Upload
vandat
View
256
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
INVESTIGASI PARAMETER ENTRAINMENT RATIO STEAM EJECTOR
TERHADAP MODEL CIRCLE DAN SQUARE NOZZLE PADA PERUBAHAN
NXP MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Teknik Mesin Pada Jurusan Teknik Mesin
Universitas Sanata Dharma
Disusun Oleh :
FELICIANUS OCHATANI
NIM : 125214001
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INVESTIGATION OF ENTRAINMENT RATIO PARAMETERS OF
CIRCLE AND SQUARE NOZZLE STEAM EJECTOR MODEL WITH
NXP CHANGES NOZZLE USING COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS
FINAL PROJECT
Submitted In Partial Fullfillment of
The Requirements To Achieve Undergraduate Engineering Degree
Mechanical Engineering
By : FELICIANUS
OCHATANI Student
Number : 125214001
DEPARTMENT OF MECHANICAL ENGINEERING
FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA
2016
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK
Steam ejector adalah alat yang digunakan di berbagai industri untuk proses
pencampuran, peningkatan tekanan, proses refrigerasi dengan memanfaatkan
waste heat. Steam ejector mempunyai permasalahan kompleks dalam
pengoperasiannya. Parameter yang mempengaruhi performa ejector adalah fluida
kerja, geometri, dan operating condition. Nozzle Exit Position (NXP), panjang
throttle, sudut converging section adalah salah satu parameter geometri yang
berpengaruh signifikan terhadap performa steam ejector. Primary pressure,
secondary pressure dan outlet pressure adalah parameter dari operating condition
juga menjadi penentu performa steam ejector. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mendapatkan nilai entrainment ratio optimal pada variasi yang ditentukan.
Pada penelitian ini digunakan metode Computational Fluid Dynamics
(CFD). CFD digunakan untuk mengetahui pengaruh 5 variasi NXP (Nozzle Exit
Position) pada variasi model nozzle. Model nozzle yang digunakan adalah Circle
Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). Selain
itu juga menggunakan 5 variasi perubahan primary pressure.
Hasil dari penelitian pada peningkatan primary pressure menyebabkan
nilai entrainment ratio menurun. Pada model CNSE maupun SNSE, entrainment
ratio tertinggi terdapat pada NXP Plus. Keseluruhan nilai entrainment ratio dari
model CNSE mempunyai performa lebih tinggi dibandingkan model SNSE. Nilai
optimum dari penelitian yang sudah dilakukan yaitu 0,96 pada NXP Minus 5
untuk primary pressure 140 kPa.
Keyword : steam ejector, entrainment ratio, CFD, NXP
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
Steam ejector is a tool applied to various industries for mixing process,
increasing pressure, refrigeration process by utilising waste heat. Steam ejector
has complex problems in its operational. The significant parameter that affects the
ejector’s performance are working fluid, geometry, and operating condition.
Nozzle exit position (NXP), long of throttle, converging angle section are the
parameters of geometry. Primary pressure, secondary pressure and outlet pressure
are the parameters of operating condition which are also the most affected factor
for the performance of steam ejector. The purpose of this research is to get an
optimal entrainment ratio in determined variation.
This research uses the Computational Fluid Dynamics (CFD) method to
understand influence of the 5 NXP variations on nozzle models. The nozzle model
are Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) and Square Nozzle Steam Ejector
(SNSE). In addition, 5 variations on primary pressure bas applied.
The result show that increasing of primary pressure cause entrainment
ratio decrease. The highest entrainment ratio was took place on NXP Plus in bot
models. The total overall value of CNSE entrainment ratio model has higher than
SNSE model. The optimum value of the research which has already been done
was 0,96 on NXP Minus 10 for a primary pressure 140 kPa.
Keyword : steam ejector, entrainment ratio, CFD, NXP
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Karya Ilmiah ini penulis persembahkan kepada:
Bapak dan Ibuku tercinta yang telah banyak berkorban
untuk masa depanku
Adikku Agustina Rosa Iriani yang masih Semester 5
Calon Pendamping hidupku
Sahabat-sahabat di Kampus Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
Almamaterku tercinta Universitas Sanata Dharma
yang telah memberikan banyak pembelajaran
Urip iku Urup
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang maha Esa,
yang telah melimpahkan kasih dan berkatNya sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan Skripsi dengan judul “INVESTIGASI PARAMETER
ENTRAINMENT RATIO STEAM EJECTOR TERHADAP MODEL CIRCLE
DAN SQUARE NOZZLE PADA PERUBAHAN NXP MENGGUNAKAN
COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS”.
Penyusunan Skripsi ini dimaksud untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Sanata Dharma. Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan telah
mendapat bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Sudi Mungkasi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Ir. Petrus Kanisius Purwadi, M.T, selaku Ketua Program Studi Teknik
Mesin Universitas Sanata Dharma yang memberika arahan dan saran-saran
kepada penulis.
3. Andreas Prasetyadi, S.Si., M.Si, selaku dosen Pembimbing Akademik dan
selaku dosen pembimbing I skripsi yang membimbing serta mengarahkan
dengan penuh kesabaran dan perhatian selama masa perkuliahan.
4. Stefan Mardikus, S.T, M.T, selaku dosen pembimbing II skripsi yang
membimbing dengan penuh kesabaran dan perhatian serta bantuan fasilitas
yang diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik.
5. Petrus Claver Supriyanto sebagai ayah dari penulis yang penuh kasih
sayang serta dukungan moral dan materi mendukung penulis dalam
menyelesaikan karya ilmiah ini sehingga dapat mencapai gelar sarjana
Teknik Mesin.
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
TITLE PAGE ................................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iiiv
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI....................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT ..................................................................................................... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................... ix
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xxxiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG................................................... xxxv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................. 10
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 10
1.4 Batasan Masalah .................................................................. 10
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................... 11
BAB II DASAR TEORI ..................................................................................
2.1 Steam Ejector ....................................................................... 12
2.2 Bagian-bagian Steam Ejector .............................................. 13
2.3 Aplikasi Steam Ejector ........................................................ 15
2.4 Tipe-tipe Steam Ejector Refrigeration System .................... 18
2.4.1 Conventional Ejector Refrigeration System
(CERS)................................................................... 18
2.4.2 Advanced Ejector Refrigeration System ................ 19
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.4.3 Combined Steam Ejector Refrigerator System ...... 20
2.4 Evaluation Parameter Steam Ejector .................................. 21
2.5 Definisi Fluida ..................................................................... 21
2.6 Klasifikasi Aliran Fluida...................................................... 24
2.6.1 Aliran Viscous dan Non-viscous ............................ 25
2.6.2 Aliran Laminar dan Turbulen ................................ 26
2.6.3 Aliran Kompresibel dan Inkompresibel ................ 28
2.6.4 Aliran Ekternal dan Internal .................................. 30
2.7 Persamaan Dasar Aliran Fluida dan Perpindahan Kalor ..... 31
2.7.1 Persamaan Kekekalan Massa................................ 32
2.7.2 Persamaan Kekekalan Momentum Tiga Dimensi . 33
2.7.3 Persamaan Kekekalan Energi Tiga Dimensi ......... 35
2.7.4 Perubahan Partikel Fluida pada Elemen Fluida..... 38
2.8 Computational Fluid Dynamics (CFD) ............................... 39
2.11 Skema Numerik ................................................................... 44
2.11.1 Metode Solusi Pressure-based .............................. 44
2.12 Model Turbulen (Turbulence Modeling) ............................. 46
2.13.1 Model turbulen k-ε ................................................. 47
2.14 Metode Numerik pada ANSYS Fluent ................................ 50
2.14.1 Solver Coupled ...................................................... 51
BAB III METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 53
3.1 Diagram Alir Penelitian ....................................................... 53
3.2 Diagram Alir Prosedur Simulasi.......................................... 54
3.3 Skematik Steam Ejector....................................................... 56
3.3.1 Steam Ejector......................................................... 57
3.3.2 Geometri Ejector ................................................... 57
3.3.3 Model dan Geometri Nozzle .................................. 57
3.4 Nozzle Exit Position ............................................................. 58
3.5 Boundary Condition............................................................. 59
3.6 Meshing................................................................................ 59
3.7 Spesifikasi Working Fluid ................................................... 60
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3.8 Variabel Penelitian............................................................... 61
3.9 Prosedur Simulasi ................................................................ 62
3.10 Convergence Criteria .......................................................... 63
BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI ......................................................... 64
4.1 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment
Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector
dan Square Nozzle Steam Ejector pada Variasi Nozzle Exit
Position ................................................................................
64
4.1.1 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai
Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle
Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam
Ejector pada Nozzle Exit Position Minus 10 .........
65
4.1.2 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai
Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle
Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam
Ejector pada Nozzle Exit Position Minus 5 ...........
66
4.1.3 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai
Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle
Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam
Ejector pada Nozzle Exit Position Nol ..................
67
4.1.4 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai
Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle
Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam
Ejector pada Nozzle Exit Position Plus 5 ..............
69
4.1.5 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai
Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle
Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam
Ejector pada Nozzle Exit Position Plus 10 ............
70
4.2 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai
Entrainment Ratio pada Variasi Primary Pressure
Menggunakan Variasi Model Nozzle ................................... 71
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4.2.1 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai
Entrainment Ratio pada Variasi Primary
Pressure Menggunakan Model Circle Nozzle
Steam Ejector......................................................... 72
4.2.2 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai
Entrainment Ratio pada Variasi Primary
Pressure Menggunakan Model Square Nozzle
Steam Ejector......................................................... 73
4.3 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass flow Rate
Primary dan Secondary Menggunakan Variasi Primary
Pressure pada Variasi Model Nozzle ................................... 74
4.3.1 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass
Flow Rate Primary Menggunakan Variasi
Primary Pressure pada Model Circle Nozzle
Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector ..
74
4.3.2 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass
Flow Rate Secondary Menggunakan Variasi
Primary Pressure pada Model Circle Nozzle
Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector .. 76
4.4 Analisis Kontur Tekanan, Temperatur dan Kecepatan
Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model
Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam
Ejectoor pada Variasi Nozzle Exit Position ......................... 78
4.4.1 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model Circle
Nozzle Steam Ejector pada Variasi NXP Minus
4.4.2
10 ...........................................................................
Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi
79
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
pada Variasi NXP Minus 5 ....................................
81
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4.4.3 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
pada Variasi NXP Nol ........................................... 82
4.4.4 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
pada Variasi NXP Plus 5 ....................................... 84
4.4.5 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
pada Variasi NXP Plus 10 ..................................... 86
4.4.6 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model Square
Nozzle Steam Ejector pada Variasi NXP Minus
10 ........................................................................... 87
4.4.7 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model SNSE
pada Variasi NXP Minus 5 .................................... 89
4.4.8 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model SNSE
pada Variasi NXP Nol .......................................... 91
4.4.9 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model SNSE
pada Variasi NXP Plus 5 ....................................... 92
4.4.10 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model SNSE
pada Variasi NXP Plus 10 ..................................... 94
4.4.11 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
pada Variasi NXP Minus 10 .................................. 95
4.4.12 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
pada Variasi NXP Minus 5 .................................... 97
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4.4.13 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
4.4.14
pada Variasi NXP Nol ...........................................
Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi
99
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
pada Variasi NXP Plus 5 .......................................
101
4.4.15 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
4.4.16
pada Variasi NXP Plus 10 .....................................
Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi
102
Primary Pressure Menggunakan Model SNSE
pada Variasi NXP Minus 10 ..................................
104
4.4.17 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model SNSE
4.4.18
pada Variasi NXP Minus 5 ....................................
Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi
106
Primary Pressure Menggunakan Model SNSE
pada Variasi NXP Nol ...........................................
108
4.4.19 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model SNSE
4.4.20
pada Variasi NXP Plus 5 .......................................
Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi
110
Primary Pressure Menggunakan Model SNSE
pada Variasi NXP Plus 10 .....................................
111
4.4.21 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
4.4.22
pada Variasi NXP Minus 10 ..................................
Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi
113
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
pada Variasi NXP Minus 5 ....................................
115
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4.4.23 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
pada Variasi NXP Nol ........................................... 117
4.4.24 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
pada Variasi NXP Plus 5 ....................................... 119
4.4.25 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
4.4.26
pada Variasi NXP Plus 10 .....................................
Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi
120
Primary pressure Menggunakan Model SNSE
pada Variasi NXP Minus 10 .................................. 122
4.4.27 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi
Primary pressure Menggunakan Model SNSE
pada Variasi NXP Minus 5 .................................... 124
4.4.28 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi
Primary pressure Menggunakan Model SNSE
pada Variasi NXP Nol ...........................................
4.4.29 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi
126
Primary Pressure Menggunakan Model SNSE
pada Variasi NXP Plus 5 .......................................
4.4.30 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi
127
Primary Pressure Menggunakan Model SNSE
pada Variasi NXP Plus 10 .....................................
129
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 132
5.1 Kesimpulan .......................................................................... 132
5.2 Saran .................................................................................... 133
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 134
xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Skema arus distribusi energi di Indonesia tahun 2011......... 3
Gambar 1.2 Sektor-sektor konsumsi energi di Indonesia.. ...................... 5
Gambar 2.1 Liquid ejector (kiri), steam jet liquid ejector (kanan)
(http://www.equirepsa.com). ...............................................
12
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Skema ejector (Chunnanond dan Aphornaratana, 2004). ....
Karakteristik tekanan dan kecepatan aliran di dalam steam
ejector [Chunnanond dan Aphornaratana, 2004]. ................
12
13
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Siklus refrigerasi (http://globaldensoproducts.com)............
Diagram eksperimen chiller steam ejector dengan
15
Gambar 2.6
memanfaatkan panas matahari [Pollerberg, 2008]. .............
Ejector pada pressure vessel di pembangkit listrik tenaga
15
panas bumi (http://www.shailvac.com/). ............................. 16
Gambar 2.7 Skema oil production (https://en.wikipedia.org). ................ 16
Gambar 2.8
Gambar 2.9
Proses pencampuran bahan kimia dalam kondisi vakum ....
(a) Conventional Ejector Refrigeration System (CERS)
17
Gambar 2. 10
dan (b) P-h Diagram [Chen dkk, 2015]. ..............................
Dua tingkat sistem refrigerasi (a) Konfigurasi ejector; (b)
18
Gambar 2.11
Skema sistem; (c) P-h Diagram [Chen dkk, 2015]. .............
Combined Steam Ejector Refrigeration System [Chen dkk,
20
Gambar 2.12
2015]. ...................................................................................
Efek dari (a) benda padat (solid) dan (b) fluida (fluid), jika
21
Gambar 2.13
diberikan gaya geser yang konstan [Fox, 2011]. .................
Flowchart klasifikasi aliran di Computaional Fluid
22
Gambar 2. 14
Dynamics [Jiyuan, 2008]. ....................................................
Pembagian daerah aliran viskos pada plat rata [Holman,
25
Gambar 2. 15
1998]. ...................................................................................
Tipe profil kecepatan di dalam pipa (a) Aliran laminar (b)
25
Aliran turbulen [White, 2011]. ............................................ 27
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 2. 16 (a) High-viscosity, low Reynolds number, laminar flow
(b) Low-viscosity, high Reynolds number, turbulent flow
Gambar 2.17
[White, 2011]. ......................................................................
Kondisi batas pada permasalahan aliran internal [Jiyuan,
27
Gambar 2.18
2008]. ...................................................................................
Kondisi batas pada permasalahan aliran eksternal [Jiyuan,
30
Gambar 2.19
2008]. ...................................................................................
Skema satu elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera,
30
Gambar 2.20
1995]. ...................................................................................
Skema aliran massa yang keluar dan masuk pada satu
31
Gambar 2.21
elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995]. .............
Skema komponen tegangan yang terdapat pada setiap
32
permukaan dari satu elemen fluida [Versteeg dan
Malalasekera, 1995].............................................................
33
Gambar 2.22 Komponen tegangan pada arah x [Versteeg dan
Malalasekera, 1995].............................................................
34
Gambar 2.23 Pembacaan persamaan energi [Versteeg dan Malalasekera,
1995]. ...................................................................................
35
Gambar 2.24 Komponen dari vektor heat flux [Versteeg dan
Malalasekera, 1995].............................................................
37
Gambar 2.25 Ilustrasi pembacaan relasi (2.20) [Versteeg dan
Malalasekera, 1995].............................................................
38
Gambar 2.26 Tiga elemen utama yang ada di dalam Computational
Fluid Dynamic [Jiyuan, 2008]. ............................................
41
Gambar 2.27 Tiga elemen utama yang ada di dalam CFD (Jiyuan,
2008). ...................................................................................
42
Gambar 2.28 Skema metode solusi pressure-based [ANSYS, Inc.,
2013]. ...................................................................................
45
Gambar 2.29 Skema metode solver coupled (ANSYS, Inc., 2013). ......... 52
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian. ....................................................... 53
Gambar 3.2 Diagram alir prosedur simulasi............................................ 54
xx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 3.3 Skematik penggunaan steam ejector pada sistem
refrijerasi. .............................................................................
56
Gambar 3.4 Skema steam ejector. ........................................................... 57
Gambar 3.5 Ukuran geometri steam ejector............................................ 57
Gambar 3.6 Ukuran geometri model Circle Nozzle Steam Ejector. ........ 58
Gambar 3.7 Ukuran geometri model Square Nozzle Steam Ejector........ 58
Gambar 3.8 Variasi penempatan NXP. ................................................... 58
Gambar 3.9 Boundary condition pada steam ejector. ............................. 59
Gambar 3.10 Tampilan meshing steam ejector. ........................................ 60
Gambar 3.11 Tampilan bentuk meshing tetrahedral. ................................ 60
Gambar 4.1 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment
ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Minus
Gambar 4.2
10. ........................................................................................
Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment
65
Gambar 4.3
ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Minus 5.
Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment
67
Gambar 4.4
ratio dengan variasi primary pressure pada NXP 0. ...........
Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment
68
Gambar 4.5
ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Plus 5. ...
Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment
69
Gambar 4.6
ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Plus 10.
Grafik pengaruh NXP terhadap nilai entrainment ratio
71
Gambar 4.7
dengan variasi primary pressure pada model CNSE...........
Grafik pengaruh NXP terhadap nilai entrainment ratio
72
Gambar 4.8
dengan variasi primary pressure pada model SNSE. ..........
Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate primary
73
Gambar 4.9
pada variasi primary pressure di model CNSE. ..................
Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate primary
75
Gambar 4.10
pada variasi primary pressure di model SNSE....................
Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate secondary
76
pada variasi primary pressure di model CNSE. .................. 77
xxi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.11 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate secondary
Gambar 4.12
pada variasi primary pressure di model SNSE....................
Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
78
Minus 10 di primary pressure 140 kPa................................ 79
Gambar 4.13 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 155 kPa................................
80
Gambar 4.14 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 170 kPa................................
80
Gambar 4.15 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 185 kPa................................
80
Gambar 4.16 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 200 kPa................................
80
Gambar 4.17 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 140 kPa..................................
81
Gambar 4.18 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 155 kPa..................................
81
Gambar 4.19 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 170 kPa..................................
81
Gambar 4.20 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 185 kPa..................................
82
Gambar 4.21 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 200 kPa..................................
82
Gambar 4.22 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 140 kPa................................................
83
Gambar 4.23 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 155 kPa................................................
83
Gambar 4.24 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 170 kPa................................................
83
Gambar 4.25 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 185 kPa................................................
84
xxii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.26 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 200 kPa................................................
84
Gambar 4.27 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 140 kPa. ...................................
84
Gambar 4.28 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 155 kPa. ...................................
85
Gambar 4.29 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 170 kPa. ...................................
85
Gambar 4.30 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 185 kPa. ...................................
85
Gambar 4.31 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 200 kPa. ...................................
85
Gambar 4.32 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 140 kPa. .................................
86
Gambar 4.33 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 155 kPa. .................................
86
Gambar 4.34 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 170 kPa. .................................
86
Gambar 4.35 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 185 kPa. .................................
87
Gambar 4.36 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 200 kPa. .................................
87
Gambar 4.37 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 140 kPa................................
88
Gambar 4.38 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 155 kPa................................
88
Gambar 4.39 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 170 kPa................................
88
Gambar 4.40 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 185 kPa................................
89
xxiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.41 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 200 kPa................................
89
Gambar 4.42 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 140 kPa..................................
89
Gambar 4.43 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 155 kPa..................................
90
Gambar 4.44 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 170 kPa..................................
90
Gambar 4.45 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 185 kPa..................................
90
Gambar 4.46 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 200 kPa..................................
90
Gambar 4.47 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 140 kPa................................................
91
Gambar 4.48 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 155 kPa................................................
91
Gambar 4.49 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 170 kPa................................................
91
Gambar 4.50 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 185 kPa................................................
92
Gambar 4.51 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 200 kPa................................................
92
Gambar 4.52 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 140 kPa. ...................................
93
Gambar 4.53 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 155 kPa. ...................................
93
Gambar 4.54 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 170 kPa. ...................................
93
Gambar 4.55 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 185 kPa. ...................................
93
xxiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.56 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 200 kPa. ...................................
94
Gambar 4.57 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 140 kPa. .................................
94
Gambar 4.58 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 155 kPa. .................................
94
Gambar 4.59 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 170 kPa. .................................
95
Gambar 4.60 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 185 kPa. .................................
95
Gambar 4.61 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 200 kPa. .................................
95
Gambar 4.62 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi
NXP Minus 10. ....................................................................
96
Gambar 4.63 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 140 kPa................................
96
Gambar 4.64 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 155 kPa................................
96
Gambar 4.65 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 170 kPa................................
96
Gambar 4.66 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 185 kPa................................
97
Gambar 4.67 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 200 kPa................................
97
Gambar 4.68 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi
NXP Minus 5. ......................................................................
97
Gambar 4.69 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 140 kPa..................................
97
Gambar 4.70 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 155 kPa..................................
98
xxv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.71 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 170 kPa.................................. 98
Gambar 4.72 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 185 kPa..................................
98
Gambar 4.73 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 200 kPa..................................
98
Gambar 4.74 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi
NXP Nol. .............................................................................
100
Gambar 4.75 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 140 kPa.............................................
100
Gambar 4.76 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 155 kPa.............................................
100
Gambar 4.77 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 170 kPa.............................................
100
Gambar 4.78 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 185 kPa.............................................
100
Gambar 4.79 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 200 kPa.............................................
101
Gambar 4.80 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi
NXP Plus 5. .........................................................................
101
Gambar 4.81 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 140 kPa. ...................................
101
Gambar 4.82 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 155 kPa. ...................................
102
Gambar 4.83 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 170 kPa. ...................................
102
Gambar 4.84 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 185 kPa. ...................................
102
Gambar 4.85 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 200 kPa. ...................................
102
xxvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.86 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi
NXP Plus 10. ....................................................................... 103
Gambar 4.87 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 140 kPa. .................................
103
Gambar 4.88 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 155 kPa. .................................
103
Gambar 4.89 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 170 kPa. .................................
104
Gambar 4.90 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 185 kPa. .................................
104
Gambar 4.91 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 200 kPa. .................................
104
Gambar 4.92 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi
NXP Minus 10. ....................................................................
105
Gambar 4.93 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 140 kPa................................
105
Gambar 4.94 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 155 kPa................................
105
Gambar 4.95 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 170 kPa................................
105
Gambar 4.96 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 185 kPa................................
106
Gambar 4.97 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 200 kPa................................
106
Gambar 4.98 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi
NXP Minus 5. ......................................................................
107
Gambar 4.99 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 140 kPa..................................
107
Gambar 4.100 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 155 kPa..................................
107
xxvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.101 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 170 kPa.................................. 107
Gambar 4.102 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 185 kPa..................................
107
Gambar 4.103 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 200 kPa..................................
108
Gambar 4.104 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi
NXP Nol. .............................................................................
108
Gambar 4.105 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 140 kPa.............................................
108
Gambar 4.106 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 155 kPa.............................................
108
Gambar 4.107 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 170 kPa.............................................
109
Gambar 4.108 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 185 kPa.............................................
109
Gambar 4.109 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 200 kPa.............................................
109
Gambar 4.110 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi
NXP Plus 5. .........................................................................
110
Gambar 4.111 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 140 kPa. ...................................
110
Gambar 4.112 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 155 kPa. ...................................
110
Gambar 4.113 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 170 kPa. ...................................
110
Gambar 4.114 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 185 kPa. ...................................
111
Gambar 4.115 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 200 kPa. ...................................
111
xxviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.116 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi
NXP Plus 10. ....................................................................... 112
Gambar 4.117 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 140 kPa. .................................
112
Gambar 4.118 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 155 kPa. .................................
112
Gambar 4.119 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 170 kPa. .................................
112
Gambar 4.120 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 185 kPa. .................................
113
Gambar 4.121 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 200 kPa. .................................
113
Gambar 4.122 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi
NXP Minus 10. ....................................................................
114
Gambar 4.123 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 140 kPa................................
114
Gambar 4.124 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 155 kPa................................
114
Gambar 4.125 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 170 kPa................................
114
Gambar 4.126 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 185 kPa................................
115
Gambar 4.127 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 200 kPa................................
115
Gambar 4.128 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi
NXP Minus 5. ......................................................................
115
Gambar 4.129 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 140 kPa..................................
116
Gambar 4.130 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 155 kPa..................................
116
xxix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.131 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 170 kPa.................................. 116
Gambar 4.132 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 185 kPa..................................
116
Gambar 4.133 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 200 kPa..................................
117
Gambar 4.134 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi
NXP 0. .................................................................................
117
Gambar 4.135 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 140 kPa.............................................
117
Gambar 4.136 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 155 kPa.............................................
117
Gambar 4.137 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 170 kPa.............................................
118
Gambar 4.138 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 185 kPa.............................................
118
Gambar 4.139 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 200 kPa.............................................
118
Gambar 4.140 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi
NXP Plus 5. .........................................................................
119
Gambar 4.141 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 140 kPa. ...................................
119
Gambar 4.142 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 155 kPa. ...................................
119
Gambar 4.143 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 170 kPa. ...................................
119
Gambar 4.144 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 185 kPa. ...................................
120
Gambar 4.145 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 200 kPa. ...................................
120
xxx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.146 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi
NXP Plus 10. ....................................................................... 120
Gambar 4.147 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 140 kPa. .................................
121
Gambar 4.148 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 155 kPa. .................................
121
Gambar 4.149 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 170 kPa. .................................
121
Gambar 4.150 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 185 kPa. .................................
121
Gambar 4.151 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 200 kPa. .................................
122
Gambar 4.152 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi
NXP Minus 10. ....................................................................
122
Gambar 4.153 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 140 kPa................................
122
Gambar 4.154 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 155 kPa................................
123
Gambar 4.155 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 170 kPa................................
123
Gambar 4.156 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 185 kPa................................
123
Gambar 4.157 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 200 kPa................................
123
Gambar 4.158 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi
NXP Minus 5. ......................................................................
124
Gambar 4.159 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 140 kPa..................................
124
Gambar 4.160 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 155 kPa..................................
124
xxxi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.161 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 170 kPa.................................. 125
Gambar 4.162 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 185 kPa..................................
125
Gambar 4.163 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 200 kPa..................................
125
Gambar 4.164 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi
NXP 0. .................................................................................
126
Gambar 4.165 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 140 kPa.............................................
126
Gambar 4.166 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 155 kPa.............................................
126
Gambar 4.167 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 170 kPa.............................................
126
Gambar 4.168 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 185 kPa. ............................................
127
Gambar 4.169 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 200 kPa.............................................
127
Gambar 4.170 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi
NXP Plus 5. .........................................................................
127
Gambar 4.171 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 140 kPa. ...................................
128
Gambar 4.172 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 155 kPa. ...................................
128
Gambar 4.173 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 170 kPa. ...................................
128
Gambar 4.174 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 185 kPa. ...................................
128
Gambar 4.175 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 200 kPa. ...................................
129
xxxii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.176 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi
NXP Plus 10. ....................................................................... 130
Gambar 4.177 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 140 kPa. .................................
130
Gambar 4.178 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 155 kPa. .................................
130
Gambar 4.179 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 170 kPa. .................................
130
Gambar 4.180 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 185 kPa. .................................
131
Gambar 4.181 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 200 kPa. .................................
131
xxxiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nilai input yang relevan untuk [Versteeg dan
Malalasekera, 1995].............................................................
39
Tabel 3.1 Properties dari primary fliuid (nist.webbook.gov/
chemistry). ........................................................................... 60
Tabel 3.2 Properties dari secondary fluid. ........................................... 61
Tabel 3.3 Tipe yang digunakan pada setiap discretization. ................. 62
xxxiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
Singkatan Kepanjangan Pemakaian pertama
pada halaman
AC Air Conditioning 9
CAD Computer Aided Design 41
Conventional Ejector Refrigeration CERS 18
System
CFD Computational Fluid Dynamics 7
CNG Compressed Natural Gas 5
CNSE Circle Nozzle Steam Ejector 10
CO Carbonmonoksida 6
COP Coefficient of Performance 7
DEN Departemen Energi Nasional 2
DES Detached Eddy Simulation 46
EDN Energi Data Nasional 5
ESDM Energi dan Sumber Daya Mineral 3
KEN Kebijakan Energi Nasional 2
LES Large Eddy Simulation 46
LNG Liquid Natural Gas 5
LPG Liquid Petroleum Gas 5
MBOE Million Barrels of Oil Equivalent 5
MFG Multi Function Generator 20
NXP Nozzle Exit Position 10
PDE Partial Differential Equation 40
PDB Pertumbuhan Domestik Bruto 3
RNG Renormalization-group 46
RSM Reynold Stress Model 46
SNSE Square Nozzle Steam Ejector 10
xxxv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lambang Arti Satuan Pemakaian
pertama pada
halaman
Ar Luas m2 9
a Kecepatan suara m/s 29
c p
Kalor spesifik J/kg.K
22
cv
Volume spesifik
J/kg.K
22
du
dy
Gradien kecepatan
m/s
26
ER
Entrainment Ratio
Dimensionless
21
E
g
Energi
Percepatan Gravitasi
J
m/s2
24
h Enthalpy J/kg 22
k Konduktifitas termal fluida W/m.K 22
L Panjang atau jarak m 28
m s Mass flow rate secondary kg/s 21
m p
Mass flow rate primary
kg/s
21
Ma Mach number Dimensionless 29
P Tekanan Pa 22
p Tegangan normal Pa 32
q Heat flux W/m2 36
Re Bilangan Reynolds Dimensionless 28
R Konstanta gas ideal m2/s2.K 29
R Konstanta gas Universal kg.m2/kmol.s2.K 29
T Temperatur K 22
u Kecepatan pada arah x m/s 32
V Kecepatan m/s 28
v Viskositas kinematik m2/s 22
v Kecepatan pada arah y m/s 32
xxxvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lambang Arti Satuan Pemakaian
pertama pada
halaman
x Koordinat kartesian m 32
y Koordinat kartesian m 32
z Koordinat kartesian m 32
δ Tebal boundary layer m 32
ε Disipasi J 47
ρ Densitas kg/m3 22
µ Viskositas dinamik Pa.s 22
η Tegangan viscous Pa 31
yx
Tegangan geser N/m2 26
Spesific Weights m/s2 24
Ф Nilai rata-rata Dimensionless 38
θ Converging angle o 40
xxxvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia, banyak energi yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan
rumah tangga maupun untuk kebutuhan industri. Beberapa energi yang sudah
dimanfaatkan yaitu energi fosil, energi panas bumi, energi surya, dan energi air
(hydropower). Pada skema arus distribusi energi di Indonesia (Gambar 1.1),
energi fosil yang mendominasi pemanfaatan energi saat ini. Energi fosil
diklasifikasikan menjadi crude oil, coal dan natural gas. Energi fosil digunakan
untuk pembangkit listrik hingga untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Energi
panas bumi juga dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Walaupun di
Indonesia mempunyai potensi energi panas bumi yang besar tetapi dalam
pemanfaatannya belum dikelola secara baik. Namun dalam kurun waktu
belakangan ini, mulai dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di
beberapa daerah. Energi surya juga dimanfaatkan masih dalam skala kecil di
Indonesia, karena membutuhkan alat yang cukup mahal dalam pemanfaatannya
menjadi sumber pembangkit listrik. Hydro power dalam pemanfaatannya kurang
lebih sama dengan energi panas bumi belum dimanfaatkan secara baik. Berbagai
sumber energi diatas dalam pemanfaatannya perlu didukung ilmu pengetahuan.
Pemanfaatan energi dan ilmu pengetahuan harus berjalan beriringan, agar
energi tersebut dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan energi juga harus ditinjau efek
negatif dampak bagi lingkungan. Kebijakan energi Indonesia ke depan tertuang
dalam Peraturan Pemerintah (Perpres) 79/2014 tentang Kebijakan Energi
Nasional (KEN) menggantikan Peraturan Presiden (Perpres) 05/2006 tentang
Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan pengelolaan energi didasarkan pada
prinsip keadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya
kemandirian energi dan ketahanan energi nasional [Dewan Energi Nasional,
2014]. Penggunaan energi berprinsip pada wawasan lingkungan sehingga energi
ramah lingkungan yang diperlukan. Dalam pemanfaatnya energi memerlukan
sebuah alat atau sistem supaya lebih efisien.
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Efisiensi energi dapat didefinisikan sebagai semua metode, teknik, dan
prinsip-prinsip yang memungkinkan untuk dapat menghasilkan penggunaan
energi lebih efisien dan membantu penurunan permintaan energi global
[Indoenergi, 2016]. Data Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral)
menyebutkan ”Usaha untuk mencapai pemakaian energi yang efisien di Indonesia
menghadapi tantangan yang cukup berat. Data Statistik Ekonomi Energi
Kementerian ESDM menunjukkan elastisitas pertumbuhan konsumsi energi
terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) rata-rata dalam rentang tahun
1991-2005 mencapai 2,02. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan PDB masih
bergantung pada pertumbuhan konsumsi energi yang besar (elastisitas energi yang
diharapkan kurang dari 1, yang menunjukkan tingkat efisiensi tinggi). Walaupun
intensitas penggunaan energi relatif tinggi, namun konsumsi energi per kapita di
Indonesia relatif rendah. Indeks intensitas energi Indonesia mencapai 470,
sementara konsumsi energi per kapita adalah 0,467. Bandingkan dengan Jepang,
intensitas energi 92,8 sementara konsumsi energi per kapita-nya adalah 4,14.
Angka tersebut memperkuat gambaran bahwa penggunaan energi di Indonesia
belum produktif dan belum merata. Untuk mengembangkan efisiensi energi,
selain mendorong pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga harus mengurangi
pertumbuhan konsumsi energi. Pengurangan angka pemakaian energi adalah
dengan melakukan langkah efisiensi, konservasi dan diversifikasi energi. Hal ini
menuntut peran semua pihak secara luas, terutama sektor-sektor yang
mengkonsumsi energi dalam skala besar”. Data tersebut penulis mengambil
kesimpulan bahwa penggunaan energi perlu adanya efisiensi, karena tingkat
konsumsi di Indonesia yang masih tinggi [ESDM, 2016]. Efisiensi energi dapat
berjalan dengan peran serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Peranan ilmu pengetahuan berpengaruh dalam menciptakan teknologi
yang menggunakan konsumsi energi yang rendah pada suatu sistem ataupun alat.
Teknologi akan mampu menjawab masalah yang sedang dihadapi masyarakat
maupun industri. Teknologi yang menunjang industri dalam proses produksi
maupun dalam efisiensi pekerjaan adalah salah satu cara untuk mencapai efisiensi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
energi. Untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya riset dan penelitian supaya
dapat menjawab tantangan pemanfaatan energi yang efisien.
Energi menjadi kebutuhan yang primer untuk proses produksi maupun
yang menunjang proses produksi. Di Industri, energi digunakan untuk membuat
pekerjaan menjadi lebih mudah, efisien waktu dan biaya. Karena adanya energi
maka industri dapat beroperasi dan proses produksi dapat berlangsung. Setelah
itu, produk hasil industri didistribusikan ke konsumen juga memerlukan energi
yaitu energi fosil yang sudah diolah menjadi bahan bakar.
Gambar 1.1 Skema arus distribusi energi di Indonesia tahun 2011
(Compendium of The National Energy Management of Indonesia, 2012).
Energi fosil adalah energi yang didapatkan dari hasil alam yang
mengandung hidrokarbon seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam. Energi
fosil terjadi karena adanya timbunan mineral yang sangat lama sehingga energi
fosil digolongkan menjadi energi tidak dapat diperbaharui. Energi fosil didapatkan
dari fosil yang ada dibawah permukaan bumi maupun di bawah laut. Jumlah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
pemanfaatan energi fosil luas, mulai dari rumah tangga hingga industri.
Pemanfaatan energi fosil di alam seperti batubara, minyak bumi, natural gas
diolah menjadi energi listrik, bahan bakar, LPG, LNG, CNG, dll. Presentase
terbesar penggunaan energi fosil didominasi untuk pembangkit tenaga listrik dan
bahan bakar.
Pada tahun 2013 total konsumsi energi listrik domestik mencapai 188
TWh atau meningkat 40% dari tahun 2009. Konsumsi listrik diperkirakan akan
terus meningkat hingga 287 TWh pada tahun 2018 dan 386 TWh pada tahun
2022, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun 8,3%. Pada Gambar 1.2,
tahun 2011 di Indonesia penggunaan energi terbesar pada sektor industri yaitu
38,06% dan terbesar kedua di sektor transportasi dengan 33,45%. Energi fosil
yang diolah menjadi bahan bakar digunakan di sektor transportasi dan pembangkit
listrik. Bahan bakar dapat diklasifikasikan sesuai dengan kebutuhan. Karena
keberagaman jenis bahan bakar yang digunakan untuk transportasi, maka perlu
adanya pengolahan hingga menjadi produk jadi. Teknologi mampu memberikan
solusi dari energi primer menjadi energi final [Purnomo, 2014]. Energi primer
adalah energi yang diberikan oleh alam dan belum mengalami proses pengolahan
lebih lanjut. Energi final adalah energi yang langsung dapat dikonsumsi oleh
pengguna akhir.
Teknologi pemanfaatan energi fosil sering dijumpai inefisiensi. Inefisiensi
dapat ditemukan pada proses pembakaran. Proses pembakaran menghasilkan
sebuah usaha. Pada proses pembakaran selain menghasilkan usaha juga
menghasilkan panas yang cukup besar. Dalam kendaraan bermotor, panas yang
dihasilkan tidak dimanfaatkan lagi untuk proses tertentu. Panas yang dihasilkan
dari proses pembakaran dibuang begitu saja ke lingkungan. Untuk mengatasi
inefisiensi tersebut, panas dapat dimanfaatkan untuk menyuplai panas (kalor) di
sistem refrijerasi.
Sistem refrigerasi adalah penyerapan kalor oleh suatu zat pendingin yang
disebut refrigeran. Refrigeran adalah fluida yang mempunyai titik didih yang
rendah dan mempunyai titik beku yang tinggi. Ketika temperatur refrijeran lebih
rendah dengan lingkungan maka, refrijeran mudah menyerap kalor dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
lingkungan. Refrijeran bertemperatur lebih rendah dari temperatur lingkungan
terjadi proses perpindahan kalor (heat transfer). Perbedaan temperatur tersebut,
refrigeran akan menguap karena menyerap panas dari lingkungan, sehingga
temperatur di lingkungan menjadi dingin. Ketika refrijeran diberi tekanan yang
rendah akan mudah untuk membeku. Perbedaan temperatur yang tinggi dalam
proses refrigerasi dapat menaikan efisiensi sistem refrigerasi tersebut. Panas sisa
(waste heat) hasil proses pembakaran dapat digunakan untuk membantu proses
refrijerasi agar lebih efisien. Dengan begitu selain menghasilkan usaha, panas
hasil proses pembakaran dapat dimanfaatkan dan tidak merusak lingkungan.
Gambar 1.2 Sektor-sektor konsumsi energi di Indonesia [Compendium of The
National Energy Management of Indonesia, 2012].
Panas yang dihasilkan dari industri dan kendaraan yang dibuang ke udara
bebas dapat menyebabkan polusi udara dan menimbulkan efek pemanasan global.
Pemanasan global terjadi karena gas CO yang dihasilkan dari proses pembakaran
dapat merusak lapisan ozon. Lapisan ozon yang rusak menyebabkan radiasi
ultraviolet dapat masuk ke permukaan bumi. Ultraviolet yang masuk ke bumi
tidak dapat keluar lagi, sehingga membuat suhu bumi bertambah panas. Dalam
menjaga lingkungan agar tetap baik walaupun banyak industri, perlu adanya
penanganan terhadap waste heat. Waste heat dapat dimanfaatkan untuk keperluan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
yang dapat menghemat energi yang diperlukan industri. Steam ejector dapat
menjadi solusi dalam masalah yang sedang dihadapi.
Steam ejector dapat mereduksi biaya dan dapat mengubah gas buang
tersebut menjadi kompresi [Subramanian, 2014]. Steam ejector dapat bersaing
dengan peralatan konvensional lain seperti kompresor. Meskipun kompresor dapat
meningkatkan kompresi yang baik dan Coefficient of Performance (COP) yang
tinggi, akan tetapi kompresor membutuhkan perawatan yang rutin dan suplai
tenaga listrik yang besar. Kelebihan steam ejector dibandingkan kompresor yaitu
tidak memerlukan tenaga listrik dan mudah dalam perawatannya.
Pemanfaatan waste heat dari suatu sistem pada kendaraan dan industri
diperlukan untuk menjaga lingkungan agar tetap baik. Selain itu, penggunaan
bahan bakar yang efisien dapat menjaga kelestarian lingkungan serta mereduksi
biaya produksi yang tinggi. Beberapa alat yang dapat membantu dalam proses
efisiensi dan menjadi kelestarian lingkungan adalah venturi scrubber, converter,
dan steam ejector. Alat-alat tersebut mempunyai kelebihan masing-masing dalam
penggunaan tergantung masalah yang dihadapi. Dalam proses pemanfaatan waste
heat, steam ejector mempunyai banyak kelebihan.
Steam ejector mempunyai kelebihan yaitu tahan uji, mempunyai bentuk
yang simpel, dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama, biaya yang murah,
dapat digunakan di beberapa refrigeran, perawatannya mudah, dan dapat
digunakan pada refrigeran air. Air adalah refrigeran yang mudah didapat dan
ramah lingkungan. Steam ejector mempunyai sebutan lain yaitu injector, jet
pump, thermo compressor. Ejector pada sistem refrijerasi terbagi menjadi 4
golongan yaitu: conventional ejector refrigeration systems, advanced ejector
refrigeration systems, combined refrigeration systems dan ejector enhanced vapor
compression systems. Masing masing golongan mempunyai fungsi dan kegunaan
masing-masing tergantung masalah yang sedang dihadapi di lapangan (Chen,
2015).
Steam ejector adalah alat yang dapat digunakan untuk memompa cairan,
gas atau campuran cairan, gas dan padat [Shah, 2011]. Steam ejector cocok untuk
menghisap dan memompa cairan yang beracun di industri. Steam ejector juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan air di lokomotif dan armada
laut serta sebagai steam jet air ejector di pengisian gas pada kondensor turbin.
Selain itu, steam ejector juga digunakan di industri minyak dan gas untuk
meningkatkan produksi.
Dalam kurun waktu beberapa tahun belakang ini, steam ejector menjadi
pusat penelitian komputasi maupun eksperimen oleh banyak peneliti yaitu Aybar
dan Beithou, 1999; Dumaz dkk, 2005; Garcia del Valle dkk, 2015, serta Yan dkk,
2005. Peneliti tersebut mencari performa dari steam ejector. Untuk kedepannya,
steam ejector dapat digunakan untuk pendinginan pada keadaan darurat dan
sistem pemasok pendinginan di reaktor nuklir.
Kebutuhan masing-masing penggunaan, steam ejector tidak terlepas dari
model. Model yang baik dapat membantu proses pencampuran fluida secara
menyeluruh dan mengurangi back pressure. Geometri dari mixing chamber dan
panjang dari throttle, serta sudut dan tinggi dari converging section sangat
mempengaruhi performa dari steam ejector (Henzler, 1983). Penelitian Varga dkk
tahun 2009 adalah jarak optimum dari keluaran primary nozzle hingga masuk
dalam mixing chamber untuk pencampuran dua fluida.
Pada penelitian Fahris, 2010 menyatakan kelemahan dari steam ejector
pada refrigerasi adalah nilai COP dan kapasitas pendinginan yang rendah. Maka
berbagai eksperimen dari steam ejector dikembangkan untuk meningkatkan nilai
COP. Entrainment ratio berpengaruh langsung terhadap nilai COP pada suatu
sistem. Entrainment ratio sangat dipengaruhi oleh bentuk geometri steam ejector
dan operating conditions. Refrigerasi steam ejector merupakan sistem refrigerasi
dengan memanfaatkan waste heat sebagai sumber energi utamanya. Pada
penelitian Mohammad Subri, 2013 menyatakan steam ejector berperan sebagai
pengganti kompresor pada siklus kompresi uap. Refrigerasi steam ejector
memiliki COP yang rendah, sehingga perlu dilakukan penelitian karakteristik dari
steam ejector. Penelitian yang dilakukan adalah dengan membuat desain geometri
steam ejector untuk mendapatkan hasil yang paling optimal. Kinerja steam ejector
dapat dilihat dari besarnya nilai entrainment ratio. Entrainment ratio adalah
perbandingan mass flow rate secondary dengan mass flow rate primary.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Meningkatnya nilai entrainment ratio dapat meningkatkan nilai COP sistem
refrigerasi.
Penelitian ini, C.Li, Y.Z. Li, 2011, “Investigation of entrainment behavior
and characteristics of gas-liquid ejector based on CFD simulation”. Mempelajari
gas-liquid ejectors yang diaplikasikan pada natural circulation precooling of
cryogenic propellant rocket engine system. Data yang hasil eksperimen digunakan
untuk validasi pada simulasi dengan menggunakan Computational Fluid Dynamic
(CFD). CFD digunakan untuk mengetahui secara detail pengaruh yang terjadi
dengan memvariasikan bentuk geometri, spesifikasi fluida dan operating
condition pada 2 fase fluida. Mass flow rate secondary menurun bersamaan
dengan naiknya perbedaan tekanan pada ΔP (primary pressure dan secondary
pressure). Ketika ΔP dan secondary pressure konstan menjadikan mass flow rate
secondary secara berlahan meningkat seiring dengan meningkatnya primary
pressure. Selain itu panjang pipa pencampuran (throttle) menjadi parameter yang
penting dalam performa ejector. Maksimum panjang throttle pada gas–liquid
ejectors adalah mempunyai rasio 1-2 kali dari diameter pipa pencampuran untuk
mendapatkan entrainment ratio yang optimum. Untuk hasil optimum dari panjang
throttle dibanding diameter throttle untuk satu fasa ejector adalah antara 5-7.
Jianyong Chen, Sad Jarall dan Hans Havtun tahun 2015 dengan jurnal
yang berjudul “A review on versatile ejector aprimary pressurelications in
refrigeration system” menunjukkan performa dari sistem tergantung dari tipe dari
refigeran, operating conditions dan geometri ejector tersebut. Area ratio (Ar) dan
Nozzle Exit Position (NXP) adalah bagian dari parameter geometri ejector.
Performa yang maksimum dari ejector tidak mudah didapatkan. Beberapa sistem
refrigerasi ejector untuk mendapatkan hasil maksimum, yaitu: conventional
ejector refrigeration systems, advanced ejector refrigeration systems, combined
refrigeration systems dan ejector enhanced vapor compression systems. Pada
conventional ejector refrigeration performance mempunyai beberapa hal yang
istimewa, yaitu membutuhkan konsumsi listrik lebih rendah daripada vapor
compression system. Advanced ejector refrigeration system digunakan untuk
meningkatkan efisiensi, meningkatkan COP dan menghilangkan pompa dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
memanfaatkan panas saja. Advanced ejector refrigeration system cocok digunakan
pada Air Conditioning (AC) dan pembuatan es batu yang memanfaatkan panas
matahari. Untuk combined refrigeration systems, refrigeration system digunakan
dengan memanfaatkan waste heat untuk proses pendinginan. Ejector enhanced
vapor compression system digunakan untuk sistem refrigerasi di supermarket,
kulkas dan pompa kalor.
Randheer L. Yadav dan Ashwin W.Patwardhan, 2008, ”Design aspects of
ejectors: effects of suction chamber geometry”. Ruang pencampur (suction
chamber) adalah tempat dua aliran yaitu primary fluid dan secondary fluid
bertemu. Suction chamber menjadi bagian yang penting dari ejector untuk
mengoptimalisasikan performa ejector. Pada penelitian tersebut, peneliti
menyelidiki tentang (i) perbandingan (LTN/DT), LTN jarak dari ujung nozzle ke
bagian throat dan DT adalah diameter throat, (ii) Diameter dari suction chamber
(Ds), dan (iii) sudut dari converging section (θ). Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa diameter dari suction chamber lebih besar mempengaruhi kapasitas
entrained fluid yang masuk ke mixing chamber. Sudut dari converging section (θ)
yang optimum berada pada rentang 5⁰-15⁰, serta nilai optimum entrainment ratio
yang dihasilkan pada area ratio (Ar) 6,6.
Dalam simulasi steam ejector, peneliti menggunakan simulasi
Computational Fluid Dinamics (CFD) ANSYS Fluent 14. CFD digunakan untuk
mengurangi biaya dan efisiensi waktu dalam membuat prototype pada sebuah
rancangan. Penggunaan CFD dapat memprediksi kontur tekanan, temperatur dan
kecepatan yang terjadi pada sistem, dengan memberikan boundary condition pada
prototype [Bartosiewicz, 2005]. CFD dapat menganalisa permasalahan aliran yang
komplex, seperti entrainment ratio dan proses pencampuran di dalam ejector.
CFD juga dapat mengetahui kontur arah aliran. Pada sistem yang sulit untuk
dibuat prototype maupun dalam pengujian, CFD memberikan pemahaman
mendalam mengenai efek yang akan terjadi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
1.2 Perumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas oleh peneliti pada penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana pengaruh variasi primary pressure terhadap nilai entrainment
ratio di dalam steam ejector?
2. Bagaimana pengaruh variasi Nozzle Exit Position (NXP) terhadap nilai
entrainment ratio di dalam steam ejector?
3. Pengaruh model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle
Steam Ejector (SNSE) terhadap nilai entrainment ratio di dalam steam
ejector.
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, maka
tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui nilai entrainment ratio dari variasi primary pressure.
2. Mengetahui nilai entrainment ratio dari variasi Nozzle Exit Position
(NXP).
3. Mengetahui dan menganalisa nilai entrainment ratio dari variasi model
Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle Steam Ejector
(SNSE) .
1.4 Batasan Masalah
Batasan-batasan yang ditentukan dalam simulasi steam ejector pada
penelitian ini adalah:
1. Simulasi di lakukan pada aliran steady dan 3 dimensi.
2. Menggunakan steam untuk primary fluid dan udara untuk secondary fluid.
3. Primary fluid disimulasikan pada tekanan 140 kPa, 155kPa, 170 kPa. 185
kPa dan 200 kPa.
4. Model nozzle yang digunakan Circle Nozzle dan Square Nozzle.
5. Menggunakan variasi Nozzle Exit Position (NXP).
6. Menggunakan geometri steam ejector yang sudah ditentukan.
7. Tidak memperhitungkan rugi-rugi gesekan dengan dinding (inviscid).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
8. Tidak terjadi perpindahan panas dengan lingkungan (adiabatic).
9. Menggunakan model turbulen realizable k-ε.
1.5 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan tentang
pemanfaatan gas buang terhadap efisiensi energi dalam pengembangan
ilmu pengetahuan.
2. Menambah kajian ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan waste heat.
3. Mengetahui nilai efisiensi penggunaan steam ejector yang baik dengan
model steam ejector yang sudah ditentukan oleh peneliti.
4. Penelitian ini dapat memperluas wawasan mengenai pemanfaatan waste
heat terhadap efisiensi penggunakan energi untuk menjaga kelestarian
lingkungan sekitar.
5. Supaya peneliti dapat memperoleh gelar Sarjana Teknik Mesin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II DASAR
TEORI
2.1 Steam Ejector
Steam ejector pertama kali ditemukan oleh Le Blance dan Charles Parsons
tahun 1900. Pada tahun 1930, steam ejector mulai dikenal dan digunakan pada
AC untuk gedung-gedung. Steam ejector bekerja dengan memanfaatkan waste
heat dari sistem pembangkit daya, ruang pembakaran dan pada mesin industri
untuk menghasilkan proses refrigerasi. Pada Gambar 2.2, steam jet ejector secara
umum terdiri lima bagian yaitu: nozzle, suction chamber, mixing chamber, throttle
dan diffuser (diverging section) [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
Keuntungan menggunakan steam ejector yaitu tidak ada part yang bergerak, tidak
membutuhkan pelumasan dalam proses kerjanya, relatif murah dalam
pembuatannya, dalam pengoperasiannya juga simpel, tangguh dan mempunyai
biaya perawatan sangat rendah dibanding kompresor.
Gambar 2.1 Liquid ejector (kiri), steam jet liquid ejector (kanan)
(http://www.equirepsa.com).
Suction chamber
Gambar 2.2 Skema ejector (Chunnanond dan Aphornaratana, 2004).
12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Gambar 2.3 dapat dilihat proses yang terjadi di dalam steam ejector. Uap
bertekanan rendah dan bertemperatur tinggi dari boiler masuk ke primary nozzle
dan keluar menuju daerah mixing chamber dengan kecepatan supersonic sehingga
akan menghisap secondary fluid yang bertekanan tinggi dan temperatur lebih
rendah dari suction chamber. Ketika primary fluid dan secondary fluid mengalami
pencampuran pada mixing chamber, kecepatan fluida menjadi aliran subsonik.
Setelah fluida melewati throttle dan menuju ke diverging section tekanan fluida
meningkat karena adanya perluasan penampang pada diverging section. Peranan
steam jet ejector adalah sebagai pengganti kompresor pada siklus kompresi uap
yaitu menaikkan tekanan aliran dari evaporator melalui suction chamber (Fahris,
2010).
Gambar 2.3 Karakteristik tekanan dan kecepatan aliran di dalam steam ejector
[Chunnanond dan Aphornaratana, 2004].
2.2 Bagian-bagian Steam Ejector
Penelitian ini menggunakan steam ejector. Bagian steam ejector terdiri
dari nozzle, suction chamber, mixing chamber, throttle dan diverging section.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
a. Nozzle
Nozzle terbagi menjadi 2 bagian yaitu converging nozzle dan
diverging nozzle. Aliran fluida yang mengalir melalui nozzle disebut
primary flow. Penampang nozzle yang menyempit bertujuan agar aliran
yang masuk ke dalam nozzle mengalami peningkatan kecepatan menjadi
subsonic maupun supersonik.
b. Suction chamber
Suction chamber mempunyai penampang yang luasannya konstan
dan berbentuk tabung. Bagian ini terjadi pencampuran primary fluid dan
secondary fluid pada variasi Nozzle Exit Position (NXP) Minus. Bagian ini
didominasi oleh secondary fluid, karena secondary fluid mengalir di
bagian ini sebelum bercampur dengan primary fluid.
c. Mixing chamber
Mixing chamber terdapat di daerah converging section, dimana dua
fluida bertemu secara langsung pada variasi Nozzle Exit Position (NXP)
Plus. Mixing chamber dapat disebut sebagai jantung/pusat dari ejector. Hal
tersebut dikarenakan terjadi proses termodinamika, proses hisap, proses
pencampuran kedua fluida, perpindahan massa, momentum, dan transfer
energi. Secondary flow mengalami perubahan kecepatannya menjadi sonic
karena momentum yang dihasilkan oleh primary flow. Karena
terkondensasi oleh steam primary fluid, fluida hasil akhir adalah subcooled
water mempunyai tekanan yang relatif tinggi.
d. Throttle
Bagian throttle adalah bagian yang mempunyai diameter dan
luasan penampang yang konstan. Di bagian ini kedua fluida mengalami
pencampuran secara terus menerus. Pada beberapa penelitian yang ada,
throttle menjadi bagian yang sangat mempengaruhi nilai entrainment
ratio.
e. Diffuser
Diffuser merupakan bagian diverging section yang berfungsi untuk
meningkatkan tekanan. Fluida yang mengalir di bagian ini adalah aliran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
campuran dari energi kinetik diubah menjadi tekanan, sehingga membuat
kecepatan dari aliran berkurang dan tekanan akan bertambah.
2.3 Aplikasi Steam Ejector
Di dalam proses refrijerasi (Gambar 2.4), steam ejector digunakan
meningkatkan efisiensi untuk membuat efek pendinginan dengan memanfaatkan
waste heat dari proses di industri dan maupun otomotif.
Gambar 2.4 Siklus refrigerasi (http://globaldensoproducts.com).
Gambar 2.5 Diagram eksperimen chiller steam ejector dengan memanfaatkan
panas matahari [Pollerberg, 2008].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Steam ejector digunakan dalam pendinginan dan mengeringkan makanan
sebelum disajikan atau pada waktu proses pengiriman. Pengaplikasian steam
ejector juga dapat menggunakan kalor dari energi terbarukan, contohnya panas
matahari (Gambar 2.5).
Gambar 2.6 Ejector pada pressure vessel di pembangkit listrik tenaga panas
bumi (http://www.shailvac.com/).
Gambar 2.7 Skema oil production (https://en.wikipedia.org).
Selain itu steam ejector juga digunakan untuk proses kompresi uap yang
membutuhkan performa sistem yang baik serta mempunyai efisiensi energi yang
tinggi. Steam ejector dapat digunakan di pressure vessel pada pembangkit listrik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
tenaga panas bumi (Gambar 2.6). Ejector pada pressure vessel berfungsi untuk
meningkatkan tekanan sehingga aliran fluida yang masuk untuk memutar
turbin/generator dapat lebih maksimal. Namun kekurangan yang dimiliki steam
ejector adalah mempunyai efisiensi yang relatif kecil dan sulit dalam menentukan
desain yang cocok. Oleh karena itu, steam ejector masih menjadi topik yang
banyak diteliti untuk mengetahui karakteristik, cara kerja serta cara untuk
meningkatkan performanya.
Steam ejector digunakan dalam industri perminyakan (Gambar 2.7). Pada
proses pengambilan minyak mentah, ejector digunakan supaya kerja dari pompa
penghisap tidak berat. Pada proses ini, ejector mengalirkan steam/nitrogen ke
bawah permukaan bumi hingga di daerah lapisan minyak mentah. Volume steam
yang dimasukan akan memenuhi lapisan minyak mentah. Tekanan di lapisan
minyak mentah meningkat karena tekanan steam, maka minyak mentah akan
bergerak menuju saluran oil production (Gambar 2.7). Selain itu, ejector juga
digunakan pada proses farmasi, contohnya untuk mencampur senyawa/fluida.
Ejector cocok untuk proses pencampuran membutuhkan kondisi vakum (Gambar
2.8). Ejector juga digunakan dalam dunia otomotif untuk proses pencampuran
bahan bakar. Dari berbagai contoh tersebut, ejector menjadi alat yang sangat
diperlukan di berbagai bidang.
Gambar 2.8 Proses pencampuran bahan kimia dalam kondisi vakum
(http://www.openpr.com).
Tingkat kevakuman yang dapat dicapai oleh steam ejector bervariasi antara
0,13 bar untuk single stage sampai dengan 0,03 bar untuk two stage steam jet
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
ejector. Kebutuhan uap untuk motive steam tergantung dari jumlah aliran gas yang
akan diekstraksi. Kondisi motive steam harus uap kering dan jenuh. Jika terdapat
moisture dalam steam, separator dan steam trap dapat ditambahkan untuk
meningkatkan kualitas steam. Minimum dryness steam yang dianjurkan adalah
99.5%. Kualitas uap yang buruk tidak akan membahayakan sistem, tetapi dapat
menyebabkan erosi di steam nozzle dan diffuser [Chen dkk, 2015].
2.4 Tipe-tipe Steam Ejector Refrigeration System
Penggolongan tipe-tipe ejector system oleh Jianyong Chen dkk, 2015 yang
menyebutkan 3 tipe dibawah ini :
2.4.1 Conventional Ejector Refrigeration System (CERS)
Gambar 2.9 (a) Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) dan (b) P-h
Diagram [Chen dkk, 2015].
Dalam Gambar 2.9 menunjukkan sistem refrijerasi konvensional dan
diagram P-h dengan dua model ejector yang digunakan dalam teknologi
refrijerasi. Dua model ejector adalah model konstan area pencampuran dan model
konstan tekanan pencampuran. Secara umum sistem tersebut mempunyai
penggunaan energi yang kecil (Qg) yang disalurkan di generator untuk penguapan.
Tekanan tinggi yang dihasilkan oleh generator (primary flow) dan tekanan rendah
dari evaporator (secondary flow) masuk ke ejector. Selanjutnya, pencampuran
dari kedua fluida tersebut masuk menuju ke condensor untuk proses pelepasan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
panas ke lingkungan (Qc). Fluida yang mencair akan dipompakan ke generator
dan sisa uap akan masuk ke katub ekspansi lalu disalurkan ke evaporator.
Yang mempengaruhi efek dari performa sistem adalah temperatur dari
generator (Tg), temperatur condensor (Tc), temperatur evaporator (Te), perbedaan
temperatur yang ada di primary flow (ΔTp) dan secondary flow (ΔTs), geometri
ejector, Area ratio (Ar), Nozzle Exit Position (NXP), converging angle (θ) dari
mixing chamber, dan panjang throttle. Nilai COP dan entrainment ratio yang
baik berpengaruh pada fluida kerja, kondisi pengoperasian, dimensi ejector dan
semua parameter, sehingga untuk mendapatkan kondisi yang benar-benar bagus
bukan hal yang mudah. Area ratio dan NXP adalah yang paling berpengaruh
terhadap entrainment ratio. Untuk divergent-convergent angle dan diffuser hanya
sedikit mempengaruhi entrainment ratio [Chen dkk, 2015].
Conventional ejector refrigeration system (CERS) diteliti selama kurun
waktu 100 tahun terakhir dan masih menjadi topik menarik untuk penelitian.
Penelitian yang dapat menjawab fenomena aliran di ejector. Selain fenomena
aliran, desain geometri sangat mempengaruhi performa ejector. Karena memang
banyak faktor yang mempengaruhi performa dari ejector, yaitu fluida kerja,
dimensi ejector, operating condition terutama temperatur. Meskipun CERS sangat
sedikit dalam konsumsi listrik, CERS mempunyai kekurangan ketika
dibandingkan dengan absorption refrigeration system. Absorption refrigeration
system mempunyai COP rendah dan sulit untuk digunakan pada operating
condition yang berbeda [Chen dkk, 2015].
2.4.2 Advanced Ejector Refrigeration System
Dalam menyikapi CERS yang mempunyai nilai COP yang rendah maka,
peneliti mencoba untuk mencari Advanced Ejector Refrigeration System yang
mempunyai nilai COP yang tinggi. Penelitian dilakukan dengan simulasi dan
eksperimen. Cara untuk memperoleh nilai COP yang tinggi dengan mengubah
konfigurasi/struktur dari ejector. Konfiguasi ejector dengan menggunakan multi-
stage ejector dan tidak menggunakan pompa mekanik dalam pengoperasian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
sistem. Konfiguasi juga dapat menggunakan regenerasi dan/atau pre-cooler
[Chen, 2015].
Gambar 2. 10 Dua tingkat sistem refrigerasi (a) Konfigurasi ejector; (b) Skema
sistem; (c) P-h Diagram [Chen dkk, 2015].
Pengoperasian conventional refrigeration system menggunakan pompa
istrik. Selain itu, masalah yang sering ditemui dalam penggunaannya adalah
terdapat rongga di dalam sistem, kebocoran refrigeran, getaran dan malfunction.
Untuk menyikapi hal itu diperlukan solusi dari masalah yang terjadi. Nguyen
tahun 2001 menggunakan ejector yang memanfaatkan grafitasi bumi dalam
pengoperasiannya. Huang tahun 2006 menggunakan Multi Function Generator
(MFG) untuk memompa panas pengganti pompa mekanik.
2.4.3 Combined Steam Ejector Refrigerator System
Ejector dapat dikombinasikan dengan tipe sistem refrijerasi yang lain
contohnya: vapor compression refrigeration system, absorption system dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
adsorbtion system, heat pipe and power generation system. Combined steam
ejector refrigeration system digunakan khusus pada kondisi lingkungan tertentu
agar tercapai efisiensi yang baik [Chen, 2015].
Gambar 2.11 Combined Steam Ejector Refrigeration System [Chen dkk, 2015].
2.4 Evaluation Parameter Steam Ejector
Dalam melakukan analisa performa dari steam ejector diperlukan
parameter yang merepresentasikan karakteristik. Analisa aliran fluida pada steam
ejector dilakukan menggunakan entrainment ratio. Berikut ini persamaannya:
dimana,
m s
m p
entrainment ratio m s
m p
= mass flow rate secondary (kg/s)
= mass flow rate primary (kg/s)
(2.1)
2.5 Definisi Fluida
Fluida terbagi menjadi 3 jenis yaitu benda padat, cair dan gas. Jika suatu
benda padat dimasukkan kedalam suatu wadah (container) tertutup yang lebih
besar maka, bentuk benda padat tersebut tidak akan berubah bentuk menyesuaikan
wadah. Namun jika zat cair dimasukkan ke dalam wadah, maka zat cair tersebut
akan berubah bentuk dan akan menyesuaikan bentuk dengan wadah. Dan jika gas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
yang dimasukkan ke dalam wadah maka, akan memenuhi wadah secara
keseluruhan [Fox, 2011].
Kata “fluida” digunakan untuk merepresentasikan baik benda cair ataupun
gas. Fluida didefinisikan sebagai zat yang dapat terdeformasi secara terus menerus
jika diberikan tegangan geser, walaupun gaya geser yang diberikan tersebut relatif
kecil seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.12(b). Deformasi benda padat
(solid) akan terjadi jika dikenai geseran, tetapi deformasi pada benda padat tidak
berlangsung secara terus menerus seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.12(a).
Gambar 2.12 Efek dari (a) benda padat (solid) dan (b) fluida (fluid), jika
diberikan gaya geser yang konstan [Fox, 2011].
Ketika berbicara tentang kecepatan fluida (V), hal-hal yang perlu diketahui
adalah data properti termodinamika dari fluida tersebut. Ada 3 hal yang paling
penting yang dipunyai fluida ketika berbicara vektor kecepatan fluida yaitu
tekanan, densitas dan temperatur. Selain itu,yang dapat mempengaruhi sifat dari
fluida adalah viskositas kinematik (v), viskositas dinamik ( ), entalpi (h),
kondutifitas termal (k), kalor spesifik (Cp), volume spesifik (Cv) dll.
(P,T ) h h(P,T ) (P,T )
a. Densitas
Densitas dilambangkan dengan simbol Yunani (rho), didefinisikan sebagai
massa fluida per satuan volume. Densitas biasanya digunakan untuk
mengkarakteristikan massa sebuah sistem fluida. Untuk satuan British
menggunakan satuan slugs/ft, dalam satuan SI menggunakan kg/m3. Nilai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
kerapatan dapat bervariasi cukup besar diantara fluida yang berbeda. Zat cair pada
variasi tekanan dan temperatur umumnya hanya memberikan pengaruh kecil
terhadap nilai rho. Tidak seperti gas, kerapatan sebuah gas sangat dipengaruhi
oleh tekanan dan temperaturnya. Fluida yang mempunyai densitas paling tinggi
adalah Mercury dengan 13580 kg/m3, yang mempunyai densitas terendah adalah
Hydrogen dengan 0,0838 kg/m3.
b. Viskositas
Viskositas merupakan ukuran kekentalan fluida yang menyatakan besar
kecilnya gesekan di dalam fluida. Semakin besar viskositas suatu fluida, maka
semakin sulit fluida mengalir dan semakin sulit benda bergerak dalam fluida
tersebut. Di dalam zat cair viskositas dihasilkan dari gaya kohesi antar molekul zat
cair. Di dalam gas, viskositas timbul sebagai akibat tumbukan antara molekul gas.
c. Entalpi
Entalpi adalah istilah dalam termodinamika yang menyatakan jumlah energi
suatu sistem termodinamika. Entalpi terdiri dari energi dalam sistem, termasuk
satu dari lima potensial termodinamika dan fungsi keadaan, juga volume dan
tekanannya. Dalam satuan SI, entalpi mempunyai satuan Joule. Total entalpi (h)
tidak bisa diukur secara langsung. Sama seperti pada mekanika klasik, hanya
perubahannya dapat dinilai. Entalpi merupakan potensial termodinamika, maka
untuk mengukur entalpi suatu sistem, harus menentukan titik referensi terlebih
dahulu, sehingga dapat diukur perubahan entalpinya.
Untuk proses dengan tekanan konstan, perubahan entalpi sama dengan
perubahan energi dalam sistem ditambah kerja yang dilakukan sistem pada
lingkungan. Perubahan entalpi pada kondisi ini adalah panas yang diserap atau
dilepas melalui reaksi kimia atau perpindahan panas eksternal.
d. Entropi
Entropi adalah salah satu besaran termodinamika yang mengukur energi
dalam sistem per satuan temperatur yang tidak dapat digunakan untuk melakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
usaha. Manifestasi yang paling umum dari entropi adalah ketika entropi dalam
sistem tertutup selalu naik dan pada kondisi transfer panas, energi panas
berpindah dari temperatur lebih tinggi ke temperatur lebih rendah. Pada suatu
sistem entropi berjalan searah (bukan reversible/bolak-balik). Pada proses
termodinamika, entropi suatu sistem diukur untuk menentukan bahwa energi tidak
dapat dipakai untuk melakukan usaha. Pada termodinamika klasik, konsep entropi
didefinisikan pada hukum kedua termodinamika, yang menyatakan entropi juga
dapat menjadi ukuran kecenderungan suatu proses. Satuan entropi adalah
Joule/Kelvin.
e. Spesific Weight ( )
Spesific weight mempunyai simbol yaitu lowercase Greek gamma. Spesifik
weight adalah berat per unit volume. Rumus untuk menentukan spesific weight
adalah:
g
(2.2)
Satuan dari spesific weight adalah berat per satuan volume yaitu lbf/ft3 atau
N/m3. Standar percepatan gravitasi di bumi adalah 32,174 ft/s2 atau 9,807 m/s2.
Spesific weight banyak digunakan dalam aplikasi tekanan hydrostatic.
2.6 Klasifikasi Aliran Fluida
Computational Fluid Dynamic (CFD) fluida dapat diklasifikasikan dalam
berbagai bentuk. Masalah klasifikasi aliran sering ditemukan di industri dari yang
simpel hingga komplek. Dalam analisa aliran fluida, densitas merupakan poin
yang terpenting untuk diperhitungkan dan fluida diasumsikan sebagai partikel
yang terus bergerak terhadap ruang dan waktu. Dengan begitu fluida dapat
dikatakan sebagai continuum, yaitu asumsi bahwa terdapat jarak antar molekul
yang sangat jauh jika dibandingkan dengan ukuran molekulnya tetapi tidak akan
mempengaruhi sifat molekulnya secara signifikan [Atkins, 2013]. Secara umum
aliran fluida dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Gambar 2.13 Flowchart klasifikasi aliran di Computaional Fluid Dynamics
[Jiyuan, 2008].
2.6.1 Aliran Viscous dan Non-viscous
Pengindikasian utama fluida pada jenis aliran viscous dan inviscid. Aliran
dimana efek viskositas diabaikan disebut aliran inviscid. Pada aliran inviscid,
viskositas fluida (µ) dianggap nol (µ = 0). Pada kenyataannya fluida dengan
viskositas nol tidak ada. Banyak permasalahan yang mengabaikan viskositas
untuk penyederhanaan dalam menganalisa dan untuk memperoleh hasil
Gambar 2. 14 Pembagian daerah aliran viskos pada plat rata [Holman, 1998].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
yang lebih berguna. Aliran viskos adalah aliran dimana efek viskositas sangat
penting. Daerah aliran viskos merupakan daerah yang dipengaruhi oleh tegangan
geser.
Pada Gambar 2.14, plat terbentuk suatu daerah dimana pengaruh gaya
viskos (viscous force) makin meningkat. Hubungan viskositas dengan tegangan
geser (shear stress) pada aliran viskos satu-dimensi adalah sebagai berikut :
YX
du
dy
(2.3)
dimana:
yx
v
= tegangan geser (N/m2)
(2.4)
du = gradien kecepatan (m/s)
dy
μ = viskositas dinamik (Pa.s)
v = viskositas kinematis (m2/s)
ρ = densitas (kg/m3)
2.6.2 Aliran Laminar dan Turbulen
Berdasarkan struktur alirannya, aliran fluida dibedakan menjadi aliran
laminar dan aliran turbulen. Untuk aliran laminar mempunyai kecepatan pada
suatu titik akan tetap terhadap waktu. Sedangkan aliran turbulen kecepatannya
akan mengindikasikan suatu fluktuasi yang acak. Dalam aliran turbulen, profil
kecepatan pada suatu titik dihasilkan dari gerak acak partikel fluida berdasarkan
waktu dalam jarak dan arah. Jika kita mengambil kecepatan rata-rata terhadap
waktu, maka kecepatan sesaat dapat dihitung dengan menambahkan kecepatan
rata-rata dengan kecepatan fluktuasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Gambar 2. 15 Tipe profil kecepatan di dalam pipa (a) Aliran laminar (b) Aliran
turbulen [White, 2011].
(a) (b)
Gambar 2. 16 (a) High-viscosity, low Reynolds number, laminar flow (b) Low-
viscosity, high Reynolds number, turbulent flow [White, 2011].
Bilangan Reynolds merupakan parameter tak-berdimensi yang sangat
terkenal dalam ilmu mekanika fluida. Nama ini diberikan sebagai penghargaan
bagi Osborne Reynolds (1842-1912), insinyur dari Inggris yang pertama kali
mendemonstrasikan kombinasi dari variabel-variabel dapat digunakan sebagai
suatu patokan untuk membedakan aliran laminar dengan aliran turbulen. Pada
persoalan aliran fluida, akan kita dapati panjang karakteristik dan kecepatan,
demikian juga kerapatan fluida dan viskositas, merupakan variabel-variabel yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
relevan dalam sebuah persoalan. Dengan variabel tersebut, Bilangan Reynolds
(Re) adalah:
0 < Re < 1 : Laminar yang sangat tinggi
1 < Re < 100 : Laminar, tergantung Reynold number
100 < Re < 103 : Laminar, menggunakan teori kondisi batas
103< Re < 104 : Transisi ke turbulen
104< Re < 106 : Turbulen, yang tidak terlalu extrem
106< Re < ∞ : Turbulen, sedikit sekali tergantung Reynold number
Re VL (2.5)
dimana: ρ : densitas fluida (kg/m3)
V
L
μ
: kecepatan rata-rata fluida (m/s)
: diameter pipa (m)
: viskositas fluida (kg/m.s)
Secara alamiah muncul dari suatu analisa dimensional bahwa bilangan
Reynold adalah ukuran rasio gaya inersia pada suatu elemen fluida terhadap gaya
viskositas elemen [Fox, 2011].
2.6.3 Aliran Kompresibel dan Inkompresibel
Aliran dimana variasi atau perubahan densitas (ρ) fluida diabaikan maka
aliran disebut aliran inkompresibel dan berlaku untuk sebaliknya jika variasi
densitas tidak diabaikan maka aliran itu disebut aliran kompresibel. Contoh yang
paling umum aliran kompresibel adalah aliran gas, sementara itu aliran fluida
diperlakukan sebagai aliran inkompresibel. Aliran gas yang mengabaikan
perpindahan panas bisa juga dianggap sebagai aliran inkompresibel dengan
persyaratan kecepatan aliran relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan
kecepatan suara. Perbandingan kecepatan aliran (V) terhadap kecepatan lokal
suara (a) pada gas didefinisikan sebagai Bilangan Mach (Ma).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Ma V a
dimana: V = kecepatan aliran (m/s)
a = kecepatan suara (m/s)
(2.6)
Sedangkan kecepatan suara (a) merupakan fungsi dari temperatur dan
didefinisikan:
a kRT (2.7)
dimana: R R
Ma
(2.8)
a = kecepatan suara (m/s)
c p
k = rasio spesifik panas ( k ) cv
T = Temperatur (K)
R = konstanta gas universal (8314 kg.m2/kmol.s2.K)
R = konstanta gas ideal (m2/s2.k )
Mach number menjadi parameter yang dominan dipakai di dalam analisa
aliran kompresibel, dengan efek perbedaan besarannya. Mach number dapat di
klasifikasikan sebagai berikut [White, 2012]:
Ma < 0,3: Aliran inkompresible, dimana pengaruh dari densitas
(density) dihiraukan.
0,3 < Ma <0,8: Aliran subsonik, dimana pengaruh dari densitas menjadi
penting tetapi tidak terjadi shock waves.
0,8 < Ma < 1,2: Aliran transonik, dimana saat pertama kali shock waves
terjadi, memisahkan daerah subsonik dan supersonik di
dalam aliran. Mengontrol penerbangan pada daerah
transonik sangatlah sulit karena bentuk dari aliran yang
rumit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
1,2 < Ma < 3,0: Aliran supersonik, dimana pada saat terjadi shock waves
tetapi tidak ada daerah subsonik.
3,0 < Ma: Aliran hipersonik, dimana shock waves dan aliran lainnya
berubah menjadi lebih kuat.
2.6.4 Aliran Ekternal dan Internal
Gambar 2.17 Kondisi batas pada permasalahan aliran internal [Jiyuan, 2008].
Gambar 2.18 Kondisi batas pada permasalahan aliran eksternal [Jiyuan, 2008].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Aliran fluida yang terjadi di lingkungan sekitar kita menunjukkan kondisi
batas dari masalah tentang aliran fluida. Ketika menggunakan CFD pendefinisian
fluida harus pada kondisi nyata. Pada aliran fluida yang komplek, Computational
Fluid Dynamic dapat menghitungnya dengan kondisi batas yang ada.
Gambar 2.16 diharapkan dapat memproyeksikan kondisi batas yang akan
dimasukan dalam proses simulasi. Gambar 2.16 dan Gambar 2.17 terdapat dua
jenis aliran yang disebutkan yaitu aliran internal dan aliran eksternal. Aliran
internal adalah aliran fluida yang dibatasi oleh permukaan benda atau cassing.
Oleh karena itu lapisan batas tidak dapat berkembang tanpa dibatasi oleh
permukaan. Eksternal flow adalah aliran fluida yang tidak dibatasi oleh
permukaan benda, namun seakan-akan permukaan bendalah yang dibatasi oleh
aliran fluida tersebut.
2.7 Persamaan Dasar Aliran Fluida dan Perpindahan Kalor
Persamaan aliran fluida merepresentasikan pernyataan matematika dari
hukum kesetimbangan. Massa fluida adalah tetap, besarnya perubahan momentum
sama dengan jumlah total gaya pada partikel fluida (Hukum Newton ke II), dan
perubahan energi sama dengan jumlah total kalor yang ditambahkan dan kerja
Gambar 2.19 Skema satu elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995].
yang dilakukan oleh partikel fluida (Hukum I Termodinamika). Fluida akan
dianggap sebagai satu kesatuan atau satu rangkaian. Pada analisa aliran fluida
secara makroskopis (≥ 1 µm), struktur molekul fluida dapat diabaikan [Versteeg
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
dan Malalasekera, 1995]. Karakteristik fluida secara makroskopis dapat
ditentukan melalui kecepatan, tekanan, densitas dan temperatur, serta turunan
ruang dan waktu. Suatu elemen fluida dapat digambarkan sebagai berikut :
Karena ukuran elemen fluida sangat kecil maka karakteristik fluida pada
permukaannya dapat diperhitungkan dengan cukup akurat. Misalnya saja tekanan
pada permukaan E dan W, yang jaraknya 1/2δx dari pusat elemen dapat dituliskan
sebagai berikut p p 1
x x 2
dan
p p 1
x x 2
2.7.1 Persamaan Kekekalan Massa
Persamaan kesetimbangan massa adalah dengan menuliskan
kesetimbangan massa fluida, yaitu meningkatnya massa elemen fluida sama
dengan neto aliran massa ke elemen fluida. Besarnya peningkatan massa elemen
fluida adalah :
( x y z)
x y z
(2.9)
t t
Secara singkat persamaan kekekalan massa dapat dituliskan sebagai berikut:
u
v
w 0
(2.10) x y z
Gambar 2.20 Skema aliran massa yang keluar dan masuk pada satu elemen
fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
2.7.2 Persamaan Kekekalan Momentum Tiga Dimensi
Hukum Newton yang ke dua menyatakan besarnya perubahan momentum
dari satu partikel fluida sama dengan jumlah total gaya yang diterima partikel
tersebut. Besarnya peningkatan momentum x, y, dan z per satuan volume
dituliskan sebagai berikut
Du
, Dt
Dv Dt
dan
Dw
. Gaya pada partikel fluida Dt
dapat dibedakan menjadi dua tipe:
1. Gaya-gaya permukaan a. Gaya tekan
b. Gaya viscous
2. Body Force a. Gaya gravitasi
b. Gaya sentrifugal
c. Gaya Coriolis
d. Gaya elektromagnetik
Pada Gambar 2.20, tegangan yang dialami elemen fluida didefinisikan
sebagai tekanan dan sembilan komponen tegangan viscous. Tekanan adalah
tegangan normal yang dinotasikan dengan p dan tegangan viscous dinotasikan
dengan η. Notasi ηxy digunakan untuk mengindikasikan arah dari tegangan viscous.
Akhiran x dan y pada ηxy mengindikasikan komponen tegangan tersebut bekerja
dengan arah y dan tegak lurus dengan arah x.
Gambar 2.21 Skema komponen tegangan yang terdapat pada setiap permukaan
dari satu elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995]
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Gambar 2.22 Komponen tegangan pada arah x [Versteeg dan Malalasekera,
1995].
Komponen x dari persamaan momentum adalah besarnya perubahan
momentum x partikel fluida sama dengan total gaya arah x pada elemen
berdasarkan gaya permukaan ditambah besarnya peningkatan momentum x
berdasarkan sumbernya:
Du
p xx
yx
zx S
(2.11a)
Dt x y z Mx
Komponen y dari persamaan momentum dapat dituliskan
p Dv
xy
yy
zy
S
(2.11b)
Dt x y z My
Komponen z dari persamaan momentum adalah
Dw
xz yz
p zz
S
(2.11c)
Dt x y z Mz
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Tanda disesuaikan dengan keadaan tekanan yang arahnya berkebalikan
dari arah tegangan viscous normal. Hal tersebut dikarenakan tanda yang biasanya
digunakan untuk tegangan tarik adalah tegangan normal positif, jadi tekanan yang
didefinisikan sebagai tegangan normal tekan memiliki tanda negatif [Versteeg dan
Malalasekera, 1995].
Pengaruh tegangan permukaan dihitung secara eksplisit. Nilai (SMx), (SMy)
dan (SMz) pada persamaan (2.11a-c) dihitung berdasarkan gaya bidang saja.
Sebagai contoh, gaya bidang berdasarkan gravitasi dapat dimodelkan
menggunakan nilai SMx 0 , SMy 0 dan SMz g .
2.7.3 Persamaan Kekekalan Energi Tiga Dimensi
Persamaan energi diturunkan dari hukum pertama termodinamika yang
menyatakan besarnya perubahan energi dari partikel fluida sama dengan besarnya
kalor yang ditambahkan ke partikel fluida ditambah dengan besarnya kerja yang
dilakukan pada partikel.
Gambar 2.23 Pembacaan persamaan energi [Versteeg dan Malalasekera, 1995].
Total kerja yang dilakukan per satuan volume pada partikel fluida oleh
semua gaya permukaan adalah jumlah total dari gaya-gaya permukaan dibagi
dengan volume
x y z . Tekanan dapat diperhitungkan bersama dengan
persamaan gaya-gaya permukaan (x, y dan z) dan dapat dituliskan dalam bentuk
vektor yang sederhana:
up
vp
wp
div pu (2.12) x y z
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Persamaan di atas turut mempengaruhi total kerja yang dilakukan pada partikel
fluida oleh gaya-gaya permukaan:
div pu u xx
yx
u zx
xy
x
u
y z
v
x
v v w w w yy
zy
xz yz
zz
y z x y z
Energy Flux Berdasarkan Konduksi Elemen Fluida
Total besarnya kalor yang masuk pada partikel fluida per satuan volume
berdasarkan aliran fluida yang melewatinya adalah jumlah total dari neto besarnya
perpindahan kalor berdasarkan arah aliran fluida (x, y, dan z) dibagi volume
x y z menjadi:
q x
q y
q z div q
(2.13)
x y z
Dapat dituliskan dalam bentuk vektor menjadi:
q k grad T (2.14)
Heat flux vektor q memiliki tiga komponen q x , q y
dan q z
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
u u
Gambar 2.24 Komponen dari vektor heat flux [Versteeg dan Malalasekera,
1995].
Persamaan Energi
Kesetimbangan energi partikel fluida diperhitungkan dari besarnya
perubahan energi partikel fluida untuk menjumlahkan neto besarnya kerja yang
dilakukan pada partikel fluida, neto besarnya kalor yang ditambahkan ke fluida
dan besarnya peningkatan energi berdasarkan sumbernya. Persamaan energi dapat
dituliskan :
DE
div pu u
xx
u yx
uzx
u xy
u yy
Dt x y z x y
(2.15)
u u
zy xz
yz zz div k grad
T S
z x y E
z
Untuk aliran compressible, persamaan (2.15) dapat dirombak kembali
untuk memperhitungkan entalpi. Entalpi spesifik h dan total entalpi spesifik h0
dari fluida didefinisikan sebagai berikut h i p dan h h 1
u 2
v 2
w2
0 2
Dengan menyatukan dua definisi di atas dan energi spesifik E , maka didapatkan:
h i p 1
u 2
v 2
w2 E p (2.16) 0
2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
h
Persamaan entalpi total:
h0 div h u div k grad T
p
u xx
u yx
u zx
t 0
t x y z
v v v xy
yy
zy
(2.17) x
w
y
w
z
w xz
yz zz
S
x y z
2.7.4 Perubahan Partikel Fluida pada Elemen Fluida
Hukum kekekalan momentum dan energi berhubungan dengan perubahan
karakteristik partikel fluida. Karakteristik suatu partikel fluida dinyatakan dengan
fungsi posisi (x, y, z) dan waktu t dari partikel itu sendiri. Nilai karakteristik per
satuan massa dinotasikan sebagai . Turunan terhadap waktu pada satu partikel
fluida dituliskan sebagai berikut :
D
dx
dy
dz (2.18)
Dt t x t y t z t
untuk mengilustrasikan hubungan persamaan 2.18 dengan turunan nilai substantif
dari maka dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut:
D div u u grad div u
(2.19)
t t t Dt
Hasil dari perhitungan
t div u sama dengan nol dikarenakan
kekekalan massa. Dapat dituliskan bahwa relasi (2.19) menyatakan :
Gambar 2.25 Ilustrasi pembacaan relasi (2.20) [Versteeg dan Malalasekera,
1995].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Untuk membangun tiga komponen persamaan momentum dan energi,
nilai input yang relevan untuk dan besarnya perubahan per satuan volume yang
dituliskan pada Tabel 2.1. Seluruh bentuk konservatif dan non-konservatif dari
besarnya perubahan yang terjadi dapat digunakan untuk menyatakan
kesetimbangan kuantitas secara fisis.
Tabel 2.1 Nilai input yang relevan untuk [Versteeg dan Malalasekera, 1995].
x-momentum
U Du Dt
u div uu
t
y-momentum
V Dv
Dt
v div vu
t
z-momentum
W Dw
Dt
w div wu
t
Energy
E DE
Dt
E div Eu
t
2.8 Computational Fluid Dynamics (CFD)
Computational Fluid Dynamics adalah ilmu yang mempelajari tentang
analisa aliran fluida, perpindahan panas dan fenomena yang berkaitan dengan
reaksi kimia dengan menyelesaikan persamaan-persamaan matematika dengan
bantuan simulasi komputer, misalnya: fenomena meteorologi (angin, hujan dan
badai), zat-zat berbahaya bagi lingkungan, aliran kompleks pada pertukaran panas
dan reaktor kimia. Persamaan-persamaan aliran fluida dapat dideskripsikan
dengan persamaan differensial parsial yang tidak dapat dipecahkan secara analitis
kecuali dengan kasus yang spesial. Sehingga kita membutuhkan suatu
metode pendekatan untuk menentukan suatu hasil. CFD mampu menganalisis dan
memprediksi dengan cepat dan akurat. Computational artinya segala secuatu yang
berhubungan dengan matematika dan metode numerik atau komputasi, sedangkan
fluid dynamic artinya dinamika dari segala sesuatu yang mengalir. Ditinjau dari
istilah diatas, CFD bisa berarti suatu teknologi komputasi yang memungkinkan
peneliti untuk mempelajari dinamika dari benda-benda atau zat-zat yang mengalir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Pada dasarnya, persamaan pada fluida dibangun dan dianalisis berdasarkan
persamaan-persamaan diferential parsial (PDE = Partial Differential Equation)
yang mempresentasikan [Tuakia, 2008].:
1. Hukum konservasi massa (persamaan kontinuitas),
2. Hukum II Newton (persamaan momentum),
3. Hukum Kekekalan Energi (persamaan energi).
Sebuah perangkat lunak CFD memberikan peneliti kekuatan
mensimulasikan aliran fluida, perpindahan panas, perpindahan massa, benda-
benda bergerak, aliran multifasa, reaksi kimia, interaksi fluida dengan struktur,
dan sistem akustik dengan memodelkan di komputer. Dengan menggunakan
software ni peneliti dapat membuat virtual prototype dari sebuah sistem atau alat
yang ingin peneliti analisis dengan menerapkan kondisi nyata di lapangan.
Software CFD akan memberikan peneliti data-data, gambar-gambar, atau kurva-
kurva yang menunjukan prediksi dari performansi keandalan sistem yang peneliti
desain. Hasil CFD sering berupa prediksi kualitatif meski terkadang kuantitatif
(tergantung dari persoalan dan data yang di-input). CFD memungkinkan peneliti
untuk melakukan ”percobaan numerik” di dalam “laboratorium virtual”. Manfaat
CFD adalah insight (pemahaman mendalam), foresight (prediksi menyeluruh),
dan efficiency (efisiensi waktu dan biaya). CFD memiliki pengaplikasian yang
luas baik dibidang industri maupun non industri, misalnya:
a. Aerodinamika pada kendaraan: drag and lift.
b. Pembakaran pada internal combustion engine.
c. Pendinginan pada sirkuit elektrik.
d. Arsitek dalam mendesain ruang atau lingkungan yang aman dan
nyaman.
e. Desainer kendaraan dalam meningkatkan karakter aerodinamiknya.
f. Insinyur petrokimia untuk strategi optimal dari oil recovery.
g. Dokter atau ahli bedah untuk mengobati penyakit arterial
(computational hemodynamics).
h. Ahli safety dalam mengurangi risiko kesehatan akibat radiasi dan zat
berbahaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
i. Organisasi militer untuk mengembangkan senjata dan mengestimassi
seberapa besar kerusakan yang diakibatkan.
j. Aliran darah yang melewati pembuluh arteri dan vena.
Engineering
(Fluid
dynamics)
Computational
Fluid Dynamics
(CFD)
Matematics Computer
Science
Gambar 2.26 Tiga elemen utama yang ada di dalam Computational Fluid
Dynamic [Jiyuan, 2008].
Sebenarnya Computational Fluid Dynamics dapat menjadi satu cabang baru
tidak hanya di bidang matematika tetapi juga ditambah pengetahuan tentang
komputer (Gambar 2.25). Dalam mengerjakan persamaan matematika, sudah
diubah ke komputerisasi dengan perangkat komputer yang mempunyai spek
tinggi.
CFD banyak sekali digunakan dalam dunia industri. Konsep CFD dapat
melakukan analisa terhadap suatu sistem dengan mengurangi biaya dan waktu
yang panjang dalam melakukan eksperimen. Dalam proses design engineering
tahapan yang harus dilakukan menjadi lebih pendek. Hal lain yang mendasari
pemakaian konsep CFD adalah pemahaman lebih dalam akan suatu masalah.
Pemahaman lebih dalam mengenai karakteristik aliran fluida dengan melihat hasil
berupa grafik, vektor, kontur dan bahkan animasi .
Perangkat CFD berisikan algoritma numerik sehingga dapat mengatasi
masalah aliran fluida. Untuk memudahkan dalam pengoperasian paket CFD dalam
proses input data dan pemeriksaan hasil, maka paket CFD terdiri dari tiga bagian
yaitu : pre-processor, solver, dan post-processor (ANSYS, 2009).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
k.
l.
m.
n.
o.
Dalam membuat sebuah objek yang ingin dijadikan model untuk diteliti
pertama-tama peneliti harus membuat geometri dan mesh di ANSYS Worksbench.
Pre-Processor Govering equations solve on a mesh
Membuat geometri
Meshing
Material Properties
Boundary Condition
Transport Equation
Massa
Momentum
Energi
Other transport
variables
Equation of state
Primary pressure
physical model
Physical Model
Turbulensi
Pembakaran
Radiasi
Proses lainnya
Post-Processor
X-Y graphs
Contour
Velocity vectors
Others
Solver Settings
Initialization
Solusi kontrol
Monitoring Solution
Convergence
Criteria
Gambar 2.27 Tiga elemen utama yang ada di dalam CFD (Jiyuan, 2008).
Alternatif lain adalah dengan menggunakan Computer Aided Design (CAD)
software seperti Fluent, Unigraphics, ProE, SolidWorks dan lainnya. Setelah
geometri, geometri tersebut dibuat meshing yang disediakan oleh software
Gambit, ICEM, maupun Fluent.
Sedikit perbedaan dari modeling dan analisis aliran adalah tergantung dari
turbulence modeling, k-ε, dan Y+. Turbulence modeling dipakai untuk
memodelkan aliran turbulen. Aliran turbulen mempunyai ciri khas yaitu
mempunyai fluktuasi yang acak terhadap kecepatan dan tekanan di dalam suatu
ruang dan waktu. Fluktuasi ini terjadi karena ketidakstabilan karena terpengaruh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
2 2 2
2 2
2
2
oleh temperatur yang mempengaruhi viskositas fluida. Tingkat turbulen suatu
aliran tergantung dari nilai Reynolds Number. Untuk mengetahui persamaan
aliran untuk aliran turbulen adalah dengan 2 bagian, direct numerical simulation
dan k-ε [Cornell University, Introduction to CFD Basics]. Direct numerical
simulation dapat dihitung dengan persamaan Navier-Strokes. k-ε, Reynolds
Number untuk turbulence parameter. Turbulen parameter adalah turbulence
kinetic (k) dan turbulence dissipation rate ( ).
k 1
(u'2
v'2
w'2
) 2
(2.20)
u' 2 2
u' u' v' 2
v' v' x
v
w'
y
2
w'
z
w'
x y z (2.21)
x y z
CFD menjadi alat yang cocok untuk mendapatkan solusi di dalam
permasalahan yang komplek di aliran fluida, hasil yang didapatkan dari CFD juga
harus ada validasi secara teori maupun jurnal lain supaya data yang dihasilkan
menjadi akurat. Contohnya, masalah yang adalah aliran laminar mengalir di dalam
pipa, hasil dari kecepatan fluida di validasi dengan teori data. Untuk steady state
(aliran yang tidak berubah karena waktu) aliran laminar di pipa berpenampang
lingkaran dapat menggunakan teori Navier-Stokes untuk menyelesaikannya.
Untuk inkompresible, persamaan Navier-Stokes di koordinat Cartesian adalah:
x-direction:
u
u u
u p
2 u
2 u
2 u
t
u v x y
w z x
g x x 2 y
2
z
(2.22)
y-direction
v
v v
v p
2 v
2 v
2 v
t
u v x y
w z y
g y x
2
y 2
z
(2.23)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
z-direction
w
w w
w p
2 w
2 w
2 w
t
u v x y
w z z
g z x 2 y
2
z 2
(2.24)
2.11 Skema Numerik
Secara umum ada 2 metode numerik yang dipakai dalam Computational
Fluid Dynamic (CFD), yaitu solver pressure based dan solver density based.
CFD memecahkan persamaan integral umum untuk kekekalan massa, momentum,
energi serta besaran skalar lain seperti turbulensi. Kedua metode ini menggunakan
teknik berbasis volume kendali yang terdiri dari:
a. Pembagian daerah asal (domain) ke dalam volume kendali diskrit dengan
menggunakan grid komputasi.
b. Integrasi persamaan umum pada volume kendali untuk membangun
persamaan aljabar variabel tak bebas yang tidak diketahui seperti
kecepatan, tekanan, temperatur, dan sebagainya.
c. Linearisasi persamaan terdiskritisasi dan solusi sistem persamaan linear
resultan untuk menghasilkan nilai-nilai taksiran variabel tak-bebas.
Dua metode numerik di atas menggunakan proses diskritisasi yang sama
yaitu volume hingga (finite volume). Perbedaannya hanyalah terletak pada
pendekatan yang digunakan untuk melinearisasikan dan memecahkan persaman
terdiskritisasi.
2.11.1 Metode Solusi Pressure-based
Metode solusi pressure-based menyelesaikan persamaan umum secara
terpisah satu sama lain. Pendekatan yang digunakan adalah memecahkan suatu
medan variabel tunggal dengan mempertimbangkan seluruh sel pada waktu yang
sama. Selanjutnya memecahkan medan variabel berikutnya dengan tetap
mempertimbangkan seluruh sel pada waktu yang sama, dan begitu seterusnya.
Karena persamaan diferensial umum adalah non-linear, beberapa iterasi harus
dilakukan sebelum solusi yang konvergen diperoleh. Untuk iterasi terdiri dari
tahapan-tahapan seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 2.28 :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Meng-update sifat-sifat fluida
Memecahkan persamaan
momentum
Memecahkan persamaan koreksi
tekanan (kontinuitas). Meng-
update tekanan dan laju aliran
massa
Memecahkan persamaan energi,
turbulensi, dan persamaan skalar
lain
Konvergen? Stop
Gambar 2.28 Skema metode solusi pressure-based [ANSYS, Inc., 2013].
a. Sifat-sifat fluida diperbarui berdasarkan solusi yang ada. Untuk
perhitungan awal, sifat-sifat ini diperbarui berdasarkan solusi awal
(initialized solution).
b. Persamaan momentum u, v dan w dipecahkan dengan menggunakan
nilai-nilai tekanan dan fluks massa sisi.
c. Karena kecepatan yang diperoleh dalam tahap yang pertama tidak
mungkin memenuhi persamaan kontinuitas secara lokal, persamaan
“Poisson type” untuk koreksi tekanan diturunkan dari persamaan
kontinuitas dan persamaan momentum linear. Persamaan koreksi
tekanan ini kemudian dipecahkan untuk memperoleh koreksi yang
dibutuhkan untuk medan tekanan dan kecepatan serta fluks massa
sampai kontinuitas dipenuhi.
d. Menyelesaikan persamaan-persamaan untuk besaran skalar seperti
turbulensi, energi, radiasi dengan menggunakan nilai-nilai variabel
lain yang di-update.
e. Cek konvergensi persamaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Tahapan-tahapan ini dilanjutkan sampai kriteria konvergensi tercapai.
2.12 Model Turbulen (Turbulence Modeling)
Aliran turbulen dikenali dengan adanya medan kecepatan yang
berfluktuasi. Fluktuasi kecepatan tersebut membawa berbagai besaran seperti
momentum, energi, dan konsentrasi partikel yang ikut berfluktuasi. Fluktuasi
tersebut dapat terjadi pada skala kecil dan mempunyai frekuensi yang tinggi
sehingga terlalu rumit dan berat untuk dihitung secara langsung pada perhitungan
rekayasa praktis meskipun dengan menggunakan komputer yang canggih
sekalipun. Oleh karena itu, persamaan yang berhubungan dapat dirata-ratakan atau
dimanipulasi untuk menghilangkan fluktuasi skala kecil. Dengan demikian
persamaan-persamaan tersebut dapat lebih mudah untuk dipecahkan. Namun,
pada persamaan yang telah dimodifikasi tersebut terdapat tambahan variabel yang
tidak diketahui sehingga dibutuhkan model turbulensi untuk menentukan variable-
variabel tersebut. ANSYS Fluent menyediakan beberapa model pilihan model
turbulensi, yaitu :
a. Model Spalart-allmaras
b. Model k-epsilon (k-ε)
1. Standard
2. Renormalization-group (RNG)
3. Realizable
c. Model k-ω
1. Standard
2. Shear-Stress Transport (SST)
d. Model v2-f (addon)
e. Model Reynold Stress (RSM)
f. Model Detached Eddy Simulation (DES)
g. Model Large Eddy Simulation (LES)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
x
2.13.1 Model turbulen k-ε
Model ini merupakan model semi empiris yang dikembangkan oleh
Launder & Spalding. Model k-epsilon merupakan model turbulensi yang cukup
lengkap dengan dua persamaan yang memungkinkan kecepatan turbulen (turbulen
velocity) dan skala panjang (length scales) ditentukan secara independen.
Kestabilan, ekonomis (dari sisi komputasi), dan akurasi yang memadai untuk
berbagai jenis aliran turbulen membuat model k-epsilon sering digunakan pada
simulasi aliran fluida dan perpindahan panas.
Untuk meningkatkan keandalan model k-epsilon telah terdapat beberapa
varian dari model ini, dua diantaranya terdapat pada FLUENT, yaitu: model k-ε
standard, model RNG k-epsilon dan model realizable k-epsilon.
Model k-ε standard merupakan model turbulensi semi empiris yang
lengkap. Walaupun masih sederhana, memungkinkan untuk dua persamaan yaitu
kecepatan turbulen (turbulent velocity) dan skala panjang (length scale)
ditentukan secara bebas (independent). Model ini dikembangkan oleh Jones dan
Launder. Model k-ε standard merupakan model semi empiris berdasarkan
persamaan transport untuk energi kinetik (k) dan laju disipasi (ε). Model
persamaan transport untuk energi kinetik turbulen k adalah turunan dari
persamaan eksak, sedangkan persamaan transport untuk disipasi ε diperoleh
dengan alasan fisis dan mempunyai kemiripan dengan penyelesaian matematis
eksak. Dalam penurunan model k-ε diasumsikan bahwa aliran turbulen penuh
(fully develop) dan pengaruh viskositas molekular diabaikan. Model ini hanya
cocok untuk aliran turbulen penuh.
Energi kinetic turbulen, (k) dan laju disipasi (ε) diperoleh dari persamaan
transport berikut:
t k
k t
xi
kui x j x
j
Gk Gb y m sk (2.26)
2
t
xi
u i t
j x C
1
j
(Gk
G3
k G
b ) C
2 sk
k (2.27)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
2
3
Dalam persamaan ini, Gk menunjukkan generasi energi kinetik turbulen
karena adanya gradien kecepatan rata-rata. Gb menunjukkan generasi energi
kinetik turbulen karena adanya gaya apung. Sedangkan Ym menunjukkan
kontribusi dilatasi yang berfluktuasi dalam turbulensi kompresibel ke laju disipasi.
C1ε, C2ε keseluruhan adalah konstanta, yang besarnya berturut-turut adalah 1,44
dan 1,92. Sedangkan ζk dan ζε adalah bilangan Prandtl yang masing-masing
besarnya adalah 1,0 dan 1,3. Viskositas turbulen, µε dihitung dengan
mengkombinasikan k dan ε sebagai berikut:
k 2
t C (2.28)
C adalah konstanta yang besarnya adalah 0,09
Energi sesaat k(t) aliran turbulen merupakan jumlah rata-rata energi
kinetik K 1 (U 2
V 2
W 2 )
2 dan energi kinetik turbulen k 1
2 (u' v'
2 w'
2 ) .
Hubungan antara energi kinetik turbulen k dan intensitas turbulensi dinyatakan
pada persamaan berikut:
k 2
(u 3
a vg
l )
2
(2.29)
Hubungan antara skala panjang l dan epsilon ε dinyatakan pada persamaan
berikut:
C 4
3
k 2
l
(2.30)
Model k-ε standard merupakan model turbulen paling banyak digunakan
dan diaplikasikan dalam sebuah simulasi numerik aliran turbulen. Model ini
memiliki beberapa keunggulan yaitu model turbulen yang paling simpel dimana
hanya kondisi batas maupun awal saja yang perlu dimasukkan, memiliki performa
yang sangat baik pada simulasi aliran yang digunakan industri-industri, dan
merupakan model turbulen yang telah teruji dan divalidasikan secara luas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Kekurangan dari model k-ε standard antara lain lebih mahal untuk
diimplementasikan. Model k-ε standard dengan model mixing length, memiliki
performa yang kurang baik untuk kasus seperti beberapa aliran terbatas, aliran
dengan regangan yang besar, aliran berputar, dan aliran berkembang penuh untuk
saluran non-cicular [Beithou dan Aybar, 2000].
Model RNG k-epsilon diturunkan dengan menggunakan metode statistik
yang diteliti (teori renormalisasi kelompok). Bentuk persamaan yang digunakan
sama dengan model k-epsilon standard tetapi melibatkan beberapa perbaikan:
a. Model RNG mempunyai besaran tambahan pada persamaan laju
disipasi, epsilon, yang dapat meningkatkan akurasi untuk aliran yang
terhalang secara tiba-tiba.
b. Efek putaran pada turbulensi juga terdapat pada model RNG sehingga
meningkatkan akurasi untuk aliran yang berputar (swirl flow).
c. Model RNG menyediakan formula analitis untuk bilangan Prandtl
turbulen, sementara model k-epsilon standar menggunakan nilai
bilangan Prandtl yang konstan (ditentukan oleh pengguna).
d. Model k-epsilon standar merupakan model untuk kasus dengan
bilangan Reynolds tinggi, sedangkan model RNG menyediakan
formula untuk bilangan Reynolds rendah.
Model realizable k-epsilon merupakan pengembangan model yang relatif
baru dan berbeda dengan k-epsilon dalam dua hal, yaitu:
a. Pada model realizable k-epsilon terdapat formulasi baru untuk
memodelkan viskositas turbulen.
b. Sebuah persamaan untuk epsilon telah diturunkan dari persamaan
untuk menghitung fluktuasi vortisitas rata-rata.
Istilah realizable mempunyai arti bahwa model tersebut memenuhi
beberapa batasan matematis pada bilangan Reynolds, konsistensi dengan bentuk
fisik aliran turbulen. Kelebihan dari model realizable k-epsilon adalah lebih akurat
untuk memprediksi laju penyebaran fluida dari pancaran jet/nosel. Model ini juga
memberikan performa yang bagus untuk aliran yang melibatkan putaran, lapisan
batas yang mempunyai gradien tekanan yang besar, separasi, dan resirkulasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Model persamaan transport realizable k-epsilon :
t k
K t
xi
K ui x j k
Gk YM
x j (2.31)
ui t
C S
2
C C
C G
1
2
1
3 b (2.32)
t xi
x j x j K v K
Dimana:
C max 0.43 SK (2.33)
1
5
Salah satu keterbatasan model realizable k-epsilon ialah terbentuknya
viskositas turbulen non-fisik pada kasus dimana domain perhitungan mengandung
zona fluida yang diam dan berputar (multiple reference frame, sliding mesh). Oleh
karena itu, penggunaan model ini pada kasus multiple reference dan sliding frame
harus lebih hati-hati.
2.14 Metode Numerik pada ANSYS Fluent
ANSYS Fluent mempunyai 2 solver yaitu pressure-based solver dan
density-based couple solver (DBCS). Pressure-based solver menyediakan dua
pilihan metode numerik, yaitu:
a. Solver segregated.
b. Solver coupled.
ANSYS Fluent memecahkan persamaan integral untuk kekekalan massa,
momentum dan energi (governing integral equation) serta besaran skalar lainnya
seperti turbulensi. Kedua metode ini menggunakan teknik berbasis volume
kendali (control volume) yang terdiri dari:
a. Pembagian daerah asal (domain) kedalam volume kendali diskrit
dengan menggunakan grid komputasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
b. Integrasi persamaan umum pada volume kendali untuk membangun
persamaan aljabar variabel tak bebas yang tidak diketahui seperti
kecepatan, tekanan, suhu dan sebagainya.
c. Linearisasi persamaan terdiskritisasi dan solusi sistem persamaan
linear resultan untuk menghasilkan nilai-nilai taksiran variabel tak
bebas.
Pada dasarnya solver segregated dan coupled memiliki persamaan dalam
proses diskritisasi yaitu volume berhingga (finite volume), tetapi memiliki
perbedaan pada cara pendekatan yang digunakan untuk melinearisasi dan
memecahkan permasalahan. [ANSYS, 2009]
2.14.1 Solver Coupled
Pendekatan yang dilakukan oleh metode coupled adalah dengan
memecahkan persamaan kekekalan massa, momentum dan energi secara
bersamaan (simultaneously). Karena persamaan tersebut merupakan persamaan
non-linear, maka proses iterasi harus dilakukan sebelum solusi yang konvergen
diperoleh.
a. Sifat-sifat fluida di-update, berdasarkan solusi yang ada. Untuk
perhitungan awal, sifat-sifat ini di-update berdasarkan solusi awal
b. Persamaan kontinuitas, momentum, dan energi jika ada serta besaran-
besaran tertentu lainnya dipecahkan secara serempak.
c. Jika ada persamaan-persamaan skalar seperti turbulensi dan radiasi
maka akan dipecahkan dengan menggunakan nilai yang di-update
sebelumnya berdasarkan variabel-variabel lain.
d. Mengecek konvergensi persamaan.
Tahapan-tahapan ini dilanjutkan sampai kriteria konvergen tercapai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Meng-update sifat-sifat
fluida
Memecahkan persamaan
kontinuitas, momentum
dan energi secara
serempak koreksi tekanan
(kontinuitas)
Meng-update fluks
massa
Memecahkan turbulensi
dan skalar lainnya
Tidak
Konvergen
?
Ya
Stop
Gambar 2.29 Skema metode solver coupled (ANSYS, Inc., 2013).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Diagram Alir Penelitian
Pada penelitian ini, langkah-langkah penelitian mengacu diagram alir
pada Gambar 3.1 berikut:
START
Studi pustaka dan perencanaan kasus simulasi
Konsultasi kasus simulasi
kepada pembimbing
Disetujui No
Yes
Melakukan pemodelan menggunakan Solidworks dan
simulasi menggunakan ANSYS Fluent
Pengambilan data hasil simulasi sekaligus
mengolahnya menjadi grafik, visualisasi
kontur tekanan, kecepatan dan temperatur
Analisa dan pembahasan
Kesimpulan
Selesai
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
3.2 Diagram Alir Prosedur Simulasi
Pada penelitian ini menggunakan langkah-langkah penelitian seperti di
gambarkan dalam diagram alir simulasi berikut ini:
Mulai
Studi literatur: data geometri, sifat
material dan boundary condition dari
kasus yang disimulasikan
Pembuatan geometri dengan Solidworks dan pada
Desain Modeler di ANSYS
Pendefinisian boundary condition dan
Penggenerasian meshing dengan ANSYS Meshing
pada geometri steam ejector
Pengecekan mesh
Mesh baik? Tidak
Check:
Densitas
Viskositas
Standard-
Entalpi
Under
relaxation
Ya
Penentuan operating condition di primary,
secondary dan outlet ejector
Proses Numerik
Ya Iterasi
eror ?
Tidak
Plot grafik dengan Origin dan plot
kontur distribusi tekanan,
temperatur dan kecepatan
Selesai
Gambar 3.2 Diagram alir prosedur simulasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
1. Studi literatur
Sebelum menentukan geometri steam ejector, terlebih dahulu
mencari referensi untuk data properti fluida, boundary condition,
model geometri. Studi literatur dilakukan untuk mencari materi dan
teori yang berhubungan dengan penelitian ini dan memudahkan dalam
menentukan proses yang akan dilakukan selama penelitian. Studi
literatur didapat dari jurnal maupun buku-buku.
2. Pembuatan Geometri.
Geometri dari steam ejector diambil dari studi literatur jurnal
peneliti sebelumnya untuk memudahkan proses validasi. Software
Solidworks digunakan untuk menggambar bentuk steam ejector
geometri 3D. Hasil desain ditransfer ke Desain Modeler ANSYS 14.
3. Penggenerasian Mesh dan pemasukan boundary condition .
Langkah ini dilakukan supaya geometri dari steam ejector yang
sebelumnya mempunyai jumlah cell tak terhingga menjadi cell hingga,
sehingga dapat dikerjakan pada penghitungan matematis. Boundary
condition (kondisi batas) dimasukan dengan variabel yang sudah di
tentukan oleh peneliti. Variabel tersebut didapatkan dari studi literatur
berupa tekanan dan temperatur.
4. Pengecekan mesh
Langkah ini menentukan keberhasilkan proses iterasi. Ketika
meshing mempunyai kualitas yang kurang baik maka, proses simulasi
lama dan menghasilkan data yang tidak akurat.
5. Operating condition
Bagian ini mendefinisikan boundary condition dengan data
properti fluida dan pemilihan model turbulensi.
6. Proses Numerik
Melakukan simulasi pada ANSYS Fluent dengan penggabungan
metode pendekatan Eulerian.
7. Konvergensi kriteria Eulerian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Kriteria konvergensi untuk Eulerian yang digunakan adalah apabila
nilai residual absolute yaitu sudah mencapai 0,001 untuk semua
persamaan.
8. Plot kontur temperatur, tekanan dan kecepatan
Dilakukan pengeplotan kontur temperatur, tekanan dan kecepatan
sepanjang steam ejector untuk mengetahui fenomena yang terjadi di
dalam steam ejector.
3.3 Skematik Steam Ejector
Steam ejector digunakan di banyak bidang, salah satunya digunakan dalam
sistem refrigerasi. Berikut adalah bagan penggunaan steam ejector:
Gambar 3.3 Skematik penggunaan steam ejector pada sistem refrijerasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
3.3.1 Steam Ejector
Pada penelitian kali ini menggunakan desain steam ejector sebagai berikut:
Gambar 3.4 Skema steam ejector (Ajmah, 2011).
3.3.2 Geometri Ejector
Gambar 3.5 menunjukkan ukuran geometri yang ada di steam ejector.
Berikut ini adalah detail ukuran steam ejector dalam satuan mm pada penelitian
ini:
Gambar 3.5 Ukuran geometri steam ejector (Ajmah, 2011).
3.3.3 Model dan Geometri Nozzle
Pada penelitian kali ini menggunakan 2 model nozzle yaitu Circle Nozzle
Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). CNSE adalah
model nozzle yang menggunakan penampang pada ujung nozzle berbentuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
lingkaran. Sedangkan SNSE mempunyai penampang persegi. Di bawah ini adalah
detail ukuran dalam satuan mm dari kedua model nozzle (Yang,2012):
Gambar 3.6 Ukuran geometri model Circle Nozzle Steam Ejector.
Gambar 3.7 Ukuran geometri model Square Nozzle Steam Ejector.
3.4 Nozzle Exit Position
Penelitian ini memvariasikan Nozzle Exit Position (NXP). Pada Gambar
3.8 ditampilkan posisi nozzle pada variasi NXP bergeser dengan satuan mm yaitu:
Gambar 3.8 Variasi penempatan NXP.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
3.5 Boundary Condition
Boundary condition adalah penamaan pada masing-masing bagian steam
ejector untuk mendukung proses simulasi. Berikut ini penamaan masing-masing
bagian:
Gambar 3.9 Boundary condition pada steam ejector.
3.6 Meshing
Pada penelitian ini peneliti menggunakan program meshing yang ada
software ANSYS 14. Setelah setting boundary condition lalu langkah berikutnya
adalah penggenerasian mesh pada steam ejector. Meshing yang baik adalah tidak
terdapat skewness yang tinggi. Skewness adalah bentuk meshing yang tidak
wajar/tidak beraturan. Skewness menyebabkan penghitungan dari cell ke cell tidak
dapat berjalan dengan baik. Untuk penelitian kali ini meshing menggunakan
bentuk meshing tetrahedral atau tetrahedron.
Pada variasi Nozzle Exit Position (NXP) akan menghasilkan jumlah cell
yang berbeda. Berikut adalah tampilan meshing yang digunakan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Gambar 3.10 Tampilan meshing steam ejector.
Gambar 3.11 Tampilan bentuk meshing tetrahedral.
3.7 Spesifikasi Working Fluid
Dalam penelitian kali ini peneliti menggunakan fluida water vapor (uap
air) dan air (udara). Spesifikasi primary fluid dan secondary fluid pada variasi
tekanan terukur dan temperatur terukur adalah:
Tabel 3.1 Properties dari primary fluid (nist.webbook.gov/chemisry).
Fluida : Uap Air (watervapor)
Tekanan (kPa) 140 155 170 185 200
Temperatur (K) 382,44 385,49 388,30 390,91 393,36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Sifat uap air (watervapor) yang didapatkan dari database ANSYS 14 adalah :
1. Densitas : 0,5542 kg/m3
2. Konduktifitas Termal : 0,0261 W/m.K
3. Viskositas : 1,34e-05 kg/m.s
4. Berat molekular : 18,01534 kg/kmol
Untuk secondary fluid yaitu udara dianggap gas ideal mempunyai sifat fluida:
Tabel 3.2 Properties dari secondary fluid.
Fluida : Udara Temperatur: 283 K
Tekanan absolut (kPa) 99,392
Mach Number 0,2
Densitas (kg/m3) 1,225
Konduktivitas Termal (W/m.K) 0,0242
Viskositas (kg/m.s) 1,7894e-05
Berat molekular (kg/kmol) 28,966
3.8 Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memilih variabel bebas dan variabel terikat
sesuai dengan referensi penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya. Variabel bebas dan variabel terikat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Variabel Bebas :
a. Primary pressure 140 kPa, 165 kPa, 170 kPa, 185 kPa, dan 200 kPa.
b. Secondary pressure 99,392 kPa pada temperatur 283 K.
c. Model nozzle : Circle Nozzle dan Square Nozzle.
d. NXP Minus 10, NXP Minus 5, NXP 0, NXP Plus 5, dan NXP Plus 10
(pengertian Minus 10 adalah -10 mm).
Variabel terikat :
a. Nilai entrainment ratio.
b. Mass flow rate primary.
c. Mass flow rate secondary.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
d. Kontur distribusi tekanan.
e. Kontur distribusi temperatur.
f. Kontur distribusi kecepatan.
3.9 Prosedur Simulasi
Peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian kali ini adalah :
a. Komputer dengan spesifikasi
Windows 8.1 Intel (R) core (TM) i7-4790 CPU@ 3.60GHz,
RAM 16.0 GB dan Nvidia GeForce GTX 750, Memory 4019 MB.
b. Perangkat lunak
ANSYS 14.0; FLUENT, Microsoft Office Word 2013, Microsoft Office
Excel 2013, Origin, Solidworks 2014.
Pada dasarnya ANSYS Fluent menggunakan metode control volume untuk
mengubah general scalar transport equation menjadi sebuah persamaan tersendiri
atau discrete yang dapat diselesaikan secara numerik.
Tabel 3.3 Tipe yang digunakan pada setiap discretization.
Discretization Type
Pressure-Velocity Coupling Phase coupled SIMPLE
Gradient Least squares cell based
Volume fraction First Order Upwind
Momentum Second Order Upwind
Turbulent Kinetic Energy Second Order Upwind
Turbulent Dissipation Rate Second Order Upwind
Energy Second Order Upwind
Pada Pressure-Velocity Coupling dipilih tipe SIMPLE algorithm karena
pada algoritma tersebut digunakan relasi antara kecepatan dan koreksi tekanan
pada persamaan kesetimbangan massa untuk mendapatkan fenomena tekanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
yang terjadi pada kasus yang diteliti. Volume Fraction digunakan tipe First Order
Upwind karena persamaan ordo satu dapat memenuhi kebutuhan perhitungan yang
dilakukan pada bagian tersebut. Untuk Momentum, Turbulent Kinetic Energy,
Turbulent Dissipation Rate Momentum dan Energy dipilih tipe Second Order
Upwind karena dibutuhkan hasil data yang lebih akurat. Perhitungan momentum
dan energi yang berupa hasil data fenomena kecepatan aliran dan distribusi
temperatur.
3.10 Convergence Criteria
Setiap persamaan yang dijalankan dalam simulasi memiliki residual yang
terus berubah dan semakin menurun nilainya. Semakin kecil residual yang
didapatkan maka menghasilkan perhitungan yang lebih akurat. Tetapi pada
pengaplikasiannya, angka residual akan terus ada dan terus mengalami fluktuasi.
Oleh karena itu perlu diputuskan saat yang tepat untuk menyelesaikan perhitungan
dengan menentukan convergence criteria pada setiap residual dari persamaan-
persamaan yang dijalankan.
Pada simulasi ini, convergence criteria yang digunakan pada setiap
residual adalah sebesar 1e-3. Nilai–nilai tersebut adalah nilai yang tepat karena
dapat menghasilkan data yang valid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
ANALISA HASIL SIMULASI
Penelitian ini membahas hasil simulasi pengaruh dari model primary
nozzle, Nozzle Exit Position (NXP) dan primary pressure. Simulasi dilakukan
pada pressure secondary dan pressure outlet dalam keadaan konstan. Pressure
secondary 99.392 kPa dengan temperatur 283 K dan pressure outlet 87 kPa.
Simulasi dilakukan untuk mendapatkan data mass flow rate dan kontur aliran.
Data mass flow rate meliputi mass flow rate primary dan mass flow rate
secondary yang akan ditampilkan pada variasi primary pressure dan NXP.
Primary pressure yang digunakan yaitu 140 kPa, 155 kPa, 170 kPa, 185 kPa dan
200 kPa. NXP yang digunakan yaitui NXP Minus 10, NXP Minus 5, NXP 0, NXP
Plus 5 dan NXP Plus 10. Kemudian akan dibahas investigasi kontur aliran untuk
mengetahui fenomena aliran yang terjadi di dalam steam ejector. Kontur yang
akan ditampilkan adalah kontur tekanan, kontur temperatur dan kontur kecepatan.
4.1 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio
Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle
Steam Ejector pada Variasi Nozzle Exit Position
Nilai entrainment ratio digunakan untuk merepresentasikan performa dari
steam ejector. Nilai entrainment ratio berkaitan erat dengan mass flow rate
primary dan mass flow rate secondary [Chen dan Chong, 2013]. Mass flow rate
primary dan mass flow rate secondary dipengaruhi oleh densitas fluida, kecepatan
fluida dan luas penampang. Densitas fluida dipengaruhi oleh temperatur fluida,
sedangkan kecepatan fluida dipengaruhi oleh pressure. Karena penelitian ini
menggunakan variasi primary pressure maka akan mempengaruhi mass flow rate
primary dan mass flow rate secondary. Selain primary pressure, penelitian ini
mengunakan model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle
Steam Ejector (SNSE). Model nozzle yang mempunyai bentuk penampang
berbeda, akan membentuk aliran berbeda yang keluar dari nozzle [Yang dkk,
2012]. Variasi primary pressure dan model nozzle disimulasikan pada variasi
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
CNSE NXP
Minus 10
SNSE NXP Minus 10
En
train
men
t R
ati
o
Nozzle Exit Position (NXP). Variasi NXP digunakan untuk mengetahui performa
optimum ejector.
4.1.1 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio
Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle
Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Minus 10
1,2
0,9
0,6
0,3
0,0
-0,3 0 140 150 160 170 180 190 200
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.1 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio
dengan variasi primary pressure pada NXP Minus 10.
Gambar 4.1 menunjukkan nilai entrainment ratio menurun seiring dengan
meningkatnya primary pressure. Jika primary pressure meningkat menyebabkan
temperatur fluida meningkat. Karena di primary nozzle terjadi penyempitan
penampang maka terjadi penurunan tekanan yang drastis, sehingga temperatur
fluida tinggi tetapi densitas fluida meningkat. Selain itu, peningkatan primary
pressure menyebabkan kecepatan fluida meningkat. Pada luas penampang yang
sama ketika kecepatan fluida meningkat dan densitas meningkat menyebabkan
mass flow rate primary meningkat [Subramanian, 2014, Mazzelli, 2015, Shah,
2011]. Pada Nozzle Exit Position (NXP) Minus 10, model nozzle menyebabkan
perbedaan nilai entrainment ratio yang signifikan. Nilai entrainment ratio pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) lebih besar dibandingkan model
Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). Nilai entrainment ratio optimum untuk
model CNSE pada primary pressure 140 kPa adalah 0.956, sedangkan model
SNSE adalah 0.324 pada primary pressure 140 kPa. Nilai entrainment ratio pada
primary pressure 155 kPa untuk model CNSE adalah 0.626, sedangkan model
SNSE adalah 0.093. Secara berurutan nilai entrainment ratio pada variasi primary
pressure 170 kPa, 185 kPa dan 200 kPa adalah 0.435, 0.312 dan 0.225 untuk
model CNSE, sedangkan model SNSE adalah -0.036, -0.118 dan -0.171. Pada
Gambar 4.1, nilai entrainment ratio pada model CNSE lebih besar dibandingkan
entrainment ratio pada model SNSE karena, bentuk penampang nozzle yang
berupa lingkaran membuat rugi-rugi aliran menjadi kecil [Yang, 2012].
4.1.2 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio
Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle
Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Minus 5
Gambar 4.2 menunjukkan penurunan nilai entrainment ratio pada
peningkatan primary pressure. Primary pressure mempengaruhi temperatur
fluida. Jika primary pressure meningkat menyebabkan temperatur fluida
meningkat. Peningkatan temperatur fluida akan menyebabkan densitas fluida
menurun. Selain itu, peningkatan primary pressure menyebabkan kecepatan fluida
meningkat. Pada luas penampang yang sama ketika kecepatan fluida meningkat
menyebabkan mass flow rate primary meningkat. nilai entrainment ratio semakin
menurun ketika peningkatan primary pressure [Subramanian, 2014, Mazzelli,
2015, Shah, 2011]. Pada Gambar 4.2 menunjukkan perbedaan nilai entrainment
ratio yang signifikan yang terjadi pada model CNSE dan SNSE di Nozzle Exit
Position (NXP) Minus 5. Model CNSE mempunyai nilai entrainment ratio
optimum 0.702 pada tekanan 155 kPa. Model SNSE mempunyai nilai entrainment
optimum 0.443 pada tekanan 140 kPa. Pada model CNSE, nilai entrainment ratio
terendah 0.089 terjadi pada primary pressure 185 kPa. Pada model SNSE, nilai
entrainment ratio terendah 0.038 pada primary pressure 170 kPa. Secara
berurutan nilai entrainment ratio model CNSE untuk variasi primary pressure 140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
CNSE NXP
Minus 5
SNSE NXP Minus 5
En
train
men
t R
ati
o
1,2
0,9
0,6
0,3
0,0
-0,3 0 140 150 160 170 180 190 200
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.2 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio
dengan variasi primary pressure pada NXP Minus 5.
kPa hingga 200 kPa yaitu 1.048, 0.702, 0.5, 0.363 dan 0.268. Nilai entrainment
ratio model SNSE adalah 0.443, 0.191, 0.034, -0.068 dan -0.146. Pada Gambar
4.2, nilai entrainment ratio pada model CNSE lebih besar daripada model SNSE
karena bentuk penampang nozzle yang berupa lingkaran membuat rugi-rugi aliran
menjadi kecil [Yang, 2012].
4.1.3 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio
Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle
Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Nol
Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) mempunyai nilai entrainment ratio
yang lebih tinggi daripada Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). Hal tersebut
dikarenakan CNSE mempunyai penampang nozzle berbentuk lingkaran yang
men yebabkan rugi -rugi aliran menjadi kecil [Yang, 2012]. Gambar 4.3
menunjukkan nilai entrainment ratio pada model CNSE dan SNSE mempunyai
perbedaan yang tidak signifikan dibandingkan Gambar 4.1 dan pada variasi NXP
Minus 10 dan Gambar 4.2 pada variasi NXP Minus 5. Hal tersebut dikarenakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
CNSE
NXP 0
SNSE NXP 0
En
tra
inm
en
t R
ati
o
1,2
0,9
0,6
0,3
0,0
-0,3
0 140 150 160 170 180 190 200
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.3 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio
dengan variasi primary pressure pada NXP 0.
mass flow rate primary pada model CNSE tinggi, sehingga mempengaruhi
entrainment ratio menurun cukup signifikan. Pada tekanan 140 kPa pada model
CNSE mempunyai nilai entrainment ratio optimum 0,710 sedangkan model
SNSE mempunyai nilai entrainment ratio optimum 0,565. Untuk nilai
entrainment ratio terendah model CNSE pada primary pressure 185 kPa yaitu
0,090 dan SNSE pada primary pressure 185 kPa dengan nilai 0,002. Secara
berurutan nilai entrainment ratio untuk variasi primary pressure 140 kPa hingga
200 kPa pada model CNSE adalah 0.710, 0.397, 0.215, 0.090 dan -0.002,
sedangkan model SNSE adalah 0.565, 0.291, 0.119, 0.002 dan -0.086. Gambar 4.3
menunjukkan nilai entrainment ratio menurun pada peningkatan primary
pressure. Primary pressure mempengaruhi temperatur fluida. Jika primary
pressure meningkat menyebabkan temperatur fluida meningkat. Peningkatan
temperatur fluida akan menyebabkan densitas fluida menurun. Selain itu,
peningkatan primary pressure menyebabkan kecepatan fluida meningkat. Pada
luas penampang yang sama ketika kecepatan fluida meningkat menyebabkan mass
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
En
tra
inm
en
t R
ati
o
flow rate primary meningkat. Karena mass flow rate secondary konstan maka,
nilai entrainment ratio semakin menurun ketika peningkatan primary pressure
[Subramanian, 2014, Mazzelli, 2015, Shah, 2011]
4.1.4 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio
Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle
Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Plus 5
1,2
0,9
CNSE NXP Plus 5
SNSE NXP Plus 5
0,6
0,3
0,0
-0,3
0 140 150 160 170 180 190 200
Primary pressure (kPa)
Gambar 4.4 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio
dengan variasi primary pressure pada NXP Plus 5.
Gambar 4.4 menunjukkan tendensi penurunan nilai entrainment ratio pada
peningkatan primary pressure. Primary pressure mempengaruhi temperatur
fluida. Jika primary pressure meningkat menyebabkan temperatur fluida
meningkat. Peningkatan temperatur fluida akan menyebabkan densitas fluida
menurun. Selain itu, peningkatan primary pressure menyebabkan kecepatan fluida
meningkat. Pada luas penampang yang sama ketika kecepatan fluida meningkat
menyebabkan mass flow rate primary meningkat. Karena mass flow rate
secondary konstan maka, nilai entrainment ratio semakin menurun ketika
peningkatan primary pressure [Subramanian, 2014, Mazzelli, 2015, Shah, 2011].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Pada Gambar 4.4, nilai entrainment ratio pada model CNSE lebih besar
dibandingkan entrainment ratio pada model SNSE, karena bentuk penampang
nozzle yang berupa lingkaran membuat rugi-rugi aliran menjadi kecil [Yang,
2012]. Pada Gambar 4.4 juga menunjukkan perbedaan nilai entrainment ratio
yang signifikan dari model CNSE dan SNSE. Model CNSE mempunyai nilai
entrainment ratio optimum 0.827 pada primary pressure 155 kPa. Model SNSE
mempunyai nilai entrainment ratio optimum 0.624 pada primary pressure 140
kPa. Model CNSE mempunyai nilai entrainment ratio terendah 0.36 pada primary
pressure 200 kPa. Model SNSE mempunyai nilai entrainment ratio terendah
0.038 pada primary pressure 185 kPa. Secara berurutan nilai entrainment ratio
pada primary pressure 140 kPa hingga 200 kPa di model CNSE adalah 1.188,
0.828, 0.606, 0.460 dan 0.361, sedangkan model SNSE adalah 0.625, 0.340,
0.160, 0.034 dan -0.015.
4.1.5 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio
Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle
Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Plus 10
Pada Gambar 4.5, nilai entrainment ratio mempunyai perbedaan yang
signifikan dari perbandingan model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan
Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). Primary pressure mempengaruhi
temperatur fluida. Jika primary pressure meningkat menyebabkan temperatur
fluida meningkat. Peningkatan temperatur fluida akan menyebabkan densitas
fluida menurun. Selain itu, peningkatan primary pressure menyebabkan kecepatan
fluida meningkat. Pada luas penampang yang sama ketika kecepatan fluida
meningkat menyebabkan mass flow rate primary meningkat. Karena mass flow
rate secondary konstan maka, nilai entrainment ratio semakin menurun ketika
peningkatan primary pressure [Subramanian, 2014, Mazzelli, 2015, Shah, 2011].
Untuk model CNSE pada variasi primary pressure yang sama memiliki nilai
entrainment ratio lebih tinggi dibandingkan model SNSE, karena bentuk
penampang nozzle yang berupa lingkaran membuat rugi-rugi menjadi kecil [Yang,
2012]. Model CNSE mempunyai nilai entrainment ratio optimum 0.837 pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
En
tra
inm
en
t R
ati
o
primary pressure 155 kPa, sedangkan model SNSE mempunyai nilai entrainment
ratio optimum 0.697 pada primary pressure 140 kPa. Nilai entrainment ratio
1,2
0,9
CNSE NXP Minus 10
SNSE NXP Minus 10
0,6
0,3
0,0
-0,3
0 140 150 160 170 180 190 200
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.5 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio
dengan variasi primary pressure pada NXP Plus 10.
terendah pada model CNSE yaitu 0.379 di primary pressure 200 kPa, sedangkan
model SNSE 0.085 pada primary pressure 185 kPa. Secara berurutan nilai
entrainment ratio pada variasi primary pressure 140 kPa hingga 200 kPa adalah
1.191, 0.837, 0.618, 0.478 dan 0.379 pada model CNSE, sedangkan model SNSE
adalah 0.697, 0.398, 0.210, 0.085 dan -0.011.
4.2 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio pada
Variasi Primary Pressure Menggunakan Variasi Model Nozzle
Untuk mengetahui performa dari steam ejector dapat dilihat dari nilai
entrainment ratio. Nilai entrainment ratio sangat berhubungan erat dengan mass
flow rate primary maupun mass flow rate secondary. Nilai mass flow rate
tergantung pada primary pressure maupun pressure secondary. Nilai primary
pressure maupun pressure secondary akan menghasilkan mass flow rate yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
En
tra
inm
en
t R
ati
o
beragam. Selain itu, Nozzle Exit Position (NXP) juga menjadi salah satu yang
berpengaruh signifikan dalam efisiensi kerja steam ejector. Variasi NXP dapat
mengetahui kerja optimum dari ejector. Di bawah ini akan dibahas pengaruh dari
variasi NXP dan variasi primary pressure untuk model Circle Nozzle Steam
Ejector (CNSE) dan Square Nozzle Steam Ejector (SNSE).
4.2.1 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio pada
Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Circle Nozzle Steam
Ejector
1,2
0,9
0,6
CNSE
NXP Minus 10
NXP Minus 5
NXP 0
NXP Plus 5
NXP Plus 10
0,3
0,0
-0,3 0 140 150 160 170 180 190 200
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.6 Grafik pengaruh NXP terhadap nilai entrainment ratio dengan
variasi primary pressure pada model CNSE.
Pada Gambar 4.6, variasi NXP menyebabkan perbedaan nilai entrainment
ratio pada model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE). Pada NXP Plus 10 dan
NXP Plus 5 mempunyai nilai entrainment ratio hampir sama dan cenderung lebih
tinggi daripada NXP yang lain. Hal ini menunjukkan nozzle yang digeser ke
daerah mixing chamber akan meningkatkan nilai entrainment ratio pada model
CNSE [Yapici, 2008]. Gambar 4.6 menunjukkan model CNSE mengalami
penurunan nilai entrainment ratio yang signifikan pada NXP 0. Penurunan nilai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
SNS E
NXP Minus 10
NXP Minus 5
NXP 0
NXP Plus 5
NXP Plus 10
En
tra
inm
en
t R
ati
o
entrainment ratio tersebut dikarenakan di diverging nozzle mempunyai kecepatan
yang tinggi. Kecepatan yang tinggi menyebabkan mass flow rate primary
meningkat. Karena mass flow rate primary tinggi menyebabkan nilai entrainment
ratio menurun. Ketika nozzle digeser ke daerah suction chamber, nilai
entrainment ratio lebih rendah daripada nozzle digeser ke daerah mixing chamber.
4.2.2 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio pada
Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Square Nozzle Steam
Ejector
Gambar 4.7 menunjukkan perbedaan NXP menyebabkan perubahan nilai
entrainment ratio. Pada NXP Minus 10 menunjukkan nilai entrainment ratio
terendah dibandingkan variasi NXP yang lain untuk semua variasi primary
pressure. Nilai entrainment ratio tertinggi terdapat pada variasi NXP Plus 10
untuk semua variasi primary pressure. Secara bertahap nilai entrainment ratio
akan meningkat ketika nozzle digeser ke daerah mixing chamber. Hal tersebut
1,2
0,9
0,6
0,3
0,0
-0,3 0 140 150 160 170 180 190 200
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.7 Grafik pengaruh NXP terhadap nilai entrainment ratio dengan
variasi primary pressure pada model SNSE.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
karena di mixing chamber yang mempunyai penampang menyempit. Penampang
yang menyempit menyebabkan temperatur meningkat karena proses kompresi.
Peningkatan temperatur menyebabkan densitas fluida menurun. Penyempitan
penampang juga menyebabkan kecepatan fluida menurun. Karena densitas dan
kecepatan menurun menyebabkan mass flow rate primary menurun. Menurunnya
mass flow rate primary menyebabkan nilai entrainment ratio meningkat. Ketika
nozzle digeser ke daerah suction chamber menyebabkan nilai entrainment ratio
menurun. Hal tersebut dikarenakan daerah diverging nozzle berpenampang kecil
mempunyai tekanan yang kecil. Penampang kecil menyebabkan kecepatan tinggi.
Selain itu temperatur yang rendah keluar nozzle menyebabkan densitas meningkat.
Kecepatan yang tinggi dan densitas meningkat menyebabkan mass flow rate
primary meningkat. Karena mass flow rate primary tinggi menyebabkan nilai
entrainement ratio rendah. Hasil tersebut mengindikasi dalam mendesain steam
ejector, Nozzle Exit Position sangat berpengaruh untuk mendapatkan performa
steam ejector yang optimum [Zhu, 2009].
4.3 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass flow Rate Primary dan
Secondary Menggunakan Variasi Primary Pressure pada Variasi
Model Nozzle
Nozzle Exit Position (NXP) divariasikan untuk mengetahui performa
optimum steam ejector. Variasi NXP berpengaruh pada mass flow rate primary
maupun mass flow rate secondary. Mass flow rate primary dan mass flow rate
secondary mempengaruhi nilai entrainment ratio.
4.3.1 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass Flow Rate Primary
Menggunakan Variasi Primary Pressure pada Model Circle Nozzle
Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector
Gambar 4.8 menunjukkan peningkatan primary pressure menyebabkan
mass flow rate primary meningkat. Model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE)
mempunyai mass flow rate primary optimum terjadi pada NXP 0. Ketika NXP
Minus 5 dan NXP Minus 10 mempunyai mass flow rate primary lebih tinggi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
CNS E
NXP Minus 10
NXP Minus 5
NXP 0
NXP Plus 5
NXP Plus 10
Mass
fl
ow
ra
te p
rim
ary
(k
g/s
)
dibandingkan NXP Plus 5 dan NXP Plus 10. Hal ini menunjukkan, ketika nozzle
digeser ke daerah mixing chamber maka, mass flow rate primary akan mempunyai
nilai lebih kecil. Nozzle digeser ke daerah suction chamber mempunyai mass flow
rate primary lebih besar.
0,0105
0,0090
0,0075
0,0060
0,0045
0 140 150 160 170 180 190 200
Primary pressure (kPa)
Gambar 4.8 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate primary pada
variasi primary pressure di model CNSE.
Pada Gambar 4.9 menunjukkan grafik yang sedikit berbeda dengan grafik
dari Gambar 4.8. Model Square Nozzle Steam Ejector (SNSE) memiliki mass flow
rate primary optimum pada NXP Minus 10. Mass flow rate primary terendah
didapat pada variasi NXP Plus 10. Pada NXP Plus 10, mass flow rate primary
yang dihasilkan lebih rendah daripada NXP Minus 10. Hasil yang sama juga
dialami model CNSE pada Gambar 4.8, mass flow rate primary pada NXP Plus
10 mempunyai nilai yang rendah daripada variasi NXP lain. Pada NXP 0 untuk
model CNSE dan SNSE yang mempunyai perbedaan signifikan. Mass flow rate
primary pada NXP 0 untuk model CNSE mempunyai nilai tertinggi daripada
variasi NXP lain. Sedangkan mass flow rate primary tertinggi untuk model SNSE
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
SNS E
NXP Minus 10
NXP Minus 5
NXP 0
NXP Plus 5
NXP Plus 10
Mass
flo
w r
ate
pri
ma
ry (k
g/s
)
pada NXP Minus 10. Mass flow rate primary pada model SNSE lebih tinggi pada
NXP 0. Nozzle digeser ke daerah mixing chamber maka, nilai mass flow rate
0,0105
0,0090
0,0075
0,0060
0,0045
0 140 150 160 170 180 190 200
Primary pressure (kPa)
Gambar 4.9 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate primary pada
variasi primary pressure di model SNSE.
daripada mass flow rate primary pada model CNSE. Untuk mendapatkan mass
flow rate primary yang tinggi pada model CNSE adalah dengan menggeser nozzle
primary akan menurun. Jika nozzle digeser ke daerah suction chamber maka, nilai
mass flow rate primary akan meningkat. Variasi NXP digunakan untuk mencari
performa optimum dari ejector pada operating condition yang sama
[Aphornratana dan Eames, 1997].
4.3.2 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass Flow Rate Secondary
Menggunakan Variasi Primary Pressure pada Model Circle Nozzle
Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector
Pada Gambar 4.10, peningkatan primary pressure menyebabkan tendensi
nilai mass flow rate secondary semakin menurun untuk semua variasi Nozzle Exit
Position (NXP). Pada model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE), mass flow rate
secondary tertinggi pada NXP Plus 5 dan NXP Plus 10. Sedangkan mass flow
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
CNS E
NXP Minus 10
NXP Minus 5
NXP 0
NXP Plus 5
NXP Plus 10
Ma
ss fl
ow
ra
te se
co
nd
ary
(k
g/s
)
rate secondary terendah pada variasi NXP 0. Pada NXP 0 terjadi penurunan nilai
mass flow rate secondary yang signifikan karena mass flow rate primary yang
0,0060
0,0045
0,0030
0,0015
0,0000
-0,0015
0 140 150 160 170 180 190 200
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.10 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate secondary pada
variasi primary pressure di model CNSE.
tinggi. Jika nozzle digeser ke daerah mixing chamber maka, mass flow rate
secondary akan meningkat. Jika nozzle digeser ke daerah suction chamber maka,
mass flow rate secondary menurun. Hal tersebut dikarenakan primary pressure
yang tinggi menyebabkan kecepatan meningkat di diverging nozzle (Gambar
4.123 sampai dengan Gambar 4.151).
Pada Gambar 4.11 menunjukkan perbedaan nilai entrainment ratio pada
variasi Nozzle Exit Position (NXP). Mass flow rate secondary terendah berada
pada variasi NXP Minus 10. Mass flow rate secondary tertinggi berada pada
variasi NXP Plus 10. Hal ini menunjukkan nozzle digeser ke daerah mixing
chamber meningkatakan nilai entrainment ratio.. Jika nozzle digeser ke daerah
suction chamber maka, nilai mass flow rate secondary akan menurun. Perbedaan
yang signifikan antara model CNSE dan SNSE adalah pada variasi NXP 0. Pada
model SNSE pada NXP 0 tidak menunjukkan penurunan nilai yang signifikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
SNS E
NXP Minus 10
NXP Minus 5
NXP 0
NXP Plus 5
NXP Plus 10
Ma
ss f
low
rate
seco
nd
ary (k
g/s
)
untuk mass flow rate secondary. Secara keseluruhan mass flow rate secondary
yang dihasilkan model CNSE lebih tinggi daripada model SNSE pada variasi
primary pressure dan variasi NXP yang sama.
0,0060
0,0045
0,0030
0,0015
0,0000
-0,0015 0 140 150 160 170 180 190 200
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.11 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate secondary pada
variasi primary pressure di model SNSE.
4.4 Analisis Kontur Tekanan, Temperatur dan Kecepatan Terhadap
Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Circle Nozzle Steam
Ejector dan Square Nozzle Steam Ejectoor pada Variasi Nozzle Exit
Position
Pada bagian ini akan ditampilkan kontur tekanan, temperatur dan
kecepatan pada variasi model nozzle, variasi primary pressure dan variasi Nozzle
Exit Position (NXP). Pembahasan akan diawali untuk model Circle Nozzle Steam
Ejector (CNSE) lalu model Square Nozzle Steam Ejector (SNSE) pada setiap
kontur tekanan, temperatur dan kecepatan. Kontur yang ditampilkan untuk
mengetahui bentuk aliran yang berada di dalam steam ejector. Kontur juga
mendukung hasil grafik. Kontur akan ditampilkan pada NXP yang sama dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
variasi primary pressure. Pada variasi primary pressure akan diketahui perbedaan
kontur yang terjadi, sehingga dapat diambil kesimpulan untuk tiap variasi NXP.
4.4.1 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector pada Variasi NXP
Minus 10
Pada Gambar 4.12 sampai dengan Gambar 4.16, daerah converging nozzle
memiliki tekanan yang lebih tinggi dibandingkan diverging nozzle. Hal tersebut
dikarenakan diverging nozzle memiliki penampang yang kecil. Pada Gambar 4.12,
diverging nozzle mempunyai tekanan yang sama dengan daerah suction chamber.
Pada Gambar 4.13 sampai dengan Gambar 4.16, diverging nozzle cenderung
memiliki tekanan yang lebih tinggi daripada suction chamber. Hal tersebut
dikarenakan primary pressure yang tinggi menyebabkan daerah diverging nozzle
mempunyai tekanan lebih tinggi daripada suction chamber. Fenomena yang
terjadi pada Gambar 4.13 sampai dengan Gambar 4.16 yaitu tekanan keluar nozzle
primary terjadi penurunan cukup signifikan. Hal tersebut dikarenakan tekanan
diverging nozzle lebih tinggi bergerak ke tekanan yang lebih rendah di suction
chamber [Bartosiewicz, 2005] [Rusly, 2005]. Peningkatan primary pressure pada
variasi NXP Minus 10 untuk model CNSE menggeser letak perubahan kontur
yang terjadi di dalam steam ejector. Pada Gambar 4.13, perubahan kontur tekanan
terjadi di daerah throttle. Pada Gambar 4.14, perubahan kontur tekanan terjadi di
daerah throttle yang mendekati diverging section. Pada Gambar 4.15, perubahan
kontur tekanan terjadi di diverging section. Gambar 4.16 menunjukkan perubahan
kontur terjadi di diverging section.
Gambar 4.12 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10
di primary pressure 140 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Gambar 4.13 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.14 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10
di primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.15 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10
di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.16 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
4.4.2 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus 5
Gambar 4.17 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di
primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.18 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di
primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.19 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.17 sampai dengan Gambar 4.21 menunjukkan primary pressure
menyebabkan daerah converging nozzle memiliki tekanan yang tinggi. Setelah
melewati converging nozzle, fluida mengalami penurunan tekanan ketika di
diverging nozzle. Hal tersebut karena nozzle mengalami penyempitan penampang
di daerah diverging nozzle. Pada penampang yang kecil menyebabkan tekanan
menurun. Pada Gambar 4.17, diverging nozzle mempunyai tekanan sama dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
daerah suction chamber. Pada Gambar 4.18 dan Gambar 4.19, diverging nozzle
mempunyai tekanan yang lebih besar daripada daerah suction chamber. Hal
tersebut karena primary pressure 155 kPa dan 170 kPa menyebabkan tekanan di
daerah nozzle lebih tinggi walaupun sudah melewati penyempitan penampang.
Pada Gambar 4.20 dan Gambar 4.21, daerah diverging section mempunyai
tekanan yang sama dengan daerah suction chamber. Hal tersebut dikarenakan,
tekanan di daerah suction chamber meningkat. Peningkatan primary pressure
pada variasi NXP Minus 5 untuk model CNSE dapat menggeser perubahan kontur
tekanan yang terjadi di dalam steam ejector.
Gambar 4.20 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di
primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.21 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kPa.
4.4.3 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Nol
Gambar 4.22 sampai dengan Gambar 4.26 menunjukkan perbedaan kontur
tekanan yang signifikan dari variasi primary pressure. Gambar 4.22 menunjukkan
perubahan kontur tekanan terjadi di daerah mixing chamber. Gambar 4.23
menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah throttle. Gambar 4.24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah diverging section.
Gambar 4.25 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah diverging
section yang berdekatan dengan daerah outlet ejector. Gambar 4.26 menunjukkan
perubahan tekanan terjadi di daerah mixing chamber tetapi mempunyai nilai
tekanan yang lebih tinggi. Pada Gambar 4.22 daerah diverging nozzle terjadi
fenomena yang menarik pada variasi NXP Nol ini, karena pada primary pressure
yang sama di daerah diverging nozzle mengalami penurunan tekanan yang drastis.
Peningkatan tekanan dapat mempengaruhi distribusi aliran di dalam steam ejector.
Gambar 4.22 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.23 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.24 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 170 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Gambar 4.25 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.26 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 200 kPa.
4.4.4 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus 5
Peningkatan primary pressure menyebabkan keberagaman kontur tekanan
di dalam steam ejector. Gambar 4.27 menunjukkan perubahan kontur tekanan
terjadi di daerah mixing chamber dan daerah diverging nozzle mempunyai tekanan
yang sama dengan daerah suction chamber. Gambar 4.28 menunjukkan perubahan
kontur tekanan terjadi di daerah throttle. Gambar 4.29 menunjukkan perubahan
kontur tekanan terjadi di daerah throttle yang mendekati daerah diverging section.
Gambar 4.27 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di
primary pressure 140 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Gambar 4.28 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.29 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di
primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.30 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di
primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.31 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di
primary pressure 200 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Gambar 4.30 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah diverging
section. Gambar 4.28 sampai dengan Gambar 4.30 di daerah diverging nozzle
mempunyai tekanan yang sama dengan daerah suction chamber. Gambar 4.31
menunjukkan tekanan di daerah diverging nozzle lebih kecil daripada daerah
suction chamber.
4.4.5 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus 10
Gambar 4.32 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.33 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di
primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.34 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Gambar 4.35 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.36 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di
primary pressure 200 kPa.
Gambar 4.32 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah
mixing chamber dan di diverging nozzle mempunyai tekanan yang sama dengan
daerah suction chamber. Gambar 4.33 menunjukkan perubahan kontur tekanan
terjadi di daerah throttle dan terdapat perbedaan kontur tekanan di mixing
chamber. Hal tersebut dikarenakan peningkatan primary pressure menyebabkan
tekanan di daerah mixing chamber meningkat. Gambar 4.34 daerah diverging
section mempunyai tekanan yang berbeda dengan suction chamber. Gambar 4.35
dan Gambar 4.36 menunjukkan peningkatan primary pressure mengakibatkan
tekanan di suction chamber dan mixing chamber dapat meningkat.
4.4.6 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model Square Nozzle Steam Ejector pada Variasi NXP
Minus 10
Peningkatan variasi primary pressure menyebabkan keberagaman kontur
di dalam steam ejector. Pada Gambar 4.37 hingga Gambar 4.41, variasi primary
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
pressure menyebabkan perubahan kontur tekanan mendekati outlet ejector. Pada
Gambar 4.37 menunjukkan perubahan kontur tekan terjadi di daerah mixing
chamber dan diverging section. Gambar 4.38 pada peningkatkan primary pressure
menyebabkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah throttle. Pada Gambar
4.39 perubahan kontur tekanan terjadi di throttle yang mendekati daerah diverging
section. Gambar 4.40 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah
diverging section. Gambar 4.41 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di
daerah diverging section yang mendekati outlet ejector.
Gambar 4.37 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.38 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10
di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.39 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10
di primary pressure 170 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Gambar 4.40 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.41 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10
di primary pressure 200 kPa.
4.4.7 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus 5
Peningkatan primary pressure menyebabkan keberagaman kontur tekanan
pada setiap variasi. Gambar 4.42 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi
di daerah diverging section dan daerah mixing chamber semakin meningkat.
Gambar 4.43 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah mixing
chamber. Gambar 4.44 hingga 4.46 menunjukkan perubahan kontur tekanan
terjadi di daerah throttle.
Gambar 4.42 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di
primary pressure 140 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Gambar 4.43 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.44 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di
primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.45 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di
primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.46 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di
primary pressure 200 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
4.4.8 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Nol
Gambar 4.47 sampai dengan Gambar 4.51 menunjukkan peningkatan
primary pressure menyebabkan daerah mixing chamber memiliki tekanan lebih
tinggi daripada di diverging section. Tekanan pada mixing chamber lebih tinggi
adalah karena outlet pressure yang konstan menyebabkan daerah tersebut yang
mengalami perubahan tekanan. Gambar 4.47 menunjukkan kontur perubahan
Gambar 4.47 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.48 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.49 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Gambar 4.50 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.51 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 200 kPa.
tekanan terjadi di daerah throttle. Gambar 4.48 menunjukkan kontur perubahan
tekanan terjadi di daerah diverging section dan di daerah converging section mulai
mengalami peningkatan tekanan. Gambar 4.49 peningkatan tekanan pada mixing
chamber mengalami perluasan kontur tekanan. Pada Gambar 4.50, peningkatan
tekanan pada mixing chamber menunjukkan pengaruh peningkatan variasi tekanan
primary. Gambar 4.51 menunjukkan daerah suction chamber dan mixing chamber
mengalami peningkatan tekanan karena primary pressure tinggi.
4.4.9 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus 5
Gambar 4.52 menunjukkan kontur perubahan tekanan terjadi di daerah
throttle, tetapi di daerah mixing chamber tidak terjadi peningkatan tekanan. Pada
Gambar 4.53, kontur perubahan tekanan terjadi di diverging section dan di mixing
chamber. Gambar 4.54 sampai dengan Gambar 4.56 menunjukkan perluasan
kontur perubahan tekanan pada mixing chamber pada peningkatan primary
pressure.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Gambar 4.52 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.53 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di
primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.54 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di
primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.55 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di
primary pressure 185 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Gambar 4.56 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di
primary pressure 200 kPa.
4.4.10 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus 10
Peningkatan variasi tekanan primary menyebabkan daerah diverging
nozzle mempunyai nilai tekanan yang semakin menurun. Peningkatan variasi
primary pressure mengakibatkan kontur perubahan kontur tekanan terjadi
mendekati outlet ejector. Gambar 4.58 menunjukkan kontur perubahan tekanan
terjadi di daerah converging section. Gambar 4.59 menunjukkan kontur perubahan
tekanan terjadi di daerah throttle. Gambar 4.60 menunjukkan kontur perubahan
Gambar 4.57 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.58 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di
primary pressure 155 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Gambar 4.59 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di
primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.60 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di
primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.61 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di
primary pressure 200 kPa.
tekanan terjadi di diverging section. Pada Gambar 4.61, kontur perubahan tekanan
tidak terjadi, karena kontur tekanan yang terjadi di sepanjang daerah converging
section hingga throttle mempunyai nilai yang sama.
4.4.11 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus 10
Daerah mixing chamber terjadi penurunan temperatur disebabkan oleh
interaksi fluida primary dengan fluida secondary yang mempunyai temperatur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
lebih rendah. Gambar 4.64 menunjukkan perubahan temperatur mulai terjadi di
daerah suction chamber. Hal tersebut dikarenakan peningkatan primary pressure
menyebabkan primary temperatur meningkat. Peningkatan primary temperatur
juga menyebabkan outlet temparatur meningkat. Gambar 4.65 menunjukkan
perluasan perubahan temperatur di daerah suction chamber. Pada Gambar 4.66
dan Gambar 4.67 meningkatnya tekanan menyebabkan kontur temperatur di
Gambar 4.62 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10.
Gambar 4.63 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.64 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.65 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Gambar 4.66 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.67 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kPa.
converging section meningkat dan perluasan daerah perubahan kontur temperatur
di suction chamber. Hal tersebut dikarenakan primary pressure yang tinggi
menyebabkan temperatur meningkat. Temperatur yang meningkat menyebabkan
perpindahan temperatur di daerah suction chamber.
4.4.12 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus 5
Gambar 4.68 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5.
Gambar 4.69 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 140 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Gambar 4.70 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.71 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.72 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.73 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 200 kPa.
Pada Gambar 4.69 menunjukkan perubahan temperatur terfokus di daerah mixing
chamber. Pada Gambar 4.69 terjadi perubahan temperatur yang baik antara kedua
fluida. Perubahan temperatur yang baik adalah terjadi transfer temperatur di
daerah mixing chamber. Gambar 4.70 menunjukkan perubahan kontur temperatur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
yang terjadi merata tetapi temperatur yang keluar outlet ejector cukup tinggi.
Gambar 4.71 menunjukkan perubahan kontur temperatur yang terjadi di dalam
steam ejector tidak merata. Hal tersebut dikarenakan primary pressure yang
meningkat menyebabkan peningkatan temperatur. Gambar 4.71 menunjukkan
perubahan temperatur di daerah suction chamber. Gambar 4.72 menunjukkan
perubahan temperatur yang cukup merata tetapi, outlet temperature masih tinggi.
Gambar 4.73 menunjukkan perubahan temperatur yang terjadi tidak baik. Pada
bagian mixing chamber hingga outlet ejector masih mempunyai temperatur yang
tinggi. Hal tersebut dikarenakan, primary pressure tinggi mengakibatkan primary
temperatur meningkat.
4.4.13 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Nol
Pada Gambar 4.75 hingga Gambar 4.79 menunjukkan peningkatan
primary pressure menyebabkan Tp di nozzle meningkat. Gambar 4.75
menunjukkan kontur perubahan temperatur yang baik. Bagian nozzle yang
mempunyai temperatur tinggi setelah keluar nozzle mengalami perubahan
temperatur yang signifikan. Perubahan temperatur yang signifikan ditandai
dengan warna yang ada. Hal tersebut juga dikarenakan kedua fluida
pencampurannya terfokus di daerah mixing chamber. Gambar 4.76 menunjukkan
peningkatan temperatur di daerah mixing chamber. Outlet temperature masih
cukup tinggi disebabkan primary temperature meningkat. Gambar 4.77
menunjukkan kontur perubahan temperatur yang kurang baik. Daerah suction
chamber mulai mengalami perubahan temperatur karena primary temperature
cukup tinggi. Gambar 4.78 menunjukkan outlet temperature masih tinggi. Outlet
temperature yang masih tinggi menyebabkan kerja steam ejector tidak maksimal.
Pada kontur daerah suction chamber mengalami perubahan ketika mengalami
peningkatan variasi primary pressure. Gambar 4.79 menunjukkan semakin luas
daerah suction chamber yang mengalami perubahan temperatur. Hal tersebut
mengindikasi fluida secondary sebelum sebelum masuk ke mixing chamber sudah
mengalami kenaikan temperatur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Gambar 4.74 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Nol.
Gambar 4.75 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.76 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.77 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.78 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 185 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Gambar 4.79 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 200 kPa.
4.4.14 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus 5
Gambar 4.81 menunjukkan kontur perubahan temperatur yang signifikan
terjadi di daerah mixing chamber. Hal tersebut dikarenakan, fluida secondary
dapat menurunkan temperatur fluida primary yang mempunyai temperatur yang
tidak terlalu tinggi. Gambar 4.82 hingga Gambar 4.85 menunjukkan kontur
perubahan temperatur yang terjadi cukup baik. Walaupun primary temperature
meningkat namun perubahan temperatur masih cukup baik. Hal tersebut
dikarenakan perubahan temperatur terfokus di daerah mixing chamber dan daerah
suction chamber tidak mengalami perubahan temperatur sehingga proses
termodinamika terfokus di mixing chamber. Pada Gambar 4.85, daerah ujung
diverging section mengalami peningkatan temperatur karena daerah tersebut
mengalami perluasan penampang yang menyebabkan tekanan meningkat.
Gambar 4.80 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5.
Gambar 4.81 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 140 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Gambar 4.82 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.83 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.84 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.85 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kPa.
4.4.15 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus 10
Pada Gambar 4.87 hingga 4.91 menunjukkan peningkatan tekanan primary
menyebabkan perubahan temperatur fluida di dalam steam ejector. Pada NXP
Plus 10, primary temperature tidak mempengaruhi secondary temperatur di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
daerah suction chamber. Pada semua kontur menunjukkan perubahan temperatur
terfokus di daerah mixing chamber. Gambar 4.87 menunjukkan penurunan
temperatur primary yang signifikan. Pada Gambar 4.88 menunjukkan peningkatan
temperatur primary menyebabkan temperatur outlet ejector lebih tinggi
dibandingkan kontur pada Gambar 4.87. Gambar 4.89 menunjukkan daerah
mixing chamber mengalami sedikit peningkatan temperatur tetapi, pada daerah
outlet ejector memiliki temperatur yang sama dengan Gambar 4.88. Gambar 4.90
menunjukkan temperatur di daerah mixing chamber hingga outlet ejector
meningkat karena peningkatan Primary pressure. Gambar 4.91 menunjukkan
meningkatnya primary pressure menyebabkan temperatur di daerah converging
section masih cukup tinggi.
Gambar 4.86 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10.
Gambar 4.87 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.88 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 155 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Gambar 4.89 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.90 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.91 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 200 kPa.
4.4.16 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus 10
Pada Gambar 4.93 hingga Gambar 4.97, variasi primary pressure
menyebabkan distribusi temperatur yang terjadi di dalam steam ejector bervariasi.
Gambar 4.93 menunjukkan kontur perubahan temperatur yang baik tetapi, daerah
suction chamber sudah mengalami perubahan temperatur. Gambar 4.94
menunjukkan daerah mixing chamber mengalami kenaikan temperatur. Hal
tersebut dikarenakan, primary pressure tinggi menyebabkan primary temperatur
meningkat. Gambar 4.95 menunjukkan kenaikan temperatur pada mixing chamber
dan menyebabkan temperatur outlet ejector masih mempunyai temperatur yang
cukup tinggi. Gambar 4.96 dan Gambar 4.97 menunjukkan kenaikan primary
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
pressure menyebabkan daerah suction chamber mempunyai perubahan
temperatur.
Gambar 4.92 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10.
Gambar 4.93 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.94 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.95 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 170 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Gambar 4.96 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.97 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 200 kPa.
4.4.17 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus 5
Gambar 4.99 menunjukkan perubahan temperatur yang signifikan terjadi
di mixing chamber. Hal tersebut menunjukkan terjadi perubahan temperatur antara
primary fluid dengan secondary fluid di mixing chamber. Outlet temperature
mengalami peningkatan karena terjadi peluasan penampang pada diverging
section. Gambar 4.100 menunjukkan perubahan temperatur di daerah mixing
chamber lebih tinggi daripada Gambar 4.99. Hal tersebut dikarenakan
peningkatan primary pressure yang menyebabkan primary temperature
meningkat. Gambar 4.100 menunjukkan di suction chamber mengalami
perubahan kontur temperatur. Gambar 4.101 menunjukkan kontur temperatur
yang keluar nozzle tidak mengalami perubahan temperatur yang signifikan. Hal
tersebut dikarenakan temperatur di nozzle tinggi. Gambar 4.102 dan Gambar
4.103 menunjukkan daerah suction chamber mengalami perubahan kontur
tekanan, sehingga di mixing chamber tidak mengalami perubahan temperatur yang
signifikan. Peningkatan primary pressure menyebabkan perluasan kontur
temperatur di daerah suction chamber.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Gambar 4.98 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5.
Gambar 4.99 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.100 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
5 di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.101 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
5 di primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.102 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
5 di primary pressure 185 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Gambar 4.103 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
5 di primary pressure 200 kPa.
4.4.18 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Nol
Gambar 4.104 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Nol.
Gambar 4.105 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.106 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 155 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Gambar 4.107 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.108 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.109 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 200 kPa.
Gambar 4.105 dan Gambar 4.106 menunjukkan peningkatan primary pressure
menyebabkan perbedaan perubahan kontur temperatur di dalam steam ejector.
Gambar 4.105 terjadi penurunan tekanan di daerah mixing chamber. Pada Gambar
4.106 terjadi perubahan kontur temperatur yang lebih luas. Pada Gambar 4.107
hingga Gambar 4.109 menunjukkan di daerah suction chamber mengalami
perubahan kontur temperatur. Hal tersebut dikarenakan, peningkatan primary
pressure menyebabkan peningkatan primary temperature. Ketika di suction
chamber mengalami perubahan kontur temperatur menyebabkan outlet
temperature meningkat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
4.4.19 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus 5
Gambar 4.110 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5.
Gambar 4.111 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.112 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.113 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 170 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Gambar 4.114 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.115 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 200 kPa.
Pada Gambar 4.111 dan Gambar 4.112 menunjukkan perubahan kontur
temperatur hanya terjadi di daerah mixing chamber. Pada Gambar 4.113 hingga
Gambar 4.115 menunjukkan daerah suction chamber mengalami perubahan
kontur temperatur karena peningkatan primary pressure menyebabkan primary
temperatur meningkat. Daerah suction chamber yang mengalami perubahan
kontur temperatur dapat mengurangi performa dari steam ejector. Peningkatan
primary pressure menyebabkan outlet temperatur meningkat.
4.4.20 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus 10
Gambar 4.117 hingga Gambar 4.119 menunjukkan perubahan kontur
temperatur terfokus di mixing chamber. Gambar 4.117 menunjukkan primary
temperatur menurun signifikan di mixing chamber. Penurunan signifikan
dikarenakan terjadi proses perpindahan panas yang baik dari temperatur primary
fluid ke temperatur secondary fluid. Perpindahan panas di mixing chamber
mengakibatkan outlet temperature rendah. Gambar 4.118 menunjukkan perbedaan
kontur temperatur yang terjadi di daerah mixing chamber. Gambar 4.119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
menunjukkan temperatur nozzle mempunyai nilai yang sama hingga daerah outlet
ejector. Gambar 4.20 menunjukkan penurunan kontur temperatur yang tidak
signifikan terjadi di mixing chamber. Gambar 4.121 primary pressure meningkat
menyebabkan perluasan perubahan kontur temperatur yang terjadi di suction
chamber. Gambar 4.119 hingga Gambar 4.121 menunjukkan temperatur nozzle
mempunyai nilai yang sama dengan outlet ejector.
Gambar 4.116 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10.
Gambar 4.117 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.118 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.119 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 170 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Gambar 4.120 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.121 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 200 kPa.
4.4.21 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus 10
Peningkatan primary pressure mempengaruhi primary velocity yang
terjadi di dalam steam ejector. Pada Gambar 4.123, diverging nozzle mempunyai
kecepatan yang lebih tinggi daripada daerah steam ejector lain. Di daerah throttle
yang mempunyai penampang kecil menyebabkan kecepatan fluida meningkat.
Daerah throttle untuk Gambar 4.123 mempunyai kecepatan cukup rendah
dikarenakan primary pressure rendah. Fluida primary di converging nozzle yang
mempunyai tekanan tinggi. Diverging nozzle yang mempunyai penampang kecil
menyebabkan kecepatan fluida meningkat. Setelah fluida primary melewati
diverging nozzle, maka terjadi shock yang menyebabkan kecepatan fluida
menurun. Shock terjadi karena diverging nozzle yang mempunyai tekanan tinggi
berinteraksi dengan daerah suction chamber yang mempunyai tekanan lebih
rendah. Primary fluid terhisap ke daerah yang mempunyai tekanan lebih kecil.
Pada Gambar 4.124, di throttle belum mengalami peningkatan kecepatan seperti
terlihat pada Gambar 4.125 hingga Gambar 4.127. Pada Gambar 4.125 hingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Gambar 4.127 dapat dibandingkan peningkatan primary pressure menyebabkan
daerah nozzle dan throttle mempunyai peluasan kontur kecepatan yang signifikan.
Gambar 4.122 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10.
Gambar 4.123 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.124 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.125 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 170 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
Gambar 4.126 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.127 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 200 kPa.
4.4.22 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus 5
Kontur kecepatan pada Gambar 4.133 menunjukkan kecepatan di dalam
ejector yang mempunyai penampang lebih besar memiliki kecepatan fluida yang
rendah. Kecepatan di throttle meningkat yang ditandai dengan perubahan kontur
kecepatan. Perubahan kontur kecepatan tersebut dapat dilihat di Gambar 4.131
hingga Gambar 4.133. Pada Gambar 4.131 dan Gambar 4.132, peningkatan
primary pressure mempengaruhi luas kontur kecepatan dan perubahan warna
kontur di dalam nozzle. Gambar 4.132 kontur di nozzle mengindikasi kecepatan
yang lebih tinggi dibandingkan Gambar 4.131. Gambar 4.133 peningkatan
primary pressure menyebabkan perluasan kontur kecepatan di nozzle maupun
throttle.
Gambar 4.128 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Gambar 4.129 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.130 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.131 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.132 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 185 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
Gambar 4.133 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 200 kPa.
4.4.23 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Nol
Gambar 4.134 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0.
Gambar 4.135 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.136 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 155 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
Gambar 4.137 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.138 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.139 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 200 kPa.
Peningkatan primary pressure mempengaruhi kontur kecepatan fluida di
dalam steam ejector. Gambar 4.135 menunjukkan kontur kecepatan terendah yang
berada di dalam nozzle. Pada Gambar 4.135 menunjukkan di mixing chamber
terjadi mengalami penurunan kontur kecepatan karena primary pressure yang
rendah. Daerah throttle karena ada penyempitan penampang menunjukkan kontur
kecepatan meningkat. Gambar 4.136 menunjukkan peningkatan primary pressure
menyebabkan kontur kecepatan di dalam nozzle lebih tinggi daripada Gambar
4.135. Pada Gambar 4.137 hingga Gambar 4.139, di throttle mulai mengalami
peningkatan kecepatan. Selain itu, pada peningkatan primary pressure di daerah
nozzle mengalami perluasan kontur kecepatan tinggi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
4.4.24 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus 5
Gambar 4.140 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5.
Gambar 4.141 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di
primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.142 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.143 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 170 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Gambar 4.144 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.145 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 200 kPa.
Gambar 4.141 menunjukkan daerah nozzle mempunyai kecepatan yang
rendah daripada variasi primary pressure yang lain. Gambar 4.141 menunjukkan
daerah mixing chamber mengalami penurunan kontur kecepatan karena primary
pressure yang rendah. Pada Gambar 4.142, kontur kecepatan di dalam nozzle
mengalami peningkatan dan di daerah mixing chamber tidak mengalami
penurunan kecepatan yang signifikan. Gambar 4.143 menunjukkan di daerah
throttle mengalami peningkatan kecepatan. Pada Gambar 4.144 dan Gambar
4.145, di nozzle maupun di throttle mengalami peningkatan kontur kecepatan
karena peningkatan primary pressure.
4.4.25 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus 10
Gambar 4.146 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Gambar 4.147 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.148 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.149 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.150 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 185 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Gambar 4.151 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 200 kPa.
Gambar 4.147 menunjukkan perubahan kontur yang terjadi di mixing
chamber. Pada Gambar 4.147 hingga Gambar 4.151 menunjukkan peningkatan
primary pressure menyebabkan perubahan kontur di daerah nozzle dan throttle.
Di throttle terjadi perubahan kontur kecepatan pada fluida yang berdekatan
dengan dinding. Hal tersebut dikarenakan, tekanan outlet ejector yang cukup
tinggi mengakibatkan tekanan di tengah ejector tinggi. Tekanan di tengah ejector
tinggi menyebabkan kecepatan juga tinggi.
4.4.26 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus 10
Gambar 4.152 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10.
Gambar 4.153 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 140 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Gambar 4.154 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.155 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.156 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.157 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus
10 di primary pressure 200 kPa.
Gambar 4.153 menunjukkan kecepatan di daerah diverging nozzle lebih
tinggi daripada model CNSE. Walaupun daerah diverging nozzle memiliki
kecepatan yang tinggi tetapi, daerah mixing chamber mengalami penurun
kecepatan yang signifikan. Pada Gambar 4.153, daerah throttle tidak mengalami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124124
perubahan kontur kecepatan. Gambar 4.154 menunjukkan perubahan kontur
kecepatan di mixing chamber. Gambar 4.154 menunjukkan di diverging nozzle
mengalami peningkatan kontur kecepatan lebih tinggi. Gambar 4.155
menunjukkan perluasan kontur kecepatan tinggi pada diverging nozzle maupun
throttle. Gambar 4.156 dan Gambar 4.157 menunjukkan perluasan kontur
kecepatan pada daerah throttle karena peningkatan primary pressure.
4.4.27 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus 5
Gambar 4.158 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5.
Gambar 4.159 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.160 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 155 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Gambar 4.161 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.162 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.163 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5
di primary pressure 200 kPa.
Pada Gambar 4.159, mixing chamber mengalami perubahan kecepatan
yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan Primary pressure yang rendah
menghasilkan kecepatan yang rendah. Walaupun di diverging nozzle mempunyai
kecepatan tinggi ketika berinteraksi dengan fluida secondary di mixing chamber
mengalami penurunan kecepatan. Gambar 4.160 peningkatan Primary pressure
menyebabkan luas kontur kecepatan di diverging nozzle meningkat dan perubahan
kontur kecepatan mulai terjadi di daerah throttle. Pada Gambar 4.161 hingga
Gambar 4.163 menunjukkan peningkatan primary pressure menyebabkan
kecepatan di diverging nozzle meningkat dan perluasan kontur kecepatan di
daerah throttle
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126126
4.4.28 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Nol
Gambar 4.164 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0.
Gambar 4.165 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.166 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.167 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 170 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
Gambar 4.168 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.169 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di
primary pressure 200 kPa.
Gambar 4.165 menunjukkan kontur kecepatan di dalam nozzle lebih
rendah daripada Gambar 4.166 hingga Gambar 4.169. Peningkatan primary
pressure menyebabkan kontur kecepatan di diverging nozzle meningkat. Gambar
4.166 menunjukkan perubahan kontur kecepatan meningkat di daerah throttle.
Gambar 4.167 hingga Gambar 4.169 menunjukkan peningkatan primary pressure
menyebabkan perubahan kontur kecepatan di diverging nozzle dan di daerah
throttle.
4.4.29 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus 5
Gambar 4.170 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128128
Gambar 4.171 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.172 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.173 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 170 kPa.
Gambar 4.174 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 185 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
Gambar 4.175 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5
di primary pressure 200 kPa.
Gambar 4.171 menunjukkan perubahan kontur kecepatan yang dihasilkan
rendah. Gambar 4.172 menunjukkan peningkatan kontur kecepatan di diverging
nozzle karena peningkatan primary pressure. Gambar 4.173 menunjukkan
perluasan kontur kecepatan di dalam nozzle serta di daerah throttle mulai
mengalami perubahan kontur kecepatan. Gambar 4.174 dan Gambar 4.175
menunjukkan perubahan kontur kecepatan di throttle semakin luas. Hal tersebut
menunjukkan pengaruh yang signifikan yang diberikan variasi primary pressure.
primary pressure yang diberikan ke sistem mempengaruhi performa dari steam
ejector.
4.4.30 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure
Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus 10
Gambar 4.177 menunjukkan pengaruh primary pressure terhadap kontur
kecepatan di diverging nozzle yang rendah. Gambar 4.177 menunjukkan tidak
terjadi penurunan kontur kecepatan di mixing chamber. Hal tersebut menunjukkan
nozzle yang digeser ke mixing chamber dapat mengurangi penurunan kecepatan di
mixing chamber. Pada Gambar 4.178, peningkatan primary pressure
menyebabkan kontur kecepatan di nozzle meningkat. Gambar 4.179 hingga
Gambar 4.181 menunjukkan peningkatan primary pressure menyebabkan kontur
kecepatan di nozzle dan throttle meningkat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130130
Gambar 4.176 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10.
Gambar 4.177 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 140 kPa.
Gambar 4.178 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 155 kPa.
Gambar 4.179 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 170 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
Gambar 4.180 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 185 kPa.
Gambar 4.181 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10
di primary pressure 200 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5.1 Kesimpulan
BAB V
PENUTUP
Pada penelitian ini telah dilakukan simulasi dalam steam ejector sehingga
didapatkan adanya pengaruh variasi primary pressure, variasi Nozzle Exit Position
(NXP) dan model nozzle terhadap performa steam ejector. Dari pengaruh tersebut,
maka dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya:
1. Pada model nozzle CNSE maupun SNSE, peningkatan primary
pressure menyebabkan menurunnya nilai entrainment ratio pada
semua variasi Nozzle Exit Position (NXP). Nilai optimum entrainment
ratio pada model CNSE untuk NXP Minus 10 yaitu 0,96, NXP Minus
5 yaitu 0,70, NXP 0 yaitu 0,71, NXP Plus 5 yaitu 0,83 dan NXP Plus
10 yaitu 0,84. Sedangkan pada model SNSE untuk NXP Minus 10
yaitu 0,32, NXP Minus 5 yaitu 0,44, NXP 0 yaitu 0,56, NXP Plus 5
yaitu 0,62 dan NXP Plus 10 yaitu 0,69.
2. Pada model Circle Nozzle Steam Ejector maupun Square Nozzle Steam
Ejector (SNSE), performa paling tinggi didapatkan ketika nozzle
digeser ke daerah mixing chamber atau pada NXP Plus 5 dan NXP
Plus 10. Hal tersebut dikarenakan proses termodinamika terfokus di
daerah mixing chamber. Pada primary pressure 140 kPa untuk model
nozzle CNSE, NXP Plus 10 mempunyai nilai entrainment ratio sebesar
1,19 sedangkan NXP Minus 10 mempunyai nilai entrainment ratio
hanya sebesar 0,96.
3. Pada variasi model nozzle, Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE)
mempunyai performa lebih tinggi daripada Square Nozzle Steam
Ejector (SNSE) pada seluruh variasi NXP. Hal tersebut disebabkan
oleh rugi-rugi tekanan pada model SNSE lebih tinggi daripada model
CNSE.
132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
5.2 Saran
Penelitian yang telah dilakukan masih banyak kekurangan yang harus
diperbaiki. Beberapa saran untuk penelitan berikutnya, yaitu:
1. Geometri nozzle pada daerah throttle nozzle perlu diberi diameter yang
lebih kecil untuk mendapatkan kecepatan yang keluar nozzle lebih
tinggi dan menghasilkan tekanan yang kecil supaya secondary fluid
dapat terhisap dan meningkatkan mass flow rate secondary.
2. Pilihlah geometri yang cocok untuk fluida kerja yang akan dikerjakan.
Meningkatkan baca referensi jurnal supaya menambah pengetahuan
lebih mendalam tentang ejector.
3. Perbanyak baca referensi jurnal pada simulasi multi phase yang lebih
rumit dari pada single phase.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
DAFTAR PUSTAKA
ANSYS Inc., 2013, “ANSYS Fluent Theory Guide”, United States of America,
ANSYS Inc.
Aphornratana S., Eames I.W., 1997, “A small capacity steam-ejector refrigerator:
experimental investigation of a system using ejector with movable primary
nozzle”, Int.J. Refrigeration 20, No. 5, pp 352-358.
Bartosiewicz Y., Aidoun Z., Desevaux P., Mercadier Y., 2005, “Numerical and
experimental investigations on supersonik ejector”, International Journal
of Fluid Flow, 26, 56-70.
Beithou N., Aybar H.S., 2000, “A matematika model for steam-driven jet pump”,
Int.J. of Multiphase flow, 26, 1609-1619.
Chen J., Jarall S., Havtun H., Palm. Bjorn., 2015, “A review on versatile ejector
applications in refrigerator systems”, Renewable and Sustainable Energy
Reviews, 49, 67-90.
Chunnanond K., Aphornratana S., 2004, “Ejector: applications in refrigeration
Technology”, Renewable and Sustainable Energy reviews, 8, 129-155.
Compendium of The National Energy Management of Indonesia, 2012, The
National Energy Council
Dumaz P., Geffraye G., Kalitvianski, Verlo E., Valisi M., Meloni P., Achilli A.,
Schilling R., Malacka M., Trela M., 2005, “The DEEPSSI Prospect,
design, testing and modeling of steam ejector”, Nuclear Engineering and
Design, 235, 233-251.
Fahris M., 2010, “Analisa pengaruh variasi panjang throat section terhadap
entrainment ratio pada steam ejector dengan menggunakan CFD”,
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi, A-6.
Ferzinger J.H., Peric M., 2002, “Computational Methods for Fluid Dynamics”,
3rd edition, Germany, Springer.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
Fox W.Robert., McDonald T. Alan and Pritchard J. Philip., 2011,
“Introduction to Fluid Mechanics,” 8th edition, John Willey & Sons Inc,
pp 5.
Garcia del Valle J., Sierra-Pallares J., Garcia Carrascal P., Castro Ruiz F., 2015,
“An eksperimental da computational study of The flow pattern Ni a
refrigerant ejector. Validation of turbulence model and real-gas effect”,
Applied Thermal Engineering, 89, 795-811.
Henzler 1983, geometri dari mixing chamber mempengaruhi performa
http://www.equirepsa.com/en/products/ejectors/ejector-thermocompressor/
diakses pada 09-04-2016 12:40 WIB.
http://globaldensoproducts.com/wp-content/uploads/ejector_cycle/ diakses pada
09-04-2016 13:40 WIB.
http://www.shailvac.com/vacuum_systems_photo_gallery/ diakses pada 09-04-
2016 13:50 WIB.
https://en.wikipedia.org/wiki/Enhanced_oil_recovery/ diakses pada 09-04-2016
14:40 WIB.
http://www.openpr.com/news/316037/Taking-Account-of-the-Trend-towards-
Individual-Vacuum-Solutions/ diakses pada 09-04-2016 15:30 WIB.
http://www.esdm.go.id/berita/37-umum. diakses pada 09-02-2016 15:25 WIB.
http://www.indoenergi.com/2012/04/pengertian-efisiensi-energi.html diakses pada
09-02-2016 15;17 WIB.
https://confluence.cornell.edu/download/attachments/90736159/intro.pdf?version
=1&modificationDate=1222889778000 diakses pada 09-05-2016 18:10
WIB.
Holman, J.P., 1988, Perpindahan Kalor, Edisi Keenam, Erlangga, Jakarta, p33-
193
Huang B.J., Hu S.S., Lee S.H., 2006, “Development of na ejector cooling system
with termal pumping effect”, Int.J. of Refrigeration 29, 476-484.
Jiyuan Tu dkk, ”Computational Fluid Dynamics Apractical Approach”, 2008
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
Lin C., Cai W., Li Y., Yan J., Hu Y., 2012, “Pressure recovery ratio Ni a variabel
cooling loads ejector-based Multi-evaporator refrigerator system”, Energy,
44, 649-656.
Li C., Li Y.Z., 2011, “Investigation of entrainment behavior and characteristics of
gas-liquid ejectors based on CFD simulation”, Chemical Engineering
Science, 66, 405-416.
Mazelli F., Little A.B., Garimella S., Bartosiewicz Y., 2015, “Computational and
experimental analysis of supersonic air ejector: Turbulence modeling and
assessment of 3D effects”, Int.J. of Heat and Fluid Flow 56, 305-316.
Nguyen V.M., Riffat S.B., Doherty P.S., 2001, “Development of a solar-power
passive ejector cooling system”, Applied Thermal Eng. 21, 157-168.
Pollerberg C., Ali A.H.H., Dotch C., 2008, “Experimental study on The
performance of a solar Drive steam ejector chiller”, Energy Conversion
and Management, 49, 3318-3325.
Purnomo, H., 2014, Ketahanan Energi Indonesia 2014, Dewan Energi Nasional,
Jakarta.
Rusly E., Aye L., Charters W.W.S., Ooi A., 2005, “CFD analysis of ejector in a
combined ejector cooling system”, Int.J. of Refrigeration 28, 1092-1101.
Shah A., Chughtai I.R., Inayat M.H., 2011, “Experimental and numerical analysis
of steam jet pump”, International Journal of Multiphase Flow, 37, 1305-
1324.
Subramanian, G., Natarajan, A., Natarajan, S.K., Adhimoulame, K., 2014,
“Comparison of numerical and experimental investigations of jet ejector
with blower”, International Jounal of Thermal Sciences, 84, 134-142.
Subri M., Utomo T.S, Fajar TK.B., 2013, “Kaji eksperimental pengaruh bentuk
geometri sudut converging duct dan panjang constant-area section pada
performa sistem refrigerasi steam ejectro”, Prosiding SNST ke-4, c.10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
Tuakia F., 2008, “Dasar-dasar menggunakan CFD FLuent”, Informatika,
Bandung, Pp 146
Varga S., Olivera A.C, Diaconu B., 2009, “Numerical assessment of steam ejector
efficiencies pusing CFD”, Int.J. of Refrigeration, 32, 1203-1211.
Versteeg, H.K., and Malalasakera, W., 1995, “An Introduction do Computational
Fluid Dynamic”, Longman Scientific & Technical, England, 11-25.
White F. M., 2011, “Fluid Mechanics”, 4th edition, New York, United States of
America, McGraw-Hill.
Yan J., Shao S., Liu J., Zhang Z., 2005, “Experimental and analysis on
performance of steam-driven jet injektor for district-heating system”,
Applied Thermal Engineering 25, 1153-1167.
Yadav R.L., Patwardhan A.W., 2008, “Design aspect of ejector: Effects of suction
chamber geometry”, Chemical Engineering Science, 63, 3886-3897.
Yang X., Long X., Yao X., 2012, “Numerical investigation on The mixing
process in a steam ejector with different nozzle structures”, International
Journal of Thermal Sciences, 56, 95-106.
Zhu Y., Cai W., Wen C., Li Y., 2009, “Numerical investigation of geometry
parameter for design of high performance ejectors”, Applied Thermal
Engineering 29, 898-905.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI