Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Literature Review
ETCHING DAN BONDING
Penulis :
drg. I Gst Ayu Fienna Novianthi Sidiartha, Sp.KG
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI DAN
PROFESI DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
k a r e n a atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan kajian pustaka
ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan masukan dari
berbagai pihak pada penyusunan kajian pustaka ini, sangatlah sulit untuk
dirampungkan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu pembuatan kajian pustaka ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dari kajian
pustaka ini, maka dari itu penulis memohon maaf apabila ada kesalahan maupun
kekurangan dari penulisan kajian pustaka ini. Semoga kajian pustaka ini dapat
memberikaan manfaat bagi setiap orang yang membacanya.
Denpasar, 30 Maret 2019
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul .............................................................................................. i
Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................... iii
Daftar Gambar .................................................................................................. iv
BAB I Pendahuluan ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 3
1.3 Tujuan ................................................................................................. 3
1.4 Manfaat ............................................................................................... 3
BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................. 4
2.1 Etching dan Bonding ........................................................................... 4
2.2 Perkembangan Etching dan Bonding .................................................. 11
2.3 Sistem Adhesif Etching dan Bonding ................................................. 18
BAB III Kesimpulan dan Saran ....................................................................... 29
3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 29
3.2 Saran ................................................................................................... 29
Daftar Pustaka .................................................................................................. 31
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. ......................................................................................................... 13
Gambar 2. ........................................................................................................ 14
Gambar 3. ........................................................................................................ 16
Gambar 4. ........................................................................................................ 26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pengembangan dan penggunaan bahan perekat secara teratur telah mulai
merevolusi banyak aspek kedokteran gigi restoratif dan preventif. Perlakuan
terhadap preparasi kavitas telah berubah karena dengan bahan perekat, tidak perlu
lagi mempersiapkan kavitas untuk menyediakan retensi mekanis seperti dovetails,
grooves, undercuts, dan sudut internal yang tajam untuk mempertahankan bahan
tumpatan. Pada saat ini, salah satu bahan tumpatan yang paling sering digunakan
adalah resin komposit karena memiliki estetika yang bagus dan kekuatan mekanis
dan fisik yang adekuat. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari
suatu tumpatan berbahan resin adalah bonding agents. Bonding agent merupakan
bahan yang digunakan untuk melekatkan bahan restorasi pada permukaan enamel
dan dentin, sehingga restorasi tersebut memiliki retensi terhadap permukaan gigi.
Bonding agent memiliki 3 komponen, yaitu etsa, primer, dan adhesive.
Pada tahun 1955, Buonocore memperkenalkan apa yang disebut teknik acid-
etch, yang memungkinkan pengikatan komposit resin ke permukaan enamel. Saat
ini, sebagian besar etsa yang tersedia secara komersial mengandung 30% hingga
40% asam fosfat, yang memberikan permukaan enamel retensi yang baik. Etsa
merupakan bahan kimia yang bersifat asam yang berfungsi untuk menghilangkan
permukaan mineral gigi dan membentuk mikroporus yang membuat permukaan
enamel menjadi kasar sehingga resin komposit dapat berpenetrasi kedalam
permukaan gigi dan membentuk resin tag. Etsa membentuk resin tag dari proses
demineralisasi ion kalsium pada permukaan superfisial enamel, sehingga membuat
permukaan menjadi lebih reaktif terhadap bahan resin.
Primer pada bonding agent mengandung bahan monomer yang dilarutkan dalam
air, alkohol dan aseton yang memiliki komponen hidrofobik (gugus metakrilat) dan
hidrofilik (gugus hydroxyl atau carboxyl). Primer berfungsi untuk memudahkan
perlekatan resin komposit pada permukaan gigi. Adhesive pada bonding 3 agent
memiliki komponen yang sama dengan primer, memiliki peranan penting dalam
menghasilkan ikatan antara dentin dan resin komposit. Setelah polimerisasi
bonding agent berbahan resin, ikatan pada email dicapai dengan retensi
mikromekanik. Bahan bonding umumnya resin yang tidak terisi berdasarkan
bisphenol A glycidyl dimethacrylate (BIS-GMA) dengan penambahan pengencer
(seperti triethyleneglycol dimethacrylate). Terlepas dari keberadaan dua kelompok
hidroksil, monomer BIS-GMA tidak cukup hidrofilik untuk bersaing dengan air
untuk berinteraksi dengan permukaan enamel.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apa definisi dari etching dan bonding ?
1.2.2 Bagaimana perkembangan dari etching dan bonding ?
1.2.3 Bagaimana sistem adhesive dari etching dan bonding ?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
perkembangan etching dan bonding dalam kedokteran gigi.
1.3.2 Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu:
a. Untuk mengetahui definisi dari etching dan bonding.
b. Untuk mengetahui perkembangan dari etching dan bonding.
c. Untuk mengetahui system adhesive dari etching dan bonding.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Manfaat Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai
etching dan bonding
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan bagi subjek
penelitian, pemegang kebijakan, dan bagi peneliti itu sendiri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ETCHING DAN BONDING
2.1.1 Etching
Bahan adhesif di bidang kedokteran gigi pertama kali diperkenalkan sejak
tahun 1955 oleh Michael Buonocore. Saat itu ia mengetsa permukaan enamel
menggunakan asam kemudian menempatkan bahan restorasi berbahan resin diatas
permukaan yang menjadi kasar setelah di etsa tadi. Kemudian monomer resin akan
membasahi permukaan yang telah dietsa, mengalir ke dalam pit yang terbentuk
setelah dietsa, dan menciptakan suatu retensi. Maka etsa dapat diartikan sebagai
suatu proses menggunakan larutan asam kuat untuk mengikis permukaan gigi
(Buonocore, 1955). Pada akhir 1960-an, Buonocore menyatakan bahwa etsa pada
enamel dapat menghasilkan mikroporositas yang dapat digunakan sebagai retensi
utama suatu restorasi yaitu dengan adanya pembentukan resin tags (Buonocore
dkk., 1968). Seiring berjalannya waktu, beberapa penelitian merekomendasikan
variasi durasi prosedur etsa asam dan konsentrasi asam fosfat, salah satunya adalah
konsentrasi asam fosfat 30-40 % dengan waktu etsa hingga 15 detik (Kugel dkk.,
1993).
Permukaan enamel yang telah dietsa akan menjadi kasar oleh karena
terbentuknya mikroporus sehingga energi permukaannya menjadi tinggi.
Mikroporus oleh etsa dihasilkan dari pemutusan selektif dari inti batang
enamel/enamel rod cores (etsa tipe I) atau area periferal (etsa tipe II) yang
ditunjukkan oleh resin tag. Resin tag kira-kira berdiameter 6 µm dan panjang 10
hingga 20 µm. Kedalaman mikroporus bergantung pada lamanya proses etsa dan
waktu pembilasan yang cukup untuk menghasilkan pola etsa yang memadai.
Konsentrasi etsa yang efektif untuk menghasilkan mikroporositas yang baik tanpa
menyebabkan iritasi berlebih adalah asam fosfat 37% (Anusavice, 2003).
Umumnya bahan etsa berupa gel berair untuk memungkinkan penempatan yang
tepat di atas area tertentu. Dibuat dengan menambahkan koloid silika (partikel halus
yang sama yang digunakan dalam komposit mikrofil). Brush digunakan untuk
menempatkan bahan gel asam, atau menggunakan disposable syringe lalu gel asam
dikeluarkan dan diaplikasikan ke enamel. Selama penempatan, hindari adanya
gelembung udara ketika etsa di aplikasikan pada permukaan untuk mencegah
adanya permukaan yang tidak teretsa (Anusavice, 2003).
Waktu pengaplikasian bahan etsa tergantung pada paparan permukaan gigi
sebelumnya terhadap fluoride. Sebagai contoh, gigi permanen dengan kandungan
fluoride tinggi yang berasal dari pasokan air fluoride mungkin memerlukan waktu
etsa agak lebih lama, seperti halnya gigi sulung. Contoh lainnya, peningkatan waktu
pengkondisian permukaan diperlukan untuk meningkatkan pola etsa pada enamel
gigi susu yang lebih aprismatik daripada enamel gigi permanen. Saat ini, waktu etsa
untuk sebagian besar gel etsa sekitar 15 detik. Keuntungan dari waktu etsa yang
singkat adalah menghasilkan kekuatan ikatan yang dapat diterima dalam
kebanyakan kasus, sambil membentuk mikroporus pada enamel dan mengurangi
waktu perawatan (Anusavice, 2003).
Setelah gigi teretsa, asam harus dibilas dengan air selama sekitar 20 detik,
dan enamel harus dikeringkan sepenuhnya. Ketika enamel kering, tampilannya
menjadi putih, buram, yang mengindikasikan perlakuan etsa yang tepat. Permukaan
ini harus tetap bersih dan kering sampai resin ditempatkan untuk membentuk ikatan
mekanis yang baik. Meskipun etsa enamel meningkatkan energi permukaan dari
enamel, kontaminasi dapat dengan mudah mengurangi tingkat energi permukaan
teretsa. Mengurangi energi permukaan, membuatnya lebih sulit untuk membasahi
permukaan dengan ikatan resin yang mungkin memiliki energi permukaan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan permukaan yang terkontaminasi. Bahkan kontak
sesaat dengan air liur atau darah dapat mencegah pembentukan resin tag yang
efektif dan sangat mengurangi kekuatan ikatan. Kontaminan potensial lainnya
adalah minyak yang dilepaskan dari kompresor udara. Jika kontaminasi terjadi,
kontaminan harus dihilangkan, dan enamel harus dietsa lagi selama 10 detik
(Anusavice, 2003).
Kekuatan ikatan enamel yang teretsa berkisar dari 15 hingga 25 MPa,
tergantung pada resin dan metode pengujian yang digunakan. bis-GMA / triethylene
glycol dimethacrylate (TEGDMA) resın cenderung menghasilkan nilai kekuatan
ikatan yang lebih rendah, sedangkan beberapa dari agen ikatan enamel dan dentin
yang lebih baru dapat meningkatkan kekuatan ikatan. Tekanan dalam ikatan
kekuatan ini kecil, dan karena variasi besar selama pengujian, dan tidak mungkin
signifikan secara klinis. Namun, perbedaan in vitro ini mungkin terkait dengan
kemampuan pembasahan yang lebih baik dari enamel teretsa oleh bahan baru.
Pengeringan enamel dengan udara hangat menggunakan pembilas etanol dapat
meningkatkan kekuatan ikatan, menunjukkan bahwa kelembaban mungkin masih
terperangkap dalam mikroporus bahkan ketika permukaan tampak kering.
Singkatnya, teknik asam-etsa telah menghasilkan penggunaan resin yang
sederhana, konservatif, dan efektif dalam banyak prosedur kedokteran gigi
(Anusavice, 2003).
Sistem etsa yang dilakukan pada enamel masih dianggap sebagai prosedur
yang aman dan terpercaya selama bertahun-tahun. Karena komposisi bahan
anorganik dari enamel, adanya etsa asam dapat memecah interprismatik dan
prismatik, membentuk alur-alur di mana resin dapat mengalir dan membentuk suatu
sistem mechanical interlocking setelah dilakukan polimerisasi. Demineralisasi
enamel tergantung pada rendahnya pH asam dari etsa dan lamanya waktu
pengetsaan. PH dan lamanya etsa tersebut harus tepat untuk memberikan retensi
yang cukup pada enamel tanpa adanya langkah-langkah tambahan. Etsa asam pada
enamel sangat efektif dalam membentuk mekanisme bonding mekanis. Tindakan
ini sekarang merupakan suatu prosedur yang dilakukan setiap melakukan restorasi
berbahan resin. Sehingga kebocoran mikro atau hilangnya retensi tidak lagi
merupakan masalah pada permukaan antara resin dan enamel (Kartika, 2010).
Masalah yang masih tertinggal adalah pada permukaan antara resin-dentin
dan atau sementum. Pada tahun 1963, Buonocore menyatakan bahwa terdapat
perbedaan adhesi ketika dilakukan etsa pada enamel dan dentin (Buonocore, 1963).
Beberapa penelitian awal mengenai etsa pada dentin telah dilakukan dan
mendapatkan hasil yaitu bond strengths yang rendah (McLean, 1952). Ditinjau dari
penyusunnya bahwa enamel mengandung jumlah protein lebih sedikit, sedangkan
dentin mempunyai 17% kolagen yang sukar sekali dilakukan etsa karena terletak di
sekitar kristal hidroksiapatit (Nakabayashi dkk., 1982). Tubulus dentin adalah satu-
satunya pori-pori yang tersedia untuk retensi mikromekanik. Tubulus ini berisi
cairan, yang dapat menjadi penghalang untuk retensi. Faktor-faktor seperti usia
gigi, arah tubulus dan prisma enamel, adanya sementum dan jenis dentin juga dapat
mempengaruhi perlekatan pada dentin (Cagidiaco dkk., 1996). Perlekatan pada
dentin semakin berkurang dengan adanya smear layer yaitu kotoran organik yang
berada di permukaan dentin setelah dilakukannya preparasi kavitas. Smear layer
akan menutup tubulus dentin dan bertindak sebagai "diffusion barrier". Pada
awalnya dianggap sebagai keuntungan karena hal itu dapat melindungi pulpa
dengan menurunkan permeabilitas dentin. Supaya perlekatan pada dentin membaik,
maka penghapusan lapisan smear menjadi keharusan walaupun ada beberapa hal
yang harus menjadi pertimbangan (Pashley dkk., 1981). Saat ini, produk-produk
baru mengenai adhesive pada dentin mulai berkembang pada dekade terakhir.
Mulai dari penggunaan etsa pada enamel dengan asam fosfat sampai dengan self-
etching primer namun perlekatan bahan adhesif pada enamel menjadi kurang efektif
(Jorg-Peter, 2003).
2.1.2 Bonding
Bonding merupakan sarana untuk mengikat dua bahan yang berdampingan,
misalnya, dental hard tissue, metal, composite, atau ceramic, dan memberikan
ketahanan terhadap pemisahan antar bahan tersebut. Bahan yang digunakan untuk
menyebabkan bonding disebut adhesive, sedangkan bahan dimana bonding
diaplikasikan disebut adheren (Anusavice, 2013).
Pada penggunaan resin komposit sebagai bahan restorasi, resin komposit
memiliki kekurangan yaitu dapat mengalami shrinkage. Shrinkage ini dapat
dikurangi dengan cara pemberian bonding sebelum aplikasi restorasi resin
komposit. Hal ini dikarenakan bahan bonding berguna untuk menciptakan ikatan
antara permukaan gigi dengan resin komposit (Nurhapsari, 2016).
Bonding diperlukan untuk mendapatkan suatu retensi yang kuat dan tahan
lama pada sebuah restorasi, sehingga system bonding yang ideal harus
biokompatibel, melekat dengan baik pada enamel dan dentin, memiliki kekuatan
yang cukup untuk menahan beban kunyah, memiliki sifat mekanik yang mirip
dengan struktur gigi, tahan terhadap degradasi lingkungan dan mudah diaplikasikan
(Apriyono, 2010).
1. Fungsi Bonding
Dental bonding system memiliki tiga fungsi utama yaitu: (1) menyediakan
resistensi terhadap pemisahan substrat adheren dari restorative material, (2)
mendistribusikan tekanan kunyah ke seluruh permukaan, (3) mampu menyediakan
seal untuk mencegah terjadinya microleakage, menurunkan postoperative
sensitivity, marginal staining dan karies sekunder (Anusavice, 2013).
2. Aplikasi Bonding
Aplikasi bonding dapat dilakukan pada beberapa prosedur kedokteran gigi,
diantaranya; orthodontic bracket bonding, porcelain laminate veneer bonding, pit
and fissure sealants, amalgam bonding, enamel and dentin bonding, adhesive
cements (berupa restorasi glass-ionomer dan endodontic sealer) (Anusavice, 2013).
3. Denting Bonding Agents
Dentin bonding agents diciptakan untuk menyediakan perlekatan antar
permukaan yang kuat antara restorasi komposit dan struktur gigi yang tahan
terhadap tekanan mekanikal dan shrinkage. Keberhasilan suatu adhesive
tergantung pada dua tipe bonding yaitu:
1. Micromechanical interlocking, yaitu chemical bonding dengan enamel dan
dentin, atau keduanya.
2. Copolymerization dengan matrix resin dari bahan komposit (Anusavice,
2013).
Sebelum teknik total-etch digunakan, enamel bonding agents hanya
digunakan untuk wetting dan adaptasi dari resin ke permukaan enamel yang
telah dikondisikan. Secara umum enamel bonding terbuat dari gabungan
dimethacrylate yang berbeda dari resin material komposit (contoh: bis-GMA)
dengan diluting monomer (contoh: TEGDMA). Agen ini tidak memiliki potensi
untuk adhesi, tetapi mampu meningkatkam micromechanical interlocking
dengan pembentukan resin tag yang optimal dalam enamel (Anusavice, 2013).
Beberapa tahun terakhir, agen ini digantikan oleh system yang sama yang
digunakan pada dentin. Hal ini bukan terjadi karena peningkatan substansial
dalam kekuatan ikatannya, melainkan manfaat ikatan resin secara bersamaan
baik untuk digunakan pada enamel dan dentin. Dentin bonding system meliputi;
etsa, resin monomer, pelarut, inisitaor dan inhibitor, fillers, dan kadang-kadang
bahan fungsional lainnya seperti agen antimikroba (Anusavice, 2013).
2.2 PERKEMBANGAN ETCHING DAN BONDING
Secara terminologi, adhesif adalah substansi yang menginduksi perlekatan
suatu substansi atau material dengan material lain. Sistem adhesive bonding adalah
proses menyatukan dua material dengan adhesive agent yang akan mengeras selama
proses tersebut (Anusivace, 2003). Adhesif dalam kedokteran gigi adalah solusi
monomer resin yang menginduksi interaksi substrat resin-gigi dapat diterima.
Adhesif terdiri dari monomer dengan kelompok hidrofilik dan hidrofobik. Fungsi
utamanya untuk meningkatkan pembasahan jaringan keras gigi, memungkinkan
interaksi dan co-polimerisasi dengan bahan restoratif. Adhesif pertama kali
dikenalkan pada tahun 1955 oleh Buonocore mengenai etsa asam. Dengan semakin
berkembangnya teknologi, sistem adhesif telah berevolusi dari sistem no-etch
menjadi total-etch (generasi ke-4 dan ke-5) menjadi sistem self-etch (generasi ke-
6, ke-7 dan ke-8) (Sofan dkk., 2017).
2.2.1 Generasi Pertama
Generasi pertama diperkenalkan dengan menggunakan etsa asam,
menunjukkan bahwa penggunaan glycerophosphoric acid dimethacrylate
yang mengandung bahan resin dapat melekat pada dentin melalui etsa asam.
Perlekatan ini diyakini terdapat hubungan antara molekul resin dengan ion
kalsium hidroksiapatit. Adanya air (kondisi basah) dapat mengurangi
kekuatan perlekatan. Sembilan tahun kemudian Bowen mencoba mengatasi
masalah ini menggunakan Nphenylglycine and glycidyl methacrylate
(NPG-GMA). NPG-GMA adalah molekul bifungsi atau agen ganda. Ini
berarti bahwa salah satu ujung molekul berikatan dengan dentin sedangkan
yang lainnya (berpolimerisasi) berikatan dengan resin komposit. Kekuatan
perlekatan dari sistem ini awalnya hanya 1 sampai 3 megapaskal yang
memberikan efek klinis sangat rendah (Apriyono, 2010).
2.2.2 Generasi Kedua
Merupakan pengembangan yang dilakukan pada bahan adhesif yang
berfungsi ganda untuk komposit dan mempunyai daya lekat ke dentin lebih
baik. Sistem generasi kedua ini diperkenalkan pada akhir 1970-an.
Perlekatan terjadi melalui terbentuknya ikatan ionic dengan kalsium melalui
kelompok-kelompok chlorophosphate. Generasi kedua ini memiliki
perlekatan yang lemah (dibandingkan dengan sistem generasi kelima-
keenam) tetapi memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan sistem generasi
pertama.
Sebagai pengembangan bahan bonding sebelumnya, maka di
generasi kedua ini penghapusan smear layer menjadi keharusan walaupun
ada beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan. Salah satu perhatian
utama dari sistem ini adalah bahwa ikatan fosfat dengan kalsium pada dentin
tidak cukup kuat untuk menahan hidrolisis yang dihasilkan dari pembilasan
oleh air. Proses hidrolisis ini dapat menurunkan perlekatan resin komposit
dengan dentin dan menyebabkan microleakage. Karena sistem ini awalnya
tidak melibatkan dentin melalui pengetsaan, maka sebagian besar bahan
adhesif melekat pada smear layer. Beberapa produk dari system generasi
kedua ini dianggap dapat melunakkan smear layer sehingga mampu
meningkatkan penetrasi resin. Namun, faktanya sistem ini menghasilkan
kekuatan ikatan yang lemah dengan dentin (Apriyono, 2010).
2.2.3 Generasi Ketiga
Sistem generasi ketiga mulai dikenalkan sekitar tahun 1980-an yaitu
penggunaan etsa asam pada dentin dan bahan primer yang didesain untuk
penetrasi ke tubulus dentin sebagai metode untuk meningkatkan kekuatan
perlekatan. Sistem ini meningkatkan kekuatan perlekatan ke dentin sebesar
12MPa-15MPa dan mengurangi terjadinya microleakage. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa retensi perekat dengan bahan-bahan ini
mulai menurun setelah 3 tahun. Untuk mengurangi adanya sensitivitas
setelah penumpatan pada gigi posterior, beberapa dokter gigi
mengaplikasikan basis sebelum dilakukan penumpatan komposit
(Apriyono, 2010).
Gambar 1. Keadaan serat kolagen setelah etsa dentin (scanning elektron
mikroskop X5000; dicetak ulang dengan izin dari PN Mason) (Apriyono, 2010).
Gambar 2. Hybrid layer yang terbentuk (pemindaian mikroskop elektron x 1.550)
(Apriyono, 2010).
2.2.4 Generasi Keempat
Penghilangan secara keseluruhan smear layer dicapai dengan sistem
bonding generasi keempat. Untuk menghasilkan ikatan pada email dan
dentin, Fusayama dkk melakukan etsa dengan asam fosfat 40%. Sayangnya
prosedur ini menyebabkan kerusakan serat kolagen karena proses etsa yang
tak terkontrol pada dentin. Pada tahun 1982, Nakabayashi dkk melaporkan
pembentukan hybrid layer yang dihasilkan dari polimerisasi metakrilat dan
dentin. Hybrid layer didefinisikan sebagai struktur yang terbentuk dalam
jaringan keras gigi (enamel, dentin, sementum) oleh demineralisasi
permukaan yang diikuti oleh infiltrasi dari monomer dan kemudian
mengalami polimerisasi. Penggunaan teknik total etsa adalah salah satu ciri
utama dari system bonding generasi keempat. Teknik total etsa
membolehkan etsa enamel dan dentin secara simultan dengan menggunakan
asam fosfat selama 15 sampai 20 detik. Permukaan harus dibiarkan lembap
("ikatan basah"), untuk menghindari kerusakan kolagen (Gambar 1),
penerapan bahan primer hidrofilik dapat masuk ke jaringan kolagen yang
terbuka membentuk hybrid layer. Sayangnya, "dentin lembap" tidak mudah
didefinisikan secara klinis dan dapat mengakibatkan ikatan yang kurang
ideal jika dentin tersebut kondisinya terlalu basah atau kering (Apriyono,
2010).
2.2.5 Generasi Kelima
Mulai dikenalkan pada pertengahan tahun 1990-an. Sistem bonding
ini bertujuan untuk menyederhanakan prosedur klinis dengan mengurangi
langkah aplikasi bonding dan mempersingkat waktu kerja. Generasi kelima
ini dikembangkan untuk membuat penggunaan bahan bonding lebih dapat
diandalkan bagi para praktisi. Generasi kelima disebut one-bottle yang
merupakan kombinasi antara bahan primer dan bahan adhesif dalam satu
cairan untuk diaplikasikan setelah etsa enamel dan dentin secara bersama-
sama (the total-etch wet-bonding technique) dengan 35-37% asam fosfat
selama 15 sampai 20 detik. Sistem ini menghasilkan mechanical
interlocking melalui etsa dentin, terbentuknya resin tags, percabangan
bahan adhesif dan pembentukan hybrid layer serta menunjukkan kekuatan
perlekatan yang baik pada email dan dentin (Apriyono, 2010).
2.2.6 Generasi Keenam
Mulai dikenalkan pada akhir tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-
an. Watanabe dan Nakabayashi mengembangkan self-etching primer yang
merupakan larutan 20% phenyl-P dalam 30% HEMA untuk bonding email
dan dentin secara bersama-sama. Kombinasi antara etsa dan bahan primer
merupakan suatu langkah yang dapat mempersingkat waktu kerja,
meniadakan proses pembilasan etsa dengan air dan juga mengurangi risiko
kerusakan kolagen. Namun, self-etching primer juga memiliki beberapa
kelemahan. Sebagai contoh, penyimpanan larutan harus diperhatikan
supaya formulasi cairan tidak mudah rusak, dan seringkali menyisakan
smear layer diantara bahan adhesif dan dentin. Efektivitas self-etching
primer pada permukaan email ternyata kurang kuat hasilnya bila
dibandingkan etsa dengan asam fosfat (Gambar 3). Toida menyarankan
bahwa penghilangan smear layer dengan langkah etsa terpisah sebelum
aplikasi bonding akan menghasilkan perlekatan dengan dentin yang kuat
dan tahan lama. Generasi keenam ini mempunyai kekuatan bonding yang
lemah bila dibandingkan dengan generasi kelima atau keempat (Apriyono,
2010).
Gambar 3. Permukaan email setelah dietsa dengan self-etching primer, perlekatan
permukaan email kurang kuat bila dibandingkan etsa dengan asam fosfat
(scanning electron microscopy x 1.500) (Apriyono, 2010).
2.2.7 Generasi Ketujuh
Sistem Bonding Generasi ketujuh merupakan bahan adhesif “all in
one” yaitu kombinasi antara bahan etsa, bahan primer, dan bonding dalam
satu larutan. Mulai dikenalkan pada akhir tahun 2002-an. Hasil penelitian di
laboratorium menunjukkan hasil bahwa generasi ini memiliki kekuatan
perlekatan dan penutupan daerah margin sama dengan sistem generasi
keenam (Apriyono, 2010).
2.2.8 Generasi Kedelapan
Pada tahun 2010, voco Amerika memperkenalkan voco futurabond
DC sebagai agen bonding generasi ke-8, yang mengandung pengisi nano.
Dalam agen baru, penambahan nano-filler dengan ukuran partikel rata-rata
12 nm meningkatkan penetrasi monomer resin dan ketebalan lapisan
hibrida, sehingga meningkatkan sifat mekanik dari sistem adhesif. Agen
nano-bonding adalah solusi nano-fillers, yang menghasilkan kekuatan
ikatan enamel dan dentin yang lebih baik, penstabilisasi tekanan dan
bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama. Telah diamati bahwa agen
bonding dengan filler menghasilkan kekuatan ikatan in vitro yang lebih
tinggi. Agen baru dari generasi self-etch ini memiliki monomer hidrofilik
asam dan dapat dengan mudah digunakan pada enamel yang telah dietsa
walau dengan kontaminasi kelembapan. Berdasarkan pembuatannya,
partikel nano yang bertindak sebagai crosslink, akan mengurangi perubahan
dimensi. Jenis nano-filler dan metode penggabungan partikel-partikel ini
memengaruhi viskositas adhesif dan kemampuan penetrasi monomer resin
ke dalam serat kolagen. Nano-filler, dengan dimensi lebih besar dari 15-20
nm atau lebih dari 1,0 % berat bonding, keduanya dapat meningkatkan
viskositas bonding, dan dapat menyebabkan akumulasi filler di atas
permukaan yang lembap. Hal ini dapat menyebabkan retak dan
menyebabkan penurunan kekuatan ikatan (Sofan dkk., 2017).
2.3 SISTEM ADHESIVE ETCHING DAN BONDING
Saat ini ada dua sistem adhesive kedokteran gigi yaitu total-etch yang terdiri
dari kompleksitas komponen dan prosedur aplikasi bonding, serta self etch yang
menggunakan teknik aplikasi lebih sederhana ( Mandava dkk., 2009)
2.3.1 Bonding Total-etch
Sistem bonding total-etch adalah system bonding dengan proses
terpisah yang diawali dengan penggunakaan asam fosfor 30-40% yang
berfungsi untuk menghilangkan smear layer sehingga permukaan
intertubuler dentin mengalami demineralisasi yang mengakibatkan sabut
kolagen terbuka (Kugel dkk., 2000). Asam fosfor tersebut melarutkan smear
layer pada permukaan tubulus dentin ( Christensen dkk., 2005).
Bonding total-etch merupakan bonding generasi ke lina
menggunakan “One Bottle System” ( System Total-Etch-Wet-Bonding)
yaitu penggabungan primer dan adhesive kedalam satu larutan yang
diaplikasikan setelah etsa email dan dentin secara Bersama-sama
menggunakan 35-37% asam fosfor selama 15-20 detik. Sistem bonding ini
menghasilkan mechanichal interlocking dengan email yang dietsa melalui
resin tag, ikatan adhesive dan formasi hybrid layer sehingga menunjukkan
nilai kekuatan bonding yang cukup baik dengan email maupun dengan
dentin (Perdigao dkk., 2001).
2.3.2 Bonding Self-etch
Tahun 1992 diperkenalkan sistem baru yang disebut sistem bonding
self-etch untuk menghilangkan etsa asam dan menghindari pencucian, yang
terdiri atas larutan 20% methacryloxyethyl phenyl phosphoric acid (Phenyl-
P) dan 30 % 2 hydroxyethyl methacrylate (HEMA) (Nakabayashi dkk.,
1998). System bonding self-etch tidak melalui proses terpisah oleh karena
bahan etsa dan bonding bergabung menjadi satu yang mengandung air,
sehingga tidak digunakan proses pembasahan kembali. Sistem ini tidak
perlu menghilangkan smear layer pada dentin (Strassler dkk., 2004).
Keberadaan smear layer pada proses prebonding inilah yang merupakan
salah satu perbedaan dasar dari sistem bonding total-etch dan self-etch
(Baum, 1997).
Sistem bonding self-etch merupakan generasi ke tujuh. Bahan
bonding generasi ke tujuh (One Step Self Etch) ini tiga langkah utama yakni
etsa, primer, bonding digabung menjadi satu langkah dengan prinsip yang
sama dengan generasi ke enam yaitu pembentukan hybrid layer dan tag
melalui demineralisasi. Sistem bonding generasi tujuh ini harus bersifat
cukup asam untuk menembus smear layer sehingga bersifat lebih hidrofilik
dan membentuk hybrid layer lebih permeable terhadap air (Perdigao dkk.,
2001)
Berdasarkan komponennya dental bonding system berbeda pada setiap
generasinya. Pada genersi keempat dan kelima merupakan bonding system etch and
rinse, dimana dilakukan pembilasan setelah pengaplikasian etsa. Pada generasi
keenam dan ketujuh yang merupakan self-etch, tidak dilakukan pembilasan etsa.
Etch-and-Rinse Self Etch
Three-Step
(Generasi
keempat)
Two-step
(Generasi
kelima)
Two-Step
(Generasi
Keenam)
One-Step
(Generasi
Ketujuh)
1. Etsa,
aplikasikan
selama 15
detik, bilas,
selama 15
detik
dikeringkan
secara
perlahan,
jaga agar
dentin tetap
moist.
1. Etsa,
aplikasikan
selama 15
detik, bilas,
selama 15
detik
dikeringkan
secara
perlahan,
jaga agar
dentin tetap
moist.
1. Etsa dan
Primer, Satu
aplikasi tanpa
pembilasan,
lalu keringkan
secara
perlahan.
1. Etsa,
Primer,
dan
Bonding,
aplikasikan
1 sampai 5
layers, tanpa
pembilasan,
dikeringkan
secara
perlahan,
lalu di light
cure 2. Primer ,
aplikasikan
1 sampai 5
layers, lalu
2. Primer dan
Bonding,
aplikasikan
1 sampai 5
2. Bonding,
aplikasikan
satu layer,
dikeringkan
dikeringkan
secara
perlahan.
layers,
dikeringkan
secara
perlahan,
lalu di light
cure.
secara
perlahan,
lalu di light
cure. 3. Bonding,
aplikasikan
satu layer,
dikeringkan
secara
perlahan,
lalu di light
cure.
Tabel 1. Klasifikasi Dental Bonding System berdasarkan komponennya.
(Anusavice, 2013)
2.3.3 Mekanisme Adhesif
Mekanisme perlkatan adhesive merupakan mekanisme yang kompleks
dan banyak hal yang berperan dalam menentukan perlekatan yang baik.
Secara umum beberapa hal berikut berperan dalam menentukan perlekatan
yang baik
2.3.3.1 Wetting
Pembasahan sangat penting untuk keberhasilan semua
mekanisme adhesi. Adhesif tidak dapat membentuk mechanical
interlocking, ikatan kimia, atau penetrasi ke permukaan kecuali
adhesif itu dapat secara intim menyentuh permukaan, menyebar ke
permukaan, dan mengisi permukaan kasar secara mikroskopis dan
submikroskopik. Kondisi ini akan tercapai jika dhesif membasahi
permukaan dengan baik (Anusivace, 2003).
2.3.3.2 Interpenetration (formation of a hybrid zone)
Monomer pada permukaan jaringan yang terdemineralisasi
sangat penting untuk keberhasilan ikatan. Dentin primer memiliki
konsentrasi kalsium dan fosfat yang lebih rendah daripada dentin
permanen. Dengan demikian, waktu etsa untuk jaringan gigi primer
biasanya lebih pendek dari gigi permanen , meskipun kekuatan
ikatan cenderung lebih rendah pada gigi primer daripada pada gigi
permanen. (Maria dkk, 2017)
Hibridisasi melibatkan penetrasi monomer primer ke dalam
substrat jaringan. Meskipun mekanisme penetrasi adhesif dan
interaksi dengan jaringan kompleks, kemajuan pesat telah
berkembang. Dalam sistem di mana etsa sebelum langkah priming
dan bonding, kompatibilitas parameter kelarutan Hoy dari formulasi
primer dengan matriks dentin yang didemineralisasi dapat
meningkatkan permeabilitas adhesif. Penetrasi monomer membawa
atom primer dalam kontak lebih dekat dengan atom substrat, yang
menyebabkan interaksi tarik menarik van der Waals, ikatan
hidrogen, dan interaksi elektrostatik. Dalam sistem self-etch primer,
interaksi elektrostatik yang lebih kuat antara monomer primer dan
hidroksiapatit menjelaskan proses adhesi. Interaksi tersebut dan
polimerisasi monomer selanjutnya meningkatkan kekuatan ikatan
dan sealing margin yang efisien. Penetrasi monomer yang tidak
memenuhi kedalaman daerah demineralisasi dapat menyisakan fibril
kolagen yang terekspos dan menyebabkan nanoleakage air ke
daerah-daerah ini melalui celah marginal berukuran 20-100 nm,
yang mengarah pada degradasi hidrolitik selanjutnya dari fibril
kolagen ini dan lapisan hybrid. (Vaidyanathan, 2008).
2.3.3.3 Micromechanical inilterlocking
Mikromekanik (mechanical interlocking), yaitu dari resin
tags yang dihasilkan oleh infiltrasi monomer resin pada
mikroporositas dari permukaan email yang telah dietsa. Perbedaan
struktur pada email dan dentin berpengaruh terhadap efektivitas
sistem adhesif. Keberhasilan adhesi pada enamel dengan nilai kuat
rekat yang tinggi tidak dapat dicapai setara pada dentin. Dentin
memiliki kandungan air dan organik lebih tinggi dibandingkan
email, hal inilah yang membuat dentin lebih sulit berikatan dengan
sistem adhesif dibandingkan enamel. Berdasarkan prosentase berat,
enamel mempunyai komposisi mineral yaitu 96% berupa hidroksi
apatit dan sisanya adalah bahan organik dan air. Dentin mempunyai
komposisi 70 % mineral (kristal apatit), 18% berupa komponen
organik yaitu kolagen tipe 1 dan protein non kolagen sedangkan 12%
merupakan air. Komposisi ini menyebabkan email mempunyai sifat
umum yang kering, sedangkan dentin bersifat lembab, sehingga
material adhesif harus bersifat hidrofilik untuk dapat berikatan baik
dengan dentin. Resin komposit mempunyai sifat menonjol yaitu
hidrofobik, sehingga komposisi sistem adhesif harus terdiri dari
monomer resin hidrofobik dengan hidrofilik (Puspitasari, 2014).
2.3.3.4 Chemical bonding.
Sistem self-etching dapat mendemineralisasi lapisan dentin
superfisial, mempertahankan sisa hidroksiapatit yang masih melekat
pada kolagen. Tetapi dalam kasus ini, sisa kristal hidroksiapatit
mungkin menjadi keuntungan, karena mereka berfungsi sebagai
reseptor untuk ikatan kimia dengan monomer fungsional yang
terkandung dalam beberapa self-etchinf adhesive (Rafael dkk,
2010).
2.3.3.5 Hydrolitic Stability
Meskipun pembasahan merupakan persyaratan penting
untuk adhesi intraoral, itu tidak cukup untuk memastikan ikatan yang
tahan lama. Pembasahan atau struktur gigi saja tidak mencapai
ikatan intraoral yang bertahan lama karena substrat utama
(adherend), enamel dan dentin, terhidrasi, hidrofilik, dan permeabel
terhadap air. Keadaan seperti itu membutuhkan perekat hidrofilik,
yang stabil secara hidrolitik agar pembasahan terjadi. Namun,
bahkan jika permukaan awalnya dikeringkan sebelum aplikasi
adhesif, difusi menghasilkan satu atau lebih lapisan air yang
berikatan kuat dengan jaringan dan adhesive (Anusivace, 2003)
2.3.4 Perlekatan pada Enamel
Perlekatan bahan restorasi resin komposit pada enamel gigi diperoleh
melalui teknik etsa asam dengan aplikasi asam fosfat 37%. Asam fosfat 37% yang
diaplikasikan dalam waktu singkat, akan menghasilkan pori-pori kecil pada
permukaan enamel, tempat ke mana resin akan mengalir jika ditempatkan ke dalam
kavitas sehingga memberikan tambahan retensi mekanis pada restorasi dan
mengurangi kemungkinan kebocoran tepi antara permukaan restorasi dan struktur
gigi (Anusavice, 2003).
Secara mikroskopik, enamel terdiri dari prisma-prisma enamel yang saling
berkaitan dan tersusun rapi. Di antara prisma-prisma tersebut terdapat substansi
interprisma yang juga tersusun rapi, berisikan kristal hidroksiapatit yang akan larut
oleh pengetsaan, sehingga permukaan enamel yang telah teretsa akan berbentuk
rongga-rongga seperti sarang lebah. Rongga ini akan menjadi retensi mekanik bagi
bahan bonding yang dikenal dengan istilah resin tag (O'Brien, 2002). Resin tag
yang terbentuk di sekitar enamel rods, yaitu di antara prisma-prisma enamel disebut
dengan macrotags dan jaringan halus dari beberapa small tags yang terbentuk di
tiap-tiap ujung rod di tempat larutnya kristal hidroksiapatit disebut dengan
microtags. Pembentukan microtag dan macrotag dengan permukaan enamel
merupakan mekanisme dasar dari perlekatan resin dan enamel (Nisha, 2010).
Enamel yang telah teretsa memiliki energi permukaan yang tinggi dan
memungkinkan resin dengan mudah membasahi permukaan serta menembus
sampai ke dalam mikroporus. Resin yang masuk ke dalam mikroporus akan
terpolimerisasi untuk membentuk ikatan mekanik atau resin tag yang menembus
10-20 µm ke dalam porus enamel. Konsentrasi asam fosfat yang sering digunakan
berkisar 30%-40% karena mampu menghasilkan permukaan enamel yang lebih
retensif, namun konsentrasi yang paling banyak dijual di pasaran adalah 37%
(Anusavice, 2003).
2.3.5 Perlekatan Pada Dentin
Bonding dan adhesi merupakan serangkaian proses fisik, kimia, dan
mekanik sehingga dapat menyebabkan suatu bahan berikatan dengan bahan
lainnya. Bonding dalam kedokteran gigi memiliki tiga fungsi utama, yaitu
menyediakan resistensi bahan bonding dengan substrat, mendistribusikan
Gambar 4. Gambaran skematik microtag dan
macrotag (Nisha, 2010).
tekanan mekanis, dan menutupi permukaan dentin ataupun enamel sehingga
dapat mencegah terjadinya microleakage (Anusavice dkk, 2012).
Proses bonding pada dentin berkembang sekitar tahun 1970. Proses
bonding pada dentin diawali oleh konsep yang dikenalkan oleh Dr. Takao
Fusuyama, yaitu Total-Etch of dentin and enamel. Pada awal 1979 proses
bonding pada dentin mengalami perkembangan dengan dipublikasikannya
proses pembentukan hybrid layer pada dentin oleh infiltrasi monomer resin
pada kolagen dentin oleh Nobuo Nakabayashi. Selanjutnya proses bonding
pada dentin terus mengalami perkembangan dan masih digunakan hingga
saat ini (Anusavice dkk, 2012).
Pada awal mula perkembangan proses bonding pada gigi proses
etching hanya dilakukan pada enamel. Akan tetapi, setelah ditemukannya
konsep total etching oleh Nobuo Nakabayashi proses etching tidak hanya
dilakukan pada enamel tetapi juga dilakukan pada dentin. Konsep total
etching menggunakan asam fosfat 37% baik pada enamel maupun dentin
(Anusavice dkk, 2012).
Proses bonding pada dentin diawali oleh proses etching. Proses
etching pada dentin bertujuan agar dentin mengalami demineralisasi
sehingga jaringan kolagen pada dentin dapat terbuka. Selanjutnya dilakukan
proses priming agar jaringan kolagen tidak rusak atau hilang. Langkah
selanjutnya yaitu pemberian bonding agent. Bonding agent berperan dalam
membantu perlekatan bahan tumpatan pada dentin. Resin hidrofil yang
terdapat pada bahan tumpatan dapat melakukan infiltrasi pada jaringan
kolagen dentin sehingga membentuk ikatan yang kuat. Resin juga akan
membentuk micromechanical interlocking pada permukaan resin dengan
hybrid layer (Anusavice dkk, 2012).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan teori etching dan bonding dapat ditarik kesimpulan
bahwa salah satu cara yang paling efektif dalam meningkatkan perlekatan
mekanis adalah dengan menggunakan teknik etsa asam, karena dapat
memberikan ikatan yang kuat antara resin dan enamel. Sistem adhesive pada
saat ini telah berkembang dari generasi pertama sampai generasi kedelapan,
dengan perubahan pada struktur kimia, mekanisme ikatan, jumlah langkah
aplikasi, teknik aplikasi serta keefektifan klinis. Proses etching pada dentin
bertujuan agar dentin mengalami demineralisasi sehingga jaringan kolagen
pada dentin dapat terbuka. Selanjutnya dilakukan proses priming agar
jaringan kolagen tidak rusak atau hilang, kemudian pemberian bonding
agent. Bonding agent berperan dalam membantu perlekatan bahan tumpatan
pada enamel dan dentin. Resin hidrofil yang terdapat pada bahan tumpatan
dapat melakukan infiltrasi pada jaringan kolagen dentin sehingga
membentuk ikatan yang kuat. Resin juga akan membentuk
micromechanical interlocking pada permukaan resin dengan hybrid layer.
3.2 SARAN
Bagi para dokter gigi dan calon dokter gigi, diharapakan makalah ini
dapat menjadi perbandingan dan sumber referensi terkait perkemangan
Sistem Etsa dan adhesive (bonding) serta diharapkan mahasiswa kedokteran
gigi mampu mempelajari tentang perkembangan etsa & bonding,
mekanisme adhesive dan perlekatan terhadap enamel dan dentin.
DAFTAR PUSTAKA
Anusavice, K., 2003. Philips’ Science of Dental Material. Edisi ke-8. China:
Saunders.
Anusavice, K.J., 2003. Philip’s Science of Dental Materials. Edisi ke-11. Florida :
Saunders Elsevier.
Anusavice, K.J., 2003. Phillip’s Science of Dental Materials. Edisi ke-11. St Louis:
WB Saunders.
Anusavice, K.J., 2013. Philips’ science of dental materials. Edisi ke-12. Missouri:
Elsevier. P 24,257-258, 262-264
Apriyono, D., 2010. Perkembangan Bonding Dalam Kemajuan Restorasi Estetik.
Stomatognatic (J.K.G Unej), 7 (2), 124-28.
Baum, L. 1997. Buku Ajar Ilmu Konservasi Gigi. Alih Bahasa: Rasinta Tarigan.
Edisi 3. Jakarta:EGC
Botelho, M.P.J., Isola, C.P., Schwantz, J.K., dkk., 2017. Rubbing time and bonding
performance of one-step adhesives to primary enamel and dentin. J Appl
Oral Sci, 25 (5), 523–532.
Buonocore, M.G., 1955. A simple method of increasing the adhesion of acrylic
filling materials to enamel surfaces. J Dent Res.
Buonocore, M.G., 1963. Principles of adhesive retention and adhesive restorative
materials. JADA.
Buonocore, M.G., Matsui, A., Gwinnett, A.J., 1968. Penetration of resin dental
materials into enamel surfaces with reference to bonding. Arch Oral Biol.
Cagidiaco, M.C., Ferrari, M., Garberoglio, R., Davidson, C.L., 1996. Dentin
contamination protection after mechanical preparation for veneering. Am
J Dent.
Christensen GJ. 2005. Bonding to Dentin and Enamel. Journal America Dent Assoc
136(9): 1299-1302
Jorg-Peter, R., 2003. Dental Teeth Bonding Procedures.Aesthetic Dentistry San
Francisco.
Kartika, A.D., 2010. Perkembangan Bonding dalam Kemajuan Restorasi Estetik.
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Jember, 7 (2), 124-28.
Kugel, G., Ferrari, M., 2000. The Science of Bonding: From First to Six Generation.
Journal America Dent assoc, 13:20-25
Kugel, G., Habib, C., Zammitti, S., 1993. Enamel and dentin surfaces after
treatment with adhesion conditioners using the environmental SEM
(abstract 2260). J Dent Res.
Li, N., Nikaido, N., 2013. Phosphoric Acid-Etching Promotes Bond Strength and
Formation of Acid-Base Resistant Zone on Enamel. Operative Dentistry,
38 (1), 82-90
Mandava, D., P, A., Narayanan, L.L., 2009, Comparative Evaluation of Tensile
Bond Strenghts of Total Etch Adhesives and Self Etch Adhesives with
Single and Multiple Consecutive Aplications: An In Vitro Study, J
Conserv Dent.
McLean, J.W., Kramer, I.R.H., 1952. A clinical and pathological evaluation of a
sulphinic acid activated resin for use in restorative dentistry. Br Dent J.
Nakabayashi, N., Pashley, D.H., 1998. Hybridization of Dental Hard Tissue.
Tokyo: Quintessence Publishing.
Nakabayashi, N., Kojima, K., Masuhara, E., 1982. The promotion of adhesion by
the infiltration of monomers into tooth states. J Biomed Mat Res.
Nisha, G., Amit, G., 2010. Textbook of operative dentistry. New Delhi: Jaypee.
Nurhapsari, A., 2016. Perbandingan Kebocoran Tepi Antara Restorasi Resin
Komposit Tipe Bulk-Fill dan Tipe Packable dengan Penggunaan Sistem
Adhesif Total Etch dan Self Etch. ODONTO Dental Jurnal. 3(1), 8-13
O’Brien, W.J., 2002. Dental Material and Their Selection. Edisi ke-3. Chicago:
Quintessence Pub Co Inc.
Pashley, D.H., Michelich, V., Kehl, T., 1981. Dentin permeability: effects of smear
layer removal. J Prosthet Dent.
Pegado, R.E.F., Amaral, F.L.B., dkk., 2010. Effect of Different Bonding Strategies
on Adhesion to Deep and Superficial Permanent Dentin. Eur J Dent, 4
(2), 110–117.
Perdigao J, Rossa B.T, R Frankenberger. 2001. No-bottle’vs ‘multi-bottle’dentin
adhesives-a microtensile bond strength and morphological study.
Journal Dental Materials 17(5): 373-380
Puspitasari, D., 2014. Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit Pada Dentin
Dengan Sistem Adhesif Self Etch 1 Tahap (One Step) Dan 2 Tahap (Two
Step). Dentino Jurnal Kedokteran Gigi, 2 (1), 89 – 94.
Sofan, E., Sofan, A., dkk., 2017. Classification review of dental adhesive systems:
from the IV generation to the universal type. Annali di Stomatologia, 8
(1), 1-17.
Vaidyanathan, J., 2008. Review Recent Advances in the Theory and Mechanism of
Adhesive Resin Bonding to Dentin: A Critical Review. Journal of
Biomedical Materials Research Part B: Applied Biomaterials, 558-578.