13
STRATEGI DAN IMPLEMENTASI PEMUPUKAN RASIONAL SPESIFIK LOKASI 1) Suyamto Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jalan Merdeka No. 147, Bogor 16111 Telp. (0251) 8334089, Faks. (0251) 8331718 e-mail: [email protected] Pengembangan Inovasi Pertanian 3(4), 2010: 306-318 1) Naskah diperbaharui dari bahan Orasi Ahli Peneliti Utama yang disampaikan pada 29 Juli 2002 di Bogor. PENDAHULUAN Pertambahan penduduk menuntut pe- menuhan kebutuhan pangan dan hasil- hasil pertanian lainnya yang semakin me- ningkat. Luas lahan yang relatif tetap, bah- kan cenderung terus menurun, belum di- imbangi oleh penambahan luas lahan per- tanian yang memadai. Upaya peningkatan produksi pangan masih bertumpu pada peningkatan produktivitas per satuan luas lahan. Salah satu faktor kunci dalam pe- ningkatan produktivitas adalah pengguna- an pupuk, terutama pupuk buatan. Penggunaan pupuk di Indonesia terus meningkat rata-rata 16%/tahun (Manwan dan Fagi 1989), bahkan akhir-akhir ini meningkat lebih besar lagi. Sebagian besar pupuk digunakan untuk tanaman pangan, terutama padi sawah sebesar 72%, palawija 13%, dan sisanya untuk tanaman lain (Kasryno 1986). Nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) merupakan tiga unsur makro yang sering ditambahkan ke dalam tanah melalui pupuk buatan. Banyak daerah telah mengalami kekahatan sulfur (S) dan seng (Zn), namun belum mendapat perhatian yang memadai. Penggunaan pupuk yang efisien dan efektif harus memenuhi kriteria tepat jenis dan tepat dosis. Untuk mencapai efisiensi pemupukan yang tinggi, perlu diper- hatikan beberapa hal, yaitu: (1) jenis tanam- an dan kebutuhan akan hara untuk men- capai hasil yang optimal; (2) tingkat keter- sediaan hara dalam tanah; dan (3) bentuk pupuk serta cara dan waktu pemberian yang tepat (Suyamto 1993). Tingkat keter- sediaan hara dalam tanah mencerminkan tingkat kesuburan tanah dan berkolerasi sangat positif dengan hasil tanaman yang diusahakan. Sementara itu, tingkat kesu- buran tanah berkorelasi negatif dengan tingkat pemberian pupuk, artinya makin tinggi kesuburan tanah akan makin rendah pupuk yang diberikan dan bahkan tidak perlu lagi penambahan pupuk (Tisdale dan Nelson 1975). Pada tanah-tanah dengan tingkat keter- sediaan P sedang hingga tinggi, tanaman padi sawah tidak respons terhadap pemu- pukan P (Suyamto et al. 1990). Hasil pe- nelitian lain menganjurkan pemberian pupuk pada padi atas dasar kandungan P dalam tanah, yaitu: (1) bila P tanah rendah, diberikan 125 kg TSP/ha pada setiap mu- sim tanam; (2) bila P tanah sedang, ditam- bah 75 kg TSP/ha/dua musim tanam; dan

faktor pembatas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

faktor-faktor pembatas

Citation preview

  • STRATEGI DAN IMPLEMENTASI PEMUPUKANRASIONAL SPESIFIK LOKASI1)

    Suyamto

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman PanganJalan Merdeka No. 147, Bogor 16111

    Telp. (0251) 8334089, Faks. (0251) 8331718e-mail: [email protected]

    Pengembangan Inovasi Pertanian 3(4), 2010: 306-318

    1) Naskah diperbaharui dari bahan Orasi AhliPeneliti Utama yang disampaikan pada 29 Juli2002 di Bogor.

    PENDAHULUAN

    Pertambahan penduduk menuntut pe-menuhan kebutuhan pangan dan hasil-hasil pertanian lainnya yang semakin me-ningkat. Luas lahan yang relatif tetap, bah-kan cenderung terus menurun, belum di-imbangi oleh penambahan luas lahan per-tanian yang memadai. Upaya peningkatanproduksi pangan masih bertumpu padapeningkatan produktivitas per satuan luaslahan. Salah satu faktor kunci dalam pe-ningkatan produktivitas adalah pengguna-an pupuk, terutama pupuk buatan.

    Penggunaan pupuk di Indonesia terusmeningkat rata-rata 16%/tahun (Manwandan Fagi 1989), bahkan akhir-akhir inimeningkat lebih besar lagi. Sebagian besarpupuk digunakan untuk tanaman pangan,terutama padi sawah sebesar 72%, palawija13%, dan sisanya untuk tanaman lain(Kasryno 1986). Nitrogen (N), fosfor (P),dan kalium (K) merupakan tiga unsur makroyang sering ditambahkan ke dalam tanahmelalui pupuk buatan. Banyak daerah telahmengalami kekahatan sulfur (S) dan seng

    (Zn), namun belum mendapat perhatianyang memadai.

    Penggunaan pupuk yang efisien danefektif harus memenuhi kriteria tepat jenisdan tepat dosis. Untuk mencapai efisiensipemupukan yang tinggi, perlu diper-hatikan beberapa hal, yaitu: (1) jenis tanam-an dan kebutuhan akan hara untuk men-capai hasil yang optimal; (2) tingkat keter-sediaan hara dalam tanah; dan (3) bentukpupuk serta cara dan waktu pemberianyang tepat (Suyamto 1993). Tingkat keter-sediaan hara dalam tanah mencerminkantingkat kesuburan tanah dan berkolerasisangat positif dengan hasil tanaman yangdiusahakan. Sementara itu, tingkat kesu-buran tanah berkorelasi negatif dengantingkat pemberian pupuk, artinya makintinggi kesuburan tanah akan makin rendahpupuk yang diberikan dan bahkan tidakperlu lagi penambahan pupuk (Tisdale danNelson 1975).

    Pada tanah-tanah dengan tingkat keter-sediaan P sedang hingga tinggi, tanamanpadi sawah tidak respons terhadap pemu-pukan P (Suyamto et al. 1990). Hasil pe-nelitian lain menganjurkan pemberianpupuk pada padi atas dasar kandungan Pdalam tanah, yaitu: (1) bila P tanah rendah,diberikan 125 kg TSP/ha pada setiap mu-sim tanam; (2) bila P tanah sedang, ditam-bah 75 kg TSP/ha/dua musim tanam; dan

  • (3) bila P tanah tinggi, dipupuk 50 kg TSP/ha/empat musim tanam (Sri-Rochayati etal. 1991). Dalam hal pemupukan K, tanam-an padi sering tidak respons terhadappemupukan K, terutama pada daerah-daerah dengan kandungan K tanah tinggi(Sri-Adiningsih dan Soepartini 1995).Sebaliknya pada tanah-tanah Vertisol danAlfisol yang mempunyai kandungan Krendah, tanaman pangan semusim cukuprespons terhadap pemberian pupuk K(Sumarno dan Suyamto 1991; Suyamto etal. 1991; Suyamto dan Sumarno 1991; Su-yamto 1998).

    Hingga saat ini, anjuran pemupukandan praktek pemupukan oleh petani, ter-utama pada tanaman pangan, belumsepenuhnya didasarkan atas kandunganhara di dalam tanah. Di daerah sawahintensif, banyak petani yang menggu-nakan pupuk cenderung berlebihan untuktanaman padi dan sayuran. Di lain pihak,di daerah-daerah yang mengalami keka-hatan hara seperti K dan C-organik belumditerapkan pemupukan yang tepat. Hal initerjadi karena pemupukan tidak didasarioleh hasil identifikasi status hara di dalamtanah. Sementara itu, hukum minimumLiebig tetap berlaku, artinya penambahanunsur hara yang bukan merupakan harapembatas akan sia-sia bila status hara lainyang menjadi pembatas tidak diselesaikanterlebih dahulu.

    Di negara-negara maju seperti Austra-lia, Eropa, dan Amerika, petani telah me-nerapkan praktek pemupukan atas dasarkandungan hara dalam tanah dan daundengan pendekatan prescription farmingatau precision farming. Pendekatantersebut memerlukan informasi tentangkarakteristik tanaman yang diusahakan,seperti tingkat hasil yang ingin dicapai danjumlah serapan hara untuk mencapai hasiltersebut. Fukai (1998) menyatakan bahwa

    analisis tanah telah digunakan secara luaspada banyak tanaman di berbagai negarauntuk menentukan keefektifan aplikasipemupukan. Di Indonesia, penentuan reko-mendasi pupuk atas dasar analisis tanahdan tanaman telah dilakukan pada tanamanperkebunan (Goenadi dan Adiwiganda1998). Sementara pada tanaman panganmasih pada tahap rekomendasi pemupukansecara umum untuk satu unit area denganmenggunakan peta status hara tanah(Widjaja-Adhi et al. 1998). Pemupukan ber-imbang masih sering diartikan sebagaipemberian pupuk (N, P, K) lengkap dengandosis dan formulasi sama pada berbagaikondisi kesuburan tanah.

    Atas dasar uraian tersebut, tulisan inimembahas pokok-pokok pikiran menujupemupukan rasional spesifik lokasi sesuaikebutuhan, dengan fokus pada tanamanpangan (padi). Pembahasan ditekankanpada strategi dan implementasi pemupukanrasional spesifik lokasi. Diharapkan semuapihak yang terkait dengan praktek pemu-pukan (pengambil kebijakan, produsenpupuk, distributor, petugas lapangan/penyuluh, peneliti, dan petani) mempunyaipersepsi yang sama menuju penerapanpemupukan rasional spesifik lokasi.

    PERKEMBANGAN PENGGUNAANPUPUK

    Sebelum tahun 1960-an, para petani telahmenggunakan pupuk berupa pupuk kan-dang, pupuk hijau, sisa-sisa tanaman, dankompos. Namun setelah itu, penggunaanpupuk kimia/buatan semakin meningkatdan penggunaan pupuk organik makin di-tinggalkan. Kondisi tersebut dipicu pulaoleh berbagai program untuk mencapaiswasembada pangan (beras). Varietas ung-gul padi umumnya memerlukan masukan

  • pupuk tinggi. Sampai saat ini, ketergan-tugan petani pada pupuk kimia/buatanmakin tinggi, terutama urea, ZA, SP36, danKCl.

    Dalam periode 1975-1986, laju pening-katan konsumsi pupuk untuk tanamanpangan (terutama padi), relatif cepat danlebih tinggi daripada laju peningkatan pro-duktivitas dan produksi tanaman (Manwandan Fagi 1989). Keuntungan yang diper-oleh dari setiap unit masukan pupuk makinmenurun, atau dengan kata lain pemu-pukan makin tidak efisien. Hampir dapatdipastikan bahwa fenomena tersebutmakin tajam setelah tahun 1986 sampaisekarang.

    Perkembangan penggunaan pupuksejak tahun 1990-an memiliki fenomenayang menarik untuk diungkap. Pada tahun1990, pupuk yang disalurkan untuk perta-nian mencapai 5,36 juta ton, terdiri atas 2,98juta ton urea, 1,30 juta ton TSP, 0,60 jutaton ZA, dan 0,48 juta ton KCl. Untuktanaman pangan, pupuk yang disalurkansebesar 86%, 85%, 81% dan 42% untukmasing-masing jenis pupuk tersebut (Sri-Adiningsih 1992). Pada tahun 1993, pupukyang disalurkan meningkat menjadi 5,65juta ton, terdiri atas 3,32 juta ton urea, 1,25juta ton TSP (SP36), 0,62 juta ton ZA, dan0,46 juta ton KCl. Untuk tanaman pangan,jumlahnya sebesar 81% urea, 78% TSP(SP36), 85% ZA, dan 33% KCl (Karama etal. 1996). Dibandingkan tahun 1993, padatahun 1998 terjadi peningkatan penggu-naan pupuk urea sebesar 32%, sementaraSP36 dan ZA masing-masing turun 27%dan 36%. Akibat penghapusan subsidipupuk, petani lebih banyak menggunakanpupuk urea (Abdurachman et al. 2002).Sejak 1994, penyaluran pupuk KCl melaluipasar bebas.

    Tahun 1997/1998 terjadi krisis ekonomidan bersamaan dengan penghapusan sub-

    sidi pupuk. Akibatnya, harga pupuk naikdan sempat terjadi kelangkaan pupuksehingga petani mengalami kesulitanmendapatkan pupuk. Pemerintah kemudianmengeluarkan kebijakan pintu terbukauntuk pengadaan, peredaran, dan peng-gunaan pupuk selain urea, SP36, ZA, danKCl. Tujuannya adalah agar petani mudahmemperoleh pupuk. Kondisi ini tentunyamerupakan angin segar bagi para pengu-saha pupuk alternatif sehingga perkem-bangan jumlah merek dan perusahaanpupuk alternatif meningkat tajam. Bila padatahun 1998 telah beredar 434 merek pupukalternatif, pada tahun 1999 jumlahnyameningkat menjadi 591 merek. Perusahaanpupuk alternatif juga meningkat dari 287pada tahun 1998 menjadi 391 pada tahun1999, mulai dari industri rumah tanggahingga industri kecil, menengah, dan besar(Asnawie dan Sholeh 2000).

    Penggunaan pupuk antara wilayah Ja-wa dan luar Jawa sangat tidak propor-sional dan tidak rasional. Luas panen ta-naman pangan di Jawa yang 9,3 juta hamenggunakan pupuk 70%, sementara di lu-ar Jawa dengan luas panen 8,5 juta ha ha-nya menggunakan pupuk 30% dari totalpupuk yang digunakan (Sri-Rochayati etal. 1991). Luar Jawa dengan kondisi kesu-buran tanah relatif kurang, terutama P danK, justru menggunakan pupuk jauh lebihrendah daripada di Jawa yang relatif subur.

    Hasil analisis sederhana hubunganantara data produktivitas padi (1997-1999)dengan penyaluran pupuk dan kucurankredit (KUT) di Jawa Timur menunjukkan:(1) peningkatan penyaluran pupuk tidakdiikuti oleh peningkatan produktivitas padisecara proporsional; dan (2) peningkatanpenyaluran kredit (total) juga tidak diikutioleh peningkatan produktivitas padi, bah-kan terjadi penurunan (Tim Teknis BimasPropinsi Jawa Timur 1999). Untuk mem-

  • peroleh hasil padi yang sama diperlukanpenambahan pupuk (terutama urea) yangmakin banyak dari tahun ke tahun. Banyakpetani menggunakan urea lebih dan 700kg/ha, bahkan total urea + ZA + SP36 dapatmencapai lebih dan 1 t/ha. Penambahanpupuk urea saja tidak akan menyelesaikanmasalah apabila unsur pembatas tidak di-atasi. Untuk itu, diperlukan pemupukan ra-sional spesifik lokasi atas dasar status haratanah dan kebutuhan tanaman. Pemupuk-an rasional spesifik lokasi menjadi pentingdan strategis mengingat makin tingginyaharga pupuk akhir-akhir ini.

    MAKNA DAN ARTI PENTINGPEMUPUKAN RASIONAL SPESIFIK

    LOKASI

    Makna pemupukan berimbang sebetulnyabaik karena ditujukan untuk membuat ke-adaan unsur hara di dalam tanah berim-bang melalui penambahan pupuk. Namun,pengertian pemupukan berimbang seringkali diartikan lain, yaitu memberikan pupuklengkap (terutama N, P, K) atau pupukmajemuk dalam dosis relatif tinggi dansama di semua wilayah.

    Setelah pencanangan pemupukan ber-imbang, terjadi perubahan penggunaanpupuk pada padi sawah, baik jenis maupunjumlahnya, akibat pengertian yang salahkaprah (Abdurachman et al. 2002). Padatahun 1990-an, banyak kios pupuk menjualtiga jenis pupuk sekaligus (urea, TSP, KCl)dalam satu kemasan dengan perbandingantertentu (10:2:1). Pengertian pemupukanberimbang yang salah kaprah tersebutjuga terjadi di tingkat produsen pupuk.Mereka memproduksi pupuk majemuklengkap (misal NPK) dengan formulasitertentu untuk semua wilayah. Bahkandistributor pupuk ikut-ikutan mensya-

    ratkan petani membeli pupuk jenis lainapabila membeli pupuk urea. Kondisi ter-sebut memacu petani menggunakan pupukkurang rasional dan kurang sesuai dengankebutuhan tanah dan tanaman. Yang ter-jadi justru bukan peningkatan produk-tivitas, tetapi pelandaian produktivitaspadi. Ini berarti telah terjadi penurunanefisiensi penggunaan pupuk atau pembo-rosan pupuk.

    Keadaan seperti tersebut di atas terjadikarena anjuran dan praktek pemupukankurang memerhatikan status kesuburanhara dalam tanah dan kebutuhan tanamanakan hara untuk mencapai tingkat hasiltertentu. Sementara itu, kondisi kesuburantanah sangat beragam dan kebutuhan haraantartanaman juga beragam. Dengandemikian jelas bahwa yang dimaksud de-ngan pemupukan rasional spesifik lokasiadalah memberikan jenis hara yang me-mang kurang ke dalam tanah melalui pe-mupukan dengan dosis sesuai kebutuhantanaman pada lokasi/kondisi kesuburantanah tertentu (spesifik). Ini berarti, apabilahara yang kurang hanya N maka yang di-tambahkan hanya pupuk N dan tidak me-merlukan pupuk majemuk lengkap. Apabilayang kurang adalah hara N dan K makatidak perlu ditambahkan pupuk P. Hukumminimum Liebig menjadi acuan, dananalisis tanah untuk mengetahui statushara dalam tanah menjadi dasar utamapenerapan pemupukan rasional spesifiklokasi bagi komoditas tertentu.

    Beberapa informasi yang melandasipentingnya pemupukan rasional spesifiklokasi berdasarkan status hara dalam tanahadalah:1. Dari hasil analisis tanah, status setiap

    unsur hara dapat dikategorikan menjadisangat rendah (SR), rendah (R), sedang(S), tinggi (T), dan sangat tinggi (ST)(Cottenie 1980).

  • 2. Penggolongan hara tersebut berko-relasi positif dengan indeks kesuburantanah dan hasil relatif tanaman (Tisdaledan Nelson 1975). Bila status harasangat rendah, indeks kesuburan tanahrendah (0-50) dan hasil relatif tanamanjuga rendah (
  • jasa pelayanan analisis tanah dan tanamantelah begitu maju, baik oleh pemerintahmaupun swasta. Jenis komoditas yangdiusahakan biasanya monokultur dalamskala luas. Kondisi petani di Indonesiasangat berbeda, yaitu kepemilikan lahan-nya sempit, modal terbatas (miskin), ta-naman yang diusahakan beragam, jasapelayanan analisis tanah dan tanamanterbatas, mahal dan masih merupakan ba-rang mewah. Memang sudah ada petani,penyuluh, dan swasta yang mencobamenganalisiskan tanah untuk mendapat-kan rekomendasi pemupukan yang tepat,tetapi masih sangat terbatas. Namun, pa-ling tidak hal tersebut merupakan langkahawal menuju pemupukan rasional spesifiklokasi berdasarkan kesuburan tanah dankebutuhan tanaman.

    Pertanian Preskriptif

    Prinsip pertanian preskriptif (prescriptionfarming) yang dikembangkan oleh PIVOTLtd. di Australia (Talay 1998) mencakup duatahap seperti diuraikan berikut ini.

    Tahap I: Menyusun rekomendasi pupukspesifik lokasi (N, P, K, S, dan unsur mikro).Dasar penyusunannya adalah: (1) mela-kukan analisis tanah/jaringan tanaman; (2)mengetahui tingkat penyerapan hara olehtanaman yang akan diusahakan; dan (3)harapan/tujuan petani untuk memperolehhasil maksimum realistis yang dapat dica-pai di suatu daerah tertentu.

    Tahap II : Menyusun saran formulasi pu-puk yang paling ekonomis dan waktu pem-beriannya. Dasar penyusunannya adalah:(1) rekomendasi pemupukan dan perhi-tungan pada tahap I; (2) ketersediaan pu-

    puk (hara) dan harga; dan (3) karakteristikrespons hara bila diberikan pada tanaman.

    Jika Indonesia ingin menerapkan perta-nian preskriptif, diperlukan informasi palingtidak mengenai: (1) hasil analisis tanah (pH,N-total, KTK, C-organik, P, K, S, dan se-bagainya); (2) pengetahuan/pemahamantentang hasil maksimum realistis dari ta-naman yang akan diusahakan; dan (3)karakteristik varietas tanaman dan serapanatau kebutuhan hara untuk mencapai hasiltertentu.

    Strategi PenyusunanRekomendasi Pemupukan

    Dalam memformulasikan rekomendasi pe-mupukan, terdapat tahapan pengembang-an atau kemajuan penyusunan sebagai be-rikut (Corey 1972): (1) satu rekomendasiumum untuk semua daerah yang luas tanpamempertimbangkan perbedaan tanah; (2)satu rekomendasi umum untuk setiap zonayang didasarkan atas zona agroklimat dan/atau kelompok tanah; (3) rekomendasi atasdasar uji tanah, namun kajian kalibrasinyaberlaku untuk semua jenis tanah; (4) reko-mendasi atas dasar uji tanah dan kalibrasilapangan dilaksanakan pada setiap sistem/satuan iklim-tanah-tanaman; dan (5) reko-mendasi atas dasar uji tanah dan tanamandan kalibrasi lapangan dilaksanakan padasetiap sistem/satuan iklim-tanah-tanaman.

    Di Indonesia, terutama di daerah inten-sif seperti di Jawa, status rekomendasipemupukan masih berada pada fase dua,yaitu satu rekomendasi pemupukan untuksatu unit area atas dasar peta status haratanah yang telah tersedia (Widjaja-Adhiet al. 1998). Pendekatan ini pun belumditerapkan secara optimal dan belum semuadaerah memiliki peta status hara. Namun,

  • pada dasarnya fase kedua dapat langsungmenuju fase keempat dan/atau kelima,yaitu rekomendasi pemupukan atas dasaruji tanah dan/atau tanaman dalam rangkapenerapan pemupukan rasional spesifiklokasi.

    Atas dasar uraian di atas dan memer-hatikan kondisi petani tanaman pangan diIndonesia, perlu disusun strategi dasarmenuju pemupukan rasional spesifik lokasiatas dasar uji tanah dan/atau tanaman.Paling tidak ada tiga strategi dasar yangdapat dilakukan.

    Pertama, untuk skala makro bagi ke-pentingan petani secara umum, rekomen-dasi pemupukan untuk satu unit area atasdasar peta status (kesuburan) hara dalamtanah perlu dimantapkan dan benar-benarditerapkan di lapangan oleh semua pihakyang terkait dengan praktek pemupukan.Skala peta status hara untuk tingkatprovinsi 1:250.000 dan tingkat kabupaten1:50.000 (100.000) telah memadai. Hasilperhitungan kebutuhan pupuk pada setiapkategori status hara kemudian dipetakansebagai acuan penerapan di lapangan.

    Kedua, untuk tujuan spesifik dan padaareal relatif terbatas, sudah seharusnyamulai diterapkan pemupukan rasionalspesifik lokasi atas dasar uji tanah/dan atautanaman (fase keempat dan kelima dari pen-tahapan di atas) seara lebih rinci. Carapengelolaan hara spesifik lokasi padi yangdikembangkan oleh Buresh et al. (2006)dapat digunakan sebagai acuan.

    Ketiga, untuk semua pihak yang terkaitdengan praktek pemupukan (pengambilkebijakan, produsen pupuk, petugas la-pangan, penyuluh, peneliti, distributor pu-puk, dan petani) perlu memahami konseppemupukan rasional spesifik lokasi dansecara konsisten menerapkan konsep ter-sebut sesuai tugas masing-masing. Pela-tihan sumber daya manusia yang terkait

    dengan penerapan konsep tersebut perludilakukan secara sistematis dan terpadu.Alat bantu perlu disediakan disertai pe-latihan cara penggunaannya, seperti Pe-rangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) dan Ba-gan Warna Daun (BWD) untuk menentu-kan dosis pupuk N.

    LANGKAH TEKNIS PEMUPUKANRASIONAL SPESIFIK LOKASI

    Perubahan paradigma pemupukan menu-ju pemupukan rasional spesifik lokasi atasdasar status hara dalam tanah dan kebu-tuhan tanaman perlu diikuti dengan im-plementasinya di lapangan. Mengingatskala usaha petani tanaman pangan relatifkecil dan petani relatif miskin, analisistanah dan/atau tanaman masih harus dila-kukan oleh pemerintah atau swasta. Padauraian ini dibahas implementasi masing-masing strategi dasar yang telah diuraikanmenuju pemupukan rasional spesifik lo-kasi.

    Implementasi Strategi Pertama

    Skala makro yang dimaksud pada strategipertama dapat berupa provinsi, kabupaten,dan/atau kecamatan. Kegiatan yang harusdilakukan untuk mengimplementasikanstrategi pertama meliputi:

    Analisis Tanah (dan Tanaman)

    Kegiatan ini meliputi pengambilan contohtanah, analisis di laboratorium, dan meng-interpretasikan hasil analisis status hara.Contoh tanah yang diambil harus benar-benar mewakili daerah yang akan dibuatrekomendasi pupuknya. Analisis dilakukan

  • dengan metode baku dan dilaksanakansecara akurat. Laboratorium sebaiknyatelah terakreditasi dengan baik, mengikuticross check analysis antarlaboratorium diIndonesia, dan memiliki tenaga yangterlatih dengan baik. Berbagai hal tersebutperlu dipenuhi untuk memperoleh hasilanalisis yang representatif dan dapatdipertanggungjawabkan sebagai dasarpenyusunan acuan pemupukan. Jenis harayang dianalisis sebaiknya selengkapmungkin, namun untuk menghemat biayadapat difokuskan pada jenis hara tertentuyang diduga bermasalah.

    Penyusunan Data Dasar danPemetaan Status Hara

    Untuk kawasan yang luas (kecamatan, ka-bupaten atau provinsi), perlu dilakukanpenyusunan data dasar dan pemetaan sta-tus hara dalam tanah. Biasanya status haradalam tanah dikategorikan menjadi sangatrendah/rendah, sedang, dan tinggi/sangattinggi. Tidak semua jenis unsur hara dapatdipetakan. Unsur hara yang dipetakanterutama adalah unsur hara yang tidakmudah berubah, seperti P, K, dan Zn. Caraini telah dilakukan oleh Pusat PenelitianTanah dan Agroklimat di Bogor. Peta Pskala 1:250.000 untuk Provinsi Jawa Barat,Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta,Sulawesi Selatan, Pulau Lombok, SumateraBarat, Sumatera Selatan, dan KalimantanSelatan telah tersedia (Moersidi et al. 1989).Peta-peta tersebut memang telah disusunlama dan mungkin telah berubah, tetapidapat diacu selama belum tersedia data danpeta yang lebih baru. Balai PengkajianTeknologi Pertanian (BPTP) juga meme-takan status hara P, K, Zn, dan C-organikdi sejumlah kabupaten dengan skala 1:100.000 (Suyamto et al. 2002). Peta status

    K skala 1:250.000 juga telah tersedia danuntuk beberapa kabupaten dengan skala1:50.000.

    Untuk penyusunan data dasar dapatdigunakan data hasil analisis tanah terbarudan data yang sudah ada serta hasil pene-litian pemupukan yang telah dilaksanakanberbagai lembaga penelitian, perguruantinggi, dan swasta. Penelitian pemupukanpada tanaman pangan telah sangat banyakdilaksanakan, namun belum terkonsolidasidengan baik membentuk data dasar yanglebih bermanfaat. Implementasi danekstrapolasi hasil-hasil penelitian pemu-pukan sangat sulit karena sering kali tidakdiikuti dengan karakterisasi lokasi (tanah)tempat penelitian berlangsung.

    Perhitungan Kebutuhan Pupuk

    Formulasi rekomendasi pemupukan yangefisien sesuai kebutuhan setempat didasar-kan atas interpretasi hasil analisis tanahdan/atau tanaman setelah dilakukan ko-relasi, kalibrasi, dan verifikasi (Karama etal. 1998). Percobaan tanggap tanamanterhadap penambahan hara dilaksanakanpada masing-masing kelas (kategori) statushara tersebut. Telah tersedia berbagaiformula menurut jenis tanaman untukmenghitung kebutuhan berbagai jenispupuk (Widjaja-Adhi et al. 1998; Abdu-rachman et al. 2002) dan model yang di-kembangkan oleh PIVOT Ltd. di Australia.

    Pemetaan Rekomendasi PemupukanRasional Spesifik Lokasi

    Dari perhitungan kebutuhan pupuk akandiperoleh kebutuhan hara yang perluditambahkan melalui pupuk pada masing-masing kategori status hara dalam tanah

  • yang telah dipetakan sebelumnya. Apabilaperhitungan dilakukan untuk setiap harayang kurang, akan diperoleh formulasiperbandingan jumlah hara yang perluditambahkan. Formulasi tersebut dapatdituangkan ke dalam peta rekomendasipemupukan rasional spesifik lokasi. Jenisdan formulasi pupuk yang digunakandisesuaikan dengan perbandingan masing-masing hara yang telah direkomendasikantersebut sesuai hasil perhitungan sebe-lumnya.

    Dalam kaitan ini, BPTP Jawa Timur telahmencoba memanfaatkan data yang tersedia(peta status hara P dan K, peta zona agro-ekologi, peta tanah, dan hasil-hasil peneli-tian pemupukan yang ada di Jawa Timur)untuk menyusun acuan rekomendasi pe-mupukan spesifik lokasi untuk komoditaspadi (Suwono et al. 1999), jagung (Arifinet al. 1999), dan kedelai (Roesmiyanto etal. 1999). Acuan tersebut bukan dalam ben-tuk peta, tetapi dijabarkan ke dalam anjur-an pemupukan per kecamatan. Acuan reko-mendasi pemupukan spesifik lokasi disu-sun dengan melakukan ekstrapolasi, kore-lasi, dan verifikasi. Acuan tersebut masihbersifat makro dan kasar sehingga harus dila-kukan verifikasi lapangan lebih banyak lagi.

    Implementasi Strategi Kedua

    Skala mikro atau areal terbatas pada stra-tegi kedua adalah wilayah pada tingkatdesa/dukuh atau hamparan sekitar 100 haatau petakan usaha tani. Implementasinyapada dasarnya sama dengan strategi per-tama, hanya seyogianya dilakukan lebihrinci dan boleh jadi tidak perlu dipetakan,melainkan langsung diterapkan di lapang-an. Alat bantu yang telah tersedia dan per-lu dimanfaatkan adalah PUTS dan BWD.

    Implementasi Strategi Ketiga

    Strategi ketiga menyangkut pelaku dan pi-hak-pihak yang terkait dengan praktekpemupukan. Apabila strategi pertama dan/atau kedua telah diimplementasikan, ha-silnya perlu disosialisasikan ke semua pi-hak terkait, meliputi pengambil kebijakandi pusat maupun di daerah, produsen pu-puk, distributor pupuk, petugas lapangan,penyuluh, peneliti, dan petani. Dengan de-mikian, masing-masing pihak memahamikonsep pemupukan rasional spesifik lokasidan secara konsisten menerapkannya se-suai tugas dan fungsinya masing-masing.

    LANGKAH OPERASIONAL

    Untuk mengimplementasikan strategi da-sar pemupukan rasional spesifik lokasi di-perlukan kegiatan pendukung dan lang-kah-langkah operasional yang sistematisdan terkoordinasi (terpadu). Langkah-langkah operasional dimaksud mencakup:1. Penyusunan rekomendasi pemupukan

    rasional spesifik lokasi diprioritaskanpada daerah/lahan yang telah diusa-hakan secara intensif dengan mene-rapkan pemupukan kurang rasional,terutama pada tanaman pangan danhortikultura.

    2. Karena petani secara umum belummampu menganalisiskan tanahnya,analisis tanah dan/atau tanaman harusdidukung oleh pemerintah (pusat dandaerah) dan swasta. Lembaga-lembagapenelitian, perguruan tinggi, danswasta yang berada di setiap provinsiperlu bekerja sama melaksanakan pe-metaan kesuburan tanah dan pemeta-an rekomendasi pemupukan rasionalspesifik lokasi. Dana perlu didukung

  • oleh pemerintah pusat, provinsi, kabu-paten/kota, dan swasta.

    3. Produsen pupuk harus secara kon-sisten memproduksi jenis dan formulasipupuk sesuai dengan rekomendasiyang telah disusun. Distributor pupuksecara konsisten mendistribusikan je-nis dan formulasi pupuk sesuai petarekomendasi pemupukan rasional spe-sifik lokasi tersebut.

    4. Sosialisasi dan penerapan pemupukanrasional spesifik lokasi melalui berbagaicara, seperti pertemuan koordinasi, pe-latihan, dan demo-area di lapanganyang sekaligus untuk menyempur-nakan rekomendasi pemupukan, perludilakukan secara intensif.

    5. Mengingat hara N sangat mobil danbiasanya kandungannya dalam tanahrendah hingga sangat rendah, haratersebut sulit dipetakan. Hara N hampirdipastikan harus ditambahkan melaluipupuk. Untuk meningkatkan efisiensipemupukan N agar lebih rasional, da-pat dilakukan dengan alat bantu BWD.Pemupukan N atas dasar tingkat warnadaun padi yang diukur dengan BWDdapat menghemat pupuk N hingga 20%(Suyamto 2000).

    6. Pelayanan analisis tanah boleh jadimasih merupakan hambatan, terutamadari aspek waktu, tenaga, dan biaya.Untuk mengatasi hal tersebut, saat initelah dikembangkan metode uji cepatstatus hara tanah. Metode tersebutmempunyai korelasi sangat tinggidengan metode uji di laboratorium, dandapat digunakan sebagai dasar penen-tuan dosis pupuk di lapangan (Syekh-fani et al. 2000). Saat ini metode uji cepattersebut sedang diuji di lapangan seca-ra lebih luas oleh BPTP Jawa Timur be-kerja sama dengan Fakultas Pertanian

    Universitas Brawijaya. Di samping itu,PUTS telah dikembangkan oleh BalaiPenelitian Tanah.

    7. Di samping kekahatan hara (N, P, K, Satau Zn ), terdapat masalah yang lebihserius yaitu merosotnya kandungan C-organik tanah sawah. Pada tahun 1994,60% tanah di Jawa mempunyai kan-dungan C-organik sangat rendah, yaitukurang dari 1% (Karama 1994). Bahkansaat ini, hampir 100% tanah sawah diJawa Timur mempunyai kandungan C-organik rendah hingga sangat rendah(Suyamto et al. 2002). Mengacu padahukum minimum Liebig, jenis pupukapapun yang ditambahkan akan ku-rang bermanfaat bila kandungan C-organik tidak ditingkatkan.

    KESIMPULANDAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

    Kesimpulan

    1. Pengertian pemupukan berimbangyang salah karena kurang didasarkanatas kebutuhan tanaman dan statuskesuburan tanah, menjadi salah satupemicu terjadinya penurunan pro-duktivitas lahan dan pelandaian lajupeningkatan produksi pangan. Penger-tian pemupukan berimbang yang sa-lah tersebut perlu diubah menjadi pe-mupukan rasional spesifik lokasi se-suai kebutuhan tanaman. Pemupukanberimbang harus diartikan sebagaipemberian pupuk/hara sesuai kebu-tuhan tanaman, baik jenis maupundosisnya, pada waktu dan dengan carayang tepat berdasarkan sifat tanah,status hara tanah, dan kemampuantanah menyediakan hara.

  • 2. Pemupukan yang kurang rasional da-lam arti berlebihan secara terus-mene-rus, di samping tidak efisien dan pem-borosan juga akan mengganggu ke-seimbangan hara dalam tanah, mence-mari lingkungan, mengganggu kehi-dupan jasad renik dalam tanah, sertamenyebabkan degradasi struktur tanahdan penipisan unsur-unsur hara mikro.Apabila pemupukan kurang rasionaldalam arti di bawah kebutuhan, per-tumbuhan dan hasil tanaman menjadikurang optimal.

    3. Pengertian pemupukan rasional spe-sifik lokasi pada dasarnya sangat se-derhana, namun penerapannya memer-lukan strategi, implementasi, dan lang-kah-langkah operasional yang konsis-ten dan terpadu. Berbagai hambatanyang ada harus dicarikan jalan keluar-nya. Bahasan ini kiranya dapat digu-nakan sebagai acuan dalam mengim-plementasikan konsep pemupukanrasional spesifik lokasi sesuai dengankebutuhan tanaman. Walaupun sulit,implementasinya harus segera dimulai.

    4. Sosialisasi untuk menyamakan persepsipenerapan pemupukan rasional spe-sifik lokasi perlu terus dilakukan ke-pada semua pelaku yang terkait denganpraktek pemupukan, yaitu pengambilkebijakan di pusat maupun daerah,produsen pupuk, distributor pupuk, pe-tugas lapangan/penyuluh, asosiasi,kelompok tani, dan peneliti.

    Implikasi Kebijakan

    1. Perlu dibentuk Tim Efisiensi Pupuk baikdi tingkat pusat maupun daerah (pro-vinsi, kabupaten/kota). Tim provinsipaling tidak terdiri atas lembaga pene-litian, perguruan tinggi, pengambil

    kebijakan di daerah, produsen pupuk,dan swasta. Tim bertugas antara lainmenyusun acuan pemupukan rasionalspesifik lokasi dan panduan pene-rapannya serta melakukan sosialisasi/pelatihan. Anggaran diharapkan dapatberasal dari pemerintah dan swasta.

    2. Tidaklah berlebihan apabila mulai di-laksanakan gerakan atau kampanyepenerapan pemupukan rasional spe-sifik lokasi mulai dari tingkat pusathingga daerah. Di dalamnya termasukpenertiban dan standardisasi berbagaijenis pupuk yang beredar di lapangan.Untuk itu diperlukan niat baik semuapelaku praktek pemupukan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdurachman, S., C. Witt, dan T.H. Fair-hurst. 2002. Petunjuk Teknis Pemu-pukan Spesifik Lokasi: Implementasiomission plot padi. PPI (ESEAP)-IRRI-Balitpa.

    Arifin, Z., I. Wahab, Suyamto, F. Kasijadi,dan H. Sembiring. 1999. Acuan Re-komendasi Pemupukan Spesifik Lokasiuntuk Jagung di Lahan Kering. BPTPKarangploso, Malang.

    Asnawie, A. dan M. Sholeh. 2000. Prospekdan permasalahan pupuk majemuklengkap tablet (PMLT) di Indonesia. Lo-kakarya Pengawasan Terpadu Pupukuntuk Keperluan Pertanian dan Kebu-tuhan, Jakarta, 1-2 November 2000.

    Buresh, R., D. Setyorini, S. Abdurachman,F. Agus, C. Witt, I. Las, and Suyamto.2006. Improving nutrient managementfor irrigated rice with particular con-sideration to Indonesia. p. 165-178. InSumarno et al. (Ed.). Rice Industry,Culture and Environment. IndonesianCenter for Rice Research, Sukamandi.

  • Corey, R.B. 1972. Procedures for fertilizerrecommendations. Seminar III, IPB,Bogor, 29 November 1972.

    Cottenie, A. 1980. Soil and plant testing asa basis of fertilizer recommendation.Soil Bull. No. 38/2. FAO, Rome.

    Fukai, S. 1998. Crops modelling related tosoil test and climate information. Natio-nal Soil Summit, Jakarta, 26 February1998.

    Goenadi, G.H. and Y.T. Adiwiganda. 1998.Prescribing fertilizers for plantationcrops based on soil and plant nutrientneeds. National Soil Summit, Jakarta,26 February 1998.

    Karama, A.S. 1994. Pembangunan per-tanian yang efektif dan berkelanjutanmenyongsong tahun 2000. MakalahSeminar Kebijakan Pendidikan Tinggi,Dies Natalis ke-45 Universitas GadjahMada, Yogyakarta, 20-21 Desember1994.

    Karama, A.S., A.M. Fagi, and Sri-Rochayati.1996. Current use and requirement fornutrients for sustainable food cropsproduction in Indonesia. p. 291-305.Proceeding of the Nutrient Manage-ment for Sustainable Crops Productionin Asia, Denpasar, 9-12 December 1996.

    Karama, A.S., A. Sofyan, and K. Nugroho.1998. Soil data bank as a basis offertilizer use efficiency. National SoilSummit, Jakarta, 26 February 1998.

    Kasryno, F. 1986. Supply of rice and de-mand for fertilizer for rice farming inIndonesia. Jurnal Agro Ekonomi 5(2):27-42.

    Manwan, I. and A.M. Fagi. 1989. N, P, K,and S fertilization for food crops. Pre-sent status and future challenges. Se-minar on Sulfur Fertilizer for Lowlandand Upland Rice Cropping System inIndonesia, Jakarta, 18-20 July 1989.

    Moersidi, S., D. Santosa, M. Soepartini,M. Al Djabri, J. Sri-Adiningsih, dan M.Sudjadi. 1989. Peta keperluan fosfattanah sawah di Jawa dan Madura 1988.Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pu-puk No. 8.

    Reijntjes, C., B. Haverkort, dan A. WatersBayer. 1999. Pertanian Masa Depan:Pengantar untuk pertanian berkelan-jutan dengan input luar rendah, ILEILA(Terjemahan Y. Sukoco). Kanisus, Yog-yakarta.

    Roesmiyanto, Suyamto, dan F. Kasijadi.1999. Acuan Rekomendasi PemupukanSpesifik Lokasi Tanaman Kedelai diJawa Timur. BPTP Karangploso, Ma-lang.

    Sri-Adiningsih, J. 1992. Peranan EfisiensiPenggunaan Pupuk untuk Melestari-kan Swasembada Pangan. Orasi Pe-ngukuhan Ahli Peneliti Utama, Bogor,24 April 1992. Badan Penelitian dan Pe-ngembangan Pertanian, Jakarta.

    Sri-Adiningsih, J. dan M. Soepartini. 1995.Pengelolaan pupuk pada sistem usaha-tani lahan sawah. Makalah ApresiasiMetodologi Pengkajian Sistem Usaha-tani Berbasis Padi Berwawasan Agri-bisnis, PSE, Bogor, 7-9 September 1995.

    Sri-Rochayati, Mulyadi, dan J. Sri-Adiningsih. 1991. Penelitian efisiensipenggunaan pupuk di lahan sawah.Prosiding Lokakarya Nasional EfisiensiPupuk. Pusat Penelitian Tanah danAgroklimat, Bogor.

    Sumarno dan Suyamto. 1991. Pengaruhpupuk kalium dan jerami padi terhadaphasil padi dan kedelai pada tanah Ver-tisol. Penelitian Palawija 6(1&2): 29-35.

    Suwono, H. Sembiring, D.P. Saraswati, F.Kasijadi, dan Suyamto. 1999. AcuanRekomendasi Pemupukan Spesifik

  • Lokasi untuk Padi Sawah di Jawa Timur.BPTP Karangploso, Malang.

    Suyamto, T. Notohadiprawiro, S. Suko-darmodjo, dan B. Radjagukguk. 1988.Kajian kelengasan tanah dan pemu-pukan P pada kedelai: 1. Keragaan ta-naman dan serapan P. Penelitian Pala-wija 3(2): 66-75.

    Suyamto, B. Radjagukguk, S. Sukodar-modjo, dan T. Notohadiprawiro. 1989.Kajian kelengasan tanah dan pemupuk-an P pada kedelai: 2. Efisiensi pemupuk-an P. Penelitian Palawija 4(1): 9-19.

    Suyamto, Sudaryono, H. Kuntyastuti, H.Subagio, B. Santosa, Isgiyanto, J. Pur-nomo, dan Sutrisno. 1990. Penelitianefisiensi pemupukan P pada padi sa-wah. hlm. 26-41. Penelitian Pemupukandan Varietas Padi Sawah MenunjangSwasembada Beras. Balai PenelitianTanaman Pangan Malang.

    Suyamto dan Sumarno. 1991. Effect of rateand time of potassium application ongrowth and yield of maize planted at Ver-tisol. Penelitian Palawija 6 (l&2): 36-43.

    Suyamto, Sumarno, and M. Ismunadji.1991. Potassium increases corn yieldon Vertisols. Better Crop International.

    Suyamto. 1993. Hara mineral dan penge-lolaan air pada tanaman kacang tanah.hlm. 108-137. Dalam. A. Kasno (Pe-nyunting). Kacang Tanah. MonografBalittan Malang No. 12.

    Suyamto and Sumarno. 1993. Direct andresidual effect of potassium fertilizer inrice-maize cropping rotation on Ver-tisol. Indones. J. Crop Sci. 8(2): 29-38.

    Suyamto. 1998. Potassium increases cassa-va yield on Alfisol soil. Better Crop In-ternational.

    Suyamto. 2000. Peningkatan efisiensi pe-mupukan pada padi sawah. MakalahTemu Teknologi di BTP Bedali, Malang,19 Oktober 2000.

    Suyamto, L. Sunaryo, M. Soleh, Suwono,D.P. Saraswati, A.G. Pratomo, D. Setyo-rini, C. Ismail, Marjuki, dan O. Sutrisno.2002. Pemetaan Kesuburan TanahLahan Sawah dan Sistem Produksi Padidi Jawa Timur. Laporan PenelitianAPBD Provinsi Jawa Timur. BPTP JawaTimur, Malang.

    Syekhfani, Machfudz, Suwono, dan R.Suntan. 2000. Pengembangan MetodeCepat untuk Penentuan Dosis PupukKapur di Lahan Pertanian. Laporan Ha-sil Penelitian Kerja Sama Lembaga Pe-nelitian Universitas Brawijaya, Malangdan Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian, Jakarta.

    Talay, P.R. 1998. PPF. Decision SupportSystem. Pivot Prescription Farming.National Soil Summit, Jakarta, 26February 1998.

    Tim Teknis Bimas Jawa Timur. 1999. Ana-lisis kinerja intensifikasi padi, kedelaidan jagung di Jawa Timur. PertemuanTim Teknis Bimas Tingkat Nasional,Surabaya, 21-23 September 1999.

    Tisdale, S. and W. Nelson. 1975. Soil Fer-tility and Fertilizers. MacMillan Pub.,New York.

    Widjaja-Adhi, I P.G., J. Sri-Adiningsih, andNurjaya. 1998. Soil test developmentand fertilizer recommendation for-mulation for food crops in Indonesia.National Soil Summit, Jakarta, 26February 1998.