Efit Psi.nilam

Embed Size (px)

Citation preview

Click to edit Master subtitle style

Bagaimana kita memahami diri sendiri ?

5/4/12 & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini) Efit Fitriani

Penjelasannya terdiri dari :A. Sifat/ciri-ciri the selfSiapakah aku? Bagaimana kita memahami diri (self) kita sendiri? William James (1842-1910), Psikologi Amerika, Menjelaskan adanya dualitas persepsi kita mengenai diri sendiri :Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

Dalam istilah modern : Aku yang diketahui di sebut sebagai konsep diri (self-concept),

yaitu pengetahuan mengenai siapakah diri kita (isi dari self)

Aku yang mengetahui menunjuk pada istilah kesadaran diri (self

awareness), yaitu tindakan berpikir mengenai diri sendiri.

Kombinasi dari dua aspek diri ini menciptakan rasa identitas diri yang koheren (jelas, terintegrasi).

5/4/12

Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

Berikut umum

ini beberapa mengenai

informasi self :

- Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa binatang (simpanse, orang utan, lumba-lumba juga memiliki rasa aku (sense of self) Dalam penelitianpenelitian itu simpanse, orang utan, dan lumbalumba dibiasakan dengan cermin disekelilingnya. Setelah terbiasa, saat mereka tidur pada bagian tubuh tertentu di beri warna oleh peneliti.

Efit Fitriani 5/4/12 & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

bahwa bagian tubuhnya telah berwarna (simpanse dan orang utan memegang kepalanya yang berwarna merah; lumba-lumba memutar badannya untuk melihat lebih jelas bagian tubuhnya yang berwarna). Gallup dkk (2003) menyimpulkan bahwa binatangbinatang yang diteliti tersebut memiliki konsep diri yang belum sempurna. Mereka mengerti bahwa makhluk pada cermin itu adalah dirinya, dan mengerti - Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa pengenalan akan diri (self recognition) dimulai pada usia sekitar 2 tahun. Konsep diri yang awalnya nampak belum sempurna ini makin lama akan makin kompleks. Menjawab pertanyaan Siapakah aku? , jawaban anak-anak masih bersift konkrit (menunjukan jenis kelamin, usia, orang terdekat, hobi, dsb). Setelah lebih matang kita mengurangi fokus pada ciri-ciri fisik, melainkan kondisi psikologis (pikiran dan perasaan) dan mempertimbangkan bagaimana penilaian orang Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini) 5/4/12 lain.

I.

Fungsi Selfmenunjukan bahwa self

Hasil-hasil penelitian memiliki/melayani

fungsi organisasional (mengorganisir) dan fungsi eksekutifA. Fungsi organisasional

- Fungsi ini menunjuk pada skema tentang diri (self-schemas), yaitu struktur mental yang digunakan orang untuk mengorganisasikan pengetahuannya mengenai diri sendiri, dan mempengaruhi bagaimana seseorang mencatat, memikirkan dan mengingat dirinya sendiri.5/4/12

5/4/12

2. Perbedaan Budaya Dalam Mendefinisikan Self

Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

Click to edit Master subtitle style

INDEPENDENT OF VIEW OF THE SELF : Suatu cara mendefinisikan diri sendiri dengan kerangka pikiran, perasaan, dan prlakunya sendiri, dan 5/4/12 bukan dalam kerangka pikiran, perasaan, dan

- Budaya-budaya di Asia dan berbagai budaya nonBarat memiliki pandangan mengenai diri yang saling tergantung (interdependent view of the self). Keterhubungan (connectedness) dan saling ketergantungan antar orang sangat dihargai, sedangkan kemandirian dan keunikan disukai. -> Bagi Masyarakat Jepang dan Asia lainnya, pilihan Masako untuk berhenti berkarier merupakan konsekuensi alami dari pandangannya mengenai diri sendiri yang terkoneksi dan memiliki kewajiban atas orang lain INTERDEPENDENT OF VIEW OF (orang tua dan keluarga kerajaan). THE SELF : Suatu Click to edit Master subtitle style

cara mendefinisikan diri sendiri dengan kerangka relasi diri sendiri dengan orang lain; menghargai bahwa perilakunya sendiri sering ditentukan oleh Penjelasan mengenai perbedaan budaya mengenai konsep pikiran, tidak berarti bahwa semua anggota diri di rasa perasaan dan prlaku orang lain masyarakat

Barat memiliki independent view of the self dan semua anggota masyarakat Asia memiliki interdependent view of the self . Di dalam tiap-tiap budaya bagaimanapun juga terdapat perbedaan konsep diri . Selain itu, bila kontak antar &budaya (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilamantar budaya akan meningkat, perbedaan Widyarini) Efit Fitriani Firman Akbar 5/4/12 berkurang.

mereka mengobrol soal hubungan interpersonal, sedangkan pria mengobrol tentang berbagai hal yang mereka sukai (biasanya sport). Stereotip ini merefleksikan adanya perbedaan konsep diri antara lakilaki dan perempuan. - Konsep diri perempuan lebih ke arah relational interdependence, yang berarti bahwa mereka lebih berfokus pada hubungan erat, misalnya bagaimana perasaannya terhadap pasangan dan anakanaknya. - Konsep diri laki-laki ebih ke arah collective interpendence, yang berarti bahwa mereka lebih berfokus pada keanggotaannya dalam kelompok besar, misalnya fakta bahwa mereka orang Amerika atau anggota suatu kelompok persaudaraan. Konsep diri bersifat adaptif terhadap semua budaya. Budaya dan juga gender membentuk isi konsep diri. Bagaimana dua hal ini dapat terjadi ? Jawabannya adalah bahwa dalam tiap-tiap diri orang terdapat suatu motif dasar yang menuntun bagaimana ia memandang dirinya. Individu menghendaki : a. Pengetahuan yang akurat tentang diri sendiri (sel-knowledge;selfassessment) b. adanya konfirmasi atas apa yang diyakini. c. umpan balik yang positif (self-enhance) 5/4/12

Hal ini terjawab melalui budaya dan tipe gendernya. Penekanan atas motif-motif tersebut berbeda-beda antar budaya. Artinya, ada budaya yang menekankan motif-motif untuk memiliki pengetahuan tentang diri (self-knowledge; self assessment) yang akurat, konfirmasi atas apa yang diyakini, dan umpan balik yang positif (self-enhance), di sisi lain terdapat budaya yang tidak terlalu menekankan hal tersebut. sedangkan di dalam suatu budaya yang sama, perbedaan motif tersebut terletak pada keberadaan motifmotif tersebut pada titik yang berbeda pada daur hidup individu. Berikut ini diuraikan mengenai self assessment atau berbagai cara individu mendapatkan pengetahuannya mengenai dirinya secara akurat.

B. MENGENAL DIRI SENDIRI MELALUI INTROSPEKSIINTROSPEKSI adalah proses individu melihat kedalam dirinya dan menguji pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan motif-motifnya sendiri.5/4/12 Berikut ini beberapa penjelasan yang berkaitan dengan introspeksi.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut Csikszentmihalyi dan Figurski(1982) melakukan penelitian terhadap 107 pekerja berusia 1963 tahun dari berbagai perusahaan. Subjek di minta mengenakan pager selama satu minggu. Pager berbunyi dengan interfal acak antara 7:30-22:30, secara keseluruhan sebanyak 7-9 kali sehari. Saat pager berbunyi partisipan diminta menjawab sejumlah pertanyaan mengenai aktivitasnya, pikirannya dan moodnya pada saat itu. Hasil penelitian atas pertanyaan Apa yang anda pikirkan? menunjukan bahwa pikiran mengenai diri sendri hanya sebanyak 8% dari keseluruhan pikiran yang tercatat. Partisipan lebih sering berpikir mengenai pekerjaan, tidak berpikir apa-apa, waktu, antara pekerjaan dan rumah, dan kegiatan di waktu luang. Pikiran-pikiran yang lain yang frekuensinya kurangdari 8% adalah mengenai orang-orang, percakapan dengan orang lain, hal-hal umum, TV da radio, makanan, projek penelitian. Meskipun jarang berpikir mengenai diri sendiri, namun tentu saja kadang-kadang kita mengubah arah perhatian menyadari diri sendiri, terutama bila menghadapi situasi yang memicu kesadaran diri, misalnya melihat diri sendiridalam video atau cermin.Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

Menurut teori kesadaran diri (self awareness), bila kita memusatkan perhatian pada diri sendiri, kita menilai dan membandingkan perilaku kita saat itu dengan standar internal dan nilai-nilai kita. Kita menjadi sadar diri, dalam arti menjadi objektif, menilai diri kita sendiri melalui pengamatan. SELF-AWARENESS THEORY : Gagasan bahwa bila orang memusatkan perhatian terhadap dirinya sendiri, mereka menilai dan membandingkan prilaku kita saat itu dengan standar internal dan nilai-nilai mereka. Dinamika self-awareness : Dengan refleksi diri kita menjadi sadar akan kesenjangan antara prilaku dengan standar internal kita. Bila kita merasa dapat mengubah prilaku sesuai dengan standar internal, kita akan melakukannya, dan merasa nyaman karenanya. Namun bila kita merasa tidak dapat mengubah prilaku kita, dalam keadaan sadar diri , kita akan merasa tidak nyaman karena berhadapan dengan umpan balik yang tidak menyetujui diri sendiri ( Duval & Silvia, 2002 ). Karena merasa tidak nyaman, biasanya orang cenderung melarikan diri dari kondisi sadar diri.

Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

Berikut ini beberapa catatan yang berkaitan dengan teori kesadaran diri : Kadang-kadang orang berharap menjauhkan diri dari kondisi sadar diri.

Berbagai upaya yang dilakukan, antara lain dengan menyalah gunakan alkohol, pesta makanan, masokisme (lawan sadisme) seksual. Misalnya menjadi peminum alkohol merupakan cara untuk menghindari pikiran negatif mengenai diri sendiri. Beberapa penulis menyimpulkan kenyataan bahwa orang-orang melakukan hal yang berbahaya, meskipun beresiko, merupakan indikasi betapa tidak menyenangkan bila kita dalam kondisi sadar diri. Tidak semua bentuk pelarian dari diri sendiri (escaping the self) itu bersifat

merusak. Berbagai bentuk pengalaman religius dan spritual juga dapat diartikan sebagai penghindaran dari kondisi terfokus pada diri sendiri ( Baumeister, 1991) Fokus pada diri sendiri tidak selalu tidak menyenangkan. Bila kita mengalami

sukses besar, berfokus pada diri sendiri dapat terasa sangat menyenangkan karena hal itu memperjelas prestasi positif kita. Fokus pada diri sendiri dapat juga menjadi cara untuk keluar dari kesulitan,

yaitu mengingatkan kita akan mana yang benar dan yang salah, sehingga kita memilih untuk bertindak benar. 5/4/12

2. Menceritakan lebih banyak daripada yang kita ketahui (Telling more than we can do)Seperti yang dijelaskan dalam bab mengenai Kognisi Sosial (Bab 3), berbagai proses mental terjadi di luar kesadaran (Wilson, 2002). Biasanya kita hanya sadar akan hasil akhir proses berpikir kita (misalnya bahwa kita jatuh cinta), namun tidak menyadari proses kognisi yang menyebabkan hasil tersebut. itulah sebabnya, hanya dengan introspeksi mungkin tidak membuat kita menemukan penyebab pikiran atau perasaan kita, namun kita akan berhasil meyakinkan diri mengenai penyebabnya.

Nilbett & Wilson (Nisbett&Ross, 1980; Nisbett & Wilson, 1977; Wilson 2002) menyebut fenomena ini sebagai telling more than we can know, karena penjelasan orang mengenai prilaku dan perasaannya sering jauh dari apa yang dapat mereka ketahui secara rasional.

Sebagai contoh, penelitian Wilson, Laser & Stone (1982) dengan partisipan mahasiswa, partisipan di minta mencatat suasana hatinya (mood) setiap hari selama lima minggu. 5/4/12

Mereka juga diminta melacak hal yang mungkin menyebabkan mood mereka, misalnya cuaca, beban kerja, atau lama tidur pada malam hari sebelumny. Hasil analisis data menunjukan bahwa dalam banyak kasus, individu salah dalam memperkirakan apa yang mempengaruhi suasana hati mereka. Misalnya banyak orang yang mengira bahwa suasana hatinya dipengaruhi oleh lamanya waktu tidur, padahal kenyataannya lamanya waktu tidur tidak mempengaruhi mood. Hal yang menjadi sandaran partisipan dalam memperkirakan penyebab perasaan atau prilakunya adalah teori-teori kausal (Causal theories) mereka. CAUSAL THEORIES adalah teori-teori mengenai penyebab perasaan dan prilaku kita sendiri; dimana teori-teori tersebut sering kita pelajari dengan budaya kita. Masalahnya seperti yang telah di bahas pada Bab 3, skema dan teori-teori kita tidak selalu benar dan dapat mengakibatkan kesalahan dalam dalam menilai penyebab tindakan-tindakan kita. Selain bersandar pada teori-teori kausal, dalam memperkirakan penyebab perasaan atau prilaku kita sendiri, kita juga bersandar pada informasi-informasi yang kita miliki mengenai diri kita sendiri.Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

Fakta menunjukan bahwa bagamanapun juga introspeksi tidak selalu memberikan jawaban yang benar mengenai penyebab perasaan dan prilaku kita

3.

Konsekuensi introspeksi mengenai alasan bertindak.

Tim Wilson dkk (Wilson, 2002; Wilson dkk, 1989; Wilson dkk, 1995) telah menemukan bahwa menganalisa alasan/penyebab dari perasaan kita bukan selalu merupakan strategi terbaik dan dapat menyebabkan terjadi kesalahan. Mengapa ? Alasan-alasan yang nampaknya masuk akal dan mudah dikatakan seringkali mengakibatkan perubahan sikap. Prubahan sikap seperti ini disebut sebagai reason generated attitude change.

REASON GENERATED ATTITUDE CHANGE : perubahan sikap yang terjadi akibat seseorang berpikir mengenai alasan sikapnya; individu beranggapan bahwa sikapnya sesuai dengan alasan-alasan yang masuk akal dan mudah dikatakan.

5/4/12Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

PERILAKU SENDIRI Teori persepsi diri (self-perception theory) dari Bem (1972) menyatakan bahwa bila sikap dan perasaan kita tidak menentu atau kabur, kita mencoba menarik kesimpulan dengan mengamati perilaku kita sendiri dan situasi yang ada. Berikut ini diuraikan beberapa hal berkaitan dengan teori persepsi diri. 1. Motivasi Intrinsik versus Ekstrinsik Orang tua atau pendidik sering berusaha mendorong anak untuk melakukan suatu hal yang baik, misalnya kesenangan membaca. Mendorong anak untuk suka membaca itu tidak mudah, karena harus bersaing dengan berbagai hal lain yang menarik perhatian anak, antara lain menonton TV, video games, atau internet. Untuk itu mereka seringkali menyediakan hadiah-hadiah. Bagaimana efek pemberian hadiah terhadap kecintaan anak untuk membaca? Berdasar program yang pemberian hadiah yang diterapkan di beberapa sekolah5/4/12

hadiah (uang maupun pizza) merupakan motivator yang berdaya guna. Namun demikian, manusia bukan binatang. Manusia berpikir mengenai dirinya sendiri, mengenai konsep dirinya, dan motivasinya melakukan sesuatu. Bila anak diberi hadiah (dibayar) setelah menyelesiakan membaca buku, maka ia akan berpikir bahwa dirinya belajar demi mendapatkan uang, bukan karena menemukan bahwa membaca itu sendiri adalah aktivitas yang menyenangkan (dapat dinikmati). Bila program pemberian hadiah telah berakhir, tidak ada lagi uang ataupun pizza sebagai hadiah membaca buku, mungkin anak justru lebih sedikit membaca bila dibanding sebelum ada program pemberian hadiah. Lain halnya pada anak-anak yang sudah suka membaca, mereka memiliki motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik, yaitu kebutuhan untuk melakukan suatu aktivitas karena mereka menikmatinya atau menemukan bahwa aktivitas itu menarik, bukan karena ganjaran eksternal ataupun adanya tekanan. Alasan untuk melakukan aktivitas ada dalam diri anak itu sendiri, yaitu kesenangan dan kenikmatan bila melakukannya.Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

aktivitasnya membaca? Semula mereka membaca dengan motivasi intrinsik, sekarang dipacu dengan motivasi ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik, yaitu kebutuhan untuk melakukan aktivitas karena adanya ganjaran eksternal (dari luar diri) atau adanya tekanan, bukan karena menikmatinya atau menemukan bahwa aktivitas Itu menarik. Efek dari Pembenaran yang Berlebihan (Overjustification). Menurut teori persepsi diri, hadiah dapat menurunkan motivasi intrinsik. Bila sebelumnya anak telah menyukai aktivitas membaca karena memang menikmatinya, setelah ada program pemberian hadiah ia membaca sedemikian rupa untuk mendapatkan hadiah. Mengganti motivasi intrinsik dengan motivasi ekstrinsik, hasilnya sungguh tidak menguntungkan, membuat orang kehilangan minat terhadap aktivitas yang sebelumnya mereka nikmati. Hasil seperti inilah yang di sebut sebagai overjustification effect. OVERJUSTIFICATION EFFECT: kecenderungan orang-orang untuk melihat perilakunya disebabkan oleh alasan ekstrinsik (di luar dirinya) yang menarik, ini membuat mereka meremehkan kemungkinan perilakunya disebabkan alasan intrinsik (dari dalam dirinya).Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

ganjaran? Untunglah, kondisi overjustification effect dapat dihindari. Ganjaran akan merusak minat (interest) hanya jika minat tersebut semula tinggi (Calder & Staw, 1975; Tang & Hall,1995). Bila seorang anak tidak memiliki minat membaca, kemudian ditawari hadiah agar ia mebaca, hal ini tidak menjadi masalah, karena tidak ada minat awal yang dirusak. Selain itu, jenis ganjaran juga menentukan. Dua jenis ganjaran yang dimaksudkan adalah: - Ganjaran bergantung pada tugas (Task-contingent rewards), adalah ganjaran yang diberikan setelah tugas diselesaikan, tanpa memperhatikan kualitas penyelesaian tugasnya. - Ganjaran bergantung pada kinerja (Performance-continent rewards), adalah ganjaran yang diberikan berdasarkan kualitas kinerja dalam suatu tugas. Ganjaran yang bergantung pada kinerja, lebih kecil kemungkinannya menurunkan minat, bahkan memungkinkan terjadinya peningkatan minat. Mengapa? Karena ganjaran seperti itu membawa pesan Kamu bagus dalam melakukan tugasmu (Deci & Ryan, 1985; Sansone & Harackiewicz, 1997).5/4/12

Namun demikian, perlu diketahui bahwa meskipun orang menyukai adanya umpan balik positif, namun mereka tidak suka bila menemukan dirinya sedang dievaluasi (Harackiewicz,1989; Harackiewicz dkk,1984). Jadi, pemberian ganjaran yang bergantung pada kinerja memiliki efek positif, asalkan tidak membuat individu merasa tegang karena mengetahui dirinya dievaluasi. 2. Memahami Emosi Kita: Teori Emosi Dua Faktor Bagaimana kita memahami emosi yang kita alami (senang, marah, takut, dsb)? Terjadinya memiliki banyak kesamaan dengan proses persepsi diri yang telah dibahas di atas. Stanley Schachter (1964) mengemukakan teori emosi yang menyatakan bahwa kita menyimpulkan emosi kita dengan cara yang sama seperti menyimpulkan orang seperti apakah diri kita. Dalam tiap-tiap kasus kita mengamati perilaku kita, dan kemudian menjelaskan mengapa kita berperilaku seperti itu. Bedanya, dalam dalam hal emosi, yang kita amati adalah perilaku internal kita, yaitu bagaimana kita merasa terbangkitkan/bergejolak (aroused) secara fisiologis.Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

Teori Schachter disebut teori emosi dua faktor (two-factor theory of emotion ). TWO-FACTOR THEORY OF EMOTION: gagasan bahwa pengalaman emosi adalah hasil dari dua langkah proses persepsi diri, di mana individu pertama-tama mengalami gejolak fisiologis (arousal) dan kemudian mencari penjelasan yang tepat untuk gejolak fisiologis tsb. Eksperimen Untuk Menguji Teori Emosi Dua Faktor: Umpamakan bahwa Anda berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan oleh Schachter & Singer (1962) yang menguji teori emosi dua faktor. Partisipan diberitahu oleh eksperimenter bahwa ia hendak meneliti efek vitamin yang disebut Suproxin terhadap pengelihatan. Diberitahukan bahwa setelah diinjeksi Suproxin partisipan diminta menanti sementara vitamin itu bekerja. Eksperimenter memperkenalkan tiap partisipan kepada partisipan yang lain yang katanya juga telah diinjeksi Suproxin. Eksperimenter memberikan kuesioner kepada tiap partisipan untuk diisi, dan mengatakan akan kembali lagi untuk melakukan tes penglihatan. Partisipan melihat bahwa kuesioner itu sangat pribadi dan menghina.Misalnya, berupa pertanyaan Dengan berapa banyak laki-laki (selain ayahmu) ibumu telah melakukan hubungan di luar nikah?.Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

Beberapa partisipan lain (yang sebenarnya adalah anak buah eksperimenter) bereaksi sangat marah, geram,hingga menyobek-nyobek kuesioner melemparnya ke lantai, dan keluar ruang. Bagaiman reaksi Anda bila menjadi partisipan dalam eksperimen tsb? Apakah Anda juga marah? Eksperimen ini sebenarnya tidak bertujuan untuk menguji pengelihatan,melainkan untuk melihat adanya arousal dan interpretasi terhadap arousal tsb dalam pengalaman emosi. Partisipan tidak benar-benar diinjeksi vitamin, melainkan sebagian partisipan diinjeksi epinephrine, yaitu hormon yang secara alami diproduksi dalam tubuh manusia yang menyebabkan arousal (suhu badan, detak jantung dan pernafasan meningkat), dan sebagian partisipan lainnya menerima placebo yang tidak memiliki efek fisiologis apapun. Hasilnya, partisipan yang diinjeksi epinephrin (tanpa menyadari bahawa ada pengaruh epinephrin dalam tubuhnya) bereaksi jauh lebih marah daripada partisipan yang diinjeksi placebo. Kemarahan mereka distimulasi oleh epinephrin maupun oleh kuesioner, namun mengira penyebab kemarahannya semata-mata akibat kuesioner. Implikasi yang menarik dari teori Scachter dan Singer adalah bahwa emosi manusia merupakan sesuatu yang sewenang-wenang, tergantung penjelasan 5/4/12 yang paling masuk akal terhadap arousal yang dialaminya.

(1) Pertama, mereka menunjukkan bahwa kemarahan partisipan dapat dicegah dengan cara memberitahukan kepada partisipan yang diinjeksi epinephrin bahwa hal itu akan meningkatkan detak jantung, membuat wajah terasa hangat dan memerah, dan menyebabkan tangan mereka agak gemetar. Hasilnya, dalam kondisi eksperimen ini partisipan menginterpretasi bahwa arousal yang dialami bukan karena marah melainkan karena efek dari epinephrin. Partisipan tidak bereaksi marah terhadap kuesioner, meskipun kuesionernya berisi pertanyaan yang melecehkan. (2) Dalam kondisi yang lain, Schachter & Singer menunjukkan bahwa mereka dapat membuat partisipan mengalami emosi yang sangat berbeda, dengan mengubah penjelasan yang paling masuk akal terhadap arousal yang mereka alami. Partisipan tidak menerima kuesioner yang melecehkan, dan anak buah eksperimenter tidak menunjukkan respon marah, melainkan malah bereaksi gembira, masa bodoh, bermain basket dengan gulungan kertas, membuat pesawat kertas, dan bermain dengan hula hoop yang ditemukan di sudut ruang. Bagaimana respon partisipan dalam kondisi ini? Bila 5/4/12 partisipan menerima epinephrin tapi tidak diberitahu bagaimana

tidak disadarinya; partisipan menyandarkan pada petunjuk eksternal untuk menjelaskan perilakunya. 3. Menemukan Penyebab yang Salah: Kesalahan Mengatribusi Arousal Dalam situasi sehari-hari, sering kali ditemukan lebih dari satu penyebab yang masuk akal bagi arousal yang kita alami, dan sulit untuk mengidentifikasi mana penyebab yang paling menimbulkan arousal. Dalam keadaan demikian, dapat terjadi kesalahan mengatribusi arousal (misattribution of arousal). MISSATRIBUTION OF AROUSAL: proses di mana orang-orang membuat kesalahan dalam menyimpulkan penyebab dari apa yang mereka rasakan. Untuk menguji fenomena kesalahan atribusi ini, Dutton & Aron (1974) melakukan eksperimen lapangan, di mana seorang wanita melakukan pendekatan kepada pria-pria, memintanya mengisi kuesioner, dalam dua kondisi eksperimen yang berbeda. Dalam salah 5/4/12 satu kondisi, wanita itu melakukan pendekatan kepada pria-pria

Hasilnya, sekitar 65% pria yang didekati tertarik pada wanita itu dan menelponnya untuk berkencan. Dalam kondisi yang lain, wanita yang sama mendekati para pria dan memintanya mengisi kuesioner setelah mereka selesai melintas jembatan dan telah beristirahat. Hasilnya relatif sedikit (sekitar 30%) pria yang kemudian menelponnya untuk berkencan. KESIMPULAN: Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pria yang didekati si wanita di atas jembatan telah melakukan kesalahan atribusi, yaitu arousal yang disebabkan ia melintasi jembatan (jantung berdebar, nafas lebih cepat, dan mulai berkeringat) mereka simpulkan sebagai etertarikan terhadap kecantikan si wanita. Kesalahan atribusi seperti ini juga ditemukan terjadi dalam beberapa penelitian lainnya. Hasil-hasil penelitian ini memberikan pesan moral : Bila Anda menghadapi pria atau wanita yang menarik dan jantung anda mulai dag-dig-dug, Anda perlu hati-hati berpikir mengenai penyebab debaran jantung itu mungkin saja anda telah jatuh cinta karena ada penyebab yang lain.

Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

APPRISAL THEORIES OF EMOTIONS:teori-teori yang menyatakan bahwa emosi merupakan hasil dari interpretasi dan penjelasan individu terhadap kejadian-kejadian, bahkan ketika dalam keadaan tidak ada arousal fisiologis. Terdapat 2 jenis penilaian (penilaian kognitif terhadap emosi) yang penting, yaitu: (a) Apakah kejadian/peristiwa yang ada memiliki implikasi (pengaruh) yang baik atau buruk bagi kita? Misalnya, bila mendengar kabar sukses seorang teman berarti kegagalan kita (dalam kompetisi), berarti kejadian itu memiliki implikasi negatif untuk kita, maka kita kecewa. Sebaliknya, bila mendengar kabar sukses seorang teman yang selama ini kita dukung, berarti kejadian itu memiliki implikasi positif untuk kita, dan kita merasa bangga. (b) Bagaimana penjelasan kita mengenai penyebab peristiwa tsb? Misalnya jika dalam suatu kompetisi basket tim kita kalah, dan kita menilai bahwa pihak lawan memang bekerja keras dan bermain fair, maka kita mungkin merasa kagum. Namun bila kita menilai pihak lawan bermain curang, 5/4/12 maka kita merasa marah.

Schachter, yaitu bagian yang menjelaskan bahwa individu mencoba menjelaskan penyebab kejadian dan reaksinya terhadap hal itu. Perbedaannya, menurut teori penilaian kognitif, arousal (faktor lain dalam teori dua faktor) tidak selalu ada; penialian kognitif itu sendiri telah cukup menjadi penyebab terjadinya reaksi emosi.

D. MENGGUNAKAN ORANG LAIN UNTUK MENGENAL DIRI SENDIRIKonsep diri kita berkembang bukan hanya oleh diri kita sendiri, melainkan juga dibentuk oleh orang-orang di sekitar kita. Bila kita tidak pernah berinteraksi dengan orang lain, maka gambaran diri kita akan kabur, karena kita tidak melihat diri kita yang berbeda dengan orang lain. 1. Mengetahui Diri Sendiri melalui Perbandingan Diri Sendiri Dengan Orang Lain Bagaimana cara kita menggunakan orang lain untuk mendefinisikan diri kita? Salah satu caranya adalah mengetahui kemampuan-kemampuan dan sikap-sikap kita dengan melihat bagaimana kita dibanding dengan orang lain (perbandingan sosial).Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

TEORI PERBANDINGAN SOSIAL (social comparison theory): gagasan bahwa kita belajar mengenai kemampuan-kemampuan dan sikap-sikap kita sendiri dengan cara membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Kapan kita melakukan perbandingan sosial? Sesorang melakukan perbandingan sosial bila tidak ada standar objektif yang dapat digunakan untuk mengukur dirinya sendiri dan bila ia mengalami ketidakpastian mengenai dirinya sendiri dalam bidang tertentu (Suls & Fletcher, 1983; Suls & Miller, 1977). Misalnya bila dalam suatu acara amal pengunjung dimintai sumbangan, kita sebagai salah satu penyumbang mungkin berusaha mengetahui seberapa murah hati diri kita dengan cara membandingkan besarnya sumbangan kita bila dibanding orang lain. Dengan siapa kita membandingkan diri kita? Hasil penelitian Gilbert dkk (1983) dan juga Mussweiler dkk (2004) menyimpulkan bahwa secara cepat dan otomatis kita cenderung membandingkan diri dengan siapa saja yang ada di sekitar kita. Namun, sesudahnya kita menilai seberapa tepat perbandingan sosial itu.

Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

a. Perbandingan sosial ke bawah (downward), yaitu membandingkan diri dengan orang yang memiliki ciri-ciri atau kemampuan tertentu lebih buruk daripada diri kita sendiri. Hal ini merupakan strategi untukmeningkatkan diri (self enhancing), perlindungan bagi diri sendiri, mendorong ego kita sendiri. Misalnya, bila membandingkan diri dengan orang yang tidak sepandai kita, maka perasaan mengenai diri kita sendiri akan lebih baik. Kita juga merasa lebih baik bila membandingkan diri sendiri di masa sekarang dengan diri di masa lalu. b. Perbandingan sosial ke atas (upward), yaitu membandingkan diri dengan orang yang memiliki ciri-ciri atau kemampuan tertentu lebih baik daripada diri kita sendiri. Hal ini kita lakukan bila kita ingin mengetahui siapa yang posisinya best of the best, yang dapat kita jadikan aspirasi untuk mengembangkan diri. c. Bila kita ingin mengukur secara akurat kemampuan dan pandanganpandangan kita, seringkali akan lebih bermanfaat bila kita 5/4/12

menilai kemampuan kita sendiri. Pandangan kita tentang dunia sosial, seringkali kita adopsi dari pandangan teman-teman kita. Orang cenderung berpegang pada pandangan umum. Mengapa? - Orang-orang yang memiliki pandangan yang sama saling tertarik satu sama lain, dan lebih sering membentuk ikatan sosial bila dibanding orang yang berbeda pandangan. - Di dalam kondisi yang sama, orang cenderung mengadopsi pandangan orangorang lain yang sepergaulan. Charles Cooley (1902) menyebut fenomena ini sebagai looking glass self, yaitu bahwa kita melihat diri sendiri dan dunia sosial kita melalui pandangan orang-orang lain dan sering mengadopsi pandangan itu. Beberapa penelitian yang lebih mutakhir (Hardin & Higgins,1996; Huntstinger, 2005) menyatakan bahwa fenomena ini benar sepanjang satu sama lain ingin bergaul.Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

Tidak mengherankan bahwa antar teman saling mempengaruhi pandangan. Hal yang mengherankan adalah apa yang disebut sebagai SOCIAL TUNING, yaitu proses di mana orang-orang mengadopsi sikap orang lain. Hal ini dapat terjadi meskipun kita baru berjumpa untuk pertama kali, sepanjang kita ingin bergaul dengan orang itu. Social tuning dapat terjadi tanpa disadari (otomatis).

E. MANAJEMEN KESAN: DUNIA SEBAGAI PANGGUNGMANAJEMEN KESAN adalah usaha orang untuk mendapati orang lain melihat dirinya sebagaimana ia ingin dilihat. Bukan hanya para politisi, melainkan dalam kehidupan sehari-hari kita pun melakukan manajemen kesan. Terdapat beberapa strategi manajemen kesan (Jones & Pittman, 1982): a. Ingratiation: proses di mana orang merayu, memberikan pujian, dan secara umum mencoba membuat dirinya menyenangkan bagi orang lain, biasanya orang lain yang statusnya lebih tinggi. Kita dapat melakukan ingratiation melalui penghormatan, dengan menyetujui gagasan orang lain, menunjukkan rasa simapti, dsb. Ingratiation merupakan strategi yang berdaya guna, sepanjang itu baik. Namun dapat menjadi bumerang bila kita bermuka dua.Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

b. Self-Handicaping : Strategi di mana orang menciptakan hambatan dan alasan-alasan bagi diri sendiri sedemikian rupa sehingga jika dirinya melakukan tugas dengan buruk, dapat menghindar dari kesalahan diri sendiri. Hal ini kita lakukan karena bila gagal dalam tugas, konsep diri kita cidera. Oleh sebab itu untuk menghindarinya, kita membuat hambatan (misalnya mengonsumsi alkohol, dsb) ataupun membuat alasan (mengaku sakit, dsb). Strategi ini berisiko kita tidak disukai orang lain; pada umumnya orang tidak menyukai orang yang menggunakan strategi ini (Hirt dkk, 2003; Rhodwalt dkk, 1995). Lebih baik kita belajar secara keras dan melakukan yang terbaik dari pada mengkhawatirkan bagaimana penilaian orang lain bila kita gagal.

Budaya, Manajemen Kesan, dan Self-EnhancementOrang dari budaya manapun peduli untuk melakukan manajemen kesan, namun sifat kepedulian dan strategi yang dipilih berbeda-beda, dipengaruhi oleh budaya. Misalnya, orang Asia lebih memiliki pandangan interdependent terhadap dirinya bila dibanding orang Barat. Konsekuensinya, dalam budaya Asia, menyelamatkan muka (safing face) atau menghindari malu di hadapan publik, merupakan hal yang penting.Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12

Bagaimanapun, kebutuhan untuk melakukan manajemen kesan pada budaya Barat juga kuat. Orang dari budaya manapun menginginkan orang lain memandang dirinya sebagai orang yang baik yang bertindak dengan cara yang tepat (Heine, 2005). Terdapat kecenderungan yang disebut sebagai selfenhancement. SELF-ENHANCEMENT: kecenderungan untuk berfokus pada informasi positif dan menampilkan informasi positif mengenai diri sendiri, dan meminimalkan informasi negatif. Sumber: Aronson, E., Wilson. T.D., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6th edition). Singapore: Pearson Prentice Hall

Efit Fitriani & Firman Akbar (Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini)

5/4/12