4
ETIOLOGI Scabies atau kudis disebabkan oleh seekor tungau (kutu/mite) yang bernama Sarcoptes scabiei var. hominis termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima, super family Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis. Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggunnya cembung, dan perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukurannya, yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yaitu 200-240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Handoko, 2008). Tungau berkopulasi (kawin) diatas kulit, setelah terjadi kopulasi (kawin) yang jantan akan mati, kadang- kadang masih hidup dalam terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi akan menggali stratum korneum dengan kecepatan 2-3 mm sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat bertahan hidup selama 1 bulan. Biasanya dalam watu 3-5 hari, telur akan menetas dan

ETIOLOGI Dan Epidemiologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kdmjes

Citation preview

Page 1: ETIOLOGI Dan Epidemiologi

ETIOLOGI

Scabies atau kudis disebabkan oleh seekor tungau (kutu/mite) yang bernama

Sarcoptes scabiei var. hominis termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo

Ackarima, super family Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var.

hominis. Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggunnya

cembung, dan perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan

tidak bermata. Ukurannya, yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350

mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yaitu 200-240 mikron x 150-200

mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan

sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan

rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut

dan keempat berakhir dengan alat perekat (Handoko, 2008).

Tungau berkopulasi (kawin) diatas kulit, setelah terjadi kopulasi (kawin) yang

jantan akan mati, kadang-kadang masih hidup dalam terowongan yang digali oleh

tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi akan menggali stratum korneum

dengan kecepatan 2-3 mm sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir

sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang telah dibuahi ini

dapat bertahan hidup selama 1 bulan. Biasanya dalam watu 3-5 hari, telur akan

menetas dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat

tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2-3 hari, larva akan

menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk yaitu jantan dan betina, dengan 4

pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa

memerlukan waktu antara 8-12 hari. Tungau betina akan mati setelah

meninggalkan telur, dan tungau jantan akan mati setelah kopulasi (Handoko,

2008).

Perkembangan penyakit ini dipengaruhi beberapa faktor, antara lain keadaan

sosial-ekonomi yang rendah, kondisi perang, kepadatan penghuni yang tinggi,

tingkat hygiene yang buruk, kurangnya pengetahuan, dan kesalahan dalam

diagnosis serta penatalaksanaan skabies (Tabri, 2005).

Page 2: ETIOLOGI Dan Epidemiologi

Transmisi atau perpindahan skabies antara penderita dapat berlangsung

melalui kontak langsung, misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan hubungan

seksual. Selain itu juga dapat melalui kontak tidak langsung, misalnya pakaian,

handuk, sprei, bantal, dan lain-lain (Handoko, 2008).

Handoko, R. P. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 122- 125.

Tabri, F. 2005. Skabies Pada Bayi dan Anak. Dalam : Boediarja SA, Sugito TL,

Kurniati DD, editor. Infeksi Kulit pada Bayi dan Anak. Jakarta : Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 62- 79.

EPIDEMIOLOGI

Skabies ditemukan hampir di seluruh negara dengan prevalensi yang

bervariasi. Di beberapa negara yang sedang berkembang, prevalensi skabies

sekitar 6% - 27% populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak serta

remaja (Budiarjo, 2008).

Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies. Banyak

faktor yng menunjang perkembangan penyakit ini antara lain sosial ekonomi yang

rendah, hubungan seksual yang bersifat promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan

perkembangan demografi serta ekologi. Selain itu, mudahnya penyakit ini

menular dari manusia ke manusia, hewan ke manusia, dan manusia ke hewan

melalui berbagai cara penularan. Penyakit skabies dapat terjadi pada satu

keluarga, tetangga yang berdekatan, bahkan dapat terjadi di seluruh kampung

(Budiarjo, 2008).

Penyebab dan proses terjadinya penyakit skabies berkembang dari

rantaisebab akibat ke suatu proses kejadian penyakit, yakni proses interaksi

antara manusia (pejamu) dengan berbagai sifatnya (biologis, fisiologis, psikologis,

Page 3: ETIOLOGI Dan Epidemiologi

sosiologis dan antropologis) dengan penyebab (agent) serta dengan lingkungan

(environment) (Budiarjo, 2008).

Dalam teori keseimbangan, interaksi antara ketiga unsur tersebut harus

dipertahankan keseimbangannya. Bila terjadi gangguan keseimbangan antara

ketiganya, akan menyebabkan timbulnya penyakit tertentu, termasuk penyakit

kulit skabies (Budiarjo, 2008).

Budiarjo. 2008. Epidemiologi dan Inseidens Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.