Upload
others
View
8
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
i
UJIAN PROMOSI
EFEKTIFITAS ANTI-VEGF BEVACIZUMAB SUBCONJUNGTIVA TERHADAP KEBERHASILAN
TRABEKULEKTOMI PADA PENDERITA GLAUKOMA
NORO WASPODO
P0200309083
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2014
ii
UJIAN PROMOSI
EFEKTIFITAS ANTI-VEGF BEVACIZUMAB SUBCONJUNGTIVA TERHADAP KEBERHASILAN
TRABEKULEKTOMI PADA PENDERITA GLAUKOMA
Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Doktor
Program Studi
Ilmu Kedokteran
Disusun dan diajukan oleh
NORO WASPODO
kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2014
iii
iv
TIM PENGUJI 1. Prof.dr.Budu Sp.M (Ketua/Promotor)
2. Prof.Dr. dr Rukiah Syawal Sp.M (Anggota/Ko-promotor)
3. Prof.dr.Nasrum Massi PhD (Anggota/Ko-promotor)
4. Prof.Dr.dr. Suryani As’ad, M.Sc., Sp.GK (K) (Anggota/Penguji)
5. Prof.dr. Peter Kabo, Ph.D (Anggota/Penguji)
6. Dr.dr. Habibah, Sp.M(K) (Anggota/Penguji)
7. Dr.dr. Burhanuddin Bahar, MS (Anggota/Penguji)
8. dr. Upik Anderiani Miskad,Ph.D (Anggota/Penguji)
9. Dr.dr. Andika Prahasta,SpM(K) (Anggota/Penguji Eksternal)
v
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Noro Waspodo
Nomor Mahasiswa : P 0200309083
Program Studi : Ilmu Kedokteran
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain,
saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, November 2014
Yang menyatakan
Noro Waspodo
vi
PRAKATA
Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena
hanya berkat anugerah dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan karya akhir
disertasi ini.
Glaukoma adalah salah penyakit mata yang banyak dijumpai dalam
masyarakat. Kenyataan bahwa anti-VEGF ( bevacizumab ) dapat membantu
mengurangi terjadinya jaringan parut setelah operasi trabekulektomi membuat saya
tertarik untuk menelitinya.
Berbagai pengalaman berharga dan kendala dialami penulis saat mulai
penelitian hingga kepada menyusun tulisan akhir disertasi ini, namun kendala dapat
terselesaikan dengan baik berkat bantuan Tuhan semata yang disalurkan melalui
tangan-tangan berbagai pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung
dalam disertasi ini.
Perkenankanlah pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Dwia Ariesta, Prof. Dr. dr.
Andi Asadul Islam, Sp.BS selaku Dekan Fakultas Kedokteran, Prof. dr. Mochammad
Hatta, PhD, Sp.MK(K) sebagai Ketua Program Studi Pasca sarjana Ilmu Kedokteran
Universitas Hasanuddin yang telah memberikan dorongan moril dan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor Ilmu
Kedokteran di Universitas Hasanuddin.
Terima kasih banyak kepada Prof. Dr. Dr. Idrus Paturusi, Sp.B.Ort yang telah
memberikan perhatian dan support kepada penulis.
vii
Dalam kesempatan ini, penulis memberikan hormat, rasa penghargaan yang
setinggi-tingginya dan terima kasih tak terhingga kepada :
Prof. dr. Budu, Ph.D, Sp.M(K), M.MedEd ditengah kesibukannya telah
bersedia menjadi promotor dan selalu menyempatkan waktu kapan saja dan dengan
penuh pengertian dan kesabaran membimbing, mengarahkan serta mendorong
penulis menyelesaikan disertasi ini.
Prof. Dr. dr. Rukiah Syawal, Sp.M(K) atas kesediaan beliau menjadi ko-
promotor dan selalu bersedia membantu di tengah kesibukan yang amat padat,
membimbing penulis dengan sabar dari awal hingga selesai.
Prof. dr. Muh. Nasrum Massi, Ph.D atas kesediaan beliau menjadi ko-
promotor yang selalu membimbing serta mendorong penulis dengan penuh
kesabaran dan penuh pengertian dari awal hingga disertasi ini selesai.
Dr. dr. Burhanuddin Bahar, MS sebagai penguji yang selalu memberikan
dorongan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, M.Sc, Sp.GK (K), sebagai penguji yang tidak
jemu-jemunya selalu memberikan semangat dan masukan yang sangat berguna dan
mengarahkan penulis dari awal penelitian hingga selesai.
Prof. dr. Peter Kabo, Ph.D sebagai penguji yang penuh kesungguhan hati
memberikan masukan yang sangat berarti dalam menyelesaikan disertasi ini.
Dr. dr. Habibah, Sp.M (K) sebagai penguji yang penuh kesungguhan hati
memberikan masukan yang sangat berarti dalam menyelesaikan disertasi ini.
Dr. Upik Anderiani Miskad, Ph.D sebagai penguji yang memberikan
pandangan dan masukan yang berguna bagi penulis.
Dr. dr. Andika Prahasta, Sp.M, M.Kes sebagai penguji eksternal, yang selalu
meluangkan waktu untuk memberikan masukan, saran yang bermanfaat bagi
viii
penulis. Terima kasih atas kesediaaannya untuk selalu hadir dalam ujian walaupun
ditengah kesibukan yang sangat padat.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih, rasa hormat dan ungkapan
sayang kepada ayah Prof. dr. Hardjoeno, Sp.PK (K), Ph.D (alm), Ibunda Endang
Rochajoe (alm) dan mertua saya bapak Purn. Syamsuddin Kadir (alm) serta Ibunda
Syamsiah Nio, yang telah memberikan doa, dukungan, semangat yang besar
kepada penulis. Penghargaan yang tulus saya sampaikan kepada isteri saya Dr. dr.
Nurelly. N. Waspodo, Sp.KK sebagai pendamping dalam suka dan duka yang
dengan penuh pengertian dan ketulusan senantiasa memberikan dukungan moril
dan harapan serta bantuannya. Kepada anak-anak tersayang Eldo Rahman
Pratama, Eldie Rahim Pradana, Elra Safarina Pramesti, Elsa Shafira Prasetyati dan
Elora Ramadhanty Pawestri, yang dengan penuh pengertian dan ketulusan
mendukung dan memberi semangat kepada saya.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada kakak saya dr. Noro Waskito,
MARS dan adinda Prof. Dr. Ir. Djoeharnani Tresnati, DEA yang selalu memberikan
doa dan semangat kepada penulis. Terima kasih atas segala bantuan, dukungan,
dan semangat dan kasih sayang yang diberikan oleh adik ipar saya Prof. Ir. Ambo
hingga penulis dapat tiba pada tahap ini. Terima kasih kepada seluruh keluarga
yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap maju. Kepada
seluruh teman-teman angkatan 2009 Program Doktor Unhas, penulis ucapkan
banyak terima kasih atas dukungan dan kebersamaan selama ini.
Terima kasih banyak kami sampaikan kepada seluruh staff dan PPDS Ilmu
Kesehatan Mata Unhas atas dukungan dan bantuannya sehinngga kami sampai
pada tahap akhir ini.
ix
Penulis menyadari kemungkinanan terdapat kekurangan dan keterbatasan
selama penelitian dan penyusunan disertasi ini, oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati, penulis menyampaikan maaf sebesar-besarnya. Kiranya hasil
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan
aplikasi klinis dalam masyarakat. Semoga Tuhan berkenan mencurahkan berkah
dan rahmatNya bagi semua pihak yang telah membantu hingga penulisan disertasi
ini selesai.
Penulis, Noro Waspodo
x
ABSTRAK
EFEKTIVITAS ANTI-VEGF (BEVACIZUMAB) SUBKONJUNGTIVA TERHADAP KEBERHASILAN TRABEKULEKTOMI PADA PENDERITA
GLAUKOMA
NORO WASPODO. Efektifitas anti-VEGF (bevacizumab) subkonjungtiva terhadap keberhasilan trabekulektomi pada penderita glaukoma (dibimbing oleh Budu, Rukiah Syawal, Nasrum Massi )
Latar belakang : World Health Organitation dalam laporannya mengatakan bahwa penyakit glaukoma menempati urutan kedua (12,3 %) angka kebutaan di Indonesia setelah kebutaan akibat katarak (47,8 %). Pada tahun 2010 diperkirakan lebih 60,5 juta orang menderita glaukoma dan meningkat 30 % di tahun 2020 menjadi 79,6 juta penderita. Penanganan terbaik penyakit glaukoma adalah dengan operasi trabekulektomi, akan tetapi angka kegagalan trabekulektomi masih cukup tinggi (30 %) sehingga dicari teknik tambahan lain untuk meningkatkan keberhasilan operasi glaukoma.
Tujuan : Untuk menilai peranan injeksi bevacizumab subkonjungtiva dalam mempertahankan bleb konjungtiva dan TIO dalam batas normal.
Metode : Penelitian eksperimental pada 33 mata penderita glaukoma primer, dibagi dalam dua kelompok yaitu 16 mata tanpa injeksi dan 17 mata dengan injeksi bevacizumab 125 mg/ml subkonjungtiva. Dinilai kadar VEGF humor akuos, keadaan bleb konjungtiva menurut Moorfields Bleb Grading System dan TIO kedua kelompok
Hasil : Pemberian injeksi bevacizumab secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar VEGF humor akuos dan vaskularisasi bleb pada kedua kelompok. Tinggi dan area bleb konjungtiva antara kedua kelompok tidak ada perbedaan yang bermakna. TIO antara kedua kelompok tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik namun TIO kelompok yang menggunakan injeksi bevacizumab lebih rendah daripada tanpa injeksi.
Kata Kunci : bleb konjungtiva, TIO, trabekulektomi, VEGF humor akuos
xi
ABSTRACT
THE EFFECTIVENESS OF ANTI-VEGF (BEVACIZUMAB) SUBCONJUNGTIVA FOR THE SUCCESSFUL OF TRABECULECTOMY IN
GLAUCOMA PATIENTS
NORO WASPODO. The effectiveness of anti-VEGF (bevacizumab) subconjunctiva for the successful of trabeculectomy in glaucoma patients (Supervised by Budu,Rukiah Syawal, Nasrum Massi).
Background: World Health Organitation reported that glaucoma disease ranked number two (12.3%) after cataract (47,8%) is causing blindness in Indonesia. In 2010 it is estimated to be over 60.5 million people suffer from glaucoma and has increased 30% that is 79,6 million by the year of 2020. The best treatment of glaucoma diseases is trabeculectomy operation because after operation intraocular pressure (IOP) significantly decrease. However, the failure rate of trabeculectomy is still high (30 %), so another of additional techniques to improve successful of glaucoma surgery is needed.
Purpose : To assess the role of bevacizumab injection subconjungtiva to prevent bleb conjunctiva and IOP within the normal limits.
Methods : An experimental study of 33 eyes with primary glaucoma, divided in two groups : 16 eyes without injection and 17 eyes with injection of 125 mg/ml bevacizumab subconjungtiva. The levels of VEGF in the humour aqueous, the stage bleb of conjunctiva by Moorfields Bleb Grading System and IOP were assessed in both groups.
Results : There are statistically significant different in the level of VEGF humour aqueous and bleb vascularity between group with bevacizumab injection compared to without bevacizumab injection. There were no statistically significant different in the high and area of the bleb conjungtiva. IOP in group using injection of bevacizumab is lower than group without injection, however the result were no statistically significant.
Key words: bleb conjunctiva, IOP, trabeculectomy, VEGF humor aqueous
xii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman judul i
Halaman pengesahan iii
Daftar tim penguji iv
Pernyataan keaslian disertasi v
Prakata vi
Abstrak x
Abstract xi
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B Rumusan Masalah 7
C. Tujuan Penelitian 7
1. Tujuan Umum 7
2. Tujuan Khusus 7
D. Manfaat Penelitian 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 9
A. Glaukoma 9
1 Open Angle glaucomas 10
2. Angle Closure Glaucoma 12
3. Developmental anomalies of the anterior chamber angle 13
B. Bagaimana trabekulektomi dilakukan 15
C. Menilai keberhasilan operasi trabekulektomi 17
D. Kegagalan pembentukan bleb konjungtiva 18
E. Sistem grading bleb 26
F. VEGF dan anti VEGF Bevacizumb 27
G. Tekanan intraokular 37
H. Hipotesis penelitian 38
L. Kerangka teori 39
J. Kerangka konsep 40
xiii
BAB III. METODE PENELITIAN 41
A. Rancangan Penelitian 41
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 41
C. Populasi Penelitian 41
D. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel 42
E. Perkiraan Besar Sampel 42
F. Kriteria Sampel 42
G. Ijin Penelitian dan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) 43
H. Cara Kerja 43
I. Alur Penelitian 46
J. Definisi Operasional 47
K. Pengolahan dan Analisis Data 49
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 51
A. Hasil Penelitian 51
B. Pembahasan 66
BAB V. PENUTUP 73
A. Kesimpulan 73
B. Saran 74
DAFTAR PUSTAKA 76
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel1. Karakteristik umum sampel penelitian
51
Tabel 2. Menilai A (area) bleb konjungtiva pada hari 1 54
Tabel 3. Menilai A (area) bleb konjungtiva pada hari 14 54
Tabel 4. Menilai A (area) bleb konjungtiva pada hari 30 55
Tabel 5. Menilai Tinggi (H) bleb konjungtiva pada hari 1
55
Tabel 6. Menilai Tinggi (H) bleb konjungtiva pada hari 14
56
Tabel 7. Menilai Tinggi (H) bleb konjungtiva pada hari 30
56
Tabel 8. Menilai Vaskularisasi (V) bleb konjungtiva pada hari 1
60
Tabel 9. Menilai Vaskularisasi (V) bleb konjungtiva pada hari 14
60
Tabel 10. : Menilai Vaskularisasi (V) bleb konjungtiva pada hari 30
61
xv
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 1. Pembentukan bleb konjungtiva pada kadar VEGF humor akuos pada glaucoma primer tanpa injeksi bevacizumab
52
Grafik 2. Pembentukan bleb konjungtiva pada kadar VEGF humor akuos pada glaucoma primer dengan injeksi bevacizumab
53
Grafik 3. Vaskularisasi bleb pada hari 1 tanpa injeksi bevacizumab 57
Grafik 4. Vaskularisasi bleb pada hari 14 tanpa injeksi bevacizumab 57
Grafik 5. Vaskularisasi bleb pada hari 30 tanpa injeksi bevacizumab
58
Grafik 6. Vaskularisasi bleb pada hari 1 dengan injeksi bevacizumab 58
Grafik 7. Vaskularisasi bleb pada hari 14 dengan injeksi bevacizumab
Grafik 8. Vaskularisasi bleb pada hari 30 dengan injeksi bevacizumab
59
59
Grafik 9. TIO penderita glaucoma tanpa injeksi bevacizumab pada hari 1
62
Grafik 10. TIO penderita glaucoma tanpa injeksi bevacizumab pada hari 14
62
Grafik 11. TIO penderita glaucoma tanpa injeksi bevacizumab pada hari 30 Grafik 12. TIO penderita glaucoma dengan injeksi bevacizumab pada hari 1 Grafik 13. TIO penderita glaucoma dengan injeksi bevacizumab pada hari 14 Grafik 14. TIO penderita glaucoma dengan injeksi bevacizumab pada hari 30
63
63
64
64
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar1. Aliran normal humor akuos mata manusia 9
Gambar 2.Flap konjungtiva dan sklera 16
Gambar 3.Aliran humor akuos setelah trabekulektomi 17
Gambar 4.Arah aliran humor akuos ke subkongtival space 18
Gambar 5. Alur Penelitian 46
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil Pemeriksaan kadar VEGF human humor akuos katarak
80
Lampiran 2. Hasil pemeriksaan kadar VEGF human humor akuos glaukoma 81
Lampiran 3. Hasil pemeriksaan kadar VEGF human humor akuos glaukoma+bevacizumab
82
Lampiran 4. Tabel TIO,Bleb konjungtiva ( tanpa bevacizumab) 83
Lampiran 5. Tabel TIO,bleb konjungtiva pada trabekulektomi+bevacizumab 84
Lampiran 6. Formulir kuesioner penelitian 85
Lampiran 7.
Lampiran 8.
Lampiran 9.
Lampiran 10
Formulir pemeriksaan laboratorium
Formulir adverse event
Formulir persetujuan mengikuti penelitian
Curriculum Vitae
87
88
89
91
xviii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/Singkatan Arti dan Keterangan
TIO
POAG
PACG
VEGF
TGF
CTGF
ROCK
MMPS
NCCN
Tekanan Intra Okuler
Primary Open angle Glaucoma
Primary Angle Closure Glaucoma
Vascular Endothelial Growth Factor
Transforming Growth Factor
Connective Tissue Growth Factor
Rho Associated Serine Threonine Kinase
Matrix Metallo Proteinase
The National Comprehensive Center Network
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutaan akibat penyakit glaukoma menurut World Health
Organization (WHO) menempati urutan ke dua (12,3 %)setelah kebutaan
akibat katarak (47,8 %). Pada tahun 2010 diperkirakan lebih 60,5 juta
orang menderita glaukoma dan meningkat 30 % ditahun 2020 menjadi
79,6 juta penderita (74 % adalah glaucoma primer sudut terbuka). Di
dunia ,47 % Asia adalah penderita glaucoma, dimana 87% adalah
glaucoma primer sudut tertutup. Pada tahun 2010 diperkirakan Kebutaan
dua mata terdapat pada 4,5 juta orang dengan glaucoma primer sudut
terbuka dan 3,9 juta orang dengan glaucoma sudut tertutup meningkat
menjadi 5,9 juta dan 5,3 juta pada tahun 2020 . (Quigley,H,A dkk, 2006)
. Pemberantasan buta katarak yang dilakukan organisasi kesehatan
dunia maupun nasional sampai saat ini telah berjalan dengan baiki,
meskipun demikian angka kebutaan tetap tingggi oleh karena angka
harapan hidup penduduk dunia semakin panjang.
Benua Asia , seperti Asia Tenggara, khususnya Indonesia angka
kebutaan masih sangat tinggi, baik akibat penyakit katarak maupun
glaukoma atau penyakit-penyakit mata lainnya. Berbagai macam program
pemberantasan kebutaan seperti buta katarak telah di lakukan organisasi
2
pemerintah ataupun non pemerintah dalam menekan angka kebutaan
yaitu melalui program operasi katarak secara cuma-cuma. Berbeda
dengan kebutaan akibat glaukoma yang dapat bersifat akut maupun
kronis, walaupun dengan penanganan medikamentosa ataupun bedah,
jika terlambat maka kecil kemungkinannya untuk memperbaiki fungsi
penglihatan. Hal ini disebabkan karena pada glaukoma terjadi kerusakan
serabut saraf optik retina yang bersifat menetap. Keberhasilan dalam
penyelamatan fungsi penglihatan penderita glaukoma apabila pada saat
mendapat penanganan dokter, fungsi penglihatan masih dalam keadaan
baik atau kerusakan serabut saraf optik dan retina masih sangat minimal.
Sel- sel ganglion retina sebagai neurotransmitter rangsang saraf masih
berfungsi baik. Jika telah terjadi kematian sel-sel ganglion (retinal ganglion
cell death) akan berdampak hilangnya penglihatan sebagian (parsial)
atau total yang sifatnya menetap karena pada dasarnya sel-sel saraf tidak
dapat ber regenerasi. (Chen,D.F., Cho,K.S. 2008)
Gangguan fungsi penglihatan berhubungan dengan gangguan sel
saraf optic dan retina, sedangkan saraf optic dan retina bergantung
dengan tekanan intra okuler (TIO). TIO merupakan faktor resiko utama
terjadi kerusakan saraf optik. Oleh sebab itu sangat diperlukan diagnosis
dini dan penanganan segera pada penderita glaukoma. (Lesk, M. R.
2002)
Penanganan secara cepat dan tepat sangat diperlukan dalam
menyelamat kan fungsi penglihatan secara maksimal. Pemberian obat
3
secara oral ataupun topikal sering gagal dalam mengendalikan tekanan
intraokuler. Beberapa faktor kegagalan adalah ketidak patuhan penderita
dalam mengkonsumsi obat secara teratur. Faktor lain adalah sarana atau
obat2 yang tidak selamanya tersedia di semua apotek. Selanjutnya faktor
jarak tempat tinggal penderita dengan tempat2 pelayanan kesehatan dan
tidak meratanya penempatan dokter khususnya dokter spesialis mata di
daerah- daerah yang secara geografis Indonesia terdiri dari banyak pulau-
pulau. Sebagai pilihan dalam penanganan glaucoma di Indonesia adalah
dengan laser atau bedah yang dilakukan untuk mengendalian tekanan
intra okuler.
Pada analisis retrospektif Medicare Beneficiary Encrypte Files
pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2006 penanganan glaucoma
dengan teknik laser trabekuloplasti menempati urutan pertama dan diikuti
bedah trabekulektomi. Penanganan glaucoma dengan pemasangan
―shunt‖ seperti katup Ahmed, implant Baerveld mengalami
peningkatan.(Schmier,J.K., Covert,D.W., Lau,E.C., Robin,A.L. 2009 )
Penanganan secara laser dan pemasangan ―shunt‖ hanya dapat
dilakukan oleh beberapa pusat pelayanan kesehatan mata tertentu karena
alat tersebut relative mahal. Tidak ada pilihan lain penanganan yang
sangat sesuai dilakukan di Indonesia yaitu secara pembedahan. Iridektomi
dan trabekulektomi merupakan jenis pembedahan yang banyak dilakukan
dokter spesialis mata.
4
Tujuan dilakukan pembedahan adalah untuk menurunkan TIO
sebagai faktor resiko utama terjadinya kebutaan pada penderita
glaukoma. Kekurangan operasi glaukoma adalah angka kegagalannya
yang cukup tinggi oleh karena terjadi penutupan kembali saluran keluar
humor akuos ( bleb gagal terbentuk) yang disebabkan pembentukan
jaringan parut subkonjungtiva. Berbagai cara telah dilakukan untuk
mempertahankan saluran humor akuos agar tetap terbuka atau paten
yang ditandai dengan terbentuknya bleb konjungtiva. Penggunaan usapan
antimetabolit 5 fluorouracyl (5-FU) , mytomicin C (MMC) telah dilakukan
dengan mekanisme kerja mengurangi mitosis sel sehingga tdk terbentuk
fibrosis berlebihan jaringan subkonjungtiva. Pemasangan implant
Baerveld, Molteno, katup Ahmed dengan tujuan mempertahankan saluran
trabekulektomi tetap paten dan mencegah terjadinya perlekatan kembali
subkonjungtiva, relative sangat mahal dan memerlukan ketrampilan
khusus dalam pemasangannya. (Boyle,J.W. IV., Netland, P.A. 2010)
Penggunaan usapan obat anti metabolit MMC dan 5-FU sampai
saat ini masih digunakan walaupun mempunyai kekurangan atau dapat
terjadi komplikasi beberapa bulan setelah operasi. Komplikasi yang sering
terjadi seperti hipotoni, nekrosis dan kebocoran bleb konjungtiva ( insidens
sampai dengan 30 % di Afrika) sampai terjadi sklerokeratomalasia bahkan
perforasi bola mata dan endoftalmitis. Oleh karena komplikasi yang
sangat berbahaya terhadap struktur bolamata, maka dicari alternatif lain
dengan harapan saluran trabekulektomi tetap paten dan berfungsi dalam
5
mengalirkan humor akuos ke subkonjungtiva dan TIO akan terkendali
secara baik. (Sheha, H., Liang,L., Scheffer C.,Tseng,G. 2010 )
Anti vascular endothelial growth factor ( VEGF ) di bidang
oftalmologi masih sangat terbatas penggunaannya. Pemberian injeksi
intravitreal sudah sangat luas digunakan dalam penangan proliferative
diabetic retinopati dengan hasil yang sangat memuaskan dalam
memperbaiki fungsi penglihatan dengan menghilangkan neovaskularisasi
ataupun edema didaerah macula akibat iskhemik. (Keane, P. A., Sadda,
S.R . 2012)
Penanganan neovascular glaucoma (NVG) akibat retinopati iskemik
telah dicoba dilakukan dengan hasil yang sangat baik dalam
mengendalkan neovaskularisasi di iris dan trabekula. Yacob YC ,Cheng
dkk pada tahun 2008 melaporkan 3 kasus injeksi intravitreal 0,125 mg
bivacizumab akan menghilangkan neovaskularisasi secara sempurna
dalam 8 hari dan TIO maupun visus terkontrol secara stabil selama 1
bulan dan tdk tampak rekurensi neovaskularisasi sampai dengan 4 bulan.
Pada tahun 2009 Lee S J dkk melaporkan satu kasus NVG akibat Ocular
Ischemic Syndrome (stenosis arteri karotis interna) menunjukkan regresi
neovaskularisasi pada permukaan iris setelah pemberian bevacizumab
intravitreal dengan dosis yang sama. Pada tahun yang sama (2009)
Braouzas D.dkk melakukan injeksi intravitreal dengan interval 1 bln
selama 3 bulan pada 11 penderita glaucoma refrakter. Dari 11 penderita
memerlukan tindakan tambahan seperti dilakukan siklodestruksi dan
6
pemasangan Implant katup Ahmed. Eid T.M dkk tahun 2009 pada
penanganan 20 penderita NVG dengan implant Katup Ahmed yang
sebelumnya diberikan injeksi intravitreal bivacizumab. Hasil penelitian
menunjukan bahwa efektivitas dan keamanan tindakan operasi
pemasangan katub Ahmed dengan injeksi intraviteal Bevacizumab sangat
mendukung tingkat keberhasilan operasi glaucoma. (Brouzas,D.,
Charakidas,A., Moschos,M., Koutsandrea,C., Apostolopoulos, M.,
Baltatzis, S. 2009.)
Penggunaan Bevacizumab subkonjungtiva 0,125 ml teah
dipublikasikan oleh Choi J Y dkk tahun 2010 terhadap 6 penderita
refrakter glaucoma yaitu 2 Neovascular glaukoma, 3 uveitik glaucoma
dan 1 glaukoma sekunder paska vitrektomi. Dilakukan pemeriksaan
berkala sampai dengan 6 bulan memperlihatkan TIO normal tanpa
memerlukan tambahan obat topikal maupun oral. (Choi,J.Y., Choi, J.,Kim,
Y.D. 2010.)
Pada penelitian ini dicoba juga dengan menggunakan anti VEGF
secara subkonjungtiva pre- operasi dengan harapan dapat mengurangi
vaskularisasi subkonjungtiva dan pembentukan jaringan fibroblast
subkonjungtiva secara berlebihan yang akan menggagalkan pembentukan
bleb konjungtiva pasca operasi glaukoma.
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka pertanyaan masalah dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimana pengaruh injeksi bevacizumab subkonjungtiva dalam
mempertahankan terbentuknya bleb konjungtiva untuk menurunkan
tekanan intra okuler penderita glaucoma.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh injeksi bevacizumab subkonjungtiva untuk
mempertahankan terbentuknya bleb konjungtiva dalam menurunkan
tekanan intraokuler penderita glaucoma.
2. Tujuan Khusus:
1. Menilai dan membandingkan kadar VEGF humor akuos penderita
glaucoma dengan injeksi bevacizumab preoperative dan tanpa injeksi
bevacizumab dengan kontrol (penderita katarak)
2. Menilai dan membandingkan besarnya bleb konjungtiva (berdasarkan
Moorfields Bleb Grading System) setelah pemberian injeksi
subkonjungtiva bevacizumab preoperasi trabekulektomi dengan tanpa
injeksi bevacizumab penderita glaucoma
8
3. Menilai dan membandingkan besarnya penurunan tekanan intraokuler
penderita yang diberikan injeksi subkonjungtiva bevacizumab
preoperative dibandingkan dengan tanpa injeksi pada penderita
glaucoma.
D. Manfaat Penelitian
1. Diharapkan hasil penelitian ini bermanfat dalam menambah wawasan
ilmiah dibidang oftalmologi yaitu penanganan trabekulektomi penderita
glaucoma dalam menurunkan tekanan intraokuler menjadi lebih
bermakna dengan menggunakan injeksi subkonjungtiva bevacizumab.
2. Penanganan glaucoma secara pembedahan dengan menambah injeksi
bevacizumab subkonjungtiva oleh dokter spesialis mata akan
meningkatkan angka keberhasilan dalam menurunkan TIO dan
meminimalisasi komplikasi akibat penggunaan obat antimetabolit
3. Pelayanan kepada masyarakat dalam penanganan glaucoma menjadi
lebih efektif dalam menekan angka kebutaan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Glaukoma
1. Definisi
Glaukoma merupakan suatu keadaan dimana terjadi neuropati
saraf optik yang ditandai dengan adanya defek lapangan pandang sampai
dengan kebutaan, dan penyebab utamanya adalah peninggian tekanan
intraokuler (AAO). Besarnya tekanan intra okuler (TIO) sangat ditentukan
oleh terbentuknya dan pengaliran keluar humor akuos. Tekanan
intraokuler dinilai normal jika terjadi keseimbangan antara sistem produksi
humor akuos pada epitel korpus siliar dengan system aliran keluar humor
akuos melalui trabekula dan kanalis Schlemm (Maresco,J.G., Gandham,
S. 2002).
Gambar 1 Aliran normal humor akuos mata manusia
(Dikutip dari Maresco,J.G., Gandham, S. 2002 )
10
Peningkatan tekanan intra okuler terjadi jika terdapat ketidak
seimbangan antara produksi dan aliran keluar humor akuos. Jika
produksinya meningkat atau terjadi hambatan aliran keluar humor akuos
maka akan terjadi akumulasi humor akuos pada segmen anterior
bolamata sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra okuler.
Tekanan intra okuler yang meningkat ini secara cepat atau lambat akan
menyebabkan kerusakan dan kematian sel-sel ganglion retina sehingga
terjadi defek lapangan pandang dan berakhir dengan kebutaan (Tink,J.T.,
Barnstable,C.J.2008 ).
Klasifikasi glaucoma berdasarkan latar belakang abnormalitas
penyebab peninggian TIO. Pemahaman tentang mekanisme terjadinya
obstruksi sehingga terjadi peningkatan TIO menjadi dasar strategi dalam
penanganan glaucoma. Pertama glaucoma di bagi atas glaucoma sudut
terbuka, glaucoma sudut tertutup dan glaucoma dengan adanya
perkembangan anomaly. Selanjutnya glaucoma dibagi atas subdevisi
dengan kelainan yang menyertainya (Blanco.A.A., Wilson R,P., Costa,V.P
2002).
I. Open-angle glaucomas
A. Idiopathic
1. Chronic (primary) open-angle glaucoma
2. Normal-tension glaucoma
B. Accumulation of material obstructing the trabecular meshwork
1. Pigmentary glaucoma
11
2. Exfoliative glaucoma
3. Steroid-induced glaucoma
4. Inflammatory glaucoma
5. Lens-induced glaucoma
a. Phacolytic
b. Lens-particle
c. Phacoanaphylactic glaucomas
6. Ghost cell glaucoma
7. Neoplastic cell-induced glaucoma
8. Silicone oil-induced glaucoma
9. Others
C. Other abnormalities of the trabecular meshwork
1. Posner-Schlossman (trabeculitis)
2. Traumatic glaucoma (angle recession)
3. Chemical burns
4. Others
D. Elevated episcleral venous pressure
1. Sturge–Weber syndrome
2. Thyroidopathy
3. Retrobulbar tumors
4. Carotid-cavernous fistula
5. Cavernous sinus thrombosis
6. Others
12
II. Angle closure glaucomas
A. Pupillary block
1. Primary angle closure glaucoma (acute, sub-acute, chronic, mixed
mechanism)
2. Lens-induced glaucoma
a. Phacomorphic glaucoma
b. Lens subluxation
3. Posterior synechiae
a. Inflammatory
b. Pseudophakia
c. Iris-vitreous
B. Anterior displacement of the iris/lens
1. Aqueous misdirection
2. Plateau iris syndrome
3. Lens-induced glaucoma
a. Phacomorphic glaucoma
b. Lens subluxation
4. Cysts and tumors of the iris and ciliary body
5. Chorio-retinal abnormalities
a. Scleral buckle
b. Suprachoroidal hemorrhage
c. Tumors
d. Post panretinal photocoagulation
13
e. Retrolenticular contracture (PHPV)
f. Retinopathy of prematurity
C. Membranes and tissues obstructing outflow
1. Neovascular glaucoma
2. Inflammatory glaucoma
3. ICE syndrome
4. Epithelial and fibrous downgrowth
5. Vitreous
6. Others
III. Developmental anomalies of the anterior chamber angle
A. Isolated anomaly of the anterior chamber angle. Primary congenital
glaucoma
B. Glaucoma associated with other ocular or systemic developmental
disorders
1. Aniridia
2. Axenfeld–Rieger syndrome
3. Peter‘s anomaly
4. Nanophthalmos
5. Other developmental disorders
Penanganan secara cepat diperlukan untuk mencegah kematian
sel-sel ganglion yang lebih lanjut dengan menurunkan TIO dengan cara
pemberian medikamentosa, laser ataupun secara pembedahan.
Penanganan dengan laser seperti laser trabekuloplasty, laser iridotomi
14
dan iridoplasty meningkat penggunaannya secara bermakna oleh karena
penanganannya mudah dan resiko infeksi tidak pernah terjadi. Walaupun
mudah, biaya untuk menyediakan alat tersebut tidaklah murah.
(Schmier,J.K., Covert,D.W., Lau,E.C., Robin,A.L. 2009 )
Pemberian obat-abatan secara topical (tetes mata) dan oral seperti
golongan prostaglandin analog, beta bloker, miotikum, penghambat
karbonik anhidrase masih sering digunakan. Penggunaan obat tersebut
harus secara terus menerus untuk menekan TIO ke batas normal.
Penggunaan yang rutin ini sehingga pengobatan medikamentosa
mempunyai banyak keterbatasannya, selain tidak tersedia merata di
semua daerah, kepatuhan penderita dalam mengkonsumsi obat tersebut
secara teratur serta efek samping obat yang ditimbulkan masih menjadi
permasalahan. (Costa, V.P., Wilson, R .P., Blanco, A. A. 2002)
Penanganan dengan menggunakan alat laser yang relatif mahal
dan belum tersedia di semua rumah sakit daerah. Pilihan terbaik di
Negara kita adalah penanganan secara pembedahan.
Teknik bedah yang dapat dilakukan untuk hampir semua jenis
glaucoma adalah trabekulektomi yaitu suatu teknik bedah mikro dengan
mengalirkan humor akuos dari bilik mata belakang langsung ke
subkonjungtiva melalui suatu flap sclera.( Schmier, J.K.MA., David, W.
2003)
15
B. BAGAIMANA TRABEKULEKTOMI DILAKUKAN.
Anatomi konjungtiva yaitu melekat secara longgar terhadap
jaringan episclera di bawahnya. Oleh karena konjungtiva bersifat elastic
dan longgar maka mudah terisi oleh cairan seperti akibat proses inflamasi
yang disebut khemosis konjungtiva. Khemosis konjungtiva dalam waktu
beberapa hari akan terserab oleh tubuh sehingga konjungtiva akan normal
kembali. Sifat konjungtiva yang demikian ini dimanfaatkan sebagai tempat
penampungan cairan humor akuos dari bilikmata belakang langsung ke
subkonjungtiva melalui proses operasi yaitu trabekulektomi.
Trabekulektomi adalah suatu operasi by pass yang mengalirkan cairan
humor akuos dari bilik mata belakang langsung ke subkonjungtiva
dengan membuat flap konjungtiva dan flap sclera dengan memotong
keluar sebagian kecil jaringan trabekula dan iris. (Luntz, M. H
.,Trope,G.E. 2005)
Flap konjungtiva dibuat untuk membebaskan konjungtiva dari
episclera di bawahnya agar terbentuk ruang tempat menampung humor
akuos sehingga terbentuk tonjolan yang disebut bleb konjungtiva. Flap
konjungtiva dapat dibuat secara limbal based atau fornix based.
(Migdal,C., Trope,G.E. 2005)
Flap sclera dibuat sebagai fungsi katup yang mengalirkan humor
akuos secukupnya ke subkonjungtiva sehingga TIO dalam batas normal.
Ukuran flap sclera btk persegi empat 4x4 atau 4x5 mm. Sering pula dibuat
flap sclera bentuk segitiga. (Migdal,C., Trope,G.E. 2005)
16
Pemotongan keluar jaringan trabekula (selebar 2x2 atau 2x3 mm)
dan jaringan iris (iridektomi perifer) dengan tujuan membuat saluran
keluar secara langsung humor akuos dari bilik mata belakang melewati
katup flap sclera ke sub konjungtiva. Iredektomi dilakukan untuk
mencegah tertutupnya lubang trabekulektomi oleh iris. Penjahitan flap
sclera dan konjungtiva dengan menggunakan benang nilon 10-0. Teknik
penjahitan dapat dilakukan secara terputus (interuptud) atau dapat dilepas
(releasable suture).( Migdal,C., Trope,G.E. 2005)
Gambar 2 : Flap konjungtiva (a, b, c) dan flap sclera (d, e, f )
Dikutip dari: Luntz, M. H .,Trope,G.E. 2005. Glaucoma: Surgical Anatomy.
Glaucoma Surgery.
17
Gambar 3 : Aliran humor akuos setelah trabekulektomi, (1) iridektomi, (2) bilik mata depan, (3) ostium atau window, (4) flap sclera, (5) bleb konjungtiva dan (6)
vena epoisklera(Luntz, M. H .,Trope,G.E. 2005 : Surgical Anatomy. Glaucoma Surgery.)
Pemotongan keluar jaringan trabekula (selebar 2x2 atau 2x3 mm) dan
jaringan iris (iridektomi perifer) merupakan saluran keluar secara langsung
humor akuos dari bilik mata belakang melewati katup flap sclera ke sub
konjungtiva.( Peng Tee Khaw et all 2005)
C. MENILAI KEBERHASILAN OPERASI TRABEKULEKTOMI
Operasi trabekulektomi bertujuan untuk menurunkan TIO ke
tekanan yang aman terhadap sel-sel ganglion retina . Jika TIO turun ke
normal dan diharapkan tidak terjadi perluasan defek lapangan pandang
yang lebih lanjut, maka dianggap operasi trabekulektomi berhasil. (Kolker,
A.E.2003)
18
Selain itu keberhasilan operasi glaucoma dengan melihat bleb
konjungtiva yang terbentuk. Adanya bleb membuktikan saluran by pass
dari bilik mata belakang ke subkonjungtiva masih berfungsi dengan baik.
Besarnya bleb sangat bergantung kepada besarnya TIO atau produksi
humor akuos. Makin besar produksi humor akuos (menaiknya TIO) maka
makin besar pula bleb konjungtiva yang terbentuk. (Khaw,P. T., Trope,
G.E. 2005).
D. KEGAGALAN PEMBENTUKAN ―BLEB KONJUNGTIVA‖
Pasca operasi trabekulektomi yang pertama kali dinilai
adalah terbentuknya bilik mata depan dan bleb konjungtiva. Jika tdk
terbentuk pada hari pertama pasca operasi, maka kemungkinan besar
saluran trabekulektomi tersumbat oleh bekuan darah atau saluran yang
tdk paten.
Gambar 4 :Arah aliran humor akuos (tanda panah radier) ke subconjungtival space melalui flap sclera (penampang frontal)
(dikutip dari Khaw,P. T., Trope, G .E. 2005 . Advances in the Modulation of Wound Healing Including Large Treatment Areas and Adjustable Sutures . Glaucoma Surgery.)
19
(window trabekulektomi terlalu kecil atau iridektomi yg tdk paten atau kecil
sehingga terjadi prolaps iris yang menutup fistula), adanya kebocoran flap
konjungtiva ataupun telah terjadi hipotoni . Jika tersumbat oleh bekuan
darah maka masase bola mata sangat diperlukan untuk memaksa aliran
keluar humor akuos ke subkonjungtiva sehingga bleb terbentuk. Jika bleb
tetap tidak terbentuk setelah masase bolamata maka kemungkinan besar
saluran yang dibentuk (trabekulektomi dan iridektomi) tidaklah paten,
maka operasi harus diulang dengan memperbaiki saluran yang dibuat.
Hipotoni terjadi akan menyebabkan bilik mata depan tidak terbentuk,
kemungkinannya oleh karena terjadi kebocoran bleb konjungtiva,
sehingga diperlukan jahitan tambahan pada konjungtiva.( Healey, P. R.,
Trope, G. E. 2005 )
Faktor eksternal yang terpenting terjadinya kegagalan
trabekulektomi adalah tidak terbentuknya ruang antara jaringan episklera
dan subkonjungtiva (bleb konjungtiva). Pembentukan fibroblast, sintesis
ekstraseluler dan terbentuknya jaringan fibrosis konjungtiva sangat
berperan penting terhadap kegagalan operasi. (Fuller,J.R., Bevin, T.H.,
Molteno, A.C.B., Vote,B.J.T., Herbison, P. 2002)
Peranan beberapa faktor antara lain Kemotaktik faktor pada
fibroblast seperti limfokin, komplemen, native kolagen tipe I dan tipe IV,
fibronektin, proteolitik fragmen kolagen-fibronektin dan platelet derivate
growth factor pada proses tersebut . Adanya bekuan darah subkonjungtiva
juga meningkatkan kemungkinan kegagalan pembentukan bleb. Adanya
20
serum darah subkonjungtiva termasuk fibronektin dan platelet derivate
growth factor akan menstimuli migrasi fibroblast dan proliferasi. Makrofag
juga aktif dalam darah yang akan menginduksi respon fibroproliferatif
pada penyembuhan luka. (Healey, P. R., Trope, G. E. 2005).
Jika bleb dibiarkan lama tidak terbentuk maka terjadi fibrosis
jaringan subkonjungtiva dan akan sulit terbentuk bleb pada operasi
trabekulektomi. (Fuller,J.R., Bevin, T.H., Molteno, A.C.B., Vote,B.J.T.,
Herbison, P. 2002)
Beberapa faktor resiko tinggi yang menyebabkan kegagalan
operasi trabekulektomi seperti teknik operasi yg kurang baik , juga
tergantung dari jenis glaucoma seperti glaucoma sekunder oleh karena
neovaskuler, uveitis, post traumatic, lens induced glaucoma. Faktor resiko
lain yang juga berperan adalah penderita umur muda dan ras kulit hitam.
(Healey, P. R., Trope, G. E. 2005).
Penyembuhan luka operasi dipicu oleh aktivasi body innate
immunity dengan ditandai secara karakteristik pada fase akut berupa
inflamasi, fase intermediate berupa pembentukan jaringan granulasi dan
fase kronik dengan pembentukan jaringan parut. Pada proses
penyembuhan luka akan dimediasi oleh sejumlah sel pertumbuhan yang
menyebar secara kompleks seperti cytokines, chemokines dan mediator
non protein. Trabekulektomi merupakan prosedur operasi yang berbeda
dengan operasi yang lain dimana diharapkan adanya hambatan
21
penyembuhan luka agar hasil operasi akan memberikan hasil yang baik
berupa pembentukan bleb dan penurunan TIO. (Healey, P. R., Trope, G.
E. 2005).
Pada penelitian sebelumnya terjadinya kegagalan pembentukan
bleb oleh karena pasca trauma operasi terjadi pelepasan plasma protein
seperti fibrinogen, fibronectin dan plasminogen berupa gel-like fibrin-
fibronectin didalam sel-sel inflamasi (monosit dan makrofag). Makrofak
dan monosit akan terlihat pada 12 jam pasca trauma dan mencapai
puncaknya pada hari ke tiga. Respon inflamasi di aktivasi oleh makrofag
termasuk aktifasi limfosit dan fibroblast. T sel akan terlihat pada hari
kelima sampai dengan puncaknya pada akhir minggu ke dua. Spesifik T
sel akan melepaskan sitokine untuk mengontrol aktifasi proliferasi
fibroblast. Matriks fibrin-fibronectin didegradasi oleh sel-sel inflamasi dan
fibroblast dan akan mensintesis fibronektin , kolagen interstitial dan
glikosaminoklikan untuk membentuk jaringan granulasi fibrovaskuler.
(.Sheha, H. 2011)
Pada proses proliferasi, fibroblast berdeferensiasi secara bertahap
yang di mediasi oleh beberapa faktor seperti : transforming growth factor
(TGF)- beta, connective tissue growth factor (CTGF), Rho-assosiated
serine- threonine kinase (ROCK 1) dan matrix-mettalloproteinase (MMPs)
(.Sheha, H. 2011).
22
Adanya diferensiasi baru transforming myofibroblast akan mensekresi
matriks ekstraseluler kedalam komponen dasar actin dan akan
membentuk jaringan parut yang kuat. Pembuluh darah mengalami retraksi
dan fibroblast menghilang dan membentuk remodeling jaringan parut
kolagen subkonjungtiva.(. Sheha, H. 2011)
(dikutip dari Hosam Sheha, Update on Modulating Wound Healing in Trabeculectomy. Glaucoma - Basic and Clinical Concepts)
Proses fibrosis merupakan suatu akhir dari suatu proses inflamasi akibat
tindakan pembedahan sampai terjadi proses penyembuhan. Proses
terjadinya luka (pembedahan) sampai terjadi penyembuhan (pembentukan
23
jaringan baru) terjadi dalam beberapa tahap yaitu : proses perdarahan
(bleeding), proses inflamasi, proses proliferasi sampai dengan
pembentukan jaringan baru (remodelling). (Keast ,D., Orsted, H.R.N)
(dikutip dari :Tim Watson. Soft Tissue Wound Healing :review. Soft Tissue Healing and Repair)
Pada saat trauma pertama kali terjadi perdarahan yang diikuti
dengan kontraksi penampang pembuluh darah dan pembentukan bekuan-
bekuan darah. Setelah berlangsung proses hemeostasis diikuti pula
dilatasi pembuluh darah untuk melepaskan selsel penting seperti antibody,
sel darah putih, faktor-faktor pertumbuhan , enzyme dan nutrisi yang
mengarah ke daerah luka dengan terjadi peningkatan pembentukan
eksudat sebagai pertanda maserasi jaringan. Stadium inflamasi ditandai
secara karakteristik dengan adanya eritema, edema, nyeri, panas dan
penurunan fungsi jaringan. Sel-sel yang menonjol pada stadium ini
adalah sel fagositer seperti makrofag, neutrofil. (Watson, T. 2006 ).
Pada stadium proliferasi peranan VEGF (vascular endothelial
growth factor) dengan membentuk jaringan granulasi baru yaitu campuran
24
jaringan kolagen dan matriks ekstraseluler yang akan membentuk jaringan
pembuluh darah baru yang dikenal sebagai proses angiogenesis. VEGF
berperan pada transport glukosa endotel dan menyebabkan ekspresi
kolagenase interstitial. Kolagenase dan plasminogen adalah protease
yang memungkinkan migrasi sel-sel endotel melalui interstitium atau
exudates fibrinous selama angiogenesis. Jaringan granulasi sehat
merupakan jaringan fibroblast yang berwarna merah muda atau merah
dan tidak mudah berdarah oleh karena mendapat asupan nurtisi dan
oksigen yang cukup. Warna dan keadaan jaringan granulasi sebagai
indicator bagaimana proses penyambuhan luka terjadi. Warna gelap
sampai kehitaman menunjukan adanya perfusi yang buruk , iskemia
terjadi nekrosis jaringan atau infeksi. Tahap akhir stadium ini adalah
penutupan permukaan dengan jaringan epitel yang dikenal sebagai
epitelisasi.
Stadium terakhir adalah stadium maturasi atau remodelling dimana
terjadi penutupan luka secara sempurna. Pada stadium ini terjadi
remodelling colagen dari tipe III ke tipe I. Aktifitas seluler akan menurun
dan jumlah pembuluh darah disekitar luka akan regresi dan berkurang.(
Watson, T. 2006 )
Kegagalan pembentukan bleb konjungtiva pasca bedah glaukoma,
salah satu faktornya adalah pada stadium proliferasi dimana terbentuk
jaringan granulasi dan pembuluh darah baru (angiogenesis) sehingga bleb
25
tidak terbentuk dan dapat menutup lubang trabekulektomi.( Healey, P. R.,
Trope, G. E. 2005 )
Untuk mencegah terjadinya proliferasi jaringan yang berlebihan
jaringan subkonjungtiva pada penelitian sebelumnya, maka durante
operasi trabekulektomi diaplikasikan subkonjungtiva dengan pemberian
antimetabolit seperti 5 fluoro-uracyl atau dengan mytomicin C. Efek
samping 5-FU dan mytomicin adalah terjadi kebocoran bleb sampai
dengan perlunakan bahkan perforasi jaringan sclera dan berakhir dengan
endoftalmitis. A. Alwitry dkk melaporkan insidens kebocoran bleb pd
operasi trabeklektomy dengan menggunakan antimetabolit mencapai 56
%. Kebocoran bleb dapat terjadi segera setelah operasi, beberapa bulan
bahkan beberapa tahun kemudian. Chen thn 1983 memperkenalkan
penggunaan anti metabolit mytomicin C (MMC) dan 5- fluorouracil (5-FU)
yang diaplikasikan intraoperatif trabekulektomi. Kedua anti metabolit
bekerja dengan menimbulkan apoptosis yang bersifat non selective cell
death. Konsentrasi 5-FU yang diaplikasikan intraoperatif 5 menit sebesar
50 mg/ml atau MMC 0,1 – 0,5 mg/ml pada permukaan sclera
menggunakan sponge. Selanjutnya dilakukan irigasi untuk membersihkan
sisa sat antifibrotik tersebut.( Alwitry,A., Rotchford,A., Patel,V.,
Abedin,A.,Moodie,J.,King,A.J. 2009)
Komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan anti
metabolit tersebut, maka pada penelitian ini akan menggunakan anti
VEGF dalam meningkatkan keberhasilan operasi trabekulektomi
26
penderita glaucoma dengan melihat indicator pembentukan bleb dan nilai
TIO.
E. SISTEM GRADING ―BLEB‖
―Bleb‖ merupakan penonjolan area konjungtiva dekat limbus kornea
dimana operasi trabekulektomi dilakukan yang merupakan tempat
penampungan humor akuos . Bleb terbentuk jika TIO tinggi (glaucoma)
dan saluran trabekulektomi yang paten. Terbentuknya bleb menunjukkan
keberhasilan operasi glaucoma dengan melihat penurunan TIO. (Healey,
P. R., Trope, G. E. 2005)
Menurut ― Moorfields Bleb Grading System‖ (MBGS) ada tiga
criteria utama yang harus dinilai terhadap bleb konjungtiva yaitu area
(Area), ketinggian bleb (Height) dan vaskularisasi bleb. Area bleb dinilai
dengan membandingkan area maksimal bleb (tepi perifer bleb)
dibandingkan dengan area total konjungtiva atau demarkasi puncak bleb
terhadap flap sclera di bawahnya dan diberi nilai 1 sampai dengan 5 yaitu
1= 0% (bleb yg tdk erbentuk), 2= 25%, 3= 50%, 4= 75% dan 5= 100%.
Menentukan tepi bleb yaitu dengan melihat elevasi pembuluh darah
konjungtiva diatasnya dengan pembuluh darah episklera di bawahnya.
Menentukan tinggi bleb yaitu dengan membandingkan referensi fotografi
ketinggian bleb dengan melihat titik tengah sebagai puncak dari bleb, dan
diberi nilai 1 sampai dengan 4. Vaskularisasi bleb di nilai mulai tepi
peripheral ke pertengahan bleb, dibandingkan dengan referensi fotografi
27
bleb konjungtiva dan dinilai 1= avaskuler, 2= vaskularisasi normal, 3=
vaskularisasi inflamasi ringan, 4= vaskularisasi inflamasi sedang dan 5=
vaskularisasi inflamasi berat (Healey, P. R., Trope, G. E. 2005)
1
2
3
Area
Height Vascularity
a) Central b) Maximal
Bleb Photograph Grading System
(dikutip dari Paul R. Healey,Graham E. Trope. The Failing Bleb: Risk Factors and Diagnosis. Glaucoma Surgery.)
F. VEGF DAN ANTI VEGF ―BEVACIZUMAB‖
VEGF merupakan glikoprotein hemodinamik (20 % asam amino
homolog dari Platelet derivad growth factor= PDGF). yang dihasilkan oleh
28
beberapa jenis sel pada respon terhadap berbagai macam stimuli. VEGF
diproduksi oleh beberapa sel yang ikut berperan dalam proses
penyembuhan luka seperti, sel-sel endotel, fibroblast, sel-sel otot halus,
platelet, neutrofil dan makrofag. Gen VEGF manusia terkelompok dalam
delapan ekson yang di pisahkan oleh tujuh intron. Ekson tersebut akan
memperlihatkan lima bentuk isoform berbeda yang merupakan hasil
mRNA dengan lengan rantai VEGF 121, VEGF 145, VEGF 165, VEGF
189 dan VEGF 206 asam amino. VEGF 165 dan VEGF 121 mempunyai
efek dominan terhadap pertumbuhan pembuluh darah sedangkan VEGF
189 berperan penting dalam proses fibrosis. VEGF mengendalikan
proses fibrosis melalui angiogenesis, tetapi pada keadaan tertentu akan
berperan secara langsung pada aktifitas fibroplastik. VEGF berperan
sebagai mediator dalam transduksi signal cascade dan akan timbul
migrasi dan proliferasi. VEGF berperan sebagai induksi angiogenesis
yang kuat akan tetapi juga berperan dalam menyokong migrasi dini sel-sel
inflamasi dan fibroblast. Peran VEGF dalam suatu proses penyembuhan
luka yaitu menstimulasi angiogenesis. Angiogenesis dalam suatu proses
penyembuhan luka melalui beberapa tahapan yaitu proses vasodilatasi,
degradasi membrane basalis, migrasi sel-sel endotel dan proliferasi sel-
sel endotel. Terbentuknya tubulus kapiler diikuti anastomosis parallel
kapiler (loop kapiler) dan terakhir membentuk membrane basalis yang
baru. (Bao P dkk, 2009)
29
Vasodilatasi.
Sifat unik VEGF adalah kemampuannya meningkatkan
permiabilitas pembuluh darah sehingga dianggap sebagai vascular
permeability factor (VPF). VEGF lebih poten dibandingkan histamine
dalam menginduksi kebocoran vaskuler. VEGF akan berikatan dengan
reseptor KDR, menstimulasi sintesa nitrit oksid (NOS) dan aktifitas siklo-
oksigenase. NO dan prostasiklin secara bersamaan meningkatkan
vasodilatasi dan permiabilitas pembuluh darah. Vasodilatasi dan
permiabilitas kapiler juga akan meningkatkan sensitivitas endothelial untuk
melepaskan faktor pertumbuhan yaitu dengan ekspresi VEGF. (Bao P dkk
2009)
Degradasi membran basalis
Di dalam sel endotel VEGF menginduksi faktor prokoagulan seperti
Von Willebrand factor . Faktor ini akan memediasi agregasi dan adesi
platelet untuk mensintesa dan melepaskan VEGF yaitu dengan
meningkatnya konsenrasi protein local, aktifnya cascade koagulasi dan
generasi akhir thrombin dan fibrin. Trombin akan mengaktifkan endothelial
progelatinase A. VEGF sendiri secara langsung meningkatkan sel
endothelial untuk mensekresi interstitial collagenase (MMP-1), tissue
inhibitor of metalloproteinase (TIMP-1) dan gelatinase A (MMP-2). VEGF
juga menginduksi dose- dependent expression of urokinase dan tissue
type plasminogen activator (uPA dan tPA) dan juga plasminogen activator
30
inhibitor-1 (PAI-1). VEGF juga menstimulasi sel-sel otot polos pembuluh
darah untuk melepaskan MMP-1, MMP-3 dan MMP-9.(Bao P dkk 2009).
VEGF pada lingkungan local pembuluh darah akan memperlihatkan
keseimbangan enzimatik antara penyokong dan penghambat untuk
menuju ke tahapan migrasi sel endothelial. MMP-2 akan menurunkan
kolagen type IV (unsur pokok membrane basalis vaskuler), MMP-1 juga
menurunkan kolagen tipe I-III. Plasmin memecah ikatan karboksi-heparin
VEGF 165,189 dan 206 untuk melepaskan aktifitasnya dalam bentuk larut.
Aktifitas enzimatik ini akan meningkatkan pelepasan VEGF lebih jauh.
Pada akhirnya lingkungan proteolitik akan menghancurkan struktur
elemen membrane basalis dan matriks ekstraseluler dan memfasilitasi
endothelial bergerak menuju ke ruang ekstravaskuler (Bao P dkk 2009).
Migrasi sel endothelial
VEGF menginduksi migrasi sel sendotel dalam proses
penyembuhan luka melalui dua mekanisme primer yaitu kemotaksis dan
vasodilatasi. Fase utama angiogenesis adalah migrasi sel endotel
sebelum tahap mitosis.
Mekanisme I : Kemotaksis merupakan suatu proses yang
melibatkan cell adhesion molleculer berinteraksi dengan matriks
ekstraseluler.
Mekanisme II: Meningkatnya permiabilitas vaskuler. Mekanisme
lain VEGF yaitu menginduksi sel-sel endotel bermigrasi dalam proses
31
penyembuhan luka dengan meningkatkan permiabilitas vaskuler yang di
mediasi oleh NO dan prostasiklin. Terlepasnya protein fibrinogen plasma
akan mengakibatkan perubahan suatu gel fibrin untuk merangsang
migrasi endotel di dalam ruang ekstraseluler. (Bao P 2009)
Proliferasi sel endotel
VEGF dianggap sebagai suatu mitogen selektif untuk sel endotel.
Ini belum jelas molekul yang mentrasduksi signal mitogen, tetapi NO dan
cGMP tampaknya terlibat. VEGF menginduksi sel-sel endotel bertumbuh
ke permukaan matriks kolagen menuju matriks dasar dan menstimulasi
respons proliferasi (Bao P, 2009).
Efek biologis VEGF di mediasi oleh dua reseptor tyrosine kinase
(RTK) yaitu VEGFR-1 dan VEGFR-2 yang ditemukan pada sel-sel endotel
vaskuler arteri, vena dan limfatik. Melalui ikatan VEGFR-2, secara
langsung VEGF akan merangsang proses angiogenesis. VEGF pada sel-
sel endotel akan berikatan dengan reseptor transmembran spesifik
(Olsson,A.K., Dimberg,A., Kreuger,J.,Welsh,L.C. 2006)
Pada tahun 1983 Senger menemukan bahwa VEGF merupakan
penghasil tumor derivate factor yang akan meningkatkan permiabilitas
mikrovaskuler pada arteri, vena maupun kapiler. VEGF mempunyai empat
aktifitas biologi utama yang semuanya berperan pada induksi
angiogenesis yaitu (1) untuk pertumbuhan dan proliferasi sel-sel endotel
vaskuler, (2) migrasi sel sel endotel vaskuler, (3) survival sel-sel endotel
32
yang immature untuk mencegah apoptosis dan (4) meningkatkan
permiabilitas kapiler. Dalam keadaan normal VEGF mengontrol proses
angiogenesis dengan memelihara derajat neovaskularisasi dalam batas
normal. Ekspresi VEGF pada embryogenesis adalah penting untuk
perkembangan vaskuler. Gangguan pada allel VEGF menyebabkan
pembentukan vascular menjadi tidak sempurna. VEGF juga berperan
dalam perubahan pembuluh darah immature yang dihasilkan oleh
vasculogenesis. Pada angiogenesis postnatal, kerja VEGF pada
pembuluh darah immature berupa pemanjangan dan mencegah terjadinya
apoptosis sel-sel endotel. Jika VEGF tidak ada maka pembuluh darah
immature akan mengalami regresi. VEGF juga berfungsi sebagai mitogen
sel sel endotel yang merupakan faktor survival sel-sel endotel untuk
mencegah terjadinya apoptosis. (Takahashi, H., Shibuya,M. 2005)
Suatu proses penyembuhan luka normal yaitu terbentuknya
jaringan granulasi yaitu jaringan fibrovaskuler yang mengandung
fibroblast, kollagen dan pembuluh darah. Komponen vaskuler tergantung
dari adanya angiogenesis, dimana pembuluh darah terlihat secara dini
pada hari ketiga setelah luka. Kapiler bertumbuh kedalam luka
memberikan saluran nutrisi dan mediator lain sebagai respons
penyembuhan dengan menyingkirkan metabolit-metabolit. Penghambatan
angiogenesis akan menghalangi proses penyembuhan.(Bao dkk 2009).
Respons seluler bervariasipada luka termasuk pelepasan VEGF.
Platelet merupakan komponen pertama yang terlihat pada tepi luka, dikuti
33
neutrofil dan makrofak. Aktifitas platelet melepaskan VEGF, terutama
setelah stimulasi thrombin. Monosit berperan keduanya baik langsung
maupun tidak langsung efek angiogenik selama proses penyembuhan
luka. Monosit mengekspresikan VEGFR-1dan respon kemotaktil VEGF.
Segera setelah melibatkan jaringan, makrofaq akan menginduksi
angiogenesis dimana sebagian terjadi pelepasan TNF- α, yang mana
pada gilirannya menginduksi ekspresi VEGF pada keratinosit dan
fibroblast. Sel sel yang terlibat dalam proses penyembuhan melepaskan
sitokin dan faktor- faktor pertumbuhan yang bekerja sebagai faktor
paracrine untuk ekspresi VEGF. Faktor- faktor yang menginduksi
transkripsi dan sekresi VEGF yaitu: TGF-β1, EGF,TGF-α dan KGF
(berasal dari keratinosit dan sel-sel otot polos arteri) dan bFGF, PDGF-BB
dan IL-1β (berasal dari sel-sel otot polos aorta). (Bao P, 2009)
Pada operasi trabekulektomi, terjadinya kegagalan penurunan TIO
oleh karena bleb yang tidak terbentuk akibat proliferasi yang berlebihan
pada proses penyembuhan luka konjungtiva. Pemberian anti VEGF
subkonjungtiva perioperatif akan menghambat peningkatan VEGF secara
rasional sehingga tidak terjadi proliferasi berlebihan sampai dengan
sikatrisasi subkonjungtiva sehingga ―bleb‖ tetap terbentuk.( Khanna,A.
2012 ).
Choi J Y dkk melakukan pemberian injeksi subkonjungtiva pada laporan
kasus seri 6 penderita dengan glaucoma refrakter (Glaukoma yg gagal
secara berulang setelah penanganan laser ataupun bedah) . Enam
34
penderita adalah glaucoma neovaskuler (NVG) dan glaucoma inflamatori.
Penderita sudah mendapat penanganan dengan pemberian anti metabolit
MMC dan 5-FU, penanganan laser bahkan pemasangan GDD (glaucoma
drainage device) Ahmed Valve. Setelah pengamatan 6 bulan pasca
operasi trabekulektomi dengan pemberian subkonjungtiva Avastin™
(bevacizumab subkonjungtiva 1,25 mg), TIO terkontrol 10- 16 mmHg
tanpa pemberian obat medikamentosa tambahan.( Choi,J.Y., Choi, J.,Kim,
Y.D. 2010.)
Antibodi anti VEGF akan mengikat VEGF dengan mengeliminasi
VEGF bebas dan mencegah VEGF berikatan dengan reseptornya.
Sasarannya adalah (1) antibody yang diciptakan secara khusus dan
hanya berikatan dengan VEGF, (2) dengan penghambatan VEGF,
antibody dapat menghambat aktifitas VEGF pada semua reseptor dan
interaksinya (VEGFR-1, VEGFR-2 dan coreseptor neurofillin-1), akibatnya
efek proangiogenik dari VEGF yang dimediasi oleh semua reseptornya
dapat dihambat dengan sasaran VEGF, (3) pengikatan semua VEGF
bebas secara sempurna dengan menghambat VEGF yang dimediasi
perangsangan reseptor VEGF. (Ferara, N. , Gerber, H. P., Cauter, J. L.
2003)
Kerja anti VEGF dengan cara regresi neovaskularisasi yaitu terjadi
apoptosis sel endotel dan menurunnya diameter, densitas dan
permiabilitas pembuluh darah primate pada binatang coba. Efek ini
35
menyebabkan penghambatan efek prosurvival VEGF pada pembuluh
darah yang immature. (Kimoto, K., Kubota, T. 2012)
Pada awalnya penggunaan obat anti VEGF dalam bidang
oftalmologi adalah off-label. Sejak tanggal 1 Februari 2008 The National
Comperehensive Cancer Network (NCCN) mengeluarkan peraturan
penggunaan anti VEGF untuk indikasi non-oncology dalam penanganan:
(1) Neovascular Age Retinal Macular Degeneration (ARMD), (2) Diabetic
36
Macular Edem, (3) Sekunder macular edema akibat oklusi cabang vena
retina sentralis (BRVO) atau Vene retina sentral (CRVO), (4) Proliferative
Diabetic Rethinopathy, (5) Neovascular glaucoma dan (6)
Neovaskularisasi koroidal sekunder dari miop patologis, angioid streaks/
pseudoxanthoma elasticum atau ocular histoplasmosis syndrome (OHS).
Pemberian injeksi intra vitreal sebagai pilihan penanganan penyakit
tersebut diatas dengan dosis bervariasi antara 1,25 mg (0,05 cc) sampai
dengan 2,5 mg (0,1 cc) . Manfaat injeksi intravitreal yang memberikan
efek optimal belum diketahui secara pasti. Reinjeksi intravitreal dilakukan
jika terlihat gejala relaps yang terlihat secara bervariasi sampai dengan 3
bulan. Penggunaan injeksi subkonjungtiva anti VEGF belum luas
digunakan oleh karena adanya perbedaan daya absorbsi dimana absorbsi
lebih cepat terjadi pada injeksi subkonjungtiva .( Keane, P. A., Sadda,
S.R . 2012 ).
Pada penelitian Sedghipour MR, Mustafaei A dan Taghavi Y di
Nikoukari Ophthalmology University Hospital, Tabriz Iran meberikan dosis
rendah bevacizumab 0,2 mg subkonjungtiva dalam penanganan glaucoma
setelah operasi trabekulektomi.( Sedghipour MR, Mostafaei A, Taghavi Y.
2011)
Beberapa obat-obat anti VEGF yang banyak digunakan dibidang
oftalmologi antara lain Pengaptanib (Macugen ™, Eyetech Pharmace-
utical), Ranibizumab (Lucentis ™, Genetech Inc) dan Bevacizumab
(Avastin ™, Genetech Inc).
37
G. TEKANAN INTRAOKULER
Tekanan intraokuler (TIO) sangat ditentukan adanya keseimbangan
antara produksi dengan aliran keluar humor akuos atau terjadi akibat
sekunder struktur intra okuler yang menyebabkan gangguan aliran
sehingga terjadi peninggian dan penurunan TIO. Tekanan intraokuler
dianggap normal jika tidak memberikan dampak buruk terhadap sel-sel
ganglion retina. Normal sekitar 12 sampai dengan 21 mmHg yang
ditemukan pada populasi normal. TIO diukur dengan alat tonometer.
Beberapa tonometer yag digunakan saat ini cukup berkembang pesat
dengan teknologi terbaru. Perkembangan ini bertujuan untuk memperoleh
pengukuran dengan tekanan yang mendekati kebenaran. Pada dasarnya
pengukuran tekanan tetap dengan teknik tidak langsung secara aplanasi,
indentasi dan nonkontak. Untuk skrining TIO pada suatu populasi tertentu
maka digunakan alat ukur yang lebih sederhana pelaksanaannya, seperti
tonometer Indentasi Schiotz ataupun nonkontak walaupun lebih mahal.
Akan tetapi kedua alat ini akurasinya tidak mendekati kebenaran, seperti
tonometer indentasi dipengaruhi oleh kekakuan sclera (sclera rigidity),
sehingga diperoleh tekanan yg lebih rendah pada penderita sclera yang
cenderung lebih tipis seperti penderita miop. Alat ukur yang sampai saat
ini masih dipercaya akurasinya adalah tonometer aplanasi, seperti
aplanasi Goldmann masih merupakan gold standard. (Lesk, M. R. 2002)
38
H. HIPOTESIS PENELITIAN
1. Kadar VEGF humor akuos penderita glaucoma yang diinjeksi
bevacizumab preoperative lebih rendah dibandingkan dengan tanpa
injeksi dan control (penderita katarak)
2. Pembentukan bleb konjungtiva dengan injeksi subkonjungtiva
bevacizumab preoperative trabekulektomi penderita glaucoma lebih baik
dibandingkan dengan tanpa injeksi pada penderita glaukoma.
3 Tekanan intra okuler dengan pemberian injeksi subkonjungtiva
bevacizumab lebih rendah dibandingan dengan tanpa injeksi pada
penderita glaucoma.
39
I.KERANGKA TE0RI
TGF β CTGF
ROCK 1 MMPs
VEGF
TRANSFORMING MYOFIBROBLAST
5FU, MYTOMICIN
TRABEKULEKTOMI
GLAUKOMA PRIMER
SUBKONJUNGTIVA
UMUR TIO
SIKATRIKS SUBKONJUNGTIVA
INFLAMASI
PROLIFERASI
ANGIOGE
NESIS
BLEB +/-
40
J.KERANGKA KONSEP
= variable bebas (katagorikal nominal)
= variable tergantung (numeric interval)
=variable tergantung. (katagorikal nominal).
=varibel antara =
GLAUKOMA PRIMER
TRABEKULEKTOMI
SIKATRIKS SUBKONJUNGTIVA
>>>
BLEB (+)
BLEB (-)
TIO
TIO
INJ BEVACIZUMAB
SUBKONJUNG
INFLAMASI
NEOVASKULARISASI +/-
INJ BEVACIZUMAB
SUBKONJUNG
BLEB (+)
TIO
NEOVASKULARISASI +/- INFLAMASI
41
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian experimental dengan
rancangan non random untuk mengetahui peranan anti-VEGF
subkonjungtiva terhadap trabekulektomi pada pasien glaukoma.
Subyek penelitian adalah efek anti-VEGF pada blep pasien
trabekulektomi. Pasien yang datang diperiksa dan dibagi dalam 3
kelompok perlakuan.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RS Pelamonia, BKMM Sulawesi
Selatan,Klinik Mata Monginsidi dan laboratorium Prodia Makassar.
Penelitian ini di rencanakan berlangsung selama 3 bulan atau
sampai seluruh sampel terpenuhi.
C. Populasi Penelitian
Semua penderita yang di diagnosis sebagai glaucoma primer yang
belum pernah dilakukan tindakan intervensi terbuka (pembedahan)
42
ataupun tertutup (laser) dan bersedia secara tertulis untuk
mengikuti prosedur penelitian.
D. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
Semua penderita glaucoma primer yang datang ke klinik dan
bersedia mengikuti penelitian dan diberi injeksi bevacizumab dan
penderita katarak sebagai kontrol.
E. Perkiraan Besar Sampel
Sampel diambil masing-masing 20 mata diberikan injeksi
bevacizumab preoperative penderita glaucoma, 20 mata tanpa
injeksi bevacizumab penderita glaucoma dan 30 mata sebagai
control (penderita katarak)
F. Kriteria sampel
1. Kriteria inklusi subyek penelitian
Semua penderita yang di diagnosis sebagai glaucoma primer yang
belum pernah dilakukan tindakan intervensi terbuka (pembedahan)
ataupun tertutup (laser) dan bersedia secara tertulis untuk
mengikuti prosedur penelitian.
43
2. Kriteria eksklusi subyek penelitian
1. Glaukoma sekunder
2. Glaukoma congenital
3. Normo tension glaukoma
4. Mengkonsumsi obat antiinflamasi oral ataupun topikal
5. Menolak untuk mengikuti atau melanjutkan penelitian
G. Ijin Penelitian dan Kelaikan Etik (Ethical Clearance)
Permintaan ijin serta persetujuan kelaikan etik penelitian dari
Komisi Etik Penelitian Biomedis Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin dilakukan dalam penelitian ini.
H. Cara Kerja
1. Semua penderita glaucoma primer yang belum diintervensi
secara bedah ataupun laser yang berkunjung ke poli BKMM, RS
pelamonia dan Klinik Mata Monginsidi (MESC).
2. Memberi penjelasan kepada penderita maksud penelitian ini
dan bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani
surat persetujuan mengikuti penelitian.
3. Pemeriksaan rutin oftalmologis, anamnesis, visus, slitlamp dan
tekanan intra okuler.
44
4. Satu hari preoperasi glaucoma diinjeksikan bevacizumab
subkonjungtiva 1,25 mg (0,05 CC)
5. Di persiapkan untuk operasi glaucoma yaitu trabekulektomi
6. Pemeriksaan berkala dengan mengukur besarnya bleb
trabekulektomi (menurut Moorfields Bleb Grading System) dan
besarnya TIO pasca operasi pada hari ke 1, 14 dan 30
7. Hasil pengukuran dicatat dan diolah/ uji statistik
8. Pelaporan hasil penelitian.
1. Subyek yang di diagnosis sebagai glaucoma primer dicatat
identitasnya dan dibuat persetujuan tidak keberatan diikutkan
dalam penelitian (informed concent)
2. Subyek penelitian selain tanda vital, diperiksa juga visus,
biomikroskop slitlamp, TIO.
3. Subyek penelitian dibawa masuk dalam kamar operasi:
Satu hari sebelum operasi kelompok bevacizumab diinjeksikan
bevacizumab 1,25 mg (0,05 CC) subkonjungtiva .
Hari berikutnya pasien dibawa kembali untuk persiapan operasi
trabekulektomi :
a. Setelah pemberian anestesi topical tetracain 2 %, dilakukan
desinfeksi lapangan operasi dengan irigasi povidone iodine
10 % yang telah diencerkan dengan normal saline 1:10 ke
bulbus okuli dan forniks palpebra superior-inferior dan di
hapus kulit palpebra superior inferior dan sekitarnya.
45
b. Eye drape dan retractor palpebra dipasang
c. Injeksi Lidocain subkonjungtiva di area trabekulektomi dan
masase bolamata selama 10 menit
d. Fiksasi bola mata dengan nilon 4-0
e. Dibuat flap konjungtiva secara fornix based dan undermind
secukupnya, perdarahan di kauterisasi
f. Dibuat flap sclera selebar 4X5 mm mengarah ke limbus
kornea sampai terlihat gray line, perdarahan di kauterisasi
g. Aspirasi humor akuos sebanyak 0.1-0,2 menggunakan spoit
tuberculin 1cc
h. Dibuat window/ trabekulektomi selebar 2x2 mm, iris yang
menonjol dilakukan iridektomi
i. Flap sclera ditutup dengan jahitan nylon 10.0
j. Flap konjungtiva ditutup dengan jahitan vicryl 8-0
k. Injeksikan pada forniks inferior konjungtiva antibiotic, dan
teteskan antibiotic+steroid topikal
l. Operasi selesai
4. Dinilai bleb yang terbentuk dengan criteria Moorfields pada hari
1, 14 dan 30 dibawah pemeriksaan slit lamp .
5. Dinilai tekanan intra okuler dengan tonometer aplanasi
Goldmann
46
ALUR PENELITIAN
Gambar 5. Alur penelitian
GLAUKOMA PRIMER
INJEKSI SUBKONJUNGTIVA
BEVACIZUMAB
PENGUMPULAN DATA : NEOVASKULARISASI KONJUNGTIVA,
TERBENTUKNYA BLEB, BESARNYA TIO, GAMBARAN
LABORATORIUM
PENGOLAHAN DATA
PELAPORAN HASIL PENELITIAN
TRABEKULEKTOMI
ASPIRASI
HUMOR AKUOS
LABORATORIUM
47
J. Definisi Operasional
1. Glaukoma primer adalah suatu keadaan optic neuropati yang
ditandai adanya defek lapangan pandang dan adanya
peninggian TIO yang tidak diketahui secara pasti penyebabnya.
2. Trabekulektomi adalah operasi glaucoma dengan mengalirkan
secara langsung (by pass) humor akuos dari bilik mata belakang
ke subkonjungtiva
3. Bleb konjungtiva adalah tonjolan konjungtiva di daerah
trabekulektomi dibuat sebagai tempat penampungan humor
akuos yang akan tereabsorbsi secara bertahap.
Hasil penilaian berdasar kan Moorfields Bleb Grading System
yaitu ada tiga criteria utama yang harus dinilai terhadap bleb
konjungtiva yaitu area, ketinggian dan vaskularisasi bleb.
Area bleb dinilai dengan membanding-kan area maksimal
bleb (tepi perifer bleb) dibandingkan dengan area total
konjungtiva dan diberi nilai 1 sampai dengan 5 yaitu 1= 0%
(hanya terlihat pd permukaan flap sclera), 2= 25%, 3= 50%, 4=
75% dan 5= 100%. Menentukan tepi bleb yaitu dengan melihat
elevasi pembuluh darah konjungtiva diatasnya dengan
pembuluh darah episklera di bawahnya
48
1
2 3
Area
Height Vascularity
a) Central b) Maximal
Bleb Photograph Grading System
Menentukan tinggi bleb yaitu dengan membandingkan referensi
fotografi ketinggian bleb dengan melihat titik tengah sebagai
puncak dari bleb, dan diberi nilai 1 (terendah) sampai dengan 4.
Vaskularisasi bleb di nilai mulai tepi peripheral ke pertengahan
bleb, dibandingkan dengan referensi fotografi bleb konjungtiva
49
dan dinilai 1= avaskuler, 2= vaskularisasi normal, 3=
vaskularisasi inflamasi ringan, 4= vaskularisasi inflamasi
sedang dan 5= vaskularisasi inflamasi berat
4. Tekanan intra okuler adalah besarnya tekanan bola mata yang
diekspresikan keluar dengan menggunakan alat ukur tonometer
aplanasi Goldmann
Hasil penilaian menurut American Academy of Ophthalmology
Normal :12- 21 mmHg
Hipotoni < 12 mmHg
Hipertensi okuler/ gaukoma > 21 mmHg
5. Bevacizumab adalah obat anti VEGF yang bekerja dengan
menghambat pembentukan pembuluh darah baru oleh karena
proses patologis (tumor, ishemik, inflamasi dsb)
Dosis subkonjungtiva : 1,25 mg (0,05 cc)
K. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul adalah semua data yang diperoleh dari hasil
penelitian selanjutnya diedit, tabulasi dan dimasukkan ke dalam program
komputer, dilakukan analisis deskriptif dan analitik. Dari 3 kelompok akan
diuji normalitasnya dengan uji T (Mann-Whitney Test). Apabila distribusi
datanya normal, maka dilakukan uji dengan Anova dilanjutkan dengan uji
Post Hoc.
50
1. Analisis univariat.
Digunakan untuk deskripsi karakteristik data dasar berupa distribusi
frekuensi, nilai rata-rata, standar deviasi dan rentangan.
2. Analisis bivariat.
Uji Chi-square (X2) untuk membandingkan 2 variabel yang berskala
nominal antara 2 kelompok atau lebih yang tidak berpasangan. Dalam
hal ini membandingkan jumlah TGFβ dan MMP-1 setelah pajanan UVB
dengan atau tanpa pemberian ekstrak biji kakao topikal.
3. Penilaian hasil uji hipotesis dinyatakan sebagai berikut :
a. Tidak bermakna, bila p > 0,05
b. Bermakna, bila p < 0,05
4. Hasil analisis akan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik disertai
dengan penjelasan.
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Telah dilakukan penelitian eksperimental untuk menilai efektifitas
pemberian injeksi bevacizumab subkonjungtiva 0,125 mg/ ml pada
penderita glaucoma primer sejak bulan Mei 2014 sampai dengan Oktober
2014 di Rumah Sakit Pelamonia, Balai Kesehatan Mata Masyarakat dan
poliklinik Mata Monginsidi di kota Makassar. Rata- rata umur penderita
50 tahun sampai dengan 81 tahun ( SD : 65,5± 15,5 tahun). Jumlah
seluruh sampel yang terkumpul dalam penelitian ini sebanyak 33 sampel
terdiri dari 16 (48,48 %) sampel (mata) penderita glaucoma primer tanpa
injeksi bevacizumab subkonjungtiva dan 17 (51,52 %) sampel (mata)
dengan injeksi bevacizumab. Kelompok control kadar VEGF humor akuos
diambil dari penderita katarak sebanyak 31 sampel (mata).
Tabel 1 : Karakteristik umum sampel penelitian
PARAMETER GLAUKOMA KATARAK
VEGF VEGF+BVZ
Jumlah sampel 16 (48,48 %) 17 (51,52 %) 31 (100 %)
Jenis kelamin
Laki-laki 10 (62,5 %) 7 (41,18 %) 15 (48,38 %)
Perempuan 6 (37,5 %) 10 (58,82 %) 16 (51,62 %)
52
Terlihat pada table 1 sebanyak 33 penderita glaucoma primer yang
akan di teliti kadar VEGF humor akuos dan kelompok control 31
penderita katarak. Dari 33 penderita glaucoma sebanyak 16
(48,48%) mata tidak diinjeksi bevacizumab subkonjungtiva dan 17
(51,52%) mata di injeksi bevacizumab. Yang tidak diinjeksi
bevacvizumab 10 (62,5%) mata laki-laki dan 6 (37,5%) perempuan.
Yang mendapat injeksi bevacizumab 7 (41,18%) mata laki-laki dan
10 (58,82%) mata adalah perempuan. Berdasarkan uji statistic
menggunakan Chi squre tes tdk ada perbedaan bermakna antara
jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang menderita glaucoma
primer (p=0,05).
Grafik 1 memperlihatkan pembentukan bleb konjungtiva pada kadar VEGF humor akuos pada penderita glaucoma primer tanpa injeksi bevacizumab
Grafik 1 memperlihatkan kelompok penderita glaucoma primer yang
tidak diinjeksi bevacizumab subkonjungtiva akan terbentuk bleb
konjungtiva dengan kadar VEGF antara 87-96 µg /ml sebanyak
12,5 % dan dengan kadar VEGF ˃ 126 pq/ml .sebanyak 87,5 %.
53
Pada grafik ini menunjukkan bahwa pembentukan bleb konjungtiva
cenderung terjadi pada kadar VEGF humor akuos yang lebih
tinggi.pada penderita glaucoma tanpa injeksi bevacizumab.
Grafik 2 : memperlihatkan pembentukan bleb konjungtiva pada kadar VEGF humor akuos penderita glaucoma primer dengan injeksi bevacizumab
Grafik 2 memperlihatkan pembentukan bleb konjungtiva pada
penderita glaucoma primer yang di injeksi bevacizumab di
distribusikan pada 5 kelompok yaitu dengan kadar 28-37 pg/ml
(5,88%); 38- 47 pg/ml (5,88%); 47- 56 pg/ml (17,65 %) ; 57- 66
pg/ml (11,76 %) dan ˃ 66 pg/ml (58<82 %).. Grafik ini
menggambarkan bahwa pembentukan bleb konjungtiva merata di
semua level kadar VEGF pada penderita glaucoma primer yang
diinjeksikan bevacizumab.
54
Tabel 2 : Menilai A (area) bleb konjungtiva pada hari 1
BLEB(A)hari1 Total
2.00 3.00 4.00
tanpa BEVACISUMAB 5 6 5 16
31.3% 37.5% 31.3% 100.0%
BEVACISUMAB 7 7 3 17
41.2% 41.2% 17.6% 100.0%
Total 12 13 8 33
36.4% 39.4% 24.2% 100.0%
Dengan uji Chie square , tidak ada perbedaan yang bermakna
luasnya area (A) bleb konjungtiva pada hari 1 antara kelompok
trabekulektomi dengan injeksi dan tanpa injeksi Bevacizumab
(p>0,05)
Tabel 3 : Menilai A (area) bleb konjungtiva pada hari 14
BLEB (A)hari14
Total 2.00 3.00 4.00
tanpa BEVACISUMAB 4 9 3 16
25.0% 56.3% 18.8% 100.0%
BEVACISUMAB 7 10 0 17
41.2% 58.8% .0% 100.0%
Total 11 19 3 33
100.0% 33.3% 57.6% 9.1%
Dengan uji Chie square, tidak ada perbedaan yang
bermakna luasnya area (A) bleb konjungtiva pada hari 14 antara
55
kelompok trabekulektomi dengan dan tanpa injeksi Bevacizumab
adalah tidak bermakna (p>0,05)
Tabel 4 : Menilai A (area) bleb konjungtiva pada hari 30
BLEB(A)hari30
Total 2.00 3.00 4.00
tanpa BEVACISUMAB 8 8 0 16
50.0% 50.0% .0% 100.0%
BEVACISUMAB 8 8 1 17
47.1% 47.1% 5.9% 100.0%
16 16 1 33
48.5% 48.5% 3.0% 100.0%
Dengan uji Chie square, tidak ada perbedaan yang bermakna
luasnya area (A) bleb konjungtiva pada hari 30 antara kelompok
trabekulektomi dengan dan tanpa injeksi Bevacizumab (p>0,05).
Tabel 5 : Menilai Tinggi (H) bleb konjungtiva pada hari 1
BLEB H hari1
Total 1.00 2.00 3.00 4.00
tanpa BEVACISUMAB 1 9 5 1 16
6.3% 56.3% 31.3% 6.3% 100.0%
BEVACISUMAB 0 11 6 0 17
.0% 64.7% 35.3% .0% 100.0%
1 20 11 1 33
3.0% 60.6% 33.3% 3.0% 100.0%
Dengan uji Chie square, tidak ada perbedaan yang bermakna
Tinggi (H) bleb konjungtiva pada hari 1 antara kelompok
56
trabekulektomi dengan injeksi bevacizumab dan tanpa injeksi
Bevacizumab (p>0,05).
Tabel 6 : Menilai Tinggi (H) bleb konjungtiva pada hari 14
BLEB(H) hari14
Total 2.00 3.00
tanpa BEVACISUMAB 9 7 16
56.3% 43.8% 100.0%
BEVACISUMAB 6 11 17
35.3% 64.7% 100.0%
Total 15 18 33
45.5% 54.5% 100.0%
Dengan uji Chie square, tidak ada perbedaan yang bermakna
Tinggi (H) bleb konjungtiva pada hari 14 antara kelompok
trabekulektomi dengan injeksi dan tanpa injeksi Bevacizumab
(p>0,05).
Tabel 7 : Menilai Tinggi (H) bleb konjungtiva pada hari 30
BLEB (H) hari30
Total 2.00 3.00
tanpa BEVACISUMAB 4 12 16
25.0% 75.0% 100.0%
BEVACISUMAB 1 16 17
5.9% 94.1% 100.0%
Total 5 28 33
15.2% 84.8% 100.0%
Dengan uji Chie square, tidak ada perbedaan yang bermakna
Tinggi (H) bleb konjungtiva pada hari 30 antara kelompok
57
trabekulektomi dengan injeksi dan tanpa injeksi Bevacizumab
(p<0,05)
Grafik 3 : Vaskularisasi bleb pada hari 1 tanpa injeksi bevacizumab
Grafik 3 memperlihatkan pada hari 1 tanpa injeksi bevacizumab,
Vaskularisasi berat (5) menurut MBGS sebanyak 93,75 % dan
vaskularisasi moderat (4) sebanyak 6,25 %.
Grafik 4 Vaskularisasi bleb pada hari 14 tanpa injeksi bevacizumab
Grafik 4 memperlihatkan pada hari ke 14 tanpa injeksi bevacizumab
, Vaskularisasi berat (5) menurut MBGS sebanyak 6,25%,
58
vaskularisasi moderat (4) sebanyak 81,25 % dan vaskularisasi
ringan/mild (3) sebanyak 12,5 %.
Grafik 5 : Vaskularisasi bleb pada hari 30 tanpa injeksi bevacizumab
Grafik 5 memperlihatkan pada hari ke 30 tanpa injeksi bevacizumab
, Vaskularisasi moderat (4) menurut MBGS sebanyak 6,25 % dan
vaskularisasi ringan (mild) sebanyak 81,25 % dan normal 12,5 %
Grafik 6 : Vaskularisasi bleb pada hari 1 dengan injeksi bevacizumab
Grafik 6 memperlihatkan pada hari 1 dengan injeksi bevacizumab
vaskularisasi sedang (4) menurut MBGS sebanyak 23,53 %,
59
vaskularisasi berat (5) sebanyak 35,29 % dan vaskularisasi ringan
(3) sebanyak 41,18 %
Grafrik 7 Vaskularisasi bleb pada hari 14 dengan injeksi
bevacizumab
Grafik 7 memperlihatkan pada hari ke 14 dengan injeksi
bevacizumab vaskularisasi sedang/moderat (4) menurut MBGS
sebanyak 11,76 %, vaskularisasi ringan (3) sebanyak 76,47 % dan
normal (2) sebanyak 11,76 %
Grafik 8 Vaskularisasi bleb pada hari 30 dengan injeksi bbevacizumab
Grafik 8 memperlihatkan pada hari ke 30 dengan injeksi
bevacizumab vaskularisasi ringan (3) menurut MBGS sebanyak
60
11,76 % dan normal (2) sebanyak 47,06 % dan avaskuler (1)
sebanyak 41,18 %
Tabel 8 : Menilai Vaskularisasi (V) bleb konjungtiva pada hari 1
BLEB(V)hari1
Total 3.00 4.00 5.00
tanpa BEVACISUMAB 0 1 15 16
.0% 6.3% 93.8% 100.0%
BEVACISUMAB 7 7 3 17
41.2% 41.2% 17.6% 100.0%
Total 7 8 18 33
21.2% 24.2% 54.5% 100.0%
Dengan uji Chie square terlihat adanya perbedaan yang bermakna
Vaskularisasi (V) bleb konjungtiva pada hari 1 antara kelompok
trabekulektomi dengan dan tanpa injeksi Bevacizumab adalah (p<0,05).
Pada table 9 : Menilai Vaskularisasi (V) bleb konjungtiva pada hari 14
BLEBKVhari14
Total
2.00 3.00 4.00 5.00
tanpa BEVACISUMAB 0 2 13 1 16
.0% 12.5% 81.3% 6.3% 100.0%
BEVACISUMAB 2 13 2 0 17
11.8% 76.5% 11.8% .0% 100.0%
Total 2 15 15 1 33
6.1% 45.5% 45.5% 3.0% 100.0%
61
Dengan uji Chie square, terlihat adanya perbedaan bermakna
Vaskularisasi (V) bleb konjungtiva pada hari 14 antara kelompok
trabekulektomi dengan dan tanpa injeksi Bevacizumab adalah bermakna
(p<0,05)
Pada table 10 : Menilai Vaskularisasi (V) bleb konjungtiva pada hari 30
BLEBKVhari30
Total 1.00 2.00 3.00 4.00
tanpa
BEVACISUMAB
0 2 13 1 16
.0% 12.5% 81.3% 6.3% 100.0%
BEVACISUMAB 7 8 2 0 17
41.2% 47.1% 11.8% .0% 100.0%
Total 7 10 15 1 33
21.2% 30.3% 45.5% 3.0% 100.0%
Dengan uji Chie square terdapat perbedaan bermakna
Vaskularisasi (V) bleb konjungtiva pada hari 30 antara kelompok
trabekulektomi dengan injeksi dan tanpa injeksi Bevacizumab
(p<0,05)
62
Grafik 9 ,TIO Penderita glaucoma tanpa injeksi bevacizumab pada hari 1
Grafik 9 : memperlihatkan TIO normal (range 12- 21 mmHg) tanpa
injeksi hari 1 sebanyak 68,75 % dan diluar range normal (hipotoni)
sebanyak 31,25 %
Grafik 10 . TIO penderita glaucoma tanpa injeksi bevacizumab pada hari 14
63
Grafik 10 : memperlihatkan TIO normal (range 12-21 mmHg) tanpa
injeksi hari 14 sebanyak 81,25 % dan diluar ange normal (hipotoni)
sebanyak 18,75 %
Grafik 11 : TIO pada hari 30 penderita glaucoma tanpa injeksi bevacizumab
Grafik 11 memperlihatkan TIO normal (range 12- 21 mmHg) tanpa
injeksi hari 30 sebanyak 81,25 % dan diluar range normal
(hipotoni) sebanyak 18,75 %
Grafik 12 TIO pada hari 1 penderita glaucoma dengan injeksi bevacizumab
64
Grafik 12 memperlihatkan TIO normal (range 12- 21 mmHg)
dengan injeksi hari 1 sebanyak 41,18 % dan diluar range normal
(hipotoni) sebanyak 58,82 %.
Grafik 13: TIO pada hari 14 penderita glaucoma dengan injeksi bevacizumab
Grafik 13 memperlihatkan TIO normal (range 12- 21 mmHg)
dengan injeksi hari 14 sebanyak 76,47 % dan diluar range normal
sebanyak 23,53 %.
Grafik 14: TIO pada hari 30 penderita glaucoma dengan injeksi bevacizumab
65
Grafik 14 memperlihatkan TIO normal (range 12- 21 mmHg)
dengan injeksi hari 14 sebanyak 100 % .
66
BAB V
Pembahasan
Telah dilakukan penelitian eksperimental untuk menilai efektifitas
pemberian injeksi bevacizumab subkonjungtiva 0,125 mg/ml pada
penderita glaucoma primer sejak bulan Mei 2014 sampai dengan Oktober
2014 di Rumah Sakit Pelamonia, Balai Kesehatan Mata Masyarakat dan
poliklinik Mata Monginsidi di kota Makassar. Jumlah seluruh sampel yang
terkumpul dalam penelitian ini sebanyak 33 sampel penderita glaucoma
primer yaitu sebanyak 17 (51,50 %) penderita laki-laki dan 16( 48,50 %)
penderita perempuan. Secara statistic tidak jauh berbeda antara laki-laki
dan perempuan yang menderita glaucoma primer. Berbeda yang
dikemukakan oleh Rudnicka A R dkk mendapatkan bahwa .penderita
wanita dengan glaucoma primer ditemukan 75,5 % lebih banyak daripada
laki-laki.
Pada penelitian ini diteliti sebanyak 10 mata (30,30%) dengan
glaucoma primer sudut terbuka (POAG = Primary open angle glaucoma)
dan 23 mata (69,70 %) adalah glaucoma primer sudut tertutup (PACG=
Primary angle closed glaucoma). Terlihat bahwa penderita wanita
insidensnya lebih besar dibandingkan laki-laki. Keadaan ini hampir sama
yang diperoleh oleh Quigley dkk pada penduduk asia tenggara dengan 87
% adalah glaucoma primer sudut tertutup (PACG).
67
Pada grafik 1 memperlihatkan kadar VEGF pada kelompok tanpa
injeksi bevacizumab pada penderita glaucoma dengan kadar > 126 µg/ml
akan membentuk bleb kojungtiva sebesar 87,5 % dan kadar VEGF 87-96
µg/ml akan membentuk bleb konkungtiva sebesar 12,5 %. Pada hari
pertama sampai dengan hari 14 pasca trabekulektomi terjadi peningkatan
kadar VEGF disebabkan adanya proses inflamasi operasi trabekulektomi.
Peningkatan aliran humor akuos ke subkonjungtiva akibat produksi humor
akuos yang meningkat. Selain itu terjadi pula proses inflamasi pasca
operasi pada konjungtiva (chemosis konjungtiva) . Menurut Sheha H,
pada jam ke 12 sampai hari ke 3 pasca trabekulektomi akan terlepas sel-
sel inflamasi termasuk monosit dan makrofag dan merangsang
pembentukan kapiler-kapiler baru oleh VEGF sehingga terjadi
peningkatan produksi humor akuos dan edema jaringan konjungtiva. Li
dkk mendapatkan pada penderita glaucoma terutama yang bersifat akut
seperti glaucoma primer sudut tertutup (PACG) terjadi pula proses
inflamasi yang juga akan meningkatkan kadar VEGF dalam humor akuos(
Nilforushan. n., Yadgari. m., Kish.s.k., Nassiri.n.2012 ). Pada penelitian ini
bleb lebih banyak terbentuk pada kadar VEGF yang tinggi oleh karena
proses inflamasi yang akan meningkatkan produksi humor akuos dan
adanya edema konjungtiva akibat operasi.
Pada grafik 2 memperlihatkan kadar VEGF penderita glaucoma
primer pasca injeksi subkonjungtiva Bevacizumab memperlihatkan bahwa
pembentukan bleb konjungtiva merata di semua tingkat kadar VEGF
68
walaupun kadar VEGF humor akuos yang lebih rendah akan tetapi tetap
terbentuk bleb konjungtiva (kadar VEGF 28-37 µg/ml sebanyak 5,88%). Ini
memperlihatkan bahwa bevacizumab yang diberikan 1 hari preoperasi
berperan dalam menekan inflamasi maupun vaskularisasi yang berlebih
sehingga resiko perdarahan yang ditimbulkan setelah operasi
trabekulektomi sangat minimal. Healey.P.R dkk mengemukakan bahwa
resiko kegagalan pembentukan bleb oleh karena adanya bekuan darah
yang menyumbat pada saluran trabekulektomi.. Nilforushan dkk
megatakakan bahwa kegagalan utama pembentukan bleb adalah
terbentuknya sikatriks konjungtiva disekitar dari bleb konjungtiva. Diawali
dengan vaskularisasi yang berlebihan, pembuluh darah yang berkelok,
migrasi fibroblast dan proliferasi. Proliferasi fibroblast akan menahan
aliran humor akuos dengan membentuk perlekatan antara konjungtiva dan
episklera demikian pula flap sclera dengan jaringan di bawahnya.
Keadaan ini diperlihatkan pula pada table 8, 9 dan 10 adanya
perbedaan yang bermakna terbentuknya vaskularisasi (V) antara
kelompok tanpa injeksi dan kelompok dengan injeksi bevacizumab dimana
vaskularisasi lebih kurang terbentuk pada kelompok yang mendapat
injeksi bevacizumab.
Pada grafik 3 memperlihatkan vaskularisasi bleb yang berat (5)
pada hari 1 terjadi pada penderita glaucoma pasca trabekulektomi pada
kelompok tanpa injeksi Bevacizumab yaitu sebesar 93,75 %.
69
Dibandingkan dengan grafik 6 memperlihatkan 1 hari pasca
trabekulektomi dengan injeksi Bevacizumab vaskularisasi bleb ringan (3)
sebesar 41,18 %. Keadaan ini menunjukkan bahwa beberapa jam sampai
dengan hari ke 3 proses penyembuhan luka terjadi proses inflamasi yang
berlebih yang akan merangsang pelepasan VEGF dalam menimbulkan
vaskularisasi (Watson dkk). Bevacizumab pada hari 1 pasca
trabekulektomi akan menekan secara bermakna terbentuknya
vaskularisasi berlebih konjungtiva akibat proses inflamasi trabekulektomi.
Pada grafik 4 memperlihatkan vaskularisasi bleb hari ke 14
kelompok tanpa injeksi Bevacizumab menjadi sedang/moderat (4)
sebesar 81,25 %. Dibandingkan dengan kelompok injeksi bevacizumab
hari 14 (grafik 7) terlihat menjadi ringan/mild (3) sebesar 76,47 %.
Keadaan ini memperlihatkan bahwa pada hari ke 14 efek bevacizumab
masih terlihat dalam menekan proses vaskularisasi akibat inflamasi
trabekulektomi. Collet dkk dalam penelitian mendapatkan bahwa kadar
puncak bevacizumab sebesar 37,7 µg/ml pada hari ketiga setelah
pemberian intravitreal dan masih terlihat sebesar 10 µg/ml pada hari ke 30
Pada grafik 5 memperlihatkan vaskularisasi bleb pada hari ke 30
kelompok tanpa injeksi bevacizumab menjadi ringan/mild (3) sebanyak
81,25 %. Dibandingkan dengan injeksi bevacizumab (grafik 8)
memperlihatkan vaskularisasi bleb menjadi normal (2) sebesar 47,06 %,
bahkan terjadi avaskuler (1) sebesar 41,85 %. Keadaan ini
70
memperlihatkan bahwa pada hari ke 30 vaskularisasi bleb dengan injeksi
bevacizumab akan berkurang bahkan menghilang.
Keadaan ini dibuktikan pula secara statistik bermakna (table
8,9,10) antara kelompok yang mendapat injeksi bevacizumab
vaskularisasi (V) nya lebih kurang dibandingkan pada kelompok tanpa
injeksi.(p< o,o5)
Pada table 2,3,4 memperlihatkan area (A) bleb dan table 5,6,7
ketinggian (H) bleb antara kelompok injeksi dan tanpa injeksi
bevacizumab secara statistic tidak bermakna. Pada table 2 , hari 1
terlihat kelompok tanpa injeksi berada di A (5) 31,3 % dan kelompok
injeksi berada di A (2 dan3) 41,2 %.. Keadaan ini terjadi akibat inflamasi
operasi yang akan meningkatkan produksi humor akuos pada kelompok
tanpa injeksi.. Pada hari 14 dan 30 terlihat telah terjadi keseimbangan
antara kelompok injeksi dan tanpa injeksi berada di A (2) dan A (3). Yang
menarik adalah pada A (4) kelompok dengan injeksi bevacizumab
sebanyak 17,5 % hari 1, dan 0 % hari 14 (table 3) dan terlihat kembali
pada hari ke 30 sebanyak 3 % (table 4). Keadaan ini menunjukkan fungsi
bleb sebagai pengalih peningkatan TIO berfungsi dengan baik dan tidak
terbentuk jaringan fibroblast diantara konjungtiva dan episklera maupun
konjungtiva disekitar flap sclera. Fuller J.R dkk pembentukan jaringan
fibroblast yang berlebih akan menggagalkan pembentukan bleb dan tidak
akan terbentuk bleb kembali.
71
Pada table 5,6 dan 7 terlihat bahwa ketinggian (H) bleb
terkonsentrasi pada H (2) dan H (3) di hari 1, 14 dan 30.. Akan tetapi
terlihat kecenderungan peningkatan H (3) pada kelompok yang mendapat
injeksi yaitu 64,7 % hari 1 menjadi 94,1 % hari 30.. Sebaliknya pada
kelompok yang tidak mendapat injeksi pada table yang sama pada hari 1
H (4) terdapat 6,3 %, tetapi menghilang pada hari 14 dan 30. Keadaan ini
kemungkinan telah terjadi fibrosis konjungtiva sehingga mengurangi
ketinggian dari bleb tersebut pada hari berikutnya. Terlihat juga
pergeseran ketinggian (H) bleb pada kelompok yang mendapat injeksi
yaitu penurunan prosentase H(2 ) dan peningkatan H(3) dari hari 1 sampai
hari 30, membuktikan bahwa trabekulektomi berfungsi dengan baik oleh
karena tidak terbentuk jaringan fibroblast subkonjungtiva. Dari uraian
tersebut di atas terlihat bahwa pada kelompok dengan injeksi
bevacizumab masih lebih baik pembentukan ketinggian (H) bleb di
bandingkan kelompok tanpa injeksi bevacizumab.
Pada grafik 9 memperlihatkan pada hari 1 TIO normal pada
kelompok tanpa injeksi Bevaciumab sebesar 68,75 %. Sebaliknya pada
grafik 12 TIO terjadi hipotoni pada kelompok dengan injeksi Bevacizumab
sebanyak 58,82 %. Terjadinya hipotoni pada penderita glaucoma yg
diinjeksikan Bevacizumab satu hari preoperatif oleh karena efek anti
inflamasi yang menekan produksi humor akuos yang berlebihan dan
mencegah sumbatan akibat perdarahan dapat dihindari oleh karena
vaskularisasi yang lebih kurang.. Kurangnya vaskularisasi di perlihatkan
72
pada grafik 6 (vaskularisasi bleb hari 1 dengan injeksi bevacizumab)
dimana vaskularisasi bleb ringan (3) sebesar 41,18 %.
Pada grafik 10 memperlihatkan TIO pada hari 14 trabekulektomi
pada kelompok tanpa injeksi bevacizumab dalam rentang normal
sebanyak 81,25 %, sedangkan grafik 13 pada kelompok injeksi
bevacizumab terlihat TIO normal sebanyak 76,47 % dan 23,53 % masih
dalam kadaan hipotoni. Hipotoni terjadi kemungkinan akibat aliran keluar
humor akuos ke subkonjungtiva tanpa hambatan oleh fibrin dan
vaskularisasi yang minimal (grafik 7 vaskularisasi ringan/mild sebesar
76,47 %).
Pada grafik 11 memperlihatkan TIO normal pada hari ke 30
trabekulektomi pada kelompok tanpa injeksi bevacizumab subkonjungtiva
sebanyak 81,25 % dan diluar range normal (hipotoni) sebanyak 18,75 %.
Sedangkan pada grafik 14 semua penderita yang mendapat injeksi
bevacizumab TIO dalam rentang normal (100%) dengan vaskularisai bleb
(grafik 8) normal (2) sebesar 47,06 %, bahkan terjadi avaskuler (1)
sebesar 41,85 %.
Pada grafik ini memperlihatkan bahwa terjadi penurunan TIO ke
normal antara ke dua kelompok (injeksi dan tanpa injeksi bevacizumab),
akan tetapi lebih baik penurunannya pada kelompok injeksi bevacizumab.
. Grewall dkk juga melaporkan kasus seri 12 mata dengan gaukoma yang
73
diinjeksikan sub konjungtiva bevacizumab, ternyata TIO menurun pada 11
mata (92%) (Choi,J.Y.,Choi, J.,Kim, Y.D. 2010)
Perbedaan TIO terhadap pembentukan bleb konyungtiva (A, H
dan V) pada observasi hari 1, 14 dan 30 secara statistic dengan uji anova
adalah tidak bermakna antara kedua kelompok . (p<0,05)
Penurunan TIO kurang dari 21 mmHg pada penelitian kami selama
observasi 1 bulan sama yang di temukan Parihar dkk (2011).
Pembentukan bleb konjungtiva cenderung kearah moderat antara kedua
kelompok Keadaan ini juga sama yang di temukan oleh Parihar dkk.
TIO yang normal dengan vaskularisasi normal (pembentukan bleb
baik) pada penderita pasca operasi glaucoma akan memertahankan
fungsi bypass trabekulektomi tetap paten dan TIO akan selalu dalam
batas normal. Hipotoni yang berkepanjangan terutama pada awal operasi
akan berdampak buruk pada mata seperti terjadinya endoftalmitis.
74
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian analisis dan pembahasan didapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1. Kadar VEGF humor akuos penderita glaucoma yang diinjeksi
bevacizumab preoperative lebih rendah dibandingkan dengan
tanpa injeksi dan kontrol (penderita katarak).
2. Pembentukan bleb konjungtiva dengan injeksi subkonjungtiva
bevacizumab preoperative trabekulektomi penderita glaucoma lebih
baik dibandingkan dengan tanpa injeksi pada penderita glaukoma.
3. TIO penderita glaucoma primer yang diinjeksi bevacizumab
subkonjungtiva preoperative maupun tanpa injeksi semua tidak
lebih dari 21 mmHg, akan tetapi dengan injeksi bevacizumab lebih
rendah drpd tanpa injeksi pada awal operasi dan pada akhir
penelitian TIO penderita glaukoma yg diinjeksikan bevacizumab
preoperasi trabekulektomi semua dalam batas normal.
75
B. Saran
1. Perlu ditingkatkan pemahaman masyarakat tentang diagnosis
penyakit glaucoma, penangananya dan prognosisnya, sehingga
tindakan dini dapat segera dilakukan, Tindakan bedah lebih baik
daripada medikamentosa oleh karena efek samping obat
penggunaan jangka panjang. . Pada kasus kami penderita
sebagian besar datang dalam keadaan sangat buruk, sehingga
jumlah sampel yang terbatas.
2. Pemeriksaan berkala pasca operasi glaucoma harus dilakukan
untuk melihat fluktuasi peningkatan TIO. Penambahan penanganan
pasca trabekulektomi dapat diberikan bagi penderita glaucoma
yang relaps. Pada penelitian ini pemeriksaan tidak lebih dari satu
bulan oleh karena penderita tdk kembali dengan alasan geografis
dan visus pasca operasi yang tidak lebih baik dibandingkan
sebelum operasi.
3. Penggunaan Bevacizumab subkonjungtiva dapat digunakan
sebagai alternative dalam meningkatkan keberhasilan operasi
trabekulektomi pada penderita glaucoma
4. Penggunaan Bevacizumab merupakan hal yang baru di bidang
oftalmologi, maka diperlukan penelitian2 yang lebih jauh tentang
penyakit mata lainnya khususnya berkaitan dengan VEGF dalam
jumlah sampel yang lebih besar
76
DAFTAR PUSTAKA
Abukheir,B.H. 2008. Bevacizumab (Avastin): Off-label Use in Ophthalmology. JMS, Sudan Vol 3 No1
Alwitry,A., Rotchford,A., Patel,V., Abedin,A.,Moodie,J.,King,A.J. 2009 Early bleb leak after trabeculectomy and prognosis for bleb failure. Eye 23, 858–63.
Bao,P., Kodra,A., Canic,M,T.,Golinco,M,S.,Ehrlich,H,P.,Brem,H.2009. The role of Vascular Endothelial Growth Factor in Wound Healing. J Surg Res 153(2): 347-358
Blanco.A.A., Wilson R,P., Costa,V.P 2002 The concept of ‗glaucoma‘, classification. Hand Book of Glaucoma, Martin Dunitz Ltd, a member of the Taylor & Francis Group First published in the United Kingdom 17-21
Brouzas,D., Charakidas,A., Moschos,M., Koutsandrea,C., Apostolopoulos, M., Baltatzis, S. 2009. Bevacizumab (Avastin®) for the management of anterior chamber neovascularisation and neovascular glaucoma.. Clinical Ophthalmology :3 685–688
Boyle,J.W. IV., Netland, P.A. 2010 Incisional Therapies: Shunts and Valved Implants, The Glaucoma BookA Practical, Evidence-Based Approach to Patient Care Springer Science+Business Media, LLC , London ; 813-30
Chen,D.F., Cho,K.S. 2008.Optic Neuropathy and Ganglion Cell Degeneration in Glaucoma, Mechanisms and Therapeutic Strategies.
Mechanisms of the Glaucomas. Diseases Processes and Therapeutic Modalities. Humana Press, a part of Springer Science+Business Media, LLC, 393 – 424
Cheng,J.Y.C., Wong, D.W.K., Ang,C.L .2008. Intraocular Avastin (Bevacizumab) for Neovascularisation of the Iris and Neovascular Glau-coma. Ann Acad Med Singapore ;37:72-4
Choi,J.Y., Choi, J.,Kim, Y.D. 2010. Subconjunctival Bevacizumab as an Adjunct to Trabeculectomy in Eyes with Refractory Glaucoma: A Case Series. Korean J Ophthalmol ;24(1):47-52
Collet, L., Larson, T. A., Bakri, S. J. 2007 . Bevacizumab for Ophthalmic Disease. Department of Ophthalmology, Mayo Clinic. U S Ophthalmic Review
Costa, V.P., Wilson, R .P., Blanco, A. A. 2002 Medical Therapy. Hand Book of Glaucoma, Martin Dunitz Ltd, a member of the Taylor & Francis Group First published in the United Kingdom in, 161- 79.
Eid, T. M., Radwan, A., Manawy, W. E., Hawary, I .E. 2009.Intravitreal Bivacizumab and Aquueous Shunting Surgery for Neovascular Glaucoma: safety and efficacy. Can J Ophthalmol ,; 44; 451-6
Ferara, N. , Gerber, H. P., Cauter, J. L. 2003.The Biology of VEGF and its Receptors. Nature Medicine, Vol 9 Number
77
Fontana. H., Mahdavi.K.N., Caprioli .J.2006 Trabeculectomy With Mitomycin C inPseudophakic Patients With Open-angleGlaucoma: Outcomes and Risk FactorsFor Failure, Am J Ophthalmol Vol 141 N0: 4
Fuller,J.R., Bevin, T.H., Molteno, A.C.B., Vote,B.J.T., Herbison, P. 2002. Anti-inflammatory fibrosis suppression in threatened trabeculectomy bleb failure produces good long term control of intraocular pressure without risk of sight threatening complications. Br J Ophthalmol ;86:1352–55
Healey, P. R., Trope, G. E. 2005 .The Failing Bleb: Risk Factors and Diagnosis. Glaucoma Surgery. Published in byTaylor & Francis Group 6000 Broken Sound Parkway NW, Suite 300 Boca Raton, 159-178
How, A.,Chua,J.L.,Charlton, A.,Su,R., Lim,M., Kumar, R.S., Crowston,J.G., Wong,T.T. 2010. Combined Treatment with Bevacizumab and 5-Fluorouracil Attenuates the Postoperative Scarring Response after Experimental Glaucoma Filtration Surgery. Investigative Ophthalmology & Visual Science, Vol. 51, No. 2
Huang C Y., Tseng H.Y., Wu.K.Y.2013. Mid-term outcome of trabeculectomy with adjunctive mitomycin C in glaucoma patients. Taiwan J Ophthalmol . 31 - 6
Ichhpujani, P. , Ramasubramanian, A., Kaushik, S., Pandav ,S. S .2007 .Bivacizumab in Glaucoma Review. Can J Ophthalmol ;42, 812-5
Keast ,D., Orsted, H.R.N, The Basic Principles of Wound Healing Khanna,A. 2012 .Bevacizumab in Glaucoma: Where do We stand ?
Journal of Current Glaucoma Practice.: 6 (2); 75-78 Kolker, A.E.2003 Filtration Surgery. Glaucoma Science and Practice.
Copyright by Thieme Medical Publishers, Inc.; 458- 70 Kimoto, K., Kubota, T. 2012 . Anti-VEGF Agents for Ocular Angiogenesis
and Vascular Permiability, Journal of Ophthalmology. Keane, P. A., Sadda, S.R . 2012. Development of Anti-VEGF Therapies
for Intraocular Use. A Guide for Clinicians J of Ophthalmol. Khaw,P. T., Trope, G .E. 2005 Advances in the Modulation of Wound
Healing Including Large Treatment Areas and Adjustable Sutures: The MoorfieldsSafe Surgery System. . Glaucoma Surgery. Published in byTaylor & Francis Group 6000 Broken Sound Parkway NW, Suite 300 Boca Raton, 31- 43
Khawi,P.T., Dahlmann, A .,Mireskandari, K. 2005. Trabeculectomy Tech-nique. The Moorfields Safe Surgery System with new adjustable sutures. glaucoma , 22-29
Lee,S. J., Lee, J. J., Kim, S. Y., Kim ,S. D. 2009 .Intravitreal Bevacizumab (Avastin) Treatment of Neovascular Glaucoma in Ocular Ischemic Syndrome. Korean J of Ophthalmol, 23:132-134
Lesk, M. R. 2002 The intraocular pressure in glaucoma .Hand Book of Glaucoma, Martin Dunitz Ltd, a member of the Taylor & Francis Group First published in the United Kingdom in 19- 26
78
Leen,M. M. 2002 Glaucoma Laser Procedures. Hand Book of Glaucoma, Martin Dunitz Ltd, a member of the Taylor & Francis Group First published in the United Kingdom in , 181- 99.
Lee,S. J., Lee, J. J., Kim, S. Y., Kim ,S. D. 2009 .Intravitreal Bevacizumab (Avastin) Treatment of Neovascular Glaucoma in Ocular Ischemic Syndrome. Korean J of Ophthalmol, 23:132-134
Luntz, M. H .,Trope,G.E. 2005 Glaucoma: Surgical Anatomy. Glaucoma Surgery. Trope Published byTaylor & Francis Group 6000 Broken Sound Parkway NW, Suite 300 Boca Raton, FL, 13-15
Macdonald.E., Mukherjee.S., Jeffrey Jay,J 2009. The increasingly iatrogenic indications for mitomycin C trabeculectomy over 10 years. Can J Ophthal 44, 2
Migdal,C., Trope,G.E. 2005, How to Do a Trabeculectomy. Glaucoma Surgery. Published in byTaylor & Francis Group 6000 Broken Sound Parkway NW, Suite 300 Boca Raton, 45-50
Maresco,J.G., Gandham, S. 2002. Anatomy, Physiology and Pathophysiology .Hand Book of Glaucoma, Martin Dunitz Ltd, a member of the Taylor & Francis Group First published in the United Kingdom , 3- 16
Nilforushan. n., Yadgari. m., Kish.s.k., Nassiri.n.2012. Subcon-junctival Bevaci-zumab Versus Mitomycin C Adjunctive to Trabeculectomy. Ame J
of Ophthal. Vol 153 No 2, 352-57. Olsson,A.K., Dimberg,A., Kreuger,J.,Welsh,L.C. 2006. VEGF receptor
signalling — in control of vascular function. nature reviews Molecular cell biology volume 7 , 359.-371
Paula, J.S., Jorge,R., Costa,R.A., Rodrigues, M.L.V., Scott,I.U . 2006 Short-term results of intra-vitreal bevacizumab (Avastin) on anterior segment neovascularisation in neovascular glaucoma . Acta Ophthalmologica Scandinavica : 556
Parihar,J.K.S., Kaushik, J., Trehan,H.S., Mukherjee,S .2011 Clinico Histological Evaluation of Efficacy of Bevacizumab (Avastin) Modulated Trabeculectomy Over Mitomycin-C Modulated Trabeculectomy in Cases or Primary Open Angle Glaucoma. 69th AIOC Proceedings, Ahmedabad
Quigley, H.A., Broman, A.T. 2006 The Number of People With Glaucoma World wide in 2010 and 2020. British J Ophthalmol ; 90 : 262-67
Rudnicka,A.R.,Owen,C.G. 2007 .Epidemiology of primary open angle glaucoma. Glaucoma-indentification and Managenent., Elsevier Limited. ; 1-16
Savage,J. A.2004 Glaucoma Filtration Surgery; Techniques and Intraoperative Complication. Clinical Guide to Glaucoma Management. In : Butterwotrh- Heinemann eds. Elsevier Inc.: 424- 463
Sedghipour MR, Mostafaei A, Taghavi Y. 2011 Low-dose subconjunctival bevacizumab to augment trabeculectomy for glaucoma. Clin Ophthalmol. ;5:797-800
79
Schmier, J.K.MA., David, W. 2003 Principles of ocular medications. Glaucoma Science and Practice. Copyright by Thieme Medical Publishers, Inc..; 354– 62
Schmier,J.K., Covert,D.W., Lau,E.C., Robin,A.L. 2009 Trends in Annual Medicare Expenditures for Glaucoma Surgical Procedures From 1997 to 2006. Arch Ophthalmol. ;127(7):900-905
Sheha, H. 2011. Update on Modulating Wound Healing in Trabeculectomy. Glaucoma - Basic and Clinical Concepts ;401- 16
Sheha, H., Liang,L., Scheffer C.,Tseng,G. 2010 Amniotic Membrane Grafts for Glaucoma Surgery, The Glaucoma BookA Practical, Evidence Based Approachto Patient Care, Springer Science+Business Media, LLC< London, 861-66
Singh, M ., Chew, P.T.K ., Friedman, D.S., Nolan, W .P., See, J. L., Smith, S. D., Zheng, C. , Foster, P. J., Aung, T. 2007. Imaging of Trabeculectomy Blebs Using Anterior Segment Optical Coherence Tomography.. The American Academy of Ophthalmology ;114:47–53
Takahashi, H., Shibuya,M. 2005 .The vascular endothelial growth factor (VEGF)/VEGF receptor system and its role under-physiological and pathologi-cal conditions. Clinical Science 109, 227–241
Takihara. y., Inatani.m., Fukushima m, Iwao.K., Iwao. M., TANIHARA., 2009 Trabeculectomy with Mitomycin C for Neovascular Glaucoma: Prognostic Factors for Surgical Failure. Am J Ophthal.147, 5 913-917
Tink,J.T., Barnstable,C.J.2008. Mechanisms of the Glaucomas Disease Processe and Therapeutic Modalities , 2008 Humana Press, a part of Springer Science+Business Media, LLC, 81-97
The Eye M.D Assosiation. 2011-2012 .Glaucoma. American Academy of Ophthalmology, Sec 10,, 3-4
United health care 2012. Avastin (bevacizumab): Drug Policy (Effective 04/01/2012). Proprietary Information of UnitedHealth Care. United HealthCare Services, Inc
Watson, T. 2006 Soft Tissue Wound Healing :review. Soft Tissue Healing and Repair Xiong Q., Li.Z.,, Li.Z., Zhu.Y., Abdulhalim.S., Wang.P., Cai.X. 2014 Anti-
VEGF Agents with or without Antimetabolites in Trabeculectomy for Glaucoma: A Meta-Analysis. Vol 9 Iss 2
.
80
Lampiran 1.
HASIL PEMERIKSAAN KADAR VEGF HUMAN HUMOR AKUOS KATARAK
NO NAMA PASIEN UMUR DIAGNOSIS VEGF (PG/ML) KET
1 Tn. I 65 thn katarak senil 166,3 L
2 Ny. S 70 thn katarak senil 122,1 P
3 Tn. G 68 thn katarak senil 54,0 L
4 Ny. Y 67 thn katarak senil 217,5 P
5 Ny. D 66 thn katarak senil 138,7 P
6 Ny. S 63 thn katarak senil 139,8 P
7 Ny. U 64 thn katarak senil 143,9 P
8 Tn. SS 58 thn katarak senil 161,9 L
9 Tn. A 81 thn katarak senil 117,4 L
10 Tn. M 64 thn katarak senil 118,0 L
11 Tn. Su 63 thn katarak senil 128,7 L
12 Tn. U 81 thn katarak senil 176,3 L
13 Ny. Sy 50 thn katarak senil 103,6 P
14 Ny. Al 62 thn katarak senil 46,3 P
15 Ny. R 67 thn katarak senil 136,3 P
16 Ny. J 75 thn katarak senil 32,9 L
17 Ny. M 70 thn katarak senil 71,5 P
18 Ny. Do 81 thn katarak senil 80,0 P
19 Ny. El 56 thn katarak senil 79,0 P
20 Tn. D 64 thn katarak senil 87,1 L
21 Ny. Ma 66 thn katarak senil 135,2 P
22 Ny. St 70 thn katarak senil 159,0 P
23 Ny. P 74 thn katarak senil 190,4 P
24 Tn. A R 68 thn katarak senil 106,6 L
25 Ny. Mar 66 thn katarak senil 111,2 P
26 Tn. Ab R 74 thn katarak senil 139,5 L
27 Tn. T 66 thn katarak senil 120,3 L
28 Tn. Dj 70 thn katarak senil 149,0 L
29 Tn. Pt 76 thn katarak senil 188,2 L
30 Tn. Sug 31 thn katarak senil 150,8 L
31 Ny. L S 60 thn katarak senil 89,3 P
81
Lampiran 2
HASIL PEMERIKSAAN KADAR VEGF HUMAN HUMOR AKUOS GLAUCOMA
NO NAMA UMUR DIAGNOSIS VEGF (PG/ML) KET
1 Tn. Ab R 59 thn Primary Open Angel Glaucoma 95,9 L
2 Tn. UT 60 thn Primary Open Angel Glaucoma 243,6 L
3 Tn. S B 61 thn Glaukoma Primer Sudut tertutup 156,9 L
4 Ny. N N 60 thn Glaukoma Primer sudut tertutup 255,5 P
5 Tn. Sd 57 thn primary Closed angel Glaucoma 151,9 L
6 Ny. Ten 50 thn Primary Open Angel Glaucoma 205,4 P
7 Ny. Ds 62 thn primary Closed angel Glaucoma 496,7 P
8 Tn. Ir 58 thn Primary Open Angel Glaucoma 371,4 L
9 Tn. Y 48 thn Primary Open Angel Glaucoma 206,5 L
10 Tn. Sn 73 thn primary Closed angel Glaucoma 87,8 L
11 Tn. Sl 60 thn primary Closed angel Glaucoma 730,6 L
12 Ny. Sb 68 thn Glaukoma Sudut tertutup 206,7 P
13 Tn. Bg 70 thn Glaukoma Sudut tertutup 206,7 L
14 Tn. A 69 thn Glaucoma Sudut Tertutup 253,2 L
15 Ny. R D 80 thn primary Closed angel Glaucoma 453,0 P
16 Ny. Dh 49 thn Primary Open Angel Glaucoma 400,6 P
Rentang Standar VEGF = 15,6 - 1000 pg/ml.
82
Lampiran 3
HASIL PEMERIKSAAN KADAR VEGF HUMAN HUMOR AKUOS GLAUKOMA + BEVACIZUMAB
NO NAMA UMUR DIAGNOSIS VEGF
(PG/ML) KET
1 Tn. AP 53 thn Primary Open Angel Glaucoma 94,9 L
2 Ny. B 65 thn Primary Angel Closure Glaucoma 85,4 P
3 Ny. Y 69 thn Primary Angel Closure Glaucoma 49,8 P
4 Ny. Df 80 thn Primary Angel Closure Glaucoma 76,9 P
5 Ny. Mr 74 thn Primary Angel Closure Glaucoma 72,5 P
6 Ny. Rm 42 thn Primary Open Angel Glaucoma 73,7 P
7 Tn. Mg 75 thn Primary Angel Closure Glaucoma 87,1 L
8 Ny. Jc 65 thn Gaukoma sudut tertutup 28,4 P
9 Ny. NH 65 thn Primary Angel Closure Glaucoma 53,3 P
10 Ny. Sm 67 thn Primary Angel Closure Glaucoma 39,7 P
11 Tn. JRP 73 thn Gaukoma sudut tertutup 77,1 L
12 Tn. Sh 75 thn Gaukoma sudut tertutup 72,6 L
13 Tn. AHB 64 thn Gaukoma sudut tertutup 59,0 L
14 Tn. M Y 48 thn Primary Open Angel Glaucoma 56,7 L
15 Ny. Y T 69 thn Primary Angel Closure Glaucoma 81,7 P
16 Ny. Pc 60 thn Primary Angel Closure Glaucoma 74,9 P
17 Tn. L I 52 thn Primary Open Angel Glaucoma 60,5 L
83
Lampiran 4
TABEL. TIO,BLEB KONJUNGTIVA ( TANPA BEVACISUMAB )
NO NAMA UMUR DIAGNOSIS TIO (mmHg)
BLEB KONJUNGTIVA
KET
AWAL
HR1
HR 14 HR 30 HR 1 HR 14 HR 30
1 Tn. Ab R 59 thn
Primary Open Angel Glaucoma 50 8 10 13 A3H2V5
A3H3V4
A2H3V3 L
2 Tn. UT 60 thn
Primary Open Angel Glaucoma 47 9 9 11 A2H2V5
A3H2V4
A3H2V3 L
3 Tn. S B 61 thn
Glaukoma Primer Sudut tertutup 67 12 14 17 A4H3V5
A4H3V4
A3H3V3 L
4 Ny. N N 60 thn
Glaukoma Primer sudut tertutup 57 12 14 16 A4H3V5
A4H3V4
A3H3V3 P
5 Tn. Sd 57 thn
primary Closed angel Glaucoma 60 14 17 18 A3H2V5
A3H2V4
A2H3V3 L
6 Ny. Ten 50 thn
Primary Open Angel Glaucoma 45 11 12 12 A3H2V5
A2H2V4
A2H2V3 P
7 Ny. Ds 62 thn
primary Closed angel Glaucoma 55 14 16 19 A4H3V5
A3H2V4
A3H3V3 P
8 Tn. Ir 58 thn
Primary Open Angel Glaucoma 40 10 14 14 A2H2V5
A3H2V3
A3H2V2 L
9 Tn. Y 48 thn
Primary Open Angel Glaucoma 48 11 15 17 A3H2V5
A2H2V4
A2H3V3 L
10 Tn. Sn 73 thn
primary Closed angel Glaucoma 65 15 18 20 A4H3V5
A3H3V5
A2H3V4 L
11 Tn. Sl 60 thn
primary Closed angel Glaucoma 50 14 16 19 A3H3V5
A3H3V4
A2H3V3 L
12 Ny. Sb 68 thn Glaukoma Sudut tertutup 65 13 14 18 A4H4V5
A4H3V4
A3H3V3 P
13 Tn. Bg 70 thn Glaukoma Sudut tertutup 60 12 12 17 A2H2V5
A2H2V4
A2H3V3 L
14 Tn. A 69 thn Glaucoma Sudut Tertutup 70 14 18 20 A2H1V5
A2H2V4
A2H2V3 L
15 Ny. R D 80 thn
primary Closed angel Glaucoma 55 10 16 19 A2H2V5
A3H2V4
A3H3V3 P
16 Ny. Dh 49 thn
Primary Open Angel Glaucoma 47 9 11 15 A3H2V4
A3H3V3
A3H3V2 P
84
Lampiran 5
TABEL. TIO,BLEB KONJUNGTIVA PADA TRABEKULEKTOMI + BEVACIZUMAB
NO NAMA UMUR DIAGNOSIS
TIO (mmHg)
BLEB KONJUNGTIVA
KET
AWAL HR1 HR 14 HR 30 HR 1 HR 14 HR 30
1 Tn. AP 53 thn Primary Open Angel Glaucoma 45 9 10 13 A2H3V4 A2H3V3 A2H3V1 L
2 Ny. B 65 thn Primary Angel Closure Glaucoma 65 12 14 16 A3H3V4 A3H3V3 A3H3V2 P
3 Ny. Y 69 thn Primary Angel Closure Glaucoma 55 13 16 18 A3H2V5 A3H3V4 A4H3V3 P
4 Ny. Df 80 thn Primary Angel Closure Glaucoma 60 11 15 18 A3H2V4 A3H3V3 A2H3V2 P
5 Ny. Mr 74 thn Primary Angel Closure Glaucoma 45 14 14 16 A4H3V5 A3H3V3 A3H3V2 P
6 Ny. Rm 42 thn Primary Open Angle Glaucoma 35 10 13 18 A2H2V3 A2H2V3 A2H3V1 P
7 Tn. Mg 75 thn Primary Angel Closure Glaucoma 70 13 14 17 A2H2V3 A3H3V3 A3H3V2 L
8 Ny. Jc 65 thn Gaukoma sudut tertutup 55 10 13 15 A3H3V3 A2H3V3 A2H3V2 P
9 Ny. NH 65 thn Primary Angel Closure Glaucoma 53 15 18 19 A4H3V5 A3H3V3 A3H3V2 P
10 Ny. Sm 67 thn Primary Angel Closure Glaucoma 66 10 11 15 A3H2V4 A3H2V3 A3H3V1 P
11 Tn. JRP 73 thn Gaukoma sudut tertutup 70 11 11 14 A2H2V3 A2H2V2 A2H3V1 L
12 Tn. Sh 75 thn Gaukoma sudut tertutup 65 12 13 13 A2H2V3 A2H2V3 A2H2V1 L
13 Tn. AHB 64 thn Gaukoma sudut tertutup 54 13 15 15 A3H2V4 A3H3V3 A3H3V1 L
14 Tn. M Y 48 thn Primary Open Angel Glaucoma 40 11 14 15 A4H2V3 A3H2V3 A3H3V2 L
15 Ny. Y T 69 thn Primary Angel Closure Glaucoma 50 10 14 14 A3H3V4 A3H3V3 A3H3V2 P
16 Ny. Pc 60 thn Primary Angel Closure Glaucoma 53 13 13 15 A2H2V4 A2H3V4 A2H3V3 P
17 Tn. L I 52 thn Primary Open Angel Glaucoma 35 10 11 13 A2H2V3 A2H2V2 A2H3V1 L
85
Lampiran 6
FORMULIR KUESIONER PENELITIAN
EFEKTIFITAS ANTI VEGF (BEVACIZUMAB) SUBKONJUNGTIVA
TERHADAP KEBERHASILAN TRABEKULEKTOMI PADA PENDERITA
GLAUKOMA
Makassar .................................. 2014
No. Urut : .............
IDENTITAS
Nama : ........................................
Pekerjaan :……………………………
Tanggal lahir :……………………………
Umur : .............. tahun ………… bulan
Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan
Alamat : ......................................................................................................
Telepon :
………………………………………………………………………..
A. PENGENALAN TEMPAT
1. Kecamatan
...........................................................................................................................
2. Desa/Kelurahan
...................................................................................................................
3. No. Urut Responden
...........................................................................................................
B. KARAKTERISTIK RESPONDEN
1. Nama : (KK / S / I / A / Lainnya)
2. Umur : tahun
3. Jenis Kelamin : 1.Laki-laki 2.Perempuan
4. Pendidikan Terakhir: 1.Tidak sekolah 2.Tamat SD 3.Tamat SLTA
4.Tamat SLTA 5.Tamat Akademi / PT
5. Status Perkawinan : 1.Belum kawin 2.Kawin 3.Cerai
6. Jumlah Anggota Rumah Tangga : Orang
86
7. Suku Bangsa :
C. RIWAYAT KELUARGA
1. Menggunakan kaca mata 1. Ya 2. Tidak
2. Menggunakan kacamata sejak umur 1. < 40 tahun 2. > 40 tahun
3. Menderita penyakit yang sama 1. ada 2. Tidak ada
D. RIWAYAT PENGOBATAN SEBELUMNYA
1. Berobat mata sebelumnya 1. Ya 2. Tidak
2. Mendapat obat tetes mata 1. Ya 2. Tidak
3. Laser mata 1. Ya 2. Tidak
4. Operasi mata 1. Ya 2. Tidak
5. Jika Ya no 4, Operasi apa 1.Katarak 2. Glaukoma
3. Pterigium 4. Lain
E. KELUHAN PENYAKIT
1. Sakit Kepala 1. Ya 2. Tidak
2. Disertai mual/muntah (no1) 1. Ya 2. Tidak
3. Pernah melihat pelangi 1. Ya 2. Tidak
4. Penglihatan menurun tiba2 1. Ya 2. Tidak
5. Penglihatan menurun perlahan2 1.Ya 2. Tidak
6. Disertai mata merah 1. Ya 2. Tidak
F. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGIS
1. Visus OD….. OS……
2. Tekanan Intraokuler TOD…… TOS…..
3. Segmen Anterior Bolamata OD………. OS……
4. Slit lamp OD………. OS……
G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Humor akuos mata u menilai kadar VEGF
87
Lampiran 7
FORMULIR PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Topik penelitian : VEGF humor akuos penderita Glaukoma
Peneliti : dr. Noro Waspodo SpM
Alamat : Jl HI Ahmad Saleh 5
No telepon : 081247189704
Kode :
Nama pasien :……………………………………………………………….
Umur :……………………………………………………………….
Jenis kelamin :……………………………………………………………….
Alamat :………………………………………………………………
No telepon :……………………………………………………………….
Jenis Pemeriksaan: VEGF humor akuos
88
Lampiran 8
FORM ADVERSE EVENT
Nama pasien : …………………………….
Jenis kelamin : …………………………….
Umur :……………………………..
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : …………………………………………………………..
Tanda vital : tensi: …… nadi: ……. pernafasan: …… suhu: ………
Status generalis:…………………………………………………………
………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………….
Status lokalis :…………………………………………………………..
Diagnosis :…………………………………………………………
Penatalaksanaan:…………………………………………………………
……………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………….
Makassar, …………..2014
Penanggungjawab Medik Peneliti
dr. Noro Waspodo SpM
89
Lampiran 9
FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN
SETELAH MENDAPAT PENJELASAN
Setelah membaca informasi penelitian serta mendengar penjelasan dan menyadari
pentingnya penelitian:
EFEKTIFITAS ANTI VEGF (BEVACIZUMAB) SUBKONJUNGTIVAL TERHADAP
KEBERHASILAN TRABEKULEKTOMI PADA PENDERITA GLAUKOMA
Maka saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Pekerjaan :
Alamat :
Setelah dijelaskan mengenai penyakit Glaukoma yang dapat menyebabkan
kebutaan permanen terutama jika penanganan terlambat, dan memerlukan segera
penanganan bedah untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Saya bersedia untuk dilakukan pengambilan dan pemeriksaan humor akuos .
Saya mengerti sepenuhnya bahwa tindakan yang dilakukan pada penelitian ini tidak
akan mempengaruhi kondisi kesehatan saya.
Semua biaya pemeriksaan dan biaya pengobatan bila terjadi keluhan apapun
sehubungan dengan pengobatan saya, ditanggung oleh peneliti.
Bila masih ada hal yang masih belum saya mengerti atau saya ingin
mendapatkan penjelasan lebih lanjut, saya bisa mendapatkannya dari dokter peneliti.
Demikian persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.
90
Nama Tanda Tangan Tgl/Bln/Thn
Klien ……………………. ………………………………. ………………
Saksi 1 ……………………. ………………………………. ………………
Saksi 2 ……………………. ………………………………. ………………
91
Lampiran 10
CURRICULUM VITAE
PERSONAL DATA
Name : Noro Waspodo
Place and DOB : Makassar, 27 Maret 1961
Religion : Moslem
Email address : [email protected]
Office address : Medical Faculty,University of Hasanuddin
Perintis Kemerdekaan Km.10, Makassar 90231
EDUCATION
- Ophthalmology Dept. Medical Faculty of Hasanuddin University.
Makassar, 1994
- Medical Doctor, Medical Faculty of Hasanuddin University.
Makassar, 1987
- Medical Science, Medical Faculty of Hasanuddin University.
Makassar, 1984
- Catholic Senior High School. Makassar, 1977 - 1980
- Frater junior High School. Makassar, 1973 - 1976
- Frater Thamrin Primary School. Makassar. 1967 – 1973
FELLOWSHIP TRAINING, CONGRESS
- Glaucoma Course , Palembang 1991
- 10th AFRO-ASIAN Congress of Ophthalmology, Jakarta 1992
- National Congress VIII Indonesian Ophtalmologists Association,
Bandung 1996
92
- Ophthalmology Meeting JEC III ―Phacoemulsification and Refractif
Surgery‖, Jakarta 1997
- 24th Annual Meeting of Indonesian Ophtalmologists Association,
Jakarta 1997
- The 9th National Congress of the Indonesian ophthalmologists
Association ―Progressing and Strengthening Ophthalmologic
Service in Indonesia, Surabaya 2000
- Ophthalmic Ultrasonography Teaching Course and Orbital and
Oculoplastic Management, Jakarta 2000
- 27th Annual Meeting of Indonesian Ophtalmologists Association,
Jakarta 2001
- 28th Indonesian Ophthalmologist Association Annual Meeting,
Bandung 2002
- Symposium and Live Surgery New Era of Cataract Surgery ―Vision
2020 The Right to Sight‖, Surabaya 2002
- As Meeting Participant in The 17th Internasional Cataract Implant
Microrsurgery & Refractive Keratophaty (ICIMRK) Meeting of The
Asia Pasific Association of Cataract & Refractive Surgeon
(APACRS) in Conjunction with The 30th Indonesian
Ophthalmologist Association Annual Meeting, Bali 2004
- As Participant in Management of Pediatric Cataract Course in The
17th Internasional Cataract Implant Microrsurgery & Refractive
Keratophaty (ICIMRK) Meeting of The Asia Pasific Association of
Cataract & Refractive Surgeon (APACRS) in Conjunction with The
30th Indonesian Ophthalmologist Association Annual Meeting, Bali
2004
- As Participant in Refractive Surgery-LASIK, Phakic IOLS,
Refractive Lens Exchange Course in The 17th Internasional
Cataract Implant Microrsurgery & Refractive Keratophaty (ICIMRK)
Meeting of The Asia Pasific Association of Cataract & Refractive
93
Surgeon (APACRS) in Conjunction with The 30th Indonesian
Ophthalmologist Association Annual Meeting, Bali 2004
- As Participant in Advance and Wafefront LASIK Course The 17th
Internasional Cataract Implant Microrsurgery & Refractive
Keratophaty (ICIMRK) Meeting of The Asia Pasific Association of
Cataract & Refractive Surgeon (APACRS) in Conjunction with The
30th Indonesian Ophthalmologist Association Annual Meeting, Bali
2004
- Second Seri-Arvo Meeting in Research in Vision and
Ophthalmology ―Workshop III How to Write a Successful Grant and
Scientific Paper?‖,Singapore, 16-20 Februari 2005
- The 9th Continuing Ophtalmology Education ―Update in
Retinoblastoma and Pediatric Ophthalmology, Jakarta 2006
- Symposium ―Increasing Glaucoma Awareness, Surabaya 2008
- The 34th Indonesian Ophthalmologist Assosiation Annual Meeting,
Joint Meeting with Singapore Society of Ophthalmology and The 3rd
Internasional Conference on Manual Small Incision Cataract
Surgery, Makassar 2008
- The 5th Congress of South East Asia Glaukoma Interest Group of
Glaukoma Group & 6th Meeting of Asia Angle-Closure Glaukoma
Club, Seoul 2008
- Advance Science and Technology in Ophthalmology Toward Vision
2020, Makassar 2008
- Natural Astaxantin Symposium, Yokohama 2008
- The 100th Anniversary of Cicendo Eye Hospital Bandung, Bandung
2009
- The 24th Congress of The Asia-Pacific Academy of Ophthalmology,
Bali 2009
Highlights in New Management of Glaucoma Patients Seminar
- XXVII Congress of the European Society of Cataract and Refractive
Surgeons, Barcelona, Spain 2009
94
- Bali Ophthalmology Retreat, Bali 2010
- 12th National Congress & 35th Annual Scientific Meeting of
Indonesian Opthalmologist Association, Semarang 2010.
- Understanding Glaukoma: Blindness Prevention, 2010
The Basic of Gene and Stem Cells Therapy
- Workshop in Flying Eye Hospital, Surabaya 2010
- The 8th JEC Saturday Seminar ―all you need to know about
Glaukoma & Oculoplasty from Chronic to Beauty‖, Jakarta 2011
- Bali Ophthalmology Retreat, Bali 2011
- Workshop ―Avoiding and Screening of Retinopathy of Prematurity‖,
Makassar, 12 Maret 2011
- Indonesian Society of Cataract and Refractive Surgery Meeting,
Jakarta 2011
- Scientific and Hospital Management Programme ―Jakarta Eye
Center Internasional Meeting, Jakarta 2012
- 1st Asia-Pasific Glaucoma Congress, Bali 2012
- Bali Ophthalmology Retreat, Bali 2012
- Symposium West java region IOA Scientific Meeting, Bandung
2012
- The Harmony of Natural Astaxanthin & D-Ribose for Human Health,
Alaska 2012
- ORBIS Medical Symposium, Surabaya 2012
- Glaucoma Clinical Dissussion, 2013
- Indonesian Society of Cataract and Refractive Surgery, Jakarta
2013
- The 39th Annual Meeting of The Indonesian Ophthalmologist
Association, Yogyakarta 2014
95
SPEAKER
- The 4th National Glaucoma Meeting , Palembang 2013
- The 37th Annual Scientific Meeting of Indonesian Ophthalmologist
association
- The 39th Annual meeting of The Indonesian Ophthalmologist
Association, Yogyakarta 2014.
- The 17th Internasional Cataract Implant Microrsurgery & Refractive
Keratophaty (ICIMRK) Meeting of The Asia Pasific Association of
Cataract & Refractive Surgeon (APACRS) in Conjunction with The
30th Indonesian Ophthalmologist Association Annual Meeting, Bali
2004
ACADEMIC APPOINTMENTS:
- Lecturer and Preceptor at Medical Faculty, University of
Hasanuddin, Makassar, 1990 – present.
- Secretary of Dept Ophthalmology, Medical Faculty, University of
Hasanuddin, Makassar, 2009 – 2013..
- Staff of Departement of Ophthalmology, University of Hasanuddin,
Makassar, 1994 – present.
HOSPITAL APPOINTMENTS:
- Staff of Ophthalmologist, Pelamonia Hospital, Makassar, 1995 –
present
- Staff of Ophthalmologist, Monginsidi Eye and Skin Center,
Makassar, 2011 – present.
PROFESSIONAL ORGANIZATIONS:
- Member of Indonesian Medical Association ( IDI )
- Member of Indonesian Society of Ophthalmology ( PERDAMI )
- Member of Indonesian Society of Glaukoma Ophthalmology
- Member of Indonesian Society og Cataract and Refractive Surgery
96
ABSTRACT ACCEPTED/PAPERS PRESENTED
- ‖Vascularization imaging of conjuctival bleb as the anti-vegf
injection of bevacizumab administered prior to trabeculectomy‖ in
International Journal of Biological and Medical Research
- ‖Humor aqueous level in senile cataract patients‖ in International
Journal of Biological and Medical Research
ACADEMIC INTEREST
- Glaucoma