Click here to load reader
Upload
dinhlien
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
EDUCATIONAL-BASED UNIVERSITY CURRICULUMEDUCATIONAL-BASED UNIVERSITY CURRICULUM(Competency-Based Curriculum for Wider Mandate University)(Competency-Based Curriculum for Wider Mandate University)
(Disampaikan dalam Seminar Kurikulum pada IKIP Saraswati Tabanan)(Disampaikan dalam Seminar Kurikulum pada IKIP Saraswati Tabanan)25 Agustus 200725 Agustus 2007
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------OlehOleh
Nyoman DantesNyoman Dantes**
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
A. Pengantar A. Pengantar
1.Rasional
Konstruksi masyarakat masa depan ditandai dengan semakin menguatnya
semangat Bhineka Tunggal Ika yang terwujudkan dalam implementasinya pada sistim
sosial yang mengakar pada masyarakat, ekonomi yang berorientasi pasar dengan
perspektif global, akulturasi multikultur dalam bidang pendidikan, serta moralitas
hukum. Hal tersebut mengindikasikan orientasi pembangunan yang mengedepankan
kepentingan mayoritas yang berimplikasi pada perlunya diupayakan peningkatan mutu
sember daya manusia, peningkatan aktivitas sektor ekonomi riil, pengembangan
kreativitas dan produktivitas kelembagaan, model akomodasi multikultur masyarakat
dalam bidang pendidikan, dan pengembangan hati nurani kemanusiaan melalui sektor
pendidikan.
Paradigma baru pembangunan pendidikan tinggi yang digariskan oleh
pemerintah, seiring dengan pemberlakuan otonomi pendidikan, telah menghadirkan
warna baru bagi setiap pelaku dan ”penikmat” lulusan pendidikan tinggi (stake holder).
Pada Renstra Depdiknas 2005-2009 tentang pendidikan tinggi, dengan tegas telah
digariskan bahwa pengelolaan pendidikan tinggi harus mengedepankan: (1)
meningkatkan pemerataan dan perluasan akses terhadap pendidikan tinggi, (2)
meningkatkan mutu dan relevansi sesui dengan kebutuhan pasar kerja, dan dengan
kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan (iptek) dalam rangka memberikan
sumbangan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan daya saing
bangsa, dan (3) meningkatkan kinerja perpendidik (guru/dosen)an tinggi dengan jalan
meningkatan produktivitas, efisiensi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan layanan
* Pendidik (guru/dosen) Besar Makro Pedagogik Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
pendidikan tinggi secara otonom melalui Badan Hukum Pendidikan (BHP) atau Badan
Layanan Umum (BLU).
Dengan diundangkannya UU. RI No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta diikuti dengan PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terjadi perubahan mandasar pada paradigma pendidikan di Indonesia. Dalam pembaharuan tersebut ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional dirumuskan sebagai terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia, berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip yang dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan.
Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peran pendidik (guru/dosen) dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Paradigma tersebut bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk dapat menyelenggarakan pendidikan berdasarkan pergeseran paradigma tersebut, diperlukan acuan dasar bagi setiap satuan pendidikan yang meliputi serangkaian kriteria (kriteria minimal) sebagai pedoman untuk kendali mutu yang bersifat demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas dan dialogis
Dalam kaitan dengan hal di atas, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di
Indonesia , mengalami tantangan baru, baik dalam pengelolaan programnya maupun
dalam rancangan program (kurikulum). Lebih-lebih saat ini semua LPTK Negeri telah
mengkonversi diri menjadi Universitas, yang sudah pasti juga dituntut untuk berbenah
dan mengantisipasi berbagai dinamika pembangunan pendidikan yang sering tidak
terprediksi dengan akurat oleh para pelaku pendidikan itu sendiri. Melalui wadah baru
itu LPTK diharapkan mampu menyesuaikan berbagai program dan aktivitas
akademiknya sejalan dengan karakteristik universitas, walaupun harus tetap menjadikan
”pendidikan” sebagai ”roh atau jiwa” dari segala program yang direncanakan dan
dilaksanakan. Bagi LPTK yang masih tetap pada statusnya semula, juga tidak terlepas
dengan permasalahan yang mendasar dalam memformat kurikulumnya, dikarenakan
dengan adanya peluang yang terbuka bagi para sarjana non LPTK untuk ikut berkiprah
pada profesi pendidikan. Hal ini menjadikan profesi pendidik terbuka, yang sudah
tentenya akan memunculkan berbagai permasalahan kualitas ketenagaan ke depan.
Terkait dengan hal di atas, ditinjau dari dimensi akademik, setiap LPTK dengan
pasti dalam Renstra-nya harus menggariskan bahwa pendidikan tetap menjadi inti dan
dasar pijakan utama pada setiap program atau aktivitasnya. Persoalannya sekarang
adalah, bagaimanakah model dari pengemasan ”pendidikan” atau program-program di
LPTK mampu berfungsi multy entry dan multy exit, dalam pengembangan dan
pembinaan keilmuan dan lulusannya. Untuk itu, diperlukan sebuah model kurikulum
yang mampu ”menjadikan bidang pendidikan sebagai core values dalam pengembangan
kompetensi lulusan selanjutnya. Pengembangan kurikulum yang seperti itu, lazim
dikenal dengan ”education-based university” (EBU). Pendekatan kurikulum ini sangat
cocok (menurut hemat penulis) dikembangkan pada LPTK yang wider mandate dan
perlu dirintis pada LPTK yang non wider mandate (walaupun secara pasti harus
meredisain program akademiknya). Pendekatan ini memberikan beberapa peluang dan
potensi yang bisa dioptimalkan, baik dari sisi penguatan bekal keilmuan lulusan maupun
penguatan ”daya jual” kelembagaan secara terintegrasi. Adapun peluang dan added
values dari pendekatan ini diantaranya adalah: (1) memberikan keleluasaan kepada
setiap jurusan/prodi untuk meningkatkan student body dan kualitas lulusannya dilihat
dari perspektif kesiapan lulusan bersaing di masyarakat, (2) memperluas nilai dan
aplikasi demokratisasi dalam pendidikan serta mengurangi angka dropout, (3)
meningkatkan daya jual dan akuntabilitas lembaga di mata masyarakat dan kompetensi
antar lembaga pendidikan tinggi, (4) memberikan peluang terwujudnya multy-entry dan
multy-exit dalam proses kegiatan instruksional, (5) memberikan peluang bagi staf
edukatif untuk berkreasi secara akademik bagi kepentingan dan tanggungjawab
profesionalnya, (6) memberikan peluang dan kebebasan kepada mahasiswa untuk
memilih kualifikasi kesarjanaan yang benar-benar sesuai dengan kapabilitas personal
dan tuntutan pangsa pasar kerja di masyarakat, dan (7) meningkatkan daya saing
lembaga dalam pelaksanaan program-program kependidikan, khususnya peningkatan
profesi kependidikan.
Berdasarkan beberapa keunggulan di atas, tampaknya model EBU layak
dikaji/dikembangkan sebagai sebuah ”inovasi dan kreasi akademik” yang
mencerminkan keunggulan dan aktualisasi jati diri masing-masing LPTK.
2. Landasan Formal
Ada sejumlah landasar hukum material dan formal yang menjadi dasar
pengembangan Kurikulum Model EBU ini, yaitu :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Ketentuan dalam UU 20/2003 yang mengatur KTSP,
adalah Pasal 1 ayat (19); Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 32 ayat (1), (2),
(3); Pasal 35 ayat (2); Pasal 36 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3);
Pasal 38 ayat (1), (2).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Ketentuan di dalam PP 19/2005 yang mengatur
KTSP, adalah Pasal 1 ayat (5), (13), (14), (15); Pasal 5 ayat (1), (2); Pasal 6 ayat
(6); Pasal 7 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8); Pasal 8 ayat (1), (2), (3);
Pasal 10 ayat (1), (2), (3); Pasal 11 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 13 ayat (1), (2),
(3), (4); Pasal 14 ayat (1), (2), (3); Pasal 16 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Pasal 17
ayat (1), (2); Pasal 18 ayat (1), (2), (3); Pasal 20. Sedangkan untuk beban SKS
minimal dan maksimal program pendidikan pada perpendidik (guru/dosen)an
tinggi dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Permen.
Kepmen P dan K RI No: 0217/V/1995, 25 Juli 1995, tentang Kurikulum
Nasional Program Studi Sarjana Pendidikan.
Kepmen DIKNAS RI No: 232/V/2000, tanggal 20 Desember 2000, tentang
Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar
Mahasiswa
Kepmen DIKNAS RI No: 045/V/2002, tanggal 2 April 2002, tentang Kurikulum
Inti PT.
Standar Isi.(SI) mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk
mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Termasuk dalam SI adalah : kerangka dasar dan struktur kurikulum, Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran/kuliah pada
setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah
termasuk di Perguruan Tinggi (PT)-walaupun untuk PT harus diupayakan
sendiri oleh PT masing-masing dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan (SNP).
Standar Kompetensi Lulusan. SKL merupakan kualifikasi kemampuan lulusan
yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagaimana tercantum
pada ketentuan umum PP 19 Tahun 2005.
B. Tujuan Pengembangan Model EBUB. Tujuan Pengembangan Model EBU
Secara rinci, tujuan dari pengembangan model EBU dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
(1) merealisasikan visi dan misi LPTK secara komprehensif dan berkelanjutan.
(2) mendukung prakarsa pemerintah dalam meningkatkan kesempatan memperoleh
pendidikan bagi masyarakat dengan sistim multy-entry dan multy-exit.
(3) memberikan peluang yang optimal kepada mahasiswa untuk memilih kualifikasi
yang terbaik bagi dirinya dan pemenuhan kebutuhan kualifikasi ketenagaan yang
sesuai dengan pangsa pasar di masyarakat.
(4) menjadikan pendidikan sebagai core values dalam penyelenggaraan segala
aktivitas akademik secara melembaga.
(5) menjawab tantangan dinamika kebutuhan kualifikasi tenaga kependidikan dan
nonkependidikan yang sejalan dengan paradigma baru penyelenggaraan pendidikan
tinggi yang telah digariskan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
(6) memperkuat basik keilmuan lulusan, khususnya tenaga kependidikan sehingga
lebih berdaya dalam berkompetisi di pangsa pasar.
(7) meningkatkan daya saing lembaga dalam pelaksanaan program-program
kependidikan, khususnya peningkatan profesi kependidikan.
(8)
Model EBU diharapkan dapat menghasilkan: (1) pengelolaan kurikulum yang dapat
membantu mahasiswa mengembangkan potensi diri secara optimal dan sesuai dengan
tuntutan pangsa pasar, (2) model demokratisasi dan pemerataan pendidikan bagi
masyarakat secara meluas, dan (3) model otonomi pengelolaan pendidikan dengan
meningkatkan peranan jurusan dan staf dosen dalam mengembangkan berbagai inovasi
demi peningkatan kualitas lulusan.
C. Pendekatan, Strategi, dan Prosedur Pelaksanaan EBUC. Pendekatan, Strategi, dan Prosedur Pelaksanaan EBU
Model EBU berupaya mengurangi angka dropout di kalangan mahasiswa,
dengan memberikan peluang yang optimal untuk berakselerasi dan ”memilih” selama
mengikuti pendidikan, sehingga nantinya lahir lulusan yang berkualitas dan benar-benar
sesuai dengan jenis kualifikasi tenaga yang dibutuhkan oleh pangsa pasar. Upaya ini
menggunakan pendekatan: (1) sinergis-mutualis, dengan mengurai setiap indikator
kependidikan dalam keluasan kewenangan keilmuan, sehingga ”derajat” kependidikan
dengan sendirinya semakin ditinggikan, baik secara keilmuan maupun daya jualnya di
masyarakat, (2) pendekatan kolaboratif-demokratis, dengan asumsi bahwa lembaga
pendidikan tinggi harus membuka kesempatan secara luas bagi setiap komponen
masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi, sehingga terpola kolaborasi yang
saling menguntungkan bagi kemaslahatan umat manusia, (3) berkelanjutan, dengan
asumsi bahwa semua mahasiswa akan memperoleh sertifikat kualifikasi formal
bilamana mereka telah mengikuti pendidikan minimal satu tahun, sesuai dengan bidang
keilmuan yang dipilih, sehingga tidak ada proses pendidikan yang harus berhenti atau
dihentikan oleh waktu maupun kesempatan, dan (4) multicultur-competency, dengan
asumsi bahwa keragaman budaya dan kemampuan personal masyarakat akan dapat
terakomodasi secara optimal, bilamana dimediasi oleh sebuah program pendidikan
(kurikulum) yang bersifat multy-entry dan multy-exit.
Untuk merealisasikan model EBU, ada seperangkat strategi yang perlu
dikembangkan, antara lain: (1) pengumpulan dan pengkajian secara komprehensif
berbagai dokumen kebijakan Dirjen Pendidikan Tinggi yang terkait, melaksanakan studi
kelayakan, dan pelaporan resmi tentang target kompetensi unggulan, (2) diskusi secara
optimal dengan para pakar internal untuk menentukan arah kebijakan dan perancangan
standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator keberhasilan, dan sebaran kompetensi
profesi dan keilmian, serta struktur kurikulum, (3) studi lapangan untuk menggali dan
menganalisis fakta kebutuhan tenaga profesi kependidikan dan non kependidikan dalam
rangka perencanaan, implementasi, dan evaluasi model EBU, (4) desiminasi dan
seminar internal, dari level rektorat sampai pada level staf edukatif dan administrasi
untuk penyamaan pemahaman secara terperinci tentang mekanisme perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi model EBU serta kekuatan dan kelemahannya, (5)
pengembangan kuisioner dan wawacara untuk memperoleh informasi dari berbagai
tingkatan termasuk mahasiswa terkait dengan pelaksanaan model EBU.
Melalui strategi ini, diharapkan akan diperoleh profil yang akurat dan
komprehensif tentang EBU sebagai sebuah ”center of excellen LPTK” dalam konstalasi
penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
Prosedur lapangan dalam implementasi model EBU dilakukan melalui: (1)
identifikasi dan analisis kebutuhan serta tantangan lembaga pendidikan dan tenaga
kependidikan di era otonomi dan kehidupan global, (2) perencanaan program-program
(kegiatan) yang sistemik, yang terdiri atas tujuan, komponen dan proses, sebaran dan
bobot kompetensi termasuk penyusunan karakteristik profesional dan keilmuan masing-
masing Jurusan/Prodi, dan mekanisme jaminan standar mutunya di masing-masing
tingkatan, (3) implementasi model secara utuh dan menyeluruh, dan (4) gradualisasi
evaluasi serta pengembangan.
D. Refleksi – Analisis Model (Education-Based University Curriculum)D. Refleksi – Analisis Model (Education-Based University Curriculum)
Saat ini secara umum dikenal dua model penyelenggaraan pendidikan prajabatan
pendidik (guru/dosen), yaitu: concurrent dan consecutive models. Dalam concurrent
model, materi bidang studi disiplin ilmu diberikan bersama atau paralel sejak di tingkat
I dengan materi kependidikan, khususnya materi tentang instructional strategy. Model
ini dapat dikatakan menjadi “satu-satunya” model yang secara luas dianut oleh LPTK
dimasa lalu. Pada model yang kedua (consecutive model), para calon pendidik
(guru/dosen) dibekali terlebih dahulu --- selama masa pendidikan tertentu---dengan
penguasaan materi bidang studi disiplin ilmu yang akan dibelajarkannya kelak, baru
kemudian mereka diberi materi kependidikan (jadi dilakukan secara berurutan) atau
bilamana berniat jadi pendidik (guru/dosen), maka kepada mereka diberikan pendidikan
profesi. Kedua model ini mempunyai argumen masing-masing, juga memiliki
pendukung yang luas dilakangan dunia pendidikan tinggi.
Sebagai contoh argumentatif, mengingat tugas pendidik (guru/dosen) bukan
hanya mengajar melainkan juga membina kepribadian peserta didik, maka menurut
pendukung concurrent model, pembinaan calon pendidik (guru/dosen) seharusnya
dilakukan sejak mahasiswa masuk ke institusi kependidik, agar kepribadiannya sebagai
calon pendidik (guru/dosen) dan kecintaannya akan profesi kependidikan tumbuh
dengan baik. Pembinaan hal-hal yang sifatnya kepribadian tersebut diyakini tidak bisa
dilakukan sesaat, hanya beberapa bulan di akhir pendidikan. Sebaliknya proponent
consecutive model berargumen bahwa yang paling penting bagi pendidik (guru/dosen)
adalah penguasaan materi bidang studi, sedangkan aspek kependidikannya lebih
merupakan “supported factor”, sehingga dapat diberikan kemudian dengan masa
pendidikan yang lebih singkat. Argumen klasik dari kelompok ini adalah dengan
menyebut beberapa contoh, bahwa seseorang bisa menjadi pendidik (guru/dosen) yang
baik tanpa pernah secara sistimatis mempelajari ilmu pendidikan dan pengajaran.
Pendukung aliran ini juga menyebutkan bahwa penganut model concurrent yang
menjadi “lawannya” kadangkala terlalu asyik dengan aspek metodologis dalam
pendidikan keguruan, sehingga mengabaikan aspek materi bidang studinya.
Diskusi dan berbagai penelitian masih terus “terbuka” untuk membuktikan
keunggulan dari masing-masing model ini. Bahkan ada beberapa IKIP yang telah
berubah menjadi universitas terus mempertahankan model concurrent, namun
realitasnya lulusan mereka “kalah saing” dengan lulusan universitas (setelah
memperoleh akte mengajar) dalam memperebutkan lowongan kerja di bidang
kependidikan, yang sebenarnya merupakan trade mark-nya. Kondisi ini tentu
merupakan sesuatu yang tidak termimpikan oleh para universitas eks IKIP. Dilema ini
diperkuat lagi dengan disahkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SPN dan
pemberlakuan UU Guru dan Dosen, yang salah satu klausulnya “membuka” kepada
lulusan universitas untuk menjadi tenaga kependidikan dengan tambahan pendidikan
profesi antara 36 – 40 SKS.
Merefleksi “perdebatan terhadap dua model” di atas, dan mengantisipasi
dinamika kebijakan dalam bidang pendidikan, khususnya untuk tenaga profesional,
tampaknya model kurikulum LPTK harus dikemas ke dalam sebuah wadah yang
mampu menjadikan pendidikan sebagai core values dalam keluasan bidang garapan
bidang keilmuan murni. Tentu merancang model seperti ini bukanlah pekerjaan mudah
dan dapat terlaksana dalam waktu yang singkat. Oleh sebab itu, komitmen dan
kontribusi dari segenap civitas akademik merupakan taruhan bagi keberhasilan kerja
tersebut. Seperti telah dijelaskan pada bagian rasional, model kurikulum yang
dipandang visibel untuk dikembangkan oleh LPTK adalah model education-based
university (EBU). Pada tataran aplikasinya, model ini akan memberikan peluang yang
sama kepada program pendidikan dan non kependidikan dari awal untuk berjalan
beriringan, namun pada limit tertentu akan dilakukan “free-choice stage” untuk
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memilih kualifikasi kesarjanaan apa
yang diinginkan, walaupun di awal masuknya mereka ada di kapling yang berbeda. Di
sisi lain, bilamana mahasiswa “harus berhenti” karena sesuatu hal pada tingkatan
setelah akhir semester 2 (tahun I), maka dengan pemberian tambahan syarat (legalisasi
kualifikasi yang terencana khusus pada bidang keterampilan/vocasi) tertentu kepadanya
dapat diberikan ijasah/sertifikat kualifikasi vocasional sesuai dengan “titik” dimana
mereka berhenti mengikuti perkuliahan.
Model pengelolaan kurikulum yang seperti ini mencerminkan dimensi: multy-
entry dan multy-exit, demokratisasi pendidikan, penguatan basis keilmuan tenaga
kependidikan, dan wawasan keunggulan lembaga. Namun dalam aplikasinya, masih
perlu dikaji beban SKS minimal dan maksimal yang harus “terselesaikan” oleh setiap
mahasiswa untuk dapat “dikatagorikan” sebagai sarjana pendidikan yang profesional
(sarjana pendidikan dengan sertifikat profesi kependidikan) atau sarjana keilmuan yang
mandiri. Berdasarkan paparan di atas, dapat kita lihat bahwa model EBU “jauh lebih
fleksibel dan menjanjikan” dibandingkan kedua model (concurrent dan consecutive) di
atas, walaupun “roh atau jiwa” dari kedua model tersebut teraplikasikan secara lebih
baik pada model EBU itu sendiri. Apa yang tertulis dan ditawarkan pada sajian ini
masih “terbuka lebar” ruang bagi segenap civitas akademik untuk mendiskusikannya.
E. Aplikasi Konsep EBU Secara DiagramatikE. Aplikasi Konsep EBU Secara Diagramatik
Ada sejumlah tahapan yang harus dilakukan dalam rangka pengembangan model
EBU, sehingga sampai pada terminal lulusan yang berkualitas dengan daya saing yang
tinggi. Adapun tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(a) Penetapan program studi kependidikan dan non kependidikan yang akan
diselenggarakan (mengacu pada Renstra dan Renop) di masing-masing
Fakultas yang ada di lingkungan LPTK.
(b) Penetapan standar setiap jurusan/program studi
(c) Penetapan standar kompetensi dan kompetensi dasar serta struktur kurikulum
secara bertahap untuk masing-masing mata kuliah.
(d) Penetapan jumlah beban satuan kredit semester dan/atau tingkat (mengacu pada
rancangan multy-entry dan multy-exit).
(e) Penetapan mekanisme pengelolaan pada level Institusi, fakultas, dan jurusan,
serta kewenangan dari masing-masing level untuk ”berkreasi secara akademik”
dalam koridor kelembagaan (setelah langkah-langkah di atas dilaksanakan,
maka diperlukan Tim Pengembang di setiap Jurusan dan/atau Program Studi
sesuai dengan visi dan misinya masing-masing dengan mengacu pada butir a
sampai dengan g di atas).
(f) Pengembangan candraan kompetensi keilmuan dan kependidikan yang akan
ditawarkan kepada mahasiswa di setiap tingkatan dan/atau satuan semester
dengan mempertimbangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
telah ada.
(g) Pengorganisasian materi pada setiap tingkatan dan jalur kualifikasi
(kependidikan dan non kependidikan).
(h) Penetapan model dan jumlah penawaran beban SKS pada setiap
semester/tingkatan untuk masing-masing kualifikasi yang dikembangkan oleh
fakultas dan/atau jurusan.
Secara diagramatik, mekanisme di atas dapat dijabarkan sebagai berikut.
PENETAPAN SKL Penetapan
Standar Kompetensi
Penetapan Kompetensi
DasarPenetapan Struktur
Kurikulum
Penetapan Mekanisme Pengelolaan
PENGEMBANGAN DAN APLIKASI OLEH
MASING-MASING JURUSAN/PRODI(VISI DAN MISI)
Sementara desain aplikasi dari model EBU pada konteks sebaran beban kompetensi dari
masing-masing jalur kualifikasi dapat dijabarkan sebagai berikut:
20 - 24 SKS SertifikasiProfesi
SertifikasiProfesi
36 – 40 SKS
Profesi II Pend. Profesi
36 – 40 SKS VIII VIII 36 – 40 SKS
Profesi I = 16Bid.Stu. = 24
VII VII Bidang Keilmuan
DIII VI VI DIII
V V
108 – 120 SKS DII IV IV DII 108 – 120 SKS
Bidang Studi III III Bidang Studi
DI II II DI
I I
S.Si.SE.SH.
S.Pd.FisS.Pd.MatS.Pd. dsb
KEPENDIDIKAN NON-KEPENDIDIKAN
Keterangan:
(a) Untuk semua jenis kualifikasi (kependidikan maupun non kependidikan), dari semester I sampai dengan semester VI akan diberikan materi bidang studi dengan bobot SKS yang sama, yaitu berkisar antara 108 – 120 SKS.
(b) Memasuki semester VII sampai dengan semester VIII, untuk jenis kualifikasi kependidikan akan diberikan mata kuliah bidang studi dan pendidikan profesi antara 36 – 40 SKS (16 SKS pendidikan profesi I, dan 24 bidang studi). Sedangkan untuk jenis kualifikasi non kependidikan, akan diberikan materi bidang studi (keilmuan) antara 36 – 40 SKS.
(c) Total SKS yang harus diselesaikan oleh seorang mahasiswa untuk memperoleh gelar kesarjanaan, baik sarjana pendidikan bidang studi maupun sarjana keilmuan (bidang studi) berkisar antara 144 – 160 SKS.
(d) Bagi sarjana pendidikan, untuk menempuh pendidikan profesi II akan diwajibkan untuk mengikuti kuliah dengan beban 24 SKS untuk memperoleh pendidikan profesi II (prasyarat untuk dapat diterima sebagai ”pelamar” tenaga pendidik (guru/dosen)) sesuai dengan UU Guru dan Dosen, serta PP 19/2005, yang kisarannya kurang lebih 1 tahun.
(e) Bagi sarjana bidang studi/keilmuan, untuk memperoleh sertifikat profesi kependidikan, diwajibkan untuk mengikuti perkuliahan dengan beban 36 – 40 SKS. Sertifikat profesi ini akan menunjukkan bahwa seseorang berwenang sebagai pendidik (guru/dosen) bidang studi tertentu sesuai dengan kualifikasi keilmuannya, sehingga bidang studinya harus linier, yang ditempuh selama ± 1,5 tahun. Contoh, seorang lulusan sarjana fisika, untuk memperoleh kewenangan sebagai pendidik (guru/dosen) fisika, maka dia harus mengambil pendidikan profesi bidang fisika.
(f) Bagi mahasiswa, baik yang awalnya berada pada jalur kependidikan maupun non kependidikan, bilamana mereka ”berhenti” mengikuti program perkuliahan minimal setelah menyelesaikan pendidikannya selama 1 tahun (akhir semester 2), dengan tambahan beberapa SKS bidang keterampilan vocasi, dapat dirancang untuk diberikan ijasah/sertifikat Diploma I atau disesuaikan dengan ”titik” dimana mereka berhenti, dengan catatan bahwa mereka wajib mengikuti program praktek lapangan atau program lain yang dirancang oleh masing-masing Jurusan/Prodi. Setelah itu, barulah kepada mereka akan diberikan ijasah Diploma.
(g) Bagi mahasiswa yang di awal masuknya memilih jenis kualifikasi kependidikan, namun setelah mengakhiri semester VI (akhir tahun ke-3), dimungkinkan untuk pindah jalur ke non-kependidikan, sehingga mereka nantinya keluar sebagai sarjana murni (keilmuan).
(h) Pengorganisasian sebaran kompetensi ke dalam elemen kompetensi dirumuskan oleh masing-masing Jurusan/Prodi sehingga sesuai dengan visi dan misi yang diembannya.
(i) Untuk standarisasi isi dan proses, perlu dibentuk ”tim khusus” dari masing-masing Jurusan/Prodi, sehingga akuntabilitas akademik dan sosialnya dapat ditinggikan serta sesuai dengan tuntutan kedepan.
(j) Adapun contoh sebaran kompetensi dan elemen kompetensi yang saat ini masih diberlakukan sesuai dengan ”kebijakan formal bidang pendidikan” dapat dijabarkan sebagai berikut: Jumlah keseluruhan beban untuk pendidikan
profesi, baik untuk jenis kualifikasi kependidikan maupun nonkependidikan adalah 40 SKS, namun sebaran dan waktu pemunculannya (penawarannya) yang berbeda. Jika pada jalur kependidikan, dimunculkan pada semester VII, VIII, IX, dan X, maka untuk jalur nonkependidikan dirancang dalam 3 (tiga) semester, yaitu pada semester IX, X, dan XI.
(k) Untuk Jurusan yang belum memiliki Program Studi nonkependidikan, maka sebaran dan beban SKS pada setiap semesternya dapat dijabarkan sebagai berikut (Alternatif untuk persiapan menyelenggarakan program studi paralel yaitu kependidikan dan nonkependidikan).
16 SKS Profesi II
VIII
16 BS
VII
24 SKS Profesi I
VI
V
108 – 120 BS
IV
III
II
I
Keterangan:
Pada semester I – VI diberikan mata kuliah bidang studi dengan beban antara
80 – 120 SKS. Dan pada semester VII – VIII ditambahkan lagi mata kuliah
bidang studi sebanyak 24 SKS. Sementara untuk mata kuliah Pendidikan
Profesi I sebesar 24 SKS bisa disebarkan penawarannya mulai di semester
III sampai dengan semester VIII. Setelah mereka menyelesaikan semester
VIII (Bidang Studi dan Pendidikan Profesi I), maka kepada mereka
diwajibkan lagi untuk mengambil mata kuliah Pendidikan Profesi II
sebanyak 16 SKS di semester IX. Dengan pola tersebut, seorang mahasiswa
akan dapat lulus dengan ijasah sarjana pendidikan bidang studi (S.Pd.
Matematika atau S.Pd. PKn), dalam jangka waktu 4,5 tahun (9 semester),
dengan beban antara 152 – 160 SKS.
(m) Pemetaan yang bisa dirancang saat ini, sesuai dengan landasan hukum formal
bidang pendidikan yang ada adalah sebagai berikut:
Menurut Kepmen 232/2000 dan Kepmen 045/2002, sebaran kompetensi dan elemen kompetensi yang dimungkinkan dapat dijabarkan sebagai berikut.
Elemen Kompetensi
Kompetensi
MPK MKK ** MKB MPB MBB
1. UTAMA (60 – 80 %)
2. PENUNJANG (20-40)
3. LAINTOTAL SKS (S1) 144-160
= Bidang Studi
** = Dasar Keilmuan
Sementara menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 dan PP Nomor 19/2005, untuk pindah profesi sebaran kompetensi yang harus dimiliki dan bila dikonvergensi dengan ketentuan di atas, khususnya menyangkut elemen kompetensi yang harus ada dan dikembangkan dapat dijabarkan sebagai berikut.
Elemen Kompetensi
Kompetensi
MPK MKK ** MKB MPB MBB
1. Pedagogik2. Profesional3. Kepribadian4. Sosial
Total SKS (S1) 152 SKS
Bagaimana pengelompokan dan sebaran kompetensi dan elemen kompetensi untuk setiap jenis kualifikasi (kependidikan dan non kependidikan), perlu dirancang secara bertahap, yaitu mulai dari masing-masing Jurusan/Prodi.
Ada satu alternatif yang bisa dikembangkan, dengan catatan harus adanya komitmen
bersama dari level Rektorat sampai level Jurusan untuk menyepakati mekanisme dan
pertanggungjawaban akademik terkait dengan upaya pengembangan lembaga kedepan,
yaitu:
PROFESI= 16 X
IX
BID.STUDI =16 VIII VIII
PROFESI = 24 VII VII 24 – 40 SKS BID.STUDI
VI
V
108 – 120 SKS IV 108 – 120 SKS Bid.Studi
III
II
I
DISIPLIN KEILMUAN (Bidang Studi)
Keterangan :
Untuk alternatif ini, setiap Jurusan awalnya hanya membuka 1 (satu) disiplin
keilmuan dari semester I sampai dengan semester VI. Di akhir semester VI
(memasuki semester VII), kepada mahasiswa diperbolehkan untuk memilih,
apakah akan terus di bidang non kependidikan (jalur disiplin keilmuan/bidang
studi) atau ke jalur pendidikan dengan tambahan pendidikan profesi sebanyak 36
– 40 SKS.
Untuk jalur pendidikan, mata kuliah (beban SKS) pendidikan profesi bisa
disebar dari semester VII sampai dengan semester X dengan proporsi yang
disesuaikan dengan struktur dan penawaran mata kuliah bidang studi di masing-
masing Jurusan.
Total SKS Bidang Studi untuk Jalur Non Kependidikan adalah = 144 – 160 SKS
Total SKS Bidang Studi untuk Jalur Pendidikan + Pendidikan Profesi = 160 –
176 SKS
”Selamat Bekerja---tiada alternatif bila tidak dicoba”
Daftar Pustaka
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : BSNP
Beeby, C.E., (1979). Assessment of Indonesia Education. London: Oxford University Press.
Buchori, M. (2000). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Delors, J. (1996). Learning: The Treasure Within. France: UNESCO Publishing.
Deming, Edwards W. American Association of School Administrators Conference, Washington, DC, January 1992. Seperti dikutip oleh Lee Jenkins. Improving Student Learning. Applying Deming Quality Principles in Education. Milwaukee,WI: ASOQ Press
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. 2003.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. 2005.
Hoy, Charles, Colin Bayne-Jardine and Margaret Wood. (2000). Improving Quality in Education. London: Falmer Press. 2006.
Miarso, Yusufhadi.(2004). Menyemai benih Teknologi Pembelajaran. Jakarta : Pustekkom Diknas & Kencana.
Nitko A.J. (1996). Educational Assessment of Students, 2nd Ed. Columbus Ohio : Prentice Hall.
O’Malley, J.M. & Valdez Pierce, L. (1996). Authentic Assessment for English Language Learners. New York: Addison-Wesley Publishing Company.
Popham, W.J. (1995). Classroom Assessment, What Teachers Need to Know. Boston: Allyn and Bacon.
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta :Depdiknas R.I.
Salvia, J. & Ysseldyke, J.E. (1996). Assessment. 6th Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.
Rolheiser, C. & Ross, J. A. (2005) Student Self-Evaluation: What Research Says and What Practice Shows. Internet download.
Wyaatt III, R.L. & Looper, S. (1999). So You Have to Have A Portfolio, a Teacher’s Guide to Preparation and Presentation. California: Corwin Press Inc.
EDUCATIONAL-BASED UNIVERSITY CURRICULUMEDUCATIONAL-BASED UNIVERSITY CURRICULUM(Competency-Based Curriculum for Wider Mandate University)(Competency-Based Curriculum for Wider Mandate University)
(Makalah Disampaikan dalam Seminar Kurikulum pada IKIP Saraswati Tabanan)(Makalah Disampaikan dalam Seminar Kurikulum pada IKIP Saraswati Tabanan)25 Agustus 200725 Agustus 2007
U
ENDI
A
DIKS
ENDID
Oleh :Prof Dr Nyoman Dantes
Digandakan oleh Panitia Seminar Kurikulum Universitas Mahasaraswati Tabanan
2007