Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Efek Antibakteri Ekstrak Daun Sukun (Artocarpus communis) Terhadap Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA)
Dela Ulfiarakhma,1 Ika Ningsih2
1. Program Studi Pendidikan Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2. Departemen Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penyakit infeksi masih menjadi masalah terbesar di banyak negara, salah satunya infeksi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Meskipun vankomisin merupakan antibiotik standar dalam mengobati infeksi MRSA, terdapat kekhawatiran munculnya galur yang resisten terhadap vankomisin, sehingga diperlukan pengembangan antibiotik alternatif untuk pengobatan MRSA yaitu dengan ekstrak ekstrak daun sukun (Artocarpus communis). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak daun A. communis terhadap MRSA. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental secara in vitro menggunakan metode makrodilusi. Uji aktivitas antibakteri ekstrak A. communis dilakukan dengan mencampurkan suspensi bakteri dan ekstrak kasar daun A. communis berkonsentrasi 1280 µg/mL, 640 µg/mL, 320 µg/mL, 160 µg/mL, 80 µg/mL, 40 µg/mL, 20 µg/mL, 10 µg/mL, 5 µg/mL, 2,5 µg/mL, 1,25 µg/mL, dan 0,625 µg/mL, kemudian diinkubasi pada suhu 37o C selama 24 jam. Uji diulang sebanyak dua kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua tabung menghasilkan cairan yang keruh. Setelah larutan dari masing-masing tabung dikultur pada agar Mueller-Hinton, ditemukan pertumbuhan koloni bakteri pada seluruh agar. Dapat disimpulkan bahwa konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum (KBM) ekstrak daun A. communis terhadap MRSA tidak ditemukan pada konsentrasi 1280 µg/mL hingga 0,625 µg/mL. Kata kunci: Artocarpus communis; efek antibakteri; ekstrak daun sukun; methicillin-resistan Staphylococcus aureus
Antibacterial Effect of Breadfruit (Artocarpus communis) Leaf Extract towards
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Abstract
Infectious disease still remains a major problem in many countries, one of which is Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection. Although vancomycin is used to treat MRSA infection, there is concern about vancomycin-resistant strain. Thus, the development of new alternative antibiotic such as breadfruit (Artocarpus communis) leaf’s extract is needed for more effective MRSA treatment. This research aims to know the antibacterial activity of A. communis leaf’s extract towards MRSA. This in vivo experimental research uses macrodilution method which is performed by mixing bacterial suspension and A. communis leaf’s crude extract with concentration of 1280 µg/mL, 640 µg/mL, 320 µg/mL, 160 µg/mL, 80 µg/mL, 40 µg/mL, 20 µg/mL, 10 µg/mL, 5 µg/mL, 2,5 µg/mL, 1,25 µg/mL, and 0,625 µg/mL, then incubated at temperature of 37o C for 24 hours. The result shows that all tubes give cloudy solution. After all of concentration from each tubes is cultivated in Mueller-Hinton agar, the growth of bacteria colony was found in all agar. In conclusion, minimum inhibitory concentration (MIC) and minimum bactericidal concentration (MBC) of A. communis leaf’s extract towards MRSA cannot be obtained at the concentration range from 1280 µg/mL to 0,625 µg/mL.
Keywords: Antibacterial effect; Artocarpus communis; breadfruit’s leaf extract; methicillin-resistant Staphylococcus aureus
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
2
Pendahuluan
Penyakit infeksi menjadi masalah terbesar di beberapa negara, khususnya di
Indonesia. Meskipun penyebab kematian tertinggi di dunia disebabkan oleh penyakit tidak
menular, namun penyakit infeksi masih menjadi penyebab tingginya angka kesakitan dan
kematian khususnya pada anak-anak dan remaja. Berdasarkan data dari Centers for Disease
Control and Prevention, angka kematian akibat penyakit infeksi di Indonesia mencapai
26,75%.1 Salah satu penyabab infeksi yang perlu diwaspadai adalah Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA), galur Staphylococcus aureus yang resisten terhadap banyak
antibiotik seperti golongan beta laktam dan makrolida.2 Di Asia, prevalensi infeksi MRSA
telah mencapai 70%, sementara di Indonesia mencapai 23,5% pada tahun 2006.3
Infeksi MRSA dapat menimbulkan gejala ringan di kulit seperti furunkel dan
karbunkel, hingga penyakit yang lebih berat seperti pneumonia dan endokarditis infektif.
Lebih berbahaya lagi, toksin yang dikeluarkan oleh S. aureus dapat menyebabkan toxic shock
syndrome. Jika tidak ditangani dengan baik, maka kondisi ini dapat menyebabkan kegagalan
multiorgan.4 Selain itu, infeksi MRSA menyebabkan angka mortalitas 50% lebih tinggi pada
pasien di ruang ICU jika dibandingkan dengan galur S. aureus yang masih sensitif.5
Infeksi MRSA tidak dapat diobati dengan antibiotik standar seperti metisilin,
penisilin, diklosaksilin, nafsilin, oksasilin, bahkan sefalosporin. Antibiotik pilihan dalam
menanggulangi MRSA saat ini adalah vankomisin. Namun terdapat kekhawatiran munculnya
galur yang resisten terhadap vankomisin, sehingga pilihan antibiotik untuk mengatasi MRSA
semakin terbatas dan pengobatan akan menjadi tidak efektif.4 Oleh sebab itu, berbagai
penelitian telah dikembangkan untuk menemukan alternatif antibiotik terhadap MRSA, salah
satunya adalah dengan meneliti efek antibakteri dari senyawa dalam ekstrak tanaman.
Penelitian oleh Kuete et al berhasil mengisolasi suatu senyawa flavonoid, yaitu artonin E
dalam ekstrak tanaman Artocarpus communis. Menurut penelitian lain oleh Zajmi et al
membuktikan bahwa senyawa artonin E memiliki efek bakteriostatik terhadap S. aureus.6
Artocarpus communis dikenal sebagai tanaman sukun di Indonesia, di mana tanaman
ini cukup melimpah dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan pangan hingga
pengobatan.6 Melihat tingginya angka kesakitan dan kematian akibat infeksi MRSA dan
belum adanya penelitian terhadap efek ekstrak daun sukun terhadap MRSA, peneliti tertarik
untuk mengetahui efek antibakteri ekstrak daun sukun dalam mengatasi infeksi MRSA.
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat ditemukan alternatif pengobatan terhadap infeksi
MRSA.
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
3
Tinjauan Teoritis
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang berbentuk kokus
(diameter 0,5-1,5 µμm) dan bergerombol secara ireguler seperti buah anggur, terkadang
terlihat sebagai sel tunggal, berpasangan, tetrad, atau berbentuk rantai.,7 Kultur dan
identifikasi S. aureus dapat dilakukan dengan cara menginokulasi pada medium agar darah
atau Mueller Hinton. Pertumbuhan secara pesat terjadi dalam waktu 18 hingga 24 jam. Pada
medium padat, S. aureus membentuk koloni yang halus, bulat, timbul, mengkilap, serta
berwarna abu-abu hingga kuning emas pekat. Pada medium agar darah, koloni S. aureus akan
membentuk zona hemolisis.7,8 S. aureus dapat menghasilkan enzim berupa enzim katalase,
koagulase, dan faktor penggumpal (clumping factor). Selain itu juga menghasilkan
eksotoksin sitolitik (α, β, γ, δ) dan toksin superantigen.9
Infeksi primer yang disebabkan oleh S. aureus dapat memberikan gambaran klinis
berupa furunkel atau karbunkel. Selain itu dapat pula terjadi furunkulosis kronik, impetigo,
dan lesi dalam.. Tidak hanya menyebabkan tanda klinis pada kulit, infeksi S. aureus juga
dapat menyebabkan infeksi pada tulang, sendi, organ dalam, dan jaringan lunak. S. aureus
juga dapat menyebabkan ostemielitis pada anak (90%), pneumonia, bakteremia, dan
endokarditis infektif. Konsumsi makanan yang terkontaminasi oleh enterotoksin
staphylococcus dapat menyebabkan keracunan makanan yang ditandai dengan muntah dan
diare. Toksin staphylococcus juga dapat menimbulkan scalded skin syndrome, serta toxic
shock syndrome dengan tanda-tanda seperti demam, muntah, diare, hipotensi, sakit
tengggorokan, ruam, dan nyeri otot. Jika tidak ditangani dengan baik maka kondisi ini dapat
menyebabkan kegagalan multiorgan.7,9,10
Pada awalnya, semua isolat S. aureus sensitif terhadap metisilin. Namun sejak
penggunaan metisilin, resistensi S. aureus terhadap antibiotik tersebut berkembang, akibatnya
prevalensi MRSA meningkat. S. aureus berubah menjadi resisten terhadap metisilin akibat
mendapat sisipan gen mecA yang terdapat dalam staphylococcal cassette chromosome
(SCCmec). Resistensi S. aureus terhadap metisilin atau antibiotik golongan beta laktam
disebabkan karena perubahan transpeptidase peptidoglikan atau dikenal dengan penicillin
binding protein (PBP) 2 menjadi PBP 2a yang disandi oleh gen mecA. PBP 2a memiliki
afinitas yang sangat rendah terhadap antibiotik golongan beta laktam akibat adanya
perubahan pada situs pengikatan.9,10
MRSA juga resisten terhadap antibiotik golongan β-laktam lain, seperti sefalosporin
dan karbapenem. Untuk mengobati infeksi MRSA lokal dapat dilakukan insisi dan drainase
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
4
lesi, sementara lesi yang luas dengan gejala sistemik dapat diobati dengan antibiotik. Saat ini,
antibiotik yang efektif mengatasi infeksi MRSA adalah vankomisin. Meskipun sangat jarang,
saat ini juga telah ditemukan S. aureus yang resisten terhadap vankomisin.10
Vankomisin ialah antibiotik yang dihasilkan oleh Streptococcus orientalis dan
Amycolatopsis orientalis.11,12 Vankomisin merupakan antibiotik golongan glikopeptida yang
larut air dengan berat molekul 1500 kDa. Antibiotik ini hanya aktif terhadap bakteri Gram
positif, contohnya spesies Staphylococcus. Vankomisin dapat digunakan untuk mengobati
infeksi yang disebabkan oleh MRSA, endokarditis infektif, meningitis, pneumonia.
Vankomisin dapat diberikan secara intravena untuk memberikan efek sistemik.17 Vankomisin
dapat membunuh bakteri melalui inhibisi sintesis dinding sel dengan cara berikatan pada
ujung D-alanil-D-alanin rantai pentapeptida peptidoglikan. Proses ini menyebabkan inhibisi
transglikosilase, sehingga elongasi dari peptidoglikan dan ikatan silang dapat dicegah.
Akibatnya, peptidoglikan dinding sel bakteri menjadi lemah dan sel rentan mengalami lisis.11
Vankomisin bersifat bakterisidal terhadap bakteri Gram positif pada konsentrasi 0,5-10
µg/mL. MRSA disebut sensitif terhadap vankomisin jika konsentrasi hambat minimumnya
(KHM) kurang dari 2 µg/mL, intermediet jika KHM 4-8 µg/mL, dan resisten jika KHM lebih
dari 16 µg/mL.12
Beberapa penelitian menunjukkan potensi ekstrak tanaman sukun (Artocarpus
communis) sebagai agen antibakteri, salah satunya terhadap infeksi S. aureus. Tanaman
sukun merupakan salah satu jenis tanaman penghasil buah dari famili Moraceae. Pohon A.
communis memiliki habitus yang tinggi, rata-rata 15-20 meter. Tanaman ini memiliki batang
yang lebar dengan diameter 1,2 meter.13-15 Salah satu bagian yang paling sering dimanfaatkan
dari A. communis ialah buahnya. Selain dijadikan sebagai bahan makanan, Artocarpus
communis telah dimanfaatkan secara luas di dunia untuk kepentingan medis, di antaranya
dalam terapi penyakit kardiovaskular, nyeri dada dan muntah karena gangguan pada jantung,
abses, infeksi kulit, dermatosis, nyeri perut, diabetes, sakit kepala, gangguan penglihatan,
infeksi telinga, demam, dan herpes.6
Ekstrak dan senyawa metabolit sekunder yang didapat dari daun, batang, buah, dan
akar genus Artocarpus mengandung banyak senyawa aktif dengan berbagai aktivitas biologis,
seperti aktivitas antibakteri, antivirus, antifungal, anti-inflamasi, antioksidan antiplatelet,
antiarthritis, antidiabetes, inhibitor tirosinase dan sitotoksisitas.13 Hasil skrining fitokimia
menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari daun dan batang A. communis mengandung tannin,
flavonoid, steroid, fenol, glikosida, terpenoid, dan saponin.16
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
5
Kuete et al berhasil mengisolasi lima senyawa spesifik yang bersifat antibakteri dari
kulit batang A. communis. Senyawa yang berhasil diidentifikasi tersebut ialah peruvianursenil
asetat C, senyawa terpenoid yaitu α -amirenol dan sitosterol 3-O-ß-D-glukopiranosida,
senyawa flavonoid yaitu artonin E, dan senyawa arilbenzofuran yaitu 2-[(3,5-dihidroksi)-(Z)-
4-(3-metillbut-1-enil)fenil]benzofuran-6-ol.15 Penelitian baru yang dilakukan Zajmi et al
membuktikan bahwa senyawa artonin E yang diisolasi dari tumbuh-tumbuhan bersifat
bakteriostatik terhadap bakteri Staphylococcus aureus.17,18
Untuk mengetahui kemampuan suatu antibiotik dalam menghambat pertumbuhan dan
membunuh biakan bakteri, maka dapat dilakukan uji kepekaan antibiotik. Parameter inhibisi
pertumbuhan bakteri dalam uji kepekaan antibiotik adalah minimum inhibition concentration
(MIC) atau konsentrasi hambat minimum (KHM), yaitu konsentrasi antibiotik terkecil yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang terlihat dalam sistem in vitro. Nilai KHM tidak
hanya bergantung dari interaksi antara agen antimikroba dengan bakteri, namun juga dengan
kondisi saat melakukan uji, seperti pH, suhu, konsentrasi ion pada medium uji, jumlah bakteri
yang diuji, serta lamanya inkubasi. Untuk menginterpretasikan nilai KHM, maka nilai
tersebut dibagi menjadi tiga kategori, yaitu sensitif, intermediet, dan resisten. Sensitif atau
peka berarti terapi antibiotik dengan dosis yang direkomendasikan akan efektif mengatasi
infeksi, sementara resisten menunjukkan bahwa antibiotik dalam dosis yang sesuai masih
mungkin gagal dalam mengatasi infeksi dalam uji klinis.19
Metode uji kepekaan antibiotik dapat dilakukan dengan uji dilusi, epsilometer, dan
cakram difusi. Pada uji dilusi, bakteri dengan jumlah terstandarisasi diinokulasi pada tabung
reaksi serial dengan konsentrasi antibiotik beragam dalam suatu vehikulum. Pada epsilometer
atau E-test, sebuah strip plastik dengan gradien konsentrasi antibiotik diletakkan pada
permukaan agar yang telah diinokulasi dengan isolat bakteri. KHM diukur berdasarkan skala
KHM pada strip yang berpotongan dengan zona hambat yang terbentuk. Sementara pada uji
menggunakan cakram difusi, kepekaan antibiotik diukur berdasarkan diameter zona hambat
yang terbentuk. Diameter yang ekivalen dengan kategori sensitif, intermediet, dan resisten
dapat diekstrapolasi menjadi nilai KHM.20
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain uji eksperimental untuk mengetahui efek
antibakteri ekstrak daun sukun (Artocarpus communis) terhadap MRSA. Penelitian dilakukan
selama enam bulan mulai bulan Agustus 2015 hingga Januari 2016 di Laboratorium
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
6
Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sumber data yang
digunakan adalah data primer. Bahan yang diujikan dalam penelitian ini adalah bakteri
MRSA yang didapat dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI dan ekstrak kasar (crude
extract) daun sukun (Artocarpus communis) yang didapat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). Sementara alat yang digunakan terdiri atas labu Erlenmeyer, autoklaf,
cawan petri steril, sarung tangan, tabung reaksi, mikropipet, blue tip, yellow tip, kompor,
timbangan, bunsen, alkohol, sengkelit, inkubator, dan nephelometer McFarland 0,5.
Pertama-tama, mempersiapkan media uji terlebih dahulu yang terdiri atas mannitol
salt agar (MSA), Mueller-Hinton agar (MHA), dan brain heart infusion (BHI). Untuk
memastikan jumlah bakteri yang digunakan dalam penelitian terstandar, maka kekeruhan
suspensi bakteri yang diambil dari stok diukur dan disesuaikan dengan nephelometer
McFarland 0,5 yang setara dengan 1,5 x 108 CFU/mL. Dalam penelitian ini, sebanyak 9.900
µL larutan BHI ditambahkan ke dalam tabung berisi 100 µL suspensi bakteri yang sudah
disetarakan dengan McFarland 0,5, sehingga konsentrasi bakteri yang digunakan setara
dengan 1,5 x 106 CFU/mL.
Konsentrasi stok vankomisin yang diinginkan adalah sebesai 256 µg/mL larutan BHI,
sehingga volume vankomisin yang dilarutkan dalam 1 mL larutan BHI adalah 3 µL.
Pengenceran antibiotik dilakukan secara serial menggunakan 12 tabung reaksi yang masing-
masing berisi 1 mL larutan BHI. Pada tabung pertama, 1 mL stok antibiotik ditambahkan
sehingga konsentrasi antibiotik dalam tabung pertama menjadi 128 µg/mL. Kemudian,
sebanyak 1 mL larutan antibiotik dari tabung pertama ditambahkan dan dicampurkan ke
dalam tabung ke-2 hingga konsentrasi antibiotik dalam tabung ke-2 menjadi 64 µg/mL.
Pengenceran dilakukan hingga semua tabung berisi 1 mL larutan BHI dan antibiotik.
Sebanyak 1 ml pada tabung terakhir dibuang sehingga konsentrasi vankomisin pada tabung
ke-12 menjadi 0,0625 µg/mL. Sementara itu, konsentrasi ekstrak kasar daun sukun
(Artocarpus communis) yang diperlukan pada penelitian ini ialah sebesar 2560 µg/mL,
sehingga volume ekstrak daun sukun yang dilarutkan dalam 1 mL larutan BHI adalah 26 µL
Dengan metode yang sama, pengenceran ekstrak dilakukan secara serial. Tabung pertama
akan berisi larutan ekstrak berkonsentrasi 1280 µg/mL dan tabung terakhir 0,625 µg/mL.
Masing-masing kelompok dilakukan pengenceran sebanyak 2 set (duplo) dan disediakan
tabung kontrol positif yang berisi larutan BHI dan suspensi MRSA, serta kontrol negatif
yang berisi larutan BHI saja.
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) adalah konsentrasi terendah antibiotik
vankomisin yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Pada penelitian ini, sebanyak 10
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
7
µL suspensi bakteri MRSA dimasukkan ke dalam setiap tabung yang telah berisi antibiotik
atau ekstrak daun sukun. Campuran antibiotik atau ekstrak daun sukun dan bakteri diinkubasi
selama 1x24 jam pada suhu 35o – 37oC. KHM pada tabung ditunjukkan dengan konsentrasi
larutan terkecil dengan hasil biakan yang tampak jernih. Setelah mengetahui KHM,
diperlukan kultur dari 5 tabung; masing-masing tabung dimana KHM didapat sebelumnya, 2
tabung di atas KHM, dan 2 tabung di bawah KHM yang dikultur di media agar Mueller-
Hinton. Kemudian kultur diinkubasi selama 1x24 jam lalu dilihat pertumbuhan koloni
bakteri. Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) diinterpretasikan sebagai konsentrasi terkecil
yang hasil kulturnya tidak terdapat pertumbuhan koloni bakteri pada medium agar.
Hasil Penelitian
Konsentrasi hambat minimum (KHM) antibiotik vankomisin dan ekstrak daun sukun
(Artocarpus communis) terhadap bakteri methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) didapatkan melalui uji makrodilusi tabung. Sementara konsentrasi bunuh minimum
(KBM) diketahui berdasarkan hasil kultur pada agar Mueller-Hinton. Masing-masing
percobaan dilakukan pengulangan sebanyak dua kali (duplo) karena jumlah ekstrak daun A.
communis yang terbatas. Berikut ini data hasil uji makrodilusi antibiotik vankomisin terhadap
MRSA.
Tabel 1. Hasil uji makrodilusi untuk mengetahui KHM antibiotik vankomisin terhadap MRSA
Tabung Hasil Pengamatan Set 1 Set 2
Kontrol Positif Keruh Keruh Kontrol Negatif Jernih Jernih Vankomisin 128 µg/mL Jernih Jernih Vankomisin 64 µg/mL Jernih Jernih Vankomisin 32 µg/mL Jernih Jernih Vankomisin 16 µg/mL Jernih Jernih Vankomisin 8 µg/mL Jernih Jernih Vankomisin 4 µg/mL Keruh Keruh Vankomisin 2 µg/mL Keruh Keruh Vankomisin 1 µg/mL Keruh Keruh Vankomisin 0,5 µg/mL Keruh Keruh Vankomisin 0,25 µg/mL Keruh Keruh Vankomisin 0,125 µg/mL Keruh Keruh Vankomisin 0,0625 µg/mL Keruh Keruh
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
8
Gambar 1. Hasil uji KHM vankomisin terhadap MRSA melalui makrodilusi
Gambar 2. Kontrol positif dan kontrol negatif pada uji KHM vankomisin terhadap MRSA
Berdasarkan hasil penelitian, tabung berisi antibiotik vankomisin konsentrasi 4
µg/mL, 2 µg/mL, 1 µg/mL, 0,5 µg/mL, 0,25 µg/mL, 0,125 µg/mL, dan 0,0625 µg/mL dari
kedua percobaan menunjukkan cairan keruh setelah suspensi bakteri MRSA ditambahkan dan
diinkubasi dalam tabung selama 24 jam. Cairan yang keruh menunjukkan bahwa pemberian
antibiotik vankomisin konsentrasi 4 µg/mL, 2 µg/mL, 1 µg/mL, 0,5 µg/mL, 0,25 µg/mL,
0,125 µg/mL, dan 0,0625 µg/mL tidak menghambat pertumbuhan bakteri MRSA.
Sebaliknya, tabung dengan cairan jernih menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri MRSA
terhambat. Karena konsentrasi terkecil vankomisin yang dapat menghambat pertumbuhan
MRSA adalah 8 µg/mL, maka konsentrasi hambat minimum vankomisin terhadap MRSA
dalam penelitian ini adalah 8 µg/mL.
Untuk mengetahui konsentrasi bunuh minimum vankomisin terhadap MRSA,
dilakukan kultur pada agar Mueller-Hinton dengan hasil sebagai berikut.
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
9
Tabel 2. Pertumbuhan MRSA pada kultur agar Mueller Hinton untuk menentukan KBM vankomisin terhadap MRSA
Tabung Kultur pada Agar Mueller-Hinton
Set 1 Set 2 Kontrol Positif Tumbuh Tumbuh Kontrol Negatif Tidak Tumbuh Tidak Tumbuh Vankomisin 32 µg/mL Tidak Tumbuh Tidak Tumbuh Vankomisin 16 µg/mL Tumbuh Tumbuh Vankomisin 8 µg/mL Tumbuh Tumbuh Vankomisin 4 µg/mL Tumbuh Tumbuh Vankomisin 2 µg/mL Tumbuh Tumbuh
Gambar 3. Hasil uji KBM vankomisin terhadap MRSA pada MHA
Berdasarkan data pada tabel 4.2, bakteri MRSA dalam tabung berisi vankomisin
konsentrasi 16 µg/mL, 8 µg/mL, 4 µg/mL, dan 2 µg/mL masih dapat tumbuh. Sementara
bakteri MRSA dalam tabung berisi vankomisin konsentrasi 32 µg/mL tidak menunjukkan
pertumbuhan pada agar Mueller-Hinton. Oleh sebab itu, konsentrasi bunuh minimum
vankomisin terhadap MRSA dalam penelitian ini adalah 32 µg/mL.
Berdasarkan hasil pewarnaan Gram, ditemukan bakteri berbentuk kokus (bulat)
bergerombol berwarna ungu dengan sifat Gram positif. Selain itu, pada pemeriksaan di
bawah mikroskop tidak ditemukan bakteri dengan morfologi lain. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa percobaan yang dilakukan tidak mengalami kontaminasi dan bakteri yang
tumbuh di agar Mueller-Hinton benar merupakan Staphylococcus sp seperti gambar berikut.
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
10
Gambar 4. Hasil pewarnaan Gram dari koloni bakteri pada MHA yang berasal dari tabung vankomisin 16 µg/mL dengan perbesaran 10 x 100
Berikut ini adalah tabel hasil pengujian konsentrasi hambat minimum ekstrak daun
sukun (Artocarpus communis) terhadap methicillin-resistant Staphylococcus aureus.
Tabel 3. Hasil uji makrodilusi untuk mengetahui KHM ekstrak Artocarpus communis terhadap MRSA
Tabung Hasil Pengamatan Set 1 Set 2
Kontrol Positif Keruh Keruh Kontrol Negatif Jernih Jernih Ekstrak A. communis 1280 µg/mL Keruh Keruh Ekstrak A. communis 640 µg/mL Keruh Keruh Ekstrak A. communis 320 µg/mL Keruh Keruh Ekstrak A. communis 160 µg/mL Keruh Keruh Ekstrak A. communis 80 µg/mL Keruh Keruh Ekstrak A. communis 40 µg/mL Keruh Keruh Ekstrak A. communis 20 µg/mL Keruh Keruh Ekstrak A. communis 10 µg/mL Keruh Keruh Ekstrak A. communis 5 µg/mL Keruh Keruh Ekstrak A. communis 2,5 µg/mL Keruh Keruh Ekstrak A. communis 1,25 µg/mL Keruh Keruh Ekstrak A. communis 0,625 µg/mL Keruh Keruh
Gambar 5. Hasil pengamatan pertama uji KHM ekstrak A. communis terhadap MRSA melalui makrodilusi
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
11
Gambar 6. Hasil pengamatan kedua uji KHM ekstrak A. communis terhadap MRSA melalui makrodilusi
Berdasarkan data pada tabel 4.3, semua tabung yang berisi ekstrak daun sukun
(Artocarpus communis) menghasilkan cairan yang keruh setelah suspensi bakteri MRSA
ditambahkan dan diinkubasi dalam tabung selama 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan bakteri tidak terhambat pada semua tabung berisi ekstrak yang dicobakan. Pada
percobaan ini, konsentrasi hambat minimum ekstrak daun Artocarpus communis terhadap
MRSA tidak ditemukan dalam percobaan ini.
Untuk menentukan konsentrasi bunuh minimum sekaligus mengkonfirmasi hasil uji
makrodilusi ekstrak daun Artocarpus communis terhadap MRSA, cairan dari masing-masing
tabung uji makrodilusi tersebut dikultur pada agar Mueller-Hinton dengan hasil sebagai
berikut.
Tabel 4. Pertumbuhan MRSA pada Kultur Agar Mueller Hinton untuk Menentukan KBM Ekstrak A. communis terhadap MRSA
Tabung Kultur pada Agar Mueller-Hinton
Set 1 Set 2 Kontrol Positif Tumbuh Tumbuh Kontrol Negatif Tidak tumbuh Tidak tumbuh Ekstrak A. communis 1280 µg/mL Tumbuh Tumbuh Ekstrak A. communis 640 µg/mL Tumbuh Tumbuh Ekstrak A. communis 320 µg/mL Tumbuh Tumbuh Ekstrak A. communis 160 µg/mL Tumbuh Tumbuh Ekstrak A. communis 80 µg/mL Ekstrak A. communis 40 µg/mL
Tumbuh Tumbuh
Tumbuh Tumbuh
Ekstrak A. communis 20 µg/mL Tumbuh Tumbuh Ekstrak A. communis 10 µg/mL Tumbuh Tumbuh Ekstrak A. communis 5 µg/mL Tumbuh Tumbuh Ekstrak A. communis 2,5 µg/mL Tumbuh Tumbuh Ekstrak A. communis 1,25 µg/mL Tumbuh Tumbuh Ekstrak A. communis 0,625 µg/mL Tumbuh Tumbuh
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
12
Gambar 4.7 Hasil uji KBM ekstrak A. communis terhadap MRSA pada MHA
Dari hasil percobaan di atas, bakteri yang berasal dari semua tabung yang berisi
larutan BHI dan ekstrak dengan A. communis berbagai konsentrasi mengalami pertumbuhan
pada agar Mueller-Hinton, kecuali pada tabung kontrol negatif. Oleh sebab itu, pada
percobaan ini tidak ditemukan kadar bunuh minimum ekstrak daun sukun (Artocarpus
communis) terhadap MRSA.
Selanjutnya, dilakukan pewarnaan Gram untuk mengkonfirmasi adanya kontaminasi
bakteri lain di agar Mueller-Hinton yang berasal dari tabung berisi larutan BHI dan ekstrak
Artocarpus communis berkonsentrasi 1280 µg/mL dan 0,625 µg/mL. Hasil pewarnaan Gram
menunjukkan adanya bakteri berbentuk kokus (bulat) bergerombol berwarna ungu dengan
sifat Gram positif. Selain itu, tidak ditemukan bakteri dengan morfologi lain pada sediaan.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat kontaminasi dan bakteri yang tumbuh
di agar Mueller-Hinton benar merupakan Staphylococcus sp seperti gambar di bawah ini.
Gambar 8. Hasil pewarnaan Gram dari koloni bakteri pada MHA yang berasal dari tabung vankomisin
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
13
Pembahasan
Penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan
kematian di dunia. Salah satu infeksi yang perlu diwaspadai adalah infeksi methicillin-
resistant Staphylococcus aureus (MRSA), galur bakteri yang resisten terhadap banyak
antibiotik khususnya golongan beta laktam. Kekhawatiran semakin bertambah ketika
berkembangnya galur MRSA baru yang resisten terhadap antibiotik vankomisin
(vancomycin-resistant Staphylococcus aureus). Akibatnya, pilihan terapi antibiotik untuk
infeksi MRSA semakin terbatas dan efektivitas pengobatan menjadi berkurang. Oleh sebab
itu, diperlukan agen terapeutik baru yang memiliki efek antibakteri terhadap MRSA.
Penelitian ini menggunakan ekstrak kasar (crude extract) daun sukun (Artocarpus
communis) dari pelarut yang berasal dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Untuk
membandingkan konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum
(KBM) ekstrak A. communis terhadap MRSA, maka digunakan antibiotik vankomisin yang
diketahui efektif mengatasi infeksi MRSA hingga saat ini. Nilai KHM dan KBM ditentukan
melalui metode makrodilusi dengan cara melihat ada tidaknya pertumbuhan bakteri dalam
tabung uji yang ditandai dengan kekeruhan cairan dalam tabung.
Dalam penelitian ini, konsentrasi hambat minimum vankomisin terhadap MRSA
adalah 8 µg/mL. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri MRSA yang digunakan bersifat
intermediet terhadap antibiotik vankomisin yang diujikan. Sementara itu, konsentrasi hambat
minimum dan konsentrasi bunuh minimum ekstrak daun sukun (Artocarpus communis)
dalam penelitian ini tidak ditemukan pada konsentrasi 0,625 µg/mL, 1,25 µg/mL, 2,5 µg/mL,
5 µg/mL, 10 µg/mL, 20 µg/mL, 40 µg/mL, 80 µg/mL, 160 µg/mL, 320 µg/mL, 640 µg/mL,
dan 1280 µg/mL.
Hingga saat ini, belum ada penelitian yang menguji efek antibakteri ekstrak daun
sukun (Artocarpus communis) terhadap MRSA. Namun berdasarkan penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Kuete V, et al pada tahun 2011 menunjukkan bahwa ekstrak kasar
batang Artocarpus communis dengan pelarut metanol memiliki efek antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kadar hambat minimum
ekstrak batang A. communis terhadap S. aureus sebesar 64 µg/mL, sementara kadar bunuh
minimumnya sebesar 256 µg/mL.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Pradhan, et al (2012) memberikan hasil bahwa S.
aureus dapat dihambat oleh ekstrak metanol A. communis pada konsentrasi 25 µL, terbukti
dengan terbentuknya zona hambat berdiameter 24 mm. Sementara itu, ekstrak etil asetat daun
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
14
A. communis pada konsentrasi 10 µL juga dapat menghambat S. aureus dengan membentuk
zona hambat sebesar 12 mm. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa konsentrasi hambat
minimum ekstrak daun A. communis dari beberapa jenis pelarut terhadap S. aureus berkisar
antara 0,3 hingga 0,45 mg/mL.21
Ekstrak daun A. communis dari pelarut metanol dikatakan memiliki aktivitas
antibakteri paling tinggi dibandingkan dengan pelarut lain.21 Efek antibakteri yang dimiliki
oleh ekstrak A. communis disebabkan oleh metabolit sekunder yang dikandungnya, seperti
tanin, flavonoid, steroid, fenol, glikosida, terpenoid, dan saponin. Tanin merupakan senyawa
yang secara biologis aktif menghambat sintesis protein bakteri. Tanin juga bersifat
antioksidan stabil dan poten yang dapat melawan berbagai toksin yang dilepaskan oleh
bakteri. Selain itu, glikosida yang terkandung dalam ekstrak daun A. communis dapat
mengalami hidrolisis sehingga menghasilkan senyawa fenol yang bersifat toksik terhadap
mikroba patogen.21,22 Penelitian yang dilakukan Zajmi et al (2012) membuktikan bahwa
senyawa flavonoid yaitu artonin E yang diisolasi dari tanaman sukun (A. communis) bersifat
bakteriostatik terhadap bakteri Staphylococcus aureus.17
Perbedaan hasil dari penelitian ini dan penelitian terdahulu yang sebelumnya telah
dilakukan disebabkan karena beberapa faktor. Pertama adalah adanya perbedaan galur bakteri
yang digunakan dalam penelitian. Kebanyakan penelitian yang disebutkan sebelumnya
meneliti mengenai efek antibakteri ekstrak A. communis terhadap Staphylooccus aureus.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Kuete V, et al (2011), ekstrak batang
sukun diujikan terhadap galur S. aureus yang belum resisten terhadap beta laktam. Sementara
penelitian ini menggunakan galur S. aureus yang telah resisten terhadap metisilin (MRSA).
Jika dibandingkan dengan MSSA, MRSA bersifat resisten terhadap banyak agen antimikroba
karena telah mendapat sisipan gen mecA yang terdapat dalam staphylococcal cassette
chromosome (SCCmec). Akibatnya terjadi perubahan transpeptidase peptidoglikan atau
dikenal dengan protein binding penicillin (PBP) 2 menjadi PBP 2a. Afinitas PBP 2a sangat
rendah terhadap antibiotik golongan beta laktam, sehingga sintesis protein pada dinding
bakteri MRSA dapat terjadi meskipun telah diberikan agen antimikroba khususnya golongan
beta laktam.9,10
Faktor kedua adalah perbedaan spesies dari ekstrak yang digunakan, sehingga zat
aktif antibakteri yang dikandung oleh masing-masing ekstrak berbeda. Ekstrak daun nangka
(Artocarpus heterophyllus) yang memiliki genus yang sama dengan sukun menunjukkan efek
antibakteri terhadap MRSA. Senyawa aktif flavonoid (Artocarpesin) yang berhasil diisolasi
dari A. heterophyllus dalam penelitian Manuel NGV, et al (2012) memiliki KHM terhadap
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
15
MRSA 16 µg/mL.23 Sementara KHM dan KBM ekstrak daun A. communis terhadap MRSA
tidak didapatkan dalam penelitian ini.
Selain kedua faktor di atas, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap hasil
penelitian ini adalah bentuk ekstrak dan pelarut yang digunakan. Esktrak daun A. communis
dengan pelarut dimetil sulfoksida (DMSO) yang didapat dari LIPI merupakan ekstrak kasar
(crude extract). Ekstrak kasar (crude extract) yang digunakan dalam penelitian ini tidak
hanya mengandung zat aktif dari tanaman yang diteliti, namun dapat pula mengandung
senyawa lain yang menyebabkan kelarutan senyawa yang bersifat antibakteri tersebut lebih
rendah dibandingkan dengan ekstrak yang senyawa aktifnya telah terpurifikasi. Hal ini dapat
dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan Manuel, et al yang menunjukkan bahwa nilai
KHM Artocarpesin, senyawa aktif yang diisolasi dari ekstrak daun A. heterophyllus, terhadap
MRSA lebih rendah (16 µg/mL) dibandingkan dengan nilai KHM ekstrak kasar daun A.
heterophyllus terhadap MRSA (100 µg/mL).23
Pada penelitian Pradhan, et al (2012) ekstrak daun A. communis dengan pelarut
metanol memiliki efek antibakteri terhadap S. aureus lebih baik dibandingkan pelarut etil
asetat dan eter.21 Sementara penelitian lain menyebutkan bahwa ekstrak daun A. communis
dengan pelarut etanol dapat menghambat pertumbuhan bakteri lebih baik dibandingkan
dengan pelarut n-heksana dan air.24 Namun hingga saat ini belum ada penelitian yang
membandingkan efek antibakteri ekstrak A. communis berpelarut DMSO terhadap MRSA.
Faktor terakhir yang berpengaruh adalah metode uji kepekaan bakteri yang digunakan
dalam penelitian. Metode yang dapat digunakan untuk menguji kepekaan bakteri terhadap
suatu zat atau antibiotik adalah dengan metode dilusi, Epsilometer atau E-test, dan cakram
difusi. Metode dilusi merupakan metode yang baik dalam menentukan nilai KHM suatu obat
terhadap mikroba tertentu dibandingkan dengan metode lain. Namun, metode makrodilusi
yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kemungkinan kesalahan yang lebih besar
dalam persiapan larutan antibiotik yang akan diujikan. Selain itu, metode ini juga
memerlukan jumlah reagen dan ruang yang besar, sehingga kemungkinan kontaminasi cukup
besar dibandingkan dengan metode lain.25
Penelitian mengenai efek antibakteri ekstrak kasar daun sukun (A. communis)
terhadap MRSA dengan metode makrodilusi belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh
sebab itu, kelebihan dari penelitian ini adalah sebagai penelitian yang baru pertama kali
dilakukan, sehingga dapat dijadikan pembanding untuk penelitian serupa di kemudian hari.
Namun, kekurangan dari penelitian ini adalah keterbatasan dari ekstrak kasar yang diperoleh
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
16
dari LIPI, sehingga pengulangan percobaan untuk masing-masing konsentrasi hanya dapat
dilakukan sebanyak dua kali (duplo).
Kesimpulan
Konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum (KBM)
esktrak daun sukun (Artocarpus communis) terhadap methicillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) melalui metode makrodilusi tidak ditemukan pada konsentrasi 1280 µg/mL
hingga 0,625 µg/mL. Hal ini ditandai dengan semua tabung yang berisi larutan BHI dan
ekstrak A. communis menghasilkan cairan yang keruh serta adanya pertumbuhan koloni
bakteri pada semua medium agar Mueller-Hinton yang diujikan.
Saran
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, peneliti memiliki beberapa saran, yaitu
meningkatkan konsentrasi ekstrak kasar Artocarpus communis lebih dari 1280 µg/mL untuk
menguji efek antibakteri terhadap MRSA, melakukan penelitian lebih lanjut menggunakan
senyawa aktif yang telah diisolasi dan dimurnikan dari ekstrak Artocarpus communis,
menggunakan ekstrak Artocarpus communis berpelarut organik selain DMSO.
Daftar Referensi 1. Centers for Disease Control and Prevention. CDC Global Health in Indonesia, Agustus
2014 [cited on 2015 Aug 23]. Available from:
http://www.cdc.gov/globalhealth/countries/Indonesia/
2. Centers for Disease Control and Prevention. Active Bacterial Core Surveillance Report,
Emerging Infections Program Network, Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus,
2014 [cited on 2016 Jun 17] Available from: http://www.cdc.gov/abcs/reports-
findings/survreports/mrsa14.html
3. Ananda M. MRSA update, diagnosis, dan tatalaksana. Majalah Farmacia 2007;1(1):64-
68
4. Levinson W. Review of medical microbiology and immunology. 13th ed. New York:
McGraw-Hill Education; 2014. Chapter 15, Gram-Positive Cocci, p245-89.
5. Hanberger H, Walther S, Leone M, Barie PS, Rello J, Lipman J, et al. Increased
mortaloty associated with methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
17
in the intensive care unit: results from the EPIC II study. Int J Antimicrob Agents
2011;38(4):331-5.
6. Kuete V, Ango PY, Fotso GW, Kapche GDWF, Dzoyem JP, Wouking AG, et al.
Antimicrobial activities of the methanol extract and compounds from Artocarpus
communis (Moraceae). BMC Complementary and Alternative Medicine 2011;11:42.
7. Que YA, Moreillon P. Staphylococcus aureus (Including Staphylococcal Toxic Shock).
In: Bennett JE, Dollin R, dan Blaser MJ, (editors). Mandell, Douglas, and Bennet’s
principles and practice of infectious disease. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p.
2543-78.
8. Brooks G, Caroll K, Butel J, Morse S. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s medical
microbiology. 25th ed. United States: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2010. p.
195-200
9. Ryan JK, Ray CG, editors. Sherris medical microbiology. 6th ed. San Fransisco:
McGrawHill; 2011. Chapter 24, Staphylococci, p. 433-446
10. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. Medical microbiology. 7th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2013. Chapter 18, Staphylococcus and Related Gram-Positive Cocci,
p. 174-187.
11. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and clinical pharmacology. 12th ed. San
Fransisco: McGrawHill; 2011. Chapter 43, Beta-Lactam & Other Cell Wall- &
Membrane-Active Antibiotics, p. 788-808
12. Murray BE, Nannini EC. Glycopeptides (Vancomycin and T eicoplanin), Streptogramins
(Quinupristin-Dalfopristin), Lipopeptides (Daptomycin), and Lipoglycopeptides
(Telavancin). In: Bennett JE, Dollin R, dan Blaser MJ, (editors). Mandell, Douglas, and
Bennet’s Principles and Practice of Infectious Disease. 7th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2010. p. 449-468
13. Sikarwar MS, Hui BJ, Subramaniam K, Valeisamy BD, Yean LK, and Balaji K. A
Review on Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg (breadfruit). J App Pharm Sci 2014; 4
(08): 091-097.
14. Orwaet et al. Artocarpus altilis [Internet]. [cited on 2015 Aug 23]. Available from:
agroforestry.net/tti/A.altilis-breadfruit.pdf
15. Motley TJ. Breadfruit origins, diversity and human facilitated distribution [Internet].
[cited on 2015 Aug 23]. Available from: http://herbarium.millersville.edu/325/Zerega-
2005.pdf
35
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016
18
16. Binumol M, Sajitha T. Phytochemical and antibacterial activity of Artocarpus
heterophyllus Lam. and Artocarpus communis Forst. on Bacillus subtilis and
Pseudomonas fluorescens. International Journal of Scientific & Engineering Research
2013;4(9):1766-84.
17. Zajmi A et al. Ultrastructural study on the antibacterial activity of artonin E versus
streptomycin against Staphylococcus aureus strains. PloS ONE 10 (6): e0128157. doi:
10.1371/journal.pone.0128157
18. Lin JA, Fang SC, Wu CH, Huang SM, Yen GC: Anti-inflammatory effect of the 5,7,4’-
trihydroxy-6-geranylflavanone isolated from the fruit of Artocarpus communis in S100B-
induced human monocytes. J Agric Food Chem 2011;59:105-111.
19. Setiabudy R. Antimikroba lain. In: Gunawan GS, Setiabudy R, Nafrialdi, editor.
Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. p. 723-731.
20. Smith MB, LaSala PR, Woods GL. In vitro testing of antimicrobial agents. In: Pherson
RA, Pincus MR, (editors). Henry’s clinical diagnosis and management by laboratory
methods. 23rd ed. United States; Suanders Elsevier; 2011. p. 1116-28.
21. Pradhan C, Mohanty M, Rout A. Phytochemical screening and comparative bioefficacy
assessment of Artocarpus altilis leaf extracts for antimicrobial activity. Frontier in Life
Science 2012;6(3-4):71-76
22. Sahoo K, Dhal NK, Sahoo SL, Lenka SS. Comparative phy- tochemical and antimicrobial
study of Morinda pubescens sm. and Morinda citrifolia L. Int J Pharm Pharm Sci
2011;4(3):425–429.
23. Manuel NGV, Osvaldo SSD, Alejandra RFT, Rodolfo AV, Lucila AL. Antimicrobial
activity of artocarpesin from Artocarpus heterophyllus Lam. against methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA). J. Med. Plants Res. 2012.
24. Mbaeyi-Nwaoha IE, Onwuka CP. Comparative evaluation of antimicrobial properties and
phytochemical composition of Artocarpus altilis leaves using ethanol, n-hexane and
water. Afr. J. Microbiol. Res. 2014;8(37):3409-21.
25. Balouiri M, Sadiki M, Ibnsouda SK. Methods for in vitro evaluating antimicrobial
activity: a review. Journal of Pharmaceutical Analysis 2016;6:71-79
Efek Antibakteri ..., Dela Ulfiarakhma, FK UI, 2016