Upload
dodang
View
228
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
F. Irawan
Laporan Edisi 3 / Februari 2019
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,
kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA
Kehidupan Yahudi dan Nasrani di Bawah Naungan Khilafah Turki Utsmani
SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Kebangkitan Turki Utsmani Sejak Masa Sultan Murad I (1366) — 6
Perlakuan Baik Muhammad Al-Fatih terhadap Umat Kristen yang Dikalahkan —7
Sultan Bazayid Menghormati Kedaulatan Negara-Negara Kristen dan Menolong Yahudi yang Terusir dari Andalusia — 9
Perjanjian Damai dengan Prancis pada Masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni — 12
Pergeseran Cara Pandang Kristen Barat — 15
Demografi Turki Utsmani — 16
Hak-Hak Non-Muslim Eropa dalam Pemerintahan Turki Utsmani — 17
Peraturan yang Menjamin Perlindungan terhadap Non-Muslim — 18
Penutup: Kesuksesan Sistem Millet — 21
Daftar Pustaka — 22
SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019
4
Turki pernah menjadi pusat kekuasaan Dunia Islam selama kurang lebih
delapan abad dan sangat disegani oleh bangsa Eropa. Pada masa pemerintahan
Dinasti Utsmani (Ottoman), Turki mencapai puncak masa keemasan. Daulah
Utsmaniyah merupakan daulah terbesar dan terkuat dalam sejarah Dunia Islam.
Perjalanan sejarah Turki Utsmani memiliki banyak alasan penting untuk dikaji,
di antaranya karena daulah ini dianggap sebagai khilafah islamiah yang terakhir dan
terpanjang usia kekuasaannya. Khilafah Utsmaniyah telah melakukan pekerjaan-
pekerjaan mulia yang dipersembahkan bagi umat manusia. Bagi umat Islam, Turki
Utsmani berjasa dalam menjaga tempat-tempat suci Islam dari rencana-rencana
stratejik kolonialis Portugal (dari Laut Merah, Teluk Arab, hingga Aceh), membantu
para penduduk Afrika Utara melawan serangan-serangan Imperium Spanyol, dan
sebagainya.
Secara internal, Khilafah Utsmaniyah—sejak era Sultan Salim I (1512–1520)—juga
berhasil membentuk persatuan Dunia Islam di antara pemerintahan-pemerintahan
Arab, menjauhkan serbuan penjajahan dari wilayah-wilayah Syam, Mesir, dan
EXECUTIVE SUMMARY
SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019
5
negeri-negeri Islam lainnya, mencegah penyebaran Syiah ke wilayah-wilayah Islam
yang berada di bawah kekuasaannya, mencegah Yahudi dari menduduki Palestina,
serta peranannya dalam menyebarkan Islam di Eropa.
Adapun bagi kaum non-Muslim, Turki Utsmani memiliki banyak “jasa”, di
antaranya:
- Menampung dan mengungsikan kaum Yahudi dari praktik inkuisisi oleh
pihak Katolik di Spanyol sejak masa Sultan Bayazid II (1481–1512)
- Membantu Inggris dari blokade laut Spanyol
- Melakukan aliansi stratejik dengan Kekaisaran Prancis
- Membantu Irlandia dari bencana kelaparan
Khilafah Utsmaniyah berhasil menjelma sebagai salah satu superpower dunia
sejak era Sultan Sulaiman Al-Qanuni (1520–1566). Bahkan, pada masa pemerintahan
Sultan Murad III (1574-1595), Turki Utsmani menguasai seluas sekitar 20 juta km
persegi dan meliputi tiga benua.
Konsekuensinya, Turki Utsmani harus mengelola masyarakat yang sangat
beragam di wilayahnya yang sangat luas. Bukan hanya kaum Muslimin, tetapi juga
non-Muslim, terutama kalangan Yahudi dan Nasrani. Oleh sebab itu, Turki Utsmani
menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang disebut dengan Sistem Millet.
Sejarawan dan ilmuwan sosial melihat Sistem Millet sebagai contoh sukses
otonomi non-teritorial. Para penguasa Turki Utsmani mengakui keragaman
komunitas agama dan etnis yang menjadi bagian dari Khilafah Utsmaniyah. Namun,
pada saat yang sama, para penguasa Turki Utsmani juga mengerti bahwa keragaman
ini tidak bisa dan tidak boleh menjadi bentuk asimilasi total yang berarti “kesamaan”.
Di bawah pengaturan sistem Millet ini, Yahudi, Ortodoks Yunani, dan komunitas
Armenia mengatur keberadaan mereka dan mengorganisir serangkaian negosiasi
ad-hoc dengan kepala komunitas agama. Jadi, non-Muslim bisa tetap eksis lewat
negoisasi yang intens di bawah naungan sistem umum khilafah yang mengedepankan
toleransi.
SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019
6
Kebangkitan Turki Utsmani Sejak Masa Sultan Murad I (1366)
Di Eropa, tentara Daulah Utsmaniyah menyerang wilayah-wilayah Kekaisaran
Byzantium, lalu berhasil menduduki Edirne pada tahun 1360. Edirne merupakan
sebuah kota yang sangat strategis di wilayah Balkan dan dianggap sebagai kota
kedua di wilayah Kekaisaran Byzantium, setelah Konstantinopel. Sultan Murad I
menjadikan Edirne sebagai ibu kota Daulah Utsmaniyah sejak tahun 768 H (1366 M).
Karena itulah, ibu kota Daulah Utsmaniyah berpindah ke Eropa dan jadilah Edirne
sebagai ibu kota daulah islamiah.
Tujuan Sultan Murad I dalam pemindahan ibu kota ini adalah:
1. Memanfaatkan pertahanan-pertahanan militer yang kokoh di Edirne dan
kedekatannya dengan medan jihad.
2. Keinginan Sultan Murad I untuk menyatukan semua wilayah Eropa yang
telah dikuasai, di mana perjalanan jihad pasukan Utsmani sudah sampai ke
sana dan kaki-kaki mereka berdiri kokoh di sana.
3. Di ibu kota baru ini, Sultan Murad I mengumpukan semua elemen-elemen
yang menjadi persyaratan berdirinya sebuah negara dan prinsip-prinsip dasar
pemerintahan. Maka, terbentuklah di ibu kota Edirne kelompok-kelompok
Kehidupan Yahudi dan Nasrani di Bawah Naungan Khilafah Turki Utsmani
SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019
7
pegawai, kelompok-kelomok tentara, para penegak hukum, dan para ulama
di bidang agama. Di kota itu didirikan rumah-rumah peradilan, sekolahan-
sekolahan modern, serta markas-markas militer yang menjadi tempat latihan
pasukan Janissari.
Ketika kekuasaan Daulah Utsmaniyah pada masa Sultan Murad I semakin kokoh,
negara-negara tetangga dilanda ketakutan, khususnya negara-negara yang lemah.
Oleh sebab itu, Republik Ragusa1 bergegas mengirimkan utusannya kepada Sultan
Murad untuk mengadakan kesepakatan persahabatan dan perdagangan. Republik
Ragusa berjanji akan membayar upeti tahunan sebesar lima ratus keping emas.
Ini adalah perjanjian pertama yang terjadi antara Daulah Utsmaniyah dan negara
Kristen.
Kota Edirne tetap dalam keadaan seperti stabil dan makmur dari sisi politik,
militer, manajemen, kebudayaan, dan keagamaan, sampai pasukan Daulah
Utsmaniyah berhasil menaklukkan Konstantinopel, yang akhirnya menjadi ibu kota
negara mereka. Konstantinopel, ibu kota dari Kekaisaran Byzantium atau Romawi
Timur, jatuh ke tangan Daulah Utsmaniyah Pada 29 Mei 1453 (858 H).
Tentara Turki Utsmani telah mengepung kota selama tujuh pekan hingga bisa
menaklukkannya. Selama tiga hari, sang pemenang, Sultan Muhammad II yang
berusia 21 tahun mengizinkan para tentaranya untuk menyerang kota, menaklukan,
dan menyita rampasan yang mereka temukan sebagaiman lazimnya hukum perang.
Perlakuan Baik Muhammad Al-Fatih terhadap Umat Kristen yang Dikalahkan
Setelah menguasai Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih beranjak menuju
Gereja Aya Sophia. Di dalamnya telah berkumpul penduduk Konstantinopel bersama
para pendeta yang membacakan doa-doa untuk mereka. Ketika Sultan mendekati
pintu gereja, maka orang-orang Kristen yang berada di dalamnya menjadi sangat
ketakutan. Salah seorang pendeta berdiri membukakan pintu untuk Sultan.
Sultan Muhammad Al-Fatih meminta agar pendeta itu menenangkan orang-
orang dan agar mereka kembali pulang ke rumah-rumah mereka dengan aman.
Maka, para manusia pun menjadi tenang. Ada beberapa pendeta yang bersembunyi
di lobang-lobang di gereja itu. Ketika mereka melihat sikap toleran dari Muhammad
Al-Fatih dan sikap maafnya, maka mereka keluar dan mengumumkan keislaman
mereka.
Setelah itu, Muhammad Al-Fatih memerintahkan agar Gereja Aya Sophia diubah
menjadi masjid dan agar hal itu dipersiapkan dengan baik, supaya pada hari Jumat
depan dapat digunakan untuk melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya.
Para pekerja melakukan persiapan untuk perintah ini. Mereka menghilangkan salib-
1 Berada di tepi Laut Adriatik.
SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019
8
salib dan patung-patung, serta menghapus gambar-gambar yang ada di dalamnya
dengan satu lapisan kapur (cat). Mereka membuat sebuah mimbar untuk khotbah.
Mengubah gereja menjadi masjid itu diperbolehkan. Sebab, negeri itu ditaklukkan
melalui cara peperangan, peperangan itu memiliki hukum tersendiri di dalam syariat
Islam.
Sultan Muhammad Al-Fatih memberikan kebebasan kepada orang-orang
Kristen untuk melaksanakan semua acara ritual keagamaan mereka, serta memiliki
pemimpin-pemimpin keagamaan yang memiliki otoritas untuk melakukan peradilan
dalam masalah-masalah sipil di antara mereka. Sultan juga memberikan kebebasan
kepada para pembesar gereja di wilayah-wilayah yang lain. Tetapi, pada saat yang
sama, Sultan mengharuskan semuanya untuk membayar jizyah.2
Penaklukan pasukan Turki Utsmani terhadap Kota Konstantinopel ada kalanya
diilustrasikan dengan penggambaran yang buruk atau bahkan Sultan Muhammad Al-
Fatih digambarkan dengan sifat-sifat yang buruk. Di dalam Ensiklopedia Americana
yang terbit pada tahun 1980, misalnya, ditulis bahwa Sultan Muhammad Al-Fatih
memperbudak sebagian besar penduduk Kristen Konstantinopel. Mereka digiring ke
pasar-pasar budak di Edirne dan menjual semuanya di sana.3
Fakta sejarah yang sesungguhnya mengatakan, bahwa Sultan Muhammad Al-
Fatih memperlakuan penduduk Konstantinopel dengan perlakuan kasih sayang.
Dia memerintahkan kepada para tentaranya untuk memperlakukan para tahanan
dengan baik dan berperilaku lembut kepada mereka. Dia menebus banyak
tawanan perang dari harta pribadinya, khususnya para pemimpin Yunani dan para
pembesar agama. Dia berkumpul dengan para uskup dan menenangkan mereka dari
ketakutan. Dia menenangkan mereka agar tidak takut-takut untuk tetap berada di
dalam keyakinan mereka dan menjalankan ritual agama mereka, serta tetap berada
di rumah-rumah ibadah mereka. Dia memerintahkan mereka untuk menetapkan
pemimpin keuskupan yang baru. Mereka pun memilih Agnadius.
Setelah pemilihan itu, Agnadius menemui kepada Sultan dalam iring-iringan
yang besar. Sultan Muhammad Al-Fatih menyambutnya dengan penghormatan yang
tinggi dan memuliakannya dengan sangat baik. Dia makan bersama dengannya dan
berbicara dengannya dalam berbagai hal, baik di bidang agama, politik, dan sosial.
Uskup tersebut keluar dari pertemuannya dengan Sutan, sedangkan
pemikirannya telah berubah sama sekali terhadap para sultan Daulah Utsmaniyah
dan orang-orang Turki, bahkan terhadap kaum muslimin pada umumnya. Dia
merasakan bahwa dia berada di hadapan seorang sultan yang luas wawasannya,
yang memiliki suatu misi, akidah keagamaan yang kuat, kemanusiaan yang tinggi,
dan keperwiraan yang sempuna.
2 Lihat: Crowley, Roger. 2015. 1453 Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim.3 Lihat: Freely, John. 2012. Istanbul Kota Kekaisaran. Terj. Fahmy Yamani. Jakarta: Pustaka Alvabet.
SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019
9
Kekaguman ini juga turut dirasakan oleh orang-orang Romawi. Padahal,
sebelumnya mereka memikirkan bahwa pembunuhan masal pasti akan mereka
alami. Hanya dalam hitungan hari, penduduk Konstantinopel sudah bisa memulai
kehidupan mereka sehari-hari sebagaimana biasa dalam kondisi tenang dan damai.4
Orang-orang Turki Utsmani sangat bersemangat untuk konsisten terhadap
prinsip-prinsip Islam. Oleh sebab itu, keadilan di antara para manusia adalah urusan
yang paling penting yang sangat ingin mereka tegakkan. Perlakuan mereka terhadap
orang-orang Kristen itu bersih dari segala bentuk kefanatikan dan kezaliman. Tidak
pernah terlintas dalam benak orang-orang Turki Utsmani untuk menekan orang-
orang Kristen karena agama mereka.5
Aliran-aliran Kristen di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah telah
mendapatkan seluruh hak-hak keagamaannya. Masing-masing aliran memiliki
pemimpin agamanya yang tidak berbicara dengan selain keputusan Sultan secara
langsung. Setiap aliran ini memiliki sekolahan-sekolahan dan tempat-tempat ibadah
yang khusus, sebagaimana tidak diperbolehkan siapa pun juga untuk mencampuri
urusan hartanya. Mereka diberi kebebasan untuk berbicara dengan bahasa apa pun
yang mereka inginkan.
Sultan Muhammad Al-Fatih menampakkan sikap toleransi yang tinggi terhadap
orang-orang Kristen Konstantinopel atas dasar adanya dorongan untuk konsisten
terhadap ajaran Islam yang agung dan meneladani perilaku Rasulullah. Juga,
mencontoh para Khulafa Rasyidin setelahnya, yang lembaran-lembaran sejarahnya
penuh dengan sikap-sikap toleransi yang tinggi.
Sultan Bazayid Menghormati Kedaulatan Negara-Negara Kristen dan Menolong Yahudi yang Terusir dari Andalusia
Sultan Bayazid II dikenal sebagai sultan yang condong kepada perdamaian.
Meski demikian, panji-panji jihad tetap berkibar selama masa pemerintahan Sultan
Bayazid II. Oleh karena itu, banyak musuh Daulah Utsmaniyah mencoba mencari
perlindungan di balik sesuatu yang dinamai hubungan-hubungan diplomatik.
Hubungan-hubungan diplomatik pun menjadi giat antara Daulah Utsmaniyah
dan negara-negara Eropa. Pada masa sebelumnya, hubungan diplomatik hanya
terbatas pada negara-negara yang terletak di wilayah-wilayah perbatasan. Setelah
itu dibangun hubungan diplomatik antara Daulah Utsmaniyah dengan Keuskupan
di Roma, Kerajaan Florence (Firenze), Naples (Napoli), dan Prancis. Juga diadakan
perjanjian damai dengan Kerajaan Venezia (Venezia) dan Hongaria.
4 Lihat: Freely, John. 2012. Sultan Mehmet II Sang Penakluk. Terj. Fahmy Yamani. Jakarta: Pustaka Alvabet.5 Lihat: Jawanib Mudhiah fi Tarikh Al-‘Utsmaniyyin Al-Atrak, hlm. 274, dikutip oleh Ash-Shallabi dalam “Sejarah
Daulah Utsmaniyah”.
SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019
10
Pada masa pemerintahan Sultan Bayazid II, datang duta besar pertama dari
Rusia ke Istanbul pada tahun 898 H (1492 M). Kedatangan duta besar Rusia terjadi
pada masa Grand Duke of Moscow (Ivan III Vasilyevich), yaitu pada tahun 1492 M,
serta masa selanjutnya.
Konsekuensinya, negara-negara Kristen yang terikat perjanjian damai mendapat
hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun, hal itu juga membuka pintu
bagi musuh-musuh Islam untuk mengetahui kelemahan Daulah Utsmaniyah.6
Kemudian, salah satu jasa besar Sultan Bayazid II yang dicatat dengan tinta emas
sejarah adalah pertolongannya terhadap kaum Yahudi dan Muslimin yang tertindas
di Andalusia. Mereka dipaksa menganut Nasrani atau diusir dari Semenanjung Iberia.
Meningkatnya berbagai bentuk penindasan di Semenanjung Iberia—pada masa
Sultan Bayazid II—dipicu oleh konsentrasi orang-orang Kristen Spanyol untuk
menyatukan wilayah-wilayah mereka dan merampas semua wilayah yang masih
ada di tangan kaum Muslimin. Hal ini terjadi setelah Spanyol tunduk di bawah satu
kepemimpinan, setelah pernikahan antara Ratu Kastila Isabel I dan Raja Aragon
Fernando II pada 19 Oktober 1649.
Selanjutnya, kerajaan-kerajaan Spanyol yang telah bersatu itu bergerak
membersihkan eksistensi Islam di seluruh wilayah Spanyol, beberapa saat sebelum
jatuhnya Granada. Kemudian mereka memfokuskan seluruh perhatian mereka
kepada Granada, satu-satunya Kerajaan Islam yang merupakan simbol dari Dunia
Islam yang hilang.7
Orang-orang Kristen Spanyol memberlakukan prosedur yang keras terhadap
kaum Muslimin. Mereka berupaya mengkristenkan kaum muslimin secara paksa
dan mempersempit ruang geraknya, sehingga banyak umat Islam yang pergi
meninggalkan Semenanjung Iberia.
Akibat penindasan tersebut, muslimin Morisco—umat Islam Andalusia
yang masih bertahan di Andalusia pasca jatuhnya Granada—bangkit melakukan
pemberontakan dan perlawanan di hampir semua kota Spanyol yang di sana terdapat
minoritas orang Islam, khususnya di Granada dan Valencia. Gerakan perlawanan
berhasil ditumpas oleh penguasa Kristen Spanyol.
Di sisi lain sudah sewajarnya jika kaum muslimin Morisco mengarahkan
pandangan mereka kepada raja-raja Islam di Timur dan Barat untuk menyelamatkan
mereka. Utusan dan surat dari kaum muslimin Andalusia telah datang berulang
kali kepada para penguasa Islam di Timur dan Barat, meminta mereka untuk
menyelamatkan umat Islam di Spanyol dari berbagai tindakan kezaliman orang-
orang Kristen. Terkhusus, menyelamatkan kaum muslimin Andalusia dari tindakan
tidak manusiawi yang dilakukan para pemuka agama Kristen dan Dewan Inkuisisi
6 Lihat: Ad-Daulah Al-‘Utsmaniyyah, Dr. Jamal Abdul Hadi, hlm. 49–50.7 Lihat: Juhud Al-‘Utsmaniyyin li Inqadz Al-Andalus, Dr. Nabil Abdul Hayy, hlm. 125, dikutip oleh Ash-Shallabi
dalam “Sejarah Daulah Utsmaniyah”.
SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019
11
yang mempraktikkan berbagai bentuk penyiksaan dan kekejaman terhadap orang
yang tidak mau memeluk Nasrani.
Informasi tentang berbagai peristiwa di Andalusia telah sampai ke wilayah timur,
hingga mengguncangkan Dunia Islam. Raja Asyraf—dari Daulah Mamalik di Mesir—
mengirimkan utusan kepada Paus dan raja-raja Kristen, ia mengingatkan mereka
bahwa orang-orang Nasrani yang hidup di wilayahnya dapat menikmati kebebasan
di saat kaum muslimin yang ada di kota-kota Spanyol mengeluhkan berbagai macam
kezaliman dari penguasa Kristen.
Raja Asyraf mengancam akan melakukan tindakan yang sama terhadap orang-
orang Kristen yang tinggal di wilayah kekuasaannya jika penguasa Spanyol tidak
menghentikan kekejamannya serta tetap mengusir kaum muslimin dari tempat
tinggal mereka. Ia menuntut para penguasa Kristen agar tidak menyakiti kaum
muslimin Andalusia dan mengembalikan apa yang telah mereka ambil. Akan tetapi,
Paus dan dua penguasa Katolik Spanyol tidak menghiraukan ancaman Raja Asyraf.
Akhirnya Muslimin Andalusia mengirim surat yang berisi permintaan bantuan
kepada Sultan Turki Utsmani Bayazid II. Isinya dalam bentuk bait-bait syair, yang
selanjutnya mendeskripsikan keadaan yang dialami kaum muslimin di Andalusia,
penderitaan yang menimpa orang-orang tua dan para wanita yang dinodai
kehormatannya, serta kekejaman yang melanda kaum muslimin terkait keislaman
mereka.
Sultan Bayazid II bermaksud memberikan pertolongan, tetapi ia mengeluhkan
banyaknya rintangan yang dihadapi terkait upaya pengiriman para pejuang Islam
ke Andalusia. Pada waktu itu, Sultan Bayazid II sedang bertikai dengan Amir Jum
terkait takhta kesultanan. Di samping itu ada perselisihan antara Daulah Utsmaniyah
dengan pihak Roma dan beberapa negara Eropa, ditambah serangan orang-orang
Polandia terhadap wilayah Moldova.
Selain itu, Sultan Bayazid II juga harus berperang melawan Kerajaan Transylvania,
Hongaria, dan Venezia, serta menghadapi aliansi salibis baru yang dibentuk oleh
Paus Julius II, Republik Venezia, Hongaria, dan Prancis. Berbagai persoalan di atas
mengharuskan Daulah Utsmaniyah mengirimkan kekuatan dan bala tentaranya ke
berbagai wilayah tersebut.
Walaupun demikian, Sultan Bayazid II tetap mengirimkan bantuan serta
melakukan kesepakatan dengan Sultan Mamalik Al-Asyraf untuk menyatukan usaha-
usaha guna membantu menyelamatkan Kerajaan Islam Granada. Sultan Bayazid II
dan Sultan Al-Asyraf menandatangai kesepakatan yang di dalamnya berisi klausul
kewajiban Sultan Bayazid II untuk mengirimkan Angkatan Laut Turki Utsmani ke
perairan Sisilia karena dianggap sebagai wilayah yang tunduk di bawah Kerajaan
Spanyol, sedangkan Sultan Mamalik harus menyiapkan serangan-serangan yang lain
dari sisi Afrika.
SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019
12
Kenyataannya, Sultan Bayazid II bahkan mengirimkan Angkatan Laut Turki
Utsmani ke pantai-pantai perairan Spanyol. Sultan menyerahkan kepemimpinan
Armada Laut Turki Utsmani kepada Kamal Reis yang mampu membuat takut armada
laut Kristen pada akhir abad ke-15. Sultan Bayazid II juga memberikan motivasi
kepada para pejuang di lautan untuk menampakkan perhatian dan kasih sayang
kepada kaum muslimin Andalusia.
Angkatan Laut Turki Utsmani memulai pergerakan mereka untuk menyelamatkan
Muslimin di Andalusia. Pada saat yang sama bergabunglah sejumlah besar kaum
Muslimin pada saat terjadi pemberangkatan armada laut. Setelah itu, pasukan
Turki Utsmani menggunakan kekuatan angkatan laut yang baru di sisi barat Laut
Mediterania dengan tambahan motivasi dari para pejuang tersebut. Selain itu,
mereka juga menyelamatkan orang-orang Yahudi, yang nasibnya tidak jauh berbeda
dengan Muslimin di Andalusia. Itulah yang dapat dilakukan oleh Sultan Bayazid II.
Perjanjian Damai dengan Prancis pada Masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni
Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Al-Qanuni merupakan puncak
kejayaan Khilafah Turki Utsmani, ditinjau dari kekuatan Daulah Utsmaniyah dan
kedudukannya di tengah kekuatan negara-negara di dunia. Masa pemerintahannya
berlangsung dari tahun 1520-1566. Sultan Sulaiman Al-Qanuni merupakan menjadi
penerus kekuasaan ayahnya, Sultan Salim I, yang menjadi khalifah pertama Turki
Utsmani, setelah mengalahkan Daulah Mamalik dan menguasai Hijaz, yang meliputi
Makkah dan Madinah.
Sultan Sulaiman Al-Qanuni melakukan perluasan wilayah yang sangat besar,
yang belum pernah ada tandingannya sebelumnya. Wilayah-wilayah kekuasaan
Daulah Utsmaniyah tersebar di tiga benua, yaitu Asia, Afrika, dan Eropa.
Pada tahun 1529, bala tentara Utsmaniyah yang dipimpin oleh Sultan Sulaiman
Al-Qanuni berada di luar tembok-tembok Wina. Menurut Haydn Williams, penulis
Turquerie: An Eighteenth-Century European Fantasy, yang diterbitkan tahun lalu,
Eropa Barat jatuh ke dalam “keadaan shock”. Bahkan, reputasi disiplin tanpa ampun
tentara Utsmaniyah tumbuh begitu besar sampai-sampai kekuatan adidaya Islam
menginspirasi sebuah istilah baru di antara negara-negara Eropa yang ketakutan:
“bahaya Turki”, atau Turkengefahr, sebagaimana orang Jerman mengatakannya.
Dari sudut pandang para penguasa Eropa, hal tersebut merupakan malapetaka
bagi negara-negara Kristen: keseimbangan kekuasaan di dunia telah berubah untuk
selamanya. Hampir selama tiga dekade Utsmaniyah menaklukkan lebih dalam ke
jantung Eropa, menyerbu kota Otranto di sebelah selatan Italia, dan mengeksekusi
lebih dari 800 penduduk yang menolak tunduk di bawah kedaulatan Turki Utsmani.
Tentunya pakem pilihan antara masuk Islam atau membayar jizyah tetap ditawarkan
terlebih dahulu.
SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019
13
Dominasi Turki Utsmani membawa pengaruh terhadap negara-negara Kristen
yang semasa dengannya, khususnya di Eropa yang hidup dalam keadaan terpecah
belah yang membahayakan dari sisi politik dan keagamaan. Karena itu, sikap negara-
negara Eropa bermacam-macam terhadap Daulah Utsmaniyah, sesuai dengan
situasi dan kondisi masing-masing negara. Charles V, Raja Imperium Romawi Suci
bersaing dengan Francis II, Raja Perancis untuk menduduki singgasana Imperium
Romawi. Sedangkan Paus Leo X bersaing dengan pendeta Jerman yang bernama
Martin Luther, pemimpin kelompok Protestan.
Sama halnya dengan Belgrade (Kerajaan Serbia) yang sedang dilanda keguncangan
dalam negeri karena rajanya yang masih kecil, Louis II. Hal ini menyebabkan konflik
di antara para pembesar kerajaan.
Berdasarkan kondisi negara-negara Eropa yang dilanda konflik internal, maka
Francis II berpendapat lebih baik baginya untuk memanfaatkan kedudukan dan
kekuatan yang dimiliki Daulah Utsmaniyah, serta menjadikannya sebagai partner.
Oleh karena itu, Raja Francis II mengambil sikap bersahabat dengan menjalin
kesepakatan dengan Daulah Utsmaniyah. Dia sangat yakin bahwa Daulah Utsmaniyah
mampu menghentikan ketamakan-ketamakan Charles V dan menghentikannya
pada batasnya.
Bukti yang menegaskan sikap Raja Prancis ini adalah apa yang dia katakan
kepada duta besar Kerajaan Venezia, “Yang Terhormat Duta Besar, saya tidak dapat
mengingkari bahwa saya benar-benar menginginkan agar orang-orang Turki memiliki
kekuatan yang besar dan selalu siap sedia untuk berperang. Bukan hanya untuk
kepentingan Sultan Utsmani itu sendiri, tetapi untuk melemahkan kekuatan Charles
V, memberikan beban yang berat atasnya, serta untuk memberikan keamanan dan
keselamatan kepada seluruh pemerintahan-pemerintahan untuk melawan musuh
besar seperti Charles V ini.”
Mulailah perundingan antara Kerajaan Prancis dengan Daulah Utsmaniyah
setelah Perang Pavia, di mana dalam perang itu Raja Prancis, Francis II menjadi
tawanan pada tahun 1525 M. Kemudian ibunya mengirim utusannya yang bernama
John Frangipani. Utusan itu membawa surat dari ibunya dan surat dari raja yang
tertawan itu. Kedua surat itu berisi permintaan untuk menyerang keluarga Kerajaan
Habsburg dan membebaskan para tawanan.
Walaupun tawanan itu sudah dibebaskan sesuai dengan isi perjanjian yang
dibuat di Madrid antara Kerajaan Prancis dan keluarga Kerajaan Habsburg pada
tahun 1526 M, tetapi Francis II setelah dibebaskan pada tahun 941 H (1535 M)
mengirimkan sekretarisnya yang bernama Jean de Lapoure kepada Sultan Sulaiman
Al-Qanuni. Pengiriman utusan itu bertujuan untuk membuat persekutuan dalam
bentuk perjanjian.
SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019
14
Pada masa berikutnya, perjanjian itu dinamakan Perjanjian Istimewa Utsmani-
Prancis. Karena kami memandang bahwa perjanjian ini memiliki efek politik yang
sangat penting, maka kami menyebutkan poin-poin terpentingnya, yaitu:
1. Kebebasan penuh untuk bongkar muat dan pelayaran bagi kapal-kapal
laut yang bersenjata maupun yang tidak bersenjata.
2. Hak jual beli dan tukar menukar barang di seluruh bagian wilayah Daulah
Utsmaniyah untuk semua rakyat Kerajaan Prancis.
3. Pembayaran bea cukai dan pajak-pajak lainnya kepada Daulah
Utsmaniyah hanya dilakukan sekali dalam setahun.
4. Pajak-pajak yang dibayarkan oleh orang-orang Prancis kepada Daulah
Utsmaniyah jumlahnya sama dengan yang dibayarkan oleh rakyat Turki.
5. Memiliki hak perwakilan konsulat, dengan mendapatkan perlindungan
diplomatik baginya, para kerabatnya, dan orang-orang yang bekerja
bersama dengannya.
6. Menjadi wewenang konsuler Prancis untuk melakukan pemeriksaan
dalam urusan-urusan sosial dan kriminalitas di mana pihak-pihak
pelakunya adalah dari rakyat Prancis, dan dia diberi wewenang untuk
menghakimi. Konsuler itu juga memiliki hak untuk meminta bantuan
kepada otoritas lokal untuk mengeksekusi hukum yang telah ditetapkan.
7. Dalam sebuah persengketaan yang salah satu pihak pelakunya adalah
rakyat Turki Utsmani maka rakyat Prancis tidak didakwa dan tidak divonis
kecuali dengan hadirnya penerjemah bahasa Prancis.
8. Keterangan-keterangan yang disampaikan warga negara Prancis dalam
masalah-masalah yang dihadapi bisa diterima dan diambil ketika
dikeluarkan sebuah keputusan hukum.
9. Hak kebebasan beribadah untuk warga negara Prancis.
10. Larangan memperbudak warga negara Prancis.
Tampak bahwa hak-hak warga negara asing, khususnya Prancis, mendapatkan
perlakuan yang sangat terhormat di wilayah Turki Utsmani.
Dampak dari perjanjian ini adalah semakin meningkatnya kerja sama angkatan
laut antara kedua belah pihak, Prancis dan Utsmani. Angkatan laut Turki Utsmani
melancarkan serangan gencar ke wilayah-wilayah pantai Kerajaan Napoli yang pada
waktu itu berada di bawah kekuasaan Charles V. Pada tahun 1943 H, angkatan laut
Turki Utsmani dan angkatan laut Prancis berkumpul menjadi satu dan menyerang
wilayah Nusair yang berada di bawah kekuasaan Duke of Savoy, sekutu Charles V.
SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019
15
Prancis memperoleh banyak manfaat dari kedekatannya dengan Daulah
Utsmaniyah, baik di bidang militer, ekonomi, maupun politik. Perjanjian ini dijadikan
oleh orang-orang Prancis sebagai sarana untuk membuka pintu-pintu perdagangan
dengan Dunia Timur, tanpa harus tunduk di bawah monopoli bangsa Portugal setelah
penemuan bangsa Eropa terhadap jalur Tanjung Harapan. Konsekuensi perjanjian
itu juga menjadikan Prancis mendapatkan hak sempurna untuk memberikan
perlindungan kepada seluruh rakyat negara-negara Barat. Ini semua menjadikan
Prancis memiliki kedudukan yang tinggi di antara negara-negara Eropa.
Sayangnya, perjanjian ini tidak banyak mendatangkan manfaat bagi pihak Turki
Utsmani. Seolah-olah, perjanjian itu dibuat hanya untuk memenuhi permintaan-
permintaan Barat dan mewujudkan kepentingan-kepentingan para musuh tanpa
ada timbal balik yang setimpal yang dapat disebutkan. Perjanjian ini menjadi acuan
perjanjian-perjanjian yang dibuat pada masa selanjutnya antara Daulah Utsmaniyah
dan negara-negara Eropa secara umum.8
Pergeseran Cara Pandang Kristen Barat
Tampak benar bahwa setelah kejatuhan Konstantinopel, serbuan propaganda
orang-orang Eropa yang menggambarkan Utsmaniyah sebagai kaum kafir yang
barbar, distimulasi oleh para diplomat dan pedagang, begitu juga seniman, yang
melakukan perjalanan ke Konstantinopel dan menyaksikan kebudayaan Turki secara
langsung.
Sikap dan cara pandang yang paranoid ini bertahan dalam waktu yang lama.
Pada abad ke-16 dan ke-17, dunia masih merupakan tempat yang terpecah-pecah,
terbagi antara Barat Kristen dan musuh mereka, yaitu Muslim di Timur. Setidaknya,
ini adalah versi ortodoks dalam sejarah. Kendati demikian, penelitian akhir-akhir
ini cenderung kepada kesimpulan bahwa keretakan tersebut tidak selalu begitu
bermusuhan.9
Semangat keingintahuan, respek, dan perubahan tentang Turki Utsmani juga
berkembang di kalangan Eropa. Salah satu dari contoh yang terkenal dari hubungan
antara dua dunia ini adalah kunjungan Gentile Bellini, seorang seniman resmi dari
Republik Venezia, ke istana Sultan Muhammad Al-Fatih menjelang akhir abad ke-15
(tahun 1479). Sultan telah meminta seorang pematung dan sebuah roda perunggu
kepada kepala pemerintahan Venezia (Doge of Venezia) yang dapat membuat medali.
Orang-orang Venezia, yang memang tertarik untuk menjalin hubungan komersial
dengan Utsmani, merasa senang membantu. Selama tinggal di Konstantinopel,
Bellini melukis pemandangan Venezia untuk Sultan Muhammad Al-Fatih, begitu
juga anggota keluarganya.
8 Lihat: Haydn Williams. Turquerie: An Eighteenth-Century European Fantasy9 Alastair Sooke, How Western art learned to stop fearing the East
SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019
16
Berbagai penilaian yang positif tentang Turki Utsmani kemudian mempengaruhi
sikap sebagian bangsa Eropa untuk tetap menjalin hubungan dengan Turki Utsmani
dalam konteks yang tidak selalu bermusuhan. Setelah kegagalan Utsmani dalam
Pengepungan Wina pada tahun 1529, ketakutan orang-orang Eropa terhadap
ancaman Turki mulai surut.
Selain itu, pengaruh Turki Utsmani bagi kebudayaan Eropa mulai tampak. Di
dalam benak orang-orang Eropa, Turki Utsmani menjadi sesuatu yang tidak untuk
ditakuti, tetapi untuk diinginkan. Haydn Williams menulis, “Stereotipe dari Turki
yang kejam bermetamorfosis menjadi sesuatu yang damai.” Dan itu yang diwujudkan
dengan cita rasa glamour, kaya, dan mewah.10
Pada saat yang bersamaan, cara memandang Turki Utsmani mulai berubah. Di
antaranya dilihat dari sisi bagaimana kalangan non-Muslim, khususnya Yahudi dan
Nasrani, hidup di bawah naungan Turki Utsmani. Ada banyak pertanyaan menarik,
seperti mengapa orang-orang Eropa, khususnya di wilayah Balkan, banyak yang
memeluk Islam. Keluhuran ajaran Islam dan keadilan menjadi kalimat kuncinya.
Demografi Turki Utsmani
Dalam sistem Kesultanan Utsmaniyah, walaupun ada hegemoni kekuasaan
Muslim atas penduduk non-Muslim, komunitas non-Muslim mendapat pengakuan
dan perlindungan negara sesuai ajaran Islam. Sampai paruh kedua abad ke-15,
penduduk kesultanan ini didominasi penganut Kristen dan dipimpin minoritas
Muslim.
Pada akhir abad ke-19, populasi non-Muslim mulai berkurang drastis, bukan
karena kehilangan wilayah saja, tetapi juga perpindahan penduduk. Persentase
Muslim naik menjadi 60% pada 1820-an, lalu perlahan naik ke 69% pada 1870-
an, dan 76% pada 1890-an. Catatan statistik per 1914 menyebutkan, hanya 19,1%
penduduk kesultanan yang beragama non-Islam. Kebanyakan di antaranya adalah
Kristen Yunani, Assyria, Armenia, dan Yahudi.
Bagaimana dengan sekte-sekte yang dianggap sesat oleh mainstream Muslimin
Sunni, seperti Druze, Ismaili, dan Alawi? Catatan menyebutkan bahwa mereka
ditempatkan di bawah penganut Yahudi dan Kristen. Lebih lanjut disebutkan, pada
tahun 1514, Sultan Salim I, yang oleh pengamat Barat dijuluki "Pencabut Nyawa"
karena memerintahkan eksekusi 40 ribu orang Alawi Anatolia (Qizilbash) yang
divonis sesat. Dari sisi pendekatan hukum hudud, tampaknya berhubungan dengan
sanksi atas orang yang dihukumi telah murtad dari Islam.
Di Daulah Utsmaniyah, sesuai sistem dzimmi Islam, umat Kristen diberi
kebebasan terbatas (seperti hak beribadah), namun tetap ada perbedaan perlakuan.
10 Haydn Williams, Turquerie: An Eighteenth-Century European Fantasy
SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019
17
Jadi, umat Kristen dan Yahudi tidak dianggap sama dengan kaum Muslimom.
Misalnya, kesaksian melawan terdakwa Muslim oleh seorang Kristen dan Yahudi
tidak dianggap sah di pengadilan. Mereka juga dilarang membawa senjata. Selain itu
masih banyak batasan-batasan legal lainnya.
Di bawah sistem millet, warga non-Muslim wajib mematuhi hukum kesultanan,
namun tidak wajib mematuhi hukum Islam. Millet Ortodoks, misalnya, secara
hukum masih menginduk kepada Kode Justinian, hukum yang berlaku di Kekaisaran
Romawi Timur selama 900 tahun. Selain itu, sebagai kelompok non-Muslim terbesar
(atau dzimmi) di negara Utsmaniyah Islam, millet Ortodoks mendapatkan hak-hak
istimewa di bidang politik dan perdagangan serta diwajibkan membayar pajak yang
lebih tinggi daripada Muslim.
Millet serupa ditetapkan untuk komunitas Yahudi Utsmaniyah yang berada di
bawah kewenangan Haham Başı atau kepala rabbi Utsmaniyah; komunitas Ortodoks
Armenia yang berada di bawah kewenangan kepala uskup; dan berbagai komunitas
agama lainnya. Sistem millet dalam hukum Islam diakui luas sebagai contoh awal
pluralisme agama pra-modern.
Adapun dalam sistem yang umum dikenal dengan nama devşirme, sejumlah putra
Kristen, kebanyakan dari Balkan dan Anatolia, secara rutin diharuskan mengikuti
wajib militer sebelum dewasa, lalu dibesarkan sebagai seorang Muslim.
Hak-Hak Non-Muslim Eropa dalam Pemerintahan Turki Utsmani
Sama seperti khilafah dan kerajaan islami sebelumnya, Turki Utsmani juga
menunjukkan perhatian yang besar dan pengakuan hak-hak non-muslim di wilayah
mereka. Prinsip ini telah dituntunkan oleh syariat Islam, bagaimana hendaknya
interaksi negara kepada non-muslim. Mereka dilindungi, diberikan kebebasan
beragama, dan bebas dari penganiayaan. Di antara pengaturan yang pertama dibuat
adalah Perjanjian Umar ibn al-Khattab yang menjamin orang-orang Nasrani di
Jerusalem dengan kebebasan beragama dan keselamatan dalam penunaiannya.
Sebagai contoh, sejarawan mencatat perlakuan baik terhadap nonmuslim dari
salah satu Sultan Turki Utsmani, yaitu Sulaiman II (1642-1691), yang memerintah dari
tahun 1687 hingga saat wafatnya. Adik Muhammad IV ini menghabiskan sebagian
besar hidupnya di kafes (sangkar), sejenis tahanan mewah buat pangeran di Istana
Topkapi—yang dirancang untuk memastikan takkan ada pemberontakan.
Saat mendekati kenaikan tahta usai terdepaknya sang kakak pada 1687, Sulaiman
II sempat mengira para delegasi datang untuk membunuhnya. Satu-satunya cara
memengaruhinya agar ia bisa keluar dari istananya adalah dengan menganugerahi
pedang khalifah secara seremonial.
SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019
18
Sulaiman II membuat pilihan cerdas dengan mengangkat Ahmad Faizil Koprulu
sebagai Raja Muda. Di bawah kepemimpinan Koprulu, Turki menghambat gerak
laju Austria ke Serbia dan membasmi pemberontakan di Bulgaria. Selama gerakan
pengambil-alihan Hongaria Timur, Koprulu dikalahkan dan gugur di tangan Ludwig
Wilhelm dari Baden di Szlankamen pada 1690. Sulaiman sendiri mangkat setahun
kemudian.
Sementara itu, pemerintahan Utsmani terus merosot ketika Sulaiman II
berkuasa, dan musuh-musuhnya bertambah ganas. Austria sering merampas posisi-
posisi penting di beberapa kota, di antaranya Belgrade pada 1099 H. Sebagaimana
Venezia juga menduduki pantai-pantai Dalmasia dan pantai-pantai wilayah timur
Laut Adriatik dan beberapa tempat di Yunani. Kekalahan terus-menerus menimpa
pemerintahan Utsmani.
Pada masa kekuasaan Sulaiman II (1642–1691), orang-orang Kristen diberi
kebebasan untuk membangun gereja di Istanbul maupun di tempat-tempat di mana
gereja dirobohkan sebelumnya. Hal ini dijalankan oleh Perdana Menteri Musthafa
bin Muhammad Kuberyalali. Ia mengikuti jejak ayahnya dalam menjalankan
kekuasaannya. Dia juga akan memberikan sanksi yang sangat keras kepada siapa saja
yang melakukan tindakan tidak senonoh terhadap orang-orang Kristen saat mereka
melakukan acara-acara ritual keagamaan.
Ini merupakan kesaksian dari pemeluk Kristen atas nilai-nilai toleransi
Islam yang telah memberikan rasa aman pada semua manusia dalam hal agama,
kehormatan, harta dan darah mereka saat berada dalam lindungan Islam. Perdana
Menteri Musthafa gugur di medan perang saat sedang membela agama Allah dalam
peperangan melawan orang-orang Yahudi pada tahun 1102 H.
Sultan Sulaiman II wafat pada 26 Ramadhan 1102 H/23 Juni 1691 M, tanpa
meninggalkan seorang pun keturunan, ketika berusia hampir 50 tahun. Ia memerintah
selama 3 tahun 8 bulan dan dikebumikan di tempat pemakaman kakaknya, Sultan
Sulaiman I.
Peraturan yang Menjamin Perlindungan terhadap Non-Muslim
Pengaturan yang menjamin hak-hak masyarakat non-Muslim dipraktikkan
dengan jelas sejak era Sultan Muhammad Al-Fatih, yaitu ketika ia menaklukkan
Konstantinopel (1453) dengan komunitas Nasraninya. Sejarah mencatat,
Konstatinopel adalah pusat Kristen Ortodoks di dunia saat itu dan masih memiliki
populasi yang besar. Belum lagi adanya kelompok Gereja Gregorian dan Yahudi.
Sebagai sebuah kerajaan yang wilayah kekuasaannya meluas hingga Eropa,
semakin bertambah pula non-Muslim yang berada di bawah kekuasaan Turki
Utsmani. Sebagai contoh, pada tahun 1530 M, lebih dari 80% rakyat Turki Utsmani
SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019
19
di Eropa adalah non-Muslim. Untuk mengatur ini, Sultan Muhammad menerapkan
sistem baru yang kemudian dikenal dengan sistem millet.
Segera setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel, Sultan Muhammad Al-
Fatih langsung menerapkan sebuah sistem Millet yang mengatur hak-hak non-
muslim. Jika dilihat dari penjelasan mengenai pembagian kelompok re’aya bagi
non-muslim, boleh jadi sistem millet ini merupakan perwujudan dari kebijakan
awal mengenai non-muslim. Hal ini ditarik dari fakta bahwa sebelum adanya sistem
millet, kelompok-kelompok non-muslim diberikan sebuah wilayah tersendiri
dan pemimpinnya memiliki otoritas untuk mengatur dengan leluasa anggota
kelompoknya.
Jadi, untuk menjaga stabilitas sosial dan keamanan, Sultan Muhammad al-Fatih
menerapkan sistem Millet yang berdasarkan prinsip syariat Islam tentang bagaimana
interaksi khilafah Islam kepada non-Muslim. Sistem ini secara tidak langsung
menyatakan bahwa Kesultanan Turki Utsmani adalah pelindung dari bangsa-bangsa
yang ada di bawah pemerintahannya. Sebagai imbalannya, kalangan non-muslim
berkewajiban membayar jizyah dan berkomitmen mematuhi beberapa batasan-
batasan yang memasukkan mereka sebagai salah satu bagian masyarakat, namun
level mereka berada di bawah level kaum muslim.
Dari beberapa sumber yang ditemukan, kebijakan sistem millet ini dapat dirinci
pada beberapa poin, di antaranya :
1. Memilih pemimpin agama sendiri.
2. Pemimpin diizinkan menegakkan aturan agama terhadap anggotanya.
3. Hukum Islam tidak memiliki wewenang hukum atas non-muslim.
4. Boleh menggunakan bahasa sendiri.
5. Mengembangkan lembaga-lembaga (tempat ibadah, dan lain-lain).
6. Mengumpulkan pajak.
7. Menyelesaikan sengketa yang terjadi.
8. Membebaskan dari wajib militer.
9. Dan lain-lain.
Hukum Islam baru akan diterapkan ketika adanya suatu kasus yang melibatkan
dua orang dari millet berbeda, seperti Kristen-Islam, atau Yahudi-Kristen, dan
seterusnya. Dalam kasus ini, hakim muslim akan memimpin dan menyelesaikan
kasus dengan penilaian terbaik.
SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019
20
Kemudian, Sultan sebagai pemimpin besar dari tiap-tiap millet hanya memiliki
kewenangan dalam hal menyetujui pemilihan pemimpin atau pemecatan pemimpin
yang dianggap menyeleweng. Selain itu, Sultan pun melakukan kontrol dan
berkonsultasi dengan pemimpin millet. berkenaan dengan masalah-masalah yang
ada di dalam millet.
Jadi, umat berbagai agama terakomodir dengan sistem ini. Istilah millet, yang
berasal dari kata bahasa Arab dan berarti “bangsa”, menunjukkan bahwa Turki
Utsmani menyatakan bahwa mereka adalah pelindung bangsa-bangsa yang ada di
dalam pemerintahannya. Setiap agama dianggap millet sendiri, dengan beberapa
millet yang ada di kesultanan. Sebagai contoh, semua orang Kristen Ortodoks di
Kesultanan Utsmani dianggap sebagai merupakan millet, sementara semua orang
Yahudi merupakan millet lain.
Setiap millet diizinkan untuk memilih tokoh agama sendiri untuk memimpin
mereka. Dalam kasus Gereja Ortodoks (Gereja terbesar di Kesultanan Utsmani),
Patriark Ortodoks (Uskup Agung Konstantinopel) adalah pemimpin terpilih millet.
Para pemimpin millet diizinkan untuk menegakkan aturan agama mereka sendiri
pada orang-orang mereka. Hukum Islam (Syariah) tidak memiliki wewenang hukum
atas non-Muslim di bawah Daulah Utsmaniyah.
Dalam kasus kejahatan, orang akan dihukum sesuai dengan aturan agama
mereka sendiri, bukan syariat Islam atau hukum agama lainnya. Sebagai contoh, jika
seorang Kristen terbukti mencuri, dia akan dihukum sesuai dengan hukum Kristen
dalam masalah pencurian. Jika seorang Yahudi yang mencuri, dia harus dihukum
sesuai dengan hukum Yahudi, dan lain-lain.
Syariat hukum Islam akan diterapkan jika yang melakukan pidana adalah
seorang Muslim, atau ketika ada kasus yang melibatkan dua orang dari millet yang
berbeda (misalnya, Yahudi dengan Islam atau Kristen dengan Yahudi). Dalam hal
ini, seorang hakim Muslim akan memimpin kasus dan ia akan memutuskan sesuai
dengan penilaian terbaik.
Selain hukum agama, millet diberi kebebasan untuk menggunakan bahasa
mereka sendiri, mengembangkan lembaga mereka sendiri (gereja, sekolah, dll),
dan mengumpulkan pajak. Pemerintah Turki Utsmani hanya melakukan kontrol
atas millet melalui para pemimpin mereka. Para pemimpin millet wajib melapor
ke sultan. Jika ada masalah dalam sebuah millet, sultan akan berkonsultasi dengan
pemimpin millet. Secara teoritis, populasi Muslim di Kerajaan Turki Utsmani juga
merupakan millet, dengan sultan (raja) sebagai pemimpin milletnya.
Pada masa-masa akhir Daulah Utsmaniyah, negara-negara Eropa Kristen turut
mencampuri urusan-urusan dalam negeri pemerintahan Utsmani di bawah payung
hak-hak istimewa itu. Dan juga, mereka berdalih hendak melindungi orang-orang
SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019
21
Kristen yang tinggal di dalam Daulah Utsmaniyah yang mereka anggap sebagai
warga negara asing. Ini terjadi khususnya di Syam.11
Penutup: Kesuksesan Sistem Millet
Dalam kurun kekuasaan Kerajaan Turki Utsmani, antara tahun 1300 hingga 1922,
sistem millet berhasil menciptakan kerukunan beragama dan dan rasa tanggung
jawab dari setiap lapisan masyarakat di seluruh kerajaan. Semakin luas wilayah
kekuasaan kerajaan, maka semakin banyak tata aturan millet yang berlangsung. Ada
sistem millet untuk Armenia, Katolik, dan Kristen Ortodoks, dengan masing-masing
sektenya yang dibagi lagi lebih spesifik oleh gereja-gereja di daerah masing-masing.
Sistem millet ini tidak berlangsung sampai akhir Kerajaan Utsmani. Setelah
kerajaan mulai mundur dan lemah pada tahun 1700-an dan 1800-an, campur tangan
Eropa di kerajaan pun menguat. Ketika organisasi liberal disahkan tahun 1800-
an, sistem millet dihapuskan, dan sistem pemerintahan sekuler ala Eropa lebih
ditonjolkan. Turki Utsmani dipaksa untuk menjamin “hak” agama minoritas, padahal
hakikatnya mengekaang kebebasan mereka. Bukannya diizinkan untuk memerintah
diri mereka sesuai dengan aturan yang mereka tetapkan, semua kelompok agama
dipaksa untuk mengikuti aturan yang sama yakni hukum sekuler.
Hal ini menjadikan sebuah akhir yang menyebabkan ketegangan umat beragama
di wilayah Kesultanan. Kemudian sebagian sejarawan menganalisis itu sebagai salah
satu pemicu isu “genosida” terhadap orang-orang Armenia (yang hakikatnya masih
diperdebatkan) di Perang Dunia I, menjelang hari-hari keruntuhan Turki Utsmani.
Sistem millet adalah solusi yang unik dan kreatif untuk menjalankan sebuah
kerajaan multi-etnis dan multi-agama. Hak dan kebebasan diberikan kepada agama
minoritas dalam kurun waktu yang panjang. Sementara Eropa pada tahun 1900-
an masih disibukkan dengan penganiayaan atas nama agama, Turki Utsmani telah
menciptakan sistem pengakuan agama yang harmonis dan stabil, yang menjamin
kebebasan beragama selama ratusan tahun.
Para peneliti, seperti Barkey & Gavrilis (2016) dari Columbia University, AS,12
bahkan menjelaskan fitur utama dari sistem Millet telah diwariskan kepada negara
penerus tertentu yang pernah menjadi wilayah Turki Utsmani, terutama Mesir,
Israel, Lebanon dan Turki. Mereka berpendapat bahwa jenis otonomi non-teritorial
paling cocok untuk dispersi geografis minoritas, tetapi juga untuk tujuan stratejik
dari Khilafah Utsmaniyah. Meskipun model tersebut tampak ideal, dampaknya
bukan hanya memungkinkan otonomi bagi minoritas, tetapi juga untuk memastikan
bahwa mereka tetap di bawah kendali khilafah.
11 Lihat: Sener Arkturk. “Persistence of the Islamic Millet as an Ottoman Legacy: Mono-Religious and Anti-Ethnic Definition of Turkish Nationhood”.
12 Karen Barkey & George Gavrilis. “The Ottoman Millet System: Non-Territorial Autonomy and its Contemporary Legacy” dalam Jurnal Ethnopolitics, Volume 15, 2016, Issue 1, hlm. 24.
SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019
22
Daftar PustakaAlastair Sooke. How Western art learned to stop fearing the East.
Ali bin Muhammad Ash-Shallabi. Sejarah Daulah Utsmaniyah. Jakarta: Ummul Qura.
Haydn Williams. Turquerie: An Eighteenth-Century European Fantasy.
Jamal Abdul Hadi. Ad-Daulah Al-‘Utsmaniyyah.
Norman Itzkowitz. Ottoman Empire And Islamic Tradition.
Chicago: University Of Chicago Press, 1981.
William Ochsenwald dan Sydney Fisher. The Middle East: A History. 6th. New
York: McGraw-Hill, 2003.
M. Anastassiadou-Dumont. Non-Muslim Communities and State Control in the late
Ottoman Empire. Administrative Practice and Decision-making within the
Greek Orthodox Parishes of Istanbul, 2015, https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-
01452033/document
M. Yakub Mughul. “The Ottoman Policy Towards Non-Muslim Communities
and Their Status in the Ottoman Empire During the 15th & 16th Centuries:
Interaction of Civilizations”, 2015, https://www.ayk.gov.tr/wp-content/
uploads/2015/01/
Karen Barkey & George Gavrilis. “The Ottoman Millet System: Non-Territorial
Autonomy and its Contemporary Legacy” dalam jurnal Ethnopolitics, Volume
15, 2016, Issue 1, hlm. 24–42.
Roger Crowley. 1453: Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim.
Terjemahan Ridwan Muzir. Jakarta: Pustaka Alvabet. 2015.
Sener Arkturk. “Persistence of the Islamic Millet as an Ottoman Legacy: Mono-
Religious and Anti-Ethnic Definition of Turkish Nationhood” dalam jurnal
Middle Eastern Studies, Volume 45, 2009, Issue 6, hlm. 893–909.
http://lostislamichistory.com/non-muslim-rights-in-the-Utsmani-empire/