Upload
riannofiansyah
View
69
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
ENDOMETRIOSIS
PENDAHULUAN
Endometriosis adalah terjadinya pertumbuhan jaringan endometrium yang
berfungsi seperti endometrium di luar kavum uteri, dimana ektopik implantasi ini
bisa terdapat pada organ-organ genitalia interna, rektovaginal septum, vesika
urinaria, usus, peritoneum, paru, umbilikus, mata, dan otak 1,2,3,4.
Endometriosis tergolong jinak, akan tetapi pada banyak wanita merupakan
penyakit yang progresif.3 Pertumbuhan endometriosis sangat dipengaruhi oleh
hormon steroid, terutama estrogen.2 Sel endometrium mengandung reseptor yang
mengikat estrogen dan progesteron, yang menyebabkan terjadinya penebalan
uterus. Pada endometriosis sel-sel ini berimplantasi di organ-organ luar uterus,
dimana aktivitas hormonal terus berlanjut dan menyebabkan perdarahan.4
Proses endometriosis menyerupai haid, tiap bulan implantasi endometrium
berespon seperti siklus bulanan di uterus, terisi darah, mengalami penebalan,
luruh dan terjadi perdarahan. Hasil dari proses endometrium ini tidak bisa keluar
melalui vagina seperti darah haid, sehingga implantasi ini membuat terjadinya
kista atau sumbatan. Lesi tidak cencerous, akan tetapi dapat membuat terjadinya
obstruksi atau perlekatan (web-like scar tissue) yang mengenai organ sekitarnya
sehingga menyebabkan nyeri, reaksi inflamasi dan kadang terjadi infertilitas 4.
Gambar 1. Lokasi pertumbuhan endometrium di luar rahim.
1
EPIDEMIOLOGI
Endometriosis paling sering terjadi pada usia reproduksi. Insidensinya
belum pasti diketahui.1,2,5 Walaupun dapat ditemukan pada wanita
postmenopausal.1,5 Diyakini angka kejadiannya sekitar 3–10%.2 Sebanyak 20–
60% penderita endometriosis mengalami infertilitas. Pada infertilitas primer
angka kejadiannya sebesar 25%, sedangkan pada infertilitas sekunder sekitar
15%.1 Pada wanita dengan nyeri haid dijumpai endometriosis sekitar 60–80%.1,2,5
Sedangkan wanita dengan keluhan massa di pelvik kejadian sekitar 3–13%.5
Penelitian lain menyebutkan bahwa wanita dengan infertilitas mempunyai
endometriosis 7–10 kali dari wanita fertil.2 Sedangkan prevalensi pada wanita
asimptomatik sekitar 3–13%.2
Risiko meningkat terutama pada wanita yang memiliki kelainan saluran
reproduksi, obstruksi aliran mens, nullipara, subfertilitas, dan perempuan yang
haidnya banyak dan lama.JOGC Pada wanita yang menjalani pemeriksaan
laparoskopi untuk infertilitas dan nyeri panggul, endometriosis akan terdiagnosis
sekitar 20 – 50%.JOGC
ETIOLOGI
Sampai saat ini penyebab endometriosis belum diketahui secara pasti.
Banyak teori yang disebut berperan dalam patogenesis endometriosis, akan tetapi
tidak ada satu pun teori yang dapat menjelaskan secara jelas terjadinya
endometriosis.1
Penyakit endometriosis melibatkan faktor-faktor genetik, kecacatan sistem
imunitas, tampilan tidak sempurna dan proteinase matriks, enzim-enzim pengubah
steroid, dan faktor angiogenik. Dimana faktor-faktor tersebut berinteraksi
sehingga terjadi perubahan hormonal pada sistem imun.
Teori-teori yang berkembang sejak dahulu hingga sekarang mengenai
endometriosis, yaitu:
Retrograde Menstruation Theory
Teori ini dikemukakan oleh Sampson tahun 1927 dan merupakan teori
yang paling popular. Biasanya darah haid keluar melalui kavum uteri melalui
vagina, namun kadang-kadang darah darah haid mengalir dari kavum uteri melalui
2
tuba fallopii ke kavum peritoneum, dan berimplantasi pada permukaan
peritoneum. Prevalensi endometriosis meningkat pada wanita dengan
abnormalitas sistem Mullerian yang menyebabkan terjadinya obstruksi.
Retrograde menstruations dapat terjadi pada 80% wanita. Akan tetapi teori ini
tidak dapat menjelaskan terjadinya endometriosis di luar pelvis.1,2,3
Teori ini didukung oleh analisis cairan peritoneum wanita. Pada 90%
wanita ditemukan darah pada cairan peritoneum selama masa menstruasi. Pola
endometriosis konsisten dengan Retrograde menstruations dan paling sering
ditemukan pada ovarium, diikuti oleh area dependen yang lain pada rongga
panggul. Teori penyebaran melalui pembuluh darah dan/atau pembuluh limfe
didukung oleh adanya situs endometriosis distal (ekstraperitoneal), termasuk paru-
paru dan sistem saraf pusat. Endometriosis umumnya ditemukan pada remaja
perempuan dengan uterus obstruktif atau anomali vagina yang menunjukkan
perdarahan menstruasi retrogad.5
Iatrogenic Dissemination
Endometriosis dapat muncul di banyak tempat karena endometriosis
menyebar melalui sistem limfatik dan peredaran darah. Endometriosis dinding
anterior abdomen kadang ditemukan pada wanita post seksio sesarea. Teori ini
mengemukakan bahwa jaringan dan kelenjar endometrium berimplantasi saat
terjadi tindakan bedah. Jarang terjadi endometriosis ditemukan pada luka
episiotomi.2
Kelainan anatomi juga dipikirkan mempermudah terjadinya endometriosis.
Ternyata kedalaman dan volume kavum Douglasi berbeda pada penderita
endometriosis yang dengan/atau tanpa lesi dalam dibandingkan wanita dengan
panggul sehat atau dengan penyakit selain endometriosis. Makin dangkal dan
makin kecil volume kavum Douglasi pada penderita endometiosis maka lesi itu
tidak berkembang pada sekat rektovaginal tetapi pada intraperitoneal. Namun
demikian, peniadaan dinding rektum anterior karena terukur perlekatan akan
menciptakan dasar palsu, sehingga memberikan kesan asal ekstraperitoneal.5
Jika endometriosis tumbuh dalam lingkungannya yang sesuai, maka sel-sel
endometrium merupakan unsur penting dari jaringan reproduksi dan fungsi
3
wanita. Bila berada di luar uterus, sel-sel endometrium tersebut kehilangan
kendali pertumbuhan normal yang dikeluarkan oleh faktor-faktor dalam
lingkungan normalnya, tetapi uterus tanggap terhadap isyarat hormonal, sehingga
menyebabkan jaringan itu bertumbuh dan regresi secara nirsiklik di mana pun
menempel, yakni pada rongga peritoneum, usus, ovarium, atau sisi luar uterus,
kandung kemih, bahka paru dan rongga pleura, serta di tempat-tempat lain.5
Vascular Dissemination Theory
Sel endometrium dapat mengalami transportasi ke ekstra uterine melalui
sistem pembuluh darah dan limfatik, atau melalui kontaminasi dari insisi pelvis
atau dinding abdomen saat tindakan bedah. Endometriosis retroperitoneal secara
hipotesa berasal dari penyebaran limfatik, sekitar 29% pasien dengan
endometriosis pelvik setelah diautopsi mempunyai nodus limfatik pelvik. Teori ini
yang menerangkan terjadinya endometriosis yang berkembang di paru-paru atau
perikardium.2,3
Coelomic Metaplasia
Epitel germinal dari ovarium, endometrium dan peritoneum berasal dari
coelomic epithelium yang sama yang mengalami gangguan dalam kemampuannya
berkembang. Diketahui bahwa permukaan epitelium dari ovarium dapat
berdiferensiasi menjadi beberapa tipe sel secara histologis. Teori ini disampaikan
oleh Meier, yang mengemukakan bahwa lesi endometriosis terbentuk akibat
metaplasia dari sel-sel epitel coelom yang berasal dari saluran Mueller, dimana
sel-sel ini berdifrensiasi menjadi sel peritoneal dan sel pada permukaan ovarium.
Teori ini masih dianut oleh patologi. Teori metaplasia ini terjadi setelah
“induction phenomenon”, dimana dari teori ini darah haid memicu sel-sel epitel
peritoneum, sehingga terjadi perubahan sel-sel asal yang tidak berdiferensiasi
menjadi sel-sel endometrium yang berdifrensiasi dan memiliki kemampuan
berimplantasi. Teori metaplasi ini menyatakan bahwa transformasi sel-sel
totepoetensial ini akibat stimuli infeksi dan paparan hormonal yang berulang.1,2,3,6
Teori ini didukung oleh adanya endometriosis pada wanita yang tidak
memiliki jaringan endometrium yang normal, misalnya pada sindrom Turner dan
4
agenesis uteri. Selain itu, endometriosis juga ditemukan pada utrikulus prostat
pria.5,7
Genetic Predisposition
Beberapa penelitian mencatat bahwa adanya predisposisi familial pada
endomentriosis pada pengelompokan kasus endometriosis pada ibu dan anak
perempuannya. Penelitian oleh Simpson dkk., menunjukkan terjadi peningkatan 7
kali lipat terjadinya insidensi endometriosis. Satu dari 10 wanita dengan
endometriosis berat akan mempunyai saudara atau ibu dengan manifestasi klinik
penyakit ini.3
Adanya hubungan endometriosis dan polimorfisme gen-gen enzim
persisten estradiol HSD17B1 dan CYP19. individu yang memiliki sekurang-
kurangnya 1 A-alel yaitu genotip A/G atau A/A dari HSD17B1 secara bermakna
makin berisiko terkena endometriosis. Juga ditemukan kecenderungan bermakna
keterkaitan genotip A/G dan A/A dengan keparahan endometriosis, serta
keterkaitan antara polimorfisme Ser312Giy pada HSD17B1 dan endometriosis.8
Gen-gen sistem detoksifikasi juga telah ditemukan, khususnya gen
glutation S-transferase M1 (GSTM1) yang berdampak pada pemudahan dan
perkembangan endometriosis. Tingginya frekuensi homozigot yang tidak lazim
untuk delesi pada para endometriosis memperkirakan kemungkinan peran toksin
lingkungan pada patogenesis penyakit ini dikarenakan tidak adanya atau
rendahnya aktivitas enzim GSTM.8
Autoimmune Disease
Perubahan pada imunitas seluler dapat memfasilitasi keberhasilan
implantasi atau translokasi sel endometrium. Limfosit pada pasien kontrol
bermakna secara efisien dalam sitolisis dari sel-sel jaringan endometrium yang
diisolasi dibandingkan dengan limfosit pasien dengan endometriosis. Penurunan
renspon cytotoxic pada sel endometrial dapat sekitar 30% endometrium ektopik.2,3
Penderita endometriosis rentan terhadap keadaan yang terkait penurunan
imun, misalnya alergi, peka terhadap bahan kimiawi, infeksi, sindrom keletihan
kronik, tingginya gangguan tiroid (hipotiroidisme, hipertiroidisme, tiroiditis
5
Hashimoto), tingginya penyakit autoimun (artritis rematoid, lupus, sklerosis
multipel, penyakit Meniere). Pada imunitas seluler, ternyata sel-sel imun spesifik
melawan penyakit; sedangkan pada imunitas humoral dibentuk antibodi untuk
menyerang antigen. Jaringan endometriosis menyerang wanita yang imunitas
selulernya rendah. 8
Gangguan Lingkungan
Ketergantungan endometriosis pada hormon-hormon ovarium telah
memicu penyelidikan rantaian antara kejadian penyakit dengan pajanan bahan-
bahan kimiawi yang dapat mengganggu sistem endokrin atau sistem imun, seperti
sinar X, metosiklor, dioksim, bifenil, poliklorinasi, aromatase, genistein, soflavon,
dan hormon steroid dalam makanan.
TANDA DAN GEJALA
Salah satu keluhan umum para wanita yang menderita gejala
endometriosis adalah nyeri pelvik. Gejala-gejala mencakup dismenore, nyeri
intermenstruasi, dan dyspareunia. Dismenore merupakan gejala yang paling
umum dilaporkan, tetapi bukan alat prediksi endometriosis yang terpercaya.
Dismenore yang berkaitan dengan endometriosis seringkali dimulai sebelum
aliran menstruasi muncul dan biasanya bertahan selama menstruasi berlangsung,
bahkan terkadang lebih lama dari itu. Nyeri biasanya menyebar, berada dalam
pelvik, dan dapat menjalar ke punggung, paha, atau berhubungan dengan tekanan
usus, kegelisahan, dan diare episodik. Dyspareunia terkait endometriosis biasanya
terjadi sebelum menstruasi, lalu terasa semakin nyeri tepat di awal menstruasi.
Nyeri ini seringkali berhubungan dengan penyakit yang melibatkan cul-de-sac
dan sekat rektovagina.
Hubungan paradoks antara luas dan tingkat keparahan nyeri, serta tahap
dan area endometriosis telah diketahui dengan baik. Para wanita dengan penyakit
yang lebih parah mungkin hanya merasakan sedikit ketidaknyamanan, sedangkan
para wanita dengan penyakit yang lebih ringan justru merasakan nyeri tak
tertahankan. Keparahan penyakit pada para wanita penderita endometriosis
berkorelasi dengan kedalaman dan volume infiltrasi. Dyspareunia lebih umum
6
pada para wanita dengan penyakit yang melibatkan sekat rektovagina. Sementara
itu, endometriosis ekstrapelvik dapat berkaitan dengan bermacam-macam gejala
siklik yang merefleksikan organ-organ terkait: parut (goresan bekas luka)
abdominal, saluran gastrointestinal dan urinaria, diafragma, pleura, dan saraf
perifer.
Berdasarkan pengalaman klinis dengan para pasien, endometriosis dapat
menimbulkan gejala-gejala sebagai berikut:
Dismenore parah (severe dysmenorrhea)
Dispareunia dalam (deep dyspareunia)
Nyeri pelvik kronis
Gejala perimenstruasi atau siklis, seperti usus atau kandung kemih, dengan
atau tanpa pendarahan abnormal atau nyeri.
Infertilitas
Dyschezia (nyeri atau defaecation)
Nilai prediktif terhadap gejala-gejala yang muncul memang masih belum
pasti, seperti halnya gejala-gejala ini dapat mempunyai penyebab lain, dengan
proporsi signifikan yang diperoleh adalah tanpa gejala (asymptomatic). Diagnosis
endometriosis yang hanya didasarkan pada gejala-gejala yang muncul dapat
menjadi sulit, sebab tampilannya sangat bervariasi dan mungkin tumpang tindih
dengan kondisi lain seperti sindrom usus teriritasi (irritable bowel syndrome) dan
penyakit radang pelvik. Sebagai hasilnya, seringkali terdapat penundaan hingga
12 tahun ketika gejala mulai muncul hingga diagnosis yang jelas dan pasti
ditemukan.
Uji fisik terhadap genital eksternal biasanya normal. Terkadang, uji
spekulum dapat mengungkapkan implan berwarna kebiruan atau lesi proliferatif
berwarna merah yang mengalami pendarahan jika disentuh, keduanya biasa
ditemukan dalam forniks posterior. Penyakit pada wanita penderita endometriosis
yang menginfiltrasi dalam biasanya melibatkan sekat rektovagina dan seringkali
terpalpasi. Kondisi ini kurang sering terlihat dan tidak mempunyai tanda-tanda
khusus pada banyak kasus. Uterus seringkali menunjukkan penurunan mobilitas
atau fiksasi. Para wanita dengan endometrioma ovarium mungkin mempunyai
7
massa adneksal tetap. Focal tenderness dan nodularitas ligamen uterosakral
mengacu pada dugaan penyakit dan seringkali menjadi satu-satunya gejala fisik
yang ditemui. Uji fisik mempunyai sensitivitas diagnosis terbesar saat dilakukan
selama menstruasi, padahal uji normal biasa tidak berhasil menentukan diagnosis.
Secara umum, uji fisik mempunyai sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediktif
yang relatif lebih rendah daripada diagnosis endometriosis dengan standar
emas operasi.
DIAGNOSIS
Anamnesa
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
CA-125
CA-125 merupakan antigen permukaan sel yang diekspresikan oleh sel
turunan epitel coelomik (termasuk endometrium) yang ditetapkan sebagai
penanda untuk memantau kondisi para wanita penderita kanker ovarium. Kadar
CA-125 seringkali meningkat pada para wanita penderita endometriosis tingkat
lanjut. Akan tetapi kenaikan kadar juga dapat diamati di tahap awal kehamilan
selama menstruasi normal, dan pada para wanita dengan penyakit radang pelvik
akut atau leiomyoma. Kadar CA-125 serum bervariasi hingga terkadang melewati
siklus menstruasi. Secara umum, CA-125 serum mencapai kadar paling tinggi
selama fase menstruasi dan paling rendah pada fase midfolikuler dan
periovulatori. Akan tetapi, penelitian seputar sensitivitas dan kemampuan
pengulangan uji menghasilkan hasil yang berlawanan sehingga tidak diketahui
waktu terbaik untuk melakukan uji. CA-125 serum telah dianjurkan sebagai uji
selektif bagi diagnosis endometriosis. Akan tetapi meta-analisis yang meliputi 23
penelitian terpisah menggunakan penyakit terdiagnosis dengan operasi sebagai
standar emas, mengarahkan pada kesimpulan bahwa penanda yang digunakan
terlalu sedikit. Cut off value yang memberikan 90% spesifisitas mempunyai
sensitivitas kurang dari 30%, dan jika disesuaikan dapat mencapai sensitivitas
8
50% dengan spesifisitas 70%. Sebagai uji selektif bagi tahap endometriosis
lanjutan, nilai-nilai yang berkaitan dengan spesifisitas 90% mempunyai
sensitivitas kurang dari 50%. Secara umum, sensitivitas uji CA-125 terlalu
rendah sebagai uji seleksi yang efektif bagi diagnosis endometriosis.
Kadar CA-125 serum dapat mempunyai beberapa nilai dalam evaluasi
praoperatif para wanita yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit
endometriosis tahap lanjut. Sebuah penelitian telah mengacu pada dugaan bahwa
preparasi usus praoperatif mungkin harus dilakukan dengan hati-hati pada para
wanita dengan kadar CA-125 serum di atas 65 IU/mL (di atas batas normal, yaitu
35 IU/mL), sebab kondisi tersebut dapat disertai adhesi omental, peluruhan
endometrioma, atau hilangnya cul-de-sac. Kadar CA-125 serum juga berguna
untuk membedakan endometrioma ovarium dari kista jinak lainnya, khususnya
ketika dikombinasikan dengan ultrasonografi (USG) transvagina. Ketika respon
terhadap pengobatan diperhatikan, kenaikan CA-125 serum postoperatif yang
tetap, mengacu pada prediksi prognosis yang rendah, tetapi kadar tersebut
umumnya bukan suatu prediktor terpercaya terhadap efektivitas terapi medis.
Pencitraan
Ultrasonografi transvagina mungkin sangat membantu identifikasi para
wanita yang menderita endometriosis tahap lanjut. Ultrasonografi transvagina
biasanya digunakan untuk mendeteksi endometrioma ovarium, tetapi tidak dapat
digunakan untuk pencitraan adhesi pelvik atau superficial peritoneal foci dari
penyakit. Endometrioma dapat menghasilkan berbagai citra ultrasonografis, tetapi
biasanya tampak sebagai struktur kista dengan echoes internal berdifusi rendah
yang dikelilingi oleh kapsul ekogenik kering (crisp echogenic capsule). Beberapa
mungkin mempunyai persekatan internal atau dinding nodular yang menebal.
Ketika keberadaan karakteristik gejala ditemukan, ultrasound transvagina
diketahui mempunyai sensitivitas 90% bahkan lebih dan hampir mempunyai
spesifisitas 100% untuk mendeteksi endometrioma. Pencitraan dengan aliran
Color Doppler umumnya menambahkan sedikit diferensiasi endometrioma dari
kista hemorrhagic, teratoma sistik jinak, dan neoplasma sistik lainnya yang
mungkin berpenampilan sama. Jika tidak dilakukan lebih awal bagi indikasi lain
9
(selama evaluasi infertilitas), ultrasonografi transvagina harus dilakukan sebelum
pengobatan empiris terkait dugaan infertilitas, khususnya jika laparoskopi
diagnostik tidak direncanakan sebelumnya. Sebaliknya, penyakit tahap lanjut yang
dapat menghalangi keberhasilan diagnosis mungkin menjadi sulit untuk dikenali
saat pencitraan. Untuk itu, ultrasonografi transrektal juga mungkin akan berguna
untuk evaluasi para wanita yang diduga menderita endometriosis yang
berinfiltrasi dalam di sekat rektovagina atau yang melibatkan ligamen uterosakral.
Seperti ultrasonografi transvagina, magnetic resonance imaging (MRI)
mungkin berguna bagi deteksi dan diferensiasi endometrioma ovarium dari
massa ovarium sistik lain, tetapi tidak dapat diterapkan bagi pencitraan lesi
kecil peritoneum. Untuk deteksi implan peritoneum, MRI bersifat superior
terhadap ultrasonografi transvagina, tetapi hanya dapat mengidentifikasi 30% -
40% lesi yang teramati pada saat operasi. Untuk deteksi penyakit yang
terdokumentasi oleh histopatologi, MRI mempunyai sensitivitas mendekati 70%
dan spesifisitas mendekati 75%. Kelebihan utama dari MRI terhadap
ultrasonografi adalah kemampuannya untuk membedakan hemorrhage akut dan
produk-produk darah terdegenerasi. Ketika endometrioma biasanya menunjukkan
intensitas sinyal tinggi yang relatif homogen pada citra T1-weighted dan sebuah
sinyal dengan hipointensitas pada citra T2-weighted (“shading”), hemorrhage
akut umumnya mempunyai intensitas sinyal rendah pada citra T1- maupun T2-
weighted. Akan tetapi, sebuah interval pendek dari observasi yang dilakukan
selama kista hemorrhagic mengalami kemunduran perkembangan, akan
memberikan hasil akhir yang sama. Di sisi lain, kontras gadolinium tidak
menawarkan nilai diagnostik tambahan. MRI juga dapat digunakan untuk
membantu diagnosis penyakit rektovagina.
Diagnosis Melalui Percobaan Terapeutik
Hasil percobaan klinis acak pada para wanita dengan nyeri pelvik kronis
dan yang secara klinis diduga menderita endometriosis, mengarahkan pada
kesimpulan bahwa respon klinis terhadap pengobatan empiris dengan agonis
gonadotrophine-releasing hormone dapat digunakan untuk mendiagnosis
penyakit. Para wanita penderita nyeri pelvik kronik menengah hingga parah yang
10
tidak berkaitan dengan menstruasi dan yang tidak dapat diatasi dengan obat-
obatan nonsteroid antiperadangan dan antibiotik, diacak untuk menerima depot
leuprolide acetate (3.75 mg intramuskular setiap bulan selama 3 bulan) atau
placebo sebelum laparoskopi diagnostik. Mereka yang diberi pengobatan tersebut
mengalami amenore dan mengalami penurunan gejala nyeri sebelum operasi, serta
mengungkapkan endometriosis dalam 78/95 pastisipan (82%).
Meskipun kriteria klinis yang digunakan dapat membuktikan spesifisitas
(82%) untuk diagnosis endometriosis dan pengobatan diketahui lebih efektif
daripada placebo, respon terhadap pengobatan leuprolide tidak meningkatkan
akurasi diagnosis. Para wanita yang tidak menjalani operasi dan terbukti
menderita endometriosis, mungkin dapat memperoleh keringanan gejala dari
pengobatan yang sama dengan pengobatan penyakit yang telah terdokumentasi.
Pengobatan tersebut mungkin dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan
penyakit pada para wanita tanpa endometriosis yang terdokumentasi. Selain itu,
beberapa wanita yang pernah mengalami peringanan gejala mungkin mempunyai
penyakit yang mempenetrasi dalam, tetapi tidak terdeteksi. Akan tetapi,
setidaknya pengobatan yang dapat menekan gejala nyeri dapat berkaitan dengan
penyebab lain. Selain itu, amenore dan gejala defisiensi estrogen pada wanita
yang sedang diobati mengarahkan mereka untuk mengetahui bahwa mereka
menerima obat aktif, atau bahwa hiperestrogenisme terinduksi leuprolide
meningkatkan ambang batas nyeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akurasi
diagnosis kriteria-kriteria klinis yang tepat dan kemanjuran pengobatan leuprolide
empiris pada wanita penderita nyeri pelvik kronis tidak mendukung kesimpulan
bahwa respon klinis terhadap pengobatan mempunyai nilai-nilai diagnostik.
Diagnosis Operasi
Laparoskopi dengan uji histologis terhadap lesi yang berusaha dihilangkan
merupakan standar emas untuk diagnosis endometriosis. Berbagai penampilan lesi
endometriosis diketahui mempunyai frekuensi dua kali lipat dengan laparoskopi,
ketika suatu uji yang teliti dan sistematis dilakukan.
Implan peritoneum klasik merupakan lesi “bubuk mesiu” biru-hitam
(mengandung deposit hemisoderin dari darah yang terperangkap) dengan berbagai
11
jumlah fibrosis di sekelilingnya, tetapi sebagian besar implan tidak biasa
(athypical) dan tampak putih pekat, merah seperti api, atau vesikular. Penyakit ini
tidak umum ditemui dalam adhesi ovarium, bercak kuning-coklat, atau dalam
kerusakan peritoneum. Lesi merah sangat vaskular, proliferatif, dan
merepresentasikan tahap awal penyakit. Lesi terpigmentasi merepresentasikan
penyakit dalam tahap yang lebih lanjut. Keduanya aktif secara metabolisme dan
umumnya berkaitan dengan gejala. Lesi putih kurang vaskular dan aktif, serta
kurang sering menimbulkan gejala. Penelitian laparoskopi serial telah
mengungkapkan bahwa terdapat perkembangan alami pada penampilan lesi
endometriosis dari waktu ke waktu, dan variasi lesi dapat diamati setiap saat pada
masing-masing individu. Kriteria histologis yang ketat akan memperkuat
diagnosis operasi endometriosis pada setengah dari jumlah kasus yang ada. Bukti
mikroskopis endometriosis dalam peritoneum yang tampak normal merupakan hal
yang umum pada para wanita infertil yang tidak menunjukkan gejala, dengan atau
tanpa penyakit yang tampak (6-13%). Akan tetapi, hal ini mempunyai signifikansi
klinis yang belum pasti sebab hal ini dapat ditemukan pada kebanyakan wanita,
tetapi hanya berkembang pada beberapa wanita.
Endometrioma biasanya tampak sebagai kista halus dan gelap, khususnya
berkaitan dengan adhesi dan mengandung cairan berwarna coklat pekat.
Endometrioma yang lebih besar seringkali multilokular. Pemeriksaan visual yang
teliti pada ovarium biasanya sangat terpercaya untuk deteksi endometrioma, tetapi
ketika dugaan penyakit sangat tinggi dan gejala tidak terlalu tampak, eksplorasi
teliti dengan penusukan ovarium dan aspirasi dapat dilakukan. Endometrioma
ovarium biasanya disertai sejumlah lesi peritoneum yang terlihat (visual).
Sebaliknya, endometriosis yang menginfiltrasi dalam merupakan retroperitonial
yang besar, dan seringkali tidak tampak dan terisolasi. Hal ini bahkan
merepresentasikan perbedaan yang muncul dari mullerian rests dalam sekat
rektovagina.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan endometriosis antara lain dengan teknik laparaskopi operatif.
Penetrasi ke jaringannya minimal, membuat laser juga digunakan untuk lesi-lesi
12
endometriosis yang berada dekat ureter. Untuk mencegah terjadinya rekurensi,
sebaiknya semua lesi endometriosis termasuk lesi sebukan dalam harus tuntas
ditangani. Cara lain adalah dengan menggunakan elektroda bipolar (koagulasi).1
Walaupun wanita dengan endometriosis dapat mempunyai gejala yang
bervariasi, pengobatan ditujukan untuk menghilangkan rasa nyeri, infertilitas atau
massa pada pelvik yang menetap. Pilihan terapi antara lain secara ekspektatif,
medikal, surgikal, kombinasi medikal dan surgikal.2
Terapi Medisinal
Terapi dengan obat dapat menghilangkan gejala seperti nyeri periodik,
nyeri saat intercourse dan nyeri pelvik. Tujuan terapi medisinal adalah untuk
memutuskan siklus stimulasi dan perdarahan, menginduksi terjadinya atrofi dari
jaringan endometrium ektopik dengan menggunakan hormon.1,6. Dengan
menghentikan siklus hormonal pada ovarium dan menurunkan level estrogen,
endometriosis menjadi mengecil dan mengalami inaktivasi. Endometriosis masih
tetap ada, dan akan secara bertahap mengalami reaktivasi bila siklus haid mulai
kembali. Endometrioma ovarium lebih dari 3 cm tidak merespon terapi medisinal,
dan jika terjadi perlekatan cara terbaik dengan adhesiolisis secara laparaskopi.11
Pilihan terapi medikamentosa bergantung pada pertimbangan dokter mengenai
adverse effect, efek samping, biaya pengobatan dan keluhan dari pasien.
Efektivitas pengobatan, dapat dilihat dari hilangnya gejala dan angka rekurensi.
Angka rekurensi pada terapi medisinal antara 5–15% pada tahun pertama dan
meningkat 40-50% dalam 5 tahun. Jelas bahwa terjadinya rekurensi berhubungan
dengan perluasan dari penyakit primernya.3 Supresi hormonal pada endometriosis
dengan progestin, danazol atau GnRH agonis tidak boleh diberikan sebelum
diagnosis, lokasi dan perluasan endometriosis ditentukan dengan laparaskopi
ataupun laparatomi.6
Beberapa wanita menghindari pemberian terapi hormonal dan mengobati
gejala secara efektif dengan analgesia. Anti inflamasi non steroid dapat efektif
(level evidence A), akan tetapi penelitian secara RCT menunjukkan bahwa
keefektivannya kecil.9
13
GnRH
Banyak penelitian agonis dan antagonis GnRh termasuk terapi
medikamentosa yang paling efektif terhadap endometriosis. Analog GnRH
menekan produksi estrogen sangat kuat, sehingga kadarnya dalam darah
menyerupai kadar estrogen wanita usia menopause. Beberapa hari setelah
pemberian agonis GnRH akan terjadi perdarahan. Hal ini akibat pengeluaran FSH
dan LH serta pengeluaran estrogen dan progesteron. Pada permulaan pemberian
agonis GnRH tidak terjadi penekanan fungsi hipofisis, justru memicu pengeluaran
FSH dan LH dari hipofisis. Setelah keadaan ini terjadi beberapa hari, sensitivitas
hipofisis terhadap rangsangan agonis GnRH terus berkurang, terjadi pengeluaran
FSH dan LH serta estrogen dan progesteron yang berkurang (down regulation).
Karena ikatannya yang kuat, efeknya dapat berbulan-bulan.1 Efek samping
pemberian analog GnRH terutama oleh karena kadar estrogen yang terlalu rendah
dalam darah, sehingga keluhan yang muncul seperti akibat kekurangan estrogen
pada wanita pascamenopause, seperti semburan panas, keringat dingin, sakit
kepala, gangguan tidur, nyeri tulang, berdebar-debar, kekeringan vagina. Pada
pemberian diatas 6 bulan dapat menurunkan densitas mineral tulang. Bila
keluhan-keluhan ini muncul, maka perlu diberikan estrogen dan progesteron tablet
sampai keluhan hilang (addback therapy). Pemberian tablet ini tidak
mempengaruhi kerja analog GnRH terhadap endometriosis.1 Beberapa bukti
terakhir (RCOG) menunjukkan bahwa pengunaan GnRH agonis selama 3 bulan
mempunyai keefektifan yang sama dengan 6 bulan terapi (rekomendasi B).9
Beberapa penelitian menurut RCOG pengobatan dengan GnRH agonis dan
danazol menunjukkan bukti adanya regresi atau pengecilan endometriosis setelah
3 bulan terapi. Nyeri pelvik dapat menghilang setelah 2 bulan pengobatan dengan
GnRH agonis. Untuk menghilangkan rasa nyeri terapi dengan GnRH agonis atau
dosis tinggi danazol (600-800 mg/hari) hampir sama efektifnya pada sebagian
besar pasien. Deposit GnRH agonis tampak lebih efektif dalam mengurangi
ukuran besarnya endometrioma.6
Saat ini antagonis GnRH generasi ke-3 digunakan untuk pengobatan
endometriosis. Generasi ke-3 ini mempunyai cara kerja dengan menduduki
14
reseptor di hipofisis anterior tanpa terjadi stimuli reseptor, yang berarti tanpa
terjadi pengeluaran FSH dan LH saat awal pemberian. Karena dapat cepat
melepas ikatan, antagonis GnRH harus diberikan setiap hari, atau setiap minggu 1.
Seperti yang disebutkan di atas bahwa rekurensi mengikuti terapi
medikamentosa. Pada penelitian lanjutan, angka rekurensi kumulatif dalam 5
tahun setelah terapi dengan GnRH agonis selesai 37% dengan kelainan minimal
dan 74% dengan kelainan berat. Angka rekurensi setelah pengobatan dengan
GnRH agonis sekitar 15% setelah 12 bulan pengobatan dihentikan.6
Pil Kontrasepsi Oral
Penggunaan pil kontrasepsi merupakan salah satu pengobatan yang paling
sering digunakan, dan merupakan pilihan yang baik untuk wanita muda dengan
penyakit ringan yang juga membutuhkan kontrasepsi yang efektif. Penggunaan pil
kontrasepsi dibandingkan dengan agonis GnRH keduanya sama efektifnya dalam
menghilangkan nyeri pelvik, nyeri periodik, dan nyeri saat intercourse.
Penggunaan dapat secara siklik, ataupun secara terus menerus sekitar 6 -12 bulan.
Kandungan entynil estradiol dan progestin dalam pil kontrasepsi menginduksi
terjadinya reaksi desidualisasi. Dosis farmakologis dari medroxyprogesterone
acetate (MPA) mengakibatkan terhentinya pertumbuhan, perubahan sekresi dan
kadang regresi dari endometriosis.5,11
Progestogen
Untuk pengobatan endometriosis dapat digunakan progestogen.
Medroksiprogresteron asetat merupakan jenis progesteron yang paling banyak
digunakan. Progestogen sangat efektif menghilangkan keluhan dismenore, akan
tetapi angka residifnya sangat tinggi, mencapai 30 – 40%. Cara kerjanya adalah
dengan menekan sekresi gonadotropin dan menyebabkan desidualisasi pada lesi
endometriosis. Metaloproteinase sangat berperan dalam pertumbuhan
endometriosis. Progesteron menghambat metaloproteinase. Medroksiprogesteron
asetat diberikan dalam dosis tinggi (30-100 mg/hr selama 6 bulan, sehingga
menimbulkan efek samping peningkatan berat badan, edema, depresi, serta
perdarahan.1 Digunakan dapat secara siklik (minum selama 3 minggu, 1 minggu
15
istirahat) atau secara kontinu. Penggunaan oral MPA (20-30 mg/hari) atau
kontrasepsi oral untuk menghilanghkan tidak efektif pada 50 – 70% wanita.
Penelitian menggunakan kontrasepsi oral secara terus menerus menggunakan
preparat yang sama dengan kontrasepsi oral yang lama, penggunaan kontrasepsi
oral dosis rendah dan preparat generasi ke 3 tidak ada informasi dalam
efektivitasnya. Tidak ada data yang menyebutkan bahwa terdapat perubahan lesi
endometriosis setelah pengobatan dengan kontrasepsi oral.6
Kombinasi Pembedahan dan Medikamentosa
Pre operatif dan post operatif terapi mendikamentosa telah digunakan
sebagai terapi tambahan setelah reseksi secara konservatif. Supresi preoperatif
dengan agen hormonal membantu prosedur bedah dengan mengurangi
vaskularitas jaringan, dapat mengurangi ukuran endometroisis. Pemberian post
operatif dapat menginhibisi aktivitas residual penyakit, supresi ovulasi,
menurunkan kemungkinan efek dari tumpahan pada peritoneum saat reseksi.2
Laparaskopi operatif walaupun dilakukan dengan cermat, namun tetap saja ada
yang tertinggal (mikrolesi), sehingga untuk mencegah rekurensi tinggi diberikan
pengobatan hormonal setelah laparaskopi selesai dilakukan.1
Pengobatan medikamentosa pasca pembedahan dapat berguna setelah
dilakukan tindakan laparaskopi operatif atau terapi konservatif operatif, dimana
residual endometriosis membutuhkan pengobatan atau nyeri tidak menghilang.
Pada penelitian akhir-akhir ini dilaporkan bahwa pemberian GnRH agonis selama
12 – 24 minggu setelah laparaskopi operatif (untuk endometrioma ovarium dan
ablasi laser pada lesi untuk nyeri pelvik) mencegah terjadinya rekurensi
endometriosis dan memperpanjang free interval dari nyeri setelah pembedahan.6
Terapi Pembedahan
Laparaskopi ablasi pada endometriosis minimal-sedang yang
kemungkinan keluhan nyeri muncul kembali (level evidence A). Pembedahan
dalam penatalaksanaan endometriosis dengan nyeri keluhan infertilitas telah
dievalusi dalam beberapa systematic review. Satu penelitian RCT double blind
yang membandingkan efek laser ablation pada minimal-moderate endometriosis
16
+ uterine nerve ablation (LUNA) dengan laparaskopi diagnostik saja untuk
manajemen nyeri. Dalam 6 bulan follow up, 62,5% dari pasien yang diobati
dilaporkan mendapat kemajuan dan perbaikan gejala dengan 22% dibandingkan
dengan kelompok non pengobatan. Wanita dengan gejala ringan – sedang rasa
nyeri menghilang pada 73.3% pasien.9
Tatalaksana pembedahan untuk nyeri pelvik membutuhkan pemahaman
anatomi secara menyeluruh. Tujuan utama untuk pengobatan secara pembedahan
melibatkan pengangkatan tipikal atau atipikal implantasi endometriosis dan
perbaikan anatomi pelvik. Terapi definitif dari penyakit ini adalah total abdominal
hysterectomy (TAH) dan bilateral salpingooforectomy (BSO), yang diikuti oleh
pemberian terapi penggantian estrogen.6 Pertimbangan untuk tindakan ini adalah
kondisi hipoestrogen yang berat dan tidak adanya refluks haid yang mencegah
implantasi dan pertumbuhan jaringan endometriosis setelah operasi. Terapi
penggantian hormon disarankan untuk pasien pada usia muda untuk mencegah
osteoporosis dan mengontrol gejala post menopausal.10 Total abdominal
hysterectomy dan BSO dengan komplit eksisi atau ablasi endometriosis efektif
pada 90% kasus untuk menghilangkan nyeri. Rekurensi dari penyakit, dilaporkan
walaupun jarang setelah TAH dan BSO dengan atau tanpa pemberian estrogen
pengganti. Terapi penggantian estrogen setelah pembedahan berhubungan dengan
angka rekurensi yang rendah (1-3%). Indikasi utama untuk pembedahan definitif
adalah nyeri yang berat dan tidak berespon terhadap pengobatan konservatif. Total
abdominal hysterectomy dilakukan dengan mengangkat seluruh lesi
endometriosis, yang biasanya dengan nodul yang berpenetrasi dalam pada septum
rektovaginal atau vesikovaginal. Pada beberapa kasus, histerektomi radikal
dilakukan.11 Total Abdominal hystrectomy dilakukan bagi wanita yang telah
mempunyai keluarga secara lengkap. Pada wanita yang masih ingin mempunyai
anak, faktor-faktor lain harus dipertimbangkan untuk melakukan terapi definitif
termasuk diantaranya usia, tingkat keparahan penyakit dan letak dari
endometriosis yang ada.6
Bila pilihan terapi dengan histerektomi telah diputuskan, pasien harus
mendiskusikan apa yang akan diangkat, pilihan biasanya:4
Histerektomi total (mengangkat uterus dan serviks).
17
Histerektomi supracervical (mengangkat uterus dan penopang serviks),
sekitar pada 20-25% kasus.
Bilateral salpingo-ophorectomy (mengangkat ovarium). Bisa dilakukan
pada histerektomi total atau supraservikal, hal ini merupakan tindakan
yang potensial untuk mengobati endometriosis.
Terapi konservatif dari endometriosis adalah prosedur cytoreductive, akan
tetapi tidak sepenuhnya bersifat kuratif. Beberapa penelitian dengan uncontrolled
trials menunjukkan sekitar 61–100% pasien mengalami pengurangan nyeri setelah
pembedahan ablasi. Walaupun rasa nyeri menghilang segera seluruhnya akan
tetapi sejumlah besar kasus mengalami rekurensi gejala. Angka rekurensi
kumulatif mulai dari 13,5% dalam 3 tahun dan 40.3% dalam 5 tahun. Kembalinya
gejala setelah 6 bulan pengobatan menunjukkan terapi gagal dan memerlukan
strategi penatalaksanaan selanjutnya.6
Dengan pembedahan secara ablasi (electrocautery, laser dan eksisi) tidak
lagi membutuhkan laparatomi. Laparaskopi merupakan “baku emas” untuk
mendiagnosis dan mengklasifikasi endometriosis. Laparaskopi operatif
mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan laparatomi, mencakup
kemampuan untuk mengobati penyakit pada saat dilakukan diagnosis, melakukan
pengangkatan dan ablasi pada implantasi endometrium, mengurangi morbiditas
pada pasien, mengurangi waktu rawat inap, dan penurunan secara potensial angka
terjadinya perlekatan setelah pembedahan. Penelitian secara retrospektif
menunjukkan bahwa angka komplikasi laparaskopi operatif 6,5% untuk
endometriosis ringan sampai sedang, secara signifikan lebih rendah dari insidensi
komplikasi pada metode pemebdahan sekitar 10.4%. Angka rekurensi pada
pembedahan endoskopi ini sekitar 19%.4,6
PROGNOSIS
Endometriosis secara umum adalah penyakit yang progresif. Perluasan
dari progesi dan morbiditas sulit diperkirakan. Pada kebanyakan pasien berespon
terhadap pengobatan, sebanyak 50% mempunyai keluhan berulang dalam 5 tahun.
Wanita dengan endometriosis ringan mempunyai angka fertilitas sebanyak 75%
18
tanpa terapi. Fertilitas pada endometriosis berat menurun karena terdapat distorsi
dan abstruksi tuba falopi. Fertilitas pada endometriosis luas sekitar 30-40%.12
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Baziad A, 2003. “Endokrinologi Ginekologi”. Media Aesculapius, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. Hal. 21-23.
2. Helsa JS, Jones HW. 2003. “Endometriosis” In Te Linde’s Operative
Gynecology. Lippincott Williams & Wilkins: Philadeplhia. Pg. 595-630.
3. Stenchever MA, Droegmuller W, Herbst AL, Mishell DR. 2001.
“Comphrehensive Gynecology : Endometriosis and Adenomyosis”. Mosby :
St. Louis. Pg. 531-54.
4. Simon HS. 2003. “Endometriosis”. Harvard Medical School: Massachusett.
5. Kapoor D. Endometriosis. 21 Februari 2012. Diunduh dari URL:
http://www.emedicine.com tanggal 28 Oktober 2012
6. The Cannadian Consensus Conference on Endometriosis. 1999. Vol.21. No.6.
7. Jacoeb TZ. Endometriosis sebagai Tantangan untuk Peningkatan Mutu
Reproduksi Manusia. Dalam: Pidato Pengukuhan Upacara Penerimaan Jabatan
Guru Besar Tetap Dalam Obstetri dan Ginekologi FKUI. Jakarta, 23 Juni
2007.
8. D’Hooghe TM. Endometriosis. In: Berek and Novak’s gynecology. Berek JS
editor. 14th ed. Lippincott Williams and Wilkins. 2007. pg. 1627-97.
9. RCOG. 2000. “The Investigation and Management og Endometriosis”. Pg. 1-
8.
10. Fedele et all. “Tailoring Radicality in Demolitive Surgery for Deeply
Infiltrating Endometiosis”. American Journal Obstetrics and Gynecology.
2005. 193.114-17.
11. Tucker D. 2000. “A Review of Endometriosis”. Women’s Health : UK. 1-9
12. anonymous. Endometriosis. Disitasi tanggal 28 Oktober 2012 Diunduh dari:
www.medindia.netanimationendometriosi.asp
20