View
237
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Disusun oleh Dr. Gabriele Ferrazzi 28 Maret 2008 Lampiran 1: Kutipan Kerangka Acuan Kerja 57 Lampiran 2: Narasumber Utama 59 Lampiran 3: Tipologi Urusan/Tugas Desentralisasi 60 Lampiran 4: Tugas pembantuan vs Tugas Dekonsentrasi dalam Draf PP 62 Lampiran 5: Opsi-Opsi Peran Tingkat Propinsi 64 Lampiran 6: Kriteria Pembagian Urusan 66 Lampiran 7: Perbandingan Urusan antara Daerah-Daerah Biasa dan Aceh 68 DAFTAR ISI 12 Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan ii
Citation preview
Disusun olehDr. Gabriele Ferrazzi
28 Maret 2008
MENJAJAKI OPSI REFORMASI DI BIDANG PEMBAGIAN URUSAN
Laporan Akhir
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan ii
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF iv
PENDAHULUAN 1
1. Konteks studi secara keseluruhan 1
2. Ruang lingkup dan metodologi studi 2
3. Struktur laporan 4
I. POKOK-POKOK DALAM KERANGKA SAAT INI 5
1. Perubahan kerangka pembagian urusan di Indonesia 5
2. Elemen-elemen utama dalam tatanan saat ini 10
II. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN TINDAKAN YANG
DIPERLUKAN
12
1. Tatanan secara keseluruhan: asas pemerintahan, peran dan struktur 12
2. Kerangka hukum/mekanisme untuk penyesuaian yang sedang berjalan 16
3. Peran gubernur dan propinsi 21
4. Kesesuaian pembiayaan dengan urusan 23
5. Kriteria pembagian urusan 25
6. Urusan konkuren 27
7. Formulasi urusan 30
8. Urusan wajib/standar pelayanan minimum 32
9. Urusan pilihan/hak inisiatif 36
10. Urusan kecamatan 39
11. Urusan desa 40
12. Wujud pengorganisasian dari pembagian urusan 42
13. Pembagian urusan di daerah-daerah khusus 44
14. Dampak penataan daerah terhadap pembagian urusan 48
15. Proses pembagian urusan 49
III. KESIMPULAN KESELURUHAN 55
Lampiran 1: Kutipan Kerangka Acuan Kerja
57
Lampiran 2: Narasumber Utama 59
Lampiran 3: Tipologi Urusan/Tugas Desentralisasi 60
Lampiran 4: Tugas pembantuan vs Tugas Dekonsentrasi dalam Draf PP 62
Lampiran 5: Opsi-Opsi Peran Tingkat Propinsi 64
Lampiran 6: Kriteria Pembagian Urusan 66
Lampiran 7: Perbandingan Urusan antara Daerah-Daerah Biasa dan Aceh 68
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan iii
DAFTAR SINGKATAN
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
CIDA Canadian International Development Agency
DAK Dana Alokasi Khusus
DAU Dana Alokasi Umum
Depkeu Departemen Keuangan
Depdagri Departemen Dalam Negeri
DRSP Democratic Reform Support Program (Didanai oleh USAID)
DSF Decentralization Support Facility (Fasilitas Pendukung Desentralisasi)
FPPD Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa
GTZ Deutche Gesellschaft Fϋr Technische Zusammenarbeit GmbH
Pemda Pemerintah Daerah
PMD Pemberdayaan Masyarakat Desa
PP Peraturan Pemerintah
SPM Standar Pelayanan Minimal
USAID United States Agency for International Development
WB World Bank (Bank Dunia)
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan iv
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pembagian urusan di Indonesia masih tetap menghadapi berbagai tantangan yang
timbul, antara lain, dari sejumlah pembaruan yang terjadi pada kurun waktu 2004-
2007, yaitu periode sejak dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004.
Kesadaran akan adanya tantangan-tantangan tersebut menjadi latar belakang
keputusan Pemerintah Indonesia dalam menerima usulan berbagai donor untuk
melaksanakan suatu studi yang bertujuan mendalami kemajuan yang telah dicapai,
mengidentifikasi hambatan yang masih tersisa, juga peluang untuk membuat kerangka
pembagian urusan yang lebih kuat stabil dan efektif. Studi tersebut dimaksudkan
untuk membantu pemerintah RI dalam menjajaki berbagai arah baru reformasi di
bidang pembagian urusan.
Istilah pembagian urusan dalam studi ini mengacu kepada sebuah konsep yang cukup
luas, dimana didalamnya tercakup tatanan secara meyeluruh dari peranan masing-
masing tingkat pemerintahan juga susunan yang spesifik dari pembagian urusan. Kuat
atau tidaknya suatu kerangka pembagian urusan ditentukan oleh pemilihan yang
seksama dari elemen-elemen yang sesuai dengan konteks lokal, terutama bagaimana
elemen-elemen tersebut membangun suatu tatanan yang logis dan konsisten.
Dalam proses analisanya, studi ini menggunakan pendapat para akademisi dan
pemangku kepentingan lain, baik dalam hal substansi maupun pendekatan
pengembangan kapasitas yang diperlukan untuk membangun jaringan kebijakan yang
tepat di masa yang akan datang. Selain itu, indikasi mengenai peranan yang bisa
dimainkan oleh para donor juga dimuat pada pembahasan masing-masing isu yang
ada dalam laporan utama, dan pada bagian akhir ikhtisar ini dalam bentuk yang lebih
ringkas.
HASIL TEMUAN UTAMA
Proses perkembangan kerangka kerja pembagian urusan sejak periode pra otonomi
melalui dua tahapan reformasi sampai dengan saat ini menunjukkan bahwa kemajuan
yang dicapai tidak selalu berjalan secara linier. Di satu sisi, tatanan yang ada saat ini
sudah lebih canggih dibanding sebagian besar negara berkembang atau bahkan negara
maju lain. Tatanan tersebut sudah memperjelas tiga asas antarpemerintahan (yang
juga dikenal sebagai ―modes of decentralization‖), yaitu desentralisasi (devolved
functions), tugas pembantuan (agency tasks), dan tugas dekonsentrasi
(deconcentration tasks). Selain itu, daerah kabupaten/kota ditunjuk untuk
bertanggungjwab atas sebagian besar pelayanan dasar (general purpose local
government). Kerangka pembagian urusan ini, selain bertujuan untuk menjelaskan
tugas yang harus dilakukan pemerintah daerah, juga menetapkan tingkat prestasi
minimal khusus yang harus dicapai (Standar Pelayanan Minimal - SPM). Perlu juga
diakui bahwa selama dua periode reformasi, konsultasi antarorganisasi tingkat pusat
dan pemerintah daerah menjadi semakin intensif.
Namun demikian, hanya terdapat sedikit kemajuan dalam hal kejelasan dan peraturan
perundang-undangan yang berkelanjutan. Salah satu indikator kelemahan ini adalah
penyimpangan yang terus menerus dilakukan jajaran instansi sektoral pusat terhadap
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan v
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan. Salah satu kelemahan
terbesar yang ada hingga saat ini adalah kurangnya perhatian pada aspek hukum dan
aspek lain yang merupakan bagian dari tatanan pembagian urusan. Tatanan
pembagian urusan merupakan landasan dasar bagi hubungan antara tingkat pusat dan
daerah, dan harus diperhatikan keterkaitannya dengan kerangka hukum, pembagian
teritorial, pembagian peran pada masing-masing tingkat pemerintahan, struktur
organisasi, pendanaan dan aspek pemerintahan lainnya. Masih banyak tugas yang
harus dijalankan dalam upaya membenahi pembagian urusan, sebagaimana diuraikan
dalam ringkasan penjelasan hasil temuan di bawah ini.
1. Tatanan Secara Keseluruhan
Untuk dapat diterapkan dengan baik, definisi mengenai asas pemerintahan haruslah
konsisten mulai dari tingkat undang-undang dasar (atau tugas pembantuan) sampai
dengan tingkat undang-undang dan peraturan pemerintah. Akan tetapi definisi yang
ada dalam peraturan perundangan Indonesia mengenai asas pemerintahan masih
belum sepenuhnya menampilkan konsistensi antarperaturan perundangan. Dengan
mempertimbangkan kondisi tersebut, dikhawatirkan pengesahan rancangan peraturan
yang sedang disusun berkaitan dengan tugas pembantuan dan tugas dekonsentrasi
akan menambah kerancuan yang ada. Ketidakjelasan dalam hal pembiayaan dan
struktur organisasi (khususnya menyangkut peran ganda gubernur) dapat
menimbulkan konsekuensi yang serius dari segi efisiensi dan akuntabilitas.
Suatu amandemen terhadap undang-undang dasar akan dapat memberikan
definisi lebih jelas mengenai asas pemerintahan desentralisasi, prinsip pokok
yang berfungsi sebagai panduan dalam melaksanakan desentralisasi dan
menetapkan hirarki/peranan antar tingkat pemerintahan; panduan tersebut
seharusnya dicerminkan dalam peratuan perundangan yang selaras.
Penetapan rancangan peraturan tentang tugas dekonsentrasi/pembantuan
sebaiknya menunggu adanya amandemen konstitusional (atau paling tidak
undang-undang pemerintahan daerah).
2. Kerangka hukum/mekanisme penyesuaian
Dalam kerangka desentralisasi tahun 1999 dan 2004, Indonesia menggunakan
undang-undang pokok (organic law) untuk menyusun prinsip pembagian urusan dan
menguraikan berbagai urusan umum. Sebuah peraturan pemerintah kemudian
digunakan untuk menyediakan rincian urusan (PP Nomor 38 Tahun 2007 yang sedang
berlaku). Meskipun kepemilikan kementerian sektoral atas PP Nomor 38 Tahun 2007
(melalui berita acara masing-masing) sudah jelas, Pemerintah RI masih belum bisa
menyelaraskan UU mengenai pemerintah daerah dengan UU sektoral (misalnya
pernyataan resmi dari masing-masing kementerian untuk menyetujui teks rancangan
undang-undang).
Selain itu, belum terdapat ketentuan yang memadai untuk meningkatkan tatanan
pembagian urusan. Walaupun PP Nomor 38 Tahun 2007 sudah membahas mekanisme
―urusan sisa‖, PP ini masih kurang terperinci dan tidak nampak menjanjikan.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan vi
Mengingat kesulitan yang dihadapi berkaitan dengan tatanan yang ada saat ini,
Pemerintah RI perlu memperjelas kerangka hukum pembagian urusan yang akan
dianut di masa depan. Hal ini meliputi tahapan yang harus dilalui untuk
mencapai tatanan baru yang diinginkan (misalnya urutan revisi hukum organik
dengan peraturan perundangan di bidang pembagian urusan, atau penataan
menyeluruh terhadap urusan pada instrumen sektoral).
Konflik hukum mengenai pembagian urusan perlu dipetakan dengan
mengandalkan kombinasi pendekatan bottom up (dimotori oleh pemerintah
daerah) dan centrally driven (dimotori oleh pemerintah pusat) untuk melihat
instrumen sektoral terkait urusan pemerintahan yang perlu disesuaikan.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) perlu menjalin kerjasama yang erat
dengan pihak/badan nasional yang dapat menyediakan upaya dan penekanan
lebih kuat pada bidang harmonisasi sektoral.
Perlu dikembangkan mekanisme untuk menangani urusan yang belum
terdaftarkan dan urusan yang perlu dialihkan secara dinamis ke atas atau ke
bawah, dari satu tingkat pemerintahan ke tingkat yang lain.
3. Peranan gubernur dan pemerintah propinsi
Berbeda dengan pernyataan awal resminya, revisi terbaru peraturan mengenai
pembagian urusan tidak secara signifikan menjelaskan dualitas ‖propinsi vs.
Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat‖ ataupun memperkuat peranan
gubernur di bidang tersebut. PP Nomor 38 Tahun 2007 justru memberikan peranan
yang memberatkan pemerintah daerah propinsi (dalam bentuk Urusan Desentralisasi)
berkaitan kabupaten/kota nyaris untuk semua urusan, yang mencakup pembinaan,
monitoring dan evaluasi, fungsi pengendalian, koordinasi, perencanaan, dan
penyelesaian konflik. Sementara itu, sebuah rancangan peraturan tentang peranan
gubernur sedang dipersiapkan, yang nampaknya akan bertentangan dengan
pengaturan (ulang) pembagian urusan yang ada sekarang.
Dibutuhkan visi yang jelas mengenai peranan propinsi/gubernur, dengan
mempertimbangkan kelebihan/kekurangan semua pilihan pokok berkaitan asas
pemerintahan yang digunakan; opsi yang ada perlu dipertimbangkan dengan
baik (lihat Lampiran 5).
4. Kesesuaian pembiayaan dengan urusan
Prinsip ―money follows functions‖ (pendanaan mengikuti pembagian urusan) memang
dengan jelas tercantum dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah, namun
pada praktiknya diabaikan. Dana dekonsentrasi yang jumlahnya terus meningkat
digunakan untuk mendanai urusan daerah; pengalihan penggunaan dana dekonsentrasi
menjadi DAK yang lebih sesuai dengan bentuk otonomi sepertinya masih belum
diterapkan secara signifikan. Jumlah besaran DAU and DAK juga tidak berhubungan
(kecuali secara kebetulan) dengan biaya sesungguhnya yang dibutuhkan pemerintah
daerah untuk menjalankan tugasnya sesuai kinerja yang diharapkan. Selain itu, biaya
berkaitan pencapaian SPM perlu diperhitungkan dengan seksama dan diterjemahkan
menjadi norma belanja daerah yang dapat diintegrasikan ke dalam mekanisme
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan vii
penyerahan dana ke daerah. Mekanisme pendanaan dari donor secara off-budget
(tidak tercatat dalam anggaran), dan praktik seleksi daerah penerima makin
mempersulit upaya menyeimbangkan antara kebutuhan akan pelayanan dengan
pendanaan dalam negeri. Upaya untuk menetapkan input (dana) juga membuat proses
perencanaan/penganggaran daerah menjadi lebih rumit (dengan adanya ambiguitas
pengelompokan biaya) dan kaku.
Perlu kerangka hukum yang lebih rinci dan tegas tentang upaya mencapai
keseimbangan antara aspek urusan dan pendanaan.
Perlu upaya yang lebih intensif untuk menghitung biaya yang diperlukan oleh
pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan dasar dan untuk
mencerminkan biaya tersebut dalam mekanisme transfer (penyerahan dana) ke
daerah.
Proyek-proyek donor perlu mengalokasikan sumber daya (keuangan, bantuan
teknis) sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan pada tingkatan yang
berbeda-beda. Kecuali untuk bantuan darurat, pendanaan donor untuk investasi
pemerintah daerah sebaiknya hanya diberikan secara on-budget (dengan
persetujuan pusat) dan hanya sebagai percontohan dengan maksud
menyesuaikan mekanisme keuangan pusat-daerah agar kaitannya antar urusan
dan pembiayaan semakin kuat.
5. Kriteria yang digunakan dalam pembagian urusan
Pada umumnya, kriteria pembagian urusan yang ada dalam PP Nomor 38 Tahun 2007
sudah cukup baik (dari sisi eksternalitas, efisiensi, akuntabilitas), walaupun faktor
―kapasitas administratif‖ masih belum muncul. Sebagian besar penjelasan kriteria
tersebut masih sangat kurang penjelasannya dan secara umum tidak diterapkan secara
transparan.
Sebaiknya kriteria pembagian urusan disesuaikan, agar mencakup ―kapasitas
administratif‖ dan memperjelas akuntabilitas.
Untuk menunjang transparansi dan akuntabilitas, ke depannya dalam
penerapan kriteria pembagian urusan, agar disusun dokumentasi keputusan
yang disediakan bagi pihak yang membutuhkan.
6. Konsep urusan konkuren (concurrent functions)
Urusan konkuren di Indonesia (baru-baru ini istilahnya disesuaikan menjadi ―urusan
bersama‖) mencerminkan prinsip bahwa di luar sejumlah urusan eksklusif pemerintah
pusat, semua urusan lainnya ―dibagi‖, dengan pengertian bahwa sebagian urusan
ditangani pemerintah pusat dan sebagian sisanya oleh pemerintah daerah. Pengertian
tersebut berbeda dengan pengertian yang digunakan dalam praktik internasional, dan
mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman. Selain itu, PP Nomor 38 Tahun 2007
memuat beberapa urusan yang sama rumusannya baik untuk tingkat propinsi maupun
kabupaten/kota. Karena istilah ‖konkuren‖ sepertinya tidak berlaku pada tatanan ini,
sulit untuk mengetahui apakah kesamaan rumusan ini merupakan suatu kesalahan
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan viii
atau disengaja dengan maksud yang jelas, dan apabila disengaja, konsep/argumen apa
yang yang dapat menjelaskannya.
Terdapat dua opsi yang dapat dipertimbangkan:
Opsi A: Menerapkan urusan konkuren yang konsisten dengan praktik
internasional, apabila dianggap perlu.
Opsi B: Apabila urusan konkuren, dalam pengertian internasional, dipandang
tidak sesuai, maka sebaiknya konsep urusan konkuren dihapuskan saja
(demikian juga dengan ‘urusan bersama‘).
7. Perumusan urusan
Kelemahan perumusan urusan sepertinya terdapat di aturan hukum pokok, khususnya
dalam PP Nomor 38 Tahun 2007. Kelemahan ini menimbulkan batu sandungan yang
juga banyak terdapat di negara lain, misalnya penggunaan yang ambigu dari istilah
―skala‖ untuk menjelaskan sifat urusan dan penggunaan mandat organisasi tingkat
pusat sebagai titik awal dari pembagian urusan. Selain itu, rumusan tersebut masih
memiliki kaitan yang lemah dengan kerangka/tatanan urusan yang lebih besar di
bidang asas pemerintahan, konstruksi general competence versus ultra vires, dan
urusan bersifat wajib versus pilihan.
Agar dipertimbangkan upaya peningkatan kapasitas individu/unit dalam
Kemendagri untuk menggalakkan praktik yang baik di bidang pembagian
urusan (misalnya antarkementerian sektoral), khususnya dalam perumusan
urusan.
8. Urusan wajib/Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Sejak diperkenalkan pertama kali pada tahun 1999, urusan wajib dan SPM telah
diperjelas dan mulai ‖disosialisasi.‖ Ketentuan tentang SPM sekarang sudah
diintegrasikan dengan baik dalam kerangka hukum (mengenai proses perencanaan,
penganggaran, monitoring dan evaluasi, laporan pertanggungjawaban), dan sedang
diambil langkah-langkah untuk menyusun petunjuk operasional SPM. Kendatipun
demikian, rancangan daftar urusan wajib/SPM kementerian sektoral menunjukkan
pengertian yang berbeda-beda antar instansi sektoral. Hal ini berarti masih diperlukan
koordinasi untuk menyatukan persepsi atas peranan dan kinerja pemerintahan daerah,
terutama konsensus mengenai ruang lingkup SPM yang terkait dengan urusan wajib
(apakah semua urusan wajib membutuhkan SPM?); pembedaan prinsip urusan wajib
dengan urusan pilihan, dan perbedaannya dalam standar penerapannya; urusan wajib
mana sajakah yang benar-benar wajib (mengingat berbagai daftar urusan yang
panjang dan ambigu dalam PP Nomor 38 Tahun 2007).
Sepertinya konsep urusan wajib/SPM perlu dibenahi agar instansi sektoral
dapat menyusun usulan konsep urusan wajib/SPM yang kuat, yaitu dapat
diukur/dilaporkan, sesuai dengan kapasitas administratif setempat, dan dengan
biay yang terjangkau.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan ix
Tujuan dari sejumlah kementerian sektoral untuk melaksanakan
pengembangan kapasitas di daerah yang berkaitan dengan pencapaian SPM
mendapat respon positif dari para donor. Dalam hal ini, perlu juga diberikan
perhatian khusus pada kementerian sektoral itu sendiri.
Pembentukan secara formal kelompok kerja SPM yang sempat akan dibentuk
di bawah Permanent Secretariat of the Joint Working Group for
Decentralization mungkin dapat direalisasikan sekarang. Pokja ini dapat
membantu donor untuk mendukung Pemerintah RI dan pemerintahan daerah
sesuai prinsip harmonisasi dan kesesuaian (alignment).
9. Urusan pilihan/hak inisiatif
Urusan pilihan mulai diperkenalkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, dan
dicantumkan ulang, dengan rumusan yang agak samar, dalam PP Nomor 38 Tahun
2007; urusan ini harus dirinci dan diatur dalam peraturan daerah paling lama satu
tahun setelah PP Nomor 38 Tahun 2007 disahkan; sehingga pemerintah daerah mau
tidak mau harus membuat daftar urusan tersebut secara jelas sebelum mulai
menjalankannya. Banyak pertanyaan terbuka yang muncul dengan diberlakukannya
konsep urusan pilihan, terutama pertanyaan mengenai perbedaan urusan pilihan
dengan urusan wajib. Nampaknya definisi urusan pilihan yang diterapkan di
Indonesia berbeda dengan definisi internasional, dan dinilai membatasi pemerintah
daerah untuk memperluas struktur organisasinya. Oleh karena itu, definisi tersebut
bukanlah alat yang sesuai untuk memperkenalkan ―hak inisiatif‖ dalam pelaksanaan
urusan.
Konsep urusan pilihan yang ada saat ini sebaiknya tidak digunakan karena
tidak secara langsung berkaitan dengan urusan pemerintahan secara intrinsik,
dan tidak terlalu bermanfaat untuk mengatasi masalah struktur organisasi yang
luas (organizational excesses).
Urusan pilihan dapat dikembangkan melalui suatu konsep yang sesuai arti
internasional, yang dapat meningkatkan otonomi pemerintah daerah melalui
―hak inisiatif‖
10. Urusan tingkat kecamatan
Berbagai kajian terbaru menunjukkan bahwa pergeseran peran Camat/kecamatan
memperlemah struktur ini, dan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota pada
umumnya belum sepenuhnya memberdayakan tingkat administratif (dekonsentrasi)
ini. Terdapat konsensus yang luas bahwa pemerintah kecamatan seharusnya
diberdayakan dengan lebih optimal, khususnya dalam hal penyediaan pelayanan.
Berkaitan dengan hal ini, sudah mulai dilakukan diskusi mengenai berbagai pilihan
mendasar; apakah akan mempertahankan kerangka kecamatan yang kini berlaku, atau
dibutuhkan suatu intervensi dari pemerintah pusat.
Penjajakan peranan kecamatan sebaiknya dapat diselesaikan tepat waktu untuk
dimasukkan dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Perlu dipertimbangkan
dengan tuntas dua pilihan pokok; apakah perlu memberikan pedoman bagi
kabupaten/kota agar memaksimalkan fungsi kecamatan, atau apakah
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan x
diperlukan penetapan daftar urusan kecamatan (secara rinci) oleh pemerintah
pusat.
Apabila pemerintah mempertahankan bentuk/mandat kecamatan sebagai
perpanjangan kabupaten/kota, perlu dipertimbangkan penghapusan kriteria
―jumlah minimal kecamatan‖ sebagai salah satu ketentuan pemekaran
kabupaten/kota.
11. Urusan tingkat pemerintah desa
UUD ‘45 tidak menyinggung pengaturan otonomi desa, dan UU Nomor 32 Tahun
2004 dan PP Nomor 72 Tahun 2005 mencantumkan bahwa kabupaten/kota harus
mendelegasikan tugas ke tingkat desa. Namun walaupun Kemendagri telah
mengeluarkan peraturan untuk hal ini, hanya terdapat sedikit kemajuan dalam
prosesnya, bisa jadi karena peraturan tersebut masih kurang jelas. Sepertinya terdapat
sedikit titik terang dari hasil upaya perumusan kebijakan yang difasilitasi suatu LSM,
namun Kemendagri masih belum memberikan tanggapan yang pasti terhadap usulan
ini. Tetapi usulan ini pun masih perlu diperjelas serta dijabarkan lebih lanjut, dan
masih menghadapi pilihan kebijakan yang mendasar yang sama sebagaimana dihadapi
dalam pemberdayaan tingkat kecamatan.
Opsi A: Mempertahankan pendekatan di mana kabupaten memainkan peranan
utama dalam mengatur kerangka pemerintahan desa (termasuk tugas
pembantuan dari kabupaten kepada desa), dengan melaksanakan upaya
peningkatan agar sistem ini dapat berjalan sesuai harapan.
Opsi B: Menempatkan desa sebagai tingkat pemerintahan otonomi ketiga,
sesuai dengan studi yang dikembangkan oleh PMD/FPPD, di mana desa
diberikan (berdasarkan undang-undang/peraturan) serangkaian urusan
pemerintahan yang menjadi wewenang desa sepenuhnya, sementara sebagian
urusan yang merupakan urusan turunan dari tingkat kabupaten/kota harus
dinegosiasi dengan kabupaten/kota.
12. Kesesuaian organisasi dengan pembagian urusan
Peraturan tentang struktur organisasi daerah yang diterapkan selama dasawarsa
terakhir cenderung mempersempit peluang untuk menyesuaikan bentuk organisasi
pemerintah daerah dengan beban urusan. Masih belum dapat dipastikan apakah PP
Nomor 41 Tahun 2007 akan dapat menyeimbangkan dengan baik nilai
keseragaman/ekonomis (yang ditekankan oleh pemerintah pusat) dan
mengintegrasikannya dengan beban kerja urusan dan karakteristik daerah setempat
dan pengguna pelayanan di daerah tersebut.
Kerangka desentralisasi yang berlaku saat ini masih kurang menyentuh upaya
restrukturisasi instansi sektoral yang sudah menyerahkan sebagian wewenang ataupun
yang beralih peran. Sejauh ini, dorongan untuk melaksanakan restrukturisasi berasal
dari Menpan. Namun, masih saja terjadi pembengkakan instansi di tingkat pusat yang
jauh melebihi fungsinya, antara lain dipicu oleh mudahnya akses terhadap dana
dekonsentrasi dan DAK.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan xi
Aspek lain yang juga penting adalah kurangnya kejelasan dalam berbagai rancangan
(draft) peraturan perundangan mengenai peran propinsi dan gubernur. Jika pemilihan
asas pemerintahan tidak tepat, dapat menimbulkan kompleksitas dalam cakupan unit
pelaksana sehingga akan menghambat akuntabilitas.
Diperlukan upaya yang lebih intensif untuk memandu restrukturisasi instansi
sektoral di tingkat pusat sejalan dengan penurunan kegiatan dekonsentrasi dan
peningkatan dukungan strategis bagi pemerintah daerah.
Peranan pemerintah propinsi perlu diperjelas dalam hal hubungan unit
desentralisasi (devolusi/otonomi) dengan unit/wakil perpanjangan pemerintah
pusat (dekonsentrasi).
Diperlukan klarifikasi hak instansi sektoral untuk membentuk unit
dekonsentrasi dan kewajiban menjadikan gubernur sebagai wakil pemerintah.
Perlu diberikan jaminan bahwa pemerintah daerah akan mendapat
insentif/arahan untuk membentuk organisasi daerah yang efisien, mendorong
pembentukan daerah yang sesuai dengan beban urusan dan karakteristik
setempat.
13. Pembagian urusan di daerah otonomi khusus
Indonesia telah membentuk empat daerah propinsi dengan status khusus, dua di
antaranya dengan status otonomi khusus, yaitu Papua (UU No. 21 Tahun 2001) dan
Nanggroe Aceh Darussalam (UU No. 11 Tahun 2006). Kekhususan dua daerah ini,
berkaitan dengan urusan pemerintahan, tidak terlalu menonjol di tengah berbagai hal
yang diatur dalam undang-undang otonomi khusus. Bahkan dari beberapa aspek
terlihat bahwa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan otonomi khusus
berlaku, namun pada beberapa bagian sistem hukum (atau pandangan resmi) lainnya,
sistem yang bersifat umumlah (UU 32/2004 dan PP 38/2007) yang berlaku.
Aceh, dengan dukungan oleh pemerintah pusat, memprakarsai upaya untuk
memperjelas kerangka asas pemerintahan dengan mengkombinasikan peraturan
pemerintah (dengan penanggungjawab Kemendagri, dalam hal peranan pemerintah
pusat di Aceh) dengan serangkaian Qanun sektoral Aceh yang membagi urusan
pemerintah antar tingkat propinsi dengan kabupaten/kotanya. Papua belum sampai
tahap klarifikasi/penyesuaian kerangka hukum, dan masih menunggu proses evaluasi
status otonomi daerahnya sebelum dibuat perubahan hukum lebih lanjut.
Undang-undang otonomi khusus perlu dikaji untuk menilai apakah terdapat
kejelasan ketentuan dalam UU No. 32/2004 yang berlaku, dan ketentuan apa
dalam undang-undang otonomi daerah yang menimpa/menggantikan atau
menambah hal baru terhadap ketentuan dalam UU No. 32/2004 tersebut.
Kajian ini juga perlu menilai kejelasan atas pembagian urusan antara tingkat
propinsi dan tingkat di bawahnya, atau mekanisme untuk mencapai pembagian
tersebut.
Diskusi tentang aspek pembagian urusan perlu diperluas terutama untuk hal-
hal yang dapat digunakan untuk menjaga persatuan nasional, secara khusus
mengenai peranan pemerintah pusat dalam menentukan standar berkaitan
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan xii
urusan yang diberikan kepada daerah, terlepas dari rezim otonomi daerah yang
berlaku.
Sebaiknya pemerintah pusat memberikan perhatian lebih terhadap upaya Aceh
untuk menangani pembagian urusan antara pemerintah propinsi dengan
kabupaten/kota (dan untuk menyetujui suatu forum sebagai mekanisme
konsultasi yang sedang berlanjut mengenai kebijakan pemerintah yang
mempengaruhi Aceh), untuk menilai sejauh mana proses dan tatanan hukum
dapat dijadikan contoh bagi propinsi lain.
Mengingat pentingnya pembagian urusan, evaluasi pengalaman otonomi
Papua perlu menekankan peranan MPR dan evolusi dalam penataan daerah.
14. Dampak penataan daerah terhadap pembagian urusan
Penataan daerah (territorial reform) merupakan salah satu aspek yang ditangani
dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Terdapat sejumlah kekhawatiran terhadap
kemampuan daerah baru/calon daerah baru dalam memikul beban urusan
pemerintahan. Sudah dilakukan sejumlah pembahasan mengenai kemungkinan
menetapkan ambang batas jumlah penduduk untuk menghindari ketidakmampuan
daerah menjalankan fungsi pemerintahannya, namun masih belum jelas sejauh mana
dukungan para pembuat kebijakan terhadap hasil pembahasan ini.
Agar dipertimbangkan ambang batas jumlah penduduk kabupaten/kota untuk
menghindari keterbatasan daerah dalam menjalankan urusan yang diberikan
secara seragam kepada semua daerah.
Bagi daerah otonomi khusus, perlu dipertimbangkan untuk memberikan
wewenang menyelenggarakan penataan daerah agar urusan pemerintahan
dapat diselaraskan dengan skala daerah yang ditetapkan.
15. Proses pembagian urusan
Dalam dasawarsa terakhir ini, dapat dikatakan sudah ada tiga tahapan reformasi atau
pembaruan peraturan perundangan yang mengatur masalah otonomi daerah, termasuk
upaya untuk merevisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Walaupun terdapat sejumlah
perbedaan ‖proses‖ pendekatan, sebagian besar proses utamanya tetap sama. Baik
pengalaman maupun kemampuan Indonesia dan internasional masih kurang
dimanfaatkan dengan optimal, dan proses konsultasi juga masih dikelola dengan
buruk. Selain itu, para ahli Indonesia yang mampu menyumbangkan pikiran seputar
isu pembagian urusan baru sedikit dan jaringannya masih kurang kuat –masih belum
ada jaringan tingkat kebijakan (policy network) untuk bidang ini. Sejumlah ahli yang
direkrut untuk mendukung upaya penyusunan kebijakan pemerintah pun sepertinya
masih belum berhasil sepenuhnya menghubungkan upaya kebijakan pemerintah
dengan kegiatan diseminasi/ karya akademis mereka sendiri.
Diperlukan proses perumusan dan pengembangan kebijakan yang lebih
sistematis dan tidak tergesa-gesa, dengan memperhatikan pengembangan
gagasan/ pembahasan yang lebih spesifik, dengan persiapan data empiris (dari
Indonesia dan negara lain) yang lebih baik dan dengan menjajaki opsi
kebijakan secara tuntas.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan xiii
Perlu dipertimbangkan untuk mengelola proses pembagian urusan melalui
komisi pemerintah, atau komisi khusus nonpemerintah yang dapat bekerja
secara lebih intensif dan lebih leluasa dalam mengumpulkan masukan dan
partisipasi pemangku kepentingan. Kemungkinan lain yang dapat
dipertimbangkan adalah pendekatan di mana sejumlah ahli (diluar para ahli
yang disebutkan diatas) didorong untuk menyusun masukan yang matang dan
siap digunakan oleh pemerintah.
Diperlukan strategi jangka panjang untuk memperkuat jaringan tingkat
kebijakan (policy network) bidang otonomi daerah, khususnya tentang isu
politis-administratif yang terbukti bermasalah (pembagian urusan, peranan
berbagai tingkat pemerintahan, peranan ganda kepala daerah, pembinaan
daerah, pemekaran daerah, daerah otonomi khusus). Kelompok sasaran dapat
terdiri dari lembaga akademis, penelitian, dan organisasi yang mewakili
pemerintah daerah.
IMPLIKASI BAGI DONOR
Para donor telah, atau sedang, mendukung hampir semua upaya pembaruan dengan
lima belas tema terkait pembagian urusan yang telah dibahas di atas. Dukungan
tersebut mengalami pasang surut dalam tiga periode reformasi, dan menghasilkan
sejumlah keberhasilan maupun hasil yang kurang dapat dimanfaatkan Pemerintah RI.
Hal-hal itu merupakan dinamika yang sudah biasa ditemui dalam pemberian bantuan
teknis. Merujuk pada hal tersebut, pengalaman dalam bidang reformasi yang luas ini
menunjukkan bahwa dukungan lembaga donor akan dapat lebih efektif jika diberikan
secara konstan atau menyeluruh (misalnya bekerja sama melalui proyek lintas-
sektoral/bantuan teknis di antara lembaga donor), atau ditawarkan dalam bentuk yang
berbeda. Secara khusus, pengalaman ini menyarankan bahwa pergeseran pendekatan
mungkin dibutuhkan, dengan melakukan investasi jangka panjang untuk para pelaku
Indonesia yang dapat membentuk jaringan kebijakan, dengan menghindari kelemahan
yang ditimbulkan oleh bantuan teknis langsung dari donor dalam hal penerimaan dan
keberlanjutan.
Para lembaga donor menunjukkan minat mendukung pembentukan jaringan kebijakan
pribumi yang berkembang di Indonesia di masa lalu namun masih belum berhasil,
terutama disebabkan oleh penetapan orientasi yang berjangka pendek dan masih
kurang mengambil pelajaran dari pengalaman Indonesia maupun negara lain di masa
lalu. Meskipun gagasan untuk melibatkan pihak perantara untuk mendukung
kebijakan semakin dapat diterima oleh para donor, dan sampai tahap tertentu sudah
diterapkan, masih belum pasti apakah para donor berminat untuk memberikan
komitmen dengan jangka waktu yang lebih panjang yang akan dibutuhkan untuk
mendukung jaringan tersebut.
Para akademisi dan pemangku kepentingan lain tampaknya memberikan tanggapan
yang cukup baik mengenai pembentukan jaringan kebijakan di bidang ini. Penerimaan
dan peran serta mereka hendaknya jangan diterima begitu saja; terkadang minat
tersebut lebih mencerminkan pendapat pribadi dan bukan pandangan
lembaga/institusi. Selain itu, hal tersebut juga sangat tergantung pada hubungan
khusus dengan lembaga donor. Keinginan untuk mengembangkan jaringan kebijakan
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan xiv
ini di kalangan Kemendagri dan organisasi-organisasi pemerintah lain juga
merupakan suatu isu tersendiri. Kecenderungan untuk menggunakan perantara
mungkin karena adanya praktik pemilihan selektif orang-orang yang berasal dari
lembaga-lembaga yang sudah diunggulkan (favorit), di mana keterlibatan mereka
cenderung didanai lembaga donor secara hands-off (tanpa campur tangan lembaga
donor tersebut). Meskipun hal tersebut patut diwaspadai, tetap diperlukan adanya
dialog tentang perspektif jangka panjang untuk mencapai kemajuan di bidang
kebijakan ini.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 1
PENDAHULUAN 1. Konteks studi secara keseluruhan
Di Indonesia, seperti halnya di banyak negara lain1, pengalaman di bidang desentralisasi
menunjukkan bahwa pembagian urusan antar tingkatan pemerintah bukanlah hal yang
mudah. Kerangka desentralisasi telah mengalami dua periode perubahan (tahun 1999 dan
2004) dengan tujuan memperjelas peran dan tanggung jawab, dan kini upaya yang ketiga
sedang berlangsung. Meskipun proses yang dijalani mungkin tidak mudah, pembagian
urusan pemerintahan yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik sangat penting bagi
keberhasilan desentralisasi pemerintahan. Dalam melaksanakan upaya ketiga ini,
Indonesia dapat meningkatkan peluang keberhasilannya dengan belajar dari pelaksanaan
reformasi sebelumnya juga dengan memperhatikan pengalaman negara-negara lain.
Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 memperkenalkan beberapa perubahan yang berani
mengenai ―siapa yang melakukan apa‖ dalam rangka melaksanakan desentralisasi dan
reformasi yang lebih luas. Namun, kerangka desentralisasi ini masih memiliki beberapa
kelemahan dalam tatanan pembagian urusan secara umum, dari segi struktur dan
penjabaran komponen-komponennya. Para pelaksana di daerah juga belum siap
melaksanakan tatanan baru yang berani ini, sehingga ketegangan antara berbagai tingkat
pemerintahan meningkat dalam waktu singkat sebagai akibat dari kesalahan pengertian
dan berbagai kesenjangan dalam kerangka tersebut. Konflik-konflik di bidang perikanan,
kehutanan, pendidikan dan berbagai bidang lainnya timbul2 sehingga semakin mendorong
dilakukannya perubahan dalam undang-undang kerangka desentralisasi — sebagai akibat
dari situasi yang semakin memuncak, diterbitkanlah PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan3 sebagai penjabaran dari ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Hasil tinjauan terhadap revisi kerangka desentralisasi tahun 2004 yang dilaksanakan oleh
pemerintah dan proyek-proyek dukungan para donor mengungkapkan bahwa masih
terdapat beberapa tantangan besar dalam hal pembagian urusan – sebagian bahkan berasal
dari ketentuan-ketentuan yang baru itu sendiri4. Karena menyadari bahwa revisi ini belum
sepenuhnya mengatasi kesenjangan-kesenjangan dan kelemahan-kelemahan dalam
kerangka awal maka Pemerintah Republik Indonesia (RI) telah menerima tawaran para
donor untuk melaksanakan suatu studi guna mendalami kemajuan yang telah dicapai,
hambatan-hambatan yang masih tersisa dan peluang-peluang untuk membuat kerangka
pembagian urusan yang lebih kuat, stabil dan efektif (lihat Kerangka Acuan Kerja untuk
studi ini dalam Lampiran 1). Hasil studi ini berguna bagi Pemerintah Indonesia maupun
1 Konferensi Tingkat Menteri Se-Asia Timur tentang Penegakan Hukum Kehutanan dan Tata Pemerintahan,
di Bali, Indonesia (2001), Deklarasi Tingkat Menteri tanggal 11-13 September 2001; hal 1. 2 Lihat, misalnya, Kerangka Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir:
Tinjauan Penting dan Rekomendasi, Pengelolaan Samudera dan Pesisir, Jilid 49, Butir 1-2, Hal 68-92, oleh
Dirhamsyah D. (2006). 3 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 4 Lihat DRSP (2006). Inventarisasi Upaya Reformasi di Bidang Desentralisasi di Indonesia – Laporan
Utama, yang disusun untuk Kelompok Kerja Donor di Bidang Desentralisasi.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 2
para donor yang ingin mendukung upaya-upaya berkelanjutan Pemerintah Indonesia di
bidang desentralisasi.
Studi ini dipandu oleh staf GTZ - Advisory Support Services for Decentralization5, dan
didanai oleh Decentralization Support Facility/DSF; studi ini termasuk dalam bidang
fokus DSF ―Penguatan Kerangka Lintas Pemerintah‖ (Strengthening Intergovernmental
Framework). Studi ini dilaksanakan melalui kerjasama yang erat dengan para mitra yang
sangat penting; Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Bappenas dan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN), untuk memastikan terjaganya relevansi dan
mendukung pembangunan kapasitas instansi-instansi tersebut di bidang pembagian urusan.
Secara spesifik, studi ini mengemukakan kekuatan dan kelemahan dari tatanan pembagian
urusan saat ini berdasarkan isi kebijakan dan peraturan maupun tanggapan stakeholder
(lihat Lampiran 2 tentang daftar narasumber utama yang memberikan informasi untuk
studi ini). Hasil analisa ini diharapkan akan bermanfaat bagi proses revisi UU Nomor 32
Tahun 2004 yang diperkirakan akan berlangsung sampai akhir tahun 2008. Meskipun telah
dilakukan untuk ketiga kalinya dalam periode reformasi Indonesia, revisi tersebut
kemungkinan belum akan mencapai hasil yang sempurna dan lengkap. Oleh karena itu,
studi ini juga memberikan perspektif untuk jangka waktu yang lebih panjang agar dapat
lebih memperkuat dan menyelaraskan kerangka kebijakan dan kerangka hukum, dan studi
ini juga mendorong dukungan multi-donor yang lebih selaras (harmonized) dalam
mendukung tujuan-tujuan yang berjangka lebih panjang tersebut.
Studi ini melibatkan sejumlah pembahasan dengan tim yang ditunjuk pemerintah
berkenaan dengan revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Sebuah laporan awal telah
disampaikan kepada Pemerintah Indonesia pada bulan Oktober 2007. Sebuah presentasi
disampaikan kepada para donor DSF pada pertengahan November yang lalu, dan sebuah
presentasi terpisah disampaikan kepada para stakeholder Indonesia dan sejumlah donor
pada akhir bulan November. Kesempatan untuk mengulas draft laporan tersebut diberikan
di akhir bulan Desember. Draft laporan ini digunakan dalam rangka pembahasan ASSD
tentang revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan khususnya isu Standar Pelayanan Minimum
pada bulan Maret 2008. Draft laporan ini juga digunakan oleh USAID-DRSP untuk
mendukung kegiatannya dengan mitra utama pemerintah di bidang pemekaran wilayah
(territorial reform). Selain itu, staf Bappenas juga telah menunjukkan minatnya untuk
memanfaatkan draft laporan ini untuk memainkan peran mereka dalam mendukung
otonomi daerah. Draft akhir laporan ini akan disebarluaskan kepada pihak pemerintah,
donor dan para stakeholders.
2. Ruang lingkup dan metodologi studi
Studi ini meninjau perkembangan pembagian urusan sejak era pra-desentralisasi
(berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah)
sampai awal era reformasi tahun 1999 serta revisi baru-baru ini yang mencapai puncaknya
melalui PP Nomor 38 Tahun 2007 (yang menjabarkan revisi yang dimuat dalam UU
Nomor 32 Tahun 2004).
5 Suatu kerjasama antara Kementerian Federal di Bidang Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ),
yang diimplementasikan melalui GTZ, dengan Departemen Dalam Negeri. GTZ menyediakan dukungan
bagi Depdagri dan badan-badan lain di tingkat pusat dalam menginisiasi dan melembagakan pembuatan
kebijakan secara partisipatif dan transparan di bidang desentralisasi dan pemerintahan daerah. GTZ telah
cukup lama memberikan dukungan kepada Pemerintah Indonesia di bidang pembagian urusan.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 3
Pembagian kewenangan pendapatan pemerintah tidak dibahas (hal ini diperlakukan secara
terpisah dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah)
tetapi kesesuaian antara urusan pemerintahan dengan pembiayaan akan sedikit disinggung.
Istilah pembagian urusan (functional assignment) digunakan dalam studi ini karena
konsepnya lebih luas daripada ―pembagian belanja pemerintah‖ (expenditure assignment);
istilah pembagian urusan lebih cenderung mencakup tatanan keseluruhan peran dan jenis
urusan di antara berbagai tingkat pemerintahan dan mempertegas kegiatan-kegiatan yang
mungkin tidak membutuhkan dana dalam jumlah besar namun sangat penting bagi tata
kelola pemerintahan (misalnya pengaturan perdagangan).
Pembagian urusan meliputi sejumlah elemen, dan sesuai atau tidaknya elemen-elemen
tersebut perlu dilihat dari pilihan elemen-elemen yang spesifik serta kesesuaian di antara
elemen-elemen yang dipilih (keseluruhan tatanannya). Studi ini memeriksa tatanan secara
keseluruhan beserta elemen-elemen utamanya:
1. Tatanan secara keseluruhan (asas pemerintahan, peran dan struktur)
2. Kerangka hukum dan mekanisme untuk penyesuaian yang masih berjalan
3. Peran gubernur dan pemerintah provinsi
4. Kesesuaian pembiayaan dengan urusan
5. Kriteria yang digunakan dalam pembagian urusan
6. Konsep urusan-urusan konkuren
7. Perumusan urusan
8. Urusan wajib/Standar Pelayanan Minimum
9. Urusan pilihan/hak inisiatif
10. Urusan ditingkat pemerintah kecamatan
11. Urusan ditingkat pemerintah desa
12. Kesesuaian organisasi dengan urusan
13. Pembagian urusan di daerah-daerah otonomi khusus
14. Dampak penataan daerah terhadap pembagian urusan
15. Proses pembagian urusan dan peningkatan kapasitas yang diperlukan
Berdasarkan temuan-temuan yang terkait dengan status kerangka dan proses
pengembangan kebijakan yang diterapkan, maka disarankan agar diambil upaya-upaya
peningkatan kapasitas yang dapat memperkuat pembuatan kebijakan di bidang ini. Karena
pembagian urusan bersifat kompleks maka akan lebih baik jika dibentuk jaringan
akademisi/pakar di bidang ini, di Indonesia, untuk mendukung Pemerintah dalam upaya-
upayanya di masa mendatang. Oleh karena itu, studi ini memanfaatkan pendapat-pendapat
para akademis baik tentang isu substantif maupun pendekatan peningkatan kapasitas yang
diperlukan untuk mengembangkan jaringan kebijakan (policy network) di masa
mendatang.
Studi ini juga mencakup pandangan-pandangan asosiasi pemerintah daerah dan uraian
mengenai peluang-peluang untuk melaksanakan peningkatan kapasitas para pelaksana
dalam merealisasikan kebijakan dan ketentuan-ketentuan hukum tentang pembagian
urusan. Selain itu, disinggung juga peran dukungan dari para donor.
Dalam studi ini, dilakukan analisa terhadap perangkat hukum yang ada, media massa
(untuk mencakup pembahasan/diskusi yang lebih luas), pertemuan-pertemuan baik
individu maupun kelompok, dengan narasumber utama/stakeholder untuk memastikan
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 4
pendapat-pendapat tentang isu-isu substantif dan prosedural, serta dua lokakarya untuk
mempresentasikan hasil-hasil temuan.
3. Struktur laporan
Laporan terbagi menjadi tiga bagian di mana bagian pertama menjelaskan konteks historis
dan tatanan yang ada saat ini. Kemudian kajian mengenai kelima belas pokok pembagian
urusan; setiap bagian mencakup sebuah isu tertentu dan diawali dengan latar belakang
praktik internasional kemudian dilanjutkan dengan status di Indonesia dan ditutup dengan
rekomendasi. Dalam sub-bagian yang terakhir, kemungkinan peran para donor
diidentifikasi sejauh dipandang relevan.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 5
I. POKOK-POKOK DALAM KERANGKA SAAT INI
1. Perubahan kerangka pembagian urusan di Indonesia
Sebelum era reformasi (berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah), proses desentralisasi di Indonesia berjalan dengan
lamban dan dekonsentrasi menjadi asas pemerintahan yang dominan. Peningkatan
pelaksanaan desentralisasi dilakukan dengan berbagai cara di berbagai sektor.
Desentralisasi seringkali ditujukan ke tingkat provinsi, dengan harapan agar urusan
pemerintahan dapat berjenjang sampai ke tingkat kabupaten/kota—namun pada
praktiknya, pergerakannya sampai ke tingkat kabupaten/kota berjalan sangat lambat.
Perubahan kerangka pembagian urusan sejak masa pra-desentralisasi sampai reformasi
periode kedua, diuraikan lebih lanjut di Tabel 1. Tabel tersebut memperlihatkan kelanjutan
pengaturan secara sentralisasi dan desentralisasi, perubahan-perubahan penting dalam
reformasi periode pertama dan revisi atau penjabaran dalam periode reformasi yang kedua.
Kemajuan yang dicapai tidak selalu bersifat linier, beberapa gagasan yang berani ada yang
sempat dicoba lalu ada yang dibatalkan dan ada yang diterapkan dengan tingkat
keberhasilan yang beragam. Pengalaman di daerah memberikan umpan balik yang
berharga mengenai pokok-pokok yang dinilai sukses dan aspek yang perlu ditinjau ulang.
Banyak diskusi diadakan untuk membahas urusan-urusan yang seharusnya berhubungan
dengan sektor atau tingkat pemerintahan tertentu. Pembahasan ini kadangkala tidak hanya
terbatas pada lingkup organisasi pemerintah pusat namun jarang difokuskan pada tatanan
secara keseluruhan sebagaimana yang diuraikan dalam elemen-elemen kolom sebelah kiri
Tabel 1. Tinjauan yang lebih luas ini menjadi bidang tugas pejabat Departemen Dalam
Negeri yang didukung oleh beberapa masukan dari kalangan akademisi dan donor. Bahkan
dalam lingkup yang sempit ini, tidak terlalu banyak dilakukan kajian terhadap model
terdahulu dan opsi-opsi yang ada saat ini dari pengalaman luar negeri dan kalaupun
dilakukan, pelaksanaannya tidak berkelanjutan.
Reformasi desentralisasi periode pertama mulai dilaksanakan dalam suasana politik yang
kurang mendukung dan ditengah masalah disintegrasi bangsa. Asosiasi pemerintah daerah
masih belum terbentuk, atau tidak bersifat independen. Gaya konsultasi yang digunakan
masih merupakan warisan Orde Baru. Sumber daya akademis terbatas dan sering
ditunggangi kepentingan pemerintah. Reformasi merupakan urusan yang tidak terbuka dan
dilaksanakan dengan tergesa-gesa6. Hasilnya adalah tatanan yang mengejutkan, terutama
karena memberikan wewenang yang sangat besar kepada kabupaten/kota, namun tidak
menyediakan pengaturan sistem pembiayaan dan pengawasan yang semestinya agar
tatanan tersebut efektif. Memang diakui bahwa ―euforia otonomi‖ tercipta ketika sebagian
besar Bupati/Walikota yang diberikan kuasa dan kebebasan menganggap otonomi sebagai
bukti bahwa mereka dengan tegas berkuasa atas ―kerajaan kecil‖ mereka sendiri. Tidak
lama kemudian, mulai timbul ketegangan antar berbagai tingkat pemerintahan karena
mereka memperebutkan kekuasaan atas urusan-urusan yang menguntungkan. Pada saat
yang sama, timbul kekhawatiran bahwa urusan di bidang pelayanan dengan biaya tinggi
6 Patut diperhatikan bahwa salah satu proyek dukungan donor (Dukungan GTZ untuk Tindakan
Desentralisasi) digunakan untuk memfasilitasi dan memberikan masukan; pengaruhnya terhadap formulasi
akhir UU Nomor 22 Tahun 1999 lebih terbatas daripada akses yang tidak pernah ada sebelumnya ke
penyusunan undang-undang yang diusulkan tim.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 6
tidak mendapatkan perhatian yang memadai dan bahwa konsep ―urusan wajib‖ yang
disebutkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 penjabarannya masih kurang jelas untuk
membantu membimbing pemerintah daerah.
Reformasi periode kedua merupakan upaya untuk meluruskan persepsi pemerintah-
pemerintah daerah yang masih belum sesuai, dan mempererat hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah. Pembagian urusan ―sisa‖ yang bersifat kabur diganti dengan daftar
positif urusan wajib, dan ketentuan Standar Pelayanan Minimum yang terkait diperkuat.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 7
Tabel 1: Perubahan kerangka pembagian urusan sejak tahun 1974
Kerangka pra-desentralisasi (UU No. 5
Tahun 1974)
Reformasi babak pertama (UU No.
22 Tahun 1999)
Reformasi babak kedua (revisi) (UU No. 32
Tahun 2004)
Prinsip/fokus/kriteria
desentralisasi
―Nyata‖ (sesuai dengan kapasitas/situasi
daerah) dan ―bertanggung jawab‖ (terdiri
dari hak dan kewajiban) dengan
menekankan otonomi pada daerah tingkat
dua (kabupaten/kota). Desentralisasi
berdasarkan kriteria ―efisiensi‖ dan
―efektivitas‖.
―Otonomi luas‖ ditambahkan kepada
―nyata‖ dan ―bertanggung jawab‖,
dengan tetap menekankan otonomi pada
kabupaten/kota. Provinsi memiliki
otonomi yang ―terbatas‖.
―Otonomi seluas-luasnya‖ – dengan pembagian
urusan berdasarkan kriteria efisiensi,
eksternalitas dan akuntabilitas.
Konsep politik/hukum mengenai
desentralisasi (devolusi)
Desentralisasi adalah penyerahan urusan
dari pemerintah pusat (eksekutif), atau
daerah tingkat yang lebih tinggi, ke
daerah – menjadi urusan daerah itu
sendiri.
Desentralisasi adalah penyerahan
urusan dari pemerintah pusat
(eksekutif) ke daerah otonom dalam
kerangka NKRI
Desentralisasi adalah penyerahan urusan dari
pemerintah pusat (eksekutif) ke daerah – untuk
mengatur dan mengelola – dalam kerangka
NKRI.
Asas pemerintahan Desentralisasi (devolusi), dekonsentrasi
dan tugas pembantuan.
Desentralisasi (devolusi), dekonsentrasi
dan tugas pembantuan
Desentralisasi (devolusi), dekonsentrasi dan
tugas pembantuan
Peran kepala daerah Kepala pemerintah daerah dan kepala
wilayah (wakil pemerintah pusat-CG); di
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Kepala pemerintah daerah dan (untuk
Gubernur) kepala wilayah (sebagai
wakil pemerintah pusat).
Bupati/Walikota tidak lagi berperan
ganda.
Kepala pemerintah daerah dan (untuk Gubernur)
kepala wilayah (sebagai wakil pemerintah
pusat). Serupa dengan reformasi sebelumnya.
Hirarki antara tingkat-tingkat
pemerintahan daerah
Tercermin dalam mekanisme yang
bersifat berjenjang untuk
mendesentralisasikan urusan-urusan.
Terdapat dalam peran ganda kepala
daerah (garis komando dari Presiden
turun kepada kepala daerah).
Penolakan yang tegas terhadap gagasan
hirarki di antara tingkat pemerintahan;
menimbulkan kekacauan (dan euforia
otonomi) – mengabaikan elemen-
elemen kerangka lain yang memang
mencerminkan bentuk hirarki
(misalnya, Gubernur bertindak sebagai
wakil Pemerintah Pusat).
Penjelasan mengenai penolakan hirarki
dihapuskan namun peran antara tingkat-tingkat
pemerintahan daerah sebagian besar masih tidak
jelas atau tidak konsisten – hirarki terlihat
dengan jelas dalam peran pengawasan,
pembinaan, koordinasi dan perencanaan provinsi
terkait dengan tingkat kabupaten/kota (PP No. 38
Tahun 2007).
Tatanan secara keseluruhan dari
pembagian urusan
Undang-undang menetapkan peraturan
pemerintah sebagai mekanisme
penyerahan urusan secara spesifik; intinya
suatu konstruksi “ultra vires”; provinsi
Urusan pemerintah pusat dan
pemerintah provinsi disusun, dan
urusan ―sisa‖ untuk pemerintah
kabupaten/kota (bentuk radikal dari
Berpotensial dilihat sebagai ―general
competence‖ dibarengi dengan daftar positif:
urusan untuk pemerintah pusat disusun dan juga
urusan wajib untuk pemerintah provinsi dan
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 8
Kerangka pra-desentralisasi (UU No. 5
Tahun 1974)
Reformasi babak pertama (UU No.
22 Tahun 1999)
Reformasi babak kedua (revisi) (UU No. 32
Tahun 2004)
dan kabupaten/kota terikat dengan urusan
yang secara spesifik diserahkan kepada
mereka.
―general competence‖ untuk tingkat
ini).
pemerintah kabupaten/kota. Namun, karena
―urusan pilihan‖ tidak sejalan dengan konsep
internasional maka struktur ini tampaknya akan
kembali ke “ultra vires”.
Pelaksanaan/kinerja yang
diharuskan
Tidak jelas ... ad hoc melalui sistem
pemantauan/ pengawasan
Urusan wajib dan standar pelayanan
minimum mulai diterapkan namun tidak
cukup penjabarannya dan tidak
koheren.
Urusan wajib dan standar pelayanan minimum
ditekankan. Dilengkapi dengan urusan ―pilihan‖.
Semua ini masih belum cukup koheren.
Tugas dekonsentrasi Pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat, atau Kepala Wilayah (sebagai
wakil pemerintah pusat) atau kepala unit
dekonsentrasi kepada para pejabat
pemerintah pusat di daerah.
Pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada instansi vertikal atau
Gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat.
Definisi dalam undang-undang kerangka tidak
konsisten; Menurut UU No. 32 Tahun 2004,
pelimpahan wewenang dapat dilakukan kepada
instansi vertikal atau Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat, tetapi menurut UU No. 33
(mengenai keuangan) hanya dapat dilakukan
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat.
Tugas pembantuan Tugas dari pemerintah pusat, atau
pemerintahan daerah yang lebih tinggi,
kepada pemerintahan daerah (di mana
pemerintahan daerah merupakan
gabungan dari kepala daerah sebagai
eksekutif dan legislatif daerah). Juga dari
pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah kepada tingkat desa (dituangkan
dalam UU No. 5 Tahun 1979).
Penugasan oleh pemerintah pusat
kepada daerah dan desa, dan oleh
daerah kepada desa [provinsi tidak
dapat memberikan tugas kepada
kabupaten/kota]
Pemerintahan daerah merupakan entitas
penerima tugas (PP No. 38 Tahun 2007, pasal
161.c). Pemerintah pusat, provinsi maupun
kabupaten/kota dapat memberikan tugas
pembantuan kepada tingkat yang lebih rendah.
Hubungan pembiayaan Secara garis besar terdapat dalam UU No.
5 Tahun 1974 tetapi tidak ada hubungan
yang jelas dengan urusan (kecuali dalam
tugas pembantuan).
Pembiayaan secara garis besar
diuraikan dalam UU No.22 Tahun 1999
dengan penjabaran dalam UU NO. 25
Tahun 1999. Inkonsistensi dan
ketidakjelasan hubungan antara urusan
dan pembiayaan.
Pembiayaan secara garis besar diuraikan dalam
UU No. 32 Tahun 2004 dengan penjabaran
dalam UU No.33 Tahun 2004; Inkonsistensi dan
ketidakjelasan hubungan antara urusan dan
pembiayaan. Dekonsentrasi masih sangat
dipraktekkan dalam kenyataan.
Mekanisme penyesuaian
pembagian urusan dari waktu ke
Peraturan pemerintah untuk urusan-
urusan dan daerah-daerah secara spesifik;
Urusan sisa untuk kabupaten/kota
berarti tidak dibutuhkan mekanisme
Konsep ―urusan sisa‖ untuk urusan yang tidak
disebutkan dalam PP No. 38 Tahun 2007.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 9
Kerangka pra-desentralisasi (UU No. 5
Tahun 1974)
Reformasi babak pertama (UU No.
22 Tahun 1999)
Reformasi babak kedua (revisi) (UU No. 32
Tahun 2004)
waktu provinsi harus menyerahkan sebagian
urusan. Prakteknya, perkembangan urusan
provinsi berlangsung lambat dan
penerusan ke kabupaten/kota hampir
diabaikan.
(meskipun diterapkan proses
―pengakuan‖ yang berlebihan dan
membingungkan). Tidak ada
mekanisme yang jelas untuk
menyesuaikan daftar urusan pemerintah
pusat/provinsi.
Menetapkan kriteria (sama seperti urusan-urusan
yang dicantumkan) untuk menentukan tingkat
pelaksana urusan dan harus mendapatkan
persetujuan Depdagri atas urusan-urusan
tersebut. Tidak membedakan antara urusan wajib
dan urusan pilihan, atau menjelaskan prosesnya.
Urusan pemerintah desa Dibahas tersendiri dalam UU No. 5 Tahun
1979; membutuhkan perda. Urusan rumah
tangga disebutkan namun tidak jelas dan
juga tugas pembantuan yang tidak jelas
dari tingkat mana.
Pemerintahan desa diletakkan dibawah
undang-undang tentang pemerintah
daerah; urusan-urusan termasuk yang
bersifat ―asli‖, yang bukan diambil oleh
tingkat yang lebih tinggi, dan tugas
pembantuan dari tingkat yang lebih
tinggi, terutama kabupaten (kota tidak
disebutkan).
Bersifat asli, urusan diserahkan berdasarkan
peraturan dan tugas pembantuan dari semua
tingkat yang lebih tinggi (termasuk kota).
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 10
Reformasi desentralisasi periode kedua mengenai pembagian urusan agak berlarut-larut
dengan peraturan pemerintah pokok (PP Nomor 38 Tahun 2007) yang menguraikan
daftar urusan secara spesifik baru dikeluarkan tiga tahun setelah ditetapkannya undang-
undang yang mewadahinya. Ada yang berpendapat bahwa reformasi periode kedua
hanyalah penyesuaian reformasi sebelumnya; yang lain berpendapat bahwa reformasi
periode kedua ini merupakan kebalikan dari reformasi progresif sebelumnya. Satu hal
yang jelas, yaitu bahwa reformasi periode kedua tidak mengatur pembagian urusan dalam
arti yang utuh. Berbagai elemen kerangka desentralisasi atas pembagian urusan tidak
diuraikan secara lengkap dan beberapa elemen masih kurang diperhatikan. Laporan ini
menguraikan setiap elemen penting dari pembagian urusan dalam Bab II. Tetapi, sebagai
latar belakang pembahasan tersebut, ada gunanya untuk membahas atau meringkas
elemen-elemen utama tatanan pembagian urusan yang ada saat ini pada bab berikut ini.
2. Elemen-elemen utama dalam tatanan saat ini
Gambar 1 (Tatanan Pembagian Urusan di Indonesia dalam UU Nomor 32 Tahun 2004)
memperlihatkan bahwa beberapa perubahan penting dari tatanan dalam UU Nomor 22
Tahun 1999 ke UU Nomor 32 Tahun 2004 saat ini merupakan penjelasan urusan-urusan
wajib (konsep awalnya dimuat dalam UU Nomor 22 Tahun 1999) dan tambahan urusan-
urusan pilihan. Selain itu, tugas-tugas pembantuan pada dasarnya mempunyai beberapa
kemungkinan lain yang berasal dari setiap tingkat ke tingkat di bawahnya. Pada UU
Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah provinsi tidak dapat menyerahkan tugas pembantuan
kepada pemerintah kabupaten/kota; ini merupakan bagian dari ―penolakan‖ terhadap
hirarki yang secara eksplisit dicantumkan dalam undang-undang tersebut.
Peran ganda gubernur dipertahankan dalam kerangka saat ini. Sehingga, gubernur
dianggap sebagai aparat dekonsentrasi pemerintah pusat, disamping sebagai kepala
pemerintah provinsi. Bupati/Walikota tetap memegang peran tunggal (kepala pemerintah
daerah).
Dalam kerangka saat ini, urusan rumah tangga dari provinsi dan kabupaten/kota
mencakup urusan wajib maupun pilihan. Daftar awal yang luas (dan tidak terlalu jelas)
terdapat dalam undang-undang itu sendiri7, dan daftar urusan yang terinci dicantumkan
dalam peraturan pemerintah secara terpisah yaitu PP Nomor 38 Tahun 2007.8
Tatanan di atas dijabarkan dengan lebih baik daripada yang banyak ditemukan di negara-
negara berkembang atau maju. Tatanan ini mempertegas tiga asas pemerintahan: urusan
desentralisasi, tugas pembantuan dan tugas dekonsentrasi.9 Tatanan ini berupaya
memperjelas apa harus dilakukan oleh pemerintah daerah, dan tatanan ini juga
menetapkan standar kinerja (minimum) yang spesifik dalam penyediaan pelayanan dasar.
7 Yang seharusnya memperlihatkan bahwa urusan-urusan tersebut berasal dari ―negara‖ dan bukan hanya
pemerintah pusat – berbeda dengan definisi desentralisasi yang terdapat dalam undang-undang yang sama. 8 Dengan konstruksi ini, urusan sendiri daerah dapat dianggap berasal dari pemerintah pusat – yang
bertentangan dengan pendapat bahwa urusan-urusan tersebut berasal dari negara melalui undang-undang
(seperti yang tampaknya juga dituntut dalam Undang-Undang Dasar). 9 Istilah-istilah ini digunakan dalam bahasa Indonesia: urusan desentralisasi, tugas pembantuan dan tugas
dekonsentrasi.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 11
Dalam hal ini, tatanan ini menjadi dasar yang menjanjikan untuk upaya yang lebih rinci
yang diperlukan untuk melengkapinya. Sebagaimana yang akan dibahas dalam bab
berikutnya, tatanan yang tampaknya cukup kuat ini masih mempunyai masalah pada
beberapa elemen atau aspek.
Gambar 1: Tatanan Pembagian Urusan di Indonesia dalam UU Nomor 32 Tahun
2004
(psl 37) Tugas
pembantuan (psl 228)
Urusan Pemerintah Pusat Urusan Pemerintah Daerah
Pelaksanaan Langsung
Tugas pembantuan
Urusan Pilihan
(pasal 10.4) (pasal 11.3)
Departemen Kementerian Negara Lembaga Non-Departemen
Nas
ion
al
Dae
rah
Lembaga Vertikal Gubernur (sbg wakil Pemerintah Pusat)
(pasal 13/14)
(pasal 2)
Dekonsentrasi
Provinsi
Kabupaten/Kota
Desa
Urusan Wajib
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 12
II. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN TINDAKAN YANG DIPERLUKAN
Pada pembahasan masing-masing masalah diuraikan latar belakang praktik internasional,
yang diikuti dengan uraian atau analisa situasi di Indonesia dan akhirnya opsi-opsi
kebijakan atau tindak lanjut yang diperlukan.
1. Tatanan secara keseluruhan: asas pemerintahan, peran dan struktur
Praktik Internasional
Asas pemerintahan desentralisasi
Tiga asas pemerintahan klasik telah secara luas dikutip dalam berbagai literatur:
dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan devolusi. Dengan membatasi pembahasan hanya
pada bidang pemerintahan (dengan struktur negara kesatuan) maka asas pemerintahan
dapat dipahami sebagai10
:
Dekonsentrasi adalah pelimpahan tugas-tugas administratif oleh kantor pemerintah
pusat kepada wakil-wakil atau kantor-kantor cabangnya yang tersebar di wilayah
nasional dalam pola fungsional/administratif yang sesuai kebutuhan organisasi tersebut.
Tugas pembantuan adalah tugas yang diserahkan kepada pemerintahan daerah atau
kepada instansi khusus/semi-otonom yang akan dilaksanakan atas nama
pemerintah/organisasi pusat yang memberikan tugas tersebut. Instansi penerima tugas
secara demokratis bertanggung jawab kepada warganya tetapi juga harus melaporkan
pelaksanaan tugas-tugasnya kepada instansi pemberi tugas.
Devolusi adalah penyerahan urusan, kuasa dan sumber daya yang diperlukan kepada
pemerintahan daerah (termasuk dewan daerah/DPD) yang mempunyai otonomi yang
luas dan secara demokratis bertanggung jawab kepada warga-warganya. Pelaporan
diarahkan terutama kepada dewan daerah, namun juga kepada pemerintah pusat.
Perbedaan yang lebih rinci dapat dilihat dalam Lampiran 3 (Tipologi urusan/tugas
terdesentralisasi).
Peran/hirarki pemerintah daerah di berbagai tingkatan
Berbagai pilihan dimungkinkan jika terdapat lebih dari satu pemerintah daerah. Dalam
sistem federal, unit-unit formatif adalah unit-unit yang lebih dominan dibandingkan
dengan pemerintah daerah di negara-negara kesatuan. Unit-unit tersebut seringkali
mempunyai yurisdiksi tunggal atas pemerintah daerah bawahannya (seperti di Amerika
Serikat dan Kanada) atau yurisdiksi bersama (seperti di Jerman dan India). Di negara-
negara kesatuan, terdapat berbagai hubungan hirarki di antara pemerintah-pemerintah
daerah. Sebagian besar pengawasan/pembinaan dapat berasal dari tingkat pemerintah
daerah yang lebih tinggi. Hal ini dapat melekat pada sistem pemerintahan daerah itu
sendiri (misalnya daerah-daerah di Italia dan propinsi-propinsi di Filipina) atau dapat
ditetapkan sebagai pelaksanaan tugas atas nama pemerintah pusat/negara (misalnya
governorates di Yaman dan propinsi-propinsi di Kamboja) – pada dasarnya, inilah yang
10
Lihat contohnya Rondinelli (1981). Banyak perbaikan atau penyimpangan dari definisi Rondinelli dapat
ditemukan, dan mode-azas pemerintahan yang disajikan dalam bagian ini diberikan oleh Gabriele Ferrazzi.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 13
dimaksud dengan tugas pembantuan. Dapat dikatakan bahwa di negara-negara kesatuan,
khususnya yang sangat memperhatikan masalah persatuan dan kesatuan bangsa,
pemerintah pusat ingin menangani secara langsung semua tingkat pemerintah daerah, dan
akan mendelegasikan peran pengaturan dan pengawasan kepada pemerintah daerah yang
lebih tinggi hanya jika hal tersebut dianggap tidak mengancam kepentingan nasional. Opsi
untuk memberikan peran ganda kepada pemerintah daerah atau pejabat/politisi tertentu di
tingkat daerah (di mana selain orientasi pemerintah daerah, juga terdapat perwakilan
pemerintah pusat di daerah) merupakan salah satu mekanisme yang memungkinkan
dilaksanakannya pendelegasian seraya tetap melakukan pengawasan.
Belum terdapat survei dalam literatur yang tersedia mengenai pola-pola tata kelola
pemerintahan yang berfokus pada masalah hirarki antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Sulit untuk mengidentifikasi praktik-praktik yang baik dalam bidang ini.
Tampaknya ada berbagai pendekatan yang dapat diterapkan dan pilihan pendekatan
tersebut harus berhubungan dengan stabilitas politik keseluruhan dan tuntutan otonomi
dari semua tingkat pemerintah daerah. Secara khusus, pemerintah pada tingkatan lebih
rendah dapat diberikan wewenang untuk berperan dalam menetapkan kerangka bagi
tingkat-tingkat pemerintahan yang lebih rendah dan membina mereka, asalkan peranan ini
tidak berpotensi mengancam pemerintah pusat.
Struktur urusan pemerintah daerah
Salah satu cara pembagian urusan adalah dengan membuat daftar terperinci mengenai apa
yang dapat atau harus dilakukan oleh pemerintah daerah (daftar ―positif‖). Tindakan ini
memberikan kejelasan dan merinci batas-batas kewenangan pemerintah daerah
sebagaimana yang tercantum dalam daftar sehingga tindakan pemerintah daerah selain
yang tercantum dalam daftar adalah ―ultra vires‖ (di luar batas hukum). Daftar positif
dapat dilengkapi dengan daftar ‗negatif‘; apa yang berada diluar wewenang pemerintah
daerah. Bahkan sekalipun prinsip ultra vires tidak secara eksplisit disebutkan sebagai pola
yang dianut, penggunaan sebuah daftar urusan dapat membuat pemerintah daerah berhati-
hati karena secara implisit memahami bahwa mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang
tidak tercantum dalam daftar tersebut.
Di negara-negara OECD di mana sistem desentralisasi telah lama dianut, ataukah di mana
pemerintah lokal merupakan titik tolak bagi tingkat pemerintahan yang lebih tinggi,
urusan-urusan yang diberikan kepada pemerintah daerah cenderung bersifat sangat luas,
secara de facto. Dalam kasus-kasus tertentu, pola ini juga terlihat secara de jure (misalnya
swatantra di beberapa daerah dari negara bagian AS). Namun, selama beberapa dekade,
konstruksi ultra vires umumnya menjadi dominan sejalan dengan perkembangan
pemerintahan, menjadi lebih formal dan lebih terpusat. Baru selama dua dekade terakhir
kecenderungan ini menjadi terbalik. Tinjauan terhadap pembagian urusan baru-baru ini
dilakukan di seputar dunia yang menghasilkan formulasi-formulasi yang lebih fleksibel
(misalnya propinsi-propinsi di Kanada, negara-negara bagian di Australia dan pemerintah
lokal di Inggris).
Di banyak negara, pemerintah daerah tingkat tertentu, yang secara skala memadai,
ditargetkan menjadi tingkat penyedia utama pelayanan publik, dan berbagai upaya
dilakukan untuk memastikan bahwa tingkat pemerintahan tersebut dapat berfungsi sebagai
―pemerintahan untuk tujuan umum‖ (general purpose local government) yang diberikan
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 14
kuasa untuk memenuhi berbagai kebutuhan warganya.11
Ketentuan ini lebih banyak
disertai dengan konstruksi urusan ―general competence‖, yang berarti bahwa urusan-
urusan tidak dicantumkan secara rinci melainkan secara garis besar untuk memberikan
kebebasan sebesar-besarnya kepada pemerintah daerah bertindak dalam memenuhi
mandatnya.
Meskipun general competence tampaknya cukup berpengaruh, konstruksi ini kadangkala
salah dimengerti. Konstruksi ini umumnya ditemukan dalam undang-undang pokok
tentang pemerintah daerah/desentralisasi, tetapi undang-undang ini biasanya
berdampingan dengan sejumlah undang-undang lain (misalnya undang-undang sektoral,
undang-undang pengadaan barang/jasa dan undang-undang perencanaan) yang
mewajibkan atau melarang urusan/pelayanan dan menetapkan standar kinerja. Sehingga
pada praktiknya, negara-negara OECD dengan general competence sebenarnya
mempunyai gabungan/hibrida antara konstruksi general competence dan konstruksi ultra
vires.
Status di Indonesia
Seperti yang diperlihatkan Gambar 1 dalam bab pembuka, Indonesia menerapkan
beberapa asas pemerintahan yang serupa dengan ―model internasional.‖ Urusan devolusi
di Indonesia (yang juga disebut urusan ―desentralisasi‖) berhubungan dengan urusan wajib
dan pilihan.
Meskipun lebih sesuai dengan model internasional, kerangka yang ada saat ini
menghadapi masalah-masalah sebagai berikut:
11
Tidak ada kesepakatan mengenai apa yang dimaksud dengan skala yang memadai, tetapi pemerintah
daerah ―untuk tujuan umum‖ yang menyediakan sejumlah pelayanan penting (pendidikan dasar, perawatan
kesehatan primer/preventif, air bersih dan sanitasi, jalan daerah) mulai realistis bila jumlah penduduk
perkotaan (yang cukup padat) melebihi 10.000 jiwa. Efisiensi diyakini lebih mudah dicapai ketika jumlah
penduduk mencapai 100.000 jiwa atau lebih.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 15
Tugas Pembantuan yang Lenyap
Terdapat perubahan pemahaman tentang tugas
pembantuan dalam satu dekade terakhir; tugas
pembantuan sekarang dianggap sebagai tugas yang
diberikan/dibiayai secara ad hoc atau sementara, dan
praktiknya, tidak lagi dipergunakan secara umum
seraya desentralisasi dan dekonsentrasi menjadi
dominan. Dalam PP Nomor38 Tahun 2007, hanya
sedikit tugas pembantuan yang dicantumkan12
. Urusan-
urusan yang tercantum dalam PP 38 yang seharusnya
jelas merupakan tugas pembantuan tidak dinyatakan
secara eksplisit (misalnya membantu ujian nasional).
Sebuah rancangan peraturan pemerintah yang baru
(versi Oktober 2007) menyejajarkan tugas pembantuan
dengan tugas dekonsentrasi sehubungan dengan asal
tugas, pembiayaan, pelaporan dan pertanggungjawaban
yang berkaitan dengan lembaga legislatif daerah (lihat
Lampiran 4). Hal ini akan semakin membingungkan
dan mungkin akan menghambat upaya untuk
menemukan solusi bagi dilema ―propinsi vs. gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat‖.
Definisi dekonsentrasi berbeda dalam
undang-undang utama (UU No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Keuangan)
Tugas pembantuan dan tugas dekonsentrasi
sekarang sulit dibedakan.
UUD sendiri menetapkan pandangan yang
menyesatkan mengenai tugas pembantuan,
yaitu bahwa pemerintah daerah dapat
mengatur tugas pembantuan. Istilah ini
seharusnya hanya digunakan untuk
―pemilik‖ dari urusan tersebut, bukan untuk
penerima tugas pembantuan.
Dalam pelaksanaannya, dekonsentrasi
cenderung dipergunakan untuk mendanai
urusan-urusan yang seolah-olah telah
diserahkan kepada pemerintah daerah.13
Peran ganda gubernur mendukung tugas
desentralisasi maupun dekonsentrasi namun
menyebabkan kebingungan karena peran
masing-masing tidak dapat dibedakan.
Kebingungan tersebut mengakibatkan
usulan aksi yang mengancam otonomi di
tingkat propinsi (lihat Pasal 3 untuk
pembahasan yang lebih lengkap).
Jika dilihat dari struktur urusan maka konstruksinya telah berubah dari ultra vires selama
masa sentralisasi menjadi bentuk radikal general competence dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 22 Tahun 1999 (untuk tingkat kabupaten/kota), dan kembali lagi ke ultra
vires dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 (untuk tingkat propinsi maupun kabupaten/kota).
Perubahan terakhir ke ultra vires tampaknya memungkiri prinsip ―otonomi seluas-
luasnya‖ dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, sebuah prinsip yang dapat dikatakan mirip
dengan ―subsidiarity‖. Sulit mengerti bagaimana konstruksi ―seluas-luasnya‖ dapat
dibangun atas struktur yang sebenarnya ultra vires. Belum jelas apakah maksud pembuat
kebijakan di Indonesia adalah untuk beralih dari prinsip konstitutional ―otonomi seluas-
luasnya‖ ke bentuk yang ketat ultra vires, atau apakah perubahan tersebut muncul secara
tidak disengaja.
Usulan Tindak Lanjut
☞ Untuk jangka menengah dan panjang, amandemen UUD mungkin akan dapat
membantu memperjelas definisi ketiga general competence dan prinsip-prinsip utama
12
Lampiran PP Nomor 38 Tahun 2007 memperlihatkan sedikit urusan di bidang kesehatan dan pengelolaan
tanah yang menjadi tugas pembantuan secara eksplisit. 13
Data mengenai bagian dana dekonsentrasi sulit diperoleh meskipun dana tersebut jumlahnya signifikan.
Misalnya, Dinas Hortikultura di Aceh Tamiang baru-baru ini memperkirakan bahwa dana dekonsentrasi
mencapai 30 persen dari belanja di sektor hortikultura di kabupaten tersebut.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 16
yang membimbing desentralisasi, yang diikuti dengan penyesuaian yang cocok dalam
undang-undang untuk menyelaraskan definisi/penerapan.
☞ Untuk memperjelas asas pemerintahan, sebaiknya draft peraturan pemerintah
mengenai tugas dekonsentrasi/pembantuan yang belum selesai, ditunda dulu sampai
dilakukan tinjauan terhadap prinsip-prinsip yang mendefinisikannya (sebaiknya
ditetapkan dalam konstitusi atau revisi UU Nomor 32 Tahun 2004). Dengan demikian
peraturan pemerintah tersebut tidak perlu direvisi lagi tak lama setelah disahkan.
☞ Penting untuk memeriksa makna, kemungkinan-kemungkinan dan batasan-batasan
hirarki antara tingkat-tingkat pemerintah daerah, dengan mengacu pada asas
pemerintahan yang spesifik.
☞ Konstruksi ultra vires saat ini cukup menjanjikan dari segi urusan wajib/Standar
Pelayanan Minimum. Konstruksi ini dapat dibuat lebih fleksibel (lebih menyerupai
―general competence‖) melalui penyesuaian yang cermat terhadap kategori urusan
pilihan, agar selaras dengan makna umum istilah tersebut dalam konteks
internasional.
Praktik internasional kurang memberikan bimbingan yang jelas di bidang-bidang tersebut
di atas. Namun, para donor dapat membantu dengan memfasilitasi proses yang
mempunyai legitimasi dan memberikan sejumlah pandangan dan membagi pengalaman
untuk dibahas. Kemungkinan, upaya-upaya yang didukung para donor di bidang
pembiayaan, struktur organisasi dan pengawasan/peran propinsi/gubernur tidak akan
membuahkan hasil jika tatanan dasarnya tidak dibenahi dan dijabarkan secara memadai.
2. Kerangka/mekanisme hukum untuk penyesuaian yang sedang berjalan
Praktik internasional
Kebanyakan negara mengakui bahwa pembagian urusan seharusnya berlangsung secara
stabil namun juga dinamis seraya terjadi perubahan kondisi dari tahun ke tahun. Kerangka
hukum yang digunakan sangat berbeda di tiap-tiap negara, namun ada konsensus
mengenai praktik yang baik dalam hal ini. Piagam Eropa menyatakan14
:
―Wewenang dan tanggung jawab dasar dari aparat lokal ditetapkan berdasarkan
undang-undang dasar atau undang-undang. Namun, ketentuan ini tidak
menghalangi aparat lokal diserahkan wewenang dan tanggung jawabnya yang
spesifik sesuai dengan undang-undang.‖
Urusan-urusan yang ditetapkan secara konstitusional sudah umum di negara-negara
federal, antara pemerintah federal dengan unit-unit formatifnya. Beberapa negara federal
juga mencantumkan urusan pemerintahan daerah dalam undang-undang dasarnya, seperti
di India. Negara-negara dengan struktur federal semu (misalnya Afrika Selatan) atau
struktur kesatuan (misalnya Italia) juga menetapkan sebagian urusan pemerintahan daerah
dalam undang-undang dasar.
Di tingkat undang-undang, urusan-urusan dari suatu pemerintah daerah tertentu umumnya
ditemukan dalam undang-undang pokok (dalam Gambar 2 disebut UU Pemerintahan
14
Piagam Eropa tentang Pemerintah Daerah Mandiri Strasbourg, 15.X.19
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 17
Daerah/LGA). Namun, seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2, ada sejumlah undang-
undang lain yang juga mengatur urusan-urusan, terutama undang-undang sektoral.
Peraturan yang tingkatannya lebih rendah juga sering digunakan untuk memberikan
perincian dan tingkat kinerja yang diharapkan.
Gambar 2: Tatanan hukum yang mempengaruhi pembagian urusan
Jika urusan-urusan ditetapkan dalam undang-undang, tidak banyak kerangka di dunia yang
cukup jelas mengatur mekanisme penyesuaian dalam hal desentralisasi ataupun
(re)sentralisasi lebih lanjut. Kejelasan mengenai masalah-masalah ini akan membantu
menentukan ekspektasi dan memfasilitasi desentralisasi atau sentralisasi lebih lanjut.
Sistem di Indonesia selama masa Orde Baru menggunakan peraturan-peraturan
pemerintah, dan berbagai kemungkinan muncul di mana urusan-urusan pemerintahan pada
dasarnya diserahkan dengan beberapa cara; kepada propinsi untuk dilaksanakan, atau
kepada propinsi untuk diteruskan ke kabupaten/kota, atau diserahkan kepada propinsi dan
kabupaten/kota.
Kelemahan yang umum ditemui dalam sistem hukum di negara-negara berkembang adalah
kurangnya keselarasan antara undang-undang pokok dengan undang-undang sektoral.
Undang-undang sektoral tidak langsung disesuaikan dengan undang-undang pokok (atau
peraturan pelaksanaannya). ―Keterlambatan Desentralisasi Sektoral‖ ini mempunyai ciri-
ciri yang disajikan dalam kotak di bawah ini. Negara-negara seperti Yaman, Ghana,
Kamboja dan India (beberapa negara bagiannya) telah mengalami keterlambatan ini.
Keterlambatan Desentralisasi Sektoral
Suatu negara yang mempunyai ketentuan-ketentuan konstitusional atau undang-undang pokok
yang relatif progresif mengenai pemerintah daerah masih mungkin untuk memiliki kementerian-
kementerian sektoral yang:
Berbeda dalam memahami terminologi desentralisasi
Dengan sadar atau tidak, telah memilih dekonsentrasi, dan kadang-kadang menggunakan istilah
yang lebih umum desentralisasi untuk memaksudkan dekonsentrasi.
…
… …
…
Undang-Undang Dasar
UU Perencanaan
Pemda
LGA UU Keuangan
Pemda
UU Sektor
UU Kepegawaian
Peraturan:
perencanaan
Peraturan:
pemilihan
Peraturan:
pengawasan
Peraturan yang
lebih rendah
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 18
Melampaui pemerintah daerah – ―langsung ke lembaga di daerah/rakyat‖ (misalnya transfer
kapitasi kepada sekolah)
Merasa enggan melaksanakan inovasi; uji coba/percontohan merupakan akomodasi adhoc pada
tekanan kelompok/donor
Mempertahankan kontradiksi/fragmentasi hukum antara UU Pemerintah Daerah dan instrumen
sektoral mengenai peraturan pembagian urusan dan pengadaan barang/jasa
Tidak menunjukkan bagaimana mereka akan menyusun kembali hubungan-hubungan vertikal
Belum melaksanakan restrukturisasi kementerian agar sejalan dengan urusan-urusan sisa di
tingkat pusat
Tidak memiliki rencana sektor untuk mengadakan desentralisasi atau hubungan dengan rencana
desentralisasi yang lintas sektor
Mempunyai wacana internal yang terfragmentasi/kerja sama yang rendah dengan stakeholder.
Status di Indonesia
Harmonisasi instrumen hukum sektoral dengan undang-undang pokok mengenai
pemerintahan daerah
Dalam kerangka tahun 1999 maupun 2004, Indonesia telah menggunakan undang-undang
organik untuk menjabarkan prinsip-prinsip pembagian urusan dan mempertegas beberapa
urusan umum. Peraturan pemerintah kemudian digunakan untuk menyediakan rinciannya
(Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007). Namun, undang-undang sektoral juga
berlaku yang kadang-kadang mengaburkan arti pembagian urusan atau mempunyai
formulasi yang lebih bersifat terpusat daripada undang-undang pokok mengenai
pemerintahan daerah. Beberapa undang-undang sektoral dikeluarkan sebelum undang-
undang pokok sedangkan undang-undang lainnya yang dikeluarkan setelah undang-
undang pokok kurang mengindahkan undang-undang pokok. Meskipun undang-undang
pokok mengenai pemerintahan daerah mencantumkan ketentuan yang tampaknya
mengharuskan agar undang-undang lain dan peraturan-peraturan disesuaikan dengan
undang-undang pokok, keabsahan ketentuan tersebut masih dipertanyakan. Prinsip-prinsip
hukum dapat digunakan untuk mendukung keunggulan undang-undang pokok maupun
undang-undang sektoral. Pada akhirnya, ini menjadi dinamika politik di antara berbagai
organisasi tingkat pusat yang menentukan hasil-hasilnya. Kabinet di Indonesia, karena
sejumlah alasan, masih jauh dari ‗kompak‘, dan Kemendagri sendiri tidak dapat
memberlakukan kebijakan lintas sektoral yang jelas. Hal ini pertanda yang kurang baik
bagi upaya harmonisasi hukum.
Sejauh ini, belum ada kesepakatan strategi yang jelas untuk mengharmonisasi undang-
undang sektoral dengan daftar sektoral yang terdapat dalam PP Nomor 38 Tahun 2007.
Namun, Kemendagri meminta ke-31 kementerian/lembaga untuk memberikan informasi
tentang instrumen hukum yang perlu disesuaikan dan urutan prioritas yang akan
disesuaikan (diselaraskan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 & PP Nomor 38 Tahun
2007). Pendekatan ini belum mendapatkan tanggapan secara resmi dari lembaga-lembaga
tingkat pusat tersebut sehingga Kemendagri mempertimbangkan pendekatan yang
langsung berhubungan dengan daerah. Di sepuluh propinsi, upaya dilakukan untuk menilai
apakah dukungan dan arahan dari departemen sektoral sesuai dengan urusan-urusan dalam
PP 38. Kemudian, hasil-hasil penilaian akan disampaikan kepada pemerintah. Temuan-
temuan ini diharapkan akan mendorong tindakan oleh organisasi yang bersangkutan –
yaitu penyesuaian instrumen-instrumen hukum yang tidak sejalan.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 19
Selanjutnya, Kemendagri berharap bahwa ketentuan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007
(pasal 10) yang mengatur batas waktu dua tahun bagi kementerian-kementerian untuk
menetapkan ―norma, standar, prosedur dan kriteria‖ akan mendorong kementerian-
kementerian untuk mengeluarkan pedoman yang memperkuat pembagian urusan. Jika
dalam batas waktu yang ditentukan, norma, standar, prosedur dan kriteria tersebut belum
ditetapkan maka pemerintah daerah dapat melaksanakan urusan-urusan apapun
berdasarkan instrumen hukum yang ada. Sayangnya, persyaratan yang terakhir disebutkan
ini membuat situasinya kembali kepada keadaan semula di mana revisi-revisi dalam PP
Nomor 38 Tahun 2007 bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan sektoral.
Baru-baru ini, ketua tim revisi UU 32 dari Kemendagri menjelaskan bahwa PP Nomor 38
Tahun 2007 untuk sementara waktu akan tetap berlaku dan bahwa ringkasan peraturan ini
akan disusun dan dimasukkan dalam revisi undang-undang sesuai dengan UU Nomor 32
Tahun 2004. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 bab ini, pendekatan ini diragukan
efektivitasnya karena membiarkan pertentangan antara undang-undang komprehensif
(omnibus) tentang pemerintahan daerah dengan beberapa undang-undang sektoral (tidak
jauh berbeda dengan pertentangan antara peraturan pemerintah omnibus dengan beberapa
undang-undang sektoral). Meskipun kelihatannya ringkasan yang disederhanakan tersebut
membawa pengaruh yang baik bagi semua pihak yang membutuhkan penjelasan dan
arahan, namun kondensasi demikian (yang dilakukan oleh tim revisi) menyingkirkan
proses komunikasi dan negosiasi yang diperlukan dengan lembaga-lembaga sektoral jika
formulasi baru tersebut ingin diterima oleh mereka.
Penyesuaian pembagian urusan yang masih berjalan
Penyesuaian urusan dari waktu ke waktu, dilakukan dengan cara yang tidak lazim dalam
PP Nomor 38 Tahun 2007. Tidak terdapat ketentuan mengenai instrumen hukum untuk
melaksanakan perubahan-perubahan lain di bidang pembagian urusan, tetapi ada beberapa
ketentuan yang tampaknya relevan:
UU Nomor 32 Tahun 2004 mempunyai ―mekanisme‖ evaluasi dan penggabungan untuk
menangani situasi di mana urusan-urusan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
PP Nomor 38 Tahun 2007 menambahkan ―mekanisme‖ yang tidak disebutkan dalam
UU Nomor 32 Tahun 2004; mekanisme ini adalah mekanisme ―urusan sisa‖ di mana
urusan-urusan yang tidak disebutkan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 akan diserahkan
menurut kriteria yang sama seperti yang dipergunakan untuk pembagian urusan yang
disebutkan dalam PP, dan pemerintah pusat (Kemendagri) perlu melakukan
penetapannya.
Mekanisme yang paling luas penjabarannya untuk pembagian dan perubahan urusan
sebenarnya dapat ditemukan antara kabupaten/kota dan desa meskipun dalam praktiknya
mekanisme tersebut belum banyak digunakan. UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP
Nomor 72 Tahun 2005 memperbolehkan kabupaten/kota memberikan tugas pembantuan
kepada desa. Mekanisme yang digariskan dalam Permendagri 30/2006 pada dasarnya
merupakan pelaksanaan yang seragam, yang meliputi semua urusan yang harus
dibagikan dan mencakup semua desa (penyesuaian tampaknya dapat dilakukan).
Namun, ada kemungkinan untuk menambah urusan lain secara ad hoc (berdasarkan
permintaan desa). Jika dalam waktu dua tahun desa tidak dapat menangani urusan-
urusan tersebut maka beberapa atau semua urusan dapat ditarik kembali; caranya hal ini
dilakukan akan ditentukan dalam peraturan daerah.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 20
Mekanisme penarikan kembali dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 berlaku untuk kegagalan
pemerintahan daerah yang sangat parah, bukan untuk penyesuaian inkremental dalam
urusan-urusan yang spesifik. Secara politik, mekanisme ini tidak layak diterapkan.
Mekanisme yang lebih dapat diterima secara politik memungkinkan memindahkan urusan-
urusan, yang bersifat sementara maupun permanen, dari kabupaten/kota ke tingkat
propinsi. Dengan adanya laju pemekaran daerah yang pesat di Indonesia (dan penyusutan
luas wilayah/ukuran penduduk yang diakibatkannya) maka mungkin ini waktunya jika
mekanisme demikian dapat menawarkan jalan keluar dari inefisiensi dan ketidakefektifan
pembagian urusan di beberapa daerah.
Mekanisme ―urusan sisa‖ yang terdapat dalam kerangka bukan hanya tidak lengkap
melainkan juga tidak berhubungan dengan kategori urusan wajib atau pilihan. Pemerintah
daerah sendiri berinisiatif ingin menambah ―urusan sisa‖; namun tampaknya tidak
mungkin bagi pemerintah pusat untuk mengambil inisiatif demikian. Masih belum jelas
bagaimana pemerintah daerah atau pusat akan menerapkan kriteria untuk menentukan
tingkat pemerintahan mana yang akan melaksanakan urusan sisa tersebut.
Usulan Tindak Lanjut
☞ Dengan mempertimbangkan diskusi dan keputusan-keputusan yang dicapai baru-baru
ini, akan bermanfaat bagi stakeholder jika Pemerintah RI secara luas
mengkomunikasikan sikapnya (seperti yang baru-baru ini didiskusikan oleh tim revisi
UU 32) mengenai hal-hal berikut ini:
o kapan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan kira-kira akan
diubah;
o apa saja ruang lingkup revisi jika UU 32 diubah sebelum PP Nomor 38 Tahun
2007 diubah
o apakah PP Nomor 38 Tahun 2007 akhirnya akan digantikan dengan PP omnibus
yang baru, atau;
o apakah akan ada upaya untuk mencantumkan urusan-urusan (pusat dan daerah)
secara utuh dalam undang-undang sektoral.
☞ Pendekatan bawah-atas (bottom-up) yang diusulkan oleh Kemendagri untuk
memeriksa konflik instrumen sektoral dengan PP Nomor 38 Tahun 2007 dapat
berguna dan patut dipertimbangkan sebagai alternatif atau pelengkap untuk
penyelesaian yang lebih langsung dari tingkat pusat. Ada dua kemungkinan sebagai
berikut:
o Daerah-daerah percontohan didukung selama sekitar setahun (selama siklus
kegiatan tahunan) untuk menilai sektor-sektor tertentu, dengan bantuan dari para
donor yang aktif dalam menyediakan dukungan yang relevan di daerah. Temuan-
temuan dari instrumen sektoral yang bertentangan diajukan melalui berbagai
saluran: asosiasi pemerintah daerah, Kemendagri, Forum Pemerintah Indonesia-
Donor yang lebih luas. Fasilitasi diberikan kepada departemen-departemen
sektoral dalam menyesuaikan undang-undang/peraturan agar selaras (atau
menemukan kompromis) dengan PP Nomor 38 Tahun 2007.
o Departemen-departemen sektoral diberikan dukungan dalam mengidentifikasi
instrumen-instrumen yang perlu disesuaikan melalui Kemendagri dan dukungan
donor. Kegiatan ini membutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan jika digunakan tenaga
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 21
ahli sektoral. Tugas ini dapat dilaksanakan secara internal. Tetapi jika mereka
kurang berminat, tugas ini dapat dilakukan oleh pihak-pihak di luar departemen.
Selanjutnya, fasilitasi diberikan kepada departemen-departemen sektoral dalam
menyesuaikan undang-undang/peraturan agar selaras (atau mencapai kompromi)
dengan PP Nomor 38 Tahun 2007.
☞ Kedua strategi di atas akhirnya akan mengandalkan kemauan departemen sektoral
untuk mengadakan perubahan yang diperlukan terhadap instrumen-instrumen hukum
mereka. Dukungan, dorongan dan tekanan mungkin diperlukan dalam beberapa kasus
untuk melaksanakan perubahan-perubahan ini, mungkin dengan:
o Mengembangkan strategi dengan organisasi-organisasi yang diharapkan akan
memfasilitasi pembuatan kebijakan atau undang-undang mengenai otonomi
daerah (Departemen Hukum dan HAM, Sekretariat Negara, Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah);
o Meminta keikutsertaan Presiden atau Wakil Presiden dan Kabinet;
o Meminta dukungan dari DPR agar mereka mendukung undang-undang yang
direvisi.
Apapun kemungkinan di atas, urusan-urusan yang dicantumkan dalam PP Nomor 38
Tahun 2007 mungkin perlu disederhanakan dan dirundingkan kembali.
☞ Suatu mekanisme perlu dikembangkan untuk menangani urusan-urusan yang belum
tercantum dari waktu ke waktu dapat ditetapkan menjadi urusan daerah.
Kemungkinan-kemungkinan ini mencakup:
o Perubahan undang-undang pokok jika urusan-urusan tersebut akan dicantumkan
di dalamnya;
o Perubahan undang-undang sektoral jika urusan-urusan tersebut akan dicantumkan
di dalamnya;
o Peraturan pemerintah (per sektor atau gabungan) sebagai tindakan ad hoc dan
sementara, dengan asimilasi yang terjadi sesekali dalam undang-undang
(memanfaatkan revisi yang dibuat untuk alasan-alasan lain).
☞ Penting untuk menjajaki mekanisme formal dan praktis di mana urusan-urusan dapat
relatif mudah diubah di antara tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota. Hal ini
hendaknya mempertimbangkan adanya asimetri – sesuai dengan tingkat kapasitas.
Sistem tersebut khususnya diperlukan di daerah-daerah dalam hinterland, terutama
ketika pemekaran daerah menghasilkan daerah-daerah berukuran sangat kecil dengan
kapasitas administratif yang minim (misalnya Papua).
3. Peran gubernur dan propinsi
Praktik internasional
Secara konsep, peran ganda yang diberikan kepada beberapa pemerintah
daerah/pejabat/politisi dapat dianggap sebagai memanfaatkan dua asas pemerintahan,
salah satunya adalah devolusi. Tidak selalu dapat diketahui apa asas lain, apakah tugas
dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Keputusan atas pilihan ini dapat mempunyai
dampak yang signifikan atas pembiayaan, organisasi dan hubungan akuntabilitas, tetapi
pilihan tersebut tidak selalu dibuat secara jelas.
Jika kepentingan pemerintah pusat/negara dinyatakan di tingkat pemerintah daerah melalui
tugas pembantuan maka tingkat pemerintahan tersebut menerimanya sebagai ―pemerintah‖
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 22
(yang diartikan komponen eksekutif maupun legislatif); dana dapat berasal dari sistem
pendapatan asli daerah dan transfer secara umum, atau menyertai setiap tugas secara
khusus. Tetapi dalam semua kasus, dana ini akan masuk dalam anggaran pemerintah
daerah yang bersangkutan. Pengaturan ini memperlihatkan bahwa pertanggungjawaban
sebagian diarahkan kepada pemerintah daerah (yaitu DPRD), sehingga tidak sepenuhnya
diarahkan kepada tingkat yang memberikan tugas (dalam hal ini Pemerintah Pusat).
Sebaliknya, penggunaan dekonsentrasi berarti pengaturan di luar anggaran pemerintah
daerah. Selain itu, pilihan ini menimbulkan beberapa pertanyaan mengenai peran
fundamental pemerintah daerah; umumnya pemerintah daerah tidak ingin menganggap
dirinya hanya, atau bahkan terutama, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.15
Oleh karena itu, pada umumnya para pejabat individu (yang dipilih atau diangkat), dan
bukan ―pemerintah/an lokal‖ secara keseluruhan, dipercayakan dengan peran ganda yang
menggabungkan peran desentralisasi (devolusi) dan dekonsentrasi. Jika tugas
desentralisasi maupun dekonsentrasi ini cukup berat maka para pejabat ini kemungkinan
membutuhkan staf pelaksana sehingga memperumit struktur organisasi dan akuntabilitas.
Status di Indonesia
Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 diharapkan oleh sebagian stakeholder (misalnya
asosiasi pemerintah kabupaten/kota) untuk mempertegas peran propinsi/gubernur, untuk
memperkuat posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat – dan memberlakukan
(kembali) bentuk otonomi yang dipersempit untuk propinsi (serupa dengan UU Nomor 22
Tahun 1999). Kenyataannya hal ini tidak terjadi. Pertama-tama, undang-undang dasar
tidak membedakan peran jenis otonomi - tingkat propinsi atau kabupaten/kota keduanya
diberikan otonomi ―seluas-luasnya‖. Selanjutnya, dalam PP Nomor 38 Tahun 2007,
pemerintah propinsi sebagai daerah otonom mempunyai tugas yang berat terhadap
kabupaten/kota di hampir semua sektor, berupa pengawasan, pemantauan dan evaluasi,
fungsi kontrol, koordinasi, perencanaan dan penyelesaian konflik. Mengingat wacana
sebelumnya maka yang menarik adalah bahwa peran-peran ini diberikan kepada
pemerintah propinsi sebagai urusan desentralisasi (devolusi).
Meskipun asas pemerintahan menimbulkan beberapa persoalan penting di bidang
akuntabilitas khususnya bagi pemerintah pusat - negara kesatuan, alternatif untuk
konstruksi ini mempunyai lebih banyak masalah dalam berbagai aspek. Opsi untuk
memperkuat gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dewasa ini lebih sulit dijustifikasi
daripada di masa lalu mengingat adanya perubahan ke sistem pemilihan kepala daerah
secara langsung; opsi ini juga tidak cocok dengan harapan menjadi kepala daerah lebih
bertanggungjawab kepada pemilih. Opsi ini mungkin paling tidak sesuai jika diterapkan di
Aceh dan Papua yang menginginkan dikuranginya pengendalian dari pusat.
Secara umum, banyak terjadi kesalahpahaman dan kekacauan mengenai peran ganda
gubernur. Bahkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, terminologi peran ganda ini tidak
jelas dengan istilah ―gubernur‖ yang ambigu (misalnya pasal 128, 130). Dalam
menentukan model yang akan digunakan, penting untuk menggunakan istilah-istilah
15
Sebenarnya pemerintah daerah adalah perwujudan negara di daerah. Meskipun demikian, hanya perspektif
Marxist yang menyangkal peran bermakna dari wujud negara di daerah dalam menanggapi politik daerah;
yang penting di sini adalah bahwa wujud negara di daerah menganggap dirinya mempunyai identitas dan
sederajat otonomi.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 23
dengan cermat dan konsisten. Perhatian khusus perlu diberikan dalam menyusun draft
peraturan saat ini mengenai peran gubernur, untuk menghindari pertentangan dengan PP
Nomor 38Tahun 2007; sebagai alternatif, draft peraturan yang sedang disusun maupun PP
Nomor 38 Tahun 2007 perlu dirumuskan bersamaan, berdasarkan kerangka yang lebih
jelas mengenai asas pemerintahan/peran pemerintah daerah di berbagai tingkat.
Usulan Tindak Lanjut
☞ Dibutuhkan visi yang jelas mengenai peran tingkat propinsi/gubernur yang
memperhitungkan kelebihan dan implikasi dari berbagai asas pemerintahan, misalnya
akuntabilitas, pengaturan organisasi dan keuangan. Lampiran 5 menyajikan ringkasan
mengenai opsi dan implikasi dasar. Opsi-opsi ini perlu dibahas secara memadai
mengingat seriusnya implikasi politik dari pilihan yang dibuat.
☞ Perlu lebih cermat dalam menggunakan istilah, dengan menentukan
makna/pemakaian yang disepakati (istilah-istilah lebih jelas di masa lalu):
o Gubernur, Bupati/Walikota hendaknya menjadi istilah yang tidak mengesankan
eksklusivitas pada jabatan yang mereka miliki;
o Kepala Daerah hendaknya secara otomatis berhubungan dengan urusan otonomi
dan tugas pembantuan yang dipercayakan kepada pemerintah daerah;
o Kepala Wilayah hendaknya secara otomatis merujuk kepada wakil pemerintah
pusat di daerah (dekonsentrasi).
4. Kesesuaian pembiayaan dengan urusan
Praktik internasional
Prinsip ―money follow function‖ memang telah secara luas dipahami namun seringkali
dilanggar. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kesenjangan ini, dan sebagian
penyebab mempunyai justifikasi. Misalnya, untuk memulai proses desentralisasi,
diberikan dana kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (misalnya kotamadya di
negara-negara Amerika Selatan dan komune di Kamboja) tanpa kejelasan apa urusan yang
menjadi tanggung jawabnya (arahan yang maksimal berupa suatu menu dari mana
pemerintah daerah dapat memilih investasinya). Diharapkan (pernah diharapkan) masa
―pelatihan‖ ini akan menghasilkan pendekatan yang lebih terlembaga di mana pemerintah
daerah secara permanen bertanggung jawab atas pelayanan, berdasarkan uraian yang lebih
jelas mengenai pembiayaan yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan tersebut.
Kesenjangan antara dana dan fungsi semakin diperparah dengan penerapan transfer dana
berdasarkan rumus tertentu, dimana dana yang disediakan tidak sesuai dengan realisasi
kebutuhan pengeluaran pemerintah daerah; proksi yang digunakan (misalnya ukuran
jumlah penduduk, indeks kemiskinan dan indeks biaya) memang membantu pemerataan
secara horisontal tetapi kurang membantu mencocokkan antara beban pembiayaan untuk
kebutuhan pelayanan (pada tingkat/kualitas yang diharapkan) dengan pendapatan.
Jika desentralisasi dilakukan dengan proses politik yang tergesa-gesa maka tidak ada
waktu untuk secara memadai menghitung biaya atas urusan-urusan yang didesentralisasi
kepada pemerintah daerah (misalnya Indonesia). Negara cenderung menghindari
memperhitungkan biaya kegiatan untuk menyesuaikan sistem pembiayaan pemerintah
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 24
daerah. Namun, akhir-akhir ini sikap tersebut mulai berubah dengan adanya tekanan untuk
menghitung biaya pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDG) – di mana belanja
pemerintah daerah menjadi semakin penting.
Selain itu, pembiayaan digunakan sebagai sarana untuk mengendalikan pemerintah daerah,
seringkali karena kerangka kinerja dan fungsi pengawasan belum ditetapkan dengan baik;
pembiayaan digunakan sebagai alat pengendalian ―default.‖ Hal ini menyebabkan
lonjakan jumlah hibah bersyarat (sektoral) dengan tujuan khusus di banyak negara. Syarat-
syaratnya cenderung terletak pada input (program dan proyek yang dapat didanai atau
jumlah yang dapat dibelanjakan); arahan ini dapat sangat menghambat dan melemahkan
otonomi/kebijakan pemerintah daerah. Sektor-sektor mana yang akan mendapatkan hibah
dan berapa besar hibahnya ditentukan oleh dinamika politik di tingkat pusat. Kesesuaian
antara urusan dan pembiayaan bukan ditentukan oleh perspektif pemerintah daerah yang
berupaya memberikan perhatian kepada seluruh urusan desentralisasi dan pengharapanan
yang menyertai urusan-urusan tersebut.
Status di Indonesia
Berdasarkan beberapa ketentuan dasar dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, pembiayaan
pemerintah daerah dituangkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004. Prinsip ―money follow
function‖ sebenarnya telah dinyatakan secara eksplisit dan dijelaskan mengeni kecukupan
dana untuk melaksanakan fungsi/urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah.
Bagian-bagian tertentu tidak dapat memenuhi tujuan ini, sebagian karena:
Dana dekonsentrasi masih digunakan untuk membiayai urusan-urusan yang secara
hukum merupakan urusan pemerintah daerah; dana ini bahkan jumlahnya terus
bertambah16
, sehingga mencerminkan persepsi yang sangat berbeda di antara instansi-
instansi pemerintah pusat mengenai asas pemerintahan yang harus dipergunakan.
Upaya-upaya untuk mempercepat pembangunan di Papua mengandalkan pendanaan
yang pada dasarnya merupakan mekanisme pembiayaan dekonsentrasi17
.
Pengalihan dana dekonsentrasi menjadi dana alokasi khusus (DAK), sebagaimana
ditentukan dalam kebijakan pemerintah, tampaknya masih belum terjadi secara
signifikan.
Besarnya jumlah agregat DAU dan DAK tidak berhubungan (kecuali kebetulan) dengan
kebutuhan biaya pelayanan pemerintah daerah pada tingkat kinerja yang diharapkan.
Biaya untuk Standar Pelayanan Minimum masih belum diperhitungkan dengan seksama
dan diterjemahkan menjadi norma-norma belanja yang dapat diintegrasikan kedalam
mekanisme transfer.
Mekanisme off-budget untuk bantuan donor dan praktik-praktik penyeleksian daerah
semakin mempersulit upaya menyesuaikan kebutuhan pelayanan dengan pembiayaan di
seluruh negeri.
16
Data Departemen Keuangan memperlihatkan bahwa Departemen Pendidikan membutuhkan Rp 48 triliun
dalam TA 2008 – angka ini sangat tidak seimbang dengan kebijakannya yang mengatur urusan-urusan dan
pembiayaan sistem universitas. Kunjungan Konsultan ke lapangan di Aceh memperlihatkan bahwa sektor-
sektor lain mendapatkan aliran dana dekonsentrasi yang signifikan; pejabat Dinas Hortikultura di Aceh
Tamiang memperkirakan bahwa 30 persen dana yang diterima di kabupaten tersebut di subsektor
hortikultura berasal dari aliran dana dekonsentrasi. 17
Lihat penjelasan Bappenas dalam Cendrawasih Pos (2007). Rp 17-18 Triliun untuk Papua Direalisasikan
2008-Menteri PPN/Ka. Bappenas Minta Dikelola dengan Baik, 12 Juli
http://www.cenderawasihpos.com/detail?id=1645&ses
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 25
Kecenderungan untuk menentukan input (dana) membuat proses penganggaran menjadi
lebih rumit (karena ambiguitas kategori biaya) dan kaku (lihat kotak di bawah ini).
Penilaian dan pembahasan mengenai pengeluaran yang terserap untuk ―pelayanan
publik/pembangunan‖ dibandingkan dengan yang diserap untuk ‗birokrasi‘ kurang
menyentuh dan tidak membantu dalam menetapkan fokus pada urusan-urusan yang
sedang dilaksanakan dan tingkat kinerjanya.
Menetapkan Target Belanja
Dalam tahun-tahun terakhir, para pembuat kebijakan tingkat pusat berupaya untuk menyelesaikan
ketimpangan belanja dengan memperbaiki target belanja sektoral. Target sektor pendidikan
tercantum dalam undang-undang dasar sebesar 20 persen dari anggaran belanja (untuk tingkat
pusat/daerah). Penyokong sektor kesehatan hampir berhasil dalam menetapkan target yang serupa
– 10 persen dalam hal ini; untuk sementara target ini masih belum resmi. Penyokong masalah
perempuan mendesak untuk mendapatkan alokasi 5 persen untuk ―gender‖. Target-target ini masih
tidak jelas dan semuanya mengancam otonomi daerah dan kinerjanya.
Usulan Tindak Lanjut
☞ UU Nomor 33 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya perlu direvisi dan
dijabarkan untuk memperjelas bagaimana keseimbangan antara urusan dan
pembiayaan dapat dicapai.
☞ Diperlukan upaya yang lebih intensif dalam menghitung biaya yang diperlukan
pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan dasar dan kebutuhan biaya tersebut
perlu tercermin dalam mekanisme transfer ke daerah.
☞ Perlu ditetapkan tolok ukur yang peka terhadap teknologi dan kondisi di daerah untuk
memnunjukkan ketika penyediaan suatu pelayanan sudah dianggap efisien (misalnya
biaya untuk mendidik anak sekolah dasar, biaya pengangkutan sampah) –
menggantikan penilaian yang menyesatkan atau yang bersifat global (misalnya
belanja ―aparatur daerah‖).
☞ Sejumlah strategi perlu dikembangkan untuk menjelaskan kepada stakeholder
kekurangan dalam menetapkan target pendanaan sektor, dengan memfokuskan pada
target output dan outcome yang diinginkan dan sarana yang sesuai untuk mencapai
target ini.
☞ Mekanisme pengalokasian sumber daya (dana, bantuan teknis) proyek-proyek donor
sebaiknya mempertimbangkan urusan-urusan yang diserahkan ke berbagai tingkat.
☞ Mekanisme pengalokasian sumber daya (dana, bantuan teknis) proyek-proyek donor
sebaiknya mempertimbangkan urusan-urusan yang diserahkan ke berbagai tingkat.
Kecuali untuk bantuan darurat, pendanaan donor untuk investasi pemerintah daerah
sebaiknya hanya diberikan secara on-budget (dengan persetujuan pusat) dan hanya
sebagai mode percontohan dengan maksud menyesuaikan mekanisme pembiayaan
pusat-daerah untuk memperkuat hubungan urusan dan pembiayaan.
5. Kriteria pembagian urusan
Praktik internasional
Kebutuhan untuk menetapkan proses penyesuaian yang terus berjalan untuk pembagian
urusan lebih mendesak di negara-negara yang memutuskan untuk menggunakan
konstruksi ultra vires. Yang jelas dibutuhkan adalah memfasilitasi desentralisasi, tetapi
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 26
kadang-kadang diperlukan juga re-sentralisasi urusan-urusan atau mengidentifikasi urusan
yang tidak diantisipasi sebelumnya. Sebaliknya daripada konstruksi ultra vires, mandat
general competence memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk mengambil inisiatif,
meskipun hal ini mungkin dibatasi oleh undang-undang/peraturan yang lebih tinggi (yang
juga dapat diberlakukan untuk menghentikan tugas yang sedang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah jika kinerjanya buruk). Seperti disebutkan sebelumnya, sebagian besar
kasus, general competence dalam undang-undang tentang ―pemerintahan daerah‖
dilengkapi dengan daftar sektoral yang strukturnya lebih bersifat ultra vires; sehingga
secara umum menciptakan konstruksi campuran.
Dalam konstruksi ultra vires maupun konstruksi campuran, praktik yang baik adalah
praktik yang memperlihatkan bagaimana penyesuaian akan dilakukan dengan menetapkan
instrumen hukum dan prosedur utama (misalnya mekanisme konsultasi).
Kemanapun arah pergerakan urusan-urusan, beberapa negara yang menjalani
desentralisasi merasa cocok untuk menetapkan kriteria yang akan mengatur ―siapa yang
melakukan apa‖. Prinsip umum yang dulu pernah diterapkan di Eropa, yaitu prinsip
―subsidiarity‖ sekarang mulai diterapkan di Eropa dan mulai menjalar ke negara-negara
lain. Prinsip ini mengatur agar urusan/tugas yang bersangkutan harus dilaksanakan oleh
yurisdiksi terkecil yang dapat melakukannya secara efektif dan efisien. Istilah terakhir ini
tentu saja sifatnya sangat luas sehingga perlu dibuat lebih spesifik.
Daftar kriteria internasional yang digunakan untuk pembagian urusan tidak banyak
tersedia, dan proses penerapan kriteria tersebut (siapa yang mengatur dan bagaimana
bobot kriteria atau bagaimana trade-off dilakukan) bahkan kurang transparan. Kriteria
yang paling sering dikutip adalah efek limpahan (spillovers) dan efisiensi/ekonomi, 18
tetapi kapasitas pemerintah daerah juga menjadi tema yang sering muncul. Lampiran 6
menyajikan beberapa contoh kriteria yang dipromosikan/digunakan. Perlu diperhatikan
bahwa penggunaan kriteria ini masih jauh dari pelaksanaan yang hanya bersifat ‗mekanik‘;
sehingga memberi banyak celah untuk menafsirkan bagaimana kriteria ini dapat
diterapkan dengan cara yang terbaik. Daftar yang disusun di negara tertentu oleh pihak
yang berkepentingan ataupun tidak berkepentingan, dengan menggunakan kriteria yang
sama, kemungkinan besar akan sangat beragam.
Status di Indonesia
18
Lihat Ferrazzi G. (1998), Kriteria Pengalihan Urusan ke Pemerintah Daerah: Penyeleksian dan Penerapan
dalam Inisiatif Desentralisasi Indonesia, thesis doktoral yang tidak diterbitkan, University of Guelph.
Penerapan kriteria tidak transparan
Dalam pembahasan yang mengarah kepada penyusunan PP Nomor 38 Tahun 2007, para
pejabat dari Kemendagri dan Depdiknas telah sampai kepada kesimpulan bahwa
pendidikan SLTA selama tiga tahun harus menjadi urusan propinsi –- namun pada
pembahasan tingkat Menteri justru diputuskan bahwa urusan ini justru menjadi urusan
kabupaten/kota. Tidak ada keterangan untuk menjelaskan apakah hal ini bersifat sementara
atau merupakan keputusan akhir.
Dalam kasus menara komunikasi, pemberian ijin untuk mendirikannya diserahkan ke
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 27
Kriteria yang digunakan dalam pembagian urusan yang terdapat dalam PP Nomor 38
tahun 2007 secara umum sudah cukup baik (eksternalitas, efisiensi dan akuntabilitas),
meskipun pada beberapa bagian kriteria tersebut tidak dijelaskan dengan baik. Secara
khusus, akuntabilitas mungkin perlu dianggap sebagai kriteria implisit yang
menguntungkan penyerahan urusan pada daerah – yang digantikan (overridden) apabila
terdapat trade-off dengan efisiensi ekonomi.
Mengingat adanya keragaman daerah, maka hilangnya konsep ―kapasitas administratif‖
sepertinya aneh. Hal ini mungkin disebabkan oleh penyalahgunaan kriteria ―kapasitas
administratif‖ selama masa Orde Baru (di mana kapasitas administratif cenderung
digunakan sebagai dalih untuk menunda desentralisasi), tetapi kemungkinan besar
hilangnya konsep tersebut tidak dilakukan dengan sengaja, atau semata-mata karena
kelalaian. Dengan mempertimbangkan pembagian urusan di Indonesia yang cenderung
seragam, dengan beragamnya tingkat kapasitas, maka ketiadaan kriteria ini mungkin perlu
ditinjau kembali. Karena sepertinya tidak masuk akal untuk mengharapkan Kabupaten
Supiori di Papua (dengan populasi 12.500 jiwa) untuk melaksanakan urusan yang sama
dengan Kabupaten Bogor (populasi 4 juta).
Karakteristik lain dari pengalaman yang ada di Indonesia adalah kurangnya dokumentasi
(sehingga mengakibatkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas) dalam penerapan
kriteria-kriteria di atas. Meskipun berbagai acara pertemuan diadakan dengan melibatkan
pemerintah dan pihak-pihak luar, keputusan akhir tidak dilengkapi dengan alasan yang
jelas. Untuk sebagian besar urusan, hal ini tidak menjadi masalah karena banyak orang
dengan sendirinya memahami mengapa sebagian urusan tetap dipertahankan oleh
pemerintah pusat (misalnya kebijakan luar negeri, tenaga nuklir, penetapan standar
pelayanan dasar) dan mengapa sebagian urusan harus berada di tangan kabupaten/kota
(pendidikan dasar dan perawatan kesehatan dasar). Tetapi untuk beberapa urusan
―antara‖/yang diperebutkan, mungkin akan sangat bermanfaat jika pembahasan dan
pemikiran yang menghasilkan keputusan tersebut di dokumentasikan.
Usulan Tindak Lanjut
☞ Mungkin sebaiknya kriteria pembagian urusan perlku disesuaikan agar dapat lebih
menjelaskan akuntabilitas dan mencakup ―kapasitas administratif‖.
☞ Dalam penerapan kriteria di masa mendatang, mungkin sebaiknya disediakan
dokumentasi dari keputusan-keputusan yang dibuat dan menyediakan data ini kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
19
Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (2007). Operator Secara Umum Mendukung dan Menyambut Positif
Gubsu: Seluruh Operator Sudah Harus Sesuaikan Diri dengan ―Menara Bersama‖, Jumat, 02 November.
http://www.sumutprov.go.id/lengkap.php?id=134
pemerintah kabupaten/kota – sekali lagi, tidak ada catatan ataupun notulen pembahasan
yang dapat menjelaskan eksternalitas yang dihadapi. Pada praktiknya, setidaknya seorang
gubernur (Sumatera Utara19
) telah mengambil inisiatif untuk mengarahkan sektor swasta
dalam menentukan lokasi/pembagian menara-menara tersebut. Di Kanada, pemerintah
tingkat federal-lah yang menyetujui pendirian menara-menara komunikasi.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 28
6. Urusan konkuren Praktik internasional
Prinsip pembagian urusan yang bersifat konkuren dapat mengacu pada dua situasi yang
berbeda:
1. Salah satu urusan dapat dilaksanakan oleh lebih dari satu tingkat pemerintahan
secara simultan (misalnya daftar urusan konkuren untuk tingkat federal dan negara
bagian di Malaysia dan India).
2. Salah satu urusan dapat diambil oleh suatu tingkat pemerintahan jika urusan tersebut
belum diambil oleh tingkat pemerintahan yang lain atau tidak melanggar
kepentingan tingkat pemerintahan yang lain (biasanya tingkat yang lebih tinggi;
misalnya pertanian dan imigrasi dalam daftar konstitusional propinsi-federal
Kanada).
Konteks yang pertama adalah pendekatan yang cukup umum yang mencakup sebagian
dari seluruh urusan pemerintahan, biasanya sebagian kecil sampai sedang. Terlalu banyak
konkurensi dianggap dapat menimbulkan kesulitan dalam menentukan peranan dan
pertanggungjawaban.
Dalam konteks yang kedua, konkurensi membuka ―peluang‖ untuk melaksanakan suatu
urusan daripada menjalankan urusan secara bersama-sama. Biasanya, tingkat pemerintah
yang lebih rendah diperbolehkan untuk mengambil suatu urusan jika tingkat yang lebih
tinggi belum mengaturnya dengan cara yang menghalangi tingkat yang lebih rendah untuk
mengambilnya. Masih diperdebatkan apakah pengambilan urusan yang bersifat sementara
dan dikerjakan oleh kedua tingkatan (namun secara berurutan) dapat disebut ―konkuren‖.
Jika mekanisme ini memberikan perlindungan kepada pemerintah yang tingkatnya lebih
rendah untuk mempertahankan posisinya ketika pemerintah tersebut adalah yang pertama
menguasai urusan maka pada dasarnya ini sama dengan ―hak inisiatif‖ (lihat Pasal 9 dalam
bab ini).
Status di Indonesia
Indonesia mempunyai definisi sendiri mengenai urusan-urusan konkuren. Istilah konkuren
ternyata dipergunakan untuk menggambarkan prinsip yang lebih luas – selain dari
sejumlah urusan yang merupakan wewenang ekslusif pemerintah pusat, maka semua
urusan lain (maksudnya di sini ―sektor‖ atau ―urusan yang sangat luas‖) ―dibagi-bagikan‖
dalam arti bahwa ada bagian-bagian yang diserahkan kepada pemerintah pusat dan ada
yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemahaman ini, dan cara perumusan secara
khusu pemahaman ini, memiliki beberapa kekurangan antara lain:
Arti konkuren di Indonesia adalah sekedar cara lain untuk menegaskan prinsip yang
eksklusif (―kelima urusan ini hanya dimiliki oleh pemerintah pusat dan sisanya dibagi-
bagikan - yaitu merupakan urusan konkuren‖). Dalam pengertian ini, konkuren
mempunyai makna yang tidak terlalu signifikan.
Arti yang diberikan kepada konkuren di Indonesia menimbulkan kebingungan karena
bertentangan dengan penggunaan internasional yang lazim – di Indonesia konkuren
berarti akan ada pembagian urusan tertentu yang lebih mendetail di antara beberapa
tingkat, bukan dipegang secara simultan oleh berbagai tingkatan.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 29
Penerapan konsep ini terganggu oleh kecenderungan untuk melihat urusan secara luas
yang terdiri bagian-bagian yang dapat ditempatkan di semua tingkat (pusat, propinsi,
kabupaten/ kota) – kemungkinan demikian memang wajar untuk urusan seluas ―sektor‖
tetapi tidak selalu demikian bila urusan didefinisikan secara lebih sempit.
Perujukan ―Urusan konkuren‖ pada beberapa bagian dalam daftar PP Nomor 38 Tahun
2007 tidak jelas (lihat bagian 3 ―Otonomi Daerah‖. Administrasi Keuangan Daerah (8)).
Ironisnya, ketika perumusan urusan wajib dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 di mana
daftar untuk propinsi dan kabupaten/kota sama persis, menunjukkan persepsi klasik
mengenai urusan konkuren; semua tingkat dapat melaksanakan urusan konkuren. Namun,
peraturan pelaksanaannya memperlihatkan bahwa sebenarnya bukan itu maksudnya –
makna konkuren hanya dilihat sebagai indikasi bahwa suatu sektor atau urusan yang luas
dapat dibagi-bagikan antar tingkatan pemerintahan; bagian-bagian tersebut tidak dimiliki
bersama.
Apakah urusan-urusan ini dimaksudkan bersifat konkuren?
Dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, beberapa urusan di tingkat propinsi dan kabupaten telah disusun
dengan formulasi yang persis sama. Misalnya, kutipan dari lampiran Pekerjaan Umum:
Pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria
(NSPK). [perumusan digunakan untuk tingkat propinsi maupun kabupaten/kota]
Dalam kasus-kasus lain, perbedaan urusan antara kedua tingkat tersebut sulit untuk dipahami:
Penyediaan air minum di daerah-daerah yang ditimpa bencana alam atau kekeringan pada skala
propinsi
Penyediaan air minum di daerah-daerah yang ditimpa bencana alam atau kekeringan pada skala
kabupaten/kota
Dalam kasus kedua, sulit untuk melihat bagaimana kedua tingkat pemerintahan tersebut sama-
sama terlibat. Mungkin mereka terlibat namun dengan peranan yang berbeda.
Belum dapat dipastikan apakah Indonesia ingin mengadopsi makna konkurensi
internasional. PP Nomor 38 Tahun 2007 mencantumkan beberapa urusan yang
penjelasannya persis sama untuk tingkat propinsi dan kabupaten/kota (lihat kotak di atas).
Karena tidak ada pengantar atau ketentuan utama yang menjelaskan apakah hal ini
merupakan salah satu segi dari tatanan pembagian urusan, maka jawaban untuk pertanyaan
diawal paragraf ini masih belum terjawab. Wacana resmi juga tidak dapat banyak
membantu dalam menjawab pertanyaan ini karena dibutuhkan pemahaman mengenai
makna internasional dari istilah ini. Beberapa pakar memang memiliki pemahaman yang
cukup mendalam, misalnya Profesor Bhenyamin Hoessein dan Profesor Eko Prasojo
pernah menyatakan bahwa urusan konkuren dapat menciptakan duplikasi (bilamana
urusan dianggap menarik) atau kevakuman (bilamana urusan dianggap membebani secara
keuangan).20
Upaya revisi untuk menangani dampak yang semakin meluaas dari kejanggalan ini, istilah
―konkuren‖ diganti dengan istilah ―bersama‖. Pilihan kata ini menekankan prinsip yang
dianut oleh para pejabat Kemendagri bahwa tidak ada urusan pemda yang ―independen‖.
Peru bahan tersebut masih tidak menjelaskan apakah urusan tertentu (spesifik) harus
dilaksanakan hanya oleh satu tingkat pemerintahan, atau apakah urusan tersebut
20
Hoessein, Bhenyamin dan Prasojo, Eko (2007), Konsep Pembagian Kewenangan (Urusan) Antar Tingkat
Pemerintahan, disebarluaskan pada sesi Kemendagri untuk revisi UU Nomor 32 Tahun 2004, Oktober 2007.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 30
dilaksanakan oleh lebih dari satu tingkat ―secara konkuren‖ (terlaksana atau terjadi pada
waktu yang sama).21
Usulan Tindak Lanjut
☞ Dua opsi dapat dipertimbangkan:
o Opsi A: Menerapkan urusan konkuren sesuai dengan praktik internasional, bila
diperlukan. Namun, tampaknya belum ada kebutuhan atau permintaan untuk
melakukan hal ini.
o Opsi B: Jika urusan konkuren, menurut praktik internasional, dianggap tidak
sesuai, maka sebaiknya istilah ‗urusan konkuren‘ dihapuskan saja (demikian
juga dengan istilah ―urusan bersama‖). Tindakan ini tidak akan mempengaruhi
bagian-bagian yang lain dari kerangka hukumnya dan akan membantu mencegah
kebingungan.
☞ Jika pemikiran bahwa tidak ada urusan ―independen‖ di tingkat daerah dianggap
perlu dipertahankan, maka hal ini dapat dilakukan dengan cara lain, misalnya dalam
pembukaan pasal tentang penjelasan peraturan pemerintah.
Mungkin ada baiknya jika pada proses merumuskan ‗urusan konkuren‘ agar istilah dan
konsepnya dapat selaras dengan yang berlaku secara internasional, diadakan serangkaian
diskusi yang melibatkan para stakeholder Indonesia (terutama kalangan akademisi) dengan
lembaga donor. Sehingga para stakeholder Indonesia dapat menilai apakah istilah yang
digunakan dan konsep yang diterapkan untuk ‗urusan konkuren‘ sudah sesuai dengan
kondisi Indonesia.
7. Formulasi urusan
Praktik internasional
Terdapat berbagai rumusan dalam daftar-daftar urusan yang diadopsi di seluruh dunia.
Beberapa prinsip yang dapat diambil dari konstruksi dan pengalaman penerapannya,
antara lain:
Mengetahui kapan urusan-urusan perlu dibagi-bagikan; untuk menghindari konkurensi
yang tidak diinginkan atau memberikan bagian-bagian urusan yang tidak cocok kepada
tingkat pemerintahan bersangkutan;
Meskipun demikian, sebisa mungkin mempertahankan urusan tetap utuh (tambahkan
sejumlah perkecualian jika hal ini dapat membantu mempertahankan agar rumusan tetap
utuh);
Menghindari menyamakan urusan-urusan dengan ―proyek‖ — ‗urusan‘ adalah mandat
dasar dan stabil yang menghasilkan proyek/program yang banyak berubah dari waktu ke
waktu;
Menghindari membatasi wewenang berdasarkan nilai proyek/ kegiatan; pengadaan
(procurement) harus dikemas dengan fungsi substantifnya;
Urusan yang bersifat pengelolaan hendaknya bersifat implisit atau digunakan sebagai
rujukan global;
21
Definisi ―konkuren‖ dalam kamus online Merriam Webster, http://m-w.com/dictionary/concurrent
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 31
Menghindari penggunaan istilah ―skala‖ atau bahkan ―tingkat‖ karena istilah-istilah ini
dapat menimbulkan beragam penafsiran, atau tidak menambahkan informasi apapun;
Urusan-urusan hendaknya bukan sekadar cerminan mandat organisasi yang ada
sebelumnya.
Dengan menjaga urusan-urusan tetap utuh, pemerintah akan lebih mudah bertanggung
jawab dan menjadi efisien (misalnya belanja modal dan pemeliharaan seimbang), dan
daftar urusan akan lebih mudah dipahami. Kemudahan untuk dipahami dapat ditingkatkan
jika norma/standar dan peran pengawasan dibuat menyeluruh untuk semua urusan terkait
daripada menyusunnya untuk setiap urusan ―substantif‖ yang kecil.
Contoh penggunaan yang aman dari kata “skala”/ “tingkat”
―Penangkapan ikan dalam yurisdiksi pemerintah kabupaten‖ di mana ini telah disebutkan di bagian
lain.
―Penyediaan bandara yang berskala kotamadya‖ di mana ketentuan sebelumnya telah disebutkan
mengenai bandara mana yang berskala tersebut (berdasarkan lokasi fasilitas dan daerah
tujuan/status).
―Jalan yang berskala propinsi‖ di mana istilah teknis ini telah umum dan dipahami secara luas
(misalnya jalan arteri yang menghubungkan ibukota-ibukota kabupaten).
Perbedaan antara tingkat-tingkat dapat digunakan sebagai ―skala‖ tetapi umumnya jika
dimensi skalanya telah ―distandarisasi‖. Istilah skala hendaknya tidak digunakan untuk
membedakan urusan-urusan yang berkaitan dengan kelompok-kelompok sasaran yang
berbeda. Misalnya, jika penempatan staf ahli menjadi urusan tingkat propinsi dengan
lingkup ―skala propinsi‖, maka hal ini akan menimbulkan dua kemungkinan interpretasi:
menyangkut semua staf di semua tingkat sampai tingkat propinsi, atau hanya menyangkut
staff dari propinsi tertentu.
Urusan dan institusi seringkali dicampur-adukkan atau dikacaukan. Institusi harus
mengikuti urusan; mencerminkan cara-cara pelaksanaan urusan yang praktis/efisien.
Kurang tepat untuk memulai dari struktur tingkat pusat, membekukan mandat yang ada
dan kemudian maju ke tugas mencari urusan yang sesuai untuk SNG yang lebih
berorientasi pada implementasi. Pendekatan ini tentu menimbulkan inefisiensi akibat
struktur tingkat pusat yang terlalu besar dan peningkatan peran/fungsi SNG yang tumpang
tindih atau diragukan.
Status di Indonesia
Penggunaan kata ―skala‖ sebagai istilah untuk penjelasan terlalu banyak ditemukan dalam
PP 38/2007. Misalnya, di sektor kesehatan, mungkin cocok untuk menyatakan bahwa
propinsi maupun kabupaten/kota mengadakan surveilans terhadap penyakit menular
menurut skala; surveilans dapat dilakukan pada umumnya di tingkat kabupaten/kota
dengan protokol yang distandarisasi ketika intervensi tingkat propinsi dilakukan –
biasanya dalam situasi darurat. Namun, model ini mungkin tidak berguna untuk sejumlah
masalah lain; misalnya dalam surveilans kekurangan gizi. Dalam hal ini, kabupaten
berupaya untuk waspada terhadap ancaman kekurangan gizi dan secara mandiri
mempunyai sarana untuk menyelesaikan masalah ini tanpa menyertakan peranan
propinsi—yang dapat menciptakan duplikasi karena hampir tidak ada keuntungan dengan
melihat tantangan ini sebagai berskala propinsi dan menanganinya dengan cara yang
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 32
berbeda/melengkapi di tingkat tersebut (tidak seperti untuk penyakit-penyakit menular
yang mewabah dengan cepat di mana koordinasi yang tepat waktu oleh propinsi di antara
kabupaten-kabupaten dapat sangat berguna).
PP 38/2007 dikatakan, oleh para pejabat pemerintah sendiri, sesuai dengan kebutuhan
organisasi, dalam arti bahwa organisasi kementerian sektoral yang turun sampai ke tingkat
direktorat atau lebih rendah, berupaya melihat mandatnya tercermin dalam daftar
pemerintah pusat, dan kemudian dalam daftar pemerintah daerah agar dapat menyerahkan
tugas-tugasnya ke daerah-daerah. Sampai pada taraf ini, daftar yang terlalu terperinci
dihasilkan; daftar yang mungkin berisi urusan-urusan yang tidak perlu lagi atau yang tidak
harus lagi mencantumkan komponen tingkat pusat; atau daftar yang berisi urusan/tugas
duplikat di tingkat daerah hanya untuk ―mengimbangi‖ unit-unit di tingkat pusat.
Dalam revisi UU 32/2004, tim revisi berupaya membuat daftar yang lebih sederhana dan
secara konseptual menggunakan urusan-urusan sebagai titik tolak, bukan mandat
organisasi yang lama dan terlalu terperinci (tugas pokok dan fungsi/tupoksi). Maka,
beberapa daftar sektoral telah dipadatkan untuk memperlihatkan bagaimana hal ini dapat
dilakukan. Tampaknya ini terlihat sebagai fokus dari tim revisi, berkaitan dengan
pembagian urusan. Meskipun penting untuk memperbaiki formulasi daftar-daftar ini, yang
pertama harus disepakati adalah bahwa PP 38/2007 akan direvisi, atau diganti dengan
peraturan perundang-undangan yang berbeda mengenai urusan-urusan. Dan
kerangka/arsitektur yang lebih besar yang menjadi wadah bagi instrumen pengganti
tersebut juga harus dipersiapkan (misalnya azas pemerintahan, kompetensi umum vs ultra
vires, wajib vs pilihan).
Usulan Tindak Lanjut
☞ Perspektif jangka panjang mungkin diperlukan untuk meningkatkan kapasitas
individu/unit dalam lingkungan Kemendagri yang bertugas untuk mempromosikan
praktik-praktik yang baik di bidang pembagian urusan, khususnya dalam
merumuskan urusan-urusan (termasuk menerapkan kriteria, memilih azas
pemerintahan, membagi-bagikan urusan dan menyederhanakan urusan-urusan yang
ada). Ini dapat terdiri dari:
o Mengidentifikasi individu-individu yang berpotensi memainkan peran yang lebih
besar dan memberi mereka dukungan yang spesifik;
o Meningkatkan jaringan kerja di lingkungan Kemendagri yang dapat dimanfaatkan
untuk mempromosikan praktik-praktik yang baik;
o Bekerja langsung dengan departemen-departemen sektoral untuk meningkatkan
kapasitas dalam merumuskan urusan-urusan.
Para donor telah memberikan dukungan yang terbatas dalam penyusunan PP 25/2000, dan
bantuan difokuskan pada kementerian yang bertanggung jawab atas reformasi
administrasi. Sampai saat ini, belum ada rencana dukungan lebih lanjut. Pengalaman yang
didapatkan dari penyusunan kerangka tahun 2000 dapat berguna dalam orientasi untuk
jangka yang lebih panjang seperti yang diperlihatkan di atas.
8. Urusan wajib/standar pelayanan minimum
Praktik internasional
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 33
Wajar diakui bahwa terdapat berbagai jenis praktik di bidang pembagian urusan
internasional. Namun berbagai pola juga nampak. Banyak negara mempunyai
kebijakan/kerangka hukum yang menekankan atau mewajibkan beberapa urusan pada
SNG. Untuk urusan seperti ini, terutama yang diterapkan dalam rangka pelayanan dasar,
norma-norma/standar-standar ditetapkan (seringkali melalui instrumen sektoral; peraturan
perundang-undangan) untuk menentukan kinerja yang diharapkan dari SNG. Kedudukan
dan tingkat pelaksanaan standar-standar ini sangat bervariasi dari segi hukum dan praktik.
Salah satu aspek yang menimbulkan konsern dalam menerapkan standar pelayanan
minimum adalah kecukupan dana untuk memenuhi standar pelayanan minimum – yaitu,
bagaimana menghindari mandat-mandat yang tidak didanai.
Konsern lain yang terkait dengan penerapan urusan wajib adalah bagaimana pemerintah
daerah diberikan keleluasaan yang cukup – agar pemerintah daerah mempunyai tingkat
otonomi yang signifikan. Ini dapat dicapai dengan menyusun secara cermat harapan-
harapan kinerja atas urusan-urusan wajib (misalnya sedapat mungkin berorientasi pada
output dan bukan input/penetapan tingkat pengeluaran) dan dengan memperbolehkan
pemerintah daerah menjalankan juga urusan-urusan yang bersifat kedaerahan yang dinilai
layak dan dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah berdasarkan sumber daya yang
dimilikinya.
Status di Indonesia
Sejak pertama kali diperkenalkan dalam kerangka tahun 1999, urusan wajib (UW) dan
Standar Pelayanan Minimum (MSS) telah dijabarkan dan disosialisasikan. Ketentuan-
ketentuan mengenai Standar Pelayanan Minimum (SPM) sekarang telah dicantumkan
secara lengkap dalam kerangka perundang-undangan (untuk perencanaan, penganggaran,
pemantauan dan evaluasi, dan laporan pertanggungjawaban). Secara khusus, PP 65/2005
menjadi pilar yang kuat untuk kerangka SPM, penopang yang masih dalam tahap
pemberlakuan melalui peraturan-peraturan di bawahnya. Sebuah ―Tim Konsultasi‖ antar
kementerian telah dibentuk untuk mengkaji usulan-usulan sektoral dalam menetapkan
SPM; tinjauan yang mereka lakukan akan dicantumkan dalam rekomendasi Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Jika rekomendasi DPOD mendapatkan dukungan
maka para menteri menindaklanjutinya dengan surat keputusan untuk menetapkan SPM.
Tim Konsultasi telah mengadakan rapat22
namun belum membahas usulan-usulan
(proposal) dan baru berfungsi secara penuh di awal tahun 2008 (ketika Kemendagri telah
selesai membuat anggaran operasionalnya).
Kemendagri melaporkan bahwa tujuh departemen/lembaga telah mengajukan usulan
urusan wajib/SPM (termasuk bidang kesehatan dan lingkungan, yang mendapatkan
perhatian dari Tim Konsultasi di akhir tahun 2007). Draft daftar yang telah disusun
sebelumnya menyingkapkan berbagai pemahaman atau pandangan tentang UW/MSS.
Departemen Kesehatan menganggap daftar usulan UW/SPM siap untuk ditinjau dan
merupakan perbaikan dari daftar sebelumnya. Depkes telah melaksanakan pemeriksaan
data secara sampel dan penghitungan biaya untuk memperbaiki daftarnya (lebih
disederhanakan agar SPM layak dan terjangkau menurut pandangannya).
22
Tim Konsultasi bertemu dalam sebuah breakfast meeting yang difasilitasi oleh GTZ-ASSD pada tanggal
28 November 2007. Tiga anggota berEselon I dan beberapa anggota berEselon II/III (Tim Teknis) ikut
dalam pertemuan; pertemuan ini cukup berhasil namun kerja keras untuk memfasilitasi/mengkaji usulan-
usulan sektoral masih menunggu.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 34
Pandangan Departemen Pendidikan tentang UW/SPM
Tidak ada sifat mendesak dari Departemen Pendidikan untuk mengajukan SPM karena mereka
menganggap bahwa prioritas departemen adalah menyusun standar pendidikan yang lebih besar
yang berasal dari Undang-Undang No. 20 tentang Pendidikan Nasional. Selain itu, standar
pendidikan ini tampaknya dapat dicapai hanya jika pemerintah pusat/daerah meningkatkan
anggaran pendidikan dari 12% menjadi 20% sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Dasar. Departemen Pendidikan khususnya ingin mendorong kemandirian unit-unit pelaksana
(sekolah) dan mengharapkan peningkatan dana alokasi khusus (DAK) dan dana dekonsentrasi
yang langsung ditransfer ke sekolah-sekolah. Tantangan yang dihadapi Departemen Pendidikan
adalah meminta agar daerah mengerti peran fasilitatif bersama (dengan Pemerintah Pusat) di
bidang pendidikan, dengan mengatasi kesalahpahaman yang menimbulkan tuntutan yang tidak
masuk akal untuk mendapatkan otonomi (misalnya penolakan ujian nasional oleh Sumatera Utara).
Departemen Pendidikan menyatakan bahwa ia tidak akan mengajukan daftar sampai tahun
2008, dan sikapnya ini memperlihatkan bahwa Departemen Pendidikan menganggap
standar pendidikan nasional yang lebih luas sebagai prioritasnya. Sikap ini merupakan
bagian dari pandangan yang lebih luas mengenai otonomi seperti yang terlihat dari sudut
pandang Departemen Pendidikan (lihat kotak di atas) yang memperlihatkan bahwa masih
banyak pembahasan dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan pandangan dan pendekatan
terhadap peran dan kinerja pemerintah daerah.
Agenda Departemen Kesehatan untuk SPM
Depkes bermaksud memetakan kapasitas pemerintah daerah di bidang sistem data, perhitungan
biaya, perencanaan dan penganggaran dengan lebih terperinci dan mengembangkan tanggapan
yang cocok terhadap apa yang akan menjadi kebutuhan-kebutuhan yang sangat berbeda di antara
daerah-daerah dalam penerapan SPM. Perangkat lunak sedang dikembangkan untuk membantu
daerah-daerah dalam melaksanakan perhitungan biaya untuk mengatasi kesenjangan SPM.
Perhatian khusus akan diberikan kepada daerah-daerah yang sangat lemah, misalnya Papua, namun
pendekatan yang tepat masih belum disusun – fleksibilitas dalam mencapai SPM diakui penting
dalam hal ini. Untuk semua daerah, Depkes berniat mendukung, bukan menghukum.
Bagi departemen-departemen yang mendapatkan persetujuan DPOD untuk daftar SPM
yang mereka ajukan, maka selanjutnya dibutuhkan upaya yang besar untuk
memberlakukan SPM dalam kegiatan perencanaan, penganggaran dan pemantauan
pemerintah daerah. Niat Depkes dituangkan dalam kotak di atas. Kemendagri juga
berharap dapat meningkatkan kegiatan sosialisasi namun pendekatan dan anggaran untuk
tahun 2008 masih disusun dan belum dapat diserahkan kepada Konsultan.
Untuk standar yang dikembangkan secara konsisten dan disetujui di semua sektor maka
proposal harus mengikuti pedoman yang terdapat dalam PP 65/2006, khususnya hubungan
SPM dengan urusan wajib yang berorientasi pada pelayanan dasar. Dengan adanya PP
38/2007, maka dapat disampaikan hal-hal berikut ini sehubungan dengan UW/SPM:
Urusan wajib dalam PP 38/2007 hanya terikat pada pelayanan dasar (Pasal 7(1)),
sehingga tampaknya menghapuskan kemungkinan urusan wajib yang bukan merupakan
pelayanan dasar.
Pasal 7(2) bertentangan dengan ketentuan sebelumnya karena menyusun sektor-
sektor/urusan-urusan yang bukan pelayanan dasar dari segala aspek (misalnya persatuan
bangsa dan politik).
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 35
Isi dari PP 38/2007 menyusun Urusan Wajib yang bersifat sektor, dengan demikian
meneruskan kelemahan dalam UU 32/2004 mengenai hal ini.
PP 38/2007 tidak mengatur ―penanaman modal daerah‖ – undang-undang khusus urusan
ini akan mengaturnya. Tidak diberikan penjelasan atas perkecualian ini (sebenarnya
arsitektur ini lebih baik- semua undang-undang ―sektoral‖ perlu diselaraskan dengan
pembagian urusan yang diputuskan secara politis).
Sektor-sektor yang tercantum dalam bagian utama PP 38/2007 tidak dibedakan menurut
sifat wajib atau pilihan.
PP 38/2007 tidak dapat memantapkan hubungan UW - SPM. Daftar di bidang kesehatan
dalam peraturan ini cukup berbeda dengan daftar yang mengatur UW/SPM – yang
sekarang ada di hadapan Tim Konsultasi.
Tantangan utama saat ini di bidang SPM adalah menyetujui SPM yang dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan relevansi, kemampuan untuk ditelusuri
(data/pelaporan), dan keterjangkauannya. Belum ada keputusan mengenai metode
pembiayaan; apakah keuangan daerah saat ini akan menutupi biaya-biayanya, atau apakah
ada sumber daya tambahan yang berasal dari tingkat pusat – dan bagaimana tata kerjanya.
Salah satu kemungkinan adalah peningkatan DAK karena seharusnya diperbesar dengan
adanya pengalihan dari dana dekonsentrasi. Dana dari donor dapat melengkapi dana-dana
ini. Kemungkinan untuk menyusun norma-norma pengeluaran SPM dalam DAU telah
diusulkan tetapi sejauh ini hampir tidak ada penjajakan. Meskipun beberapa departemen
mengharapkan kelanjutan/peningkatan dana dekonsentrasi, hal ini merupakan arah
kemunduran – SPM seharusnya tidak menjadi dalih para departemen sektoral untuk
mempertahankan atau meningkatkan dana dekonsentrasi, yang didasarkan atas pemikiran
yang salah bahwa SPM paling baik kalau dicapai melalui investasi yang langsung
diarahkan oleh pusat.
Usulan Tindak Lanjut
☞ Tampaknya perlu meninjau kembali dasar konseptual urusan wajib dan urusan
pilihan:
o Mengubah konsep dari definisi yang berbasis sektoral
o Menghapuskan pembatasan ―pelayanan dasar‖ untuk urusan-urusan wajib.
o Menyusun daftar yang hanya terdiri dari urusan-urusan wajib dan memperlakukan
urusan-urusan pilihan secara terpisah (lihat Bab 9)
o Menyesuaikan pendekatan norma dan standar yang mencerminkan sifat urusan
wajib (misalnya pelayanan dasar versus kegiatan pemda lainnya).
☞ Penting bagi lembaga-lembaga sektoral untuk menyusun proposal yang kuat kepada
Tim Konsultasi/DPOD dari segi pertanggungjawaban berdasarkan kemampuan SPM
untuk ditelusuri, kapasitas administratif dan keterjangkauan. Khususnya, perhatian
perlu diberikan kepada penghitungan biaya SPM yang mencerminkan
kebutuhan/norma pengeluaran pada transfer dari pusat dengan cara-cara yang
mendorong pemerintah daerah menggunakan sumber daya keuangannya untuk
mengatasi kesenjangan SPM. Setidaknya, skema pembiayaan jangan sampai
menciptakan insentif-insentif yang berlawanan di tingkat daerah (yaitu ―semakin
banyak kesenjangan SPM berarti semakin banyak transfernya‖).
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 36
☞ Tujuan dari beberapa menteri untuk mengembangkan peningkatan kapasitas yang
signifikan terkait dengan penerapan SPM layak mendapatkan dukungan dari donor.
Ini membutuhkan:
o Pembinaan dari Kemendagri dan departemen-departemen mengenai penerapan
SPM yang sesuai dengan peraturan-peraturan pengelolaan keuangan.
o Peningkatan upaya untuk mencapai semua kabupaten/kota secara merata dengan
dukungan teknis/pelatihan melalui saluran-saluran/pendekatan-pendekatan
pelayanan yang terlembaga.
o Penyesuaian atau intensifikasi proyek daerah yang mendapatkan dukungan donor
(LGSP, ALGAP, GLG, dan sebagainya).
o Penyelarasan proyek-proyek investasi sektoral relevan yang didanai donor dengan
penempatan OF/MSS.
☞ Dukungan juga dibutuhkan di tingkat pusat, terutama di bidang pembiayaan (lihat
Pasal 4). Pada tahun 2008, kemungkinan terdapat kebutuhan dan permintaan bantuan
teknis dari proyek-proyek donor yang saat ini dilibatkan dalam pengembangan
kebijakan dan desentralisasi untuk membantu menyusun proposal-proposal yang kuat
kepada Tim Konsultasi/DPOD. Para donor mungkin dapat mempertimbangkan suatu
pembagian tugas agar upaya GTZ-ASSD (yang diarahkan pada DDN) dilengkapi
dengan dukungan kepada instansi sektoral.
☞ Dengan ditandatanganinya Memorandum Kesepahaman DSF-Pemerintah RI baru-
baru ini, maka kelompok kerja SPM dapat diresmikan. Kelompok kerja ini tadinya
dibentuk di bawah Sekretariat Tetap Kelompok Kerja Gabungan Desentralisasi.
Kelompok kerja ini dapat membantu donor untuk mendukung berbagai partner dan
daerah dengan cara yang harmonis dan disesuaikan (aligned).
Dukungan donor dalam urusan wajib terutama disediakan pada saat dimulainya
pembahasan tentang SPM. Sebagian dukungan disediakan selama proses revisi undang-
undang yang melahirkan UU 32/2004, tetapi sebagian besar input donor untuk tujuan ini
tidak dimanfaatkan. Sedikitnya sudah dua tahun tidak ada bantuan donor di bidang
pembagian urusan diartikan secara lebih luas.
Sejumlah donor telah mendukung upaya Pemerintah RI di bidang SPM sejak tahun 2002.
Ada juga donor yang bekerja di tingkat daerah untuk membantu pemerintah daerah
mengunakan SPM dalam proses perencanaan/ penganggaran. GTZ terlibat di tingkat pusat
dan demikian pula sesekali juga USAID-LGSP dan CIDA-GRSII. Efektivitas bantuan dari
mereka terganggu oleh kurangnya koordinasi Pemerintah Indonesia.
9. Urusan pilihan/hak inisiatif
Praktik internasional
Jika suatu negara memilih untuk menetapkan urusan wajib untuk SNG, maka pilihan ini
memperlihatkan bahwa kesempatan harus diberikan kepada SNG untuk melakukan
kegiatan-kegiatan lain di luar kegiatan yang ditetapkan sebagai urusan wajib. Apa yang
murni dilakukan berdasarkan inisiatif SNG dapat disebut sebagai urusan pilihan; urusan
pilihan yang menjadi pelengkap bagi urusan wajib ini akan meningkatkan otonomi daerah
mengingat urusan wajib agak membatasi diskresi daerah (tingkat pembatasan bergantung
pada tingkat dan sifat harapan kinerja yang dilekatkan pada urusan wajib).
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 37
Berbagai negara telah menggunakan urusan pilihan, secara eksplisit maupun implisit.
Misalnya, Kamboja pada prinsipnya mengizinkan komune untuk melaksanakan urusan-
urusan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan jika urusan-urusan ini
diusulkan terlebih dahulu dan disetujui oleh lembaga tingkat pusat—ini adalah bentuk
kebijaksanaan tingkat daerah yang kurang lazim dan mengingkari formulasi urusan
komune berbasis general competence. Di beberapa negara, arsitektur urusan mencakup
ketentuan yang dapat disebut ―hak inisiatif‖; hal ini khususnya berguna untuk melengkapi
daftar positif yang bersifat wajib (secara eksplisit atau sebaliknya), yang dapat
menimbulkan sikap membatasi diri yang berlebihan di pihak pemerintah daerah.
Ketentuan mengenai ―hak inisiatif‖ ini mendorong SNG melakukan kegiatan-kegiatan
yang tidak dijabarkan dalam daftar positif. Filipina adalah salah satu negara yang
menganut konstruksi ini.
Beberapa negara lebih memilih untuk menyusun urusan pilihan, membuka formulasi
dengan istilah-istilah seperti ―mungkin‖, ―dapat‖ atau kata-kata kewajiban yang lembut
seperti ―sampai pada taraf ketika dana tersedia‖. Keuntungan dari menyusun daftar ini
adalah bahwa daftar tersebut memperluas ruang lingkup SNG untuk bertindak. Namun
bahayanya adalah bahwa daftar tersebut juga dianggap sebagai bagian dari konstruksi
ultra vires – tidak ada hal lain di luar apa yang ―mungkin‖ dilakukan akan dianggap
memungkinkan. Selain itu, istilah ―mungkin‖ dapat memaksudkan cara yang sopan untuk
memperlihatkan apa yang harus dilakukan oleh SNG, bukan pilihan. Untuk menghindari
perangkap ini, lebih baik menetapkan ketentuan hak inisiatif, atau formulasi general
competence (meskipun hal ini biasanya hanya cocok untuk satu tingkat pemerintahan – di
mana sebagian besar pelayanan dasar disediakan).
Perlu diperhatikan bahwa tidak ada urusan pilihan dalam arti mutlak; minimal kegiatan
SNG harus sesuai dengan kerangka hukum yang lebih tinggi (misalnya, tidak
diskriminatif, sesuai dengan KUHP, dan sebagainya). Urusan pilihan adalah urusan yang
jelas bersifat kedaerahan, muncul dari kreativitas dan prioritas SNG dan dilaksanakan jika
sumber dayanya memungkinkan, setelah adanya tekad bulat untuk mengurus usaha inti
dari SNG. Urusan pilihan merupakan prioritas daerah, tetapi tidak menggantikan apa yang
menjadi urusan prioritas tertinggi SNG, yang ditetapkan sebagai urusan wajib SNG.
Dalam konteks pemerintah daerah multilevel, urusan pilihan/ketentuan hak inisiatif
idealnya dilengkapi dengan aturan-aturan untuk memutuskan siapa yang benar-benar
berhak untuk maju dalam suatu kegiatan tertentu jika dua tingkat pemerintahan bersaing
untuk melakukannya. Mungkin terdapat peraturan yang mengizinkan kedua tingkatan
tersebut untuk melaksanakan jenis kegiatan tertentu. Sulit mendapatkan informasi
mengenai pengaturan seperti ini, tetapi praktik-praktik yang baik dapat dibayangkan.
Misalnya, jika pendekatan paralel atau gabungan (konkurensi) tidak praktis maka yang
pertama maju diberikan preferensi, atau jika kegiatan belum dimulai, maka tingkat tertentu
mungkin dapat diberikan prioritas umum (misalnya tingkat pemerintahan yang ditetapkan
sebagai pemerintah daerah yang ―general purpose‖).
Status di Indonesia
Urusan pilihan diperkenalkan dalam Undang-Undang 32/2004, dan ditegaskan kembali
dalam PP 38/2007. Urusan pilihan kurang dijelaskan dengan definisi ―urusan yang ada di
lapangan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sesuai dengan kondisi,
keunikan dan potensi dari daerah yang bersangkutan‖. Urusan pilihan harus ditetapkan
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 38
dalam peraturan pemerintah daerah dalam jangka waktu setahun setelah dikeluarkannya
PP 38/2007, yang memaksa pemerintah daerah untuk membuatnya eksplisit a priori, bukan
kapan mereka akan menentukannya. Peraturan daerah tersebut harus merujuk kepada
lampiran PP 38/2007 yang rupanya menyusun urusan pilihan – secara seragam untuk
semua pemerintah daerah. Hasil-hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:
Definisi urusan pilihan dalam bagian utama undang-undang/peraturan kurang baik;
urusan pilihan dikaitkan dengan sektor-sektor, bukan didefinisikan berdasarkan siapa
yang mengambil inisiatif.
Norma/standar urusan pilihan tidak dibedakan dalam hal apapun dari norma/standar
urusan wajib.
Peraturan-peraturan tidak konsisten sehubungan dengan siapa yang menentukan urusan
pilihan; tampaknya peraturan-peraturan tidak disusun ketika pemerintah daerah ingin
menentukannya.
Jika maksudnya adalah memperbolehkan adanya fleksibilitas/ perluasan otonomi maka
konsepnya mungkin perlu direvisi. Konsepnya harus jelas berfokus pada formulasi ―hak
inisiatif‖. Selain itu, beberapa aturan mungkin perlu disusun untuk menentukan tingkat
propinsi dan kabupaten/kota yang menerima urusan pilihan.
Alasan untuk Urusan Pilihan
Kemendagri khususnya merasa bahwa pemerintah daerah tidak dapat dipercaya untuk membentuk
organisasi sesuai dengan beban kerja yang dituntut untuk menjalankan urusan-urusan. Ancaman
ini semakin nyata bagi sektor-sektor unggulan – sektor ekonomi khususnya. Sebaliknya, sektor-
sektor yang memberikan pelayanan dasar sebagai urusan wajib barangkali tidak memiliki peluang
perilaku yang tidak dapat dipertanggungjawabkan seperti ini. Oleh karena itu, pesan kepada daerah
adalah bahwa daerah harus (lebih) hati-hati dalam membuat pilihan struktur urusan di sektor-
sektor ekonomi – sesuai dengan potensi daerah; ―tidak perlu ada departemen pertanian di suatu
kota‖ adalah ilustrasi yang sering dinyatakan oleh Kemendagri.
Namun tampaknya para pembuat peraturan mungkin telah menggunakan kategori urusan
ini untuk mencegah daerah-daerah menetapkan sendiri struktur organisasi mereka.
Argumen yang mereka kemukakan adalah bahwa mengembangkan organisasi untuk
urusan pilihan dapat menjadi sia-sia karena urusan pilihan bergantung pada keadaan
sebenarnya di daerah – sehingga struktur organisasi bersifat opsional – demikian bunyi
argumen tersebut (lihat kotak di atas).
Argumen yang terfokus pada organisasi ini tidak dikemukakan secara konsisten dalam
kerangka hukum (tentang struktur organisasi), dan hanya menimbulkan kebingungan
dalam pembahasan tentang urusan-urusan.
Karena menimbulkan kebingungan seperti ini maka tampaknya konsep yang ada sekarang
perlu ditahan dulu agar cara-cara lain dapat mendorong penyusunan struktur organisasi23
secara bertanggung jawab. Selanjutnya, pembahasan hendaknya mengarah kepada unsur-
unsur arsitektur yang memperbolehkan campuran antara general competence dan ultra
vires; yaitu, kerangka yang memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan selain yang dituntut dalam urusan wajib.
23
Peraturan Pemerintah 41/2007 baru saja dikeluarkan untuk mengatasi masalah ini.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 39
Tindakan yang diusulkan
☞ Konsep urusan pilihan saat ini perlu dihapuskan karena tidak berhubungan erat
dengan urusan-urusan dan tidak berguna dalam mencegah struktur organisasi yang
berlebihan.
☞ Gagasan urusan pilihan yang lebih diakui secara internasional perlu diupayakan
(misalnya memperkenalkan ―hak inisiatif‖ yang jelas) dengan:
o Mengubahnya dari definisi urusan pilihan yang bersifat sektoral menjadi definisi
yang terkait dengan ruang lingkup dan inisiatif;
o Menghapuskan keharusan bagi tingkat yang lebih tinggi untuk mengakui urusan-
urusan pilihan atau bagi pemerintah daerah untuk menetapkannya a priori;
o Memberlakukan aturan main untuk memastikan keharmonisan antara tingkat-
tingkat yang menjalankan urusan pilihan;
o Menyesuaikan pendekatan norma dan standar yang mencerminkan sifat dari
urusan pilihan (berbeda dengan urusan wajib).
10. Urusan kecamatan Praktik internasional
Pemerintah daerah yang berada pada tingkat lebih tinggi dapat memilih untuk mempunyai
hubungan langsung dengan tingkat di bawahnya atau dapat menengahi hubungan ini
melalui badan/lembaga khusus. Entitas-entitas ini memperluas jangkauan pemerintah
daerah dan bertindak sebagai sumber informasi dan sarana pemersatu. Salah satu contoh
adalah ―wilayah pembangunan‖ administratif yang digunakan dalam hubungannya dengan
pemerintahan daerah di Nigeria.
Status di Indonesia
Sejumlah faktor telah mendorong pembuat kebijakan dan stakeholder untuk mengkaji
kembali peran tingkat kecamatan. Perubahan Camat dari tokoh utama di kecamatan
(bertanggung jawab kepada Presiden) menjadi perangkat daerah kabupaten/kota
mengurangi peran camat tersebut, tetapi hal ini bukan harapan dari masyarakat yang tetap
bertahan pada persepsinya. Tuntutan terhadap Camat meningkat sedangkan wewenangnya
berkurang karena ia tidak lagi berperan sebagai pengawas dan pembina tradisional. Hasil
studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan
dukungan USAID DRSP memperlihatkan bahwa sebagian besar kecamatan sekarang
hanya membuat rekomendasi kepada kabupaten/kota, terutama tentang prosedur catatan
sipil. Studi ini merekomendasi bahwa seyogyanya Camat/kecamatan berperan dalam
perencanaan tata ruang dengan mengkoordinasikan unit-unit pemerintahan dan LSM;
menyediakan pelayanan dasar, menyelesaikan konflik, dan melayani sebagai pusat
informasi24
.
24
PSPPP, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (2007), Temuan sementara studi tentang
Kecamatan, Oktober, USAID-DRSP
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 40
Temuan-temuan awal studi ini mengemukakan kemungkinan bahwa peran tersebut dapat
ditingkatkan dalam konstruksi saat ini, di mana Camat adalah perangkat daerah
kabupaten/kota. Namun, yang penting konstruksi ini agar25
:
- tidak menimbulkan keseragaman; daerah perkotaan hendaknya dapat mengurangi atau
meniadakan kecamatan — daerah pedesaan hendaknya dapat menambah jumlah
kecamatan dan memperkuatnya.
- tidak menghindari kecocokan struktur kecamatan dengan struktur tradisional di daerah-
daerah tersebut bila suatu campuran struktur dikehendaki.
Di manapun letak kecamatan, ada konsensus yang cukup luas bahwa tingkat kecamatan
harus lebih dimanfaatkan, khususnya dalam penyediaan pelayanan26
. Kemungkinan untuk
mendorong pelayanan ke bawah sampai ke tingkat ini diperlihatkan dengan adanya inovasi
pelayanan satu pintu yang mencapai kecamatan Aceh Besar dan Aceh Barat27
, di mana
beberapa jenis izin dapat dikeluarkan, misalnya izin lokasi usaha dan perdagangan.
Beberapa kabupaten telah mengambil langkah-langkah untuk secara formal
mendelegasikan tugas-tugas kepada kecamatan. Namun, formulasi ini seringkali
memaksudkan ―koordinasi‖ atau ―rekomendasi‖; tidak jelas dalam hal ini berapa besar
wewenang yang dimiliki Camat/kecamatan, khususnya dalam hal melaksanakan dan
mengarahkan pemberian pelayanan28
.
Jika konstruksi saat ini akan dipertahankan maka tantangan bagi pembuat kebijakan
tingkat pusat adalah menentukan bagaimana kabupaten/kota dapat didorong untuk
menjajaki berbagai pengaturan dan mendelegasikan pelayanan penting dan tugas-tugas
lain kepada kecamatan. Satu alternatif, sebuah pendekatan yang lebih bersifat sentralistik,
adalah menyerahkan tugas kepada tingkat kecamatan langsung berdasarkan peraturan
pemerintah pusat. Kelemahannya adalah dapat menciptakan pendelegasian tugas yang
seragam ke daerah-daerah yang tidak cocok atau tidak dapat diterapkan.
Tindakan yang diusulkan
☞ Upaya untuk menjelaskan peran kecamatan hendaknya dapat mencapai kesimpulan
pada waktu yang tepat untuk mempengaruhi revisi UU 32/2004. Penting untuk
memastikan apakah benar-benar ada peluang dalam konstruksi saat ini untuk
meningkatkan peran/urusan kecamatan, dengan mempertimbangkan dua opsi utama
(atau opsi-opsi lain) yang tersedia untuk memastikan agar pendelegasian tugas ke
kecamatan dapat bermanfaat. Kedua opsi tersebut adalah:
25
PSP3-IPB (2007). Posisi Institusi Kecamatan dalam Tata Pemerintahan Daerah Sekarang dan Ke Depan
(Isyu Kritikal dan Pelajaran dari Lima Kabupaten Studi) 26
Lihat, misalnya, catatan dari Tim Revisi UU 32/2004 tentang peran kecamatan dan desa, Oktober 2007. 27
AIPRD-LOGICA (2007) Panduan Pelayanan Satu Pintu – Inovasi Pelayanan Administrasi di Kecamatan.
AusAID. 28
Peraturan Bupati Karangasem Nomor 30 Tahun 2004 tentang Uraian Tugas Kecamatan di Kabupaten
Karangasem; Peraturan Bupati Karangasem Nomor 28 Tahun 2005 tentang Pelimpahan Sebagian
Wewenang Bupati kepada Camat untuk Menangani Sebagian Urusan Otonomi Daerah Kabupaten
Karangasem.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 41
o Bimbingan kepada kabupaten/kota (misalnya, model perda) yang memperlihatkan
bagaimana struktur kecamatan dapat disusun dan mandat dapat diberikan melalui
pendelegasian dari kabupaten/kota.
o Daftar minimum urusan kecamatan yang ditetapkan oleh tingkat pusat
☞ Jika pemerintah memilih untuk mempertahankan proses formasi kecamatan yang
sebagian besar berada di bawah pengawasan kabupaten/kota maka perlu
dipertimbangkan untuk menghapuskan ―jumlah minimum kecamatan‖ sebagai salah
satu ketentuan pemekaran wilayah karena penggunaan persyaratan ini dapat
menyebabkan lonjakan jumlah kecamatan daripada yang diperlukan atau aturan yang
lebih ketat mengenai formasi kecamatan dari pemerintah pusat untuk menghindari
kecamatan ―fiktif‖ yang dibentuk hanya untuk mempermudah pemekaran daerah.
Kedua skenario ini tidak diinginkan.
11. Urusan desa
Praktik internasional
Ada beragam cara bagaimana negara-negara memperlakukan tingkat pemerintahan yang
lebih rendah. Mereka dapat menjadi ―otonom‖ atau bergantung pada tingkat SNG yang
lebih tinggi. Kadang-kadang, tingkat-tingkat pemerintahan ini diakui dalam undang-
undang dasar, atau hanya disebutkan sebagai cakupan yurisdiksi yang diserahkan kepada
unit-unit formatif federal (misalnya di Kanada).
Banyak negara harus menghadapi tantangan keragaman luasnya dan kapasitas tingkat desa
(misalnya, komune di Kamboja dapat bervariasi jumlah penduduknya dari 500 sampai
50.000 jiwa). Kesesuaian pembagian urusan desa harus dilihat dari karakteristik desa dan
posisinya dalam sistem administratif politik multi level.
Status di Indonesia
Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyinggung sifat otonomi untuk tingkat desa, dan UU
32/2004 dan PP 72/2005 menetapkan bahwa kabupaten/kota perlu mendelegasikan tugas-
tugas (tugas pembantuan) kepada desa-desa. Hampir tidak ada kemajuan dalam
pendelegasian ini di kebanyakan kabupaten/kota meskipun adanya ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan ini. Di akhir tahun 2006, Kemendagri mengeluarkan
peraturan (Peraturan Menteri No. 30/2006) sesuai dengan ketentuan dalam PP 72/200529
.
Beberapa observasi yang penting mengenai peraturan ini adalah sebagai berikut:
Peraturan ini menyediakan daftar (menu) urusan positif yang dapat ―ditransfer‖ namun
memuat pernyataan yang janggal bahwa semua sektor dapat diserahkan kepada desa
untuk mengatur – hal ini jelas tidak mungkin.
Tidak jelas apakah kabupaten/kota dapat ‗mentransfer‘ urusan atau sebagian urusan
yang bersifat wajib (bagi kabupaten/kota tersebut).
Perbedaan antara urusan ―yang ditransfer‖ dan tugas pembantuan yang diserahkan oleh
kabupaten/kota kurang ditegaskan.
29
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tatacara Penyerahan Urusan
Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Desa.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 42
Dalam rangka revisi UU 32/2004, sebuah Naskah Akademik telah disusun oleh
Kemendagri (PMD) dengan bantuan dari jaringan forum LSM yang berurusan di bidang
tata kelola pemerintahan desa (FPPD). Teks kebijakan ini memuat undang-undang
tersendiri untuk tata kelola pemerintahan dan urusan-urusan desa berdasarkan prinsip
pengakuan dan penyerahan wewenang30
. Secara spesifik, ditawarkan adanya tiga
kemungkinan jenis urusan di tingkat desa sebagai berikut:
(a) Kewenangan asal-usul yang diakui oleh negara
(b) Kewenangan melekat yang diserahkan
(c) Tugas pembantuan dari pemerintah pusat, yang juga disebut kerjasama urusan
konkuren.
Kewenangan asal-usul akan diserahkan hanya jika unsur ―adat‖ dicantumkan dalam
struktur tata pemerintahan desa. Untuk kewenangan melekat, tampaknya desa harus
memilih dari ―daftar positif‖ sesuai dengan kepentingan/kapasitasnya.
Tugas pembantuan diikuti dengan dana, staf dan fasilitas; tugas pembantuan dapat ditolak
jika tidak disertai hal-hal tersebut. Selain prinsip pembiayaan tugas pembantuan yang
disebutkan di atas, mekanisme pembiayaan ADD (sebelumnya dari tingkat kabupaten)
akan tetap dilanjutkan tetapi dananya berasal langsung dari APBN (dari amplop
pemerintah daerah). Kategori dana ―percepatan‖ juga diperkenalkan agar desa dapat
mengejar ketertinggalannya. Belum ditentukan bagaimana dana ini akan
diatur/didistribusikan—hubungan dengan urusan tidak dijelaskan.
Skema urusan yang diusulkan untuk desa sebagaimana yang terlihat dalam naskah
akademik, menimbulkan beberapa masalah atau pertanyaan:
Bagaimana caranya ―pengakuan‖ dapat dilakukan untuk Kewenangan Asal-Usul?
Dari mana asal Kewenangan Melekat?
Apakah pemerintah daerah sekarang dapat menyerahkan tugas-tugas kepada desa?
Bagaimana konkurensi dapat dicapai (untuk urusan-urusan yang menjadi fokus kerja
sama kabupaten-desa)?
Apakah konsep tugas pembantuan cocok (sesuai dengan konsep secara umum)?31
Bagaimana ADD atau Dana Percepatan yang ditentukan dalam APBN dapat memenuhi
kebutuhan ―kewenangan melekat‖ atau urusan-urusan lain?
Usulan Tindak Lanjut
☞ Opsi A: Mempertahankan pendekatan di mana kabupaten tetap dominan dalam
kerangka tata pemerintahan desa saat ini (termasuk tugas pembantuan), dengan upaya
untuk membuat perbaikan sesuai dengan kebutuhan, sehubungan dengan urusan-
urusan desa, dan melaksanakannya secara efektif seperti yang dimaksudkan.
☞ Opsi B: Menjadikan desa sebagai tingkat ketiga pemerintahan otonom, seperti yang
tersirat dalam naskah akademik yang disusun oleh PMD/FPPD, di mana urusan yang
30
PMD (Kemendagri), Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Desa, 30 Agustus 2007. 31
Misalnya, pendekatan partikularistik (mikro) untuk mendanai tugas pembantuan bisa jadi terlalu kaku.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 43
diperluas dijamin untuk desa, dan mungkin sejumlah urusan tambahan akan
dirundingkan dengan kabupaten.
USAID-DRSP sedang membantu Kemendagri dalam upaya ini meskipun menghadapi
fragmentasi dan penurunan intensitas upaya dalam bulan-bulan terakhir. Bantuan masih
terus dibutuhkan meskipun upaya ini tampaknya sudah cukup berhasil seperti yang
diharapkan.
12. Wujud pengorganisasian dari pembagian urusan
Praktik internasional
Ungkapan desentralisasi yang sering terdengar ―uang mengikuti urusan‖ mempunyai
imbangan yang sama-sama berlaku ―bentuk mengikuti urusan‖. Arahan ini sesuai dengan
desentralisasi sehubungan dengan struktur pemerintah pusat maupun daerah. Struktur
pemerintah daerah disesuaikan untuk melaksanakan urusan-urusan baru. Penyesuaian
organisasi dilakukan untuk menyesuaikan kembali besaran departemen-departemen sesuai
dengan urusan yang telah diserahkan dan peran mereka yang baru. Yang sering terjadi
adalah bahwa rancangan/kerangka hukum desentralisasi hanya menangani urusan-urusan
yang diserahkan, dan melupakan implikasi pada organisasi pemerintah pusat. Namun
secara luas diakui bahwa keberhasilan desentralisasi bergantung juga pada pelaksanaan
penyesuaian organisasi pemerintah pusat yang memadai dan tepat waktu. Pengalaman
negara-negara yang melakukan desentralisasi, di mana departemen-departemen pusat
menolak perubahan (misalnya Filipina) menimbulkan inefisiensi yang besar di tingkat
pusat dan ketidaksiapan departemen-departemen untuk mengemban perannya yang baru.
Status di Indonesia
Untuk struktur daerah, beberapa organisasi dasar dan jenis organisasi diatur dalam
Undang-Undang 32/2004, yang dilengkapi dengan perincian tentang jumlah/komposisi
unit pelaksana daerah (Dinas) dan unit-unit teknis yang akan dikelola oleh pemerintah
daerah menurut ―faktor-faktor tertentu‖ (dijelaskan dalam penjelasan tentang volume
pekerjaan, luas daerah dan jumlah penduduk). Pendekatan umum ini masuk akal. Namun,
karena khawatir terhadap struktur organisasi yang berlebihan, maka peraturan-peraturan
pelaksanaan di masa lalu telah mempersempit pilihan pemerintah daerah untuk
mengorganisasi dirinya sesuai dengan urusan-urusan yang harus mereka laksanakan.
Sebuah peraturan yang baru (PP 41/2007) baru saja dikeluarkan. Peraturan ini
mengizinkan terbentuknya 12-18 Dinas dan 8-12 unit teknis, tergantung pada ukuran dan
anggaran daerah. Tidak jelas apakah bentuk arahan ini akan berhasil dalam mengimbangi
nilai keseragaman/ekonomi (yang ditekankan oleh pusat) dengan penyesuaian daerah
terhadap beban kerja dan karakteristik spesifik daerah dan penguna jasa.
Seperti yang terjadi di banyak negara yang menjalani desentralisasi, tidak ada ketentuan
dalam kerangka perundang-undangan mengenai desentralisasi untuk mereorganisasi
departemen-departemen yang telah menyerahkan urusan-urusan atau mengubah perannya.
Diharapkan perubahan ke pengambilan kebijakan dan pengawasan dengan lebih
memanfaatkan tingkat propinsi di bidang pengawasan akan cukup berhasil mengubah
organisasi dan staf dari beberapa departemen. Desakan untuk melakukannya telah datang
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 44
dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN), tetapi secara umum hal ini
belum mempercepat proses reformasi.
Departemen Pendidikan dan Departemen Kesehatan telah berupaya memfokuskan
desentralisasi melalui suatu unit khusus atau tenaga ahli Menteri. Namun, tugas unit ini
kurang dipahami oleh unit-unit lini dan unit-unit lain dari sekretariat jenderal sehingga
membatasi efektivitasnya. Tampaknya, unit-unit ini hanya berfokus pada tingkat daerah,
bukan sekaligus pada tingkat daerah dan departemen. Beberapa pendekatan tampaknya
dapat berhasil dalam menyelaraskan desentralisasi dengan pekerjaan mereorganisasi
departemen. Kuncinya adalah mendapatkan dukungan pimpinan dan orang-orang terampil
yang ditugaskan untuk memfasilitasi proses reorganisasi.
Masalah yang juga sama pentingnya adalah kurang jelasnya berbagai peraturan mengenai
peran propinsi dan gubernur yang sedang disusun. Sifat, ruang lingkup dan besaran unit
pelaksana dapat menjadi rumit dan kurang akuntabel jika pilihan yang dibuat ternyata
salah. Azas pemerintahan yang diterapkan dan bagaimana azas-azas ini saling
berhubungan harus jelas. Sebagaimana disebutkan di atas ―bentuk mengikuti urusan‖.
Tindakan yang diusulkan
☞ Dibutuhkan upaya tambahan untuk mengarahkan reorganisasi tingkat pusat seraya
kegiatan dekonsentrasi berkurang dan dukungan strategis kepada pemerintah daerah
diintensifkan.
☞ Peran tingkat propinsi perlu diperjelas untuk memahami bagaimana unit-unit yang
didesentralisasi (didevolusi/ otonom) berhubungan dengan perangkat pemerintah
pusat (dekonsentrasi).
☞ Hak departemen untuk membentuk unit-unit dekonsentrasi dan kewajibannya untuk
menggunakan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat perlu diperjelas.
☞ Upaya perlu dibuat untuk memastikan bahwa pemerintah daerah diberikan
insentif/instruksi untuk menjadi organisasi daerah yang efisien dengan mendorong
penyesuaian organisasi daerah dengan beban urusan dan karakteristik lokal.
13. Pembagian urusan di daerah-daerah khusus
Praktik internasional
Perlakuan khusus terhadap daerah-daerah telah menjadi ciri pembangunan bangsa dalam
dua abad terakhir dan mungkin lama sebelumnya (ini telah menjadi ciri dari Kekaisaran
Romawi, misalnya). Apa yang membedakan daerah-daerah ini dari yang lainnya, bentuk
pemerintahan nasionalnya apapun, adalah aspek ―desentralisasi asimetris‖ di bidang
politik, ekonomi dan sosial budaya. Pengaturan asimetris ini dapat ditemukan di negara-
negara kesatuan maupun federal. Beberapa kesepakatan berfokus terutama pada masalah
budaya, tetapi sudah lazim terjadi gabungan faktor-faktor pendorong dan segi-segi
dominan dalam kesepakatan-kesepakatan ini. Beberapa contohnya adalah:
Daerah Basque di Spanyol – negara kesatuan (politik, budaya)
Propinsi Quebec di Kanada – negara federal (politik, budaya)
Aceh di Indonesia – negara kesatuan (politik, ekonomi, budaya).
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 45
Pemerintah daerah bersangkutan pada umumnya mempunyai urusan pemerintahan dasar
yang sama dengan yurisdiksi yang serupa (ditambah segi-segi khusus) tetapi mungkin
mempunyai sebutan khusus yang menunjukkan perbedaan status (misalnya Regione
Autonoma Trentino-Alto Adige di Italia). Undang-undang khusus umumnya digunakan
untuk mengatur urusan-urusan khusus yang diserahkan kepada daerah-daerah ini.
Aspek umum yang ditemukan di negara-negara ini adalah upaya untuk menyeimbangkan
permintaan perlakuan khusus dengan tuntutan unit-unit lain untuk mendapatkan perlakuan
yang adil dan mempertahankan persatuan dan identitas bangsa. Menghalangi tuntutan
daerah khusus dapat menimbulkan gagasan untuk memisahkan diri/irredentist. Sedangkan
membiarkan perbedaan yang terlalu besar dapat menyebabkan daerah-daerah lain merasa
diperlakukan tidak adil (misalnya dalam masalah fiskal) dan mendorong mereka untuk
melakukan tuntutan yang serupa. Selain itu, ada yang khawatir bahwa perlakuan berupa
memberikan otonomi ―yang berlebihan‖ dalam kasus apapun dapat dimanfaatkan sebagai
batu loncatan untuk memisahkan diri.
Status di Indonesia
Indonesia juga telah menetapkan undang-undang khusus untuk mengatur status khusus
beberapa daerah, berdasarkan ketentuan undang-undang dasar. Meskipun reformasi
desentralisasi tahun 1999 telah difokuskan pada tingkat kabupaten/kota, status atau
otonomi khusus telah diberikan kepada daerah propinsi berikut ini:
Propinsi Yogyakarta – Undang-Undang 3/1950 tentang Pembentukan Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta32
Propinsi Papua – Undang-Undang 21/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Propinsi
Papua33
Propinsi Aceh – Undang-Undang 18/2001 tentang Daerah Propinsi Khusus Aceh
sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam; diikuti oleh Undang-Undang 11/2006
tentang Pemerintahan Aceh
Propinsi Jakarta – Undang-Undang 34/1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta34
Semua ketentuan dalam UU 32/2004 berlaku bagi daerah-daerah khusus selama tidak
digantikan dengan undang-undang tentang status khusus. Namun, hanya undang-undang
tentang Aceh yang dikeluarkan setelah Undang-Undang 32/2004. Karena alasan urutan ini
maka undang-undang tentang Aceh diharapkan dapat menunjukkan bagaimana undang-
undang tersebut mengalami perubahan dari kerangka umum (UU 32/2004).
Perbedaan Pembagian Urusan untuk Aceh
Perbedaan-perbedaan karena adanya status khusus dapat berasal dari urusan-urusan yang
biasanya tidak diberikan kepada propinsi/kabupaten/kota atau dari wewenang untuk
menyerahkan urusan-urusan di antara tingkat-tingkat di suatu daerah. Perbedaan-
perbedaan tersebut dapat mencapai apa yang International Crisis Group sebut sebagai
32
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 33
Belakangan, terjadi pemekaran propinsi namun legalitasnya masih diperdebatkan 34
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 46
―otonomi khusus untuk Aceh yang secara kualitatif berbeda dengan otonomi untuk
propinsi-propinsi lain‖35
. Hasil perbandingan antara UU 32/2004 dengan ketentuan
Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh (UUPA) memperlihatkan situasi yang agak
rumit dan tidak jelas dalam arti apa sebenarnya yang kekhasan Aceh dan tingkat mana
aspek khas meletak di Aceh (Lampiran 7).
Karena daftar urusan dalam UUPA dijabarkan secara lebih luas daripada dalam UU
32/2004 tetapi tidak mencakup sebanyak yang ditemukan dalam PP 38/2007 (yang
dikeluarkan setelah UUPA), maka dibutuhkan peraturan tindak lanjut untuk menentukan
urusan-urusan lain apa yang ditemukan di Aceh. Sebenarnya tidak ada peraturan seperti ini
yang ditetapkan dalam UUPA, tetapi, sebagai pendekatan pragmatis, maka pemerintah
pusat mengumumkan akan mengeluarkan peraturan tersebut. Ketika pertama kali dibahas,
Gubernur menunjukkan reaksi negatif yang keras terhadap usulan ini karena peraturan
pemerintah tersebut dinilai telah melampaui yurisdiksi ―eksklusif‖ pemerintah pusat
dengan mencakup bidang-bidang di semua sektor pemerintahan. Ini dinilai sebagai campur
tangan oleh mereka yang mengerti bahwa Aceh mempunyai yurisdiksi total atas sektor-
sektor yang tidak diakui sepenuhnya oleh pemerintah pusat sebagai miliknya.
Kesalahpahaman yang terjadi selama pembahasan ini memperlihatkan betapa pemerintah
pusat harus berhati-hati dalam merancang arsitektur pembagian urusan, dalam hal
meningkatkan kesadaran tentang ruang lingkup wewenang pemerintah pusat dalam urusan
propinsi yang ―biasa‖ dan propinsi otonomi khusus.
Urusan-urusan yang tercantum dalam UUPA pada umumnya diserahkan kepada tingkat
propinsi maupun kabupaten/kota36
. Hal ini dapat menimbulkan masalah jika konkurensi
diharapkan diminimalisir. Oleh karena itu, pemerintah Aceh sendiri berinisiatif untuk
membagikan urusan-urusan di antara tingkat propinsi dan kabupaten/kota melalui
serangkaian Qanun propinsi sektoral. Instruksi Gubernur No. 12/2007 menetapkan
program pengaturan untuk membahas sektor-sektor utama dalam sidang DPRD 2007/2008
secara bertahap. Instruksi ini memerintahkan agar unit propinsi yang menyusun draf
Qanun berkonsultasi dengan tingkat kabupaten, di bawah koordinasi sekretaris pemerintah
daerah propinsi.
Diharapkan Aceh juga akan mempersiapkan mekanisme untuk menyesuaikan urusan-
urusan dari waktu ke waktu, karena mekanisme ―urusan sisa‖ dalam PP 38 tampaknya
tidak berlaku bagi Aceh.
Revisi UU 21/2001 untuk Papua
Departemen Dalam Negeri mulai memproses evaluasi otonomi daerah Papua, yang
dilaksanakan sebagian besar melalui universitas Satyawacana (Salatiga). Universitas
Cendrawasih juga diharapkan dapat berperan, tetapi rincian ini belum disampaikan kepada
Konsultan. Juga tidak jelas apakah evaluasi ini merupakan prasyarat untuk merevisi
undang-undang, atau apakah revisi maupun evaluasi sama-sama berjalan. Bagaimanapun
juga, proses revisi masih belum ditetapkan meskipun Kemendagri sudah mulai membahas
apa saja yang tercakup dalam revisi ini.
35
ICG (2007) Aceh: Komplikasi Pasca Konflik, Rekomendasi dari International Crisis Group, Laporan
Tingkat Asia No. 139—4 Oktober, Halaman ii. 36
Satu-satunya izin eksplisit untuk menentukan pembagian urusan di antara tingkat-tingkat pemerintahan
adalah untuk Syari‘at Islam – akan dilakukan melalui Qanun Aceh (dapat difasilitasi oleh Pemerintah Pusat).
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 47
Revisi undang-undang ini kemungkinan mengundang banyak perdebatan. Beberapa
stakeholder akan bersikeras agar undang-undang ini diberlakukan secara penuh sebelum
membuat perubahan-perubahan apapun – alasannya adalah bahwa jika harus ada evaluasi
maka evaluasi tersebut seharusnya berfokus pada kekurangan yang ditemukan dalam
pelaksanaan undang-undang ini. Ada yang merasa bahwa undang-undang ini telah terbukti
gagal37
. Yang lain merasa bahwa tidak ada undang-undang ―otonomi daerah‖ yang dapat
menampung aspirasi rakyat Papua – hanya kemerdekaan dapat menjawab tuntutan Papua.
Jelas terbentuknya Papua Barat dan dikeluarkannya Instruksi Presiden 5/2007 tentang
Percepatan Pembangunan di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat38
telah memperumit
situasi politik, dan semakin mempersulit Rakyat Papua untuk mengembangkan dasar dan
kedudukan yang sama mengenai bentuk otonomi yang diinginkan. Instruksi Presiden itu
sendiri melemahkan ketentuan-ketentuan tentang otonomi dari UU 21/2001 dalam
menetapkan dana yang mengalir melalui departemen-departemen sektoral dengan gaya
dekonsentrasi, untuk urusan-urusan yang seharusnya menjadi urusan pemerintah daerah
Papua.
Secara khusus, peran Majelis Rakyat Papua (MRP) dipersoalkan mengingat adanya
propinsi baru dan kemungkinan sejumlah propinsi baru lain yang akan dibentuk. Tidak
jelas apakah MRP perlu melaksanakan peran politik tambahan untuk mempertahankan
keutuhan identitas bagi rakyat Papua atau apakah undang-undang baru hanya perlu
menerima ―fakta di lapangan‖ yang dipromosikan oleh pemerintah pusat, sehingga
semakin memarjinalkan MRP.
Dalam revisi undang-undang tersebut, masalah pembagian urusan menjadi penting.
Pememeriksaan surat kabar cukup untuk mengetahui berita utama masalah ini. Upaya
propinsi Papua untuk melarang penjualan kayu gelondongan keluar dari propinsi
berdasarkan pemahamannya tentang UU 21/2001 menandaskan baik kemungkinan-
kemungkinan maupun tantangan-tantangan yang dihadapi39
. Dalam hal ini, para pelaku di
tingkat pusat berpendapat bahwa UU 41/1999 tentang kehutanan berlaku bagi seluruh
wilayah Indonesia, sedangkan para pemimpin adat di Papua menegaskan bahwa apa yang
membuat Papua istimewa adalah kepemilikan kolektif adat (suku) atas hutan, dan bahwa
ini adalah pemahaman yang berasal dari status khusus yang diberikan dalam Undang-
Undang 21/2001.
Akan tetapi, UU 21/2001 tidak banyak menjelaskan apa yang dimaksud dengan ―khusus‖
sehubungan dengan pembagian urusan di Papua. Undang-Undang ini mengatur berbagai
kewajiban secara eksplisit, dalam arti bahwa Papua diharapkan dapat melestarikan bahasa
dan mempromosikan budayanya serta tujuan-tujuan kesejahteraan umum lainnya. Tetapi,
undang-undang ini tidak mengatur urusan-urusan spesifik yang dimiliki Papua seperti
halnya propinsi atau kabupaten/kota yang lain. Namun, undang-undang ini mengizinkan
para pemuka adat untuk berperan dalam beberapa aspek dari proses pengadilan – sama
seperti wewenang syariat Islam yang diberikan kepada Aceh. Undang-undang ini juga
membuat Papua bertanggung jawab atas semua jenjang pendidikan dalam norma-norma
37
Berita Daerah (2007). Inpres Percepatan Pembangunan Harus Direalisasikan, Selasa, 21 Agustus,
http://www.Kemendagri.go.id/konten.php?nama=BeritaDaerah&op=detail_berita_daerah&id=904 38
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Propinsi
Papua dan Propinsi Papua Barat. 39
Suara Pembaruan (2007), Larangan Jual Kayu Gelondongan – Pemprov Papua Dinilai Salah Menafsirkan
UU Otsus, Jumat, 23 November, hl. 12
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 48
yang ditetapkan pemerintah pusat. Undang-undang ini meminta propinsi Papua untuk
menetapkan standar kesehatan dan menyediakan pelayanan kesehatan. Hal ini
menimbulkan pertanyaan mengenai apakah Papua harus tunduk kepada standar kesehatan
nasional – sebuah pertanyaan yang juga pernah muncul dalam kasus Aceh ketika PP
tentang urusan pemerintah pusat untuk Aceh dibahas.
Melalui ketentuan yang ganjil, undang-undang otonomi daerah secara tegas menyatakan
bahwa pengawasan terhadap kabupaten/kota adalah peran pemerintah pusat yang dapat
diserahkan kepada Gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat. Maka dalam hal ini,
Undang-Undang 21/2001 jelas lebih bersifat sentralistis daripada untuk propinsi lainnya
yang sebagian besar diberikan peranan ini (mungkin karena kelalaian) melalui urusan yang
didefinisikan secara sektoral dalam PP 38/2007.
Usulan tindakan
☞ Undang-undang daerah khusus perlu ditinjau kembali untuk melihat apakah ada
kejelasan dalam hal apa ketentuan UU 32/2004 itu berlaku dan ketentuan-ketentuan
mana dari undang-undang otonomi daerah yang menggantikan atau menambah
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut. Juga perlu dijelaskan mengenai
pembagian urusan antara tingkat propinsi dan tingkat-tingkat di bawahnya, atau
bagaimana pembagian ini harus ditentukan.
☞ Pembahasan perlu diperluas mengenai apa yang dapat meningkatkan persatuan
bangsa dalam pembagian urusan, dan khususnya apa peran pemerintah pusat dalam
menetapkan standar urusan yang diserahkan kepada daerah, apapun sistem otonomi.
☞ Pemerintah pusat perlu memberikan perhatian khusus kepada upaya-upaya Aceh
untuk mengalokasikan urusan-urusan antara tingkat propinsi dan tingkat
kabupaten/kota (dan untuk menyepakati forum konsultasi mengenai kebijakan-
kebijakan tingkat pusat yang berlaku bagi Aceh), untuk melihat apakah proses dan
arsitektur hukum dapat menjadi model yang berguna bagi propinsi-propinsi lain juga.
☞ Mengingat pentingnya pembagian urusan maka evaluasi pengalaman otonomi di
Papua hendaknya memperhatikan:
o Apa yang khusus sehubungan dengan urusan Papua dibandingkan dengan
propinsi-propinsi lain;
o Bagaimana karakter khusus ini telah direalisasikan dalam praktik;
o Taraf sampai di mana pendanaan dan segi-segi lain dari otonomi telah sesuai
dengan urusan-urusan;
o Bagaimana MRP telah dapat melaksanakan urusan-urusannya;
o Bagaimana lonjakan jumlah propinsi akan membantu atau menghambat urusan
MRP yang ditetapkan dan pelaksanaan urusan pengelolaan sumber daya;
o Apakah ada prospek untuk memperkuat/mengubah MRP agar dapat berfungsi di
semua sektor pemerintahan yang relevan untuk mengimbangi pemekaran Papua
menjadi propinsi-propinsi, dengan bertindak sebagai badan pemersatu untuk
―Papua‖. Maka, urusan-urusan akan diperankan masing-masing oleh MRP,
propinsi dan kabupaten/kota atau bagian-bagian wilayah lainnya sebagaimana
yang ditetapkan di Papua (lihat Pasal 14 mengenai pemekaran wilayah)
14. Dampak penataan daerah terhadap pembagian urusan
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 49
Praktik internasional
Struktur penataan daerah umumnya dipengaruhi sejumlah faktor, termasuk kemampuan
calon SNG untuk mempertahankan pembagian urusan yang ditetapkan untuk tingkat
pemerintahan tersebut. Dalam beberapa kasus, tingkat baru ditetapkan, dan jumlah unit
yang terbentuk ditentukan, antara lain, berdasarkan beban urusan yang harus mereka
laksanakan40
.
Status di Indonesia
Reformasi penataan daerah, atau setidaknya pemekaran daerah dengan pola yang lebih
terarah, sedang diupayakan sebagai bagian dari revisi UU 32/2004. Meskipun terdapat
masalah bahwa beberapa daerah baru tidak dapat mengemban urusan-urusan yang terkait
dengan tingkat kabupaten/kota, tidak banyak dilakukan pembahasan mengenai
ketidakmampuan daerah-daerah kecil, misalnya kabupaten Supiori di Papua dengan
jumlah penduduk 12.500 jiwa, untuk memenuhi harapan kinerja di tingkat pemerintahan
ini.
Papua mempunyai 10 kabupaten sebelum era desentralisasi, dan sekarang mempunyai 30
kabupaten (dengan memperhitungkan kedua propinsinya), dan masih ada banyak usulan
untuk pemekaran41
. Tuntutan ini berasal dari ―bawah‖ dan jawabannya berasal dari tingkat
nasional (terutama DPR). Propinsi-propinsi yang ada sejauh ini hanya bersikap pasif.
Sikap pasif propinsi ini agak sulit dipahami karena mereka memiliki otonomi khusus.
Diharapkan bahwa propinsi-propinsi ini mempunyai wewenang untuk mengatur struktur
pemerintahan daerahnya sendiri dan menyesuaikan urusan-urusan dengan skala dan hirarki
yang dipilih. Dengan demikian, kabupaten di Papua dapat memiliki urusan yang sangat
berbeda dengan kabupaten di Jawa.
Hasil diskusi para pejabat pemerintah pusat memperlihatkan kemungkinan menerapkan
patokan jumlah penduduk untuk mengatasi kapasitas yang tidak memadai dalam
melaksanakan urusan-urusan, namun belum jelas seberapa besar dukungan yang diberikan
kepada opsi ini oleh para pembuat kebijakan.
Usulan Tindakan
☞ Perhatian yang serius perlu diberikan kepada penerapan patokan jumlah penduduk
kabupaten/kota untuk menghindari terbentuknya daerah-daerah yang tidak dapat
melaksanakan urusan-urusan yang telah diserahkan kepada semua kabupaten/kota
secara seragam.
☞ Untuk daerah-daerah yang berstatus otonomi khusus, patut dipertimbangkan untuk
memberdayakan daerah tersebut dalam mengatur pembagian daerah sendiri dan
menyesuaikan urusan-urusan dengan skala/hirarki yang dipilih.
40
Lihat Ferrazi, G. (2007) Pengalaman Internasional di bidang Reformasi (Pemekaran) Wilayah –
Implikasinya terhadap Indonesia, draft awal, Program Dukungan Reformasi Demokratis (DRSP) USAID,
Januari. 41
Beberapa kabupaten baru telah terbentuk di awal tahun 2008 yang belum termasuk dalam ke-30 kabupaten
ini.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 50
15. Proses pembagian urusan
Praktik internasional
Kualitas pembagian urusan sangat bergantung pada kualitas proses yang digunakan untuk
mencapainya. Pengalaman di beberapa negara memperlihatkan bahwa ketertinggalan
desentralisasi sektoral terjadi ketika salah satu bagian pemerintahan membuat kemajuan
yang cepat di bidang desentralisasi dengan harapan sektor-sektor akan menyusul.
Penyesuaian yang cepat oleh departemen lini di pusat jarang terjadi.
Untuk mengatasi ketertinggalan desentralisasi sektoral ini, perlu diadakan dialog yang
dapat menghasilkan pemahaman yang memadai di antara para stakeholder untuk
menetapkan prinsip-prinsip dasar dan menyepakati arsitektur perundang-undangan secara
keseluruhan (di mana urusan-urusan disusun, apa saja jenis urusannya, peran apa yang
akan diberikan kepada tingkat-tingkat pemerintahan).
Kunci dari pembagian urusan yang legitimat dan dapat diterapkan adalah keterlibatan
stakeholder utama, di antaranya, tentu saja, departemen/lembaga non-departemen di pusat
(disingkat D/LND). D/LND pada umumnya mengkhawatirkan hal-hal berikut:
Kesenjangan kapasitas – ketidakmampuan pemerintah daerah untuk menghadapi
tantangan karena rendahnya kapasitas mereka.
Gangguan pelayanan – karena tantangan kapasitas dan transisi, pemberian pelayanan
dapat mengalami hambatan.
Ketidaksesuaian dengan tujuan pusat – karena kurangnya waktu atau pengalaman
dalam menyesuaikan hubungan vertikal, atau kerangka pemerintahan daerah yang
terlalu serba boleh, akibatnya upaya-upaya pemerintah daerah kurang sejalan dengan
tujuan-tujuan pusat.
Kecurigaan atas Departemen yang bertanggung jawab untuk pemerintahan daerah –
kadang-kadang terdapat kekhawatiran di antara D/LND bahwa departemen yang
bertanggung jawab untuk pemerintahan daerah mempromosikan desentralisasi sebagai
cara untuk menggeser pengawasan dari sektor-sektor pelayanan spesifik dan
meningkatkan pengawasan di ―sektor pemerintahan daerah‖ yang dia memiliki sendiri.
Masalah-masalah ini seringkali beralasan dan harus diselesaikan secara konstruktif. Jika
ketidaksesuaian D/LND dengan kebijakan pusat di bidang desentralisasi dibiarkan
berlarut-larut maka hal ini akan mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap upaya
desentralisasi dan terhadap seluruh lingkungan perumusan kebijakan di Indonesia. Secara
khusus, hasil-hasil yang tidak diinginkan berikut ini dapat terjadi:
- Penggunaan secara tidak efisien sumber daya sektoral yang terbatas karena adanya
stagnasi penyesuaian/inovasi dalam pengaturan pemberian pelayanan di sektor yang
tertinggal.
- Hasil-hasil desentralisasi kurang optimal di sektor/jasa yang telah memprakarsai
desentralisasi karena kurangnya sinergi dengan sektor/jasa terkait (misalnya
pengambilan keputusan masih bersifat vertikal untuk jasa-jasa terkait; jumlah
minimum staf/sumber daya administratif di pemerintah daerah tidak tercapai).
- Tekanan yang tidak sehat di antara para pengambil kebijakan.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 51
- Kontradiksi berkelanjutan antara ketentuan hukum dan kenyataan di lapangan, atau
ketentuan-ketentuan hukum yang bertentangan dalam kerangka hukum Pemerintahan
Daerah dan kerangka hukum ―sektoral‖ yang menyebabkan hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap kekuatan hukum dan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Ketertinggalan sektoral kadangkala dapat berubah menjadi keuntungan karena sektor yang
maju dapat menjadi ―percontohan‖ dan kemudian model bagi sektor yang lain, melalui
pendekatan berjenjang secara sektoral. Namun, ketertinggalan sektor yang berkepanjangan
dan tidak dimanfaatkan dalam persiapan hanya akan mendatangkan kerugian seperti yang
disebutkan di atas.
Minat D/LND untuk berperan dalam percontohan atau kebijakan yang berskala nasional
sangat bergantung pada pimpinan dalam departemen itu sendiri. Pada saat yang sama,
suatu badan diperlukan untuk memastikan hubungan lintas D/LND. Beberapa urusan
bersifat lintas departemen. Maka penting bagi SNG untuk menerima berbagai urusan
secara terpadu. Hal ini dapat ditetapkan di awal proses pembagian urusan yang mencakup
suatu dialog/pembicaraan pengembangan kebijakan lintas departemen. Departemen yang
menangani pemerintahan daerah, perencanaan, keuangan atau pendayagunaan aparatur
negara dapat ditugaskan untuk memfasilitasi dialog dan pengembangan kebijakan bersama
ini; pilihannya dapat bergantung pada hubungan yang telah terjalin berdasarkan
kepercayaan dan kapasitas.
Dalam lingkungan departemen itu sendiri, mungkin perlu membentuk semacam organisasi
untuk melaksanakan pembagian urusan, yang bersifat sementara atau permanen. Beberapa
opsi dapat dipertimbangkan, dan opsi yang dipilih harus cocok dengan D/LND
bersangkutan untuk mencapai hal-hal berikut ini:
Analisa lintas unit dan dialog dalam lingkungan D/LND
Arus informasi dari tingkat teknis sampai politik dalam lingkungan D/LND
Kerja sama dengan berbagai kementerian koordinator dan komite koordinasi antar
departemen.
D/LND dapat memilih salah satu, atau kombinasi dari yang berikut ini:
Titik fokus (focal point); seseorang yang bertanggung jawab penuh untuk memfasilitasi
kegiatan-kegiatan internal dan menjadi penghubung teknis dengan dialog/pembahasan
kebijakan lintas sektor dan stakeholder. Ia hendaknya seorang pejabat senior, dengan
jabatan wakil menteri atau sekretaris jenderal, atau staf ahli yang memiliki keahlian di
bidang teknik dan politik.
Unit kebijakan departemen yang ada yang diberikan fungsi staf (bukan lini) dan
mampu memetik informasi, pandangan dan dukungan dari unit-unit lini.
Kelompok kebijakan desentralisasi yang baru dengan peranan seperti diuraikan di atas.
Forum stakeholder sektoral; organisasi formal atau informal yang menghubungkan
D/LND dengan stakeholder bersangkutan.
Tidak ada cara terbaik untuk menentukan struktur organisasi internal untuk desentralisasi,
tetapi pasti akan lebih menguntungkan jika mendapatkan dukungan dari orang-orang yang
cukup dihormati dalam posisi/struktur ini.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 52
Dialog internal dan eksternal dapat ditingkatkan melalui sejumlah upaya yang membentuk
suatu Strategi Komunikasi mengenai desentralisasi untuk D/LND, misalnya:
Pamflet yang menjelaskan struktur tugas D/LND untuk desentralisasi atau inisiatif
spesifik.
Website atau halaman yang disediakan dalam website departemen untuk menjelaskan
organisasi, rencana kerja, inisiatif, kemajuan dan acara-acara.
Mekanisme umpan-balik (misalnya telepon, email) yang terkait dengan organisasi atau
focal person yang ditugasi menangani desentralisasi.
Sesi orientasi internal perlu disediakan bagi staf D/LND untuk memahami pendekatan,
rencana kerja dan hal-hal lain yang terkait dengan upaya-upaya desentralisasi dari
D/LND. Secara khusus, pertemuan ini perlu menjelaskan apa yang diharapkan dari
setiap unit yang bersangkutan dalam lingkungan D/LND dan peluang-peluang yang
disediakan untuk memberikan kontribusi atau mencari keterampilan dan pengetahuan.
Selain para pejabat departemen (D/LND), dialog pada waktunya juga perlu mencakup
pemerintah daerah dan asosiasinya, asosiasi profesi yang relevan (misalnya guru, petugas
kesehatan), pakar dari lembaga penelitian dan pendidikan tinggi, LSM dan organisasi
swasta yang terlibat dalam pemberian pelayanan atau advokasi.
Dibutuhkan kecermatan dalam menjelaskan bagaimana para pelaku eksternal akan
berpartisipasi dalam pelaksanaan rencana kerja desentralisasi sektoral. Salah satu langkah
yang berguna adalah mengidentifikasi stakeholder, dan perlu mengantisipasi bahwa akan
ada perbedaan pendapat mengenai siapa yang hendaknya berpartisipasi, atau di posisi
mana mereka hendaknya berpartisipasi.
Isi rencana kerja percontohan D/LND:
Memperkuat atau membentuk susunan organisasi internal D/LND untuk
meningkatkan/membimbing desentralisasi/percontohan.
Pekerjaan diagnostik yang perlu dilakukan, dan lokasinya.
Rapat internal yang penting untuk mendapatkan dukungan dan memulai kegiatan-kegiatan
utama.
Partisipasi dalam kegiatan CD lintas sektor.
Rapat laporan kemajuan di lingkungan departemen.
Dalam pelaksanaan desentralisasi yang kompleks ini, semakin sulit untuk menyusun
rencana kerja yang dapat berlangsung selama jangka waktu yang ditetapkan. Namun, jika
suatu rencana kerja dapat disesuaikan, hal ini dapat membantu mempertahankan fokus
pada target tahapan pencapaian (milestones).
Barangkali sangat sulit bagi D/LND atau kementerian koordinator itu sendiri
menunjukkan jadwal waktu yang tepat untuk desentralisasi sektor. Maka kebijakan-
kebijakan dibuat secara ad hoc karena adanya tekanan-tekanan politik yang mereka terima.
Jangka waktu yang realistis perlu ditetapkan, biasanya selama satu atau dua tahun, yang
memberikan cukup waktu untuk menjajaki pengaturan saat ini, mengembangkan dan
menjajaki opsi-opsi, dan membuat keputusan-keputusan. Mungkin perlu untuk
melaksanakan beberapa kegiatan percontohan, atau menentukan tahapan urusan lintas
sektor atau dalam sektor.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 53
Status di Indonesia
Jika upaya yang dilakukan sekarang untuk merevisi UU 32/2004 dihitung, maka reformasi
otonomi daerah sudah mengalami tiga babak (termasuk pembagian urusan) selama
sepuluh tahun terakhir. Salah satu pertanyaan yang masuk akal, yang diajukan oleh
stakeholder dan donor pendukung42
, adalah apakah telah ada peningkatan dalam
pendekatan yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyusun (kembali)
kebijakan, dalam hal ini tentang pembagian urusan. Asumsi yang mendasari pertanyaan ini
adalah bahwa kualitas dan keberlanjutan kebijakan desentralisasi sangat bergantung pada
ketepatan proses yang diterapkan. Ketepatan proses ditentukan oleh kualitas masukan,
partisipasi dan legitimasi. Perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam proses sejauh ini masih
belum signifikan dan masih mengalami kekurangan dalam beberapa hal.
Dalam reformasi babak kedua (untuk menyusun UU 32/2004), terjadi interaksi yang
signifikan dengan departemen-departemen sektoral, lebih signifikan daripada ketika
menyusun UU 22/1999 (khususnya PP 25/2000). Barangkali hal ini menjelaskan lamanya
waktu yang dibutuhkan (tiga tahun) antara undang-undang tersebut dan penjelasannya
berupa PP 38/2007. Kemendagri menunjuk kepada ―kepemilikan‖ departemen sektoral
dengan menjelaskan bahwa setiap menteri/pimpinan lembaga menandatangani berita acara
untuk menyetujui daftar urusan-urusan yang akhirnya melahirkan PP 38/2007. Juga harus
diakui bahwa beberapa asosiasi pemerintah daerah ikut dalam diskusi tingkat sektoral
meskipun lebih sebagai pengamat daripada sebagai peserta. Beberapa departemen sektoral
juga dapat menunjuk kepada konsultasi yang mereka adakan dengan stakeholder sektoral
(selain acara-acara yang difasilitasi Kemendagri). Dalam mempersiapkan ketentuan
pembagian urusan untuk undang-undang itu sendiri, para donor (khususnya GTZ, dan juga
UNDP, CIDA dan USAID) berupaya menyediakan masukan, meskipun partisipasi para
donor ini hanya sesekali dan bersifat ad hoc.
Perbaikan proses di atas tampaknya kurang memadai atau kurang dimanfaatkan untuk
mencapai kemajuan substantif. Rasanya aneh melihat kualitas arsitektur pembagian urusan
dalam UU 32/2004 dan PP 38/2007 tidak jauh lebih baik daripada konstruksi bermasalah
yang terdapat dalam UU 22/1999 dan PP 25/2000. Ada perubahan dari struktur residual
menjadi daftar positif untuk kabupaten/kota, dan upaya untuk menerapkan/memperkuat
konsep yang mungkin berguna. Tetapi secara umum, hasilnya tidak memuaskan.
Kelemahan yang satu digantikan dengan kelemahan yang lain. Kajian ini sebagian juga
dilakukan oleh pejabat pemerintah yang menganggap daftar dalam PP 38/2007 sulit untuk
diterapkan.
Maka diperkirakan bahwa revisi UU 32/2004 akan dirancang dengan memetik pelajaran
dari dua babak sebelumnya. Memang pada tahap perencanaan para donor (terutama GTZ)
memberikan dukungan dalam memfasilitasi prosesnya. Upaya dilakukan untuk
memperluas partisipasi dan mempersiapkannya dengan baik. Konferensi daerah pada
tanggal 18 Juni (di Semarang)43
dan 26 Juli (di Lombok)44
merupakan awal yang baik, dan
42
Pertanyaan ini diajukan dalam acara presentasi temuan awal studi ini kepada Decentralization Support
Facility, 21 November 2007. 43
DDN/GTZ, Forum Diskusi Kajian Isi Kebijakan dan Penggalian Fakta Penerapan Undang-Undang
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Hotel Grasia, Semarang, 18 Juli 2007. 44
DDN/GTZ, Penggalian Fakta dan Aspirasi Daerah untuk Penyempurnaan Undang-Undang 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah, Hotel Jayakarta, Senggigi, Lombok, 26 Juli 2007.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 54
telah didokumentasikan dengan baik meskipun diskusi-diskusi tersebut kurang
dipersiapkan atau dilaksanakan dengan baik.
Proses penggunaan keahlian khusus untuk mendefinisikan dengan tepat topik-topik dan
kemungkinan-kemungkinan peningkatan reformasi tidak lama kemudian terhenti sehingga
pada bulan November 2007 tim inti tampaknya harus menyusut menjadi tim Kemendagri
yang kecil. Tim ini segera menyusun formulasi hukum untuk menggantikan formulasi UU
32/2004, dan tidak melakukan penjajakan kemungkinan-kemungkinan melalui forum yang
cocok berdasarkan masukan empiris dan konseptual yang telah dipersiapkan dengan baik.
Tim ahli yang terlibat sejak pertengahan tahun 2007 ini hanya digunakan sesekali dan
tanpa pemahaman yang jelas mengenai ruang lingkup, output, waktu pelaksanaan dan
proses yang akan digunakan. Yang juga menjadi masalah adalah bahwa para ahli ini
tampaknya memisahkan peranan mereka dalam tim ahli pemerintah dari peran
akademis/pelayanan mereka sendiri. Akibatnya, dialog/presentasi yang diadakan di luar
proses revisi kurang mencerminkan pembahasan yang diadakan dalam tim revisi sehingga
hilang kesempatan untuk menyampaikan kemungkinan-kemungkinan dan memberi tim
pandangan-pandangan baru tentang gagasan-gagasan revisi yang muncul45
.
Dari sisi positifnya, Kemendagri tampaknya mengurungkan niatnya untuk segera
melaksanakan revisi yang awalnya dijadwalkan akan selesai pada bulan Desember 2007.
Sekarang direncanakan bahwa kegiatan tinjauan/pengembangan kebijakan lebih lanjut
akan dilaksanakan pada tahun 2008 dan, karena tahun 2009 akan ada pemilu, maka
reformasi yang kemungkinan diselesaikan setelah pemilu telah diberitahukan. Jadwal
pelaksanaan yang lebih lambat ini lebih disukai agar ada cukup waktu untuk
memperhatikan banyak masalah yang perlu diselesaikan.
Tindakan yang diusulkan
☞ Tinjauan kebijakan dan pengembangan kebijakan perlu dilakukan secara lebih
―tenang‖ dan sistematis, dengan tingkat kespesifikan yang lebih tinggi, persiapan
informasi empiris (Indonesia dan internasional) dan opsi-opsi kebijakan yang
dibahas.
☞ Perlu diperhatikan pengelolaan proses kebijakan pembagian urusan melalui satuan
tugas khusus pemerintah, atau komisi khusus yang dapat bertindak dengan lebih
intensif dan fleksibel dalam mendapatkan masukan dari ahli dan partisipasi
stakeholder. Selain itu, calon pelaku (di luar kelompok ahli yang kecil yang saat ini
digunakan) perlu didorong untuk melakukan upaya di bidang-bidang revisi tertentu
dan menyumbangkannya kepada pemerintah.
☞ Strategi jangka panjang dibutuhkan untuk memperkuat jaringan kerja yang
menangani masalah-masalah otonomi daerah, khususnya masalah-masalah politik-
administratif yang telah terbukti bermasalah (pembagian urusan, peran dari tingkat-
tingkat pemerintahan, peran ganda dari kepala daerah, pengawasan, pemekaran
45
Hal ini terlihat jelas di seminar yang diadakan oleh Universitas Indonesia pada tanggal 22 November
2007, di mana ahli dari universitas yang sama dilibatkan dalam merevisi UU 32/2004. Permasalahan penting
yang dibahas dalam revisi tersebut (hirarki antara tingkat-tingkat pemerintahan, memperkenalkan ―masa
persiapan‖ untuk pemekaran wilayah) tidak disebutkan dalam seminar yang dipromosikan sebagai fokus
pada hubungan antara tingkat pemerintahan dan pemekaran wilayah.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 55
wilayah, otonomi daerah khusus). Kelompok-kelompok sasaran meliputi antara lain
lembaga-lembaga akademis dan penelitian, serta pemerintah daerah.
Para donor telah bersedia mendukung jaringan kebijakan asli Indonesia di masa lalu, tetapi
belum mencapai banyak keberhasilan, terutama disebabkan oleh orientasi jangka pendek
dan kurangnya pembelajaran dari upaya-upaya di masa lalu atau upaya-upaya di negara-
negara lain. Meskipun gagasan menggunakan perantara untuk mendukung kebijakan
semakin banyak diterima, dan sampai taraf tertentu memang digunakan, namun masih
belum jelas apakah para donor berminat dengan komitmen dalam jangka yang lebih
panjang yang dibutuhkan untuk mendukung jaringan-jaringan tersebut. Penerimaan
jaringan-jaringan di lingkungan Kemendagri ini dan organisasi-organisasi pemerintah
lainnya juga harus dipertanyakan. Penggunaan secara selektif individu-individu yang
berasal dari lembaga-lembaga akademis yang disenangi dan partisipasi mereka, didanai
oleh donor, melalui pendekatan lepas tangan (hands-off approach), dapat menjadi cara
yang diinginkan untuk menggunakan perantara.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 55
III. KESIMPULAN KESELURUHAN
Perubahan besar telah dibuat di bidang pembagian urusan sejak dimulainya era reformasi
di Indonesia. Segi positifnya mencakup komitmen kepada tiga azas pemerintahan, yang
sesuai dengan praktik internasional. Kabupaten/kota telah menjadi tingkat pemerintahan
yang bersifat ―general purpose‖ yang bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan
dasar. Selain itu, upaya telah dibuat untuk mengidentifikasi urusan-urusan yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah daerah, dan untuk mendefinisikan tingkat kinerja pemberian
pelayanan dasar. Peningkatan konsultasi di seluruh organisasi sektoral pemerintah pusat
dan dengan pemerintah daerah juga telah dilakukan.
Namun, kemajuan yang dicapai masih sedikit dalam hal kejelasan dan aturan yang
berkelanjutan sebagaimana yang diperlihatkan oleh penyimpangan yang berkepanjangan
oleh D/LND terhadap undang-undang organik tentang desentralisasi dan peraturan
pelaksanaanya tentang pembagian urusan. Kelemahan yang besar adalah kurangnya
perhatian kepada aspek hukum dan aspek lain dari arsitektur pembagian urusan. Arsitektur
pembagian urusan merupakan aspek dasar dari hubungan antar-pemerintahan dan harus
dilihat dalam hubungannya dengan kerangka hukum, penataan daerah, peran antara
tingkat-tingkat pemerintahan, struktur organisasi, pendanaan dan segi-segi lain dari tata
pemerintahan.
Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki pembagian urusan.
Beberapa opsi untuk pekerjaan ini telah diidentifikasi dalam laporan ini, dari segi
kebijakan maupun pekerjaan persiapan/proses yang diperlukan. Beberapa perbaikan dapat
dilakukan dalam upaya saat ini untuk merevisi undang-undang organik mengenai
desentralisasi/pemerintahan daerah (Undang-Undang 32/2004 dan PP 38/2007), tetapi
perspektif jangka panjang dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah fundamental,
khususnya terkait dengan amandemen konstitusi dan penyelarasan kerangka hukum.
Dibutuhkan dialog dan pekerjaan analisa yang besar, termasuk menggunakan pengalaman
Indonesia (seperti pendekatan masalah Aceh yang sekarang sedang berlangsung) dan
perbandingan dengan praktik-praktik internasional untuk menyediakan dasar bagi
pemahaman bersama tentang konsep-konsep utama, mencapai kesepakatan dan
merumuskan aturan-aturan secara berkelanjutan.
Para donor telah terlibat dalam mendukung pembagian urusan. Dalam tahun-tahun
terakhir, dukungan mereka telah berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun awal
desentralisasi di mana urusan wajib dan standar pelayanan minimum menjadi fokus utama
dukungan donor. Penyerapan input donor cukup tinggi pada suatu waktu (khususnya
dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2002) dan sangat
rendah di waktu-waktu lain (seperti dalam merumuskan Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 dan PP No. 38 Tahun 2007). Para donor telah dan sedang mendukung seluruh
kegiatan reformasi yang diuraikan berdasarkan ke-lima belas tema terkait dengan
pembagian urusan. Dukungan donor mengalami pasang surut selama tiga periode
reformasi, ada yang berhasil dan ada yang kurang ditanggapi di kesempatan lain. Hal ini
sudah biasa dalam bantuan teknis.
Pengalaman dalam bidang reformasi yang luas ini memperlihatkan bahwa dukungan donor
dapat lebih efektif jika diberikan secara lebih konstan atau menyeluruh (misalnya
bertindak bersama-sama melalui proyek sektoral/bantuan teknis dan dari seluruh donor),
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 56
atau diberikan dalam bentuk yang berbeda. Secara khusus, pengalaman ini
memperlihatkan bahwa perubahan pendekatan mungkin dibutuhkan di mana dilakukan
investasi jangka panjang pada para pelaku Indonesia yang dapat membentuk jaringan
kebijakan, dengan menghindari kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan oleh bantuan
teknis langsung para donor dalam hal akseptabilitas dan keberlanjutan.
Para donor telah bersedia mendukung jaringan kebijakan asli Indonesia di masa lalu, tetapi
belum mencapai banyak keberhasilan, terutama disebabkan oleh orientasi jangka pendek
dan kurangnya pembelajaran dari upaya-upaya di masa lalu di Indonesia atau negara-
negara lain. Meskipun gagasan menggunakan perantara untuk mendukung kebijakan
semakin banyak diterima oleh para donor, dan sampai taraf tertentu memang digunakan,
namun masih belum jelas apakah para donor berminat dengan komitmen dalam jangka
yang lebih panjang yang dibutuhkan untuk mendukung jaringan-jaringan tersebut.
Kaum akademis Indonesia dan pemangku kepentingan lain tampaknya memberikan
tanggapan yang cukup baik mengenai membentuk jaringan kebijakan di bidang ini.
Namun, penerimaan dan partisipasi mereka hendaknya jangan dianggap sebagai suatu hal
yang memang sudah seharusnya terjadi. Kadang-kadang minat yang besar diperlihatkan
oleh mereka sebagai individu, bukan lembaga, dan minat ini bergantung pada hubungan
khusus dengan para donor. Keinginan untuk mengembangkan jaringan-jaringan ini oleh
Kemendagri dan organisasi-organisasi PI lainnya juga menjadi masalah. Penggunaan
secara selektif individu-individu yang berasal dari lembaga-lembaga akademis yang
disenangi dan partisipasi mereka, didanai oleh donor, melalui pendekatan lepas tangan
(hands-off approach), dapat menjadi cara yang diinginkan untuk menggunakan perantara.
Meskipun adanya pengingat-pengingat ini, dialog tentang perspektif jangka panjang masih
diperlukan untuk membuat kemajuan di bidang kebijakan ini.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 57
Lampiran 1: Kutipan Kerangka Acuan Kerja
Latar Belakang
Telah dilakukan penyempurnaan pembagian urusan melalui revisi Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 yang melahirkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, khususnya PP No. 38
Tahun 2007 tentang pembagian urusan antara pusat dan daerah. Segi-segi progresif dari
kerangka ini (yang terkait dengan pembagian urusan) mencakup konsep urusan wajib dan
urusan pilihan, dan penjabaran yang lebih lengkap mengenai hubungan antara urusan
wajib dan standar pelayanan minimum.
Secara luas diakui bahwa beberapa tantangan masih tetap ada, khususnya tantangan
berikut ini:
Tipologi utama urusan (desentralisasi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi) perlu
dikembangkan secara lebih konsisten
Urusan wajib dan urusan pilihan perlu lebih diperjelas
Pendelegasian kepada desa-desa perlu ditangani lebih sepenuhnya
Mekanisme yang ada untuk dialog dan penyesuaian perlu ditingkatkan
Beban urusan untuk kabupaten/kota perlu dipertimbangkan untuk membentuk daerah-
daerah yang mengurangi ukuran rata-rata secara drastis
Pembagian urusan di Aceh dan Papua perlu diperjelas dan diperlakukan secara khusus.
Kerangka hukum perlu lebih diperkuat dari segi jenis dan jumlah/kekuatan instrumen
hukum yang dipergunakan, untuk memastikan kepatuhan dan keselarasan.
Tantangan-tantangan di atas merupakan daftar awal dan daftar yang perlu diresmikan dan
disesuaikan pada tahap awal studi.
Tujuan Studi
Tujuan dari penjajakan ini adalah untuk menilai kerangka pembagian urusan saat ini yang
memperlihatkan elemen-elemen progresif yang perlu dipertahankan dan disempurnakan
serta perubahan-perubahan yang diperlukan untuk memberikan kejelasan dan membuat
kerangka tersebut lebih efektif.
Studi ini diharapkan dapat membentuk upaya reformasi dalam konteks revisi UU No. 32
Tahun 2004 yang sedang berlangsung dan diperkirakan akan selesai pada tahun 2008.
Pendekatan Studi
Studi ini diadakan oleh seorang konsultan internasional yang memahami situasi
desentralisasi di Indonesia dan masalah pembagian urusan di Indonesia dan negara-negara
lain. Tujuan studi adalah untuk mengetahui kemajuan yang dicapai di Indonesia dan
perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan pembagian urusan
secara tepat. Oleh karena itu, konsultasi yang erat perlu dilakukan dalam studi ini, dan
peluang diberikan kepada pejabat pemerintah RI untuk menjelaskan dan mengomentari
kerangka saat ini dan bersama-sama memeriksa kemungkinan perbaikan untuk masa
mendatang.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 58
Karena kompleksitas pembagian urusan, diusulkan agar dibentuk suatu jaringan
akademis/tenaga ahli di bidang ini di Indonesia untuk mendukung upaya Pemerintah RI
dalam upaya-upayanya di masa datang. Studi ini akan mengikutsertakan individu-individu
yang diseleksi dan mempertimbangkan potensi untuk terus mengembangkan jaringan
demikian di masa datang.
Studi ini juga mencakup pandangan-pandangan dari asosiasi pemerintah daerah dan
menjelaskan peluang-peluang untuk melaksanakan pembangunan kapasitas semua
pelaksana dalam mewujudkan ketentuan-ketentuan hukum dan kebijakan mengenai
pembagian urusan. Peran dukungan donor juga diuraikan.
Proyek ASSD yang didukung GTZ akan menyediakan bimbingan bagi studi ini dan
mendukung studi ini di bidang logistik dan bantuan seminar yang akan diselenggarakan
pada bulan Februari 2008.
Daftar Awal Narasumber Penting
Pemerintah Indonesia:
Direktorat Urusan Pemerintahan Daerah, Kemendagri
Direktorat Penataan Daerah dan Otonomi Khusus, Kemendagri
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Kemendagri
Deputi Bidang Otonomi Daerah, Bappenas
Anggota tim penyusun PP 38/2007 dari Pihak Pemerintah
Pejabat Pemerintah Daerah Aceh/Papua
Pemangku kepentingan lainnya:
Akademisi berbasis universitas (UI, UGM, STPN)
Asosiasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
Anggota tim penyusun PP 38/2007 dari Pihak Non-Pemerintah
Penasihat bantuan teknis donor yang terkait dengan pembagian urusan
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 59
Lampiran 2: Narasumber Utama
Pemerintah Pusat
I Made Suwandi Direktur Urusan Pemerintahan Daerah – Kemendagri
Dedi Koespramoedya Direktur Bidang Otonomi Daerah, Bappenas
Son Diamar Staf Ahli Bappenas/Anggota Tim Penyusun Revisi UU 32/2004
Hasudungan Hutauruk Kepala Sub-Direktorat Bidang Standar Pelayanan Minimum, Kemendagri
Herbert Siagian Staf Sub-Direktorat Bidang Standar Pelayanan Minimum, Kemendagri
Prabowo Staf Sub-Direktorat Bidang Standar Pelayanan Minimum, Kemendagri
Herry Yuherman Direktur Bidang Tata Wilayah dan Otonomi Khusus, Kemendagri
Safrizal Z.A. Kepala Sub-Direktorat Bidang Otonomi Khusus, Kemendagri
M. Dwidjo Susono Wakil Ketua Unit Desentralisasi, Depkes
Tri Tarayati Subseksi Analisa dan Tatacara Kerja, Depkes
Asosiasi Pemerintah Daerah
Rusfi Yunairi Direktur Kerjasama dan Advokasi APEKSI
Rudi Hauter Ahli CIM, ADEKSI
Pembagian Urusan Otonomi Daerah
Mawardi Ismail Rektor – Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Anwar Muhammad Wakil Kepala Dinas Pendidikan NAD
May Bernhard Ketua Tim ALGAP II (Penasihat bidang hukum Gubernur)
Adriana Elizebeth Peneliti, LIPI
Narasumber Penting Terkait dengan Masalah Pembagian Urusan
Bhenyamin Hoessein Dosen & Ketua Studi Kesarjanaan Ilmu Pemerintahan, UI
Eko Prasojo Dosen dan Kepala Jurusan Ilmu Pemerintahan, UI
Roy Salomo Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, UI
Irfan Ridwan Maksum Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, UI
Koswara Kertapradja Dosen Ilmu Politik/Pemerintahan Universitas Satyagama
Siti Zuhro Peneliti, LIPI
Elke Rapp Manajer Program Desentralisasi USAID-DRSP
Martha Gutierrez Principal Advisor for Advisory Service Support for Decentralization
(GTZ)
Erita Nurhalim Advisor untuk Advisory Service Support for Decentralization (GTZ)
Susanne Lubis-Sproesser STC untuk Advisory Service Support for Decentralization (GTZ)
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 60
Lampiran 3: Tipologi Urusan/Tugas Desentralisasi46
Aspek pelayanan Tugas Dekonsentrasi Tugas pembantuan/ yang
didelegasikan
Urusan Desentralisasi
Instrumen SK Menteri dan Surat
Edaran
UU, peraturan, keputusan
pemerintah, atau
keputusan menteri/surat
edaran
Undang-Undang Dasar, UU
dan peraturan terkait
Sumber dan
penerima wewenang
Dari Departemen,
―didelegasikan‖
kepada berbagai
cabangnya
Dari badan perwakilan
atau departemen/lembaga
kepada pemerintahan
daerah atau lembaga
khusus
Dari negara atau badan
perwakilan tingkat pusat
kepada pemerintahan
daerah
Pendanaan Dari departemen
kepada cabang-
cabangnya langsung
(tidak terlihat dalam
anggaran pemerintah
daerah)
Dari entitas pemberi tugas
kepada pemerintahan
daerah/lembaga khusus.
Dalam kasus tertentu,
tugas didanai dari transfer
yang lebih luas yang
dianggap cukup untuk
menutupi tugas yang
didelegasikan
Penerima urusan (melalui
pajak/retribusi lokal atau
block grant atau grant yang
dibarengi persyaratan)
Staf Staf cabang adalah
PNS pusat, bagian dari
Departemen.
Tugasnya meliputi
koordinasi dengan
pemda.
Pemda/lembaga khusus
mempunyai staf sendiri,
tetapi bekerja menurut
kerangka pusat. Dapat
menggunakan tenaga yang
diperbantukan dari
pemerintah pusat.
Pemda mempunyai staf
sendiri tetapi bekerja
menurut kerangka pusat;
keleluasaan yang besar
dalam mempekerjakan,
memberhentikan, ukuran
lembaga, dsb. Juga dapat
menggunakan tenaga yang
diperbantukan dari
pemerintah pusat yang pada
dasarnya diperlakukan
sebagai staf pemerintah
daerah
Keleluasaan struktur
organisasi internal
Cabang-cabang
disusun oleh
Departemen,
meskipun seringkali
disetujui di tingkat
kabinet atau lembaga
yang lebih tinggi.
Daerah/lembaga khusus
dapat membentuk unit-unit
dalam kerangka pusat dan
menangani tugas
pada/dalam lingkungan
unit-unit yang dipilih
Daerah dapat membentuk
unit-unit dalam kerangka
pusat, dan menangani
urusan pada unit-unit yang
dipilih
Keleluasaan
Pelaksanaan
Bervariasi namun
biasanya dibatasi oleh
kementerian, melalui
peraturan, prosedur,
standar dan instruksi.
Dapat juga berupa
bimbingan ad hoc.
Sangat dibatasi oleh
kebijakan, prosedur dan
standar yang ditentukan
oleh entitas pemberi tugas;
keleluasaan pelaksanaan
dalam beberapa kasus.
Banyak keleluasaan, tetapi
dapat sedikit dibatasi oleh
standar nasional.
Pelaporan/
Pertanggungjawaban
Dari cabang kepada
kantor pusat D/LND
Terutama kepada entitas
pemberi tugas, tetapi juga
kepada dewan daerah dan
Terutama kepada
masyarakat yang menerima
urusan melalui dewan
46
Dikembangkan oleh Ferrazzi (2007), berdasarkan penjabaran sebelumnya tentang tipologi dasar azas
pemerintahan (misalnya laporan dukungan sektoral Yaman yang diserahkan melalui UNCDF/UNDP, lihat
Ferrazzi 2006).
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 61
Aspek pelayanan Tugas Dekonsentrasi Tugas pembantuan/ yang
didelegasikan
Urusan Desentralisasi
masyarakat daerah atau secara
langsung;
pertanggungjawaban
vertikal tetap ada dan pada
prinsipnya lebih ditekankan
selama tahap awal
desentralisasi.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 62
Lampiran 4: Tugas Pembantuan vs Tugas Dekonsentrasi dalam Draft PP
Aspek Uraian tugas pembantuan
dalam draft PP
Uraian tugas dekonsentrasi dalam
draft PP
Kriteria penyeleksian
tugas
Eksternalitas, akuntabilitas dan
efisiensi, serta hubungan yang
serasi antara tingkat-tingkat
pemerintahan
Eksternalitas, akuntabilitas dan
efisiensi, serta hubungan yang serasi
antara tingkat-tingkat pemerintahan
Ruang lingkup tugas Untuk pemerintah pusat : Harus
di luar daftar eksklusif pusat;
tidak dapat dibebankan kepada
APBD (jika dari pusat);
Untuk pemerintah provinsi:
Harus dari daftar urusan
provinsi
Dari pemerintah kabupaten/kota
(K/K): Harus dari daftar urusan
K/K.
Kegiatan non-fisik
Tidak dapat dibebankan kepada
APBD
Entitas pemberi tugas Pemerintah pusat (dan
departemen/lembaga dengan
persetujuan Presiden atas tugas-
tugas yang akan diserahkan
kepada desa)
Pemerintah provinsi
Pemerintah Kabupaten/kota
Pemerintah Pusat
Entitas penerima Dari pemerintah pusat: kepada
daerah atau desa (tetapi juga
menyebutkan pemerintah daerah
dan pemerintah desa)
Dari provinsi: kepada
kabupaten/kota atau desa (tetapi
juga menyebutkan pemerintah
kabupaten/kota)
Dari pemerintah K/K: kepada
Desa
Gubernur sebagai wakil pusat
Lembaga Vertikal
Pegawai pemerintah pusat di daerah
Jadwal konfirmasi Departemen/Lembaga
menyatakan paling lambat
pertengahan Maret untuk tahun
anggaran berikutnya – diajukan
ke Musrenbangnas.
Departemen/Lembaga
memberitahukan gubernur,
bupati/walikota atau kepala desa
pertengahan Juni dan
mengesahkannya dalam
peraturan menteri –dikirim
kepada gubernur,
bupati/walikota atau kepala desa
pertengahan Desember
Untuk tugas gubernur,
Departemen/Lembaga menyatakan
paling lambat pertengahan Maret
untuk tahun anggaran berikutnya—
diajukan ke Musrenbangnas.
Departemen/ Lembaga
memberitahukan gubernur
pertengahan Juni dan
mengesahkannya dalam peraturan
menteri –dikirim kepada gubernur
pertengahan Desember
Organisasi Pelaksana Unit kerja (SKPD) provinsi atau Unit kerja provinsi sebagaimana
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 63
kabupaten/kota sebagaimana
yang ditetapkan masing-masing
oleh Gubernur atau Bupati/
Walikota; kepala desa untuk
tugas-tugas yang diterima oleh
desa
yang ditetapkan oleh Gubernur
Pengaturan Pembiayaan Dari APBN-dilaksanakan oleh
daerah dan desa
Dari APBD provinsi –
dilaksanakan oleh
kabupaten/kota dan desa (tetapi
juga menggunakan istilah
pemerintah kabupaten/kota)
Dari APBD kabupaten/kota –
dilaksanakan oleh desa
Dari APBN – dilaksanakan oleh
Gubernur sebagai wakil pusat
Dari anggaran lembaga –
dilaksanakan oleh lembaga vertikal
Peran DPRD Diberitahukan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota
setelah DPR menyetujui RKA-
KL (ketika RAPBD sedang
disusun) dan mempersiapkan
untuk melaksanakan tugas.
Diberitahukan oleh Gubernur setelah
ia menerima RKA-KL yang telah
disetujui oleh DPR (ketika RAPBD
sedang disusun) dan mempersiapkan
untuk melaksanakan tugas-tugas.
Pelaporan Kepada entitas pemberi tugas Pelaporan triwulan dan tahunan oleh
kepala unit kerja provinsi kepada
Gubernur dan Departemen/Lembaga
yang membiayai – mengenai
pencapaian target dan aspek-aspek
finansial. Gubernur mengumpulkan
laporan dan mengirimkannya kepada
Kemendagri dan Depkeu serta
Bappenas. Laporan tahunan
dilampirkan dalam Laporan
Pertanggungjawaban Anggaran
Tahunan yang dikirim kepada DPRD
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 64
Lampiran 5: Opsi-Opsi Peran Tingkat Provinsi
Opsi Konfigurasi Keterangan
1. Gubernur satu-
satunya tokoh politik di
tingkat provinsi
- Parlemen Provinsi dihapuskan
- Gubernur adalah wakil dari
tingkat pusat
- Hanya ada urusan tingkat pusat
dan tingkat kabupaten/kota
Kelihatan aneh jika Gubernur
dipilih langsung padahal ia tidak
mempunyai peran ―otonomi
daerah‖
Mengharapkan reaksi politik
yang kuat dari anggota DPRD
provinsi saat ini dan provinsi-
provinsi dengan identitas
provinsi yang kuat
2. Tumpang tindih
peran diselesaikan
untuk kepentingan
Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat dan
azas pemerintahan
dekonsentrasi
- Dekonsentrasi dipertahankan
yang berarti Gubernur tetap
sebagai wakil pemerintah pusat
(CG)
- Gubernur memperoleh aparat
dekonsentrasi sendiri
- Dinas dibatasi hanya pada
urusan otonomi provinsi yang
dipersempit
-Unit dekonsentrasi didanai dari
APBN
Kebanyakan dinas menjadi kecil
dibandingkan dengan unit-unit
dekonsentrasi (sebenarnya,
lembaga vertikal akan dibentuk
kembali – di bawah Gubernur
sebagai wakil pusat
Peran DPRD terbatas pada
tinjauan anggaran provinsi yang
dikecilkan dan tidak mempunyai
peran di kabupaten/kota
Dinas tidak efisien dan tekanan
terdapat pada unit-unit
dekonsentrasi karena
penyelesaian beberapa urusan
sulit dicapai
Kemungkinan besar akan ada
reaksi politik yang kuat dari
anggota DPRD provinsi saat ini
dan provinsi-provinsi dengan
identitas provinsi yang kuat
3. Tumpang tindih
peran diselesaikan
untuk kepentingan
provinsi sebagai badan
otonom dan penerima
tugas dari pusat melalui
azas pemerintahan tugas
pembantuan
- Dekonsentrasi dipertahankan
hanya untuk memaksudkan
lembaga-lembaga vertikal yang
terutama responsif terhadap
kantor pusat
- Provinsi/Gubernur sebagai
pelaku yang ―otonom‖ berperan
dominan
- Gubernur sebagai wakil CG
dipertahankan untuk tugas-tugas
khusus (pengangkatan, dsb)
tetapi tidak disebut sebagai
dekonsentrasi
- Tidak ada unit dekonsentrasi
khusus di bawah Gubernur
- Pusat memberikan tugas
penting (misalnya pengawasan)
sebagai tugas pembantuan
Peran Gubernur sebagai wakil
pusat yang telah dikurangi perlu
diberikan sebutan lain untuk
menghindari kerancuan dengan
azas dekonsentrasi yang berdiri
sendiri (instansi vertikal).
Menuntut agar tugas-tugas
didanai dari sumber APBD –
transfer dana dekonsentrasi
diperlukan misalnya menjadi
DAU/DAK atau berupa
penyerahan pajak daerah
4. Pertanggung-jawaban - Hanya ada urusan tingkat pusat Masih perlu menyelesaikan j
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 65
Opsi Konfigurasi Keterangan
politik melalui dewan
Kabupaten/Kota yang
diproyeksikan di tingkat
provinsi
dan tingkat kabupaten/kota
- Sebagian urusan ditangani
melalui kesepakatan (dinamis)
di tingkat provinsi dengan
pertanggungjawaban kepada
dewan provinsi – yang
beranggotakan para pengurus
dewan kabupaten
peran ganda gubernur; gubernur
dapat bertanggung jawab kepada
dewan provinsi atas urusan-
urusan yang ditangani untuk
kepentingan kabupaten/kota, dan
juga bertanggung jawab kepada
pemerintah pusat atas tugas-
tugas yang diserahkan secara
vertikal. Kompleksitas urusan
provinsi sendiri vs tugas yang
diserahkan oleh pusat tidak ada
lagi.
Susunan organisasi tersendiri
untuk tugas-tugas dari pusat
masih dibutuhkan.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 66
Lampiran 6: Kriteria Pembagian Urusan
Kriteria yang ditinjau oleh ACIR (USA)
1. Minimalisasi limpahan (spillovers)
2. Maksimalisasi skala ekonomis
3. Kecukupan luas geografis
4. Kemampuan Hukum dan Administratif
5. Kecukupan Urusan
6. Pengendalian dan aksesibilitas konstituen
7. Maksimalisasi partisipasi warga sesuai dengan kinerja yang memadai Sumber: Advisory Commission on Intergovernmental Relations, Performance of Urban Functions: Local
and Areawide, September 1963
Kriteria yang diusulkan oleh ACIR (Australia)
Kriteria Umum: 1. Persatuan Bangsa
2. Koordinasi
3. Nilai yang lebih penting
4. Multi-fungsionalitas
Daya Tanggap 5. Daya tanggap
6. Komunitas
7. Aksesibilitas
Pemerataan dan Keadilan 8. Keadilan sosial
9. Redistribusi
10. Pemerataan
11. Keseragaman
12. Portabilitas
Efisiensi: 13. Mobilitas
14. Stabilisasi
15. Internalisasi
16. Skala ekonomis
17. Persatuan daerah
Sumber: Advisory Council for Inter-government Relations, Towards Adaptive Federalism – A Search for
Criteria for Responsibility Sharing in a Federal System, Dinas Penerbitan Pemerintah Australia, Canberra,
1981.
Kriteria yang diusulkan oleh Komite Penasihat di Ontario (Kanada)
1. Sampai pada taraf di mana redistribusi penghasilan menjadi program atau tujuan pelayanan,
maka pengelolaan kebijakan/pelayanan dan pembiayaan program hendaknya menjadi
tanggung jawab provinsi.
2. Tingkat keterlibatan dalam pengelolaan kebijakan/pelayanan untuk setiap tingkat
pemerintahan perlu ditetapkan menurut jenis dan tingkat limpahan (spillovers).
3. Pelayanan hendaknya dihasilkan di tingkat pemerintahan yang dapat melakukannya dengan
cara yang paling ekonomis.
4. Pelayanan hendaknya diberikan di tingkat pemerintahan yang dapat melakukannya dengan
cara yang paling efektif.
5. Tingkat keterlibatan dalam pengelolaan kebijakan/pelayanan untuk setiap tingkat
pemerintahan hendaknya diatur menurut tingkat kepentingan atau kebutuhan standar.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 67
Sumber: Pemerintah Ontario, Laporan Komite Penasihat kepada Menteri Urusan Perkotaan mengenai
Hubungan Keuangan Provinsi-Kota, 1991.
Kriteria yang dirumuskan di bawah binaan Bank Dunia
1. Skala ekonomis
2. Lingkup ekonomis (paket pelayanan publik yang menghasilkan konsekuensi lain)
3. Limpahan manfaat/biaya
4. Jarak ke penerima manfaat
5. Preferensi konsumen
6. Evaluasi ekonomi pilihan sektor Sumber: Shah, A. (1994). The Reform of Intergovernmental Fiscal Relations in Developing and Emerging
Market Economies, Policy and Research Series # 23, The World Bank, Washington D. C.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 68
Lampiran 7: Perbandingan Urusan antara Daerah-Daerah Biasa dan Aceh47
UU 32/2004 dan PP 38/2007 UU 11/2006 (UUPA) Komentar
Prinsip Otonomi ―Seluas-luasnya‖ – untuk daerah,
tanpa membedakan tingkat daerah
―Seluas-luasnya‖ ditujukan kepada
masyarakat Aceh
Serupa; tidak jelas apakah nuansa yang dimaksud untuk
memperlihatkan perbedaan
Urusan eksklusif
pemerintah pusat
Urusan luar negeri, keamanan,
pertahanan, kehakiman; moneter/fiskal
nasional, dan agama
Urusan-urusan yang bersifat
nasional; urusan luar negeri,
keamanan; pertahanan, kehakiman;
moneter/fiskal nasional, dan urusan
keagamaan tertentu
Perubahan pertama berpotensi membuka bidang urusan
secara luas, bergantung pada definisi ―bersifat nasional‖;
penjelasannya mempersempit dan kemudian memperlebar
cakupan – sehingga membuka peluang bagi pemerintah pusat
untuk memaksudkan apapun yang diinginkannya; ini tidak
ada dalam MoU Helsinki.
Beberapa urusan keagamaan diizinkan berada di tangan
pelaku daerah (lihat mode di bawah). MOU menyerahkan
―kebebasan beragama‖ kepada pemerintah pusat ―sesuai
dengan Konstitusi‖.
Keterlibatan
daerah/desa dan
Gubernur dalam
urusan eksklusif
pemerintah pusat
Urusan eksklusif pemerintah pusat
sebagian dapat diserahkan sebagai
tugas pembantuan kepada
dewan/pemerintah daerah atau desa48
.
Dapat mendelegasikan sebagian
kepada wakil pemerintah pusat di
Sebagian kewenangan dapat
ditransfer ke Aceh atau pemerintah
daerah kabupaten/kota. Dapat
diserahkan sebagai tugas pembantuan
kepada Aceh atau kabupaten/kota
atau pemerintah gampong. Dapat
Tampaknya bertentangan dengan pernyataan eksklusivitas
karena menggunakan istilah urusannya sendiri
(menyerahkan). Dalam mentransfer atau menggunakan
model perbantuan, penerimanya adalah eksekutif bukan
gabungan dewan/eksekutif – tidak ada penjelasan untuk
perbedaan ini. Tidak jelas apakah istilah-istilah yang berbeda
47
Untuk menjaga fokus pada para pelaku daerah, maka perbandingan ini tidak mencakup perlakuan lembaga vertikal pemerintah pusat. 48
Istilah dewan/pemerintah memaksudkan ―pemerintahan‖ yang terdiri dari gabungan unsure legislatif dan eksekutif. Dalam sistem di Indonesia, pemerintah
didefinisikan sebagai kepala eksekutif dan anggota-anggota pelaksanaan eksekutif. Di banyak negara OECD, istilah ―pemerintah‖ mencakup unsur legislatif maupun
eksekutif. Dewan dan badan legislatif memaksudkan hal yang sama dalam analisa ini.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 69
daerah. mendelegasikan sebagian urusan
kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah.
Perjanjian internasional yang
berlaku bagi dewan/pemerintah Aceh
akan diadakan melalui konsultasi
dengan/dengan pertimbangan dari
Dewan Aceh (DPRA). Undang-
undang nasional yang
mempengaruhi dewan/ pemerintah
Aceh akan dibuat melalui konsultasi
dengan DPRA. Kebijakan
administratif yang mempengaruhi
dewan/ pemerintah Aceh akan dibuat
melalui konsultasi dengan Gubernur.
(kewenangan dan urusan) dalam UUPA ada artinya sendiri.
Aceh berperan dalam urusan luar negeri (dikonsultasikan).
Sebenarnya, untuk setiap hal yang diputuskan oleh undang-
undang atau instrumen administratif yang berlaku bagi Aceh,
ada kewajiban untuk berkonsultasi dengan DPRA (undang-
undang) atau Gubernur (instrumen administratif kebijakan).
Perlu diperhatikan bahwa MOU menyebut ―izin‖ untuk hal-
hal di atas; bukan hanya konsultasi.
Keterlibatan
daerah/desa dan
Gubernur dalam
urusan-urusan non-
eksklusif pemerintah
pusat
Sebagian dapat diserahkan sebagai
tugas pembantuan kepada
dewan/pemerintah daerah atau desa.
Sebagian dapat mendelegasikannya
kepada Gubernur sebagai wakil CG di
daerah.
Tidak dibahas Formulasi Undang-Undang 32 menimbulkan pertanyaan
mengenai apakah ada suatu arti dalam ungkapan urusan
―eksklusif‖. Karena itu, kesenjangan yang jelas dalam UUPA
ini mungkin memperlihatkan bahwa tampaknya tidak perlu
membedakan antara eksklusif dan non-eksklusif.
Pengawasan peran
pemerintah pusat
dalam urusan di
daerah
pemerintah pusat menetapkan norma,
standar dan prosedur untuk urusan
yang dilaksanakan oleh daerah. Dapat
mendelegasikan pengawasan terhadap
pemerintah pusat menetapkan norma,
standar dan prosedur untuk urusan
yang dilaksanakan oleh Aceh dan
pemerintah kabupaten/ kota. Dapat
Konstruksinya serupa dengan daerah-daerah lain. Tidak jelas
mengapa dewan tidak termasuk dalam target pengawasan.
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 70
kabupaten/kota kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat
mendelegasikan pengawasan
terhadap kabupaten/kota kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat.
Kriteria pembagian
urusan
Eksternalitas, efisiensi dan
akuntabilitas, mempertimbangkan
hubungan yang harmonis antara
tingkat-tingkat dewan/pemerintah.
Eksternalitas, efisiensi dan
akuntabilitas, mempertimbangkan
hubungan yang harmonis antara
tingkat-tingkat dewan/pemerintah.
Dari ketentuan ini diharapkan bahwa pembagian urusan yang
sama dapat terjadi di Aceh seperti di provinsi atau
kabupaten/kota lainnya.
Prinsip dalam
melaksanakan urusan
daerah sendiri
Diatur dan diurus oleh
dewan/pemerintah daerah berdasarkan
prinsip otonomi dan tugas
pembantuan.
Diatur dan diurus oleh Aceh dan
dewan/pemerintah kabupaten/kota.
Tidak jelas mengapa tugas pembantuan tidak disebutkan
dalam UUPA, tetapi mungkin ini hal yang baik, karena UU
32/2004 (dan UUD) memberikan kesan bahwa daerah dapat
mengatur tugas-tugas pembantuan yang diserahkan
kepadanya oleh tingkat yang lebih tinggi (formulasi ini juga
dapat dipahami bahwa mereka melaksanakan tugas otonom
dan menyerahkan tugas pembantuan kepada tingkat yang
lebih rendah – tetapi penafsiran yang pertama juga dapat
seperti ini)
Pembagian urusan
antara tingkat
provinsi dan
kabupaten/kota
Semuanya diatur dalam UU 32/2004
dan PP 38/2007
Pembagian urusan syariat Islam
antara dewan/ pemerintah Aceh dan
dewan/pemerintah kabupaten/kota
dilakukan melalui Qanun Aceh
(dapat difasilitasi oleh pemerintah
pusat)
Tampaknya izin yang eksplisit untuk pembagian urusan
antara tingkat provinsi dan kabupaten/kota hanya diberikan
kepada daerah khusus pemerintahan ini.
Jenis Urusan Untuk tingkat provinsi dan
kabupaten/kota:
Untuk tingkat provinsi dan
kabupaten/kota:
Kesan secara umum serupa antara UU 32/2004 dan UUPA,
tetapi PP 38/2007 mungkin tidak berlaku bagi Aceh. Daftar
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 71
Urusan wajib
Urusan pilihan
Urusan sisa (dalam PP 38)
Daftarnya serupa di antara tingkat-
tingkat tersebut.
Perincian urusan wajib dan pilihan
terdapat dalam Peraturan Pemerintah
(PP 38/2007 saat ini).
Mekanisme urusan sisa kurang
dijabarkan.
Urusan wajib
Urusan pilihan
Beberapa urusan kabupaten/kota
yang ―tidak didefinisikan‖
Beberapa urusan
provinsi/kabupaten/kota yang
―tidak didefinisikan‖ dan tidak
diserahkan
Perincian urusan wajib dan pilihan
terdapat dalam Qanun Aceh dan
Qanum kabupaten/kota masing-
masing untuk daftar Aceh dan
kabupaten/kota – terkait dengan
kerangka hukum yang ada.
Tampaknya ―urusan sisa‖ tidak ada
untuk Aceh karena dalam PP 38
relevansinya dengan Aceh tidak
jelas.
dasar urusan wajib yang sama; Aceh kehilangan butir
terakhir yang memperbolehkan OF lain yang dapat
dicantumkan dalam kerangka hukum. Selain itu, Aceh
mempunyai lima OF keagamaan yang tidak dimiliki
provinsi-provinsi lain; juga kabupaten/kota, tetapi kurang
butir kelima ―ibadah haji‖. Urusan wajib yang terkait dengan
pertanahan lebih diperinci dalam UUPA. Pada dasarnya,
definisi urusan pilihan untuk kedua tingkatan sama-sama
tidak jelas/bermasalah seperti daerah-daerah lain. Perbedaan
penting adalah penjabaran daftar yang disusun dengan tidak
baik ini akan dilakukan oleh masing-masing pemerintah
daerah di Aceh. Sulit untuk memahami bagaimana hal ini
akan efektif; mungkin dihasilkan daftar urusan yang
sepotong-sepotong jika provinsi dan kabupaten/kota tidak
melakukan ini bersama-sama untuk menjamin cakupan dan
kelengkapannya.
Yang paling membingungkan adalah, dengan tidak
berlakunya PP 38/2007 bagi Aceh, bagaimana urusan untuk
pemerintah provinsi Aceh akan dibedakan dengan urusan
pemerintah pusat. Tantangan ini dapat sedikit diatasi dengan
penyusunan beberapa urusan kabupaten/kota dalam UUPA
(misalnya madrasah, bandara dan pelabuhan laut) dan hal-hal
lain yang tidak diserahkan di antara tingkat-tingkat (menarik
wisatawan dan investor, dan persetujuan atas investasi dan
impor/ekspor serta beberapa bidang lain); tidak jelas
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 72
mengapa hal-hal ini dinyatakan secara eksplisit padahal hal-
hal ini milik dari daerah Aceh, dan bagaimana sektor-sektor
lain dapat dibuat eksplisit. Selain itu, tidak jelas mengapa ada
urusan yang diserahkan atau tidak diserahkan secara spesifik
dan apakah urusan-urusan tersebut bersifat wajib atau
pilihan.
Karena ―urusan sisa‖ tampaknya tidak berlaku bagi Aceh,
tidak ada mekanisme dalam UUPA untuk menyesuaikan
pembagian urusan dari waktu ke waktu.
Standar Pelayanan
Minimum
Berhubungan dengan urusan wajib dan
tunduk kepada PP 65/2005 dan
instrumen-instrumen turunannya.
Digunakan formulasi bermakna-
ganda yang sama dari UU 32/2004
yang menghubungkan SPM dengan
urusan wajib, untuk dilaksanakan
secara bertahap, dan akan diatur
dalam peraturan pemerintah. PP
65/2005 tidak membedakan antara
daerah-daerah.
Sangat sedikit yang dikatakan dalam UUPA tentang standar
pelayanan minimum (SPM). Jika pembagian urusan wajib
(yang disertai dengan SPM) akan berbeda dengan daerah-
daerah lain maka hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai
apakah instrumen departemen untuk SPM masih tetap
berlaku dalam arti umum. Jika demikian maka mungkin
ketentuan-ketentuan khusus perlu dibuat untuk urusan
spesifik yang ada di Aceh. Apapun kasusnya, Aceh dapat
mencantumkan SPM dalam Qanun sesuai dengan urusan
spesifik di Aceh.
Ketentuan untuk
daerah-daerah
dengan status khusus
UU 32/2004 merujuk kepada otonomi
khusus Provinsi Istimewa Nanggroe
Aceh Darussalam; undang-undang
tersebut berhubungan dengan hal ini
kecuali undang-undang lain secara
spesifik mengatur daerah ini. Dalam
(lihat kolom ini secara keseluruhan)
Kewenangan untuk pemerintah Aceh
akan diatur dalam Qanun Aceh.
Kewenangan untuk pemerintah Aceh
akan diatur dalam qanun
kabupaten/kota
Tidak jelas mengapa dalam formulasi ini (pasal 270),
formulasi berkaitan secara spesifik dengan pemerintah dan
tidak dengan dewan, tetapi formulasi tersebut menegaskan
bahwa PP 38/2007 tidak berlaku dan bahwa daerah-daerah
tersebut harus menyortir urusan (kewenangan)nya sendiri
(diharapkan hal ini akan dibahas bersama-sama).
Laporan Akhir – Menjajaki Opsi Reformasi di Bidang Pembagian Urusan 73
PP 38/2007, dewan/pemerintah
provinsi NAD diatur oleh kerangka
hukum yang mengatur otonomi
khusus.
Penetapan Zona
Khusus
Berkaitan dengan kegiatan
kepentingan nasional dan penetapan
ini meliputi daerah-daerah.
Pemerintah wajib menyertakan
pemerintah Aceh dan/atau
pemerintah kabupaten/kota dalam
penetapan zona.
Serupa, tetapi MOU mengharuskan adanya izin dari
DPRA/Gubernur masing-masing berdasarkan undang-undang
atau peraturan yang berlaku bagi Aceh.