134
ETIKA PROFESI BIMBINGAN KONSELING Penulis Dr. Hunainah, MM

ETIKA PROFESI BIMBINGAN KONSELING - …repository.uinbanten.ac.id/1828/1/ETIKA & BIMBINGAN KONSELING - .pdf · 8. Kata profesi dalam bahasa Inggris yaitu ... tugas oleh mereka yang

Embed Size (px)

Citation preview

ETIKA PROFESI BIMBINGAN KONSELING

Penulis Dr. Hunainah, MM

ETIKA PROFESI BIMBINGAN KONSELING ISBN 979-602-9098-67-9 Penulis Dr. Hunainah, MM Cetakan I : November 2013 Cetakan II : Maret 2016 Penerbit RIZQI PRESS Jl. Cidadap Girang 26 Ledeng Bandung 40143 Tlp. (022) 2005869 Fax. (022) 2003656

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrohiim,

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas keterbatasan

penulis buku ETIKA PROFESI BIMBINGAN dan KONSELING

ini, telah terbit untuk ke-2 setelah cetak perdana pada

November 2013. Penerbitan yang ke-2 ini dilakukan atas dasar

desakan kebutuhan perkuliahan mahasiswa jurusan BKI Intitut

Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

Selanjutnya kepada mahasiswa yang menempuh mata

kuliah ini diharapkan dapat memberikan fakta-fakta riil di

lapangan terkait dengan isu etika konseling dalam berbagai

seting baik dalam seting pendidikan maupun seting luar

pendidikan.

Pada awal penulisan buku ini telah dilakukan upaya

pendalaman dan pengembangan melalui kajian literature yang

relevan, diskusi dengan rekan sejawat dan para pakar dalam

pertemuan organisasi profesi, diskusi intensif dalam sesi

perkuliahan, penelitian, studi kasus dan sebagainya. Sepanjang

pengalaman penulis – terlepas dari kelebihan dan

kekurangannya – pendalaman kajian dan pengembangan

materi buku ini lebih mudah dilakukan melalui diskusi intensif

dalam sesi perkuliahan disbanding dengan upaya lain yang

telah disebutkan di atas. Dengan demikian, mengampu mata

kuliah ini menjadi suatu keniscayaan bagi penulis.

Penulis berharap pada rekan sejawat yang peduli (concern)

pada pengembangan keilmuan khususnya kajian etika profesi

konseling untuk dapat memebrikan saran, pendapat dalam

pengembangan buku ini. Semoga Allah SWT., memebri balasan

kebaikan yang berlipat dan semoga buku ini dapat memberi

wawasan keilmuan di bdiang etika konseling bagi para calon

konselor, para praktisi, akademisi dan siapa saja yang

membacanya. Amin

Serang, Maret 2016

Penulis

Hunainah

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................... iii DAFTAR ISI ...................................................................................... v

BAB I PENGERTIAN & RUANG LINGKUP A. Pengertian Etika & Profesi……..................................... 1

B. Perlunya Kode Etik Profesi……............................. 3 C. Ruang Lingkup Kode Etika Profesi Bimbingan &

Konseling.................................................................. 4 D. Tujuan & Fungsi Kode Etik…….............................. 5

BAB II ASPEK ETIK DAN LEGAL KONSELING A. Etik, Hukum dan Konseling…............................ 8 B. Prinsip-prinsip Etis dalam

Konseling……………………................................ 10 C. Batas-batas Kewenangan

Konselor………………………............................. 11 D. Problem Etik dan Hukum dalam

Konseling…………………..…............................. 14

BAB III MENGAMBIL KEPUTUSAN ETIK DALAM KONSELING A. Isu-Isu Etik dalam Konseling................................. 18 B. Sumber Etika Bimbingan dan Konseling........... 30 C. Panduan untuk Bertindak Secara Etik.................. 31 D. Praktek Pengambilan Keputusan Etik dalam

Konseling………................................................... 34

BAB IV KODE ETIK PROFESI KONSELOR INDONESIA A. Subyek Kode Etik Profesi……............................ 41 B. Dasar Kode Etik Profesi Konselor......................... 42 C. Keterbatasan dan Pengembangan Kode Etik… 43 D. Konflik di Dalam dan di Antara Kode Etik....... 45

BAB V PROBLEM PELAKSANAAN KODE ETIK

A. Bentuk Pelanggaran Kode Etik….......................... 47 B. Sebab Pelanggaran Kode Etik…............................ 47 C. Bentuk Sanksi bagi Pelanggar Kode Etik................... 49

v

D. Pihak yang Berwenang Menindak Pelanggar Kode Etik..................................................................................... 49

E. Mekanisme Pemberian Sanksi Pelanggaran Kode Etik.............................................................................. 50

BAB VI UPAYA PENEGAKAN KODE ETIK……………… 52

LAMP-1 KODE ETIK BIMBINGAN & KONSELING..................... 55

LAMP-2 KODE ETIK AMERICAN COUNSELING ASSOCIATION ........................................................................ 62

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 126

vi

BAB I

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP

A. Pengertian Etika dan Profesi

Kata ”etika” dalam bahasa Inggris ”ethics” artinya ilmu

pengetahuan tentang asas-asas akhlak; hal tingkah laku dan

kesusilaan. Dalam bahasa Yunani kuno ”Ethos” berarti timbul

dari kebiasaan adalah cabang utama filsafat yang mempelajari

nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan

penilaian moral.1 Namun dalam bahasa Indonesia etik dan

etika diartikan berbeda. Kata ”etik” mempunyai dua arti yaitu 1) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak; 2) nilai

mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau

masyarakat. Sementara etika adalah ilmu tentang apa yang baik

dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).2

Arti etika telah banyak dikemukakan beberapa ahli berikut.

Pertama, etika adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan

keseluruhan budi (baik dan buruk)3; Kedua, etika adalah filsafat

tentang nilai, kesusilaan, tentang baik dan buruk, juga merupakan

pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri4; Ketiga, etika ialah

studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan

kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki

manfaat atau kebaikan dari seluruh tingkah-laku manusia5;

Keempat, etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan

mana yang buruk dan memperlihatkan amal perbuatan manusia

sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran6; Kelima, 1

2

3

4

5

6

Efendy, Ferry dan Makhfudli. Keperawatan Keehatan Komunitas Teori dan Praktis dalam Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika. 2009. h.25 Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,2003. h.309 Sastrapraja. M, kamus Istilah Pendidikan Umum, Surabaya: Usaha Nasional, 1981, h. 144. Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Jati, 1981, h.82.

Asmaran A.S, Pengantar Studi Ahlak, Jakarta: Rajawali Press, 1992, h.6-7. Ya’kub. Hamzah, Etika Islam, Bandung:CV. Diponegoro, 1983, h.13.

1

menurut Van Hoose & Kottler, 1985 dalam Gladding (2012:66)

mendefinisikan etika (ethics) sebagai ilmu filsafat mengenai

tingkah laku manusia dan pengambilan keputusan moral7. Kata profesi diartikan sebagai bidang pekerjaan yang

dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan

sebagainya) tertentu8. Kata profesi dalam bahasa Inggris yaitu

”profession” yang memiliki beberapa arti yaitu: 1) pekerjaan

tertentu yang mensyaratkan pendidikan pada perguruan tinggi

(misal sarjana hukum, dokter, arsitek, konselor dan sebagainya); 2) pernyataan; pengakuan9; Pendapat lain dikemukakan George

dalam Daryl Koehn, profesi adalah pekerjaan yang dilakukan

sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan

yang mengandalkan keahlian.10 Sedangkan kata profesional

merupakan kata sifat dari profesi yang artinya 1) ahli; 2)

berkenaan dengan bayaran. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang memerlukan

keahlian tertentu yang diperoleh melalui pendidikan tertentu dan

mendapat pengakuan serta pembayaran dari pekerjaan tersebut. Mengacu pada arti kata profesi di atas, maka tidak semua

pekerjaan dapat dikatakan profesi. Beberapa contoh ’pekerjaan’

seperti dukun beranak, calo, pengemis dan sebagainya. Dukun

beranak yaitu orang yang pekerjaanya menolong perempuan

melahirkan namun tidak pernah mengikuti pendidikan untuk

memperoleh keahlian dan keterampilan tersebut ; calo yaitu orang

yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk

menguruskan sesuatu berdasarkan upah. Dukun beranak dan calo

tidak dapat dikatakan sebagai profesi karena kedua pekerjaan

tersebut tidak ada pendidikan khusus meskipun pekerjaan

tersebut sama-sama mendapat bayaran atau upah dan

keberadaannya diterima oleh sebagian masyarakat. Berbeda

dengan dukun beranak yang mendapat bayaran tidak pasti, 7 Gladding, Counseling: a Comprehensive Profession, alih bahasa: Winarno & Lilian

Yuwono, Jakarta: PT. Indeks, 2012, h. 66. 8 Op.Cit. , Jakarta: Balai Pustaka, 2003,h.897.

9 Hornby & Parnwell, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta:PT. Pustaka Ilmu, 1992. h.

252-253. 10 Daryl Koehn. Landasan Etika Profesi. Yogyakarta: Kanisius Medika. 2008, h.35

2

maka pembayaran bidan sebaliknya telah diatur dan

ditetapkan resmi pihak yang berkompeten. Berikut dikemukakan pengertian kode etik profesi dari dua

sumber. Pertama, kode etik adalah sistem norma atau aturan yang

tertulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang

baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan

perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh

seorang profesional.11Kedua, kode Etik merupakan aturan-aturan

susila, atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati

bersama oleh para anggota, yang tergabung dalam suatu

kumpulan atau organisasi (organisasi profesi).12 Oleh karena itu,

kode etik merupakan suatu bentuk persetujuan bersama, yang

timbul secara murni dari diri pribada para anggota atau dengan

kata lain kode etik merupakan serangkaian ketentuan dan

peraturan yang disepakati bersama guna mengatur tingkah laku

para anggota organisasi.

B. Perlunya Etika dan Kode Etik Profesi Sekurang-kurangnya

ada empat alasan mengapa etika perlu13. Pertama, tidak ada kesatuan tatanan normatif msehingga

kita berhadapan dengan banyak pandangan moral yang sering

saling bertentangan. Dalam situasi demikian kita sering bingung,

tatanan norma dan pandangan moral mana yang harus diikuti.

Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-

pandangan moral tersebut, etika diperlukan. Kedua, etika

diperlukan untuk membantu kita agar tidak kehilangan orientasi

dalam situasi transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan

budaya tradisional ke modern dan dapat menangkap makna

hakiki dari perubahan nilai-nilai serta mampu mengambil sikap

yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, etika dapat membuat

kita sanggup untuk menghadapi ideologi baru secara kritis dan

objektif serta untuk membentuk penilaian 11 Ondi Saondi & Aris Suherman, Etika Profesi Keguruan, 2010. Refika Aditama,

Bandung., h.99

12 Ibid

13 Franz Mgnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,

Kanisius: Yogyakarta, 1987, h. 15-16

3

sendiri agar kita tidak mudah menerima atau menolak nilai-

nilai baru. Keempat, etika diperlukan oleh kaum agama untuk

menyelaraskan kepercayaan yang dianut dengan keiinginan

turut berpartisipasi dalam dimensi kehidupan masyarakat.

Selanjutnya menurut Van Hoose dan Kottler (1985) dalam

Gladding (2012:68) ada tiga alasan kode etik profesi diperlukan

yaitu:

1. Kode etik melindungi profesi dari pemerintah. 2. Kode etik mengontrol ketidaksepakatan internal dan

pertengkaran sehingga memelihara kestabilan dalam profesi. 3. Kode etik melindungi praktisi dari publik, terutama untuk

pengaduan malpraktik. Pendapat lain mengatakan bahwa kode etik profesi

diperlukan agar profesi atau konselor dapat tetap menjaga

standar mutu dan status profesinya dalam batas-batas yang

jelas dengan anggota profesi lainnya sehingga dapat

dihindarkan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan

tugas oleh mereka yang tidak berkecimpung dalam bidang

bimbingan dan konseling.14 Alasan lain perlunyan kode etik

profesi yaitu membantu meningkatkan kepercayaan publik

terhadap integritas sebuah profesi dan melindungi konseli dari

tindakan konselor yang kurang berkompeten.15 Dari beberapa

alasan di atas dapat disimpulkan bahwa kode etik profesi

diperlukan sebagai landasan, acuan dalam menjalankan tugas

dan tanggungjawab profesi serta sebagai jaminan perlindungan

bagi pemberi dan penerima jasa layanan bantuan.

C. Ruang Lingkup Etika Profesi Bimbingan dan Konseling Mengacu pada Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia

tahun 2010, maka ruang lingkup etika profesi bimbingan dan

konseling Indonesia membahas 5 bab berikut: 14 Yusuf, Syamsu. Kode Etik Profesi Konselor Indonesia (Draf). Bandung: ABKIN.

2009.

15 Gladding, Counseling: a Comprehensive Profession, alih bahasa P.M Winarno dan

Lilian Yuwono, PT. Indeks jakarta, 2012, h. 69

4

1. Dasar Kode Etik Profesi BK 2. Kualifikasi dan Kegiatan Profesional Konselor 3. Hubungan Kelembagaan 4. Praktik Mandiri dan Laporan kepada Pihak Lain 5. Ketaatan kepada Profesi

Sementara Kode Etik American Counseling association

(ACA) terdiri atas delapan bagian yang membahas bidang-

bidang berikut:

1. Hubungan Konseling 2. Kerahasiaan, Komunikasi Pribadi dan Privasi 3. Tanggungjawab Profesional 4. Hubungan dengan Profesi Lain 5. Evaluasi, Penilaian, dan Interpretasi 6. Pengawasan, Pelatihan, dan Interpretasi 7. Penelitian dan Publikasi 8. Pemecahan Masalah Etika

Jika dilakukan perbandingan atas dua kode etik bimbingan

di atas, secara mudah dapat disimpulkan bahwa kode etik ACA

lebih komprehensif. Hal itu, wajar mengingat ACA telah

melakukan lima kali revisi secara periodik yaitu pada tahun

1974, 1981, 1988, 1995, dan 2005. Sementara kode etik ABKIN

dalam kurun waktu dua dasa warsa belum dilakukan revisi

secara menyeluruh. Pembahasan kode etik ABKIN terakhir

dalam konggres XII tahun 2013 di Denpasar Bali baru

mengakomodir ide-ide yang dianggap penting untuk

dilakukan revisi lebih lanjut.

D. Tujuan dan Fungsi Kode

Etik 1. Tujuan Etik Profesi16

a. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi b. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para

anggota c. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi d. Untuk meningkatkan mutu profesi

16 Op.cit., Ondi Saondi & Aris Suherman, 2010, h. 99

5

e. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi f. Untuk meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi g. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin

erat h. Menentukan baku standarnya sendiri

2. Fungsi a. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi

tentang prinsip profesionalitas yang digariskan b. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas

profesi yang bersangkutan c. Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi

tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Etika

profesi sangatlah dibutuhkan dalam berbagai bidang. Tujuan kode etik American Counseling association (ACA)

2005, yaitu17:

1. Untuk menjelaskan kepada anggota saat ini, calon anggota

masa depan dan mereka yang mendapat layanan dari

anggota, sifat dari tanggung jawab etika yang secara umum

dianut oleh anggota ACA. 2. Untuk mendukung misi asosiasi 3. Menegakkan prinsip dan perilaku etika terbaik bagi anggota

asosiasi 4. Memberi pedoman dan mekanisme yang jelas dalam

memberi layanan profesi konseling yang berkualitas. 5. Memberi dasar acuan dalam memproses keluhan tentang etika

dan mengatasi permasalahan pelanggaran etika profesi.

Tugas:

1. Berdasarkan pengertian etika dan profesi dari beberapa

pendapat, buatlah kesimpulan arti etika profesi menurut

saudara! 2. Menurut saudara apa alasan utama perlunya kode etik

profesi? Jelaskan!

17 Kode Etik American Counseling Association, tahun 2005.

6

3. Bandingkan ruang lingkup Kode Etik Bimbingan dan Konseling versi ABKIN dengan American Counseling

Association (ACA)! Mana yang lebih komprehensif? Beri

alasan saudara dan temukan kesesuaian di antara keduanya. 4. Dilihat dari tujuan adanya kode etik, nampak bahwa

orientasinya lebih dominan pada konselor, mengapa?

Adakah tujuan yang diorientasikan untuk konseli? Jika ada,

terdapat pada tujuan yang mana? Beri alasan? 5. Jelaskan maksud dan beri contoh praktek profesi yang

dilindungi kode etik dari intervensi pemerintah? 6. Beri contoh kasus konflik internal yang mengganggu

stabilitas profesi dan jelaskan penyebabnya! 7. Cari contoh kasus pengaduan (dugaan) malpraktik sebuah

profesi yang dapat dibantah karena kode etik profesi

tersebut telah mengaturnya!

7

BAB II

ASPEK ETIK DAN LEGAL KONSELING

A. Etik, Hukum dan Konseling

Konseling sejatinya merupakan hubungan membantu

(helping relationship) yang dilakukan oleh tenaga profesional

terlatih dalam bidang konseling. Proses konseling dibangun

dengan menciptakan hubungan komunikasi mendalam antara

klien (konseli) dan konselor. Hubungan mendalam dapat

tercipta secara bertahap terutama jika antara konselor dan

konseli belum saling kenal. Oleh karenanya, diperlukan

beberapa kali pertemuan untuk sampai pada hubungan

komunikasi yang mendalam.

Dalam prakteknya, hubungan membantu ini tidak selalu

berjalan mulus. Ada banyak persoalan, baik yang menyangkut

masalah etik maupun masalah hukum yang terkadang

keduanya tidak selalu sejalan. Sependapat dengan Gladding

bahwa etik dan hukum merupakan dua cara berfikir yang

berbeda. Dalam bukunya, Gladding menunjukkan bahwa

pengacara dan konselor cenderung dengan cara yang berbeda.

Ke dua profesi dalam spesialisasi tersebut menghabiskan

sebagian besar kehidupannya dalam dua budaya yang berbeda

dan mendasarkan praktik mereka pada cara pandang yang

unik. Untuk alasan inilah, ada “alasan kuat untuk

mempertimbangkan konseling dan sistem legal dari perspektif

lintas budaya” (Rowley & MacDonald, 2001, p.425). 18

Untuk melihat perbedaan cara berfikir ke dua profesi

tersebut, Gladding menyajikan perbedaan relatif dalam budaya

antara konseling dan hukum berikut.19

18 Loc. Cit. Gladding. h. 91

19 Ibid

8

Konseling

• Sistematis dan pemikiran linier • Artistik, pengertian subyektif-obyektif • Pertumbuhan, memperioritaskan terapi • Fokus pada individu atau kelompok kecil • Perioritas pada perubahan • Relativitas, pengertian kontekstual • Kooperatif, menekankan pada relasi • Rekomendasi, menekankan konsultasi • Berdasarkan etik, pengalaman, pendidikan • Cara pandang deterministik atau yang tidak diketahui, atau

keduanya, diterima

Sedangkan cara berpikir Hukum

• Pemikiran linier • Objektif, pengertian keadilan • Permintaan, memprioritaskan perlindungan • Fokus pada masyarakat • Prioritas pada stabilitas • Pengertian dikotomi normatif • Dakwaan, menekankan pada fakta yang ditemukan • Sanksi legal dan menekankan batasan • Berdasarkan pemikiran legal • Cara pandang deterministik

Agar sukses dalam menjalankan profesi konselor,

Gladding menyarankan menempuh beberapa cara berikut:20

1. Menjadi “lebih berpengetahuan dengan elemen-elemen

yang umum dalam kesehatan mental dan dalam hukum” 2. Mengerti dan mempersiapkan diri untuk bekerja dengan

elemen-elemen hukum tersebut yang berbeda dengan

budaya dengan kesehatan mental” seperti mencari

informasi dari konselor tanpa pemberitahuan yang layak.

20 Op. Cit., Gladding. h. 92

9

3. Meninjau kembali Kode etik profesi BK dan kode etik

relevan lainnya setiap tahun 4. Berpartisipasi dalam program pendidikan berkelanjutan

yang meninjau kembali hukum-hukum yang tepat untuk

konseling khusus. 5. Mempelajari kembali sistem legal termasuk “organisasi dan

publikasi yang mempertemukan kesehatan mental dengan

sistem legal” (misalnya, American Psychology-Law Society News)

6. Membuat hubungan kolaborasi dengan pengacara, hakim

atau praktisi legal lainnya 7. Membangun hubungan dengan konselor yang lebih

mengetahui dunia hukum dan 8. Berkonsultasi atau menerima umpan balik atas keputusan

yang mungkin terjadi, ketika ada dilema etik-legal (Rowley

& MacDonald, 2001, pp.427-428).

B. Prinsip-prinsip Etis dalam Profesi Konseling Konselor profesional akan memperhatikan kinerjanya untuk

selalu mengutamakan kesejahteraan konseli dan kepercayaan

masyarakat. Sistem nilai yang diyakini konselor merupakan

penentu dalam perilaku etis. Prinsip-prinsip etis yang didasarkan

kepada nilai-nilai sosial dalam profesi konseling antara lain21:

1. Tanggung jawab; konselor memiliki tanggung jawab untuk

melakukan performa dan standar layanan profesi yang

terbaik. 2. Kompetensi; konselor perlu memelihara standar kompetensi

profesi yang terbaik. 3. Standar moral dan legal; publik akan sangat peka terhadap

kualitas layanan yang diberikan para konselor. 4. Kerahasiaan; melindungi infomasi konseli dari pihak yang

tidak semestinya. 5. Kesejahteraan konseli; konselor menghormati dan melindungi

21 Aprilia, Imas Diana. (2005). Hubungan Konseling dan Batas-batas Pelaksana Profesional Konselor. Makalah Program studi Bimbingan dan Konseling, Pascasarjana UPI Bandung, h. 7, tidak diterbitkan.

10

kesejahteraan konseli. Konseli juga harus memiliki

kebebasan memilih untuk memperoleh kesejahteraannya.

6. Hubungan profesional; konselor harus memberikan hak,

kompetensi, dan kewajiban-kewajiban sejawat, profesional

lain dan organisasi profesi tempat mereka bernaung. 7. Penggunaan instrumen; konselor menggunakan instrumen

yang relevan untuk mengembangkan dan menggunakan

teknik-teknik pengukuran yang diarahkan untuk

kepentingan dan kesejahteraan konseli.

Remley & Herlhy, 2005; Wilcoxon et al., 2007 dalam

Gladding menuliskan lima prinsip etik yang berhubungan

dengan aktivitas dan pilihan etik konselor, yaitu:22

1. Benefience/perbuatan baik artinya melakukan yang baik

dan mencegah kerugian. 2. Nonmaleficence artinya tidak mengakibatkan kerugian/rasa

sakit. 3. Autonomy/otonom artinya memberikan kebebasan dalam

memilih dan pengambilan keputusan sendiri. 4. Justice/adil. 5. Fidelity/kesetiaan artinya berpegang teguh pada komitmen.

C. Batas-batas Kewenangan Profesi Konselor

Dalam literatur konseling masih sedikit pembahasan

tentang topik batas-batas profesional (professional boundaries).

Kalaupun ada, kesimpulan-kesimpulan yang diambil

kebanyakan berdasarkan catatan anekdot dan opini pribadi

konselor. Upaya untuk melakukan eksplorasi terhadap topik

ini sering terdistorsi karena persoalan batas-batas profesional

sangat kompleks dan kadang tidak jelas, karena tergantung

pada kesadaran konselor apakah perilakunya bersifat

membantu atau tidak. Ketika keseimbangan perilaku konselor

terganggu, maka hubungan menjadi terdistorsi dan bersamaan

dengan itu persoalan batas-batas kewenangan konselor

(boudaries) menjadi isu yang mengemuka.

22 Op.Cit. Gladding, 2012:72

11

Batas profesional terkait dengan pemberian layanan

profesional dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dituntut

untuk bersikap responsif terhadap masalah batas tersebut.

Menurut Freud, kalangan psikoterapis perlu merespon

perasaan yang diproyeksikan konseli dengan perspektif ”tabula

rasa” atau ”blank state”. Isu-isu yang terkait dengan batas-

batas profesional seperti kerahasiaan, hegemoni politik, dan

tekanan kemasyarakatan merupakan hal yang sangat penting

untuk disorot. Namun ketika hal ini muncul selalu saja ada

debat panjang dan perubahan perspektif terhadap hak individu

di satu pihak dan hak masyarakat di lain pihak. Oleh karena

itu, keberadaan konvensi, aturan main dan hukum sangat

penting untuk merespon persoalan batas-batas profesional.

Hubungan profesional merupakan ”fiduciary contract”

dalam arti konseli menginvestasikan kepercayaannya kepada

konselor, namun kedua belah pihak tetap memiliki tugas dan

tanggung jawab masing-masing. Mempertahankan batas

profesional selalu menjadi hal yang sulit dalam hubungan

membantu (helping relationship). Berikut ini beberapa contoh

bentuk pelanggaran terhadap batas profesional yang dijumpai

dalam buku ”The Secret Ring: Freud inner Circle and Politics of

Psychoanalysis” dan buku yang berjudul ”A Dangerous

Method”. Dalam buku itu dipaparkan berbagai bentuk perilaku

terapis yang bersinggungan dengan isu-isu batas profesional.

Sebagai contoh adalah Melanie Klein-pakar yang berorientasi

psikoanalisis, meminta kliennya untuk berlibur bersama dan

memberikan terapi sambil tiduran di kamar hotel; atau Ernes

Jones yang menggunakan anggota keluarganya sendiri sebagai

unit analisis ketika mengembangkan teori stress. Tidak kalah

fenomenal adalah Sigmund Freud menganalisis perilaku

anaknya sendiri yang bernama Anna Freud yang belakangan

diungkapkan oleh anaknya bahwa dirinya merasa dieksploitasi

ketika memperoleh terapi dari orang tuanya23.

Selain itu ada beberapa pakar juga memiliki hubungan 23 Schoener R. Gary, (1997). Boudaries in Professional Relationship. Makalah pada

konferensi Norwegian Psychological Association.

12

romantik atau keterlibatan seksual dengan bekas kliennya.

Misalnya Carl jung yang terlibat hubungan asmara dengan

mahasiswanya yang bernama Sabina Spielrein ketika ia

mengalami gangguan emosional dan Kren Horney memiliki

hubungan seksual dengan salah seorang kliennya yang

bernama Leon Soul, Otto Rank dengan bekas pasiennya24.

Dalam beberapa kode etik, istilah ”dual relationship” atau

multiple realtionship, berpotensi untuk diselewengkan menjadi

keintiman yang tidak pada tempatnya. Sonne (1994)

mengemukakan bahwa kode etik Asosiasi Psikologi Amerika

belum memberikan makna yang jelas tentang ”multiple

relationship” dan ekses negatifnya. Bagaimananpun kontak

dengan klien di luar hubungan psikoterapi tidak dapat dibatasi

sehingga potensial terjadinya konflik kepentingan dan merusak

hubungan profesional. Dengan kata lain terjadi ”overlapping

relationship” antara konselor dan konseli sulit dihindari.

Penelitian yang dilakukan Borys (1988) tentang

”boundaries issues” yang pengumpulan datanya menggunakan

instrumen ”social scale involvement” menunjukkan bahwa 40

dari 44 terapis melakukan pelanggaran berbentuk ”post

termination sexual relationship” dan jika diklasifikasikan

sebanyak 55% masuk kategori erotik dan 79,4% bersifat non

erotik, termasuk diantaranya adalah (a) menjadi sahabat klien

setelah terapi berakhir, (b) menceritakan stress pribadi kepada

klien, (c) mengundang klien ke kantor atau klinik, (d) makan di

luar bersama klien setelah sesi terapi, dan (e) mengundang

klien ke pesta pribadi atau acara sosial.

Isu lain yang berkaitan dengan batas-batas profesional

adalah keterbukaan diri yang eksesif. Keterbukaan diri yang

eksesif merupakan jalan bagi terjadinya hubungan seksual

terapis dan klien. Bentuk keterbukaan yang eksesif adalah (a)

terapis menceritakan tentang kebutuhan dan masalahnya,

(b) keterbukaan diri yang tidak wajar selama sesi terapi, (c)

menceritakan hal yang tidak terkait dengan masalah klien,

24 Op. Cit., Aprilia, D. Imas. (2005). h. 10.

13

(d) bercerita tentang diri begitu lama dan (e) keterbukaan diri

sebagai bentuk romantisme25.

D. Problem Etik dan Hukum dalam Konseling

Diakui bahwa kajian hukum dalam layanan konseling di

bangku kuliah nyaris tidak tersentuh sehingga tidak heran jika

sebagian besar konselor muda dan sebagian praktisi bimbingan

dan konseling sangat awam pemahaman aspek legal hubungan

konseling. Padahal profesi ini juga diatur oleh standar legal.

Legal menunjuk pada ”hukum atau keadaan yang sesuai

dengan hukum,” dan hukum menunjuk pada ”seperangkat

aturan yang diakui oleh negara”. Meskipun diakui tidak ada

bentuk hukum yang umum , yang memayungi profesi pemberi

bantuan26. Namun, ada beberapa keputusan pengadilan dan

undang-undang yang mempengaruhi opini legal dalam

konseling dan konselor harus terus memperbaharuinya.

Contoh kasus Napa County, California 1993 yang

melibatkan Gary Ramona adalah salah satu keputusan legal

semacam itu. Pada persidangan yang banyak dipublikasikan,

Ramona menggugat terapis anak perempuannya, karena

dianggap telah ”menanamkan memori yang salah tentang

pelecehan seksual dalam pikiran anak perempuannya”27.

Persidangan dimenangkan Ramona dan ia mendapat ganti rugi

setelah hakim memutuskan bahwa terapis tersebut lalai karena

memperkuat memori yang salah pada anak perempuannya.

Opini legal yang menjadi dasar keputusan kasus ini adalah

kewajiban memberi perawatan-kewajiban legal bagi tenaga

kesehatan agar tidak melakukan kelalaian. Kasus legal penting lainnya ialah keputusan Mahkamah

Agung Amerika Serikat dalam kasus Jaffee vs Redmond yang

menyatakan bahwa komunikasi antara psikoterapis berlisensi dan

pasiennya adalah hak istimewa dan tidak harus diungkapkan

25 Op.cit., Schoener R. Gary, (1997)

26 Van Hoose & Kotler, 1985, p. 45 dalam Gladding, 2012, h. 83.

27 Buttler, 1994, p.10 dalam Gladding, 2012, h. 83.

14

dalam pengadilan28. Efek kasus ini dalam konseling bahwa telah

dibuat preseden hukum mengenai kerahasiaan antara klinis

dengan kliennya. Kasus ini juga mengundang perhatian positif

terhadap pelayanan kesehatan mental termasuk konseling.

Kasus legal ketiga yang mempengaruhi konselor adalah

Amicus Curiae Brief yang diperdebatkan sebelum keputusan

Mahkamah Agung Amerika Serikat 1997. Laporan singkat ini

berisi masalah kesehatan mental yang berhubungan dengan

”bantuan bunuh diri medis”29. Dalam pengadilan ini , ACA

bergabung dengan beberapa kelompok kesehatan mental

lainnya untu melindungi hak-hak konselor dan spesialis lain

dalam kaitannya dengan membantu kematian seseorang,

khususnya melindungi si penderita, orang-orang lain yang

berarti baginya dan masyarakat keseluruhan dari masalah yang

mungkin terjadi sehubungan dengan kematian yang disengaja.

Itu tiga contoh kasus terkait dengan aspek legal layanan

bantuan, termasuk layanan konseling.

Berbeda dengan di Amerika, kasus sejenis atau kasus

pelanggaran kode etik bimbingan dan konseling sampai saat ini

di Indonesia -dalam pengetahuan penulis- belum ditemukan

ada yang disidangkan ke pengadilan. Namun hal itu tidak

berarti tidak ada pelanggaran kode etik oleh para praktisi

layanan konseling baik dalam seting pendidikan maupun

dalam seting komunitas (kemasyarakatan). Sebagai contoh

pelanggaran kode etik konselor sekolah (guru BK) yang

memanfaatkan konselinya untuk memperoleh sejumlah uang

dengan modus pinjaman pribadi. Jika pinjam uang dilakukan

konselor kepada orang yang tidak sedang ditangani kasusnya,

tentu tidak masuk dalam pelanggaran kode etik. Kaitan hukum dan konseling tidak hanya berurusan dengan

penanganan atau tindakan atas dugaan pelanggaran kode etik

atau malpraktek tetapi juga perlu untuk mendapat lisensi dan

sertifikasi. Stude & McKelvey, 1979 dalam Gladding menyatakan

dalam banyak kasus, hukum ”biasanya membantu atau netral” 28 Remley, Herlihy & Herlihy, 1997 dalam Gladding, 2012, h.83.

29 Werth & Gordon, 2002 dalam Gladding, 2012. H. 83.

15

terhadap kode etik profesional dan konseling secara umum.

Hukum mendukung lisensi atau sertifikasi untuk konselor

sebagai piranti yang menjamin bahwa orang yang memasuki

profesi tersebut sudah mencapai sekurang-kurangnya standar

minimal. Selain itu juga mendukung ”kerahasiaan pernyataan

dan rekaman yang diberikan oleh konseli selama terapi”30. Pada pertemuan tentang masalah (issue) etik dan legal dalam

konseling akhir-akhir ini diungkapkan ketertarikan sekaligus

kecemasan yang besar sekitar isu-isu yang berhubungan dengan

gangguan konseli secara potensial. Kebanyakan konselor

mengekpresikan ketakutan akan perkara hukum dan sangat

peduli tentang apa arti sebenarnya dalam pembahasan tentang

“exercising sound professional judgment”. Tiga dari peserta

konferensi menjadi peduli dan beberapa konselor lain sangat

khawatir tentang perlindungan diri mereka dan bukan tentang

kesejahteraan konselinya. Meskipun para konselor benar-benar

ingin melindungi diri mereka sendiri secara resmi, kita berharap

bahwa mereka tidak membiarkan masalah ini melemahkan

mereka dan menganggap mereka tidak berguna. Idealnya,

konselor secara sinergi melakukan upaya melindungi diri dengan

menjaga integritas kinerja profesi di satu sisi dan menjaga

kesejahteraan konseli di sisi yang lain, tentu bukan hal mudah.

Upaya demikian, akan meminimalisir resiko-resiko yang tidak

diinginkan.

Sementara upaya meminimalisir resiko, para profesional

hendaknya menyadari bahwa konseling merupakan perbuatan

yang mengandung resiko. Caranya mereka harus memahami

peraturan tentang komunikasi khusus serta harus mengetahui

apa yang mereka bisa dan tidak bisa lakukan secara legal dan

etis.

30 Op.Cit., Gladding, h. 83

16

Bahan diskusi : Mitos atau Ilmu

”Orang-orang yang Etis Jangan melakukan Hal-hal yang Tidak Etis”

Pernyataan ini adalah yang paling benar. Orang dengan

standar etika yang tinggi mungkin kurang terlibat dalam

praktik-praktik tidak etis, bahkan dalam organisasi-organisasi

atau situasi-situasi di mana ada tekanan yang kuat untuk

menyepakati.

Isu penting yang dikemukakan dalam pernyataan ini

adalah apakah perilaku etis lebih merupakan fungsi dari konteks

individual atau situasional. Bukti menunjukkan bahwa orang

dengan prinsip-prinsip etis yang tinggi akan mengikuti mereka

lepas dari apa yang orang lain lakukan atau nyatakan tentang

norma-norma organisasi.31 Namun bila pengembangan moral

dan etis seseorang tidak pada level tertinggi, dia lebih mungkin

untuk dipengaruhi oleh budaya yang kuat. Hal ini benar bahkan

ketika budaya-budaya tersebut mendorong praktik-praktik yang

dapat dipertanyakan.32

Mengingat orang-orang etis pada dasarnya mencegah

praktik-praktik yang tidak etis, maka pimpinan lembaga/biro

layanan konseling hendaknya selektif dalam merekrut calon-

calon konselor dengan memperhatikan standar etis mereka.

Dengan mencari calon konselor yang memiliki integritas dan

prinsip-prinsip etis yang kuat, maka kemungkinan-

kemungkinan konselor melakukan tindakan tidak etis dapat

diminimalisir. Selain itu, praktik-praktik tidak etis dapat

diminimalisir lebih lanjut dengan menciptakan satu iklim

kerja yang mendukung.33

31 L. kohlberg, “Stage and Sequence: The Cognitive-Developmental Approach to

Socialization,” in D.A. Goslin (ed.), Handbook of Socialization Theory and Research. Chicago:Rand McNally, 1969, pp.347-480.

32 Robbins, P. Stephen, Organizational Behavior. New Jersey:Printice-Hall, Inc. 2001

33 B. Victor and J.B. Cullen, “The Organizational Bases of Ethical Work Climates,”

Administrative Science Quarterly, March 1988, pp.101-125

17

BAB III

MENGAMBIL KEPUTUSAN ETIK DALAM KONSELING

A. Isu-Isu Etik dalam Konseling Beberapa isu etik dalam konseling telah lama dibicarakan

para pakar konseling seperti Cavanagh (1982), Gerald Corey

(1988), Tim Bond (2000), Geldard & Geldard (2005), Gibson

& Mitchell (2008), Gladding (2009).Cavanagh menuliskan ada

empat isu etik yang harus diperhatikan konselor yaitu (1) tanggungjawab etik profesional (the ethics of professional

responsibility); (2) kerahasiaan (confidentiality); (3) memberi

informasi (imparting information); dan (4) pengaruh konselor (the

influence of the counselor)34.Tiga masalah etik yang hampir sama

dikemukakan oleh Gerald Corey, yaitu (1) tanggung jawab

terapis, (2) kerahasiaan, (3) pengaruh kepribadian dan

kebutuhan-kebutuhan terapis/konselor. Corey, menuliskan

tiga masalah etik lainnya yang berbeda dengan Cavanagh yaitu (1) kompetensi terapis, (2) hubungan terapis, (3) nilai-nilai dan

filsafat hidup terapis/konselor.35 Sementara Tim Bond menuliskan lima dilema legal dan

etik dalam konseling, yaitu: (1) kemampuan, pengawasan dan

kepercayaan (power, control and trust); (2) perjanjian antara

konselor dan konseli (contracting); (3)kerahasiaan informasi dan

data konseli(confidentiality), (4) konseli niat bunuh diri (suicidal

intent) dan (5) bahaya atau mengancam jiwa orang lain (danger

to others)36.

34 Cavanagh, E. Michael. (1982). The Counseling Experience: A Theoretical and Practical Approach. California : Wodsworth, Inc.h. 343

35 Corey, Geral., (1988) Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, judul asli Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, penerjemah E. Koeswara. Badung: PT Refika aditama. H. 366-394.

36 Tim Bond. (2000). Handbook of Counselling ang Psychotherapy, edited by Colin

Feltman and Lan Horton, London : Sage Publications. h : 235-241

18

Nampak bahwa isu-isu etik dalam konseling ini makin lama

makin kompleks. Seperti yang dikemukakan Geldard & Geldard

ada delapan isu etik bagi konselor yaitu : (1) penghargaan

terhadap konseli, (2) batasan-batasan dalam hubungan konselor

dan konseli, (3) tanggung jawab konselor, (4) kompetensi

konselor, (5) rujukan, (6) penghentian konseling, (7) kewajiban-

kewajiban hukum, dan (8) promosi diri.37 Sedangkan Gibson &

Mitchell menuliskan isu-isu etik dalam konseling dalam tiga hal

yaitu: (1) kompetensi, (2) kerahasiaan dan komunikasi pribadi,

(3) hubungan pribadi dengan konseli38. Isu etik paling mutahir

ditulis Gladding. Ia menuliskan sebelas tingkah laku tidak etis

yang paling sering terjadi dalam konseling (ACA, 2005; Herlihy

& Corey, 2006): 1. Pelanggaran kepercayaan 2. Melampaui tingkat kompetensi profesional 3. Kelalaian dalam praktik 4. Mengklaim keahlian yang tidak dimiliki 5. Memaksakan nilai-nilai konselor pada konseli 6. Membuat konseli bergantung 7. Melakukan aktivitas seksual dengan konseli 8. Konflik kepentingan, seperti hubungan ganda yaitu peran

konselor bercampur dengan hubungan lainnya, baik

hubungan pribadi atau hubungan profesional (Moleski &

Kiselica, 2005) 9. Persetujuan finansial yang kurang jelas seperti mengenakan

bayaran tambahan 10. Pengiklanan yang tidak pantas 11. Plagiarisme39

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan ada

tujuh kesamaan isu etik yang dikemukakan para pakar 37 Geldard, Kathryn & Geldard, David. (2005). Keterampilan Praktik Konseling

: Pendekatan Integratif, judul asli Practical Counselling Skills : An Integrative Approach. Alih bahasa Eva Hamidah, S.S. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. h : 385

38 Gibson & Mitchell. (2008). Introduction to Counseling and Guidance. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

39 Op. Cit., Gladding. h. 67

19

tersebut, yakni isu (1) tanggung jawab profesional konselor,

(2) kerahasiaan, (3) kemampuan atau kompetensi konselor, (4)

batas hubungan konselor dan konseli, (5) pengaruh konselor (6) perjanjian konselor dan konseli, serta (7) promosi diri. Untuk melihat persamaan dan perbedaan isu-isu etik yang

dikemukakan para ahli di atas, baca tabel lampiran 1. Hemat penulis, isu utama dari isu etik ini yaitu rendahnya

tangung jawab profesional konselor. Isu-isu lainnya hanya

merupakan akibat dari isu utama tersebut. Isu kerahasiaan

seperti memberi informasi pada pihak yang tidak berkompeten

dapat dicegah jika konselor memiliki tanggung jawab profesi

yang tinggi. Begitupun isu kemampuan atau kompetensi

konselor seperti memberi layanan konseling di luar bidang

keahlian, ia akan melimpahkan konseli pada pihak yang lebih

berkompeten, dan seterusnya. Penulis juga menduga ke tujuh

isu tersebut paling sering dihadapi konselor dalam praktik

konseling atau boleh jadi paling sering dilanggar seperti yang

dikemukakan Gladding di atas. Dalam buku ini, penulis mencoba menguraikan empat isu

etik yang paling sering terjadi, yaitu:

1. Tanggung jawab Profesional

Sebagai profesional, konselor mempunyai sekurang-

kurangnya tujuh tanggung jawab yaitu (1) tanggung jawab

terhadap konseli, (2) atasan atau pimpinan tempat konselor

bekerja, (3) organisasi profesinya, (4) masyarakat, (5) orang

tua/ keluarga konseli, (6) diri sendiri dan (7) Tuhan. Dalam

memenuhi ke tujuh tanggung jawab tersebut, konselor sering

mengalami konflik. Akibatnya, konselor menjadi ragu dalam

mengambil sebuah keputusan. Jika hal itu terjadi, konselor

dapat berkonsultasi pada teman sejawat (konselor) yang lebih

berpengalaman. Dari tujuh tanggung jawab profesional konselor, mana yang

paling utama harus dipenuhi konselor? Menjawab pertanyaan ini

tentu tidak mudah, sebab ke lima tanggung jawab tersebut harus

dipenuhi secara simultan, artinya pada saat yang sama ke

20

tujuh tanggung jawab tersebut menjadi dasar pertimbangan

etik konselor dalam membuat keputusan.

Konselor harus berhati-hati dalam mengemban ke tujuh

tanggung jawab tersebut. Sebab sering kali keputusan-

keputusan tersebut tidak seperti memilih antara hitam dan

putih, tetapi antara beragam tingkatan warna kelabu yang

kadang-kadang konselor menemui kesulitan dalam

menentukan pilihan terbaik untuk jangka panjang. Untuk itu,

dianjurkan sebelum memulai konseling, hendaknya konselor

menjelaskan beberapa pertimbangan etik dan batas-batas

dalam layanan konseling. Seperti yang dikemukakan Gerdard

& Geldard tentang rambu-rambu dalam memenuhi kebutuhan

konseli agar konseling sesuai dengan standar kode etik, yakni:

1) Tidak bertentangan dengan kebijakan-kebijakan organisasi

tempat konselor bekerja; 2) Tidak melanggar hukum; 3) Tidak membahayakan anggota masyarakat lainnya; atau 4) Tidak mungkin bagi konselor sendiri40.

2. Kompetensi J.P. Chaplin mengartikan kompetensi, kecakapan,

kemampuan, wewenang terjemah dari kata competence yang

artinya kelayakan kemampuan atau pelatihan untuk melakukan

satu tugas41. Dari pengertian di atas, terdapat dua makna yaitu

(1) kecakapan atau kemampuan dan (2) wewenang. Makna

pertama merujuk pada ’pra syarat’ atau memenuhi syarat (qualify), sedangkan makna kedua yaitu (1) hak dan kekuasaan

untuk bertindak; kewenangan dan (2) kekuasaan membuat

keputusan dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.42

Dengan demikian, kompetensi mempunyai dua arti yang berbeda

namun saling terkait. Artinya, sebelum mengemban tugas

konselor hendaknya telah mememuhi kualifikasi akademik 40 Op.Cit Geldard& Geldard, h. 389.

41 Chaplin, J.P., (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Judul asli Dictionary of Psychology

diterjemahkan Kartini Kartono, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h. 99

42 (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

Nasional. Jakarta: Balai Pustaka, h.1272

21

dan profesional dan ketika mengemban tugas, seorang konselor

hendaknya bekerja sesuai dengan kualifikasi tersebut.

Isu etik kompetensi muncul ketika konselor menerima

sebuah posisi sebagai konselor profesional, apakah ia

mempunyai kualifikasi sesuai dengan pendidikan, pelatihan

dan pengalaman untuk mengemban posisi tersebut. Untukitu,

sejak awal konselor tidak boleh memaksakan dirinya

menempati posisi tersebut jika ia tidak berminat atau tidak

mempunyai kualifikasi.43 Contoh, bagi konselor pemula yang

belum berpengalaman dan atau tidak berminat memberi

layanan konseling perkawinan hendaknya mempertimbangkan

secara matang ketika mendapat tugas tersebut. Dalam hal ini

sangat penting, konselor berterus terang kepada konseli dan

menawarkan layanan rujukan kepada konselor lain yang

berpengalaman dalam bidang konseling perkawinan. Bersikap terus terang terhadap keterbatasan profesional dan

pribadi bukan perkara mudah. Sikap tersebut hanya muncul pada

konselor yang mempunyai tanggung jawab profesional yang

tinggi dan komitmen yang kuat untuk menempatkan

kesejahteraan konseli di atas kepentingan lembaga dan pribadi.

Imbalan materi seperti menerima pembayaran atas jasa layanan

konseling bagi lembaga dan atau pribadi konselor hendaknya

tidak mengabaikan kesejahteraan konseli.Pertimbangan etik ini

penting, seiring dengan berkembang pesat kebutuhan layanan

konseling seting kemasyarakatan saat ini yang memungkinkan

munculnya beragam layanan konseling di satu sisi, dan masih

minimnya ketersediaan konselor profesional yang memiliki

banyak keahlian atau konselor spesialis.

Lebih lanjut Gibson dan Mitchell menjelaskan bahwa dalam

kerjanya, konselor bertanggungjawab secara profesional untuk

berpraktik dalam batas-batas kemampuannya. Memang tidak

mudah menentukan batas-batas kompetensi konselor, namun

pelatihan dan pengalaman dapat menyediakan sebuah garis

pedoman yang bermanfaat untuk mengindikasikan apakah

43 Op. Cit., Gibson & Mitchell. (2008), h. 624

22

konselor mempunyai kualifikasi atau tidak. Berkonsultasi pada

superviser dan atau kolega profesional yang lebih

berpengalaman dapat membantu konselor mengidentifikasikan

batas-batas kompetensi profesionalnya.44 Gelar, lisensi dan sertifikat memang dapat memberi tahu

taraf kompetensi konselor pada publik, namun dalam praktik

aktualnya, konselor harus menyadari variasi dalam kompetensi di

antara praktisi dengan kredensial yang sama. Seperti biasanya,

menjadi tanggungjawab konselor profesional untuk terus

memperbaharui kompetensinya lewat partisipasi di berbagai

kesempatan pendidikan profesional, membaca literatur

profesional dan menghadiri pertemuan-pertemuan profesional.

3. Kerahasiaan

Dari empat pakar konseling yang ada dalam buku ini,

Cavanagh(1982) merupakan orang pertama yang membahas

kerahasiaan sebagai salah satu isu etik dalam konseling. Ia

menyatakan kerahasiaan atau confidentiality merupakan sebuah

isu etik yang sangat kompleks bagi konselor45. Pakar berikutnya

Corey (1988), Tim Bond (2000), dan Gibson & Mitchell (2008)

membahas isu ini. Nampak jelas bahwa isu kerahasiaan telah

menjadi isu etik yang krusial dalam konseling lebih dari

seperempat abad terakhir. Pertanyaannya, apa itu kerahasiaan? Siegel (1979)

mendefinisikan sebagai berikut: “Kerahasiaan melibatkan etika

profesional daripada keabsahan dan menunjukkan janji atau

kontrak tersirat untuk tidak menampakkan apapun tentang

pengecualian individu di bawah kondisi yang disepakati dengan

sumber atau subjek “ (p.251). Sementara menurut Ruebhasen dan

Brim (Caroll,1985) konfidensial berhubungan dengan

pengendalian informasi yang diterima dari seseorang. Sebuah

informasi dikatakan konfidential jika dianggap tidak perlu dan

seharusnya tidak disampaikan ke pihak lain atau publik.

44 Ibid

45 Loc. Cit., Cavanagh, h. 346

23

Sebagaimana definisi di atas, maka ada pengecualian atau

batasan-batasan kerahasiaan. Schneiders dalam Latipun berpendapat

bahwa kewajiban konfidensial itu relatif karena di antaranya faktor

bahan yang dibicarakan ada beberapa keadaan. Pertama, di antara

informasi-informasi yang diungkapkan oleh klien itu ada yang telah

menjadi informasi publik atau dapat secara mudah menjadi

informasi publik. Untuk bahan yang seperti inikonselor tidak

mungkin menghentikan informasi-informasi itu, meskipun dia

sendiri tidak terlibat dalam menyebarluaskan informasi itu. Kedua,

bahan informasi yang dianggap konfidensial itu mungkin diperlukan

bagi petugas profesional yang lain yang menerima klien karena

direferal dari konselor.46

Begitu krusialnya isu kerahasiaan dalam konseling,

sehingga isu ini mendapat perhatian serius para pakar dan

praktisi bimbingan dan konseling di Indonesia dengan

menjadikannya sebagai asas utama dan pertama dalam layanan

bimbingan dan konseling.47 Pertanyaan selanjutnya, apakah

kerahasiaan ini berlaku mutlak? Gibson dan Mitchell menjawab

berikut: ”Kepercayaan adalah pondasi esensial dalam hubungan

konseling, dan yang menjadi pusat bagi pengembangan dan

pemeliharaan kepercayaan ini adalah prinsip kerahasiaan.

Namun, kewajiban konselor mempertahankan kerahasiaan dalam

hubungan mereka dengan konseli tidak mutlak, karena itu

konselor perlu menyadari garis pedoman etik dan hukum yang

berlaku.48 Pendapat yang sama dikemukakan Shah (1969, 1970), ia

menyatakan bahwa para terapis memiliki kewajiban moral, etika

dan profesional untuk tidak memberitahukan informasi tanpa

sepengetahuan & kewenangan klien.

Kode etik American Counseling Association (ACA) dan 46 Latipun (2001). Psikologi Konseling. malang: Universitas Muhammadiyah

Malang, h. 215

47 (2004). Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional-Direktorat Pendidikan lanjutan Pertama dan Menengah , h. 9; dan pada Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal (2007). Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan- Departemen Pendidikan Nasional h.204

48 Loc. Cit Gibson & Mitchell, h. 625

24

American Psychological Association (APA) mengizinkan

konselor melanggar kerahasiaan jika dibutuhkan untuk

melindungi hidup konseli yang ingin bunuh diri49. Gibson &

Mitchell telah menghimpun banyak pengecualian kerahasiaan

yang dikutip dari beberapa ahli berikut. Arthur dan Swanson

(1993, hlm.20-21) mengembangkan sejumlah pengecualian yang

diuraikan Bissel dan Royce (1992) sebagai prinsip etik

kerahasiaan berikut:50

1. Konseli berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain. Hukum meletakan keamanan fisik diatas aturan

kerahasiaan atau hak privasi apa pun. Perlindungan

individu memerlukan sejumlah preseden dan mengandung

kewajiban untuk memberikan pengertian. 2. Konseli meminta pelepasan informasi.

Privasi milik klien, namun bisa dilepaskan. Konselor harus

melepaskan informasi kalau klien meminta. 3. Perintah pengadilan untuk melepaskan informasi.

Tanggung jawab di dalam hukum bagi konselor untuk

mempertahankan kerahasiaan ketika diketahui kalau materi

sesi akan digunakan selama supervisi. 4. Konselor menerima supervisi klinis dan sistematis.

Klien harus menyerahkan haknya akan kerahasiaan kalau

diketahui materi sesi konselingnya akan digunakan sebagai

bahan kajian supervisi. 5. Bantuan administrasi untuk memproses informasi dan

berkas-berkas yang terkait dengan konseli. Klien mustinya diberitahu kalau personil administrasi

memiliki akses untuk merekam semua problem rutin seperti

tagihan pembayaran dan pemberkasan rekaman konseling. 6. Konsultasi legal dan klinis yang dibutuhkan.

Sekali lagi klien mustinya diberitahu tentang hak-haknya (etik) untuk memperoleh opini profesional yang lain tentang

kemajuan dan nama-nama yang digunakan sebagai

konsultan. 49 Ibid

50 ibid

25

7. Konseli memiliki sejumlah problem dalam kesehatan mental

mereka terkait hukum. Dalam hak pengasuhan contohnya, kondisi mental suami

istri mesti diberitahu untuk membantu pengadilan

memutuskan siapa dari mereka yang berhak atasnya. 8. Pihak ketiga hadir di sesi konseling.

Klien mesti menyadari ada orang ketiga selain konselor

yang hadir karena itu melepaskan hak privasi mereka

dengan mengizinkan pihak tersebut hadir. 9. Konseli di bawah usia 18 tahun.

Orang tua atau wali memliki hak hukum untuk

berkomunikasi dengan dan mendengarkan informasi

rahasia yang dikomunikasikan antara klien dan konselor. 10. Berbagi informasi intra-lembaga atau intra-institusi sebagai

bagian proses penanganan. Materi rahasia bisa dibagikan kepada profesional lain yang

ikut bertugas menangani klien, namun klien harus tahu

siapa mereka, apa tugasnya, apa batas wewenangnya dan

apa tujuan atau hasil yang akan dicapai dengan pembagian

informasi tersebut. 11. Berbagi informasi dengan sistem pengadilan terkait putusan

hukuman. Informasi yang diperoleh dari narapidana yang dianggap

rahasia boleh dibuka berdasarkan pengoperasian sistem

peradilan dan disposisi kasus yang lebih tepat. 12. Tujuan konseli membuka informasi adalah mencari nasihat

lebih jauh terkait kasus kriminal. Kewajiban ini terkait dengan perlindungan masyarakat dari

aktivitas kriminalitas apapun yang aktual atau masih

dugaan akan beroperasi demikian. 13. Konselor menduga akan terjadi tindak penganiayaan

terhadap anak, wanita, lansia, individu cacat, minoritas atau

pihak lain yang lemah. Semua negara bagian sekarang mendukung semua

pelaporan terhadap dugaan semacam itu.

26

Remley dan Herlihy dalam Gibson & Mitchell

menyebutkan sejumlah pengecualian bagi kerahasiaan dan

keprivasian komunikasi, seperti berikut:51

1. Berbagi informasi dengan bawahan atau rekan profesinal

diizinkan di dalam situasi-situasi berikut: • Bantuan administratif atau yang lain untuk menangani

informasi rahasia. • Konselor berkonsultasi dengan kolega, supervisor atau

profesional ahli. • Konselor bekerja dibawah supervisi atau penelitian. • Profesional lain turut terlibat dalam pengoorganisasian

penanganan klien. 2. Melindungi seseorang yang berada dalam bahaya

memerlukan pembukaan informasi rahasia ketika situasi

berikut : • Konselor menduga terjadi atau akan terjadi tindak

kekerasan, aniaya atau pengabaian terhadap anak atau

individu lain yang berada di bawah pengasuhanya. • Klien memiliki potensi sikap atau tindakan yang

membahayakan orang lain. • Klien memiliki potensi sikap atau tindakan yang

membahayakan dirinya sendiri. • Klien memiliki penyakit menular atau mematikan, dan

sikap, tindakan atau perilaku klien dapat

membahayakan kesehatan orang lain. 3. Kerahasiaan terpaksa dikompromikan ketika melakukan

konseling dengan banyak klien seperti: • Konseling kelompok kelompok. • Konseling pasangan. • Konseling keluarga.

4. Ada kerahasiaan dan komunikasi pribadi yang unik ketika

bekerja dengan klien minoritas, yaitu. • Penggunaan terjemah profesional untuk membantu

komunikasi.

51 Loc. Cit., Gibson & Mitchell,h. 387

27

• Meminta staf profesional terkait keunikan budaya,

bahasa dan sistem nilai populasi minoritas. • Penggunaan bantuan hukum yang mungkin dibutuhkan

klien minoritas. 5. Beberapa pengecualian yang dimandatkan hukum seperti:

• Pembukaan informasi berdasarkan perintah pengadilan. • Klien mengeluh tentang sikap atau tindakan tidak etis

konseling. • Klien mengalami kerugian emosi atau yang lain dari

proses konseling. • Komitmen klien untuk melanjutkan konseling dicabut.

Sedangkan Cottone dan Tarvydas ( 2007- hal. 59) dalam

Gibson & Mitchell juga membahas pengecualian bagi

kerahasiaan sebagai berikut:52

Kewajiban etik konselor untuk memastikan klien akan

kerahasiaan dan hak hukumnya adalah dasar bagi praktik

konseling. Beragamnya kondisi konseling di wilayah khusus

praktik membuat problem kerahasiaan dan privasi

mengekpresikan taraf yang berbeda beeda di situasi-situasi

tersebut.Kondisikhususyangberkaitandengankerahasiaan

dan privilese ini mencakup konseling bagi individu yang

terkena HIV atau AIDS, problem-problem keluarga atau

pasangan, individu cacat, problem kelompok, dan klien di

fasilitas penanganan narkoba dan alkohol. Peningkatan yang

cepat dan penggunaan yang luas piranti elektronik dan

teknologi lainnya dalam konseling juga menciptakan

problem yang menantang bagi upaya mempertahankan

kerahasiaan klien.

Beberapa batasan kerahasiaan hubungan konseling harus

dijelaskan di awal. Hal ini akan lebih baik khususnya bagi konseli,

konselor, dan lembaga penyedia jasa layanan konseling. Jika

konseli diinformasikan tentang kondisi-kondisi yang mana

kerahasiaan bisa dikompromikan, mereka berada di posisi yang

lebih baik untuk memutuskan sebelum memasuki konseling. 52 Ibid

28

Selain beberapa pengecualian kerahasiaan di atas, masih

ada isu etik kerahasiaan lain terkait dengan situasi konseling

khusus seperti dilema etik konseling di sekolah, konseling dengan

menggunakan komputer untuk mentransmisikan informasi antar

konselor profesional, konseling perkawinan/keluarga dan

konseling lansia, hubungan multipel, bekerja dengan konselor

yang tidak etis53. Dalam seting konseling khusus tersebut, masalah

kerahasiaan juga masuk dalam pengecualian.

4. Batasan dalam Hubungan antara Konselor dan Konseli Dalam Kode Etik ACA (2005) hubungan konseling

ditempatkan pada bagian pertama dari delapan bagian isi Kode

Etik. Penulis berpendapat, penempatan posisi urutan tersebut

tentu bukan sebuah kebetulan tetapi hasil pertimbangan

sekurang-kurangnya dua hal berikut. Pertama, hubungan

antara konselor dan konseli memberi kontribusi langsung pada

keberhasilan layanan konseling. Kedua, dalam prakteknya

ditemukan banyak masalah, misalnya kecenderungan sering

terjadi kasus hubungan seksual atau romantis antara konselor

dan konseli, khususnya yang terjadi di Amerika (Kode Etik

ACA, 2005; Gibson & Mitchell, 2008; Gladding, 2009). Dalam Kode Etik Bimbingan dan Konseling, baik Kode Etik

ACA maupun ABKIN secara jelas telah berusaha memberikan

batas-batas etis hubungan profesional. Sependapat dengan

Geldard & Geldard bahwa dalam hubungan apapun yang kita

jalani, kita selalu menentukan batasan-batasan. Kita masing-

masing memiliki garis batas di sekitar diri kita untuk melindungi

identitas kita sebagai seorang individu. Kekuatan dari batas

tersebut dan karakteristiknya bergantung pada dengan siapa kita

menjalin hubungan dan konteks hubungan tersebut. Hubungan

konseli dan konselor adalah tipe hubungan yang istimewa, yang

dibangun oleh konseli untuk satu tujuan. Konseli melibatkan diri

dalam sebuah hubungan di mana ia memberi kepercayaan kepada

konselor mereka dan dalam perjalanan hubungan

53 Loc. Cit., Gladding. h. 78-82

29

tersebut, konseli berharap pada konselor dapat membantu

menyelesaikan permasalahannya.54

Banyak negara bagian di Amerika memperkenalkan dan

melindungi komunikasi istemewa dalam hubungan konselor-

konseli (Glosoff, Herlihy, & Spence, 2000). Namun, ada

sembilan pengecualian, yaitu:

a. Dalam kasus pertentangan antara konselor dan konseli; b. Ketika konseli memunculkan masalah mengenai kondisi

mental dan tuntutan legal; c. Ketika kondisi konseli dalam bahaya baik untuk dirinya

maupun orang lain; d. Dalam kasus pelecehan anak atau penelantaran; e. Ketika konselor memiliki informasi bahwa konseli berniat

untuk melakukan kejahatan; f. Selama pengadilan meminta evaluasi psikologis; g. Untuk tujuan pertolongan spontan; h. Ketika konselor memiliki informasi bahwa konseli telah

menjadi korban kejahatan; dan i. Dalam kasus kekerasan pada orang yang rentan55

Batas-batas hubungan konselor dan konseli penting

diperhatikan selain karena hubungan pribadi yang terlalu

dekat dapat merusak penilaian profesional konselor. Ini artinya

menghindari hubungan konseling dengan kerabat, teman dekat

dan majikan konseli. Konselor juga harus berupaya

menghindari eksploitasi konseli untuk perolehan finansial,

status sosial, data riset atau motif lain di luar konseling.

B. Sumber Etika Bimbingan dan Konseling Bond (2000) dalam Nelson-Jones mengusulkan enam sumber

etika bimbingan dan konseling yaitu : (1) etika personal, (2) etika dan nilai-nilai yang implisit di dalam model-model

terapeutik, (3) kebijakan agency, (4) kode dan pedoman

profesional, (5) filosofi moral dan (6) hukum. 56 Selain itu, penulis 54 Geldard & Geldard, h. 387

55 Op. Cit., Gladding, h.85

56 Nelson-Jones, (2012) Pengantar Keterampilan Konseling. Penyunting : Mas’ud

30

menambahkan sumber etika yang berasal dari ajaran agama yang

dianut konselor dan konseli yang terdapat pada kitab suci masing-

masing. Kedudukan ajaran agama sebagai sumber etika

bimbingan konseling hendaknya di atas sumber etika lainnya.

Dengan kata lain, ajaran agama menjadi rujukan utama dan

pertama sumber etika lain yang telah dikemukakan Bond di atas.

Alasannya, yaitu : Pertama, kebenaran ajaran agama bersifat

mutlak karena bersumber dari firman Allah. Kedua, dari ke enam

sumber etika dimungkinkan terjadi benturan nilai antara satu

dengan yang lainnya. Contoh etika personal yang bersifat sangat

subyektif tentu akan ideal jika diinspirasi oleh ke enam sumber

etika lain. Namun, untuk menyelaraskan ke tujuh sumber etik

tersebut memang tidak mudah. Di saat seperti ini, dibutuhkan

komitmen dan integritas pribadi konselor.

C. Panduan untuk Bertindak Secara Etik Bertindak secara etik dalam mengemban profesi tidak

mudah terutama bagi konselor pemula yang belum

berpengalaman. Kesulitan tersebut dimaklumi, mengingat

konselor pemula belum punya pengalaman mengahadapi dilema

etis, yaitu situasi di mana mereka dituntut untuk menetapkan

tingkah laku yang benar atau yang salah.57 Tidak hanya itu,

kesulitan juga disebabkan oleh belum adanya definisi yang jelas

mengenai perilaku etis yang baik.58 Lebih lanjut Robbins

menyatakan bahwa akhir-akhir ini garis yang membedakan antara

benar dan salah telah menjadi kabur. Nampaknya sinyalemen

Robbins sulit dibantah. Di era keterbukaan saat ini, kita sering

menyaksikan berita di media cetak-elektronik tentang para

profesional seperti dokter, pengacara, polisi yang melakukan

tindakan dalam ’wilayah abu-abu’, ambivalen, kabur antara

benar-salah yang terkadang ’dipertanyakan’ oleh orang awam.

Khasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 355. 57 E. J. Ottensmeyer and G. McCarthy, Ethics in the Work Place. New York:McGraw

Hill, 1996.

58 Op.cit., Robbins, P.Stephen, 2001.h.191.

31

Mengingat sulitnya bertindak secara etik, maka dipandang

perlu adanya perangkat seperti panduan untuk bertindak secara

etis yang jelas, terukur dan operasional. Di samping itu perlu juga

dilakukan sosialisasi kode etik profesi, menyediakan jasa

’penasehat’ untuk membantu menangani isu-isu etis dan men­

ciptakan mekanisme perlindungan bagi mereka yang mengung­

kapkan praktik-praktik tidak etis di dalam dan di luar organisasi.

Swanson (1983a) dalam Galdding59 memberikan empat

pedoman untuk menilai, apakah konselor bertindak dalam

tanggung jawab etika, yaitu (1) kejujuran pribadi dan profesional

konselor; (2) konselor bertindak untuk kepentingan terbaik konseli;

(3) konselor bertindak tanpa tujuan keuntungan pribadi;

(4) tindakan konselor hendaknya dilakukan berdasarkan

peraturan profesi yang berlaku. Keempat pedoman tersebut

dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kejujuran pribadi dan profesional. Kejujuran

pribadi artinya dalam menjalankan tugas profesi sebagai

konselor ia harus terbuka dengan diri sendiri. Sebagai contoh,

ketika kondisi fisik, psikis, waktu, tempat tidak memungkinkan

proses pemberian layanan bantuan berlangsung, konselor

harus secara jujur menyatakannya pada konseli. Kondisi fisik

yang lelah karena banyak pekerjaan atau karena sakit, psikis

(pikiran dan emosi) yang kalut, waktu yang sempit dan tempat

yang berisik menjadi faktor penghambat rendahnya mutu

layanan konseling. Begitupun kejujuran profesional sangat

diperlukan dalam mewujudkan efektivitas layanan konseling.

Konselor yang memiliki kejujuran profesional, tentu ia akan

memberi layanan sesuai dengan komptensinya. Ketika

menemui kasus di luar kewenangannya, ia langsung merujuk

kasus tersebut pada ahli lain yang berkompeten. Kedua, konselor bertindak untuk kepentingan terbaik

konseli. Tentu tidak mudah untuk mengikuti pedoman ke dua

ini. Hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan konselor dalam

mengenali karakter, motif dan kebutuhan konseli yang

59 Op.cit., Gladding, h. 73

32

sesungguhnya atau disebabkan oleh ketidaksadaran konselor

dalam menerapkan nilai-nilai pribadinya pada konseli tanpa

menggali dan mengelaborasi nilai-nilai konseli sendiri. Ketiga, konselor bertindak tanpa tujuan keuntungan pribadi.

Ketika menemui konseli yang sulit ditangani atau konseli yang

disukai , konselor harus hati-hati untuk menghindari hubungan

pribadi maupun profesional yang mengarah pada eksploitasi

konseli. Pada konseli yang sulit ditangani berpotensi pada

orientasi ”keuntungan materi” , sementara untuk konseli yang

disukai dapat mengarah pada hubungan intim yang tidak legal.

Keempat, tindakan konselor hendaknya dilakukan

berdasarkan peraturan profesi yang berlaku. Untuk membuat

keputusan yang demikian, konselor tidak cukup hanya

berpedoman pada kode etik yang ada akan tetapi harus aktif

membaca literatur terkini, mengikuti workshop, pelatihan, dan

pertemuan-pertemuan profesi baik lokal, nasional maupun

internasional. Sementara Cavanagh berpendapat individu dapat

menggunakan tiga kriteria yang berlainan dalam mengambil

pilihan yang etis60. Pertama, adalah kriteria utilitarian, di mana

keputusan-keputusan diambil semata-mata atas dasar hasil atau

konsekuensi mereka. Tujuan utilitarianisme adalah memberikan

kebaikan yang terbesar untuk jumlah yang terbesar. Pandangan

ini cenderung mendominasi pengambilan keputusan bisnis.

Kriteria etis kedua, adalah menekankan pada hak. Kriteria

ini mempersilakan individu untuk mengambil keputusan yang

konsisten dengan kebebasan dan keistimewaan mendasar

seperti dikemukakan dalam dokumen-dokumen Piagam Hak

Asasi. Suatu tekanan pada hak dalam pengambilan keputusan

berarti menghormati dan melindungi hak dasar dari para

individu, seperti hak keleluasaan pribadi (privacy), kebebasan

berbicara dan proses hak perlindungan. Misalnya, penggunaan

kriteria ini untuk melindungi segala informasi, data konseli

selama sesi konseling berlangsung. 60 G.F. Cavanagh, D.J. Moberg, and M. Valasquez, The Eticts Of Organization

Politict, “Academy of management journal, June 1981, pp.363-374.

33

Kriteria ketiga adalah menekankan pada keadilan. Ini

mensyaratkan individu untuk mengenakan dan memperkuat

aturan-aturan secara adil dan tidak berat sebelah sehingga ada

pembagian manfaat dan biaya yang pantas. Lazimnya anggota

serikat buruh menyukai pandangan ini. Kriteria ini

membenarkan pembayaran upah sebagai bentuk menghargai

jasa atau tenaga yang telah diberikan. Kriteria ini juga dapat

diterapkan oleh organisasi profesi konselor, karena Kode Etik

American Counseling Association (ACA) telah mengatur hal

tersebut.

D. Praktek Pengambilan Keputusan Etik dalam Konseling

Berikut ilustrasi contoh pengambilan keputusan etik

dalam konseling seting sekolah. Apa yang harus dilakukan

konselor sekolah jika mendapati siswanya membawa daun

ganja segar dalam tas sekolahnya? Apakah akan langsung lapor

dan menyerahkan kasus tersebut ke polisi? Ataukah konselor

berkoordinasi dengan kepala sekolah dan orang tua siswa

untuk menangani kasus tersebut? Atau melimpahkan siswa

tersebut ke panti rehabilitasi pecandu zat adiktif dan

mengeluarkannya dari sekolah tersebut? Jawabanya tentu bervariasi tergantung pada pertimbangan

konselor. Konselor A memilih langsung lapor dan menyerahkan

kasus tersebut pada polisi dengan pertimbangan jika kasus

tersebut tidak segera dilaporkan ke penegak hukum, maka

konselor A akan terjerat pasal ”menyembunyikan tindak

kejahatan/kriminalitas”. Konselor B memilih berkoordinasi

dengan pihak sekolah lainnya (kepala sekolah, pembina

kesiswaan, wali kelas) dan orang tua siswa. Pilihan tersebut

didasarkan pada pertimbangan karena ingin melakukan

penelusuran kasus tersebut secara mendalam supaya konselor

memperoleh data yang lengkap apakah siswa tersebut benar-

benar sebagai ”pemakai/pecandu” atau sekedar ”coba-coba”

untuk cari identitas. Konselor C pilih melimpahkan siswa tersebut

ke panti rehabilitasi dan mengeluarkan dari sekolah dengan

alasan akan membawa ’virus’ candu pada siswa lainnya.

34

Ke tiga alasan tersebut nampaknya secara nalar dapat diterima.

Jika demikian, apa yang menjadi standar etik dalam mengambil

tindakan tersebut? Untuk membantu anda berlatih dalam mempertimbangkan

issu-issu praktis berkaitan dengan masalah etik, berikut ini

penulis sajikan beberapa kasus. Penulis minta saudara menjawab

dan menjelaskan tindakan-tindakan konselor serta mengevaluasi

penanganannya dari situasi tersebut.

Kasus 1 Hanna adalah seorang konselor yang telah menjalani

profesinya lebih dari 15 tahun. Di tengah jadwalnya yang padat, ia

menerima telpon dari orang tua dan meminta agar ia memberi

bantuan terapi bagi puterinya yang duduk di kelas 3 SMA, yang

telah satu minggu tidak masuk sekolah dan ‘berperilaku aneh’.

Hanna segera menyempatkan diri mendatangi kediaman orang

tua dan puteri tersebut. Dalam sesi pertemuan pertama, awalnya

Hanna mendengarkan penjelasan perilaku aneh puteri dari ke dua

orang tuanya. Menurut ke dua orang tuanya, puteri sudah hampir

satu minggu tidak masuk sekolah. Selama di rumah, ia tidak mau

makan, tidak mau mandi, tidak menjalankan sholat, tidak mau

tidur, berbicara sendiri dan kadang berteriak, menyanyi dan

berjoget. Jika ibunya mendekati, ia bertindak kasar seolah ia

memusuhinya. Jika orang lain menghampiri dan mengajak bicara,

ia tidak merespon melainkan meniru ucapan orang-orang yang

mengajak bicara padanya.

Untuk meyakinkan keterangan ke dua orang tua puteri,

Hanna minta ijin menemui puteri. Hasilnya pengamatan saat itu,

puteri berbicara sendiri dan kadang berteriak, menyanyi dan

berjoget tidak bisa dihentikan, mukanya pucat dan tidak bisa

diajak berkomunikasi. Hanna menyarankan agar puteri mendapat

bantuan medis dari dokter terlebih dahulu, supaya fisiknya tidak

terus melemah. Hanna memutuskan akan memberi bantuan

psikologis jika kondisi fisik puteri sudah membaik.

35

Pertanyaan:

1. Apakah saudara setuju/tidak terhadap keputusan Hanna? Berikan alasan!

2. Jika saudara sebagai Hanna, apa tindakan yang akan saudara

lakukan untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis puteri?

Kasus 2 Ketika Larry berusia 14 tahun dibawa ke suatu klinik

konseling keluarga oleh orang tuanya. Dia ditemui oleh seorang

konselor yang berpengalaman 9 tahun dalam konseling. Di sesi

pertama, konselor tersebut menemui Larry bersama-sama dengan

orang tuanya. Konselor mengatakan kepada orang tuanya bahwa

apa yang dia dan Larry diskusikan akan dirahasiakan dan bahwa

dia tidak akan merasa bebas untuk mengungkap informasi yang

diperlukan selama sesi tanpa izin Larry. Orang tuanya tampak

mengerti bahwa kerahasiaan itu perlu untuk kemajuan hubungan

puteranya dengan konselor.

Pada awal konseling Larry ragu tetapi akhirnya dia

mulai terbuka. Sewaktu sesi-sesi berjalan, Larry mengatakan

kepada konselor bahwa dia “kecanduan obat”. Orang tua Larry

tahu bahwa Larry sudah menggunakan obat pada suatu waktu,

tatapi Larry mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa

dirinya tidak memggunakan obat lagi. Konselor menggunakan

anekdot tentang penggunaan obat berbahaya oleh Larry, juga

tentang bagaimana “got loaded” dan “a few brushes with death”

ketika Larry berada di bawah pengaruh obat.

Akhirnya, konselor mengatakan kepada Larry bahwa

dia tidak mau bertanggungjawab jika Larry mencoba

mengkonsumsi obat-obat terlarang dan konselorpun tidak

menyetujui untuk melanjutkan hubungan konseling jika Larry

tidak berhenti menggunakan obat. Pada tahapan ini, konselor

masih setuju untuk tidak memberitahukan kepada orang

tuanya, tetapi konselor akan membicarakan kasus Larry

dengan salah satu koleganya tanpa diketahui Larry.

Rupanya Larry berhenti menggunakan obat selama

beberapa minggu. Suatu malam ketika dia di bawah pengaruh

36

obat, dia mengalami kecelakaan mobil. Sebagai akibatnya, dia

menjadi lumpuh. Orang tua Larry marah, karena mereka

merasa berhak untuk diberi tahu tentang kondisi emosi Larry

yang tidak stabil. Orang tua Larry mengajukan gugatan kepada

konselor dan klinik konseling tersebut.

1. Apa kesan umum anda tentang cara konselor Larry dalam

mengatasi kasus tersebut? 2. Apakah anda berpikir tindakan konselor merupakan cara

yang bertanggungjawab terhadap: a) dirinya sendiri; b)

Larry sebagai konseli; c) Orang tua Larry; dan d) Pimpinan

klinik konseling? 3. Seandainya anda menjadi konselor larry dan diyakini bahwa

dia suka melukai dirinya atau orang lain karena penggunaan

obat dan kondisi emosinya tidak stabil. Maukah anda memberi

tahu orang tua meskipun melakukan demikian akan mungkin

mengakhiri hubungan konseling dengan Larry? Kenapa ya? Atau kenapa tidak?

4. Wacana mana dari tindakan berikut ini yang mungkin anda

ambil jika anda menjadi konselor Larry? Cocokkan

sebanyak mungkin yang menurut anda cocok atau tepat! a. Menyatakan batasan-batasan resmi di sesi awal

sebagaimana seorang terapis b. Konsultasi dengan direktur klinik konseling c. Mengajukan Larry untuk tes psikologi untuk

menentukan tingkat gangguan emosinya d. Mengajukan dia ke psikiater untuk diobati e. Melanjutkan untuk menemuinya tanpa syarat f. Memasuki sesi dengan orang tuanya sebagai sebuah

upaya tindak lanjut konseling g. Menghubungi polisi dan pihak berwenang lainnya h. Membuktikan bahwa keputusan anda dengan survey

(penelitian) yang berkaitan dengan itu.

Kasus 3

Faiz adalah mahasiswa semester 1 program studi

Bimbingan dan Konseling Islam. Awalnya ia bersemangat

37

untuk bergabung pada salah satu organisasi yang bernama

Asosiasi Konselor Muda Indonesia di Provinsinya. Namun

setelah ia mengenal latar belakang pendidikan teman-teman di

organisasi tersebut, ternyata mayoritas bukan berlatarbelakang

pendidikang konseling. Suatu hari, Faiz diminta menemui

Ketua Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)

setempat untuk diminta keterangan tentang legilitas organisasi

yang diikutinya. Dalam sesi pembicaraan diperoleh keterangan (1) sebagian

besar pengurus organisasi yang diikuti Faiz tidak memiliki latar

belakang pendidikan konseling, (2) SK kepengurusan dikeluarkan

Dinas Pemuda dan Olah Raga, (3) Faiz belum memahami aturan

organisasi seperti AD/ART, (4) Faiz belum mengetahui program

kerja organisasi yang diikutinya. Setelah menyimak keterangan

Faiz, konselor menyarankan hal-hal berikut: (1) Faiz hendaknya

memahami aturan organisasi yang akan diikutinya,

(2) Jika ia belum memiliki aturan organisasi, segera menemui

pimpinan organisasi untuk memintanya, (3) Faiz, hendaknya

membuat usulan tentang pentingnya kesesuaian latar belakang

pendidikan dan keahlian para pengurus organisasi tersebut, (4) Faiz, hendaknya proaktif membuat dan mengusulkan program

kerja untuk organisasi yang diikutinya. Pertnyaan : 1. Bagaimana pendapat saudara terhadap keempat saran yang

diberikan Ketua Asosiasi Bimbingan dan Konseling kepada Faiz?

2. Menurut saudara, apa yang melatarbelakangi Ketua Asosiasi Bimbingan dan Konseling memberi ke empat saran pada Faiz?

3. Jika saudara dalam posisi Faiz, apa yang akan dilakukan?

Mengapa?

Kasus 4 :

Pada Agustus 2012 Maya secara suka rela bergabung

sebagai konselor sebaya di UPT Konseling di kampusnya. Ia

bekerja bersama psikolog dan konselor kampusnya. Suatu hari,

38

maya bertemu dengan konselor sebaya lainnya yang sedang

makan siang di kantin kampus. Keduanya mulai membahas kasus

yang sedang ditangai secara detail, bahkan menyebutkan nama-

nama konselinya. Maya bersama rekan konselor sebayanya

membicarakan konseli-konselinyayang mereka temui sementara

didekatnya ada orang lainyang mungkin mendengar percakapan

tersebut. Apa yang akan saudara lakukan dalam situasi ini?

Saudara akan memberitahu Maya untuk menghentikan

pembicaraan tentang konselimereka karena mahasiswa/orang

lainbisa mendengarkan mereka dan mengingatkan Maya

bahwa tindakannya tidak etis.

1. Saudara akan membawa masalah itu dan membahasnya

pada praktikum mata kuliah Kode Etik Profesi Konselor. 2. Saudara tidak akan melakukan apa-apa karena para

mahasiswa yang mendengar percakapan tersebut tidak akan

begitu tertarik dengan apa yang dikatakan Maya dan

temannya. 3. Saudara tidak akan melakukan apapun karena menganggap

wajar membahas kasus-kasus dan membuat candaan untuk

mengurangi tekanan seseorang. 4. Saudara akan mencoba menghentikan perbincangan

Maya dan temannya serta mendorong keduanya untuk

melanjutkan pembicaraan di tempat yang menjamin terjaga

kerahasiaannya.

Kasus 5

Saudara sedang memimpin kelompok konseling di

sebuah kampus. Para anggota suka rela bergabung dengan

kelompok tersebut. Dalam sebuah sessi beberapa mahasiswa

membahas jual beli obat di kampusnya, dan dua dari mereka

menyatakan bahwa mereka menjual ganja dan bermacam

pilkepada teman-temannya. Saudara juga turut mendiskusikan

masalah ini dengan mereka dan mereka mengklaim bahwa

kebanyakan mahasiswa di kampus mengkonsumsi obat,

sehingga tidak ada orang yang dirugikan.

39

1. Apa yang akan saudara lakukan dalam situasi ini? 2. Apakah saudara tidak akan melakukan apapun karena

saudara tidak ingin merusak kepercayaan dan pertemanan

saudara? 3. Tanpa sepengetahuan teman-teman, saudara akan

melaporkan kasus tersebut kepada pihak-pihak yang punya

otoritas baik di dalam maupun di luar kampus dan menjaga

identitas kerahasiaan teman saudara. 4. Saudara membiarkan teman-teman tahu bahwa saudara

berencana memberitahukan kepada pihak yang punya

otoritas di kampus tentang tindakan dan nama teman-teman

saudara.

40

BAB IV

KODE ETIK PROFESI KONSELOR

A. Subyek Kode Etik Profesi Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan

landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang

dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.61 Pertanyaannya,

apakah orang yang bertugas memberi layanan bimbingan dan

konseling namun belum atau tidak menjadi anggota ABKIN

berarti tidak perlu mengamalkan kode etik? Apakah kode etik

hanya wajib dipatuhi oleh anggota dan pengurus organisasi

profesi bimbingan dan konseling (ABKIN) saja? Untuk menjawab

pertanyaan tersebut harus dimulai dari penjelasan kata ”anggota”

ABKIN. Dalam Anggaran Rumah Tangga ABKIN Bab III diatur

tentang keanggotaan. Ada tiga keanggotaan ABKIN yaitu anggota

biasa (bab III Pasal 4); anggota luar biasa (Bab III pasal 5); dan

anggota kehormatan (Bab III pasal 5). Jika dicermati penjelasan

ketiga keanggotaan ABKIN tersebut dapat disimpulkan bahwa

setiap individu yang mempunyai ijazah di bidang bimbingan dan

konseling dan atau sedang mengikuti pendidikan bidang

bimbingan dan konseling, serta menjalankan tugas/jabatan yang

berhubungan dengan bimbingan dan konseling baik dalam seting

pendidikan maupun seting masyarakat wajib mematuhi kode etik

profesi bimbingan dan konseling.

Pertanyaan selanjutnya, apa sanksi bagi mereka yang tidak

mematuhi kode etik profesi bimbingan dan konseling tersebut?

dan siapa yang berwewenang memberi sanksi terhadap konselor

yang melanggar kode etik? Dalam kode etik BK dinyatakan

bahwa “Pelanggaran terhadap kode etikakan mendapatkan sanksi

berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Asosiasi 61 Anggaran Rumah Tangga ABKIN BAB II pasal 2 ayat (1)

41

Bimbingan dan Konseling Indonesia. Bentuk-bentuk sanksi

sebagaimana yang disebutkan di atas dalam pelaksanaanya

tidak selalu berjalan mulus. Hal itu disebabkan (1) adanya rasa

solidaritas yang tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi.

Seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman

sejawat yang melakukan pelanggaran.

B. Dasar Kode Etik Profesi Konselor Dasar kode etik profesi bimbingan dan konseling Indonesia

yaitu panca sila dan tuntutan profesi. Panca sila dijadikan dasar

kode etik mengingat bahwa profesi bimbingan dan konseling

merupakan usaha pelayanan terhadap sesama manusia dalam

rangka ikut membina warga negara Indonesia yang bertanggung

jawab. Hal itu selaras dengan pengertian Bimbingan dan

konseling merupakan proses bantuan psikologis dan kemanusiaan

kepada yang dibimbing (konseli) agar ia dapat berkembang secara

optimal, yaitu mampu memahami diri, mengarahkan diri, dan

mengaktualisasikan diri sesuai tahap perkembangan, sifat-sifat,

potensi yang dimiliki dan latar belakang kehidupan serta

lingkungannya sehingga tercapai kebahagian dalam

kehidupannya.62 Sedangkan tuntutan profesi dijadikan dasar kode

etik karena layanan profesi bimbingan dan konseling mengacu

pada kebutuhan dan kebahagiaan konseli sesuai dengan norma-

norma yang berlaku.

Kode etik profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia

terdiri dari lima bab yaitu bab satu pendahuluan, bab dua

tentang Kualifikasi dan Kegiatan Profesional Konselor, bab tiga

tentang Hubungan Kelembagaan, bab empat tentang Praktek

Mandiri dan Laporan Kepada Pihak Lain dan bab lima tentang

Ketaatan Profesi. Naskah lengkap kode etik profesi Bimbingan

dan Konseling lihat lampiran 1.

62 Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bimbingan dan Konseling, Departemen

Pendidikan Nasional tahun 2004, h.4.

42

C. Keterbatasan dan Pengembangan Kode Etik

Kode etik konseling yang pertama dibuat oleh American

Counseling Association (ACA) (selanjutnya, American

Personnel and Guidance Association, atau APGA) berdasarkan

kode etik American Counseling Association yang asli (Allen,

1986). Kode etik awal dari ACA ini digagas oleh Donald Super

dan disetujui pada tahun 1961 (Herlihy & Corey, 2006). Sejak

saat itu, peraturan ini direvisi secara periodik (tahun 1974, 1981,

1988, 1995, dan 2005). Kode etik ACA yang terakhir lebih komprehensif dari hasil

sebelumnya. Hasil revisi kode etik ACA terakhir ini menunjukkan

bahwa konseling telah berkembang menjadi sebuah ilmu yang

matang. Dalam kode etik ACA ada delapan bagian judul topik.

Semuanya mengandung materi yang hampir sama dengan yang

terdapat dalam banyak kode etik lainnya (Merrill Education,

2007), tetapi ditujukan untuk profesi konseling. Bagian pertama

berisi hubungan konseling termasuk tanggung jawab konselor

profesional pada konseli dan kesejahteraan mereka seperti

peranan dan hubungan dengan konseli dan penggunaan teknologi

dalam konseling. Bagian ini juga mendiskusikan cara-cara untuk

mengatasi beberapa subyek bermasalah seperti upah, pertukaran,

pelimpahan dan pemutusan. Sebagai contoh, dalam bagian ini,

ACA menjelaskan bahwa sebelum memulai konseling (pelayanan)

harus dilakukan pemeriksaan secara seksama tentang hubungan

seksual atau romantis antara konselor dan mantan konselinya;

dan hubungan semacam ini dilarang untuk lima tahun ke depan

sejak kontak profesional terakhir.

Bagian kedua mencakup kepercayaan, komunikasi

istimewa dan privasi dalam konseling termasuk pengecualian

untuk hak privasi, merekam, konsultasi, penelitian dan

pelatihan. Bagian tiga berfokus pada isu yang berkaitan dengan

tanggung jawab profesional seperti kompetensi profesional,

periklanan dan penawaran, kualifikasi dan tanggung jawab

publik. Bagian keempat mencakup hubungan dengan tenaga

profesional lainnya termasuk rekan kerja, atasan dan pegawai.

43

Bagian kelima menyangkut evaluasi, penilaian dan

interpretasi. Selain informasi umum, bagian ini mengandung

materi tentang kompetensi untuk menggunakan dan

menginterpretasikan instrumen penilaian, persetujuan tertulis

dalam penilaian, penyerahan data kepada profesional yang

berkualifikasi, diagnosis penyimpangan mental, pemilihan

instrumen, kondisi pelaksanaan penilaian, isu multikultural/

perbedaan dalam penilaian, pemberian skor dan interpretasi

penilaian, keamanan penilian, menjaga data hasil penilaian

yang tidak lagi dipakai dan hasil yang kadaluwarsa, konsultasi

penilaian, evaluasi forensik:evaluasi untuk proses hukum. Bagian ke enam tentang supervisi, pelatihan dan pengajaran.

Sub bagian ini meliputi kompetensi supervisi konselor, hubungan

supervisi, tanggung jawab supervisor, evaluasi supervisi

konseling, remediasi dan dukungan, tanggung jawab pendidik

konselor, kesejahteraan konseli. Bagian ketujuh berhubungan

dengan penelitian dan publikasi. Di dalamnya dijelaskan tentang

tanggung jawab penelitian, hak partisipan penelitian, hubungan

dengan partisipan penelitian (jika penelitian melibatkan interaksi

intensif atau berkepanjangan, pelaporan hasil dan publikasi.

Bagian ke delapan membahas pemecahan masalah etika meliputi

konflik antara etika dan hukum, pelanggaran yang

dicurigai,bekerja sama dengan komite etik.

Kode etik ACA telah mengalami lima kali revisi dan lebih

komprehensif dibanding dengan kode etik Asosiasi Bimbingan

dan Konseling Indonesia. Namun demikian, masih belum

dapat menjawab persoalan yang spesifik. Remeley (1985)

mencatat bahwa kode etik itu umum dan idealistis; jarang

menjawab pertanyaan yang spesifik63. Sebagai pedoman umum,

kode etik tentu tidak langsung mampu menjawab persoalan-

persoalan yang spesifik. Di sini pentingnya pengembangan

kode etik oleh konselor khususnya dalam menghadapi situasi

yang tidak jelas, ambivalen dan dilematis.

63 Remeley (1985) dalam Gladding, 2012, h. 70

44

Ada sejumlah batasan spesifik dalam kode etik. Di bawah

ini beberapa keterbatasan yang paling sering disebutkan64 :

1. Beberapa masalah tidak dapat diputuskan dengan kode etik. 2. Pelaksanaan kode etik merupakan hal yang sulit. 3. Standar-standar yang diuraikan dalam kode etik ada

kemungkinan saling bertentangan. 4. Beberapa isu legal dan etis tidak tercakup dalam kode etik. 5. Kode etik adalah dokumen sejarah, sehingga praktik yang

diterima pada suatu kurun waktu mungkin saja dianggap

tidak lagi etis di kemudian hari. 6. Terkadang muncul konflik antara peraturan etik dan

peraturan legal. 7. Kode etik tidak membahas masalah lintas budaya. 8. Tidak semua kemungkinan situasi dibahas dalam kode etik. 9. Sering kali sulit menampung keinginan semua pihak yang

terlibat dalam perbincangan etik secara sistematis. 10. Kode etik bukan dokumen proaktif untuk membantu

konselor dalam memutuskan apa yang harus dilakukan

dalam suatu situasi baru. Jadi, kode etik sangat berguna dalam beberapa hal tetapi

juga memiliki keterbatasan. Konselor harus berhati-hati karena

tidak semua petunjuk yang mereka butuhkan dapat selalu

ditemukan dalam kode etik. Walaupun begitu, kapanpun

masalah etik timbul dalam konseling, yang pertama kali harus

dilakukan konselor adalah melakukan telaah kode etik untuk

melihat apakah ada pembahasan mengenai situasi tersebut.

D. Konflik di dalam dan di antara Kode Etik

Seperti yang telah diketahui bahwa ada banyak

keterbatasan kode etik yang dalam penerapannya berpotensi

mengundang konflik di dalam dan di antara kode etik itu

sendiri. Hal itu disebabkan oleh tiga alasan65. Pertama, untuk

bertindak sesuai etik, konselor harus memperhatikan kode etik 64 Beymer, 1971;Talbutt, 1981; Corey, Corey, & Callanan, 2007; dalam Gladding,

2012, h.70.

65 Op.Cit., Gladding, 2012. H.71.

45

dan mampu membedakan suatu dilema etik dari tipe-tipe

dilema lainnya; proses ini tidak selalu dapat dilakukan dengan

mudah. Sebagai contoh, seseorang mungkin bisa menerima

masalah kontroversial seperti operasi penegasan kelamin yang

didukung dengan prinsip etik. Kedua, terkadang prinsip-prinsip etik yang berbeda dalam

peraturan tersebut menghasilkan pedoman yang saling

bertentangan mengenai apa yang perlu dilakukan dalam situasi

tertentu. Contohnya, potensi konflik antara kerahasiaan dengan

bertindak demi kepentingan konseli, ketika seorang konseli

menceritakan bahwa ia akan melakukan bunuh diri. Dalam situasi

tersebut, konselor yang merahasiakan informasi itu dapat

dianggap melanggar kepentingan konseli dan keluarganya.

Ketiga, konflik dapat terjadi jika konselor bergabung dalam

dua atau lebih organisasi profesional yang memiliki kode etik

berbeda seperti kode etik konselor (ACA) dan kode etik psikolog-

American Psychological Association (APA). Sebagai contoh,

dalam kode etik APA disebutkan bahwa psikolog tidak boleh

mempunyai hubungan seksual dengan mantan kliennya untuk

sekurang-kurangnya dua tahun setelah penghentian perawatan,

sementara dalam kode etik ACA disebutkan minimum lima

tahun. Jika seorang konselor profesional menjadi anggota kedua

organisasi tersebut maka dia dihadapkan pada dilema, kode etik

mana yang akan dia ikuti?

46

BAB V

PROBLEM PELAKSANAAN KODE ETIK

A. Bentuk Pelanggaran Kode Etik

Secara umum bentuk pelanggaran kode etik dapat

dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

1. Bentuk Pelanggaran terhadap Konseli, misalnya: a. Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang

yang tidak terkait dengan kepentingan konseli. b. Melakukan perbuatan amoral seperti pelecehan seksual,

mengkonsumsi barang haram (minuman keras, napza). c. Melakukan tindak kekerasan (fisik dan psikologis)

terhadap konseli. d. Kesalahan dalam melakukan pratek profesional

(prosedur, teknik, evaluasi, dan tindak lanjut). 2. Bentuk Pelanggaran terhadap Organisasi Profesi, misalnya:

a. Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah

ditetapkan oleh organisasi profesi. b. Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organi­­ sasi

profesi untuk kepentingan pribadi dan atau kelom­pok).

3. Bentuk Pelanggaran terhadap Rekan Sejawat dan Profesi

Lain yang Terkait a. Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik

(penghinaan, menolak untuk bekerja sama, sikap arogan) b. Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki

keahlian sesuai dengan masalah konseli atau sebaliknya

tidak melakukan referal meskipun kasus klien di luar

kewenangannya.

B. Sebab Pelanggaran Kode Etik

Sistem nilai, norma, aturan yang ditulis secara jelas, tegas

dan terperinci dalam kode etik profesi terkadang tidak selalu

dapat diterapkan secara mulus oleh anggota profesi sehingga

47

banyak terjadi pelanggaran. Beberapa sebab terjadi

pelanggaran kode etik antara lain66 : 1. Tidak adanya sarana dan mekanisme bagi masyarakat untuk

menyampaikan keluhan adanya pelanggaran sehingga kontrol

dan pengawasan dari masyarakat tidak berjalan 2. Minimnya pengetahuan masyarakat tentang substansi kode

etik profesi karena buruknya pelayanan sosialisasi dari

pihak profesi itu sendiri 3. Belum terbentuknya kultur dan kesadaran etis dari para

pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya.

4. Pengaruh hubungan kekeluargaan/kekerabatan antara

pihak berwenang dengan pelanggar kode etik. 5. Masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia sehingga

pelaku pelanggaran kode etik profesi tidak merasa khawatir

atau takut melakukan pelanggaran. Selain itu pelanggaran kode etik juga disebabkan masih

lemahnya kemampuan menerapkan self-regulation sebagaian anggota

profesi. Idealnya, teman sejawat mestinya berada di garda terdepan

dalam mengontrol dan atau melaporkan adanya pelanggaran kode

etik. Namun dalam praktik sehari-hari kontrol ini tidak berjalan

dengan mulus karena rasa solidaritas yang tertanam kuat dalam diri

anggota-anggota profesi, seorang professional mudah merasa segan

melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran.67 Jika

penerapan self-regulatian di antara sesama teman sejawat saja sulit

diterapkan, apakah mungkin hal itu dapat dilakukan kepada atasan

atau pimpinan organisasi profesi yang mempunyai pengaruh

terhadap kelancaran karir profesinya.

Seorang profesional sejatinya akan teruji manakala ia

mampu menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-

pertimbangan lain seperti pengaruh jabatan, kekeluargaan/

kekerabatan, pertemanan, hubungan yang bersifat simbiosis-

mutualism (timbal balik yang saling-menguntungkan),

keuntungan finansial dan sebagainya. 66 Pelanggaran Kode Etik Profesi IT dan Peraturan Perundangan, Sheetdicx.

wordpress.com/2010/01/13, h.3-4. 67 Op.cit, Ondi Saondi & Aris Suherman, h.96.

48

C. Bentuk Sanksi bagi Pelanggar Kode Etik Secara umum sanksi pelanggar kode etik diklasifikasikan

menjadi dua yaitu sanksi moral dan sanksi dikeluarkan dari

organisasi.68 Sanksi moral misalnya merasa bersalah, krisis atau

hilang rasa percaya diri, tidak berani tampil di publik, pudarnya

reputasi dan kredibilitas (kepercayaan publik), rendahnya

permintaan jasa layanan konseling, dikucilkan oleh komunitas

profesi dan sebagainya. Sanksi moral demikian berlaku relatif,

artinya tidak semua pelanggar kode etik akan merasakan adanya

sanksi moral tersebut. Sanksi moral hanya berlaku bagi orang yang

mempunyai hati yang bening atau Qolbun salim. Bagi orang yang

‘hatinya telah tertutup noda’ sulit merasakan adanya sanksi moral.

Berbeda dengan sanksi organisasi yang sifatnya formal, kasat

mata dan pasti sehingga bentuk sanksi ini lebih efektif dan mudah

dikontrol. Oleh karena itu, yang dimaksud bentuk sanksi

pelanggaran kode etik di sini adalah sanksi organisasi. Sanksi

organisasi ini diatur dalam beberapa tingkatan, mulai tingkat ringan,

sedang sampai berat. Dengan demikian, pemberian bentuk sanksi

akan bergantung pada tingkat pelanggarannya. Sesuai dengan

hakekat pemberian sanksi yaitu untuk memberikan efek jera agar

tidak mengulang tindak pelanggaran kode etik maka pem­ berian

sanksi harus didasarkan pada pertimbangan rasa keadilan.

Sekurang-kurangnya ada lima bentuk sanksi bagi pelanggara kode etik profesi konselor yaitu:

a. Memberikan teguran secara lisan b. Memberikan surat peringatan (SP 1,2, dan 3) secara tertulis c. Pencabutan keanggotan ABKIN dengan tidak hormat d. Pencabutan lisensi bagi yang berpraktik mandiri atau

dikeluarkan dari lembaga tempat ia bekerja. e. Apabila terkait dengan permasalahan hukum/ kriminal

maka akan diserahkan pada pihak yang berwenang.

D. Pihak yang Berwenang Menindak Pelanggar Kode Etik

Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan dinilai dan

ditindak oleh Dewan Pertimbangan Kode Etik. Dewan 68 Ibid, h. 98.

49

Pertimbangan Kode Etik profesi konselor berkedudukan pada

organisasi tingkat nasional dan tingkat provinsi.69 Susunan Dewan

Pertimbangan Kode Etik baik ditingkat Pengurus Besar maupun

di tingkat Pengurus Daerah sebanyak-banyaknya terdiri dari 1

orang ketua, 1 orang sekretaris dan 3 orang anggota.70 Personalia

Dewan Pertimbangan Kode Etik dijabat oleh para ahli bimbingan

dan konseling, dan khusus untuk Ketua dan Sekretaris harus

dijabat oleh mereka yang mempunyai kualifikasi pendidikan

minimal S2 (Master/Magister).71 Apabila di suatu propinsi tidak

ada tenaga yang memenuhi ketentuan maka Dewan

Pertimbangan Kode Etik dapat dirangkap oleh Dewan

Pertimbangan Kode Etik di daerah lain yang terdekat.72 Dengan

demikian, Dewan Pertimbangan Kode Etik profesi konselor di

tingkat daerah (Provinsi) harus ada meskipun dijabat rangkap

oleh personil dari daerah lain yang terdekat. Keberadaan Dewan

Pertimbangan Kode Etik di tingkat provinsi sangat penting untuk

mempermudah akses layanan pengaduan tindak pelanggaran

kode etik di tingkat cabang (kabupaten/kota).

Dewan Pertimbangan Kode Etik mempunyai tiga fungsi

pokok. Pertama, menegakkan penghayatan dan pengamalan Kode

Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia. Kedua, mem­ berikan

pertimbangan kepada Pengurus Besar dan Pengurus Daerah

ABKIN atas adanya perbuatan melanggar Kode Etik oleh anggota

melalui penyelidikan yang seksama dan bertanggung jawab.

Ketiga, bertindak sebagai saksi di pengadilan dalam perkara

berkaitan dengan permasalahan kode etik profesi.73

E. Mekanisme Pemberian Sanksi Pelanggar Kode Etik Pihak yang berwewenang menangani pelanggaran kode etik

adalah Dewan Kode Etik Pengurus Daerah ABKIN setempat

dengan mengacu pada ketentuan yang ditetapkan Dewan Kode

Etik Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 69 AD &ART ABKIN Tahun 2010, Bab x pasal 27 ayat (1)

70 Ibid. pasal 28 ayat (1)

71 Ibid. ayat (2)

72 Ibid. ayat (3)

73 Ibid. Pasal 27 ayat (2).

50

Apabila seorang konselor diduga melakukan pelanggaran

kode etik, maka perlu dilakukan langkah-langkah berikut:

1. Menyampaikan atau mengadukan adanya pelanggaran

kode etik oleh rekan profesi yang mengetahui atau konseli

yang merasa diperlakukan tidak etis. 2. Pengaduan disampaikan kepada dewan kode etik ABKIN di

tingkat daerah. 3. Apabila pelanggaran yang dilakukan masih relatif ringan

maka penyelesaiannya dilakukan oleh dewan kode etik di

tingkat daerah. 4. Pemanggilan konselor yang bersangkutan untuk verifikasi

data yang disampaikan oleh konseli dan atau masyarakat. 5. Apabila berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh

dewan kode etik daerah terbukti kebenarannya maka

pemberian sanksi ditetapkan. Jika yang bersangkutan

mendapat lisensi, maka keputusan sanksi disampaikan

tembusannya kepada lembaga pemberi lisensi atau sertifikasi. Pemberian sanksi ringan yaitu teguran lisan dan teguran

tertulis (SP 1, 2 dan 3) dapat dilakukan oleh dewan Kode Etik

Pengurus Daerah ABKIN (PD ABKIN). Jika pemberian ke dua

sanksi tersebut tidak efektif dalam upaya penyadaran dan

ketaatan konselor pada kode etik, maka dilakukan langkah

selanjutnya yaitu melaporkan ke Dewan Kode Etik Pengurus

Besar ABKIN (PB ABKIN) disertai langkah-langkah yang sudah

ditempuh. Dewan Kode etik PB ABKIN melapor ke PB ABKIN

baru langkah ke 3 dan 4 ditempuh. Jika ada pelanggaran

pidana dan atau perdata, dapat dikaitkan dengan status

kepegawaian yang bersangkutan. Jika ia sebagai Pegawai

Negeri Sipil akan dikeluarkan, dan bagi non PNS tentu dapat

mengacu pada aturan setempat.74.

74 Hasil wawancara dengan Prof. Ahman, M.Pd, Anggota Dewan Kode Etik PB

ABKIN periode 2009-2013, disampaikan tanggal 9 januari 2013.

51

BAB VI

UPAYA PENEGAKAN KODE ETIK

Jika semua konselor memenuhi standar kualifikasi akademik

dan kompetensi konselor maka sekilas ‘sangat mustahil’ konselor

melakukan perbuatan melanggar kode etik. Konselor adalah

pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang

mempunyai tugas membantu mengembangkan potensi dan

memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan

untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera dan

peduli kemaslahatan umum.75 Konselor sebagai salah satu

kualifikasi pendidik sejajar dengan kualifikasi guru, dosen,…76

dituntut memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi yang

meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,

kompetensi sosial dan kompetensi profesional.

Pemenuhan kualifikasi tersebut dimaksudkan untuk

menjamin sosok utuh kualitas konselor. Kualitas konselor

adalah semua kriteria keunggulan termasuk pribadi,

pengetahuan, wawasan, keterampilan dan nilai-nilai yang

dimilikinya yang akan memudahkannya dalam menjalankan

proses konseling sehingga mencapai tujuan.77 Dengan kata lain,

pemenuhan standar kualifikasi konselor juga dimaksudkan

sebagai upaya penegakan kode etik. Sebab konselor yang

memiliki standar kualifikasi yang tinggi diharapkan akan

memiliki prinsip-prinsip etis yang tinggi pula. Seperti dikemukakan Victor dan Cullen bahwa orang-orang

etis pada dasarnya mencegah praktik-praktik yang tidak etis.

Untuk itu, maka para pimpinan organisasi/lembaga hendaknya

didorong untuk menyaring calon-calon karyawan (melalui testing

dan penyelidikan latar belakang) untuk menentukan standar etis

mereka. Dengan mencari orang dengan 75 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 27 tahun 2008

76 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 6

77 Sofyan Willis, konseling Individual teori dan Praktek, Alfabeta, Bandung, 2004,

h.79.

52

integritas dan prinsip-prinsip etis yang kuat, organisasi dapat

meningkatkan kemungkinan karyawan akan bertindak etis.

Tentu saja, praktik-praktik tidak etis dapat diminimalisir lebih

lanjut dengan memberikan individu-individu satu iklim kerja

yang mendukung.78 Upaya pemenuhan standar kualifikasi konselor merupakan

upaya pertama dan utama ini hendaknya diikuti dengan upaya

selanjutnya baik yang bersifat pemeliharaan (preservative) seperti

menciptakan iklim kerja yang mendukung. Untuk itu Robbins

menuliskan perlu adanya uraian jabatan yang lebih jelas, kode etik

tertulis, model peran manajemen yang positif, mengevaluasi dan

menghargai sarana dan juga tujuan serta satu kultur yang

mendorong individu untuk secara terbuka melawan/memerangi

praktik-praktik tidak etis.79

Penegakan Kode Etik merupakan upaya/kegiatan yang

meliputi pemantauan pelaksanaan Kode Etik, pemberian

penghargaan dan sanksi oleh Dewan Etik.80 Jika dicermati ketiga

upaya penegakan kode etik tersebut, kita dapat menyimpulkan

bahwa ketiganya bersifat memelihara (preservative), peningkatan

(promotive) dan atau perbaikan/penyembuhan (corrective/ curative).

Semua upaya penegakan kode etik hendaknya dilakukan seiring,

sejalan dan simultan.

Upaya pertama, yaitu pemantauan pelaksanaan kode etik

konselor. Upaya ini idealnya tidak diserahkan sepenuhnya

kepada Dewan Pertimbangan Kode Etik Asosiasi Bimbingan

dan Konseling (ABKIN) tetapi menjadi tanggung jawab semua

pihak (konselor sebgai pengampu profesi), konseli sebagai

pengguna jasa layanan, masyarakat, pemerintah. Keberadaan

Dewan Pertimbangan Kode Etik dibanding dengan luas

wilayah kerja dan jumlah personalia yang ada baik di tingkat

Provinsi maupun di tingkat Pusat sangat terbatas sehingga

pemantauan tidak akan efektif.

78 B.Victor and J.B.Cullen, “The Organizational Bases of Ethical Work Climates,” Administrative Science Quarterly, March 1988,pp.101-125.

79 Op.cit Robbins, h. 191

80 ____, Penjabaran Kode Etik Konsil LSM Indonesia, bab I.

53

Jika konselor menyadari bahwa kode etik sejatinya

merupakan self regulation, mestinya konselor bersama

organisasi profesinya seperti ABKIN atau Musyawarah Guru

Bimbingan dan Konseling (MGBK) berada di garda terdepan

dalam mengawal pemantauan pelaksanaan kode etik ini.

Namun menjalankan hal itu tidak mudah karena rasa

solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi

sehingga seorang profesional mudah merasa segan melaporkan

teman sejawat yang melakukan pelanggaran.81 Dalam kondisi

seperti ini, maka peran serta pihak lain (masyarakat,

pemerintah dan konseli) menjadi sangat penting.

Upaya kedua dan ketiga yaitu pemberian penghargaan

dan pemberian sanksi. Seperti halnya upaya yang pertama,

maka upaya ke dua dan ketiga dalam pelaksanaannya juga

perlu ada kerja sama pihak-pihak yang telah disebutkan di atas.

Terutama dalam tahap pengumpulan informasi, data dan fakta

yang diperlukan sebagai bahan kajian dan pertimbangan dalam

melakukan upaya tersebut. Secara legal Dewan Pertimbangan

Kode Etik mempunyai otoritas dalam melakukan ketiga upaya

tersebut namun otoritas tersebut tidak akan berjalan dengan

baik tanpa dukungan dan kerja sama semua pihak.

81 Op. Cit, Ondi Saondi dan Aris Suherman, h. 98.

54

Lampiran 1:

KODE ETIK

BIMBINGAN DAN KONSELING82

BAB I

PENDAHULUAN

Dasar

Dasar Kode Etik Profes Bimbingan dan Konseling di

Indonesia adalah (a) Pancasila, mengingat bahwa profesi

bimbingan dan konseling merupakan usaha pelayanan

terhadap sesama manusia dalam rangka ikut membina warga

negara Indonesia yang bertanggung jawab, dan (b) tuntutan

profesi, yang mengacu kepada kebutuhan dan kebahagiaan

klien sesuai dengan norma-norma yang berlaku

BAB II

KUALIFIKASI DAN KEGIATAN PROFESIONAL

KONSELOR

A. Kualifikasi

Konselor wajib (1) memiliki nilai, sikap, keterampilan,

pengetahuan dan wawasan dalam bidang profesi bimbingan

dan konseling, dan (2) memperoleh pengakuan atas

kemampuan dan kewenangan sebagai konselor.

1. Nilai, Sikap, Keterampilan, Pengetahuan dan Wawasan a. Konselor wajib terus-menerus berusaha mengembangkan

dan menguasai dirinya. Ia wajib mengerti kekurangan-

kekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya sendiri,

yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang

lain dan mengakibatkan rendahnya mutu pelayanan

professional serta merugikan klien.

82 Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Periode 2005-2010.

55

b. Konselor wajib memperlihatkan sifat-sifat sederhana,

rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, jujur,

tertib dan hormat.

c. Konselor wajib memiliki rasa tanggung jawab terhadap

saran ataupun peringatan yang diberikan kepadanya,

khususnya dari rekan-rekan seprofesi yang

berhubungannya dengan pelaksanaan ketentuan tingkah

laku profesional sebagaimana yang diatur dalam Kode

Etik ini.

d. Konselor wajib mengusahakan mutu kerja yang setinggi

mungkin dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi

termasuk material, finansial dan popularitas. e. Konselor wajib memiliki keterampilan dalam

menggunakan teknik dan prosedur khusus dengan

wawasan luas dan kaidah-kaidah ilmiah.

2. Pengakuan Kewenangan

Untuk dapat bekerja sebagai konselor diperlukan

pengakuan keahlian dan kewenangan oleh organisasi profesi

atas dasar wewenang yg diberikan kepadanya.

B. Informasi, Testing dan Riset

1. Penyimpanan dan Penggunaan Informasi a. Catatan tentang diri klien yang meliputi data hasil

wawancara, testing, surat-menyurat, perekaman dan data

lain, semuanya merupakan informasi yg bersifat rahasia

dan hanya boleh dipergunakan untuk kepentingan klien. Penggunaan data/informasi untuk keperluan riset atau

pendidikan calon konselor dimungkinkan, sepanjang

identitas klien dirahasiakan. b. Penyampaian informasi mengenai klien kepada keluarga

atau anggota profesi lain membutuhkan persetujuan klien.

c. Penggunaan informasi tentang klien dalam rangka

konsultasi dengan anggota profesi yang sama atau yang

lain dapat dibenarkan, asalkan untuk kepentingan klien

dan tidak merugikan klien.

56

d. Keterangan mengenai informasi profesional hanya boleh

diberikan kepada orang yang berwenang menafsirkan

dan menggunakannya.

2. Testing

Suatu jenis tes hanya diberikan oleh konselor yang

berwewenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya.

Konseor wajib selalu memeriksa dirinya apakah mempunyai

wewenang yang dimaksud.

a. Testing dilakukan bila diperlukan data yang lebih luas

tentang sifat atau ciri kepribadian subyek untuk

kepentingan pelayanan.

b. Konselor wajib memberikan orientasi yang tepat kepada

klien dan orang tua mengenai alasan digunakannya tes di

samping arti dan kegunaannya. c. Penggunaan satu jenis tes wajib mengikuti secara ketat

pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes tersebut. d. Data hasil testing wajib diintegrasikan dengan informasi

lain yang telah diperoleh dari klien sendiri atau sumber lain. Dalam hal ini data hasil testing wajib diperlakukan setara

dengan data dan informasi lain tentang klien. e. Hasil testing hanya dapat diberitahukan pada pihak lain

sejauh ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada

klien.

3. Riset a. Dalam melakukan riset dengan menggunakan manusia

sebagai subyek, wajib dihindari hal yang merugikan

subyek b. Dalam melaporkan hasil riset, klien sebagai subyek

identitasnya harus dijaga kerahasiannya.

C. Proses Pelayanan

1. Hubungan dalam Pemberian pada Pelayanan a. Konselor wajib menangani klien selama ada kesempatan

dalam hubungan antara klien dengan konselor.

57

b. Klien sepenuhnya berhak mengakhiri hubungan dengan

konselor, meskipun proses konseling belum mencapai

suatu hasil yang konkrit. Sebaliknya konselor tidak akan

melanjutkan hubungan apabila klien ternyata tidak

memperoleh manfaat dari hubungan itu.

2. Hubungan dengan Klien

a. Konselor wajib menghormati harkat, martabat, integritas

dan keyakinan klien. b. Konselor wajib menempatkan kepentingan kliennya di

atas kepentingan pribadinya. c. Dalam menjalankan tugasnya, konselor tidak

diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar suku,

bangsa, warna kulit, agama, atau status sosial ekonomi. d. Konselor tidak akan memaksa untuk memberi bantuan

pada seseorang tanpa izin dari orang yang bersangkutan. e. Konselor wajib memberi pelayanan kepada siapapun

terlebih dalam keadaan darurat atau apabila banyak

orang menghendakinya. f. Konselor wajib memberikan pelayan hingga tuntas

sepanjang dikehendaki klien. g. Konselor wajib menjelaskan kepada klien sifat hubungan

yg sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab

masing-masing dalam hubungan profesional. h. Konselor wajib mengutamakan perhatian terhadap klien,

apabila timbul masalah dalam soal kesetiaan, maka wajib

diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan

juga tuntutan profesi sebagai konselor. i. Konselor tidak dapat memberikan bantuan profesional

kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya sepanjang

hubunganya profesional.

D. Konsultasi dan Hubungan dengan Rekan

Sejawat 1. Konsultasi dengan Rekan Sejawat

Dalam rangka pemberian pelayanan kepada seorang klien,

kalau konselor merasa ragu-ragu tentang suatu hal, maka

58

ia wajib berkonsultasi dengan rekan-rekan sejawat se

lingkungan profesi. Untuk itu ia wajib mendapat izin

terlebih dahulu dari kliennya.

2. Alih Tangan Kasus a. Konselor wajib mengakhiri hubungan konseling dengan

seorang klien bila pada akhirnya dia menyadari tidak

dapat memberikan bantuan pada klien tersebut. b. Bila pengiriman ke ahli lain disetujui klien, maka menjadi

tanggung jawab konselor menyarankan kepada klien

dengan bantuan konselor untuk berkonsultasi kepada

orang atau badan yang punya keahlian yg relevan. c. Bila Konselor berpendapat bahwa klien perlu dikirm ke

ahli lain, akan tetapi klien menolak pergi kepada ahli

yang disarankan oleh konselor, maka konselor

mempertimbangkan apa baik dan buruknya.

BAB III

HUBUNGAN KELEMBAGAAN

A. Prinsip Umum

1. Prinsip-prinsip yang berlaku dalam pelayanan individual,

khususnya mengenai penyimpanan serta penyebaran

informasi klien dan hubungan konfidensial (kerahasiaan)

antara konselor dengan klien, berlaku juga bila konselor

bekerja dalam hubungan kelembagaan 2. Jika konselor bertindak sebagai konsultan di suatu lembaga,

maka ada pengertian dan kesepakatan yang jelas antara dia

dengan pihak lembaga dan dengan klien yang menghubungi

konselor di tempat lembaga tersebut. Sebagai seorang

konsultan, konselor wajib tetap mengikuti dasar-dasar

pokok profesi Bimbingan dan konselor tidak bekerja atas

dasar komersial.

59

B. Keterkaitan Kelembagaan 1. Setiap konselor yang bekerja dalam hubungan kelembagaan

turut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan

kerja sama dengan pihak atasan atau bawahannya, terutama

dalam rangka pelayanan konseling dengan menjaga rahasia

pribadi yang dipercayakan kepadanya.

2. Peraturan-peraturan kelembagaan yang diikuti oleh semua

petugas dan lembaga wajib dianggap mencerminkan

kebijaksanaan lembaga itu dan bukan pertimbangan

pribadi. Konselor wajib mempertanggungjawabkan

pekerjaannya kepada atasannya. Sebaliknya dia berhak

mendapat perlindungan dari lembaga itu dalam

menjalankan profesinya. 3. Setiap konselor yang menjadi staf suatu lembaga wajib

mengetahui program kegiatan lembaga tersebut, dan

pekerjaan konselor wajib dianggap sebagai sumbangan

khas dalam mencapai tujuan lembaga tersebut. 4. Jika dalam rangka pekerjaan dalam suatu lembaga,

konselor tidak cocok denganng berlaku di lembaga itu,

maka ia wajib mengundurkan diri dari lembaga tersebut.

BAB IV

PRAKTEK MANDIRI DAN

LAPORAN KEPADA PIHAK LAIN

A. Konselor Praktik Mandiri 1. Konselor yang berpraktik mandiri (privat) dan tidak

bekerja dalam hubungan kelembagaan tertentu, tetap

mentaati kode etik jabatan sebagai konselor dan berhak

mendapat perlindungan dari rekan-rekan seprofesi. 2. Konselor yang berpraktik mandiri wajib memperoleh

izin praktik dari organisasi profesi yaitu Asosiasi

Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).

60

B. Laporan kepada Pihak Lain

Jika Konselor perlu melaporkan sesuatu hal tentang klien

pada pihak lain (misalnya pimpinan tempat ia bekerja), atau

kalau ia diminta keterangan tentang klien oleh petugas

suatu badan di luar profesinya, dan ia wajib juga

memberikan informasi itu, maka dalam memberikan

informasi ia wajib sebijaksana mungkin dengan

berpedoman pada pegangan bahwa dengan berbuat begitu

klien tetap dilindungi dan tidak dirugikan.

BAB V

KETAATAN PADA PROFESI

A. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban 1. Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai

konselor, konselor wajib mengaitkannya dengan tugas

dan kewajibannya terhadap klien dan profesi sesuai kode

etik ini, dan semuanya itu sepenuhnya untuk

kepentingan dan kebahagiaan klien. 2. Konselor tidak dibenarkan menyalahgunakan jabatannya

sebagai konselor untuk maksud mencari keuntungan

pribadi atau maksud-maksud lain yang dapat merugikan

klien, atau pun menerima komisi atau balas jasa dalam

bentuk yg tidak wajar.

B. Pelanggaran terhadap Kode Etik

1. Konselor wajib selalu mengkaji secara sadar tingkah laku

dan perbuatannya bahwa ia mentaati kode etik. 2. Konselor wajib senantiasa mengingat bahwa

pelanggaran terhadap kode etik akan merugikan diri

sendiri, klien, lembaga dan pihak lain yang terkait. 3. Pelanggaran terhadap kode etik akan mendapatkan

sanksi berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.

61

Lampiran 2

Kode Etik

American Counseling Association (ACA) 2005

Pendahuluan

American counseling association adalah organisasi

pendidikan, ilmiah dan profesional yang anggota-anggotanya

bekerja dalam berbagai lingkungan dan melayani di berbagai

bidang. Anggota-anggota ACA berdedikasi pada peningkatan

perkembangan manusia sepanjang hayat. Anggota-anggota

asosiasi tersebut mengakui adanya keragaman dan mendukung

pendekatan multikultural dalam mendukung kebanggaan,

harga-diri, potensi, dan keunikan masing-masing orang dalam

konteks kultural dan sosial mereka. Nilai-nilai profesional adalah hal yang penting dalam

menjalankan komitmen prinsip dasar. Nilai yag dipegang teguh

yang memandu cara kita berperilaku tertanam mendalam dalam

diri konselor dan berkembang dari dedikasi pribadi bukan karena

keawjiban yang dipersyaratkan oleh organisasi eksternal.

Tujuan Kode Etik ACA

Kode Etik ACA mempunyai lima tujuan :

1. Kode tersebut membolehkan asosiasi untuk menjelaskan

kepada anggota-anggota yang ada saat ini, calon anggota

masa depan, dan mereka yang mendapat layanan dari

anggota, sifat dari tanggung jawab etika yang secara umum

dianut oleh anggota-anggota ACA. 2. Kode tersebut membantu mendukung misi asosiasi. 3. Kode tersebut mendirikan prinsip yan mendefinisikan

perilaku etika dan penerapan terbaiknya oleh anggota-

anggota asosiasi. 4. Kode tersebut berfungsi sebagai panduan etika yang didesain

untuk membantu para anggota asosiasi dalam membangun

jalur tindakan profesional yang paling cocok bagi pengguna

layanan konseling dan paling baik dalam meningkatkan

62

nilai-nilai dari profesi konseling.

5. Kode tersebut berfungsi sebagai dasar untuk memproses

keluhan tentang etika dan pertanyaan yang ditujukan

kepada anggota asosiasi. Kodet Etik ACA terdiri atas delapan bagian/ seksi utama

yang membahas bidang-bidang berikut ini :

Seksi A : Hubungan konseling

Seksi B : Kerahasiaan, komunikasi pribadi dan privasi

Seksi C : Tanggung jawab profesional

Seksi D : Hubungan dengan profesional lain

Seksi E : Evaluasi, penilaian dan interpretasi

Seksi F : Pengawasan, pelatihan dan pengajaran

Seksi G : Penelitian dan publikasi

Seksi H : Pemecahan masalah etika

Masing-masing seksi dari kode etik ACA dimulai dengan

pengenalan. Pengenala pada masing-masing seksi membahas

apa yang menjadi aspirasi konselor dalam hal tangung jawab

dan perilaku etika. Pengenalan tersebut membantu

menetapkan nada bagi seksi tertentu dan memberi suatu titik

tolak yang mengundang perenungan mengenai etika yang ada

pada masing-masing bagian kode etik ACA.

Ketika konselor dihadapkan pada dilema etika yang sulit

untuk dipecahkan, mereka diharapkan untuk mengambil

keputusan terkait masalah etika dengan pertimbangan yang

seksama. Perbedaan opini yang beralasan dapat dan ada di

antara para konselor dalam kaitannya dengan cara nilai-nilai,

prinsi etika, dan standar etika diterapkan, saat hal tersebut

saling bertentangan. Meskipun tidak ada model pengambilan

keputusan etika yang spesifik yang paling efektif, konselor

diharapkan untuk lebih familiar dengan suatu model

pengambilan keputusan yang dapat diandalkan, yang dapat

mentoleransi pengamatan masyarakat dan penerapannya.

Melalui suatu proses pengambilan keputusan etika dan

evaluasi konteks situasi, konselor diberdayakan untuk

membuat keputusan yang dapat membantu memperluas

kapasitas manusia untuk bertumbuh dan berkembang.

63

Sebuah daftar istilah singkat dicantumkan untuk memberi

kepada pembaca suatu dekripsi ringkas mengenai beberapa

istilah yang digunakan dalam kode etik ACA.

Seksi A : Hubungan

Konseling Pengenalan

Konselor mendorong pertumbuhan dan perkembangan

klien melalui cara yang dapat meningkatkan minat dan

kesejahteraan klien serta meningkatkan pembentukan

hubungan yang sehat. Konselor berupaya secara aktif untuk

memahami perbedaan latar belakang kultural dari klien yang

mereka layani. Konselor juga mengeksplorasi identitas

kulturalnya sendiri dan bagaimana hal tersebut memengaruhi

nilai-nilai dan keyakinan mereka tentang proses konseilng. Konselor didorong untuk berkontribusi kepada masyarakat

dengan mendedikasikan sebagaian aktivitas profesional mereka

ke dalam layanan yang hanya memberi sedikti atau tidak

memberi imbalan finansial (pro bono publico).

A.1. Kesejahteraan dari Mereka yang Dilyani oleh Konselor

A.1.a Tanggung Jawab Utama

Tanggung jawab utama dari konselor adalah untuk

menghormati harga diri dan meningkatkan kesejahteraan klien.

Dikutip atas izin american counseling association, 5999

stevenson avenue, alexandria, VA 22304.

A.1.b. Catatan

Konselor menyimpan catatan atau rekaman yang diperlukan

untuk memberikan layanan profesional kepada klien-kliennya

dan sesuai dengan yang ditentukan oleh hukum, pengaturan,

atau prosedur institusi atau lembaga. Konselor mencantumkan

dokumentasi yang mencukupi dan berkala dalam catatan klien

untuk memfasilitasi pelaksanaan dan kontinuitas layanan yang

diperlukan. Konselor mengambil langkah-langkah yang perlu

untuk memastikan bahwa dokumentasi dalam catatan tersebut

mencerminkan dengan akurat kemajuan klien dan layanan

64

yang diberikannya. Jika terjadi kesalahan dalam catatan klien,

konselor harus mengambil tindakan untuk membuat catatan

yang tepat sebagai koreksi atas kesalahan tersebut menurut

kebijakan badan-badan atau institusi. (lihat A.12g.7., B6., B.6.g.,

G.2.j.)

A.1.c. Rencana Konseling Konselor dan kliennya bekerja sama dalam mengembangkan

rencana konseling yang terintegrasi, yang menawarkan janji

kesuksesan yang rasional dan konsisten dengan kemampuan dan

kondisi klien. Konselor dan klien secara berkala meninjau ulang

rencana konseling tersebut untuk menilai keberlangsungan

(viabilitas) dan efektivitasnya, dengan menghormati kebebasan

memilih dari klien. (lihat A.2.a., A.2.d., A.12.g.)

A.1.d. Keterlibatan Jaringan Pendukung

Konselor menyadari bahwa jaringan pendukung memegang

peranan penting dalam kehidupan klien dan

mempertimbangkan untuk melibatkan dukungan, pemahaman,

dan keterlibatan lainnya (misal, pemimpin

komunitas/agama/spiritual, anggota keluarga, teman) sebagai

sumber daya yang positif, jika perlu, dengan seizin klien.

A.1.e. Kebutuhan Kerja

Konselor bekerja bersama klien dalam mempertimbangkan

proses kerja di dalam suatu profesi, yang konsisten dengan

kemampuan keseluruhan, batasan profesi, keterbatasan fisik,

temperamen umum, minat dan pola kecakapan, keahlian sosial,

pendidikan, kualifikasi umum, karakteristik lainnya yang

relevan, dan kebutuhan klien. Jika perlu, konselor yang terlatih

dalam perkembangan karier akan dapat membantu dalam

penempatan klien pada suatu posisi yang konsisten dengan

minat, kultur, dan kesejahteraan klien, atasan, dan/ atau

masyarakat.

65

A.2. Persetujuan Tertulis dalam Hubungan Konseling

(lihat A.12.g., B.5., B.6.b., E.13.b., F.1.v., G.2.a.) A.2.a.

Persetujuan Tertulis Klien mempunyai kebebasan untuk memilih apakah dia akan ikut

atau tetap berada dalam hubungan konseling dan membutuhkan

informasi yang memadai mengenai proses konseling dan

konselornya. Konselor mempunyai suatu kewajiban untuk

memberikan tinjuan dalam bentuk tulisan dan lisan, mengenai

hak-hak dan tanggung jawab baik dari konselor maupun klien.

Persetujuan tertulis adalah suatu bagian yang penting dalam

proses konseling, dan konselor harus mendokumentasikan diskusi

tentang persetujuan tertulis tersebut secara akurat selama

berlangsungnya hubungan konseling.

A.2.b. Tipe Informasi yang Dibutuhkan Konselor secara eksplisit menjelaskan semua layanan yang

disediakan. Mereka memberikan informasi pada klien mengenai

berbagai hal namun tidak terbatas hanya mengenai hal-hal

tersebut saja, seperti misalnya: maksud, tujuan, teknik, prosedur,

batasan, risiko potensial, dan manfaat layanan; kualifikasi

konselor, pengharaan, dan pengalaman yang relevan; kontinuitas

layanan sepeninggal konselor baik karena ketidakmampuan atau

kematian dan informasi penting lainnya. Konselor mengambil

langkah-langkah guna memastikan bahwa klien memahami

implikasi dari diagnosis, maksud penggunaan tes dan laporan,

biaya dan persetujuan pembayaran. Klien mempunyai hak atas

kerahasiaan dan hak mendapatkan penjelasan tentang batasan

(termasuk bagaimana keterlibatan supervisor dan/ atau tim

profesional peraatan lainnya); untuk mendapat informasi yang

jelas mengenai catatan diri mereka; untuk berpartisipasi dalam

rencana konseling; modalitas apapun, serta untuk mendapatkan

saran tentang konsekuensi dari penolakan tersebut.

A.2.c. Kepekaan Kultural dan Perkembangan

Konselor memberikan informasi dengan cara yang tepat secara

kultural maupun perkembangan. Konselor menggunakan

66

bahasa yang mudah dipahami dan jelas saat mendiskusikan

masalah yang berhubungan dengan persetujuan tertulis. Jika klien

kesulitan dalam memahami bahasa yang digunakan oleh

konselor, konselor harus menyediakan layanan yang dibutuhkan

(misalnya, mempersiapkan seorang penerjemah yang

berkualifikas) untuk memastikan pemahaman klien. Dalam

berkolaborasi dengan klien, konselor harus mempertimbangkan

dampak kultural dari prosedur persetujuan tertulis dan jika me­

mungkinkan,­ konselor menyesuaikan praktiknya secara akurat.

A.2.d. Ketidakmampuan untuk memberikan persetujuan Jika konselor diberikan kepada orang yang tidak dapat memberi

persetujuan tertulis secara suka rela, konselor harus mencoba

mendapatkan persetujuan lisan klien untuk layanan yang dia

berikan dan melibatkan klien dalam pengambilan keputusan, jika

memungkinkan konselor menyadari pentingnya

menyeimbangkan hak klien untuk membuat keputusan, kapasitas

mereka untuk memberikan persetujuan tertulis untuk menyetujui

layanan yang diterimanya, dengan hak legal dan tanggung jawab

keluarga atau orang tua untuk melindungi klien tersebut dan

membuat keputusan atas nama mereka.

A.3. Klien yang dilayani oleh Orang Lain Ketika konselor mengetahui bahwa klien mereka mempunyai

hubungan profesional dengan profesi kesehatan mental lainnya,

mereka bisa meminta surat izin dari klien untuk memberi

informasi ke profesional lain tersebut dan membangun hubungan

profesional yang positif dan kolaboratif.

A.4. Menghindari hal yang Membahayakan

dan Pemaksaan Nilai

A.4.a. Menghindari hal yang membahayakan

Konselor mengambil tindakan untuk tidak membahayakan

kliennya, peserta latihan, dan partisipan penelitian serta

meminimalkan atau meremediasi bahaya yang tidak dapat

dihindari atau tidak dapat diantisipasi.

67

A.4.b. Nilai-nilai Pribadi Konselor memahami nilai-nilai, sikap, keyakinan, dan perilakunya

serta menghindari pemaksaan nilai-nilai yang tidak konsisten

dengan tujuan konseling. Konselor harus menghormati

keragaman klien, peserta pelatihan, dan partisipasi penelitian.

A.5. Peranan dan Hubungan dengan

Klien (lihat F.3., F.10., g.3.)

A.5.a. Klien sekarang

Interaksi seksual atau romantis antara konselor klien atau

hubungan dengan klien terkini, pasangannya atau anggota

keluarganya, dilarang.

A.5.b. Mantan klien

Interaksi seksual atau romantis antara konselor klien atau

hubungan dengan mantan klien, pasangannya, atau anggota

keluarganya dilarang untuk setidaknya selama lima tahun

setelah kontak profesional terakhir. Konselor, sebelum masuk

ke dalam hubungan atau interaksi seksual atau romantis

dengan klien, pasangannya atau anggota keluarga klien setelah

lima tahun dari sejak kontak profesional terakhir, menunjukkan

pertimbangan yang cermat dan dokumen (dalam bentuk

formulir tertulis) apakan interaksi atau hubungan tersebu dapat

dipandang bersifat eksploitasi atau masih ada potensial untuk

membahayakan mantan klien; jika dalam kasus tersebut ada

potensi untuk terjadi eksploitasi dan/atau bahaya, konselor

harus menghindari hubungan atau interaksi tersebut.

A.5.c. Interaksi atau hubungan nonprofesional (selain

hubungan atau interaksi romantis atau seksual)

Hubungan konselor - klien yang nonprofesional baik dengan

klien, mantan klien, pasangan, atau anggota keluarga klien

harus dihindari kecuali jika interaksi tersebut berpotensi

memberikan manfaat bagi klien. (lihat A.5.d.)

68

A.5.d. Interaksi yang berpotensi memberikan manfaat Jika interaksi konselor-klien yang bersifat non profesional dengan

seorang klien atau mantan klien berpotensi menguntungkan bagi

klien atau mantan klien, konselor harus mendokumentasikan

dalam catatan kasus, sebelum melakukan interaksi (jika

memungkinkan), alasan dari interaksi tersebut, keuntungan

potensial, dan perkiraan konseksuensinya terhadap klien atau

mantan klien dan individu lain yang terlibat secara signifikan

dengan klien atau mantan klien tersebut. Interaksi semacam itu

harus dimulai dengan persetujuan klien dan dilakukan dengan

tepat. Jika terjadi risiko yang tidak diduga pada klien atau mantan

klien atau pada individu yang terlibat secara signifikan dengan

klien atau mantan klien, akibat interaksi nonprofesional, konselor

harus menunjukkan bukti dari upaya memperbaiki risiko tersebut.

Contoh interaksi yang berpotensial menguntungkan adalah, tetapi

tidak terbatas pada, menghadiri upacara formal (misalnya,

pernikahan, pesta pertunangan atau upacara kelulusan); membeli

layanan atau produk yang dibuat oleh klien atau mantan klien

(terkecuali barter tanpa batas); kunjungan untuk menjenguk

anggota keluarga kilen yang sakit; keanggotaan mutual dalam

asosiasi profesional, organisasi, atau komunitas. (lihat A.5.c.)

A.5.e. Perubahan peran dalam hubungan konseling

Ketika seorang konselor mengubah suatu peran dari aslinya

atau hubungan kontrak yang paling akhir, dia harus

mendapatkan persetujuan tertulis dari klien dan menjelaskan

hak kilen untuk menolak layanan yang berhubungan dengan

perubahan tersebut. Contoh perubahan peran termasuk :

1. berubah dari hubungan individual menjadi konseling

keluarga, atau sebaliknya; 2. berubah dari peran evaluatif non forensik menjadi peran

terapis, atau sebaliknya; 3. berubah dari peran konselor menjadi peneliti (misalnya,

mendaftarkan klien sebagai partisipan penelitian), atau

sebaliknya;

69

4. berubah dari peran konselor menjadi mediator, atau

sebaliknya.

Klien harus diberitahu secara lengkap tentang konsekuensi apa

yang bisa terjadi (misalnya, finansial, hukum, personal, atau

terapi) dari perubahan peranan konselor tersebut.

A.6. Peran dan Hubungan pada Tingkat Individual,

Kelompok, Institusional dan Masyarakat

A.6.a. Advokasi

Jika memungkinkan, konselor memberikan saran atau advokasi

di tingkat individual, kelompok, institusional dan masyarakat

untuk memeriksa penghambat dan rintangan potensial yang

menghambat askes dan/atau pertumbuhan dan perkembangan

klien.

A.6.b. Kerahasiaan dan Advokasi

Konselor harus mendapatkan persetujuan klien terlebih dahulu

sebelum melakukan upaya advokasi atas nama klien (klien

yang sudah pasti) untuk meningkatkan pemberian layanan dan

menghilangkan penghalang atau rintangan sistemik yang

menghambat askes, pertumbuhan, dan perkembangan klien.

A.7. Klien Multipel Ketika konselor setuju untuk memberikan layanan konseling pada

2 orang atau lebih yang mempunyai hubungan, konselor harus

mengklarifikasi sejak awal siapa yang menjadi kliennya dan sifat

hubungan konseling yang dijalin konselor dengan masing-masing

pihak. Jika terlihat bahwa konselor kemungkinan akan masuk ke

dalam peran yang berpotensi menimbulkan konflik, konselor

dapat mengklarifikasi, menyesuaikan, atau mundur dari peran

tersebut, jika memungkinkan (lihat A.8.a., B.4.)

A.8. Kerja Kelompok

(lihat B.4.a.)

70

A.8.a. Penyaringan Konselor menyaring peserta konseling/terapi kelompok yang

prospektif. Dalam kisaran yang paling memungkinkan, konselor

memilih anggota-anggota yang kebutuhan dan tujuannya

kompatibel dengan tujuan kelompok, yang tidak akan

menghambat proses kelompok, dan yang kesejahteraannya tidak

terganggu oleh pengalaman kelompok tersebut.

A.8.b. Melindungi Klien

Dalam sebuah kelompok, konselor mengambil langkah

kewaspadaan yang diperlukan untuk melindungi klien dari

trauma fisik, emosi, ataupun psikologis.

A.9. Perawatan Akhir Hayat untuk Klien Lanjut

Usia A.9.a. Kualitas Perawatan

Konselor berusaha melakukan tindakan yang memungkinkan

klien :

1. mendapatkan perawatan akhir hayat yang terbaik untuk

kebutuhan fisik, emosi, sosial, dan spiritualnya; 2. melatih tingkat keyakinan diri yang paling tertinggi yang

dapat dicapai; 3. memberikan setiap kesempatan yang ada untuk terlibat

dalam pengambilan keputusan perihal perawatan akhir

hayat; dan 4. menerima penilaian yang lengkap dan mencukupi tentang

kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang

kompeten dan rasional demi diri mereka sendiri dari

profesional kesehatan mental yang berpengalaman dalam

praktik perawatan akhir hayat.

A.9.b. Kompetensi konselor, pilihan dan rujukan Dengan mengetahui masalah personal, moral, dan kompetensi

terkait dengan keputusan akhir hayat, konselor dapat memilih

untuk menangani atau tidak menangani klien lanjut usia dengan

penyakit terminal yang ingin mengeksplorasi pilihan-pilihan di

akhir hayatnya. Konselor dapat menyediakan informasi rujukan

71

yang tepat untuk memastikan bahwa klien tersebut menerima

bantuan yang diperlukan.

A.9.c. Kerahasiaan

Konselor yang menyediakan layanan untuk lansia yang

berpenyakit terminal dan diperkirakan berusaha mempercepat

kematiannya sendiri, mempunyai pilihan untuk membuka atau

tidak membuka kerahasiaan, bergantung pada hukum yang

berlaku dan kondisi khusus dan setelah berkonsultasi atau

meminta arahan dari profesional dan badan hukum yang tepat.

(lihat B.5.c., B.7.c.)

A. 10. Biaya dan Barter

A. 10.a. Menerima pembayaran dari Agen Klien

Konselor menolak pembayaran pribadi atau pembayaran lain

untuk layanan yang diberikan kepada orang-orang yang

membutuhkan layanan tersebut melalui agen atau institusi

yang mempekerjakan konselor. Kebijakan dari agen-agen

tertentu secara eksplisit membolehkan klien dari agen-agen

tersebut untuk menerima layanan dari anggota-anggota staf

dalam praktik pribadi. Pada situasi tersebut, klien harus

diberitahu mengenai pilihan lain yang terbuka bagi mereka

yang ingin mencari layanan konseling pribadi.

A.10.b. Menetapkan Biaya

Dalam menetapkan biaya untuk layanan konseling profesional,

konselor harus mempertimbangkan status finansial klien dan

lokasi. Jika penetapan biaya tidak tepat bagi klien, konselor

harus membantu klien dalam upaya menemukan layanan yang

sebanding dengan biaya yang terjangkau.

A.10.c. Tidak Membayar Biaya

Jika konselor berniat untuk menggunakan kolektor atau

mengambil tindakan hukum guna mendapatkan pembayaran

dari klien yang tidak membayar layanan yang telah disetujui

bersama, pertama-tama dia harus memberitahu klien tersebut

72

mengenai tindakan yang dimaksudkan dan menawarkan

kesempatan pada klien untuk melakukan pembayaran.

A.10.d. Barter

Konselor dapat menggunakan barter hanya jika hubungan

tidak bersifat ekspoitatif atau membahayakan dan tidak

membuat konselor mendapatkan keuntungan yang tidak adil,

jika klien memintanya dan jika pengaturan tersebut telah

mejadi praktik yang diterima di kalangan para profesional

dalam komunitas tersebut. Konselor harus mempertimbangkan

dampak kultural dari barter dan mendiskusikan masalah yang

relevan dengan klien serta mendokumentasikan persetujuan

semacam itu dalam kontrak yang tertulis secara jelas.

A.10.e. Menerima Hadiah

Konselor harus memenuhi tantangan yang ada dalam

menerima hadiah dari klien dan menyadari bahwa pada

beberapa budaya, hadiah kecil adalah ekspresi rasa hormat dan

syukur. Saat menentukan apakah akan menerima hadiah

tersebut atau tidak, konselor harus mempertimbangkan

hubungan terapi, harga hadiah tersebut jika diuangkan,

motivasi klien dalam memberikan hadiah, dan motivasi

konselor saat menerima atau menolak hadiah tersebut.

A.11. Terminasi dan Rujukan

A.11.a. Penelantaran dilarang

Konselor tidak boleh menelantarkan klien dalam konseling.

Konselor membantu dalam membuat perjanjian yang tepat

untuk kontinuitas perawatan, jika perlu, selama masa interupsi

seperti liburan, sakit dan setelah pengakhiran.

A.11.b. Ketidakmampuan untuk Membantu Klien

Jika konselor memutuskan tidak mampu memberi bantuan

secara profesional kepada klien, dia tidak boleh memulai atau

meneruskan hubungan konseling. Konselor harus mengetahui

sumber-sumber rujukan yang tepat secara klinis dan budaya

73

dan harus menyarankan alternatif-alternatif tersebut. Jika klien

menolak rujukan yang disarankan, konselor harus

memutuskan hubungan tersebut.

A.11.c. Pengakhiran yang Tepat

Konselor mengakhiri hubungan konseling jika secara jelas

terlihat bahwa klien tidak lagi membutuhkan bantuan, tidak

lagi mendapatkan keuntungan, atau ada risiko jika konseling

dilanjutkan. Konselor dapat mengakhiri hubungan konseling

jika merasa terancam oleh klien, atau orang lain yang

mempunyai hubungan dengan klien, atau ketika klien tidak

membayar biaya yang telah disetujui. Konselor dapat

memberikan konseling pra pengakhiran dan

merekomendasikan penyedia layanan lain jika diperlukan.

A.11.d. Transfer Layanan yang Tepat

Ketika konselor melakukan pemindahan atau merujuk klien

kepada praktisi lain, dia harus memastikan bahwa proses

administratif dan klinis telah dilakukan dengan tepat dan tetap

membuka komunikasi dengan klien dan praktisi lain tersebut.

A.12 Penerapan Teknologi

A.12.a. Manfaat dan Batasan

Konselor memberi informasi kepada klien mengenai manfaat

dan batasan dari penerapan teknologi infomarsi dalam proses

konseling dan prosedur bisnis/finansial. Teknologi semacam

itu termasuk, tetapi tidak terbatas pada, perangkat keras dan

perangkat lunak komputer, telepon, world wide web, internet,

instrumen penilaian online dan perangkat komunikasi lainnya.

A.12.b. Layanan Berbasis Teknologi Ketika memberikan layanan jarak jauh yang berbasis teknologi,

konselor harus menentukan bahwa klien baik secara intelektual,

emosional, dan fisik mampu menggunakan teknologi dan bahwa

penerapan teknologi tepat untuk kebutuhan klien.

74

A.12.c. Layanan yang Tidak Tepat

Jika layanan konseling jarak jauh berbasis teknologi dirasakan

tidak tepat oleh konselor maupun klien, konselor harus

mempertimbangkan untuk memberikan layanan tatap muka.

A.12.d. Akses Konselor memberi akses ke penerapan komputer yang tepat saat

memberikan layanan konseling jarak jauh berbasis teknologi.

A.12.e. Hukum dan Aturan

Konselor harus memastikan bahwa penggunaan teknologi

tidak menyalahi hukum lokal, negara, ataupun internasional

dan memantau semua perundangan yang relevan.

A.12.f. Asistensi

Konselor harus mencari bantuan bisnis, hukum, dan teknis

ketika menggunakan penerapan teknologi, khususnya jika

penerapan tersebut antar propinsi atau lintas negara.

A.12.g. Persetujuan Tertulis dan Teknologi

Sebagai bagian dari proses membuat persetujuan tertulis,

konselor harus melakukan hal-hal berikut ini:

1. membahas masalah yang berkaitan dengan kesulitan untuk

mempertahankan kerahasiaan dalam mengirimkan

komunikasi melalui media elektronik. 2. memberikan informasi kepada klien mengenai semua kolega,

supervisor, dan bawahan, seperti misalnya administrator

Teknologi Informasi (TI), yang mempunyai izin atau tidak

mempunyai izin untuk mengakses transmisi elektronik. 3. mendorong klien untuk mengenal semua pengguna baik

yang mempunyai izin maupun tidak, termasuk anggota

keluarga dan bawahan, yang mempunyai akses ke teknologi

yang digunakan klien pada proses konseling. 4. memberikan informasi kepada klien mengenai hak-hak

hukum yang penting dan batasan-batasan yang mengatur

praktik suatu profesi lintas negara atau internasional.

75

5. menggunakan web site dan komunitas e-mail yang ter-

enkripsi untuk membantu dalam memastikan kerahasiaan

jika memungkinkan. 6. ketika pengguna web site yang ter-enkripsi tidak

dimungkinkan, konselor harus memberitahukan fakta ini

kepada klien dan membatasi transmisi elektronik hanya

untuk komunikasi umum yang tidak spesifik berkaitan

dengan klien. 7. memberikan informasi kepada klien jika dan berapa lama

penyimpanan arsip catatan transaksi akan disimpan/

dipertahankan. 8. mendiskusikan kemungkinan kegagalan teknologi dan

metode pengantaran layanan alternatif. 9. memberikan informasi kepada klien mengenai prosedur

gawat darurat, seperti menghubungi nomor panggilan

darurat atau hotline krisis lokal misalnya, saat konselor

tidak di tempat. 10. mendiskusikan perbedaan zona waktu, kebiasaan

masyarakat, dan perbedaan bahasa atau budaya yang dapat

memberikan dampak pada pengantaran layanan. 11. memberikan informasi kepada klien ketika layanan

konseling jarak jauh berbasis teknologi tidak termasuk

dalam penggantian asuransi. (lihat A.2.)

A.12.h. Situs-situs di World /Wide Web

Konselor yang mempertahankan situs-situs di world wide web

(internet) harus melakukan hal-hal berikut ini :

1. secara teratur memeriksa apakah link berjalan dengan tepat

dan profesional. 2. menetapkan bagaimana cara klien untuk menghubungi

konselor jika terjadi kegaglaan teknologi. 3. menyediakan link-link yang berhubungan dengan lisensi

negara dan dewan sertifikat profesional untuk melindungi hak

konsumen dan memfasilitasi pembahasan masalah etika. 4. menetapkan metode untuk memverifikasi identitas klien.

76

5. mendapatkan persetujuan tertulis dari wali yang sah atau

perwakilan lain yang sah dalam memberikan layanan jika

klien adalah anak-anak, orang dewasa yang secara hukum

tidak kompeten, atau orang dewasa yang tidak mampu

memberikan persetujuan tertulis. 6. berupaya untuk menyediakan situs yang dapat diakses oleh

penderita cacat. 7. berupaya untuk memberikan terjemahan bagi klien-klien

yag bahasa utamanya berbeda sambil menangani segi-segi

tidak sempurna dari terjemahan tersebut. 8. membantu klien dalam menentukan keabsahan dan keandalan

informasi yang ditemukan dalam world wide web

(internet) dan penerapan teknologi lainnya.

SEKSI B : KERAHASIAAN, KOMUNIKASI TERTUTUP,

DAN PRIVASI

Pengenalan

Konselor mengakui bahwa kepercayaan adalah batu fondasi

dalam hubungan konseling. Konselor berusaha mendapatkan

kepercayaan klien dengan menciptakan kemitraan yang

berkelanjutan, membangun dan mematuhi batasan-batasan

yang tepat, dan menjaga kerahasiaan. Konselor

mengomunikasikan parameter kerahasiaan dalam suatu pola

yang kompeten secara kultural.

B.1. Menghormati Hak-hak Klien B.1.a. Pertimbangan Multikultural/Diversitas

Konselor harus menjaga kesadaran dan kepekaannya akan

kerahasiaan dan privasi secara kultural. Konselor harus

menghormati sudut pandang yang berbeda-beda dalam

penyampaian informasi. Konselor harus membangun diskusi

yang berkelanjutan dengan klien seperti misalnya bagaimana,

kapan dan dengan siapa informasi tersebut akan dibagi.

77

B.1.b. Menghormati Privasi

Konselor menghormati hak-hak klien mengenai privasi.

Konselor meminta informasi pribadi dari klien hanya jika hal

itu menguntungkan bagi proses konseling.

B.1.c. Menghormati Kerahasiaan

Konselor tidak boleh membagi informasi rahasia tanpa

persetujuan dari klien atau tanpa persetujuan hukum ataupun

etika.

B.1.d. Penjelasan tentang Batasan

Pada awal dan selama proses konseling, konselor memberikan

informasi kepada klien mengenai batasan kerahasiaan dan

mencoba mengidentifikasi situasi yang mengharuskan

pembocoran rahasia. (Lihat A.2.b.)

B.2. Pengecualian B.2.a. Bahaya dan Persyaratan Hukum

Persyaratan umum yang mengatur bahwa konselor harus

menjaga kerahasiaan informasi tidak berlaku jika informasi

tersebut harus dibuka demi melindungi klien atau orang lain

dari bahaya yang serius dan dapat diprediksi atau jika

persyaratan hukum menuntut agar informasi rahasia harus

diungkapkan. Konselor berkonsultasi dengan profesional lain

saat mengalami keraguan mengenai keabsahan suatu

pengecualian. Pertimbangan tambahan berlaku saat membahas

masalah akhir hayat. (Lihat A.9.c.)

B.2.b. Penyakit Menular, Membahayakan Nyawa Jika klien menyebutkan bahwa dia mempunyai penyakit yang

biasanya dikenal dapat menular dan fatal, konselor dibenarkan

jika dia menyebutkan informasi tersebut kepada pihak ketiga

yang dia kenal, jika pihak ketiga ini dapat dibuktikan berisiko

tinggi untuk tertular penyakit tersebut. Sebelum mengungkapkan

fakta tersebut, konselor memastikan bahwa diagnosis itu memang

benar, dan menilai niat dari klien untuk memberitahu

78

pihak ketiga mengenai penyakit atau perilaku lain yang dapat

menimbulkan bahaya bagi pihak ketiga tersebut.

B.2. c. Pengungkapan yang diperintahkan Pengadilan

Jika pengadilan memerintahkan untuk membuka informasi

rahasia atau informasi pribadi tanpa izin dari klien, konselor

harus meminta persetujuan tertulis dari klien atau mengambil

langkah yang tepat guna melarang pemberian informasi

rahasia atau membatasinya seminimal mungkin, mengingat

ada kemungkinan hal ini berisiko bagi klien maupun hubungan

konseling.

B.2. d. Pengungkapan Minimal

Sedapat mungkin, klien diberitahu sebelum informasi rahasia

dibuka dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan

mengenai pengungkapan informasi tersebut. Jika situasi

membutuhkan pengungkapan informasi rahasia, hanya

informasi yang dibutuhkan saja yang boleh dibuka.

B.3. Informasi yang Dibagi dengan Orang

Lain B.3.a. Bawahan Konselor sedapat mungkin harus memastikan bahwa privasi dan

kerahasiaan klien dijaga oleh bawahan, termasuk karyawan,

supervisor, siswa, asisten, dan sukarelawan. (Lihat F.1.c)

B. 3.b. Tim Perawatan

Jika perawatan klien melibatkan tinjauan berkelanjutan atau

partisipasi tim perawatan, klien akan diberitahu mengenai

keberadaan tim tersebut beserta komposisinya, informasi yang

dibagi bersama, dan tujuan membagi informasi tersebut.

B.3.c. Pengaturan Kerahasiaan

Konselor mendiskusikan informasi rahasia dalam lingkungan

di mana konselor dapat menjamin privasi klien.

79

B.3.d. Pembayar Pihak Ketiga

Konselor mengungkapkan informasi ke pihak ketiga hanya jika

klien telah memberi izin.

B.3.e. Mengirimkan Informasi Rahasia

Konselor mengambil langkah antisipasi untuk memastikan

kerahasiaan informasi yang dikirimkan melalui komputer,

surat elektronik, mesin faks, telepon, voicemail, mesin

penjawab telepon, dan media elektronik atau teknologi

komputer lainnya. (Lihat A. 12.g.)

B.3.f. Klien yang Meninggal

Konselor melindungi kerahasiaan klien yang meninggal,

konsisten dengan persyaratan hukum dan kebijakan lembaga

atau lingkungan.

B.4. Kelompok dan Keluarga B.4.a. Kerja Kelompok

Dalam kerja kelompok, konselor menjelaskan sejelas-jelasnya

mengenai pentingnya kerahasiaan dan parameter kerahasiaan

untuk kelompok tertentu yang terkait di sini.

B.4.b. Konseling Keluarga dan Pasangan

Dalam konseling keluarga dan pasangan, konselor harus

menentukan secara jelas siapa yang dipertimbangkan sebagai

“klien” dan membahas harapan-harapan serta batas

kerahasiaan. Konselor meminta persetujuan dan

mendokumentasikan secara tertulis perjanjian di antara semua

pihak yang terlibat, yang mempunyai kapasitas untuk

memberikan persetujuan berkaitan dengan hak kerahasiaan

masing-masing pihak dan kewajiban yang harus dilakukan

untuk menjaga kerahasiaan informasi tersebut.

80

B.5. Klien yang Kurang Mampu Memberikan Persetujuan Tertulis

B.5.a. Tanggung Jawab kepada Klien Ketika memberi konseling pada klien anak atau klien dewasa

yang kurang mampu memberikan persetujuan secara sukarela,

konselor melindungi kerahasiaan informasi yang diterima dalam

hubungan konseling seperti diatur oleh hukum federal dan

negara, kebijakan tertulis, dan standar etika yang diterapkan.

B.5.b. Tanggung Jawab kepada Orang Tua dan Wali yang Disahkan

Konselor memberi informasi kepada orang tua dan wali yang

sah mengenai peranan konselor dan sifat kerahasiaan dari

hubungan konseling. Konselor harus peka terhadap perbedaan

kultural dari keluarga dan menghormati hak serta tanggung

jawab orangtua/ wali atas kesejahteraan anak-anak

mereka/perubahan menurut hukum. Konselor bekerja untuk

membangun hubungan yang kolaboratif dengan orangtua/wali

untuk memberi layanan terbaik kepada klien.

B. 5. c. Melepaskan Informasi Rahasia

Ketika memberikan konseling pada klien anak atau klien

dewasa yang tidak mampu memberikan persetujuan secara

sukarela untuk pelepasan informasi rahasia, konselor meminta

izin dari pihak ketiga yang tepat untuk pengungkapan

informasi tersebut kepada klien sesuai dengan tingkat

pemahamannya dan mengambil langkah yang tepat secara

kultural untuk melindungi kerahasiaan klien.

B.6 Catatan B.6.a. Kerahasiaan Catatan

Konselor memastikan bahwa catatan tersimpan di tempat yang

aman dan hanya orang yang mempunyai izin yang dapat

mengakses catatan tersebut.

81

B.6.b. Izin untuk Mencatat

Konselor meminta izin dari klien sebelum sesi pencatatan/

perekaman melalui peralatan elektronik atau peralatan lainnya.

B.6.c. lzin untuk Mengamati

Konselor meminta izin dari klien sebelum mengamati sesi

konseling, meninjau ulang transkrip sesi, meninjau catatan dari

sesi, bersama dengan supervisor, rekan, kelompok, ataupun

orang lain di dalam lingkungan pelatihan.

B. 6. d. Akses Klien

Konselor memberikan akses yang memadai atas catatan dan

salinan catatan jika diminta oleh klien yang berkepentingan.

Konselor membatasi akses klien terhadap catatan, ataupun

sebagian dari catatan, hanya jika terdapat bukti yang

mendukung bahwa akses tersebut dapat membahayakan klien.

Konselor mendokumentasikan permintaan klien tersebut dan

alasannya untuk menahan beberapa atau semua catatan

tentang klien, ke dalam dokumen klien. Dalam situasi yang

melibatkan banyak klien, konselor memberikan kepada

masing-masing klien, bagian catatan yang berhubungan

langsung dengan setiap individu saja dan tidak termasuk

informasi rahasia yang berkaitan dengan klien lainnya.

B.6.e. Bantuan untuk Catatan

Jika klien meminta akses ke catatan mereka, konselor

memberikan bantuan dan konsultasi dalam menerjemahkan

catatan konseling.

B.6.f. Pengungkapan atau Transfer

Kecuali ada pengecualian mengenai kerahasiaan, konselor

meminta izin tertulis dari klien untuk mengungkapkan atau

mentransfer catatan ke pihak ketiga yang sah menurut hukum.

Akan diambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa

penerima catatan tersebut peka terhadap kerahasiaan. (lihat

A.3., E.4.)

82

B. 6. g. Penyimpanan dan Pemusnahan Setelah Pengakhiran

Konselor menyimpan catatan setelah pengakhiran layanan

untuk menjamin askes di kemudian hari, menjaga catatan

sesuai hukum negara dan aturan pemerintah federal perihal

catatan, dan memusnahkan catatan klien dan materi sensitif

lainnya dengan cara yang melindungi kerahasiaan klien. Jika

catatan mengandung nilai artistik, konselor meminta

persetujuan orang tua atau wali klien dalam kaitannya dengan

penanganan catatan atau dokumen seperti itu. (Lihat A.l.b.)

B. 6.h. Pencegahan Rasional

Konselor mengambil tindakan pencegahan yang rasional untuk

melindungi­ kerahasiaan klien pada situasi konselor

melakukan pengakhiran­ praktik, ketidakmampuan, atau

kematian. (Lihat C.2.b.)

B.7. Penelitian dan Pelatihan B. 7.a Persetujuan Institusi

Jika persetujuan institusi dibutuhkan, konselor menyediakan

informasi.yang akurat tentang proposal penelitiannya dan

meminta persetujuan sebelum melakukan penelitian. Konselor

melakukan penelitian sesuai dengan proposal penelitian yang

telah disetujui.

B. 7.b. Kepatuhan terhadap Panduan

Konselor bertanggung jawab untuk memahami dan mematuhi

kebijakan negara, pemerintah, lembaga, atau institusi atau

menerapkan panduan dalam hal kerahasiaan dalam praktik

penelitian mereka.

B.7.c. Kerahasiaan lnformasi yang Didapatkan dalam Penelitian

Pelanggaran privasi partisipan dan kerahasiaan merupakan risiko

dari partisipasi dalam penelitian yang melibatkan manusia

sebagai partisipannya. Para penyelidik harus menjaga semua

catatan penelitian dengan aman. Mereka harus menjelaskan risiko

pelanggaran privasi dan kerahasiaan kepada partisipan,

83

dan menguraikan batasan kerahasiaan rasional yang dapat

diharapkan. Terlepas dari seberapa jauh tingkat kerahasiaan yang

akan dijaga, peneliti harus memberitahu partisipan menge­ nai

batas-batas kerahasiaan yang dapat diharapkan. (Lihat G.2.e.)

B. 7. d. Pengungkapan Informasi Penelitian

Konselor tidak mengungkapkan informasi rahasia yang dapat

mengarah pada identifikasi seorang partisipan dalam

penelitian kecuali sudah mendapatkan persetujuan dari orang

tersebut. Penggunaan data yang berasal dari hubungan

konseling untuk tujuan pelatihan, penelitian, atau publikasi

dibatasi pada isi yang disamarkan untuk menjamin

keanoniman individu yang bersanghutan. (Lihat G.2.a., G.2.d.)

B. 7. e. Persetujuan untuk Identifikasi

Identifikasi klien, siswa, atau penyelia dalam suatu presentasi

atau publikasi hanya diizinkan jika mereka telah meninjau

materi dan setuju dengan presentasi atau publikasi tersebut.

(Lihat G.d.4.)

B.8. Konsultasi B.8.a. Persetujuan

Ketika bertindak sebagai konsultan, konselor meminta

persetujuan dari semua pihak yang terlibat terkait hak

kerahasiaan masing-masing individu, kewajiban setiap

individu untuk menjaga informasi rahasia, dan batas

kerahasiaan informasi yang dibagi dengan orang lain.

B. 8. b. Menghormati Privasi

Informasi yang didapat dari hubungan konseling dibahas

untuk tujuan profesional hanya dengan orang yang langsung

terlibat dengan kasus tersebut. Laporan lisan dan tulisan hanya

memaparkan data yang relevan untuk tujuan konsultasi, dan

dilakukan upaya sedapat mungkin untuk melindungi identitas

klien dan mencegah invasi yang tidak diinginkan terhadap

privasi klien.

84

B.8.c. Pengungkapan Informasi Rahasia

Saat berkonsultasi dengan rekan, konselor tidak boleh

mengungkapkan informasi rahasia yang secara rasional dapat

mengarah pada identifikasi seorang klien atau orang lain atau

organisasi dengan siapa mereka mempunyai ikatan rahasia

kecuali konselor, telah mendapatkan persetujuan dari orang

atau organisasi tersebut atau pengungkapan tersebut tidak

dapat dihindarkan. Konselor hanya boleh mengungkapkan

informasi rahasia sebatas yang diperlukan untuk mencapai

tujuan dari konsultasi tersebut. (Lihat D.2.d.)

SEKSI C: TANGGUNG JAWAB

PROFESIONAL Pengenalan Konselor bermaksud melakukan komunikasi terbuka, jujur, dan

akurat dalarn berhadapan dengan masyarakat dan profesional

lain. Mereka berpraktik tanpa diskriminasi di dalam batas-batas

profesional dan kompetensi pribadi serta bertanggung jawab

untuk mematuhi Kode etik ACA. Konselor berpartisipasi aktif di

dalam asosiasi lokal, propinsi, dan nasional yang mendukung

perkembangan dan kemajuan konseling. Konselor memberi

advokasi untuk meningkatkan perubahan pada tingkat

individual, kelompok, institusional, dan masyarakat yang

memperbaiki kualitas hidup individu dan kelompok serta

menghilangkan penghalang potensial dalam memberikan atau

mengakses layanan yang ditawarkan. Konselor bertanggung

jawab kepada masyarakat untuk melakukan praktik konseling

yang didasarkan pada metodologi penelitian yang seksama.

Sebagai tumbahan, konselor berpartisipasi dalam aktivitas

perawatan diri untuk menjaga dan meningikatkan kesejahteraan

emosional, fisik, mental, dan spiritual agar dapat memenuhi

tanggung jawab profesiorial mereka sebaik mungkin.

C.1. Pengetahuan mengenai Standar

Konselor bertanggung jawab untuk membaca, memahami, dan

mengikuti Kode Etik ACA serta mematuhi hukum dan peraturan

yang berlaku.

85

C.2. Kompetensi Profesional C.2.a. Batasan Kompetensi

Konselor hanya berpraktik di dalam batasan kompetensinya,

berdasarkan pada pendidikan, pelatihan, pengalaman selama

disupervisi, kredensial profesional kedaerahan dan nasional,

serta pengalaman profesionalnya. Konselor mendapatkan

pengetahuan, kesadaran pribadi, kepekaan, dan keahlian yang

penting untuk menangani beraneka ragam populasi klien.

(Lihat A.9.b., C.4.e., E.2., F2., F.11.b.)

C.2.b. Praktik Bidang Spesialisasi Baru

Konselor berpraktik dalam bidang spesialisasi yang baru bagi

merekahanyasetelahmendapatpendidikanyangtepat,pelatihan,

dan pengalaman mensupervisi. Sambil mengembangkan

keahlian dalam bidang spesialisasi baru, konselor mengambil

langkah untuk menjamin kompetensi dari pekerjaan mereka

dan melindungi orang lain dari bahaya yang mungkin terjadi.

(Lihat F.6.f.)

C. 2. c. Kualifikasi untuk Dipekerjakan

Konselor menerima pekerjaan hanya untuk posisi yang sesuai

dengan kualifikasi mereka yang ditentukan oleh pendidikan,

pelatihan, pengalaman mensupervisi, kualifikasi profesional

daerah dan negara, dan pengalaman profesional. KonseIor

yang dipekerjakan untuk posisi konseling profesional hanyalah

yang berkualifikasi dan kompeten untuk bidang ini.

C.2. d. Pemantauan Keefektifan

Konselor secara berkelanjutan memantau keefektifannya

sebagai seorang profesional dan mengambil langkah-langkah

untuk memperbaiki diri jika perlu. konselor yang berpraktik

pribadi harus mengambil langkah rasional untuk mencari

rekan supervisor yang diperlukan guna mengevaluasi efisiensi

dirinya sebagai seorang konselor.

86

C.2.e. Konsultasi tentang Kewajiban Etika

Konselor mengambil langkah yang diperlukan untuk ber­

konsultasi dengan konselor lain atau profesional lain yang

berkaitan dengannya jika memiliki pertanyaan tentang

kewajiban etika atau praktik profesional mereka.

C.2. f. Melanjutkan Pendidikan

Konselor menyadari perlunya melanjutkan pendidikan untuk

mendapatkan dan menjaga tingkat kesadaran mereka akan

informasi ilmiah dan profesional terkini di dalam bidang yang

mereka geluti. Mereka mengambil langkah yang perlu untuk

mempertahankan kompetensi dalam keahlian yang mereka

gunakan, terbuka untuk prosedur baru, dan mengikuti

kemutakhiran dalam populasi yang beragam dan populasi

khusus tempat mereka bekerja.

C.2. g. Kemunduran

Konselor mewaspadai tanda-tanda kemunduran akibat dari

masalah fisik, mental, maupun emosional mereka sendiri dan

menghentikan penawaran atau pemberian layanan profesional

jika kemunduran itu dapat mencelakai klien atau orang lain.

Konselor harus mencari bantuan untuk masalah yang telah

mencapai tingkat kemunduran profesional, dan, jika perlu,

membatasi, menunda, atau mengakhiri tanggung jawab

profesional mereka sampai saat dinyatakan bahwa mereka

sudah aman untuk melanjutkan pekerjaannya lagi. Konselor

membantu rekan atau supervisor dalam mengenali

kemunduran profesionalnya dan menyediakan konsultasi serta

bantuan jika diminta oleh supervisor maupun rekan yang

menunjukkan tanda-tanda kemunduran dan melakukan

intervensi dengan cara yang tepat untuk mencegah bahaya

yang mungkin mengancam klien. (Lihat A.11.b., F.B.)

C.2.h. Inkapasitas Konselor atau Pengakhiran Praktik Jika konselor meninggalkan suatu praktik, mereka harus mengi­

kuti rencana yang telah dipersiapkan, dalam mentransfer klien

87

dan data-data. Konselor mempersiapkan dan mengumumkan

kepada rekannya atau “perwakilan pencatatan” rencana

perpindahan klien dan data terkait pada situasi di luar

kapasitas, kematian, atau pengakhiran praktik.

C.3. Pengiklanan dan Mencari

Klien C.3.a. Periklanan yang Akurat

Ketika beriklan atau memaparkan layanan kepada masyarakat,

konselor memperkenalkan kualifikasinya dengan cara yang

tepat, tidak memalsukan, merancukan, menipu, ataupun

berlaku tidak jujur.

C.3.b. Kesaksian

Konselor yang menggunakan kesaksian tidak boleh

mengambilnya dari klien terkini maupun mantan klien tidak

juga dari orang lain yang dapat dirugikan karena pengaruh

kesaksian tersebut.

C. 3. c. Pernyataan dari Orang Lain

Konselor berupaya untuk memastikan bahwa pernyataan yang

dibuat oleh orang lain mengenai diri konselor maupun profesi

konseling adalah pernyataan yang akurat.

C. 3. d. Merekrut Melalui Tempat Kerja

Konselor tidak boleh menggunakan tempat mereka bekerja

ataupun institusi untuk merekrut atau mencari klien,

supervisor, ataupun konsultan untuk praktik pribadinya.

C. 3. e. Periklanan Produk dan Pelatihan

Konselor yang mengembangkan produk yang berhubungan

dengan profesinya atau memberikan seminar maupun

pelatihan harus memastikan bahwa iklan yang terkait produk

atau peristiwa tersebut akurat dan berisikan cukup informasi

untuk para konsumen agar dapat membuat pilihan yang tepat.

(Lihat C.6.d.)

88

C. 3. f. Berpromosi kepada penerima Layanan

Konselor tidak menggunakan konseling, pengajaran, pelatihan,

atau hubungan yang bersifat supervisi untuk mempromosikan

produk atau pelatihan mereka dengan cara yang sifatnya menge­

labui atau menimbulkan pengaruh besar pada individu yang

mudah terpengaruh. Namun, konselor pendidik boleh meng­

gunakan buku-teks yang mereka tulis untuk tujuan instruksional.

C.4. Kualifikasi Profesional C.4.a. Representasi Akurat Konselor diperbolehkan mengklaim atau menyebutkan kualifikasi

profesionalnya yang benar-benar telah diselesaikan dan

mengoreksi kesalahan representasi orang lain tentang kualifikasi

yang dimilikinya. Konselor harus merepresentasikan kualifikasi

mereka dengan jujur kepada rekan-rekan profesionalnya.

Konselor harus dengan jelas membedakan antara pekerjaan yang

dibayar dan pekerjaan yang dilakukan secara sukarela dan secara

tepat menggambarkan pendidikan lanjutan mereka dan pelatihan

spesialisasi yang diikutinya. (Lihat C.2.a.)

C.4. b. Kredensial

Konselor hanya mengklaim lisensi ataupun sertifikat yang

terkini dan yang terbaik.

C.4. c. Tingkat Pendidikan .

Konselor membedakan secara jelas antara pendidikan berbayar

dan pendidikan yang didapat sebagai penghormatan.

C.4.d. Mengklaim Kompetensi Tingkat-Doktoral Konselor dengan jelas menyatakan pendidikan berbayar tertinggi

yang mereka raih di dalam bidang konseling atau pada bidang-

bidang terkait lainnya. Konselor tidak boleh mengklaim

kompetensi tingkat doktoral, jika hanya memiliki gelar master

dalam konseling atau bidang terkait, ataupun menyebut diri

mereka “Dr.” dalam konteks konseling jika gelar doktornya tidak

dalam bidang konseling atau bidang terkait konseling.

89

C. 4. e. Status Akreditasi Program

Konselor harus dengan jelas menyebutkan status akreditasi

dari tingkatan program pendidikannya pada saat tingkat

tersebut diraih.

C .4.f. Keanggotaan Profesional

Konselor dengan jelas membedakan antara keanggotaan

terkini; aktif, maupun mantan keanggotaan di dalam asosiasi.

Anggota American Counseling Association harus secara jelas

membedakan antara keanggotaan profesional, yang setidaknya

memiliki gelar pada tingkat master dalam konseling, dan

keanggotaan biasa, yang terbuka bagi individu yang tertarik

dan beraktivitas di sekitar program ACA tetapi tidak

mempunyai kualifikasi untuk keanggotaan profesional.

C.5. Nondiskriminasi Konselor tidak menerima atau terlibat dalam pendiskriminasian

berdasarkan pada usia, budaya, ketidakmampuan, etnik, ras,

agama/spiritual, jenis kelamin, identitas jenis kelamin, orientasi

seksual, status perkawinan/pasangan, bahasa, status sosio-

ekonomi, atau dasar lain yang disebutkan oleh hukum. Konselor

tidak boleh mendiskriminasi klien, siswa, pekerja, supervisor,

ataupun partisipan penelitian dengan cara yang mempunyai

dampak negatif pada orang-orang tersebut.

C.6. Tanggung Jawab Masyarakat

C.6.a. Pelecehan Seksual

Konselor tidak boleh terlibat dalam intimidasi seksual.

Pelecehan seksual didefinisikan sebagai tuntutan seksual,

serangan fisik, atau perilaku verbal atau nonverbal yang terkait

masalah seksual, yang terjadi dalam hubungannya dengan

aktivitas ataupun peran profesional, dan

1. tidak menyenangkan, bersifat menyerang, atau menciptakan

tempat kerja atau lingkungan pembelajaran yang tidak

nyaman, dan diketahui oleh konselor atau diberitahukan

kepadanya, atau

90

2. cukup parah atau intens untuk digambarkan sebagai

pelecehan bagi orang yang rasional dalam konteks dimana

perilaku tersebut terjadi.

Pelecehan seksual dapat terdiri atas satu tindakan yang intens

atau sangat kasar atau beberapa tindakan yang persisten atau

pervasif.

C. 6.b. Laporan pada Pihak Ketiga

Konselor harus melaporkan aktivitas dan penilaian

profesionalnya dengan akurat, jujur, dan obyektif kepada pihak

ketiga yang tepat, termasuk pengadilan, perusahaan asuransi

kesehatan, penerima laporan evaluasi, dan lain-lain. (Lihat B.3.,

E.4.)

C. 6. c. Presentasi Media

Ketika konselor memberikan saran atau komentar melalui

sarana kuliah umum, demonstrasi, program-program televisi

atau radio, pita pra-rekaman, penerapan berdasar teknologi,

artikel tercetak, materi yang diposkan, atau media lainnya,

mereka harus mengambil langkah-langkah rasional untuk

memastikan bahwa

1. pernyataan yang dikeluarkannya berdasarkan pada literatur

dan praktik konseling yang profesional, 2. pernyataan tersebut harus konsisten dengan Kode etik ACA,

dan 3. penerima informasi tidak didorong untuk menyimpulkan

bahwa suatu hubungan konseling profesional telah terbina.

C. 6. d. Eksploitasi Orang Lain

Konselor tidak boleh mengeksploitasi orang lain dalam

hubungan profesional mereka. (Lihat C.3.e.)

C. 6.e. Dasar-Dasar llmiah untuk Modalitas Perawatan Konselor

menggunakan teknik/prosedur/modalitas yang berdasarkan

pada teori dan/atau mempunyai fondasi empiris atau ilmiah.

Konselor yang tidak melakukan hal itu harus mendefinisikan

91

teknik/prosedurnya sebagai sesuatu yang “tidak terbukti” atau

“sedang dikembangkan” dan menjelaskan risiko potensial serta

pertimbangan etika dalam menggunakan teknik/ prosedur

semacam itu dan mengambil langkah antisipasi untuk

melindungi klien dari bahaya yang mungkin terjadi. (Lihat

A.4.a., E.S.c., E.5.d.)

C.7. Tanggung Jawab kepada Profesional lainnya

C.7.a. Pernyataan Pribadi pada Masyarakat Umum

Ketika membuat suatu pernyataan pribadi dalam konteks

publik konselor harus menjelaskan bahwa mereka berbicara

dari sudut pandang pribadi dan tidak berbicara atas nama

seluruh konselor maupun profesi tersebut.

SEKSI D: HUBUNGAN DENGAN PROFESIONAL

LAIN Pengenalan Konselor profesional mengakui bahwa kualitas interaksi dengan

kolega dapat memengaruhi kualitas layanan yang disediakan bagi

klien. Konselor berupaya agar mengetahui rekan-rekannya di

dalam dan di luar bidang konseling. Konselor mengembangkan

hubungan kerja yang positif dan sistem komunikasi dengan

rekan-rekannya untuk meningkatkan layanan terhadap klien.

D.1. Hubungan dengan Rekan, Atasan, dan

Pekerja D. 1.a. Pendekatan yang Berbeda

Konselor menghormati pendekatan layanan konseling yang

berbeda dengan pendekatan yang digunakannya. Konselor

harus menghormati tradisi dan praktik kelompok profesional

lain yang bekerja bersama dengannya.

D. 1.b. Membentuk Hubungan

Konselor berusaha mengembangkan dan memperkuat

hubungan antar-disiplin dengan rekan-rekannya dari bidang

lain untuk dapat melayani klien sebaik-baiknya.

92

D. 1. c. Kerja Tim Antardisiplin

Konselor yang menjadi anggota dari tim antar-disiplin

mengantarkan layanan multi-wajah kepada klien, dengan fokus

pada bagaimana melayani klien dengan sebaik-baiknya.

Konselor berpartisipasi dan berkontribusi dalam pengambilan

keputusan yang memengaruhi kesejahteraan klien melalui

perspektif, nilai-nilai, dan pengalaman dari profesi konseling

dan pengalaman rekan-rekan dari bidang lain: (Lihat A.1.a. )

D.1.d. Kerahasiaan

Ketika konselor diminta oleh hukum, kebijakan institusional,

atau kondisi luar biasa untuk menjalankan lebih dari satu peran

dalam proses hukum atau administratif, mereka harus

menjelaskan ekspektasi peran dan parameter kerahasiaan

kepada rekan-rekannya. (Lihat B.I.c., B.1.d., B.2.c., B.2.d., B.3.b.)

D.1.e. Menetapkan Kewajiban Etika dan Profesional

Konselor yang menjadi anggota tim antar-disiplin harus

menjelaskan kewajiban etika dan profesional baik dari masing-

masinganggotamaupundaritimtersebutsebagaisuatukeutuhan.

Ketika suatu keputusan tim menimbulkan pertimbangan etika,

upaya pertama konselor adalah menyelesaikan masalah

tersebut di dalam tim. Jika kesepakatan di antara para anggota

tim tidak dapat diperoleh, konselor dapat menempuh jalur lain

untuk menangani masalahnya demi kesejahteraan klien.

D.1. f. Pemilihan Personil dan Tugas

Konselor memilih staf yang kompeten dan memberikan

tanggung jawab yang kompatibel dengan keahlian dan

pengalaman mereka.

D.1.g. Kebijakan Atasan Kesediaan untuk bekerja di dalam suatu lembaga atau institusi

menunjukkan bahwa konselor menyetujui kebijakan dan prinsip

umumnya. Konselor berusaha untuk mendapatkan persetujuan

dengan atasan seperti untuk standar tindakan yang diterima,

93

yang memungkinkan untuk melakukan perubahan dalam

kebijakan institusional, yang kondusif untuk pertumbuhan dan

perkembangan klien.

D.1.h. Kondisi Negatif

Konselor memperingatkan atasan akan kebijakan dan praktik

yang tidak tepat. Konselor berupaya menimbulkan perubahan

dalam kebijakan atau prosedur tersebut melalui tindakan

konstruktif di dalam organisasi. Ketika kebijakan semacam itu

berpotensi merusak atau membahayakan bagi klien atau

membatasi keefektifan layanan yang diberikan dan perubahan

tidak dapat diadakan, konselor mengarnbil tindak lanjut yang

tepat. Tindakan semacam itu dapat termasuk rujukan ke

organisasi-organisasi yang memiliki lisensi pemerintah,

akreditasi, sertifikasi yang tepat, atau secara sukarela

mengakhiri kedinasan tersebut.

D.1. i. Proteksi dari Tindakan Penghukuman

Konselor harus berhati-hati untuk tidak melecehkan atau

memberhentikan pekerja yang telah bertindak sesuai dengan

etika dan tanggung jawab untuk membuka kebijakan atau

praktik atasan yang tidak tepat.

D.2. Konsultasi D.2.a. Kompetensi Konsultan

Konselor mengambil langkah yang rasional untuk memastikan

bahwa mereka mempunyai sumber daya yang tepat dan

kompetensi, ketika memberikan layanan konsultasi. Konselor

menyediakan sumber rujukan yang tepat ketika diminta atau

dibutuhkan. (Lihat C.2.a.)

D.2.b. Memahami Peserta Konsultasi Ketika memberikan konsultasi, konselor bersama dengan peserta

konsultasi berusaha untuk mengembangkan suatu pemahaman

yang jelas tentang definisi masalah, tujuan perubahan, dan

konsekuensi yang diramalkan dari intervensi yang dipilih.

94

D.2. c. Tujuan Konsultan

Hubungan konsultasi adalah salah satu tempat dimana

adaptasi dan pertumbuhan diri dari peserta konsultasi

didorong dan ditumbuhkan secara konsisten.

D.2.d. Persetujuan Tertulis dalam Konsultasi Ketika memberikan konsultasi, konselor mempunyai kewajiban

untuk meninjau ulang, dalarn tulisan dan lisan, hak-hak dan

tanggung jawab dari konselor maupun peserta konsultasi.

Konselor menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dimengerti

untuk memberikan informasi pada semua pihak yang terlibat

mengenai tujuan dari Iayanan yang akan. diberikan, biaya yang

relevan, risiko dan manfaat yang akan terjadi, dan batas-batas

kerahasiaan. Bekerja sama dengan peserta konsultasi, konsultan

berusaha untuk mengembangkan pemahaman yang jelas tentang

masalah, tujuan perubahan, dan konsekuensi yang diramalkan

dari intervensi yang tanggap kultural dan tepat untuk kebutuhan

peserta konsultasi. (Lihat A.2.a., A.2.b.)

SEKSI E: EVALUASI, PENILAIAN, DAN INTERPRETASI

Pengenalan

Konselor menggunakan instrumen penilaian sebagai salah satu

komponen dari proses konseling, mempertimbangkan konteks

budaya dan pribadi klien. Konselor meningkatkan

kesejahteraan klien individual atau sekelompok klien dengan

mengembangkan dan menggunakan instrumen penilaian

pendidikan, psikologis, dan karier yang tepat.

E.1. Umum E.1.a. Penilaian Tujuan utama dari penilaian pendidikan, psikologis, dan karier

adalah untuk menyediakan pengukuran yang absah dan dapat

diandalkan dalam pengertian komparatif maupun absolut. HaI ini

termasuk, tetapi tidak terbatas pada, pengukuran kemampuan,

kepribadian, minat, kepandaian, prestasi, dan kinerja. Konselor

mengenali kebutuhan untuk menginterpretasikan pernyataan-

95

pernyataan di dalam seksi ini serta menerapkannya pada

penilaian kuantitatif dan kualitatif.

E.1.b. Kesejahteraan Klien

Konselor tidak boleh menyalahgunakan hasil penilaian dan

interpretasi, dan harus mengambil langkah yang perlu untuk

mencegah orang lain menyalahgunakan informasi yang

diberikan oleh teknik tersebut. Konselor menghargai hak klien

untuk mengetahui hasilnya, interpretasi yang dibuat, dan dasar

kesimpulan konselor serta rekomendasi-rekomendasinya.

E.2. Kompetensi untuk Menggunakan dan Menafsirkan

Instrumen Penilaian

E.2.a. Batas Kompetensi

Konselor menggunakan hanya layanan penilaian dan

pengetesan yang telah dilatihkan kepadanya dan dikuasainya.

Konselor yang memakai interpretasi tes berbantu teknologi

mendapat pelatihan tentang piramid yang akan diukur dan

piranti khusus yang akan digunakan, sebelum menggunakan

penerapan berbasis teknologi ini. Konselor mengambil harus

tindakan yang perlu untuk memastikan bahwa teknik penilaian

psikologis dan karier digunakan secara tepat oleh orang-orang

yang berada di bawah penyeliaan mereka. (Lihat A,12.)

E.2.b. Tepat Guna

Konselor bertanggung jawab atas penerapan yang tepat,

pemberian skor, interpretasi, dan penggunaan instrumen

penilaian yang relevan dengan kebutuhan klien, baik mereka

memberikan skor dan menafsirkan penilaian semacam itu

sendiri, atau menggunakan teknologi atau layanan lainnya.

E.2. c. Keputusan Berdasarkan Hasil Konselor bertanggung jawab atas keputusan yang melibatkan

individu atau kebijakan yang didasarkan pada hasil penilaian

yang mempunyai suatu pemahaman yang mendalam akan

pendidikan, psikologis, dan pengukuran karier, termasuk kriteria

96

keabsahan, riset penilaian, dan panduan untuk pengembangan

penilaian dan penggunaannya.

E.3. Persetujuan Tertulis dalam Penilaian

E.3.a. Penjelasan kepada Klien

Sebelum penilaian, konselor menjelaskan sifat dan tujuan dari

penilaian serta penggunaan khusus dari hasil penilaian untuk

si calon penerima. Penjelasan tersebut akan diberikan dalam

bahasa klien (atau orang lain yang diberi izin secara legal

sebagai wakil dari klien), kecuali ada pengecualian eksplisit

yang telah disepakai sebelumnya. Konselor harus

mempertimbangkan konteks budaya atau pribadi klien, tingkat

pemahaman klien mengenai hasil, dan dampak dari hasil

tersebut kepada klien. (Lihat A.2., A.12.g., F.1:c.)

E.3.b. Penerima Hasil

Konselor harus mempertimbangkan kesejahteraan orang yang

diteliti, pemahaman eksplisit, dan persetujuan yang sudah ada

dalam meneritukan siapa yang menerima hasil penilaian.

Konselor memasukkan interpretasi yang tepat dan akurat

dalam setiap hasil penilaian individual maupun kelompok

yang dikeluarkannya. (Lihat B.2.c., B.5.)

E.4. Penyerahan Data kepada Profesional yang Berkualifikasi

Konselor menyerahkan data penilaian di mana klien

diidentifikasi hanya dengan persetujuan tertulis dari klien

ataupun wakil klien yang legal. Data semacam itu dilepas

hanya kepada orang yang dikenal oleh konselor sebagai ahli

penafsir data. (Lihat B.1., B.3., B.6.b.)

E.5. Diagnosis Penyimpangan

Mental E.5.a. Diagnosis yang Tepat Konselor harus benar-benar berhati-hati dalam memberikan

diagnosis kelainan mental yang tepat. Teknik penilaian (termasuk

wawancara pribadi) yang digunakan untuk menentukan

perawatan klien (misalnya, tempat perawatan, jenis perawatan,

97

atau tindak lanjut yang direkomendasikan) dipilih dengan

seksama dan digunakan dengan akurat.

E.5.b. Kepekaan Budaya

Konselor harus memahami bahwa budaya memengaruhi sifat

dalam mendefinisikan permasalahan klien. Kondisi sosio-

ekonomi dan pengalaman budaya dari klien dipertimbangkan

saat melakukan diagnosa kelainan mental. (Lihat A.2.c.)

E.5.c. Diskriminasi Sosial dan Historikal dalam Diagnosis

Patologi

Konselor harus mengenali diskriminasi sosial dan historis

dalam diagnosa yang keliru dan tuduhan kelainan yang

dikenakan kepada individu dan kelompok tertentu serta

peranan profesional kesehatan mental dalam melanjutkan

diskriminasi tersebut melalui diagnosis dan perawatan.

E. 5. d. Abstain dari Diagnosa

Konselor dapat abstain dari pembuatan dan/atau pelaporan

suatu diagnosis jika mereka percaya hal itu akan

membahayakan klien atau orang lain.

E.6. Pemilihan Instruman E.6.a. Ketepatan Istrumen

Konselor harus mempertimbangkan secara hati-hati keabsahan,

keandalan, batasan psikometrik, dan ketepatan instrumen saat

memilih penilaian.

E.6.b. Informasi Rujukan

Jika seorang klien dirujuk ke pihak ketiga untuk penilaian,

konselor harus memberikan pertanyaan rujukan khusus dan

data objektif yang memadai mengenai klien tersebut untuk

memastikan digunakannya instrumen penilaian yang tepat

(Lihat A.9.b., B.3.)

98

E.6.c. Populasi dengan Budaya yang Beragam. Konselor harus

berhati-hati saat memilih instrumen penilaian untuk populasi

yang mempunyai budaya beragam guna menghindari

penggunaan instrumen yang kurang memiliki sifat psikometrik

yang tepat untuk populasi klien. (Lihat A.2.c., E.5.b)

E.7. Kondisi Pelaksanaan Penilaian (Lihat A.12.b., A.12.d.) E. 7. a. Kondisi Pelaksanaan

Konselor melaksanakan penilaian di bawah kondisi yang sama

seperti telah ditetapkan di dalam standarisasi mereka. Jika

penilaian tidak dilaksanakan pada kondisi standar, misalnya

keharusan mengakomodasi klien yang cacat, atau perilaku

yang tidak biasa atau ketidak-teraturan terjadi selama

pelaksanaan, kondisi tersebut harus dicatat di dalam

interpretasi, dan hasilnya dinyatakan sebagai tidak absah atau

keabsahannya dipertanyakan.

E.7.b. Pelaksanaan Teknologi

Konselor harus memastikan bahwa pelaksanaan program

berfungsi dengan benar dan memberikan hasil yang akurat

kepada klien, jika metode teknologi atau elektronik lainnya

digunakan untuk melaksanakan penilaian.

E.7.c. Penilaian Tanpa Pengawasan

Kecuali instrumen penilaian didesain, dimaksudkan, dan

diabsahkan untuk pelaksanaan mandiri/ pemberian skor

mandiri, konselor tidak mengizinkan penggunaan dengan

pengawasan yang tidak memadai.

E. 7. d. Penyebutan Kondisi yang Disukai

Sebelum pelaksanaan penilaian, kondisi yang memberi hasil

penilaian yang paling disukai harus diberitahukan pada orang

yang diteliti.

99

E.8. Isu Multikultural/Perbedaan di dalam Penilaian Konselor

menggunakan dengan hati-hati teknik penilaian yang

merupakan standar dalam masyarakat yang berbeda dengan

klien. Konselor harus mengenali pengaruh usia, warna kulit,

budaya, ketidakmampuan, kelompok etnik, jenis kelamin, ras,

bahasa, agama, spiritualitas, orientasi seksual, dan status sosio-

ekonomi pada pelaksanaan tes dan interpretasinya, serta

menempatkan hasil tes dalam perspektif yang tepat terhadap

faktor-faktor lain yang relevan. (Lihat A.2.c., E.5.b.)

E.9. Pemberian Skor dan Interpretasi

Penilaian E.9.a. Pelaporan

Dalam melaporkan hasil penilaian, konselor harus

menunjukkan kehati-hatian sehubungan dengan keandalan

atau keabsahan yang disebabkan oleh situasi penilaian atau

ketidaktepatan norma untuk orang yang dites.

E.9. b. Instrumen Penelitian

Konselor harus berhati-hati saat menginterpretasikan hasil dari

instrumen penelitian yang tidak memiliki data teknikal yang

memadai untuk mendukung hasil responden. Tujuan khusus

dari penggunaan instrumen tersebut harus dinyatakan secara

eksplisit kepada peserta pengamatan.

E.9.c. Layanan Penilaian

Konselor yang memberikan layanan pemberian skor dan,

interpretasi penilaian untuk mendukung proses penilaian harus

mengkonfirmasikan keabsahan interpretasi tersebut. Mereka

secara tepat menguraikan tujuan, norma-norma, keabsahan,

keandalan, dan penerapan dari prosedur dan semua kualifikasi

khusus yang penerapannya dapat mereka gunakan. Penawaran

layanan interpretasi tes otomatis ke masyarakat umum

dianggap sebagai konsultasi antara profesional dengan

profesional lain. Tanggung jawab formal dari konsultan adalah

kepada peserta konsultasi, tetapi tanggung jawab yang utama

dan lebih penting adalah kepada klien. (lihat D.2.)

100

E.10. Keamanan Penilaian

Konselor harus menjaga integritas dan keamanan tes serta

teknik penilaian lain, konsisten dengan hukum dan kewajiban

kontrak. Konselor tidak boleh mengambil, mereproduksi, atau

memecah-memecah tanpa sepengetahuan dan izin dari pihak

yang menerbitkannya.

E.11. Penilaian yang Tidak Lagi Dipakai dan Hasii yang

Kedaluwarsa

Konselor tidak menggunakan data atau hasil dari penilaian

yang sudah tidak lagi dipakai atau kedaluwarsa, untuk tujuan

terkini. Konselor berusaha sedapat mungkin untuk mencegah

agar data penilaian dan pengukuran yang sudah tidak lagi

dipakai tidak disalahgunakan oleh orang lain.

E.12. Konstruksi Penilaian Konselor menggunakan prosedur ilmiah yang telah ditetapkan,

standar yang relevan, dan pengetahuan profesional mutakhir

untuk rancangan penilaian dalam pengembangan, publikasi, dan

penggunaan teknik-teknik penilaian psikologis dan pendidikan.

E.13. Evaluasi Forensik: Evaluasi untuk Proses Hukum

E. 13.a. Kewajiban Utama Ketika memberikan evaluasi forensik, kewajiban utama konselor

adalah untuk memberikan temuan obyektif yang dapat

dibuktikan berdasarkan informasi dan teknik yang tepat untuk

evaluasi tersebut, yang mencakup pengamatan individual dan

atau peninjauan catatan. Konselor mendapat hak untuk

membentuk opini profesional berdasarkan pada pengetahuan

profesional dan keahlian mereka yang dapat didukung oleh data

yang dikumpulkan dari evaluasi. Konselor akan menentukan

batas laporan atau kesaksian mereka, khususnya jika pemeriksaan

terhadap individu belum dilakukan.

101

E. 13.b. Persetujuan untuk Evaluasi

Individu yang akan dievaluasi harus diberitahu secara tertulis

bahwa hubungan tersebut bertujuan untuk melakukan evaluasi

dan tidak bersifat konseling, dan entitas maupun individu yang

akan menerima laporan evaluasi tersebut, disebutkan.

Persetujuan tertulis untuk evaluasi harus dimintakan dari

mereka yang dievaluasi kecuali jika pengadilan mengeluarkan

surat perintah evaluasi tanpa perlu meminta persetujuan

tertulis dari orang-orang yang akan dievaluasi. Untuk evaluasi

pada anak-anak atau orang dewasa yang lemah, persetujuan

tertulis harus dimintakan dari orang tua atau wali.

E.13. c. Evaluasi Klien yang Dilarang

Konselor tidak boleh melakukan evaluasi untuk tujuan forensik

terhadap individu yang sedang mereka berikan konseling atau

individu yang telah mereka berikan konseling sebelumnya.

Konselor tidak menerima individu yang sedang dievaluasi atau

dahulu pernah dievaluasi olehnya untuk tujuan forensik,

sebagai klien konseling.

E.13.d. Menghindari Hubungan yang Berpotensi Membahayakan

Konselor yang memberikan evaluasi forensik harus

menghindari hubungan profesional ataupun pribadi yang

dapat membahayakan, baik dengan anggota keluarga,

pasangan, dan teman dekat dari individu yang sedang

dievaluasi atau telah dievaluasi di masa lalu.

SEKSI F: SUPERVISI, PELATIHAN, DAN

PENGAJARAN Pengenalan

Konselor harus mencoba untuk menumbuhkan hubungan

profesional yang berarti dan saling menghormati serta menjaga

batasan yang tepat dengan orang-orang penerima supervisi

dan siswa. Konselor mempunyai dasar teori dan pendidikan

untuk melaksanakan pekerjaannya dan harus berusaha untuk

bertindak adil, akurat, dan jujur dalam menilai konselor-

konselor yang sedang dalam masa pelatihan.

102

F.1. Supervisi Konselor dan Kesejahteraan

Klien F.1.a. Kesejahteraan Klien

Kewajiban utama dari supervisor konseling adalah memonitor

layanan yang diberikan oleh konselor lain atau konselor yang

sedang dalam masa pelatihan. Supervisor konseling memonitor

kesejahteraan klien dan mengawasi kinerja klinis dan

perkembangan profesional. Untuk dapat memenuhi kewajiban

ini, supervisor harus bertemu secara rutin dengan penerima

supervisi untuk meninjau ulang catatan-catatan kasus, contoh

pekerjaan klinis, atau pengamatan secara langsung. Penerima

supervisi mempunyai tanggung jawab untuk memahami dan

mengikuti Kode etik ACA.

F. 1. b. Kredensial Konselor

Supervisor konseling bekerja untuk memastikan bahwa klien

mengerti akan kualifikasi konselor penerima supervisi, yang

memberikan layanan kepada klien. (Lihat A.b.2.)

F.1. c. Persetujuan Tertulis dan Hak-Hak Klien Supervisor membuat penerima supervisi memahami akan hak-

hak klien termasuk melindungi privasi klien dan kerahasiaan

dalam hubungan konseling. Penerima supervisi memberikan

kepada klien suatu informasi perkenalan profesional dan

memberitahukan bagaimana proses pengawasan tersebut

memengaruhi batas-batas kerahasiaan. Penerima supervisi harus

membuat klien menyadari siapa yang mempunyai akses terhadap

catatan dari hubungan konseling tersebut dan bagaimana catatan

tersebut akan digunakan. (Lihat A.2.b., B.1.d.)

F2. Kompetensi Supervisi Konselor

F.2.a. Persiapan Supervisor

Sebelum memberikan layanan supervisi klinis, konselor

mendapat pelatihan metode dan teknik penyeliaan (supervisi).

Kenselor yang memberi layanan supervisi klinis secara rutin

mengikuti aktivitas pendidikan yang berkelanjutan, termasuk

konseling dan topik serta keahlian supervisi. (Lihat C.2.a., C.2.f.)

103

F.2.b. lsu Multikultural/Keragaman dalam Supervisi Supervisor

konseling­ harus menyadari dan menangani peranan multi­

kulturisme/keragaman dalam hubungan supervisi.

F.3. Hubungan Supervisi

F.3.a. Batasan Hubungan dengan Penerima Supervisi

Supervisor konseling secara jelas menentukan dan

mempertahankan etika profesional, pribadi, dan hubungan

sosialnya dengan penerima supervisi. Supervisor konseling

harus menghindari hubungan nonprofesional dengan mereka

yang sekarang ini sedang disupervisi. jika supervisor harus

memainkan peran profesional yang lain (misalnya, supervisi

klinis dan administratif, instruktor) dengan pihak penerima

supervisi, supervisor harus berupaya meminimalkan konflik

dan menjelaskan kepada penerima supervisi tentang ekspektasi

dan tanggung jawab yang berkaitan dengan masing-masing

peran. Supervisor tidak boleh terlibat dalam setiap interaksi

nonprofesional yang bisa mengganggu hubungan supervisi.

F. 3. b. Hubungan Seksual

Interaksi atau hubungan seksual atau romantis dengan

penerima supervisi tidak diizinkan.

F. 3. c. Pelecehan Seksual

Supervisor konseling tidak boleh menyetujui atau melakukan

pelecehan seksual terhadap penerima supervisi.

F. 3. d. Kerabat Dekat dan Teman

Supervisor konseling tidak boleh menerima kerabat dekat,

pasangan, atau teman sebagai pihak penerima supervisi.

F.3. e. Hubungan yang Berpotensi Menguntungkan Supervisor konseling harus menyadari perbedaan kekuatan dalam

hubungannya dengan penerima supervisi. Jika supervisor percaya

bahwa hubungan nonprofesional dengan penerima supervisi

dapat memberikan keuntungan bagi penerima supervisi, mereka

104

harus mengambii langkah pengamanan seperti yang diambil oleh

konselor dalam bekerja dengan klien. Contoh interaksi atau

hubungan yang dapat memberi keuntungan adalah mengikuti

upacara formal; kunjungan ke rumah sakit; memberikan

dukungan selama masamasa sulit; atau keanggotaan bersama

dalam suatu asosiasi profesional, organisasi, ataupun komunitas.

Supervisor konseling harus berdiskusi secara terbuka dengan

penerima supervisi jika akan menjalin hubungan di luar perannya

sebagai supervisor klinis dan/ atau administratif. Sebelum

melibatkan diri dalam hubungan nonprofesional, supervisor

berdiskusi dengan penerima supervisi dan mendokumentasikan

alasan dari interaksi tersebut, keuntungan atau kerugian yang

mungkin terjadi, dan antisipasi akibatnya untuk penerima

supervisi. Supervisor menjelaskan sifat khusus dan batasan dari

peran tambahan kepada penerima supervisi ini.

F4. Tanggung Jawab Supervisor F.4.a.

Persetujuan Tertulis utuk Supervisi

Supervisor bertanggung jawab untuk memasukkan ke dalam

penyeliaannya, prinsip persetujuan tertulis dan partisipasi.

Supervisor menginformasikan kepada penerima supervisi

tentang kebijakan dan prosedur yang harus mereka taati, dan

mekanisme untuk meminta perlakuan yang adil terhadap

tindakan supervisi individual.

F.4.b. Darurat dan Absen

Supervisor menetapkan dan mengkomunikasikan ke pihak

penerima supervisi mengenai prosedur untuk menghubungi

dirinya, atau saat supervisor absen, supervisor pengganti yang

dapat dihubungi pada keadaan darurat.

F.4. c. Standar bagi Penerima supervisi Supervisor membuat pihak penerima supervisi menyadari standar

profesional dan etika serta tanggung jawab hukum. Supervisor

dari konselor pascasarjana harus mendorong konselor tersebut

untuk mentaati standar praktik profesional. (Lihat C.1.)

105

F.4. d. Pengakhiran Hubungan Supervisi

Supervisor maupun penerima supervisi mempunyai hak untuk

mengakhiri hubungan supenisi dengan pemberitahuan yang

tepat. Alasan pengunduran diri harus diberikan ke pihak lain.

Jika. ada masalah budaya, klinis, ataupun profesional yang

penting untuk kelangsungan hubungan supervisi tersebut,

kedua belah pihak harus berupaya untuk memecahkan

perbedaan tersebut. Jika pengakhiran tidak dapat dihindarkan,

supervisor harus membuat rujukan yangtepat kepada

supervisor lain yang memungkinkan.

F.5. Evaluasi Supervisi Konseling, Remediasi, dan

Dukungan. F.5. a. Evaluasi

Supervisor mendokumentasikan dan menyediakan kepada

penerima supervisi, pengukuran kinerja yang berkelanjutan,

umpan balik evaluasi, dan jadwal sesi evaluatif periodik formal

selama hubungan supervisi tersebut berlangsung.

F.5.b. Keterbatasan Sepanjang evaluasi dan pengukuran, supervisor harus menyadari

keterbatasan pihak penerima supervisi, yang dapat menghambat

kinerja. Supervisor membantu penerima supervisi dalam meminta

bantuan remediasi jika dibutuhkan. Supervisor menyarankan

pembebasan atau pengeluaran dari program pelatihan,

lingkungan konseling terapan, atau proses kredensial profesional

nasional atau sukarela, jika penerima supervisi tidak mampu

memberikan layanan profesional yang kompeten. Supervisor akan

mengonsultasikan dan mendokumentasikan keputusannya untuk

mengeluarkan atau merujuk penerima supervisi guna mendapat

bantuan. Mereka harus memastikan bahwa pihak penerima

supervisi menyadari pilihan-pilihan yang tersedia untuk

menanggapi keputusan semacam itu. (Lihat C.2.g.)

F. 5. c. Konseling bagi Penerima Supervisi

Jika penerima supervisi meminta konseling, supervisor harus

memberikan rujukan yang dapat diterima. Konselor tidak

106

memberikan layanan konseling kepada mereka yang sedang

disupervisi. Supervisor menyebutkan kompetensi antar-pribadi

dalam bentuk dampak isu ini terhadap klien, hubungan

supervisi, dan fungsi profesional (Lihat F.3.a).

F.5. d. Sokongan

Supervisor menyokong penerima supervisi untuk memperoleh

sertifikasi, lisensi, pekerjaan, ataupun penyelesaian suatu

program akademis atau pelatihan hanya jika benar-benar yakin

bahwa penerima supervisi tersebut berkualifikasi tmtuk

sokongan itu. Apapun kualifikasinya, supervisor tidak

memberi sokongan kepada penerima supervisi yang dianggap

mempunyai gangguan dalam bentuk apapun, yang dapat

mengganggu kinerjanya dalam melakukan tugas-tugas yang

berhubungan dengan sokongan tersebut.

F. 6. Tanggung Jawab Pendidik

Konselor F.6. a. Pendidik Konselor

Pendidik konselor yang bertanggung jawab untuk

mengembangkan, menerapkan, dan mengawasi program

pendidikan supervisi memiliki keahlian layaknya guru dan

praktisi. Mereka harus mempunyai pengetahuan mengenai

aspek-aspek etika, hukum, dan peraturan dari profesi tersebut,

serta memiliki kemampuan untuk menerapkan pengetahuan

tersebut dan membuat siswa seria penerima supervisi

menyadari tanggung jawabnya. Pendidik konselor

melaksanakan pendidikan untuk konselor dan program

pelatihan dengan cara yang etis dan berfungsi sebagai model

peran dari perilaku profesional. (Lihat C.1., C.2.a., C.2.c.)

F.6.b. Memasukkan Masalah Multikultural/Keragaman

Pendidik konselor harus memasukkan materi terkait

multikultural/keragaman ke dalam semua pengajaran dan

seminar untuk perkembangan konselor profesional.

107

F. 6. c. Integrasi Studi dan Praktik

Pendidik konselor harus menetapkan program pen didikan dan

pelatihan yang mengintegrasikan studi akademis dan praktik

tersupervisi.

F. 6. d. Etika Mengajar

Pendidik konselor harus membuat para siswa dan penerima

supervisi menyadari tanggung jawab etika dan standar profesi

serta tanggung jawab etika siswa pada profesi tersebut.

Pendidik konselor harus memperkenalkan pertimbangan etika

selama kurikulum berlangsung. (Lihat C.1.)

F. 6. e. Hubungan yang Buruk Pendidik konselor harus berupaya sedapat mungkin untuk

memastikan bahwa hak-hak sesama rekan tidak dirugikan, ketika

siswa atau penerima supervisi memimpin konseling kelompok

atau memberikan supervisi klinis. Pendidik konselor mengambil

langkah untuk memastikan bahwa siswa dan penerima supervisi

mengerti bahwa mereka mempunyai tanggung jawab etika yang

sama seperti pendidik konselor, pelatih, dan supervisor.

F. 6.f. Teori dan Teknik Inovatif

Jika pendidik konselor mengajarkan teknik/prosedur konseling

yang inovatif, tanpa fondasi empiris atau tanpa fondasi teoretis

yang baik, mereka harus mendefinisikan teknik/prosedur

konseling tersebut sebagai “belum terbukti” atau “sedang

dikembangkan” dan menjelaskan kepada siswa, risiko

potensial dan pertimbangan etik dari pemakaian

prosedur/teknik semacam itu.

F.6.g. Penempatan Lingkungan

Pendidik konselor mengembangkan kebijakan yang jelas dalam

program pelatihannya perihal penempatan lapangan dan

pengalaman klinis lainnya. Pendidik konselor memberikan

peran dan tanggungjawab yang dinyatakan secara jelas untuk

siswa atau penerima supervisi, supervisor lapangan, dan

108

supervisor program. Mereka mengkonfirmasi bahwa supervisor

lapangan berkualifikasi untuk memberikan supervisi dan

menginformasikan kepada supervisor lapangan, tentang

tanggung jawab profesional dan etika dari peranan tersebut.

F.6.h. Pemaparan Profesional

Sebelum memulai layanan konseling, konselor yang sedang

dalam pelatihan harus memaparkan statusnya sebagai siswa

dan menjelaskan bagaimana status ini memengaruhi batas

kerahasiaan. Pendidik konselor harus memastikan bahwa klien

di tempat penempatan menyadari layanan yang diberikan dan

kualifikasi dari siswa dan penerima supervisi yang

melaksanakan layanan tersebut. Siswa dan penerima supervisi

harus meminta izin dari klien sebelum menggunakan informasi

apapun yang berhubungan dengan hubungan konseling dalam

proses pelatihan. (lihat A.2.b.)

F.7. Kesejahteraan Siswa

F.7.a. Orientasi

pendidik konselor mengenali bahwa orientasi adalah proses

perkembangan yang berkelanjutan sepanjang pendidikan dan

pelatihan klinis dari siswa. Otoritas konseling memberikan

kepada siswa-siswi potensial informasi tentang ekspektasi yang

bisa didapat dari program pendidikan konselor. 1. jenis dan tingkat keahlian dan pengetahuan yang perlu diakui

sisi untuk dapat menyelesaikan pelatihan dengna sukses;

2. tujuan program pelatihan, sasaran, dan misi serta subjek

yang tercakup di dalamnya; 3. dasar evaluasi; 4. komponen pelatihan yang mendorong pertumbuhan diri atau

pengungkapan diri sebagai bagian dari proses pelatihan;

5. jenis lingkungan supervisi dan persyaratan lapangan untuk

pengalaman lapangan klinis yang dibutuhkan; 6. kebijakan dan prosedur evaluasi serta pembebasan atau

pengeluaran siswa dan penerima suprvisi; dan 7. prospek lowongan kerja mutakhir untuk siswa yang sudah lulus.

109

F.7.b. Pengalaman pertumbuhan diri Program pendidikan konselor menguraikan kebutuhan akan

pengungkapan diri dan pengalaman pertumbuhan diri dalam

penerimaan dan materi program. Pendidik konselor menggunakan

penilaian profesional dalam mendesain pengalaman pelatihan yang

mereka laksanakan, yang mengharuskan siswa dan penerima

supervisi bertumbuh mandiri atau mengungkapkan diri. Siswa dan

penerima supervisi dibuat agar menyadari adanya percabangan

(ramifikasi) dalam pengungkapkan diri ketika konselor yang peran

utamanya sebagai guru, pelatih, atau supervisor diharuskan

menerapkan kewajiban etika pada profesi ini. Komponen evaluatif

dari pengalaman pelatihan eksperimensial secara eksplisit

menguraikan standar akademis yang sudah ditentukan, yang

terpisah dan tidak bergantung pada tingkat pengungkapan diri dari

siswa. Pendidik konselor dapat meminta peserta latihan mencari

bantuan profesional, untuk mengatasi masalah pribadi yang

memengaruhi kompetensinya.

F.8. Tanggung Jawab Siswa F.8.a. Standar untuk siswa

Konselor yang sedang dalam pelatihan bertanggung jawab

untuk memahami dan mengikuti kode etik ACA serta menaati

hukum yang berlaku, kebijakan perundangan, aturan, dan

kebijakan yang mengatur perilaku staf profesional di lembaga

atau lingkungan penempatan. Siswa memiliki kewajiban yang

sama terhadap klien seperti dibutuhkan dari konselor

profesional (lihat C.1.H.i).

F.8.b. Gangguan Konselor yang sedang dalam pelatihan dilarang memberikan atau

menawarkan layanan konseling jika mereka memiliki masalah

fisik, mental, atau emosional yang cenderung membahayakan

klien atau orang lain. Mereka harus awas akan gejala-gejala

gangguan, mencari bantuan untuk masalah tersebut, dan

memberitahu supervisor program jika mereka menyadari tidak

dapat memberikan layanan yang efektif. Sebagai

110

tambahan, mereka harusa mencari layanan profesional yang

tepat untuk dirinya guna mengobati masalah yang

mengganggu kemampuannya untuk memberikan layanan

kepada orang lain (lihat A.1., C.2..d., C.2.g)

F.9. Evaluasi dan Remediasi

Siswa F.9.a. Evaluasi

Konselor menyatakan dengan jelas kepada siswa, sebelum dan

selama program pelatihan, tingkat komptensi yang diperlukan,

metode pemeriksaan, dan waktu evaluasi baik untuk

kompetensi didaktik maupun klinis. Pendidik konselor

memberikan kepada siswa, pemeriksaan kinerja berkelanjutan

dan umpan balik evaluasi sepanjang program pelatihan.

F.9.b. Keterbatasan

Pendidik konselor, selama evaluasi yang kontinu dan

pemeriksaan, menyadari dan menangani ketidakmampuan dari

beberapa siswa dalam memperoleh kompetensi konseling yang

dapat menghambat kinerja. Pendidik konselor:

1. membantu siswa dalam mendapatkan bantuan remedial,

jika diperlukan; 2. mencari konsultasi profesional dan mendokumentasikan

keputusannya untuk mengeluarkan atau merujuk siswa

agar mendapat bantuan; dan 3. memastikan bahwa siswa memiliki sumber daya pada waktu

yang tepat untuk menghadapi keputusan yang mengharuskan

mereka mencari bantuan atau mengeluarkan mereka dan

memberikan kepada siswa perlakukan yang adil sesuai dengan

kebijakan dan prosedur institusi (lihat C.2.g.)

F.9.c. Konseling untuk siswa

Jika siswa membutuhkan konseling atau jika layanan konseling

diperlukan sebagai bagian dari proses remediasi, pendidik

konselor harus memberi rujukan yang tepat.

111

F.10. Peran dan Hubungan antara Pendidik Konselor dengan

Siswa

F.10.a. Hubungan seksual atau Romantis

Interaksi atau hubungan seksual atau romantis dengan siswa

yang sedang dalam pelatihan, tidak diperbolehkan.

F.10.b. Pelecehan Seksual

Pendidik konselor tidak boleh menyetujui atau membuat siswa

menjadi subjek pelecehan seksual (lihat C.6.a.)

F.10.c. Hubungan dengan mantan siswa Pendidik konselor menyadari perbedaan kekuatan dalam

hubungan antara fakultas dengan siswa. Anggota fakultas akan

mendukung diskusi terbuka dengan “mantan” siswa jika

diperkirakan akan ada keterlibatan dalam hubungan sosial,

seksual, atau intim lainnya. Anggota fakultas akan mendiskusikan

dengan “mantan” siswa, bagaimana hubungan mereka di masa

lalu dapat memengaruhi perubahan dalam hubungan.

F.10.d. Layanan Konseling

Pendidik konselor tidak berfungsi sebagai konselor kepada

siswa yang sedang dalam bimbingannya, kecuali berupa peran

singkat yang berhubungan dengan pengalaman pelatihan.

F.10.e. Hubungan yang Berpotensi Menguntungkan

Pendidik konseling harus menyadari perbedaan kekuatan dalam

hubungan antara fakultas dan siswa. Jika pendidik percaya bahwa

hubungan non profesional dengan siswa dapat memberikan

keuntungan kepada siswa, mereka harus mengambil langkah

pengamanan seperti yang diambil oleh konselor dalam bekerja

dengan klien. Contoh interaksi atau hubungan yang dapat

memberi keuntungan, tetapi tidak terbatas pada itu, adalah

mengikuti upacara formal; kunjungan ke rumah sakit;

memberikan dukungan selama masa-masa sulit; atau keanggotaan

bersama dalam suatu asosiasi profesional, organisasi, ataupun

komunitas. Pendidik konselor harus

112

berdiskusi secara terbuka dengan siswa jika akan menjalin

hubungan di luar perannya sebagai guru dan supervisor

mereka mendiskusikan dengan siswa, alsan dari interaksi

tersebut, keuntungan atau kerugian yang mungkin terjadi, dan

antisipasi akibatnya untuk siswa. Pendidik menjelaskan sifat

khusus dan batasan dari peran tambahan yang akan mereka

miliki sebelum melibatkan diri dalam hubungan non

profesional. Hubungan nonprofesional dengan siswa harus

memiliki batasan waktu dan dimulai dengan izin siswa.

F.11. Multikultural/Perbedaan Kompetensi dalam Program

Pendidikan dan Pelatihan Konselor

F.11.a. Perbedaan Kecakapan

Pendidik konselor berkomitmen untuk merekrut dan

mempertahankan kecakapan yang berbeda-beda.

F.11.b. Perbedaan siswa

Pendidik konselor secara aktif berusaha merekrut dan

mempertahankan siswa yang berbeda-beda. Pendidik konselor

menunjukkan komitmen terhadap multikultural/ perbedaan

kompetensi dengan mengakui dan menghargai perbedaan

budaya dan tipe kemampuan para siswa dalam pelatihan.

Pendidik konselor memberikan akomodasi yang tepat yang

meningkatkan dan mendukung kesejahteraan sisaw yang

berbeda-beda dan kinerja akademis.

F.11.c. Multikultural/ Perbedaan Kompetensi

Pendidik konselor secara aktif memasukkan multikultural/

perbedaan kompetensi ke dalam pelatihan dan praktik

supervisinya. Mereka secara aktif melatih siswa untuk

menyadari, mengetahui, dan terampil dalam kompetensi

praktik multikultur. Pendidik konselor memasukkan contoh

kasus, permainan peran, pertanyaan diskusi, dan aktivitas

ruang kelas lainnya yang mempromosikan dan mewakili

berbagai perspektif budaya.

113

SEKSI G : PENELITIAN DAN

PUBLIKASI Pengenalan Konselor yang melakukan penelitian harus berkontribusi pada

pengetahuan yang menjadi dasar dari profesi dan meningkatkan

pemahaman yang lebih jelas dari kondisi yang mengarah ke

keadaan sehat dan lebih dari sekedar lingkungan masyarakat.

Konselor mendukung upaya peneliti dengan berpartisipasi secara

penuh dan sukarela, jika memungkinkan. Konselor harus

meminimalkan bias dan menghormati keragaman dalam

mendesain dan menerapkan program-program penelitian.

G.1. Tanggung Jawab Penelitian G.1.a. Penggunaan manusia sebagai partisipan penelitian Konselor merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan

penelitian dalam cara yang tepat, yang konsisten dengan prinsip

etika yang penting, hukum federal dan negara, peraturan institusi

yang mengadakan riset, serta standar ilmiah yang mengatur

mengenai penelitian dengan partisipan manusia.

G.1.b. Penyimpangan dari Praktik Standar

Konselor akan melakukan konsultasi dan pengawasan

penjagaan yang ketat guna melindungi hak-hak partisipan

penelitian jika masalah yang terjadi dalam penelitian

menunjukkan adanaya penyimpangan standar atau

penyimpangan dari praktik yang lazim.

G.1.c.Peneliti Independen

Jika peneliti independen tidak mempunyai akses ke

Institutional Review Board (IRB), mereka harus berkonsultasi

dengan peneliti yang terbiasa dengan prosedur IRB untuk bisa

memberikan penjagaan yang tepat.

G.1.d. Kehati-hatian untuk menghindari cedera Konselor yang melakukan penelitian dengan partisipan manusia

bertanggung jawab atas kesejahteraan partisipan sepanjang proses

penelitian dan harus mengambil langkah-langkah

114

penjagaan untuk menghindari terjadinya efek psikologis,

emosional, fisik, atau sosial terhadap partisipan.

G.1.e. Tanggung jawab kepala peneliti

Tanggung jawab utama mengenai etika praktik penelitian

terletak pada kepala peneliti. Semua orang yang terlibat dalam

aktivitas penelitian memiliki kewajiban dan tanggung jawab

etika yang sama atas tindakan mereka.

G.1.f. Gangguan minimal

Konselor harus mengambil langkah kewaspadaan yang

rasional untuk menghindari terganggunya kehidupan

partisipan penelitian yang diakibatkan oleh keterlibatan

mereka dalam penelitian tersebut.

G.1.g. Pertimbangan multikultural/ keragaman dalam penelitian

Jika sesuai dengan tujuan penelitian, konselor harus peka

untuk melibatkan prosedur penelitian yang memasukkan

pertimbangan kultural. Mereka harus meminta konsultasi, jika

perlu.

G.2. Hak Partisipan Penelitian

(lihat A.2., A.7) G.2.a. Persetujuan tertulis dalam penelitian

Individu mempunyai hak dalam memberi persetujuan untuk

menjadi partisipan penelitian. Dalam meminta persetujuan,

konselor menggunakan bahasa yang :

1. menjelaskan dengan akurat utjuan dan prosedur yang akan

diikuti; 2. mengidentifikasi setiap prosedur yang bersifat eksperimen

atau relatif belum pernah dicoba; 3. menguraikan setiap ketidaknyamanan dan risiko bagi peserta; 4. menguraikan setiap manfaat atau perubahan yang secara

rasional dapat diharapkan untuk individu atau organisasi; 5. menyebutkan prosedur alternatif yang tepat, yang dapat

bermanfaat bagi partisipan;

115

6. menwarkan jawaban untuk setiap pertanyaan yang

berkaitan dengan prosedur; 7. menguraikan keterbatasan perihal kerahasiaan; 8. menguraikan format dan target peserta potensial dalam

penyebaran hasil temuan penelitian; dan 9. menginstruksikan kepada partisipan bahwa mereka bebas

untuk menarik persetujuannya dan tidak melanjutkan

partisipasinya dalam proyek tersebut kapanpun juga, tanpa

dikenal penalti.

G.2.b. Kebohongan

Konselor tidak boleh melakukan penelitian yang berdasarkan

pada kebohongan, kecuali jika prosedur alternatif tidak

memungkinkan dan nilai prospektif dari penelitian dapat

membenarkan kebohongan tersebut. Jika kebohongan semacam

itu berpotensi menyebabkan bahaya secara fisik maupun

emosional kepada para partisipan penelitian, penelitian tersebut

tidak boleh dilaksanakan, meskipun nilai prospektifnya tinggi.

Jika persyaratan metodologi dari penelitian mengharuskan

konselor menyembunyikan sesuatu atau melakukan kebohongan,

peneliti harus menejelaskan alasan dari tindakan ini sesegera

mungkin, selama pertemuan ulang.

G.2.c. Partisipasi siswa/ penerima supervisi

Peneliti yang melibatkan siswa atau penerima supervisi dalam

penelitian harus menjelaskan kepada mereka bahwa keputusan

untuk ikut atau tidak ikut dalam aktivitas penelitian tidak

mempengaruhi prestasi akademik atau hubungan supervisi

sseorang. Siswa atau penerima supervisi yang memilih untuk

tidak berpartisipasi dalam penelitian pendidikan harus diberi

alternatif yang tepat dalam memenuhi persyaratan akademis

atau klinisnya.

G.2.d. Partisipan klien

Konselor yang melakukan penelitian dengan melibatkan klien

harus mencantumkan dengan jelas dalam proses persetujuan

116

tertulis bahwa klien bebas memilih apakah ingin atau tidak

ingin berpartisipasi dalam aktivitas penelitian. Konselor harus

mengambil langkah pencegahan untuk melindungi klien dari

konsekuensi yang merugikan akibat menolak atau menarik diri

dari keikutsertaan.

G.2.e. Kerahasiaan informasi

Informasi yang didapat tentang partisipan penelitian selama

dilakukannya investigasi bersifat rahasia. Jika ada

kemungkinan orang lain mendapatkan akses ke informasi

tersebut, etika praktik penelitian mengharuskan bahwa

kemungkinan tersebut, bersama dengan rencana untuk

melindungi kerahasiaan, dijelaskan kepada partisipan sebagai

bagian dari prosedur untuk mendapatkan persetujan tertulis.

G.2.fIndividu yang Tidak Mampu Memberi Persetujuan Tertulis Jika

individu tidak mampu memberi persetujuan tertulis, konselor

memberikan penjelasan yang akurat kepada, mendapatkan

perjanjian partisipasi dari, dan mendapatkan persetujuan yang

akurat dari individu yang memiliki kewenangan hukum.

G.2.g. Komitmen terhadap Partisipasi

Konselor mengambil langkah-langkah rasional untuk

menghormati semua komitmen terhadap partisipan penelitian

(lihat .2.c)

G.2.g. Komitmen terhadap Partisipan

Konselor mengambil langkah-langkah rasional untuk meng­

hormati semua komitmen terhadap partisipan penelitian (lihat

.2.c)

G.2.h. Penjelasan Setelah Pengumpulan Data

Setelah semua data terkumpul, konselor harus memberikan

pada semua partisipan, klasifikasi penuh atas penelitian

tersebut untuk menghilangkan kesalahpahaman di kalangan

partisipan mengenai penelitian itu. Jika norma-norma ilmiah

117

atau kemanusiaan mengharuskan penundaan atau penahanan

informasi, konselor harus mengambil tindakan rasional untuk

menghindari agar hal tersebut tidak menimbulkan bahaya.

G.2.i. Informasi ke Pihak Sponsor Konselor menginformasikan kepada sponsor, institusi, dan

saluran publikasi tentang prosedur dan hasil penelitian. Konselor

harus memastikan bahwa badan-badan dan otoritas yang tepat

mendapatkan informasi dan pernyataan yang penting.

G.2.j. Pemusnahan Dokumen Penelitian dan Catatan

Dalam priode waktu yang rasional setelah tuntasnya proyek

riset atau penelitian, konselor harus mengambil langkah untuk

memusnahkan catatan atau dokumen (audio, video, digital,

dan tertulis) yang mengandung data rahasia atau informasi

yang mengidentifikasi partisipan penelitian. Jika catatan

memiliki unsur artistik, peneliti harus meminta persetujuan

partisipan dalam kaitannya dengan penangan rekaman atau

dokumen tersebut (lihat B.4.a., B.4g)

G.3. Hubungan dengan Partisipan Penelitian (Jika Penelitian

Melibatkan Interaksi Intensif Atau Berkepanjangan)

G.3.a. Hubungan Nonprofesional

Hubungan nonprofesional dengan partisipan penelitian harus

dihindarkan.

G.3.b. Hubungan dengan Partisipan Penelitian

Interaksi atau hubungan seksual atau romantis antara konselor

partisipan penelitian dengan partisipan yang baru saja

ditangani tidak diizinkan.

G.3.c. Pelecehan Seksual dan Partisipan Penelitian

Peneliti tidak boleh menyetujui atau menjadikan partisipan

penelitian sebagai subjek pelecehan seksual.

118

G.3.d. Hubungan yang Berpotensi Menguntungkan

Jika interaksi nonprofesional antara peneliti dan partisipan

penelitian berpotensi memberi keuntungan, peneliti haru

mendokumentasikan, sebelum terjadinya interaksi (jika

memungkinkan), alasan dari interaksi, keuntungan potensial,

dan konseksuensi yang dapat terjadi untuk partisipan

penelitian. Interaksi semacam itu harus diawali dengan

persetujuan dari partisipan penelitian. Jika terjadi risiko yang

tidak disengaja pada partisipan penelitian akibat interaksi

nonprofesional, peneliti harus menunjukkan bukti dari usaha

meremediasi risiko tersebut.

G.4. Pelaporan Hasil G.4.a. Hasil yang Akurat

Konselor merencanakan, melaksanakan dan melaporkan

penelitian dengan akurat. Mereka memberikan diskusi

menyeluruh tentang keterbatasan datanya dan hipotesa alternatif.

Konselor tidak boleh terlibat dalam penelitian yang memberi

kesan keliru atau menipu, data yang terdistorsi, data yang

ditafsirkan secara keliru, atau hasil yang sengaja dibuat bias.

Mereka secara eksplisit menyebutkan semua variabel dan kondisi

yang diketahui investigator dapat memengaruhi hasil penelitian

atau interpretasi data. Mereka menguraikan seberapa luas hasil

tersebut diterapkan untuk beragam populasi.

G.4.b. Kewajiban untuk Melaporkan Hasil yang Tidak Menguntungkan

Konselor melaporkan hasil setiap penelitian yang bernilai

profesional. Hasil yang tidak menguntungkan institusi, program,

layanan, pendapat umum atau kepentingan tidak ditahan.

G.4.c. Pelaporan Kesalahan

Jika konselor menemukan kesalahan yang signifikan dalam

publikasi penelitian, mereka harus mengambil langkah-langkah

rasional untuk mengoreksi kesalahan baik melalui ralat atau

cara-cara publikasi lain yang tepat.

119

G.4.d. Identitas Partisipan

Konselor yang memasok data, membantu penelitian dari orang

lain, melaporkan hasil penelitian, atau menyediakan data

orisinal harus menyembunyikan identitas partisipan

bersangkutan jika tidak ada otoritasi khusus dari partisipan

untuk membuka identitas tersebut. Dalam situasi partisipan

mengidentifikasi sendiri keterlibatannya dalam studi

penelitian, peneliti mengambil langkah aktif untuk memastikan

bahwa data disesuaikan/diubah untuk melindungi identitas

dan kesejahteraan semua pihak dan bahwa diskusi hasil tidak

menimbulkan bahaya untuk partisipan.

G.4.e. Pengutipan Hasil

Konselor berkewajiban untuk menyediakan data penelitian

orisinal bagi profesional yang berkualifikasi, yang ingin

mengutip penelitian tersebut.

G.5. Publikasi G.5.a. Mengakui Kontribusi

Ketika melaksanakan dan melaporkan penelitian konselor

harus memahami dan memberikan pengakuan kepada

penelitian dengan topik tersebut yang pernah diadakan

sebelumnya, memantau undang-undang hak cipta, dan

memberikan penghargaan sepenuhnya kepada semua yang

pantas mendapat penghargaan tersebut.

G.5.b. Plagiat Konselor tidak boleh memplagiat (menjiplak) yaitu mereka tidak

boleh menyajikan pekerjaan orang lain sebagai pekerjaannya.

G.5.c. Tinjauan Ulang/Publikasi Ulang dari Data atau Gagasan

Konselor mengakui sepenuhnya dan membuat editorial peninjau

menyadari terbitan data atau gagasan sebelumnya, jika data atau

gagasan tersebut diajukan untuk ditinjau atau dipublikasikan.

120

G.5.d. Kontributor

Konselor memberikan penghargaan melalui penulisan bersama,

ucapan terima kasih, pernyataan catatan kaki, atau cara-cara lain

yang tepat kepada mereka yang memberi kontribusi signifikan

pada penelitian atau pengembangan konsep sesuai dengan

kontribusinya. Kontributor utama ditulis pertama di daftar

sementara kontributor teknis atau profesional minor, disebutkan

dalam catatan atau pernyataan pendahuluan.

G.5.e. Perjanjian Kontributor Konselor yang melaksanakan penelitian bersama dengan rekan

atau siswa/ penerima supervisi membuat perjanjian sebelumnya

tentang alokasi tugas, pemublikasikan penghargaan dan jenis

ucapan terima kasih yang akan diterima.

G.5.f. Penelitian Siswa

Untuk artikel yang banyak didasarkan pada kertas kerja,

proyek, disertasi, atau tesis siswa dan pada tulisan dimana

siswa adalah kontributor utama, nama siswa ini akan ditulis

sebaga penulis utama.

G.5.g. Penerimaan Duplikasi

Konselor menerima manuskrip untuk dipertimbangkan, hanya

untuk satu jurnal saja satiap kali. Manuskrip yang diterbitkan

baik utuh atau sebagian dalam jurnal atau terbitan lain tidak

boleh diterima untuk diterbitkan tanpa pengetahuan atau izin

dari terbitan terdahulu.

G.5.b. Tinjauan Profesional Konselor yang meninjau materi yang dikumpulkan untuk

publikasi, penelitian, atau tujuan pendidikan lainnya harus

menghormati kerahasiaan dan hak pribadi dari orang-orang yang

mengumpulkannya. Konselor harus berhati-hati dalam membuat

keputusan publikasi berdasarkan pada standar yang absah dan

dapat dipertahankan. Konselor meninjau artikel yang di terima

secara tepat waktu dan didasarkan pada lingkup

121

serta kompetensi dalam metodologi penelitian. Konselor yang

bertugas sebagai peninjau atas permintaan editor atau penerbit

harus berusaha sedapat mungkin untuk hanya meninjau materi

yang masuk dalam lingkup kompetensinya dan berhati-hati

menghindari bias pribadi.

SEKSI H : MEMECAHKAN MASALAH

ETIKA Pengenalan Konselor bertindak di dalam cara yang benar sesuai hukum, etika

dan moral saat melakukan pekerjaan profesional mereka. Mereka

harus menyadari bahwa perlindungan klien dan kepercayaan di

dalam profesi tersebut bergantung pada tindak-tanduk

profesional yang tinggi. Mereka memperlakukan konselor lain

dengan standar yang sama dan bersedia mengambil tindakan

yang tepat untuk memastikan bahwa standar ini ditegakkan.

Konselor berupaya untuk memecahkan dilema etika dengan

komunikasi langsung dan terbuka diantara semua pihak yang

terlibat di dalamnya dan berkonsultasi dengan rekan serta

supervisor, jika perlu. Konselor harus menerapkan etika

praktik dalam pekerjaan profesional mereka sehari-hari.

Mereka bersinggungan dengan perkembangan profesional

berkelanjutan dalam topik terkini mengenai etika dan masalah-

masalah hukum di dalam konseling.

H.1. Standar dan Hukum

(lihat F.9.a) H.1.a. Pengetahuan

Konselor harus memahami kode etik ACA dan kode etik

terapan lainnya dari organisasi profesional atau badan-badan

sertifikasi dan lisensi lainnya, yang mereka ikuti. Kurangnya

pengetahuan atau salah pemahaman tentang tanggung jawab

etika ini bukan alasan untuk mempertahankan diri dari sangsi

perbuatan non etis.

122

H.1.b. Konflik antara Etika dan Hukum

Jika tanggung jawab etika bertabrakan dengan hukum

peraturan, ataupun otoritas hukum lainnya, konselor harus

memperlihatkan komitmen mereka pada kode etik ACA dan

mengabil langkah yang diperlukan untuk memecahkan konflik

tersebut. Jika konflik tidak bisa dipecahkan dengan cara

tersebut, konselor dapat menaati persyaratan dari hukum,

peraturan atau otoritas hukum lainnya.

H.2. Pelanggaran yang Dicurigai

H.2.a. Perilaku Etika yang Diharapkan

Konselor mengharapkan rekannya mematuhi kode etik ACA.

Jika konselor memiliki pengetahuan yang dapat memunculkan

keraguan perihal apakah konselor lain bertindak dengan cara

yang etis, mereka akan mengambil langkah-langkah yang

sesuai. (lihat H.2.b., H.2.c)

H.2.b. Resolusi Informal

Jika konselor mempunyai alasan untuk mempercayai bahwa

konselor lain sedang atau telah melanggar standar etika,

mereka akan pertama-tama berupaya memecahkan masalah

tersebut secara informal dengan konselor lain, jika

memungkinkan, asalah tindakan semacam itu tidak melanggar

hak kerahasiaan yang mungkin ada.

H.2.c. Melaporkan Pelanggaran Etika Jika pelanggaran yang jelas telah menyebabkan atau

kemungkinan membahayakan bagi seseorang atau organisasi, dan

tidak tepat untuk diberikan resolusi informal, atau tidak

terpecahkan dengan tepat, konselor mengambil langkah

selanjutnya terhadap situasi itu. Tindakan itu bisa mencakup

melaporkan pelanggaran tersebut ke komite etika profesionasional

atau daerah, dewan lisensi negara, atau otoritas institusional yang

tepat. Standar ini tidak berlaku jika intervensi tersebut dapat

melanggar hak kerahasiaan atau jika konselor tidak diperbolehkan

123

meninjau pekerjaan konselor lain yang perilaku profesionalnya

dipertanyakan.

H.2.d. Konsultasi

Jika tidak yakin apakah situasi tertentu atau aksi melanggar

kode etik ACA, konselor berkonsultasi dengan konselor lain

yang mengetahui tentang etika dan kode etik ACA dengan

rekan, dengan otoritas yang tepat.

H.2.e. Konflik Organisasi

Jika tuntutan organisasi tempat konselor berafiliasi berbenturan

dengan kode etik ACA, konselor harus memspesifikasikan

kepada suprvisor atau petugas yang bertanggung jawb lainnya,

komitmen mereka terhadap kode etik ACA. Jika mungkin,

konselor berusaha untuk mengubah tuntutan organisasi agar

dapat sepenuhnya mematuhi kode etik ACA. Dengan

melakukan hal ini, mereka menangani masalah kerahasiaan.

H.2.f. Keluhan yang Tidak Dibenarkan

Konselor tidak memulai berpartisipasi dalam, atau mendorong

pengisian keluhan etika yang dibuat dengan dibuat dengan

kecerobohan atau mengabaikan dengan sengaja fakta-fakta

yang menyangkal klaim tersebut.

H.2.g. Diskriminasi tidak adil terhadap pengaju keluhan dan pemberi

respons

Konselor tidak menolak pemekerjaan individu, kemajuan,

penerimaan dalam program akademi atau program lain,

jabatan tetap, atau promosi hanya berdasarkan pada apa yang

telah mereka lakukan atau karan mereka menjadi subjek

keluhan etik. Hal ini tidak mencegah pengambilan tindakan

berdasarkan hasil kejadian tersebut atau pertimbangan

informasi yang tepat lainnya.

124

H.3. Kerjasama dengan Komite Etik Konselor harus membantu dalam proses penegasan kode etik

ACA. Konselor bekerja sama dengan komite investigasi, prosedur,

dan persyaratan dari etika ACA ataupun komite etik dari asosiasi

atau dewan lain semacam itu yang mempunyai juridiksi atas

mereka yang dikenal tuduhan pelanggaran. Konselor harus

familiar dengan kebijakan ACA dan prosedur untuk memproses

keluhan pelanggaran etika dan mengguakannya sebagai acuan

dalam menyokong kode etik ACA.

125

DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, Imas Diana, “ Hubungan Konseling dan Batas-batas

Pelaksana Profesional Konselor”, Makalah Sekolah

Pascasarjana Program Studi Bimbingan & Konseling, UPI

Bandung, 2005, tidak diterbitkan.

Asmaran A.S., Pengantar Studi Ahlak, Jakarta: Rajawali Press,

1992. B. Victor and J.B. Cullen, “The Organizational Bases of Ethical

Work Climates”, Administrative Science Quarterly, March 1998.

Cavanagh, E. Michael, The Counseling Experience: A Theoretical

and Practical Approach. California : Wodsworth, Inc. 1982.

Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi. Judul asli Dictionary of

Psychology diterjemahkan Kartini Kartono, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada. 2004. Corey, Geral., Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, judul asli

Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy,

penerjemah E. Koeswara. Bandung: PT Refika aditama. 1988.

Daryl Koehn, Landasan Etika Profesi, Yogyakarta: Kanisius

Medika. 2008.

Efendy, Ferry dan Makhfudli, Keperawatan Kesehatan Komunitas,

Teori dan Praktis dalam Keperawatan, Jakarta: Salemba

Medika, 2009.

E.J. Ottensmeyer and G. Mc Carthy, Ethics in the Work Place,

New York: McGraw Hill, 1996.

Franz Mgnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat

Moral, Kanisius: Yogyakarta, 1987. Geldard, Kathryn & Geldard, David, Keterampilan Praktik Konseling

: Pendekatan Integratif, judul asli Practical Counselling Skills : An Integrative Approach. Alih bahasa Eva Hamidah, S.S.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. G. F Cavanagh, D. J. Moberg, and M. Valasquez, “The Ethics of

Organization Politics”, Academy of Management Journal, June 1981.

Gibson & Mitchell, Introduction to Counseling and Guidance. New

126

Jersey: Pearson Prentice Hall, 2008.

Gladding, T. Samuel, Counseling: a Comprehensive Profession,

sixth edition, alih bahasa P. M. Winarno & Lilian Yuwono,

Jakarta: PT. Indeks, 2012.

Hornby & Parnwell, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT.

Pustaka Ilmu, 1992.

Latipun, Psikologi Konseling. malang: Universitas

Muhammadiyah Malang, 2001.

L. Kohlberg, “Stage and Sequence: The Cognitive-

Developmental Approach to Socialization”, in D. A. Goslin

(ed), Handbook of Socialization Theory and Research, Chicago:

Rand McNally, 1969.

Ondi Saondi & Aris Suherman, Etika Profesi Keguruan, Bandung:

Refika Aditama, 2010. Robbins, P. Stephen, Organizational Behavior, New Jersey: Printice

Hall, Inc. 2001. Sastrapraja, M., Kamus Istilah Pendidikan Umum, Surabaya: Usaha

Nasional, 1981.

Schoener, R. Garry, “Boundaries in Professional Relationship”, Makalah pada Konferensi Norwegian Psychological Association,

1997, tidak diterbitkan. Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung

Jati, 1981.

Sofyan Willis, Konseling Individual Teori dan Praktek, Bandung:

Alfabeta, 2004.

Tim Bond, Handbook of Counselling and Psychotherapy, edited by

Colin Feltman and Lan Horton, London : Sage Publications,

2000.

Ya’kub, Hamzah, Etika Islam, Bandung : CV. Diponegoro, 1983.

_______, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia, Surabaya: PB

ABKIN, 2009.

_______, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 2003.

________, Kode Etik Asosiasi Bimbingan dan Konseling

Indonesia, Bandung: PB ABKIN, periode 2005-2010.

127

________, Kode Etik American Counseling Association, tahun

2005.

_______, Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bimbingan dan

Konseling, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2004.

_______, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 27 tahun

2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi

Konselor, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

_______, Pelanggaran Kode Etik Profesi IT dan Peraturan

Perundangan, Sheetdicx.wordpress.com/2010/01/13, h.3-4.

128