28
Edisi 3 November 2014 Harga Eceran Rp 13.000,- Mengenang Kepergian Kiai Haji Abdul Basit Bahar;Pengasuh Ponpes Annuqayah Daerah Karang Jati 24 Jam Bersama Bupati Metamorfosis Al-Ghazali; Dari Filsuf Menuju Sufi

Edisi 4 Mata Sumenep

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tabloid Budaya, Agama dan Politik

Citation preview

Page 1: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 1

Edisi 3 November 2014Harga Eceran Rp 13.000,-

Mengenang Kepergian Kiai Haji Abdul Basit Bahar;Pengasuh Ponpes Annuqayah DaerahKarang Jati

24 Jam BersamaBupati

Metamorfosis Al-Ghazali;Dari Filsuf Menuju Sufi

Happy Happy Happy BirthdayBirthdayBirthdayBirthdayBirthdayBirthdaySumenep Sumenep Sumenep Sumenep Sumenep Sumenep ke 745ke 745ke 745ke 745ke 745ke 745

Page 2: Edisi 4 Mata Sumenep

2 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

Susunan Redaksi

Kantor Redaksi: Jl Matahari 64 Perum Satelit, Tlp (0328) 673100 Email: [email protected] , [email protected] PIN BB: 7D0B6F42

Komisaris: Asmawi Dewan Redaksi: Moh. Jazuli, Ali Humaidi Dewan Ahli: Fathorrahem Redaktur Tamu: Suhaidi Direktur: Hambali Rasidi Pemimpin Redaksi: Hambali Rasidi Redaktur Rusydiyono Reporter: Rusdiyono, Mahdi, Nikam Hokiyanto, Ahmad Faidi, Asip Kusuma, Imam Rasyidi Desain Grafi s: Ahmad Yadi, Syukron Manajer Iklan & Promosi: M. Adi Irawan Penagih Iklan: Fathor Rahem Manajer Sirkulasi & Distribusi: Moh. Junaedi Keuangan: Imraatun Nisa’ Penerbit: PT MATA SUMENEP INTERMEDIA NPWP: 70.659.553.5-608-000 SIUP: 503/29/SIUP-M/435.213/2014 TDP: 13.21.1.58.00174. NPWP: 70.659.553.5-608-000 SIUP: 503/29/SIUP-M/435.213/2014 TDP: 13.21.1.58.00174.

Pembaca Mata Sumenep, kali ini, redaksi menurunkan liputan Hari

Jadi Sumenep ke 745, sebagai moment tahunan warga Sumenep

yang penuh suka ria dan menyimpan pesan filosofis.

M

85

25

Salam Redaksi

Selalu ada Yang Baru Keraton Sumenep yang Angker dan Berwibawa

Refleksi Hari Jadi Sumenep ke 745;Sultan Natakusuma, Bupati Busyro dan Transformasi Intelektual

10

Kiai Musyfiq Madim;Tahlbun Oase Bathiniyah

Berebut Sisa Pakaian Bupati Kiai Haji Abuya Busyro Karim

26M

Terasa sulit memahami kejadian di luar keseragaman. Apalagi sesuatu yang ingin diketahui itu tidak memiliki keabsahan refrensi untuk dibaca, menurut kacamata masyarakat rasional. Pastinya, hanya bisa menerka dan berasumsi dari kebenaran

yang sudah tidak lazim menjadi konsumsi publik. Itulah yang menjadi pemikiran dalam rapat redaksi mata sumenep sebelum menu-

runkan liputan Hari Jadi Sumenep ke 745 dari kacamata beda, tapi, tetap dalam konteks jurnalistik. Dalam pikiran crew mata, bergelayut angle lain dari media online dan media harian. Mata Sumenep harus menyajikan sesuatu yang beda, meski objek liputan sama.

Edisi kali ini, penuh liputan Hari Jadi Sumenep ke 745. Tapi, redaksi tetap menurunk-an ciri khas Mata Sumenep, seperti majelis taklim, suri tauladan dan testimoni satu sosok dua pribadi; Bupati Abuya Busyro Karim. Barangkali kita baru dengar jika ada sebagian loyalis bupati Busyro yang masih berkeyakinan, sisa makanan sangat perlu dinikmati dan sisa pakaiannya menjadi rebutan untuk memilikinya.

Liputan Hari Jadi, muncul gagasan untuk menurunkan liputan yang ringan-ringan, tapi menawarkan solusi. Apakah itu bersifat idea maupun wacana yang bisa menunjuk pengetahuan baru. Seperti, mata opini atas Refl eksi Hari Jadi dan bagaimana respon para PNS yang memakai seragam kerja kantor ala Kerajaan Sumenep, tempo doeloe. Dan apa sebenarnya yang menjadi rahasia eksistensi Keraton Sumenep, yang selalu memantulkan aura kharisma. Sehingga, kewibawaan itu membawa penghuni keraton dan pemerintahan Sumenep, seakan, tetap elok dan sejajar dengan kabupaten lain di Indonesia.

Wal hasil, ide-ide berkeliaran hingga ingin mengulang sejarah cikal bakal berdirinya Kepulauan Nusantara Indonesia melalui ekspansi kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang tak lepas dari konstribusi Joko Tole, seorang Raja Sumenep, waktu itu. Namun, pengu-langan sejarah, hanya menyamakan kacamata publik tentang kejayaan Sumenep, tempo doeloe. Selain itu, crew redaksi menilai, review sejarah hanya ingin membelenggu diale-ktika fi losofi s, tentang sosok Raja Sumenep yang penuh relegius dan ksatria. Padahal, sejarah juga menuntun bahwa Kabupaten Sumenep penuh kisah mistis para empu, dan berjubel makam para waliyullah di bumi Sumenep. Apakah makam para keluarga Raja atau makam suci. Yang pasti, peziarah, sudah tak terhitung jumlahnya, melebihi wisata alam, yang datang ke Sumenep. Sayang, fenomena peziarah itu, tidak dibaca sebagai pe-luang wisata yang bisa menggiurkan ekonomi warga.

Kembali kepada dalih keterbatasan refrensi dan nara sumber untuk membaca yang tidak lazim, redaksi hanya sekedar menurunkan materi liputan suasana Keraton Sumenep yang angker dan berwibawa, sebagai bumbu liputan Hari Jadi Sumenep ke 745. Satu sisi, tempat tertentu diakui angker karena terdapat sisa tempat ibadah para Raja yang men-capai kewalian. Sisi lain, siapapun yang melihat dan mendatangi area Keraton Sumenep, pasti terasa takjub. Pengunjung, seakan menyentuh aliran aura kedamaian ketika berada di lingkungan keraton.

selamat membaca.

Page 3: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 3

Dari kejauhan tampak rombongan Arya Wiraraja, diiringi dua per-maisuri, putri- putri cantik dan para panglima menuju panggung kehormatan. Sebelum mendekati panggung, Arya Wiraraja disam-

but pasukan kawal kehormatan diiringi 30 penari yang memakai taming dan tombak. Mereka menari di depan Arya Wiraraja sebagai bentuk welcome ke-hadiran Arya Wiraraja di bumi Soenggennep.

Selain itu, tampak 15 putri–putri cantik Soengennep mengelilingi Arya Wiraraja sambil menabur beras kuning. Setelah usai, Arya Wiraraja menaiki panggung. Di atas panggung sudah ada utusan dari Kerajaan Singosari, Raja Kertanegara yang siap membacakan Kakancinga (Surat pelantikan Arya Wi-raraja) sebagai Adipati Soenggennep.

Selesai pelantikan Adipati Soengennep, Arya Wiraraja menempati kur-si Adipati, kemudian datang 12 petinggi – petinggi desa kuno, antara lain, Lobuk, Beragung, Keles, Tanjung, dan desa kuno lainnya. Panji – panji me-nari sambil merunduk, kemudian menyatakan kesetiaan kepada sang Adi-pati. Rasa kegembiraan rakyat Soengennep dengan kehadiran Arya Wiraraja diterjemahkan lewat tari pangesto yang menandakan esto (tunduk) ke pem-impin.

Kesenangan rakyat Sumenep tidak berhenti. Sang pemimpin baru terus diiringi penari cantik dan alunan music tradisional saronen sebagai bentuk persembahan kepada Arya Wiraraja. Setelah itu, Pataka (Bendera Keraton) diserahkan Arya Wiraraja kepada Bupati Sumenep Abuya Busyro Karim se-bagai generasi penerus.

Usai Pataka diserahkan, rakyat kembali mempertunjukkan seni tari dan drama (Sendratari) Mutiara tiga zaman. Kostum yang digunakan para pemain Sendratari ini, mengisahkan sebuah cerita tanpa dialog di antara pemain-pemainnya, yang dipandu seorang dalang, untuk menggambarkan masa lalu, sekarang dan akan datang Kabupaten Sumenep.

Begitulah, gelaran parade budaya dan prosesi penobatan Arya Wiraraja sebagai Adipati pertama di Sumenep, sebagai puncak prosesi Hari Jadi Kabupaten Sumenep ke 745, yang digelar depan Masjid Agung Sumenep, Minggu, 2 November. Prosesi pelanti-kan Arya Wiraraja menjadi Adipati pertama Sumenep menjadi sebuah momentum yang patut kita banggakan. Kenapa? Edy Setiawan, sang sutradara prosesi Arya Wiraraja, kali ini, memiliki berbagai argumen. Edy berdalih, sebagai generasi penerus, tentu perlu tahu gambaran sosok dan tokoh utama pendiri Kabupaten

Sumenep. Dan pada zaman Wiraraja Sumenep menunjukkan kebe-sarannya. Rakyat makmur dan sejahtera. Sumenep mengalami masa keemasan pada masa Wiraraja. Jika tidak menjadi kerajaan besar, mustahil kerajaan mengirim bala pasukan ke Majapahit. Wajar, kita boleh bertepuk dada. Tanpa bantuan Wiraraja Sumenep, Kera-jaan Majapahit tidak akan berdiri. Wiraraja sebagai inspirasi bagi masyarakat.

Edy melanjutkan kisah ihwal penentuan Hari Jadi Kabupaten Sumenep. Wajar bila Edy banyak faham penenuan Hari Jadi Sume-nep karena dirinya menjadi salah satu tim perumus bersama para

ahli sejarah lainnya. Dijelaskan, waktu itu, Kerajaan Singosari dengan Raja Kartanegara menjadi rujukan penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumenep le-wat berbagai parasasti.

Sumber Prasasti yang dijadikan rujukan diantaranya Prasasti Mau Manu-rung dari Raja Wisnuwardhana berangka tahun 1255 M., Prasasti Pranggan (Sengguruh) dari Raja Kertanegara berangka tahun 1356 M., Prasati Pakis Wetan dari Raja Kertanegara berangkatahun 1267 M. Prasasti Sarwadharma dari Raja Kertanegara berangka tahun 1269 M.

Sumber sejarah Prasasti Sarwadharma, lengkapnya berangka tahun 31 oktober 1269 M, merupakan sejarah signifikan jelas menyebutkan bahwa saat itu Raja Kartanegara telah menjadi Raja Singosari yang berdaulat pe-nuh dan berhak mengangkat seorang Adipati.

Asal usul Arya Wiraraja terdapat banyak sumber yang berbeda. Pertama, Pararaton (dalam bab V hal 27) yang berbunyi, “Hanata Wongira, Babatan-gira buyuting nangka aran Banyak Wide, sinungan pasenggahan Arya Wi-raraja,”. Artinya adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di nang-ka, bernama Banyak Wide diberi sebutan Arya Wiraraja.

Selain itu , kata Edy, sumber tersebut menerangkan bahwa nambi adalah putra Arya Wiraraja sedangkan Ranggalawe adalah keturunan bangsawan Singosari yang terkenal.

Kedua, terdapat dalam Kidung Panji Wijayakrama/Kidung Ranggalawe (pupuh 1 Nomer 1220) yang isinya “wonten wongira binatang buyut nangka,

Parade Sendratari Puncak Hari Jadi Sumenep

Page 4: Edisi 4 Mata Sumenep

4 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

Banyak Wide anami,sinung abiseka, Aria Wiraraja. Maknanya, ”ada seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka, Banyak Wide namanya, dia diberi gelar arya wiraraja”. Dalam kidung ini dikatakan bahwa Ranggalawe adalah anak dari Arya Wiraraja yang berasal dari Tanjung Madura Sume-nep. Setelah itu Kidung Sorandaka , kidung ini menjelaskan bahwa Nambi adalah anak dari Pranaraja. Karenanya, Om Edy,panggilan akrbanya, san-gat menarik sekali untuk di ketengahkan suatu hypotesa Prof.Dr. Slamet Mulyono dalam bukunya “Negara Kertaga-ma dan Tafsir Sejarahnya.”

Sejumlah refrensi sejarah di atas mearahkan pelantikan Arya Wiraraja ditetapkan tanggal 31 Oktober 1269 M dan menjadi rujukan sangat kuat untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Sumenep. Peringatan setiap tahun diisi berba-gai macam peristiwa seni budaya. Yang menjadi sakral aca-ra adalah prosesi Arya Wiraraja.

Karena itu, Edy menilai kegiatan rutin tahunan, sangat urgen digelar karena aspek budaya merupakan salah satu faktor penting dalam membangun bangsa. “Sebab, sektor budaya senantiasa perlu dikembangkan dan dilestarikan se-cara berkesinambungan. Salah satu upaya untuk melestari-kan dan mengembangkan seni budaya tradisional sebagai pilar dan acuan budaya bangsa adalah penyelenggaraan Peringatan Hari Jadi Kabupaten atau kota yang merupa-kan bentuk pelestarian seni dan budaya serta adat istiadat daerah,” tutur Edy kepada Mata Sumenep.Karena itu, Edi Setiawan berharap sikap Wiraraja dan Ketokohan Wiraraja bisa menjadi Inspirasi dan spirit generasi muda Sumenep dan Madura pada Umumnya.

Sedikitnya 20 tuorism mancanegara hadir ikut menyaksnkan parade budaya. Wisatawan asing ini, berasal dari Spanyol, Argentina, Jerman, Amerika Serikat, Prancis dan Kolombia. Mereka tampak dalam deretan kursi undangan paling depan yang disediakan panitia. Tak lupa, mereka juga mengabadikan prosesi puncak hari jadi ke 745 Kabupaten Sumenep ini.

Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga (Dispar-bud), Febriyanto menngakui jika wisatawan asing sengaja diundang seba-gai bagian dari promosi potensi wisata Sumenep. “Ini bagian dari promosi

wisata yang kami lakukan,” katanya.Bupati Sumenep Abuya Busyro Karim, menyebut

rangkaian acara Peringatan Hari Jadi Sumenep kali ini merupakan benteng untuk mengokohkan falsafah, tata nilai dan kretifitas seni yang tetap berpijak kuat terhadap akar tradisi. Bupati menarget, kunjungan wisatawan ke Sumenep tahun 2014 mencapai 1 juta orang. “Ini target yang masuk akal, karena melihat grafik yang ada, kunjungan wisatawan ke Sumenep terus meningkat dari tahun ke tahun,” imbuh bupati.

Selain itu, Busyro berharap agar Prosesi dan Pawai Budaya dalam rangkaian peringatan hari jadi Sume-nep, bisa dijadikan ikon budaya. Acara tersebut meru-pakan tata nilai kreatifitas seni yang terbangun pada tradisi. “Jadi ada komitmen mempromosikan potensi

wisata sumenep. Mubadzir kalau potensi yang kita miliki tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya,” ujarnya.

Tahun 2014 ini Pemerintah Kabupaten Sumenep memiliki tema besar yang terinsprirasi dari potensi alam Pulau Giliyang, Kecamatan Dungkek, sebagai potensi wisata kesehatan. Dan kebetulan, Sumenep menjadi tuan rumah

pagelaran Festival Kesenian Pesisir Utara (FKPU) yang diikuti 14 kabupat-en/kota di Jawa Timur.

“Pulau Giliyang itu mempunyai oksigen terbaik kedua setelah Yordania. Maka, rugi jika tidak pernah sampai ke Pulau Giliyang,” kata Busyro selaku tuan rumah FKPU. Bupati merinci warga Pulau Giliyang, banyak yang beru-mur lebih 100 tahun. “Mereka, masih terlihat segar bugar. Ini salah satu indikator jika oksigen Pulau Giliyang baik untuk kesehatan,” promo bupati saat pembukaan FKPU, Jumat (31/11).

Menurut bupati, Gubernur Jatim, Soekarwo selalu sering mengkam-panyekan potensi Pulau Giliyang. Karena itu, pembangunan infrastruk-

tur menuju Pulau Wisata sedang ditangani Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS). Selain Pulau Giliyang, bupati juga mempromosikan sejum-lah lokasi wisata yang ada di Sumenep. Seperti wisata alam, wisata religi, termasuk wisata sejarah seni dan budaya Sumenep.

hambali rasidi

Page 5: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 5

Keraton Sumenep menjadi menjadi saksi bisu kejayaan Soengennep tempo doe-loe. Sumenep, satu-satunya kabupaten

di Jawa Timur yang memiliki keraton, warisan para Raja. Dari ornamen Keraton, menuntun kita bahwa para Raja, dulu, telah berpikir ko-smopolit, dengan menempatkan seni budaya Jawa, Islam, China dan Eropa, yang menjadi desain arsitek Liaw Piau Ngo, warga China.

Keraton kebanggan warga Sumenep ini diban-gun pada masa pemerintahan Panembahan Su-molo, Tumenggung Arya Nata Kusuma I, tahun 1762. Keraton ini terdiri dari, Pendopo Agung, kamar pribadi Raja dan keluarganya, dan bekas Keraton Raden Ayu Tirtonegoro yang saat ini di-jadikan tempat penyimpanan benda-benda kuno.

Sepintas, tidak ada istimewa dari fisik keraton. Kecuali bangunan kuno yang berje-jer di tengah bangunan modern. Tapi, aura kharisma lahir dari dalam Keraton karena masih banyak sisa-sisa barang ghaib pening-galan para Raja. Maklum, para Raja Sumenep, bukan manusia biasa. Tepatnya sosok pilihan yang memiliki kelebihan ilmu bathiniyah. Warga menyebutnya, sosok Raja Sumenep se-orang waliyullah (kekasih Allah Swt). Tidak heran, apabila sisa tempat semedi, Bindara Saod, Raja Sumenep, masih dinilai angker.

Kenapa? Menurut Muzakki, 55, ahli metafisi-ka, sisa tempat ibadah atau tempat tinggal para waliyullah, memang disenangi kaum Jin. Tem-pat itu, terasa sejuk bagi bangsa Jin, karena sisa tempat orang yang ahli ibadah.

“Semasa hidupnya, para Jin tidak berani mendekat karena beraura panas dengan sua-sana penuh dzikrullah. Tapi, setelah ahli dzikir wafat, tempat itu menjadi sejuk bagi para Jin,”

jelas Muzakki yang melihat dari kacamata mis-tis. Penjelasan Muzakki bisa jadi sulit dinalar atau dirasionalkan. Setidaknya, Muzakki me-nyebut dalam Islam, faham mistisisme bisa di-pahami lewat tasawuf.

Raden Bagus Roeska Pandji Adinda, mem-benarkan jika keangkeran Keraton Sumenep sebagai dampak dari sosok Raja yang menem-patinya. Juru kunci Asta Tinggi ini menunjuk sisa kamar pribadi Sultan Abdurrahman, di dalam Keraton, bagi sebagian orang bisa ter-lihat angker. Tapi, baginya, nuansa angker kembali ke masing-masing individu. Sebab, kata Roeska, Sultan Abdurrahman seorang waliyullah. Sehingga, sisa kamar pribadinya, perlu pemahaman dan keseimbangan hati.

”Jika ada yang merasa Keraton Sumenep itu angker, itu hanyalah perasaan takut dan ketidak seimbangan amal perbuatan baik Sul-tan Abdurrahman dengan masyarakat yang ada pada saat ini,” jelas Gus Roeska, saat dite-mui Mata Sumenep.

Gus Roeska menyimpulkan Raja Keraton Sumenep mayoritas waliyullah. Sehingga, sam-pai saat ini aura mistis Keraton Sumenep masih terasa.

“Dalam dzikir Sultan Abdurrahman, da-pat menemukan gumpalan cahaya di Talango. Sehingga Sultan mendatangi tempat itu, lalu berdo’a, kemudian ada selembar daun jatuh dan bertuliskan nama Sayyid Yusuf. Sultan juga mampu menulis mushaf al–Qur’an, 30 juz, dalam waktu satu malam. Al-Qur’an, hasil tulisan tangan Sultan Abdurrahman, kini ter-simpan di musium Sumenep. Selain itu, Sultan Abdurrahman juga mampu berbahasa asing. Sultan diangkat Profesor oleh Belanda karena

kemampuan menerjemahkan prasasti kuno.,” cerita Gus Roeska.

Memang, memasuki suasana Keraton Sume-nep, terasa perpaduan aura kewibawaan dan suasana angker. Beberapa bangunan yang tetap tegar dan tegak berdiri, diikuti aksesoris ke-hidupan kala itu, mempresentasikan betapa Keraton Sumenep berkharisma adiluhung, yang terasa hingga saat ini. Tapi, di tempat tertentu di dalam Keraton, terasa suasana angker. Buluk kuduk terkadang berdiri bila memasuki ruan-gan yang dianggap keramat.

Gus Roeska menyebut tempat pribadi atau kamar pribadi para Raja yang tidak boleh sem-barangan orang masuk. Ia menyebut kamar pribadi Sultan Abdurrahman.

Selain itu, Gus Roeska juga menunjuk se-jumlah benda ghaib, sisa para Raja Sumenep dulu, yang tersimpan di dalam Keraton. Ben-da ghaib itu berupa keris yang memiliki kha-siat tinggi untuk menjaga kewibawaan Kera-ton dan penghuninya.

Sayang, Gus Roeska tidak menyebut tempat pusaka itu. “ Sudah ini menyangkut keraha-siaan. Barang-barang itu, tidak boleh bocor ke publik. Kasihan Sumenep, bila barang itu lepas dari Keraton,” ujarnya, sambil menutup pem-bicaraan.

Abd. Kadir, staf Rumah Dinas Bupati, bercer-ita jika almarhum Gus Dur, sang mantan Pres-iden RI, termasuk Imam Utomo (mantan Guber-nur Jatim) dan beberapa pejabat lainnya, pernah masuk dan sholat di salah satu ruang yang di-anggap berkharisma. “Tidak semua orang boleh masuk ke tempat keramat itu,” kata Kadir kepada Mata Sumenep.

imam rasyidi

Keraton Sumenepyang Angkerdan Berwibawa

Page 6: Edisi 4 Mata Sumenep

6 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

Merayakan Hari Jadi danBentuk Nyata Loyalis

Apakah, jika disebut penghamburan uang APBD itu, tanpa makna? Dari kacamata mikro, bisa jadi benar asumsi di atas. Namun, merayakan

sebuah Hari Jadi atau kegiatan seremonial, memiliki makna tersirat, yang berefek domino peningkatan usaha warga. Seperti, para pedagang kaki lima atau usaha kecil menengah, pasti merengguh keuntungan dari hasil jual, setelah banyak penonton yang mem-beli. Restoran, hotel dan alat transportasi, juga kena imbasnya, setelah para wisatawan domestik ramai-ramai, berkunjung ke bumi Super Mantap.

Memang belum ada survei terkait efek pening-katan ekonomi dari berjubelnya kegiatan seremonial ini. Setidaknya, fakta di sejumlah hotel di Sumenep, sudah fully booked, jauh sebelum acara digelar. Se-hingga, mereka yang terlambat order hotel, terpaksa menginap di hotel Kabupaten Pamekasan. Sejumlah hotel dan penginapan di Sumenep sudah terisi penuh para wisatawan domestik. Sehingga, tidak heran, bila melihat pertumbuhan hotel dan penginapan, sejak kepemimpinan Busyro Karim, begitu pesat. Dan ber-imbas pada lompatan PAD yang begitu monumental, meski belum ada data riil dari DPPKA, perolehan retribusi dari hotel dan restoran.

Di luar gesekan ekonomi, sejumlah kegiatan mer-ayakan sebuah moment, sudah terjalin transformasi kreatifi tas dan inovasi warga dalam aktivitas baru atau peningkatan usaha. Kenapa? Dialektika dalam sebuah aktivitas tentu memberi makna dan nuansa tersendiri, yang tanpa sadar, menjelma sebuah ide baru, yang tidak terduga. Gagasan-gagasan baru itulah, melebihi sekedar bantuan materi yang diterima. Semangat dan dan ga-gasan baru, menjadi penggerak memulai aktivitas baru atau pintu baru peningkatan usaha. Selain hiburan gra-tis warga.

Dalam kacamata sosial budaya, kegiatan seremo-nial perayaan, tercipta sebuah tradisi baru yang men-gadopsi nilai-nilai sosial dan budaya, warisan para pendahulu. Seperti, perayaan Imlek yang menjadi tradisi masyarakat Tionghoa, yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Perayaan Tahun baru Imlek juga merupakan tradisi perayaan dengan sejarah terlama, termeriah dan teramai hingga kini.

Pada zaman dulu perayaan Imlek merupakan per-ayaan tahun baru(berdasarkan yang li/kalender ma-tahari). Pada tanggal 27 September 1949, Pemerintah

RRC menetapkan tanggal 1 Januari sebagai perayaan tahun baru dan perayaan Imlek ditetapkan sebagai perayaan musim semi. Tahun baru Imlek atau “Sin-tjia” bagi masyarakat Tiongkok dan komunitas China asli dan peranakan, di Indonesia merupakan hari yang paling ditunggu. Mereka menyambut perayaan Imlek sarat makna dan ritual.

Saat Imlek, warna merah mendominasi deko-rasi setiap tempat. Mulai dari lampion, hiasan naga, barongsai, angpau, hingga petasan. Bahkan tak sedikit yang berpakaian cheongsam merah. Alasan warna merah mendominasi saat Hari Raya Sintjia, karena, merah identik dengan warna cerah dan lambang ke-bahagiaan. Bagi si pemakai, dengan berpakaian me-rah, mereka berharap jika di kehidupan mendatang mendapatkan masa depan yang cerah dan bahagia. Begitu juga dengan Barongsai. Tarian naga yang di-hadirkan saat perayaan juga mengandung makna yang mendalam. Konon, selain untuk mengusir aura jahat, tarian singa ini diyakini dapat mendatangkan keberuntungan dan kebahagiaan.

Imlek sebagai perayaan para petani di daratan Tiongkok yang bersyukur dengan hasil panen. Inilah yang membuat Imlek fokus pada makanan dan ber-tema anugerah yang melimpah ruah. Tujuan satu, se-bagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang telah di-berikan tahun lalu, dan meminta rezeki untuk tahun berikutnya. Hal ini diyakini, penampilan dan sikap di tahun baru menjadi penentu perjalanan di masa depan. Makna perayaan Imlek adalah spirit hidup dan ritual bagi penganut kepercayaan.

Sama halnya, perayaan Kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarah Isam, maupun ha-dits Nabi, tidak ditemukan perintah Nabi SAW kepa-da umatnya untuk merayakan kelahirannya. Namun, dari etika beragama, amat sangat perlu menghargai jasa-jasa Nabi SAW, yang telah memberi secercah kehidupan bagi penganut ajarannya. Bentuk meng-hargai atau menghormati orang yang berjasa, tanpa menunggu perintah. Hanya berbagai aktivitas yang bernuansa agama, jangan menghilangkan esensi, khawatir menggugurkan nilai kesucian. Itulah bukti nyata loyalis. Tidak menunggu perintah atau surat re-komendasi dari orang yang menanam jasa.

redaksi

Ada

pert

anya

an d

ari s

ebag

ian

war

ga S

umen

ep, a

neka

keg

iata

n se

rem

o-ni

al d

i bum

i Sum

enep

, beg

itu “

wah

”. M

ulai

dar

i HU

T RI

, Fes

ti val

Soe

n-ge

nnep

Flo

wer

s, p

amer

an p

emba

ngun

an d

i ti a

p ke

cam

atan

, hin

gga

pera

yaan

Har

i Jad

i Kab

upat

en S

umen

ep, k

e 74

5. S

ehin

gga

ada

yang

ise

ng m

engk

alku

lasi,

bia

ya y

ang

tam

pak

diha

mbu

rkan

men

capa

i mili

-ar

an ru

piah

. Itu

pun

di l

uar a

ngka

hitu

ngan

kas

at m

ata.

Page 7: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 7

Pada 31 Oktober tahun ini, Sumenep genap berusia 745 tahun. Usia yang sangat dewasa untuk suatu kabupaten. Usia Kabupaten Sumenep lebih tua dari usia Kota Surabaya, yang pada Mei kemarin berusia 721. Sume-

nep juga lebih tua dari Lamongan yang memiliki WBL dan Persela sebagai aset kuat, kini baru berusia 445 tahun. Juga lebih tua dari Banyuwangi yang kini mu-lai tampak pembenahan di banyak sektornya, pada Desember tahun ini berusia 243 tahun. Bahkan, Sumenep jauh lebih tua 676 tahun dari Indonesia! Sing-katnya, Sumenep kini tidak muda lagi.

Di usia yang tak lagi muda ini, Sumenep tentu saja telah mencatat banyak kemajuan dan prestasi dalam pembangunan. Ini dapat dipahami bahwa pan-jangnya sejarah suatu daerah memberi pengalaman yang sangat penting guna mengusahakan perbaikan-perbaikan dalam sektor-sektor yang dikelolanya. Wajar jika suatu kabupaten yang baru dimekarkan tidak terlalu menonjol dalam pembangunannya karena masih tertatih dalam melangkah. Berbeda sama seka-li dengan kabupaten yang telah berusia sangat dewasa; jika masih berkubang dalam keterpurukan, tentu sangat disayangkan.

Kini, ibaratnya, Sumenep telah berhasil menempuh “745 kilometer sejarah”. Sepanjang 745 kilometer sejarah ini, Sumenep telah banyak berganti nahkoda: 36 raja (1269-1929) dan 16 bupati (1929-sekarang). Kebijakan dan program pembangunan yang telah dilakukan oleh sejumlah raja dan bupati dari kilo-meter 1 hingga kilometer 745 sejarah Sumenep ini, secara berkesinambungan, telah membentuk Sumenep menjadi seperti kita saksikan hari ini. Saat ini, yang dipilih oleh rakyat Sumenep untuk memimpin mereka guna menggerakkan roda Sumenep di kilometer 745 adalah Drs. KH. A. Busyro Karim, M.Si.

Di tangan beliaulah arah Sumenep ini ditentukan. Momentum pelaksan-aan Hari Jadi Sumenep ini akan memberi landasan pijak kepada beliau dalam menjalankan roda pemerintahan, baik landasan fi losofi s, psikologis, terlebih historis. Dan hal ini telah bisa kita lihat hasil kerja beliau dalam pembangunan Sumenep. Melalui tulisan ini, saya, sebagai salah satu rakyat Sumenep, ingin ikutserta memanfaatkan momentum Hari Jadi ini dengan menyumbangkan pikiran demi kemajuan Sumenep. Sumbangan pikiran yang saya maksud, se-bagai berikut:Revitalisasi Pertanian Garam

Garam merupakan salah satu komoditas andalan di Sumenep, selain tem-bakau dan ikan (Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, 1989; Garam, Kekerasan, Dan Aduan Sapi, 2011: 35). Melihat kebutuhan nasional, baik sek-tor konsumsi maupun industri, yang masih tidak terpenuhi sehingga Indone-sia harus impor garam, semestinya petani garam sejahtera. Nyatanya tidak. Setidaknya ada dua faktor kunci yang menjadi pemicunya: pertama, ketidak-berdayaan petani garam Sumenep menghadapi permainan pemodal dan para tengkulak. Ketidakberdayaan ini karena petani garam tidak punya posisi tawar tinggi, sehingga pemerintah perlu memperkuat posisi mereka. Langkah yang bisa diambil antara lain dengan menghimpun 366 kelompok petani garam dalam asosiasi yang kuat dengan back-up penuh pemerintah.

Kedua, kecilnya jumlah produksi dan kualitas yang rendah. Garam-garam hasil produksi petani Sumenep terbagi menjadi tiga lapis: kelas 3 (lapisan paling bawah, bercampur dengan tanah, harga murah), kelas 2, dan kelas 1 (premium, paling atas, harga tinggi). Selama musim kemarau yang berlangsung 5-6 bulan, petani garam Sumenep menghabiskan waktu dua bulan hanya untuk membuat “alas” yang terbuat dari garam juga. Selama dua bulan, tanah tambak itu dila-pisi dengan garam; petani belum bisa membuat garam “yang sesungguhnya”. Sehingga masa panen terlambat dua bulan.

Persoalan kedua ini diperlukan Gerakan Membranisasi, yaitu melapisi la-dang-ladang garam dengan plastik khusus, geomembrane. Air laut yang dialir-kan ke tambak bersuhu 3 derajat. Suhu ini harus terus dinaikkan agar air laut

bisa mengkristal. Maka air laut itu harus dipindah-pindahkan dari satu petak ke petak lain sampai suhunya mencapai 20 derajat. Di petak ketiga ini saja-lah yang dilapisi dengan membran; bukan semua petak (Dahlan Iskan, Manufactur-ing Hope 45, 2012). Membranisasi ladang garam telah terbukti—di Sampang—meningkatkan jumlah produksi 40% dan semua garamnya kualitas premium, kelas 1! Karena lapisan paling bawahnya tidak bercampur dengan tanah dan meningkatkan suhu. Tidak hanya itu, panennya pun dua bulan lebih cepat. Me-mang program ini di Sumenep telah ada (www.beritajatim.com), tetapi belum merata, bahkan jauh dari cukup. Berdasar analisis NPV dan IRR oleh Iswido-do, mahasiswa Teknik Industri ITS Surabaya, pemerintah tidak akan rugi jika memberi pinjaman lunak kepada petani garam untuk program membranisasi ini (Hendriawan Iswidodo, 2013: 4).Inilah yang Sangat Ditunggu: Pasar Induk Ikan dan Sayur

Sebagaimana kita tahu, Pasar Anom telah sesak. Kondisi ini tentu saja meng-hambat laju pertumbuhan ekonomi dan kenyamanan pelaku ekonomi. Salah satu kerugian nyata yang kita alami adalah saat kebakaran (kedua-kalinya) ter-jadi pada 6 Maret lalu. Mobil-mobil pemadam sulit menjangkau lokasi. Melalui Mata Sumenep ini, saya ingin urun rembug: sudah saatnya Sumenep memiliki Pasar Induk Ikan dan Sayur! Pasar Bangkal bisa dipilih. Lokasinya sangat ideal: terintegrasi dengan pasar hewan dan buah, lebih mudah dijangkau oleh nelayan pesisir timur dan utara, dekat dengan pemukiman penduduk, dan arealnya masih bisa diperluas ke arah selatan.

Semua pedagang ikan, daging, telur, rempah-rempah, buah, dan sayur di Pasar Anom diminta untuk pindah dengan peluang bisnis yang lebih menjanji-kan. Sementara pedagang sepeda, sandal, baju, kacamata, dll di Pasar Bangkal disediakan lokasi yang juga baik di Pasar Anom. Tentu saja perlu dilakukan pe-nelitian dan telaah amdal, dst lebih dulu. Saya tidak memiliki keahlian dalam analisis dampak lingkungan. Kemungkinan Mengembangkan Wisata Sungai

Sudah diketahui khalayak jika pantai di Sumenep sangat potensial. Kita me-nyebut wisata ini dengan wisata bahari. Ada potensi lain yang juga luar biasa yang dimiliki Sumenep, yaitu sungai. Saya belum menghitung jumlah sungai yang “membelah perut” Sumenep. Sungai-sungai ini dapat kita kembangkan menjadi objek wisata, wisata sungai. Air sungai yang identik dengan kotor, tem-pat membuang sampah dan kotoran, membuang comberan, dst bisa kita ubah menjadi objek wisata, tempat bermain anak-anak, dan tempat melepas penat.

Apakah mungkin? Berdasar pengalaman Jogjakarta, sangat mungkin. Jogja memiliki 3 sungai: Gajah Wong, Code, dan Winongo. Semua sungai ini selalu dilalui lahar dingin. Tapi kebijakan pemkot menjadikan Winongo sebagai wisa-ta sungai, terbukti manjur. Saya pernah melakukan penelitian di Winongo pada 2012. Berdasar penelitian saya itu, Sumenep sangat mungkin mengembangkan wisata sungai. Pandangan sementara saya, Sungai Kebunagung, Kali Marengan, dan Sungai Lalangon Manding memiliki potensi yang baik.

***Hemat saya, tidak terlalu sulit untuk merealisasikan poin-poin di atas. Yang

sangat dibutuhkan adalah political will dari semua elemen: pemerintah, DPRD, ulama, akademisi, dan masyarakat umum. Potensi kita punya. Tinggal ke-hendak untuk maju ke kilometer-kilometer sejarah selanjutnya. Masih banyak usul-saran yang ingin saya sampaikan yang selanjutnya dapat dijadikan agenda pembangunan, tapi tulisan ini sudah cukup panjang. Isu-isu pembangunan kepulauan belum saya singgung. Persoalan ruang sosial untuk waria, dst juga belum. Semoga di lain kesempatan bisa saya sambung lagi. Akhirnya, selamat ulang tahun ke-745, Sumenepku! Tumpah darahku!

Refl eksi Hari Jadi Kabupaten Sumenep Ke-745

POLITICAL WILL DAN AGENDA PEMBANGUNAN DI “KILOMETER 745”

Ach. Khatib, M. Pd.I

Dosen di akultas Tarbiyah Institut Ilmu Keislaman Annuayah (INSTIKA) GulukGuluk Sumenep.

Redaksi Mata Sumenep Menerima tulisan opini dalam berbagai perspektif dengan materi Seputar Sumenep. Panjang tulisan maximal 850 kata. Tulisan bisa dikirm via email: [email protected]

Page 8: Edisi 4 Mata Sumenep

8 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

Bulan Oktober bagi masyarakat Sumenep merupakan momentum yang sangat bermakna dan penuh dengan nilai-nilai sejarah. Karena pada bulan ini, Sumenep seperti telah dilahirkan kembali. Berbagai

kegiatan telah dipersiapkan untuk menyambut Hari Jadi Kabupaten Sume-nep dengan gegap gempita, bahkan pemerintah daerah, tak pernah me-nutup mata agar Hari Jadi Kabupaten Sumenep tetap terkenang, dengan alokasi anggaran melalui APBD yang cukup besar. Akan tetapi, setiap kali Hari Jadi diperingati, setiapkali pula, kegiatan yang dilakukan tidak pernah menyentuh terhadap makna yang paling dalam tentang intelektualitas Ka-bupaten Sumenep. Padahal, intelektualitas itu merupakan ruh dari semua proses pembangunan peradaban yang dilakukan.

Sisi intelektualitas ini, kerapkali tidak dijadikan sebagai pengobar keg-iatan Hari Jadi Kabupaten Sumenep yang substansial. Padahal, intetelek-tualitas itu merupakan bagian penting dari sejarah panjang perjalanan dan kiprah Sumenep di pentas peradaban dunia sebagaimana yang diperankan oleh Natakusuma atau Sultan Pakunataningrat yang berkuasa pada 1812-1854, yang kemudian menjadi rujukan bagi karya besar intelektual bernama Rafl es, ketika ia sedang menulis bukunya yang berjudul History of Java. Salah satu alasan yang paling mendasar, karena Natakusuma memiliki keil-muan yang gemilang serta memiliki kemampuan lebih dalam penguasaan bahasa asing yang brilian. Bahkan, pada saat itu, baik di Madura maupun Jawa, hanya seorang Natakusuma yang berani berlangganan jurnal Ilmiah Tijdscrift voor Nederlandsch-Indie dan tercatat sebagai anggota Masyarakat Batavia untuk Kesenian dan Ilmu Pengetahuan.

Menjadi rujukan bagi ilmuwan asing sekelas Rafl es, tidaklah mudah, apalagi ia berasal dari sebuah wilayah pelosok Sumenep wilayah timur Ma-dura. Yang terjadi terhadap Sultan Natakusuma adalah fakta, bukan hanya legenda tentang sejarah peradaban intelektual Sumenep yang muncul dari ruang Keraton. Kondisi tentu saja menggambarkan dengan jelas bahwa sejarah Sumenep tidak hanya telah melahirkan konseptor politik Keraton, melainkan juga telah mampu melahirkan intelektual Keraton yang cukup terkenal. Natakusuma adalah potret intelektual Keraton Sumenep yang memiliki kapasitas intelektual kelas dunia dan layak untuk menjadi spirit dalam pembangunan peradaban Sumenep di masa-masa yang akan datang.

Dalam konteks itu, yang terjadi dalam sejarah Natakusuma sebagai penguasa Keraton adalah pembelajaran bagi pemimpin-peminpin Sume-nep berikutnya untuk menghadirkan kembali spirit intelektualisme yang dibangun oleh Natakusuma dalam membangun masyarakat Sumenep. Pemikiran dan gagasan kreatif harus menjadi ruh bagi pemimpin dan para pejabat Sumenep dalam rangka menghasilkan peradaban intelek-tual yang mencerahkan ala Natakusuma. Intelektulitas itu, bukan hanya berfikir dalam mengembangkan fisik Sumenep, tetapi intelektualitas itu merupakan wujud nyata dari pemikiran mendalam yang pada gilirannya ditransformasi menjadi karya nyata sebagai penopang peradaban intele-ktual Sumenep.

Dalam sejarah panjang kepemimpinan Sumenep, pasca Sultan Na-takusama, diakui ataupun tidak, aspek intelektualitas tidak lagi menjadi icon para pemimpin Sumenep. Intelektualitas itu tampak telah rapuh, karena para pemimpin Sumenep – mungkin saja – terlalu terlena dengan eufori politik Keraton. Terlalu lama, semangat intelektualitas Sultan Na-takusuma tak lagi menjadi identitas sang pemimpin, sehingga layak ka-lau dalam fase itu disebut sebagai masa paceklik karya intelektual dalam

sejarah kepemimpinan Sumenep.Akan tetapi, masa peceklik itu tampak terobati, ketika kepemimpi-

nan Sumenep dipegang oleh Bupati Busyro. Tokoh pesantren yang juga mantan aktivis PMII Yogjakarta ini, dalam memimpin Keraton Sume-nep tidak lagi terjebak untuk hanya memikirkan politik Keraton semata, melainkan ia mulai menghidupkan kembali spirit intelektualitas Sultan Natakusuma dalam jejak kepemimpinannya. Bupati Busyro melanjutkan perjuangan intelektualitas Natakusuma dengan mentransformasi gaga-san dan pemikirannya dalam menulis buku yang tidak sedikit. Bisa jadi dalam sejarah kepemimpinan Keraton Sumenep, hanya Bupati Busyro Pasca Sultan Natakusuma, yang melahirkan banyak buku di tengah kesibukan-nya dalam memikirkan masyarakat Sumenep. Beberapa buku yang telah ditulis oleh Bupati Busyro antara lain ; (1) Tafsir Tradisionalis Membumikan Teks dalam Konteks Kehidupan Sosial, [2009], (2) Tafsir al-Asas, Kandungan dan Rahasia di Balik Firman-Nya [2011), (3) Fiqh Jalan Tengah Imam Syafi’i [2012], (3) Indonesia, Globalisasi dan Otonomi Daerah, Beberapa Pikiran untuk Sumenep [2005], (4)Migrasi Tanpa Kata, Catatan Dari Ruang Pojok [2012], (5) Bukalah Selimutmu [2012), terbaru Menuju Sumenep Cerdas 2015--Pengelolaan Pendidikan Secara Profesional (2014).

Disinilah, letak spirit intelektualitas Sultan Natakusuma itu telah hidup kembali di tangan Bupati Busyro dengan dialektis. Apalagi, buku yang ditu-lis oleh seorang pemimpin akan menciptakan ruang baru bagi perkemban-gan peradaban intelektual di masa-masa berikutnya. Buku adalah jendela peradaban yang harus diciptakan oleh seorang pemimpin dan buku juga menjadi saksi nyata tentang kapasitas dan kualitas intelektual seorang pem-impin. Dengan buku yang ditulisnya, Bupati Busyro telah melanjutkan kem-bali peradaban intelektual seperti yang digagas oleh pendahulunya, Sultan Natakusuma.

Dalam keterkaitan itu, posisi Sultan Natakusuma dan Bupati Busyro, menurut hemat penulis, memiliki spirit yang sama dalam pengembangan intelektualitas pada`zaman yang berbeda. Intelektualitas keduanya ter-bukti telah menghasilkan penghargaan yang luar biasa dalam konteks ke-sarjanaan dan peradaban intelektual Sumenep. Bupati Buyro misalnya, telah mengokohkan dirinya sebagai salah seorang pemimpin Sumenep dengan karakter budaya literasi yang kreatif, setidaknya prestasi sebagai Tokoh Literasi 2012 yang diraihnya telah membuktikan tentang kapasitas intelektual Bupati Busyro sebagai pemimpin Sumenep yang tak diragu-kan, pasca Sultan Natakusuma yang brilian ratusan tahun yang lain.

Akhirnya, inilah substansi peringatan Hari Jadi Sumenep yang se-lama ini tidak pernah tersentuh, untuk dihidupkan setiap saat. Spirit intelektualitas Sultan Natakusma dan Bupati Busyro sejatinya, menjadi kekuatan dalam memformulasi kegiatan Peringatan Hari Jadi Kabupat-en Sumenep sebagai media menghidupkan kembali spirit intelektual dua pemimpin tersebut dalam melahirkan peradaban Sumenep yang lebih bermakna. Dengan begitu, Sumenep tidak hanya akan menjadi Kabupat-en dengan potensi alam yang membanggakan, melainkan juga akan men-jadi kekuatan dalam membangun peradaban intelektual di Madura, se-bagaimana yang ditorehkan Arya Wiraraja dan Sultan Natakusuma. Dan Bupati Busyro adalah pemimpin Sumenep yang ingin merajut kedekatan emosi intelektual dengan para pendahulunya. Selamat Hari Jadi Kabu-paten Sumenep ke-745. Semoga Sumenep tetap Super Mantap!

*Dosen STKIP PGRI dan Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep.

Refl eksi Hari Jadi Sumenep ke-745

Mohammad Suhaidi, M.Th.I

Page 9: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 9

KATA MEREKA

Edy Setiawan(Salah Satu Tim Perumus Hari Jadi Sumenep)

Peringatan Hari Jadi Sumenep sangat penting menjadi agenda rutin setiap ta-hun untuk membumikan sejarah dan budaya Sumenep kepada generasi muda. Dalam konteks budaya, merupakan salah satu faktor penting dalam mem-

bangun bangsa. Sektor budaya sangat perlu dikembangkan dan dilestarikan secara berkesinambungan. Salah satu upaya untuk melestarikan dan mengembangkan seni budaya tradisional sebagai pilar dan acuan budaya bangsa adalah penyelenggaraan Peringatan Hari Jadi Kabupaten atau kota yang merupakan bentuk pelestarian seni dan budaya serta adat istiadat daerah.

Saya berharap, sikap dan ketokohan Wiraraja bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda Sumenep dan Madura pada Umumnya.

Tema Hari J a d i S u m e -

nep kali ini m e n g u s u n g potensi wisata kesehatan Gili-yang dan keari-fan lokal (local wisdom). Po-tensi alam dan kekhasan bu-daya Sumenep sejatinya perlu dikembangkan demi kesejahter-aan masyarakat. Jangan sampai potensi yang ada disia siakan. Keunggulan harus dikembangkan.

Sumenep kaya akan SDM. Hendaknya bisa berjalan sinergi untuk kepentingan masyarakat Sumenep. Ketika semua berjalan bersinergi, saya yakin Sumenep kedepan akan lebih baik.

Saya berharap, kegiatan ini tidak hanya seri-monial belaka, tetapi ada bukti nyata untuk per-baikan - perbaikan. Sehingga Kabupaten Sume-nep benar-benar menjadi Kota Pariwisata yang berbasis kearifan lokal (local wisdom) melalui peningkatkan pelayanan pendidikan serta per-baikan infrastruktur untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Dr Ach. Syaiful A’la, MPdiKetua STIT

Al Karimiyyah Braji

Bulan Oktober menjadi bulan penuh keceriaan bagi masyarakat Sumenep. Tak terkecuali para abdni negara di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sumenep. Di bulan ini, perayaan ulang tahun kelahiran Kabupaten Sume-

nep, dimeriahkan.Ada berbagai bentuk apresiasi yang dilakukan penerus Arya Wiraraja di bumi

Sumekar. Perayaan hari jadi Kabupaten Sumenep dimeriahkan dengan festival dan parade budaya. Yang menarik, dua tahun terakhir, para PNS diwajibkan ber-pakaian khas keraton Sumenep saat masuk kerja kantor. Apa saja yang dilakukan para PNS dengan custom ala keraton?

Kadis PU Pengairan, Eri Susanto, merayakan moment berharga ini dengan memboyong sejumlah pedagang mie dan bakso ke halaman kantornya. Makanan gratis ini tidak hanya berlaku bagi pegawai PU Pengairan. Tapi terbuka untuk umum. “Hanya tidak diumumkan secara publik, yang menikmati hanya PNS di luar kantor kerjanya,” ujar Eric, kepada Mata Sumenep.

Tampak Kepala Kantor Kebersihan dan Pertamanan, Raden Bagus A. Wahid bersama koleganya ikut menikmati makan siang di halaman kantor pengairan. Tampak pula, Zady Ghozali, Kabid Diskominfo, ikut nibrung menyantap mie bakso. “Kita merayakan Hari Jadi Sumenep sesuka ria. Sebagai bentuk refres kepenatan aktivitas,” tutur Gus Wahid.

Tidak cukup makanan gratis tersedia, panitia juga menyediakan door price, bagi yang mampu makan mie bakso lebih dari 5 mangkok. “wah…wah…ini kom-petisi bakso….,” celetuk, salah satu penikmat bakso gratis di ujung halaman, mer-espon woro-woro yang disampaikan panitia.

rusydiyono

Mie-Bakso Gratis di Hari Jadi Sumenep

Berpakaian ala keraton Kadis P Pengairan, ri Susanto dan Kepala KKP, B A. ahid bersantai usai menyantap miebakso gratis.

Page 10: Edisi 4 Mata Sumenep

10 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

Risih! Malu? Itulah perasaan awal sejumlah PNS Pemkab Sumenep ketika selama setahunpenuh, berseragam PNS dan batik, tiba-tiba diwajibkan berpakaian ala Keraton Sumenep,selama dua hari, tang-gal 30-31 Oktober. Sebagian, merasa enjoy, waktu dua hari, menjadi moment mer-ayakan kejayaan So-engennep tempo doe-loe. Kesukaan mereka ditampilkan dengan berfoto selfie yang di upload ke media sosial.

Ide mewajibkan pakaian khas keraton sudah berlangsung 2 tahun. Tepatnya, 30-31 Oktober 2013, silam. Bupati Abuya Busyro Karim mem-

buat surat edaran kepada para PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sumenep, termasuk PNS di kecamatan, agar berpakaian adat Keraton Sumenep, saat masuk kantor.

Awal mula gagasan itu bergulir, menerima ban-yak protes dari sejumlah elemen. Salah satunya, anggota DPRD Sumenep, yang menilai, kebijakan bupati hanya memberatkan PNS golongan rendah karena terbebani biaya sewa pakaian. Dan sikap sebagian PNS, awalnya, memang kurang nrimo menggunakan pakaian khas keraton. Dengan dalih, kurang bebas beraktivitas. Atau lebih tepatnya, ki-kuk dan risih, ketika berjalan ke kantor kerja.

Tapi tanpa sadar mereka terkadang tertawa sendi-ri, melihat pakaian asing yang menutupi tubuhnya. Sesampai di kantor kerja, mereka tertawa bersama re-kan kerjanya karena nuasa asing mengitari lingkungan kerjanya.

Suasana berbeda pada tahun kedua, 2014. Para PNS tidak lagi kikuk dan risih memakai seragam keraton. Mereka ikut bangga merayakan kelahiran

Kabupaten Sumenep. Mereka ikut berfoto selfie dan di upload ke media sosial. Sebuah kebanggan sudah terajut dalam diri PNS Sumenep. Pakaian berwarna hitam dengan hiasan manik warna kun-ing keemasan, kian mempercantik perempuan yang memakainya. Ini menunjukkan sebuah kemajuan Sumenep tempo doeloe.

Yanti, salah satu staf Humas dan Protokol men-gaku tersanjung ketika dirinya berpakaian khas Ker-aton Sumenep. Ada angin baru dalam hidup Yanti, meski dua hari dalam setahun. Ibu dua anak ini beralasan, berpakaian ala keraton dirinya merasa diakui sebagai rakyat Sumenep, bukan sekedar staf bawahan (pekerja). Yanti mendapat pakaian adat dari bos tempat ia bekerja.

Senada disampaikan Reni Widayani. Guru SMPN 6 Sumenep ini, memakai khas keraton den-gan membeli kain dan menjahitnya sebagaimana desain yang ada. Baju hitam dan sampir batik mo-tif Sumenep sudah sepantasnya dipakai dengan tu-juannya memperkenalkan ke publik. “Aku keliha-tan lebih cantik pakai baju adat ini,” katanya sambil terseyum kepada Mata Sumenep.

Kepala Dinas Kesehatan, dr Fathoni sudah

meinstruksikan kepada seluruh anak buahnya un-tuk memakai pakaian khas daerah Sumenep. “Tu-juannya untuk meningkatkan kecintaan terhadap budaya daerah. Selain menghargai nilai budaya para leluhur,” ujarnya.

Kebijakan yang diambil Bupati Sumenep A. Bus-yiro Karim dinilai positif. Lewat pakaian adat kera-ton Sumenep sebagai pakaian kerja, generasi muda ngerti asal usul Kabupaten Sumenep. Termasuk salah satu bentuk apresiasi terhadap budaya Sume-nep. “Sebagai pegawai negeri bisa mengerti peran-nya di tengah–tengah masyarakat. Baju tradisional itu adalah stek, sampir dengan motif has Sumenep dan blangkon. Langkah ini memberikan kesan yang sulit dilupakan,” tutur Fatoni dengan harapan kebi-jakan ini terus berlanjut.

Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda Dan Olahraga (Disbudparpora), Febrianto, melalui Kepala Bidang Kebudayaan dan Pariwisata, Sukar-yo, menilai pakaian khas keraton untuk PNS untuk melestarikan kebudayaan Sumenep tempo dulu dan memberikan daya tarik terhadap masyarakat luar untuk berkunjung ke Kabupaten Sumenep.

nikam hokiyanto/rusydiyono

Pakaian Khas Keraton Menunjukkan Soengennep Makmur dan Jaya

LIPUTAN HARI JADI SUMENEP KE 745

Page 11: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 11

Pertama–tama marilah kita memanjat puji Syukur kehadirat Ila-hi Rabbi, yang telah banyak menganugrahkan kenikmatan lahir batin bagi kita. Sehingga kita tetap mampu menggerakkan semua

berbagai perubahan di kabupaten yang kita cintai.Karena atas karunia-Nya pula, kita bisa menghadiri Sidang Paripurna

Istimewa DPRD Kabupaten Sumenep Dalam Rangka Memperingati Hari Jadi ke- 745 Sumenep 2014. Tradisi yang baik ini, seyogyanya tidak hanya menjadi seremonial tahunan semata. Tapi yang lebih esen-sial, kita bisa mengambil hikmah dan inspirasi dari para pendahulu kita, yang telah banyak mengorbankan hidupnya untuk kemajuan Sumenep.

Untuk itu, di hari yang bersejarah ini, saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya, kepada keluarga besar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sumenep, yang tetap istiqamah berjuang bersama membawa Sumenep ini meniti seja-rah agung. Semoga, seiring berjalannya waktu, hubungan yang sinergi antara DPRD Sumenep dan Pemerintah Daerah, tetap sebagai sebuah ikatan yang saling menguatkan, dan sebagai sebuah tubuh yang saling merasakan untuk membangun rumah bersama tercinta, yakni Kabupaten Sumenep.

Hari ini, Kabupaten Sumenep tepat berusia 745 tahun. Berdirinya Kabupaten Sumenep ini, tidak bisa dilepaskan dari peristiwa penting 745 tahun silam, yakni momen diangkatnya Arya Wiraraja menjadi Adi-pati Pertama Kabupaten Sumenep pada 31 Oktober 1269.

Momen tersebut adalah lembaran sejarah maha penting dalam seja-rah Kabupaten Sumenep hingga saat ini. Dalam kurun waktu 745 tahun, telah silih berganti para pemimpin menaburkan sejarahnya sendiri, un-tuk menghadirkan Sumenep sebagai bagian dari sejarah peradaban ma-nusia yang tak pernah sepi merajut kamajuan.

Semua peninggalan berharga tersebut, harus terus kita pertahankan di masa mendatang, untuk itu, momen bersejarah ini harus memotivasi kita bekerja lebih keras dan cepat, agar berdaya saing di era globalisasi saat ini.

Alhamdulillah, diusia ke 745 ini, ikhtiar kita membangun Sumenep ada hasilnya. Hal itu bisa kita lihat dari berbagai indikator, khususnya menyangkut kesejahteraan masyarakat. Dibidang pendidikan Kabupaten Sumenep berhasil menurunkan angka buta aksara dari 134. 540 orang ditahun 2010 menjadi 94. 744 orang. Dan tahun 2014 ini, ditargetkan menjadi74. 744 orang. Dibidang kesehatan, masyarakat dapat berobat secara gratis berkat program Sumenep berobat gratis. Angka kemiskinan juga demikian, tahun 2009 lalu, rumah tangga miskin masih berjum-

lah 145. 788 rumah tangga miskin. Pada 2014 ini, turun menjadi 116.03 rumah tangga miskin. Demikian juga, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sumenep terus meningkat. Pada tahun 2010 PAD Sumenep masih sebesar 38,7 milyar dan meningkat signifi kan manjadi 143,6 Mil-yar pada tahun 2014. Atau ada kenaikan 377 persen sejak tahun 2010 hingga tahun 2014.

Atas prestasi tersebut, Pemerintah Kabupaten Sumenep berhasil meraih 26 penghargaan Tingkat Provinsi dan Tingkat Nasional. Mulai penghargaan lingkungan hidup, Pendidikan Agama, Iptek, Tenaga Kerja, Investasi, Koperasi, Kependudukan, Pengelolaan Lalu Lintas, Hukum, Birokrasi, dan lain-lain. Semua prestasi tersebut, bukan hanya prestasi satu atau dua orang saja, tetapi prestasi kita semua, termasuk peran serta anggota DPRD Sumenep.

Namun demikian, kita tidak menutup mata, bahwa di tengah - tegah keberhasilan kita membangun Sumenep, masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Masih banyak godaan, terpaan dan hadangan yang menghadang. Sebab, semakin besar kapalnya, semakin besar juga gelombangnya. Semakin tinggi pohonnya, semakin kencang anginnya. Pekerjaan rumah tangga tersebut, tidak mungkin kita selelaikan dalam kurun waktu setahun atau dua tahun saja. Butuh waktu, butuh kerjasa-man dan butuh kerja keras semua pihak.

Mengakhiri sambutan ini, saya atas nama Pemerintah Kabupaten Sumenep ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada DPRD Sumenep, atas hubungan yang sinergi selama ini, sehingga kita tetap mampu mendayung ditengah gelombang peruba-han saat ini. Semoga momen ini semakin mengentalkan semangat kita untuk makin baik di masa mendatang. Bendera kita boleh berwarna-warni, pemikiranpun kadang tidak selaras. Tetapi semua itu jangan men-jadi duri perjuangan menuju Sumenep lebih baik. Saya menyampaikan terima kasih, kepada unsur pimpinan Daerah Kabupaten Sumenep, atas kerjasamanya dalam menjaga suasana Sumenep tetap aman, tentram dan kondusif.

Tak lupa pula kepada semua pihak, mulai para aparatur, Partai Poli-tik, Organisasi kemasarakatan, kalangan Pers, semua pihak yang tetap setia berlari mengejar kemajuan. Sedikit sumbangsih yang kita berikan bagi Sumenep, itu lebih berharga dari pada banyak tapi hanya dalam angan-angan mimpi semata.

Sumenep, 31 Oktober 2014. Dirgahayu Kabupaten Sumenep.

Pidato Hari Jadi Sumenep ke 745

Oleh

Bupati Sumenep KH Abuya Busyro Karim MSi

Yth. Saudara Wakil Bupati SumenepTth. Saudara Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPRD Kab. SumenepYth. Saudara Anggota Forum Pimpinan Daerah Kab. SumenepYth. Sekretaris Daerah dan Para Asisten SekdaYth. Para Kepala Dinas / Badan / Kantor, Bagian dan Camat, di lingkungan Pemarintah Kab. SumenepYth. Para Pimpinan Partai Politik, Tokoh Masyarakat, serta rekan–rekan wartawan dan LSM yang saya hormati.

Page 12: Edisi 4 Mata Sumenep

12 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

Sem

arak

. B

erba

gai

kegi

atan

dig

elar

men

yam

but

pene

tapa

n H

ari

Jadi

Kab

upat

en S

umen

ep k

e 74

5, p

ada

tang

gal

31 O

kto-

ber

2014

. Su

asan

a ke

ntal

ker

aton

ter

asa

keti

ka p

akai

an k

has

Ker

aton

Sum

enep

dip

akai

sem

ua P

NS

dan

kary

awan

kan

tor

di w

ilaya

h ke

rja

Sum

enep

. Mer

eka

berf

oto

ria.

Ter

mas

uk w

isat

awan

man

ca n

egar

a, m

eyak

sika

n pu

ncak

pag

elar

an b

uday

a pr

oses

o pe

nyer

ahan

Pat

aka

(Ben

dera

Ker

aton

) yan

g di

laku

kan

“Ary

a W

irar

aja”

pad

a B

upat

i Sum

enep

, A B

usyr

o K

arim

, yan

g di

pusa

tkan

di h

alam

an M

asjid

Agu

ng S

umen

ep, m

ingg

u, 2

Nov

embe

r 20

14.

para jurnalis foto bareng bupati usai upacara

hari jadi di halaman setkab

foto selfie ala pakaian keraton

tourism asing meyaksikan parade budaya depan Masjid Agung

pak sekda dan ibu meabadikan pakaian khas keraton

seni,drama dan tari (Sendratari) 3 zaman memeriahkanparade hari jadi Sumenep ke 745

Atraksi motor ini persembahan Satpol PP dalam peringatan Hari Jadi Sumenep ke 745

Upacara Hari Jadi Sumenep ke 745

Page 13: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 13

PANGESTO

Pagi itu mulai pukul 09.00 ratusan undan-gan mendatangi gedung Ki Hajar Dewan-tara di Jalan Trunojoyo Sumenep. Sebelum

masuk ruangan, seperi biasa para tamu undan-gan mengisi daftar hadir yang telah disediakan panitia acara. Sebab, Pemerintah Kabupaten Sumenep melalui Dinas Perikanan dan Kelautan bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sumenep menggelar Penyerahan Ser-tifikasi Hak Atas Tanah bagi Nelayan dan Pembu-didaya ikan,( 22 10 2014 ). Hadir pada acara yang bertempat di Gedung Ki Hajar Dewantara, Para Nelayan dari berbagai Kecamatan, pembudidaya ikan dan Bupati Sumenep. Para nelayan dari Ke-camatan Dungkek, Pragaan, Kalianget, Saronggi, Gili Genting dan nelayan dari Kecamatan lainnya.

Bupati Sumenep A. Busyro Karim, MSi. dalam sambutannya menyampaikan, tanah merupakan Investasi tak ternilai. Karena menjamin kehidu-pan masyarakat secara berkelanjutan dan menja-ga kehidupan menjadi lebih bermartabat. Meng-ingat sampai saat ini masih banyak tanah yang belum bersertifikat, sehingga rentan terjadinya konflik pertanahan. Buya menilai angkah yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional Sumenep bersama Dinas Kelauatan dan Perikanan meru-pakan langkah tepat.

“Sertifikasi hak atas tanah merupakan lang-kah tepat yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Kahupaten Sumenep mendukung sepenuhnya dengan program Agrar-ia tersebut”, kata A. Busyiro Karim..

Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Dae-rah (DPRD) dua periode sebelum menjabat seba-gai Bupati. Pada saat ini, sambungnya, bisa dilak-

sanakan penyerahan Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan dan pembudidaya yang jumlahnya men-capai 300 tanah. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2013 lalu. Tahun 2013, Pemerintah meny-erahkan 100 sertifikat tanah. Untuk tahun 2014 ada kenaikan jumlah yang sangat besar karena target Pemerintah tahun 2019 program ini harus tuntas. Kabupaten Sumenep merupakan Kabu-paten diantara 27 Kabupaten Kota yang telah ber-hasil melaksanakan program ini. Bupati berharap kepada penerima sertifikat agar memanfaatkan sertifikat dengan baik dan benar. Disamping itu, bupati berharap produktifitas nelayan semakin meningkat. Karena Sumenep ini memiliki poten-si yang sangat luar biasa. Dan harus kita manfaat-kan dengan sebaik baiknya.

“Saya berharap kepada bapak dan ibu agar menginformasikan kepada nelayan lainnya ten-tang pentingnya kartu Nelayan. Pembuatannya gratis cepat dan mudah, dari 40.200.000 orang Nelayan di Sumenep hanya 6 ribu nelayan yang memiliki kartu Nelayan. Padahal manfaatnaya sangat besar, misalnya mendapat bantuan apap-un dari Pemerintah wajib memiliki kartu nelayan serta banyak manfaat lainnya.,” pesan Bupati Sumenep, A. Busyro Karim.

Sementara Ketua Badan Pertanahan Nasonal (BPN) Kabupaten Sumenep Sutarno, SH., dalam sambutannya sangat apresiatif terhadap bantuan sertifikasi hak tanah atas nelayan ini. Demi kes-ehteraan para nelayan yang ada dibeberapa Ke-camatan di Sumenep. Juga beriamakasih kepada bupati dan jajarannya yang telah pro aktif meny-ukseskan program SEHAT ( Sertifikat Hak Aatas Tanah).

Menurutnya, Penyerahan sertifikat itu, untuk menjawab kesulitan masyarakat terkait proses pensertifikatan hak atas tanah miliknya. Ia juga mengungkapkan akan pentingnya sertifikat hak atas tanah. Selain sebagai pemberdayaan masyarakat, dan memberikan rasa keadilan dan keterbukaan akses kepada masyarakat, juga men-gurangi konflik pertanahan.

Pihaknya berharap dengan adanya penyera-han sertifikat ini diharapkan masyarakat atau penerima manfaat/sertifikat ini bisa mendapat-kan kepastian hukum atas hak kepemilikan tanah mereka secara jelas. Agar pelaksanaan penataan aset dan penataan akses masyarakat dapat ber-jalan efektif dan memiliki landasan hukum yang kuat. Sutarno juga berpesan kepada masyarakat Nelayan Penerima Sertifikat supaya sertifikat dipergunakan dengan sebaik baiknya karena ser-tifikat tanah merupakan barang berharga yang harus dijaga karena dapat dijadikan anggunan atau Jaminan di bank.

Kepala Dinas Kelauatn dan Perikanan Mo-hammad Jakfar dalam sambutannya menjelas-kan tujuan dari bantuan itu untuk memberikan ruang kepada para nelayan. Di Profinsi Jawa Timur hanya ada dua Kabupaten yang menda-pat pengakuan sehat nelayan, yaitu salah satunya Sumenep. Atas itu Mohammad Jakfar berterima kasih kepada para nelayan yang tersebar dibe-berapa daerah yang ada di Sumenep.

“Terima kasih atas peran serta para nelayan selama ini,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Peri-kanan Sumenep.

Nikam Hokiyanto

Bupati Sumenep Abuya Bsyro Karim sedang menyerahkan Sertifikasi Hak Atas Tanah bagi Nelayan dan Pembudidaya Ikan di Gedung Ki Hajar Dewantara, disaksikan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, M. Jakfar dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep, Sutarno.

Page 14: Edisi 4 Mata Sumenep

14 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

Page 15: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 1515 OKTOBER 2014 | MATA SUMENEP | 15

Page 16: Edisi 4 Mata Sumenep

16 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

Bersama Bupati

KISAH DIBALIK PENDOPO

Aynizar Sukma, tergolong baru, didapuk se-

bagai ajudan bupati. Tahun 2013, ia harus

beradaftasi pada kehidupan yang penuh ak-

tivitas. Bukan hanya modal ketahanan fisik, yang perlu

dipersiapkan. Kekuatan mental juga perlu mengim-

bangi sosok yang selalu diapitnya. Nizar mengakui jika fisik Bupati Abuya Busyro

Karim, nyaris tidak kenal lelah. Ia bercerita kepada Mata Sumenep, dengan kronologi yang sangat rinci, dalam tempo 24 jam, pada suatu hari.

Sehari sebelum giliran Nizar, menurut staf Rum-dis, pada minggu malam, bupati banyak menerima tamu, hingga larut malam. Keesokan hari, Senin, tepatnya, jam 06.30 WIB (pagi hari), Nizar sudah tiba di rumah dinas untuk mempersiapkan apel pagi di kantor bupati. Sebelum jam 07.00 pagi, Buya sudah tiba di kantor bupati untuk memimpin apel pagi. Setelah itu, masuk kantor, para tamu sudah menunggu. Termasuk melayani sejumlah pimpinan SKPD untuk konsultasi. Jam 12.00 siang, bupati is-tirahat, shalat dan makan, di dalam ruang kantor. Dan melanjutkan hingga jam 15.30 WIB. “Terka-dang, bupati pulang dari kantor pada pukul 17.00 WIB (5 sore),” tutur Nizar.

Di luar agenda, tepatnya pada jam 16.00 (4 sore), Nizar mendapat telpon dari bupati untuk meneman-inya bermain tenis meja di ruang pertemuan PKK.

Set pertama, bupati bermain

tunggal dengan lawan tanding, Moh. Ready (sopir pribadi bupati, Didik). Pada set kedua, bupati bermain double (perminan ganda) den-gan pasangan main ibu Fitri. Sedangkan lawan tandingnya, Didik dan Suwandi (sopir Ibu Fitri).

“Bupati bermain enjoy tanpa beban. Permain-an fair. Dan hasil permainan imbang. Tanpa ada rekayasa,” cerita Nizar, saat permainan, bupati dan ibu Fitri saling memberi umpan bola untuk memukul ke lawan tanding. Sewaktu-waktu po-sisi bupati dan ibu Fitri bergantian. Ketika, bupati sebagai pelambung bola, ibu Fitri bergerak untuk memukul bola. Sesekali, keluar guyonan dari bu-pati sebagai bentuk protes kepada sang wasit, ka-rena tidak fair. Permainan waktu itu, Nizar men-jadi wasit.

Para staf bupati yang menjadi lawan tanding tidak kikuk bermain. Bupati sengaja melepas sekat dan bermain fair. Bupati ingin melapas kepenatan kerja lewat permaian tenis meja. Bupati benar-benar menikmati kebebasan ber-main. Sesekali teriak jika bola yang dipukul keluar meja. Atau bupati, menyela perlakuan wasit yang tidak bisa menghukum lawan main-nya. “Wah wasitnya tidak fair,” gurau bupati. Suasana benar-benar, enjoy, tanpa sekat.

Permainan tenis meja memang menjadi hobi berat bupati. Olahraga yang populer dengan istilah “Ping Pong” ini, menjadi olahraga unik dan bersifat rekreatif. Apalagi bermain dengan pasang tanding dan lawan tanding yang imbang. Suasana olahraga penuh kreatifitas begitu tampak ketika pasangan

bisa mengatur posisi ke kanan-kiri dan ke depan-belakang, secara atraktif. Disini butuh kejelian tersendiri. Sehingga, permainan larut dalam sua-sana ekstase.

Permainan sore hari itu, masih belum begitu me-muaskan bupati. Sehingga, pada malam harinya, ba’dha shalat Isya’, bupati mengajak Nizar, untuk melanjutkan permainan sore hari.Ibu Fitri, nyeletuk, “ Mau main lagi Buya?,” ujar Bunda Fitri, seperti di-tuturkan Nizar kepada Mata Sumenep.Malam itu, ibu Fitri absen. Dan bupati memilih bermain single den-gan lawan tanding Didik.

Olahraga tenis meja, benar menjadi alternatif bu-pati sebagai bentuk refreshing. Bisa menyegarkan ke-bekuan pikiran dan mengembalikan stamina setelah bergelut dalam aktivitas yang menumpuk. Permainan usai sekitar jam 21.00 WIB (jam 9 malam). Dari per-mainan itu, bupati harus menemui tamu yang sudah lama menunggu ingin bertemu. Acara silaturrahmi tamu ditutup jam 00.00 (jam 12 malam). Bupati masuk ke kamar mempersiapkan keberangkatan ke Jakarta. Jam 02.00 WIB (dini hari), bupati bersama Nizar berangkat menuju bandara Juanda untuk ter-bang ke Jakarta menemui undangan investor. Bupati istirahat dalam mobil. “Kalau istirahat di mobil, sudah menjadi kebiasaan bupati,” cerita Nizar.

Jam 07.40, pesawat take off dari Juanda menuju Ja-karta. Tiba di Bandara Internasional, Soekarno Hatta, Jakarta, pukul 09.30 WIB. Dari bandara Soeta, bupati langsung menuju pertemuan dengan manejemen PT Trigana Air Service. Usai pertemuan, bupa-ti langsung bertolak ke Bandara Soeta untuk kembali ke Surabaya. Jam 14.50 WIB pesawat tinggal landas. Sesampai di Surabaya, bupati mampir ke keluarganya, hingga pukul 19.30 WIB. Sampai di Rumdis jam 23.00 WIB, Buya harus istirahat total, karena esok harinya masuk kantor dan menerima tamu lanjutan.

bersambung.....rusydiyono

Sisi lain kehidupan bupati, di luar jam

dinas memang menarik untuk dikisah-

kan. Meski tidak menjadi saksi langsung,

setidaknya, sumber informasinya, ajudan

pribadi bupati. Second hand (tangan kedua) bupati ini, layak menjadi refrensi

kisah. Ada sejumlah cerita ringan bupati

yang publik belum banyak dengar.

24 Jam

Page 17: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 17

Kendati meneruskan jabatan sang suami, Misdiyawati tidak mau sebatas mengeekor

kepemimpinan sebelumnya. Karena itu, sejak dilantik sebagai Kades, 2013 lalu, Wati,panggilan akrabnya,-tidak bisa berlama-lama duduk nyaman di belakang meja. Ia banyak turun ke masyarakat bawah bersama sang sua-mi, untuk menyerap aspirasi warga dan melihat langsung kebutuhan war-ganya.

Tekad ibu dua anak ini dalam memakmurkan desanya adalah me-majukan sektor ekonomi warga. Sisa program kepemimpinan suaminya be-lum digarap, Wati melanjutkan lewat pembangunan infrastruktur desa yang

bisa merangsang roda ekonomi desa. Seperti, pengecoran jalan menuju lahan pertanian. Jalan ini dirasa urgen bagi warga yang ban-yak bersandar hasil pertanian. Sebab, saat musim hujan, jalan-jalan itu tidak bisa dilalui kendaraan. Sehingga menambah ongkos ang-kut hasil tani sebelum dijual ke pasar.

“Jalan-jalan menuju ke lahan pertanian warga, khususnya persawahan, sedang diper-hatikan. Saya berharap warga senang, tanpa kendala jalan becek, ” tutur perempuan yang memakai kacamata ini dengan

senyuman manis.Dalam benak pikirannya, hasil tani warga

menjadi induk kemajuan suatu desa. Me-mang, Desa Braji memiliki potensi area per-sawahan yang banyak menghasilkan produk

beras. Meski populasi beras tidak banyak membantu ke-butuhan kabu-paten akan be-ras. Setidaknya, hasil pertanian warga dari

panen padi bisa bertambah dari sebelumnya.Karena itu, Bu Kades juga menggelontor-

kan aneka bantuan kepada masyarakat yang menjadi kebutuhannya. Seperti, pupuk, alat-alat pertanian dan perbaikian saluran irigasi pertanian yang bisa mengairi lahan pertanian warganya. “Jika ekonomi desa berkembang, sektor pendidikan dan sektor lainnya, ikut berkembang,” tambahnya.

Ibu yang memiliki putri sedang menem-puh pendidikan S2 di Univesitas Airlangga

Surabaya ini mengaku, awal diminta bergelut di dunia poli-tik, kurang tertarik. Wati leb-ih senang mendampingi sang suami. Selain itu, dirinya su-dah memiliki aktivitas yang menurutnya tak kalah penting dengan jabatan sebagai Kades, yaiu Kompolan Yasinan. “Saya kurang tertarik untuk menjadi kades, saya lebih suka men-

dapingi sang suami saja,” ceritanya sambil mempersilahkan Mata Sumenep menyantap Snack yang disugukan.

“Saya dipilih bukan karena kepemimpinan suami saya tidak cocok lagi. Tapi, masyarakat ingin pemimpin baru. Walau masih dalam

satu keluarga,” tambahnya.Faktor Gen memang memiliki peranan

penting dalam karir seseorang. Akan tetapi, semua itu harus seimbang dengan usaha dan perbuatan. Seperti yang dialami oleh perem-puan kelahiran Sumenep, 26 Oktober 1970 ini, tidak pernah bangga meski dirinya ada-lah keturunan darah biru, bahkan Suaminya, Asmawi, juga mantan Kepala Desa. Kendati demikian, perempuan dua anak ini selalu menampakkan keramahannya. Sangat wajar jika di Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) ta-hun 2013 lalu, ibu dari Lina Wafiyah Asmi, terpilih menjadi Kades Braji. Di Pilkades saat itu ia bersaing dengan sang suami, pasalnya, waktu itu tidak ada yang menyaingi sua-minya. Maka, terpaksa dirinya maju sebagai calon Kades, selain memang didukung warga, juga karena aturan. Dalam aturan di Pilkades tidak boleh ada calon tunggal. “Karena tidak ada calon lain, maka terpaksa saya sendiri yang menyaingi he..he..” sambil tersenyum pada Mata Sumenep.

Hubungan dirinya dengan sang suami pasca Pilkades tetap seperti sedia kala. Ten-tram dan saling melengkapi. Masyarakat me-miliih Ibu Am. Labib Mahal Asmi ini, bukan karena suaminya tidak cocok. Melainkan, biar ada warna baru dalam kepemimpinan di Desa Braji. Karena masyarakat yakin, selama dipinpim keluarga bapak dua anak ini, Braji akan tetap aman, tentram, dan sejahterah.

“Saya dipilih bukan karena suami tidak cocok lagi, melainkan, masyarakat ingin pem-impin baru, walaupun masih dalam satu ke-lurga”.

rusydiyono

Srik

andi

Bra

ji; P

impi

n D

esa

mata desa

Cukup terasa perubahan di Desa Braji Kecamatan Gapu-ra, sejak kepemimpinan Misdiyawati sebagai Kades. Di bawah kendali seorang perempuan, ternyata tak mem-buat pemerintahan desa me redup. Justru sebaliknya, sejak berada dalam genggaman Misdiyawati, desa ujung barat Kecamatan Gapura ini, merangkak maju, dengan berbagai pembangunan Desa (Kades) di Desa Braji, Ke-camatan Gapura.

Berharap Ekonomi Warga Sejahtera

Nama : Misdiyawati

Tetala : Sumenep, 26 Oktober 1970

Jabatan : Kepala Desa Braji Kecamatan Gapura

Suami : Asmawi

Anak : Lina Wafiyah Asmi

: Am. Labib Mahal Asmi

Biodata

Page 18: Edisi 4 Mata Sumenep

18 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di Sumenep, menjadi perhatian

para camat, tak terkecuali Camat Bluto, Siswahyudi Bintoro. Lima desa di Ke-camatan Bluto, seperti Desa Gulukman-jung, Ging-Ging, Pekandangan Tengah, Sera Barat dan Desa Sera Tengah, akan menggelar Pilkades tanggal 26 Novem-ber, tentu menjadi pemikiran tersendiri. Camat Bintoro, panggilan akrabnya, mengaku siap setelah beberapa bulan sebelumnya, telah menyiapkan berbagai hal teknis dalam mensukseskan pelak-sanaan Pilkades Gratis yang digagas Bu-

pati Abuya Busyro Karim.Pak Camat asal Malang ini, mengaku telah melakukan sosialisasi,

validasi data dan persiapan lainnya menuju suksesnya Pilkades. “Saya berharap semua elemen, khususnya masyarakat yang ada di 5 desa terse-but, untuk menjaga suasana yang kondusif, menuju terlaksananya pilkades dengan baik. Keadaan yang kondusif dan tidak ada rintangan yang mengg-ganggu merupakan kunci suksesnya pelaksanaan Pilkades, yang menjadi harapan semua orang,” pintanya.

Sebagai bentuk antisipasi, ia terus melakukan komunikasi aktif dengan berbagai kalangan masyarakat, mulai dari tokoh agama dan para calon Kepala Desa. Selanjutnya, Bintoro juga berharap agar Panitia Pelaksana Pilkades bisa melaksanankan tugasnya dengan netral. Supaya semua bisa berjalan dengan baik dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Demi memberikan kepuasan masyarakat terhadap pelaksanaan pilkades tersebut.

Rekam jejak suami dari Hairun Nisak, 40,ini, tidak perlu diragukan. Se-belum menjabat Camat Bluto, ia berpengalaman menjalani gawe demokrasi tingkat desa. Tidak heran, bila Bintoro tercatat sebagai Camat terbaik kedua di antara 17 Camat yang ada di Kabupaten paling timur Madura ini. Karena itu, ia terus memberikan pelayanan maksimal kepada rakyat yang menjadi tanggungjawabnya. “Semunya, demi membantu, memudahkan dan mem-berikan kepuasan terhadap warga yang ada di Kecamatan Bluto,” ujar ayah tiga anak ini.

Selama 3 tahun Bintoro menjabat Camat Bluto. Sebelumnya, setahun sebagai Camat Raas. Perhargaan lain yang pernah ia raih adalah tercatat sebagai camat dengan kinerja terbaik berturut –turut selama 2 tahun (2012 - 2013). Saat ditanya apa resepnya? Bintoro menyebut pola kerja yang diterapkan, mengutamakan kebersamaan dengan seluruh stake-holder. Sehingga dari kebersamaan itu, akunya, semua kegiatan dan pro-gram berjalan efektif dan mendapat dukungan dari berbagai kalangan masyarakat. Selama ini masyarakat menilai baik dan apresiatif terhadap kinerja dan pelayanan yang dilakukan Bintoro.

Saat Mata Sumenep betamu ke kantornya, lelaki kelahiran Ma-lang 20 April 1970 ini, bercakap –cakap menggunakan Bahasa Ma-dura. Ia juga tidak seperti orang Jawa. Aksen bahasa lazimnya orang Madura. Bintoro mengaku, sudah 17 tahun menetap di Sumenep. Se-lain itu, ia masih berdarah Sumenep. Kepribadiannya ramah ketika berbincang dengan Mata Sumenep di ruang kerjanya, tidak menjaga jarak dan cukup akrab. Sesekali canda tawa keluar dari bibirnya sam-bil tersenyum.

Nikam Hokiyanto/Rusdiyono

MATA DESA

Siap Sukseskan Pilkades Gratis

Tahun 2014 menjadi tahun sosialisasi dan motivasi bagi warga Sumenep, yang tersebar di beberapa kecamatan. Melalui pameran pembangunan antar desa, berpusat di masing-masing kecamatan, Bupati Sumenep,

Abuya Busyro Karim, memanfaatkan moment tersebut sebagai ajang sosialisasi rencana program Pemkab dan apa yang sudah diperbuat.

Bupati Abuya Busyro mengakui hasil kreatifi tas dan inovasi warga desa san-gat baik. Karena itu, bupati berharap SKPD yang ada untuk selalu menyatukan program demi kemajuan usaha potensi desa. Apakah terkait peningkatan modal usaha, manejemen pemasaran, maupun teknologi packing.

“Sehingga di awal 2015 bisa terbangun pusat oleh-oleh khas Sumenep dalam sebuah gerai UMK. Hasil produk yang ada di desa dikumpulkan dalam satu tem-pat agar banyak orang tahu. Selain, menunjukkan hasil kreatifi tas masyarakat Sumenep kepada wisatawan domestik,” jelas bupati dalam sambutan pembu-kaan di Pameran Kecamatan Lenteng.

Bupati juga menyinggung hasil capaian program Pemkab, selama ini, ban-yak tidak di ketahui warga desa. Bahkan, katanya, informasi yang ada cender-ung diputarbalikan. “Selama ini, informasi yang masuk ke warga desa hanya kekurangan dan kelemahan Pemkab. Padahal, sudah banyak yang diperbuat pemerintah Sumenep. Selama 4 tahun, Sumenep mendapat 27 penghargaan di tingkat Nasional dan Provensi. Hal ini banyak yang tidak di ketahui masyarakat,” tambah Abuya penuh semangat.

Acara pameran yang di adakan di Kecamatan Lenteng diikuti 56 stand yang berbeda-beda. Selain stand masing-masing desa dan lembaga pendidikan, juga tersedia stand yang bisa menjadi konsultasi cara mengurus ijin usaha, pembua-tan KTP dan sebagainya.

Camat Lenteng, Agus Dwi Saputra mengatakan, acara ini bisa memotivasi ekonomi lokal. Masyarat dapat menjalin hubungan dan lebih kreatif. Hal ini dapat kita lihat keakraban, bahu membahu, kerja sama dan menampilkan kreasi terbaik mereka.

Sementara, Bunda PAUD, Nurfi triana Busyro dalam pidato saat pelantikan bunda PAUD Kecamatan Lenteng, menjelaskan, kesriusan pemerintah dalam perkembangan PAUD. Menurutnya, PAUD sangat penting bagi anak-anak usia dini di saat pertumbuhan anak begitu pesat. Sekitar 80% perkembangan jasm-ani dan intelejen anak-anak terbentuk di usia PAUD. Karena itu, PAUD harus di ajarkan nilai-nilai sosial dan kedisiplinan yang baik. PAUD adalah masa yang sangat tepat memberi rangsangan yang baik untuk anak didik yang berkuali-tas. “Saya berharap semua pihak dapat membantu perkembangan PAUD,” pinta mantan presenter ANTV ini.

Sedangkan Diah Agus, Ketua Tim Penggerak PKK Kecamatan Lenteng men-yatakan kebahagiaannya diadakan acara ini. Dia menilai masyarakat desa bisa berlatih dan bersaing dalam bentuk kerja tim untuk membuat kreatifi tas yang berbeda dan mampu memberi warna baru di Kecaman Lenteng.

imam rasyidi

Warga Desa Perlu Informasi yang Utuh

Page 19: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 19

Seperti biasa, dikala sinar mentari pagi mulai menyingsing. Ketaku-tan yang mencekam diperaduan

malam perlahan hilang. Fikiran bin-gung, sudah mulai menemukan arah baru, kemana akan berpijak. Akan teta-pi, suasana pagi pada hari senin tanggal 20 Oktober 2014 merupakan suasana yang penuh duka, bagi warga Desa Guluk-Guluk dan semua santri Pondok Psantren Annuqayah. Sebab, sang Kiai Abd Basith Bahar, dambaannya telah kembali kesisi-Nya. Kiai pemilik su-ara Daud itu meniggal di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Pamekasan. Pada tanggal 19 Oktober 2014, tepat pada pukul 22.00 Wib. Den-gan penyakit stroke yang diderita oleh Kiai dengan empat anak itu.

Semasa Hidup abah dari Kiai M. Musthafa tersebut, selain dikenal Is-tiqomah dalam shalat, juga dikenal pemilik suara Daud. Sebab, beliau memiliki suara yang merdu dan enak didengar. Terutama dalam bidang qira’ah atau tilawatul Qur’an. Dari sak-ing bagus bacaan al-Qur’annya, sehing-ga banyak santri yang berminat belajar tentang tata cara mengaji yang baik dan bagus.

Berdasarkan kesaksian Ach. Sal-man, almarhum Kiai Abdul Basith Ba-har, tetap konsisten dalam shalat, ken-dati menderita penyakit stroke. Ketika beliau ingin shalat Jum’at ke Masjid Jami’ Annuqayah yang letaknya jauh dari kediamanya, maka Kiai pemilik suara yang indah itu akan naik mobil. Dan sesampainya di halaman Masjid, beliau pasti dipapah oleh santri yang biasa mendampinginya.

Almarhum, termasuk Kiai yang se-cara rutin shalat Dhuha bersama santri setiap hari. Di Pondok Pesantren An-nuqayah daerah Karang Jati dibawah tanggungan Kiai ayah dari Lora Abdul-lah, Lora Muhammad dan Ning Khadi-jah, adalah satu-satunya yang mewa-jibkan seluruh santrinya shalat Dhuha berjamaah.

Bahkan kesaksian bahwa beliau me-mang terkenal bagus bacaan al-Quran-nya itu langsung dari KH Syafraji, Ketua MUI Sumenep yang takziah dan pernah

belajar qira’ah kepadanya. Bahkan be-liau pernah menjadi anggota Dewan hakim MTQ Nasional pada tahun 1974 di Surabaya. Selain itu, pernah merintis Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffazh di Ka-bupaten Sumenep tahun 1960-an ke-tika beliau masih tinggal di Kota Sume-nep (belum menikah). Cerita putra pertama Muhammad Musthafa kepada Mata Sumenep.

Bukti sejarah kalau beliau selalu aktif dan kreatif dalam membaca al-Qur’an yaitu dengan adanya VCD reka-man sewaktu beliau tampil di sebuah acara di Dasuk. “Beberapa tahun lalu secara tak sengaja saya menemukan VCD rekaman acara maulid di Masjid Assofa Dasuk, Sumenep tahun 2006 yang di situ ayah saya tampil sebagai Qari’. ujar penulis Buku Sekolah dan Himpitan dan Google itu.

Mustafa juga menulis dalam sta-tus FB yang rindu bacaan shalawat yang pernah memantik kerinduan-nya saat di rantau, di Trondheim, Norwegia, di sekitar bulan Maulid bulan Maret 2010 dalam blognya. Ia menulis Ayah, Apa Kau Masih Bisa Memimpin Pembacaan Shalawat di Perayaan Maulid Tahun ini? Andai kau sedang berada di rantau, momen apakah yang akan membuatmu paling mudah untuk teringat pada ayah atau ibumu? Saya menduga kuat bahwa salah satu jawaban favorit adalah saat sakit. Bila kebetulan terbaring sakit di rantau, kita akan tersadar bahwa kita sedang benar-benar sendiri dan jauh dari keluarga.

Tujuh bulan di Eropa, alhamdulil-lah bisa dibilang saya belum pernah benar-benar sakit. Pernah juga sih, dua kali kurang enak badan agak se-rius. Yang pertama gara-gara kele-lahan sepulang dari Jerman, dan yang kedua pas awal-awal baru tiba di Belanda—mungkin karena masih penyesuaian dengan cuaca dan sibuk mengurus ini itu. Masing-masing, sekitar dua hingga tiga hari saya tak banyak beraktivitas dan hanya beris-tirahat di kamar saja.

Namun demikian, bukan sakit yang mengingatkan saya pada orang rumah.

Selama di Eropa, bulan Maulid-lah yang telah benar-benar mengingatkan saya pada ayah. Dalam rindu, saya ber-tanya-tanya: apakah ayah masih bisa memimpin pembacaan shalawat di per-ayaan Maulid tahun ini?

Di sepanjang bulan Maulid, bahkan kadang juga sebelum dan sesudahnya, di Madura pada khususnya biasanya ramai dengan perayaan Maulid. Orang-orang maupun lembaga banyak yang ikut memperingati kelahiran Baginda Nabi Muhammad saw. Bisa dikata-kan hampir tiap hari. Dalam perayaan Maulid, shalawat, diba’ dan barzanji dilantunkan bersama-sama dengan di-pandu oleh salah seorang yang hadir. Sering kali juga diiringi dengan tabuhan rebana.

Ayah saya bisa dibilang biasa me-mandu atau memimpin pembacaan shalawat di acara-acara perayaan Maulid di daerah saya. (Sebenarnya, shalawat juga biasa dibacakan dalam acara pernikahan dan ritus lainnya.) Memang, ayah memiliki suara yang merdu. Beberapa orang mengatakan bahwa jika membaca al-Qur’an, suara ayah mirip dengan Syeikh Ali bin Ab-durrahman al-Hudzaifi , imam Masjid Nabawi, Madinah, yang terkenal itu.

Dalam perayaan Maulid, ayah bi-asanya membacakan diba’ dan barzanji atau bacaan shalawat dengan irama lagu yang konvensional. Saya tidak tahu apakah penggambaran saya ini benar. Yang jelas, pilihan irama lagunya bisa dibilang relatif sudah lazim didengar dan mudah diikuti oleh jama’ah yang hadir.

Saya sendiri memang lebih suka sep-erti itu. Dengan pilihan shalawat yang kurang akrab didengar, saya kadang merasa kurang bisa menyatu dengan suasana religius yang berusaha diban-gun dalam sebuah perayaan Maulid.

Meski pilihan irama lagunya biasa, saya harus katakan bahwa saat ayah membacakan diba’, barzanji, atau shal-awat, saya dapat merasakan keindahan dan ketulusannya dalam memberikan pujian dan penghormatan kepada Bag-inda Rasul.

Saat ini, tujuh bulan berpisah den-

gan keluarga di rumah, dipisahkan jarak sebelas ribu kilometer, saya ber-tanya-tanya: apakah ayah masih bisa melantunkan diba’, barzanji, dan shala-wat di perayaan Maulid tahun ini?

Sejak akhir 2007, yakni sejak stroke (ringan) menyerangnya, saraf motorik ayah terganggu. Ini menyebabkan ayah menjadi agak kesulitan mengolah sua-ranya. Ayah juga mengatakan bahwa nafasnya menjadi tidak cukup panjang lagi. Sejak saat itu, terkadang ayah me-nolak memimpin pembacaan diba’ atau barzanji di acara perayaan Maulid.

Kalaupun ayah bersedia, saya dapat merasakan betapa ayah sudah tak bisa fasih membaca diba’ atau barzanji sep-erti dulu, sebelum stroke menyerangn-ya. Saya masih ingat, di suatu siang di awal 2007 saya sempat mengikuti se-buah acara Maulid di rumah salah satu famili, dan ayah memimpin pembacaan diba’ di acara itu. Saya masih bisa mera-sakan kekuatan lantunan suaranya. Bacaan diba’, barzanji, dan shalawat ayah buat saya terasa cukup mampu untuk menghadirkan Baginda Rasul di antara kekhidmatan jama’ah yang hadir di sana.

Setelah itu, saya dapat merasakan betapa kadang ayah tampak kesulitan untuk melafalkan bait-bait syair yang berisi pujian kepada Nabi Muhammad itu. Bahkan kadang ketika membaca ayat al-Qur’an saat shalat berjama’ah, ayah juga kesulitan dan tak sefasih se-belumnya. Kadang ayah tampak cukup emosional dan tak sabar saat ia men-galami kesulitan semacam itu.

Kini, bulan Maulid telah lewat. Tapi mungkin saja masih ada orang yang merayakan Maulid Nabi di sekitar rumah saya. Dan, sampai sekarang pun, pikiran itu masih terus mem-bayangi saya: apakah ayah masih bisa memimpin pembacaan shala-wat dalam perayaan Maulid tahun ini—juga tahun-tahun mendatang?

Ayah, saya rindu bacaan shalawat-mu. Ayah, saya berdoa untukmu, dan semoga syafa’at Nabi selalu tercurah untukmu. Ayah, maafkan saya, anak-mu yang tak tahu berbakti ini.

imam rasyidi

Pengasuh Pondok Pesantren AnnuqayahDaerah Karang Jati

Mengenang Kepergian Kiai Abdul Basit Bahar

Page 20: Edisi 4 Mata Sumenep

20 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

Karangduwak (2) Sang Mpu

Istilah keris tercantum di prasasti abad ke-9 Masehi. Kajian ilmiah perkembangan ben-tuk keris, selama ini sebatas analisis figur

di relief candi atau patung. Begitupun pengeta-huan mengenai fungsi (kegunaan atau isi) keris, sebatas mengacu dari beberapa pakem. Para pakar perkerisan pun, menyebut, untuk meneliti isi suatu keris, hanya sang mpu yang mengeta-hui kekuatan atau kegunaan yang terkandung di dalamnya. Atau orang yang memiliki ilmu mu-kasyafah

Asal-usul keris di Sumenep masih belum ada sumber tertulis yang dapat menjelaskan se-cara rinci. Setidaknya, dalam tradisi lisan, keris hadir di Sumenep sebelum abad ke-15 masehi, tepatnya pada abad ke 14 masehi, bersamaan dengan bangkitnya kerajaan Majapahit, pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389 masehi. Penggu-naan keris di Nusantara tersebar pada wilayah kekuasaan Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thai-land Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Pakem keris di tiap daerah memiliki kekhasan sendiri. Baik dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan. Seperti, keris Mind-anao dikenal sebagai kalis.

Ada yang menyebut pembuatan keris di In-donesia, termasuk di Sumenep, berawal dari senjata tajam dari peninggalan kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan. Dugaan pen-garuh kebudayaan Tiongkok Kuno dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebu-dayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan

“jembatan” masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Beberapa keris yang beredear kini sama dengan belati Dongson dan menyatu dengan bilahnya.

Sikap menghormati terhadap benda berba-han logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Dalam prasasti Dakuwu (abad ke-6 M), ikonografi India me-nampilkan Wesi Aji seperti trisula, kudhi, arit, dan keris sombro. Para sejarawan menyebut, keris dari periode pra-Singasari dikenal seba-gai keris Budha, dengan bentuk pendek dan tidak berluk (lurus). Hal ini dilihat sebagai bentuk awal (prototipe) keris. Beberapa be-lati temuan dari kebudayaan Dongson memi-liki kemiripan dengan keris Budha dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris.

Pada masa lalu, keris berfungsi sebagai sen-jata peperangan, sekaligus pelengkap sesajian. Saat ini, keberadaan keris menaruh kepercayaan akan isi. Sisanya menempatkan sebagai aksesori (ageman) dalam berbusana dan menjadi benda koleksi yang bernilai estetika.

Tahukah, jika para empu keris dulu mem-buat (“mencipta”) keris dengan asupan tangan dan mulut?. Bisa jadi, pernyataan ini sebatas dongeng atau mitos karena tidak bisa dira-sionalkan. Bagi mereka yang menggunakan kacamata mistis (irrasional), kemampuan pembuatan keris dulu hanya dimiliki indi-vidu (orang) yang memiliki ilmu mukasyafah. Setidaknya, bukti proses pembuatan keris dulu yang termaktub dalam buku Sejarah Empu karya Pangeran Wijil III dari Kadilangu, De-mak, bisa menunjukkan kajian ilmiah.

“pan dariji kang kinarya supitbrama medal saking tutukiramangka kikir panuduhegarinda jempolipunpepacale kuku kinardisesepuhira lidhahpacobane idupangasah pek-epekirabesalene ana satengahing margidhukuh Medhang Kamulan … (pupuh Dhandhang Gula)”

artinya:

“Dengan jari-jemari sebagai penjepit,nyala api menyembur dari mulutnya,Sebagai kikir adalah jari telunjuknya,dan ibu jari sebagai gerinda,Dipahat dengan kuku,kemudian disepuh memakai lidah,dan didinginkan dengan air ludah, lalu diasah di telapak tangannya.Tempat kerjanya di jalananwilayah Medang Kamulan …”

Suhardi tidak menolak proses pembuatan keris (“ciptaan “) Mpu dulu sebagaimana tertu-ang dalam buku Sejarah Empu Kadilangu, De-mak. Hanya saja, Om Ndi, punya cerita tersendi-ri saat Sang Mpu Karangduwak membuat keris dari bahan baku ilalang. “Bahan baku Ilalang, sampai sekarang masih tersimpan dalam peti warna hitam di kediaman Gung Macan di Kelu-rahan Karangduwak,” ujarnya.

bersambung....Asip Kusuma

Bahan Baku Keris dariIlalang

Mengenal

Para “empu keris” mewarisi nilai yang masih belum di-miliki para generasi saat ini. Tak heran, apabila hasil kar-ya para Mpu dulu, menjadi World Heritage (warisan dunia) dan mendapat gelar Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Hum-inity (Adikarya Budaya Lisan Nonbendawi Warisan Perada-ban Manusia) dari UNESCO.

Cara Sang Mpu Membuat Keris

Page 21: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 21

travelling

“Bantuan Buya sekitar puluhan juta, dibawah 100 juta. Waktu itu, perhisan emas Nyai yang dipakai suruh lepas se-mua dan diberikan ke masyarakat Gili Labak,” cerita Herman Dali, membenar-kan bantuan pribadi Buya untuk mem-bangun masjid di Gili Labak. Herman memang menjadi saksi saat kunjungan ke Gili Labak.

Kini, keberadaan masjid begitu terasa bagi warga yang mayoritas ne-layan. Terutama saat bulan puasa, setiap malam jamaah memadati masjid untuk shalat tarawih. Jamaah tarawih bukan saja warga Gili Labak, tapi nelayan dari luar pulau yang sengaja sandar di pulau Gili Labak. Anak – anak dan remaja serta orang tua khusuk shalat tarawih berjamaah. Bulan puasa benar–benar dijadi-kan malam yang menyenangkan bagi warga pulau Gili Labak setelah seharian melaut.

Lembaga setingkat sekolah Dasar (SD) sempat berdiri dan berjalan lama di Gili Labak. Namun, itu berlangsung 35 tahun yang lalu. Ketika itu, Bapak Abd. Jalil, Pak RT, waktu kecil sempat mengenyam pendid-ikan SD di Pulau Gili Labak. Bapak RT bercerita, tena-ga pengajar didatangkan dari Pulau Talango. Seingat Bapak Jalil jumlah guru 3 orang. Para guru itu datang bergantian dan sempat bertahan mengajar 3 hari. 3 bulan berikutnya kembali datang ke sekolah. Dengan waktu bergiliran. Para tenaga pengajar banyak tidak betah, sehingga banyak siswa memilih pindah sekolah ke Kombang. Sehingga kegiatan SD di Gili Labak ditu-tup. Semua alat belajar mengajar seperti papan tulis, kursi, bangku tulis di bawah ke Desa Kombang.

Kini bangunan SD itu tidak tersisa, rata dengan tanah. Dan tidak ada kegiatan pendidikan untuk re-maja. Satu-satunya lembaga pendidikan hanya lang-gar milik Bapak Abd. Jalil yang mengajarkan anak balita dan remaja belajar mengaji dan ilmu agama. Bila waktu malam, kegiatan itu berlangsung. Namun peserta didiknya 11 orang. Maklum, remaja yang be-lum kawin sebanyak 6 orang dan balita 5 orang.

Selain fasilitas pendidikan tidak ada, apalagi fasili-tas kesehatan. Anak-anak balita pasti tidak menikmati makanan bergizi yang digariskan dalam dunia kes-ehatan. Sebab, pusat pelayanan kesehatan terpusat di Desa Kombang dan Pulau Poteran (Talango). Bila ada warga mengalami gangguan kesehatan dan perlu pen-anganan medis warga harus menempuh perjalanan

laut sekitar 1 jam ke Desa Kombang atau Puskesmas Talango. Begitu juga orang tua yang renta bila ada keluhan atau gangguan kesehatan tidak mudah terto-long. Lagi-lagi harus “hijrah” ke luar pulau menuju ke

posko kesehatan terdekat.Kondisi warga penghuni Gili Labak ini tidak sejalan

dengan keelokan lautnya. Seandainya ada kemauan bersama dari berbagai pihak, potensi Wisata Bahari di Pulau Gili Labak ini bisa menjadi tujuan wisata yang menggiurkan. Apalagi dengan perkembangan media informasi dan kemajuan transportasi yang semakin canggih, ditopang dengan diresmikannya Jembatan Suramadu. Kendati demikian, hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi pemkab dalam mewujudkan dan mengembangkan potensi alam menjadi obyek Wisata Bahari.

Sejumlah investor dan pihak asing sebenarnya su-dah melirik keindahan pulau-pulau kecil di Kabupaten Sumenep untuk ‘merebut’ kekayaan pulau itu. Seperti isu terhangat penjualan Pulau Sitabok dan Saredeng di Kecamatan Sapeken. Hal ini menjadi signal bagi pemkab agar dievaluasi dan diantisipasi agar aset-aset berharga pemkab tidak lari keorang luar. Termasuk, akses menuju Pulau Gili Labak juga harus menjadi perhatian karena kemudahan transportasi merupa-kan salah satu sarana pendukung terealisasinya Pulau Gili Labak ini menjadi kawasan wisata Bahari.

Mengelilingi Pulau Gili Labak akan disuguhi kein-dahan pinggir pantai yang hampir semua pantai di-luasi hamparan pasir yang berkemilau ketika terkena sinar matahari. Keramahan masyarakatnya juga men-jadi nilai tersendiri buat para wisatwan.

Segudang potensi bahari Gili Labak jika diperha-tikan lebih fokus bakal melebihi potensi bahari kebu-paten lain di Jawa Timur yang sukses mengembang-kan kawasan Wisata Bahari lebih awal. Seperti, Kabupaten Lamongan dengan potensi pantai Tan-jung Kodok, Gua Maharani dan Makam Sunan Dra-

jat. Kawasan Bahari Lamongan ditunjang fasilitas, seperti, arena ketangkasan, permainan anak-anak, go kart, anjungan Wali Songo dan Rumah Hantu. Kabupaten Tuban, melalui Pantai Boom yang sering

dimanfaatkan sebagai arena memancing bagi warga seki-tar pantai. Kabupaten Situ-bondo dengan Pantai Pasir Putih banyak aktifi tas re-kreasi yang dapat dilakukan yaitu berjemur (sunbath-ing), berperahu (boathing), memancing (fi shing), snor-keling, menyelam (diving) di area terumbu karang.

Dalam survey The Ma-dura Network yang beker-jasama dengan Bappeda, 2009, menyebut, potensi

alam Pulau Gili Labak adalah Terumbu Karang yang secara umum kondisinya termasuk kategori baik sampai sedang. Persentase penutupan karang sebe-sar 55,00% di utara Pulau Gili Labak dan 39,80% di selatan Pulau Gili Labak. Pantai pada umumnya memiliki kontur slope dengan substrat dasar pasir berlumpur, akan tetapi kalau pantai di Pulau Gili Labak sangat berbeda karena pantainya memiliki pasir putih yang gemilau. Terumbu karangnya da-pat ditemukan sampai kedalaman 3 meter dan ter-masuk dalam tipe fringing reef (terumbu tepi).

Dalam survey itu juga disebutkan, terumbu ka-rang berfungsi dan memiliki nilai ekonomis dari ekosistem terumbu karang yang merupakan gudang persediaan makanan dan bahan obat-obatan bagi manusia dimasa kini maupun di masa mendatang. Selain tempat tinggal ribuan jenis binatang mencari makan dan berlindung.

Selain nilai ekonominya, ekosistem terumbu karang juga merupakan laboratorium alam yang sangat unik untuk berbagai kegiatan penelitian. Be-berapa jenis spongs, misalnya, merupakan binatang yang antara lain terdapat di ekosistem terumbu ka-rang yang berpotensi mengandung bahan bioakif yang dapat dijadikan bahan obat-obatan antara lain untuk penyembuhan penyakit kanker. Selain itu binatang karang tertentu yang mengandung kalsium karbonat telah dipergunakan untuk pen-gobatan tulang rapuh. Fungsi lain dari ekosistem terumbu karang yang hidup di dekat pantai ialah memberikan perlindungan bagi berbagai prop-erti yang ada di kawasan pesisir dari ancaman pengikisan oleh ombak dan arus.

habis

“Bantuan Buya sekitar puluhan juta, dibawah 100 juta. Waktu itu, perhisan

laut sekitar 1 jam ke Desa Kombang atau Puskesmas Talango. Begitu juga orang tua yang renta bila ada keluhan atau gangguan kesehatan tidak mudah terto-long. Lagi-lagi harus “hijrah” ke luar pulau menuju ke

“Bantuan Buya sekitar puluhan juta,

laut sekitar 1 jam ke Desa Kombang atau Puskesmas Talango. Begitu juga orang tua yang renta bila ada

Wisata bahari

Waktu menjabat Ketua DPRD Sumenep, kali pertama, tahun 2002, Abuya Busyro Karim berkunjung ke Pulau Gili Labak. Buya, terpang-gil untuk membangun masjid, kendati tidak me-miliki kemampuan menanggung keseluruhan biaya. Setidaknya, bantuan itu, semacam ump-an untuk menggerakkan masyarakat Gili Labak dalam mewujudkan bangunan masjid.

Berpotensi Menjadi

Page 22: Edisi 4 Mata Sumenep

22 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

Pasar Candi MATA POTENSI

Seperti Pasar Candi, Kecamatan Dungkek, yang saban hari selalu ramai pengunjung untuk membeli hasil pertanian warga yang

dijajakan di dalam pasar. Setelah bangunan pasar diperbaiki, tiga tahun lalu, para pedagang menuai banyak keuntungan dari hasil jualannya. Para pembeli juga merasa senang, dengan aneka pedagang yang melengkapi jualannya.

Posisi Pasar Candi cukup strategis karena berada diperbatasan Kecamatan Dungkek dan Batang-Batang. Warga dari dua kecamatan ini, pasti menjadi langganan belanja di pasar ini. Sewaktu warga Kecamatan Batuputih juga ikut berbelanja. Puncak keramaian pasar ini mulai ramai pada pukul 07. 00 dan mulai sepi di atas pukul 12.00.

Lalu apa yang dirasakan petani dengan adanya Pasar Candi?Nyi Essul, 50, pedagang Ikan asal Desa Legung Kecamatan Batang-Batang. Dirinya merasa terbantu dengan adanya pasar Candi yang dibuka setiap hari. Ikan hasil tangkapan suamin-ya itu lekas terjual. Dia sangat bersyukur dengan apa yang telah diproleh dari penjualan Ikannya. Meski tidak banyak, tapi cukup untuk biaya ke-butuhan hidup. “Alhamdulillah bisa berjualan, meski tidak banyak, paling tidak hasilnya cukup untuk biaya hidup” sambil terseyum pada Mata Sumenep.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Ibu Esso, 54, mengaku senang bisa berjualan pisang di pasar Candi dengan pendapatan terus bertam-bah. Ia merasa bersyukur bisa menjual langsung hasil pertaniaannya, tanpa harus dijual kepada pengepul. Begitu pula yang dirasakan Ruhma, 40, petani mentimun, ia tidak usah repot-repot menjajakan hasil panennya. Setiap kali panen, ia langsung diantar ke Pasar Candi karena ditunggu penadah. “Sehabis panen, saya tidak usah repot-repot menjajakannya, tinggal diantar saja ke Pasar Candi,” tuturnya sembari menyeka kerin-

gat di wajahnya, seusai memetik buah mentimun miliknya.

Saat Mata Sumenep menyusuri semua sudut di Pasar Candi, semua hasil pertanian diperjua belikan di tempat itu. Mulai dari sayuran, kelapa, biji-bijian dan ubi-ubian. Dan jenis makanan ringan ciri khas setempat juga ikut dipasarkan. Termasuk para pedagang konveksi dan kebutu-han alat-alat dapur, ikut berjualan setiap hari.

Pagi itu, para konsumen Pasar Candi mulai berdatangan. Tidak lama kemudian, pasar dipa-dati pengunjung yang datang dari beberapa desa tetangga. Hingga area pasar yang persis berada di samping jalan raya, pengguna jalan terpaksa harus mengurangi kecepatannya. Apalagi sebagi-an calon pembeli memarkir kendaraannya diba-hu jalan yang tidak terlalu lebar. Terkadang jalan raya Candi macet.

Warga yang hendak belanja harap bersabar. Jalanan pasar yang sempit, ditambah padatnya pengunjung, jalan masuk ke dalam pasar, harus berjalan pelan. Kios–kios pasar tertata baik. Hasil perbaikan stand pasar ini tentu mendapat apre-siasi dari warga dan pedagang.

Nor Aisyah, 38, warga yang sehari–hari be-lanja di Pasar Candi merespon positif terhadap mengembangan pasar. Ia mengaku senang sejak perbaikan pasar banyak warga datang berbelanja. Sehingga warga untuk belanja kebutuhan sehari –hari tidak perlu jauh –jauh datang ke Kota Sume-nep.

”Sebagai warga tentu senang. Karena sejak dikembangkan beberapa tahun lalu, pasar se-makin ramai dan untuk belanja kebutuhan hidup, di Pasar Candi semuanya ada,” ucap Nor Aisyah.

Ibu dua anak itu berharap, kedepan Pasar Candi semakin dikembangkan. Supaya segala ke-butuhan bisa didapat di pasar desa. Selain itu, ia juga berharap, para pedagang menjaga kebersi-han dagangannya. Agar kualitas dagangan tidak

kalah dengan pasar modern yang belakangan mu-lai bersaing dengan pasar tradisional.

Di tempat yang sama, Nafi sah, 57, pedagang bunga dan jajanan untuk selamatan, mengaku pendapatannya semakin bertambah. Sebelum diperluas mendapat penghasilan Rp 25 ribu per hari, sedangkan sejak dibangun sehingga pasar lebih ramai, dalam sehari mendapatkan keuntun-gan Rp 40 – 50 ribu per hari.

”Saya ingin pasar semakin ramai. Supaya mendapatkan keuntungan yang lumayan besar. Semakin banyak pengunjung, maka semakin ce-pat barang dagangan laku,” kata Nafi sah.

Kepala Desa Candi Sunaryo berencana untuk terus mengembangkan pasar desanya. Dari ban-yaknya permintaan masyarakat untuk menambah tempat usaha yang buka setiap hari. Saat Mata Sumenep menyinggung biaya yang akan dibutuh-kan untuk pemembangan pasar, ia belum menge-tahui pasti rincian biaya yang dibutuhkan. Sunar-yo berinisiatif kios – kios pasar akan ditambah.

Sebagian besar pedagang di pasar Candi warga setempat dari Desa lain. Dari persentase yang ada, 60 persen warga luar Candi dan 40 persen masyarakat Candi. Paling banyak dari desa / Kecamatan Batang–Batang. Sunaryo mengaku tidak membatasi masyarakat manapun untuk ikut berjualan di pasar tersebut. Paling ramai hari Minggu dan Rabu. Karena pedagang ayam hanya berjualan pada dua hari terse-but.

“Siapapun dan dari warga manapun boleh berjua-lan di pasar (Candi). Saya tidak membatasi masyarakat yang hendak mencari rizki,” kata Sunaryo santun.

Selanjutnya, Sunaryo berharap supaya masyarakat menikmati fasilitas yang ada dan ikut menjaga ke-beradaan pasar demi kenyamanan bersama. Sehing-ga, pedagang dan konsumen sama-sama menikmati fasilitas pasar yang berumur kurang lebih lima pulu empat tahun.

Nikam Hokiyanto / Rusdiyono

Ketika Bupati Abuya Busyro Karim berkeinginan mendongkrak ekonomi

masyarakat bawah, sejak itu, pemban-gunan pasar-pasar tradisional yang

tersebar di sejumlah kecamatan menja-di perhatiannya. Pemkab melalui Dinas

Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA), selalu mealokasikan

revitalisasi pasar-pasar yang menjadi tonggak ekonomi warga desa.

Men

gim

bang

i

Pasa

r Mod

ern

Page 23: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 23

MATA PESANTREN

Melirik Pondok Pesantren yang terletak di puncak pegunungan, yaitu pondok pesantren Al-Bajigur. Ponpes itu berdiri di atas hamparan tanah seluas dua hektar, di Desa Tenunan Kecama-

tan Manding. Tepat di jalan Jokotole No. 26. Nama Ponpes tersebut cukup unik. Namanya tidak diambil dari bahasa arab, sebagaimana nama pesant-ren pada umumnya. Hanya saja, karena diawali kata-kata “al” seakan-akan itu adalah bahasa arab. Bajigur, merupakan singkatan bahasa Madura. Be-rasal dari kata Bajingan Nganggur (Bajigur). Maksudnya? “Kebanyakan santri di ponpes ini terdiri dari mantan Blater dan pencuri yang ingin insyaf (dalam bahasa Madura disebut Nganggur atau tidak berfungsi lagi, Red Madura),” cerita Kiai Masturakhman, Ketua Yayasan al-Bajigur saat dite-mui Mata Sumenep.

Ponpes Al-Bajigur dirintis oleh Kiai Haji Abdurrahman, MB, tahun 1995 Orang populer menyebut Kiai Abdurrahman adalah Kiai Bajigur. Ke-banyakan santri berasal dari orang-orang gila dan mantan bajingan (blat-er). Jumlah santri mencapai ratusan. Seiring berjalannya waktu, ada warga yang menitipkan putranya untuk belajar ilmu agama ke Kiai Abdurrahman.

Kiai Haji Masturakhman, melanjutkan cerita, ponpes terdiri dari man-tan pencuri yang ingin insaf. Maka, yang disebut Bajingan Nganggur itu adalah mantan pencuri, penjudi, dan bahkan ada yang stress karena per-soalan ekonomi, yang meniggalkan profesinya. Semuanya, mondok atau nyantri di ponpes tersebut. Termasuk orang gila yang ingin sembuh. “Sant-ri yang mengalami gangguan kejiwaan dan ingin sembuh, juga nyantri,” imbuh Kiai Masturakhman.

Salah satu bukti jika Ponpes itu tempat nyantrinya orang yang men-galami gangguan jiwa, yaitu sejak Ponpes berdiri telah berhasil menyem-buhkan ribuan orang yang mengalami gangguan jiwa. “Alhamdulillah, su-dah banyak orang gila sembuh setelah mondok di sini, tentunya dengan idzin Allah,” jelas putra pertama Kiai Bajigur itu.

Lalu, bagaimana dengan santri yang normal? Miskari, 23, salah satu pengurus Ponpes bertutur, jika santri yang normal itu diwajibkan mengi-kuti rutinitas seperti pada pesantren lainnya. Kalau ba’da shalat Maghrib dan setelah shalat Shubuh, semua santri diwajibkan mengaji al-Qur’an. Se-dangkan untuk pengajian kitab yaitu setelah shalat Isya’. Salah satu kitab yang menjadi ajian wajib adalah Mutmainnah dan Fathul Qarib. Semen-tara untuk sekolah Diniyah, dijadwal sesudah shalat Ashar.

Semua santri wajib menanak sendiri, yang selalu ditekankan oleh pen-gasuh kepada seluruh santri, kecuali bagi yang santri yang tidak normal. Kalau santri yang sakit jiwa, ada orang khusus yang bertugas menyiapkan makanan dan yang memandikan.

Dari semua kegiatan yang diprogram Ponpes, Shalat Berjama’ah lima waktu merupakan perkara wajib yang tidak boleh ditinggalkan oleh semua santri. Kecuali ada halangan yang tidak bisa dihindari, seperti sakit parah.

Selain itu, kata pria yang berasal dari Desa Manding itu, Biaya Ponpes han-ya 20 ribu rupiah perbulan, termasuk air, lampu, dan uang asrama. Tidak ada pembayaran yang lain.

Dari tiga puluh lima santri yang nyantri di Ponpes Bajigur itu, berasal dari Desa Aeng Merrah, Kecamatan Batuputih, Kecamatan Gapura, dan daerah lain di Sumenep. Mahasiswa STIT Al-Karimiyah Braji, itu menye-but, bahwa di Ponpes yang corak bangunannya hampir sama dengan model kerajaan tempo dulu itu, mengelola pendidikan dari jenjang TK, MI, MTs hingga Madarasah Aliyah (MA). Semua lembaga pendidikan itu, berada dalam satu naungan, Yayasan Al-Bajigur.

Semua santri wajib memasak sendiri, yang selalu ditekankan oleh pen-gasuh kepada seluruh santri, kecuali bagi yang santri yang tidak normal. Kalau santri yang sakit jiwa, ada orang khusus yang bertugas menyiapkan makanan dan yang memandikan.

Sebagian warga sekitar Ponpes sempat riuh dan panik. Karena, di Ponpes yang warna catnya serba hijau itu memang banyak kejadian aneh. Salah satu diantaranya ialah masyarakat Manding pernah dikejutkan den-gan pembutan perahu di sekitar kompleks Ponpes Al-Bajigur. Sebab, se-lain Desa Tenunan jauh dari laut juga letak geografi s berada di perbukitan. Asumsi warga beragam, teringat kisah Nabi Nuh As yang membuat perahu di atas Gunung. Masyarakat takut, ketika perahu selesai dibuat, akan da-tang musibah banjir.

Syaiful,25, salah satu santri Al-Bajigur bercerita kegelisahan dan rasa takut mencekam warga itu hilang setelah perahu selesai, Kiai Bajigur dibantu sejumlah warga membawa perahu itu ke pantai Salopeng. Setiba di Salopeng, perahu di tambatkan di pantai.

Belum ada alasan pasti, mengapa Kiai Bajigur membuat perahu di atas bebuktitan. Karena itu, secara pribadi Kiai Bajigur hanya meminta maaf kepada warga, telah membuat cemas selama proses pembuatan perahu.

rusydiyono

Al-Bajigur; Pesantren Bajingan Nganggur dan Orang Gila

Seperti barang di bengkel; mobil, barang elek-tronik dan barang lainnya yang rusak berharap kembali normal setelah ada perbaikan dari si tukang bengkel. Begitu salah satu motivasi Kiai Haji Abdurrahman, mendirikan Ponpes Al-Bajigur, di Desa Tenunan, Kecamatan Manding, yang banyak menampung bajingan nganggur dan orang-orang gila, untuk dijari ilmu-ilmu agama Islam.

Santri yang mengalami gangguan jiwa sedang shalat.

Page 24: Edisi 4 Mata Sumenep

24 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

Metamorfosis Al-Ghazali (4)Dari Filsuf Menuju Sufi

aui Muas

Kaimiya

SURI TAULADAN

Filsafat bagi al-Ghazali bagian dari dialektika antara ilmu alam, ilmu rasional dengan

ilmu hati dan ruh. Karena itu, Tahafut al-Falasifah (kerancuan berfi lsafat) merupakan sanggahan al-Ghazali terhadap konsep Filsuf Yunani yang ditransformasi para Filsuf Muslim, seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu ‘Arabi dalam 20 item menyangkut alam dan Tuhan. Sanggahan al-Ghaz-ali sebenarnya, perbedaan cara pan-dang dan pengertian tentang istilah-istilah, dari sudut masing-masing Filsuf. 20 item pemikiran Filsuf Yu-nani yang dikembangkan Filsuf Mus-lim yang diruntuhkan al-Ghazali han-ya terdapat kesalafahaman defi nisi, tidak masuk kepada substansi Filsa-fat. Itu penegasan bahwa al-Ghazali tidak menolak buta konsep berpikir Filsuf dalam Islam.

Pernyataan al-Ghazali ini tertuang dalam al-Munqidz yang menyebut, tentang ilmu alam yang membahas unsur-unsur, seperti air, udara, tanah dan api, serta penelitian dokter ke-pada pasien. Begitupun Islam tidak menolak ilmu kedokteran dan ilmu alam, kecuali yang tertulis dalam Tahafut al-Falasifah.

Sembilan puluh (90) tahun setelah al-Ghazali mengoreksi Filsuf Muslim, Ibnu Rusyd (595H/1198) sebagai Filsuf Muslim generasi setelahnya, pasca Ibnu ‘Arabi, juga ikut mengore-ksi kritik nalar al-Ghazali dalam Ta-hafut at-Tahafut (kerancuan di atas kerancuan). Menurut Ibnu Rusyd, se-luruh basis argumen al-Ghazali salah, karena mengacu bahwa kehendak Allah itu sama seperti kehendak ma-nusia. Padahal Nafsu dan kehendak hanya bisa dimengerti oleh makhluk yang memiliki kebutuhan. Ini salah satu isi pemikiran Ibnu Rusyd akan kritik nalar al-Ghazali.

Memang, lima tahun sebelum wa-fat, al-Ghazali mencurahkan kegun-dahan hatinya lewat al-Munqdiz. Ia bercerita jejak hidup dan pemikiran-nya dalam goresan kata, yang ter nyata menyimpan samudra pengeta-huan. Dalam catatan keberpalingan hidup menuju Sufi sme, al-Ghazali in-gin mengkonsentrasikan diri pada ja-lan sufi lewat pengetahuan (ilmu) dan amal, yang harus ditempuh dengan

tanjakan-tanjakan ruhani dan mem-bersihkan dari akhlak-akhlak tercela serta sifat jahat. Sedemikian, aku al-Ghazali, hati menjadi kosong dari se-lain Allah Swt, kemudian mengisinya dengan dzikir.

Pengetahuan (ilmu) sufi bagi al-Ghazali begitu mudah di dapat, le-wat para guru Sufi dan kitab-kitab tasawuf hasil karya Sufi sme dahulu. Tapi, yang menjadi sulit baginya ada-lah mengamalkan (melaksanakan) ilmu-ilmu tasawuf lewat bimbingan para syech (guru) tasawuf. Karena itu, al-Ghazali memilih berhenti dari aktivitas mengajar di Sekolah Nidzamiyah dan mencurahkan dalam kehidupan Sufi sme, melalui bimbin-gan para syech Sufi , sebelum men-etap dan wafat di padepokan Sufi nya, di Thus, tahun 1111 M, pada usia 53 tahun.

Ilmu tasawuf bagi Al-Ghazali ibarat oase di tengah gurun pasir. Di tengah kehadagaan hidup, tiba-tiba ada secercah sumber kehidupan yang memberi ketentraman bathiniyahn-ya. Semenjak usia muda hingga usia 48 tahun, al-Ghazali mengaku sudah menyelami samudera luas ilmu Allah Swt. Menyelidiki setiap kepercayaan, mendalami setiap aliran pemikiran (madzhab) dan mengkaji setiap aja-ran untuk membuktikan yang mana paling benar. Apakah bathiniyah, zhahiriyyah, kalam, fi lsafat dan ta-sawuf, termasuk kaum Zindiq dan Mu ‘athil. Zindiq berarti menyembu-nyikan kekufuran dan menampakkan keimanan. Sedang Mu’athil golongan yang menafi kan sifat-sifat Tuhan; Al-lah melihat dan mendengar dengan Dzat-nya,bukan sifat-sifatnya.

Dalam pencarian itu, al-Ghazali melepaskan tradisi dan taklid yang membelenggu kehidupannya menuju keyakinan potensi sebagai warisan dari Allah Swt yang bersifat fi trah. Dari hasil pencarian itu, al-Ghazali tidak memiliki pengetahuan kecuali apa-apa yang dilihat dari mata indera dan akal sehat. Menurutnya, apa-apa yang dihasilkan mata dan akal ter nyata menipu. Keraguan dan kekha-watiran terhadap yang ditipu oleh indera dan rasio tidak bisa dimentah-kan kecuali dengan argumen-argu-men logis. Namun, katanya, apakah

bisa menghilangkan keraguan tanpa argumen logis. Jika argumen logis

menjadi refrensi utama dan terakhir, maka tertutup jalan menuju kebe-naran. Sebab, kata Al-Ghazali, begitu sempit dan hina Tuhan, apabila hal-hal yang bersifat metafi sika, bisa di-lukiskan dengan dalil-dalil rasio.

Pengetahun sejati bagi Al-Ghazali bukan diraih dari argumen-argumen logis. Pikiran manusia akan menjadi objektif apabila hati manusia tersinari pancaran Nur Ilahi (cahaya Tuhan). Cahaya itu, kata Al-Ghazali yang per-lu dicari untuk mencapai (pengeta-huan sejati tanpa penghalang).

Kendati demikian, kata al-Ghaz-ali, seseorang yang sibuk mujaha-dah untuk meraih pengetahuan sejati (makrifatullah) melalui pan-caran Nur Ilahi seringkali tertipu setan. Mereka cenderung melepas-kan hukum syari’at, mencela orang-orang karena merasa hatinya dekat dengan Allah Swt, menilai syari’at hanya berlaku bagi tingkatan spir-itual rendah. Al-Ghazali menilai mereka tidak mengetahui ilmu ta-sawuf sebenarnya dan mereka mel-akukan ilmu tasawuf tanpa bimb-ingan guru yang patut diteladani.

Tasawuf bagi Al-Ghazali meru-pakan elaborasi ilmu, amal dan sifat terpuji bagi mereka yang akan me-raih makrifatullah. Dia harus mela-lui tanjakan-tanjakan rohani dengan ilmu tasawuf dan bimbingan seorang guru spiritual, serta membersihkan hati dari akhlak tercela. Sehingga hati para salik (pejalan) menjadi kosong dengan banyak ingat Allah (dzikrillah).

bersambung

Kata al-Ghazali, seseorang yang

sibuk mujahadah untuk meraih

pengetahuan seja-ti (makrifatullah) melalui pancaran Nur Ilahi sering-

kali tertipu setan. Mereka cender-ung melepaskan hukum syari’at, mencela orang-

orang karena merasa hatinya

dekat dengan Al-lah Swt, menilai

syari’at hanya ber-laku bagi tingka-tan spiritual ren-dah. Al-Ghazali menilai mereka tidak mengeta-

hui ilmu tasawuf sebenarnya dan

mereka melaku-kan ilmu tasawuf tanpa bimbingan guru yang patut

diteladani.

Page 25: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 252014 | MATA SUMENEP | 25

Testimoni

Itulah yang terjadi pada pengagum atau loyalis Kiai Haji Abuya Busyro Karim, ketika waktu pembagian sisa pakaian di

pesantren al-Karimiyah.Abuya sengaja menentukan waktu tert-

entu kepada orang-orang yang berkeinginan memakai sisa pakaian bupati. Waktu itu, berbarengan dengan acara pesantren untuk membagi secara massal. Di luar jadwal itu, Abuya tidak menutup pemberian. Hanya saja, rasa sungkan mengurungkan para loya-lis untuk menyampaikan keinginannya. Ke-cuali, Abuya sendiri memulai pembicaraan. Atau ada yang memberanikan diri karena tidak bisa membendung kerinduan memakai sisa pakaian sang kiai yang diidolakan.

Su’ud, 55, warga Kecamatan Manding, tak bisa menutup kegembiraannya, ketika sarung yang pernah dipakai Abuya diberikan kepada dirinya. Su’ud tidak menduga men-dapat pemberian sarung sisa pakaian kiai yang ia kagumi. “Kaule deteng ka pesantren terro noro’a pangajian kiai. Lastare acara, kiai apareng sarong lamiri. Duh... cek sen-nengge, kaule..,” tutur Su’ud, saat ditanya, Mata Sumenep, kegembiraannya waktu mendapat hadiah dari Kiai Abuya Busyro Karim.

Ach. Hafid Qudsi, staf Rumdis, mem-benarkan jika Bupati Abuya Busyro Karim seringkali memberikan sisa pakaian kepada orang-orang yang mengaguminya. Penerima, biasanya wali santri atau pengikut pengajian Abuya. Hafidz menyebut, sisa pakaian yang diberikan, masih terlihat bagus. Pakaian itu, masih dipakai sekali atau beberapakali. Sep-erti, sarung lamiri yang biasa dipakai Abuya, beberapa kali saja dipakai. Termasuk baju, di-berikan kepada para wali santri atau loyalisnya.

“Pokoknya, apa yang pernah dipakai bupati (Abuya Busyro Karim, Red.) diberikan. Ada yang meminta langsung, sebagian menunggu pemberian dari bupati. Mulai dari songkok, baju, celana dan sarung, diminta,” cerita Radiyanto, staf Rumdis lainnya, saat menjawab pertanyaan Mata Sumenep. Ketika mereka yang menerima pemberian sarung, pakaian dan songkok, Abuya nyeletuk, “Mare eang-guy la... ,” tambah Radiyanto meniru jawaban Abuya Busyro Karim, saat menjelaskan kepada orang-orang yang menunggu penjelasan sang kiai setelah menda-pat pemberian pakaian, sarung dan songkok.

Dalam tradisi pesantren, memakai sisa pa-

kaian sang kiai menjadi kehormatan tersendiri. Termasuk,menunggu sisa minuman atau makanan dari sang sosok yang diidolakan. Maka tidak heran, apabila tradisi ini meluas di kalangan para santri. Ketika para santri, cangkru’an atau ngobrol bareng, minuman teh atau kopi menjadi satu gelas, tapi di-minum rame-rame. Alasan, sang santri sederhana. Bukti kekeluargaan atau keguyuban antar santri.

Sebagai bupati, busana Abuya memang tidak terhitung jumlahnya. Maklum, pakaian yang di-gunakan tiap ganti berubah. Terutama, pada saat padat acara seremonial di luar jam dinas kantor. Seperti, acara peringatan Hari Koperasi, Hari Tata Ruang, Halal Bihalal antar SKPD atau UPT Diknas, corak warna dan motif, mengikuti seragam undan-

gan. Tentu, jauh sebelum acara dimulai, panitia mengantar busana yang akan dipakai bupati dan ibu bupati, kepada langganan jahitnya. Jika kegia-tan olahraga, kaos bupati diantar panitia.

Menurut Nizar, langganan penjahit bupati, masih memanfaatkan penjahit lokal, seperti, Pen-jahit Boston. Termasuk, penjahit ibu Fitri. Soal busana batik yang sering dipakai ibu Fitri, Nizar menyebut, bahan batik berasal dari sentra-sentra industri batik lokal di Sumenep. Ibu Fitri mendata-ngi langsung para pengrajin batik yang tersebar di Sumenep. “Hampir semua pengrajin batik di data-ngi dan dibeli hasil produksinya oleh ibu Fitri,” cerita Nizar.

imam rasyidi

Sudah menjadi kepercayaan. Sisa makanan atau pakaian yang pernah dipakai, orang yang dipercaya memiliki kelebihan ilmu, pasti direbut untuk ikut merasakan atau memilikinya.

Apalagi diberi secara pribadi kepada orang yang dituju.

Berebut Sisa Pakaian Bupati Kiai Abuya Busyro Karim

Page 26: Edisi 4 Mata Sumenep

26 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

MAJELIS TAKLIM

Sosok Kiai Haji Musyfik putra dari Kiai Mak-mum Madim sangat ramah kepada setiap tamu yang sowan. Selain sebagai pengasuh

Pondok Pesantren al-Karawi, ia juga sering di un-dang untuk mengisi ceramah keagamaan di ber-bagai daerah. Putra kiai Makmum ini tergolong ulama’ yang sangat getol mensyi’arkan agama Islam kepada masyarakat. Satu hal yang sam-pai saat ini yang patut diapresiasi dan membuat pesantren ini tetap diminati oleh masayarakat adalah sosok kiai yang tidak pernah mau men-erima bantuan baik dari pemerintah maupun dari instansi lain dalam hal peningkatan sarana dan prasarana Pondok Pesantren Karai.

Kiai Musyfiq mendirikan Tahlil Bulanan yang dikenal dengan sebutan TAHLBUN. Tahlbun bisa menjadi organisasi Muara Penyejuk jiwa. Tahl-bun berdiri sekitar tahun 1995, sebelum krisis moneter menerpa Indonesia. Haji Fauzi bersama Kiai Haji Musyfiq Madim mendirikan Perkumpu-lan Tahlil Bulanan (Tahlbun) di mulai dari rumah Haji Fauzi. Waktu itu, jamaahnya, sebatas komu-nitas Orari dan sejumlah Ulama’, salah satunya Kiai Haji Jurjiz Muzammil. Jumlah jamaah, wak-tu itu, sekitar 200 orang. Saat ini, jamaah Tahl-bun semakin meluas, mulai dari petani sampai pejabat. Yang tercatat, sekitar 1000 anggota. Na-mun, yang hadir tiap bulannya sekitar 250 orang.

Kiai Haji Musyfiq Madim, tercatat sebagai panasihat Tahlbun. Kegiatannya sebulan sekali, dimulai dari jam 09:00 sembilan sampai jam 12:00 siang. Acaranya dimulai dari doa tahlil ber-sama dan ceramah agama diisi Kiai Musyfiq.Hasil yang didapat dalam Organisasi ini adalah sebuah arahan dan amalan yang menjadikan jamaah leb-ih kokoh dalam mengamalkan ajaran Islam.

Talbun ini tidak memiliki kantor. Untuk berkumpulnya semua pengurus tiap 3 bulan

sekali disesuaikan dengan kesepakatan pengurus. Menurut Fadil, 52, mantan sopir Kiai Musyfik, selama 10 tahun, Tahlbun banyak memberi man-faat untuk kehidupan dunia-akhirat.

Talbun terbuka untuk umum, jadi, siapapun juga boleh menjadi anggota Tahlbun. Untuk kegia-tan bulanan, setiap jamaah membayar iuran sebe-sar 10.000 per bulan. Sejak awal berdiri memang ada iuran dengan kata lain markipat. Pertama berdiri, iuran kisaran 5000. Iuran tersebut diperun-tukkan konsumsi. Sisanya disimpan bendahara un-tuk kepentingan keluarga anggota yang meninggal dunia.

Haji Fauzi menambahkan, Tahlbun tidak per-nah memaksakan kehendak pada anggota. Ia men-contohkan, ketika acara ziarah wali, bagi anggota yang tidak punya ongkos, boleh tidak mengikuti kegiatan ziarah.

Selain aktivitas Tahlbun, Kiai Musyfik juga me-miliki komunitas dakwah lain, bernama Bahadur, singkatan dari Barzanji, Hadrah dan Jidur. Menu-rut Haji Adi,45, warga Desa Karai, komunitas Ba-hadur sebagai cara Kiai Musyfik berdakwah lewat kegiatan seni. Anggotanya tidak sampai seratus, diadakan secara bergilir antar anggota, pada tiap malam Rabu. Kecuali ada undangan warga, waktu bisa disesuaikan. Bahkan, waktu bulan maulid atau musim kedatangan jamaah haji, saban hari Baha-dur singgah dari rumah ke rumah warga. Melalui Bahadur, masyarakat memiliki dua keuntungan. Pertama, menjadi arena aktualisasi potensi yang dimiliki tiap-tiap anggota. Kedua, Kiai Musyfik da-pat menyelipkan pengetahuan agama Islam kepada masyarakat, dari makna syair berzanji yang dilan-tunkan, selain dampak positif.

Ahmad, 17, salah santri Kiai Musyfik bercerita, suatu hari ketika beliau dengan Haji Adi ada acara ke Surabaya. Tanpa di duga datang laki-laki tak

dikenal mengetok kaca mobil yang ditumpangi Kiai Musyfik. Setelah ditanya, laki-laki itu berharap Kiai Musyfik bisa mendoakan restauran miliknya. Maka dilakukan oleg sang kiai. Usai berdo’a, kiai langsung kembali ke dalam mobil.

Tidak hanya itu, Kiai Musyfik juga tidak per-nah menegur langsung apabila menemukan orang lain berbuat salah atau melakukan maksi-at. Imam, 25, salah santri Kiai Musyfik, menyebut perkumpulan ini diikuti orang-orang yang sering bermaksiat. Mereka diajak berkumpul oleh sang kiai dalam sebuah komunitas Forkim Sanem (Fo-rum Keluarga Ingat Makan Sanemmunah). Ang-gotanya, terdiri dari para penjudi, peminum dan pelau maksiat lainnya. Komunitas ini berlambang Buah Terong dan Daun Kelor. Waktu pertemuan-nya, setiap Minggu malam, di rumah anggota secara bergilir. Materi yang diajarkan tidak ada, sebatas kumpul-kumpul dan makan bareng Kiai Musyfik. Kata Imam, pertemuan itu sengaja tidak diberi materi keagamaan. Tapi mengedepankan kedekatan emosi antara Kiai Musyfik dan peserta perkumpulan. Dengan harapan, mengikuti jejak Kiai Musyfik, atau setidaknya bersedia melaksan-akan apa yang menjadi dawuhnya.

“Terbukti, berapa kali pertemuan, satu per satu, para pelaku maksiat itu, akhirnya sadar dan insyaf. Karena mereka merasa malu kalau tetap melakukan perbuatan yang dilarang agama Is-lam. Setiap saat, selalu berkumpul bersama sang Kiai panutannya.

Seabrek aktivitas di luar pesantren, tidak me-lupakan kewajiban sebagai pengasuh Ponpes al-Karawi. Kiai Musyfik tetap mengajar kitab Sullam Taufik dan Safinatun Najah kepada para santri. Berasal dari Sumenep dan Pamekasan. Termasuk santri dari Jawa.

imam rasyidi

Seperti dua mata uang yang sulit dipisah. Kiai Haji Musyfiq bin Makmum Bin Ahmad Dahlan bin Imam (Musyfiq Madim) kondang dengan atributTahlbun alias Komunitas Tahlil Bulanan. Keanggo-taan Tahlbun mencapai ribu-an anggota dan tersebar di penjuru Sumenep. Kehadiran-nya menjadi oase bathiniyah bagi jamiiyah.

Kiai Musyfiq Madim; Tahlbun Oase Bathiniyah

Kiai Haji Musyfiq Madim

Page 27: Edisi 4 Mata Sumenep

3 NOVEMBER 2014 | MATA SUMENEP | 27

Atraksi Sendratari memeriahkan puncakparade budaya Hari Jadi Sumenep ke 745

Page 28: Edisi 4 Mata Sumenep

28 | MATA SUMENEP | 3 NOVEMBER 2014

si cilik juga tampil ok.....Selamat Hari Jadi Sumenep ke 745...Kerja..Kerja...Kerja....Menuju Sumenep Super Mantap