30
Fatwa Tarjih - Wali Nikah 21 Januari 2012 00:32 WIB (Dibaca : 538) Oleh : Pertanyaan: Siapa yang menjadi wali nikah dari perempuan yang lahir diluar nikah, sekalipun ibu melakukan akad nikah yang sah dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilannya itu, s perempuan itu masih dalam kandungan? Jawab: Wali merupakan salah satu rukun akad nikah, berdasarkan nash-nash berikut: “Nikahkan olehmu (wali) wanita-wanita yang tidak bersuami dan hamba-hamba laki-laki da perempuan yang shaleh dari kalanganmu…”(an -Nur (24): 32 Dan firman Allah: Dan janganlah kamu (wali) nikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan beriman) seh beriman…(al -Baqarah (2): 221) Dan hadis: ( : 7868 , , ) Dari Abu Musa dari bapaknya, berkata: bersabda Rsulullah saw:”Tidak sah nikah kecu dengan wali”. (HR. Ahmad, Abu Daud, at -Tirmizi, Ibnu Hibban dan al-Hakim serta dinyatakannya sebagai hadis shahih) Berdasarkan ayat dan hadis diatas dapat ditetapkan bahwa wali merupakan rukun nikah. Dan dinyatakan pula bahwa wali itu hendaklah seorang laki-laki, berdasarkan : ( 78 1 , )

Fatwa Tarjih Tentang Hadis Wali Nikah

Embed Size (px)

Citation preview

Fatwa Tarjih - Wali Nikah21 Januari 2012 00:32 WIB (Dibaca : 538) Oleh : Pertanyaan: Siapa yang menjadi wali nikah dari perempuan yang lahir diluar nikah, sekalipun ibunya telah melakukan akad nikah yang sah dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilannya itu, sewaktu perempuan itu masih dalam kandungan?

Jawab: Wali merupakan salah satu rukun akad nikah, berdasarkan nash-nash berikut:

Nikahkan olehmu (wali) wanita-wanita yang tidak bersuami dan hamba-hamba laki-laki dan perempuan yang shaleh dari kalanganmu(an-Nur (24): 32 Dan firman Allah:

Dan janganlah kamu (wali) nikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan beriman) sehingga ia beriman(al-Baqarah (2): 221) Dan hadis: ( : 18687, , ) Dari Abu Musa dari bapaknya, berkata: bersabda Rsulullah saw:Tidak sah nikah kecuali dengan wali. (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmizi, Ibnu Hibban dan al-Hakim serta dinyatakannya sebagai hadis shahih) Berdasarkan ayat dan hadis diatas dapat ditetapkan bahwa wali merupakan rukun akad nikah. Dan dinyatakan pula bahwa wali itu hendaklah seorang laki-laki, berdasarkan hadis: ,7811: ( )

Dari Abu Hurairah, ia berkata, bersabda Rasulullah saw:Perempuan tidak boleh menikahkan (menjadi wali) terhadap perempuan dan tidak boleh menikahkan dirinya. (HR. ad-Daraqutni dan Ibnu Majah) Dalam pada itu tidak ditemukan nash yang menerangkan siapa saja yang boeleh menjadi wali dan bagaimana urutannya; karena itu para ulama mengqiyaskannya kepada urutan wanita yang menjadi mahram berdasarkan nasab (QS. an-Nisa ayat 23), tetapi dipandang dari pihak laki-laki. Dengan demikian urutan wali itu sebagai berikut: 1. Bapak, kakek dan seterusnya keatas. 2. Saudara laki-laki sekandung, atau seayah. 3. Saudara bapak laki-laki sekandung atau seayah 4. Anak dari saudara bapak laki-laki sekandung atay seayah jika nomor 1 no 4 tidak ada, maka yang menjadi wali adalah wali hakim, yaitu wali yang diangkat oleh pemerintah, berdasarkan hadis: ( ) Dari Aisyah ra ia berkata, bersabda Rasulullah saw:Wanita manapun yang melakukan akad nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika dalam pernikahannya (yang batal itu) terjadi dukhul, maka wanita itu berhak mendapat mahar karena penghalalan farajnya. Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan maka pemerintah (wali hakim) menjadi wali wanita yang tiadak mempunyai wali (Ditakhrijkan oleh imam hadis yang empat kecuali an-NasaI dan dinyatakn shahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan al-Hakim) Dalam pada itu ditetapkan bahwa anak yang lahir diluar nikah nasabnya dihubungkan kepada ibunya, berdasarkan hadis berikut: ) ( Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda:Anak itu bagi suami (yang telah telah melakukan akad nikah yang sah dengan istrinya), bagi pezina itu hukumannya rajam. (Muttafaq alaihi) Dan hadis: )6171 : *(

Dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata Rasulullah saw telah menetapkan pada anak dari suami isteri yang telah melakukan lian mewarisi ibunya dan ibunya mewarisinya dan siapa yang menuduh isterinya berzina (tanpa bukti) dijilid 80 kali. (HR. Ahmad) Berdasarkan kedua hadis diatas dapat ditetapkan bahwa anak yang lahir diluar nikah yang sah, maka nasabnya dihubungkan kepada ibunya. Hal ini berarti bahwa anak perempuan yang saudara tanyakan itu tidak mempunyai wali nasab. Bagi perempuan yang tidak mempunyai wali nasab, maka yang menikahkannya adalah wali hakim, berdasarkan hadis yang telah ditulis diatas yang sebagian lafaznya berbunyi: Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan maka pemerintah (wali hakim) menjadi wali bagi perempuan yangtidak mempunyai wali Hukum diatas sesuai pula denga hukum yang berlaku di Indonesia. bab ketiga fasal 19 Kompilasi Hukum Islam Indonesia menyatakan: Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Pasal 20 ayat 2 menerangkan bahwa ada dua macam wali, yaitu wali nasab dan wali hakim. Pasal 23 ayat 1 menyatakan bahwa wali hakim bertindak sebagai wali nikah bila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau enggan.

NIKAH TANPA WALI: Bolehkah?Posted on Jan 26, 2010 in Fikih Kontemporer, Hadits | 30 comments

Hadits dan Fiqih adalah dua sahabat karib yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling berkaitan erat bagi seorang alim, ibarat dua sayap bagi seekor burung. Dahulu Ali bin Madini pernah mengatakan: Mempelajari fiqih hadits adalah separuh ilmu, dan mempelajari rijal (rawi) hadits juga separuh ilmu.[1] Al-Hafizh Ibnul Jauzi berkata: Sungguh amat jelek sekali bagi seorang ahli hadits ketika ditanya tentang suatu kejadian, lalu dia tidak mengerti karena kesibukannya dalam mengumpulkan jalur-jalur hadits. Demikian pula sangat jelek bagi seorang faqih ketika ditanya: Apa maksud sabda Nabi ini, lalu dia tidak mengerti tentang keabsahan dan maknanya. [2] Oleh karenanya, bagi seorang yang menggeluti ilmu fiqih hendaknya dia melengkapinya dengan ilmu hadits. Imam asy-Syaukani berkata: Seorang yang ingin menulis kitab fiqih -sekalipun dia telah mencapai puncak yang tinggiapabila dia tidak membidangi ilmu hadits dan pembedaan antara yang shahih dan lemah, maka

kitab karyanya tidaklah dibangun di atas pondasi, sebab kebanyakan ilmu fiqih itu diambil dari ilmu hadits. [3] Sebagaimana juga bagi seorang yang menggeluti ilmu hadits hendaknya dia tidak lupa bahwa buah hadits adalah dengan mempelajari fiqihnya dan mengamalkannya, bukan hanya sekedar dalam jalur-jalur riwayatnya belaka. Ambilah kisah berikut sebagai ibrah! Imam adz-Dzahabi dalam Siyar Alam Nubala 16/108 menceritakan bahwa Hamzah al-Kinani berkata: Saya pernah meneliti sebuah hadits dari dua ratus jalan, sayapun merasa sangat gembira sekali, lalu saya bermimpi melihat Yahya bin Main, akupun berkata padanya: Wahai Abu Zakariya! Saya telah meneliti sebuah hadits dari dua ratus jalan. Beliau kemudian diam sejenak, lalu berkata: Saya khawatir hal ini masuk dalam firman Allah:

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. (At-Taktsur: 1) Maka alangkah indahnya apabila ilmu fiqih dan hadits dipadukan bersama!! Dan alangkah butuhnya kita kepada fiqih yang bersumber dari sunnah nabawiyyah shahihah!!.

Kajian berikut merupakan salah satu contoh tentang pentingnya paduan antara ilmu hadits dan fiqih. Kajian yang kami maksud adalah nikah tanpa wali, lantaran dalam sebagian madzhab (baca; Madzhab Hanafiyah) dan itu diikuti oleh sebagian saudara kita bahwa semua haditshadits yang berkaitan tentangnya adalah tidak shahih dari Nabi[4], sehingga mereka membuat suatu kesimpulan bahwa seorang wanita tidak perlu wali dan saksi dalam pernikahannya[5]. Oleh karenanya, sangat penting sekali bagi kita untuk mengkaji akar permasalahan ini sehingga nampak bagi kita cahaya kebenaran dan gelapnya kebatilan[6].

A. TAKHRIJ HADITS[7]

Hadits tentang bahasan kita kali ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya, diriwayatkan dari banyak sahabat. Al-Hakim berkata dalam Al-Mustadrak 2/168: Telah shahih riwayat tentangnya dari para isteri Nabi; Aisyah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy. Lalu katanya: Dan dalam bab ini terdapat pula riwayat dari Ali, Ibnu Abbas, Muadz, Abdullah bin Umar, Abu Dzar, Miqdad, Ibnu Masud, Jabir, Abu Hurairah, Imran bin Hushain, Abdullah bin Amr, Miswar bin Makhramah dan Anas bin Malik.[8] Al-Ustadz yang mulia, A. Hassan -semoga Allah merahmatinya- dalam Soal Jawabnya hal. 245247 telah mencantumkan sebelas hadits fakta pembahasan tetapi beliau mementahkan seluruhnya, sehingga beliau membuat sebuah kesimpulan pada hal. 253: Pendeknya, sekalian riwayat yang menerangkan Tidak sah nikah melainkan dengan wali itu tidak sunyi daripada celaan tentang riwayatnya. Katanya juga: Tidak ada satupun yang betul-betul sah riwayatnya.

Demikianlah ucapan beliau -semoga Allah mengampuninya-!! Tentu saja ucapan beliau ini perlu diteliti ulang kembali, sebab menurut penelitian ulama ahli hadits bahwa hadits ini adalah shahih. Oleh karenanya, perkenanlah kami sedikit memaparkan hadits pembahasan beserta sanggahan sesingkat mungkin atas kritikan Al-Ustadz A. Hassan -semoga Allah merahmatinya-.

Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah menambahkan ilmu bagimu- bahwa hadits tentang masalah ini telah shahih dari riwayat Aisyah, Abu Musa al-Asyari, Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Berikut keterangannya: I. Hadits Aisyah

:

:

Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.

SHAHIH. Diriwayatkan Abu Dawud 2083, Tirmidzi 1102, Ibnu Majah 1879, ad-Darimi 2/137, Ahmad 6/47, 165, SyafiI 1543, Ibnu Abi Syaibah 4/128, Abdur Razzaq 10472, ath-Thayyalisi 1463, ath-Thahawi 2/4, Ibnu Hibban 1248, ad-Daraquthni 381, Ibnu Jarud 700, al-Hakim 2/168, al-Baihaqi 7/105, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 9/39 dari beberapa jalur yang banyak sekali dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah dari Nabi. Hadits ini shahih dengan tiada keraguan di dalamnya. Adapun al-Ustadz yang mulia, A. Hassan semoga Allah merahmatinya- beliau mengatakan dalam Soal Jawabnya 253: Keterangan ketiga dianggap lemah oleh sebagian ahli hadits[9], lantaran seorang bernama Zuhri yang meriwayatkan hadits ini, tatkala orang bertanya kepadanya dia menjawab: Saya tidak meriwayatkan hadits itu. Beliau mengisyaratkan apa yang terdapat dalam riwayat Ahmad 6/47 usai hadits ini: Ibnu Juraij berkata: Saya bertemu dengan Zuhri lalu saya bertanya kepadanya tentang hadits ini tetapi dia tidak mengetahuinya. Dan dia memuji Sulaiman bin Musa.

Kritikan ini sangat mentah sekali, telah dibantah oleh para ulama ahli hadits dari beberapa segi: 1. Kisah ini dilemahkan oleh para ulama seperti Yahya bin Main, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban, Ibnu Adi, Ibnu Abdil Barr, al-Hakim dan lain sebagainya, karena tambahan ini tidak diriwayatkan kecuali dari Ibnu Ulayyah saja. [10] 2. Anggaplah kisah ini shahih, tetap tidak bisa dijadikan sebagai alasan melemahkan hadits ini, sebab lupanya Zuhri tidaklah mengharuskan bahwa Sulaiman bin Musa keliru. Masalah ini telah dikupas oleh Imam Daraquthni dalam kitab Man Haddatsa wa Nasiya (Orang-orang yang menceritakan hadits lalu lupa) dan para ulama lainnya. [11]

Al-Hakim berkata: Telah shahih dengan riwayat para imam bahwa para perawi tersebut mendengar antara sebagian dari sebagian lainnya. Maka riwayat-riwayat ini tidaklah dimentahkan karena cerita Ibnu Ulayyah dan pertanyaan kepada Ibnu Juraij dan ucapannya: Saya bertanya kepad Zuhri, tetapi dia tidak mengetahuinya. Seorang yang terpercaya dan penghafal hadits terkadang lupa usai menceritakan hadits, sebagaimana tak sedikit ahli hadits tertimpa hal ini. Ibnu Hibban juga berkata: Hal ini tidak menjadikan cacat keshahihan hadits ini, karena seorang ahli ilmu yang kuat terkadang meriwayatkan kemudian lupa, sehingga ketika ditanya dia tidak mengetahuinya, jadi lupanya dia tidak menunjukkan batilnys hadits tersebut. [12]

3. Sulaiman bin Musa tidak sendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Juraij, beliau dikuatkan oleh kawan-kawannya yang lain, diantaranya: a. Hajjaj bin Artah sebagaimana dalam riwayat Ibnu Majah 1/580, Ahmad 6/260, Baihaqi 7/105 b. Jafar bin Rabiah sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud 2084, Ahmad 6/66 c. Ubaidullah bin Abu Jafar sebagaimana dalam riwayat ath-Thahawi 3/7 d. Ayyub bin Musa al-Qurasyi sebagaimana dalam riwayat Ibnu Adi dalam Al-Kamil 4/1516 4. Para ulama ahli hadits telah menshahihkan hadits ini. Berikut kami nukilkan sebagian komentar mereka:

Yahya bin Main berkata: Hadits Aisyah Tidak sah pernikahan tanpa wali tidak shahih hadits yang berkaitan akan hal ini kecuali hadits (dari jalur) Sulaiman bin Musa. Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla 9/465: Tidak shahih dalam masalah ini selain sanad ini. Hal ini cukup sebagi dalil tentang saksi dalam pernikahan.[13] Tirmidzi berkata: Hadits hasan. Al-Hakim berkata: Hadits shahih menurut syarat Bukhari Muslim.[14] Ibnul Jauzi berkata dalam At-Tahqiq 3/71: Hadits ini shahih, seluruh rawinya adalah para perawi shahih.[15] Adz-Dzahabi juga berkata dalam Tanqih Tahqiq 8/270: Hadits shahih. Al-Albani menyimpulkan bahwa hadits ini pada asalnya hasan tetapi dapat naik kepada derajat shahih karena adanya beberapa syawahid (penguat) dari jalur lainnya. [16] Demikian pula para ulama lainnya yang mencantumkan hadits ini dalam kitab-kitab mereka yang khusus memuat hadits shahih seperti Ibnu Hibban, Ibnul Jarud, Abu Awanah dan sebagainya[17].

II. Hadits Abu Musa al-Asyari

:

:

Dari Abu Musa al-Asyari berkata: Rasulullah bersabda: Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali.

SHAHIH. Diriwayatkan Abu Dawud 2085, Tirmidzi 1/203, Ibnu Majah 1/580, Darimi 2/137, athThahawi 2/5, Ibnu Abi Syaibah 4/131, Ibnul Jarud 702, Ibnu Hibban 1243, Daraquthni 38, alHakim 2/170, Baihaqi 7.107, Ahmad 4/393, 413, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 9/38 dari jalur Abu Ishaq as-SabiI dari Abu Burdah dari Abu Musa al-Asyari secara marfu (sampai kepada Nabi). Hadits inipun shahih juga. Adapun Ustadz yang mulia A. Hassan, beliau berkata dalam Soal Jawabnya hal. 253: Keterangan kedua dilemahkan oleh Ibnu Hibban dengan alasan bahwa yang meriwayatkan hadits itu tidak jumpa sendiri dengan Nabi, tetapi dengan perantaraan seorang sahabat yang tidak disebut namanya.

Kritik ini sangat lemah sekali ditinjau dari beberapa segi: 1. Di kitab apakah hadits ini dilemahkan Ibnu Hibban, sebab setahu kami Ibnu Hibban malah mencantumkan hadits ini dalam kitab Shahihnya dan tidak berkomentar melemahkan hadits ini seperti dinukil oleh Ustadz A. Hassan. Bahkan Ibnu Hibban secara tegas dalam Shahih-nya 9/395 mengatakan bahwa hadits ini shahih secara mursal maupun bersambung dan tidak ada keraguan akan keshahihannya!!. 2. Anggaplah nukilan itu benar, maka alasan seperti di atas sangat tidak tepat sekali, sebab telah mapan dalam disiplin ilmu hadits bahwa semua sahabat adalah adil dan terpercaya, baik disebut namanya maupun tidak, apalagi dalam hadits pembahasan telah nyata disebut nama sahabatnya yaitu Abu Musa al-Asyari. 3. Kritikan yang populer di kalangan ahli hadits adalah hadits ini diperselisihkan tentang bersambung dan tidaknya. Artinya, dalam riwayat dari Israil bin Yunus, Syarik bin Abdillah, Abu Awanah, Zuhair bin Muawiyah dan Qais bin Rabi dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi secara bersambung. Tetapi dalam riwayat Syubah dan Sufyan Tsauri dari Abu Ishaq dari Abu Burdah langsung dari Nabi tanpa menyebut Abu Musa al-Asyari. Namun kritikan inipun telah dijawab oleh para ulama:

Imam Tirmidzi berkata: Riwayat orang-orang yang meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali menurut saya lebih shahih, sebab mereka mendengar dari Abu Ishaq dalam waktu yang berbeda-beda. Sekalipun Syubah dan Tsauri lebih kuat hafalannya daripada mereka, tetapi riwayat mereka menurutku lebih shahih karena Syubah dan Tsauri mendengar hadits ini dari Abu Ishaq dalam satu waktu. Bukti yang menunjukkan hal ini adalah apa yang diceritakan Mahmud bin Ghailan kepada kami: Menceritakan kami Abu Dawud: Menceritakan kami Syubah, dia berkata: Saya mendengar SyafiI bertanya kepada Abu Ishaq: Apakah engkau mendengar Abu Burdah berkata bahwa Nabi bersabda: Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali, lalu dia menjawab: Ya. Hadits ini menunjukkan bahwa Syubah dan Tsauri mendengar hadits ini dalam satu waktu, sedangkan Israil sangat kuat riwayatnya dari Abu Ishaq. Saya mendengar Muhammad bin alMatani berkata: Saya mendengar Abdur Rahman bin Mahdi mengatakan: Tidaklah luput padaku hadits Tsauri dari Abu Ishaq kecuali saya mengandalkan pada Israil karena dia memiliki yang lebih sempurna.

Al-Albani berkomentar dalam Irwaul Ghalil 6/238): Tidak ragu lagi, ucapan Tirmidzi bahwa riwayat yang lebih shahih adalah riwayat jamaah dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa secara marfu adalah pendapat yang benar, karena dzahir sanadnya adalah shahih. Oleh karena itulah sejumlah para ulama telah menilai hadits ini shahih, diantaranya adalah Ali bin Madini, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli sebagaimana diceritakan al-Hakim dan beliau juga menshahihkan serta disetujui oleh adz-Dzahabi, dan juga Bukhari sebagaimana diceritakan Ibnu Mulaqqin dalam al-Khulashah 2/143.[18] Alangkah bagusnya apa yang diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Kifayah hal. 413 dari Muhammad bin Harun al-Makki, dia berkata: Saya mendengar Bukhari pernah ditanya tentang hadits Israil dari Abi Ishaq dari Abu Burdah dari ayahnya dari Nabi Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali, maka beliau menjawab: Tambahan dari orang yang terpercaya itu diterima, Israil bin Yunus adalah terpercaya. Sekalipun Syubah dan Tsauri memursalkannya (menjatuhkan sahabat Abu Musa al-Asyari) namun hal itu tidak membahayakan hadits.[19]

Demikianlah ucapan Imam Bukhari. Cukuplah kiranya hal itu sebagai hujjah yang kuat. Dengan demikian, seorang yang mengerti ilmu hadits tidak akan meragukan tentang keabsahan hadits ini. Lantas, bagaimana kiranya apabila digabungkan dengan riwayat-riwayat lainnya??!! Kesimpulan, hadits pembahasan ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya, apalagi didukung oleh riwayat-riwayat lainnya yang masih banyak lagi[20]. Saudaraku, sebenarnya hati ini masih berkeinginan untuk memaparkan hadits-hadits lainnya, namun sepertinya kita cukupkan sampai sini dulu karena kita harus berpindah kepada point penting lainnya, yaitu fiqih hadits ini. Wallahul Muwaffiq. B. FIQIH HADITS[21] Berangkat dari hadits-hadits di atas, maka mayoritas ulama berpendapat seperti kandungan hadits tersebut.

Imam al-Baghawi berkata: Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits Tak sah pernikahan kecuali dengan wali. Hal ini merupakan pendapat Umar, Ali, Abdullah bin Masud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat Said bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim an-NakhaI, Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pandapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan ats-Tsauri, al-AuzaI, Abdullah bin Mubarak, SyafiI, Ahmad, dan Ishaq. [22] Termasuk ulama yang berpendapat seperti itu juga adalah Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, dua sahabat Abu Hanifah[23]. Bahkan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 9/187 menyebutkan dari Ibnu Mundzir bahwa tidak diketahui dari seorang sahabatpun yang menyelisihi hal itu[24]. Kembali kepada hadits pemabhasan, di muka tadi kami menerjemahkan (tidak sah pernikahan seorang kecuali dengan wali). Terjemahan ini dikritik oleh Ustadz. A. Hassan dalam Soal Jawabnya hal. 254: Hadits-hadits itu tidak boleh diartikan begitu, karena kalau kita artikan tidak sah nikah dengan tanpa wali niscaya berlawanan dengan beberapa hadits, diantaranya:

Wanita janda lebih lebih berhak dengan dirinya daripada walinya. [25] Kami jawab dengan tidak mengurangi penghormatan saya dan pengakuan saya terhadap ilmu Ustadz A. Hassan -semoga Allah merahmatinya-: 1. Terlebih dahulu kita harus memahami sebuah kaidah yang populer di kalangan ulama bahwa nafi (peniadaan) itu pada asalnya bermakna tidak ada, kemudian tidak sah, kemudian tidak sempurna. Jadi apabila kita menjumpai dalam Al-Quran dan sunnah peniadaan sesuatu, maka pada asalnya bermakna tidak ada terlebih dahulu, contohnya:

Tidak ada pencipta alam kecuali Allah

Kalau ternyata yang ditiadakan itu wujudnya ada, maka kita artikan tidak sah. Contohnya:

Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Al-Fatihah

Di sini tidak mungkin diartikan tidak ada karena memang wujud shalat itu ada.

Kalau tidak mungkin diartikan demikian, lantaran suatu ibadah tetap sah tanpa adanya sesuatu tersebut, maka kita artikan tidak sempurna, bukan tidak sah. Contohnya hadits:

Tidak sempurna iman seorang sehingga dia mencintai saudaranya apa yang dia cinta untuk dirinya.

Di sini tidak mungkin diartikan tidak sah karena keimanan seorang tetap ada sekalipun dia tidak melakukan hal itu. [26] Berangkat dari kaidah di atas, maka terjemahan hadits pembahasan La Nikaha Illa bi Wali yang paling tepat adalah kita terjemahkan Tidak sah pernikan kecuali dengan wali.

Kalau ada yang bertanya: Mengapa tidak diartikan tidak ada atau tidak sempurna saja?! Kami jawab: Tidak mungkin kita menerjemahkan seperti itu. Adapun terjemahan tidak ada, maka sungguh tidak tepat sekali, karena kenyataan di dunia membuktikan bahwa ada sebagian wanita yang menikah tanpa wali. Sedangkan terjemahan tidak sempurna inipun tidak tepat juga, sebab selagi kita bisa mengartikannya dengan tidak sah maka kita tidak mengartikannya dengan tidak sempurna,

karena inilah dzahir lafadz hadits dan urutan yang lebih pertama. Apalagi secara tegas dalam hadits Aisyah dinyatakan maka nikahnya batil, batil, batil. Lantas bagaimana kita akan mengatakan sah padahal Nabi mengatakan batil alias tidak sah?!

Jadi, kita mengartikannya dengan tidak sah sampai ada dalil yang menunjukkan tentang sahnya pernikahan tanpa wali.[27]

2. Adapun dalil yang digunakan oleh Ustadz A. Hassan untuk merubah makna hadits ini, maka hal ini sangat lemah sekali ditinjau dari beberapa segi: a. Hadits pembahasan kita adalah hadits yang muhkam dan jelas sekali, adapun hadits yang dibawakan oleh Ustadz A. Hassan itu tidak jelas menunjukkan bahwa wanita janda boleh menikah tanpa wali. Maka bagaimana mungkin kita meninggalkan dalil yang jelas karena dalil yang tidak jelas?! b. Jawaban atas hadits ini ditinjau dari dua segi: Pertama: Maksud hadits ini bukan berarti wanita janda boleh menikah tanpa wali, tetapi maksudnya adalah bahwa wanita janda itu tidak boleh dinikahkan sehingga dia diajak musyawarah dan dimintai pendapatnya serta dijelaskan perkaranya sejelas mungkin, tidak boleh hanya cukup dengan pendapat dan pandangan wali saja. Hal ini sangat jelas sekali apabila kita mengamati hadits ini secara lebih sempurna:

:Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi bersabda: Wanita janda itu lebih berhak tentang dirinya daripada walinya, dan wanita gadis dimintai izin, dan izinnya adalah diamnya.

Hadits ini selaras dengan hadits-hadits lainnnya seperti:

: :

.

:

,

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: Wanita janda tidak dinikahkah sehingga diajak musyawarah, dan anak gadis tidak dinikahkan sehingga dimintai izin. Mereka bertanya: Wahai rasulullah! Bagaimana izinnya? Dia menjawab: Diamnya.

Jadi nampak jelaslah bagi kita bahwa pembicaraan hadits ini berkaitan tentang izin dan keridhaan wanita, bukan masalah melangsungkan akad pernikahan.

. Kedua: Perlu diketahui bahwa lafadz dia lebih berhak menunjukkan bahwa kedua-duanya memiliki hak, hanya saja wanita janda lebih berhak daripada walinya karena tidak mungkin bagi wali untuk menikahkannya kecuali setelah ridhanya. Berarti wali itu punya hak yaitu dalam akad dan wanita juga punya hak yaitu izin dan keridhaannya. Dengan demikian dapat kita padukan

antara keduanya, yakni si wanita lebih berhak dalam masalah izin dan tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dalam akad.

Ibnul Jauzi berkata dalam At-Tahqiq 8/292: Adapun hadits (Ibnu Abbas), maka Nabi menetapkan bagi si wanita sebuah hak dan menjadikannya lebih berhak daripada wali, karena memang tugas wali hanyalah melangsungkan akad pernikahan dan tidak boleh baginya untuk menikahkan kecuali dengan izin si wanita. [28]

c. Rawi hadits tersebut adalah sahabat Abdullah bin Abbas, sedangkan pendapat beliau adalah mengatakan tidak sah pernikahan kecuali dengan wali[29]. Dan kita tahu semua sebuah kaidah perawi itu lebih mengerti tentang maksud riwayat yang dia bawakan. C. NASEHAT DAN SERUAN

Syaikh Ahmad Syakir berkata: Tidak diragukan lagi oleh seorangpun yang menggeluti ilmu hadits bahwa hadits Tidak sah pernikahan tanpa wali adalah hadits yang shahih dengan sanad-sanad yang hampir mencapai derajat mutawatir manawi yang pasti maknanya. Hal itu merupakan pendapat mayoritas ulama dan didukung oleh fiqih Al Quran, tidak ada yang menyelisihi hal ini sepengatahuan saya- kecuali para ahli fiqih Hanafiyyah dan yang mengekor kepada mereka. Bagi ulama pendahulu, mereka masih memiliki udzur karena ada kemungkinan belum sampai hadits ini kepada mereka, tetapi bagi orang belakangan, mereka telah dibutakan oleh fanatik madzhab sehingga serampangan dalam melemahkan hadits atau memalingkan artinya tanpa alasan yang kuat. Kenyataan yang dapat kita saksikan pada kebanyakan negera muslim yang berpegang pada madzhab Hanafiyyah dalam masalah ini adalah kerusakan akhlak dan kehormatan, sehingga menjadikan pernikahan kebanyakan para wanita yang menikah tanpa wali adalah bathil dan merusak nasab. Saya menghimbau kepada para ulama dan tokoh Islam di setiap negeri dan tempat untuk mengkaji ulang tentang masalah krusial ini dan kembali kepada perintah Allah dan rasulNya berupa persyaratan wali dalam nikah sehingga dengan demikian para wanita akan terselamatkan dari mara bahaya yang menghadang mereka. [30]

D. KESIMPULAN DAN PENUTUP Kesimpulan pembahasan ini ada dalam dua point berikut: 1. Hadits pembahasan adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya. 2. Wali adalah syarat sah sebuah pernikahan dan tidak sah pernikahan tanpa wali.

Akhirnya, demikianlah keterangan singkat tentang pembahasan ini, semoga dapat menghilangkan kesamaran dan membuat terang kebenaran, sehingga harapan kami kepada sebagian saudara kami yang masih berpemahaman salah untuk mengkaji lagi masalah ini dan

kembali kepada jalan kebenaran. Alangkah bagusnya ucapan Ustadz A. Hassan -semoga Allah merahmatinya- dalam Soal Jawab-nya hal. 262: Kalau ada keterangan kuat yang dapat merubah pendirian itu, saya tidak akan mundur untuk menerimanya.

Kami menyadari bahwa beliau dalam hal ini telah berusaha semaksimal mungkin mencari titik kebenaran dan kami juga menyadari bahwa beliau dalam hal ini mengikuti pendapat sebagian ulama sebelumnya, tetapi kami juga menyadari bahwa kebenaran adalah di atas segalanya sehingga tidak menutup pintu kritik terhadap pendapatnya, dan tidak ada yang mashum dari kesalahan selain Rasulullah. Kita tutup pembahasan ini dengan ucapan Syaikh al-Albani: Kenapa pendapat yang sesuai dengan hadits shahih ini ditinggalkan hanya karena pendapat salah seorang dari imam kaum muslimin?! Benar, kita menghargai pendapat para imam, tetapi pendapat itu memiliki arti tatkala tidak bertentangan dengan nash Al-Quran dan sunnah. Semua kita membaca dalam kitab-kitab ushul ucapan para ulama:

Apabila ada dalil maka gugurlah pendapat.

Apabila ada dalil gugurlah logika.

Tidak ada ijtihad apabila ada nash.. Semua kaidah ini telah diketahui bersama. Lantas kenapa kita tidak menerapkan kaidah-kaidah ini, malah menerapkan pendapat-pendapat yang menyelisihi sunnah?!. [31]Dahulu juga pernah dikatakan:

Tidak semua perselisihan itu dianggap Kecuali perselisihan yang memiliki kekuatan dalil.[32] . Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi abiubaidah.com

[1] Al-Jami li Akhlaq Raw wa Adab Samii, al-Khathib al-Baghdadi2/211. [2] Shaidul Khathir hal. 399-400. [3] Adab Thalab hal. 71. [4] Lihat Al-Mughni Anil Hifdzi wal Kitab hal. 407 oleh Syaikh Umar bin Badr al-Mushili alHanafi dan BadaI ShanaI 2/371 oleh al-Kasani. [5] Lihat Al-Mabsuth 3/10 as-Sarakhsi. [6] Bahasan ini juga sekaligus melengkapi makalah yang pernah ditulis oleh akhuna wa ustadzuna Abu Yusuf Ahmad Sabiq Nikah Sirri Dalam Timbangan SyarI yang dimuat dalam Majalah Al Furqon edisi 12/Th. 3 [7] Diramu dari Irwaul Ghalil 6/243/1840 oleh al-Albani dan Junnatul Murtab hal. 407-418 oleh Abu Ishaq al-Huwaini dengan beberapa tambahan. (Faedah): Al-Hafizh Syarafuddin ad-Dimyathi memiliki buku khusus tentang jalur-jalur hadits ini sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhis Habir 3/156. Dan sebagian penulis hadits masa kini, Syaikh Muflih bin Sulaiman ar-Rusyaidi juga memiliki buku khusus tentang hadits ini berjudul At-Tahqiq Al-Jali li Hadits La Nikaha Illa biwali, cetakan Muassasah Qurthubah, Mesir. [8] Lihat perincian takhrij riwayat-riwayat ini dalam risalah At-Tahqiq al-Jaliy li Hadits Laa Nikaha Illa bi Wali oleh Syaikh Muflih bin Sulaiman semoga Allah membalas kebaikan padanya-. [9] Diantaranya adalah Imam ath-Thahawi dalam Syarh Maani Atsar 3/8, cet Darul Kutub Ilmiyyah. [10] Lihat Ilal Hadits 1/408 Ibnu Abi Hatim, al-Kamil Ibnu Adi 3/1115, at-Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/157. [11] at-Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/157). [12] Lihat pula Al-Muhalla Ibnu Hazm 9/453 dan at-Tahqiq Ibnul Jauzi 8/273). [13] Ucapan Imam Yahya bin Ma;in dan Ibnu Hazm di atas tidak sepenuhnya benar, karena penelitian menunjukkan bahwa telah shahih juga dari riwayat sahabat yang lain, hanya saja riwayat Aisyah ini adalah riwayat yang paling shahih. [14] Sekali-kali tidak, Sulaiman bin Musa bukanlah rawi Imam Bukhari. (Irwaul Ghalil alAlbani 6/246), yang benar sanad hadits ini adalah hasan dan bisa naik kepada shahih karena adanya beberapa penguat lainnya.

[15] Ibnu Abdil Hadi membantah dalam At-Tanqih 3/261 bahwa Sulaiman rawi yang hasan, bukan perawi Bukhari Muslim. [16] Irwaul Ghalil 6/246). [17] Lihat pula Bulughul Maram hal. 70 oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, tahqiq Samir az-Zuhairi, cet kedua. [18] Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 9/345 menukil dari al-Marrudzi: Saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Main tentang hadits Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali, lalu keduanya menjawab: Shahih. Saya berkata: Dan dishahihkan juga oleh Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam kitabnya Ikhtilaf Ulama hal. 121, al-Baihaqi, Dhiya dan banyak ahli hadits sebagaimana dalam Subulus Salam ash-Shanani 6/26, an-Nawawi dalam Syarh Muslim 9/208, bahkan sebagian ulama menilainya mutawatir seperti as-Suyuthi seebagaimana dinukil oleh al-Munawi dalam Faidhul Qadir 6/437 dan al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 157-158. Wallahu Alam. [19] Al-Hafizh adz-Dzahabi juga berkata dalam Siyar Nubala 7/359: Saya lebih condong mendahulukan Israil pada riwayat kakeknya daripada Syubah dan Tsauri, sebab Israil adalah kepercayaan kakeknya. Disamping ilmu dan hafalannya yang kuat, beliau juga orang yang khusyu dan shalih. Kemudian saya mendapati keterangan Imam Ibnu Qayyim yang sangat bagus dalam Tadzib Tahdzib 6/74 -Aunul Mabud-, beliau menguatkan riwayat Israil ini ditinjau dari lima segi. Walhamdulillah. [20] Lihat Sunan Kubra al-Baihaqi 7/107, At-Tanqih Ibnul Jauzi 8/270-290, Nasbur Rayah azZailaiI 3/341-349, Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/1173-11735, Irwaul Ghalil al-Albani6/235-243, Junnatul Murtab Abu Ishaq al-Huwaini 418-429. [21] Lihat faedah-faedah hadits ini dalam Maalim Sunan al-Khothobi 3/196-197 [22] Syarh Sunnah 9.40-41. [23] Syarh Maani Atsar ath-Thhawi 3/7. [24] Adapun hikmah dari syarat wali nikah bagi wanita adalah menjaga kaum wanita karena mereka mudah tertipu oleh kaum lelaki. (Al-Mughni 9/347 Ibnu Qudamah). Diantara hikmahnya juga adalah untuk membendung jalan perzinaan, karena seorang pezina dengan amat mudahnya nanti akan mengatakan kepada wanita: Nikahilah aku dengan sepuluh dirham dan saksinya adalah kedua temannya!! (Ilam Muwaqqiin Ibnu Qayyim 5/59). [25] HR. Muslim 1421 [26] Syarh Mumti 1/158-159 oleh Ibnu Utsaimin). [27] Lihat Ilam Muwaqqiin Ibnu Qayyim 6/175, Faidhul Qadir al-Munawi 6/4371, Subulus Salam ash-Shanani6/27, Syarh Mumti Ibnu Utsaimin2/70).

[28] Lihat pula Al-Hawi Al-Kabir al-Mawardi11/65, Syarh Shahih Muslim Nawawi 9/208, Subulus Salam ash-Shanani 6/37. [29] Lihat Mujam Kabir ath-Thabrani 12483. [30] Umdah Tafsir 2/123 [31] Ath-Thasfiyah wa Tarbiyah hal. 25. [32] Ucapan Abul Hasan bin al-Hashshar dalam qashidahnya tentang surat makiyah dan madaniyah di kitabnya An-Nasikh wal Mansukh. Lihat Al-Itqan fi Ulum Quran 1/24 oleh alHafizh as-Suyuthi.

Pernikahan Tanpa Wali dan atau SaksiBAB I A. Pendahuluan Islam telah menetapkan hukum-hukum yang harus dipatuhi oleh para pemeluknya. Baik itu berupa larangan yang harus dijauhi maupun perintah yang harus dilaksanakan. Keseluruhan hukum-hukum tersebut tak lain bersumber dari dua teks utama, yakni al-Quran dan Sunnah Nabi. Islam mengakui bahwa manusia memiliki hasrat yang besar untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya (seks). Untuk itu, hukum Islam mengatur penyaluran kebutuhan biologis tersebut melalui satu-satunya cara yang dilegalkan oleh al-Quran dan Hadith, yakni pernikahan. Ketentuan tentang pernikahan banyak dimuat dalam al-Quran dan hadith, namun aturan teknis bagaimana suatu perkawinan yang sah hanya dijelaskan oleh hadith. Pernikahan dianggap sah bila memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam nikah diantaranya ialah adanya pria dan wanita sebagai mempelai, wali, mahar, saksi dan akad (ijab qabul). Dalam realitasnya, tidak semua pernikahan dilaksanakan sesuai dengan tata aturan yang telah digariskan. Entah dengan alasan apa, seringkali dijumpai pernikahan yang dilaksanakan tanpa kehadiran wali dan ataupun saksi.

Untuk itu, melalui makalah ini penulis mencoba untuk menelaah hukum pernikahan yang dilaksanakan dengan tanpa kehadiran wali dan atau saksi berdasarkan teks-teks hadith yang mengatur teknis pelaksanaan pernikahan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hukum pernikahan tanpa wali dan saksi 2. Siapa yang berhak menjadi wali dan saksi dalam pernikahan C. Sistematika Pembahasan Adapun untuk sistematika pembahasannya, penulis mempergunakan metode ketiga dari enam metode yang ditawarkan oleh Dosen Pembimbing. Secara rinci, sistematika pembahasan hadith dalam makalah ini meliputi: (1). Penulisan teks hadith dan terjemahannya, (2). Penjelasan mengenai syakl dan kata yang sulit dipahami, (3). Paparan hadith dari jalur lain, (4). Penjelasan mengenai kualitas sanad dan matan hadith. (5). Penjelasan tentang makna hadith. (6). Pendapat ulama tentang masalah terkait.(7). Tarjih BAB II A. Teks Hadith Hadith yang memuat keterangan tentang pernikahan tanpa wali dan atau saksi dapat dijumpai dalam beberapa kitab, diantaranya kitab Sunan Kubra li al-Baihaqi, Mujam al-Kabir li alTabrani, Mujam al-Ausat} li al-Tabrani, Musnad al-Shafii, Sunan al-Daruqutni dan Shahih Ibnu Hibban. Adapun yang dijadikan hadith utama dalam makalah ini adalah hadith yang termuat dalam Sunan al-Daruqutni bab Nikah dengan redaksi sebagai berikut:

[1]

Abu Dhar Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari Ahmad bin Husain bin Abbad al-Naaiy dari Muhammad bin Yazid bin Sinan dari ayahnya dari Hisham bin Urwah dari ayahnya dari Aishah: Aishah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda Tidak ada nikah tanpa .wali dan dua saksi yang adil B. Hadith Pendukung Hadith pendukung yang penulis paparkan di sini ialah hadith yang satu tema dengan hadith di .atas, namun dengan redaksi atau periwayat yang berbeda 1. Sunan Kubra li al-Baihaqi

) )2. Sunan al-Daruqutni (bab Nikah

- - - - -

3. Mujam al-Kabir li al-Tabrani

: )4. Sunan al-Tirmidzi (bab Nikah tanpa saksi

)5. Sunan al-Tirmidzi (bab Nikah tanpa wali

)6. Sunan Abu Daud (bab Wali

7. Shahih Ibn hibban

: 7. Sunan Ibnu Majah

C. Takhrij Hadith Takhrij hadith pada dasarnya adalah untuk mengetahui derajat keshahihan suatu hadith. Berdasarkan kesepakatan muhaddithin, kriteria keshahihan hadith ada lima, yakni: (1) al-musnad (bersambung sanadnya), (2). rawinya adil, (3). Rawinya dhabit, (4). Bebas dari syadh, (5), bebas dari illat.[2] Langkah pertama dalam penelitian hadith adalah dengan mengetahui biografi dan kredibilitas masing-masing perawi hadith untuk menentukan status ketersambungan sanadnya. Subhi Shalih menyebutkan bahwa ittishal al-sanad dapat diteliti dengan membandingkan beberapa hal, yakni: tahun kelahiran dan wafat antar rawi, tempat tingalnya, hubungan guru murid dan pola tahammul dan adanya.[3] Berdasarkan redksi hadith, dapat diketahui bahwa hadith yang ditakhrij oleh al-Daruqutni memiliki mata rantai rawi (sanad) sebagai berikut:

C.1. Biografi Rawi 1. Aishah Nama lengkapnya ialah Aishah binti Abu Bakar al-S}iddiq dan bergelar umm al-Mu;minin. Dari segi thabaqatnya, telah maklum bahwa Aishah merupakan golongan sahabat, bahkan ia adalah salah satu istri Rasulullah. Aishah yang berasal dari bani Taimiyah wafat pada tahun 67 H. Diantara Guru Aishah adalah: Rasulullah SAW, Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin alKhattab. Sedangkan muridnya antara lain: Urwah bin Zubair, Aminah binti Abdullah dan Hasan Bashri. Sebagai sahabat, kredibiltas Aishah sebagai rawi berdasarkan kesepakatan ulama[4] adalah thiqah dan adil.[5] 2. Urwah Rawi yang memiliki nama lengkap Urwah bin Zubair bin al-Awam bin Khawailid al-Quraisy ini merupakan generasi wust}a min al-Tabiin dan bergelar Abu al-Madani. Ia lahir pada masa awal kekhalifahan Uthman bin Affan dan wafat pada tahun 94 H. Urwah yang selama hidupnya tingal di Madinah merupakan salah satu keponakan dari Aishah binti Abu Bakar al-Shiddiq. Di antara guru Urwah ialah: Aishah binti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Thabit. Sedangkan murid-muridnya antara lain: Hisham bin Urwah, Abdullah bin Dinar dan Sulaiman

bin Yassar. Sebagai seorang rawi, kritikus hadis menyebutnya sebagai rawi yang thiqah, faqih, mamun, thabat.[6] 3. Hisham bin Urwah Putera dari Urwah ini memiliki nama lengkap Hisham bin Urwah bin Zubair bin al-Awam bin Khualid al-Asadi al-Quraisy dan bergelar Abu al-Mundhir. Ia merupakan golongan sughra min al-tabiin dan wafat pada tahun 145 H. Semasa hidupnya, ia pernah tinggal di Madinah dan kemudian berpindah ke Baghdad hingga wafatnya. Guru Hisham antara lain: Urwah bin Zubair, Abdullah bin Zubair dan Auf bin al-Harith. Adapun murid-muridnya antara lain: Abdullah bin Muawiyah, Khalid bin Harith dan Ubaidillah bin umar. Kredibilitasnya sebagai rawi adalah thiqah dan hujjah.[7] 4. Yazid bin Sinan Nama lengkapnya ialah Yazid bin Sinan bin Yazid al-Tamimiy al-Jazary dan bergelar Abu Farwah. Ia termasuk kibar al-Atba, lahir pada tahun 79 H dan wafat pada tahun 155 H. Semasa hidupnya ia tinggal di Baghdad. Di antara guru Yazid ialah: Abu al-Mubarak al-Ato dan Mujahid bin Jabir. Sedangkan muridnya ialah Waki bin Jarah dan Muhammad bin Yazid bin Sinan. Sebagai rawi, ia merupakan perawi yang dhaif.[8] 5. Muhammad bin Yazid Rawi yang tak lain putera dari Yazid ini memiliki nama lengkap Muhammad bin Yazid bin Sinan bin Yazid al-Amawiy dan bergelar Abu Abdillah. Dari thabaqatnya ia termasuk sughra min al-Atba, lahir pada tahun 132 H dan wafat pada tahun 220 H. Guru Muhammad berdasarkan beberapa referensi hanya ayahnya, yakni Yazid bin Sinan. Sedangkan siapa saja yang pernah menjadi muridnya tidak tersebut dalam beberapa kitab. Terkait kredibilitasnya sebagai rawi hadith, Muhammad yang hidupnya dihabiskan di Baghdad ini oleh kritikus hadith dianggap laisa bi al-qawiy (dhaif).[9] 6. Ahmad bin al-HusainAbbad

Tidak diketemukan informasi apapun tentang rawi ini, bahkan ia juga tidak tercatat sebagai murid dari Muhammad bin Yazid. Dari referensi yang penulis peroleh, ia disebut dengan majhul. Oleh karena itu, statusnya sebagai rawi dianggap dhaif.[10] 7. Abu Dharr Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr Penulis belum dapat melacak informasi mengenai Ahmad bin Muhammad. C.2. Kesimpulan Dari redaksi hadith dan informasi tentang biografi rawi di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a. Abu Dhar hingga Yazid bin Sinan mempergunakan model tahammul merupakan model penerimaan hadith yang paling tinggi. Lafadh yang

menunjukkan

bahwa antar perawi saling bertemu dan murid mendengar hadith langsung dari gurunya. Sedangkan mulai Yazid bin Sinan hingga Aishah redaksinya mempergunakanan ( yang berarti merupakan hadith muanan. Dalam konteks hadith ini, penggunaan dapat dianggap muttasil bila perawi merupakan perawi yang thiqah.[11] b. Dari pola hubungan guru murid, Yazid bin Sinan bukan termasuk muridnya Hisham bin Urwah. Sedangkan dua perawi terakhir majhul. c. Dari segi kemungkinan muashir dan kemungkinan liqa, antar perawi kecuali dua perawi terakhir masih dimungkinkan hidup semasa ataupun bertemu. Berdasarkan data-data di atas, telah diketahui bahwa sanad hadith tidak bersambung dan kredibilitas sebagian rawi masih diragukan. Oleh karena itu, meskipun tanpa melakukan nalisa matan, maka penulis menyimpulkan bahwa hadith tentang pernikahan tanpa wali dan saksi yang tersebut di atas merupakan hadith dhaif.[12] D. Makna hadith )

Secara literal, redaksi hadith yang berbunyi

menunjukkan arti bahwa

tidak ada pernikahan tanpa adanya wali dan dua saksi yang adil. Namun terkait dengan susunan lafadh yang nantinya berimplikasi pada konteks hukum, terdapat ihtilaf di antara ulama. Bentuk nafy pada kata mendapat interpretasi beragam dari ulama. Ada yang menyebut

bahwa nafy tersebut hanya menunjukkan arti ketidaksempurnaan. Dengan demikian, hadith di atas dapat diartikan Tidak sempurna pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil. Dalam konteks hukum, tidak sempurna berarti wali dan atau aksi bukan merupakan syarat sah, sehingga pernikahan yang tidak dihadiri wali dan atau saksi dihukumi sah. Dengan kata lain, wali dan atau saksi hanya sebatas disunnahkan.[13] Ada juga ulama yang menginterpretasikan nafy pada sah dan tidaknya perbuatan. Dengan demikian, berarti tidak sah pernikahan. Dalam konteks hukum, bila nafy diinterpretasikan sebagai hakikat syariat, maka pernikahan yang dilaksanakan tanpa wali dan ataupun saksi adalah tidak sah. E. Pendapat Ulama Tentang Wali dan Saksi Nikah Sehubungan dengan masih beragamnya interpretasi tentang hadith di atas, ulama juga masih berbeda pendapat terkait hukum pernikahan tanpa adanya wali dan ataupun saksi. Mengingat bahwa keterangan wali dan saksi serta hukum keberadaan wali dan saksi dalam pernikahan dalam beberapa kitab dipisahkan, maka demi menghindari kerancuan pembahasan hukum keberadaan wali dan saksi dalam makalah ini juga akan dipisahkan. 1. Wali Nikah Berdasarkan hadith utama di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa wali merupakan syarat sah dalam suatu pernikahan. Pendapat ini berdasarkan firman Allah:

.(janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya)[14]

Imam al-Shafii menyatakan bahwa ayat di atas merupakan petunjuk yang sangat jelas terkait wali dalam pernikahan. Selain itu, keberadaan wali sebagai syarat sah pernikahan juga telah dijelaskan dalam beberapa hadith, misalnya hadith yang ditakhrij Abu Daud yang berbunyi , al-Tirmidzi: dan juga Ibnu Majah , al-Daruqutni: . Dengan berdasar dalil-dalil tersebut, maka

pernikahan yang dilaksanakan tanpa adanya wali diangap tidak sah. Lebih jauh lagi, hubungan badan yang dilakukan oleh wanita yang menikah tanpa wali dianggap merupakan perbuatan zina.[15] Adapun esensi wali menurut ulama yang berpendapat wali sebagai syarat sah adalah kehadirannya dalam prosesi akad nikah. Hal ini berarti apabila ada seorang wanita menikahkan dirinya sendiri dan wali sudah memberi izin, namun ia tidak ada dan tidak mewakilkannya, maka pernikahan tetap diangap tidak sah. Tidak sahnya pernikahan tersebut tak lain adalah tidak terpenuhinya salah satu syarat sah nikah, yakni wali. Kemudian apabila ada seorang wanita yang hendak menikah namun tidak ada wali[16], maka yang berhak menjadi wali adalah Sultan (pihak yang berwenang). Dalam konteks pernikahan di indonesia, wewenang menikahkan wanita yang tidak ada walinya ialah hakim atau petugas KUA. Pendapat berbeda disampaikan oleh imam Abu Hanifah dan Abu yusuf yang menyatakan bahwa wali bukan merupakan syarat sah pernikahan[17]. Wali menurut pendapat kedua ini hanya merupakan sesuatu yang disunahkan. Dengan demikian, wanita diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri ataupun anak perempuannya. Pendapat ini berpegangan pada dalil yang sama namun dengan interpretasi berbeda, yakni bahwa bentuk nafy pada adalah ketiadaan dari

kesempurnaan. Selain itu, kewenangan wanita untuk menikahkan dirinya tanpa wali juga dapat dipahami dari hadith yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Abbas berikut:

Adapun dari al-Quran, ayat yang dipergunakan sebagai dasar istimbath hukum kelompok kedua juga sama dengan kelompok pertama, namun beda dalam menafsirinya. Abu Hanifah dan Abu yusuf menyandarkan pendapatnya pada ayat-ayat berikut:

[18] Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka (janganlah kamu (parawali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya)[19]

Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut Lafadh nikah pada dua ayat pertama menurut Abu Hanifah disandarkan pada wanita dan khitabnya menunjuk pada azwaj, bukan wali. Sedangkan berdasarkan ayat ketiga, dapat dipahami dengan jelas bahwa suami bagi wanita adalah kewenangan mutak mereka. 2. Saksi Nikah Pada masalah saksi pernikahan, Imam Malik menyatakan bahwa keberadaan saksi bukan merupakan keharusan, melainkan cukup dengan diberitakan atau asal pernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak. Senada dengan imam Malik, Abu Thaur dan madhhab Shiah menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah dengan tanpa saksi, sebab pada hakikatnya pernikahan adalah akad dan akad tidak memerlukan saksi[20]. Pendapat ini diambil setidaknya berdasarkan dua hal. Pertama, analogi terhadap jual beli. Allah dalam al-Quran memerintahkan adanya saksi dalam jual beli, sedangkan saksi tidak diperintahkan dalam pernikahan[21]. Oleh karena itu, apabila saksi bukan merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi lebih tidak disyaratkan dalam pernikahan. Kedua, adanya hadith yang memerintahkan untuk memberitakan pernikahan. Hadith tersebut adalah:

Adanya perintah Rasulullah untuk memberitakan pernikahan diangap merupakan esensi dari perintah adanya saksi. Dengan kata lain, adanya saksi bukan merupakan syarat sah nikah,

melainkan hanya agar pernikahan tersebut diketahui oleh masyarakat. Apabila tujuan diketahui oleh khalayak tersebut telah terpenuhi, maka saksi tidak lagi diperlukan[22]. Berlawanan dengan imam Malik, mayoritas[23] ulama menyatakan bahwa saksi merupakan syarat sah dalam pernikahan. Dengan demikian, akad pernikahan yang dilaksanakan tanpa saksi hukumnya adalah tidak sah. Pendapat ini berdasarkan pada beberapa hadith yang telah secara jelas menyebutkan disyaratkannya saksi dalam nikah. Di antara hadith-hadith tersebut ialah:

,.

dan

Selain itu, saksi harus hadir ketika akad nikah, dan tidak cukup hanya dengan diberitakan saja[24]. Menurut mereka, pernikahan merupakan hal yang berbeda dengan jual beli. Tujuan dari jual beli adalah harta benda, sedangkan tujuan pernikahan adalah memperoleh kenikmatan dan keturunan. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan hati-hati dengan cara menghadirkan dua saksi. Dalam konteks hukum, dua pendapat di atas memiliki konsekuensi hukum berbeda. Menurut pendapat kedua, apabila ada suatu pernikahan dengan dihadiri saksi, namun kedua belah pihak sepakat meminta saksi untuk merahasiakan pernikahan mereka, maka pernikahan dianggap sah, meskipun makruh. Sedangkan menurut imam Malik, pernikahan tersebut dianggap tidak sah[25]. Adapun terkait dengan persyaratan adanya saksi dalam pernikahan, ulama sepakat memberikan kriteria bagi orang-orang yang dijadikan saksi sebagai berikut: (1). Islam, (2). Akil balig, (3). Berakal, (4). Mendengar rangkaian kalimat akad dan memahaminya. Dengan demikian, anak kecil, orang gila atau mabuk dan non Muslim tidak dapat diterima persaksiannya[26]. Sehubungan dengan kriteria bagi saksi nikah, status saksi sebagai seorang yang adil masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa saksi tidak harus orang yang adil[27]. Siapapun yang berhak menjadi wali nikah, maka ia juga berhak menjadi saksi. Menurut kriteria ini, pernikahan dengan dua saksi yang fasiq dihukumi sah. Sebaliknya, ulama Shafiiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa saksi haruslah orang yang adil, sebagaimana tersebut dalam hadith .[28]

Terlepas dari status adil maupun tidak, madhhab Shafii dan Hambali menyatakan bahwa dua orang yang menjadi saksi harus laki-laki. Dengan demikian, persaksian seorang laki-laki dan dua orang wanita tidak dapat diterima dalam pernikahan[29]. Pendapat ini berdasarkan pada hadith nabi: .

,

,

. Sedangkan ulama

Hanafiyah berpendapat bahwa persaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan dalam pernikahan diperbolehkan. Pendapat ini berangkat dari persepsi bahwa saksi pernikahan sama dengan saksi dalam jual beli (harta benda). Oleh karena perempuan dapat dijadikan saksi dalam masalah harta benda, maka ia juga dapat menjadi saksi pernikahan.[30] F. Tarjih Terkait dengan ihtilaf ulama tentang keberadaan wali dan saksi dalam pernikahan, penulis sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa wali dan saksi merupakan syarat sah yang harus terpenuhi dalam pernikahan. Dengan kata lain, penulis sependapat dengan pendapat dari ulama Shafiiyah an Hanabilah yang menyepakati bahwa wali dan saksi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam konteks keabsahan pernikahan. Hal tersebut selain sebagai suatu langkah hati-hati dalam melaksanakan ajaran agama, juga sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah tertuang secara jelas dalam al-Quran dan hadith nabi. Sekalipun hadith utama dalam makalah ini merupakan hadith dhaif, namun berdasarkan hadith-hadith pendukung yang ada, maka penulis meyakininya sebagai hujjah. BAB III Kesimpulan Berdasarkan paparan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hadith yang ditakhrij oleh al-Daruqutni dari Aishah tentang pernikahan tanpa wali dan saksi adalah hadith dhaif. 2. Selain ulama Hanafiyah, ulama sepakat bahwa wali merupakan syarat sah nikah. Dengan kata lain, pernikahan tanpa adanya saksi adalah tidak sah. Bagi wanita yang tidak memiliki wali, maka yang menjadi walinya adalah hakim. 3. Selain imam Malik dan madhhab Shiah, mayoritas ulama menyepakati bahwa saksi juga merupakan syarat yang menentukan dalam sah atau tidaknya pernikahan. Dengan demikian, tidak sah hukumnya pernikahan tanpa adanya dua orang saksi.

Daftar Pustaka Ajaj, Muhammad al-Khatib. Ushul al-hadith. Beirut: Dar al-Fikr. 1989 Ali, Ibn Umar al-Daruqutni. Sunan al-Daruqutni. Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah. 1985 Ali, Muhammad al-Shabuni. Tafsir ayat al-Ahkam. Syiria: Maktabah al-Ghazali, Juz II. 1988 CD Program Hadith Kutub al-Tisah Hashim, Umar. Qawaid al-Ushul al-Hadith. Beirut: Dar al-Fikr. 1998 Muhammad, Ibn Ali ibn Muhammad al-Shaukani. Nail al-Aut}ar. Beirut: Dar al-Fikr. 1986 Najib, Muhammad al-Mut}ii. Al-Majmu Sharh al-Muhadhab li al-Shairazi. Jeddah: Maktabah al-Irshad. Tt Program al-Maktabah al-Shamilah Program Mausuah Rowa al-Hadith Qadir, Abdul Muhammad At}o. Subul al-Salam. Juz III. Beirut: Dar al-Fikr. 1992 Al-Shalih, Subhi. Ulum al-Hadith wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin. tt Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, vol, II. Kairo: Dar al-fatah. 1995 Al- Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Juz IX. Beirut: Dar al-Fikr. 2002

[1] [2] [3] [4] [5]

Maktabah al-Shamilah, Sunan al-Daruqutni no 3580 Umar Hashim, Qawaid Ushul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 43 Subhi Shalih, Ulum al-Hadith wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-ilmi li al-Malayin, tt) 145 Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith; Ulumuhu wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)392

CD program hadith Kutub al-Tisah, al-Maktabah al-Shamilah dan Mausuah Rowa alHadith

CD program hadith Kutub al-Tisah, al-Maktabah al-Shamilah dan Mausuah Rowa alHadith[6] [7] [8] [9]

Ibid Ibid Ibid Ibid Shalih, Ulum al-Hadith wa Mustalahuh, hlm 223

[10]

[11] Subhi [12]

Kesimpulan penulis juga berdasarkan keterangan dalam beberapa kitab yang menyebutkan bahwa hadith di atas sanadnya adalah dhaif. Selengkapnya lihat dalam Ali bin umar alDaruqutni, Sunan al-Daruqutni (Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah, 1988), 155, Muhammad Abdul Qadir Ato, Subul al-Salam (Beirut: Dar al-Fikr, 1992)227.[13] Wahbah

al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII ( Beirut: Dar al-Fikr, 1989) 83-

84[14]

Al-Quran, I (al-Baqarah) 132 al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami, 83

[15] Wahbah [16]

Tidak ada wali mengandung dua pengertian, yakni (1). tidak ada wali sama sekali, (2). Ada wali namun berhalangan.[17] Wahbah

al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami, 84. Lihat juga dalam Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Shaukani, Nail al-Autar (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) 240[18] [19] [20]

Al-Quran, I (al-Baqarah) 130 Al-Quran, I (al-Baqarah) 132

M. Najib al-Mutii, Al-Majmu Sharh al-Muhadhab li al-Shairozi ( Jeddah: Maktabah alIrshad, tt) 296. Lihat juga dalam Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX ( Beirut: Dar al-Fikr, 2002) 6559[21]

.[22]

Ayat-ayat pernikahan berikut tidak mencantumkan saksi,: .

,

Lihat keterangan dalam al-Maktabah al-Shamilah, Tuhfah al-Ahwadhi, bab pernikahan tanpa saksi, juz III hlm 131

[23] Pemilihan

kata mayoritas oleh penulis mengandung cakupan ulama dari empat madhhab, termasuk madhhab Malikiyah. Sekalipun imam Malik tidak mensyaratkan saksi dalam pernikahan secara mutlak, namun mayoritas ulama Malikiyah justru berpegang pada pendapat bahwa saksi merupakan syarat, hanya saja hakikat saksi bukan sebagai syarat sah nikah, melainkan syarat agar diperbolehkan menggauli istri. Lihat dalam: Wahbah, Al-Fiqh al-Islami, 6560[24] Sayyid [25]

Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II (Kairo: Dar al-fatah, 1995), 48

M. Najib al-Mutii, Al-Majmu, hal 297

[26] Sayyid

Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, hal 50. Lihat juga dalam Wahbah, Al-Fiqh al-Islami, 6562 dan M. Najib al-Mutii, Al-Majmu, hal 296[27] Wahbah, [28]

Al-Fiqh al-Islami, hlm 76

Adil merupakan syarat bagi saksi, karena dari susunan redaksinya, merupakan bentuk idhafah sifat pada mashufnya. Lihat keterangan selengkapnya dalam al-Maktabah alShamilah, Faidh al-Qadir, Juz 6 hlm 567.[29] Sayyid

Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II (Kairo: Dar al-fatah, 1995), 5. Lihat juga keterangan dalam al-Maktabah al-Shamilah, Tuhfah al-Ahwadhi, bab pernikahan tanpa saksi, juz III hlm 131.[30] Wahbah

al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hlm 75