Upload
jovia-chitrayanti
View
84
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Faktor Resiko Gangguan Perkembangan Bicara dan Bahasa Pada Anak
Penyebab gangguan perkembangan bahasa sangat banyak dan luas, semua gangguan
mulai dari proses pendengaran, penerusan impuls ke otak, otak, otot atau organ pembuat
suara. Adapun beberapa penyebab gangguan atau keterlambatan bicara adalah gangguan
pendengaran, kelainan organ bicara, retardasi mental, kelainan genetik atau kromosom,
autis, mutism selektif, keterlambatan fungsional, afasia reseptif dan deprivasi lingkungan.
Deprivasi lingkungan terdiri dari lingkungan sepi, status ekonomi sosial, tehnik
pengajaran salah, sikap orangtua. Gangguan bicara pada anak dapat disebabkan karena
kelainan organik yang mengganggu beberapa sistem tubuh seperti otak, pendengaran dan
fungsi motorik lainnya.
Beberapa penelitian menunjukkan penyebab ganguan bicara adalah adanya gangguan
hemisfer dominan. Penyimpangan ini biasanya merujuk ke otak kiri. Beberapa anak juga
ditemukan penyimpangan belahan otak kanan, korpus kalosum dan lintasan pendengaran
yang saling berhubungan. Hal lain dapat juga di sebabkan karena diluar organ tubuh
seperti lingkungan yang kurang mendapatkan stimulasi yang cukup atau pemakaian dua
bahasa. Bila penyebabnya karena lingkungan biasanya keterlambatan yang terjadi tidak
terlalu berat.
Terdapat tiga penyebab keterlambatan bicara terbanyak diantaranya adalah retardasi
mental, gangguan pendengaran dan keterlambatan maturasi. Keterlambatan maturasi ini
sering juga disebut keterlambatan bicara fungsional.
Keterlambatan bicara fungsional merupakan penyebab yang cukup sering dialami oleh
sebagian anak. Keterlambatan bicara fungsional sering juga diistilahkan keterlambatan
maturasi atau keterlambatan perkembangan bahasa. Keterlambatan bicara golongan ini
disebabkan karena keterlambatan maturitas (kematangan) dari proses saraf pusat yang
dibutuhkan untuk memproduksi kemampuan bicara pada anak. Gangguan seperti ini
sering dialami oleh laki-laki dan sering terdapat riwayat keterlambatan bicara pada
keluarga. Biasanya hal ini merupakan keterlambatan bicara yang ringan dan prognosisnya
baik. Pada umumnya kemampuan bicara akan tampak membaik setelah memasuki usia 2
tahun. Terdapat penelitian yang melaporkan penderita dengan keterlambatan ini,
kemampuan bicara saat masuk usia sekolah akan normal seperti anak lainnya.
Dalam keadaan ini biasanya fungsi reseptif sangat baik dan kemampuan pemecahan
masalah visuo-motor anak dalam keadaan normal. Anak hanya mengalami gangguan
perkembangan ringan dalam fungsi ekspresif. Ciri khas lain adalah anak tidak
menunjukkan kelainan neurologis, gangguan pendengaran, gangguan kecerdasan dan
gangguan psikologis lainnya.
Faktor Internal
Berbagai faktor internal atau faktor biologis tubuh seperti faktor persepsi, kognisi dan
prematuritas dianggap sebagai faktor penyebab keterlambatan bicara pada anak.
Persepsi
Kemampuan membedakan informasi yang masuk disebut persepsi. Persepsi berkembang
dalam 4 aspek : pertumbuhan, termasuk perkembangan sel saraf dan keseluruhan sistem;
stimulasi, berupa masukan dari lingkungan meliputi seluruh aspek sensori, kebiasaan,
yang merupakan hasil dari skema yang sering terbentuk. Kebiasaan, habituasi,
menjadikan bayi mendapat stimulasi baru yang kemudian akan tersimpan dan selanjutnya
dikeluarkan dalam proses belajar bahasa anak. Secara bertahap anak akan mempelajari
stimulasi-stimulasi baru mulai dari raba, rasa, penciuman kemudian penglihatan dan
pendengaran.
Pada usia balita, kemampuan persepsi auditori mulai terbentuk pada usia 6 atau 12 bulan,
dapat memprediksi ukuran kosa kata dan kerumitan pembentukan pada usia 23
bulan. Telinga sebagai organ sensori auditori berperan penting dalam perkembangan
bahasa. Beberapa studi menemukan gangguan pendengaran karena otitis media pada anak
akan mengganggu perkembangan bahasa.37
Sel saraf bayi baru lahir relatif belum terorganisir dan belum spesifik. Dalam
perkembangannya, anak mulai membangun peta auditori dari fonem, pemetaan terbentuk
saat fonem terdengar. Pengaruh bahasa ucapan berhubungan langsung terhadap jumlah
kata-kata yang didengar anak selama masa awal perkembangan sampai akhir umur pra
sekolah.
Kognisi
Anak pada usia ini sangat aktif mengatur pengalamannya ke dalam kelompok umum
maupun konsep yang lebih besar. Anak belajar mewakilkan, melambangkan ide dan
konsep. Kemampuan ini merupakan kemampuan kognisi dasar untuk pemberolehan
bahasa anak.
Beberapa teori yang menjelaskan hubungan antara kognisi dan bahasa :
1. Bahasa berdasarkan dan ditentukan oleh pikiran (cognitive determinism)
2. 2. Kualitas pikiran ditentukan oleh bahasa (linguistic determinism)
3. Pada awalnya pikiran memproses bahasa tapi selanjutnya pikiran dipengaruhi
oleh bahasa.
4. Bahasa dan pikiran adalah faktor bebas tapi kemampuan yang berkaitan.
Sesuai dengan teori-teori tersebut maka kognisi bertanggung jawab pada pemerolehan
bahasa dan pengetahuan kognisi merupakan dasar pemahaman kata.
Prematuritas
Weindrich menemukan adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan prematuritas
yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak, seperti berat badan lahir, Apgar score,
lama perawatan di rumah sakit, bayi yang iritatif, dan kondisi saat keluar rumah sakit.
Beitchman, Hood, & Inglis, 1990; Spitz et al., 1997; Tallal, Ross, & Curtiss, 1989;
Tomblin, Smith, & Zhang, 1997, melaporkan bahwa gangguan bahasa sekitar 40% dan
70% merupakan kecendrungan dalam suatu keluarga. Separuh keluarga yang memiliki
anak dengan gangguan bahasa, minimal satu dari anggota keluarganya memiliki problem
bahasa. Orang tua yang berpengaruh pada keturunan ini mungkin bertanggung jawab
terhadap faktor-faktor genetik. Mungkin sulit mengetahui berapa banyak transmisi
intergenerasi gangguan-gangguan bahasa tersebut, disebabkan oleh kurangnya dukungan
lingkungan terhadap bahasa.
Faktor Eksternal (Faktor Lingkungan)
Riwayat keluarga
Demikian pula dengan anak dalam keluarga yang mempunyai riwayat keterlambatan atau
gangguan bahasa beresiko mengalami keterlambatan bahasa pula. Riwayat keluarga
yang dimaksud antara lain anggota keluarga yang mengalami keterlambatan berbicara,
memiliki gangguan bahasa, gangguan bicara atau masalah belajar.
Pola asuh
Law dkk juga menemukan bahwa anak yang menerima contoh berbahasa yang tidak
adekuat dari keluarga, yang tidak memiliki pasangan komunikasi yang cukup dan juga
yang kurang memiliki kesempatan untuk berinteraksi akan memiliki kemampuan bahasa
yang rendah.
Lingkungan verbal
Lingkungan verbal mempengaruhi proses belajar bahasa anak. Anak di lingkungan
keluarga profesional akan belajar kata-kata tiga kali lebih banyak dalam seminggu
dibandingkan anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan kemampuan verbal lebih
rendah.
Pendidikan
Studi lain melaporkan juga ibu dengan tingkat pendidikan rendah merupakan faktor
resiko keterlambatan bahasa pada anaknya.
Jumlah anak
Chouhury dan beberapa peneliti lainnya mengungkapkan bahwa jumlah anak dalam
keluarga mempengaruhi perkembangan bahasa seorang anak, berhubugan dengan
intensitas komunikasi antara orang tua dan anak.38,39
Kemiskinan menempatkan anak pada resiko meningkatnya problem-problem rumah
tangga (Halpern, 2000). Kemiskinan secara signifikan mempertinggi resiko terpaparnya
masalah kesehatan seperti asma, malnutrisi (Klerman, 1991); gangguan kesehatan mental
(Gore & Eckenrode, 1996; McLoyd, 1990; McLoyd & Wilson, 1991); kurang perhatian
dan ketidak-teraturan perawatan dari orang tua (Halpern, 1993); dan defisit dalam
perkembangan kognisi dan pencapaian keberhasilan (Duncan, Klebanov, & Brooks-
Gunn, 1994; Levin, 1991). Beberapa penelitian menjelaskan bahwa keluarga yang
bermasalah, terpapar lebih besar faktor-faktor resiko daripada keluarga yang tidak berada
dibawah level kemiskinan, dan konsekuensi dari faktor-faktor resiko ini dapat lebih berat
pada anak-anak dalam keluarga ini (Attar, Guerra, & Tolan, 1994; Brooks-Gunn, Kleba-
nov, & Liaw, 1995; Liaw & Brooks-Gunn, 1994; McLoyd, 1990).
Anak-anak yang terpapar berbagai faktor resiko, maka resiko untuk berkembang menjadi
disabilitas akan meningkat. Salah satu yang termasuk disabilitas adalah specific language
impairment (SLI), yang secara umum dijelaskan sebagai pencapaian yang buruk dalam
berbahasa meskipun memiliki pendengaran dan intelegensi nonverbal normal (Spitz,
Tallal, Flax, & Benasich, 1997). Lebih khusus hal ini dapat diartikan suatu kondisi yang
menyebabkan seorang anak memiliki penilaian spesifik dibawah rata-rata standar tes
bahasa, tetapi berada pada level rata-rata untuk tes intelegensi nonverbal (Fazio,
Naremore, & Connell, 1996). Dengan demikian, pencegahan SLI dapat dengan
mengidentifikasi faktor resiko anak sebelum diagnosis formal dibuat.
Beberapa penelitian meneliti faktor-faktor resiko biologi untuk SLI dan penempatan-
penempatan faktor lain dengan melihat “outcome” anak-anak sekolah yang ditempatkan
dineonatal intensive care units (NICUs) setelah lahir dengan segera. Anak-anak dari
populasi ini diketahui memiliki resiko untuk keterlambatan kognisi dan kesulitan
akademik karena mereka biasanya lahir prematur, berat badan lahir rendah (kurang dari
2500 g) atau respiratori distres. Sebagian besar literatur menyatakan bahwa meskipun
anak-anak dari NICU lebih beresiko mengalami kesulitan kognisi (seperti retardasi
mental dan gangguan belajar), mereka tidak memiliki resiko yang meningkat untuk
masalah spesifik bahasa, khususnya saat angka penilaian disesuaikan karena
prematuritasnya (Resnick et al., 1998; Rice, Spitz, & O’Brien, 1999; Siegel et al., 1982;
Tomblin, Smith, & Zhang, 1997).
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa gangguan bahasa umumnya terdapat
kecenderungan dalam suatu keluarga berkisar antara 40% dan 70% (Beitchman, Hood, &
Inglis, 1990; Spitz et al., 1997; Tallal, Ross, & Curtiss, 1989; Tomblin, Smith, & Zhang,
1997). Hampir separuh dari keluarga yang anak-anaknya mengalami gangguan bahasa,
minimal satu dari anggota keluarganya memiliki problem bahasa. Dengan demikian
orang tua yang berpengaruh pada keturunan ini mungkin bertanggung jawab terhadap
faktor-faktor genetik. Mungkin tidak diketahui berapa banyak transmisi intergenerasi
gangguan-gangguan bahasa tersebut disebabkan oleh kurangnya dukungan lingkungan
terhadap bahasa.
Kondisi lingkungan merupakan hal yang penting menyangkut hasil perkembangan
seorang anak. Beberapa anak yang datang dari keluarga yang tidak stabil dan kurangnya
perhatian, perawatan, dan kurang memadainya kebutuhan nutrisi dan perawatan
kesehatan, dapat membentuk level stress lingkungan yang merugikan bagi perkembangan
anak termasuk bahasa (Wells, 1980). Untuk alasan ini, resiko dari problem-problem
bahasa dikaitkan dengan faktor sosioekonomi dan kelemahan ekonomi. Peneliti-peneliti
lain mendiskusikan beberapa variabel-variabel lingkungan yang tampak lebih dapat
diprediksi:
1. higher birth order (Hoff-Ginsberg, 1998; Neils & Aram, 1986; Pine, 1995; Tallal
et al., 1989; Tomblin, 1989, 1990; Tomblin, Hardy, & Hein, 1991);
2. Pendidikan ibu yang rendah (Paul, 1991; Rice et al., 1999; Tomblin, Records, et
al., 1997; Tomblin, Smith, & Zhang, 1997); and
3. Orang tua tunggal (Andrews, Goldberg, Wellen, Pittman, & Struening, 1995;
Goldberg, McLaughlin, Grossi, Tytun, & Blum, 1992; Miller & Moore, 1990).
Tersusunnya model resiko perkembangan dapat digunakan untuk memprediksi dengan
lebih akurat, dengan mengkombinasi satu atau lebih faktor-faktor resiko tersebut
(Sameroff, Seifer, Baldwin, & Baldwin, 1993; Sameroff, Seifer, Barocas, Zax, &
Greenspan, 1987). Pernyataan-pernyataan yang diambil ini adalah efek komulatif dari
resiko yang multipel,
Dalam suatu model penelitian dari Sameroff (1993) menunjukkan beberapa faktor resiko
sosial dan keluarga diantaranya adalah : masalah-masalah kesehatan mental ibu,
kecemasan ibu, maternal authoritarian childrearing attitudes, hubungan ibu-anak yang
buruk, pendidikan ibu yang kurang dari menengah atas, orang tua yang kurang atau tidak
memiliki ketrampilan dalam pekerjaan head of the household has a semiskilled or an
unskilled occupation, status etnik minoritas, tidak ada bapak, beberapa tekanan
kehidupan tahun terdahulu, dan ukuran keluarga yang besar.
Sebuah studi oleh Hooper, Burchinal, Roberts, Zeisel, and Neebe (1998) juga menyajikan
fakta-fakta yang menggunakan model resiko komulatif untuk memprediksi kemampuan
kognitif dan bahasa pada bayi yang lebih dipengaruhi oleh status sosioekonomi yang
rendah pada populasi Afrika Amerika. Hooper mengidentifikasi satu perangkat dari 10
faktor-faktor resiko sosial dan keluarga berdasarkan pada model resiko dari Sameroff
berupa status kemiskinan, pendidikan ibu kurang dari sekolah menengah atas, ukuran
keluarga yang besar, ibu yang tidak menikah, hidup yang penuh tekanan, dampak dari ibu
yang depresi, interaksi ibu-anak yang buruk, IQ ibu, kualitas lingkungan rumah, dan
kualitas perawatan sehari-hari.
Seluruh faktor resiko sosial dan keluarga dimasukkan ke dalam studi, saat bayi berusia 6
sampai 12 bulan. Peneliti-peneliti menemukan bahwa 9 dari 10 faktor-faktor resiko
(tekanan hidup merupakan pengecualian) terkait dengan keberhasilan kognisi dan bahasa
dari infan-infan. Komulatif indeks resiko dihubungkan dengan pengukuran bahasa
(sekitar 12% sampai 17% dari varian) tetapi bukan pengukuran kognisi
Evans dan English (2002) menyajikan fakta-fakta bahwa anak-anak dengan orang tua
berpenghasilan rendah terpapar faktor-faktor resiko lingkungan dalam jumlah yang lebih
besar daripada yang berpenghasilan menengah. Mereka memperkenalkan tiga penyebab
stress psikososial (kekerasan, pertengkaran keluarga, perpisahan anak dengan keluarga)
dan tiga penyebab stress fisik (kekacauan, kegaduhan, kualitas rumah yang rendah)
merupakan faktor resiko yang memberikan pengaruh negatif. Dalam penelitiannya
tentang lingkungan yang miskin, mereka menemukan hanya 20% anak-anak yang hidup
dalam keluarga dengan penghasilan yang rendah tidak terpapar satupun faktor resiko.
Sebaliknya, 61% keluarga dengan penghasilan menengah tidak terpapar faktor resiko.
Temuan ini menyatakan bahwa mayoritas anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah
terpapar lebih banyak masalah kemelaratan daripada kelompok berpenghasilan menengah
dan disfungsi kognitif, prilaku, atau sosial akan meningkat.
Sampai saat ini penelitian-penelitian terus mempelajari tentang perbedaan perkembangan
bahasa anak yang diambil dari kultur dan latar-belakang sosioekonomi yang berbeda dan
pengaruh dari perbedaan-perbedaan ini terhadap pencapaian akademik selajutnya.
Robertson (1998) membandingkan kemampuan fonologi anak TK dari keluarga dengan
SES tinggi dan rendah dan menemukan bahwa anak-anak dari SES rendah secara
signifikan lebih buruk pada rangkaian pengukuran kognisi, linguistik, pra-baca. Dua
tahun pemantauan terlihat bahwa anak-anak ini tidak mengejar anak-anak dari keluarga
high-SES. Burt, Holm, and Dodd (1999) juga menemukan hubungan antara prestasi yang
buruk dengan SES yang rendah dengan menilai prestasi anak-anak pada beberapa tugas-
tugas fonologi. Suatu usaha untuk menjelaskan keterkaitan antara kelemahan dan
kegagalan sekolah, In an attempt to explain the link between disadvantage and school
failure, maka Hart and Risley (1995) mempelajari perbedaan antara kualitas bahasa
ditujukan pada anak-anak dengan latar belakang SES yang berbeda pada 21/2 tahun
pertama kehidupan mereka. Mereka melaporkan bahwa anak-anak dari latar belakang
SES yang rendah berada dalamkelemahan karena orang tua mereka atau pengasuh sangat
jarang mengajak berbicara; akibatnya mereka miskin perbendaharaan kata dan
kemampuan komunikasi dibanding kelompok SES yang lebih tinggi.
Genetik
Laporan-laporan kasus sering memperlihatkan riwayat keluarga positif pada gangguan
komunikasi. Antara 28% and 60% dari anak-anak dengan gangguan bicara dan bahasa
mempunyai saudara kandung dan/atau orang tua yang juga mengalami kesulitan bicara
dan bahasa. (e.g. Bishop and Edmundson 1986, Tallal et al. 1989, Whitehurst et al. 1991,
Lewis 1992). Anggota keluarga laki-laki lebih berpengaruh dari pada wanita (Tallal et
al.1989, Lewis and Freebairn 1997). Bagaimanapun, data terbanyak memperlihatkan
anak-anak dengan hanya gangguan bahasa saja dan tidak pada anak dengan gangguan
bicara terpisah (isolated speech disorders). Lewis and Freebairn (1997) berhipotesa
bahwa anak-anak dengan riwayat keluarga positif terhadap gangguan bicara akan
membentuk grup spesifik ke dalam populasi gangguan bicara. Penemuan mereka tidak
mendukung hipotesa karena tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan pada
pengukuran artikulasi, fonologi, bahasa, kemampuan-kemampuan oral-motor atau
kemampuan membaca dan menulis diantara anak-anak yang memiliki riwayat keluarga
dengan gangguan bicara dibanding yang bukan. Akan tetapi disimpulkan bahwa riwayat
keluarga yang positif masih bisa “dipertimbangkan sebagai faktor resiko yang bisa
digunakan untuk identifikasi awal sehingga memungkinkan dilakukan intervensi dini
bagi anak-anak yang keluarganya memperlihatkan gangguan ini (Lewis and Freebairn
1997: 398).
Otitis media
Sekitar 80% dari seluruh anak prasekolah mengalami satu atau lebih episode otitis media
Akut (OMA) atau otitis media effusion (OME) (Grievink et al. 1993). Selama episode
ini, anak-anak mengalami fluktuasi kehilangan pendengaran, biasanya antara 20 dB dan
50 dB (Gravel and Nozza 1997 for a review), mempengaruhi jumlah dan kualitas bicara
dan bahasa yang didengar. Banyak studi yang melaporkan kemungkinan ada hubungan
antara otitis media dengan atau tanpa efusi dan keterlambatan perkembangan bicara dan
bahasa. Lima artikel membahas khusus tentang hal ini (Roberts et al. 1991, 1997, Pagel
Paden 1994, Roberts and Clarke-Klein 1994, Schwartz et al. 1997). Artikel-artikel ini
menyimpulkan bahwa banyak, tetapi tidak semua anak yang mengalami episode infeksi
telinga tengah mempunyai gangguan bicara dan bahasa, dan tidak semua anak yang
mempunyai gangguan bicara dan bahasa mengalami infeksi telinga tengah.
Pre dan perinatal
Penyebab spesifik berhubungan antara kesulitan pre dan perinatal dengan gangguan
bicara dan bahasa juga telah dibuktikan. Infeksi selama kehamilan, imaturitas dan berat
badan lahir rendah dilaporkan mempunyai efek negatif pada perkembangan bicara dan
bahasa (Byers-Brown and Edwards 1989, Tomblin et al. 1991, 1997, Peters et al. 1997,
Gerber 1998). Bagaimanapun, Bax and Stevenson (1982) and Menyuk et al. (1986)
menemukan perbedaan yang tidak signifikan sejumlah kejadian antara imaturitas dan
berat badan lahir rendah anak dan kontrolnya. Saat paling banyak studi-studi terfokus
pada anak-anak dengan gangguan bahasa, Byers-Brown et al. (1986) melaporkan secara
signifikan keterlambatan proses pengeluaran suara dalam bicara pada anak imatur. Lebih
jauh diperlukan penelitian yang mengkhususkan pada anak-anak dengan gangguan bicara
terpisah.
Sucking habits
Gangguan bicara mungkin dihubungkan dengan kebiasaan-kebiasan mengisap pada anak.
Dianggap bahwa mengisap yang berlebihan dengan menggunakan jempol dan botol
berperan sebagai pengaman (pacifier) pada gangguan myofunction, menurunnya oral
awareness, menurunnya kemampuan motorik oral (Garliner 1971, Hahn 1988, Hensel
and Splieth 1998). Gangguan fungsi otot sering dihubungkan dengan kesulitan-kesulitan
bicara. Terpisah dari ditegakkannya hubungan antara /s/ distorsi dan gangguan fungsi otot
(e.g. Hahn 1988, Hensel and Splieth 1998) ada fakta-fakta yang tidak memperlihatkan
adanya hubungan antara kebiasaan mengisap, kemampuan motorik oral dan gangguan
bicara.
Ringkasnya, hubungan antara faktor-faktor resiko dengan perkembangan bicara dan
bahasa masih belum jelas. Terbanyak studi-studi focus pada anak-anak dengan kombinasi
bicara dan bahasa atau hanya gangguan bahasa terpisah yang mungkin tidak
menggambarkan anak-anak dengan gangguan bicara terpisah