7
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor μ. Selain itu morfin juga memiliki afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan κ. Susunan saraf pusat Narkosis Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbuk sebelum pasien tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita nyeri, sedih, dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal sering kali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik kurang, ketajaman penglihatan berkurang, dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan miosis. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disxertai mual. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberi dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak, napas lambat, dan miosis. Analgesia Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid pada reseptor μ. Reseptor δ dan κ dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Morfin juga berkerja melalui reseptor δ dan κ, namun belum diketahui besarnya peran kerja morfin melalui kedua reseptor ini dalam menimbulkan analgesia.

Efek Morfin

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Efek Morfin

Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor μ. Selain itu morfin juga memiliki afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan κ.

Susunan saraf pusat

Narkosis

Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbuk sebelum pasien tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita nyeri, sedih, dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal sering kali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik kurang, ketajaman penglihatan berkurang, dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan miosis. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disxertai mual. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberi dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak, napas lambat, dan miosis.

Analgesia

Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid pada reseptor μ. Reseptor δ dan κ dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Morfin juga berkerja melalui reseptor δ dan κ, namun belum diketahui besarnya peran kerja morfin melalui kedua reseptor ini dalam menimbulkan analgesia.

Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat seeltif dam tidal diserai oleh hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar, [englihatan, dan pendengaram. Bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi adaah suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu.

Pengaruh morfin terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull pain) dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh morfin terhadap nyeri tajam dan intermiten. Dengan dosis terapi, morfin dapat meredakan nyeri kolik renal atau kolik empedu. Nyeri mendadak yang menyertai tabes dorsalis, tidak dapat dihilangkan sempurna oleh morfin. Morfin dapat mengatasi nyeri yabg berasal dari alat dalam maupun yang berasal dari integumen, otot, dan sendi.

Page 2: Efek Morfin

Eksitasi

Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah eksitasi morfin adalah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi refleks SSP. Beberapa individu, terutama wanita dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul. Kemungkinan timbullnya eksitasi ini lebih besar pada beberapa derviat morfin dan alkaloid alam lain.

Miosis

Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor μ dan κ menyebabkan miosis. Miosis terjadi karena perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan skopolamin. Pada intoksikasi morfin, pin point pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan hanya timbul pada stadium akhir intoksikasi morfin, yaitu jika sudah ada asfiksia. Meskipun toleransi ringan dapat terjadi akan tetapi pasien adiksi dengan kadar opioid dalam sirkulasi yang tinggi akan selalu mengalami miosis. Morfin dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pada pasien glaukoma.

Depresi napas

Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak. Pada dosis kecil, morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadara. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi napas. Pada depresi napas, terjadi penurunan frekuensi napas, volume semenit dan tidal exchange, akibatnya tekanan karbondioksida dalam darah dan udara alveolar meningkat dan kadar oksigen dalam darah menurun. Kepekaan pusat napas terhadap karbondioksida berkurang. Kadar karbondioksida 5% tidak lagi menimbulkan peninggian ventilasi pulmonl.

Morfin dan analgesik opioid lain berguna untuk menghambat refleks batukini ternyata tidak berjalan sejajar dengan depresi napas. Efek depresi napas lebih besar pada morfin dan efek depresi batuknya lebih lemah; sedangkan efek depresi batuk kodein kuat dan efek depresi napasnya tidak begitu kuat.

Mual dan muntah

Page 3: Efek Morfin

Efek emetik morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsng pada emetic chemoreseptor trigger zone (CTZ) di area postrema medula oblongata, bukan oleh stimulasi pusat emetik sendiri. Apomorfin mensrimulasi CTZ paling kuat. Obat emetik lain tidak efektif setelah pemberian morfin. Efek mual dan muntah diperkuat oleh stimulasi vestibular, sebaliknya analgetik opioid sintetik meningkatkan sensitivitas vestibular.

Saluran Cerna

Morfin berefek langsung pada saluran cerna, bukan melalui efeknya pada SSP.

Lambung

Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan morilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus duodenum. Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak memengaruhi efek terhadap lambung ini. Pada manusia peninggian tonus otot polos lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh atropin.

Usus halus

Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus halus. ,orfin mengurangi kontraksi propulsif, meninggikan tonus dan spasme periodik usus halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat pada duodenum. Penerusan isi usus yang lambat disertai sempurnanya absorpsi air menyebabkan isi usus menjadi lebih padat. Tonus valvula ileosekalis juga meninggi. Atropin dosis esar tidak lengkap melawan efek morfin ini.

Usus besar

Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar. Akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidal merasakan kebutuhan untuk defekasi. Walaupun tdak lengkap efek morfin pada kolon dapat diantagonis oleh atropin.

Duktus koledokus

Page 4: Efek Morfin

Dosis terapi morfin menimbulkan eninggian tekanan dalam duktus koledokus dan efek ini dapat menetap selama 2 jam atau lebih. Keadaan ini sering disertai perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik berat. Menghilangnya setelah pemberian morfin pada pasien kolik empedu disebabkan oleh efek sentral morfin, namun pada beberapa pasien justru mengalami eksaserbasi nyeri. Pada pemeriksaan radiografis terlihat kontriksi sfingter Oddi. Atropin menghilangkan sebagian spasme ini.

Sistem Kardiovaskular

Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi, maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Hal ini terbukti dengan dilakukannya napas buatan atau dengan memberikan oksigen; tekanan darah naik meskipun depresi medula oblongata masih berlangsung

Otot Polos lain

Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta kontraksi ureter dan kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6 mg atropin subkutan. Hilangnya rasa nyeri pada kolik ginjal disebabkan oleh efek analgetik morfin. Peninggian tonus otot detrusor menimbulkan rasa ingin miksi, tetapi karena sfingter juga berkontraksi maka miksi sukar.

Kulit

Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area (muka, leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian disebabkan oleh terjadinya penglepasan histamin oleh morfin dan seringkali disertai dengan kulit yang berkeringat. Pruritus kadang-kadang dapat terjadi mungkin akibat penglepasan histamin atau pengaruh langsung morfin pada saraf.

Metabolisme

Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap akibat penglepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Setelah pemberian morfin

Page 5: Efek Morfin

volume urin berkurang, diseebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan penglepasan ADH. Hipotiroidisme dan insufisiensi adrenokortikal meningkatkan kepekaan orang terhadap morfin.