46

e-ISSN : 2656-8233

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: e-ISSN : 2656-8233
Page 2: e-ISSN : 2656-8233

i

e-ISSN : 2656-8233

Acta Holistica Pharmaciana is an official scientific journal published by School of Pharmacy Mahaganesha (Sekolah Tinggi Farmasi Mahaganesha-STF Mahaganesha) located in Denpasar, Bali, Indonesia. This Journal is a open access, peer-reviewed, and continuously published two times a year.

EDITOR IN CHIEF

Kadek Duwi Cahyadi, M.Si., Apt. (School of Pharmacy Mahaganesha) MANAGING EDITOR

Mahadri Dhrik, M.Farm.,Klin., Apt (School of Pharmacy Mahaganesha) BOARD OF EDITOR : Made Dwi Pradipta Wahyudi S., M.Sc., Apt (School of Pharmacy Mahaganesha) A. A. N. Putra Riana Prasetya, M. Farm. Klin., Apt (School of Pharmacy Mahaganesha)

Heny Dwi Arini, M. Farm., Apt. (School of Pharmacy Mahaganesha) Ni Ketut Esati, M. Si. (School of Pharmacy Mahaganesha) Elisabeth Oriana Jawa La, M. Si., Apt. (School of Pharmacy Mahaganesha)

LAY-OUT EDITOR

Putu Dian Marani K., M. Sc. In. Pharm., Apt. (School of Pharmacy Mahaganesha) PEER-REVIEWER Dewa Ayu Arimurni, M. Sc., Apt. (School of Pharmacy Mahaganesha) Agustina Nila Yuliawati, M. Pharm.Sci., Apt. (School of Pharmacy Mahaganesha)

Pande Made Desy R., M. Clin. Pharm., Apt. (School of Pharmacy Mahaganesha) Repining Tyas Sawiji, M. Si., Apt. (School of Pharmacy Mahaganesha)

EDITORIAL OFFICE

Jalan. Tukad Barito Timur, No. 57. Renon, Denpasar.Bali, 80226

Phone : (0361) 4749310 ; 082237088860

Homepage : https://ojs.farmasimahaganesha.ac.id

Page 3: e-ISSN : 2656-8233

ii

Vol : 1. No. 1. April 2019 e-ISSN : 2656-8233

DAFTAR ISI

Dewan Redaksi i Daftar Isi

ii

Research Article Formulasi tablet kunyah ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dengan variasi konsentrasi PVP sebagai bahan pengikat terhadap sifat fisik nya. Repining Tiyas Sawiji, Mimiek Murrukmihadi, Siti Aisyah

1-8

Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak Penderita Penyakit Pneumonia di Rumah Sakit Wirabuana Palu Periode Juli-Desember 2017 Viani Anggi, Alfrikson Sulemba

9-18

Analisis Kandungan Hidrokuinon dalam Krim Racikan Pencerah Wajah yang Beredar di Pasar Masomba Kota Palu Sulawesi Tengah dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Viani Anggi, Imelda Sanutu

19-24

Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Antipsikotik pada Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta Tahun 2017 Siwi Padmasari, Sugiyono

25-32

Review Article Kajian Pemanfaatan Tanaman Obat Tradisional di Indonesia sebagai Alternatif Pengobatan Malaria Elizabeth Oriana Jawa La, Putu Dian Marani Kurnianta

33-43

Page 4: e-ISSN : 2656-8233

ISSN 2656-8233 (media online) Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 1-8 DOI: -

1

RESEARCH ARTICLE

FORMULASI TABLET KUNYAH EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L.) DENGAN VARIASI KONSENTRASI

PVP SEBAGAI BAHAN PENGIKAT TERHADAP SIFAT FISIKNYA

Repining Tiyas Sawiji1,*, Mimiek Murrukmihadi2, Siti Aisyah3 1Program Studi Diploma 3 Farmasi, Sekolah Tinggi Farmasi Mahaganesha Denpasar, Bali,

2Fakultas Farmasi Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, 3Prodi Farmasi Fakultas Farmasi USB Surakarta, Jawa Tengah

ABSTRAK Bahan pengikat dapat mempengaruhi sifat fisik tablet kunyah. PVP

merupakan bahan pengikat sintetik yang berkemampuan sebagai pengikat kering. Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan salah satu tanaman obat herba yang berkhasiat sebagai antioksidan, antimual, dan antihipertensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh PVP sebagai bahan pengikat dan mengetahui konsentrasi PVP yang dapat menghasilkan formula terbaik, sehingga menghasilkan tablet kunyah ekstrak kelopak bunga rosella yang berkualitas. Ekstrak kelopak bunga rosella diperoleh dengan metode maserasi menggunakan alkohol 70%. Dalam penelitian ini dibuat tiga formula menggunakan bahan pengikat PVP dengan variasi konsentrasi PVP 5,0%, 7,5%, dan 10,0% menggunakan metode granulasi basah. Granul yang dihasilkan diuji sifat fisiknya meliputi waktu alir, sudut diam, dan susut pengeringan. Granul kemudian dicetak menjadi tablet. Tablet kunyah yang dihasilkan diuji sifat fisiknya meliputi keseragaman bobot, kekerasan, kerapuhan, dan tanggapan rasa. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan Kolmogorov-Smirnov, anava satu jalan, Tukey test menggunakan program SPSS 12.0 for windows dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PVP dengan berbagai variasi konsentrasi tidak berpengaruh terhadap keseragaman bobot akan tetapi berpengaruh terhadap kekerasan dan kerapuhan tablet kunyah. Konsentrasi PVP 5,0% merupakan formula yang terbaik, karena dengan konsentrasi PVP yang kecil sudah dapat memenuhi syarat sifat fisik dan evaluasi terhadap tanggapan rasa. Kata kunci: PVP, Rosella (Hibiscus sabdariffa L.), Tablet Kunyah

Detail riwayat artikel Dikirimkan: 25 Januari 2019 Direvisi: 25 Maret 2019 Diterima: 27 Maret 2019 *Penulis korespondensi Repining Tiyas Sawiji Alamat/ kontak penulis: Sekolah Tinggi Farmasi Mahaganesha Denpasar Jl. Tukad Barito Timur No. 57 Denpasar Bali E-mail korespondensi: [email protected] Petunjuk penulisan sitasi/ pustaka: Sawiji, RT, dkk. Formulasi tablet kunyah ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dengan variasi konsentrasi PVP sebagai bahan pengikat terhadap sifat fisiknya. Act Holis Pharm. 2019. 1 (1): 1-8.

PENDAHULUAN

Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L.)

yang dulunya hanya ditanam sebagai

penghias pagar rumah dan penghasil serat.,

kini kembali popular karena rosella

merupakan tanaman yang memiliki banyak

manfaat. Hampir seluruh bagian tanaman ini

dapat dimanfaatkan mulai dari buah, kelopak

bunga, dan daunnya. Kelopak bunga rosella

dapat diolah menjadi beberapa produk yang

memiliki nilai ekonomis cukup tinggi

diantaranya berupa manisan, teh herbal,

sirup, bahan minuman, pudding, sari buah,

selai, campuran salad dan merupakan

produk alami tanpa penambahan zat warna.

Secara empiris sebagai obat tradisional,

rosella berkhasiat sebagai obat batuk,

antioksidan, antihipertensi, antimikroba,

Page 5: e-ISSN : 2656-8233

Sawiji, dkk.

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 1-8 (2019)

2

mengatasi mual, dan sebagai antiseptik

(Maryani and Kristiana, 2008). Penelitian

sebelumnya telah dibuktikan bahwa ekstrak

daun rosella memiliki aktivitas antioksidan

fraksi heksan, eter, dan air terhadap 1,1

difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) (Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia, 2016) dan

ekstrak bunga rosella terbukti mempunyai

efek mukolitik pada mucus manusia (Iswari,

2007).

Sediaan tablet merupakan sediaan

yang paling banyak digunakan sebagai

pengobatan, salah satunya adalah tablet

kunyah. Sediaan ini tidak mengandung

bahan penghancur, lebih disukai oleh pasien

yang kesulitan dalam menelan tablet,

cenderung memiliki rasa yang enak sehingga

tidak memerlukan air minum (Voigt, 1995).

Tujuan pemberian sediaan tablet kunyah

adalah memberikan bentuk pengobatan yang

mudah digunakan bagi masyarakat yang

kesulitan dalam menelan obat utuh dan juga

anak-anak yang seringkali memberikan

perlawanan dalam menelan tablet (Lachman,

Lieberman and Kanig, 1994). Tablet kunyah

dibuat dengan cara dikempa, manitol,

sorbitol, atau sukrosa pada umumnya dapat

digunakan sebagai bahan pengisi (Agoes,

2012).

Komponen formulasi tablet terdiri

dari zat aktif dan zat tambahan, salah

satunya adalah bahan pengikat (Agoes,

2012). Fungsi bahan pengikat dalam

pembuatan tablet adalah untuk

meningkatkan kekompakkan dan kekerasan

tablet (Lachman, Lieberman and Kanig,

1994). Salah satu bahan pengikat yang

umumnya banyak digunakan dalam

pembuatan tablet adalah Polivinil Pirolidon

atau PVP. PVP merupakan bahan pengikat

yang berasal dari bahan sintetik dapat

digunakan dalam bentuk larutan dalam air

maupun alkohol, bahan ini juga dapat

digunakan sebagai pengikat kering

(Lachman, Lieberman and Kanig, 1994). PVP

banyak digunakan dalam formulasi

diantaranya dalam penelitian tablet kunyah

ekstrak daun mondokaki (Tabernaemontana

divaricata R. Br) dengan bahan pengikat PVP

dengan konsentrasi 5% lebih disukai

konsumen (Tatoda, 2008).

Tablet kunyah dibuat dengan metode

granulasi basah dengan berbagai variasi

konsentrasi bahan pengikat PVP dan bahan

pengisi menggunakan manitol. Tujuan dari

penelitian ini untuk membuat formulasi

tablet kunyah ekstrak kelopak bunga rosella

dengan memfokuskan pada pengaruh variasi

konsetrasi PVP (Polivinil Pirolidon) sebagai

bahan pengikat terhadap sifat fisik dan

respon rasa. Sehingga dapat ditentukan

konsentrasi PVP yang tepat dalam

menghasilkan formula yang terbaik.

METODE PENELITIAN

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini

adalah: timbangan listrik LS-GDT (shimadzu)

tipe mettle Toledo, mesin tablet single punch

Rickerman Korsch Berlin hardness tester

model AE-20 Aikho engineering tipe Erweka,

friabilator tester, stop watch, mortir, stamper,

jangka sorong, dan alat penunjang lainnya.

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini

adalah : ekstrak kelopak bunga rosella yang

diperoleh dengan metode maserasi

menggunakan pelarut etanol 70% (derajat

farmasetis) yang dikeringkan dengan aerosol

(derajat farmasetis) dan bahan tambahan

yaitu PVP, manitol, laktosa, Mg stearate, talk,

aspartam, dan akuades (derajat farmasetis).

Prosedur penelitian

1. Ekstraksi

Kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa

L.) dicuci bersih dan dikeringkan di dalam

Page 6: e-ISSN : 2656-8233

Formulasi tablet kunyah ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) ...

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 1-8 (2019)

3

oven pada suhu 40-500C. Simplisia yang

telah kering diserbuk menggunakan

penggiling atau blender, kemudian diayak

dengan ayakan no. 100. Serbuk rosella

kering ditimbang sebanyak 200 gram

dimaserasi dengan 1500 ml etanol 70% dan

digojok sekali-kali selama 5 hari. Ekstrak

maserasi rosella disaring, kemudian maserat

dipekatkan di dalam oven dengan suhu 450C

selama 2 hari hingga diperoleh ekstrak

kental.

2. Pembuatan Granul dengan Metode

Granulasi Basah

Penelitian dibuat dalam tiga formula

dengan perbedaan konsentrasi bahan

pengikat PVP yaitu 5,0%, 7,5%, dan 10,0%

(b/v) dan konsentrasi ekstrak yang sama

pada setiap komponen nya (lihat tabel 1).

Ekstrak kental yang diperoleh kemudian

ditambahkan aerosil yang bersifat sebagai

glidant. Zat aktif (ekstrak kelopak bunga

rosella) dan bahan pengisi (Laktosa) diaduk

hingga terbentuk serbuk kemudian

Tabel 1. Formulasi tablet kunyah ekstrak kelopak bunga rosela dengan berbagai konsentrasi PVP (untuk satu tablet dalam mg)

Bahan FI FII FIII

Serbuk ekstrak kering 440 440 440

Laktosa 250 250 250

Manitol 762,5 757,5 752,5

PVP 5% (0,2 ml/tab)

7,5% (0,2 ml/tab)

10% (0,2 ml/tab)

Mg stearat 3 3 3

Talk 27 27 27

Aspartam 7,5 7,5 7,5

Berat total 1500 1500 1500

ditambahkan manitol dan aspartam aduk

hingga homogen. PVP dikembangkan dengan

aquades, lalu sedikit demi sedikit

ditambahkan ke dalam campuran pertama

hingga terbentuk massa yang siap

digranulasi. Massa granul diayak dengan

ayakan 16 hasilnya dikeringkan di dalam

oven pada suhu 50oC sampai granul kering.

3. Pemeriksaan sifat fisik granul

3.1 Waktu alir granul

Sebanyak 100 gram granul ditimbang,

masukkan ke dalam corong yang ujung

tangkainya tertutup. Buka tutup corong

bersamaan dengan menghidupkan

stopwatch, biarkan granul mengalir

semuanya kemudian catat waktu yang

dibutuhkan granul mengalir sampai habis.

3.2 Sudut diam

Sebanyak 100 gram granul ditimbang,

masukkan dalam corong yang ujung

tangkainya tertutup. Buka tutup corong,

biarkan granul mengalir sampai habis. Ukur

tinggi dan diameter kerucut yang terbentuk.

Hitung sudut diam nya.

3.3 Susut pengeringan granul

Sebanyak 2 gram granul ditimbang

dalam botol timbang tertutup yang bobotnya

telah ditetapkan, kemudian masukkan ke

dalam almari pengering pada suhu 105oC

selama 1 jam dinginkan dalam eksikator

kemudian ditimbang hingga diperoleh bobot

tetap. Selisih berat sebelum dan sesudah

pengeringan adalah kandungan atau berat

air yang menguap (Voigt, 1995).

Page 7: e-ISSN : 2656-8233

Sawiji, dkk.

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 1-8 (2019)

4

4. Pembuatan Tablet Kunyah

Granul kering diayak kembali dengan

ayakan 18 kemudian tambahkan bahan lain

(talk dan Mg stearat) aduk sampai homogen.

Kemudian campuran granul dicetak dengan

mesin pencetak tablet single punch. Lalu

tablet yang didapat diuji sifat fisik nya.

5. Pemeriksaan sifat fisik tablet

5.1 Keseragaman Bobot

Keseragaman bobot ditetapkan dengan

menimbang 20 tablet satu persatu dan

dihitung bobot rata-rata tiap tablet. Tidak

boleh lebih dari dua tablet yang beratnya

masing-masing menyimpang dari bobot rata-

ratanya lebih besar dari harga yang

ditetapkan kolom A dan tidak boleh ada satu

tablet pun yang bobotnya menyimpang dari

bobot rata-rata lebih dari harga yang

ditetapkan pada kolom B.

5.2 Kekerasan tablet

Uji kekerasan tablet dapat ditetapkan

dengan cara ambil 20 tablet ukur kekerasan

menggunakan alat hardness tester satu

persatu. Tablet diletakkan pada ujung alat

dengan posisi vertikal kemudian atur skala

kekerasan pada titik nol, putar alat sehingga

mengakibatkan tablet hancur. Kekerasan

tablet ditunjukkan pada skala alat disaat

tablet tepat hancur dalam satuan kg.

Kekerasan minimum yang sesuai untuk

tablet adalah 4 kg (Ansel, 2008).

5.3 Kerapuhan

Timbang 20 tablet yang sudah

dibersihkan dari partikel debu yang

menempel pada neraca analitik, lalu

masukkan ke dalam friabilator tester dengan

kecepatan 25 rpm sebanyak 100 kali putaran

selama 4 menit. Keluarkan tablet bersihkan

dari debu yang terlepas, timbang kembali.

Hitung persentase kehilangan bobot sebelum

dan sesudah perlakuan.

5.4 Tanggapan rasa

Uji ini dilakukan dengan cara memilih

secara acak 20 responden berumur 18-25

tahun. Kemudian responden diminta

ketersediaannya untuk mencoba tablet

dengan cara dikunyah secara bergantian dan

kemudian responden diminta untuk

memberikan tanggapan penerimaan rasa

dari tablet kunyah ekstrak kelopak bunga

rosella. Tablet kunyah dinyatakan memenuhi

persyaratan (dapat diterima responden) bila

lebih dari 50% responden menyatakan dapat

menerima rasa tablet kunyah tersebut.

Respon rasa meliputi 3 kriteria yaitu tidak

enak, biasa, dan enak.

6. Analisa Data

Data yang diperoleh dari uji sifat fisik

tablet dianalisis menggunakan program SPSS

12.0 for windows. Dianalisis secara statistik

menggunakan Kolmogorov-Smirnov,

diteruskan dengan anava satu jalan,

dilanjutkan uji tukey test dengan taraf

kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Evaluasi Mutu Fisik Granul

Kualitas granul sangat berpengaruh

terhadap kualitas tablet yang dihasilkan. Uji

yang dilakukan pada granul adalah waktu

alir, sudut diam, dan susut pengeringan.

Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 2.

Bobot rata – rata

Penyimpangan bobot rata – rata (%)

A B

≤ 25 mg 15 % 30 %

26 – 150 mg 10 % 20 %

151 – 300 mg 7,5 % 15 %

≥ 300 mg 5% 10 %

Page 8: e-ISSN : 2656-8233

Formulasi tablet kunyah ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) ...

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 1-8 (2019)

5

1.1 Uji Waktu Alir Granul

Waktu alir adalah waktu yang

dibutuhkan sejumlah granul untuk mengalir

dalam suatu alat. Uji ini dapat dipakai untuk

menilai efektifitas bahan pelicin (Voigt,

1995). Granul dikatakan memiliki sifat alir

yang baik jika untuk 100 gram granul yang

diuji mempunyai waktu alir kurang dari 10

detik (Hadisoewignyo and Fudholi, 2013).

Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 2, formula

III mempunyai waktu alir lebih dari 10 detik

untuk 100 gram granul, sehingga granul yang

dibuat belum memenuhi persyaratan waktu

alir. Sifat alir ini dapat diperbaiki dengan

penambahan bahan pelicin yang dapat

menurunkan gesekan partikel (Voigt, 1995).

1.2 Uji Sudut Diam

Sudut diam adalah sudut yang dibentuk

oleh tumpukan serbuk terhadap bidang

datar setelah serbuk tersebut mengalir

secara bebas melalui suatu celah sempit.

Semakin kecil sudut diam maka semakin

baik sifat alir granulnya. Umumnya granul

dikatakan mengalir baik (free flowing)

apabila sudut diamnya lebih kecil dari 40o

(Lachman, Lieberman and Kanig, 1994).

Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 2, formula

II mempunyai sudut diam paling baik karena

memiliki sudut diam paling terkecil.

1.3 Uji Susut Pengeringan

Susut pengeringan granul dilakukan pada

granul yang telah dikeringkan dan siap

dicetak menjadi tablet. Susut pengeringan

granul yang baik tidak lebih dari 3-5%

(Voigt, 1995). Dari hasil penelitian ketiga

formula memiliki persyaratan sebagai granul

yang baik dimana susut pengeringan nya

sesuai dengan persyaratan yaitu antara 3-

5%. Hasil susut pengeringan dapat dilihat

pada Tabel 2.

Dapat disimpulkan dari ketiga formula

yang memiliki nilai terbaik pada ketiga uji

sifat fisik granul terdapat pada formula I

dengan konsentrasi PVP 5,0 %. Hal ini

dikarenakan pada formula I menggunakan

konsentrasi PVP yang paling kecil.

2. Evaluasi Sifat Fisik Tablet

Tujuan dilakukannya evaluasi tablet

adalah untuk mengetahui tablet kunyah yang

dihasilkan dapat memenuhi persyaratan

yang telah ditetapkan. Faktor terpenting

Uji Granul F I (PVP 5%) F II (PVP 7,5%) F III (PVP 10%)

Waktu alir (detik/100gr) ± SD (n = 10) 7,88 ± 0,23 8,14 ± 0,68 10,50 ± 0,30

Sudut diam (o) ± SD (n = 10) 27,45 ± 0,73 27,59 ± 0,83 29,45 ± 0,88

Susut pengeringan (%) ± SD (n = 3) 2,37 ± 0,11 2,79 ± 0,08 2,62 ± 0,17

Tabel 2. Hasil uji mutu fisik granul

Tabel 3. Data hasil uji evaluasi mutu fisik tablet kunyah

Evaluasi Tablet F I

(PVP 5%) FII

(PVP 7,5%) FIII

(PVP 10%)

Keseragaman bobot (mg) ± SD ; CV (%) (n = 20)

1491,90 ± 6,09 0,41

1488,50 ± 5,56 0,37

1492,55 ± 5,85 0,39

Kekerasan (Kg) ± SD (n = 20) 14,41 ± 0,87 15,04 ± 0,71 16,95 ± 0,60

Kerapuhan (%)± SD (n = 3) 0,198 ± 0,009 0,121 ± 0,005 0,096 ± 0,010

Page 9: e-ISSN : 2656-8233

Sawiji, dkk.

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 1-8 (2019)

6

dalam tablet kunyah adalah rasa. Karena

proses penghancuran tablet kunyah terjadi

dalam mulut dan proses pengunyahan

dibantu oleh gigi. Sediaan harus dibuat

dengan rasa nyaman dimulut sehingga

kepatuhan pasien tidak menurun.

Uji keseragaman bobot bertujuan untuk

mengetahui besarnya penyimpangan bobot

per tablet. Keseragaman bobot tablet

dikatakan baik jika nilai CV ≤ 5%.

Berdasarkan hasil uji yang diperoleh pada

tabel 4 dari formulasi I, II, dan III

keseragaman bobot tablet kunyah ekstrak

kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.)

memenuhi keseragaman bobot yang ada di

Farmakope Indonesia Edisi V yaitu tidak ada

satu tablet pun yang menyimpang dari bobot

rata-ratanya lebih dari 5% dan 10%. Hasil

analisis anova satu jalan keseragaman bobot

tablet didapatkan nilai signifikansi sebesar

0,055 ≥ 0,05 sehingga Ho diterima, artinya

perbedaan konsentrasi PVP tidak

mempengaruhi parameter keseragaman

bobot tablet kunyah yang dihasilkan.

Uji kekerasan tablet digunakan untuk

mengetahui kekuatan tablet secara

keseluruhan, agar tablet tidak terlalu rapuh

atau keras (Lachman, Lieberman and Kanig,

1994). Kekerasan tablet yang cukup serta

tahan terhadap penyerbukan dan

kerenyahan merupakan persyaratan penting

bagi penerimaan konsumen. Tablet harus

mempunyai kekerasan tertentu serta dapat

bertahan terhadap berbagai guncangan

mekanik pada saat pembuatan, pengepakan,

dan distribusi (Lachman, Lieberman and

Kanig, 1994). Dalam penggunaannya tablet

kunyah tidak mempermasalahkan tingginya

kekerasan, karena tablet kunyah terlebih

dahulu dihancurkan secara mekanis di dalam

mulut dengan proses pengunyahan

(Nugroho, 1995). Formula III memiliki

kekerasan yang paling besar, hal ini

disebabkan karena dengan adanya

peningkatan konsentrasi PVP dalam tablet

akan dapat meningkatkan kekerasan dan

waktu hancur tablet serta memperlambat

laju disolusi (Siregar, 2010). Uji Post Hoc Test

didapatkan nilai signifikansi lebih kecil dari

0,05 sehingga Ho ditolak, artinya bahan

pengikat PVP dengan konsentrasi 5%, 7,5%,

dan 10% berbeda secara nyata dalam hal

kekerasan tablet kunyah yang dihasilkan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh perbedaan

konsentrasi bahan pengikat sangat

berpengaruh terhadap kekerasan tablet.

Kerapuhan tablet merupakan ketahanan

fisik permukaan tablet terhadap suatu

guncangan selama proses pendistribusian

dan penyimpanan. Kerapuhan tablet yang

baik yaitu lebih kecil dari 0,8%

(Hadisoewignyo and Fudholi, 2013). Hasil

penelitian kerapuhan tablet formula I, II, dan

III tablet kunyah memenuhi persyaratan

karena memiliki angka kerapuhan kurang

dari 0,8%. Tabel 2 menunjukkan nilai

kerapuhan semakin menurun seiring

meningkatnya konsentrasi PVP sehingga

tablet tidak mudah rapuh meskipun dalam

penyimpanan yang cukup lama. Uji Post Hoc

Tabel 4. Uji Anova nilai signifikan dari uji mutu fisik tablet kunyah

Nilai F Nilai Sig.

Uji Keseragaman Bobot

3,046 ,055

Uji Kekerasan 65,247 ,000 *

Uji Kerapuhan 130,418 ,000 *

Tabel 5. Hasil uji Post hoc test tablet kunyah

Uji Sifat Fisik Tablet Kunyah

F1 : F2 F1 : F3 F2:F3

Keseragaman bobot

Kekerasan 0,025 0,000 0,000

Kerapuhan 0,000 0,000 0,019

Page 10: e-ISSN : 2656-8233

Formulasi tablet kunyah ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) ...

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 1-8 (2019)

7

Test dilihat dari ketiga formula tablet

kunyah, harga signifikansi lebih kecil dari

0,05 sehingga Ho ditolak, artinya bahan

pengikat mempengaruhi kerapuhan suatu

tablet.

Uji tanggapan rasa merupakan hal

yang sangat penting dalam menentukan

keberhasilan suatu formula, karena dapat

digunakan sebagai parameter penerimaan

tablet kunyah oleh konsumen. Evaluasi

tanggapan rasa dikatakan memenuhi

persyaratan apabila 50% responden

menyatakan dapat menerima rasa tablet

kunyah tersebut . Data tanggapan rasa pada

tabel 6, memperlihatkan adanya perbedaan

responden tentang rasa tablet kunyah yang

diuji. Sebagian besar konsumen dapat

menerima rasa dari ketiga formula. Formula

I dengan konsentrasi 5% merupakan

formula terbaik yang dipilih oleh

responden. Hal ini disebabkan pada Formula

I jumlah bahan pengisi manitol yang

digunakan lebih banyak sehingga

memberikan rasa yang lebih enak pada

tablet kunyah yang dihasilkan. Karena

manitol memiliki rasa yang khas (manis) dan

dingin.

Hasil penelitian ini sebanding dengan

penelitian yang dilakukan oleh (Riawati,

2013), dimana variasi konsentrasi bahan

pengikat PVP pada pembuatan tablet kunyah

attapulgit berpengaruh terhadap kekerasan,

kerapuhan, waktu hancur, dan rasa tablet

kunyah tetapi tidak berpengaruh terhadap

keseragaman bobot attapulgit dengan

metode granulasi basah.

KESIMPULAN

Hasil penelitian dari ketiga formula diatas,

menunjukkan bahwa Formula I dengan

konsentrasi PVP 5,0 % merupakan formula

yang terbaik, karena dengan konsentrasi PVP

yang paling kecil sudah dapat memenuhi

persyaratan sifat fisik tablet kunyah dan

evaluasi terhadap tanggapan rasa.

REFERENSI

Agoes, G. (2012) Sediaan Farmasi Padat.

pertama. Bandung: ITB.

Ansel, H. C. (2008) Pengantar Bentuk Sediaan

Farmasi. ed 4. Jakarta: UI Press.

Hadisoewignyo, L. and Fudholi, A. (2013)

Sediaan Solida. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Iswari, A. (2007) Formulasi tablet hisap

ekstrak bunga rosela (Hibiscus

sabdariffa L.) dengan kombinasi

manitol - laktosa. Universitas Gadjah

Mada.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

(2016) ‘Infodatin Malaria’, in. Jakarta.

Lachman, L., Lieberman, H. A. and Kanig, J. L.

(1994) Teori dan praktek farmasi

industri. 3rd edn. UI Press.

Maryani, H. and Kristiana, L. (2008) Khasiat

dan Manfaat Rosela. revisi. Agromedia

Pustaka.

Nugroho, A. (1995) Sifat fisik tablet kunyah

Tabel 6. Hasil evaluasi tanggapan rasa dan penerimaan tablet kunyah

Formula

Tanggapan responden terhadap rasa tablet kunyah Prosentase

diterima (%) Kesimpulan

Enak Biasa Tidak Enak

F I 20 - - 100 Diterima

F II 18 2 - 95 Diterima

F III 12 3 5 60 Diterima

Page 11: e-ISSN : 2656-8233

Sawiji, dkk.

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 1-8 (2019)

8

acetosal dengan bahan pengisi

kombinasi manitol - laktosa.

Universitas Gadjah Mada.

Riawati (2013) Formulasi tablet kunyah

attapulgit dengan variasi konsentrasi

bahan pengikat polivinil pirolidon

menggunakan metode granulasi basah.

Universitas Tanjungpura Pontianak.

Siregar, C. J. P. (2010) Teknologi Farmasi

Sediaan Tablet : dasar-dasar praktis.

Jakarta: EGC.

Tatoda, M. (2008) Perbandingan mutu fisik

tablet kunyah ekstrak daun mondokaki

(Tabernaemontana divaricata R. Br.)

dengan bahan pengikat PVP dan gom

arab menggunakan metode granulasi

basah. Universitas Seti Budi.

Voigt, R. (1995) Buku Ajar Teknologi Farmasi

Edisi V. Edisi V. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Page 12: e-ISSN : 2656-8233

9

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK PENDERITA PENYAKIT PNEUMONIA DI RUMAH SAKIT WIRABUANA PALU PERIODE JULI-DESEMBER 2017

Viani Anggi1,*, Alfrikson Sulemba2

1Program Studi Diploma 3 Farmasi STIFA Pelita Mas Palu, Sulawesi Tengah, 2STIFA Pelita Mas

Palu, Sulawesi Tengah

ABSTRAK Pneumonia adalah infeksi atau peradangan pada paru-paru yang terjadi

pada kantung udara (alveolus). Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya yang tinggi, tidak hanya di negara maju tapi juga di negara berkembang seperti Afrika Selatan dan Asia Tenggara. Penggunaan antibiotik bertujuan untuk mengobati penyakit infeksi sehingga penggunaannya sangat meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita penyakit pneumonia di Rumah Sakit Wirabuana Palu Periode Juli-Desember 2017. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yaitu dengan memberikan gambaran dengan cara yang akurat tentang Evalusi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak Penderita Penyakit Pneumonia di Rumah Sakit Wirabuana Palu Periode Juli-Desember 2017. Hasil penelitian menunjukan bahwa evaluasi penggunaan antibiotik berdasarkan tepat indikasi nilainya 100%, tepat obat nilainya 100%, tepat pasien 100% dan tepat dosis nilainya 94,28%. Pemberian antibiotik lebih mengutamakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu cefadroxil (14,3%), cefotaxime (48,6%), cefixime (20%) dan ceftriaxone (17,1%). Kata kunci: Evaluasi penggunaan obat, antibiotik, pasien pneumonia

Detail riwayat artikel Dikirimkan: 26 Februari 2019 Direvisi: 26 Maret 2019 Diterima: 2 April 2019 *Penulis korespondensi Viani Anggi Alamat/ kontak penulis: Sekolah Tinggi Farmasi Pelita Mas Jl. Wolter Monginsidi No.106 A, Lolu Sel., Palu Sel., Kota Palu, Sulawesi Tengah 94111 E-mail korespondensi: [email protected] Petunjuk penulisan sitasi/ pustaka: Anggi V, Sulemba A. Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita penyakit pneumonia di rumah sakit wirabuana palu periode juli-desember 2017. Act Holis Pharm. 2019. 1 (1): 9-18.

ISSN 2656-8233 (media online) Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 9-18 DOI: -

RESEARCH ARTICLE

PENDAHULUAN

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari

badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan

setiap orang hidup produktif secara sosial

dan ekonomi serta merupakan hal mendasar

bagi setiap hidup manusia. Anak merupakan

individu unik sebagai amanah dan karunia

Tuhan Yang Maha Esa yang membutuhkan

perhatian dan kasih sayang. Undang-Undang

Republik Indonesia No. 36 tahun 2009

tentang Kesehatan pada Bab VII bagian

kedua Pasal 132 Ayat 1 menyatakan bahwa

anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan

diasuh secara bertanggung jawab sehingga

memungkinkan anak tumbuh dan

berkembang secara sehat. Oleh karena itu,

sebagai orang tua harus memperhatikan dan

memenuhi kebutuhan anak dalam

pertumbuhan dan perkembangannya dan

memahami anak sesuai tahap

perkembangannya (Masuili, dkk. 2014.)

Pneumonia adalah infeksi atau

peradangan pada paru-paru yang terjadi

pada kantung udara (alveolus). Akibat angka

Page 13: e-ISSN : 2656-8233

Anggi dan Sulemba

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 9-18 (2019)

10

kematiannya yang tinggi, pneumonia

merupakan masalah kesehatan di dunia.

Masalah terkait pneumonia terjadi tidak

hanya di negara maju, tetapi juga di negara

berkembang seperti Afrika Selatan dan Asia

Tenggara. Insidensi pneumonia di dunia

sebesar 1,4 juta anak atau sekitar 18% anak

< 5 tahun setiap tahunnya meninggal akibat

pneumonia. Di negara-negara berkembang

pneumonia merupakan penyebab utama

kematian pada anak usia balita. Tahun 2012

sebanyak 1,1 juta anak meninggal karena

pneumonia, sebagian besar balita yang

meninggal berusia kurang dari 2 tahun.

Setiap tahun lebih dari 2 juta anak balita

meninggal disebabkan oleh pneumonia,

kejadian tersebut melebihi kejadian pada

penyakit AIDS, malaria, dan TBC (WHO,

2013).

Di Indonesia pneumonia berada pada

peringkat 10 besar penyakit penyebab

kematian bayi dan balita yang mencapai

22,23% setiap tahunnya (Kemenkes RI,

2017). Tahun 2012 kejadian pneumonia di

Indonesia pada balita mencapai 10%-20%

dengan angka kematian 6 per 1000 kelahiran

hidup. Kejadian pneumonia di Indonesia

merupakan kejadian ke-6 terbesar di dunia

(WHO, 2006). Pneumonia cenderung terjadi

pada anak laki-laki. Hal ini berdasarkan

beberapa pendapat bahwa dominasi

kejadian bronchiolitis yaitu pada anak laki-

laki yang dirawat 1,25-1,6 kali lebih banyak

dari perempuan atau sebanyak 63% yang

disebabkan berat badan lahir rendah, tidak

mendapatkan ASI eksklusif, tidak

mendapatkan imunisasi secara lengkap,

paparan asap rokok dan populasi, defisiensi

vitamin A dan gizi buruk (IDAI 2010).

Konsep penggunaan obat yang rasional

dalam beberapa tahun belakangan telah

menjadi topik perbincangan dalam berbagai

pertemuan tingkat nasional maupun

internasional. Pemilihan dan penggunaan

terapi antibiotika yang tepat dan rasional

akan menentukan keberhasilan pengobatan

untuk menghindari terjadinya resistensi

bakteri, dikarenakan antibiotik merupakan

obat yang paling banyak digunakan pada

infeksi yang disebabkan oleh bakteri

(Marsono, Yuda. 2015). Berbagai studi

menemukan bahwa sekitar 40-62%

antibiotik digunakan secara tidak tepat

antara lain untuk penyakit-penyakit yang

sebenarnya tidak memerlukan antibiotik.

Pada penelitian kualitas penggunaan

antibiotik di berbagai bagian rumah sakit

ditemukan 30%-80% tidak didasarkan pada

indikasi (Kemenkes RI, 2011).

Berdasarkan hal tersebut, peneliti

terdorong untuk melakukan penelitian

terhadap evaluasi penggunaan antibiotik

pada pasien anak penderita penyakit

pneumonia di Rumah Sakit Wirabuana Palu

periode Juli-Desember 2017.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis

penelitian deskriptif yaitu dengan

memberikan gambaran secara akurat

tentang evaluasi penggunaan antibiotik pada

pasien anak penderita penyakit pneumonia

di Rumah Sakit Wirabuana Palu. Hal ini

dilakukan agar dapat diketahui bagaimana

penggunaan antibiotik pada pasien anak

penderita penyakit pneumonia di Rumah

Sakit Wirabuana Palu periode Juli-Desember

2017. Data yang dikumpulkan dalam

penelitian ini yaitu penelitian berdasarkan

rekam medis pasien yang sesuai

karakteristik pasien yaitu usia, jenis kelamin,

dan diagnosa pasien. Kriteria yang

digunakan dalam menilai ketepatan obat

meliputi tepat obat, tepat indikasi, tepat

pasien dan tepat dosis. Penggunaan obat

dikatakan tepat indikasi yaitu perlu atau

tidaknya pemberian antibiotik pada pasien

anak penyakit pneumonia. Tepat obat

Page 14: e-ISSN : 2656-8233

Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita penyakit pneumonia ...

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 9-18 (2019)

11

berkaitan dengan kelas terapi dan jenis obat

berdasarkan pertimbangan manfaat,

keamanan, harga, dan mutu obat pada pasien

pneumonia. Tepat pasien yaitu ketepatan

pemberian antibiotik pada anak yang

disesuaikan dengan kondisi fisiologis dan

patologis pasien serta tidak memiliki

kontraindikasi pada pasien, yakni pasien

anak penyakit pneumonia. Tepat dosis yaitu

obat yang digunakan sudah sesuai dengan

dosis pemberian yang ditetapkan literatur.

Evaluasi penggunaan antibiotik pada

penelitian ini didasarkan pada standar terapi

menurut Pusat Informasi Obat Nasional.

Analisa Data

Analisis data dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara mencatat hasil

diagnosis atau terapi yang digunakan pada

pasien anak pneumonia. Setelah data

diperoleh, data dianalisis secara deskriptif

presentase. Data akan dinyatakan dalam

bentuk persentase yang dilakukan dengan

cara melihat dan mengevaluasi penggunaan

antibiotik kemudian dibandingkan dengan

standar yang ada, yaitu 4T 1W. Setelah

menganalisis data dalam bentuk persentase,

kemudian hasilnya akan disajikan dalam

bentuk tabel dan narasi.

1. Tepat indikasi

Persentase tepat indikasi dihitung dari

banyaknya kasus yang tepat indikasi dibagi

banyaknya kasus yang diteliti dikalikan

100%.

2. Tepat obat

Persentase tepat obat dihitung dari

banyaknya kasus yang tepat obat dibagi

banyaknya kasus yang diteliti dikalikan

100%.

3. Tepat pasien

Persentase tepat pasien dihitung dari

banyaknya kasus yang tepat pasien dibagi

banyaknya kasus yang diteliti dikalikan

100%.

4. Tepat dosis

Persentase tepat dosis dihitung dari

jumlah banyaknya kasus yang tepat dosis

dibagi banyaknya kasus yang diteliti

dikalikan 100%.

5. Waspada efek samping

Persentase waspada efek samping

dihitung dari jumlah banyaknya efek

samping yang timbul dibagi banyaknya kasus

yang diteliti dikalikan 100%.

Setelah menganalisis data dalam bentuk

persentase, kemudian hasilnya akan

disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

HASIL

Dari penelitian yang dilakukan, jumlah

pasien anak pneumonia di RS Wirabuana

Palu adalah 35 orang yang telah memenuhi

kriteria inklusi. Pada Tabel 1 dapat dilihat

karakteristik pasien anak pneumonia terdiri

dari jenis kelamin dan usia. Jenis kelamin

pria mendominasi persentase pasien anak

terbanyak yakni sebesar 65,71% dan sebesar

34,29% untuk anak dengan jenis kelamin

wanita. Kemudian hasil penelitian pada

Tabel 2 yang menunjukan besaran nilai

persentase antibiotik dan persentase bentuk

sediaan antibiotik yang digunakan oleh

pasien anak pneumonia di RS Wirabuana

Palu. Selain itu dilakukan analisis terhadap

Page 15: e-ISSN : 2656-8233

Anggi dan Sulemba

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 9-18 (2019)

12

cairan infus (Tabel 3) dan evaluasi

penggunaan antibiotik berdasarkan tepat

indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis

dan waspada efek samping pada Tabel 4.

PEMBAHASAN

1. Karakteristik pasien

1.1 Jenis kelamin

Berdasarkan hasil penelitian, pasien anak

penderita penyakit pneumonia di RS

Wirabuana Palu periode Juli-Desember 2017

lebih banyak terjadi pada anak dengan jenis

kelamin laki-laki dengan persentase 63,63%

dan untuk jenis kelamin perempuan sebesar

36,37%. Hal ini diperkuat dengan adanya

data pada tahun 2011 yang menyebutkan

bahwa penderita penyakit pneumonia

sebagian besar berjenis kelamin laki-laki.

Laki-laki lebih berisiko terkena pneumonia

akibat anak laki-laki lebih sering bermain di

luar rumah. Dengan demikian, anak laki-laki

mengalami keterpaparan udara lebih banyak

daripada anak perempuan yang dominan

bermain di dalam rumah (Suhandayani.

2006).

Jenis kelamin merupakan salah satu

faktor risiko pneumonia. Karakteristik

penderita penyakit pneumonia berjenis

kelamin laki-laki memiliki resiko lebih tinggi

yaitu sebesar 19% dibandingkan yang

berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar

18%. (Kemenkes RI 2013).

1.2 Usia

Berdasarkan hasil penelitian ini, pasien

anak penderita penyakit pneumonia di RS

Wirabuana Palu periode Juli-Desember 2017

berada pada rentang usia 0-11 tahun.

Kriteria usia pada penelitian ini dibagi

menjadi 2 bagian yaitu usia 0-5 tahun dan 6-

11 tahun, dimana penyakit pneumonia lebih

banyak terjadi pada rentang usia antara 0-5

tahun. Pneumonia lebih sering terjadi pada

anak usia <6 tahun yang berkaitan dengan

respon anak karena secara biologis sistem

pertahanan tubuh laki-laki dan perempuan

Tabel 1. Persentase karakteristik pasien anak pneumonia di RS Wirabuana Palu

NO KARAKTERISTIK N (35) PERSENTASE (%)

1 Jenis Kelamin Pria Wanita

23 12

65,71% 34,29%

2 Usia 0-5 tahun 6-11 tahun

24 11

68,5% 31,5%

Sumber: Data Rumah Sakit Wirabuana Palu

Grafik karakteristik berdasarkan jenis kelamin

Grafik karakteristik berdasarkan usia

Page 16: e-ISSN : 2656-8233

Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita penyakit pneumonia ...

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 9-18 (2019)

13

Tabel 2. Karakteristik distribusi antibiotik, bentuk sediaan pada pasien anak pneumonia di RS Wirabuana Palu

NO Antibiotik FREKUENSI (N

=35) PERSENTASE (%)

1 Distribusi Antibiotik Cefadroxil Cefotaxime Cefixime Ceftriaxone

5

17 7 6

14,3% 48,6% 20%

17,1%

Total 100 %

2 Bentuk Sediaan Antibiotik Sirup Injeksi Pulveres

5

23 7

14,3% 65,7% 20%

Total 100%

Sumber: Data Rumah Sakit Wirabuana Palu

Grafik karakteristik distribusi penggunaan antibiotik

Grafik karakteristik antibiotik berdasarkan bentuk sediaan

Tabel 3. Cairan elektrolit yang digunakan pada pasien anak pneumonia di RS Wirabuana Palu

NO JENIS CAIRAN ELEKTROLIT N PERSENTASE (%)

1 Ringer Laktat 32 91,42%

2 Dextrose 5 % 3 8,58%

Total 35 100

Sumber: Data Rumah Sakit Wirabuana Palu

Page 17: e-ISSN : 2656-8233

Anggi dan Sulemba

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 9-18 (2019)

14

berbeda. Organ paru pada perempuan

memiliki daya hambat aliran udara lebih

rendah dan daya hantar aliran udara yang

lebih tinggi. Sehingga, sirkulasi udara dalam

rongga pernapasan lebih lancar dan paru

terlindungi dari infeksi patogen (Uekert dkk,

2006).

2. Karakteristik antibiotik

2.1 Distribusi antibiotik

Berdasarkan dari karakteristik antibiotik

pada Tabel 2 nomor 1, dapat dilihat bahwa

Grafik karakteristik cairan elektrolit

Tabel 4. Evaluasi ketepatan (indikasi, obat, pasien, dosis & efek samping) penggunaan antibiotik pada pasien anak di RS Wirabuana Palu

KRITERIA KERASIONALAN

JUMLAH PENGGUNAAN PERSENTASE (%)

SESUAI TIDAK SESUAI

SESUAI TIDAK SESUAI

Tepat Obat 35 - 100 % -

Tepat Indikasi 35 - 100 % -

Tepat Pasien 35 - 100 % -

Tepat Dosis 35 - 100 % -

Waspada Efek Samping

35 - 100 % -

Sumber: Data Rumah Sakit Wirabuana Palu

Grafik evaluasi kerasionalan obat berdasarkan tepat obat, tepat indikasi, tepat pasien, tepat dosis, dan waspada efek samping

Page 18: e-ISSN : 2656-8233

Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita penyakit pneumonia ...

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 9-18 (2019)

15

antibiotik yang digunakan pada banyak

terapi anak umur 0 – 11 tahun di RS

Wirabuana palu adalah antibiotik golongan

sefalosporin generasi ketiga yaitu cefadroxil,

cefotaxime, cefixime dan ceftriaxone. Hal ini

dikarenakan antibiotik golongan

sefalosporin generasi ketiga lebih aktif

terhadap Enterobacteriaceae. Secara

kimiawi, cara kerja dan toksisitas antibiotik

golongan sefalosporin mirip dengan

penisilin. Oleh karena itu, antibiotik

golongan sefalosporin ini digunakan sebagai

alternatif bila terjadi hipersensitivitas

terhadap terhadap penisilin. Kemudian, pada

Tabel 2 nomor 1 juga menunjukan bahwa

antibiotik yang paling banyak digunakan

adalah cefotaxime karena cefotaxime lebih

aktif terhadap bakteri Gram negatif dan

Streptococcus pneumoniae/ Pneumococcus

(Fisher & Boyce, 2005).

2.2 Bentuk sediaan antibiotik

Pada Tabel 2 nomor 2, pemberian

antibiotik dalam bentuk injeksi mencapai

65,7% yang dilakukan pada anak penderita

penyakit pneumonia berat, dimana penderita

tidak dapat makan dan minum bahkan

muntah-muntah sehingga pemberian

antibiotik secara oral tidak memungkinkan.

Adapun pemberian antibiotik secara oral

yaitu dalam bentuk sirup dan puyer masing-

masing 14,3% dan 20% pada anak penderita

penyakit pneumonia tidak terlalu berat.

Kelompok ini tidak memiliki kesulitan dalam

menelan karena pemberian antibiotik secara

oral lebih aman (Pudjiaji dkk, 2009). Pada

Tabel 2 menunjukan bahwa pemberian

antibiotik dalam bentuk sediaan injeksi lebih

banyak daripada bentuk sediaan sirup dan

pulveres. Hal ini bertujuan untuk membantu

atau memudahkan pasien dalam menerima

distribusi antibiotik ketika mengalami

kesulitan dalam menelan dan juga untuk

mempercepat efek yang diinginkan dengan

cara merobek jaringan kulit atau selaput

lendir (Graber, MA. 2003).

2.3 Cairan elektrolit

Cairan elektrolit biasanya digunakan

sesuai dengan kondisi pasien. Pemberian

cairan elektrolit digunakan untuk menjaga

keseimbaangan cairan tubuh pasien.

Keseimbangan elektrolit berpengaruh

terhadap kinerja sel-sel dan organ tubuh

agar bekerja optimal. Pada tabel distribusi

cairan elektrolit (tabel 3), ditunjukan bahwa

penggunaan cairan elektrolit seperti Ringer

Laktat (RL) sebanyak 91,42% dan Dextrose

5% sebanyak 8,58% sangat dibutuhkan

dalam proses pengobatan penyakit

pneumonia pada anak. Pemberian cairan

Ringer Laktat berfungsi sebagai cairan

elektrolit untuk menjaga keseimbangan

elektrolit dalam tubuh dan sebagai air untuk

hidrasi dimana pasien anak penderita

penyakit pneumonia sering mengalami

kesulitan dalam menelan. Sedangkan

pemberian pemberian cairan Dextrose 5%

bertujuan untuk memasok glukosa dalam

tubuh yang berfungsi sebagai sumber energi

(Anwari, 2007).

2.4 Evaluasi penggunaan antibiotik

a) Tepat indikasi

Ketepatan indikasi pada panggunaan

antibiotik dilihat dari ketepatan

memutuskan pemberian obat yang

sepenuhnya berdasarkan alasan medis dan

terapi farmakologi yang benar-benar

diperlukan. Menurut data RS Wirabuana Palu

periode Juli-Desember 2017, pneumonia

memenuhi kriteria tepat indikasi terhadap

antibiotik yang didistribusikan karena sesuai

dengan tanda-tanda yang tercantum dalam

rekam medik dan hasil diagnosa yang

menunjukan bahwa perlu adanya terapi

antibiotik. Pemakaian antibiotik tanpa

didasari bukti infeksi dapat menyebabkan

Page 19: e-ISSN : 2656-8233

Anggi dan Sulemba

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 9-18 (2019)

16

meningkatkan insiden resistensi maupun

potensi Reaksi Obat Berlebihan (ROB)

(Depkes, 2005). Pemberian antibiotik pada

35 pasien anak penderita penyakit

pneumonia tanpa penyakit penyerta di RS

Wirabuana Palu dari umur 4 bulan – 11

tahun periode Juli-Desember 2017, 100%

tepat indikasi.

b) Tepat obat

Berdasarkan diagnosis yang tepat, maka

harus dilakukan pemilihan obat yang tepat.

Tepat obat berkaitan dengan kelas terapi dan

jenis obat berdasarkan pertimbangan

manfaat, keamanan, harga, dan mutu obat

pada pasien penderita penyakit pneumonia.

Pemilihan jenis obat yang tidak tepat, dapat

menyebabkan pengobatan yang tidak sesuai

dengan indikasi dan dapat menimbulkan

efek samping bahkan gejala-gejala yang

dapat berakibat fatal (Gunawan, 2007).

Ketepatan pemilihan obat harus berdasarkan

pedoman dan diagnosis pneumonia.

Antibiotik golongan sefalosporin generasi

ketiga merupakan antibiotik yang paling

banyak diresepkan yaitu cefadroxil (14,3%),

cefotaxime (48,6%), cefixime (20%) dan

ceftriaxone (17,1%). Pengobatan untuk

pasien pneumonia diberikan antibiotik yang

efektif terhadap organisme tertentu (Price &

Wilson, 2006).

c) Tepat pasien

Ketepatan pasien ialah ketepatan

pemilihan obat yang mempertimbangkan

keadaan pasien sehingga tidak menimbulkan

kontraindikasi kepada pasien secara

individu. Evaluasi ketepatan pasien pada

penggunaan antibiotik dilakukan dengan

membandingkan kontraindikasi obat yang

diberikan dengan kondisi pada data rekam

medik. Dari penelitian yang dilakukan

terhadap 35 data rekam medik pasien

pneumonia diperoleh nilai penggunaan obat

berdasarkan tepat pasien bernilai 100%.

Semua obat yang diresepkan pada pasien

pneumonia di RS Wirabuana Palu periode

Juli-Desember 2017 sesuai dengan keadaan

patologi dan fisiologi pasien serta tidak

menimbulkan kontraindikasi pada pasien.

d) Tepat dosis

Kriteria tepat dosis yaitu tepat dalam

frekuensi pemberian, dosis yang diberikan,

dan jalur pemberian obat kepada pasien. Bila

peresepan antibiotik berada pada rentang

dosis minimal dan dosis perhari yang

dianjurkan, maka peresepan dikatakan tepat

dosis. Dikatakan dosis kurang atau dosis

terlalu rendah adalah apabila dosis yang

diterima pasien berada dibawah rentang

dosis terapi yang seharusnya diterima

pasien. Dosis yang terlalu rendah dapat

menyebabkan kadar obat dalam darah

berada dibawah kisaran terapi, sehingga

tidak dapat memberikan respon yang

diharapkan. Sebaliknya, dosis obat yang

terlalu tinggi dapat menyebabkan kadar obat

dalam darah melebihi kisaran terapi

menyebabkan keadaan toksisitas.

Pada data ketepatan dosis, penggunaan

antibiotik untuk tepat dosis semuanya sudah

sesuai dengan standar yang dianjurkan dan

tidak menemukan kesalahan pemberian

dosis. Hal ini dapat dilihat pada pada Tabel 4

yang menunjukkan bahwa tidak terdapat

satu pun kesalahan pemberian dosis,

sehingga untuk evaluasi ketepatan dosis

antibiotik di Rumah Sakit Wirabuana Palu

mencapai 100%.

e) Waspada efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan

efek samping yaitu semua efek yang tidak

diinginkan yang timbul dan dapat

membahayakan atau merugikan pasien

(adverse reactions) akibat penggunaan obat

dengan dosis terapi tertentu (Swestika,

2013). Masalah efek samping tidak bisa

Page 20: e-ISSN : 2656-8233

Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien anak penderita penyakit pneumonia ...

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 9-18 (2019)

17

dikesampingkan karena dapat menimbulkan

berbagai dampak dalam penggunaan obat

baik dari sisi ekonomi, psikologi, dan

keberhasilan terapi. Evalusi efek samping

obat yang diberikan pada pasien anak

penderita penyakit pneumonia di Rumah

Sakit Wirabuana Palu periode Juli-Desember

2017 dapat dilihat dari efek samping yang

ditimbulkan oleh obat yang digunakan.

Persentase pengunaan obat berdasarkan

waspada efek samping diperoleh nilai 100%

sudah sesuai (tidak menimbulkan efek

samping). Hal ini dapat dilihat dari Tabel

4.10 dimana penggunaan antibiotik pada

pasien anak penderita penyakit pneumonia

di Rumah Sakit Wirabuana Palu periode Juli-

Desember 2017 tidak menimbulkan efek

samping.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang

evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien

penderita penyakit pneumonia di Rumah

Sakit Wirabuana Palu periode Juli-Desember

2017 dapat disimpulkan bahwa dari 35

pasien terdapat 35 pasien (100%) yang tepat

indikasi, 35 pasien (100%) tepat obat, 35

pasien (100%) tepat pasien dan tepat dosis

sebanyak 35 pasien (100%). Sehingga

didapatkan pemberian antibiotik yang

rasional sebanyak 100% dari total 35 pasien

anak pneumonia usia 0-11 tahun di Rumah

Sakit Wirabuana Palu periode Juli-Desember

2017.

REFERENSI

Anwari, I. 2007. Cairan Tubuh, Elektrolit dan

Mineral,Halaman2.http://

www.pssplab.com/journal/01.pdf

(Diakses tanggal 17 April 2018)

Depkes, 2005. Pharmaceutical Care Untuk

Infeksi Saluran Pernapasan, Hal 27-34.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, Jakarta

Fisher, G. R., dan Boyce, G. T, 2005.

Pneumonia Syndromes. Pediactric

Infection Diseases. A Problem-Oriented

Approach. Fourth Edition. Lippincot

Williams & Wilkins. USA

Gunawan, S. G, 2007. Farmakologi dan

Terapi, Edisi 5, Hal 667-719. Penerbit

FKUI, Jakarta

Graber, MA. 2003. Terapi Cairan, Elektrolit

dan Metabolik. Edisi 2. Framedia.

Jakarta.

IDAI. 2010. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak

Indonesia: Asuhan Nutrisi Pediatrik.

Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman

Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta :

Kemenkes RI

Kementerian Kesehatan RI. 2017. Profil

Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta:

Kemenkes RI

Marsono, Yuda. 2015. Thesis. Evaluasi

Penggunaan Antibiotik Pada Pasien

Pneumonia Dengan Metode Gyssens Di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Umum Daerah Dokter Moewardi

Surakarta Tahun 2013. Surakarta:

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pudjiaji, A. H., Hegar, B., Handryastuti, S.,

Idris, N. S., Gandaputra, E. P.,

Harmoniati E. D. 2009. Pneumonia.

Pedoman Pelayan Medis. Ikatan Dokter

Indonesia. Jakarta

Price, S. A & Wilson, L. M, 2006. Patofisiologi

Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,

Edisi 6, diterjemahkan oleh Braham U.

Jakarta: Kedokteran EGC

Suhandayani. 2006. Hubungan Berat Badan

Lahir dan Kejadian ISPA pada Balita.

Jakarta: Bascom World.

Uekert, S. J., Akan, M. Evans, Z. Li, K. Roberg,

C. Trisler, D. Dasilva, E. Anderson, R.

Gangnon, D. B. Allen, J. E. Gern, R. F.

Lemanske. 2006. Sex-Related

Differences in Immune Development

Page 21: e-ISSN : 2656-8233

Anggi dan Sulemba

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 9-18 (2019)

18

and The Expression of Atopy in Early

Chilhood. J Allergy Clin Immunol 118; 6;

1375-1381.

WHO, UNICEF. 2006. Pneuomonia: The

Forgotten Killer of Children. WHO

Press; 2006.

World Health Organisation, 2013.

Pneumonia: Fact Sheet. Geneva.

Diaskes 9 September 2017.

Page 22: e-ISSN : 2656-8233

19

ANALISIS KANDUNGAN HIDROKUINON DALAM KRIM RACIKAN PENCERAH WAJAH YANG BEREDAR DI PASAR MASOMBA KOTA PALU SULAWESI TENGAH DENGAN METODE KROMATOGRAFI

LAPIS TIPIS (KLT)

Viani Anggi1,*, Imelda Sanutu2

1Program Studi Diploma 3 Farmasi STIFA Pelita Mas Palu, Sulawesi Tengah, 2STIFA Pelita Mas

Palu, Sulawesi Tengah

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang analisis kandungan Hidrokuinon dalam

krim racikan pencerah wajah yang beredar di pasar Masomba Kota Palu dengan metode kromatografi Lapis Tipis. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak kandungan Hidrokuinon yang terdapat dalam krim racikan tersebut dan untuk mengetahui berapa kandungan yang terdapat dalam krim racikan tersebut dengan metode kromatografi lapis tipis. Penelitian ini menggunakan pustaka metode ACM INO 03 dengan parameter identifikasi menggunakan metode kromatografi lapis tipis menggunakan 3 sampel krim racikan pencerah wajah yang beredar di pasar Masomba. Teknik analisis data yang digunakan untuk menganalisis krim racikan pemutih menggunakan kromatografi lapis tipis, selanjutnya setelah didapatkan hasil analisis data dilakukan teknik pengolahan data dengan membandingkan hasil kualitaf dan kuantitatif yang diperoleh dari BPOM kota Palu dengan standar PERMENKES RI No.445/menkes/per/v/1998 tentang standar kandungan Hidrokuinon dalam krim pencerah wajah. Hasil yang diperoleh dari penelitian kualitatif yaitu krim pencerah wajah yang beredar di kota Palu tidak mengandung Hidrokuinon,jumlah kandungan hidrokuinon pada krim pencerah wajah yang beredar di pasar masomba tidak mengandung hidrokuinon. Kata kunci: Analisis kandungan, hidrokuinon, krim pencerah wajah, kromatografi lapis tipis (KLT)

Detail riwayat artikel Dikirimkan: 26 Februari 2019 Direvisi: 28 Februari 2019 Diterima: 28 Februari 2019 *Penulis korespondensi Viani Anggi Alamat/ kontak penulis: Sekolah Tinggi Farmasi Pelita Mas Jl. Wolter Monginsidi No.106 A, Lolu Sel., Palu Sel., Kota Palu, Sulawesi Tengah 94111 E-mail korespondensi: [email protected] Petunjuk penulisan sitasi/ pustaka: Anggi V, Sanutu I. Analisis kandungan hidrokuinon dalam krim racikan pencerah wajah yang beredar di pasar masomba kota palu sulawesi tengah dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT). Act Holis Pharm. 2019. 1 (1): 19-24.

ISSN 2656-8233 (media online) Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 19-24 DOI: -

RESEARCH ARTICLE

PENDAHULUAN

Kulit merupakan bagian terluar dari

tubuh manusia yang paling sensitif terhadap

berbagai faktor dari luar maupun dari dalam

contoh pengaruh dari luar yaitu udara, sinar

matahari, dan penggunaan bahan kimia

seperti krim ataupun lotion, sedangkan

pengaruh dari dalam yaitu makanan dan

penggunaan obat-obatan. Jika kulit tidak di

berikan perawatan yang baik maka akan

terjadi beberapa faktor yang tidak

diinginkan seperti kerusakan pada kulit,

alergi, dan bahkan kanker kulit. Oleh sebab

itu semua hal yang berkaitan dengan kulit

harus di perhatikan terutama pada

penggunaan-penggunaan kosmetik seperti

krim pencerah wajah yang sering digunakan

pada kebanyakan wanita pada umumnya.

(Carissa, 2015)

Kosmetik adalah bahan yang digunakan

untuk mempercantik penampilan terutama

pada wanita .kosmetik yang saat ini tren di

Page 23: e-ISSN : 2656-8233

Anggi dan Sanutu

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 19-24 (2019)

20

kalangan para wanita yang digunakan untuk

memutihkan wajah yaitu krim racikan. Krim

racikan saat ini banyak di jual di berbagai

tempat bahkan di pasaran dan yang menjual

krim racikan tersebut tidak mengetahui apa

saja zat-zat yang membahayakan yang

terkandung dalam krim racikan tersebut dan

dengan sengaja menjual tanpa pengawasan

dari Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM) dan tidak memiliki izin edar seperti

sampel krim yang kami peroleh dari pasar

masomba Kota Palu. Hidrokuinon adalah

bahan atau sediaan yang digunakan pada

bagian luar tubuh seperti kullit fungsinya

untuk menangani hiperpigmentasi.

Hiperpigmentasi yaitu penggelapan pada

bagian-bagian kulit seperti bekas jerawat,

bekas luka, atau bintik-bintik coklat akibat

paparan sinar matahari (Irnawati,

Muhammad Handoyo, Wa Ode Nur Dewi,

2016).

Hidrokuinon menurut standar terapi dari

WHO (World Health Organization) tidak

melebihi 2%, tidak boleh dijual bebas dan

pada tahun 2008 hanya diperbolehkan untuk

dosis terapi menghilangkan flek sebanyak

0,03% untuk pengobatan tanpa resep dokter.

Dari latar belakang di atas peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian tentang analisis

kandungan hidrokuinon dalam racikan

pencerah wajah yang beredar di pasar

Masomba Kota Palu. Sebelumnya belum

pernah dilakukan penelitian tentang

kandungan Hidrokuinon dalam krim racikan

pencerah wajah dengan metode

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) di pasar

Masomba Kota Palu.

METODE PENELITIAN

Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya

kandungan Hidrokuinon yang terdapat

dalam krim pemutih yang beredar di

pasar Masomba Kota Palu dengan metode

Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

2. Untuk mengetahui berapa kandungan

Hidrokuinon yang terdapat dalam krim

pemutih yang beredar di pasar Masomba

Kota Palu dengan metode Kromatografi

Lapis Tipis (KLT)

Rumusan masalah

1. Apakah krim pemutih wajah yang beredar

di pasar masomba kota Palu mengandung

hidrokuinon?

2. Berapakah jumlah kandungan hidrokuinon

pada krim pemutih wajah yang beredar di

pasar masomba kota Palu?

Manfaat penelitian

Dapat memberikan informasi tentang

krim racikan yang diperjual belikan apakah

mengandung hidokuinon atau tidak dan

memiliki izin dari BPOM agar peredaran zat

berbahaya tidak di jual secara bebas.

METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian

Alur penelitian adalah suatu rangkaian

kegiatan secara sistematis untuk mengetahui

hasil penelitian.Kegiatan ini dimulai dari

perencanaan untuk melakukan tahap

penelitian.

Waktu dan tempat penelitian

1. Waktu

Adapun waktu pelaksanaan penelitian

pada bulan Juli Tahun 2018 sampai dengan

selesai.

2. Tempat

Penelitian dilaksanakan di laboratorium

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

di Kota Palu.

Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel menggunakan

metode purposive sampling, yaitu

Page 24: e-ISSN : 2656-8233

Analisis kandungan hidrokuinon dalam krim racikan pencerah wajah ...

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 19-24 (2019)

21

pengambilan sampel dengan alasan tertentu

dimana sampel yang di ambil ini merupakan

krim yang banyak digunakan dan tidak

memiliki nomor registrasi.

Alat dan bahan

Dalam penelitian ini, alat, bahan adalah

sebagai berikut:

1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian

ini adalah alat-alat gelas yang umum di

laboratorium: beaker glass (pyrex), neraca

analitik (Adam pw 254), pipet tetes, spatula,

hot plate, kertas saring, labu ukur 25 mL

(pyrex), plat silika GF, bejana kromatografi

(chamber), lampu UV, pengaduk kaca, dan

gelas ukur.

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah 3 sampel krim racikan,

HCL 1 N, etanol 95%, fase diam: silika gel GF

254, fase gerak: Toluen (asam asetat glasial)

dengan perbandingan 80:20.

Cara kerja

Prosedur kerja dengan metode

kromatografi lapis tipis menggunakan

pustaka Metode ACM INO 03 yaitu pertama

di siapkan reagent : etanol, n-heksan, aceton,

toulen, spray, nitrat perak, asam

phospholytic, asam glasier, ammonium

hidroksida 25%, pelarut pengembang, zat

hidrokuinon, aquades 5%. Setelah itu tahap

persiapan sampel pertama ditimbang

dengan akurat sekitar 1,5 gr sampel ke

dalam gelas kimia 25 ml, lalu tambahkan

secara bertahap 15 ml etanol 96% dan

campurkan, kemudian tambahkan ke 25 ml

labu volumetric, setelah itu dilakukan

penyeragaman bobot di lemari ultrasonic

selama 10 menit dan didinginkan10 menit

setelah itu keluarkan dari lemari es lalu

saring menggunakan kertas saring. Setelah

itu lanjut ke tahap persiapan larutan standar,

pertama timbang sekitar 0,5 gr hidrokuinon

ke dalam 50 ml labu volumetrik, kemudian

tambahkan 25 ml fase gerak dan kocok

hingga homogen, kemudian tambahkan fase

gerak hingga tanda batas volume lalu

encerkan dan tambah fase gerak hingga

volume dari campuran. Setelah itu tahap

persiapan sampel pertama-tama timbang

dengan akurat 1 gr sampel ke dalam gelas

kimia 25 ml lalu tambahkan secara bertahap

25 ml fase gerak dan aduk sampai homogen

lalu transfer ke dalam 50 ml labu volumetric

kemudian letakkan labu dalam penangas air

pada suhu 60o C selama 15 menit dan

dinginkan dalam suhu ruangan lalu

tambahkan fase gerak hingga volume

campuran kemudian lakukan penentuan

filtrat dengan kromatografi lapis tipis dalam

waktu kurang dari 24 jam.

Setelah itu diatas plat kaca tipis

ditotolkan larutan uji, larutan baku, dan

larutan uji ditambahkan larutan baku

larutan dengan volume penotolan masing-

masing sebanyak 30 mL dengan

menggunakan mikro pipet 10 mL dengan

jarak 2 cm dari bagian bawah Kemudian plat

kaca tipis dimasukkan kedalam chamber

yang berisi fase gerak yaitu toluen: asam

asetat glasial dengan perbandingan (80-20).

Kemudian dibiarkan fase gerak (pelarut)

naik ke atas, kemudian plat kaca diangkat

dan dikeringkan. Untuk mengetahui lokasi

dari noda dapat di lihat dengan

menggunakan cahaya UV pada panjang

gelombang 254 nm.

Teknik analisis data

Data akan didapat setelah dilakukan

analisa pada sampel krim pemutih. Dimana

data akan didapat setelah sampel krim

pemutih wajah melalui proses identifikasi

dan ditentukan kadar hidrokuinonnya yang

Page 25: e-ISSN : 2656-8233

Anggi dan Sanutu

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 19-24 (2019)

22

diuji dengan metode Kromatografi Lapis

Tipis (KLT). Data yang telah diperoleh

melalui metode KLT akan dipaparkan

hasilnya berdasarkan analisa kurva

kalibrasi.

Bila nilai Rf sampel sama dengan nilai Rf

baku, berarti sampel tersebut mengandung

hidrokuinon (Depkes RI, 1995).

1. Teknik pengolahan data

Selanjutnya data yang didapatkan

dilakukan dengan analisis regresi dan Anova

untuk melihat berapa kandungan

hidrokuinon dari sampel tersebut, dimana

regresi berfungsi untuk menguji sejauh

mana hubungan sebab akibat antara variabel

faktor penyebab dilambangkan dengan (X)

terhadap variabel akibatnya dilambangkan

dengan (Y) atau disebut juga respon.

Sedangkan Anova digunakan sebagai alat

analisis untuk menguji hipotesis penelitian

yang mana menilai adakah perbedaan

merata antara kelompok. Hasil akhir dari

analisis Anova adalah nilai F-test atau F-

hitung. Nilai F-hitung yang nantinya akan

dibandingkan dengan nilai pada tabel F, jika

nilai F-hitung lebih dari F-tabel maka dapat

disimpulkan bahwa menerima H1 dan

menolak H0.

2. Kriteria inklusi

Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini

antara lain.

1. Krim racikan

2. Sampel krim yang tidak memiliki izin

BPOM

3. Sampel krim diperoleh dari pasar

Masomba Kota Palu

Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah variabel

tunggal yaitu mengetahui ada tidaknya

kandungan hidrokuinon dalam krim yang

diperoleh dari pasar Masomba Kota Palu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian

Dari tabel 1 berikut ini didapatkan hasil

pengujian secara kualitatif dengan

menggunakan metode Kromatografi Lapis

Tipis (KLT) dari tiga sampel krim racikan.

Adapun hasil uji laboratorium secara

kuantitatif dengan metode titrasi serimetri

diperoleh hasil dari 3 sampel yang diteliti,,

tidak terdapat sampel yang tidak memenuhi

syarat, Peraturan Menteri Kesehatan RI

No.445/MENKES/PER/V/1998 yang

mengatakan bahwa kadar hidroquinon

dalam kosmetik diperbolehkan dengan kadar

maksimal 2%. Berikut tabel 2 mengenai

analisis secara kuantitatif dengan metode

titrasi serimetri.

Pembahasan

Dari hasil analisis identifikasi

hidrokuinon pada krim racikan pemutih

wajah pada sampel A, B, dan C yang

dilakukan di BPOM Kota Palu Sulawesi

Tengah, dimana penelitian ini untuk

mengetahui kandungan Hidrokuinon pada

krim racikan yang diperoleh dari pasar

Masomba dan dan dianalisis dengan cara

identifikasi menggunakan metode

Kromatografi Lapis Tipis.

Pada Sampel A diambil sebanyak 4 pot

dengan pemerian sebagai berikut: bentuk

krim padat, warna krim berwarna kuning,

bau dari krim normal dan hasil pengujian

kimia didapatkan hasil bahwa krim racikan

sampel A tidak mengandung hidrokuinon

(negatif) dengan menggunakan metode KLT

(Kromatografi Lapis Tipis) berdasarkan SOP

ACM INO 03. Menurut Departemen

Kesehatan Indonesia (1995) krim yang baik

digunakan tidak mengandung Hidrokuinon

lebih dari 2% karna hidrokuinon merupakan

campuran berbahaya jika penggunaannya

melebihi standar yang telah ditetapkan. Dari

hasil pengujian sampel B didapatkan hasil

Page 26: e-ISSN : 2656-8233

Analisis kandungan hidrokuinon dalam krim racikan pencerah wajah ...

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 19-24 (2019)

23

pemerian sebagai berikut: bentuk padat,

warna putih, bau normal dan hasil pengujian

kimia dengan parameter identifikasi

hidrokuinon didapatkan hasil bahwa krim

racikan sampel B tidak mengandung

hidrokuinon (negatif) dengan menggunakan

metode KLT (Komatografi Lapis Tipis)

dengan berpatokan pada pustaka metode

ACM INO 03 dengan persyaratan hasil

negatif.

Dari hasil pengujian sampel C di dapatkan

hasil pemerian sebagai berikut: bentuk

semipadat, warna putih dan kuning, bau

normal dan hasil pengujian kimia dengan

parameter identifikasi hidrokuinon

didapatkan hasil bahwa krim racikan sampel

C tidak mengandung hidrokuinon (negatif)

dengan menggunakan metode KLT

(Komatografi Lapis Tipis) dengan

berpatokan pada pustaka metode ACM INO

Tabel 1. Hasil analisis kualitatif hidrokuinon

No. Sampel Jumlah Pemerian Hasil Pengujian Kimia

1. A 4 Bentuk : padat Parameter : ident. Hidrokuinon

Warna : kuning

Rasa : - Hasil : Negatif

Bau : normal Metode : KLT

Pustaka metode : ACM INO 03

Syarat : Negatif

2. B 4 Bentuk : padat Parameter : ident. Hidrokuinon

Warna : putih Hasil : Negatif

Rasa : - Metode : KLT

Bau : normal Pustaka metode : ACM INO 03

Syarat : Negatif

3. C 3 Bentuk : semi padat Parameter : ident. Hidrokuinon

Warna : putih dan kuning

Hasil : Negatif

Metode : KLT

Rasa : - Pustaka metode : ACM INO 03

Bau : normal Syarat : Negatif

Tabel 2. Hasil analisis kuantitatif hidrokuinon

No. Sampel Kadar Hidokuinon (%)

Rata-rata (%) <2% >2%

1. A 0% - Memenuhi syarat

Tidak memenuhi syarat

2. B 0% - Memenuhi syarat

Tidak memenuhi syarat

3. C 0% - Memenuhi syarat

Tidak memenuhi syarats

Page 27: e-ISSN : 2656-8233

Anggi dan Sanutu

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 19-24 (2019)

24

03 dengan persyaratan hasil negatif.

Setelah itu dilakukan pengujian secara

kuantitatif dengan metode titrasi serimetri

dan hasil yang didapatkan negatif

mengandung hidrokuinon sehingga aman

digunakan. Dalam penelitian ini didapatkan

hasil negatif mengandung hidrokuinon

sehingga aman digunakan.

KESIMPULAN

Dari hasil yang saya dapatkan dari

beberapa sampel yang saya peroleh dari

pasar Masomba Kota Palu untuk hasil

analisis kualitatif di dapatkan hasil:

1. Krim pencerah wajah yang beredar di

pasar Masomba Kota Palu tidak mengandung

Hidrokuinon.

2. Untuk Jumlah kandungan Hidrokuinon

pada krim pemutih wajah yang beredar di

Pasar Masomba didapatkan hasil bahwa

tidak mengandung hidrokuinon.

SARAN

Saat ini banyak beredar iklan-iklan di

berbagai media sosial tentang krim pemutih

wajah yang dijual bebas dan dapat

memberikan hasil yang memuaskan

konsumen dalam jangka waktu yang singkat.

Dalam penelitian saya ini didapatkan hasil

negatif sehingga aman digunakan. Namun

tidak menutup kemungkinan ada krim-krim

lain yang mengandung hidrokuinon sehingga

pada peneliti selanjutnya disarankan untuk

meneliti lebih banyak lagi krim-krim yang

tidak memiliki nomor registrasi.

REFERENSI

Anief, Mohammad. 2009. Prinsip Umum dan

Dasar Farmakologi. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press

Aryani, N. L. D. Khesuma, D, dan Khosasi.

W. P. 2010, Pemeriksaan hidrokuinon

dalam sediaan krim pencerah kulit N,

DL dan NNN, Fakultas Farmasi,

Universitas Surabaya, seminar Teknik

Kimia Soehadi Reksowardjo.

Badan pengawasan obat dan makanan. 2004.

Peraturan perundang-undangan

dibidang kosmetik. Keputusan kepala

badan pengawasan obat dan makanan

republik Indonesia.

No.HK.00.05.4.1745. Jakarta.

Badan Pengawasan obat dan makanan. 2007.

Kosmetik mengandung bahan

berbahaya dan zat warna yang

dilarang. Keputusan kepala badan

pengawasan obat dan makanan RI.

No.HK.00.01.432.6081.

Carrisa. 2015. Analisis hidrokuinon secara

spektrofotometri sinar tampak dalam

sediaan krim malam NC-16 dan sNC-74

dari klinik kecantikan LSC Surabaya.

Universitas Surabaya: Indonesia

Citra, M. D. 2013. Analisis kandungan

pemutih serta bahayanya. Pustaka

pelajar: Yogyakarta.

Farmawati. 2008. Analisis logam berat

dengan metode spektrofotometri

serapan atom. Vol 12 no 2. hal 5

Health Today. 2009. Hati-hati Hidrokuinon

Pada Krim Pemutih. http://

a11no4.wordpress.com/2009/12/25/

hati-hati-Hidrokuinon-pada-krim-

pemutih.

Ismayanti. 2007. Awas Bahaya Pemutih

Pada Kosmetik. http://

cantiksehat.com/news/2007/02/15/

awas-bahaya-pemutih-pada-kosmetik.

Parenkuan, 2013. Analisis kandungan

merkuri pada krim pemutih,

pharmakon jurnal ilmiah farmasi

UNSRAT Vol. 2 no. 0.

Tresna, P. 2010. Perawatan kulit wajah

(facial). Universitas Pendidikan

Indonesia; Bandung. 21

Page 28: e-ISSN : 2656-8233

25

EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOTIK PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA YOGYAKARTA TAHUN 2017

Siwi Padmasari1,*, Sugiyono2 1Fakultas Kesehatan, Program Studi Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta,

2Jurusan Farmasi, Fakultas Kesehatan, Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

ABSTRAK Latar belakang: Skizofrenia adalah sindrom heterogen kronik yang ditandai dengan pikiran yang tidak terkontrol, delusi, halusinasi, perubahan perilaku sosial dan fungsi psikososial yang tidak normal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menyebabkan tahapan yang lebih parah dan kronis, tahapan kekambuhan sering terjadi, dan bertahan lama sehingga pasien perlu perawatan di rumah sakit. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola penggunaan obat antipsikotik dan evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik yang diberikan kepada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta periode 2017. Metode Penelitian: Penelitian merupakan penelitian observasional deskriptif dengan melakukan pendekatan retrospektif pada 97 data rekam medis pasien yang menderita skizofrenia dan menerima terapi antipsikotik, dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia pada periode 2017. Pengambilan sampel data rekam medis pasien skizofrenia dilakukan dengan metode purposive sampling. Hasil: Berdasarkan hasil data penelitian, pola pengobatan dengan obat antipsikotik untuk pasien yang didiagnosis skizofrenia paling banyak adalah obat antipsikotik atipikal dikombinasikan dengan antipsikotik tunggal. Berdasarkan data dari evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik dibandingkan dengan American Psychiatric Association 2010 dan Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit Grhasia, didapatkan hasil adalah 100% tepat indikasi, 100% tepat pasien, 100% tepat obat dan 100% tepat dosis obat. Kesimpulan: Rasionalitas penggunaan obat antipsikotik mencapai 100% berdasarkan kriteria tepat indikasi, tepat pasien, tepat penggunaan obat dan tepat dosis obat. Parameter klinik kembali dalam keadaan tenang dari Rumah Sakit Grhasia sebesar 89%. Kata kunci: Skizofrenia, antipsikotik, rasionalitas penggunaan obat

Detail riwayat artikel Dikirimkan: 2 Maret 2019 Direvisi: 25 Maret 2019 Diterima: 26 Maret 2019 *Penulis korespondensi Siwi Padmasari Alamat/ kontak penulis: Fakultas Kesehatan, Program Studi Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, Jl. Brawijaya Ring Road Barat, Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta. E-mail korespondensi: [email protected] Petunjuk penulisan sitasi/ pustaka: Padmasari S, Sugiyono. Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap rumah sakit jiwa grhasia yogyakarta tahun 2017. Act Holis Pharm. 2019. 1 (1): 25-32.

ISSN 2656-8233 (media online) Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 DOI: -

RESEARCH ARTICLE

PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan salah satu

gangguan psikiatrik yang sangat kompleks,

yang ditandai dengan sindrom heterogen

seperti pikiran kacau dan aneh, delusi,

halusinasi, afek yang tidak tepat, dan

kerusakan fungsi psikososial. Kemungkinan

penyebab terjadinya skizofrenia dipengaruhi

multifaktor, di antaranya berbagai kelainan

patofisiologi mungkin berperan dalam

perkembangan skizofrenia yang dapat

terjadi di satu atau lebih sistem

neurotransmiter yang berbeda (Dipiro et al.,

2008).

Penanganan skizofrenia salah satunya

dengan menggunakan pengobatan

antipsikotik. Obat antipsikotik merupakan

terapi utama yang efektif mengobati

skizofrenia. Antipsikotik dibedakan menjadi

dua generasi, yaitu generasi pertama

Page 29: e-ISSN : 2656-8233

Padmasari dan Sugiyono

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)

26

(tipikal) dan generasii kedua (atipikal).

Banyaknya antipsikotik yang tersedia

ternyata memberikan masalah tersendiri

dalam praktik terutama karena menyangkut

bagaimana memilih dan menggunakan obat

secara nyata. Pada banyak terapi yang

diberikan pada penderita skizofrenia masih

banyak pasien yang menggunakan obat

generasi pertama, meskipun efek samping

yang disebabkan oleh obat antipsikotik

generasi pertama lebih besar dibandingkan

dengan obat antipsikotik generasi kedua.

Obat antipsikotik generasi kedua (atipikal)

memiliki risiko lebih kecil dalam penyebab

efek samping gejala ekstrapiramidal berupa

distonia akut, ataksia, tardif diskinesia dan

gejala parkinsonisme (Lally and MacCabe,

2015).

Sistem pelayanan kesehatan baik di

negara maju maupun di negara berkembang

saat ini banyak yang menggunakan jaminan

pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk

meningkatkan efektivitas, keamanan,

maupun cost effectiveness. Salah satu di

antaranya adalah Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (BPJS) atau Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN). Jaminan

kesehatan biasanya hanya obat antipsikotik

tertentu yang bisa diberikan secara gratis,

yaitu yang telah tercantum dalam

Formularium Nasional Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (FORNAS BPJS) dan atau

FORNAS JKN, Standar Pelayanan Medis

Rumah Sakit (SPM RS), sedangkan masih

banyak obat antipsikotik lain sebenarnya

yang berada di luar FORNAS BPJS, JKN, dan

SPM RS tersebut. Hal ini dikhawatirkan akan

menyebabkan tidak tercapainya efek terapi

yang diinginkan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui gambaran penggunaan obat

antipsikotik pada pasien skizofrenia di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Jiwa

Grhasia Yogyakarta Tahun 2017 dan

mengetahui rasionalitas penggunaan obat

antipsikotik pada pasien skizofrenia di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Jiwa

Grhasia Yogyakarta Tahun 2017 ditinjau dari

aspek tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien,

tepat dosis, dan perbaikan klinis sesuai

dengan panduan American Psychiatric

Association tahun 2010 dan Standar

Pelayanan Medis RSJ Grhasia Yogyakarta.

METODE PENELITIAN

Desain penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian

observasional dengan rancangan deskriptif

menggunakan data rekam medik pasien

secara retrospektif. Periode waktu

pengambilan data adalah dari bulan Januari

hingga Desember 2017. Data rekam medik

yang diambil adalah pasien skizofrenia yang

mendapatkan terapi obat antipsikotik di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Jiwa

Grhasia Yogyakarta.

Objek penelitian

Pengambilan sampel data rekam medis

sebanyak 97 pasien dengan menggunakan

metode purposive sampling. Kriteria inklusi

dalam penelitian ini adalah pasien

skizofrenia baik laki-laki atau perempuan

yang mejalani rawat inap tahun 2017,

menggunakan obat antipsikotik, usia lebih

dari 18 tahun, dan tidak memiliki riwayat

penyakit gangguan fungsi jantung dan ginjal.

Jalan penelitian

1. Pembuatan proposal, pengurusan izin,

melakukan need assessment

Pada tahap awal dilakukan pembuatan

proposal, persiapan dengan mengurus

perizinan serta observasi. Observasi

dilakukan untuk menentukan jumlah sampel

dan mencatat nomor rekam medik pasien.

2. Pelaksanaan penelitian di Rumah Sakit

Page 30: e-ISSN : 2656-8233

Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia ...

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)

27

Jiwa Grhasia Yogyakarta

Pada tahap ini peneliti mengumpulkan

data karakteristik dan pengobatan pasien

menggunakan lembar pengumpulan data.

3. Analisa data penelitian

Analisa secara dekskriptif untuk

mengetahui gambaran pola pengggunaan

obat, data demografi, dan ketepatan

pengobatan pasien skizofrenia di Rumah

Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta periode

Januari hingga Desember 2017. Data terapi

pengobatan dibandingkan dengan kriteria

pada American Psychiatric Association. Data

tepat pasien, tepat indikasi, dan perbaikan

parameter klinik menggunakan kriteria SPM

RSJ Grhasia. Data tepat obat dan tepat dosis

obat menggunakan Drug Information

Handbook 19th Edition.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik obyek penelitian

1.1 Jenis kelamin

Berdasarkan data demografi yang

diperoleh dari 97 pasien skizofrenia yang

menjalani rawat inap dan menggunakan obat

antipsikotik sebagai terapi pengobatannya

didapatkan bahwa penderita berjenis

kelamin pria berjumlah lebih besar

dibanding dengan penderita berjenis

kelamin wanita.

Terdapat perbedaan pengaruh jenis

kelamin terhadap gejala skizofrenia yang

dapat muncul. Ditinjau dari angka kejadian,

baik jenis kelamin pria maupun wanita sama

-sama memiliki angka insidensi yang sama

besar. Potensi terjadinya skizofrenia pada

pria dan wanita sama besar, tetapi onset

skizofrenia lebih cepat terjadi pada pria.

Gejala negatif lebih banyak terjadi pada pria

dengan prognosis yang lebih buruk jika

dibandingkan wanita, terutama dalam

persoalan interaksi sosial serta

penyalahgunaan suatu zat berbahaya. (Li et

al., 2016).

1.2 Usia

Penelitian ini membagi usia pasien

skizofrenia dari rentang usia 18 tahun

sampai dengan 88 tahun. Kasus skizofrenia

umumnya sangat jarang terjadi pada anak-

anak atau penderita yang berusia kurang

dari 18 tahun (Li et al., 2016).

Pada penelitian ini usia terbanyak

terjadinya skizofrenia di RSJ Grhasia

Yogyakarta pada tahun 2017 yaitu pada usia

39 hingga 48 tahun. Onset usia terjadinya

skizofrenia juga terkait dengan jenis gejala.

Sebagai contoh, penelitian menunjukkan

bahwa wanita dengan skizofrenia dengan

onset lambat mungkin memiliki gejala

negatif yang kurang parah dan

menampakkan gejala positif yang lebih khas,

Tabel 1. Distribusi jenis kelamin pada pasien skizofrenia yang menjalani rawat

inap di RSJ Grhasia tahun 2017

Jenis Kelamin

Jumlah Pasien

Persentase (%)

Pria 64 65,98

Wanita 33 34,02

Total 97 100

Tabel 2. Distribusi usia pada pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di

rumah sakit jiwa Grhasia tahun 2017

Usia (Tahun) Jumlah Pasien

Persentase (%)

18 - 28 7 7,21

29 - 38 24 24,74

39 - 48 40 41,23

49 - 58 17 17,52

59 - 68 7 7,21

69 - 78 2 2,09

Total 97 100

Page 31: e-ISSN : 2656-8233

Padmasari dan Sugiyono

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)

28

khususnya halusinasi sensorik dan delusi (Li

et al., 2016).

Perbedaan onset usia terjadinya

skizofrenia merupakan hasil yang banyak

ditemukan pada penelitian tentang

perbedaan jenis kelamin yang dihubungkan

dengan kejadian skizofrenia. Menurut

penelitian ini, onset usia terjadinya

skizofrenia pada pria terjadi pada rentang

usia 18-25 tahun, sedangkan pada wanita

onset usia terjadi pada rentang25-35 tahun.

Wanita memiliki usia puncak terjadinya

skizofrenia yaitu pada fase pertama

menstruasi dan setelah usia lebih dari 40

tahun. Prevalensi onset wanita yang

mengalami skizofrenia lebih dari usia 40

tahun karena terkait dengan penurunan

kadar estrogen setelah menopose. Beberapa

penelitian menyatakan adanya perbedaan

onset usia terjadinya skizofrenia antara pria

dan wanita dipengaruhi oleh riwayat

keluarga (Ochoa et al., 2012).

1.3 Tipe skizofrenia

Skizofrenia merupakan salah satu dari

kelompok gangguan psikotik yang

dikarakteristikkan dengan munculnya gejala

positif dan atau gejala negatif dan sering

dihubungkan dengan kemunduran penderita

dalam menjalankan fungsinya sehari-hari.

Dari beberapa tipe skizofrenia diketahui tipe

paranoid merupakan tipe skizofrenia yang

sering ditemukan.

1.4 Lama rawat inap

Lamanya rawat inap pasien skizofrenia

dapat dipengaruhi oleh tingkat keparahan

pasien. Pada penelitian ini dibedakan dengan

rentang interval 10 hari. Lamanya rawat inap

yang paling tinggi di RSJ Grhasia adalah 21

hingga 30 hari sebanyak 58 pasien atau

sebesar 59,8%.

Tabel 3. Distribusi tipe skizofrenia pada pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di rumah sakit jiwa Grhasia tahun 2017

Tipe Skizofrenia ICD-X Jumlah Pasien Persentase (%)

Paranoid 20.0 56 57,74

Hebrifenik 20.1 7 7,22

Katatonik 20.2 5 5,15

Tidak Terperinci 20.3 20 20,61

Depresi Paska Skizofrenia 20.4 0 0

Residual 20.5 6 6,19

Simpleks 20.6 3 3,09

Tipe lain 20.8 0 0

Total 97 100

Tabel 4. Lama rawat inap pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Grhasia tahun 2017

Lama Rawat Inap (hari)

Jumlah Pasien

Persentase (%)

0 - 10 2 2,06

11 - 20 9 9,28

21 - 30 58 59,8

31 - 40 12 12,37

41 - 50 2 2,06

51 - 60 14 14,43

Total 97 100

Page 32: e-ISSN : 2656-8233

Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia ...

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)

29

Penelitian yang dilakukan oleh Keliat,

menguji perbedaan lama rawat inap pasien

skizofrenia yang diberikan edukasi dan yang

tidak diberikan edukasi untuk mengontrol

keparahan penyakitnya. Pada kelompok

dengan edukasi lama rawat inap adalah 23

hari dan kelompok tanpa edukasi rata-rata

rawat inap adalah 40 hari. Menurut

penelitian yang dilakukan, lama rawat inap

pasien skizofrenia juga berhubungan dengan

usia pasien. Semakin tua usia pasien, maka

lama rawat inap akan semakin panjang

(Keliat et al., 2009).

2. Pola penggunaan obat antipsikotik

Pola penggunaan obat antipsikotik dapat

dilihat dalam tabel 5 dan 6. Pada penelitian

ini terapi kombinasi obat antipsikotik

merupakan regimen antipsikotik terbanyak

yaitu sebesar 88,66%. Penelitian RCT

menyatakan bahwa antipsikotik kombinasi

lebih superior dibandingkan monoterapi

terutama dalam mengatasi skizofrenia yang

berulang. Pada penelitian ini terapi

kombinasi tipikal atipikal yang paling banyak

digunakan adalah kombinasi risperidon dan

klozapin (Correll et al., 2009). Klozapin

merupakan kelompok antipsikotik yang

terbukti efektif terutama dalam mengatasi

skizofrenia resisten (Treatment Resistant

Schizophrenia/TRS). Mekanisme efektivitas

klozapin dalam mengatasi TRS tidak

disebutkan secara terperinci, tetapi 50-60%

pasien yang mengalami kekambuhan

skizofrenia memiliki respon yang baik ketika

pemberian klozapin (Lally and MacCabe,

2015). Resistensi terhadap terapi

antipsikotik dapat diatasi salah satunya

dengan pemberian injeksi risperidone

dengan durasi kerja panjang. Namun,

pemberian injeksi ini terbukti tidak lebih

efektif jika dibandingkan pemberian oral

disebabkan efek ekstrapiramidal yang besar

(Rosenheck et al., 2011).

3. Evaluasi rasionalitas penggunaan

antipsikotik

3.1 Evaluasi tepat indikasi

Berdasarkan data penelitian yang

diperoleh dari 97 sampel pasien skizofrenia

yang memenuhi kriteria inklusi penggunaan

obat antipsikotik. Semua pasien 100% tepat

indikasi, hal ini sesuai dengan diagnosa yang

tercantum dalam rekam medis pasien, dan

adanya suatu gejala yang jelas, bahwa gejala

tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau

medikasi neuroleptika. Gejala telah

berlangsung selama kurun waktu satu bulan

atau lebih, dan adanya suatu perubahan yang

konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan dari beberapa aspek kehidupan

pribadi. Dari kasus yang pasien dibawa ke

rumah sakit dengan keadaan yang gelisah,

marah-marah, tidak bisa melakukan

pekerjaan rumah, tidak bisa merawat diri,

memiliki keinginan untuk bunuh diri, dan

tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari.

Antipsikotik yang diberikan oleh dokter di

RSJ Grhasia dalam hal ini sesuai dengan

indikasinya yaitu untuk pengobatan

skizofrenia.

3.2 Evaluasi tepat obat

Dalam penelitian di RSJ Grhasia

Yogyakarta penggunaan obat antipsikotik

tunggal tidak banyak diresepkan.

Penggunaan obat tunggal antipsikotik yang

Tabel 5. Regimen penggunaan antipsikotik untuk pasien skizofrenia di RSJ Grhasia

tahun 2017

Regimen Antipsikotik

Jumlah Pasien

Persentase (%)

Tunggal 11 11,34

Kombinasi 86 88,66

Total 97 100

Page 33: e-ISSN : 2656-8233

Padmasari dan Sugiyono

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)

30

diberikan adalah obat jenis atipikal yaitu

risperidon tunggal dan aripiprazole.

Penggunaan antipsikotik kombinasi paling

banyak dipergunakan adalah kombinasi obat

dengan dua regimen yaitu kombinasi obat

atipikal dan tipikal. Obat yang paling banyak

diresepkan adalah kombinasi antara

haloperidol dan klozapin. Pemilihan

kombinasi antipsikotik pada pasien

skizofrenia selain dilihat dari fase

pengobatan juga ditentukan oleh keamanan

obat secara efektif. Hal ini sesuai dengan

algoritma terapi skizofrenia di mana terapi

utama pada pasien skizofrenia menggunakan

antipsikotik golongan atipikal secara tunggal

dan atau kombinasi sesuai dengan tingkat

keparahan pasien. Selain obat antipsikotik

juga diberikan obat ajuvan, antara lain

triheksipenidil dan diazepam. Kesesuaian

terapi obat dapat dilihat dari kondisi pulang

pasien, di mana sebagian besar pasien

pulang dalam keadaan tenang dan sebagian

kecil pasien pulang dalam keadaan

perbaikan. Klozapin merupakan obat atipikal

dengan efek samping ekstrapiramidal yang

lebih rendah. Pada penelitian di RSJ Grhasia

Yogyakarta pemakaian kombinasi dengan

klozapin sangat sering dilakukan dan

pemakaian terbanyak pada dosis 25 mg

setiap 24 jam (Dipiro et al., 2008).

Tabel 6. Regimen penggunaan obat antipsikotik di rumah sakit jiwa Grhasia tahun 2017

Regimen Antipsikotik

Janis Obat Antipsikotik

Nama Obat Antipsikotik Jumlah Pasien

Persentase (%)

Tunggal Atipikal Risperidon 8 8,24

Atipikal Aripiprazol 1 1,03

Tipikal Haloperidol 2 2,06

Kombinasi 2 obat

Atipikal + Atipikal Risperidon + Klozapin 31 31,95

Risperidon + Aripiprazol 1 1,03

Klozapin + Quetiapin 1 1,03

Olanzapin + Quetiapin 2 2,07

Tipikal + Tipikal Haloperidol + Klorpromazin 4 4,12

Tipikal + Atipikal Haloperidol + Klozapin 18 18,55

Risperidon + Klorpromazin 10 10,30

Trifluoroperazin + Klozapin 3 3,1

Kombinasi 3 obat

3 Atipikal Olanzapin + Klozapin + Risperidon

5 5,15

2 Atipikal + Tunggal Tipikal

Risperidon + Klozapin + Haloperidol

9 9,27

Kombinasi 4 obat

3 Atipikal + Tunggal Tipikal

Klozapin + Risperidon + Olanzapin + Haloperidol

2 2,06

Total 97 100

Page 34: e-ISSN : 2656-8233

Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia ...

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)

31

Tidak ada bukti ilmiah yang

menyatakan bahwa antipsikotik atipikal

lebih superior dibandingkan dengan

antipsikotik tipikal. Antipsikotik tipikal

digunakan sebagai terapi awal dalam

penanganan skizofrenia terutama pasien

yang sudah tidak dapat merespon

pengobatan sebelumnya dan mengalami efek

samping gejala ekstrapiramidal (Geddes et

al., 2000). Klozapin digunakan ketika dua

obat antipsikotik gagal dalam memberikan

efek terapi. Penanganan skizofrenia tidak

hanya menggunakan obat golongan

antipsikotik, tetapi dapat ditabahkan obat

golongan antikolinergik dan benzodiazepin.

Penggunaan antikolinergik digunakan untuk

menghindari efek samping yang tidak

diinginkan seperti retensi urin, konstipasi,

mulut kering. Benzodiazepin yang banyak

digunakan adalah diazepam, klonazepam,

dan lorazepam. Walaupun demikian,

penggunaan antikolinergik tidak dapat

digunakan untuk perbaikan status mental,

terutama pada geriatri (Balaji et al., 2017).

3.3 Evaluasi tepat dosis

Penelitian ini dosis penggunaan obat

antipsikotik atipikal yang paling sering

digunakan sama yaitu risperidon dengan

dosis 2 mg dengan waktu pemberian interval

12 jam atau pagi dan malam hari sehingga

total dosis sehari 4 mg, hal ini sesuai dengan

dosis lazim (Dipiro et al.,2008). Pada

pemakaian klozapin dosis yang sering

digunakan secara kombinasi sebesar 25 mg

setiap 24 jam atau sehari sekali, hal ini tidak

sesuai dengan dosis lazim yang digunakan

untuk terapi pasien skizofrenia, tetapi pada

penggunaan kombinasi maka aturan

pemberian dosis pemakaian obat dapat

dititrasi sesuai dengan kondisi pasien.

Sehingga jika dilihat dari status keadaan

pulang pasien yang sebagian besar adalah

sembuh sehingga bisa disimpulkan bahwa

pemakaian dosis klozapin 25 mg per hari

sudah sesuai (Dipiro et al., 2008).

3.4 Parameter klinik pasien skizofrenia

Tujuan utama dari terapi pada skizofrenia

adalah pemulihan. Pemulihan dapat dicapai

baik dari segi fungsi mental maupun fisik.

Penilaian dalam menentukan pemulihan

terdapat empat faktor termasuk di antaranya

hilangnya gejala, fungsi pekerjaan,

kehidupan mandiri, dan relasi. Penelitian di

RSJ Grhasia Yogyakarta persentase terbesar

untuk parameter klinik pengobatan

skizofrenia yaitu pasien pulang dalam

keadaan tenang sebesar 89%.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang

diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa

pengobatan di RSJ Grhasia Yogyakarta tahun

2017 adalah 100% tepat indikasi, tepat obat,

tepat dosis, tepat pasien dan pasien pulang

dengan perbaikan klinis sebesar 89,69%.

UCAPAN TERIMA KASIH

1. Universitas Jenderal Achmad Yani

Yogyakarta, Jl. Brawijaya Ring Road Barat,

Gamping Kidul, Ambarketawang,

Gamping, Yogyakarta 55294.

2. Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta,

Jalan Kaliurang KM.17, Pakembinangun,

Pakem, Duwetsari, Pakembinangun,

Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah

Tabel 7. Gambaran parameter klinik pasien skizofrenia di RSJ Grhasia tahun 2017

Parameter Klinik

Jumlah pasien

Persentase (%)

Pulang dalam keadaan tenang

87 89,69

Pulang dengan catatan khusus

10 10,31

Page 35: e-ISSN : 2656-8233

Padmasari dan Sugiyono

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 25-32 (2019)

32

Istimewa Yogyakarta 55582

REFERENSI

Balaji, R. et al. (2017) ‘An Observational

Study Of Drug Utilisation Pattern And

Pharmacovigilance Of Antipsychotics’,

International Journal of Current

Pharmaceutical Research, 9(6).

Correll, C. U. et al. (2009) ‘Antipsychotic

Combinations Vs Monotherapy In

Schizophrenia: A Meta-Analysis Of

Randomized Controlled Trials’,

Schizophrenia Bulletin, 35(2), pp.

443–457. doi: 10.1093/schbul/sbn018.

Geddes, J. et al. (2000) ‘Atypical

Antipsychotics In The Treatment Of

Schizophrenia: Systematic Overview

And Meta-Regression Analysis’, BMJ,

pp. 1371–1376.

Keliat, B. A. et al. (2009) ‘Influence Of The

Abilities In Controlling Violence

Behavior To The Length Of Stay Of

Schizophrenic Clients In Bogor Mental

Hospital , Indonesia’, Med J

Indones, 18(1), pp. 31–35.

Lally, J. and MacCabe, J. H. (2015)

‘Antipsychotic Medication In

Schizophrenia: A Review’, British

Medical Bulletin, 114(1), pp. 169–179.

doi: 10.1093/bmb/ldv017.

Li, R. et al. (2016) ‘Why sex differences in

schizophrenia?’, Journal of

translational neuroscience, 1(1), pp. 3–

42.

Moldin, S. O. (2000) ‘Gender and

schizophrenia: an overview.’, Gender

and its effects on psychopathology, pp.

169–186.

Ochoa, S. et al. (2012) ‘Gender Differences in

Schizophrenia and First-Episode

Psychosis: A Comprehensive Literature

Review’, Schizophrenia Research and

Treatment, 2012, pp. 1–9. doi:

10.1155/2012/916198.

Rosenheck, R. A. et al. (2011) ‘Long-Acting

Risperidone and Oral Antipsychotics in

Unstable Schizophrenia’, New England

Journal of Medicine, 364(9), pp. 842–

851. doi: 10.1056/NEJMoa1005987.

Page 36: e-ISSN : 2656-8233

33

KAJIAN SENYAWA AKTIF DAN KEAMANAN TANAMAN OBAT TRADISIONAL DI INDONESIA SEBAGAI ALTERNATIF

PENGOBATAN MALARIA

Elisabeth Oriana Jawa La*, Putu Dian Marani Kurnianta Program Studi Diploma 3 Farmasi, Sekolah Tinggi Farmasi Mahaganesha Denpasar, Bali

ABSTRAK Malaria merupakan salah satu penyakit menular dengan tingkat

prevalensi yang cukup tinggi. Penyakit malaria menjadi semakin serius karena meningkatnya jumlah parasit malaria (Plasmodium) yang resisten terhadap obat-obat antimalaria.

Banyaknya keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia memotivasi banyaknya penelitian dan pencarian bahan obat baru untuk berbagai terapi, terutama untuk penyakit malaria. Pemanfaatan tanaman obat sebagai agent antimalaria sudah banyak dilakukan dan dikembangkan. Berdasarkan hasil penelitian, banyak senyawa aktif terkandung dalam tanaman yang diklaim sebagai tanaman antimalaria, baik berupa tanaman utuh, simplisia, maupun ekstrak, dan senyawa isolasi. Artikel review ini menggunakan metode studi literatur dari berbagai referensi tentang pemanfaatan dan penggunaan obat tradisional.

Beberapa tanaman obat telah diteliti memiliki efek farmakologi sebagai obat malaria. Tanaman-tanaman yang memiliki efek antimalaria antara lain, Sambiloto (Andrographis paniculata Nees), Mundu (Garcinia dulcis Kurz), Anting-anting (Acalypha indica L.), Johar (C. siamea Lamk), Pasak bumi (Eurycoma longifolia jack), Ketumpang (Tridax procumbens L), Cocor bebek (Kalanchoe blossfeldiana Poelln), dan Talikuning (Anamirta cocculus). Meskipun efek samping dari obat-obatan tradisional relatif kecil, tetapi keamanan obat-obatan tradisional dalam praktik klinis yang baik harus dipertimbangkan. Kata kunci: Tanaman obat, malaria, Plasmodium, antimalaria, keamanan

Detail riwayat artikel Dikirimkan: 28 Februari 2019 Direvisi: 2 Maret 2019 Diterima: 2 April 2019 *Penulis korespondensi Elisabeth Oriana Jawa La Alamat/ kontak penulis: Sekolah Tinggi Farmasi Mahaganesha Denpasar Jl. Tukad Barito Timur No. 57 Denpasar Bali E-mail korespondensi: [email protected] Petunjuk penulisan sitasi/ pustaka: Jawa La EO, Kurnianta PDM. Kajian senyawa aktif dan keamanan tanaman obat tradisional di indonesia sebagai alternatif pengobatan malaria. Act Holis Pharm. 2019. 1 (1): 33-43.

ISSN 2656-8233 (media online) Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 33-43 DOI: -

REVIEW ARTICLE

PENDAHULUAN

Malaria merupakan penyakit menular

yang disebabkan oleh plasmodium yang

termasuk dalam kelompok protozoa

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,

2016). Malaria telah menyerang 209 negara

di dunia berdasarkan laporan dari World

Malaria Report 2015. Di Indonesia malaria

merupakan salah satu penyakit dengan

prevalensi yang tinggi terutama di wilayah

bagian timur Indonesia (News, 2007). Dari

data edeminitas malaria di Indonesia tahun

2012-2015 dapat dilihat bahwa kasus

malaria banyak terkonsentrasi di wilayah

timur Indonesia. Menurut Annual Parasite

Incidence (API) tahun 2015 Provinsi Papua

menempati posisi teratas berdasarkan

sebaran kasus malarianya, yaitu sebesar

31,93%, disusul Papua Barat sebesar

31,29%, dan NTT sebesar 7,04%

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,

2016). Peningkatan kasus malaria dan

distribusi malaria dapat dipengaruhi oleh

berbagai faktor. Selain karena tinggal di

Page 37: e-ISSN : 2656-8233

Jawa La dan Kurnianta

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 33-43 (2019)

34

wilayah berisiko, sanitasi yang buruk,

migrasi, tingkat kepadatan penduduk, dan

faktor pekerjaan, resistensi parasit terhadap

obat-obat malaria juga berkontribusi

terhadap tingginya insiden malaria. Masalah

resistensi yang terjadi terhadap Plasmodium,

terutama Plasmodium falciparum dan dapat

mengakibatkan kegagalan pada terapi yang

berdampak pada kematian (Syamsudin et al.,

2007). Upaya-upaya pengendalian penyakit

malaria sudah banyak dilakukan oleh

kementrian kesehatan dari hulur ke hilir.

Di dunia internasional, penggunaan obat

herbal telah banyak diterima secara luas

baik di negara berkembang maupun negara

maju (Jumiarni and Komalasari, 2017).

Indonesia sendiri memiliki potensi alam

hayati yang sangat banyak, namun

pemanfaatannya hanya dilakukan secara

tradisional (Hayati, Jannah and Ningsih,

2012). Pada dasarnya manusia telah

mengenal fungsi tumbuhan terutama sebagai

penanggulangan masalah kesehatan.

Penemuan-penemuan tanaman obat oleh

masyarakat pada umumnya karena perasaan

intrinsik yang secara turun temurun

diwariskan dan dipertahanakan dengan

penuturan secara lisan (Nurmalasari,

Sukarsa and Hidayah, 2012).

Penggunaan obat tradisional cenderung

hanya berdasarkan pengalaman masa

lampau. Pemanfaatan tanaman obat sebagai

agent antimalaria sudah banyak dilakukan

dan dikembangkan. Banyak senyawa aktif

yang terdapat pada tanaman berdasarkan

hasil penelitian diklaim sebagai antimalaria,

baik berupa tanaman utuh, simplisia maupun

yang telah dikembangkan lebih lanjut dalam

bentuk ekstrak dan senyawa isolasi.

Beberapa tumbuhan yang diteliti juga

memiliki kemampuan sebagai

antiplasmodium seperti sambiloto, pulai,

bratawali dan johar (Zein, 2009). Selama ini

ada juga obat bahan alam yang sering

digunakan sebagai terapi malaria berasal

dari tumbuhan cinchona yang dimanfaatkan

dari getahnya. Obat ini lebih sering dikenal

dengan sebutan kina (Hayati, Jannah and

Ningsih, 2012).

Berdasarkan banyaknya penemuan

tanaman obat tradisional yang telah

dilakukan oleh para peneliti maka artikel

review ini akan mengkaji beberapa tanaman

obat tradisonal yang dapat digunakan untuk

pengobatan malaria. Tanaman obat

tradisional ini terutama berperan sebagai

terapi pendamping dalam mengatasi

penyebaran dan perkembangan plasmodium

maupun tanaman yang memiliki efektivitas

meningkatkan sistem pertahanan tubuh

sebagai bentuk dari pencegahan terhadap

penularan penyebaran malaria, khususnya di

daerah endemik malaria seperti, Papua,

Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Tanaman yang akan dibahas mencakup

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees),

Mundu (Garcinia dulcis Kurz), Anting-anting

(Acalypha indica L.), Johar (C. siamea Lamk),

Pasak bumi (Eurycoma longifolia jack),

Ketumpang (Tridax procumbens L), Cocor

bebek (Kalanchoe blossfeldiana Poelln), dan

Talikuning (Anamirta cocculus). Tanaman-

tanaman ini telah diteliti dan diuji secara

farmakologi, baik uji in-vitro maupun in-vivo

serta skrining fitokimia untuk mengetahui

kandungan atau metabolit sekunder beserta

turunannya.

METODE PENELITIAN

Penyusunan review ini menggunakan

teknik studi pustaka dengan mencari sumber

atau literatur dalam bentuk data primer

berupa jurnal baik jurnal nasional, penelitian

skripsi, tesis, maupun jurnal internasional

dengan kriteria inklusi yaitu jurnal yang

diterbitkan selama 10 tahun terakhir.

Literatur lain yang digunakan pada review ini

juga menggunakan pencarian data tambahan

Page 38: e-ISSN : 2656-8233

Kajian senyawa aktif dan keamanan tanaman obat tradisional di Indonesia sebagai …

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 33-43 (2019)

35

menggunakan media on line, seperti google

scholar dan situs-situs jurnal lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil telaah dari sumber data review yaitu

diperoleh beberapa tanaman dari beberapa

famili serta bagian yang digunakan beserta

kandungan senyawa aktif yang ada pada

masing-masing tanaman (tabel 1).

Pembahasan

Sebagai salah satu penyakit dengan

tingkat prevalensi yang tinggi pencarian obat

baru untuk alternatif pengobatan malaria

terus dikembangkan. Berdasarkan hasil

penelusuran pustaka, tanaman obat

tradisional yang dapat digunakan untuk

pengobatan malaria antara lain Sambiloto

(Andrographis paniculata Nees), Mundu

(Garcinia dulcis Kurz), Anting-anting

(Acalypha indica L.), Johar (C. siamea Lamk),

Pasak bumi (Eurycoma longifolia jack),

Ketumpang (Tridax procumbens L), Cocor

bebek (Kalanchoe blossfeldiana Poelln), dan

Talikuning (Anamirta cocculus).

Pemanfaatan tanaman tradisional

sebagai pengobatan juga perlu

mempertimbangan keamanan dan ketepatan

penggunaan obat tradisonal sebagai terapi

baik dari segi kebenaran bahan yang dipilih,

ketepatan dosis, cara penggunaan, ketepatan

waktu penggunaaan, dan telaah informasi

yang diterima (Lusia, 2006).

Contoh tanaman yang perlu

perhatian khusus dalam penggunaanya

adalah Daun kecubung (Datura metel L.).

Daun kecubung mengandung banyak

alkaloid turunan tropan yang memiliki sifat

bronkodilator (dapat memperlebar saluran

pernafasan) sehingga dapat diguanakan

untuk pengobatan asma (Lusia, 2006). Cara

penggunaanya cukup sederhana yaitu

dengan cara dikeringkan, digulung seperti

rokok serta dihisap. Namun perlu

diperhatikan jika daun kecubung ini

dikonsumsi langsung/ direbus dan minum

air seduhannya (karena kesalahan dalam

menerima informasi) dapat menyebabkan

keracunan karena tingginya alkaloid dalam

darah (Patterson and O’Hagan, 2002)

Obat tradisional seringkali menjadi cikal

bakal penemuan obat baru. Salah satu jenis

tanaman yang kemudian dikembangkan

menjadi obat malaria baru berasal dari kulit

batang pohon kina (Cinchona sucirubra, L),

dimana cinchonine yang merupakan suatu

alkaloid mampu menjadi obat anti malaria.

Mekanisme kerjanya menekan pertumbuhan

protozoa pada jaringan darah (Hayati,

Jannah and Ningsih, 2012). Penemuan ini

bukanlah suatu kebetulan, tetapi dilandasi

oleh penggunaan secara tradisional kulit

kina untuk mengatasi gangguan demam oleh

masyarakat di daerah endemik malaria

(Moektiwardoyo, 2017)

Tanaman Sambiloto (Andrographis

paniculata (Burm. f.) Wall. ex Nees.)

merupakan tanaman yang berasal dari suku

Acanthaceae. Tanaman ini berasal dari

daerah Asia Selatan dan Tiongkok, dikenal

dengan nama Chuan Xin Lian. Di Indonesia

sambiloto dikenal dengan nama bidara,

sandilata, takila, ampadu tanah dan pepaitan

(Dalimartha, 1999). Tanaman ini telah

banyak diteliti efek farmakologinya.

Tanaman sambiloto memiliki ciri morfologi

yang mudah untuk dikenali. Tumbuhan ini

merupakan tumbuhan semusim dengan

tinggi yang biasanya tidak melebihi satu

meter dengan daun tunggal berujung

meruncing dan bersilangan pada tangkainya.

Bunganya kecil-kecil berbentuk tabung

dengan warna putih bernoda ungu

(Dalimartha, 1999)

Herba sambiloto memiliki aktivitas

antimalaria falciparum baik secar in-vitro

maupun secara in-vivo. Pada kelompok

Page 39: e-ISSN : 2656-8233

Jawa La dan Kurnianta

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 33-43 (2019)

36

pengobatan ekstrak herba sambiloto 500 mg,

terjadi peningkatan kadar TNF-α yang

bermakna pada hari ke tujuh pengobatan.

Hal ini membuktikan bahwa ekstrak herba

sambiloto dengan dosis 500 mg mempunyai

efek imunomudulasi pada pasien malaria

falsiparum (Zein, 2009). Zat aktif yang

terkandung dalam herba sambiloto adalah

No Nama Tanaman Famili Bagian Tanaman

yang digunakan

Kandungan Senyawa

1. Sambiloto (Andrographidis paniculata Nees)

Acanthaceae Herba saponin, flavonoida, dan tannin (Zein, 2009)

2. Mundu (Garcinia dulcis Kurz)

Clausiaceae Kulit Batang flavonoid, saponin dan tannin (Widodo and Rahayu, 2010)

3. Anting-anting (Acalypha indica L.)

Euphorbiaceae Batang dan Daun

acalyphamide, aurantiamide, acalyphine, beta-sitosterol-beta dglucoside, calcium oxalate, gamma-sitosterol-acetate, HCN, quebrachitol, succinimid, tannin, dan triacetonamine (Duke, 2010)

4. Johar (C. siamea Lamk) Fabaceae Daun alkaloid, steroid, triterpenoid, saponin, flavonoid, dan tanin (Wahjoedi, Astuti and Nuratmi, 1997)

5. Pasak bumi (Eurycoma longifolia jack)

Simaorubaceae Akar β-carbolin propionic acid, eurikomanon,18-dehydro-6-hydroxy euryco malactone dan euryco manol (Yusuf et al., 2013)

6. Ketumpang (Tridax procumbens L),

Piperaceae Herba alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, dan triterpenoid (Hermanto et al.,2016)

7. Cocor bebek (Kalanchoe blossfeldiana Poelln),

Crassulaceae Daun bufadienolida dan flavonoid, terutama pada bagian daun (Biswas, et al., 2011; Supratman, et al., 2001).

8. Talikuning (Anamirta cocculus).

Menispermaceae Batang Alkaloid kuartener: beriberine, palmatine, magnoflorine, columbamine (Muti’ah et al., 2010)

Tabel 1. Nama tanaman, famili, bagian tanaman yang digunakan, dan kandungan senyawa aktif

Page 40: e-ISSN : 2656-8233

Kajian senyawa aktif dan keamanan tanaman obat tradisional di Indonesia sebagai …

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 33-43 (2019)

37

flavonoid dan lakton. Lakton, dengan

komponen utama andrographolide, juga

merupakan zat aktif utama dari tanaman ini

(Widyawati, 2015).

Mundu (Garcinia dulcis Kurz)

merupakan tanaman yang termasuk dalam

anggota genus Garcinia yang berkerabat

dekat dengan manggis (Garcinia

mangostana) dan asam kandis (Garcinia

parvifolia). Penyebaran mulai dari Asia

Tenggara kemudian meluas sampai New

Caledonia, Australia utara, Afrika tropik,

Madagaskar, Polynesia, Amerika Tengah dan

Amerika Selatan (Jones, 1980). Tanaman

Mundu sudah banyak dikenal di Indonesia.

Di beberapa daerah menyebut mundu

sebagai baros dan kledeng (Jawa), jawura

dan golodog panto (Sunda), dan patung

(Makasar). Mundu tumbuh liar di pulau Jawa

bagian timur pada ketinggian tanah kurang

dari 500 m dari permukaan laut dan daerah

yang tidak terlalu kering (Hairani, 2014).

Tanaman mundu dewasa memiliki ukuran

dengan tinggi mencapai 10-12 meter,

diameter 0,20 meter, batang utama pada

tanaman mundu lurus dengan cabang-

cabang bersudut, letak daun berpasang-

pasangan, berbentuk bujur, menyempit,

permukaan atas daun licin dengan panjang

22-45 cm, dan sistem perakaran lebih kuat

dibanding jenis lainnya dalam genus Garcinia

(Heyne, 1987)

Aktivitas antimalaria kulit batang mundu

(Garcinia dulcis Kurz) telah diteliti oleh

Widodo dan Rahayu. (2010). Aktivitas

antiplasmodial dan penurunan jumlah

leukosit tertinggi ditunjukan oleh ekstrak etil

asetat kulit batang mundu dengan dosis 50

mg/kg bb sementara hasil pengujian

kandungan senyawa aktif yang terdapat

pada kulit batang mundu adalah flavonoid,

saponin dan tannin.

Anting-anting (Acalypha australis L.)

merupakan tanaman yang berasal dari

keluarga Euphorbiaceae. Tanaman ini

memiliki tinggi pohon mencapai 1.5 meter,

berbatang tegak, bercabang dengan garis

memanjang kasar, bulat, berambut halus,

berwarna hijau. Daun tunggal, berbentuk

belah ketupat, berwarna hijau, panjang 3-4

cm, lebar 2-3 cm, berujung runcing, tepi

bergerigi, terletak menyebar di sepanjang

pohon dan batang. Bunga majemuk

berbentuk bulir, keluar dari ketiak daun dan

ujung cabang. Buah berbentuk bulat, warna

hitam. Biji berbentuk bulat panjang

berwarna coklat dan memiliki akar tunggang

(Plantamor, 2008). Beberapa zat aktif yang

diindentifikasi dimiliki oleh Acalypha

australis L. adalah tannin, alkaloid dan

steroid (Hayati, Jannah and Ningsih, 2012).

Anting-anting (Acalypha indica L.)

menunjukkan aktivitas antimalaria dimana

ekstrak etil asetat tanaman anting-anting

mampu menghambat pertumbuhan

Plasmodium berghei pada dosis 0,01 mg/g bb

hingga 87,19%, dosis 0,1 mg/bb sebesar

84,9% dan dosis 1 mg/g bb sebesar 90,74%.

Senyawa aktif yang terkandung pada

tanaman anting-anting berdasarkan hasil

pengujian fitokimia yaitu tannin, alkaloid

dan steroid (Hayati, Jannah and Ningsih,

2012).

Johar merupakan tanaman tahunan

dengan tinggi 10-20 m. Batang johar

berbentuk bulat, tegak, berkayu, dengan

kulit kasar, bercabang, dan berwarna putih

kotor. Daun majemuk dan berwarna hijau.

Pertulangan daun menyirip genap dan

mempunyai anak daun berbentuk bulat

panjang. Ujung dan pangkal daunnya

membulat, bertepi rata, dengan panjang

daun 3-7,5 cm, dan lebar daun 1-2,5 cm.

Bunga majemuk, berwarna kuning, terletak

di ujung batang serta kelopak bunganya

berbagi lima, berwarna hijau kekuningan,

dengan benang sari ±1 cm, dan tangkai sari

berwarna kuning, kepala sari berwarna

Page 41: e-ISSN : 2656-8233

Jawa La dan Kurnianta

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 33-43 (2019)

38

coklat, putik berwarna hijau kekuningan.

Buah berupa polong, pipih, berbelah dua

dengan panjang 15-20 cm dan lebar ±1,5 cm.

Saat masih muda berwarna hijau dan setelah

tua berwarna hitam. Bijinya berbentuk bulat

telur dan berwarna hitam. Akarnya tunggang

dan berwarna hitam (Badan POM RI, 2008).

Tanaman johar yang berasal dari famili

Caesalpiniaceae sudah lama dimanfaatkan

sebagai tanaman obat tradisional di

Indonesia untuk mengatasi malaria.

Penelitian tetang tanaman ini sebagai

antimalaria secara in-vitro dan in-vivo sudah

dilakukan. Hasil pengujian secara in-vitro

yang dilakukan terhadap ekstrak hingga

fraksinasi alkaloid daun johar menunjukan

adanya aktivitas antimalaria terhadap P.

falciparum (Ekasari 2001-2005). Penelitian

secara in-vivo juga dilakukan oleh Raharjo et

al. (2014). Ditemukan ekstrak air dari daun

C. siamea yang mempunyai kemampuan

menghambat pertumbuhan P. berghei secara

in-vivo.

Tanaman pasak bumi termasuk dalam

famili Simaroubaceae dengan genus

Eurycoma yang memiliki tiga spesies, yaitu

Euryoma longifolia Jack., Eurycoma apiculata

Benn, dan Eurycoma harmandiana Pierre

(Van Steenis, 1972). Pasak bumi merupakan

tumbuhan semak, dengan batang berkayu,

kuat dan keras. Pasak bumi memiliki bentuk

batang bulat, berwarna coklat keabu-abuan,

permukaan kulit batang licin, keras dengan

rasa pahit. Tata letak daun pasak bumi

berseling tersusun spiral dengan daun

majemuk mengumpul diatas. Bunga pasak

bumi bertipe tandan majemuk, keluar dari

ketiak daun (Setyaningrum, Kartikawati and

Wahdina, 2017)

Aktivitas antimalaria pasak bumi sudah

banyak diketahui namun belum diketahui

secara pasti zat aktif yang memiliki

kemampuan antimalaria sekaligus sebagai

pengaktif respon imunitas. Tanaman pasak

bumi mengandung senyawa aktif disebut

dengan kuasinoid yang memiliki

kemampuan sebagai antitumor, antiviral,

antiamoeba dan antiplasmodial (Kahtan,

2018). Pada penelitian yang dilakukan oleh

Kathan et al. (2018) uji aktivitas ekstrak

pasak bumi (Eurycoma longifolia jack) dapat

menurunkan tingkat parasitemia P. berghei

yang disertai peningkatan eskpresi TNF-α

pada mencit yang diinfeksi P. berghei.

Herba ketumpang dengan nama simplisia

Tridax procumbens L merupakan tanaman

berikutnya yang memiliki aktivitas sebagai

antimalaria. Ekstrak etanol herba ketumpang

memiliki aktivitas sebagai antimalaria,

dengan nilai hambatan konsentrasi 50 (IC50)

ekstrak etanol herba ketumpang adalah 3

μg/mL. Kandungan senyawa aktif yang

terdapat pada herba ketumpang adalah

alkaloid, saponin, flavonoid, steroid/

triterpenoid, dan polifenol (Hermanto et al.,

2016)

Tanaman lain yang memiliki potensi

sebagai antimalaria adalah tanaman cocor

bebek. Tanaman yang berasal dari famili

Crassulaceae ini memiliki beberapa

kandungan senyawa aktif yang berpotensi

sebagai antimalaria. Cocor bebek merupakan

tanaman herba yang berasal dari daerah

Madagaskar, dengan ciri morfologi batang

lunak, beruas, daun tebal berdaging dan

banyak mengandung air, daun berwarna

hijau dengan bunga majemuk buah kotak,

dan akar tunggang berwarna kuning keputih

-putihan (Bangun, 2012)

Kandungan senyawa aktif yang terdapat

pada cocor bebek adalah senyawa-senyawa

bufadienolida dan flavonoid, yang banyak

terdapat pada bagian daun (Biswas et al.,

2011) ; Supratman et al., 2001). Aktivitas

antimalaria daun cocor bebek telah diuji oleh

Hermanto et al. (2014) dengan

mengekstraksi daun cocor bebek

menggunakan pelarut etanol 96%

Page 42: e-ISSN : 2656-8233

Kajian senyawa aktif dan keamanan tanaman obat tradisional di Indonesia sebagai …

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 33-43 (2019)

39

menggunakan metode ekstraksi maserasi.

Ekstrak etanol daun cocor bebek kemudian

diuji untuk melihat aktivitas antimalaria

yang ditentukan dengan parasitemia, persen

pertumbuhan dan penghambatan parasit.

Hasil pengujiannya menunjukan bahwa

ekstrak etanol daun cocor bebek memiliki

efek antimalaria dengan nilai IC50 sebesar

0,022 μg/mL(Hermanto et al., 2014)

Tanaman terakhir yaitu Talikuning

(Anamirta cocculus), merupakan salah satu

jamu tradisional yang biasa digunakan di

Papua secara empiris sebagai antimalaria.

Batang dan akar Talikuning mengandung

alkaloid kuartener yang dianggap memiliki

aktivitas fisiologis sebagai antimalarial

Pengujian yang dilakukan oleh Muti’ah et al.

(2010) menunjukkan ekstrak talikuning

induk bisa menghambat pertumbuhan

Plasmodium berghei secara signifikan (p

<0,05) terhadap kontrol dengan ED50 dari

0,043 mg/g BB tikus yang setara dengan 4,7

mg/kg BB manusia.

Berdasarkan ulasan mengenai delapan

tanaman tradisional yang secara empirik

digunakan sebagai antimalaria tersebut,

dapat dilihat bahwa secara garis besar

senyawa alami yang diduga berefek

antimalaria merupakan metabolit sekunder.

Senyawa yang paling sering disebutkan

terkandung dalam tanaman-tanaman

tersebut adalah senyawa golongan saponin,

alkaloid, flavonoid, dan tanin. Mekanisme

ekstrak tanaman yang mengandung senyawa

-senyawa tersebut dalam menurunkan

parasitemia malaria masih belum tentu.

Akan tetapi, penurunan ekspresi TNF-α pada

kondisi infeksi tersebut sering diajukan

sebagai dugaan mekanisme antimalaria.

Terbatasnya data penelitian pada uji

praklinik menyebabkan pentingnya

memperhatikan beberapa aspek dalam

aplikasi pengobatan secara klinis. Aspek-

aspek yang perlu diperhatikan dalam

penggunaan obat tradisional sebagai

antimalaria yaitu sebagai berikut.

1. Kebenaran bahan yang digunakan

Indonesia memiliki keanekaragaman

hayati yang sangat banyak. Spesies tanaman

yang ada di Indonesia juga sangat banyak

sehingga cukup sulit dibedakan antara

spesies yang satu dengan yang lain. Biasanya

penggunaan tanaman herbal sebagai terapi

didasarkan pada penggunaan secara turun

temurun yang diwariskan oleh nenek

moyang pada etnik atau masyarakat suku

tertentu serta digunakan secara empiris. Saat

menggunakan obat tradisional sebagai

pilihan terapi tambahan untuk malaria

praktisi harus memastikan kebenaran bahan

yang digunakan. Untuk memastikan

kebenaran dari suatu tanaman yang

digunakan, masyarakat sekitar perlu

diberikan edukasi dan telaah informasi yang

benar, tepat, dan akurat. Edukasi sebaiknya

tidak mengabaikan cara unik masyarakat

suku tertentu dalam mengidentifikasi

toksisitas tanaman tersebut.

2. Ketepatan dosis penggunaan

Meski disinyalir efek samping dari obat

tradisional relatif kecil, namun pertimbangan

akan dosis terapi sangat diperlukan. Efek

samping dari obat tradisional memang tidak

sama dengan efek samping yang ditimbulkan

oleh obat sintetis. Hal ini disebabkan karena

pada tanaman obat terdapat suatu

mekanisme penangkal yang mampu

menetralkan efek samping yang muncul yang

disebut juga ”SEES” (Side Effect Eliminating

Subtanted) (Parwata, 2016). Pada kasus ini

penderita malaria cenderung menggunakan

dosis secara empiris. Sejauh ini belum ada

takaran mutlak yang pakai sebagai acuan

untuk dosis obat tradisional. Peracikan yang

dilakukan untuk obat tradisional saat ini

lebih banyak menggunakan takaran

Page 43: e-ISSN : 2656-8233

Jawa La dan Kurnianta

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 33-43 (2019)

40

sejumput, segenggam ataupun seruas yang

sangat sulit ditentukan ketepatannya (Lusia,

2006). Untuk menghindari efek samping

yang tidak diinginkan masyarakat perlu

diedukasi dengan menggunakan takaran

baku seperti gram, mg, liter, milliliter dan

lain-lain.

3. Ketepatan cara penggunaan dan waktu

penggunaan

Ada beberapa cara yang digunakan untuk

mengkonsumsi obat tradisional. Obat

tradisional memiliki banyak kandungan

senyawa aktif dimana memerlukan cara

penggunaan yang berbeda antara satu

dengan yang lain. Waktu penggunaan pun

sangat penting dan cukup menjadi perhatian

dalam menggunakan obat tradisional, contoh

Cabe jawa, bisa memperkuat rahim ibu hamil

di awal-awal kehamilan, namun jika

dikonsumsi pada trisemester terakhir akan

mempersulit proses kelahiran. Hal-hal

mendasar seperti ini perlu menjadi

perhatian khusus.

4. Tepat indikasi

Obat tradisional memiliki banyak

kandungan zat aktif yang sebagian besar

belum dapat ditentukan secara pasti efek

farmakologinya, karena belum ditentukan

secara pasti efek farmakologi dari masing-

masing zat yang terkandung dalam tanaman,

maka cenderung beberapa tanaman obat

memiliki efek farmakologi lebih dari satu.

Baru beberapa senyawa aktif yang telah

diisolasi untuk pengembangan penemuan

obat baru. Penggunaan obat tradisional

untuk terapi sebaiknya mengacu pada studi

ilmiah yang telah dilakukan dikarenakan

banyaknya kandungan senyawa aktif yang

ada pada tanaman menyebabkan banyaknya

efek farmakologi yang akan ditimbulkan

dalam penggunaannya. Sebagai contoh:

tanaman sambiloto memiliki kandungan zat

aktif lakton diterpenoid (andrograpolid),

paniculides, farmesols, flavonoid, saponin,

dan alkaloid (Dalimunthe, 2009). Sambiloto

telah dikenal oleh masyarakat luar bukan

hanya sebagai antimalaria tetapi juga

memiliki efek farmakologi lainnya seperti

sebagai antidiabetes.

KESIMPULAN

Beberapa tanaman dapat digunakan

sebagai agent antimalaria berdasarkan hasil

penelitian baik secara in-vivo maupun in-

vitro. Meski belum diketahui secara pasti

senyawa aktif dari masing-masing tanaman

yang berpotensi sebagai antimalaria namun

upaya pengembangan obat tradisional

sebagai alternatif pengobatan malaria harus

terus dikembangkan. Banyaknya tanaman

obat tradisional di Indonesia memberikan

banyak peluang bagi peneliti untuk meneliti

lebih jauh mengenai potensi penggunaan

tanaman obat tradisional sebagai alternatif

terapi malaria. Meskipun efek samping

penggunaan tanaman untuk pengobatan

malaria dinilai kecil namun, penggunaan

obat tradisional harus tetap memperhatikan

aspek-aspek keamanan serta nilai

kemanfaatan.

SARAN

1. Perlu dilakukan kajian dan penelitian

lebih lanjut tentang zat aktif yang

berperan sebagai antimalaria baik dengan

melakukan isolasi pada kandungan

senyawa aktif dan menentukan

mekanisme kerjanya.

2. Perlu ada pengembangan lebih lanjut

untuk temuan-temuan tanaman baru

sebagai antimalaria dan dikembangkan

dalam bentuk obat herbal terstandar agar

dapat digunakan sebagai alternatif pilihan

terapi malaria termasuk pada pengobatan

secara klinis.

3. Perlu sosialisasi kepada masyarakat

Page 44: e-ISSN : 2656-8233

Kajian senyawa aktif dan keamanan tanaman obat tradisional di Indonesia sebagai …

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 33-43 (2019)

41

tetang cara penggunaan obat tradisional

yang aman termasuk informasi yang

didapat terkait penggunaan tanaman obat

sebagai antimalaria.

KONFLIK KEPENTINGAN

Penulis menyatakan tidak terdapat

potensi konflik kepentingan dengan

penelitian, kepenulisan, dan atau publikasi

artikel ini.

REFERENSI

Bangun, A. (2012) Ensiklopedia Tanaman

Obat Indonesia. Indonesia Publishing

House. Bandung.

Biswas, S. et al. (2011) Literature Review on

Pharmacological Potentials of

Kalanchoe pinnata (Crassulaceae),

African J. Pharmacy and Pharmacology,

5(10), pp. 1258–1262.

BPOM, (2008) Informatorium Obat Nasional

Indonesia, Badan Pengawas Obat dan

Makanan Republik Indonesia, Jakarta

Dalimartha, S. (1999) Atlas Tumbuhan Obat

Indonesia. 1st edn. Edited by Trubus

Agriwidia. Jakarta.

Dalimuthe, A (2009), Interaksi Sambiloto

(Andrographis panniculata).

Departemen Farmakologi. Fakultas

Farmasi. Universitas Sumatra Utara.

Medan

Duke JA. 2009. List of chemicals of Acalypa

australis L. In; Phytochemical and

Ethnobotanical Databases. http://

sun.ars-grin.gov:8080/npgspub/ xsql/

plantdisp.xsql?taxon=406

Ekasari W, Wahjo D, Yoes PD,( 2001). Uji

antimalaria in vitro dari ekstrak etanol,

kloroform daun Cassia siamea. Majalah

Kedokteran Tropis Indonesia. Vol. 12

No. 12 September 2001.

Ekasari W, Wahjo D, Yoes PD, and Suhintam

P, (2001). In vitro antiplasmodial

activity of alkaloid fraction of

chloroform extract of Cassia siamea

leaves. WHO UI, Jakarta.

Ekasari W, Aty W, Suhintam P, 2002. Daya

skinzontosida ekstrak etanol, ekstrak

kloroform dan fraksi yang positip

alkaloid daun C. siamea pada biakan in

vitro P. falciparum. Penelitian BBI.

Lemlit Unair. Surabaya.

Ekasari W, Aty W, Suhintam P, (2004). Uji

antimalaria senyawa hasil isolasi fraksi

positif alkaloid daun C. siamea pada

biakan in vitro P. falciparum. Penelitian

Dosen Muda/ BBI. Lemlit Unair

Surabaya.

Hairani, S. (2014) Efektivits Ekstrak Daun

Mundu (Garcinia dulcis) sebagai

larvasida nyamuk Culex

quinquefasciatus dan Aedes aegypti.

Institut Pertanian Bogor.

Hayati, E. K., Jannah, A. and Ningsih, R.

(2012) Identifikasi Senyawa dan

Aktivitas Antimalaria In Vivo Ekstrak

Etil Asetat Tanaman Anting-Anting

(Acalypha indica L.), Molekul, 7(1), pp.

20–32.

Hermanto, F. et al. (2014) Uji Aktivitas

Antimalaria Ekstrak Etanol Daun Cocor

Bebek (Kalanchoe blossfeldiana Poelln.)

pada Plasmodium falciparum 3D7, 2

(December), pp. 54–58. doi: 10.26874/

kjif.v2i2.18.

Hermanto, F. et al. (2016) Uji Aktivitas

Antimalaria Ekstrak Etanol Herba

Ketumpang (Tridax procumbens L)

pada Plasmodium falciparum Galur

3D7, in. Cimahi: Prosiding Seminar

Nasional Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi Jenderal Ahmat Yani:

Membangun Inovasi Dalam Sains

Teknologi, Kesehatan dan

Sosiohumaniora.

Heyne (1987) Tumbuhan Berguna Indonesia.

III. Edited by Terjemahan Balitbang

Kehutanan. Jakarta.

Page 45: e-ISSN : 2656-8233

Jawa La dan Kurnianta

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 33-43 (2019)

42

Jones s (1980) Morphology and Major

Taxonomy of Guttiferae. University of

Leicester. London.

Jumiarni, W. O. and Komalasari, O. (2017)

Eksplorasi jenis dan pemanfaatan

tumbuhan obat pada masyarakat suku

muna dan dipemukiman kota wuna.

Balitbangda provinsi Sulawesi

tenggara, baligbanda provinsi Sumatra

selatan, 22(April), pp. 45–56.

Kahtan, M.I, Astuty, H dan Wibowo, H.

(2018). Uji Antimalaria Ekstrak Akar

Pasak Bumi (Eurycoma Longifolia Jack)

dan Pengaruhnya terhadap Ekspresi

TNF-α pada Mencit yang diinfeksi

Plasmodium berghei. Majalah

Kedokteran UKI 2018 Vol XXXIV No.2.

Jakarta

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

(2016) Infodatin Malaria, Pusat Data

dan Informasi Kemenkes RI. Jakarta.

Lusia, O. R. K. sari (2006) Pemanfaatan Obat

Tradisional Dengan Pertimbangan

Manfaat dan Keamanannya, April, pp. 1

–7. 01-07 ISSN: 1693-9883 https://

docs.google.com/viewer?url=http://

jurnal.farmasi.ui.ac.id /pdf/2006/

v03n01/lusia0301.pdf&chrome=true

Moektiwardoyo, M. (2017) Etnofarmasi. 1st

edn. Yogyakarta.

Muti’ah, R. et al. (2010) Kombinasi Ekstrak

Batang Talikuning dan Artemisin

sebagai Obat Antimalaria terhadap

Plasmodium berghei, 26(1), pp. 8–13.

News, A. (2007) Nyamuk Malaria di Papua

Kebal terhadap Obat Cloroquin.

Nurmalasari, N., Sukarsa and Hidayah, H. A.

(2012) Studi Kasus Pemanfaatan

Tumbuhan sebagai Obat-Obatan

Tradisional oleh Masyarakat Adat

Kampung Naga di Kabupaten

Tasikmalaya, (1981).

Parwata, I. M. O. (2016) Obat tradisional.

Diklat. Bali.

Patterson S, O’Hagan D., (2002) Biosynthetic

studies on the tropane alkaloid

hyoscyamine in Datura stramonium;

hyoscyamine is stable to in vivo

oxidation and is not derived from

littorine via a vicinal interchange

process, Phytochemistry, 61(3): 323-9.

Plantamor (2008) Anting-anting (Acalypha

australis L.). dalam : Informasi Dunia

Tumbuhan.

Raharjo, A., Ekasari, W dan Hafid, A.F.(2014).

Uji Aktivitas Antimalaria Ekstrak Air

Daun Johar (Cassia siamea Lamk)

Terhadap Plasmodium berghei Secara

In Viv. Fakultas Farmasi Universitas

Airlangga,Surabaya, Jurnal Farmasi dan

Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol. 1,

No.1 Juni 2014

Setyaningrum, D, Kartikawat, S.M & Wahdina

(2017) Morfologi Pasak Bumi

(Eurycoma spp) di Dusun Benuah

Kabupaten Kubu Raya Kalimantan

Barat. Fakultas kehutanan Universitas

Tanjungpura. Jurnal Hutan Lestari

(2017) Vol. 5 (2) : 217 – 224

Supratman, U., Fujita, T., Akiyama, K.,

Hayashi, H., 2000, New insecticidal

bufadienolide, bryophyllin C, from

Kalanchoe pinnata. Biosci. Biotechnol.

Biochem. 64, 1309–1311.

Syamsudin et al. (2007) Aktivitas

antiplasmodium dari dua fraksi ekstrak

n-heksana kulit batang asam kandis

(Garcinia parvifolia Miq), pp. 210–215.

Van Steenis, C. (1972) Flora Malesiana, Series

-1 Spermatophyta Flowering Plants

Vol.6. publishing, Groningen The

Netherland. Netherland., 6.

Wahjoedi. B, Astuti. Y & Nutarmi (1997). Efek

Antipiretik Ekstrak Etanol Daun Johar

(Cassia siamea LAMK) Pada Tikus Putih.

Penelitian Puslitbang Farmasi Badan

Litbangkes 25 (3 & 4)

Widodo, G. P. and Rahayu, M. P. (2010)

Page 46: e-ISSN : 2656-8233

Kajian senyawa aktif dan keamanan tanaman obat tradisional di Indonesia sebagai …

Acta Holist. Pharm. Vol. 1 No. 1: 33-43 (2019)

43

Aktivitas antimalaria ekstrak etil asetat

kulit batang mundu (Garcinia dulcis

Kurz), pp. 238–242.

Widyawati,T (2015) Aspek Farmakologi

Sambiloto (Andrographis paniculata

Nees). Universitas Sumatra Utara.

Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 40

No. 3. https://www.researchgate.net/

publication/45192828

Yusuf H, Mustofa, Wijayanti MA, Susidarti RA,

Asih PBS, Suryawati, Sofia. A New

Quassinoid of Four Isolated

Compounds from Extract Eurycoma

longifolia, Jack Roots and their in-vitro

antimalarial activity. IJRPBS. 2013;4

(3):728-34.

Zein, U. (2009) Perbandingan Efikasi

Antimalaria Ekstrak Herba Sambilot

(Andrographis Paniculata Nees)

Tunggal Dan Kombinasi Masing-Masing

Dengan Artesunat Dan Klorokuin Pada

Pasien Malaria Falsiparum Tanpa

Komplikasi, Disertasi. Universitas

Sumatra Utara, Medan