Upload
redyhata
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Efusi Pleura
Eylin, MD
Definisi
Pleura merupakan membran tipis pembungkus paru yang terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura
viseralis dan pleura parietalis. Kedua lapisan ini bersatu di daerah hilus arteri dan
mengadakan penetrasi dengan cabang utama bronkus, arteri dan vena bronkialis, serabut saraf
dan pembuluh limfe. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan
ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening.
Pleura seringkali mengalami kelainan seperti terjadinya efusi pleura, yaitu adanya cairan
yang patologis dalam rongga pleura.2,3 Perlu diingat bahwa pada normalnya rongga pleura
selalu ada cairan serosa yang berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura viseralis dan
pleura parietalis, sehingga gerakan paru dapat mengembang dan mengecil dengan mulus
tanpa terjadinya friksi. Cairan fisiologis ini disekresi oleh pleura parietalis dan diabsorbsi
kembali oleh pleura viseralis. Dalam keadaan normal cairan pleura berkisar antara kurang
dari 1 ml – 20 ml dan setiap peningkatan jumlah cairan di atas nilai ini harus dianggap
sebagai efusi pleura.3
Patofisiologi 3
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein
dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai
filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotic
plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke
dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe di sekitar pleura.
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang disebabkan oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadilah
empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat
menyebabkan hemotoraks.
Proses terjadinya pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura parietalis sehingga
udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada
atau alveoli yang kurang elastis lagi seperti pada pasien emfisema paru.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat dan eksudat. Efusi transudat terjadi karena penyakit
lain bukan primer paru seperti pada gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindroma nefrotik,
dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva,
mikaedema, glomerulonefitis, obstruksi vena kava superior, emboli pulmonal, atelektasis
paru, hidrotoraks, dan pneumotoraks.
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan ostmotik
koloid terganggu sehingga terbentuknya cairan akan melebihi reabsorbsinya. Biasanya hal ini
terdapat pada: 1) Meningkatnya tekanan kapiler sistemik, 2) Meningkatnya tekanan kapiler
pulmoner, 3) Menurunnya tekanan osmotic koloid dalam pleura, 4) Menurunnya tekanan
intra pleura.
Sedangkan pada efusi eksudat, terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah
menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab
pleuritis eksudativa yang paling sering adalah akibat M. tuberculosis dan dikenal sebagai
pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit (amuba,
paragonimiosis, ekinokokus), jamur, pneumonia atipik (virus, mikoplasma, legionella),
keganasan paru, proses imunologik seperti pleuritis lupus (karena Systemic Lupus
Eritematous), pleuritis rematoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti pancreatitis,
asbestosis, pleuritis uremia, dan akibat radiasi.
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeablenya
abnormal karena peradangan (infeksi, infark paru, atau neoplasma) dan berisi protein
berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Protein yang terdapat dalam cairan
pleura kebanyakan berasal dari saluran limfe. Kegagalan aliran protein limfe ini (misal: pada
pleuritis tuberkulosa) akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura,
sehingga menimbulkan eksudat.
Efusi transudat atau eksudat dapat dibedakan menurut perbandingan jumlah laktat
dehidrogenase (LDH) dan protein yang terdapat di dalam cairan pleura dan serum. Efusi
pleura eksudatif memenuhi setidaknya salah satu dari ketiga kriteria berikut, sementara
transudatif tidak sama sekali memenuhi kriteria ini: 1
Perbandingan kadar protein cairan pleura/protein serum > 0,5
Perbandingan kadar LDH cairan pleura/LDH serum > 0.6
Kadar LDH cairan pleura > 2/3 kadar normal tertinggi serum (>200)
Etiologi
Gambar 1. Beberapa etiologi efusi pleura1
Pleuritis eksudatif
Umumnya didasari suatu proses peradangan yang dapat akut seperti pneumonia akut akibat
infeksi virus, maupun kronik seperti pleuritis eksudatif tuberkulosa. Kadar proteinnya tinggi
sehingga apabila diperiksa dengan reagens Rivalta akan menghasilkan kekeruhan (uji Rivalta
+). Dengan demikian eksudat ini cukup kental, warnanya kekuning-kuningan, dan jernih serta
cukup banyak mengandung sel-sel limfosit dan mononuclear.
Hidrotoraks
Pada keadaan hipoproteinemi/hipoalbuminemia berat bisa timbul transudat. Cairannya encer
dengan warna dan konsistensi seperti serum, dan tidak mengandung protein sehingga uji
Rivalta pun akan negative. Hidrotoraks biasa ditemukan bilateral. Sebab lain yang mungkin
adalah gagal jantung kanan, sirosis hati dengan asites, serta sebagai salah satu trias dari
sindroma Meig (fibroma ovarii, asites, dan hidrotoraks).
Hematotoraks/hemotoraks
Timbul perdarahan dalam rongga pleura akibat trauma dada/toraks.
Piotoraks/empiema
Akibat infeksi primer maupun sekunder bakteri piogenik yang menyebabkan cairan pleura
berubah menjadi pus/nanah.
Chylothorax
Dapat terjadi karena suatu proses keganasan dalam mediastinum sehingga terjadi erosi dari
duktus toraksikus serta fistulasi ke dalam rongga pleura, dimana cairannya adalah cairan
limfe (putih kekuningan seperti susu). Kelainan ini dapat pula ditemukan pada kasus sirosis
hati dengan chylous ascites, dimana cairan asites ini akan menembus diafragma dan masuk ke
rongga pleura.
Hidropneumotoraks dan piopneumotoraks
Bila pada suatu piotoraks didapatkan juga udara di atas pus, maka disebut piopneumotoraks.
Namun bila cairan masih belum berupa pus maka disebut hidropnemotoraks (air-fluid level).
Cairan pleura hemato-sanguinus
Bila cairan patologis dihasilkan oleh proses maligna pada pleura, baik primer maupun
sekunder, maka cairan akan berwarna kemerah-merahan sampai coklat (hemato-sanguinus).
Suatu abses hati (karena amuba) yang menembus diafragma akan pula menimbulkan efusi
pleura kanan dengan cairan hemato-sanguinus bercampur pus.
Pleuritis tuberkulosa 3
Penyakit ini terjadi sebagai komplikasi tuberculosis paru melalui fokus subpleura yang robek
atau melalui aliran getah bening. Penyebab lain dapat pula berasal dari robeknya perkejuan ke
arah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga, atau kolumna vertebralis.
Penyebaran dapat pula secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Cairan
efusi yang keluar biasanya serosa, namun kadang-kadang bisa juga hemoragik. Jumlah
leukosit antara 500-2.000 per cc dengan dominasi awal sel polimorfonuklear, tapi kemudian
sel limfosit. Cairan efusi sangat sedikit mengandung kuman tuberkulosis, tapi adalah karena
reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein.
Diagnosis 3
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik yang
teliti. Sedangkan diadnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi, dan analisis
cairan pleura.
Temuan klinis
Timbunan cairan dalam rongga pleura akan memberikan kompresi patologis pada paru,
sehingga ekspansinya akan terganggu dengan akibat akhir timbul sesak napas (tanpa bunyi
tambahan, karena bronkus tetap normal). Makin banyak timbunan cairan, sesak akan makin
terasa. Pada bebrapa penderita akan timbul batuk-batuk kering, yang disebabkan oleh
rangsangan pada pleura.
Pada pemeriksaan fisik, makin banyak cairan, maka akan makin tampak paru sisi yang sakit
tertinggal saat pernapasan/ekspansi dada. Fremitus akan melemah (semakin banyak cairan,
semakin lemah fremitus), bahkan pada efusi pleura yang berat fremitus dapat sama sekali
tidak terasa. Bila banyak sekali cairan dalam rongga pleura, maka akan tampak sela-sela iga
menonjol atau konveks. Pada perkusi di daerah yang ada cairan akan dapat terdengar suara
redup sampai pekak, makin banyak cairan bunyi perkusi makin pekak. Suara napas akan
melemah sampai menghilang sama sekali (cairan banyak), yaitu karena paru sama sekali
tidak dapat ekspansi lagi. Pada efusi murni suara tambahan (ronki) tidak akan ada, sebab
parenkim parunya tetap normal. Adanya ronki hanya menunjukkan bahwa di samping adanya
cairan, paru itu sendiri juga mengalami perubahan patologis.
Beberapa jenis efusi pleura dalam waktu cepat akan berubah menjadi fibrin
(Schwarte/fibrotoraks). Tepat sebelum Schwarte mencapai puncaknya, yaitu sewaktu pleura
viseralis dan parietalis masih dapat bergerak bebas walaupun sudah mulai ada perlekatan di
berbagai tempat, dapat terdengar plural friction rub pada setiap inspirasi maupun ekspirasi,
terutama yang dalam.
Diagnosis pleuritis tuberkulosis ditegakkan terutama berdasarkan adanya kuman tuberkulosis
dalam cairan efusi atau jaringan biopsi pleura. Pada daerah-daerah dengan prevalensi
tuberkulosis paru tinggi dan terutama pada pasien usia muda, sebagian besar efusi pleura
disebabkan pleuritis tuberkulosis meskipun tidak ditemukan adanya granuloma pada biopsi
jaringan pleura.
Pemeriksaan radiologis
Untuk konfirmasi dugaan akan adanya efusi pleura maka mutlak diperlukan pemeriksaan foto
paru (PA). Bila masih meragukan (karena temuan klinis yang kuat) dapat dimintakan pula
pada posisi lateral dengan sisi yang sakit di depan.
Suatu kesuraman yang menutupi gambaran paru normal yang dimulai dari diafragma (bila
posisi pasien duduk atau berdiri) adalah suatu tanda jelas dari efusi pleura. Batas kesuraman
ini selalu konkaf dan di bagian lateral paru menanjak dengan jelas. Kelainan dapat unilateral
atau bilateral tergantung dari etiologi penyakitnya.
Tatalaksana
Efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi melalui sela
iga. Bila cairan pus kental hingga sulit keluar atau bila empiemanya multilokular, perlu
tindakan operatif atau sebelumnya dapat dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologis atau
larutan antiseptik (betadine). Pengobatan sistemik hendaknya segera diberikan dengan
diiringi pengeluaran cairan yang adekuat.
Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi (pada efusi pleura maligna),
dapat dilakukan pleurodesis, yaitu melengketnya pleura viseralis dan pleura parietalis. Zat-zat
yang dipakai adalah tertrasiklin (terbanyak dipakai), bleomisin, korinebakterium parvum,
Tio-tepa, dan 5 Fluorourasil.
Pengobatan pada penyakit tuberkulosis (pleuritis tuberkulosis) dengan menggunakan OAT
dapat menyebabkan cairan efusi diserap kembali, tapi untuk menghilangkan eksudat ini
dengan cepat dapat dilakukan torakosintesis. Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna,
tapi kadang-kadang dapat diberikan kortikosteroid secara sistemik (Prednison 1 mg/kg BB
selama 2 minggu kemudian dosis diturunkan secara perlahan).
Pungsi pleura 3
Aspirasi cairan pleura berguna sebagai saran diagnostik dan terapeutik. Pelaksanaan
sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah
paru sela iga garis aksila posterior dengan memakai jarum abocath nomor 14 atau 16.
Torakosentesis memiliki beberapa komplikasi, antara lain pleura shock (hipotensi), edema
paru akut, pnemuotoraks, hemotoraks, dan emboli udara.
Penegakkan diagnosis melalui cairan pleura antara lain dilakukan pemeriksaan warna cairan,
biokima cairan, sitologi, bakteriologi
Pungsi percobaan/diagnostik
Yaitu dengan menusuk dari luar dengan suatu spuit kecil steril 10 atau 20 ml serta mengambil
sedikit cairan pleura (jika ada) untuk dilihat secara fisik (warna cairan) dan untuk
pemeriksaan biokimia (uji Rivalta, kadar kolesterol, LDH, pH, glukosa, dan amilase),
pemeriksaan mikrobiologi umum dan terhadap M. tuberculosis serta pemeriksaan sitologi.
Analisis cairan pleura yang dilakukan satu kali kadang-kadang tidak dapat menegakkan
diagnosis. Dianjurkan aspirasi dan analisisnya diulang kembali sampai diagnosisnya menjadi
jelas. Jika fasilitas memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan tambahan seperti: 1)
Bronkoskopi, pada kasus-kasus neoplasma, korpus alienum dalam paru, abses paru dan
dilakukan beberapa biopsy. 2) Scanning isotop, pada kasus-kasus dengan emboli paru. 3)
Torakoskopi (fiber-optic pleuroscpy), pada kasus-kasus dengan neoplasma atau pleuritis
tuberkulosa.
Pungsi terapeutik
Yaitu mengeluarkan sebanyak mungkin cairan patologis yang tertimbun dalam rongga pleura,
sehingga diharapkan paru pada sisi yang sakit dapat mengembang lagi dengan baik, serta
jantung dan mediastinum tidak lagi terdesak ke sisi yang sehat, dan penderita dapat bernapas
dengan lega kembali. Hal ini sangat penting pada keganasan pleura dimana timbunan cairan
akan dapat mencapai puncak paru serta mendorong jantung dan mediastinum sedemikian
rupa sehingga menimbulkan gangguan hemodinamik. Juga pada pleuritis eksudatif serta pada
hematotoraks untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder (piotoraks) serta Schwarte di
kemudian hari, disamping mengurangi kompresi paru.
Referensi:
Hanley, Michael E., Carolyn H. Welsh. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary
Medicine. 1st edition. McGraw-Hill Companies.USA:2003. E-book
Mason, Robert J. , John F. Murray, V. Courtney Broaddus, Jay A. Nadel. Mason: Murray &
Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine, 4th ed. Saunders, An Imprint of Elsevier: 2005.
E-book
Halim, Hadi. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Sudoyo
AW, et al. Edisi 4, Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI; 2007. h. 1056-
60
McMahon MM, Bistrian Bruce R. Infections in Diabetes Mellitus (. Host defenses and
susceptibility to infection in patients with diabetes mellitus. Infect Dis Clin North Am 1995,
9, 1;
Koziel H, Koziel MJ. Pulmonary complications of diabetes mellitus. Infect Dis Clin North
Am 1995, 9, 67)
Guptan Amrit & Shah Ashok. Tuberculosis and Diabetes : An Appraisal.Ind. J. Tub., 2000.
47,3.