35
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Pengertian Orientalisme Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis, orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Kata isme menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Jadi, orientalisme bermakna suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya. Ada beberapa definisi mengenai pengertian orientalisme diantaranya menurut Muh. Natsir Mahmud, ia mendefinisikan orientalisme sebagai sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran, menyangkut agama, adat istiadat, bahasa, sastra dan masalah lain yang menarik perhatian mereka tentang 1

Edward W Said Dan Orientalisme

Embed Size (px)

DESCRIPTION

جيد

Citation preview

Page 1: Edward W Said Dan Orientalisme

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. Pengertian   Orientalisme                            

Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang

Barat. Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. 

Secara etnologis, orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur,  dan secara

geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang

lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis.

Kata isme menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Jadi, orientalisme

bermakna suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang

berkaitan dengan bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya.

Ada beberapa definisi mengenai pengertian orientalisme diantaranya

menurut Muh. Natsir Mahmud, ia mendefinisikan orientalisme sebagai

sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran,

menyangkut agama, adat istiadat, bahasa, sastra dan masalah lain yang

menarik perhatian mereka tentang soal ketimuran.1 Sedangkan menurut Ismail

Yakub, bahwa orientalisme adalah :

“Ahli tentang soal-soal Timur, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama, negeri Arab-Islam, yaitu kebudayaanya, keagamaanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain dari bangsa dan negeri Timur”.2

Maxime Rodinson sebagaimana dikutip oleh Muh. Natsir

menerangkan bahwa orientalisme mula-mula mempelajari Islam,

“mempelajari” bukan sekedar mengenal tetapi mempelajari secara sistematis,

profesional, dan terorganisir.3 Adapun orientalisme, dengan menambahkan

“isme” dibelakang kata “orientalis” berarti ajaran atau paham tentang dunia

1 Muh. Natsir Mahmud, Orientalisme : Al Qur’an di mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama Semarang (DIMAS), t.t.), hlm. 36.

2 Ismail Yakub, Orientalisme dan Orientalisten, (Surabaya: CV. Faiza, t.t.), hlm. 17.3 Ibid, hlm. 38.

1

Page 2: Edward W Said Dan Orientalisme

2

Timur yang dibentuk oleh opini Barat.4 Walaupun orientalisme mengandung

konotasi negatif di kalangan para penulis Timur, tetapi dalam makalah ini

menggunakan pengertian secara definitif yaitu sarjana Barat yang

mempelajari dunia Timur termasuk dunia Islam dan agama Islam.

Kritikus orientalisme bernama Edward W. Said menyatakan bahwa

orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur didasarkan pada

keeksotikannya di mata orang Eropa atau dalam pengalaman manusia Barat

(Eropa).5 Timur sebagai jajahan Eropa sering dianggap oleh mereka sebagai

sumber peradaban dan bahasa Eropa, saingan atas budaya dan menjadi bagian

imajinasi mereka yang terdalam. Timur adalah ”yang lain” (the other) bagi

Eropa.6 Penguasaan dunia Barat terhadap dunia Timur terlihat dari cara

pandang yang menganggap Timur sebagai "yang lain", baik itu karena bahasa,

budaya, tradisi, dan segala hal yang berkaitan dengan dunia Timur. Kemudian

tidak berhenti sampai situ, dunia Barat menganggap "lainnya" Timur sebagai

sesuatu yang bermutu lebih rendah, sehingga perlu dijadikan sama dengan

Barat yang "lebih maju".

Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais7,

orientalis adalah sarjana yang menguasai  masalah-masalah ketimuran,

bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Oleh karena itu

orientalisme dapat dikatakan merupakan semacam prinsip-prinsip tertentu

yang menjadi ideologi  ilmiah kaum orientalis.

2. Latar Belakang dan Tujuan Munculnya Orientalisme

4 Menurut Edward Said bahwa “Timur” dan “Barat” bukanlah berdasarkan letak geografis, Timur menjadi “Timur” karena ia dibuat (orientized), demikian juga Barat. Hubungan Timur dan Barat didasarkan pada kekuasaan atau dominasi dan berbagai tingkat hegemoni yang kompleks. Lihat The Crisis of Modern Islam : A Preindustrial Culture in The Scientifs Technological Age (Krisis) Peradaban Islam Modern : Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), oleh Bassam Tibi, terj. Yudian W. Asmin, Naqiyah Muchtar dan Afandi Muchtar,( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1994), hlm. 35.

5 Edward W Said, Orientalism, terj. Achmad Fawaid (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 2.

6 Ibid.7 M. Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1986),  hlm. 233.

Page 3: Edward W Said Dan Orientalisme

3

Munculnya orientalisme tidak terlepas dari beberapa faktor yang

melatarbelakanginya, antara lain akibat perang Salib atau ketika dimulainya

pergesekan politik dan agama antara Islam dan Kristen Barat di Palestina. 

Argumentasi mereka menyatakan bahwa permusuhan politik berkecamuk 

antara umat Islam dan Kristen selama pemerintahan Nuruddin Zanki dan

Shalahuddin al-Ayyubi. Karena kekalahan demi kekalahan yang dialami

pasukan Kristen maka semangat membalas dendam tetap membara selama

berabad-abad.

Faktor lainnya adalah bahwa orientalisme muncul untuk kepentingan

penjajahan Eropa terhadap negara-negara Arab dan Islam di Timur, Afrika

Utara dan Asia Tenggara, serta kepentingan mereka dalam memahami adat

istiadat dan agama bangsa-bangsa jajahan itu demi memperkokoh kekuasaan

dan dominasi ekonomi mereka pada bangsa-bangsa jajahan. Faktor-faktor

tersebut mendorong mereka menggalakkan studi orientalisme dalam berbagai

bentuknya di perguruan-perguruan tinggi dengan perhatian dan bantuan dari

pemerintah mereka.

Sejarah orientalisme adalah sejarah dendam dan niat penguasaan

terhadap budaya lain yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman buat

eksistensi Barat khususnya yang menyangkut dunia Arab Islam. Sejarah

orientalis bermula dari kajian atas karya-karya ilmiah dari karya budaya kaum

muslim setelah adanya interaksi dan pergantian kuasa wilayah Islam di

belahan Barat (Andalus) kepada kuasa Kristen dan perang salib di kota-kota

suci Islam di daerah Syam dan Palestina.8 Sebagai dua bangsa yang

bertentangan berada dalam suasana konflik perang dengan sendirinya akan

sulit melahirkan persepsi yang positif satu sama lain. Akibat perang salib

bangsa Barat mengenal Islam dalam pandangan yang negatif. Pandangan

negatif tersebut disebabkan dua faktor, pertama, memandang Timur

khususnya Islam sebagai bangsa dan agama inferior. Bangsa Barat yang

8 Pengenalan Barat terhadap Islam mulai terutama di masa perang salib pertama (1096-1099 M). akibat perang salib masyarakat Barat, khususnya intelektual mulai menaruh perhatian terhadap Islam. Tetapi akibat perang salib itu pula menimbulkan kesalahpahaman bangsa Barat terhadap Islam. Lihat Muh. Natsir, Orientalisme.. hlm. 17.

Page 4: Edward W Said Dan Orientalisme

4

merasa sebagai superior menimbulkan pandangan bahwa selain bangsa,

budaya dan agama, Barat tergolong bangsa,ideologi dan agama yang inferior.

Mereka melihat Islam sebagai agama teror, agama perusuhan dan gerombolan

orang-orang yang patut dibenci. Kedua, sikap apologis, yang bertujuan

menyerang keyakinan dasar Islam dan untuk memperkuat kedudukan

Kristen. Ketiga, Islam dipandang sebagai salah satu sekte Yahudi / Kristen

yang sesat.9

Ada tiga tahapan penting dalam sejarah terbentuknya orientalisme.

Pertama, tahapan diolah antara bangsa Barat dengan bangsa Timur (Arab –

Islam, India dan Persia) baik secara langsung maupun tidak. Dalam level

penerjemahan karya kaum muslimin, buku-buku filsafat dan kedokteran

merupakan karya yang paling diminati dan terus diselidiki, buku tentang optik

karya Ibnu Kaitham, merupakan buku pertama para ilmuan muslim yang

diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Tokoh-tokoh penting gerakan

orientalisme ini adalah John of Servile, Romanus, Agustinus dan Adilard.

Tahapan kedua adalah era pasca perang salib. Kalau pada tahapan pertama

para penyelidik Barat masih mempunyai jarak dengan kaum muslim di

belahan Timur, maka pada tahapan kedua ini setelah gelombang perang salib

di jantung kota Arab-Islam, ilmuwan-ilmuwan dan sarjana-sarjana Barat yang

menyertai “misi suci” tersebut dengan leluasa berkenalan dekat dengan

sumber-sumber asli peradaban Islam. Lalu pada akhir abad ke-15 dan awal

abad ke-16, dimulailah gerakan orientalisme yang sebenarnya.

Setelah tahapan kedua ini, datang era kolonisme dan imperialisme

Eropa ke hampir seluruh negeri dan bangsa non-Barat, dunia Islam

khususnya. Pada tahapan ketiga, merupakan “ajudan” para kolonialis dan alat

yang paling ampuh untuk mendalami kondisi sosial-historis negeri-negeri

jajahan baru. Dalam tahapan ini orientalisme bertukar peran, kalau

sebelumnya sebagai pengkaji dan peneliti Timur dan ketimuran dengan

sedikit banyak adanya nilai obyektif dan keilmuan, kini perannya telah

bertukar menjadi penguasaan dalam perampasan hak-hak Timur dilegitimasi

9 Ibid, hlm. 18.

Page 5: Edward W Said Dan Orientalisme

5

lewat kolonialisme. Timur telah menjadi obyek kekuasaan dan kesemena-

menaan bangsa yang lebih kuat bukan lagi menjadi obyek studi yang

harusnya.10 Namun dalam hal ini, tidak bisa disimpulkan bahwa seluruh

orientalis adalah “jahat”, mempunyai niat buruk dalam mengkaji timur

terutama Islam. Tetapi ada juga para oprientalis yang mempunyai niat murni

untuk mempelajari Islam dan Ketimuran. Berkaitan dengan tujuan orientalis

melakukan kajian mengenai Islam dan ketimuran, Ismail Yakub

mengklasifikasi menjadi beberapa macam tujuan. Yaitu, ada yang didorong

oleh rasa keagamaan, ada yang karena dorongan penjajahan, dorongan

perniagaan, politik dan ada pula yang karena dorongan keilmuan.11  

B. Permasalahan

Dalam makalah ini penulis menfokuskan pembahasan studi

orientalisme atas pemikiran Edward W. Said yang dituangkan dalam bukunya

berjudul Orientalism, sebuah karya yang begitu fenomenal dan menarik

untuk menjadi kajian studi Islam khususnya masalah Oriantalisme.

Permasalahan yang menggelitik yang perlu dikemukakan adalah siapakah

sosok Edward W. Said? Apakah pokok-pokok pemikirannya yang telah

mengguncang sendi-sendi orientalisme?

   

BAB II

PEMBAHASAN

10A.Luthfi Asy Syukanie, Oksidentalisme : Kajian Barat Setelah Kritik Orientalisme, Ulumul Qur’an, no. 5 dan 6, vol. V, 1994, hlm.119-192.

11 Ismail Yakub, Orientalisme…, hlm. 21-26.

Page 6: Edward W Said Dan Orientalisme

6

A. Hidup dan Karya Edward W. Said

Edward Wadie Said lahir pada tanggal 1 November 1935 di

Yerusalem, Palestina. Ibunya bernama Hilda, orang Lebanon, berasal dari

Nazareth dan ayahnya bernama Wadie. Seorang pedagang alat-alat tulis dan

buku. Wadie mempunyai bisnis di Kairo, Mesir. Gambarannya tentang

ayahnya dapat dilihat dalam kesannya berikut ini:

“Kenyataan sejarah apapun yang telah terjadi, ayah telah menjadi figur dan kombinasi aneh antara kekuasaan dan otoritas, kedisiplinan, rasional dan emosi yang tertekan; dan semua ini kelak saya sadari, telah membebani hidup saya dan memberi efek yang baik, namun sekaligus menghambat dan melumpuhkan”.12

Dia mempunyai dua kakak perempuan bernama Jean dan Rocy, Ia

juga mempunyai adik perempuan bernama Grace dan Joyce. Pada tahun 1937,

keluarga Edward kembali ke Kairo. Sebelum kelahiran Edward, keluarga ini

tinggal di Kairo. Karena pengalaman ibunya yang melahirkan bayinya dan

meninggal, maka keluarga ini memutuskan melahirkan Edward di Yerusalem.

Selama perang dunia, keluarga ini bolak-balik dari Kairo ke Palestina. Mereka

tinggal di Yerusalem Utara, di kota Ramallah.

Ada tiga pengaruh dari masa kecil Edward, yang menyebabkan ia

sungguh tertarik terhadap sastra. Pertama, cerita-cerita tentang peri kitab suci

yang dibacakan rutin oleh nenek dan ibunya. Pada usia tujuh tahun, ia

diperbolehkan untuk membaca mitos-mitos Yunani. Kedua, film-film yang

diperbolehkan oleh orang tuanya pada masa kecilnya adalah film-film untuk

anak-anak. Misalnya, film seribu satu malam dan film-film Walt Disney. Film

tarzan juga ia sukai pada masa-masa kecil dan remajanya. Ketiga, ia juga

menyukai konser di masa kecil dan remaja. Ia suka menghadiri konser-konser

yang diadakan di Kairo. Perjalanan pendidikannya di Kairo secara singkat

dapat dituliskan sebagai berikut:

12 Edwar W. Said, Out Of Place, (New York: Vintage Book, 2000), hlm. 191.

Page 7: Edward W Said Dan Orientalisme

7

Tahun 1941-Mei 1942 Edward masuk Gezira Prepatory School (GPS).

Antara tahun 1942-1943 ia meninggalkan Kairo sehingga berhenti

sekolah.

Tahun 1943-1946 ia kembali masuk sekolah Gezira Prepatory School

(GPS) dan pada tahun 1946, musim gugur, ia masuk ke Cairo School for

American Children.

Pada tahun 1949, ia masuk Victoria College.

Hal yang menarik dari pendidikan Said adalah bahwa ia bersekolah dalam

suasana multi-etnis dan multi-religius dalam komunitas Timur Tengah.13

Tiga hal menarik muncul sebagai kesadarannya ketika ia bersekolah di

Kairo ini yaitu berkaitan dengan strata sosial, musik, dan agama. Demikian ia

berujar berkaitan dengan strata sosial:

“Kairo pasca perang memberi saya perasaan tersendiri untuk pertama kalinya tentang strata sosial begitu dibedakan. Perubahan yang terjadi adalah tergesernya lembaga-lembaga Inggris dan penduduknya oleh orang-orang Amerika yang baru saja menang, kerajaan lama diambil oleh kerajaan baru…”.14

Kisah hidupnya dalam olah musik berkaitan erat dengan upayanya untuk

membaca realita hidup sehari-hari. Ia pun berkata:

“Hanya Beethoven yang paling mengilhami pengetahuan musik otodidak saya secara konsisten. Saya dianggap bukan pianis yang tepat untuk sonatanya, saya tidak menyukai Mozart, meskipun saya berkali-kali memainkan Sonata ‘Pathetique’ dan dalam proses itu mengembangkan rasa pembacaan diluar kemampuan saya.”15

Pendidikan kristiani dengan ritus Timur mempengaruhi cara berpikirnya yang

berbeda dengan kristiani ritus Barat. Hal itu dinyatakan dalam ungkapannya,

sebagai berikut:

“Saya bersikukuh untuk menjalani Komuni Pertama pada minggu awal Juli 1949 dengan Bibi Nabiha, yang bersebelahan dengan saya di katedral itu. Fedden berada disana namun hanya dengan peran

13 Stephen P. Sheehi, Edward Said dalam Encyclopedia of Postcolonial Studies, JohnC. Hawled (Ed), (London: Greenwood Press)

14 Edward W. Said, Out of Place, hlm. 128.15 Ibid, hlm. 155.

Page 8: Edward W Said Dan Orientalisme

8

yang kecil, sementara Uskup Allen memimpin upacara dalam sikap yang nyaris oriental (lilin-lilin, doa-doa yang dilantunkan, salib-salib, lagu, organ dan koor, prosesi, dll).”16

Tahun 1951, pada usia 17 tahun ia dikeluarkan dari Victoria College

karena kenakalannya. Edward pindah ke Amerika dan masuk ke Princeton

University dengan jurusan sejarah dan sastra Inggris. Ia mengatakan bahwa

masa pendidikannya selama sebelas tahun hingga ia mendapat gelar doktoral

dari Harvard University. Selama tahun 1958-1963, ia menjadi mahasiswa

Harvard University Jurusan Sastra. Pergulatan intelektualnya terpengaruh

oleh gagasan para tokoh-tokoh filsafat besar, hingga akhirnya ia menuliskan

disertasi tentang Joseph Conrad. Ia menuliskan:

“Bacaan-bacaan seperti New Science dari Vico, History of Class Consciousness dari Lukas, Sartre, Heidegger, dan Marleau Ponty, semuanya memperkaya disertasi saya tentang Conrad, di bawah bimbingan para dosen yang baik hati, yakni Monroe Engel dan Harry Levin.”17

Beberapa catatan karya-karya dan karir Edward W. Said, dapat dilihat

dalam daftar berikut ini:

Tahun 1968, ia menuliskan artikel pertamanya tentang Arab dan Palestina

dengan judul “Arab Portrayed”.

Tahun 1977, ia terpilih sebagai anggota dari Palestinian National

Congress.

Tahun 1975-1976, mulai menuliskan gagasan dari buku Orientalism.

Tahun 1978, ia menerbitkan buku Orientalism.

Tahun 1981, menerbitkan buku Covering Islam.

Tahun 1989, menerbitkan The Question of Palestine.

Tahun 1980-an Said aktif dalam lobi politik PLO untuk mengevaluasi

strategi kebebasan nasional. Selama decade ini, ia adalah target yang jelas

untuk gerakan Yahudi dan Zionis.

16 Ibid, hlm. 225.17 Ibid, hlm. 461.

Page 9: Edward W Said Dan Orientalisme

9

Pada tahun 1990-an setelah ibunya meninggal, ia terkena penyakit

leukemia (kanker darah). Pada masa inilah ia menuliskan Out of Place

(terasing).

Tahun 1993 ia menerbitkan buku Culture and Imperalism.

Thaun 1994 ia menerbitkan essay: Representations of the Intellectual.

Tahun 1995, ia menerbitkan The Politics of Dispossession and Its

Discontents.

Tahun 1998 ia menjadi ketua Modern Language Association.

Pada akhir hidupnya, ia masih menderita leukemia. Pada tanggal 25

September 2003, Edward W. Said meninggal dunia di Amerika.

B. Orientalisme Edward W. Said

Dalam bukunya Orientalism, Edward W. Said merekonstruksi ulang

istilah orientalisme. Ada 3 (tiga) definisi yang ia sebutkan dalam pengantar

bukunya. Pertama, Orientalisme adalah suatu cara untuk memberi nama bagi

dunia Timur, berdasarkan tempat-tempat tertentu di Timur menurut

pengalaman manusia Barat (Eropa).18 Disini dipahami, bahwa orientalisme

dilihat oleh para akademisi Barat yang melihat dunia Timur. Kedua,

Orientalisme adalah satu gaya berpikir yang berlandaskan pada pembedaan

ontologi dan epistemologi antara Timur dan (hampir selalu) Barat.19 Istilah ini

khusus dipakai oleh para akademisi di level perguruan tinggi atau universitas.

Dan ketiga, Orientalisme dipahami sebagai sesuatu yang didefinisikan secara

historis dan material dari pada kedua yang telah diterangkan sebelumnya.

Dengan mengambil konteks akhir abad XVIII sebagai suatu batasan titik tolak

yang nyata, orientalisme dapat dibahas dan dianalisa sebagai lembaga hukum

(corporate institution) yang berurusan dengan dunia Timur, berurusan

dengannya berarti juga membuat istilah-istilah tentangnya, mempunyai kuasa

atas cara pandangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya,

menempatinya, mengaturnya. Singkatnya, Orientalisme sebagai gaya Barat

untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai dunia Timur.20

18 Edward W. Said, Orientalism, (London: Penguin Books, 1978), hlm. 9.19 Ibid, hlm. 23.20 Ibid, hlm. 3.

Page 10: Edward W Said Dan Orientalisme

10

Disini dipahami bahwa dalam menggunakan orientalisme sudah ada

pengandaian adanya jalinan kekuasaan-kekuasaan yang kemudian perlu untuk

ditelaah. Said mengungkapkan pemahaman ketiga ini untuk melanjutkan

pembahasannya mengenai orientalisme. Tujuan penulisan buku Orientalism

adalah untuk menunjukkan bahwa budaya Eropa mendapat kekuatan dan

identitasnya yang menempatkan diri berhadapan dengan dunia Timur sebagai

semacam pelindung.21 Hal ini dapat dipahami bahwa buku tersebut ingin

menunjukkan bahwa upaya “Barat” dalam menjelaskan “Timur” adalah upaya

untuk menerangkan diri mereka sendiri. Untuk bisa mencapai tujuan itu,

kemudian Said menunjukkan bagaimana ia mengumpulkan data-data:

“Argumentasi saya tidaklah berdasarkan banyaknya buku-buku tentang dunia Timur yang dijadikan sumber bacaan, atau pun pada terbatasnya jumlah buku-buku, pengarang-pengarang, ide-ide yang bersama-sama membentuk kitab orientalis. Alih-alih, saya mendasarkan diri pada alternatif metodologi yang berbeda-yang tulang punggungnya dalam suatu arti adalah seperangkat generalisasi sejarah yang sejauh ini telah saya kemukakan pada bagian depan, generalisasi inilah yang nantinya akan saya bahas lebih detil.”22

Ada 3 (tiga) catatan yang perlu untuk disadari bagi orang yang

merekonstruksi kembali orientalisme ala Said ini, antara lain: Pertama, perlu

dipahami bahwa sangatlah salah jika menarik kesimpulan bahwa dunia Timur

pada dasarnya adalah sebuah ide, atau suatu ciptaan tanpa bertautan dengan

realita. Kedua, bahwa ide-ide, budaya-budaya, sejarah-sejarah tidak mungkin

mampu dengan jeli ditangkap atau dipelajari tanpa kekuatan, atau lebih

tepatnya pembetukan dari kekuatan itu. Hubungan antara Barat dan Timur

adalah hubungan kekuatan, dominasi, hubungan berbagai derajat hegemoni

yang kompleks. Dan yang ketiga, seseorang tidak bisa mengungkap bahwa

struktur orientalisme tidak lebih dari pada struktur kebohongan atau mitos-

mitos belaka yang, seandainya kebenaran tentangnya diungkapkan, dengan

mudah akan lenyap tertiup angin. Said sendiri yakin bahwa orientalisme ini

khususnya, lebih bermanfaat sebagai suatu tanda kekuasaan Atlantik-Eropa

21 Ibid.22 Ibid, hlm. 4

Page 11: Edward W Said Dan Orientalisme

11

atas dunia Timur dari pada sebagai wacana murni mengenai Timur

(sebagaimana yang didakwakannya dalam bentk akademisi dan ilmiah).23

C. Orientalisme dan Wacana Kolonial

Pada bagian ini akan diperlihatkan bagaimana Ania Loomba

memahami orientalisme dari Edward W. Said yang terpengaruh konsep

“wacana” Michel Faucoult. Orientalisme memakai konsep wacana untuk

menata kembali studi kolonialisme. Buku ini menelaah bagaimana studi

formal atas Timur (sekarang Timur Tengah), bersama naskah-naskah kunci

literer dan kultural, mengkonsolidasi cara-cara tertentu untuk melihat dan

memikirkan yang kemudian membantu berfungsinya kekuasaan kolonial.

Semua ini bukanlah bahan-bahan yang telah dibahas oleh para analis

tradisional tentang kolonialisme, tetapi kini bisa dilihat menjadi sangat

penting dan sentral untuk pembentukan dan fungsinya masyarakat kolonial.

Berkat adanya buku Orientalism dan perubahan-perubahan perspektif-

perspektif ideologi dan budaya yang dijelaskan di atas. Dan Edward W. Said

menjelaskan bahwa naskah-naskah tertentu diberi:

otoritas akademis, lembaga-lembaga, pemerintah-pemerintah. Yang terpenting adalah bahwa naskah-naskah seperti itu bisa menciptakan bukan saja pengetahuan, tetapi juga realitas yang justru mereka paparkan itu. Pada saatnya nanti pengetahuan dan realitas menghasilkan suatu tradisi, atau yang disebut Michel Foucoult, suatu wacana, yang kewibawaan atau bobot materialnya itulah, bukan orisinalitas penulisnya, yang benar-benar bertanggungjawab untuk naskah-naskah yang dihasilkan darinya.24

Orientalisme bisa disebut mengantarkan satu jenis studi baru atas

kolonialisme. Said menyatakan bahwa pengambaran-penggambaran “timur”

dalam naskah-naskah literer Eropa, kisah-kisah perjalanan, dan tulisan-tulisan

lain membantu terciptanya suatu dikotomi antara Eropa dan “pihak-pihak

lain”-nya, suatu dikotomi yang menempati posisi sentral dalam pembentukan

budaya Eropa, selain mempertahankan dan meluaskan hegemoni Eropa atas

23 Ibid, hlm. 5-64.24 Edward W. Said, Orientalism, (London: Penguin Books, 1978) hlm. 94. Bdk Ania

Loomba, Colonialism/Postcolonialism, (New York: Routledge, 1998), hlm. 44.

Page 12: Edward W Said Dan Orientalisme

12

negeri-negeri lain. Proyek Said, adalah untuk memperlihatkan “pengetahuan

tentang orang-orang non Eropa yang merupakan bagian dari proses

mempertahankan kekuasaan Eropa atas mereka (Timur); itu jadi status

“pengetahuan” didemistifikasikan, dan batas-batas antara yang ideologi

dengan yang obyektif menjadi kabur. Jadi pengetahuan para orientalis yang

mengesankan itu disaring melalui bias kultural mereka, karena “studi” atas

Timur itu tidak obyektif melainkan:

Suatu visi politis atas realitas yang strukturnya mengemukakan perbedaan antara yang dikenal Eropa (Barat, “kita”) dan yang asing (orient, Timur, “mereka”), ketika orang menggunakan kategori-kategori seperti Oriental dan Barat, sebagai titik awal dan mau pun titik akhir dari analisis, riset-riset, kebijakan publik, maka hasilnya biasanya adalah memoralisasi perbedaan yang Timur manjadi makin Timur, dan yang Barat semakin Barat, dan membatasi pertemuan manusiawi antara berbagai budaya tradisi dan masyarakat yang berbeda.25

Analisis wacana di atas memungkinkan kita menelusuri hubungan-

hubungan antara yang konkrit dengan yang tersembunyi, yang dominan

dengan marginal, gagasan-gagasan dengan lembaga-lembaga. Ini

memungkinkan kita melihat bagaimana kekuasaan itu bekerja melalui bahasa,

sastra, budaya, dan lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan kita sehari-

hari. Dengan menggunakan definisi yang diperluas tentang kekuasaan ini,

Said bisa meninggalkan pemahaman sempit dan teknis tentang otoritas

kolonial dan memperlihatkan bagaimana otoritas ini berfungsi dengan

menghasilkan suatu “wacana Timur”, yaitu dengan melahirkan struktur-

struktur pemikiran yang terlihat dalam produk literer dan artistik, dalam

tulisan-tulisan politis dan ilmiah dan terutama, dalam penciptaan stuid-studi

Timur. Tesis dasar Said adalah bahwa orientalisme, atau “studi” Timur,

akhirnya merupakan suatu visi politis tentang realitas yang strukturnya

mengemukakan suatu perlawanan biner antara yang dikenal (Eropa, Barat,

“Kita”) dengan yang terasing (Orient, Timur, “mereka”).

D. Hubungan Orientalisme dengan Kolonialisme dan Pengetahuan

25 Edward W. Said, Orientalism, (London: Penguin Books, 1978), hlm. 46-47, Bdk Ania Loomba, Colonialism/Postcolonialism, (New York: Routledge, 1998), hlm. 45-46.

Page 13: Edward W Said Dan Orientalisme

13

Kolonialisme membentuk kembali struktur-struktur pengetahuan

manusia yang telah ada. Tidak ada cabang pengetahuan yang tidak disentuh

oleh pengalaman kolonial. Prosesnya mirip dengan berfungsinya ideologi itu

sendiri, dan sekaligus merupakan suatu kekeliruan gambaran realitas serta

penetaan ulangnya. Seperti ideologi, kolonialisme itu berasal dari “keadaan-

keadaan material” dan efek-efek material. Sebuah aspek penting dari proses

ini adalah pengumpulan dan penataan informasi tentang tanah-tanah dan

penduduknya yang dikunjungi, dan kemudian menjadi tunduk kepada,

kekuasaan kolonial. Petualangan-petualangan orang-orang Eropa abad ke XV

dan XVI ke Asia, Amerika, dan Afrika bukan merupakan pertemuan-

pertemuan pertama antara orang Eropa dan non Eropa, tetapi tulisan-tulisan

tentang periode ini memang menandai suatu cara pemikiran baru tentang,

malaham memproduksinya, bahwa kedua kategori rakyat ini sebagai lawan-

lawan biner. Tulisan perjalanan merupakan sarana penting untuk

memproduksi “konsepsi-konsepsi” Eropa tentang dirinya. Perlu untuk diingat,

bahwa produksi kolonialis bukanlah suatu yang sederhana. Proses ini tentu

melibatkan konflik, dan marginalisasi terhadap, sistem-sistem pengetahuan

dan keyakinan dari mereka yang ditaklukkan, selain juga dengan pandangan-

pandangan yang bertentangan di negara –negara asal (Eropa). Tetapi, jika

proses penaklukan itu menonjolkan kebrutalan dan perbedaan kultural, maka

bersamaan dengan ituproses ini juga merupakan suatu pengaburan terus-

menerus posisi-posisi “murni” dari “diri” dan “pihak lain”. Pengetahuan-

pengetahuan kolonialis dihasilkan juga melalui negosiasi dengan, atau

pemasukan, gagasan-gagasan pribumi untuk memperoleh akses ke tanah-

tanah jajahan “baru” dan rahasia-rahasia mereka.26

E. Kolonialisme Sebagai Bentuk Orientalisme Barat Terhadap Dunia

Timur

1. Era Kolonialisme

Kolonialisasi adalah contoh paling nyata akan bukti kemunduran

harga diri bangsa Timur. Pada waktu itu, selama berabad-abad umat Islam

26 Ania Loomba, Colonialism/Postcolonialism, (New York: Routledge, 1998), hlm. 57.

Page 14: Edward W Said Dan Orientalisme

14

berhasil menaklukkan berbagai belahan dunia dari Eropa Timur, Afrika,

Timur Tengah hingga Asia tunduk di bawah kekuasaan Islam. Namun,

kemenangan itu kini hanya menjadi sejarah.  Diawali abad ke-19 umat Islam

dipaksa tunduk di bawah Adikuasa kolonial Barat. Harapan terakhir umat

Islam bertumpu pada kekhalifahan Turki Utsmani, Namun tahun 1942

kekhalifahan itu diruntuhkan Kemal attaturk, bangsa Turki sendiri yang

menganti sistem khalifah menjadi negara repubrik yang sekular.

Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani serta koalisi bersama Jerman

di Perang Dunia, justru semakin memperparah keadaan, Sehingga praktik

kolonialisasi Barat terhadap Timur semakin merajalela. Saudi Arabia

berusaha membebaskan diri justru dipatahkan oleh Turki. Libanon dan

Palestina dirampas Inggris, tahun 1789 Napoleon datang ke Mesir, Belanda

mendarat di Malaka tahun 1602. Inggris dan Perancis pun berebutan tanah

kekuasaan di Afrika. Hingga pada tahun 1914, wilayah Timur menjadi lahan

subur adikuasa Barat. Pada Abad ke-18 Eropa mulai masuk menembus

perekonomian dan politik. Sejalan dengan itu pula, negara-negara Eropa

seperti Inggris, Belanda dan Perancis saling berebut tanah kekuasaan di

negara-negara yang berpenduduk Islam. Seperti India, dan sebelah selatan

timur Asia, termasuk Indonesia.

Abad ke-19, adalah abad di mana orientalis mencapai puncaknya

dalam membentuk kebudayaan Barat. Orientalis menkaji hampir semua

disiplin ilmu seperti eksotika, ekonomi, historis, dan teks politik. Secara

umum, orientalis telah berhasil menjadi bagian signifikan dari kemajuan

budaya dan peradaban Barat. Kolonialisme dan imperialisme di Indonesia

adalah fakta sejarah sekian puluh tahun lalu yang tak bisa dibantah.

Kolonialisme pada mulanya adalah penguasaan rempah rempah dan hasil

bumi untuk memperkaya negeri penjajah dalam meluaskan kekuasaannya.

Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis adalah sebagian dari negeri

penjajah itu. Mereka menjarah dan menguasai. Tak salah jika tujuan

penguasaan barat ke timur disimbolkan pertama dengan gold, selain gospel

dan glory.

Page 15: Edward W Said Dan Orientalisme

15

Pada fase selanjutnya, kolonialisme tak hanya berpusat pada rempah,

beras, dan sagu, melainkan juga penguasaan masyarakat atau hegemoni.

Hegemoni berjalan pada wilayah kesadaran, bahwa dominasi tidak harus

diatur dengan senjata dan kekerasan, tetapi juga bisa ditata dengan peraturan,

undang undang, dan kebijakan, yang pada hakekatnya adalah menjajah tapi

tak terasa dijajah. Sehingga masyarakat tanpa terasa terpaksa mengikutinya.

Kebijakan politik etis: edukasi, irigasi, dan transmigrasi, sebetulnya

adalah sebentuk hegemoni yang diluncurkan kolonial Belanda untuk meredam

bangsa pribumi. Politik etis dirancang agar tingkah laku inlander sesuai

dengan apa yang dikehendaki. Selanjutnya, kolonialisme berganti menjadi

orientalisme. Tepatnya, orientalisme adalah bentuk halus dari penguasaan

gaya baru di jaman yang lebih maju. Edward W Said dalam magnus opus-nya,

Orientalisme, menjelaskan tentang bagaimana Barat mengatur kehidupan

timur dengan melacak akar historis, etnografis, antropologis, bahasa, adat

istiadat dan lain-lain, kemudian memberi stereotype terhadapnya. Buku ini

secara nyata menunjukkan bahwa Timur yang dikaji adalah hasil dari

imajinasi geografis dari Barat sebagai objek pengkaji. Said menyebutnya

sebagai Orientalis. dalam konteks keindonesiaan kita menyebutnya sebagai

“ketimuran”.

Penguasaan kolonial Belanda dalam Sejarah Indonesia dicatat selama

350 tahun, hal ini membuktikan bahwa masa lalu Indonesia sebenarnya

terletak di Belanda. Dengan telaten dan tekun, Belanda melalui para orientalis

dan lembaga-lembaga kajian timur secara intensif mengupas dan mempelajari

aspek-aspek nusantara. Dalam hal ini Said, menemukan adanya hubungan

antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh orientalisme, dengan

kekuasaan kolonial di negara-negara koloninya.27 Pada awalnya orientalisme

ini seperti gerakan ilmu pengetahuan biasa yang mengkaji masyarakat,

budayanya, struktur bahasanya, dll. Tetapi dalam praktiknya pengetahuan ini

digunakan untuk melanggengkan kolonialisme. Bahkan Nyoman Kuta Ratna

dalam buku Poskolonialisme Indonesia relevansi sastra menyebutkan 27 Edward W. Said, Orientalism, terj. Achmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),

hlm. 19-22.

Page 16: Edward W Said Dan Orientalisme

16

“orientalisme tidak berbeda dengan kolonialisme atau imperialisme itu

sendiri”.28 Kata Said “orientalisme adalah gaya barat menundukkan timur.

Sejarawan, antropolog, sosiolog, sastrawan dan ilmuwan barat dengan

kekuatan wacana mengkonstruksi timur sebagai inferior”. Konstruksi itulah

yang masih tersisa dari proses pengulang-ulangan pengetahuan tentang

'inferioritas' Timur oleh orientalisme dalam bentuk mental Inlander.

Kolonialisme membentuk orientalisme ini seperti mengerahkan alam pikir

negara kolonial untuk menundukkan warga pribumi yang dikoloni. Mereka

memproduksi pengetahuan, kebiasaan-kebiasaan, gaya hidup (life style), dan

secara jangka pajang membangun nalar pribumi.

Hal inilah yang ingin dibongkar oleh Edwar W. Said. Meruntuhkan

hegemoni teori pengetahuan Barat yang ternyata tidak pernah netral dan jujur,

namun memuat struktur ideologi tertentu yang disusupkan dengan data-

data  ilmiah. Mungkin Said ingin berpesan bahwa sudah saatnya dunia

(khususnya dunia yang dikatakan Timur, Dunia Ketiga atau negara

berkembang) membuka mata akan kepalsuan metodologis Barat. Dibanding

terlalu memuja barat, akan lebih baik meletakkannya dalam persoalan yang

lebih kritis.

Pengalaman dengan kolonialisme menyisakan banyak hal yang

berubah dari kebudayaan, tradisi, nalar dan sejarah masyarakat yang dikoloni.

Karena itu, lepas dari kolonialisme secara fisik bukanlah berarti bangsa

Indonesia merdeka seratus persen, tetapi malah harus berusaha untuk keluar

dari belenggu kolonialitas wajah baru, atau minimal sisa-sisa dari

kolonialisme.

2. Post-Kolonialisme

Negara bangsa yang baru merdeka hanya membagikan buah secara

selektif dan timpang kepada rakyat. Digulingkannya pemerintahan kolonial

tidak secara otomatis membawa perubahan ke arah perbaikan status

perempuan, kelas pekerja, atau petani di kebanyakan negara jajahan. Oleh

sebab kenyataan bahwa “banyak hal yang belum selesai” dari proses 28 Nyoman Kutha Ratna, Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 27.

Page 17: Edward W Said Dan Orientalisme

17

pemerdekaan kita maka berkembanglah studi poskolonial. Bahwa perjumpaan

dengan kolonialisme menghasilkan peruabahn dalam struktur kebudayaan dan

nalar suatu masyarakat yang pernah dijajah. Dan berkembangnya suatu

pendekatan baru negara kolonial untuk melanjutkan imperialismenya dalam

bentuk yang lain, yakni penguasaan pikiran.

Sebagaimana istilah-istilah akademis lainnya yang kerap

menggunakan istilah post seperti post-modernisme, post-strukturalisme, maka

post-kolonialisme juga berarti “setelah” kolonialisme. Semangat wacana post-

colonial hendak menunjukkan kepada Barat (sebagai penjajah) perlawanan

negara non-Barat sebagai bekas koloni. Jika wacana post-colonial ditelaah,

maka secara akademis ide-idenya banyak dipengaruhi oleh kritik-kritik post-

strukturalisme, lewat dekonstruksi-nya. Upaya dekonstruksi itu menjadi

penting, sebagaimana dikutip Madhan Sarup, yakni sebagai upaya untuk:

menemukan teks marginal yang menjanjikan, menyingkap,

membongkar momen yang tidak dapat dipastikan dengan alat

penanda yang positif, membalikkan hierarki yang ada, agar dapat

diganti; agar dapat membangun kembali apa yang selalu telah

tertulis.29

Dengan dekonstruksi, post-kolonialisme menjadi kritik atas “kerangka

pikiran” Barat yang mapan, superior, maju, beradab terhadap dunia non-Barat

yang terbelakang sehingga mesti diarahkan, dicerahkan, diterjemahkan

menurut standar “humanisme Barat”. Upaya pem-barat-an ini dilakukan

secara lembut, dari kurikulum pendidikan di sekolah hingga narasi ekonomi-

politik-globalisasi internasional oleh imperialisme. Eksploitasi intelektual dan

mental “Dunia Ketiga” diarahkan dengan sistematis oleh “Dunia Pertama”.

Misalnya dengan mengontrol buku teks, majalah, surat kabar, televisi, dan

media lainnya. Media Barat mencuci otak negara bekas jajahan. Bagaimana

MTv dan pop culture lainnya dengan mudahnya masuk dan melakukan

29 Sarup, Madhan, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, (Yogyakarta: Jendela, 2004), hlm. 85-86.

Page 18: Edward W Said Dan Orientalisme

18

penetrasi ke dalam relung-relung kesadaran anak muda di negara Dunia

Ketiga.

Contoh kasus dalam masyarakat Indonesia yaitu hiburan di berbagai

media elektronik Indonesia, beberapa tahun terakhir ini berkembang

keistimewaan kepada wajah Indo atau campuran. Para artis yang punya wajah

indo menjadi idola publik di dunia entertainment. Ini menunjukkan bahwa

mentalitas kolonial masih melekat dalam wacana budaya Indonesia.  Selain

itu, akhir-akhir ini juga berkembang keistimewaan penguasaan bahasa Inggris

ketimbang bahasa lokal ataupun bahasa Indonesia. Kondisi ini pun tidak jauh

berbeda dengan zaman kolonial Belanda, di mana bahasa Belanda lebih

istimewa dan menunjukkan status sosial dibandingkan bahasa Melayu

(Indonesia). Terbukti misalnya menjadi bahan perdebatan di perkumpulan

Budi Utomo, apakah setiap pembicaraan formal dalam organisasi mesti

menggunakan bahasa Belanda.

Pendidikan Indonesia kini, yaitu sekolah-sekolah, baik negeri ataupun

swasta, berlomba-lomba menjadi sekolah internasional yang menggunakan

bahasa Inggris. Alasannya sederhana, anak-anak yang unggul sudah

semestinya menguasai bahasa Inggris untuk dapat bersaing di kancah

internasional. Mental berikutnya adalah kecenderungan pop culture anak

muda, yang mengarah pada musik rock, rap, hip metal, punk,  menggunakan

pakaian dengan merek internasionalisasi merek seperti Nike, Adidas dan lain

sebagainya,  makanan (Coca Cola), nongkrong di kafe, dan gaya hidup

kebarat-baratan lainnya.

Pembongkaran bagaimana bekerjanya imperialisme Barat (Eropa dan

Amerika) terhadap  dunia Islam, Timur Tengah dan Timur hingga kini

misalnya, oleh Edward Said menjadi bukti akan hal ini. Karya

besarnya Orientalism menunjukkan bagaimana ia men-dekonstruksi perilaku

kultural dan epistemologis Barat yang ingin terus menguasai Timur. Kerja

keras Said terutama karena upayanya membongkar muatan idiologis di balik

konsep Timur atau Orient yang direproduksi oleh Barat.

Page 19: Edward W Said Dan Orientalisme

19

Menurut Said, “Timur” yang primitif dipakai sebagai cermin untuk

membesarkan citra Eropa sebagai pelopor peradaban. Selain itu, mitos dan

stereotipe tentang Timur dimanfaatkan sebagai sarana pembenaran Eropa

untuk melakukan kolonialisasi: menguasai, menjinakkan, dan mengontrol

keberadaan the others. Upaya penelanjangan politik jahat orientalisme yang

dilakukan Said merangsang kesadaran baru bagi negara-negara berkembang

untuk bangkit melawan. Sejak tahun 80-an para intelektual terlibat dalam

diskusi intensif mempertimbangkan gagasan Said yang mengkritik bekerjanya

kolonialisme modern.

Studi post-kolonialisme dimaknai sebagai suatu perlawanan terhadap

dominasi kolonialisme dan warisan kolonialisme. Pada masa ini era

globalisasi harus diakui telah membawa pengaruh luar biasa terhadap

perkembangan teknologi, tak terkecuali bagi industri komunikasi modern.

Dampak-dampak itu adalah subversi kebudayaan dan ideologi Barat. Dampak

nyata globalisasi media adalah sistem kepemilikan global yang menjadi trend

industri media massa modern. Kekuatan modal asing mampu berpenetrasi

dalam struktur media lokal atau nasional yang pada akhirnya berpengaruh

pada masalah transmisi kebudayaan global ke tingkat lebih rendah dalam hal

ini nasional dan lokal. Ancaman media global tidak berhenti pada masalah

sosial politik saja tetapi masuk dalam nilai-nilai budaya masyarakat.

Orientalisme menggabungkan kekuasaan dengan pembentukan ilmu

pengetahuan kolonial. Oleh karena kolonialisme adalah pemaksaan kekuasaan

secara penuh terhadap tanah jajahan, maka orientalisme melibatkan satu

program pembentukan cara pikir yang bukan saja untuk kepentingan kolonial

tetapi juga dapat melahirkan ilmu kolonial. Budaya masyarakat jajahan

dirancang sedemikian rupa supaya sesuai dengan keinginan penguasa

kolonial. Budaya masyarakat di tanah jajahan itu mengikuti skema terori

evolusi, dimana budaya masyarakat yang satu dengan yang lainnya dibangun

menurut kelas evolusi. Dalam konteks ini budaya nusantara yaitu sebuah

entitas yang sangat kecil dilihat sebagai penyerap unsur-unsur budaya yang

lebih tinggi dan besar. Dalam hal ini masyarakat sekarang ini adalah bentuk

Page 20: Edward W Said Dan Orientalisme

20

dari penanaman alam pikir kolonial barat, dan lupa akan identitasnya sendiri

sebagai masyarakat Indonesia.

BAB III

PENUTUP DAN KESIMPULAN

Edward W. Said adalah guru besar Universitas Colombia, New York.

Kemunculannya berkaitan erat dengan penerbitan buku Orientalism (1978)

yang menimbulkan kehebohan dan kontroversi di lingkungan dunia akademis

Barat yang biasa disebut sebagai kaum orientalis.

Page 21: Edward W Said Dan Orientalisme

21

Menurut Said, sebagaimana dikutip azyumardi Azra30, orientalisme

(paham dan pengetahuan Barat tentang dunia Timur), yang dalam istilah Arab

disebut “al-istisyra>q”, bukan sekedar wacana akademis, tetapi juga

memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan religious. Secara politis,

penelitian, kajian dan pandangan Barat tentang dunia “oriental” - dalam kajian

Said, khususnya dunia Islam – bertujuan untuk kepentingan politik

kolonialisme Eropa, untuk menguasai wilayah-wilayah Muslim (Da>r al-

Isla>m). Dan, kolonialisme Eropa, tidak lain berkaitan dengan kepentingan

ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran

Kristen (kristenisasi). Ketiga kepentingan yang saling terkait satu sama lain

ini tersimpul dalam slogan yang sangat terkenal tentang ekspansi Eropa ke

kawasan dunia Islam, yang mencakup “three G’s (tiga “G”), yakni “Glory”,

kejayaan kekuasaan politik kolonialisme; “Gold”, kemelimpahan emas dan

kekayaan ekonomi; dan , “Gospel”, atau penginjilan.

Semua motif dan kepentingan orientalisme ini, yang dibungkus

dengan “wacana ilmiah dan akademis” bahkan, dalam pandangan Said, secara

implisit juga cenderung bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan Barat

umumnya semacam “mission civilatrace” - misi “pembudayaan” terhadap

dunia Timur “yang terbelakang”, jika tidak “primitif”. Hal ini juga terlihat

dalam “Monroe Doctrine” yang dijadikan prinsip belakangan oleh Amerika

dalam interaksinya dengan dunia Islam atau Timur pada umumnya.

Kritik keras Said yang sangat menusuk itu, mau tidak mau sangat

mengguncangkan sendi-sendi kajian Barat terhadap dunia Timur, yang lazim

disebut “orientalisme” itu. Hasilnya, di kalangan banyak sarjana Barat yang

biasa disebut orientalis, istilah “orientalisme” manjadi pejoratif, jika tidak

disgusting. Oleh karena itu, mereka tidak mau lagi disebut sebagai

“orientalis” (al-mustasyriqu>n), tetapi sebagai “Islamis” jika mereka

mengkaji Islam, atau “Indonesianis” bila mereka mengkaji Indonesia.

Selanjutnya, kritikan Said mendorong kalangan sarjana-sarjana Muslim untuk

30 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana Aktualitas, dan Aktor Sejarah, (Jakarta: PT. Gramedia, 2002), hlm. 186-187.

Page 22: Edward W Said Dan Orientalisme

22

mengembangkan sebuah “ilmu baru” yang disebut “oksidentalisme”. Dengan

ilmu ini, mereka bertujuan untuk menggali dan mengungkapkan dunia Barat

berdasarkan perkembangan berbagai aspek kehidupan Barat itu sendiri.