ETP was heat treated in oven (30, 80, 90, 100, 110 and 120°C/3 minutes) and ETP was assay, for antioxidant activity: total phenolic, total flavonoids, DPPH free radical scavenging assay and total reduction, at various concentrations (50-250 ppm). The results showed that there were significant differences in the effect of heating on the assay of total phenolic, total flavonoids, free radical scavenging activity, total reduction and IC50 at all concentrations (p<0.05). DPPH free radical scavenging activity assay at ETP 50 ppm increased from 5.25±1.0%(30oC) to 29.15±0.13 (120oC), ETP 250 ppm rose from 42.78±2.4%(30oC) to 58.21±0.13%(120oC). The total ferric ion reduction assay (OD value) increased from 0.046 (50 ppm/30oC) to 0.091 (50 ppm/120oC) to 0.28 (250 ppm/30oC) to 0.662 (250 ppm/120oC). The IC50 ETP value increased from 320 ppm (30oC)-182.5 ppm (120oC).

keywords: thermal process, white tea extract, IC50; antioxidant activity

abstrak Proses termal mampu memperbaiki nutrisi dan aktivitas antioksidan daun ketumbar (Coriandrum sativum L.). Namun proses termal suhu tinggi (>120oC) dapat merusak senyawa bioaktif dan menurunkan aktivitas antioksidan. Tujuan penelitian adalah melakukan analisis pengaruh suhu pemanasan oven terhadap stabilitas antioksidatif aqueous ekstrak teh putih (ETP). Ekstrak dipekatkan dengan a rotary vacuum evaporator dan dikering bekukan dengan freeze dryer. ETP dipanaskan dengan microwave-oven (30, 80, 90, 100, 110 dan 120°C/3 menit) dan ETP diuji aktivitas antioksidan: total fenolik, flavonoid, uji penangkapan radikal bebas DPPH, dan total reduksi pada berbagai konsentrasi (50-250 ppm). Hasil penelitian menunjukan ada perbedaan signifikan pengaruh pemanasan terhadap uji total fenolik, total flavonoid, aktivitas penangkapan radikal bebas, total reduksi, dan IC50 pada semua konsentrasi (p<0,05). Uji aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH pada ETP 50 ppm naik dari 5,25±1,0% (30oC) menjadi 29,15±0,13% (120oC), ETP 250 ppm naik dari 42,78±2,4% (30oC) menjadi 58,21±0,13 % (120oC). Pada uji total reduksi ion feri (nilai OD) meningkat dari 0,046 (50 ppm/30oC) menjadi 0,091 (50 ppm/120oC) hingga 0,28 (250 ppm/30oC) menjadi 0,662 (250 ppm/120oC). Nilai IC50 ETP meningkat dari 320 ppm (30oC)-182,5 ppm (120oC).

Kata kunci: Proses termal, ekstrak teh putih, IC50; aktivitas antioksidan

PENDAHULUAN

Proses termal lazim diaplikasikan pada proses pengolahan pangan untuk berbagai tujuan antara lain inaktivasi enzim, perbaikan warna dan tekstur, perbaikan mutu nutrisi, dan sterilisasi spora dan bakteri pathogen (Dewanto et al., 2002; Li-Yuan Zhou et al., 2017). Blanching, pemanggangan (roasting),

perebusan (boiling), oven gelombang mikro (microwaving), dan sterilisasi adalah beberapa contoh aplikasi proses termal (Micali dan Fiorino, 2016; Li-Yuan Zhou et al., 2017). Efektivitas proses termal sangat dipengaruhi oleh intensitas panas, suhu dan lama pemanasan serta perbedaan metode pemasakan (Li-Yuan Zhou et al., 2017). Proses termal mampu memperbaiki

Page 58: e-ISSN 2477-0051

42Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

nutrisi dan aktivitas antioksidan buah tomat (Dewanto et al., 2002). Namun proses termal pada suhu tinggi (> 180oC) dapat merusak dan menurunkan kapasitas antioksidatif suatu antioksidan (Reda, 2011).

Penggunaan antioksidan alami (natural antioxidant) untuk pencegahan rusak pangan oleh oksidasi memperoleh banyak perhatian peneliti (Mielnik et al., 2006; Vayupharap dan Laksanalamal, 2011; Rai et al., 2012; Rohadi et al., 2016; Rohadi dan Wahjuningsih, 2018). Ekstrak aqueous teh putih (ETP) mengandung total fenolik 18,56±0,25% (g-GAE/100 g) dan 4,28±0,1% (g-QE/100 g) dan bersifat menangkap radikal bebas DPPH dan mereduksi ion Fe3+, meski tidak sekuat BHA dan ekstrak biji anggur (Rohadi dan Wahjuningsih, 2018). Lelita et al., (2018) mengatakan aktivitas antioksidatif RSA-DPPH ETP relatif lebih tinggi yakni 92,91±0,08%, dibanding jenis teh lain, teh Oolong 87,20±0,217%, teh hijau (green tea), 86,32±0,10% dan teh hitam (black tea) 55,48±0,68% (1000 ppm) (Lelita, 2018). Setyopratomo (2014) mengatakan ekstrak etanol 20% teh putih pada berbagai suhu ekstraksi (40-60oC) mengandung total fenolik 21-25% (g-GAE/100-g). Senyawa bioaktif utama yang terdapat pada ekstrak teh putih antara lain katekin (C), epikatekin (EC), epigalokatekin (EGC), epikatekin galat (ECG) dan epigalokatekin-3-galat (EGCG) (Rai et al., 2012).

Perlakuan panas (autoclave) terhadap ekstrak biji anggur (100oC/0-60 menit) menyebabkan hidrolisis galokatekin (70%), katekin (61%), epikatekin (65%), prosianidin B1 (75%), dan prosianidin B2 (73%), mampu meningkatkan konsentrasi asam galat (71%), galokatekin (100%) dan epikatekin galat (129%) pada grape pomace, namun tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidannya (Chamorro et al., 2012). Perlakuan panas terhadap daun ketumbar baik dengan microwave (100-900 watt/960-290 detik) maupun oven (40-120oC/264-48 menit) mampu meningkatkan nilai total fenolik, total flavonoid, uji penangkapan radikal bebas DPPH dan ABTS pada suhu 40-80 oC, namun menurunkan nilai total

fenolik, total flavonoid, uji penangkapan radikal bebas DPPH dan ABTS pada suhu 100-120 oC (Hihat et al., 2017).

Antioksidan bersifat sensitif terhadap proses termal dan pemasakan suhu tinggi dapat menurunkan sifat antioksidatifnya serta merusak struktur kimia senyawa penyusunnya (Reda, 2011; Chamorro et al., 2012; Hihat et al., 2017). Diperlukan kajian pengaruh proses termal terhadap stabilitas antioksidan sebelum diaplikasikan pada proses pangan. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh suhu pemanasan oven terhadap stabilitas antioksidatif ETP dan umpan balik pemanfaatan ETP sebagai antioksidan pada proses pangan.

METODOLOGI

Bahan teh putih Kaligua, Produksi PT. Perkebunan Nusantara IX sebanyak 250 gram, Bahan kimia meliputi: asam galat hidrat, asam askorbat (Sigma Chemical Co. St. Louis USA), quercetin (Waco Pure Chemical Industry-Osaka Japan), butylated hydroxyanisole –BHA (Sigma Chemical Co.), asam hidroklorida (HCl), fero klorida (FeCl2), feri klorida (FeCl3), amonium tiosianat, K3Fe(CN)6, trychloroacetic acid (TCA), asam tungsto-fosforik, 2,2-diphenyl-1-picrylhydracyl radical (DPPH) (Aldrich Chemical Co.), kertas saring Whatman No.4 (Whatman International, Ltd. England), Folin-Ciocalteu reagent dan buffer phosphate pH 7. Reagen kimia dan standar yang digunakan dalam kategori pro-analisis (kemurnian 95-98%). Peralatan laboratorium yang dipakai adalah timbangan analitik Shimadzu AUW 120 (Shimadzu, Kyoto Japan), a rotary vacuum evaporator (IKA-RV 10 Basic), freeze dryer (Virtis SP Scientific Sentry 2.0), oven, vortex (Velp Scientifica Europe), water-bath shaker (Julabo SW 22) dan UV-Visible spectrophotometer (UV-1601 Shimadzu, Japan).

Sebanyak 150 gram teh putih diekstrak dengan 500 mL aquades (1:10) sesuai metode Vasi dan Austin (2009) dengan modifikasi (10 menit/60±2 oC) dengan teknik maserasi. Campuran difiltrasi dengan kertas

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14 No. 1 Juni 2019.

Page 59: e-ISSN 2477-0051

43Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

saring Whatman, sehingga diperoleh ekstrak. Ekstrak dipekatkan dengan a rotary vacuum evaporator (IKA-RV 10 Basic) dan diperoleh cairan kental. Cairan kental dikering bekukan dengan freeze dryer (Virtis SP Scientific Sentry 2.0). Sisa pelarut dihilangkan dengan penyemprotan gas nitrogen (N2), sehingga diperoleh ekstrak kering teh putih (ETP) dan dihitung yield. ETP dilakukan pemanasan oven pada berbagai suhu (30, 80, 90, 100, 110 dan 120 oC) selama 3 menit untuk selanjutnya selanjutnya dilakukan uji aktivitas antioksidan: total fenolik dan total flavonoid (Ebrahimzadeh et al., 2008), uji penangkapan radikal bebas DPPH (radical scavenging activity-RSA-DPPH) menurut Vasi dan Austin (2009), total reduksi ion feri (ferric reducing antioxidant power) menurut Vasi dan Austin (2009), pada berbagai konsentrasi (50, 100, 150, 200 dan 250 ppm). Rancangan penelitian berupa rancangan acak kelompok (RAK) dengan satu faktor (suhu pemanasan) dengan 6 perlakuan. Variabel diamati meliputi uji total fenolik, flavonoid, DPPH dan FRAP. Nilai rata-rata dianalisis varian (Anova) untuk melihat ada/tidak perbedaan antar perlakuan, jika terdapat perbedaan nyata antar perlakuan dilakukan uji lanjut Duncan dengan program SAS 9.2. Data disajikan sebagai rata-rata ± standar deviasi (SD).

HASIL DAN PEMBAHASANHasil analisis proksimat teh Putih

Sebanyak 150 gram Teh Putih Kaligua yang dibeli langsung dari pabrik teh yang berlokasi di Kaligua dalam keadaan baik. Kondisi teh berkadar air 8,86±0,19% (Tabel 1), sedikit di atas SNI 3836:2013 tentang produk teh yang mensyaratkan kadar air maksimum 8%. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan batch dan tanggal produksi sampel. Penelitian sebelumnya disebutkan kadar air teh Putih Kaligua 7,44±0,064% (Rohadi dan Wahjuningsih, 2018). Sedangkan kadar abu 4,60±0,004%, memenuhi standar SNI ditetapkan maksimal 8%. Hasil ekstraksi diperoleh hasil (yield) 8,77±1,1%. Nilai yield ekstraksi teh putih dengan pelarut n-heksan,

etil asetat dan etanol 96% berturut-turut 0,62±0,04%, 1,82±0,27% dan 9,42±1,88% (Widyasanti et al., 2016). Penelitian sebelumnya disebutkan yield jenis teh yang sama sebesar 14,42±1,66% (Rohadi dan Wahjuningsih, 2018). Perbedaan nilai yield rendemen tersebut disebabkan antara lain oleh perbedaan jenis teh dan polaritas pelarut, serta metode ekstraksi (Martin et al., 2011; Tram et al., 2015).

Tabel 1. Hasil analisis proksimat teh putih

No. Komponen Kadar (%)

1 Air 8,86±0,192 Protein 10,44±0,353 Lipid 0,76±0,014 Serat kasar 1,27±0,355 Karbohidrat total 75,23±0,026 Abu 4,60±0,004 n=2 (duplo)

Hasil analisis total fenolik

Hasil analisis total fenolik ETP pada berbagai suhu pemanasan disajikan pada Tabel 2. Suhu pemanasan berpengaruh sangat nyata terhadap uji total fenolik ETP (p<0,05). Peningkatan suhu pemanasan pada oven (30-120oC/3 menit) pada semua konsentrasi ETP mampu meningkatan total fenolik. Wu et al., (2013) mengatakan sangrai (roasting) (150oC/60 menit) pada pembuatan teh sorghum (sorghum tea) secara signifikan mampu meningkatkan kadar asam fenolik, total fenolik, total flavonoid dan procyanidin (PAC) dibanding proses perendaman dan pengukusan (steaming). Perlakuan panas (88oC/2-30 menit) diketahui mampu mampu meningkatkan aktivitas antioksidan pada buah tomat 5,29±0,26 – 6,70±0,25 µmol vitamin C ekuivalen/g buah Tomat). Namun tidak secara nyata meningkatkan baik total fenolik maupun total flavonoid (Dewanto et al., 2002).

Proses termal (dry thermal) dapat meningkatkan atau menurunkan hasil uji senyawa fenolik (tidak selalu korelatif dengan nilai aktualnya) dan berhubungan dengan

Pengaruh Suhu Pemanasan ... (Rohadi)

Page 60: e-ISSN 2477-0051

44Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

sifat antioksidatif senyawa fenolik (Wu et al., 2013; Taylor dan Duodu, 2019). Namun demikian mekanisme sangat kompleks melalui berbagai kemungkinan yakni oksidasi, degradasi panas, depolimerisasi menjadi senyawa fenolik sederhana, pembentukan senyawa kompleks dengan polimer lain dan pelepasan asam fenolik serta produksi berbagai senyawa melalui reaksi Maillard (Taylor dan Duodu, 2019). Chamorro et al., (2012) menyatakan adanya peningkatan konsentrasi senyawa bioaktif pada ekstrak biji anggur yang dipanaskan dengan autoclave melalui mekanisme hidrolisis senyawa polimer.

Teh putih kaya senyawa polifenolik baik dalam bentuk polimer seperti tanin kompleks dan tanin terkondensasi, oligomer seperti proanthocyanidin, bisflavanol, dan theaflavin hingga yang bentuk monomer seperti anthocyanidin, katekin (flavanol) dan asam fenolik (Khanbabaee dan Teunis van Ree, 2001; Hilal dan Engelhardt, 2007; Zhang dan Lin, 2009). Selama proses pengolahan baik dengan proses termal maupun kimia (hidrolisis asam) dimungkinkan senyawa polimer atau oligomer terhidrolisis menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dan hal ini diduga kuat, kontributif terhadap sifat antioksidatifnya.

Tabel 2. Hasil analisis total fenolik ETP pada berbagai suhu (mg-GAE/100 g)

[ppm]Suhu pemanasan (oC)

30 80 90 100 110 12050 7,9±1,0a 11,3 ±1,0b 14,±0,10c 16,6±0,5d 20,2±0,5e 23,2±0,5f

100 9,1 ±1,4d 13,3±3,7cb 12,6 ±0,4c 14,0±0,5cb 15,8±0,25ab 18,1±0,3a

150 10,0±1,0e 13,1±0,3d 15,0±0,1c 16,0±0,01b 16,9±0,06a 17,6 ±0,01a

200 11,0±1,8d 13,2±2,0c 14,0±0,2cb 14,6±2,9cb 15,0±0,15b 16,8±0,26a

250 14,1±0,3b 14,7±0,1b 15,4±0.1ab 16,1±0,15ab 16,6±1,5ab 17,6±0,15a

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata antar perlakuan (p <0,05), n=3.

Hasil analisis total flavonoid

Hasil analisis total flavonoid ETP pada berbagai suhu pemanasan disajikan pada Tabel 3. Suhu pemanasan berpengaruh sangat nyata terhadap uji total flavonid ETP

Tabel 3. Hasil analisis total flavonid ETP pada berbagai suhu (mg-QE/100 g)

[ppm]Suhu Pemanasan (oC)

30 80 90 100 110 12050 2,02±0,60e 5,9 ±0,29ed 8,56±1,5d 18,2±2,3c 24,6±3,7b 38,35±2,6a

100 5,71 ±1,1f 12,05±1,6e 13,53 ±0,8d 14,26±1,1c 18,8±0,5b 26,1±1,1a

150 7,90±1,2e 11,64±0,7d 12,63±1,8cd 13,78±0,7bc 15,09±0,7b 21,16±0,5a

200 8,57±0,6f 10,32±0,4e 12,92±0,3d 14,02±0,4c 15,25±0,5b 18,32±0,6a

250 9,2±1,0d 11,61±1,4c 12,00±0,3c 13,08±0,8c 15,45±0,4b 17,12±0,8a

(p<0,05). Peningkatan suhu pemanasan pada oven (30-120oC/3 menit) pada semua konsentrasi ETP mampu meningkatkan total flavonoid.

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata antar perlakuan (p<0,05), n=3.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14 No. 1 Juni 2019.

Page 61: e-ISSN 2477-0051

45Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

dan Srinivasan, 2014; Yoshida dan Takagi, 1997).

Senyawa polifenol baik dalam bentuk polimer seperti tanin kompleks dan tanin terkondensasi, oligomer seperti proanthocyanidin, bisflavanol, dan theaflavin terdapat pada teh putih (Khanbabaee dan Teunis van Ree, 2001; Hilal dan Engelhardt, 2007; Zhang dan Lin, 2009). Selama pemanasan ETP dengan oven, dimungkinkan senyawa polimer atau oligomer tersebut terhidrolisis menjadi senyawa yang lebih sederhana. Hal ini diduga kuat kontributif terhadap sifat antioksidatifnya. Pada roasting mekanisme peningkatan atau penurunannya sangat kompleks melalui berbagai kemungkinan yakni oksidasi, degradasi panas, depolimerisasi menjadi senyawa fenolik sederhana, pembentukan senyawa kompleks dengan polimer lain dan pelepasan asam fenolik serta produksi berbagai senyawa melalui reaksi Maillard (Taylor dan Duodu, 2019).

Hasil analisis RSA-DPPH

Hasil analisis aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH (RSA-DPPH) ETP pada berbagai suhu pemanasan disajikan pada Tabel 4.

Perlakuan panas (thermal treatment) pada ekstrak biji anggur dengan autoclave diketahui menyebabkan hidrolisis galokatekin, katekin, epikatekin, prosianidin B1, dan prosianidin B2 pada berbagai tingkat. Proses yang sama pada grape pomace mampu meningkatkan konsentrasi asam galat (71%), galokatekin (100%) dan epikatekin galat (129%). Namun demikian perlakuan panas dengan oven, tidak menyebabkan perubahan yang nyata pada hasil uji total fenolik, total tanin, prosianidin dan aktivitas antioksidan (Chamorro et al., 2012). Wu et al. (2013) mengatakan sangrai (roasting) (150oC/60 menit) pada biji sorghum proses pembuatan teh sorghum (sorghum tea) secara signifikan mampu meningkatan kadar asam fenolik, total fenolik, total flavonoid dan procyanidin (PAC) serta korelatif dengan uji penangkapan radikal bebas DPPH (RSA-DPPH). Roasting dapat meningkatkan secara signifikan baik total fenolik 17% dan total asam fenolik 208%, namun menurunkan total flavonoid 68% pada proses sangrai “finger millets” (Eleusine coracana). Namun sangrai dengan metode yang sama justru menurunkan 13% uji total fenolik, namun menaikan baik pada total flavonoid 70% dan asam fenolik total 208% pada proses sangrai milet jenis “pearl millets” (Pennisatum glaucum) (Hithamani

Tabel 4. Hasil analisis RSA-DPPH ETP pada berbagai suhu (%)

[Kons.]Suhu Pemanasan (oC)

30 80 90 100 110 12050 ppm 5,25±1,0f 17,21±0,13e 20,22±0,13d 23,99±0,21c 25,34±0,13b 29,15±0,13a

100 ppm 9,86±0,7f 26,75±0.12e 31,98±1,7d 34,33±0,13c 36,59±0,13b 39,45±0,2a

150 ppm 21,40±4,6d 33,17±0,13c 36,20±0,22cb 38,46±0,13b 39,42±0,17b 41,51±0,2a

200 ppm 31,7±1,8e 41,90±0,08f 45,15±0,26c 50,58±0,1d 54,27±0,13b 57,38±0,13a

250 ppm 42,78±2,4e 50,96±0,13d 51,62±0,5d 61,57±0,2c 56,42±0,21b 58,21±0,13a

Suhu pemanasan berpengaruh sangat nyata terhadap uji RSA-DPPH ETP (p<0,05). Peningkatan suhu pemanasan (dry-thermal) pada oven (30-120oC/3 menit)

pada semua konsentrasi (50-250 ppm) ETP mampu meningkatan aktivitas penangkapan radikal bebas. Pada konsentrasi rendah (50 ppm) aktivitas penangkapan radikal

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata antar perlakuan (p<0,05), n=3

Pengaruh Suhu Pemanasan ... (Rohadi)

Page 62: e-ISSN 2477-0051

46Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

bebas naik dari 5,25±1,0% (30oC) menjadi 29,15±0,13% (120oC) naik 450%, pada konsentrasi tinggi (250 ppm) aktivitas penangkapan radikal bebas naik dari 42,78±2,4% (30oC) menjadi 58,21±0,13% (120oC) naik 36%. Hal ini serupa dengan penelitian Wu et al. (2013) bahwa proses sangrai (roasting) (150oC/60 menit) pada biji sorghum pada proses pembuatan teh sorghum (sorghum tea) secara signifikan mampu meningkatan kadar asam fenolik, total fenolik, total flavonoid dan procyanidin (PAC) serta korelatif dengan uji penangkapan radikal bebas DPPH (RSA-DPPH). Namun demikian mekanisme peningkatannya belum sepenuhnya diketahui (Wu et al., 2013; Taylor dan Duodu, 2019).

Pada penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan suhu (60-90oC) dan lama waktu (2-10 menit) seduh teh Putih korelatif dengan peningkatan aktivitas antioksidan seduhan yang dihasilkan (Rohadi et al., 2018). Uji total fenolik, total flavonoid, dan aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH serta daya reduksi ion Fe3+ ETP menunjukkan peningkatan seiring dengan peningkatan suhu pengovenan. Nilai IC50

ETP juga meningkat (320–182,5 ppm) seiring dengan peningkatan suhu pengovenan (30-120oC), namun demikian koefisien korelasinya (r) semakin rendah (30-120oC), r = 0,97-0.45 (Tabel 5). Artinya semakin tinggi suhu proses pangan maka peningkatan konsentrasi ETP yang ditambahkan, tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas penangkapan radikal bebas (Tabel 4). Aktivitas antioksidan aqueous ETP termasuk lemah dibanding antioksidan sintetis BHA dan ekstrak biji anggur (grape seed extract) (Rohadi dan Wahjuningsih, 2018).

Pada awal pembahasan disebutkan bahwa peningkatan suhu pemanasan dalam oven mampu meningkatkan nilai baik total fenolik, total flavonoid, dan aktivitas penangkapan radikal bebas. Terdapat korelasi yang positif antara kenaikan total fenolik dan flavonoid dengan aktivitas penangkapan radikal bebas. Hal ini sejalan dengan hasil-hasil penelitian terpublikasi sebelumnya pada teh putih (Rohadi dan Wahjuningsih, 2018; Rohadi et al., 2018) dan sifat antioksidatif ekstrak biji Duwet (Rohadi et al., 2016).

Tabel 5. Nilai IC50 ETP pada berbagai suhu pemanasan (ppm)

Perlakuan Persamaan regresi IC50 r30 oC y = 0,156x 320 0,9780 oC y = 0,216x 231 0,9490 oC y = 0,229x 218,34 0,83

100 oC y = 0,261x 191,57 0,87110 oC y = 0,260x 192 0,70120 oC y = 0,274x 182 0,45

Ket.: IC50, konsentrasi (ppm) untuk scavenging 50% radikal bebas

Hasil Analisis Daya Reduksi ETP

Hasil analisis aktivitas total reduksi (FRAP) ETP pada berbagai suhu pemanasan disajikan pada Tabel 5. Suhu pemanasan berpengaruh sangat nyata terhadap uji reduksi total ETP (p<0,05). Peningkatan suhu pemanasan (dry-thermal) pada microwave oven (30-120oC/3 menit)

pada semua konsentrasi (50-250 ppm) ETP mampu meningkatan aktivitas mereduksi ETP. Uji reduksi (kemampuan) mereduksi ion feri (Fe3+) menjadi fero (Fe2+) dipakai sebagai salah satu parameter aktivitas antioksidan (Brewer, 2011). Ion feri dan ion logam jenis lain diketahui sebagai logam oksidator yang kuat pemicu (trigger) peristiwa oksidasi.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14 No. 1 Juni 2019.

Page 63: e-ISSN 2477-0051

47Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Keberadaan oksidator ion logam ini harus dilemahkan (direduksi). Senyawa yang memiliki kemampuan mereduksi ion logam antara lain senyawa polifenol yang terdapat pada ETP.

Hasil uji FRAP sampel menunjukkan bahwa ETP memiliki kemampuan mereduksi yang semakin meningkat pasca pemanasan dalam oven, yang ditunjukkan dengan nilai absorbansi (optical density) pada λ= 700 nm yang semakin meningkat dari 0,046 (50 ppm/30oC) menjadi 0,091 (50 ppm/120oC) hingga 0,28 (250 ppm/30oC) menjadi 0,662 (250 ppm/120oC). Semakin tinggi suhu pemanasan (30-120oC) korelatif dengan peningkatan daya mereduksi ETP.

Peningkatan daya mereduksi ETP akibat pemanasan (dry-thermal) korelatif dengan uji total fenolik, total flavonoid dan uji RSA-DPPH. Hal ini sesuai hasil penelitian, Wu et al. (2013) yang menyatakan bahwa sangrai (roasting) (150oC/60 menit) pada biji sorghum secara signifikan mampu meningkatan kadar asam fenolik, total fenolik, total flavonoid dan procyanidin (PAC) serta korelatif dengan uji penangkapan radikal bebas DPPH (RSA-DPPH) dan uji total reduksi. Namun menurut Chamorro et al. (2012) pemanasan dengan autoclave dan oven pada ekstrak biji anggur maupun grape pomace tidak secara nyata meningkatkan sifat antioksidatifnya.

Diduga fenomena ini, yakni peningkatan suhu pemanasan (30-120oC) korelatif dengan peningkatan uji total fenolik, total flavonoid, aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH dan daya mereduksi ETP disebabkan meningkatnya konsentrasi senyawa bioaktif yang memiliki aktivitas antioksidan melalui mekanisme hidrolisis. Namun demikian belum jelas (clear) tentang hal tersebut. Kuat diduga peningkatan hasil uji total fenolik, total flavonoid dan aktivitas antioksidan ETP yang dipanaskan oven disebabkan peristiwa degradasi panas dan hidrolisis menjadi senyawa fenolik sederhana.

SIMPULAN

Stabilitas sifat antioksidan ekstrak teh Putih (ETP) meningkat seiring dengan peningkatan suhu pemanasan dalam oven

(30-120oC) selama 3 menit. Pemanasan mampu meningkatkan hasil uji total fenolik, total flavonoid, aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH dan uji daya reduksi total serta meningkatkan nilai IC50 (320-182,5 ppm).

Saran

Diperlukan penelitian lanjut untuk mengelaborasi mekanisme peningkatan kapasitas antioksidatif ETP selama pemanasan dengan oven.

DAFTAR PUSTAKA

1. Brewer, M.S. 2011. Natural Antioxidant: Source, Compounds, Mechanisms of Action, and Potential Application. Comprehensive Reviews. Food Science and Food Safety, 10: 221-247.

Tabel 6. Hasil analisis FRAP ETP pada berbagai suhu (OD)

[Kons.]Suhu (oC)

30 80 90 100 110 12050 ppm 0,046±0,005d 0,063±0,002c 0,077±0,003b 0,081±0,004b 0,082±0,003b 0,091±0,004a

100 ppm 0,076±0,009e 0,134±0,002d 0,145±0,003c 0,186±0,003b 0,192±0,003b 0,202±0,003a

150 ppm 0,102±0,01e 0,3±0,003d 0,312±0,003c 0,317±0,003c 0,33±0,04b 0,342±0,003a

200 ppm 0,15±0,02e 0,395±0,003d 0,481±0,003c 0,482±0,003c 0,513±0,003b 0,538±0,003a

250 ppm 0,283±0,05c 0,612±0,003b 0,632±0,003ba 0,642±0,003ba 0,652±0,003ba 0,662±0,003a

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan nyata antar perlakuan (p<0,05), n=3.

Pengaruh Suhu Pemanasan ... (Rohadi)

Page 64: e-ISSN 2477-0051

48Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

2. Chamorro, S., Gon˜I, I., Viveros, A., Hervert-Hernandez, D., dan Brenes, A., 2012. Changes in polyphenolic content and antioxidant activity after thermal treatments of grape seed extract and grape pomace. European Food Research Technololy, 234 (1):147–155. DOI 10.1007/s00217-011-1621-7.

3. Dewanto, V., Xianzhong Wu, Kafui K. Adom, dan Rui Hai Liu. 2002. Thermal Processing Enhances the Nutritional Value of Tomatoes by Increasing Total Antioxidant Activity. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 50:3010-3014.

4. Ebrahimzadeh, M A., Pourmorad, F. dan Hafezi, S. 2008. Antioxidant activities of Iranian Corn Silk. Turk Journal Biology, 32: 43-49.

5. Hihat, S., Remini, H. dan Madani, K. 2017. Effect of oven and microwave drying on phenolic compounds and antioxidant capacity of coriander leaves. International Food Research Journal, 24(2): 503-509.

6. Hilal, Y dan Engelhardt, U. 2007. Charac-terisation of white tea – Comparison to green and black tea. Journal of Verbr. Lebensm. 2: 414 – 421.

7. Hithamani, G., dan Srinivasan, K. 2014. Effect of domestic processing on the polyphenol content and bioaccessibility in finger millet (Eleusine coracana) and pearl millet (Pennisetum glaucum). Food Chemistry, 164:55-62. DOI: 10.1016/j.foodchem.2014.04.107.

8. Khanbabaee, K. dan Teunis van Ree. 2001. Tannin, Classifikation and Definition. Nat. Prod. Rep., 18: 641–649. DOI: 10.1039/b101061l.

9. Lelita, D.I. 2018. Sifat Antioksidatif Ekstrak Teh (Camellia sinensis Linn.) Jenis Teh Hijau, Teh Hitam, Teh Oolong dan Teh Putih Dengan Pengeringan Beku (Freez Drying). Skripsi, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Semarang, Semarang.

10. Li-Yuan Zhou, Wan Li, Wen-Juan Pan, Sajid Hussain, Ya Wang, Wen-Qiang Guo, Zheng-Nan Cai, Wei-Wei Yang, Dan-Dan-Wang dan Yan Chen. 2017. Effects of thermal processing on nutritional characteristics and non-volatile flavor components from Tricholoma lobayense. Emirates Journal of Food and Agriculture, 29(4): 285-292. DOI. 10.9755/ejfa.2016-12-1815.

11. Martin, S., Solange I. Mussatto, G., Martinez-Avila, J., Montanes-Saenz, C.N. Aguilar dan Jose A. Teixeira. 2011. Bioactive phenolic compounds: Production and extraction by solid-state fermentation. A review. Journal Biotechnology Advances, 29:365-373.

12. Micali, M. dan Fiorino, M. 2016. Thermal Processing in Food Industries and Chemical Transformation. Dalam Micali, M. (ed.). (2016). The Chemistry of Thermal Food Processing Procedures, Chemistry of Foods. DOI 10.1007/978-3-319-42463-7_2.

13. Mielnik, M.B., Olsen, E., Vogt, G., Ade-line, D. dan Skrede, G. 2006. Grape seed extract as antioxidant in cooked, cold storage turkey meat. Elsevier, LWT 39:191-198.

14. Rai, N., Jigisha, A., Navin, K., Pankaj, G. 2012. Green tea a magical herb with miraculous outmes. Int. Research Journal of Pharmacy, 3(5):139-148.

15. Reda, S.Y. 2011. Evaluation of Antioxidants Stability by Thermal Analysis and Its Effect in Heated Edible Vegetable Oil. Ciência e Tecnologia de Alimentos, 31(2): 475-480.

16. Rohadi, Fonda Natalia, Diyan Widya-ntika dan Ery Pratiwi. 2018. Metode Penyeduhan Dan Aktivitas Antioksidatif Minuman Teh (C. sinensis Linn.) Jenis Teh Putih Yang Dihasilkan. Inisiasi, 7(2):241-249.

17. Rohadi, Santoso, U., Raharjo, S., Falah, I.I. 2016. Aktivitas antioksidan ekstrak biji Duwet (Syzygium cumini Linn.)

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14 No. 1 Juni 2019.

Page 65: e-ISSN 2477-0051

49Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

pada peroksidasi lipida secara in vitro. Jurnal Agritech, 36(1): 30-37. DOI: 10.22146/agritech.10681.

18. Rohadi dan Wahjuningsih, S.B. 2018. Komparasi Aktivitas Antioksidatif Ekstrak Teh Putih (C. sinensis Linn.) Dibandingkan Ekstrak Biji Anggur dan BHA pada Berbagai Konsentrasi. J. Aplikasi dan Teknologi Pangan, 7(2).62-67.

19. Setyopratomo, P. 2014. Extraction of Phenolic Compounds from Green Tea Using Ethanol. ARPN J. of Engineering and Applied Sciences, 9(9):1516-1521.

20. Taylor, J. R.N dan Kwaku G. Duodu. 2019. Sorghum and Millets. Chemistry, Technologi and Nutritional Attributes. 2nd.Ed. Cambridge, UK: Elsevier Inc.

21. Tram, N.N., Hien, P.P., Oanh, H.N. 2015. Optimizing the extraction conditions of phenolic compounds from fresh tea shoot. Journal of Food and Nutrition Sciences,3(1-2): 106-110. DOI: 10.11648/j.jfns.s.2015030102.30

22. Vasi, S., dan Austin, A. 2009. Antioxidants Potential of Eugenia jambolana Lam. Seeds. Journal of Biological Sciences, 9(8):894-898.

23. Vayupharap, B. dan Laksanalamal, V. (2012). Recovery of Antioxidant from Grape Seeds and its Application in Fried Food. Journal Food Process Technology 3(4):1-6.

24. Widyasanti, A., Rohdiana, D. dan Ekatama, N. 2016. Aktivitas Antioksi-dan Ekstrak The Putih (C. sinensis) Dengan Metode DPPH (2,2 diphenyl, 1-picrylhydracil), Fortech, 1 (1):1-9.

25. Wu, Li., Zhaohui Huang, Peiyou Qin dan Guixing Ren. 2013. Effects of processing on phytochemical profiles and biological activities for production of sorghum tea. Food Research International, 53(2): 678-685.

26. Yoshida, H. dan Takagi, S., (1997). Effects of Seed Roasting Temperature and Time on The Quality Characteristics of Sesame (Sesamum indicum) Oil. Journal of the Science of Food and Agricultural, 75(1):19-26.

27. Zhang, L.L., dan Lin, Y.M. (2009). Antioxidant tannins from Syzygium cumini fruit. African Journal of Biotechnology, 8(10):2301-2309.

Pengaruh Suhu Pemanasan ... (Rohadi)

Page 66: e-ISSN 2477-0051

50Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PRODUKSI ASAP CAIR DARI KAYU KARET DENGAN BERBAGAI WAKTU PIROLISIS DAN APLIKASINYA SEBAGAI KOAGULAN LATEKS

The Production of Liquid Smoke from Rubber Wood with Various Times of Pyrolysis and Its Applications as Latex Coagulant

Afrizal Vachlepi* dan Risal ArdikaBalai Penelitian Sembawa – Pusat Penelitian Karet

Jl. Raya Palembang – P.Balai Km.29 Kotak Pos 1127 Palembang 30001 Sumatera Selatane-mail : [email protected]

abstract The wood and stump from the replanting of rubber plantation have not been fully utilized and become waste. Rubber wood waste can be processed to liquid smoke through pyrolysis process to become more useful. It is predicted that the liquid smoke can be used to produce a good quality rubber accordance to SNI 06-1903-2000 about SIR. This research was aimed to study the effect of rubber wood pyrolysis time on liquid smoke characteristics, dry rubber content of latex coagulum and technical quality of natural rubber that produced by using rubber wood liquid smoke. This study used complete randomized design with 8 treatments. The results showed that rubber wood pyrolysis process for 5 hours would produce liquid smoke with latex coagulant characteristics, i.e pH 2.72 and acid content 11.4%. Latex coagulation using liquid smoke from pyrolysis process for 5 hours would produce coagulum with dry rubber content of 34.45%. The technical quality of natural rubber that coagulated with liquid smoke from pyrolysis process for 5 hours meet the quality standard of SNI 06-1903-2000 about SIR, i.e. Po 41, PRI 83.6, Mooney viscosity 74, SVI 2.7, ash content 0.49%, and volatile content 0.40%.

keywords: coagulant, liquid smoke, quality, rubber wood

abstrak Kayu dan tunggul dari hasil peremajaan perkebunan karet masih belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga menjadi limbah. Limbah kayu karet dapat diolah menjadi asap cair melalui proses pirolisis supaya lebih bermanfaat. Penggunaan asap cair dari kayu karet ini diprediksi menghasilkan karet bermutu baik sesuai dengan SNI 06-1903-2000 tentang SIR. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh waktu proses pirolisis kayu karet terhadap karakteristik asap cair, kadar karet kering koagulum lateks dan mutu teknis karet alam yang diproduksi menggunakan asap cair dari kayu karet. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pirolisis kayu karet selama 5 jam menghasilkan asap cair dengan karakteristik yang diperlukan sebagai koagulan lateks, yaitu pH 2,72 dan kadar asam 11,4%. Penggumpalan lateks menggunakan asap cair dari perlakuan pirolisis selama 5 jam akan menghasilkan koagulum dengan kadar karet kering sebesar 34,45%. Mutu teknis karet alam yang digumpalkan dengan asap cair tersebut memenuhi persyaratan mutu SNI 06-1903-2000 tentang SIR, yaitu Po 41, PRI 83,6, viskositas Mooney 74, SVI 2,7, kadar abu 0,49%, dan kadar zat menguap 0,40%.

kata kunci : asap cair, koagulan, kayu karet, mutu

PENDAHULUANProduk utama yang dihasilkan

perkebunan karet adalah lateks atau getah yang diperoleh dengan cara penyadapan pohon tanaman karet (Hevea brasiliensis). Umur ekonomis tanaman karet dapat mencapai 25 tahun dengan persyaratan

eksploitasinya dilakukan dengan baik dan benar. Setelah kurang bernilai ekonomis, tanaman karet biasanya dilakukan peremajaan atau penebangan untuk ditanam kembali (replanting). Kegiatan peremajaan ini akan menghasilkan produk non lateks seperti kayu dan tunggul.

Page 67: e-ISSN 2477-0051

51Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

bau busuk (malodor). Penggunaan asap cair dalam pengolahan karet alam terbukti mampu menghasilkan karet alam bermutu baik sesuai dengan persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-1903-2000 tentang Standard Indonesian Rubber (SIR).

Kemampuan asap cair menggumpalkan lateks disebabkan oleh kandungan asam asetat yang terdapat pada asap cair. Sedangkan pengendalian bau busuk oleh asap cair, lebih disebabkan oleh kandungan fenol dan senyawa aromatik lainnya. Fenol mampu berfungsi sebagai antimikrobia yang dapat mencegah terjadinya pertumbuhan mikroorganisme pada blanket karet (Karseno, dkk., 2002). Mikroorganisme tersebut akan merusak protein pada partikel karet alam dan menghasilkan H2S yang menyebabkan bau busuk (Solichin, dkk., 2007). Penelitian Prasetyowati, dkk. (2014) menyatakan bahwa asap cair juga mengandung asam asetat dan fenol yang cukup tinggi.

Penelitian mengenai aplikasi asap cair yang dihasilkan dari proses pirolisis kayu karet terutama terhadap mutu teknis karet alam ekspor Indonesia masih sedikit dilakukan. Proses pirolisis terjadi dalam empat tahap, yaitu tahap pertama penghilangan air pada 120-150 °C, tahap kedua proses pirolisis hemiselulosa pada suhu 150-200 °C, tahap ketiga proses pirolisis selulosa pada suhu 200-300 °C dan tahap keempat proses pirolisis lignin. Setiap proses pirolisis tersebut akan menghasilkan senyawa kimia yang berbeda-beda (Darmadji, 2009). Tahapan ini menunjukkan bahwa proses pirolosis akan menentukan karakteristik asap cair yang dihasilkan. Penggunaan asap cair pada pengolahan karet alam terbukti dapat menghasilkan karet bermutu baik sesuai dengan SNI 06-1903-2000 (Solichin dan Anwar, 2003; Vachlepi, 2017). Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh waktu proses pirolisis kayu karet terhadap karakteristik asap cair, kadar karet kering koagulum lateks dan mutu teknis karet alam yang diproduksi menggunakan asap cair dari kayu karet tersebut.

Potensi ketersediaan kayu dan tunggul sangat besar mengingat tingginya jumlah tanaman karet tua yang harus diremajakan, terutama di perkebunan rakyat. Nancy, dkk. (2013) menyatakan bahwa potensi kayu karet dari hasil peremajaan perkebunan rakyat dapat mencapai 1,1 juta m3. Dari potensi ini, hanya sebagian kecil yang sudah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pengolahan kayu. Itu pun hanya sebatas kayu karet yang akses distribusi (jalan) dan penanganannya mudah. Berdasarkan penelitian Agustina, dkk. (2013) diperoleh informasi bahwa sebanyak 237 ribu m3 kayu karet sudah diolah menjadi berbagai produk kayu olahan seperti veener, medium density fibreboard (MDF), dan sawn timber. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hanya sekitar 21,5% kayu karet yang baru dimanfaatkan.

Suwardin (2011) menyatakan bahwa kayu dan tunggul yang belum dimanfaatkan dan dibakar secara konvensional tanpa terkendali dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Akibatnya, peremajaan perkebu-nan karet, terutama pada perkebunan rakyat menghadapi masalah khususnya dalam penanganan kayu dan tunggul yang belum dimanfaatkan tersebut.

Agar tidak menimbulkan masalah lingkungan, limbah perkebunan karet tersebut perlu diolah menjadi produk lain yang lebih bermanfaat di luar produk olahan kayu. Salah satunya dengan mengolah kayu karet menjadi asap cair melalui proses pirolisis. Asap cair dari kayu karet ini dapat dimanfaatkan kembali untuk pengolahan lateks karet alam. Selain mengurangi masalah lingkungan, dengan memanfaatkannya menjadi asap cair, nilai ekonomi kayu karet dapat meningkat. Tidak hanya itu, ternyata asap cair kayu karet mempunyai kandungan total asam lebih tinggi daripada asap cair tempurung kelapa, tetapi mempunyai kandungan senyawa phenol yang lebih rendah (Towaha et al., 2013). Hasil penelitian Solichin (2007) menyatakan bahwa asap cair dapat diaplikasikan dalam pengolahan karet alam sebagai bahan penggumpal (koagulan) dan pengendali

Produksi Asap Cair... (Afrizal Vachlepi)

Page 68: e-ISSN 2477-0051

52Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

METODOLOGIa. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas lateks (getah tanaman Hevea brasiliensis), limbah perkebunan karet berupa kayu karet yang berasal dari cabang dan ranting pohon karet, asap cair dari cangkang sawit merek Deorub, asam format teknis atau dikenal dengan asam semut, kertas TST untuk analisa PRI dan P2O5 dari Merck. Sedangkan peralatan yang digunakan berupa reaktor pirolisis, bak penggumpalan lateks, gelas ukur, neraca

analitik, mesin creeper, stopwatch, Wallace rapid plastimeter, Mooney viskometer, oven, dan muffle furnace.

b. Metode Penelitian ini menggunakan Rancangan

Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan terdiri dari 6 jenis koagulan asap cair kayu karet (ACK) yang diperoleh dari berbagai waktu pirolisis dan kontrol berupa koagulan asap cair cangkang sawit (ACS) dan asam format (Tabel 1).

Tabel 1. Perlakuan Jenis Koagulan yang Diberikan

Perlakuan Waktu pirolisis Dosis per liter lateks*) Kode Keterangan

Asap cair kayu karet 3 Jam 100 ml larutan 10% ACK 3 Jam -Asap cair kayu karet 4 Jam 100 ml larutan 10% ACK 4 Jam -Asap cair kayu karet 5 Jam 100 ml larutan 10% ACK 5 Jam -Asap cair kayu karet 6 Jam 100 ml larutan 10% ACK 6 Jam -Asap cair kayu karet 7 Jam 100 ml larutan 10% ACK 7 Jam -Asap cair kayu karet 8 Jam 100 ml larutan 10% ACK 8 Jam -Asap cair cangkang sawit - 100 ml larutan 10% ACS murni KontrolAsam format - 60 ml larutan 2% Asam format Kontrol

Keterangan :*) Dosis penggunaan sesuai dengan rekomendasi Pusat Penelitian Karet. Sumber : Suwardin dkk (2014)

Parameter yang diamati terdiri atas karakteristik asap cair yang dihasilkan, kadar karet kering (KKK) gumpalan lateks karet alam (koagulum) dan mutu teknis karet alam yang digumpalkan dengan asap cair tersebut. Data karakteristik asap cair yang dianalisa berupa pH, kadar asam, dan berat jenis (densitas). Mutu teknis karet yang dianalisa berupa plastisitas awal (Po), indeks ketahanan plastisitas (plasticity rentention index/PRI), viskositas Mooney, indeks kestabilan viskositas (stability viscosity index/SVI), kadar abu dan kadar zat menguap. Data parameter pengamatan terutama mutu teknis akan dianalisa secara statistik dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT).

Untuk parameter mutu teknis karet, selain menggunakan statistik, juga dibandingkan dengan standar mutu yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-1903-2000 tentang Standard Indonesian Rubber (SIR) untuk jenis mutu SIR 20 (Tabel 2).

Pembuatan asap cair dari kayu karetTahap awal penelitian ini adalah

pembuatan asap cair dari limbah perkebunan karet berupa kayu karet menggunakan reaktor pirolisis. Proses pirolisis kayu karet dilakukan pada suhu sekitar 300-350 °C dengan waktu sesuai perlakuan, yaitu sekitar 3-8 jam.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 69: e-ISSN 2477-0051

53Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 2. Persyaratan Mutu SNI 06-1903-2000 tentang SIR

Spesifikasi / (asal bahan olah)SIR 20

koagulumKadar kotoran,% maks (b/b) 0,20Kadar abu, % maks (b/b) 1,00Kadar zat menguap, % maks (b/b) 0,80PRI, min 50Po, min 30Nitrogen (N), maks (b/b) 0,60Viskositas Mooney Ml(1+4)100*) -

*)Tanda pengenal tingkatan Batasan viskositas mooney CV - 50 45 - 55 CV - 60 55 - 65 CV - 70 65 - 75Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2000).

Penggumpalan lateks menggunakan asap cair kayu karet

Asap cair yang diperoleh dari proses pirolisis kayu karet dengan berbagai waktu pirolisis selanjutnya digunakan sebagai bahan penggumpal (koagulan) lateks karet alam. Selain asap cair kayu karet, koagulan lain berupa asap cair dari cangkang sawit dan asam format juga digunakan sebagai kontrol (pembanding). Sebelum ditambahkan ke dalam lateks, koagulan tersebut diencerkan terlebih dahulu menggunakan air hingga konsentrasi sesuai dengan perlakuan pada Tabel 1. Konsentrasi dan dosis penggunaan asap cair mengikuti rekomendasi Pusat Penelitian Karet.

Koagulan tersebut selanjutnya ditam-bahkan ke dalam 2 liter lateks untuk setiap perlakuan. Lateks yang sudah ditambahkan koagulan diaduk hingga tercampur secara merata. Lateks kemudian didiamkan selama 24 jam hingga menggumpal secara sempurna. Lateks yang telah menggumpal secara sempurna disebut koagulum.

Analisa kadar karet kering dan mutu teknisTahap berikutnya adalah analisa

kadar karet kering (KKK) dari koagulum yang sudah dihasilkan. Analisa KKK dilakukan dengan menimbang bobot basah koagulum. Selanjutnya koagulum tersebut

digiling menggunakan mesin creeper menjadi lembaran karet yang biasa disebut blanket karet. Lembaran karet hasil gilingan dikeringkan menggunakan oven pada suhu ± 110 °C selama 3-4 jam atau karet sampai menjadi kering. Parameter mutu KKK dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

KKK(%)=X_1/X_0 x 100% (1)

Keterangan :X0 = bobot basah koagulum (gram)X1 = bobot kering karet (gram)

Karet yang sudah kering selanjutnya akan dianalisa mutu teknisnya berupa plastisitas awal (Po), indeks ketahanan plastisitas (plasticity rentention index/PRI), viskositas Mooney, indeks kestabilan visko-sitas (stability viscosity index/SVI), kadar abu dan kadar zat menguap. Metode analisa parameter mutu teknis karet alam dilakukan sesuai dengan SNI 06-1903-2000.

HASIL DAN PEMBAHASANKarakteristik asap cair dari kayu karet

Asap cair yang dihasilkan dari proses pirolisis kayu karet dengan berbagai perlakuan lama waktu pirolisis menghasilkan karakteristik yang tidak terlalu berbeda. Hasil analisa pH, kadar asam dan berat jenis dari asap cair yang diperoleh dari berbagai perlakuan disajikan pada Tabel 3.

Produksi Asap Cair... (Afrizal Vachlepi)

Page 70: e-ISSN 2477-0051

54Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 3. Karakteristik Asap Cair dari Kayu Karet pada Berbagai Lama Pirolisis

Perlakuan pH Kadar asam (%)

Berat jenis (gr/ml)

ACK 3 jam 2,54 10,8 1,042ACK 4 jam 2,68 9,5 1,046ACK 5 jam 2,72 11,4 1,054ACK 6 jam 2,77 8,3 1,022ACK 7 Jam 2,77 8,3 1,028ACK 8 jam 2,81 8,2 1,036

Seperti terlihat pada Tabel 3 diketahui

bahwa pH (derajat keasaman) asap cair yang dihasilkan dengan berbagai perlakuan lama waktu pirolisis sekitar 2,54-2,81. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Towaha et al (2013) dimana pH asap cair dari kayu karet sekitar 2,8. Data pH dari asap cair sebagai bahan penggumpal (koagulan) sangat diperlukan kaitannya dengan proses penggumpalan lateks karet alam. Lateks segar umumnya mempunyai pH sekitar 6,8. Sementara itu, titik koagulasi lateks karet alam berkisar antara 4,0-4,7 (Abednego, 1981). Untuk menurunkan pH lateks dari 6,8 menjadi sekitar 4,0-4,7 diperlukan koagulan yang bersifat asam, salah satunya asap cair.

Kadar asam dari asap cair yang dihasilkan pada berbagai lama waktu pirolisis sekitar 8,2-11,4% dengan berat jenis asap cair sekitar 1,022-1,054 gram/ml. Kadar asam tertinggi dihasilkan asap cair dari perlakuan pirolisis selama 5 jam (ACK 5 jam) yaitu 11,4%. Tingginya kadar asam pada asap cair tersebut disebabkan pirolisis hemiselulosa terjadi lebih optimum pada suhu tersebut sehingga dapat membentuk asam asetat lebih banyak. Hemiselulosa terdiri dari pentosan dan heksosan. Pirolisis heksosan bersama selulosa akan membentuk asam asetat (Darmadji, 2009). Kayu karet mempunyai kandungan holoselulosa yang cukup tinggi, yaitu ± 67% dengan ά-selulosa sekitar 40% sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku penghasil pulp (Towaha dan Daras, 2013). Dengan demikian, untuk mendapatkan kadar asam yang tinggi pada

asap cair, proses pirolisis kayu karet cukup dilakukan selama 5 jam saja.

Kadar karet kering

Hasil analisa kadar karet kering (KKK) menggunakan persamaan (1) dapat dilihat pada Gambar 1. KKK adalah persentase kandungan partikel karet alam (poliisoprena) yang terdapat pada bahan olah karet dalam hal ini koagulum. KKK merupakan istilah yang sudah umum digunakan dalam industri pengolahan karet alam (Kumar dkk., 2007). Penggunaan berbagai jenis koagulan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap KKK koagulum yang dihasilkan. KKK tertinggi yang dihasilkan adalah koagulan asam format yang mencapai 36,52%. Sedangkan KKK koagulum yang digumpalkan dengan asap cair, baik asap cair dari berbagai perlakuan waktu pirolisis kayu karet (perlakuan utama) maupun dari cangkang kelapa sawit (kontrol) hampir sama, yaitu sekitar 34-35%. Perbedaan hasil analisa KKK antara koagulan asam format dengan asap cair lebih disebabkan oleh kandungan senyawa kimia yang berbeda pada setiap koagulan.

Koagulan asam format hanya mengandung satu senyawa kimia yaitu asam format (CH2O2). Sedangkan asap cair, baik perlakuan utama (asap cair dari kayu karet yang dipirolisis dengan berbagai waktu) maupun asap cair kontrol, semuanya mengandung berbagai senyawa kimia yang memiliki fungsi yang berbeda. Berdasarkan hasil analisa menggunakan Automated Thermal Desorption Coupled Gas Chromatography-Mass Selec-tive Detector (ATD-GC-MSD), asap cair kontrol mengandung 21,9% senyawa mudah menguap (volatil), 77,5% air dan sisanya 0,6% senyawa tidak menguap (PSB, 2003). Senyawa-senyawa kimia inilah yang berperan dalam proses penggumpalan lateks dan KKK koagulum yang dihasilkan. Sementara itu, hasil analisa yang dilakukan Towaha et al (2013) menggunakan chromatogram GC-MS, asap cair yang diproduksi dari pirolisis kayu karet menghasilkan sekitar 29 senyawa kimia antara lain asam asetat, phenol, benzena, dan sebagainya.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 71: e-ISSN 2477-0051

55Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Gambar 1. Kadar Karet Kering Koagulum pada Berbagai Jenis Koagulan

Keterangan: Angka-Angka yang Diikuti Huruf yang Sama pada Setiap Kolom Berarti Tidak Berbeda Pada Uji Lanjutan Jarak Berganda Duncan

(Dmrt) pada Tingkat Kepercayaan 95% (ά = 0,05)

Plastisitas karet alamHasil analisa parameter mutu plastisitas

awal (Po) dan indeks ketahanan plastisitas (plasticity retention index/PRI) disajikan pada Tabel 4. Nilai Po dan PRI merupakan parameter dasar untuk menentukan mutu karet lembaran (Achmadi, dkk., 2015). Pengujian indeks ketahanan plastisitas (PRI) dilakukan untuk mengukur ketahanan karet mentah terhadap degradasi oleh oksidasi pada suhu tinggi. Nilai PRI yang tinggi menunjukkan bahwa karet alam tersebut tahan terhadap suhu tinggi.

Tabel 4. Hasil Analisa Plastisitas Awal (Po) dan Indeks Ketahanan Plastisitas (PRI) Karet Alam

dengan Berbagai Perlakuan Bahan Penggumpal.

Perlakuan Po PRIACK 3 jam 40 a 71,3 abACK 4 jam 38 a 73,9 abACK 5 jam 41 a 83,6 aACK 6 jam 44 a 82,6 abACK 7 jam 42 a 72,5 abACK 8 jam 44 a 80,3 abACS murni 39 a 64,6 bAsam format 37 a 71,6 ab

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap baris berarti tidak berbeda pada uji lanjutan Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada tingkat kepercayaan

95% (ά = 0,05)

Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa perlakuan penggunaan asap cair dari kayu karet yang diproses dengan berbagai waktu pirolisis tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai Po karet alam. Nilai Po karet alam yang digumpalkan dengan asap cair dari kayu karet dengan berbagai perlakuan waktu pirolisis berkisar antara 38-44. Angka ini secara statistik sama seperti nilai Po karet alam yang dihasilkan dari koagulan asap cair dari cangkang kelapa sawit (ACS murni) sebagai kontrol. Hal ini disebabkan kandungan senyawa kimia dari kedua jenis asap cair ini hampir sama.

Berbeda dengan asam format, nilai Po karet yang dihasilkan paling rendah, yaitu 37. Perbedaan ini diduga terjadi karena asam format tidak mampu mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menurunkan mutu, terutama plastistas. Sedangkan asap cair menurut Solichin, dkk. (2005) mengandung sekitar 67 jenis senyawa yang dapat berfungsi sebagai antibakteri (Karseno, dkk., 2002), antioksidan, pemberi warna coklat, dan bau asap yang khas. Dengan penggunaan asap cair, pertumbuhan mikroorganisme di dalam lateks dapat ditekan sehingga protein pada lateks tidak terhidrolisis. Pertumbuhan miroorganisme yang merusak protein dapat menyebabkan nilai Po rendah (Solichin & Anwar, 2003). Hasil analisa tersebut menunjukkan bahwa

Produksi Asap Cair... (Afrizal Vachlepi)

Page 72: e-ISSN 2477-0051

56Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

mutu Po dari karet alam semua perlakuan memenuhi persyaratan sesuai dengan SNI 06-1903-2000 sebagai karet SIR 20. Persyaratan minimum karet alam jenis mutu SIR 20 adalah 30 (Tabel 1).

Tabel 4 juga menunjukkan bahwa, penggunaan asap cair dari berbagai perlakuan waktu pirolisis kayu karet berpengaruh signifikan terhadap nilai PRI karet alam. Meskipun memiliki perbedaan nyata, nilai PRI semua perlakuan secara umum memenuhi persyaratan karet ekspor SIR 20 sesuai SNI 06-1903-2000. Persyaratan minimum nilai PRI karet ekspor jenis mutu SIR 20 adalah 50 (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan asap cair dari berbagai waktu proses pirolisis kayu karet (koagulan ACK) mampu menghasilkan karet alam bermutu baik karena memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan di dalam SNI 06-1903-2000. Nilai PRI semua karet alam yang digumpalkan dengan asap cair kayu karet berkisar antara 71,3-83,6.

Nilai PRI tertinggi dihasilkan pada karet alam yang digumpalkan menggunakan asap cair yang dipirolisis selama 5 jam, yaitu 83,6. Pirolisis kayu karet selama 5 jam menghasilkan senyawa antioksidan yang cukup tinggi yang mampu melindungi karet alam dari proses oksidasi. Senyawa yang dapat bersifat antioksidan yang terdapat pada asap cair adalah fenol. Senyawa fenol tersebut atau turunannya dapat berfungsi sebagai antioksidan yang akan melindungi molekul karet pada suhu tinggi sehingga nilai PRI-nya tetap tinggi (Solichin, 2005; Prasertsit et al., 2011). Berdasarkan hasil analisa menggunakan chromatogram GC-MS, diketahui bahwa kadar total fenol dalam asap cair dari kayu karet mencapai 15,13% (Towaha et al., 2013).

Viskositas dan SVIParameter mutu viskositas yang

diamati pada penelitian ini berupa viskositas Mooney dan indeks kestabilan viskositas (stability viscosity index/SVI). Pengujian viskositas Mooney merupakan salah satu prosedur paling umum yang dilakukan dalam

industri karet (Malac, 2009). Viskositas Mooney terutama mengukur karakteristik pengolahan seperti rheologi dari kompon karet (Egwaikhide et al, 2013). Parameter viskositas Mooney menggambarkan panjang rantai molekul karet alam. Parameter mutu ini memegang peranan penting dalam proses pencampuran ketika pembuatan kompon, baik untuk tingkat dispersi bahan-bahan kimia kompon di dalam karet maupun energi yang diperlukan untuk penggilingan di mesin pencampur.

Sedangkan, parameter SVI lebih menggambarkan perubahan nilai viskositas Mooney karet alam selama penyimpanan sebelum karet alam diproses lebih lanjut menjadi barang jadi karet. Nilai SVI ini menunjukkan seberapa stabil viskositas karet alam selama penyimpanan. Semakin rendah nilai SVI karet alam, maka semakin stabil viskositas karet alam. Hasil analisa viskositas Mooney dan SVI karet berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisa Viskositas Mooney dan Indeks Kestabilan Viskositas (SVI) Karet Alam

dengan Berbagai Perlakuan Bahan Penggumpal.

Perlakuan VM SVIACK 3 jam 73 a 4,7 aACK 4 jam 70 a 3,7 abACK 5 jam 74 a 2,7 abACK 6 jam 76 a 4,0 abACK 7 jam 75 a 3,0 abACK 8 jam 77 a 1,7 bACS murni 73 a 2,7 ab

Asam format 72 a 2,3 ab

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap baris berarti tidak berbeda pada uji lanjutan Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada tingkat kepercayaan

95% (ά = 0,05)

Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan berbagai jenis koagulan, baik koagulan asap cair dari berbagai perlakuan waktu pirolisis kayu karet (ACK) maupun kontrol, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap parameter mutu viskositas Mooney. Nilai viskositas Mooney karet alam yang

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 73: e-ISSN 2477-0051

57Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

dihasilkan dengan berbagai perlakuan tersebut berkisar antara 70-77. Berdasarkan Tabel 1, apabila diproses sebagai karet jenis mutu CV, maka karet alam yang dihasilkan akan masuk dalam standar mutu sebagai karet CV 70 sesuai dengan SNI 06-1903-2000. Nilai viskositas Mooney yang tinggi ini mencerminkan telah banyak rantai molekul karet alam yang telah mengalami percabangan dan membentuk jaringan tiga dimensi (Suparto dkk., 2009).

Viskositas yang terlalu tinggi menyebabkan tingginya konsumsi daya mesin pemroses. Sebaliknya jika viskositasnya sangat rendah, menyebabkan rendahnya gaya geser pada pencampuran yang mengakibatkan material cenderung beraglomerasi sehingga homogenitasnya rendah (Maspanger, 2008). Viskositas Mooney biasanya digunakan juga sebagai indikator teknologi untuk mengetahui karakterisasi partikel karet yang ditinjau dari kemampuannya saat pemrosesan lebih lanjut, termasuk pada saat pembuatan kompon (Zheleva, 2013).

Tidak seperti parameter mutu viskositas Mooney, hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai SVI karet alam yang dihasilkan secara signifikan dipengaruhi oleh jenis koagulan yang digunakan (Tabel 4). Nilai SVI terendah diperoleh dari perlakuan koagulan asap cair kayu karet yang dipirolisis selama 8 jam (ACK 8 jam), yaitu 1,7. Angka ini menunjukkan bahwa viskositas karet alam yang digumpalkan dengan koagulan ACK 8 jam lebih stabil dibandingkan perlakuan lainnya. Viskositas karet alam dengan koagulan ini diprediksi hanya akan mengalami perubahan 1,7 poin setelah dilakukan penyimpanan. Apabila pada saat awal nilai viskositas Mooney karet alam dengan asap cair kayu karet ini sebesar 77 (Tabel 4), maka setelah dilakukan penyimpanan diprediksi akan mengalami perubahan menjadi sekitar 78,7.

Kemampuan asap cair tersebut diduga karena adanya kandungan senyawa kimia berupa dehydroacetic acid yang dapat bersifat pemantap (stabilizer) viskositas karet alam. Fungsi dari bahan penstabil ini adalah untuk mencegah terjadinya reaksi

ikatan silang yang menyebabkan terjadinya pengerasan selama proses penyimpanan (storage hardening). Reaksi ikatan ini terjadi secara alami yang ditandai dengan kenaikan nilai viskositas Mooney. PSB (2003) melakukan analisa kandungan senyawa kimia yang terdapat di dalam asap cair antara lainnya berupa dehidyroacetic acid, dimetil ester asam karbonat, propana, fenol, metoksi fenol, siklopentana, benzena, dan furan.

Kadar abuPenggunaan berbagai jenis koagulan,

baik asap cair dengan berbagai perlakuan waktu pirolisis kayu karet maupun kontrol, tidak berbeda nyata terhadap kadar abu karet yang dihasilkan (Gambar 2). Parameter kadar abu menunjukkan persentase kandung bahan lain non karet terutama senyawa anorganik yang terdapat pada karet alam. Kadar abu karet semua perlakuan berkisar antara 0,3-0,5%. Hasil ini menunjukkan bahwa koagulan yang ditambahkan ke dalam lateks karet alam terutama perlakuan utama asap cair dari perlakuan berbagai waktu pirolisis kayu karet tidak mengandung bahan anorganik seperti mineral yang dianalisa sebagai abu. Kadar abu paling tinggi dihasilkan karet alam yang digumpalkan dengan koagulan asap cair cangkang kelapa sawit/ACS (kontrol), yaitu sekitar 0,50%. Persentanse kadar abu tersebut berasal dari lateks karet alam itu sendiri. George dan Jacob (2000) menyatakan bahwa total konsentrasi senyawa atau ion anorganik di dalam lateks segar adalah sekitar 0,5%.

Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa hasil analisa kadar abu karet alam semua perlakuan secara umum memenuhi persyaratan mutu sesuai SNI 06-1903-2000 sebagai jenis mutu SIR 20. Berdasarkan SNI tersebut, karet alam yang akan diekspor sebagai jenis mutu SIR 20 harus mempunyai kadar abu maksimum 1,0% (Tabel 1). Kadar abu yang terlalu tinggi dalam karet alam mentah akan mempengaruhi sifat dinamika seperti kalor timbul (heat build up) dan ketahanan retak lentur (flex cracking resistance) (Departemen Perdagangan dan Koperasi, 1981).

Produksi Asap Cair... (Afrizal Vachlepi)

Page 74: e-ISSN 2477-0051

58Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Gambar 2. Kadar Abu Karet Alam pada Berbagai Jenis Koagulan

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom berarti Tidak berbeda pada uji lanjutan Jarak Berganda Duncan (DMRT) ada tingkat

kepercayaan 95% (ά = 0,05)

Kadar zat menguapHasil analisa kadar zat menguap

karet alam dengan berbagai perlakuan, baik perlakuan asap cair yang diperoleh dari kayu karet berbagai waktu pirolisis maupun kontrol, disajikan pada Gambar 3. Kadar zat menguap karet alam semua perlakuan berkisar antara 0,40-0,64%. Zat menguap pada karet alam tersebut sebagian berasal dari lateks dan sebagian dari koagulan yang ditambahkan. Hasil analisa menunjukkan di dalam koagulan asap cair mengandung sekitar 21,9% zat menguap (PSB, 2003).

Jumlah persentase kadar zat menguap dari karet alam menggunakan koagulan asap cair dari kayu karet dengan berbagai waktu pirolisis (ACK3 sampai ACK8) secara statistik tidak berbeda secara nyata dengan kontrol (asap cair cangkang sawit dan asam format). Fenomena ini terjadi karena koagulan yang ditambahkan, baik koagulan asap cair dari kayu karet dengan berbagai waktu pirolisis maupun kontrol, sebagian sudah hilang pada saat proses pengolahan karet alam terutama pada saat penggilingan. Ketika koagulum karet alam digiling sebagian besar cairan termasuk koagulan akan hilang karena terikut air pencucian. Adanya zat yang mudah

menguap di dalam karet alam, selain dapat menyebabkan bau busuk, juga memudahkan tumbuhnya jamur yang dapat menimbulkan kesulitan pada waktu mencampurkan bahan-bahan kimia ke dalam karet ketika pembuatan kompon terutama untuk pencampuran karbon black pada suhu rendah (Badan Standardisasi Nasional, 2000).

Kadar zat menguap semua perlakuan secara umum memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan SNI 06-1903-2000 (Tabel 1) dimana jumlah maksimum karet ekspor untuk spesifikasi mutu SIR 20 adalah 0,80%. Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun koagulan asap cair yang diperoleh dari proses pirolisis kayu karet mengandung zat menguap, tetapi penggunaannya ternyata tidak meningkatkan kadar zat menguap karet alam.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 75: e-ISSN 2477-0051

59Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Gambar 3. Kadar Zat Menguap Pada Berbagai Jenis Koagulan

Keterangan :Angka-Angka Yang Diikuti Huruf yang Sama Pada Setiap Kolom Berarti Tidak Berbeda Pada Uji Lanjutan Jarak Berganda Duncan (Dmrt)

Pada Tingkat Kepercayaan 95% (ά = 0,05)

SIMPULANProses pirolisis kayu karet selama

5 jam menghasilkan asap cair dengan karakteristik yang diperlukan sebagai koagulan lateks, yaitu pH 2,72 dan kadar asam 11,4%. Asap cair dari kayu karet dapat diaplikasikan sebagai koagulan lateks dengan dosis 100 ml larutan 10% per liter lateks. Penggumpalan lateks menggunakan asap cair dari perlakuan pirolisis selama 5 jam akan menghasilkan koagulum dengan kadar karet kering sebesar 34,45%. Mutu teknis karet alam yang digumpalkan dengan asap cair tersebut memenuhi persyaratan mutu SNI 06-1903-2000 tentang SIR, yaitu Po 41, PRI 83,6, viskositas Mooney 74, SVI 2,7, kadar abu 0,49%, dan kadar zat menguap 0,40%.

DAFTAR PUSTAKA1. Abednego, J.G. (1981). Pengetahuan

Lateks, Dalam Kursus Pengawasan Standard Indonesia Rubber, Direktorat Standarisasi, Normalisasi dan Pengendalian Mutu, Departemen Perdagangan dan Koperasi, Jakarta. 22-23.

2. Achmadi, S.S., Cifriadi, A., & Hidayah, M.H. (2015). Redistilat asap cair dari cangkang kelapa sawit dan aplikasi-nya sebagai koagulan lateks. Jurnal Penelitian Karet, 33 (2), 183-192.

3. Agustina, D.S., Syarifa, L.F., dan C. Nancy, C. (2013). Kajian kelembagaan dan kemitraan pemasaran kayu karet di Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Karet, 31 (1), 54-67.

4. Badan Standardisasi Nasional. (2000). Standard Indonesian Rubber, Standar Nasional Indonesia (SNI) No.06-1903-2011. ICS 83.060. Jakarta : BSN, 1-2.

5. Darmadji, E.P. (2009). Teknologi asap cair dan aplikasinya pada pangan dan hasil pertanian. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 28 April 2009. 24 Halaman.

6. Departemen Perdagangan dan Koperasi. 1981. Metode Pengujian Standard Indonesian Rubber (SIR). Kursus Pengawasan Mutu SIR. Direktorat Standarisasi, Normalisasi dan Pengendalian Mutu. Jakarta. 11-12.

Produksi Asap Cair... (Afrizal Vachlepi)

Page 76: e-ISSN 2477-0051

60Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

7. Egwaikhide, A.P, F.E. Okieimen dan U. Lawal. (2013). Rheological and mechanical properties of natural rubber compounds filled with carbonized palm kernel husk and carbon black (N330). Science Journal of Chemistry, 1 (5), 50-55. article.sciencepublishinggroup.com/pdf/10.11648.j.sjc.20130105.11.pdf (24 Oktober 2015).

8. George, P.J., dan Jacob, C.K. (2000). Natural rubber : agromanagement and crop processing. India : Rubber Research Institute of India. 249-254.

9. Karseno, Darmadji, E.P., & Rahayu, K. (2002). Daya hambat asap cair kayu karet terhadap bakteri pengkontaminan lateks dan ribbed smoke sheet. Agritech, 21 (1), 10-15.

10. Kumar, R.R., Hussain, S.N., & Philip, J. (2007). Measurement of dry rubber content of natural rubber latex with a capacitive transducer. Journal of Rubber Research, 10 (1), 17-25.

11. Malac, J. (2009). Viscosity, relaxation and stability of natural rubber. The Open Macromolecules Journal, 41-44.

12. Maspanger, D.R. (2008). Sifat Fisik Karet. Makalah Kursus Teknologi Barang Jadi Karet. Bogor: Pusat Penelitian Karet – Balai Penelitian Teknologi Karet, 75-76.

13. Nancy, C., Agustina, D.S., dan Syarifa, L.F. (2013). Potensi kayu karet hasil peremajaan karet rakyat untuk memasok industri kayu karet : studi kasus di Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Karet, 31 (1), 68-78.

14. Prasertsit, K., Rattanawan, N., & Rata-napisit, J. (2011). Effects of wood vinegars as an additive for natural rubber products. Songklanakarin Journal of Science and Technology, 33 (4), 425-430.

15. Prasetyowati, Hermanto, M., & Farizy, S. (2014). Pembuatan asap cair dari cangkang buah karet sebagai koagulasi lateks. Jurnal Teknik Kimia, 20 (4), 14-21.

16. PSB. (2003). Test report chemical analysis for “Liquid Smoke” sample. Singapore : PSB Corp, 1-5.

17. Solichin, M & Anwar, A. (2003). Pengaruh penggumpalan lateks, perendaman dan penyemprotan bokar dengan asap cair terhadap bau bokar, sifat teknis, dan sifat fisik vulkanisat. Jurnal Penelitian Karet, 21 (1-3), 45-61.

18. Solichin, M. (2005). Optimasi produksi asap cair yang ramah lingkungan sebagai koagulan lateks, penanganan limbah bau dan cair dalam pengolahan karet remah dan sit asap. Laporan Akhir Riset Unggulan Kemitraan (RUK). Palembang : Balai Penelitian Sembawa.

19. Solichin, M., Pramuaji, I., & Anwar, A. (2005). Deorub K sebagai pembeku dan pencegah timbulnya bau busuk karet. Workshop Bahan Pembeku Asap Cair yang Ramah Lingkungan. Palembang, tanggal 31 Mei 2005.

20. Solichin, M. (2007). Studi pengolahan sit asap (RSS) dan karet remah dengan menggunakan sinar matahari sebagai pengeringan awal dan asap cair sebagai pembeku dan pengawet. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian 2007. Palembang : Pusat Penelitian Karet, Balai Penelitian Sembawa.

21. Solichin, M., Anwar, A., & Tedjaputra, N. (2007). Penggunaan asap cair Deorub dalam pengolahan RSS. Jurnal Penelitian Karet, 25 (1), 83-94.

22. Suparto, D., Syamsu, Y., Cipriadi, A., dan Honggokusumo, S. (2009). Sifat teknis karet remah dengan viskositas Mooney dan kadar gel rendah. Prosiding Lokakarya Pemuliaan Tanaman Karet 2009. Pusat Penelitian Karet. Bogor.

23. Suwardin, D. (2011). Pemanfaatan limbah perkebunan karet dan pabrik karet remah sebagai sumer bioenergi. Warta Perkaretan, 30 (2), 88-94.

24. Suwardin, S., Vachlepi, A., Purbaya, M., dan Hanifarianty, S. (2014). Teknologi pengolahan bokar. Sembawa:

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 77: e-ISSN 2477-0051

61Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Balai Penelitian Sembawa - Pusat Penelitian Karet, 109-118.

25. Towaha, J., Aunillah, A., dan Purwanto, E.H. (2013). Pemanfaatan asap cair kayu karet dan tempurung kelapa untuk penanganan polusi udara pada lump. Buletin RISTRI, 4 (1), 71-80.

26. Vachlepi, A. (2017). Peningkatan mutu blanket karet alam melalui proses predrying dan penyemprotan asap cair. Majalah Kulit, Karet dan Plastik, 33 (1), 1-10.

27. Zheleva, D. (2013). An attempt for correlation between Mooney viscosity and rheological properties of filled rubber compounds. Journal of Chemical Technology and Mettalurgy, 38 (3), 241-246.

Produksi Asap Cair... (Afrizal Vachlepi)

Page 78: e-ISSN 2477-0051

62Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

KARAKTERISASI ARANG CANGKANG KELAPA SAWITSEBAGAI BAHAN PEMBANTU UNTUK MENINGKATKAN KESUBURAN TANAH

BERDASARKAN KROMATOGRAFI GC–MSCharacterization of Palm Oil Charcoal as an Assistant Material to Improve

The Fertility of Plants Based on GC-MS Chromatography

Zainal Abidin Nasution dan Harry P LimbongBalai Riset dan Standardisasi Industri Medan

Jln. Sisingamangaraja No. 24 Medan e-mail: [email protected]

abstrak: In 2015, the area of oil palm plantations in Indonesia had reached 10,701,436 ha, with details of the people’s oil palm plantation 4,810,271 ha, state-owned oil palm plantations 704,094 ha and private oil palm plantations 5,207,071 ha. A ton base of fresh palm oil fruit bunches will produce 20-23% CPO, 5-7% PKO, 20-23% oil palm empty bunches as solid waste, 10-12% oil palm fruit fiber and 7-9% oil palm shells. Oil palm shell charcoal was made by treating palm oil shells. From the treatment of oil palm shell roasting, the average yield was 38.20% (the last temperature of roasting 348 oC, when the palm shells being roasted were no longer smoke). From the results of the chromatogram analysis of GC-MS, oil palm shell charcoal is known as 25 organic compounds with the dominant composition being cyclopropyl with a concentration of 14.87%, 17.01% of acetic acid,12.11% of benzenesulfonic acid, 7.3% of benzene and 15.59% of phenol. The characterization of the composition of the organic palm shell charcoal organic compounds needs to be done in order to develop the use of oil palm shell charcoal as an auxiliary material to increase plant fertility.

keywords: roasting, oil palm shell charcoal, GC-MS chromatogram, increasing soil fertility

abstrak: Luas lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia tahun 2015 mencapai 10.701.436 Ha, dengan rincian perkebunan kelapa sawit rakyat 4.810.271 Ha, perkebunan kelapa sawit milik BUMN 704.094 Ha dan perkebunan kelapa sawit swasta 5.207.071 Ha. Satu ton tandan buah sawit segar kelapa sawit menghasilkan 20-23% CPO, 5-7% PKO, 20-23% limbah padat tandan kosong, 10-12% serat buah kelapa sawit dan 7-9% cangkang kelapa sawit. Arang cangkang kelapa sawit dibuat dengan perlakuan penyangraian cangkang dan diperoleh rendemen rata-rata 38,20% (suhu terakhir penyangraian 348 °C, pada saat cangkang kelapa sawit tidak lagi mengeluarkan asap). Dari hasil analisis kromatogram GC–MS arang cangkang kelapa sawit diketahui sebanyak 25 senyawa organik dengan komposisi yang dominan adalah 14,87% cyclopropyl,17,01% acetic acid, 12,11% benzenesulfonic acid, 7,3% benzene dan 15,59% phenol. Karakterisasi komposisi senyawa organik arang cangkang kelapa sawit ini perlu dilakukan untuk mengembangkan pemanfaatan arang cangkang kelapa sawit sebagai bahan pembantu untuk meningkatkan kesuburan tanaman.

kata kunci: penyangraian, arang cangkang kelapa sawit, kromatogram GC–MS, meningkatkan kesuburan tanah

PENDAHULUANTahun 2015, luas lahan perkebunan

kelapa sawit di Indonesia mencapai 10.701.436 Ha, dengan rincian perkebunan kelapa sawit rakyat 4.810.271 Ha, perkebunan kelapa sawit milik BUMN 704.094 Ha dan perkebunan kelapa sawit swasta 5.207.071 Ha (Ditjenbun, 2014). Menurut Pardamean (2008), basis satu

ton tandan buah segar kelapa sawit akan menghasilkan 20-23% Crude Palm Oil (CPO), 5-7% Palm Kernel Oil (PKO) dan sisanya berupa limbah padat yaitu 20-23% tandan kosong kelapa sawit, 10-12% serat buah kelapa sawit dan 7-9% cangkang kelapa sawit.

Menurut Naibaho (1996), setiap Pabrik Kelapa Sawit (PKS) harus dilengkapi boiler sebagai pembangkit uap. Uap yang

Page 79: e-ISSN 2477-0051

63Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 1. Karakteristik Kimia dari Cangkang Kelapa Sawit

Karakter Parameter Nilai (%)

Kimia

C 49,79 H 5,58 O 34,06 N 0,72 S < 0,08 Cl (ppm) 89

Struktur Karbohidrat

Hemiselulose 26,16Selulose 6,92Lignin 53,85

Source : Ndoke dalam Okroigwe et al. (2014)

Cangkang kelapa sawit baik digunakan sebagai bahan bakar ataupun arang yang mampu menghasilkan suhu maksimal 694 °C, karena memiliki bahan lignoselulosa yang tinggi, mempunyai berat jenis yang lebih tinggi dari kayu yaitu 1,4 g/cm3 (Diputra, 2010). Pada saat sekarang ini sedang berkembang penelitian tentang pemanfaatan arang cangkang kelapa sawit sebagai bahan pembantu untuk media tanaman dan juga sekaligus.

Sebagai pupuk organik. Menurut Gusmailina et al., (2015) pemberian arang ke dalam tanah untuk tujuan meningkatkan kesuburan tanah, idealnya arang ditempatkan dekat permukaan tanah di daerah perakaran, dimana siklus unsur hara dan penyerapan oleh tanaman terjadi. Jika tujuan pemberian arang untuk mengikat karbon atau untuk pengelolaan kelembaban, aplikasi penempatan arang lebih tepat di lapisan bawah daerah perakaran. Jika diaplikasikan dengan tujuan mengikat karbon, maka penempatan arang yang lebih dalam di tanah akan lebih baik.

Menurut Ariani et al., (2014), perma-salahan yang memerlukan penanganan dalam perbaikan sifat fisik dan kimia tanah untuk budi daya kelapa sawit di Indonesia, secara umum adalah agregat kurang stabil, permeabilitas, bahan organik, tingkat kebasaan rendah serta pH tanah sifatnya asam. Kondisi ini mengakibatkan sebagian

dihasilkan dari boiler tersebut digunakan untuk keperluan proses produksi, juga digunakan untuk memutar turbin uap sebagai pembangkit energi tenaga listrik, juga untuk menggerakkan mesin-mesin pengolahan CPO, penerangan di lingkungan PKS dan lainnya. Bahan bakar yang digunakan untuk boiler tersebut adalah limbah padat buah kelapa sawit seperti yang tersebut di atas, yaitu serat buah kelapa sawit dan cangkang kelapa sawit. Konsumsi bahan bakar untuk boiler dari PKS dengan kapasitas olah adalah 30 ton tandan buah segar per jam, adalah 3,8 ton/jam serat buah kelapa sawit dan 1,5 ton/jam cangkang kelapa sawit. Dari hasil proses produksi PKS dengan kapasitas 30 ton tandan buah segar per jam akan diperoleh limbah padat 3,0-3,6 ton/jam serat buah sawit dan 2,1-2,7 ton/jam cangkang kelapa sawit. Kalau dirata-ratakan sekitar 3,3 ton/jam serat buah kelapa sawit dan 2,4 ton/jam cangkang kelapa sawit. Pemakaian serat buah kelapa sawit sebagai bahan bakar boiler adalah maksimal, artinya semua serat buah kelapa sawit terpakai untuk bahan bakar boiler. Sedangkan konsumsi cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar boiler adalah 1,5 ton/jam, yang mana sewaktu diumpankan ke dapur pembakaran boiler dilakukan bersamaan dengan serat buah kelapa sawit, artinya masih tersisa sekitar 0,9 ton/jam cangkang kelapa sawit. Apabila PKS dioperasikan selama 24 jam, maka akan diperoleh sekitar 21,6 ton/jam cangkang kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.

Cangkang kelapa sawit merupakan biomassa yang terbentuk dari hasil fotosintesis butir-butir hijau daun yang bekerja sebagai sel surya yang menyerap energi sinar matahari dan mengkonversi karbon dioksida dengan air menjadi suatu senyawa kimia yang terdiri atas karbon, hidrogen dan oksigen. Senyawa kimia tersebut dalam bentuk padatan dapat dikonversi menjadi arang cangkang kelapa sawit.

Karakterisasi Arang Cangkang... (Zainal Abidin Nasution)

Page 80: e-ISSN 2477-0051

64Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

besar produktivitas tanaman tidak dapat dicapai secara optimal. Sementara menurut Endriani et al. (2013), bahwa pemakaian arang cangkang kelapa sawit juga dapat mengurangi keasaman tanah. Santi (2017), menerangkan bahwa aplikasi arang pirolisis asal cangkang kelapa sawit yang dicobakan kepada tanaman kelapa sawit memberikan hasil yang positif terhadap produktivitasnya.

Penelitian tentang pembuatan arang cangkang kelapa sawit telah dilakukan oleh Apriyanti (2009), Muhammad Halim (2009) dan Abdul Gani Haji (2010). Menurut Yokoyama (2008), terjadinya proses pirolisis biomassa adalah kelembaban menguap pertama kali yaitu pada suhu 100°C, hemiselulosa akan terdekomposisi pada suhu 200 °C sampai dengan 260 °C, diikuti oleh selulosa pada suhu 240 °C sampai dengan 340 °C dan terakhir lignin pada suhu 280 °C sampai dengan 500 °C. Pada penelitian ini, pembuatan arang cangkang kelapa sawit adalah dengan cara penyangraian (roasting) cangkang kelapa sawit. Menurut Nasution (2012), arang cangkang kelapa sawit hasil penyangraian (torefaksi) adalah merupakan bahan bakar padat berkalori rendah.

METODOLOGI PENELITIANa. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah cangkang kelapa sawit yang diperoleh dari limbah PKS PTPN-2 Padang Brahrang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

b. Peralatan PenelitianPeralatan yang digunakan untuk

pembuatan arang cangkang kelapa sawit terdiri atas kuali besi, kompor, wadah-wadah penampung, spatula, thermometer, timbangan dan lainnya. Arang cangkang kelapa sawit diuji dengan peralatan Kromatografi GC-MS-QP 2010S di Lembaga Penelitian Hasil Hutan Bogor.

c. Pembuatan Arang Cangkang Kelapa Sawit

Percobaan pembuatan arang cangkang kelapa sawit, dilakukan seperti yang tertera pada gambar 1.

Cangkang Kelapa Sawit

Dijemur di bawah Sinar Matahari Sampai

Kering

Penimbangan

Disangrai di udara Terbuka Sampai Asapnya

Habis

Didinginkan

Arang Cangkang Kelapa Sawit

Pengujian GCMS

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Arang Cangkang Kelapa Sawit dengan Cara

Penyangraian

d. Pengujian Karakteristik Arang Cangkang Kelapa Sawit

Pengujian arang cangkang kelapa sawit dengan menggunakan peralatan Gas Chromatography (GC) dan Mass Spectrometry (MS) atau disebut juga GC-MS. Alat ini digunakan untuk mengidentifikasi komponen-komponen campuran pada suatu senyawa kimia. GC-MS dapat mengidentifikasi dan menghitung sejumlah senyawa organik dan anorganik, yaitu berat molekul, rumus molekul dan reaksi fragmentasi.

HASIL DAN PEMBAHASANDari pelaksanaan kegiatan penelitian

diperoleh hasil :

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 81: e-ISSN 2477-0051

65Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Hasil Proses Penyangraian Cangkang Kelapa Sawit

Dari percobaan pembersihan kotoran yang melekat pada cangkang kelapa sawit (tanah, pasir) diperoleh rendemen rata-rata adalah 95%. Dari penyangraian cangkang kelapa sawit diperoleh rendemen rata-rata

adalah 38,20% (suhu terakhir penyangraian 348 °C dimana cangkang kelapa sawit tidak lagi mengeluarkan asap). Hasil pengamatan terhadap suhu dan kondisi asap yang keluar dari cangkang kelapa sawit yang sedang disangrai selama penyangraian terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Suhu dan Keadaan Cangkang Kelapa Sawit pada Proses Penyangraian

No. WaktuPengamatan(menit ke-)

Suhu (oC)

Keadaan CangkangKelapa Sawit

1. 0 32 Normal2. 5 44 Normal3. 10 95 Mulai berasap4. 15 95 Asap tipis5. 16 95 Asap bertambah6. 17 95 Asap bertambah banyak7. 18 95 Mulai mengepul8. 19 95 Mengepul9. 21 114 Mengepul10. 24 125 Mengepul11. 27 156 Mengepul12. 30 179 Mengepul13. 32 202 Mengepul14. 34 262 Asap mulai menipis15. 37 320 Asap menipis16. 45 348 Asap habis

Pengarangan dengan metode penyangraian dilaksanakan di udara terbuka dan selama proses penyangraian tidak terjadi api ataupun bara. Menurut Yokoyama (2008), hemiselulosa yang merupakan polimer dari beberapa monosakarida akan terdekomposisi pada suhu 250 °C sampai dengan 300 °C. Selulosa akan terdekomposisi pada suhu 280 °C dan akan berakhir pada suhu 300-350 °C. Kemudian lignin yang merupakan polimer kompleks yang mempunyai berat molekul tinggi dan tersusun atas unit phenyl propan, mulai terdekomposisi pada suhu 300 °C sampai dengan 350 °C dan berakhir pada suhu 400-450 °C. Pada proses penyangraian

cangkang kelapa sawit, arang cangkang kelapa sawit mulai mengeluarkan asap pada suhu 95 °C (menit ke-15) dan berhenti mengeluarkan asap pada suhu 348 °C (menit ke-45) maka dapat dinyatakan proses pengarangan dengan cara penyangraian telah selesai.

Menurut Apriyanti (2009), cangkang kelapa sawit dengan metode pembakaran tertutup menghasilkan rendemen rata-rata 41% pada suhu terakhir 400 °C. Berikutnya Haji et al., (2010), pada penelitian pembuatan arang cangkang kelapa sawit dengan metode pembakaran tertutup menghasilkan rendemen rata-rata 38,31% pada suhu terakhir 378 °C. Bila dibandingkan

Karakterisasi Arang Cangkang... (Zainal Abidin Nasution)

Page 82: e-ISSN 2477-0051

66Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

antara metode penyangraian dan metode pembakaran tertutup berdasarkan hasilnya, ternyata tidak jauh perbedaannya.

Gambar 2. Kromatogram Arang Cangkang Kelapa Sawit

Dari hasil analisis GC-MS arang cangkang kelapa sawit diperoleh data-data

Tabel 3. Data-data Puncak dari TIC

PuncakWaktu retensi (menit)

Area Konsentrasi (%) Nama senyawa

1 4,838 80137555 14,87 Cyclopropyl-cis-1,2,3-d3-methanol2 5,455 9465136 1,76 2-Propanone (CAS) Acetone3 7,821 91624055 17,01 Acetic acid (CAS) Ethylic acid4 9,408 5041356 0,94 Propanoic acid (CAS) Propionic acid5 12,580 6107497 1,13 Benzene, methoxy- (CAS) Anisole

6 13,718 65254497 12,11Benzenesulfonic acid, 4-hydroxy- (CAS) Benzenesulfonic acid, p-hydroxy-

7 13,988 39322253 7,30 Benzene, 1-methoxy-4-methyl- (CAS) p-Methylanisole

8 14,436 4640819 0,86 Benzaldehyde, 2-hydroxy- (CAS) Salicylaldehyde

9 14,577 16297605 3,02 Phenol, 2-methyl- (CAS) o-Cresol

10 14,708 7349346 1,36 Tetradecane, 1-chloro- (CAS) Myristyl chloride

11 14,896 84006296 15,59 Phenol, 4-methoxy- (CAS) Hqmme

12 15,119 17629045 3,27 Benzofuran, 2-methyl- (CAS) 2-Methylbenzofuran

13 15,380 6305926 1,17 Benzene, 1,2-dimethoxy- (CAS) Veratrol

14 15,585 6306811 1,17

dari puncak Total Ion Chromatogram (TIC), yaitu:

Karakteristik Senyawa Organik Arang Cangkang Kelapa Sawit Hasil Penyangraian

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 83: e-ISSN 2477-0051

67Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

15 15,818 11219206 2,08 2-Methoxy-4-methylphenol16 15,967 21185976 3,93 2-Methoxy-4-methylphenol17 16,286 12256620 2,27 Methoxyethylphenol18 16,478 12462140 2,31 1,3-Hexandion,1-Phenyl-2,5 Dimethyl-19 16,606 4984967 0,93 beta.-Cyclocitral20 16,667 5599331 1,04

21 16,825 10529726 1,95 Phenol, 2-methoxy-4-propyl- (CAS) 5-Propyl-Guaiacol

22 17,133 5329093 0,99 Phenol, 2-methyl-5-(1-methylethyl)- (CAS) Carvacrol

23 17,427 7684466 1,43 Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS) 2,6-Dimethoxyphenol

24 17,525 4050258 0,75 Decane, 1-bromo- (CAS) 1-Bromodecane

25 17,645 3978117 0,74Benzoic acid, 3-methoxy-, methyl ester (CAS) Methyl 3-methoxybenzoate

538768097 100,00

Kromatogram arang cangkang kelapa sawit pada Tabel 3, memperlihatkan bahwa arang cangkang kelapa sawit yang dihasilkan dari penyangraian cangkang kelapa sawit dapat dilihat senyawa organiknya melalui pembacaan puncak-puncak TIC kromatogram yang muncul pada hasil kromatografi GC-MS. Puncak-puncak pada arang cangkang kelapa sawit muncul pada waktu retensi 4,84 menit sampai dengan 17,65 menit, dan berdasarkan chemstation data sistem, teridentifikasi sebanyak 25 senyawa organik yang terbentuk. Dari puncak-puncak TIC yang terbentuk diketahui senyawa-senyawa organik yang dominan, yaitu cyclopropyl dengan waktu retensi 4,84 menit konsentrasi 14,80%, acetic acid dengan waktu retensi 7,82 menit dan konsentrasi 17,01%, benzena sulfonic dengan waktu retensi 13,72 menit dan konsentrasi 12,11%, benzene dengan waktu retensi 13,98 menit dan konsentrasi 7,30%, dan fenol dengan waktu retensi 14,90 menit dan konsentrasi 15,59%.

SIMPULANDari hasil percobaan pembuatan arang

cangkang kelapa sawit dengan perlakuan penyangraian cangkang kelapa sawit, dimana suhu terakhir penyangraian adalah 348 °C yaitu pada saat arang cangkang kelapa sawit tidak lagi mengeluarkan asap. Berdasarkan kromatogram GC-MS diketahui karakterisasi senyawa organik yang teridentifikasi sebanyak 25 senyawa organik yang terbentuk, dimana diantaranya diketahui bahwa ada 5 (lima) yaitu: cyclopropyl, acetic acid, benzena sulfonic, benzene dan fenol, senyawa organik yang terbanyak konsentrasinya terdapat di dalam arang cangkang sawit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA1. Ariani, A, Sudhartono, dan Wahid, A. 2014.

Biomassa dan Karbon Tumbuhan Bawah Sekitar Danau Taubing pada Kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Warta Rimba. Vol.2 No.2, hal. 164-179.

2. Diputra, I.P.A. 2010. Studi Karakteristik Pembakaran Cangkang Kelapa Sa-wit Menggunakan Fluidized Bed Combustion. Skripsi, Prodi Teknik

Karakterisasi Arang Cangkang... (Zainal Abidin Nasution)

Page 84: e-ISSN 2477-0051

68Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.

3. Endriani, Sunarti, dan Ajidirman. 2013. Pemanfaatan Biochar Cangkang Kelapa Sawit Sebagai Soil Amandement Ultisol Sungai Bahar Jambi, Jurnal Penelitian Universitas Jambi Sains, Vol.15 No.1, hal. 39-46.

4. Gusmailina, Komaryati, S., dan Pari, G. 2015. Membangun Kesuburan Tanah dengan Arang, Puslitbang Hasil Hutan, Bogor.

5. Haji, A. G., Pari, G., Habibati, Amiruddin, dan Maulina. 2010. Kajian Mutu Arang Hasil Pirolisis Cangkang Kelapa Sawit, Jurnal Purifikasi, Vol.2 No.1, hal. 77-86.

6. Halim, M., Darmadji, P., dan Indrati, R. 2009. Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa Volatil Asap Cair Cangkang Sawit, Agritech, Vol. 23 No.3, hal. 117-123.

7. Naibaho, P. M. 1996. Teknologi Pengol-ahan Kelapa Sawit, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.

8. Nasution, Z. A. 2012. Karakteristik Kimia Arang Cangkang Kelapa Sawit yang Dihasilkan dengan Metode

Penyangraian sebagai Bahan Pembuatan Biomasa, Jurnal Industri Hasil Perkebunan, Vol.7 No.1, Hal 1-7.

9. Okroigwe, E.C., Saffran, C.M., dan Kamdem, P.D. 2014. Characte-rization of Palm Kernel Shells for Materials Reinforcement and Water Treatment, Journal of Chemical Engineering and Material Science.

10. Pardamean, M. 2008. Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit, Cetakan Pertama, Pustaka Agromedia, Jakarta.

11. Santi, L. P. 2017. Pemanfaatan Biochar Asal Cangkang Kelapa Sawit Untuk Meningkatkan Serapan Hara dan Sekuestrasi Karbon pada Media Tanah Lithic Hapludults di Pembibitan Kelapa Sawit, Jurnal Tanah dan Iklim, Vol. 41 No.1, hal. 9–16.

12. Yokoyama, S. 2008. The Asian Biomass Handbook: A Guide for Biomass Production and Utilization, The Japan Institute Energy.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 85: e-ISSN 2477-0051

69Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENGARUH DAYA GELOMBANG MIKRO TERHADAP RENDEMEN, MUTU DAN KOMPONEN BIODIESEL DARI BIJI KEMIRI YANG DIPROSES

SECARA TRANSESTERIFIKASI IN SITUEffect of Microwave Power on Yield, Quality and Component of Biodiesel from

Candle Nut Seed Processed Through In Situ Transesterification

Mahlinda*, Lancy Maurina, dan EllysaBalai Riset dan Standardisasi Industri Banda Aceh

Jl. Cut Nyak Dhien No. 377 Lamteumen Timur Banda Aceh*e-mail: [email protected]

abstrak: Transesterifikasi in situ biodiesel adalah metode untuk produksi biodiesel menggunakan pelarut alkohol dengan bantuan katalis asam atau basa melalui pemanasan konvensional sederhana. Namun, metode konvensional ini dianggap tidak efisien karena memerlukan energi dalam jumlah besar untuk memanaskan media dan proses reaksinya berlangsung lama. Dewasa ini telah dikembangkan metode produksi biodiesel yang lebih efisien dan cepat, yaitu menggunakan gelombang microwave. Tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari pengaruh daya gelombang mikro terhadap rendemen, mutu dan komponen biodiesel dari biji kemiri yang diproses melalui transesterifikasi in situ. Proses transesterifikasi in situ berjalan pada daya gelombang mikro 450, 600 dan 800 watt, waktu reaksi empat menit, rasio metanol 25:1 (g/g), rasio co-solvent 0,5:1 (g/g) dan 5% konsentrasi KOH katalis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen tertinggi 85,58% diperoleh pada daya gelombang mikro 600 watt dengan waktu reaksi empat menit. Hasil uji mutu biodiesel berdasarkan SNI 7182-2012 menunjukkan nilai viskositas kinematik dan angka asam memenuhi standar, namun terhadap masa jenis belum memenuhi standar. Hasil analisa biodiesel menggunakan GC-MS pada ketiga daya gelombang mikro mengandung metil stearat, metil palmitat dan metil miristat. Daya gelombang mikro berpengaruh terhadap rendemen biodiesel tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap mutu dan komponen biodiesel.

kata kunci : biodiesel, gelombang mikro, transesterification in situ, kemiri.

abstract: The in situ transesterification of biodiesel by conventional heating is simple but need high energy and long reaction time to produce biodiesel. Microwave radiation, delivers energy directly to the reactants, therefore, heat transfer is more effective. The research aims was to explore the effect of microwave power toward yield, quality and compound of biodiesel from candlenut seed through in situ transesterification. The in situ transesterification was run on microwave power 450, 600 and 800 watts, 4 minutes, methanol ratio 25:1 (w/w), co-solvent ratio 0.5 : 1 (w/w) and 5% KOH catalyst concentration. The results showed, highest biodiesel yield 85.58% was obtained under the microwave power of 600 watts with reaction time 4 minutes. A test result of biodiesel quality according to SNI 7182-2012 showed kinematic viscosity and acid value was approriate with standars, meanwhile density test was below of SNI standars. GC-MS analysis of biodiesel produced under 450, 600 and 800 watts microwave power showed, the main components were methyl stearate, methyl palmitate and methyl miristate but the percentage component was slightly different according to the various microwave power. It can be concluded that microwave power just affected on biodiesel yield but not significant affected on biodiesel quality and component.

Kata kunci : biodiesel, gelombang mikro, transesterification in situ, kemiri.

PENDAHULUANMinyak solar merupakan salah satu

sumber energi penting yang berasal dari hasil pertambangan di dalam perut bumi digunakan untuk industri dan transportasi. Dalam penggunaannya sehari-hari, sumber energi ini menghadapi beberapa kendala antara lain: (1) minyak solar masuk dalam sumber energi yang tidak dapat diperbaharui

(non renewabe energy), ketika sumber energi tersebut habis karena proses penambangan yang dilakukan secara besar-besaran dan terus menerus tidak dapat diproduksi ulang, (2) minyak solar berbasis fosil ini dituding sebagai salah satu penghasil polusi karena hasil pembakaran bahan bakar solar yang mengandung Sox, Nox, hidrokarbon dan komponen karsinogenik lainnya dalam

Page 86: e-ISSN 2477-0051

70Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

penelitian telah dilakukan untuk memproduksi biodiesel yang lebih efisien dan cepat, dengan menggunakan gelombang mikro (microwave). Dibandingkan dengan proses konvensional, penggunaan gelombang mikro memiliki beberapa keuntungan seperti waktu reaksi lebih cepat, konsumsi energi yang lebih rendah, meningkatkan rendemen dan mengurangi penggunaan pelarut alkohol (Marwan et al., 2015; Surati et al., 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh besaran daya gelombang mikro (microwave) terhadap rendemen, mutu dan komposisi biodiesel dari biji kemiri menggunakan proses transesterifikasi in situ.

METODOLOGIBahan dan Alat

Bahan baku untuk memproduksi biodiesel berupa biji kemiri kupas yang diperoleh dari toko-toko bumbu di seputaran Banda Aceh, metanol teknis, chloroform PA (Merck), dan KOH PA (Merck). Sedangkan peralatan yang digunakan berupa oven mikrowave (Samsung ME731K), pengaduk mekanik (SciLOGEX OS20S), timbangan digital (RADWAG WPS 2100/C/1), blender, oven pengering (Memmert), rotary evaporator (Laborota 4003), labu reaksi 1000 mL (Pyrex), labu pemisah 250 mL (Schott), piknometer 5 ml (Schott) dan viscometer oswald (lokal). dan Gas Chomatography-Massa (QP2010). Rangkaian peralatan mikrowave yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

METODEProsedur Penelitian

Persiapan bahan baku dimulai dengan mengumpulkan biji kemiri yang diperoleh dari pedagang hasil bumi di pasar Aceh Banda Aceh. Kemiri yang diperoleh selanjutnya dilakukan sortasi untuk memisahkan kotoran, bebatuan dan biji busuk. Biji kemiri yang telah disortir tersebut dikeringkan di dalam oven pengering selama 12 jam pada suhu 60 oC. Biji kemiri kering dengan kadar air <1% diambil

jangka panjang akan berdampak pada peningkatan efek rumah kaca dan terjadinya pemanasan global (global warming) dan diperkirakan suhu bumi akan naik 4-6 oC lebih panas diakhir abad ini (Oxfam, 2014). Menghadapi masalah tersebut, para Peneliti diseluruh dunia berinovasi untuk mencari sumber energi baru yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan, salah satunya adalah dengan menggunakan biodiesel.

Biodiesel adalah sejenis bahan bakar pengganti solar yang diproduksi dari berbagai jenis bahan baku nabati (Ramos et a.l, 2009) atau lemak hewani (Saraf & Thomas., 2007) melalui proses transesterifikasi menggunakan pelarut dari jenis alkohol dengan bantuan katalis baik katalis. Biodiesel yang diproduksi ini mempunyai karakteristik yang sama dengan bahan bakar fosil (solar) sehingga dapat digunakan secara langsung atau dicampur solar sebagai bahan bakar mesin diesel tanpa perlu memodifikasi mesin (Dwivedi et al., 2013; Xue et al., 2011). Dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar solar berbasis fosil, penggunaan biodiesel memiliki beberapa keuntungan diantaranya proses pelumasan mesin lebih baik, dapat diperbaharui, diproduksi secara lokal, ramah lingkungan dan tidak beracun (Jain & Sharma, 2010; Haas et al., 2007).

Salah satu cara untuk memproduksi biodiesel yang banyak diaplikasikan saat ini adalah dengan mereaksikan campuran bahan baku minyak dengan alkohol dan katalis dalam jumlah tertentu menggunakan pemanasan konvensional. Proses pemanasan konvensional bekerja dengan cara mentransferkan energi panas ke reaktan melalui proses konveksi, konduksi dan radiasi di permukaan reactor. Namun, proses perpindahan panas (heat transfer) dengan cara konvensional dianggap tidak efisien lagi karena memerlukan energi dalam jumlah besar untuk memanaskan media dan juga proses reaksinya berlangsung lama (umumnya antara 30 menit hingga 8 jam) untuk memperoleh rendemen tertinggi (Zare et al., 2013). Dewasa ini, beberapa

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 87: e-ISSN 2477-0051

71Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

dan ditimbang sebanyak 100 gr/proses lalu dikecilkan ukurannya menggunakan blender hingga mencapai ukuran antara 30-40 mesh. Metanol, co-solvent (Kloroform) dan katalis KOH ditimbang seusai dengan variabel penelitian dan dicampur dengan bubuk kemiri didalam labu reaksi selanjutnya dimasukkan kedalam oven microwave. Daya mikrowave diatur pada variasi 450, 600 dan 800 watt, sedangkan waktu reaksi diatur pada kondisi tetap (4 menit). Bubuk kemiri yang telah diproses tersebut dipisahkan menggunakan saringan sedangkan cairan reaktan berupa biodiesel, metanol dan kloroform dipisahkan menggunakan rotary evaporator selama 2 jam pada temperatur reaksi 75 oC. Selanjutnya hasil ekstrak dari rotary evaporator diambil, dimasukkan kedalam labu pemisah dan diendapkan selama 1 – 2 jam untuk memisahkan gliserol dari crude biodiesel. Lapisan gliserol yang terdapat dibagian bawah labu pemisah dibuang, sedangkan produk crude biodiesel dicuci menggunakan air hangat (40-50 oC) sebanyak 2 – 3 kali hingga air cucian berwarna bening. Biodiesel yang diperoleh kemudian dipanaskan pada temperatur 110 oC menggunakan hot plate untuk menghilangkan sisa air dan pelarut yang ada di dalam biodiesel tersebut.

Keterangan:1. Oven microwave 3. Reaktan2. Pengaduk 4. Kondensor

Variabel PenelitianVariabel peneltian yang digunakan

dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel tetap dan variabel bebas.

a) Variabel tetap - Rasio metanol terhadap berat bahan

baku (25:1) g/g.- Rasio co-solvent terhadap berat bahan

baku (0,5 : 1) g/g.- Jumlah katalis (3%)- Waktu reaksi: 4 menit

b) Variabel bebas- Daya gelombang mikro: 450, 600 dan

800 watt

Perhitungan Rendemen BiodieselRendemen biodiesel yang diperoleh

dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:Rendemen

(%) = x 100% (1)

Pengujian Produk BiodieselProduk biodiesel yang diperoleh dari

proses transesterifikasi in situ menggunakan gelombang mikro, sampelnya di ambil dan dilakukan pengujian sesuai dengan SNI 7182:2012 meliputi uji massa jenis (kg/m3), viskositas kinematik (mm2/s) dan angka asam (mg-KOH/gr). Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan standar SNI.

Analisa Komponen BiodieselAnalisa komponen biodiesel dilakukan

menggunakan peralatan Gas Chomato-graphy-Mass Spectrometry (GC-MS) dan menghitung persentasenya berdasarkan puncak (peak).

Gambar 1. Rangkaian Peralatan Mikrowave

Berat Biodisel (gR)

Berat bubuk kemiri (gr)x kandungan minyak (0%)

Pengaruh Daya Gelombang... (Mahlinda)

Page 88: e-ISSN 2477-0051

72Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

HASIL DAN PEMBAHASANRendemen biodiesel

Salah satu faktor penentu kelayakan proses produksi biodiesel adalah dari rendemen yang diperoleh dimana semakin besar rendemen yang diperoleh semakin menguntungkan dan menentukan tingkat keberhasilan proses produksi biodiesel. Penggunaan gelombang mikro untuk memproduksi biodiesel bukan hanya mengurangi waktu proses dan mempercepat proses pemisahannya tetapi juga dapat meningkatkan rendemen biodiesel (Refaat et al, 2008). Pengaruh daya gelombang mikro terhadap perolehan biodiesel dengan waktu reaksi empat menit disajikan pada Gambar 2. Data Gambar 2 menunjukkan bahwa bertambahnya daya gelombang mikrowave yang dipancarkan akan menaikan rendemen biodiesel sampai pada batas tertentu dan setelah mencapai batas tersebut, rendemen biodiesel akan mengalami penurunan. Dari Gambar 2 terlihat ketika gelombang mikro diatur sebesar 450 watt, rendemen biodiesel yang diperoleh sebanyak 66,91%.

Ketika gelombang mikro diatur sebesar 600 watt, rendemen biodiesel yang diperoleh meningkat sebanyak 85,58% dan merupakan rendemen tertinggi yang diperoleh. Akan tetapi ketika gelombang mikro diatur diatas 600 wat, rendemen biodiesel mengalami penurunan, bahkan ketika gelombang mikro diatur sampai 800 wat, rendemen biodiesel yang diperoleh sebanyak 81,67% mengalami penurunan sebesar 3,91%. Ketika daya gelombang mikro yang dipancarkan masih rendah, dayanya belum cukup kuat untuk mendorong reaksi transesterifikasi in situ ke arah produk, selain itu temperatur yang dihasilkan juga masih rendah menyebabkan perolehan rendemen biodiesel juga rendah. Sebaliknya, ketika daya gelombang mikro yang dipancarkan terlalu tinggi, disamping dapat menyebabkan kerusakan molekul organik trigliserida juga dapat menyebabkan kenaikan suhu melebihi titik didih metanol sehingga metanol berubah menjadi fase uap dan mempengaruhi proses pembentukan biodiesel sehingga rendemen yang diperoleh akan menurun (Saifuddin et al., 2004., Haryanto et al., 2015).

Gambar 2. Pengaruh Besaran Daya Gelombang Mikro Terhadap Rendemen Biodiesel

Mutu BiodieselMassa Jenis

Massa jenis atau juga dikenal dengan istilah densitas yaitu jumlah minyak per

satuan volume yang diukur pada temperatur 40 oC. Umumnya karakteristik biodiesel seperti angka setana (cetane number) dan nilai bakar (heating value) berhubungan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 89: e-ISSN 2477-0051

73Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

langsung dengan nilai masa jenis dari produk biodiesel tersebut. Oleh sebab itu, nilai masa jenis biodiesel berpengaruh langsung terhadap kinerja kinerja mesin diesel (Alptekin & Canaki, 2008). Selain itu, massa jenis juga dapat menunjukan karakteristik biodiesel seperti sifat biodiesel pada suhu rendah, kualitas penyalaan biodiesel di ruang bakar dan terjadinya pembentukan asap pada saat biodiesel dibakar (Sundaryono, 2011).

Adapun perbedaan masa jenis produk biodiesel berdasarkan besaran daya gelombang mikro yang dipancarkan disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa besaran daya gelombang mikro 450 watt nilai massa jenis sebesar 836 kg/m3 dan pada daya gelombang mikro 600 dan 800 watt nilai massa jenis sama besar yaitu 842 kg/m3 . Namun ketiga nilai massa jenis ini pada dasarnya tidak memenuhi standar SNI yang ditetapkan. Mittelbatch & Remschmidt (2004) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perbedaan massa jenis biodiesel adalah tingkat kemurnian bahan baku dan komposisi asam lemaknya dimana massa jenis akan meningkat seiring

dengan peningkatan jumlah ikatan rangkap pada asam lemak dan penurunan panjang rantai karbon. Dalam hal ini, peningkatan daya gelombang mikro belum mampu untuk merubah komposisi ikatan rangkap asam lemak sehingga nilai massa jenisnya tidak berubah secara signifikan.

Viskositas KinematikViskositas kinematik di definisikan

sebagai ukuran ketahanan suatu cairan untuk mengalir pada kondisi tertentu. Seperti diketahui, sistim pembakaran pada mesin diesel memerlukan bahan bakar dengan bentuk partikulat halus agar dapat terbakar dengan sempurna. Ketika nilai viskositas kinematik terlalu tinggi, bahan bakar kesulitan untuk mengalir secara tepat keruang bakar dan bentuk partikulatnya tidak halus sehingga berpengaruh terhadap proses pembakaran bahan bakar yang secara langsung berpengaruh terhadap kinerja mesin diesel. Perbedaan nilai viskositas kinematik biodiesel yang dihasilkan berdasarkan besaran daya gelombang mikro yang dipancarkan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 3. Pengaruh Besaran Daya Gelombang Mikro Terhadap Massa Jenis Biodiesel

Pengaruh Daya Gelombang... (Mahlinda)

Page 90: e-ISSN 2477-0051

74Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Gambar 4. Pengaruh Besaran Daya Gelombang Mikro Terhadap Viskositas Kinematik Biodiesel

Data dari Gambar 4 menunjukkan bahwa besaran daya gelombang mikro yang dipancarkan tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai viskositas kinematik dari produk biodiesel yang dihasilkan. Ketika daya gelombang mikro yang digunakan sebesar 450 watt menghasilkan nilai viskositas kinematik sebesar 5,14 mm2/s, namun ketika daya gelombang mikro yang digunakan sebesar 600 dan 800 watt menghasilkan nilai viskositas kinematik yang sama yaitu sebesar 5,16 mm2/s. Data dari Gambar 4 juga menunjukkan bahwa produk biodiesel yang dihasilkan pada daya 450 hingga 800 watt nilai viskositas kinematiknya masih masuk dalam rentang persyaratan SNI 7182-2012 yaitu pada rentang 2,3 – 6,0 mm2/s. Ketidak sesuaian nilai viskositas biodiesel berpengaruh terhadap suplai biodiesel ke ruang bakar mesin diesel dimana jika nilai viskositas kinematik terlalu rendah menyebabkan kebocoran pada sistim pompa injeksi dan proses atomisasi bahan

bakar kurang sempurna sebaliknya jika nilai viskositas kinematik terlalu tinggi dari yang dipersyaratkan dapat menghambat proses injeksi biodiesel dan secara keseluruhan akan berpengaruh terhadap kinerja mesin diesel (Yoon et al., 2008).

Angka Asam Angka asam sangat berpengaruh

terhadap kualitas biodiesel dimana jika angka asamnya tingi semakin rendah kualitas biodiesel. Angka asam yang tinggi di dalam biodiesel menunjukkan adanya kandungan asam lemak bebas (free fatty acid) yang nantinya dapat menyebabkan korosi pada pompa injeksi bahan bakar dan dapat membentuk sendimen (deposit) dalam ruang bakar yang dapat mempengaruhi kinerja mesin diesel (Saifuddin et al., 2009).

Perbedaan angka asam dari produk biodiesel yang dihasilkan berdasarkan besaran daya gelombang mikro yang dipancarkan disajikan pada Gambar 5.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 91: e-ISSN 2477-0051

75Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Gambar 5. Pengaruh Besaran Daya Gelombang Mikro Terhadap Angka Asam Biodiesel

Data dari Gambar 5 menunjukkan bahwa besaran daya gelombang mikro yang dipancarkan tidak berpengaruh terhadap nilai angka asam dari produk biodiesel yang dihasilkan. Besaran daya gelombang mikro yang dipancarkan pada variasi 450, 600 dan 800 Watt menghasilkan angka asam yang sama yaitu sebesar 0,57 mg-KOH/g. Angka asam dari ketiga jenis perlakuan tersebut masih memenuhi standar SNI 7182-2012 yaitu angka asam maksimum 0,6 mg-KOH/gr.

Komponen Biodiesel Produk biodiesel yang diperoleh dari

hasil transesterifikasi in situ pada pancaran daya gelombang mikro 450, 600 dan 800 watt, sampelnya diambil dan dianalisa komponennya menggunakan peralatan Gas Chomatography-Massa (GCMS). Analisa ini menghasilkan puncak-pucak kromatogram yang menunjukkan jenis-jenis komponen biodiesel spesifik. Hasil pengujian komponen biodiesel menggunakan GCMS ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kromatogram Biodiesel Berdasarkan Daya Gelombang Mikro

No. Nama KomponenJumlah Komponen (%)

450 Watt 600 Watt 800 Watt1 Metil Stearat 52,21 52,90 56,562 Metil Palmitat 44,31 42,03 40,233 Metil Miristat 1,18 3,40 1,754 Lain-Lain 1,97 1,60 1,15

Total 99,67 99,93 99,69

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar metil ester yang terdapat dalam produk biodiesel pada perlakuan dengan pancaran daya gelombang mikro 450, 600 dan 800 watt menghasilkan variasi komponen yang tidak mengalami perubahan signifikan dengan komponen utama berupa

metil stearat, metil palmitat, metil miristat dan komponen lainnya dalam jumlah kecil. Hasil pengujian GC-MS ini hampir sama dengan hasil peneltian yang dilakukan oleh Aziz et al (2016) pada proses sintesa biodiesel menggunakan biji kemiri yang menghasilkan komponen utama berupa

Pengaruh Daya Gelombang... (Mahlinda)

Page 92: e-ISSN 2477-0051

76Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

metil stearate, metil palmitat dan komponen lainnya namun dengan persentase yang berbeda. Dari data pada Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa jumlah total komponen biodiesel pada daya gelombang mikro 450, 600 dan 800 watt nilai rata-ratanya diatas 99% dimana nilai tersebut masih memenuhi standar SNI 7182-2012 yaitu kadar ester metil min. 96,5%-massa.

SIMPULANProses sintesa biodiesel dari biji

kemiri secara transesterifikasi in situ dengan bantuan gelombang mikro pada daya 450, 600 dan 800 watt menghasil rendemen tertinggi sebesar 85,58 % pada pancaran daya gelombang mikro 600 watt. Hasil pengujian mutu biodiesel sesuai dengan SNI 7182-2012 pada daya gelombang mikro 400, 600 dan 800 watt menunjukkan nilai viskositas kinematik dan angka asam masih memenuhi standar SNI, sedangkan hasil pengujian massa jenis belum memenuhi persyaratan SNI. Sementara itu, hasil uji komponen biodiesel menggunakan GC-MS diketahui kandungan utama biodiesel dari biji kemiri berupa metil stearat 52,21% (450 watt), 52,90% (600 watt), 56,56% (800 watt); metil palmitat 44,31% (450 watt), 42,03% (600 watt), 40,23% (800 watt); metil miristat 1,18% (450 watt), 3,40% (600 watt) dan 1,75% (800 watt). Dapat disimpulkan bahwa besaran daya gelombang mikro berpengaruh terhadap perolehan rendemen biodiesel, tetapi mutu dan komponen biodiesel tidak berpengaruh signifikan terhadap perbedaan daya gelombang mikro.

DAFTAR PUSTAKA1. Alptekin E., Canakci M, 2008. Determi-

nation of density and the viscosities of biodiesel-diesel fuel blends. Renewable Energy. 33 (12) : 2623-2630.

2. Aziz R., Aisyah., Ilyas A, 2016. Sintesis metil ester dari minyak biji kemiri (Aleurites moluccana) menggunakan metode ultrasonokimia. Al-Kimia, 4 (1) : 21-29.

3. Dwivedi G., Jain S., Sharma M.P, 2013. Diesel engine performance and emission analysis using biodiesel from various oil sources-Review. Journal of Materials and Environmental Science, 4 : 434 – 447.

4. Haas J.M., Scott M.K., Foglia A.T., Marmer N.W, 2007. The general applicability of in situ transesterification for the production of fatty acid esters from a variety of feedstocks. Journal of the American Oil Chemists’ Sociaty, 84 : 963 – 970.

5. Haryanto A., Silviana U., Triyono S., Prabawa S, 2015. Produksi biodiesel dari transesterifikasi minyak jelantah dengan bantuan gelombang mikro: Pengaruh intensitas daya dan waktu reaksi terhadap rendemen dan karakteristik biodiesel. Agritech, 35 (2), pp. 234-240.

6. Jain S., Sharma M.P, 2010. Prospect of biodiesel from jathropha in India. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 14 : 763-771.

7. Marwan., Suhendrayatna., Indarti E, 2015. Preparation of biodiesel from microalgae and palm oil by direct transesterification in batch microwave reactor. Journal of Physic : Confrence Series, 622 : 1– 8.

8. Mittelbach M., Remschmidt C. (2004). Biodiesel: The Comprehensive Handbook. Mittelbach. Graz, Austria.

9. Oxfam, 2014. Food, fossil fuels and filthy finance. Oxfam Breifing Paper. Oxfam Briefing Paper. https://oxfamilibrary.openrepos i tory.com/ . . . /bp191-fossil-fuels-finance-climate-change-171014-en.pdf. [5 Maret 2018].

10. Ramos M.J., Fernandes M.C., Casas A, Rodriguez L., Perez A, 2009. Influence of fatty acid composition of raw materials on biodiesel properties. Bioresources Technology, 100 (1) : 261-268.

11. Refaat AA., El Sheltawy T.S., Sadek U.K, 2008. Optimum reaction time, performance and exhaust emissions

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 93: e-ISSN 2477-0051

77Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

of biodiesel produced by microwave irradiation. International Journal of Environmental Science & Technology. 5 (3) : 315-322.

12. Saifuddin N., Raziah Z.A., Farah N.H, 2009. Production of biodiesel from high acid value waste cooking oil using an optimized lipase enzyme/acid-catalyzed hybrid process. E-Journal of Chemistry, 6 (S1) : S485-S495.

13. Saifuddin N., Chua H.K, 2004. Production of ethyl ester (biodiesel) from used frying oil: Optimization of transesterification process using microwave irradiation. Malaysian Journal of Chemistry, 6 (1):77-82.

14. SNI (2006). SNI 7182-2012: Biodiesel. Badan Standarisasi Nasional (BSN).

15. Saraf S., Thomas B, 2007. Influence of feedstock and process chemistry on biodiesel quality. Process Safety and Environmental Protection, 85 : 360 – 364.

16. Sundaryono A, 2011. Karakteristik biodiesel dan blending biodiesel dari oil losses limbah cair pabrik minyak kelapa sawit. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 21:34-40.

17. Surati A.M., Jauhari S., Desai R.K, 2012. A brief review: microwave assisted organic reaction. Archieves of Applied Science Research, 4 (1) : 646-661.

18. Xue J., Grift T.E., Hansen A.C, 2011. Effect of biodiesel on engine performance and emissions. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 15 (2) : 1098-1116.

19. Yoon HS., Park HS., Lee SC, 2008. Experimental investigation on the fuel properties of biodiesel and its blends at various temperatures. Energy & Fuel, 22 (1) : 652-656.

20. Zare M., Ghobadian B., Fayyazi E., Najafi G., Hosseinzadeh B, 2013. Microwave-assisted biodiesel fuel production from waste cooking oil. Agriculture and Crop Sciences, 15 (12) : 1314-1317.

Pengaruh Daya Gelombang... (Mahlinda)

Page 94: e-ISSN 2477-0051

78Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

ANALISIS KEBIJAKAN RENCANA PEMBANGUNAN INDUSTRI PROVINSI SULAWESI SELATAN

(KOMODITAS KAKAO, KOPI DAN MARKISA)Policy Analysis Industrial Development Planning of South Sulawesi

(Cocoa, Coffee and Markisa Commodities)

Zulkifli1, Ahmadi Akil2

1 Fakultas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan, Universitas Muslim Maros2 Dinas Perindustrian Provinsi Sulawesi Selatan

e-mail: [email protected]

abstract: The objectives of this study were to formulate industry development vision, mission, goals, objectives, and strategies, to determine South Sulawesi superior industrial commodities, and to design industry development programs in South Sulawesi from 2018 to 2038. The analytical methods that used to determine potential and superior industries in South Sulawesi were location quotient analysis, shift share, focus group discussion and SWOT. From this study, we obtained that South Sulawesi industry development plan vision is make industry sector as a superior economic pillar in South Sulawesi, South Sulawesi superior commodities from 2018 to 2038 are cocoa, coffee, and passion fruit, and South Sulawesi industry development program are industry human resource development program, industry technology development and utilization program, innovation and creativity development and utilization program, SMEs empowerment program, financial source provision program, standardization support infrastructure development program, utilization program, natural resources provision and distribution, industry information system development, environmental management/infrastructure development program, land provision program for industry, electricity and energy network development program, telecommunications network development program, water resources network development program, sanitation/infrastructure development program and transportation development program.

keywords: advanced industries, focus group discussion, Location Quentient analysis, shift share, and SWOT.

abstrak: Tujuan penelitian ini adalah menformulasikan visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi pembangunan industri, menetapkan komoditas industri unggulan, dan mendesain program pengembangan industri pada Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038. Metode analisis yang digunakan untuk menentukan potensi dan industri unggulan Provinsi Sulawesi Selatan adalah analisis location quotient, shift share, focus group discussion, dan SWOT. Dari hasil penelitian diperoleh visi rencana pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038 adalah menjadikan sektor industri sebagai pilar perekonomian terdepan Sulawesi Selatan, komoditas industri unggulan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038 adalah kakao, kopi, dan markisa, serta program pengembangan industri Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038 adalah program pengembangan sumber daya manusia industri, program pengembangan dan pemanfaatan teknologi industri, program pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi, program pemberdayaan industri kecil menengah, program penyediaan sumber pembiayaan, program pembangunan infrastruktur penunjang standarisasi, program pemanfaatan, penyediaan dan penyaluran sumber daya alam, program pembangunan sistem informasi industri, program pembangunan infrastruktur/pengelolaan lingkungan, program penyediaan lahan untuk industri, program pengembangan jaringan energi dan kelistrikan, program pengembangan jaringan telekomunikasi, program pengembangan jaringan sumber daya air, program pembangunan infrastruktur/sanitasi, dan program pembangunan transportasi.

kata kunci: analisis Location Quotient, focus group discussion, industri unggulan, shift share, dan SWOT.

Page 95: e-ISSN 2477-0051

79Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PENDAHULUANSaat ini, isu kekinian berkaitan dengan

permasalahan pembangunan di sektor perindustrian adalah bagaimana mengatasi dan mengurai permasalahan pembangunan industri seperti masih lemahnya daya saing industri nasional, belum kuat dan belum dalamnya struktur industri nasional, masih terkonsentrasinya kegiatan industri di Pulau Jawa, dan belum optimalnya regulasi pemerintah dalam mendukung kemajuan sektor industri.

Solusi alternatif yang sementara ini dijalankan dalam rangka meningkatkan sinergitas secara komprehensif pemba-ngunan industri agro antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota adalah penyusunan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035 oleh Kementerian Perindustrian Republik Indonesia sebagai amanat pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan penyusunan Rencana Pembangunan Industri Provinsi (RPIP) /Kabupaten/Kota(RPIK) oleh guber-nur/bupati/walikota sesuai amanat pasal 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.

Sementara itu, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menyusun dokumen Rencana Pembangunan Industri Provinsi (RPIP) Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 dengan tetap mengacu pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035 dan Kebijakan Industri Nasional (KIN) serta Pengembangan Kompetensi Industri (KID) Sulawesi Selatan Tahun 2012-2015 dalam rangka mewujudkan visi pembangunan industri nasional yaitu “Indonesia Menjadi Negara Industri Tangguh”.

Dalam dokumen RIPIN Tahun 2015-2035, dinyatakan bahwa Provinsi Sula-wesi Selatan memiliki satu Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI) yang meliputi Kota Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, dan Kabupaten Bantaeng.

Pengembangan industri komoditas unggulan dan komoditas unggulan lainnya

di Provinsi Sulawesi Selatan belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Berbagai kendala menjadi permasalahan utama pembangunan industri di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu:

1. Pengembangan sektor hulu belum bersinergi dengan pengembangan sektor industri secara optimal sehingga kontribusi sektor industri terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masih rendah;

2. Sumber daya manusia pada sektor hulu dan sektor industri masih kurang dan pengorganisasian yang belum sepenuhnya mampu mengeksploitasi sumber daya sehingga harus diting-katkan;

3. Pengembangan produk bernilai tambah masih sangat terbatas dan terpaku pada beberapa jenis produk antara (produk setengah jadi tertentu), belum berkembang sesuai dengan potensinya, dan belum sampai pada kompetensi spesifik daerah;

4. Infrastruktur yang belum memadai dalam mendukung pengembangan industri lebih lanjut sehingga belum tumbuh dan berkembangnya Industri Kecil Menengah (IKM) yang melakukan kegiatan ekspor; dan

5. Wilayah pengembangan kawasan industri yang telah direncanakan belum sepenuhnya terealisasi.

Menyikapi permasalahan di atas, maka menjadi penting dan mendesak untuk menyusun Perencanaan Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 sesuai komoditi unggulan daerah seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 pasal 10 ayat 1, bahwa setiap Gubernur menyusun Rencana Pembangunan Industri Provinsi (RPIP) yang mengacu kepada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 dan Kebijakan Industri Nasional sesuai sesuai pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014. RPIP ini diharapkan mampu menguraikan dan

Analisis Kebijakan Rencana... (Zulkifli)

Page 96: e-ISSN 2477-0051

80Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

memberi solusi serta memecahkan berbagai permasalahan di atas dan memberi dampak pada pembangunan sektor industri di Provinsi Sulawesi Selatan yang lebih maju dan mandiri pada 2018-2038.

Permasalahan utama pembangunan industri di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu:

1. Bagaimana model formulasi visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi pembangunan industri Provinsi Sula-wesi Selatan Tahun 2018-2038;

2. Bagaimana menetapkan komoditas industri unggulan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038;

3. Bagaimana disain program pengem-bangan industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038.

Dengan memperhatikan permasalahan utama tersebut, maka tujuan pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 adalah:

1. Menformulasikan visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038;

2. Menetapkan komoditas industri ung-gulan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038;

3. Mendisain program pengembangan industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 - 2038.

METODE PENELITIANPenelitian ini dilaksanakan pada

tahun 2018 di Provinsi Sulawesi Selatan dengan lokasi penelitian tersebar pada 24 kabupaten/kota.

Sampel penelitian terdiri dari Dinas Perindustrian, Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, KADIN, pelaku usaha, tokoh masyarakat dan perguruan tinggi se Sulawesi Selatan. Sumber data yang digunakan berasal dari data primer dan data sekunder (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013-2018, Biro

Statistik Nasional dan Sulawesi Selatan dalam Angka Tahun 2018.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) pada pasal 8 ayat 4 disusun untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 tahun. Dengan demikian, maka tim merujuk dokumen RIPIN sebagai dasar penetapan capaian rencana pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan selama 20 tahun, yaitu tahun 2018-2038.

Sasaran, komoditi unggulan, dan program pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan ditetapkan dalam kurun waktu 2018-2038, namun pada tabel didesain dengan tampilan pada tahun terakhir dari jangka lima tahun yaitu tahun 2023, 2028, 2033 dan 2038.

Instrumen penelitian yang digunakan disajikan sebagai berikut:

Menformulasikan Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, dan Strategi Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

Metode yang digunakan untuk memformulasikan visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi pembangunan industri adalah focus group discussion dengan intansi terkait dan stakeholder dengan mengadopsi metode Krueger (1988), Stewart dan Shamdasani (1990), dan Irwanto (2007).

Menetapkan Komoditas Industri Ung-gulan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

Metode yang digunakan untuk menetapkan komoditas industri unggulan adalah analisis location quentient yang diakomodasi dari Miller et al. (1991), Isserman (1997), dan Hood (1998), pendekatan analisis shift share dari Dinc dan Haynes KE (2005) dan Rigby dan Anderson (1993) serta supply chain analysis yang diadopsi dari Zulkifli (2017).

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 97: e-ISSN 2477-0051

81Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Mendisain Program Pengembangan Industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

Metode yang digunakan untuk mendisain program pengembangan industri adalah pendekatan analisis SWOT dari Rangkuti (2015), review dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi (RPJMD), dan focus group discussion yang diadopsi dari Krueger (1988), Stewart dan Shamdasani (1990), dan Irwanto (2007).

HASIL DAN PEMBAHASANVisi, Misi, Tujuan, Sasaran, dan Strategi Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

Berdasarkan pertimbangan visi dan misi perindustrian nasional tahun 2015-2019 serta RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013-2018, maka disusun visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan yang berkaitan dengan Rencana Pembangunan Industri Provinsi (RPIP) Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038.

Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan. Visi industri daerah mencerminkan gambaran aspirasi industri di masa depan dan inspirasi untuk mendapatkan solusi terbaik dalam pencapaian hasil pembangunan industri yang direncanakan dalam RPIP ini.

Penetepan visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 dilakukan dengan menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) sebanyak tiga kali dengan melibatkan Dinas Perindustrian, Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, KADIN, pelaku usaha, tokoh masyarakat dan perguruan tinggi se-Sulawesi Selatan. Dengan tetap memperhatikan visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi pembangunan industri nasional dan pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan serta hasil FGD, maka diformulasi visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi pembangunan industri Provinsi

Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 sebagai berikut:

a. Visi dan Misi Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Selatan

Visi pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 adalah: “Menjadikan sektor industri sebagai pilar perekonomian terdepan Sulawesi Selatan”.

Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi. Penjabaran untuk visi di atas dalam rencana pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 ini dituangkan dalam beberapa misi yang ada relevansi dengan lainnya dan disusun dalam rangka mewujudkan visi tersebut, pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 mengemban misi sebagai berikut:

1. Mengembangkan industri bernilai tambah dan berdaya saing tinggi;

2. Meningkatkan nilai tambah produk industri;

3. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pelaku usaha;

4. Memperkuat struktur industri melalui keterkaitan antara industri besar dan industri kecil menengah.

b. Tujuan Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Selatan

Tujuan pembangunan industri adalah pernyataan tentang hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai visi, melaksanakan misi dengan menjawab isu strategis daerah dan permasalahan pembangunan industri. Tujuan diturunkan secara lebih operasional dari masing-masing misi pembangunan industri daerah di atas.

Dengan memperhatikan visi dan misi pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan, maka Tujuan pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan adalah:

1. Meningkatkan laju pertumbuhan dan kontribusi sektor industri daerah dalam mendorong perekonomian daerah;

Analisis Kebijakan Rencana... (Zulkifli)

Page 98: e-ISSN 2477-0051

82Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

2. Meningkatkan nilai tambah komoditas/produk melalui hilirisasi industri dan meningkatkan volume, varian, dan nilai ekspor produk-produk industri yang berdaya saing;

3. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja daerah ke dalam sektor industri;

4. Meningkatkan arus investasi ke daerah melalui sektor industri;

5. Mewujudkan iklim industri daerah yang kondusif dan mampu menjamin keberlangsungan eksistensi industri daerah serta menarik tumbuh serta berkembangnya industri-industri baru.

c. Sasaran Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Selatan

Sasaran adalah hasil yang diharapkan dari suatu tujuan yang diformulasikan secara terukur dan rasional untuk dapat diwujudkan. Sasaran ini bisa merupakan target pencapaian yang diharapkan, yang pada hakikatnya merupakan penegasan kembali misi secara lebih detail, terukur, dan lebih tergambar dengan jelas yang selanjutnya akan menjadi dasar penyusunan kerangka kinerja pembangunan secara keseluruhan. Sesuai dengan tujuan di atas, maka ditetapkan sasaran dalam perencanaan pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sasaran Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No SasaranTahun

2023 2028 2033 20381. Pertumbuhan sektor industri non migas (%) 10.81 11,47 12,23 13 ,09

2. Kontribusi industri non migas terhadap PDRB (%) 16,14 16,76 17,38 18,003. Nilai ekspor produk industri (Juta U$D) 1.756,29 1.957,80 2.197,29 2.484.854. Jumlah tenaga kerja di sektor industri orang) 33.000 51.000 70.500 105.0005. Nilai investasi (M.Rp) 1.265,88 1.329,27 1.392.66 1.456.066. Penanaman Modal

- PMA (U$D Juta)- PMDN (Rp. Milyar)

38,95759,53

40,90796,56

42,85835,60

44,80873,64

Sumber: Hasil Elaborasi RPJMD 2013-2018 dan BPS Provinsi Sulawesi Selatan oleh Tim, 2018

Sasaran pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan ditetapkan dalam kurung waktu 2018-2038, namun dalam tabel didisain dengan tampilan pada tahun terakhir dari jangka lima tahun yaitu tahun 2023, 2028, 2033 dan 2038.

d. Strategi Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Selatan

Untuk mencapai visi, melaksanakan misi, dan untuk menjawab permasalahan pembangunan industri ini, strategi yang tepat perlu dilakukan. Strategi ini akan menjadi pendorong untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan dalam pembangunan

industri Provinsi Sulawesi Selatan yang dilakukan melalui berbagai program meliputi pembangunan sumber daya industri; pembangunan sarana dan prasarana industri; kerjasama dengan lembaga baik di dalam maupun di luar negeri dan antar pemerintah daerah dalam pengembangan industri; pengembangan perwilayahan industri; pemberdayaan IKM; serta perijinan dan pajak daerah yang menunjang pembangunan industri. Program-program tersebut dilakukan melalui strategi sebagai berikut:

1. Melakukan identifikasi dan inisiasi terhadap industri-industri yang memi-liki nilai tambah dan daya saing tinggi;

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 99: e-ISSN 2477-0051

83Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

2. Melakukan intervensi teknologi proses dan teknologi industri terutama untuk IKM;

3. Melakukan revitalisasi industri;4. Meningkatkan keterampilan dan

kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) sektor industri;

5. Mendorong pertumbuhan pasar, baik domestik maupun ekspor;

6. Memfasilitasi aliansi strategis antara industri besar dengan Industri Kecil dan Menengah (IKM);

7. Mendorong industri yang berwawasan lingkungan, dan menerapkan prinsip-prinsip industri yang sehat dan berkelanjutan;

8. Menfasilitasi proses inovasi pada industri (invention core);

9. Memberikan kemudahan dalam hal perizinan untuk industri baru.

Komoditas Industri Unggulan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

Berbagai analisis yaitu Location Quentient (LQ), shift share dan focus group discussion dilakukan sehingga komoditas unggulan dipilih. Pilihan ini sebagai komoditas basis Kompetensi Industri (KID) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012-2015 sesuai dengan Peraturan

Menteri Perindustrian Nomor 134 Tahun 2010 yang menetapkan untuk memiliki industri unggulan pertanian, perkebunan, dan perikanan. Pengembangan industri pengolah berbasis pertanian, perkebunan, dan perikanan tersebut menjadi prioritas nasional dan melalui pendekatan bottom-up serta roadmapnya telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 134 Tahun 2010.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 134 Tahun 2010 tentang Peta Jalan Kompetensi Industri (KID) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012-2015 telah menetapkan komoditi unggulan Provinsi Sulawesi Selatan adalah pertanian, perkebunan dan perikanan. Ketiga komoditas tersebut dijadikan sebagai salah satu rujukan untuk mengembangkan industri Provinsi Sulawesi Selatan kurun waktu 2010–2025.

Berdasarkan penghitungan LQ dan shift share dengan menggunakan data PDRB yang terdiri dari 17 sektor/lapangan usaha berdasarkan harga konstan yang dibandingkan dengan data PDRB Nasional Tahun 2018 dan PDRB Provinsi Sulawesi Tahun 2018, analisis location quentient dan shift share rencana pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis LQ dan Shift ShareRencana Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No Lapangan Usaha (Industri)Analisis

Potensial Dikembangkan

di Sulawesi SelatanLQ Shift Share

1 Pertanian, kehutanan, dan perikanan 1,620 • Berkembang

• Memiliki Daya SaingKomoditi kakao, kopi

dan markisa

2 Pertambangan dan penggalian 0,702 • Tidak Berkembang • Memiliki Daya Saing -

3 Industri pengolahan 0,639 • Tidak Berkembang • Memiliki Daya Saing -

4 Pengadaan listrik, gas 0,088 • Tidak Berkembang • Memiliki Daya Saing -

5 Pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang 1,418 • Tidak Berkembang

• Memiliki Daya Saing -

6 Konstruksi 1,164 • Berkembang • Memiliki Daya Saing -

Analisis Kebijakan Rencana... (Zulkifli)

Page 100: e-ISSN 2477-0051

84Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

No Lapangan Usaha (Industri)Analisis

Potensial Dikembangkan

di Sulawesi SelatanLQ Shift Share

7Perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor

1,050 • Tidak Berkembang • Memiliki Daya Saing -

8 Transportasi dan pergudangan 0,877• Berkembang • Tidak Memiliki Daya Saing

-

9 Penyediaan akomodasi dan makan minum 0,444 • Berkembang

• Memiliki Daya Saing -

10 Informasi dan komunikasi 1,239 • Berkembang • Memiliki Daya Saing -

11 Jasa keuangan 0,864• Berkembang • Tidak Memiliki Daya Saing

-

12 Real estate 1,173 • Tidak Berkembang • Memiliki Daya Saing -

13 Jasa perusahaan 0,239 • Berkembang • Memiliki Daya Saing -

14Administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib

1,201 • Tidak Berkembang • Memiliki Daya Saing -

15 Jasa pendidikan 1,671 • Tidak Berkembang • Memiliki Daya Saing -

16 Jasa kesehatan dan kegiatan sosial 1,727 • Berkembang

• Memiliki Daya Saing -

17 Jasa lainnya 0,754 • Berkembang • Memiliki Daya Saing -

Sumber: Hasil Elaborasi RPJMD 2013-2018 dan BPS Provinsi Sulawesi Selatan oleh Tim, 2018

Hasil analisis Location Quotient (LQ) menunjukkan bahwa komoditas basis adalah komoditi dengan nilai LQ>1. Nilai LQ>1 adalah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang, konstruksi, perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor, informasi dan komunikasi, real estate, administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib, jasa pendidikan, serta jasa kesehatan dan kegiatan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan suatu wilayah untuk memproduksi komoditas tertentu termasuk kakao, kopi, dan markisa serta kemampuan menyuplai ke wilayah lain. Hal ini disebabkan karena komoditas dengan nilai LQ>1 memiliki pangsa relatif

lebih besar dibandingkan dengan produksi komoditas di wilayah lain.

Sedangkan, sektor industri adalah sektor non basis karena LQ<1 artinya selama ini sektor industri di Provinsi Sulawesi Selatan baru bisa memenuhi kebutuhan dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan saja dan belum bisa diekspor.

Untuk mengetahui sumber atau komponen pertumbuhan suatu wilayah, maka digunakan teknik analisis Shift Share (SSA) yang bertujuan untuk mengetahui daerah yang memiliki daya saing (comparative advantage), tingkat pertumbuhan, dan progresivitas tinggi pada komoditas tertentu.

Berdasarkan hasil analisis, maka nilai komoditas yang positif berarti > 0 dan nilai komoditas yang negatif berarti < 0.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Page 101: e-ISSN 2477-0051

85Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Komoditas yang memiliki tingkat daya saing yang baik adalah semua komoditas sub sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang tersebar di beberapa kabupaten. Komoditas yang memiliki tingkat daya saing yang baik adalah semua komoditas yang tersebar di beberapa kabupaten.

Berdasarkan hasil analisis, komoditas dengan pertumbuhan proporsional yaitu dengan nilai > 0 adalah komoditas kakao, kopi, dan markisa, yang artinya ketiga komoditas tersebut termasuk komoditas dengan pertumbuhan yang cepat di Provinsi Sulawesi Selatan.

Sedangkan untuk komoditas lainnya memiliki pertumbuhan proporsional nilai < 0, artinya termasuk komoditas yang pertumbuhannya lambat.

Berdasarkan analisis LQ, Shift Share dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 134 Tahun 2010 tentang Peta Jalan Kompetensi Industri (KID) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012-2015, maka ditetapkan komditas industri unggulan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Industri Unggulan Provinsi Sulawesi Selatan 2018-2038

No Industri Unggulan

Jenis Industri Wilayah Potensi2023 2028 2033 2038

1 Pengolahan kopi

- Kopi bubuk Roasted

Coffee- Kopi instan- Kopi dekafein- Kopi mix- Kopi

beraroma

- Kopi bubuk- Roasted

Coffee- Kopi instan- Kopi dekafein- Kopi mix- Kopi beraroma

- Makanan dan minuman berbasis kopi

- Suplemen dan pangan fungsional berbasis kopi

- Makanan dan minuman berbasis kopi

- Suplemen dan pangan fungsional berbasis kopi

Kabupaten Enrekang,Kabupaten Toraja Utara,Kabupaten Sinjai,Kabupaten Bulukumba,Kabupaten Bantaeng

2 Pengolahan kakao

- Cocoa Liquor,

- Cocoa Butter,

- Cocoa Cake,- Cocoa

Powder - Biji cokelat

fermentasi

- Cocoa Liquor,- Cocoa Butter,- Cocoa Cake,- Cocoa Powder - Biji cokelat

fermentasi

- Makanan dan minuman berbasis cokelat

- Suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao

- Makanan dan minuman berbasis cokelat

- Suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao

Kabupaten Luwu, Kota Palopo,Kabupaten Luwu Utara,Kabupaten Luwu Timur

3 Pengolahan markisa

- Dodol, sari buah

- Sirup dan jus- Bahan baku

pektin

-Dodol, sari buah- Sirup dan jus- Bahan baku

pektin

- Pakan ternak

- Bahan baku pupuk organik

- Pakan ternak- Bahan baku

- pupuk organik

Kabupaten Gowa,Kabupaten Enrekang,Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

Penetapan komoditas industri unggulan Provinis Sulawesi Selatan seperti yang disajikan pada Tabel 3 merupakan

kompilasi pendekatan analisis location quentient, shift share dan focus group discussion.

Analisis Kebijakan Rencana... (Zulkifli)

Page 102: e-ISSN 2477-0051

86Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Komoditi unggulan pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan ditetapkan dalam kurun waktu 2018-2038, namun dalam tabel didisain dengan tampilan pada tahun terakhir dari jangka lima tahun yaitu tahun 2023, 2028, 2033, dan 2038.

Program Pengembangan Industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038.

Program pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan ditetapkan dalam

kurun waktu 2018-2038, namun dalam tabel didisain dengan tampilan pada tahun terakhir dari jangka lima tahun yaitu tahun 2023, 2028, 2033, dan 2038. Penetapan rencana program pengembangan industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 ditetapkan dengan menggunakan analisis SWOT seperti disajikan pada Tabel 4.

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14, No. 1, Juni, 2019.

Tabel 4. Analisis SWOT Rencana Pembangunan IndustriProvinisi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

IFAS

EFAS

Kekuatan (Strenghts)1. Dukungan pemerintah sangat

tinggi2. Tersedianya potensi areal

pengembangan kakao, kopi dan markisa

3. Tersedianya potensi SDM pertanian (petani, petugas dan stakeholder)

4. Animo petani untuk mengembangkan kakao, kopi dan markisa

5. Budaya ”tudang sipuplung”

Kelemahan (weakness)1. Kurangnya modal usaha tani2. Produktivitas kakao, kopi dan

markis relatif masih rendah3. Penggunaan varietas kakao,

kopi dan markisa unggul masih sangat rendah

4. Penanganan pascapanen hasil masih rendah

5. Belum adanya lembaga keuangan berbasis industri

Peluang (opportunities)1. Permintaan pasar cukup besar2. Berkembangnya industri kecil

dan menengah yang mengguna-kan bahan baku kakao, kopi dan markisa

3. Dukungan agroklimat, geografi dan topografi

4. Dukungan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota cukup tinggi

5. Memberikan andil bagi yang cukup besar bagi Produk Domestik Bruto (PDB)

Strategi SO1. Program pengembangan

sumber daya manusia industri 2. Program pengembangan

dan pemanfaatan teknologi industri

3. Program pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi

4. Program pemberdayaan industri kecil menengah

Strategi WO1. Program pembangunan

infrastruktur/pengelolaan lingkungan

2. Program penyediaan lahan untuk industri

3. Program pengembangan jaringan energi dan kelistrikan

Ancaman (Threats)1. Stagnasi pertumbuhan produkti-

vitas komoditi kakao, kopi dan markisa

2. Harga kakao, kopi dan markisa berfluktuatif

3. Pesatnya perkembangan sentra kakao, kopi dan markisa dari luar

4. Terjadinya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian

5. Era globalisasi dan perdagangan bebas

Strategi ST1. Program penyediaan sumber

pembiayaan2. Program pembangunan

infrastruktur penunjang standarisasi

3. Program pemanfaatan, penyediaan dan penyaluran sumber daya alam

4. Program pembangunan sistem informasi industri

Strategi WT1. Program pengembangan

jaringan telekomunikasi2. Program pengembangan

jaringan sumber daya air3. Program pembangunan

infrastruktur/ sanitasi4. Program pembangunan

transportasi

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

Page 103: e-ISSN 2477-0051

87Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Data untuk analisis SWOT diperoleh dari observasi dan wawancara dengan melibatkan Dinas Perindustrian, Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, KADIN, pelaku usaha, tokoh masyarakat, dan perguruan tinggi se- Sulawesi Selatan

Dari hasil observasi dan wawancara, maka diperoleh formulasi kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman bagi rencana pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya, ditetapkan disain Program Pengembangan Rencana Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 seperti disajikan pada Tabel 5 sampai dengan 19.

a. Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri

Pelaku pelaksana industri adalah sumber daya manusia, sehingga untuk membangun industri yang kuat, tumbuh dan berkembang, pasti diperlukan sumber daya manusia industri yang kuat juga, yang artinya para pelaku industri memenuhi kebutuhan pembangunan industri itu sendiri baik secara kualitas maupun kuantitas. Selanjutnya, harus ada program-program yang disusun untuk bisa memastikan tersedianya sumber daya manusia industri tersebut, sebagaimana disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Industridi Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 - 2038

No ProgramTahun

2023 2028 2033 20381. Peningkatan kemampuan SDM petani khususnya

coklat, kopi dan markisa.a. Pelatihan/diklat intensifikasi perkebunan, perikanan dan tanaman pangan

√ √ √ √

b. Workshop/short course standar pasca panen √ √ √ √

2. Fasilitasi peningkatan kemampuan SDM industri

a. Workshop/short course QC, pembinaan produksi dan pengawasan untuk pelaku industri

b. Pendidikan industri khususnya coklat, kopi, dan markisa, produksi hasil hutan bagi aparat daerah/Training of Trainers (TOT) aparat pemerintah daerah terkait dalam teknis dan manajemen industri

3. Pengembangan balai/sentral pelatihan industri/lembaga pendidikan komoditas dan industri unggulan

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

b. Pemanfaatan, Penyediaan, dan Penyaluran Sumber Daya Alam

Sumber daya alam merupakan basis pengembangan industri dalam RPIP ini, sehingga berbagai hal terkait dengan pemanfaatannya, penyediaannya, dan

penyaluran sumber daya alam ini sangat menentukan keberhasilan pembangunan industri dan pencapaian sasaran-sasaran yang telah dirumuskan dalam RPIP ini. Oleh karena itu, harus ada program-program yang disusun untuk bisa memastikan tersedianya sumber daya manusia industri seperti yang disajikan pada Tabel 6.

Analisis Kebijakan Rencana... (Zulkifli)

Page 104: e-ISSN 2477-0051

88Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 6. Program Pemanfaatan, Penyediaan, dan Penyaluran Sumber Daya Alam di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 - 2038

No ProgramTahun

2023 2028 2033 2038

1. Penguatan pasokan dan kontinuitas bahan baku dengan dukungan untuk program intensifikasi (peningkatan produktifitas), rejuvenasi dan ekstensi yang berwawasan lingkungan, khususnya Kakao, Kopi dan Markisa.

a. Program intensifikasi, rejuvenasi, dan ekstensi perkebunan (sosialisasi intensif, penyuluhan dan pendampingan menuju implementasi penerapan teknologi budi daya intensif)

√ √ √ √

b. Fasilitasi alsintan, bibit unggul, dan pupukc. Pengendalian hama dan penyakit tanaman

√√ √

√√ √

2. Peningkatan jalan usaha tani (ke sumber-sumber bahan baku industri)

3. Peningkatan kualitas produksi pasca panen sesuai kebutuhan industri

a. Sosialisasi intensif, penyuluhan dan pendam-pingan implementasi penerapan teknologi pasca panen

√ √ √ √

b. Fasilitasi sarana/peralatan pasca panen √ √ √ √

c. Monitoring hasil dan standarisasi √ √ √ √

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

c. Pengembangan dan Pemanfaatan Teknologi Industri

Pembangunan industri tentu membutuhkan pengembangan dan peman-faatan teknologi industri agar terpenuhi

standarisasi produk dan proses produksi, efisiensi dan efektifitas produksi.Oleh karena itu, harus ada program-program yang disusun untuk bisa memastikan pengembangan dan pemanfaatan teknologi industri seperti yang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Program Pengembangan dan Pemanfaatan Teknologi Industri di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No ProgramTahun

2023 2028 2033 20381 Penerapan stadar mutu (SNI/ISO/HACCP dengan GMP dan

SOP atau standar lainnya yang relevan)√ √ √ √

2 Fasilitasi alat industri maju (untuk IKM potensial) dan alat

industri sederhana (untuk home industry)√

3 Kerjasama Riset dan Pengembangan (R&D) industri dan

teknologi pengolahan (seperti dengan Balitri Puslitbun, Batan, BPPT, Balai Besar Hasil Industri Perkebunan )

√ √ √ √

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14 No. 1 Juni 2019.

Page 105: e-ISSN 2477-0051

89Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

d. Pengembangan dan Pemanfaatan Kreativitas dan Inovasi

Untuk meningkatkan daya saing dan agresivitas pasar dibutuhkan kreativitas dan inovasi yang terus-menerus. Oleh karena itu,

harus ada program-program yang disusun untuk bisa memastikan berkembangnya kreativitas dan inovasi industri yang disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Program Pengembangan dan

Pemanfaatan Kreativitas dan Inovasi di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No ProgramTahun

2023 2028 2033 20381 Pemanfaatan media informatika dan e-market

secara profesional (termasuk informasi harga untuk petani, nelayan dan lain-lain)

2 Kerjasama pengembangan produk dan pasar (dengan lembaga penelitian assosiasi dan lain-lain)

√ √ √ √

3 Pengembangan branded produk Provinsi Sulawesi Selatan √ √

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

f. Penyediaan Sumber Pembiayaan

Pembiayaan sering merupakan permasalahan yang menjadi kendala tumbuh berkembangnya industri. Oleh

karena itu, harus ada program-program yang disusun untuk bisa memastikan pembiayaan industri tersebut tidak menjadi masalah, sebagaimana disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Program Penyediaan Sumber Pembiayaan di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 – 2038

No ProgramTahun

2023 2028 2033 2038

1 Fasilitasi akses pembiayaan yang kompetitif bagi industri pengolahan untuk perluasan kapasitas

√ √ √ √

2 Fasilitasi kerjasama kemitraan pembiayaan (khususnya untuk IKM) dengan lembaga financial/ bank

√ √ √ √

3 Bimbingan/ training management financial √

4 Bekerjasama dengan lembaga keuangan internasional untuk dukungan pembiayaan ekonomi kerakyatan di Provinsi Sulawesi Selatan.

√ √ √ √

5 Fasilitasi akses terhadap sumber pembiayaan yang kompetitif untuk meningkatkan kinerja ekspor;

√ √ √ √

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

Analisis Kebijakan Rencana... (Zulkifli)

Page 106: e-ISSN 2477-0051

90Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

g. Program Pembangunan Infrastruktur/ Pengelolaan Lingkungan

Penjabaran program-program dalam infrastruktur pengelolaan

lingkungan di Provinsi Sulawesi Selatan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Program Pembangunan Infrastruktur/Pengelolaan Lingkungan di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No ProgramTahun

2023 2028 2033 20381 Perencanaan sistem pengelolaan limbah

industri dengan penerapan sistem produksi bersih (reduce, re-use, recycle) berbasis teknologi ramah lingkungan

2 Kampanye produk industri sebagai green product melalui media masa, leaflet, inflight magazine (LN dan DN)

√ √ √ √

3 Sosialisasi berkala kepada masyarakat dan dunia usaha mengenai pentingnya pengelolaan lingkungan hidup

√ √ √ √

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

a. b. Program Penyediaan Lahan Industri

Lahan sering kali menjadi permasalahan yang dihadapi dan menjadi penghambat dalam pengembangan industri.

Untuk itu, harus ada program-program yang disusun untuk bisa memastikan lahan dimaksud tidak menjadi masalah sebagaimana disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Program Penyediaan Lahan untuk Industri di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No ProgramTahun

2023 2028 2033 20381 Review terhadap pengembangan KPI di dalam RT/RW

Provinsi Sulawesi Selatan, untuk disesuaikan dengan pengembangan sentra IKM

2 Survei dan pemetaan potensi pembangunan sentra IKM pangan

√ √

3 Penyusunan rencana pembangunan, termasuk analisis kelayakan dan penyusunan rencana induk (masterplan) sentra industri kecil dan menengah

√ √

4 Review terhadap pelaksanaan sentra IKM, untuk rencana lebih lanjut pengembangan kawasan industri

5 Survei dan pemetaan potensi pembangunan kawasan industri

6 Penyusunan rencana pembangunan, termasuk analisis kelayakan dan penyusunan rencana induk (masterplan) kawasan industri

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14 No. 1 Juni 2019.

Page 107: e-ISSN 2477-0051

91Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

h. Program Pengembangan Jaringan Energi dan Kelistrikan

Kebutuhan listrik di Provinsi Sulawesi Selatan terus meningkat dan belum dapat memenuhi kebutuhan daerah apalagi untuk pengembangan industri. Potensi sumber daya listrik yang dapat dikembangkan di Provinsi Sulawesi Selatan disamping

menggunakan diesel adalah menggunakan batu bara, tenaga surya, tenaga uap, tenaga air, tenaga angin, biodiesel, biomassa, dan biogas. Program pembangunan jaringan listrik dan energi di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038, sebagaimana disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Program Pengembangan Jaringan Energi dan Kelistrikandi Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No. ProgramTahun

2023 2028 2033 20381 Perencanaan dan koordinasi:

a) Pembangunan dan pengembangan jaringan transmisi dan distribusi

b). Pengembangan sumber energi yang terbarukan

c). Diversifikasi dan konservasi energi untuk mendukung rencana pembangunan industri provinsi

2 Pelaksanaan :a) Pembangunan dan pengembangan jaringan

transmisi dan distribusib). Pengembangan sumber energi yang

terbarukanc). Diversifikasi dan konservasi energi d). Pengembangan industri pendukung

pembangkit energi

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

i. Program Pengembangan Jaringan Telekomunikasi

Di samping media komunikasi tulisan (surat kabar, majalah, buletin, dan lain-lain) maupun sarana audio visual (radio, televisi, dan jaringan lainnya) yang relatif sudah memiliki jangkauan yang luas, pengembangan aspek telekomunikasi yang sangat penting saat ini adalah media

komunikasi telepon khususnya telepon seluler dan internet. Peningkatan layanan komunikasi telepon ini dan internet harus terus ditingkatkan. Industri saat ini sangat dipengaruhi perkembangannya oleh layanan komunikasi ini. Program pembangunan jaringan telekomunikasi di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038 sebagaimana disajikan pada Tabel 13.

Analisis Kebijakan Rencana... (Zulkifli)

Page 108: e-ISSN 2477-0051

92Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 13. Program Pengembangan Jaringan Telekomunikasi di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No. ProgramTahun

2023 2028 2033 20381 Perencanaan dan koordinasi antar Dinas

Perhubungan Provinsi Sulawesi Barat, Asosiasi Provider Telepon Seluler, dan PT. Telkom Provinsi Sulawesi Selatan dalam penyusunan rencana penyediaan telekomunikasi berupa sarana komunikasi dan transmisi data untuk mendukung pembangunan sentra IKM

2 Pembangunan infrastruktur telekomunikasi untuk mendukung pembangunan industri di sentra IKM

√ √

3 Peningkatan kualitas jaringan komunikasi dan transmisi data di area sentra IKM

√ √

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

j. Program Pengembangan Jaringan Sumber Daya Air

Dalam pembangunan sarana air bersih, Provinsi Sulawesi Selatan memanfaatkan sumber air baku dengan pembagian wilayah layanan berdasarkan zonasi pengembangan dari hulu hingga ke

wilayah pesisir. Dalam aspek pembangunan industri yang diarahkan pengembangannya melalui kawasan industri, penyediaan air bersih di kawasan tersebut harus menjadi bagian dari program pengembangan kawasan industri itu sendiri, sebagaimana disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Program Pengembangan Jaringan Sumber Daya Air di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No. ProgramTahun

2023 2028 2033 2038

1 Perencanaan dan koordinasi antar Dinas Binamarga, Dinas Pengairan, BPLH, dan PDAM Provinsi Sulawesi Selatan dalam penyusunan rencana penyediaan sumber daya air untuk mendukung pembangunan sentra IKM

2 Pembangunan sumber daya air untuk mendukung pembangunan industri di sentra IKM

√ √ √

3 Pembangunan konservasi sumber daya air √ √ √4 Peningkatan kualitas jaringan sumber daya air

terutama di area sentra IKM√ √ √

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14 No. 1 Juni 2019.

Page 109: e-ISSN 2477-0051

93Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

k. Program Pembangunan Infrastruktur/Sanitasi

Penjabaran program-program da-lam infrastruktur pengelolaan lingkungan

di Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Program Pembangunan Infrastruktur/Sanitasi di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No ProgramTahun

2023 2028 2033 20381. Perencanaan dan koordinasi antar BPLH, Dinas

Binamarga Provinsi Sulawesi Selatan, Bappeda, Dinas Pengairan, dan Dinas Kesehatan dalam penyusunan rencana penyediaan jaringan sanitasi:a) saluran buangan air hujan (drainase) dan b) saluran buangan air kotor (sewerage) di kawasan sentra IKM

2. Pembangunan jaringan sanitasi untuk mendukung pembangunan industri di sentra IKM

3. Peningkatan kualitas jaringan sanitasi terutama di area sentra IKM

4. Sosialisasi berkala kepada masyarakat dan dunia usaha pentingnya sanitasi

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

l. Program Pembangunan Transportasi

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa aspek transportasi khususnya berupa jaringan jalan dan pelabuhan sangat menentukan kuat dan lemahnya pembangunan industri. Oleh karena itu, dalam pembangunan industri kabupaten ini, pengembangan aspek transportasi ini khususnya jaringan jalan dan pelabuhan harus secara sinergi dituangkan dalam program-program untuk diupayakan secara

maksimal sehingga dapat terwujud. Aspek transportasi di Provinsi Sulawesi Selatan secara umum mencakup jalan, pelabuhan, dan ASDP.

Program-program prioritas pengembangan aspek transportasi di Provinsi Sulawesi Selatan yang telah diuraikan di atas yang berhubungan dengan pembangunan sektor industri dapat dilihat pada Tabel 16.

Analisis Kebijakan Rencana... (Zulkifli)

Page 110: e-ISSN 2477-0051

94Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Tabel 16. Program Pembangunan Transportasi di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No ProgramTahun

2023 2028 2033 20381 Peningkatan Jaringan Jalan

a. Pengawasan dan koordinasi antar Dinas Binamarga, BPLH, Dinas Perhubungan, Asperindo, DLLAJR, dan Organda dalam penyusunan rencana penyediaan prasarana transportasi untuk mendukung konek-tivitas dan sistem logistik di area sentra IKM Provinsi Sulawesi Selatan

b. Percepatan pembangunan jalan-jalan baru (khu-susnya yang menghubungkan lokasi IKM dengan sumber-sumber produksi bahan baku industri)

2 Peningkatan Kapasitas Pelabuhana. Pembangunan pelabuhan dan terminal

√ √ √

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

m. Program Pembangunan Sistem Infor-masi Industri

Dengan semakin berkembangnya industri di Provinsi Sulawesi Selatan, dibutuhkan dukungan yang kuat akan adanya arus informasi industri yang dapat memberikan arahan yang tepat dan akurat bagi para pelaku usaha dalam

menjalankan usaha industrinya. Sebuah sistem informasi industri yang mudah diakses, sesuai kebutuhan industri, dan ter-update informasinya sangat strategis untuk dibangun. Sistem informasi ini jika akurat akan menjadi stimulus pengembangan industri di Provinsi Sulawesi Selatan, sebagaimana disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Program Pembangunan Sistem Informasi Industri di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No. ProgramTahun

2023 2028 2033 20381 Penyusunan rencana induk (master plan) pengembangan

sistem informasi industri Provinsi Sulawesi Selatan√

2 Penentuan standar mengenai jenis data dan struktur database industri daerah Provinsi Sulawesi Selatan

3 Menyiapkan data dasar pada database industri daerah Provinsi Sulawesi Selatan

4 a) Penyiapan data centerb) Penyiapan perangkat kerasc) Pengembangan perangkat lunakd) Penyelenggaraan sosialisasi e) Penyelenggaraan diklat peningkatan kompetensi SDM

pengelola

√ √ √

5 a) Pengembangan model sistem industrib) Pengembangan decision support system, expert system,

business intellegence, dan knowledge management industri nasional

c) Penyusunan laporan hasil analisis industri secara periodik

d) Publikasi laporan hasil analisis industri

√ √

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14 No. 1 Juni 2019.

Page 111: e-ISSN 2477-0051

95Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

6 a) Kerjasama interkoneksi dengan badan dan dinasb) Kerjasama interkoneksi dengan pemerintah provinsic) Kerjasama interkoneksi dengan pusat

√√√

√√√

√√√

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

n. Program Pembangunan Infra-struktur Penunjang Standarisasi Industri

Daya saing produk industri saat ini dan ke depan sangat dipengaruhi oleh kualitas produksi dan konsistensinya.

Untuk menjaga konsistensi ini, maka diperlukan pengembangan standarisasi industri yang mampu memenuhi tuntutan terjaganya kualitas produk secara konsisten, sebagaimana disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18. Program Pembangunan Infrastruktur Penunjang Standarisasi Industri di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No ProgramTahun

2023 2028 2033 20381 Penyediaan dan pengembangan laboratorium

pengujian standar industri untuk IKM di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan bila memungkinkan

√ √ √ √

2 Kerja sama pengujian produk IKM Provinsi Sulawesi Selatan dengan Balai Riset dan Standardisasi Industri

√ √ √ √

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

o. Program Pemberdayaan Industri Kecil Menengah

Pembangunan industri daerah harus mewujudkan pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM) daerah. Untuk itu, harus

ada program-program pemberdayaan yang disusun untuk bisa memastikan berkembangnya IKM tersebut, sebagaimana disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Program Pemberdayaan Industri Kecil Menengah di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038

No. ProgramTahun

2023 2028 2033 20381 Pembinaan kemitraan dengan industri besar Provinsi

Sulawesi Selatan untuk dapat melibatkan IKM dalam rantai nilai industrinya

√ √ √

2 Meningkatkan akses IKM Provinsi Sulawesi Selatan terhadap pembiayaan, termasuk fasilitasi pembentukan pembiayaan bersama (modal ventura) IKM

√ √ √ √

3 Mendorong tumbuhnya kekuatan bersama sehingga terbentuk kekuatan kolektif untuk menciptakan skala ekonomis melalui standardisasi, procurement, dan pemasaran bersama

√ √ √ √

Analisis Kebijakan Rencana... (Zulkifli)

Page 112: e-ISSN 2477-0051

96Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

4 Perlindungan dan fasilitasi terhadap inovasi baru dengan mempermudah pengurusan hak kekayaan intelektual bagi kreasi baru yang diciptakan IKM √ √ √ √

5 Diseminasi informasi dan fasilitasi promosi dan pemasaran di pasar domestik dan ekspor √ √ √ √

6 Menghilangkan bias kebijakan yang menghambat dan mengurangi daya saing industri kecil √ √ √ √

7 Peningkatan kemampuan kelembagaan sentra IKM dan sentra industri kreatif, serta UPT dan TPL √ √ √ √

8 Kerjasama kelembagaan dengan lembaga pendidikan dan lembaga penelitian dan pengembangan; √ √ √ √

9 Kerjasama kelembagaan dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan/atau asosiasi industri serta asosiasi profesi

√ √ √ √

10 Pemberian fasilitas bagi IKM yang mencakup:a. Peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan

sertifikasi kompetensib. Bantuan dan bimbingan teknisc. Bantuan bahan baku dan bahan penolong serta mesin

atau peralatand. Pengembangan produke. Bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup untuk mewujudkan industri hijauf. Bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasarang. Penyediaan kawasan industri untuk IKMh. Pengembangan dan penguatan keterkaitan dan

hubungan kemitraan

√ √ √ √

Sumber: Hasil Pengolahan Data Tim, 2018

Disain program pengembangan industri Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038 yang disajikan pada Tabel 5 sampai dengan 19 merupakan hasil kompilasi dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT dan pelakasanaan focus group discussion.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian berkaitan dengan rencana pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

• Visi rencana pembangunan industri Provinsi Sulawesi Selatan tahun

2018-2038 adalah “Menjadikan sektor industri sebagai pilar perekonomian terdepan Sulawesi Selatan”

• Komoditas industri unggulan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038 adalah kakao, kopi dan markisa.

• Program pengembangan industri Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018-2038 adalah program pengembangan sumber daya manusia industri, program pengembangan dan pemanfaatan teknologi industri, program pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi, program pemberdayaan industri kecil menengah, program penyediaan sumber pembiayaan, program

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 14 No. 1 Juni 2019.

Page 113: e-ISSN 2477-0051

97Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

pembangunan infrastruktur penunjang standarisasi, program pemanfaatan, penyediaan, dan penyaluran sumber daya alam, program pembangunan sistem informasi industri, program pembangunan infrastruktur/ pengelolaan lingkungan, program penyediaan lahan untuk industri, program pengembangan jaringan energi dan kelistrikan, program pengembangan jaringan telekomunikasi, program pengembangan jaringan sumber daya air, program pembangunan infrastruktur/sanitasi dan program pembangunan transportasi.

SARAN

Dokumen Rencana Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2038 disarankan agar dapat dijadikan referensi bagi:

• Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi dalam merumuskan dan menformulasi kebijakan sektoral yang terkait dengan bidang perindustrian yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis di bidang tugas masing-masing sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi; dan

• Bupati/walikota dalam penyusunan rencana pembangunan industri kabupaten/kota.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan keuangan dari Anggaran Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2018, Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 989/III/2018 tentang Penunjukan Tim Ahli di Departemen Perindustrian Provinsi Sulawesi Selatan pada Tahun 2018.

DAFTAR PUSTAKA

1. Biro Pusat Statistik Nasional Dalam Angka. (2018). Biro Pusat Statistik Nasional.

2. Dinc M., Haynes K.E. (2005). Productivity, International Trade and Reference Area interactions in shift-share analysis: some operational notes. Growth Change 36: 374 -394.

3. Hood R. (1998). Economic Analysis : A Location Quotient, Primer Principal Sun Region Associates, Inc.

4. Irwanto. (2007). Focus Group Discussion: A Practical Introduction. Jakarta: Indonesian Obor Foundation.

5. Isserman, AM. (1977). The Location Quotient Approach for Estimating Regional Economic Impact, AIP Journal.

6. Krueger. (1988). Focus Groups: A practical guide for applied research. Sage, UK.

7. Miller. M.M, J.L.Gibson, & G.N Wright. (1991). Location Quotient Basic Tool for Economic Development Analysis Economic Development Review, 9(2);65

8. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 2013. (2013). Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013-2018 (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 No. 10)

9. Rigby DL, Anderson WP. (1993). Employment change, growth and productivity in Canadian manufacturing: an extension and application of shift-share analysis. Can J Reg Sci 16: 69 - 88

10. Sulawesi Selatan Dalam Angka. (2018). Biro Pusat Statistik Sulawesi Selatan

11. Stewart and Shamdasani. (1990). Focus Groups: Theory and Practices. Sage, UK.

12. Undang - Undang Nomor 3. (2014). Tentang Perindustrian.

13. Zulkifli K. (2017). Assessment Supply Chain Performance and Risk of Agricultural Commodities in South of Sulawesi. Available:http://ijsrm.in/index.php/ijsrm/article/view/747.

Analisis Kebijakan Rencana... (Zulkifli)

Page 114: e-ISSN 2477-0051

98Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

INDEx

A

asam empedu. 12asam fenolik 43, 44, 45, 46, 47Asam lemak 12, 18, 19Asap cair 51, 52, 53, 59

B

bakteri pathogen 41Bantaeng 79, 85biji kemiri 69, 70, 75, 76biodiesel 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77,

91botol plastik 13, 14, 18

C

cake kakao 28Cangkang 63, 64, 65, 66, 67, 68Composite Flour 2

D

desiccated coconut 1D-glukosa 35dietary fiber 29

E

enzim 12, 24, 31, 41

F

flavonoid xi, 28, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47

G

Gula 7, 40

H

hemiselulosa 30, 31, 51, 54, 64, 65

K

kadar air 1, 2, 3, 4, 5, 9, 13, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 33, 43, 70

Kakao 21, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 37, 40, 88

karbohidrat 1, 2, 3, 5, 6, 9karet 30, 35, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57,

58, 59, 60, 61kelapa sawit 35, 54, 55, 57, 59, 62, 63, 64,

65, 66, 67, 77kolesterol 6, 33, 35kopi 35, 78, 83, 84, 85, 86, 87, 96kue kering 4, 5

L

Luwu 21, 22, 85

M

margarin 3, 5, 7markisa 78, 83, 84, 85, 86, 87, 96Maros 78, 79mouthfeel 14

N

nutrisi xi, 41, 42

P

palawija 2Pektin 33Perkebunan 1, 11, 21, 22, 27, 28, 37, 39,

40, 42, 68, 80, 81, 87, 88phenyl propan 65pirolisis selulosa 51protein, karbohidrat 3, 9

R

roti manis 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9rumput laut 32, 34, 36

S

Sulawesi Utara 11, 19

T

teh putih Kaligua 42teh sorghum 43, 45, 46tepung ikan 2Tepung kelapa 1, 2, 3, 5, 7tepung terigu 2, 3, 4, 5, 6, 7Theobroma cacao 27, 28, 40

V

Virgin Coconut Oil 11, 19, 20

Page 115: e-ISSN 2477-0051

99Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

PETUNJUK PENULISAN

KETENTUAN UMUM• Artikel adalah Karya Tulis Ilmiah (KTI) atau makalah ilmiah, hasil penelitian, tinjauan, kajian, atau

ulasan dan komunikasi pendek yang dikemas secara sistimatis dan kritis, dibidang ilmu/aplikasi teknik (rekayasa) dan teknologi industri hasil perkebunan.

• Artikel belum pernah dipublikasikan pada jurnal ilmiah lain atau dipresentasikan pada pertemuan ilmiah, seminar dan semacamnya.

FORMAT PENULISAN• Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku dan lugas.• Artikel diketik pada kertas A4 huruf Arial font 11 spasi tunggal (kecuali dinyatakan lain) berkisar

antara 7-12 halaman. Batas marjin kiri 3,5 cm; kanan 2,5 cm; atas 3,0 cm; dan bawah 2,5 cm.• Judul, abstrak, dan kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia, diikuti dengan terjemahannya dalam

bahasa Inggris. Bila artikel ditulis dalam bahasa Inggris maka judul, abstrak, dan kata kunci diikuti dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

• Judul menggunakan huruf kapital bold dan terjemahannya dengan huruf biasa italik masing-masing dengan font 11 spasi tunggal berkisar antara 10 - 25 kata.

• Nama penulis dicantumkan dibawah judul diikuti dengan nama dan alamat institusi penulis beserta satu alamat pos-el korespondensi penulis dengan font 10 spasi tunggal. Nama penulis dicetak bold.

• Abstrak dibuat dalam satu paragraf menggunakan font 10 italik (paling banyak 150 kata dalam bahasa Inggris, dan 200 kata dalam bahasa Indonesia). Kata kunci dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk, paling banyak delapan kata.

• Sistimatika penulisan artikel hasil penelitian adalah Judul, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Metodologi, Hasil dan Pembahasan, Simpulan, Ucapan Terima Kasih (jika ada), dan Daftar Pustaka. Untuk tulisan bersifat teknik (rekayasa) dan tinjauan/ulasan ilmiah, selain Judul, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Simpulan dan seterusnya sistimatika penulisannya disesuaikan dengan isi artikel. Setiap paragraf ditulis dalam bentuk paragraf utuh tanpa dipenggal kedalam butir-butir (pointer). Misalnya untuk menuliskan urutan proses, komposisi bahan, perlakuan penelitian, standar, atau simpulan hasil penelitian atau kajian ilmiah.

• Sitasi pustaka dan sitasi teks mengacu pada Chicago Style (Scientific Style). Daftar Pustaka menggunakan font 10.

• Bila tahun publikasi pustaka tidak diketahui maka sebagai gantinya digunakan t.t atau n.d.• Contoh penulisan sitasi teks (Hidayat, 2001). Bila penulis pustaka lebih dari 2 (dua) orang maka

hanya nama penulis pertama yang ditulis diikuti dengan kata et al.• Contoh penulisan Daftar Pustaka:

1. Beckett, S. T. 2000. The Science of Chocolate. Cambridge UK: RSCP Paper backs.2. BSN. 1995. Mutu dan Cara Uji Gula Palma, SNI 01-3743-1995. Jakarta: Badan Standardisasi

Nasional.3. Budiarso, I. 2004. Minyak Kelapa: Minyak Goreng Paling Aman dan Paling Sehat. http://viladago.

blogsome.com/2005/12/20/minyak-kelapa (diakses 9 Maret 2008).4. Chau, K. V and Gaffney, J. J. 1990. A Finite Difference Model for Heat and Mass Transfer in

Products with Internal Heat Generation and Transpiration. J. Food Sc. 55 (2):484-487.5. Holland, F.A. 1984. Process Economics. In Perry’s Chemical Engineers Handbook. Robert

H.Perry and Don Green, eds. New York : McGraw Hill Inc.6. Republika. 2008. Harga Cengkeh Melonjak. 19 Nopember.7. Sukha, D.A. 2003. Potential Value Added Products from Trinidad and Tobago Cocoa. Proc.

of Seminar/Exhibition on The Revitalization of Trinidad and Tobago Cocoa Industry. Sept, 20. St.Agustine: APASTT-Faculty of Sci. and Agricult. UWI.

• Bila pustaka yang diacu di tulis oleh penulis yang sama dan dalam tahun yang sama, maka setiap pustaka disusun dengan membedakan tahun terbit dengan huruf abjad, misalnya ( 2012 a), (2012 b) dst.

• Tabel, gambar, dan grafik diberi nomor urut; ilustrasi tersebut harus jelas terbaca. Judul tabel ditulis disebelah atas tabel yang bersangkutan, sedangkan judul gambar dan grafik disebelah bawah ilustrasi masing-masing. Tabel dibuat hanya dengan menggunakan garis horisontal.

• Masing-masing judul bab diketik dengan huruf kapital, sedangkan judul sub-bab dan Ucapan Terima Kasih (jika ada) dengan huruf biasa, ketiganya diketik bold font 11.

Page 116: e-ISSN 2477-0051

100Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

• Acuan pustaka sedapat mungkin 80% merupakan terbitan 10 tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber acuan primer (jurnal ilmiah, prosiding, laporan hasil riset, dan paten).

• Kecuali judul, nama, dan alamat institusi penulis dan abstrak, naskah diketik dalam bentuk 2 (dua) kolom termasuk tabel, gambar, dan grafik (sepanjang memungkinkan). Ukuran font dan spasi tabel, gambar, dan grafik masing-masing font 10 spasi tunggal (atau menyesuaikan).Bila tidak memungkinkan, tabel, gambar, dan grafik menempati 2 (dua) kolom, agar ilustrasi tersebut dapat terbaca dengan jelas. Khusus untuk gambar dalam bentuk foto agar melampirkan negatifnya.

SELEKSI ARTIKEL• Proses seleksi meliputi: seleksi awal, penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Review (penelaahan) oleh

Mitra Bestari, dan persetujuan artikel. Proses penyuntingan dan review dapat berlangsung lebih dari satu kali dan bersifat anonim.

• Kriteria penilaian mencakup kesesuaian dengan persyaratan JIHP, derajat originalitas, konsep atau dasar pemikiran, alur penulisan, kedalaman ilmiah, unsur kebaruan dan inovasi, dan nilai manfaat/aplikasi hasil penelitian, kajian atau ulasan ilmiah tersebut.

• Redaksi berhak menolak, mengembalikan untuk diperbaiki atau mengedit kembali naskah tanpa merubah isi dan maksud artikel.

LAIN-LAIN• Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap setiap pernyataan dan pendapat ilmiah yang dikemukakan

penulis didalam artikelnya.• Artikel dapat disubmit melalui sistem ejurnal JIHP Makassar.

Page 117: e-ISSN 2477-0051