If you can't read please download the document
Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPADATAN
TULANG PADA LANSIA AWAL DI PUSKESMAS PISANGAN
TANGERANG SELATAN TAHUN 2016
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
(S.Kep)
OLEH :
RIA ANDRIANI
NIM : 1112104000031
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437H/2016M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
iii
PROGRAM STUDY OF NURSING SCIENCE
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA
Undergraduate Thesis, June 2016
Ria Andriani, NIM : 1112104000031
FACTORS RELATED TO THE BONE DENSITY IN ELDERLY IN PUSKESMA
PISANGAN SOUTH TANGERANG 2016
Xviii + 84 pages, 12 tables, 2 schemes, 4 attachments
ABSTRACT
Background: abnormal bone density or osteoporosis and osteopenia is a disease
characterized by bone mass reduction. WHO estimates that by 2050 there will be 6.3
million fractures related to osteoporosis. Prevalence of Osteoporosis in Indonesia
reached 19.7%. The purpose of this study was to determine the factors associated
with bone density in Puskesmas Pisangan South Tangerang Year 2016. The study
design with a quantitative approach with cross sectional. The research instrument is
Quantitative Ultrasound to determine bone density and questionnaires to find out the
sex, menopausal status, calcium intake, physical activity, smoking, and alcohol
drinking habits. Data analysis technique used was Chi-Square. Total respondents
surveyed in this study were 110 respondents, that is 101 respondents with abnormal
bone density and 9 respondents with normal bone density. The result showed that the
variables proved to be a factor associated with bone density menopausal status only.
Gender, calcium intake, physical activity, smoking and alcohol drinking habits did
not prove to be a factor associated with bone density. Suggestions for further research
studies that use different types of studies such as cohort or experiment.
Keywords: Bone Density, Osteoporosis, Osteopenia.
iv
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, Juni 2016
Ria Andriani, NIM: 1112104000031
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang Pada Lansia Awal Di
Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tahun 2016
Xviii + 84 halaman, 12 tabel, 2 bagan, 4 lampiran
ABSTRAK
Latar belakang: Kepadatan tulang tidak normal atau osteoporosis dan osteopenia
adalah penyakit yang ditandai dengan pengurangan massa tulang. WHO
memperkirakan pada tahun 2050 akan ada patah tulang 6,3 juta terkait dengan
osteoporosis. Prevalensi Osteoporosis di Indonesia mencapai 19,7%. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan
tulang di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tahun 2016. Desain penelitian
dengan pendekatan kuantitatif dengan cros sectional. Instrumen penelitian berupa
Quantitative Ultrasound untuk mengetahui kepadatan tulang dan kuesioner untuk
mengetahui jenis kelamin, status menopause, asupan kalsium, aktivitas fisik, perilaku
merokok, dan kebiasaan minum alkohol. Teknik analisa data yang digunakan adalah
Chi-Square. Total responden yang diteliti dalam penelitian ini adalah 110 responden,
yaitu 101 responden dengan kepadatan tulang tidak normal dan 9 responden dengan
kepadatan tulang normal. Hasil penelitian didapatkan variabel yang terbukti menjadi
faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang hanya status menopause. Jenis
kelamin, asupan kalsium, aktivitas fisik, perilaku merokok dan kebiasaan konsumsi
alkohol tidak terbukti menjadi faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang.
Saran penelitian untuk peneliti selanjutnya yaitu menggunakan jenis penelitian yang
berbeda seperti kohort atau experiment.
Kata Kunci : Kepadatan Tulang, Osteoporosis, Osteopenia.
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN
vi
vii
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ria Andriani
Tempat, Tanggal Lahir : Sukadarma, 04 Maret 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Desa Sukadarma, RT 01, RW 01, Kecamatan Jejawi,
Kabupaten OKI, Palembang Sumatera Selatan.
Hp : 081219415273
Email : [email protected]
Fakultas/Jurusan : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/ Program Studi
Ilmu Keperawatan.
Latar Belakang Pendidikan
1. 2000 – 2006 : SD Negeri 1 Jejawi Kabupaten OKI
2. 2006 – 2009 : SMP Negeri 2 Jejawi Kabupaten OKI
3. 2009 – 2012 : MAN 3 Palembang
4. 2012 – 2016 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, pencipta alam
semesta, penguasa isi jagat raya, pemberi kebahagiaan serta tidak pernah berhenti
memberikan limpahan taufiq, nikmat, hidayah dan karuniaNya. Shalawat dan salam
selalu terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SWA, keluarga, sahabat serta
pengikut ajaran beliau hingga akhir jaman. Atas nikmat dan rahmat Allah SWT,
penulis dapat menyelasaikan skripsi ini yang berjudul “Faktor-faktor yang
berhubungan dengan Kepadatan Tulang Pada Lansia Awal di Puskesmas Pisangan
Tangerang Selatan Tahun 2016”.
Banyak pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, doa, serta kerjasama
yang luar biasa dalam proses penyusunan proposal skripsi ini. Penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif HIdayatullah Jakarta.
2. Ibu Maulina Handayani, S.Kp.,MSc selaku Ketua Program Studi dan Ibu
Ernawati, S.Kp.,M.Kep.,Sp.KMB selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ita Yuanita, S.Kp.,M.Kep dan Bapak Karyadi, S.Kp.,MKep., PhD selaku
dosen pembimbing skripsi yang meluangkan waktu dan dengan sabar
x
memberikan arahan, saran, dan perbaikan serta motivasi kepada penulis selama
proses penyusunan sehingga penyusun skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya Bapak/Ibu dosen Program Studi Ilmu
Keperawatan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama kuliah.
5. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan beserta seluruh stafnya
karena telah membantu dalam perizinan dan pengambilan data dalam
melakukan penelitian
6. Kepala Puskesmas Pisangan dan seluruh stafnya terima kasih banyak atas
masukan, bimbingan, bantuan dan kemudahan selama penulis melakukan
penelitian.
7. Orang tua tercinta, Ayahanda Muhammad Jon dan Ibunda Juairiyah yang
selalu memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang kepada penulis
dalam menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir ini. Tak lupa, kepada
saudara-saudara tersayang Ayunda Sri Maryani dan Nuzilah, Kakanda Yudi
Darmadi, dan Adinda Novita Hardiyanti dan seluruh keluarga besar yang
senantiasa juga selalu memberikan dukungan, semangat, dan doanya kepada
peneliti dalam menyelesaikan proposal skripsi ini.
8. Teruntuk teman-teman Oca, Septi, Ida, Lulu, Clara, Yuli dan seluruh teman-
teman PSIK 2012 yang telah membantu, memberi masukan, menghibur, dan
memberi inspirasi bagi penulis selama proses perkuliahan. Tak lupa, Ayunda
xi
Rosi Pratiwi yang memberikan semangat, dukungan, dan membantu peneliti
untuk menyelesaikan proposal skripsi ini.
9. Teruntuk teman satu bimbingan Lulu Yunita dan Hanifah Mufidati yang telah
memberikan semangat, dukungan, masukan dan saling membantu selama
penulis melakukan penelitian.
10. Kepada teman seperjuangan SJD SUMSEL 2012, Eka, Prima, Rani, Bella,
Beny, Deny, Lukman, Raka, dan Agus. Serta seluruh kakak-kakak dan adik-
adik SJD SUMSEL yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan
skripsi ini kearah yang lebih baik. Atas perhatiannya penulis ucapkan
terimakasih.
Mudah-mudahan segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat imbalan dari Allah AWT. Penulis berharap semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis khusnya.
Ciputat, Juni 2016
Ria Andriani
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................................... ii
ABSTRACT ............................................................................................................................ iii
ABSTRAK .............................................................................................................................. iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN......................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ix
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... xii
DAFTAR BAGAN ................................................................................................................ xv
DAFTAR TABEL ................................................................................................................ xvi
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 6
C. Pertanyaan Penelitian .................................................................................................... 8
D. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 9
E. Manfaat Penelitian ...................................................................................................... 10
F. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................... 12
A. Tulang ......................................................................................................................... 12
B. Proses pertumbuhan tulang ......................................................................................... 14
C. Kepadatan tulang ........................................................................................................ 16
1. Puncak massa tulang (Peak Bone Mass) ................................................................. 16
D. Faktor yang mempengaruhi puncak massa tulang ...................................................... 19
file:///D:/skripsi/word%20skripsi/SEMPURNA/DVC.doc%23_Toc454804611file:///D:/skripsi/word%20skripsi/SEMPURNA/DVC.doc%23_Toc454804614
xiii
E. Quantitative Ultrasound (QUS) .................................................................................. 30
F. Kerangka Teori ........................................................................................................... 34
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL ..... 35
A. Kerangka Konsep ........................................................................................................ 35
B. Hipotesis ..................................................................................................................... 36
C. Definisi Operasional ................................................................................................... 37
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................... 40
A. Desain Penelitian ........................................................................................................ 40
B. Tempat dan waktu Penelitian ...................................................................................... 40
C. Populasi dan Sampel ................................................................................................... 41
D. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Pengumpulan Data .................................. 44
E. Tahap Pengumpulan Data ........................................................................................... 48
F. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ........................................... 50
G. Pengolahan Data ......................................................................................................... 51
H. Analisa Data ................................................................................................................ 53
I. Etika Penelitian ........................................................................................................... 54
BAB V HASIL ....................................................................................................................... 57
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian .......................................................................... 57
B. Karakteristik Responden ............................................................................................. 58
C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang................................... 61
xiv
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................................... 65
A. Karakteristik Responden ............................................................................................. 65
B. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang................................... 73
C. Keterbatasan Penelitian ............................................................................................... 83
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 84
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 84
B. Saran ........................................................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 2.1 Kerangka Teori 34
Bagan 3.1 Kerangka Konsep 35
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Angka Kecukupan Gizi Kalsium di Indonesia 23
2.2 Nilai Kalsium Berbagai Jenis Pangan 25
3.1 Definisi Operasional 37
4.1 Cara Menghitung Skor Untuk mengkategorikan Aktivitas Fisik 46
5.1 Distribusi Frekuensi Kepadatan Tulang Responden di Puskesmas 58
Pisangan Tangerang Selatan
5.2 Karakteristik Responden di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan 59
5.3 Distribusi Frekuensi Kepadatan Tulang Berdasarkan Karakteristik 60
Responden
5.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepadatan Tulang Responden 61
di Puskesmas Pisangan
5.5 Hubungan Status Menopause dengan Kepadatan Tulang Responden 62
di Puskesmas Pisangan
5.6 Hubungan Asupan Kalsium dengan Kepadatan Tulang Responden 63
di Puskesmas Pisangan
5.7 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kepadatan Tulang Responden 63
di Puskesmas Pisangan
5.8 Hubungan Perilaku Merokok dengan Kepadatan Tulang Responden 64
di Puskesmas Pisangan
xvii
DAFTAR SINGKATAN
BMD : Bone Mineral Density
DMT : Densitas Mineral Tulang
IOF : International Osteoporosis Foundation
ISCD : International Society of Clinical Densitometry
QUS : Quantitative Ultrasound
WHO : World Health Organitation
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden (Informed Consent)
2. Lembar Kuesioner
3. Hasil Analisis Univariat
4. Hasil Analisis Bivariat
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tulang adalah jaringan hidup. Sel-sel tulang yang menghasilkan matriks
organic dikenal sebagai osteoblast (“pembentuk tulang”). matriks organic terdiri
dari serat kolagen dalam suatu gel setengah padat. Matriks ini memiliki
konsistensi seperti karet dan berperan menentukan kekuatan tulang. tulang
menjadi keras karena pengendapan Kristal kalsium fosfat didalam matrik
(Sherwood, 2012). Tulang merupakan bangunan yang dibentuk sebagai kerangka
manusia, tempat melekatnya jaringan otot sehingga membentuk tubuh. Tanpa
tulang, manusia bagaikan seonggok daging yang terkulai lemas, tidak dapat
berdiri tegak, tidak dapat berjalan, berlari, atau pun mengangkat dan
memindahkan barang (Purwoastuti, 2009)
Densitas adalah kepadatan. Densitas tulang atau kepadatan tulang, yaitu
berapa gram mineral per volume batang. Tulang yang normal itu kuat, karena
mengandung protein, kolagen, dan kalsium (Tandra, 2009). Kepadatan tulang
adalah massa tulang per volume tulang. Dengan definisi ini, volume diambil
sebagai total volume spesimen tulang termasuk lubang tulang. Kalkulasi
kepadatan tulang disebut juga “kepadatan structural” (Van, 2005).
Pertumbuhan dan perkembangan tulang telah mencapai batas maksimum
(puncak massa tulang) pada umur 25 tahun. Puncak massa tulang bervariasi pada
setiap orang dan umumnya lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita
2
(Wirakusumah, 2007). Menurut Tandra (2009) pada rentang usia 20-35 kepadatan
tulang berada pada puncaknya dan resiko patah tulang sangat rendah. Kecepatan
pembentukan tulang berkurang secara progresif sejalan dengan usia, yang dimulai
pada usia sekitar 30 atau 40 tahun. Semakin padat tulang sebelum usia tersebut,
semakin kecil kemungkinan terjadi osteoporosis (Corwin, 2009).
Kehilangan massa tulang sangat mungkin terjadi apabila nilai massa
tulang rendah. Jika puncak massa tulang tinggi maka seseorang relative lebih
kecil risikonya terkena osteoporosis. Faktor yang mempengaruhi puncak massa
tulang belum diketahui secara pasti, tetapi dipercaya sangat dipengaruhi oleh
faktor genetik, konsumsi kalsium, olahraga teratur serta menghindari konsumsi
alkohol, kafein, soft drink, dan rokok. Kehilangan massa tulang berhubungan
langsung dengan peningkatan usia baik pada pria maupun wanita. Penurunan
massa tulang dimulai pada usia 40 tahun dan terus berlangsung hingga akhir masa
kehidupun (Wirakusumah, 2007). Menurut Cosman (2009), massa tulang
maksimum sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik seseorang, tetapi
nutrisi, olahraga, kualitas fungsi menstruasi, dan gaya hidup sehat juga ikut
berperan.
Jika faktor pembentukan tulang tidak maksimal yang nantinya
menyebabkan berkurangnya massa tulang dan tulang menjadi rapuh barulah
disadari dampak penurunan kepadatan tulang seperti tinggi badan berkurang, tiba-
tiba terjadi rasa nyeri pada tulang, sakit punggung, sakit pinggang yang parah,
atau kelainan bentuk tulang belakang yang menyebabkan postur tubuh bungkuk
3
(kyphsis) (Wijayakusumah, 2009). Dampak berkurangnya kepadatan tulang akan
mengakibatkan osteoporosis. Osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri,
deformitas, dan fraktur (Pudjiastuti, 2003). Osteoporosis merupakan salah satu
penyakit yang digolongkan sebagai silent disease karena tidak menunjukkan
gejala-gejala yang spesifik. Gejala dapat berupa nyeri pada tulang dan otot,
terutama sering terjadi pada punggung. Berapa gejala umum osteoporosis, mulai
dari patah tulang, tulang punggung yang semakin membungkuk, menurunnya
tinggi badan, dan nyeri punggung (Menkes RI, 2015).
World Health Organitation (WHO) memperkirakan pada pertengahan
abad mendatang, jumlah patah tulang pada panggul karena gangguan kepadatan
tulang (osteoporosis) akan meningkat tiga kali lipat, dari 1,7 juta pada tahun 1990
menjadi 6,3 juta pada tahun 2050 kelak. Data dari International Osteoporosis
Foundation (IOF) menyebutkan bahwa seluruh dunia, satu dari tiga wanita dan
satu dari delapan pria yang berusia di atas 50 tahun memiliki risiko mengalami
patah tulang akibat osteoporosis dalam hidup mereka. Dengan meningkatnya usia
harapan hidup, maka berbagai penyakit degenerative dan metabolik akan menjadi
masalah muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus terutama di negara-
negara berkembang, termasuk di Indonesia. Jumlah penderita gangguan
kepadatan tulang (osteoporosis) di Indonesia jauh lebih besar dari data terakhir
Depkes, yang mematok angka 19,7 persen dari seluruh penduduk (Syam, dkk,
2014).
Prevalensi osteoporosis di Indonesia berdasarkan jenis kelamin laki-laki
dan perempuan tahun 2006 menunjukkan hasil bahwa prevalensi osteoporosis
4
pada perempuan trennya meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini bisa
disebabkan karena menopause dimana kadar hormon estrogen yang turun.
Prevalensi osteoporosis lebih banyak terjadi pada usia 70-80 tahun (53.3%), usia
50-80 tahun sebesar (22.5%). Sedangkan pada laki-laki prevalensi osteoporosis
trendnya juga meningkat seiring bertambahnya usia, akan tetapi tidak sebesar
pada perempuan. Prevalensi osteoporosis lebih banyak terjadi pada usia 70-80
tahun (11.9%).
Penelitian Setyawati (2014) menunjukkan hasil bahwa sebagian besar
responden dewasa awal (usia 25-35 tahun) memiliki pengetahuan tentang
osteoporosis dan kepadatan tulang yang kurang baik dan mengonsumsi kalsium
kurang dari kecukupan yang dianjurkan. Hasil penelitian selanjutnya
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi,
tingkat kecukupan energi, protein, dan fosfor dengan kejadian pengeroposan
tulang. Namun, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan
kalsium dan aktivitas fisik dengan kejadian pengeroposan tulang (Marjan, 2013).
Wanita menopause yang kurang konsumsi kalsium berisiko untuk terkena
osteoporosis (Heaney, 2003 dalam Marjan, 2013). Penelitian berikutnya
menunjukkan hasil bahwa, Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan faktor yang
paling berhubungan dengan gangguan kepadatan tulang setelah dikontrol variabel
usia, asupan vitamin D, dan asupan protein. Semakin rendah IMT, maka semakin
tinggi risiko gangguan kepadatan tulang (Mardiyah, 2014).
5
Penelitian Permatasari (2011) menunjukkan hasil terdapat hubungan
secara bermakna terhadap gangguan kepadatan tulang (kejadian osteoporosis)
adalah asupan kalsium, asupan vitamin D, jenis kelamin, indeks massa tubuh,
frekuensi konsumsi makanan sumber kalsium, dan frekuensi konsumsi suplemen
kalsium. Aktivitas olahraga dengan pembebanan tidak berhubungan signifikan
namun menunjukkan kecenderungan responden yang tidak berolahraga lebih
banyak yang mengalami masalah kepadatan tulang dari pada yang berolahraga.
Pengukuran DMT menggunakan metode Quantitative Ultrasound dengan
keakuratan pengukuran sebesar 97%.
Data sekunder dari Dinas Kesehatan tahun 2014 menunjukkan bahwa dari
hasil pemeriksaan kepadatan tulang di Puskesmas Pisangan dengan jumlah
responden 44 usia 45-85 tahun yaitu, sebesar 41% responden menunjukkan hasil
BMD ≤ -2,5 (osteoporosis), sebesar 59% responden menunjukkan hasil BMD
< -1 (osteopenia), dan tidak ada responden yang menunjukkan hasil BMD >-1
(normal). Pada tahun 2015 hasil pemeriksaan kepadatan tulang di seluruh
Puskesmas tangerang Selatan menunjukkan bahwa Puskesmas Pisangan yaitu,
sebesar 95,5% responden menunjukkan hasil pemeriksaan kepadatan tulang tidak
normal/mengalami pengeroposan tulang dan 4,5% menunjukkan hasil kepadatan
tulangnya normal.
Studi Pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 23 Januari 2016
dengan wawancara pada 8 warga di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan
didapatkan bahwa bahan makanan yang biasa dikonsumsi yaitu, tahu, tempe,
6
kacang panjang, ikan basah, telur, kangkung, sayur sop, dan sayur asam. 75%
warga yang tidak olahraga dan 25% jarang berolahraga. 63% jarang minum susu,
37% tidak suka minum susu. Jika ada waktu luang digunakan untuk menonton tv,
tidur-tiduran.
Berdasarkan data-data hasil penelitian diatas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
kepadatan tulang pada lansia awal di wilayah Puskesmas Pisangan karena dari
hasil data pemeriksaan kepadatan tulang di wilayah Tangerang Selatan tahun
2015 oleh Dinas Kesehatan Tangerang Selatan menunjukkan bahwa angka
tertinggi responden yang mengalami pengeroposan tulang adalah di Puskesmas
Pisangan. Salah satu cara untuk mengurangi angka kejadian osteoporosis yaitu
dengan cara mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan tulang itu
sendiri. Alasan peneliti memilih lansia awal karena pada usia saat itu proses
puncak massa tulang sudah terlewati dan mulai terjadinya penurunan kepadatan
tulang (Corwin, 2009). Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Pisangan
Tangerang Selatan dengan mengukur kepadatan mineral tulang sampel
menggunakan alat Quantitative Ultrasound (QUS).
B. Rumusan Masalah
Puncak pembentukan tulang (peak bone mass) yang optimal terutama
terjadi pada masa dewasa yaitu pada rentang usia 20-35 tahun (Permatasari,
2011). Kecepatan pembentukan tulang berkurang secara progresif sejalan dengan
usia, yang dimulai pada usia sekitar 30 atau 40 tahun (Corwin, 2009). Penelitian
7
Permatasari tahun 2011 menunjukkan hasil terdapat hubungan secara bermakna
terhadap gangguan kepadatan tulang (kejadian osteoporosis) adalah asupan
kalsium, asupan vitamin D, jenis kelamin, indeks massa tubuh, frekuensi
konsumsi makanan sumber kalsium, dan frekuensi konsumsi suplemen kalsium.
Puskesmas Pisangan merupakan salah satu puskesmas yang menunjukkan
hasil tertinggi yang paling banyak mengalami kejadian pengeroposan tulang se-
Tangerang Selatan dan Puskesmas terendah yaitu Puskesmas Paku Alam.
Berdasarkan data hasil pemeriksaan kepadatan tulang oleh Dinas Kesehatan di
Puskesmas Pisangan pada tahun 2015 menunjukkan hasil yaitu, sebesar 95,5%
responden mengalami pengeroposan tulang/kepadatan tulang tidak normal, dan
4,5% menunjukkan hasil kepadatan tulangnya normal. Dampak berkurangnya
kepadatan tulang jika tidak ditangani yaitu seperti tinggi badan berkurang, tiba-
tiba terjadi rasa nyeri pada tulang, sakit punggung, sakit pinggang yang parah,
atau kelainan bentuk tulang belakang yang menyebabkan postur tubuh bungkuk
(kyphsis) (Wijayakusumah, 2009). Kiranya peneliti ingin melakukan penelitian
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada lansia
awal usia 46-55 tahun di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan, melalui
beberapa aktivitas penelitian dan peneliti berharap hasil dari penelitian ini dapat
memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya.
8
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah penelitian yang telah dipaparkan, maka
dapat diambil pertanyaan penelitian yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas
Pisangan Tangerang Selatan?
2. Apakah ada hubungan jenis kelamin dengan kepadatan tulang?
3. Apakah ada hubungan status menopause dengan kepadatan tulang?
4. Apakah ada hubungan asupan kalsium dengan kepadatan tulang?
5. Apakah ada hubungan aktivitas fisik dengan kepadatan tulang?
6. Apakah ada hubungan perilaku merokok dengan kepadatan tulang?
7. Apakah ada hubungan kebiasaan konsumsi alkohol dengan kepadatan tulang?
9
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas
Pisangan Ciputat Timur Tangerang Selatan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran kepadatan tulang pada lansia awal di
Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
b. Untuk mengidentifikasi hubungan antara jenis kelamin dengan kepadatan
tulang
c. Untuk mengidentifikasi hubungan antara status menopause dengan
kepadatan tulang
d. Untuk mengidentifikasi hubungan antara asupan kalsium dengan
kepadatan tulang
e. Untuk mengidentifikasi hubungan antara aktivitas fisik dengan kepadatan
tulang
f. Untuk mengidentifikasi hubungan antara perilaku merokok dengan
kepadatan tulang
g. Untuk mengidentifikasi hubungan antara konsumsi alkohol kepadatan
tulang
10
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah literature mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada pada lansia awal. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan tambahan dalam
melakukan pengabdian kepada masyarakat.
2. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dalam konteks keilmuan
dan metodologi penelitian serta memberikan pengalaman yang berharga bagi
peneliti dalam melaksanakan penelitian.
3. Bagi Responden
Penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan informasi mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang dan mengetahui
kepadatan tulang lansia awal usia 46-55 tahun di Puskesmas Pisangan Ciputat
Tangerang Selatan.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar, menambah
informasi dan sebagai rujukan bagi peneliti lain untuk kepentingan
pengembangan ilmu yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan
dengan kepadatan tulang pada lansia awal.
11
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada warga di Posbindu Puskesmas Pisangan
Tangerang Selatan yang tergolong lansia awal yaitu berusia 46-55 tahun yang
bertujuan untuk memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kepadatan tulang pada warga tersebut. Jenis penelitian ini
menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional.
Pengumpulan data menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner berisi
item-item pertanyaan terkait jenis kelamin, status menopause, pemenuhan
kebutuan kalsium pada sampel, aktivitas fisik, perilaku merokok dan perilaku
mengkonsumsi alkohol, serta pengukuran Densitas Mineral Tulang (DMT)
dengan menggunakan alat Quantitative Ultrasound Bone Densitometri. Populasi
dalam penelitian ini adalah semua responden yang memeriksakan kepadatan
tulangnya di Puskesmas Ciputat yang berusia antara 46-55 tahun (lansia awal).
Penelitian ini dilakukan pada bulan April di Puskesmas Pisangan Tangerang
Selatan.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tulang
Tulang adalah jaringan hidup. Karena merupakan jaringan ikat maka
tulang terdiri dari sel dan matriks organic ekstrasel yang dihasilkan oleh sel. Sel-
selt tulang yang menghasilkan matriks organic dikenal sebagai osteoblast
(“pembentuk tulang”). matriks organic terdiri dari serat kolagen dalam suatu gel
setengah padat. Matriks ini memiliki sistensi seperti karet dan berperan
menentukan kekuatan tensile tulang (keuletan tulang menahan patah yang
ditimbulkan oleh tegangan). Tulang menjadi keras karena pengendapan Kristal
kalsium fosfat didalam matriks. Kristal inorganic ini memberi tulang kekuatan
kompresi (kemampuan tulang mempertahankan bentuk ketika diperas atau
ditekan). Jika seluruhnya terbentuk dari Kristal inorganic maka tulang akan rapuh,
seperti potongan kapur. Tulang memiliki kekuatan struktural yang mendekati
beton bertulang, namun tulang rapuh dan jauh lebih ringan, karena tulang
memiliki campuran berupa perancah organik yang diperkeras oleh Kristal
inorganik (Sherwood, 2012).
Sebagai unsur pokok kerangka orang dewasa, jaringan tulang menyangga
struktur berdaging, melindungi organ-organ vital seperti yang terdapat dalam
tengkorak dan rongga dada, dan menampung sumsum tulang, tempat sel-sel darah
dibentuk. Tulang juga berfungsi sebagai cadangan kalsium, fostaf, dan ion lain,
yang dapat dilepaskan atau disimpan dengan cara terkendali untuk
13
mempertahankan konsentrasi ion-ion penting tersebut dalam cairan tubuh
(Mescher, 2012).
Tulang membentuk suatu sistem pengungkit yang melipatgandakan
kekuatan yang dibangkitkan selama otot rangka berkontraksi dan mengubahnya
menjadi gerakan tubuh. Jaringan bermineral ini memberi fungsi mekanis dan
metabolic pada kerangka (Mescher, 2012). Tulang adalah jaringan ikat khusus
yang terdiri atas materi antar sel berkapur, yaitu matriks tulang, dan terdiri dari 3
macam sel tulang:
1) Osteosit , yang terdapat dalam rongga di antara lapisan matriks tulang
(Mescher, 2012). Berada dalam kapsul, mempunyai benjolan banyak yang
masuk ke saluran bercabang, dan menghubungkan sel dan kapsul yang lain
disebut kanalikuli (Syaifuddin, 2006)
2) Osteblas, yang menyintesis unsur organic matriks (Mescher, 2012). Sel induk
tulang guna mensintesis bahan organis dengan serat kolagen pada permukaan
tulang, terpisah berubah menjadi osteosit kanalikuli yang terbentuk di
sekeliling tonjolan tersebut (Syaifuddin, 2006).
3) Osteoklas, yang merupakan sel raksasa multinukleus yang terlibat dalam
resorpsi dan remodeling jaringan tulang (Mescher, 2012).
14
B. Proses pertumbuhan tulang
Penambahan ketebalan tulang dicapai melalui penambahan tulang baru di
atas permukaan luar tulang yang sudah ada. Pertumbuhan ini dihasilkan oleh
osteoblas di dalam peritoneum, suatu selubung jaringan ikat yang menutupi
bagian luar tulang. sewaktu osteoblast aktif mengendapkan tulang baru di
permukaan eksternal, sel lain di dalam tulang, osteoklas (“penghancur tulang”),
melarutkan jaringan tulang di permukaan dalam di dekat rongga sumsum. Dengan
cara ini, rongga sumsum membesar untuk mengimbangi bertambahnya lingkar
batang tulang (Sherwood, 2012)
Pertambahan panjang tulang panjang dicapai melalui mekanisme yang
berbeda. Tulang memanjang akibat aktivitas sel-sel tulang rawan, atau kondrosit,
di lempeng epifisis. Selama pertumbuhan, sel-sel tulang rawan di tepi luar
lempeng di samping epifisis membelah dan memperbanyak diri, secara temporar
memperlebar lempeng epifisis. Seiring dengan terbentuknya kondrosit-kondrosit
baru di tepi epifisis, sel-sel tulang rawan yang sudah tua ke arah batas diafisis
membesar. Kombinasi proliferasi sel tulang rawan baru dan hipertrofi kondrosit
matang secara temporer memperlebar lempeng epifisis. Penebalan sisipan
lempeng tulang rawan ini mendorong epifisis tulang semakin jauh dari diafisis.
Matriks yang mengelilingi tulang rawan paling tua segera mengalami kalsifikasi
(Sherwood, 2012).
Pembentukan tulang kembali digambarkan dengan keseimbangan fungsi
osteoblast dan osteoklas. Proses ini terjadi pada tiap permukaan tulang berlanjut
15
sepanjang hidup (tiap tahun). Fungsi proses pembentukan tulang kembali yaitu
untuk melindungi tulang dari efek kerusakan atau untuk menjaga kekuatan tulang
(Trihapsari, 2009). Ada pendapat yang menyatakan bahwa proses pembentukan
tulang kembali melindungi tulang dari efek kerusakan karena kelelahan yang
terakumulasi. Dengan kata lain, pembentukan kembali terjadi setelah tulang
menjadi tua atau lemah atau mengalami keretakan kecil atau kerusakan
mikroskopis berulang kali, yang akhirnya dapat mengurangi kekuatan tulang
tersebut. Sepotong tulang yang mengalami kerusakan kecil ini dilarutkan atau
diserap kembali oleh sel bernama osteoklas, yang didatangkan ke area tersebut
oleh zat penarik tertentu yang dihasilkan oleh sel bernama osteosit yang dapat
mengidentifikasi kerusakan tulang. Setelah melarutkan potongan yang rusak,
osteoklas menghilang dan sel pembentuk tulang (osteoblast) yang terbuat dari sel
prekursor di sumsum tulang didatangkan ke area tersebut, mungkin juga oleh zat
penarik. Osteoblast membentuk bagian tulang baru untuk menggantikan tulang
yang dilarutkan oleh osteoklas (Cosman, 2009).
Kekuatan tulang ditentukan oleh kuantitas dan kualitas tulang. kuantitas
yaitu kepadatan tulang, sedangkan kualitas yaitu ukuran (massa) tulang,
kandungan mineral, dan mikroarsitektur tulang. Densitas mineral tulang dicapai
maksimal pada usia 18 tahun dan tidak ada perbedaan jender. Stabilitas tulang
ditentukan oleh arsitektur tulang dan DMT (Bazied, 2003).
16
C. Kepadatan tulang
Kepadatan tulang adalah parameter yang harus diukur untuk mendiagnosis
gangguan kepadatan tulang (osteoporosis). Perlu dicatat bahwa pemeriksaan
kepadatan tulang untuk tujuan diagnosis sebagian besar didasarkan karena satu-
satunya parameter yang dapat diukur secara akurat di vivo. Kepadatan tulang
adalah massa tulang per volume tulang (kg.m-1
) (Mow & Huiskes, 2005).
Densitas Mineral Tulang (DMT) merupakan cara pengukuran kalsium
(mineral tulang) pada suatu area atau volume tulang. Cara ini dilakukan untuk
mengetahui seberapa kuat atau lemahnya tulang seseorang (kepadatan tulang),
sehingga dapat diketahui apakah seorang terkena osteoporosis atau osteopenia,
dan risiko terkena fraktur (patah tulang) (Trihapsari, 2009).
1. Puncak massa tulang (Peak Bone Mass)
Tulang tidak hanya mengalami pertumbuhan tetapi juga bertambah
menjadi lebih padat pada masa anak-anak dan remaja (Wirakusumah, 2007).
Pembentukan tulang paling cepat terjadi pada usia akil balig atau pubertas, ketika
tulang menjadi makin besar, makin panjang, makin tebal, dan makin padat, yang
akan mencapai puncaknya pada usia sekitar 25-40 tahun (Tandra, 2009). Pada
umur 25 tahun, pertumbuhan dan perkembangan tulang telah mencapai batas
maksimum (puncak massa tulang) (Wirakusumah, 2007).
Puncak massa tulang bervariasi pada setiap orang dan umumnya lebih
tinggi pada pria dibandingkan wanita. Umumnya puncak massa tulang lebih
tinggi pada orang yang mempunyai rangka tubuh lebih besar dibandingkan
17
dengan orang yang memiliki rangka tubuh lebih kecil. Apabila nilai massa tulang
rendah maka kehilangan massa tulang yang diikuti dengan kerapuhan tulang
sangat mungkin terjadi. Jika nilai puncak massa tulang tinggi maka seseorang
relative lebih kecil risikonya terkena osteoporosis. Faktor yang mempengaruhih
puncak massa tulang belum diketahui secara pasti, tetapi dipercaya sangat
dipengaruhi oleh faktor genetik, konsumsi kalsium, olahraga teratur serta
menghindari konsumsi alkohol, kafein, soft drink, dan rokok (Wijayakusumah,
2007).
Kurang lebih 50-80 persen puncak massa tulang ini dipengaruhi oleh
faktor genetik, sehingga si anak muda akan menjadi lebih tinggi dan lebih besar,
jika berasal dari keturunan atau orangtua yang memiliki postur tinggi dan besar.
Masih ada faktor-faktor lain yang ikut memegang peran penting, antara lain
kalsium, vitamin D, aktivitias fisik atau olahraga, berat badan, penyakit yang
sedang diderita, atau keadaan pubertas yang datang terlambat (Tandra, 2009).
Beberapa faktor lain akan memengaruhi puncak massa tulang seseorang, seperti
diet, olahraga, merokok, dan minum alkohol. Begitu pula, hormon seks, amenore,
atau tidak datang haid yang disebabkan oleh anoreksia nervosa atau penyakit lain
juga akan menurunkan puncak massa tulang. Penggunaan pil KB atau kontrasepsi
oral dengan hormon terbukti bisa meningkatkan puncak massa tulang.
Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia 30 tahun, yang akan makin
bertambah setelah di atas 40 tahun, dan akan berlangsung terus dengan
bertambahnya usia, sepanjang hidupnya. Sekitar 35 persen tulang padat dan 50
18
persen tulang berongga pada wanita akan hilang, sedangkan pada pria akan
berkurang sekitar dua per tiga dari jumlah tadi (Tandra, 2009). Pembagian
kelompok umur oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009
menyatakan bahwa kelompok lansia awal yaitu usia antara 46 sampai 55 tahun
(Riauwi, 2014).
Kehilangan massa tulang berhubungan langsung dengan peningkatan usia
baik pada pria maupun wanita. Penurunan massa tulang dimulai pada usia 40
tahun dan terus berlangsung hingga akhir masa kehidupan (Wijayakusumah,
2007). Wanita akan kehilangan tulang lebih banyak daripada pria, karena laju
penghancuran tulang meningkat akibat menopause. Pada usia 80 tahun hampir
semua wanita mempunyai massa tulang yang sangat sedikit, sehingga sangat
mudah mengalami patah tulang. Massa tulang akan berkurang setelah berusia
sekitar 40 tahun. Wanita mengalami penurunan massa tulang setiap tahun
sebanyak 1-5 persen, sedangkan untuk pria kurang dari 1 persen. Memang, bagi
wanita, penurunan massa tulang lebih cepat dan lebih banyak. Ini disebabkan oleh
estrogen dalam tubuh wanita yang makin berkurang (Tandra, 2009).
19
Perubahan massa tulang sepanjang kehidupan
Gambar 2.1
(Wijayakusumah, 2007)
D. Faktor yang mempengaruhi puncak massa tulang
Sebuah variasi genetik dan faktor lingkungan mepengaruhi puncak massa
tulang. faktor genetik bisa memberikan (didapatkan ketika lahir dan tidak
berubah, seperti jenis kelamin dan ras) bisa mencapai 75 persen dari massa
tulang, dan faktor lingkungan (seperti diet dan kebiasaan latihan) sisanya, yaitu
sebesar 25 persen (NIH, 2015).
1. Jenis Kelamin
Puncak massa tulang cenderung lebih tinggi pada laki-laki daripada
perempuan. Sebelum pubertas, laki-laki dan perempuan mendapatkan massa
tulang pada nilai yang hampir sama. Setelah pubertas, laki-laki cenderung
mendapatkan massa tulang yang lebih besar dari pada perempuan (NIH,
20
2015). Massa tulang wanita lebih kecil dibandingkan dengan pria. Nilai massa
tulang wanita umumnya hanya sekitar 800 gram lebih kecil dibandingkan
dengan pria yaitu sekitar 1.200 gram. Karena nilai massa tulang yang rendah
itulah maka kehilangan massa tulang yang diikuti dengan kerapuhan tulang
sangat mungkin terjadi (Wirakusumah, 2007).
2. Ras
Alasannya masih belum jelas, wanita Afrika Amerika cenderung
memiliki puncak massa tulang lebih besar dari pada wanita Caucasian.
Perbedaan pada densitas tulang ini terlihat selama masa kanak-kanak dan
masa remaja (NIH, 2015). Ras campuran Afrika-Amerika memiliki massa
tulang tertinggi, sedangkan ras kulit putih dari Eropa memiliki masa tulang
terendah. Ras campuran Asia-Amerika berada di antara keduanya. Wanita
Afrika-Amerika memiliki massa tulang yang lebih padat, rangka tulang dan
massa otot yang lebih besar. Antara massa tulang dan massa otot terdapat
kaitan yang erat. Semakin besar otot, tekanan pada tulang semakin tinggi dan
tulang semakin besar. Ditambah lagi kadar hormon estrogen ras Afrika-
Amerika lebih tinggi dari ras yang lain sehingga wanita Afrika-Amerika
cenderung lebih lambat menua daripada wanita kulit putih (Wirakusumah,
2007).
21
3. Status Menopause
Fase menopause disebut pula sebagai periode klimakterium (climacter
= tahun perubahan/pergantian tahun yang berbahaya). Menopause
merupakan peristiwa fisiologis alamiah. Terjadi setelah berhentinya
menstruasi selama 1 tahun. Biasanya, menstruasi mulai berkurang selama 2-5
tahun, paling sering antara umur 48-55 tahun, rata-rata pada umur 51,4 tahun
(Wicaksana, 2009).
Kehilangan kalsium dari jaringan tulang terjadi pada masa
menopause. Osteoporosis pada menopause terjadi akibat jumlah estrogen dan
progesteron menurun. Hormon estrogen diproduksi wanita dari masa kanak-
kanak sampai dewasa. Hormon tersebut diperlukan untuk pembentukan tulang
dan mempertahankan massa tulang. Rendahnya hormon estrogen dalam tubuh
akan membuat tulang menjadi keropos dan mudah patah (Wijayakusumah,
2009). Ketika tingkat estrogen menurun, siklus remodeling tulang berubah
dan pengurangan jaringan tulang akan dimulai. Salah satu fungsi estrogen
adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Tingkat
resorpsi tulang akan menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang, yang
mengakibatkan berkurangnya massa tulang (Wardhana, 2012).
Hormon estrogen memiliki efek pada puncak massa tulang. Sebagai
contoh, wanita yang menstruasi pertamanya di usia yang muda dan
menggunakan kontrasepsi oral, yang mana berisi estrogen, sering kali
22
memiliki densitas mineral tulang yang tinggi. Sebaliknya, wanita muda yang
periode menstruasinya berhenti karena berat badan rendah yang ekstrim atau
latihan yang berlebihan, sebagai contoh, mungkin kehilangan yang signifikan
jumlah dari densitas tulang, yang mana mungkin tidak bisa menyembuhkan
walaupun setelah periode menstruasi kembali lagi (NIH, 2015).
4. Asupan Nutrisi Kalsium
Kalsium (Ca) adalah elemen yang paling besar jumlahnya di dalam
tubuh. Kalsium merupakan konsistuen penting skeleton dan gigi yang
berjumlah kira-kira 99% dari total kalsium tubuh. Di samping itu, kalsium
adalah konsistuen esensial pada sel-sel hidup dan cairan jaringan. Secara
kuantitatif, partisipasi kalsium dalam pembentukan tulang adalah fungsi
kalsium yang paling penting. Kalsium berinteraksi dengan fosfat membentuk
kalsium fosfat. Kalsium fosfat adalah material keras dan padat yang
membentuk tulang dan gigi. Tulang diketahui tidak hanya sebagai pendukung
atau komponen struktural tubuh, tetapi juga sebagai jaringan yang secara
fisiologis menjadi sumber kalsium untuk pemeliharaan kondisi homeostasis
(Soeparno, 2011).
Kalsium adalah salah satu unsur penting dalam tubuh. Walaupun pada
bayi, kalsium hanya sedikit, yaitu 25-30 g. Namun, setelah usia 20 tahun,
secara normal akan terjadi penempatan sekitar 1.200 g kalsium dalam tubuh.
Jumlah ini, terdiri dari 99% kalsium yang berada di dalam jaringan keras yaitu
23
pada tulang dan gigi (Wirakusumah, 2007). Kebutuhan kalsium harus
dipenuhi dari asupan makanan karena kalsium pada makanan diserap pada
usus halus dengan proses transport aktif (Martin, 1985 dalam Kosnayani,
2007). Kurang lebih terdapat 1 kg kalsium dalam tulang orang dewasa.
Variasi kebutuhan tubuh akan kalsium lebih bergantung pada laju
perkembangan tulang ketimbang kebutuhan metabolik. Kebutuhan maksimal
terjadi selama puncak masa pertumbuhan cepat pada remaja, yang mencapai
1200 mg/hari, maka asupan kalsium sangat vital pada saat itu, untuk
menjamin mineralisasi tulang yang adekuat (Barasi, 2007).
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi Kalsium di Indonesia (perorang perhari)
Umur (tahun) Laki-laki (mg) Perempuan (mg)
16-18 tahun
19-29 tahun
30-49 tahun
50-64 tahun
65-80 tahun
1200
1100
1000
1000
1000
1200
1100
1000
1000
1000
Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2013
Kalsium adalah nutrisi esensial untuk kesehatan tulang. Defisiensi
kalsium pada orang muda tercatat memiliki perbedaan yang signifikan di
24
puncak massa tulang dan bisa meningkatkan resiko fraktur hip di kehidupan
selanjutnya. Survei mengindikasikan bahwa wanita belasan tahun di United
States memiliki lebih sedikit dari pada laki-laki belasan tahun untuk
mendapatkan kecukupan kalsium (NIH, 2015).
Fungsi utama kalsium adalah mengisi kepadatan (densitas tulang).
Cadangan kalsium tubuh terdapat dalam tulang. Jika kekurangan kalsium
tubuh akan mengambil cadangan kalsium di bank tulang. Semakin lama
semakin banyak kalsium yang diambil, tulang semakin tipis, dan kemudian
keropos. Asupan kalsium pada usia lanjut umumnya menurun karena
kurangnya konsumsi makanan sumber kalsium. Disamping itu, bertambahnya
usia dapat menurunkan daya serap terhadap kalsium (Wirakusumah, 2007).
Bullamore JR et al meneliti pengaruh usia pada penyerapan kalsium. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penyerapan kalsium menurun setelah usia
60 tahun dan setelah usia 80 tahun terjadi malabsorpsi yang signifikan
(Limawan, 2015).
Densitas tulang berbeda-beda menurut umur, meningkat pada bagian
pertama kehidupan dan menurun secara berangsur setelah dewasa. Proses
densitas tulang hanya berlangsung hingga seseorang berusia 30 tahun.
(Wirakusumah, 2007). Bila makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi akan
berpengaruh buruk terhadap kesehatan tulang. Makanan sumber kalsium,
fosfor, dan vitamin D yang dikonsumsi cukup sejak usia dini dapat membantu
memperkuat massa tulang, mencegah pengaruh negative dari berkurangnya
25
keseimbangan kalsium dan mengurangi tingkat kehilangan massa kalsium
pada tahun-tahun selanjutnya (Wirakusumah, 2007).
Tabel 2.2 Nilai kalsium berbagai jenis pangan (mg/100g)
Jenis Pangan Mg Jenis Pangan Mg
Ikan bandeng presto 1422 Oncom 96
Susu skim 123 Udang kering 1209
Ikan rebon segar 31 Udang segar 136
Keju 777 Toge 29
Daging ayam 13 Bayam 267
Daging sapi 3 Kacang ijo 125
Susu kental manis 300 Kacang panjang 163
Yogurt 120 Mujair goreng 346
Es krim 123 Telur ayam 54
Mentega 15 Telur asin 120
Susu kedelai 50 Sawi 220
Jeruk 33 Daun singkong 165
Sarden kaleng 354 Kangkung 73
Tempe kedelai 129 Kacang merah 84
Tahu 124 Kacang tanah 58
Sumber : Atmarita, 2005.
26
5. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh
responden sehari-hari yang meliputi olahraga, kegiatan diwaktu bekerja, serta
kegiatan di waktu luang (Baecke, 1982). Wanita dan laki-laki dan dewasa
muda yang latihan secara teratur mencapai lebih besar puncak massa tulang
dibandingkan yang tidak melakukan latihan. Perempuan dan pria berumur 30
tahun dan lebih bisa membantu mencegah kehilangan tulang dengan latihan
teratur. Aktivitas yang terbaik untuk tulang adalah latihan weight-bearing.
Latihan ini melatih kekuatan yaitu dengan bekerja melawan gravitasi, seperti
berjalan, hiking, jogging, naik turun tangga, bermain tennis, menari, dan
latihan berat (NIH, 2015). Aktivitas olahraga dengan pembebanan (weigh-
bearing exercise) dapat membantu pembentukan osteoblast lebih aktif.
Olahraga lompat tali atau jalan kaki sekitar 30 menit yang dilakukan tiga atau
empat kali dalam seminggu dapat meningkatkan massa panggul dan
mengurangi penurunan massa tulang (Permatasari, 2011).
Semakin rendah aktivitas fisik, maka densitas tulang pun beresiko
menjadi lebih rendah. Hal ini terjadi karena aktivitas fisik (olahraga) dapat
membangun tulang dan otot menjadi lebih kuat, juga meningkatkan
keseimbangan metabolisme tubuh (Wirakusumah, 2007). Olahraga baik bagi
tulang maupun aspek kesehatan lain. Tidak bergerak sama sekali
mempercepat penurunan massa tulang, sementara olahraga menahan beban
tubuh meningkatkan massa tulang. pada orang dewasa, olahraga dapat
27
memperlambat penurunan massa tulang akibat usia serta meningkatkan
kesehatan secara umum, sehingga mengurangi risiko terjatuh. Olahraga
membantu memperkuat tulang (Trihapsari, 2009).
Wanita yang malas bergerak atau berolahraga akan terhambat proses
osteoblasnya. Selain itu, kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin
banyak bergerak dan berolahraga, maka otot akan memacu tulang untuk
membentuk massa (Zaviera, 2008). Menurut dr. Sadoso, olahraga mampu
meningkatkan DMT atau mengurangi hilangnya jaringan tulang pada kaum
muda, pramenopause, dan pascamenopause. Berbagai penelitian
menunjukkan, puncak massa tulang anak-anak sampai dewasa yang aktif
berolahraga lebih tinggi daripada yang jarang berolahraga (Zaviera, 2008)
6. lifestyle Behaviors
a) Perilaku Merokok
Merokok bisa berhubungan dengan rendahnya densitas tulang di
masa remaja ataupun perilaku yang tidak sehat lainnya, seperti minum
alkohol dan kebiasaan duduk yang terus menerus. Fakta buruk efek
negative dari merokok pada puncak massa tulang, dan perokok tua akan
menambahkan risiko untuk kehilangan massa tulang dan fraktur (NIH,
2015). Pada wanita perokok ada kecenderungan kadar estrogen dalam
tubuhnya lebih rendah dan kemungkinan memasuki masa menopause lima
tahun lebih awal dibandingkan dengan bukan perokok. Kecepatan
28
kehilangan massa tulang juga terjadi lebih cepat pada wanita perokok.
Asap rokok dapat menghambat kerja ovarium dalam memproduksi
hormon estrogen. Disamping itu, nikotin juga mempengaruhi kemampuan
tubuh untuk menyerap dan menggunakan kalsium (Wirakusumah, 2007).
Penelitian menunjukkan bahwa merokok mempercepat kehilangan
tulang serta turut andil atas berkurangnya kemampuan penyerapan
kalsium (Trihapsari, 2009). Perokok sangat rentan terkena DMT tidak
normal karena zat nikotin yang terdapat didalamnya dapat mempercepat
penyerapan tulang. selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar
dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan-
susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan.
Disamping itu, rokok juga menimbulkan hipertensi, PJK, dan
tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Apabila darah tersumbat,
maka proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin dapat
menyebabkan rendahnya DMT baik secara langsung maupun tidak
langsung. Efek rokok pada tulang mulai terasa setelah usia 35 tahun,
karena proses pembentukan tulang pada umur tersebut mulai terhenti
(Trihapsari, 2009).
b) Kebiasaan Konsumsi Alkohol
Efek mengkonsumsi alkohol untuk puncak massa tulang masih
belum jelas. Efek alkohol pada tulang telah dipelajari secara lebih
29
ekstensif pada orang dewasa, dan hasilnya mengindikasikan bahwa
mengkonsumsi tinggi alkohol berhubungan dengan densitas tulang yang
rendah. Para ahli mengasumsikan bahwa mengkonsumsi alkohol secara
tinggi di masa muda memberikan efek yang merugikan untuk kesehatan
skeletal (NIH, 2015). Konsumsi alkohol dalam jumlah banyak dapat
merugikan kesehatan karena akan mengganggu proses metabolisme
kalsium dalam tubuh. Alkohol dapat menyebabkan luka-luka kecil pada
dinding lambung yang terjadi beberapa saat setelah minum-minuman
beralkohol. Banyaknya luka kecil akibat minum-minuman beralkohol
akan menyebabkan perdarahan. Hal ini dapat menyebabkan tubuh
kehilangan kalsium karena kalsium banyak terdapat dalam darah
(Wirakusumah, 2007).
Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan, akan meningkatkan
terjadinya resiko patah tulang. Hal ini disebabkan alkohol dapat
mengurangi massa tulang, mengganggu metabolisme vitamin D dan
menghambat penyerapan kalsium. Sehingga terjadinya osteoporosis pun
lebih besar pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol
dalam jumlah banyak daripada orang yang tidak mengkonsumsi alkohol
(Agustin, 2009).
30
E. Quantitative Ultrasound (QUS)
Densitas adalah kepadatan. Pemeriksaan kepadatan mineral tulang adalah
untuk mengetahui adanya penurunan densitas tulang. Penentuan densitas tulang
bisa dengan densitometry, computed tomography (CT), atau ultrasound (US)
(Tandra, 2009). Normalnya, setiap tulang mempunyai kepadatan tulang yang
berbeda. Untuk menyesuaikan standar pelaporan hasil dari tempat dan teknologi
yang berbeda, ukuran kepadatan tulang biasanya dinyatakan sebagai nilai-T dan
nilai-Z (Cosman, 2009).
Nilai-T dihitung dari hasil pengukuran kepadatan tulang seseorang, variasi
hasil pengukuran kepadatan tulang, dan kepadatan tulang rata-rata dari populasi
referensi normal kelompok usia muda dengan massa tulang maksimum (Cosman,
2009). Ada sedikit perbedaan antarprodusen alat pengukur kepadatan tulang
dalam hal penentuan usia populasi referensi yang digunakan untuk menentukan
nilai T, tetapi biasanya antara 20 dan 35 tahun. Pada rentang usia ini kepadatan
tulang berada pada puncaknya dan risiko patah tulang karena pengeroposan
tulang sangat rendah. Hasilnya dinyatakan dalam nilai standar deviasi (SD) di atas
atau di bawah rata-rata hasil pengukuran untuk anak muda normal (Cosman,
2009). Hasil Nilai-T bisa plus atau minus. Bila hasil nol, artinya densitas tulang
sama dengan orang muda normal. Bila plus, artinya tulang lebih padat daripada
orang muda. Bila minus, densitas tulang lebih rendah daripada orang muda
normal (Tandra, 2009).
31
Nilai-Z berdeda dengan Nilai-T, Nilai-Z membandingkan BMD seseorang
dengan BMD rata-rata orang dengan jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan berat
badan yang sama. Hasil yang negative berarti tulang Anda keropos, sedangkan
hasil yang positif menyatakan tulang Anda lebih kecil memiliki risiko patah
tulang dibandingkan dengan rata-rata orang lain (Tandra, 2009). Secara umum,
tingkat akurasi tes DMT tergolong tinggi, yaitu antara 89-99%. Namun, terdapat
perbedaan nilai kepadatan (DMT) pada tiap tempat pengukuran di tubuh. Jadi,
densitas tulang pada tempat tertentu merupakan predictor utama fraktur pada
tempat tersebut (Trihapsari, 2009).
Ultrasound adalah jenis gelombang suara dengan frekuensi melebihi
kisaran pendengaran normal manusia (>20kHz). Frekuensi yang digunakan di
QUS biasanya terletak di antara 200 kHz dan 1,5 MHz. Suara yang dihasilkan
oleh pemeriksaan piezoelectric yang unik adalah pemancaran dan pelintasan
longitudinal atau horizontal melalui tulang yang akan diperiksa. Biasanya ada dua
pemeriksaan pada perangkat QUS : emisi dan alat penerima. Segmen tulang yang
akan diperiksa akan ditempatkan di antara alat pemeriksaan ini dan gelombang
ultrasound yang dipancarkan dari alat emisi melalui tulang akan dirasakan oleh
alat penerima (Chin, 2013). Ultrasound mengukur kecepatan suara, saat sinar ini
bergerak menembus tulang dan jaringan lunak diatasnya, dan pengurangan kuat
sinyal, atau jumlah gelombang suara yang hilang saat bergerak menembus bagian
tubuh yang diukur. Teknik ini tidak membuat orang terpapar radiasi karena
32
menggunakan suara bukanya sinar X, dan tidak membutuhkan ahli radiologi
untuk melakukan prosedurnya (Cosman, 2009).
Cara kerja QUS menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang
menembus tulang kemudian dinilai atenuasi kekuatan dan daya tembus melalui
tulang yang dinyatakan sebagai pita lebar ultrasonic (ultrasound broad band) dan
kekuatan (stiffinss). Keuntungannya adalah mudah dibawa ke mana-mana, tetapi
kerugiannya adalah tidak dapat mengetahui lokasi osteoporosis secara tepat
(Wirakusumah, 2007). Alat ini biasanya mengukur tulang di kalkaneus (tumit),
tetapi juga bisa mengukur lengan bawah dan tulang kering (Cosman, 2009).
Pengukuran DMT dengan gelombang ultrasonik yaitu metode QUS biasa
digunakan untuk mengukur tulang tumit (tulang kalkaneus) dan jari (±1 menit).
Cara ini tidak menggunakan radiasi dan dapat memberikan informasi mengenai
massa tulang dan menilai organisasi struktur tulang (Trihapsari, 2009).
Menurut International Society of Clinical Densitometry (ISCD), kalkaneus
QUS adalah satu-satunya yang diakui untuk pengukuran QUS sebagai penentu
status kesehatan tulang karena lebih banyak penelitian telah dilakukan pada
kalkaneus dibandingkan dengan segmen tulang yang lainnya. Selain itu,
kalkaneus terdiri dari 95% tulang trabecular dan memiliki dua permukaan lateral
yang memfasilitasi pergerakan ultrasound. Teknologi Quantitative ultrasound
muncul sebagai alat skrining yang nyaman dan efektif untuk digunakan dalam
deteksi dini osteoporosis. Deteksi dini akan memungkinkan langkah-langkah
33
pencegahan yang harus diambil untuk menghambat perkembangan osteoporosis
selanjutnya (Chin, 2013).
Kriteria World Health Organization (WHO) untuk menentukan berat
ringannya keropos tulang, memberlakukan kriteria yang sudah diterima oleh
seluruh dunia. Bila T-Score sama dengan atau lebih rendah dari -2,5 dinamakan
osteoporosis. Bila T-Score di bawah -1,0 dinamakan osteopenia atau massa tulang
yang rendah. T-Score di antara -1 sampai +1 dikatakan Bone Mineral Density
(BMD) yang normal. Orang dengan T-Score di bawah -2,5 yang disertai dengan
fraktur karena osteoporosis dikategorikan dalam osteoporosis yang berat (severe
or established osteoporosis) (Tandra, 2009).
34
F. Kerangka Teori
(Modifikasi NIH, 2015, Cosman, 2009 & Wirakusumah, 2007)
FAKTOR GENETIK
RAS
JENIS KELAMIN
STATUS MENOPAUSE
FAKTOR
LINGKUNGAN NUTRISI
(ASUPAN KALSIUM)
AKTIVITAS FISIK
LIFESTYLE BEHAVIOR
- MEROKOK
- KONSUMSI
ALKOHOL
KEPADATAN TULANG
35
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori di atas, maka peneliti membuat suatu
kerangka konsep pada penelitian ini sebagai berikut :
Variabel Independent Variabel Dependent
1. Jenis Kelamin
2. Status menopause
3. Nutrisi
4. Aktivitas fisik
5. Perilaku Merokok
6. Konsumsi alkohol
Kepadatan tulang
36
B. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep dan tujuan penelitian, maka hipotesis penelitian
adalah sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kepadatan tulang pada lansia awal
akhir di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan.
2. Ada hubungan antara status menopuase dengan kepadatan tulang pada lansia
awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
3. Ada hubungan antara asupan kalsium dengan kedapatan tulang pada lansia
awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
4. Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kepadatan tulang pada lansia awal
di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
5. Ada hubungan antara perilaku merokok dengan kepadatan tulang pada lansia
awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
6. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi alkohol dengan kepadatan tulang
pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
37
C. Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Kepadatan
tulang
Pemeriksaan kepadatan mineral
tulang untuk mengetahui adanya
penurunan densitas tulang.
Ukuran kepadatan tulang
dinyatakan sebagai Nilai-T.
Tulang pada
bagian tumit
diletakkan di atas
alat pengukur
kepadatan tulang
Quantitative
Ultrasound (QUS)
1. Normal = Nilai-T -
1 sampai +1
2. Tidak normal :
a. Osteopenia =
Nilai-T < -1,0
b. Osteoporosis =
Nilai-T ≤ -2,5
(Tandra, 2009).
Ordinal
Jenis
Kelamin
Tanda fisik yang teridentifikasi
pada responden dan dibawa
Kuesioner Kuesioner 1) Perempuan
2) Laki-laki
Nominal
38
sejak dilahirkan.
Status
menopause
Saat seorang wanita berhenti
mendapat haid selama 1 tahun
terakhir
Kuesioner Kuesioner 1. Sudah menopause
2. Belum menopause
Nominal
Asupan
Nutrisi
(kalsium)
Perilaku responden
mengkonsumsi
makanan/minuman yang
mengandung kalsium dalam
waktu 1 tahun terakhir.
Wawancara Kuesioner
Food Frequency
Questiionnaire
(FFQ)
1. Cukup ≥ 100%
AKG
2. Kurang < 100%
AKG
(Menkes RI, 2013)
Ordinal
Aktivitas
fisik
Kegiatan yang dilakukan
responden sehari-hari yang
Kuesioner Kuesioner
aktivitas fisik
Kategori :
1. Aktivitas ringan :
Ordinal
39
meliputi olahraga, kegiatan
diwaktu bekerja, serta kegiatan
di waktu luang.
(Baecke
Questionnaire)
Kuesioner ini
terdiri dari 17 item
pertanyaan
< 5,6
2. Aktivitas sedang :
5,6-7,9
3. Aktivitas berat :
>7,9
(Baecke, 1982)
Perilaku
Merokok
Perilaku merokok adalah
merokok secara aktif selama
minimal 1 tahun.
Kuesioner Kuesioner 1) Ya
2) Tidak
Nominal
Konsumsi
Alkohol
Konsumsi alkohol adalah
penggunaan alkohol lebih dari
750 mL per minggu.
Kuesioner Kuesioner 1) Ya
2) Tidak
Nominal
40
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik kuantitatif dengan
menggunakan desain penelitian Cross Sectional. Penelitian cross sectional
merupakan penelitian non eksperimental dalam rangka mempelajari dinamika
korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek yang berupa penyakit atau status
kesehatan tertentu. Variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel yang
termasuk efek diobservasi sekaligus pada saat yang sama. Pengertian pada saat
yang sama disini bukan berarti pada satu saat observasi dilakukan pada semua
subjek untuk semua variabel, tetapi tiap subjek hanya diobservasi satu kali saja,
dan faktor risiko serta efek diukur menurut keadaan atau status waktu diobservasi
(Sumantri, 2011). Desain tersebut dipilih oleh peneliti dengan pertimbangan
waktu yang dibutuhkan tidak terlalu banyak, relative murah namun tetap dapat
menjelaskan variabel yang diteliti.
B. Tempat dan waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di 3 Posbindu di naungan wilayah kerja Puskesmas
Pisangan Kota Tangerang Selatan pada tahun 2016. Daerah tersebut dipilih
karena belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepadatan tulang berkaitan dengan asupan kalsium,
41
status menopause, aktivitas fisik, perilaku merokok dan kebiasaan
mengkonsumsi alkohol pada lansia awal di Puskesmas Pisangan.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 11 sampai 22 April 2016.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau
subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Setiadi,
2007). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang berusia lansia
awal yang datang ke Posbindu untuk memeriksakan kepadatan tulang di
wilayah kerja Puskesmas Pisangan.
2. Sampel
Sampel penelitian sebagai unit yang lebih kecil lagi setelah
sekelompok individu yang merupakan bagian dari populasi terjangkau dimana
peneliti langsung mengumpulkan data atau melakukan pengamatan/
pengukuran pada unit ini. Pada dasarnya penelitian dilakukan pada sampel
yang terpilih dari populasi terjangkau (Dharma, 2011). Sampel penelitian ini
adalah masyarakat wilayah Pisangan Ciputat yang melakukan pengecekan
kepadatan tulang di Posbindu naungan Puskesmas Pisangan menggunakan
alat Quantitative Ultrasound. Teknik pengambilan sampel ini menggunakan
42
teknik Purpossive Sampling dimana sampel yang diambil berdasarkan kriteria
yang memenuhi inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan peneliti, yaitu:
a. Kriteria Inklusi
1) Kesadaran baik
2) Usia antara 46-55 tahun (lansia awal)
3) Mampu berkomunikasi dengan baik
4) Pasien yang memeriksakan diri di Posbindu naungan Puskesmas
Pisangan
5) Bersedia menjadi responden
Besar sampel/ teknik sampel
Jumlah sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini ditentukan
dengan menggunakan rumus pengujian hipotesa beda dua proporsi kelompok
independen, yaitu :
Keterangan :
N = besar sampel yang diharapkan
43
Z1-α/2 = Nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 atau derajat kemaknaan α pada
uji dua sisi, derajat kemaknaan α yang digunakan adalah 5% sehingga
nilai Z = 1,96
Z1-β = Nilai Z pada kekuatan uji (power) 1-β, kekuatan uji yang digunaan
adalah 95% yaitu dengan nilai Z = 1,64
P = (P1+P2)/2
P1 = Proporsi asupan kalsium (kurang) dengan DMT tidak normal, sebesar
58,4% (Trihapsari, 2009)
P2 = Proporsi asupan kalsium (cukup) dengan DMT tidak normal, sebesar
19% (Trihapsari, 2009)
n = 49,5 = 50
Karena menggunakan rumus uji beda proporsi. Maka hasil dikali dua :
50 X 2 = 100
Untuk menghindari terjadinya sampel yang drop out dan sebagai
cadangan maka peneliti menambahkan 10% dari jumlah sampel dalam penelitian
ini adalah : 100 + 10 = 110 responden.
44
D. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Pengumpulan Data
1. Metode Pengumpulan Data
a. Pengambilan data kepadatan tulang
Pengukuran densitas mineral tulang peneliti bekerja sama dengan
pihak Diabetasol untuk melakukan peminjaan alat pengukuran kepadatan
tulang yang nantinya alat tersebut akan dibawa ke posbindu naungan
Puskesmas Pisangan. Proses pengukuran densitas mineral tulang
dilakukan kepada seluruh pengunjung posbindu yang datang yang
termasuk dalam kriteria inklusi. Pada saat perizinan alat peneliti hanya
menghubungi petugas yang bertanggung jawab dengan alat tersebut.
Pemeriksaan kepadatan tulang dilakukan oleh petugas dari Deabetasol itu
sendiri.
Pengukuran kepadatan mineral tulang dengan metode Quantitative
Ultrasound (QUS) dengan keakuratan 97%. Pengukuran ini dilakukan
pada tulang kalkaneus (tumit) sebelah kanan responden selama kurang
lebih 1 menit. Nilai T-score >-1 menunjukkan DMT normal, nilai T-score
45
2) Data asupan nutrisi konsumsi Kalsium diperoleh dengan melakukan
pengisian formulir Food Frequence Questionnaire Method (FFQ).
3) Data aktivitas fisik diperoleh dari pengisian kuesioner Baecke.
Pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti dibantu oleh pihak-
pihak terkait seperti, para pegawai di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan,
pegawai posbindu, dan para kader. Penelitian ini juga dibantu oleh pihak
Deabetasol dalam melakukan pemeriksaan kepadatan tulang, serta para
teman-teman dari peneliti juga ikut berperan dalam pengumpulan data
tersebut.
2. Instrumen Pengumpulan Data
Berikut merupakan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan
data dalam penelitian:
a. Quantitative Ultrasound
Quantitative Ultrasound digunakan untuk mengukur kepadatan tulang
responden selama kurang lebih 1 menit.
b. Food Frequence Questionnaire Method (FFQ)
Food Frequency Questionnaire Methode (FFQ) adalah metode dietary
assessment dalam konteks individual level yang mencatat frekuensi makan
individu terhadap suatu bahan makanan (
46
c. Baecke Questionnaire
Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada
responden untuk dijawab. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data
yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan
tahu apa yang bisa diharapkan dari responden (Sugiyono, 2007).
pengukuran aktivitas fisik menggunakan kuesioner Baecke et al. (1982)
yang terbagi atas tiga subbagian, yaitu aktivitas olahrga, aktivitas saat
bekerja, dan aktivitas saat waktu luang.
Tabel 4.1 Cara menghitung skor untuk mengkategorikan aktivitas fisik
No Aktivitas fisik
1 Indeks Waktu Kerja (IWK)
Pertanyaan no A1 s/d A8 dikategorikan menjadi
1. Pekerjaan Ringan : supir, guru, pensiunan, pedagang menetap, IRT
2. Sedang : buruh pabrik, tukang kayu
3. Berat : buruh bangunan, pedagang keliling dan petani
Kemudian diberi skor 1-5 dan dijumlahkan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
IWK = {no.A1+(6 – no.A2)+no.A3+A4+A5+A6+A7+A8} : 8
2 Indeks Waktu Olahraga (IWO)
Pertanyaan dari no.B1 s/d B5.
Kategori untuk no.B1 yaitu
1. Ya
2. Tidak (responden yang tidak olahraga diberi skor 0)
Untuk no.B2 terdiri dari jenis olahraga (intensitas), waktu, dan proporsi.
47
Intensitas :
1. Tingkat ringan (golf, bowling, memancing) = 0,76
2. Tingkat sedang (bulutangkis, sepeda, senam, renang, jogging) = 1,26
3. Tingkat berat (basket, sepakbola) = 1,76
Waktu :
1. 4 jam/minggu = 4,5
Proporsi :
1. 4 bulan/tahun = 0,92
Kemudian dihitung dengan rumus : intensitas x waktu x proporsi)
No.B3-B5 dinilai dengan skor 1-5 yang dikategorikan menjadi 5, antara lain :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Sangat sering
Selanjutnya dihitung dengan rumus :
IWO = (B2 + B3 + B4 + B5) : 4
3 Indeks Waktu Luang (IWL)
Terdiri dari pertanyaan no.C1 s/d C4
Untuk no.C1 s/d C3 diberi skor 1-5, yaitu :
48
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Sangat sering
Dan untuk kategori no.C4 yaitu :
1. 45 menit
Kemudian dijumlahkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
IWL = {(6-no.C1)+no.C2+no.C3+no.C4} : 4
Dari hasil perhitungan masing-masing indeks, kemudian dihitung aktivitas fisik
dengan rumus IWK + IWO + IWL, selanjutnya dikategorikan menjadi 3, yaitu
:
1. Aktivitas ringan : < 5,6
2. Aktivitas sedang : 5,6 – 7,9
3. Aktivitas berat : >7,9
E. Tahap Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan bulan April tahun 2016. Data yang dihimpun
dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dengan menggunakan
kuesioner. Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam pengumpulan data dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Setelah tema penelitian disetujui oleh dosen pembimbing, peneliti membuat
surat perizinan kepada dinas kesehatan Tangerang Selatan untuk mengambil
49
data hasil pemeriksaan kepadatan tulang pada tahun 2015 di wilayah
Tangerang selatan untuk menentukan tempat penelitian yang akan dilakukan.
2. Setelah menentukan tempat penelitian yaitu di Puskesmas Pisangan peneliti
membuat surat perizinan kepada kepala Puskesmas Pisangan untuk
melakukan penelitian di tempat tersebut.
3. Peneliti bekerja sama dengan pihak Deabetasol untuk melakukan peminjaman
alat pengecekan kepadatan tulang.
4. Selanjutnya, peneliti melakukan pengecekan kepadatan tulang (DMT) dibantu
oleh pihak Deabetasol di Posbindu wilayah cakupan Puskesmas Pisangan
dengan alat Quantitative Ultrasound Bone Density.
5. Setelah dilakukan pengukuran DMT peneliti dibantu oleh teman-teman
menyebarkan kuesioner untuk penilaian serta memberikan lembar inform
consent dan memberikan penjelasan tentang cara pengisian kuesioner.
6. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan pengecekan apakah data yang
terkumpul sudah lengkap atau belum. Setelah lengkap, data diberi kode pada
masing-masing pernyataan untuk mempermudah saat analisis data.
7. Setelah data dianalisis selanjutnya menyimpulkan hasil data yang telah
didapat.
50
F. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
1. Hasil Uji Validitas
Validitas menyatakan apa yang seharusnya diukur. Sebuah instrument
dikatakan valid jika instrument itu mampu mengukur apa-apa yang
seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi tertentu (Setiadi, 2007). Hasil
uji validitas kuesioner Baecke untuk aktivitas fisik yaitu r=0,8 (Supeni, 2007).
Kuesioner perilaku merokok dan kebiasaan minum alkohol dilakukan uji
keterbacaan. Perhitungan dilakukan dengan rumus korelasi Pearson Product
Moment yang rumusnya adalah :
Keterangan :
r = Koefisien korelasi
n = Jumlah responden
X = Skor tiap item pertanyaan
Y = Skor total
(Pratisto, 2005).
2. Hasil Uji Reliabilitas
Setelah mengukur validitas, peneliti perlu mengukur reliabilitas data,
apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak. Reliabilitas instrument adalah
51
adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilakukan oleh orang yang
berbeda ataupun waktu yang berbeda (Setiadi, 2007).
Teknik pengujian pada penelitian ini menggunakan teknik Alpha
Cronbach (α), dalam uji reliabilitas r hasil adalah alpha. Hasil uji reliabilitas
untuk kuesioner aktivitas fisik yaitu r=0,8 (Supeni, 2007).
G. Pengolahan Data
Dalam melakukan analisa, data terlebih dahulu harus diolah dengan tujuan
mengubah data informasi. Dalam statistik, informasi yang diperoleh dipergunakan
untuk proses pengambilan keputusan terutama dalam pengujian hipotesis. Dalam
proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh,
diantarannya (Hidayat, 2008).
1. Editing
Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Kegiatan yang dilakukan
dalam editing adalah pengecekan dari sisi kelengkapan, relevansi, dan
konsistensi jawaban. Peneliti memeriksa kelengkapan data dengan cara
memastikan bahwa jumlah kuesioner yang terkumpul sudah memenuhi
jumlah sampel minimal yang ditentukan dan memeriksa apakah setiap
pertanyaan dalam kuesioner sudah terjawab dan jelas. Relevansi dan
52
konsistensi jawaban diperiksa dengan cara melihat apakah ada data yang
bertentangan dengan data lain.
2. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data
yang terdiri atas beberapa kategori. Biasanya dalam pemberian kode dibuat
juga daftar kode untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu
kode dari suatu variabel. Kepadatan tulang diberi kode 1=normal,
2=osteopenia, dan 3=osteoporosis; jenis kelamin diberi kode 1=perempuan,
2=laki-laki; status menopause diberi kode 1=belum menopause, 2=sudah
menopause; asupan kalsium diberi kode 1=cukup, 2=kurang; aktivitas fisik
diberi kode 0=ringan, 1=sedang, dan 2=berat; perilaku merokok diberi kode
0=tidak merokok, 1=merokok; dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol diberi
kode 0=tidak mengkonsumsi alkohol, 1=mengkonsumsi alkohol. Kegiatan ini
dilakukan apabila semua kuesioner sudah diedit atau disunting.
3. Entry Data
Entry Data merupakan kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan
kedalam master table atau data base computer, kemudian membuat distribusi
frekuensi sederhana. Program untuk analisis data : SPSS. Data yang
dimasukkan berupa kepadatan tulang, jenis kelamin, status menopause,
asupan nutrisi kalsium, aktivitas fisik, perilaku merokok, dan kebiasaan
merokok.
53
4. Processing Data
Setelah semua isian kuesioner terisi penuh dan benar, dan juga data sudah
dikoding, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar dianalisis.
Proses pengolahan data dilakukan dengan cara memindahkan data dari
kuesioner ke paket program komputer pengolahan data statistik.
5. Cleaning data
Cleaning data merupakan kegiatan memeriksa kembali data yang sudah di-
entry, apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan mungkin terjadi pada saat
meng-entry data ke komputer. Hal ini dilakukan ketika semua data dan
variabel sudah dimasukkan ke dalam SPSS. Sebelum dilakukan analisis,
peneliti mengecek kembali pengkodean yang sudah di cantumkan dalam
variabel tersebut apakah sesuai atau tidak. Ditemukan hasil tidak ada missing
data dan tidak ada kesalahan input.
H. Analisa Data
1. Analisa Univariat
Analisa univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi
variabel dependen dan independen. Variabel independen diantaranya faktor
jenis kelamin, pemenuhan kebutuhan kalsium, status menopause, aktivitas
fisik, dan gaya hidup (perilaku merokok dan kebiasaan minum alkohol).
Sedangkan variabel dependen yaitu kepadatan tulang.
54
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel yaitu variabel dependen (kepadatan tulang) dengan variabel
independen (jenis kelamin, pemenuhan kebutuhan kalsium, status menopause,
aktivitas fisik, dan gaya hidup : perilaku merokok dan kebiasaan minum
alkohol). Teknik analisa yang digunakan adalah analisa Chi-Square dengan
menggunakan derajat kepercayaan 95% sehingga jika nilai p ≤ 0,05 berarti
hasil perhitungan statistic bermakna (signifikan) atau menunjukkan ada
hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen, dan apabila
nilai p > 0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak ada
hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.
I. Etika Penelitian
Masalah etika dalam penelitian keperawatan merupakan masalah yang
sangat penting dalam penelitian mengingat peneliti keperawatan akan
berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika peneliti harus
diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian
(Hidayat, 2008). Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku
untuk setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang
diteliti (subjek penelitian) dan masyarakat yang akan memperoleh dampak hasil
penelitian tersebut. Etika penelitian ini mencakup juga perilaku peneliti atau
perlakuan peneliti terhadap subjek penelitian serta sesuatu yang dihasilkan oleh
55
peneliti bagi masyarakat (Notoatmodjo, 2012). Dalam melakukan penelitian
menekankan masalah etika penelitian yang meliputi:
1. Lembar Persetujuan (informed consent)
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed
consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan
lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan dari Informed consent
adalah agar subjek mengerti maksud, tujuan penelitian, dan mengetahui
dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus menandatangai lembar
persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus
menghormatinya.
2. Tanpa Nama (Anonimity)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan
dalam penggunakaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan
kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti.
56
Etika penenlitian bertujuan untuk menjamin kerahasiaan identitas responden,
melindungi dan menghormati hak responden dengan mengajukan surat
pernyataan persetujuan (Informed consent). Sebelum menandatangani
persetujuan, peneliti menjelaskan judul penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan menjelaskan kepada responden bahwa peneliti tidak akan
membahayakan responden. Peneliti akan menjamin kerahasiaan identitas
responden, dimana data-data yang diperoleh hanya akan digunakan untuk
kepentingan penelitian dan apabila telah selesai maka data tersebut aka