8
Volume 8, No. 1 Juni 2008 Fauna Indonesia ISSN 0216-9169 Pusat Penelitian Biologi - LIPI Bogor Museum Zoologicum Bogoriense M a s y a r a k a t Z o o l o g i I n d o n e s i a MZI

Fauna Indonesia Haryono

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Fauna Indonesia Haryono

Volume 8, No. 1 Juni 2008

FaunaIndonesia

ISSN 0216-9169

Pusat Penelitian Biologi - LIPIBogor

Museum Zoologicum Bogoriense

Mas

yara

k a t

Z o o l o g i

I n

do

ne

sia

MZ I

Page 2: Fauna Indonesia Haryono

Fauna Indonesia merupakan Majalah llmiah Populer yang diterbitkan oleh Masyarakat Zoologi Indonesia (MZI). Majalah ini memuat hasil pengamatan

ataupun kajian yang berkaitan dengan fauna asli Indonesia,diterbitkan secara berkala dua kali setahun

ISSN 0216-9169

Redaksi

HaryonoAwit Suwito

Mohammad IrhamKartika Dewi

R. Taufiq Purna Nugraha

Mitra BestariMulyadi

Tata Letak

Kartika DewiR. Taufiq Purna Nugraha

Alamat Redaksi

Bidang Zoologi Puslit Biologi - LIPIGd. Widyasatwaloka, Cibinong Science CenterJI. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong 16911

TeIp. (021) 8765056-64Fax. (021) 8765068

E-mail: [email protected]

Foto sampul depan :Museum Zoologicum Bogoriense - Foto : Koleksi Museum Zoologi Bogor

FaunaIndonesia

Page 3: Fauna Indonesia Haryono

PEDOMAN PENULISAN

Redaksi FAUNA INDONESIA menerima sumbangan naskah yang belum pemah diterbitkan, dapat berupa hasil pengamatan di lapangan/laboratorium suatu jenis binatang yang didukung data pustaka, berita tentang catatan baru suatu jenis binatang atau studi pustaka yang terkait dengan fauna asli Indonesia yang bersifat ilmiah populer. Penulis tunggal atau utama yang karangannya dimuat akan mendapatkan 2 eksemplar secara cuma-cuma.

Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Makalah disusun dengan urutan: Judul, nama pengarang, ringkasan/summary, pendahuluan, isi (dibagi menjadi beberapa sub judul, misalnya: ciri-ciri morfologi, habitat, perilaku, distribusi, manfaat dan konservasinya, tergantung topiknya), kesimpulan dan saran ( jika ada) dan daftar pustaka.

Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 menggunakan program MS Word, maksimal 10 halaman termasuk gambar dan tabel. Selain dalam badan dokumen, gambar juga turut disertakan dalam file terpisah dengan format jpg. Gambar dan tabel disusun dalam bentuk yang mudah dimengerti dibuat pada lembar terpisah dan disertai keterangan secara berurutan. Naskah dikirimkan ke redaksi sebanyak 2 eksemplar beserta disketnya.

Acuan dan daftar pustaka, untuk acuan menggunakan sistem nama-tahun, misalnya Kottelat (1995), Weber & Beaufort (1916), Kottelat et al., (1993), (Odum, 1971). Daftar pustaka disusun secara abjad berdasarkan nama penulis pertama. Hanya pustaka yang diacu yang dicantumkan pada daftar tersebut, dengan urutan: nama pengarang, tahun penerbitan, judul makalah/buku, volume dan halaman. Khusus untuk buku harus dicantumkan nama penerbit, kota, negara dan jumlah halaman. Untuk pustaka yang diacu dari internet harus mencantumkan tanggal akses.

Page 4: Fauna Indonesia Haryono

Nomor Penerbitan ini dibiayai oleh : “Proyek Diseminasi Informasi Biota Indonesia”

Pusat Penelitian Biologi - LIPI

Page 5: Fauna Indonesia Haryono

i

PENGANTAR REDAKSI

Keanekeragaman hayati Indonesia sangat beragam dan salah satunya disimpan pada pameran Museum Zoologi Bogor (MZB). Pameran tersebut terletak di kawasan Kebun Raya Bogor yang sudah berdiri lebih dari seabad yang lalu. Namun keberadaannya belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Selain itu kualitasnya juga perlu ditingkatkan agar bisa menjadi pusat informasi keanekargaman fauna Indonesia.

Pada edisi Vol.8(1) kami menyajikan beragam informasi yang cukup menarik untuk disimak, antara lain: Upaya peningkataan kualitas MZB sebagai pusat informasi fauna Nusantara, Kodok konsumsi berukuran besar yang beradaptasi dengan habitat persawahan di Sumatera, Keanekaragaman jenis ikan di kawasan Cariu Jonggol, Kepiting biola dari kawasan mangrove, Mengenal sekilas Sepia recurvirostra, Ubur-ubur di Indonesia, serta Potensi dan aspek budidaya dari ikan sidat.

Fauna Indonesia edisi ini bisa hadir di hadapan para pembaca atas bantuan pendanaan dari Proyek Diseminasi Informasi Biota Indonesia Tahun 2008. Oleh sebab itu, Redaksi Fauna Indonesia mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Biologi-LIPI dan KSK Proyek Diseminasi Informasi Biota Indonesia. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada Kepala Bidang Zoologi-Pusat Penelitian Biologi yang telah memfasilitasi, serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam penerbitan ini. Akhirnya kami ucapkan selamat membaca.

Redaksi

Page 6: Fauna Indonesia Haryono

26 27

FaunaIndonesia

Mas

yara

k a t Z o o l o g i I nd

on

esia

MZ I

Daftar Pustaka

BPS. 2006. Export Import Statistics Information 2000-2004. BPS. Jakarta.

Fenner, P.J, 1997. Awareness, prevention and treatment of world-wide marine stings and bites. International Life Saving Federation Medical/Rescue Conference Proceedings, September 1997

Fenner, P.J. 1998. Dangers in the ocean: the traveler and marine envenomation, part 1 jellyfish. The Journal of Travel Medicine 1998; 5:135-141

Fenner, P. J. & J. A. Williamson, 1996. Worldwide deaths and severe envenomation from jellyfish stings. The Medical Journal Australia. 165: 658-661.

Goggin, L., L. Gershwin, P. Fenner, J. Seymour, T. Carrette. 2004. Stinging jellyfish in tropical Australia. Current State of Knowledge. CRC Reef Research Centre Ltd. Queensland.

Mills, C.E. & R.J. Larson. 2007. Scyphozoa: Sycphomedusae, Stauromedusae, and Cubomedusae, pp 168-173, with 3 plates. In Light and Smith’s Manual: Intertidal Invertebrates of the Central California Coast. Fourth Edition ( J.T. Carlton, editor). University of California Press. Berkeley.

Morandini, A.C, M.O. Soares, H. Matthews-Cascon, & A. Carlos Marques. A survey of the Scyphozoa and Cubozoa (Cnidaria, Medusozoa) from the Ceará coast (NE Brazil). Biota Neotrop. May/Aug 2006 vol. 6 http://www.biotaneotropica.org.br/v6n2/pt/abstract?inventory+bn01406022006

Miyake, H. 2008. Presentasi “Life cycle of jellies”. JSPS-LIPI Bilateral Joint Research Project 2008-2011. Tokyo (tidak dipublikasikan)

Nishikawa, J. 2007. Presentasi “Gelatinous zooplankton: their biology and ecology”. LIPI-JSPS Training Course on Methods of Zooplankton Ecology and Identification 2007. Cibinong (tidak dipublikasikan)

Nontji, 2006. Tiada kehidupan di bumi tanpa

FAUNA INDONESIA Vol 8(1) Juni 2008 : 22-26

kehadir keberadaan plankton. Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Jakarta.

Omori, M. & E. Nakano. 2001. Jellyfish fisheries in southeast Asia. Hydrobiologia 451: 19-26

Shin, K.S., W.J. Lee, M.C Jang, P.G. Jang, & D.H. Son. 2007. Relationship of mesozooplankton and population variations of jellyfish (Aurelia aurita) in Masan Bay, Korea. 4th International Zooplankton Symposium: Human and climate forcing of zooplankton populations. 28 Mei – 1 Juni, 2007, Hiroshima, Japan.

NMNH Department. of Invertebrate Zoology, Smithsonian. 2008. NMNH Department. of Invertebrate Zoology Collections Smithsonian. Diakses pada tanggal 23 Juni 2008.http://nhb-acsmith2.si.edu/emuwebizweb/pages/nmnh/iz/ResultsList.php.

Van der Spoel, S. & J. Bleeker , 1988. Medusae from the Banda Sea and Aru Sea plankton, collected during the Snellius II Expeditions, 1984-1985. Indo-Malayan Zoology. 5:161-202

SIDAT, BELUT BERTELINGA: POTENSI DAN ASPEK BUDIDAYANYA

HaryonoBidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI

Fauna Indonesia Vol 8(1) Juni 2008 : 22-26

Summary

The eel genus of Anguilla is potential for consume fish both local and export markets. This fish differs from congeners by pectoral fin, hitherto recorded 18 species. The life cycle of eel is unique, glass eel entrance to rivers and to catch by fisherman for cultured. The aspect of eel culture and conservation will be discussed.

Pendahuluan

Ikan merupakan sumber protein yang lebih baik dibanding hewan ternak karena rendahnya kandungan/kadar kolesterol dan relatif lebih murah.Sidat merupakan salah satu jenis ikan yang potensial untuk dikembangkan. Sebagian masyarakat menyebutnya sebagai ‘Belut Bertelinga’ karena keberadaan sirip dadanya menyerupai daun telinga. Sidat dikenal pula dengan nama lain moa, lubang, dan uling ( Jawa Barat); sedangkan di Jawa Tengah menyebutnya dengan nama pelus (Schuster & Djajadiredja, 1952). Sidat (Anguilla spp.) merupakan ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis penting baik untuk pasar lokal maupun luar negeri. Permintaan pasar akan ikan sidat sangat tinggi mencapai 500.000 ton per tahun terutama dari Jepang dan Korea, pemasok utama sidat adalah China dan Taiwan (Anonim, 2006). Sidat yang dikenal dengan ’unagi’ di Jepang sangat mahal harganya karena memiliki kandungan protein 16,4% dan vitamin A yang tinggi sebesar 4700IU (Pratiwi, 1998). Meskipun demikian budidaya ikan sidat di Indonesia masih sangat terbatas dan kegiatannya hanya berupa pembesaran. Hal ini disebabkan teknik reproduksinya yang belum dikuasai karena sifat daur hidupnya yang unik. Pada ukuran anakan sampai dewasa mereka hidup di perairan tawar, tetapi pada saat mijah beruaya menuju ke laut dalam. Dunia mengenal sebanyak 18 jenis sidat (Miller & Tsukamoto, 2004). Beberapa jenis sidat Eropa

dilaporkan terancam punah akibat penangkapan yang berlebihan dan kerusakan habitat, sehingga hasil tangkapan benih menurun drastis hingga 95-99% (Anonim, 2008). Di Indonesia sendiri sedikitnya mengenal tujuh jenis sidat (Sugeha dkk., 2006), namun hanya Anguilla bicolor yang sudah mulai dibudidayakan (Peni, 1993). Daerah penangkapan benih sidat meliputi pantai barat Sumatera dan pantai Selatan Jawa, terutama di Pelabuhan Ratu dan Cilacap (Sutardjo & Mahfudz, 1972; Affandi dkk., 1995; Sarwono, 1999). Mengingat tingginya potensi ikan sidat sebagai komoditi penghasil devisa dan perlunya pengembangan pembudidayaannya maka akan dikupas sekilas mengenai morfologi, reproduksi dan aspek budidayanya.

Morfologi dan Klasifikasi

Tubuh sidat berbentuk bulat memanjang, sekilas mirip dengan belut yang biasa dijumpai di areal persawahan. Salah satu karakter/bagian tubuh sidat yang membedakannya dari belut adalah keberadaan sirip dada yang relatif kecil dan terletak tepat di belakang kepala sehingga mirip seperti daun telinga sehingga dinamakan pula belut bertelinga. Bentuk tubuh yang memanjang seperti ular memudahkan bagi sidat untuk berenang diantara celah-celah sempit dan lubang di dasar perairan. Panjang tubuh ikan sidat bervariasi dengan kisaran 50-125 cm tergantung jenisnya. Ketiga siripnya menyatu, yaitu sirip punggung, sirip dubur

Page 7: Fauna Indonesia Haryono

28 29

dan sirip ekor. Mempunyai sisik sangat kecil yang terletak di bawah kulit pada sisi lateral. Perbedaan diantara jenis ikan sidat dapat dilihat antara lain dari perbandingan antara panjang preanal (sebelum sirip dubur) dan predorsal (sebelum sirip punggung), struktur gigi pada rahang atas, bentuk kepala dan jumlah tulang belakang. Adapun klasifikasi ikan sidat menurut Nelson (1994) sebagai berikut:Phyllum : ChordataKelas : ActinopterygiiAnak kelas : NeopterygiiDivisi : TeleosteiBangsa : AnguilliformesSuku : AnguillidaeMarga : AnguillaJenis : Anguilla spp.

Reproduksi

Perkembangan gonad sidat sangat unik dan jenis kelaminnya berkembang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Pada saat anakan kondisi seksualnya berganda sehingga tidak mempunyai jaringan yang jelas antara jantan dan betinanya. Pada tahap selanjutnya sebagian gonad akan berkembang menjadi ovari (indung telur) dan sebagian lagi menjadi testis dengan perbandingan separuh dari populasinya adalah jantan dan separuh lagi betina. Dalam siklus hidupnya, setelah tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang di perairan tawar, sidat dewasa yang lebih dikenal dengan yellow eel berkembang menjadi silver eel (matang gonad) yang akan bermigrasi ke laut untuk memijah (Rovara dkk., 2007). Sidat termasuk hewan yang bersifat katadormus karena pada ukuran anakan sampai dewasa tinggal di perairan tawar namun ketika akan memijah beruaya ke laut dalam. Pemijahan diperkirakan berlangsung pada kedalaman 400-500 meter dengan suhu 16-17 oC dan salinitas 35 permill. Jumlah telur yang dihasilkan (fekunditas) setiap individu betina berkisar antara 7juta-13 juta butir dengan diameter sekitar 1 mm (Matsui, 1982). Telur akan menetas dalam waktu 4-5 hari. Setelah memijah induk sidat biasanya akan mati. Benih sidat yang baru menetas berbentuk lebar seperti daun yang dinamakan leptocephalus yang memiliki pola migrasi vertikal, yaitu cenderung naik ke permukaan pada malam hari dan siang hari turun

ke perairan yang lebih dalam. Selanjutnya benih akan berkembang dalam beberapa tahapan menjadi agak silindris dengan warna agak buram yang dikenal dengan nama glass eel (Gambar 1). Pada tahap glass eel biasanya sudah mulai terdapat pigmentasi pada bagian ekor dan kepala bagian atas (Tesch, 1977). Umur glass eel yang tertangkap di muara sungai diperkirakan antara 118-262 hari dengan umur rata-rata 182,8 hari (Setiawan dalam Rovara, 2007). Panjang tubuh glass eel antara 5 - 6 cm dengan berat sekitar 0,2 gram.

Gambar 1. Benih sidat (glass eel) pada kotak penampungan

Keberadaan glass eel sangat tergantung pada musim. Hal ini lebih dipertegas lagi dari hasil wawancara dengan pengumpul benih sidat di Pelabuhan Ratu Sukabumi yang mengatakan bahwa ketersediaan benih sidat sangat tergantung dengan musim dan umumnya lebih banyak pada musim penghujan (Nopember – April). Jumlah glass eel yang tertangkap selama kurun waktu tersebut sangat berfluktuasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Tesch (1977) bahwa glass eel akan bermigrasi masuk ke perairan tawar pada saat salinitas di muara sungai relatif rendah (1-2 ppt). Salinitas rendah seperti ini akan banyak terkondisikan pada musim hujan. Penangkapan benih sidat pada umumnya dilakukan pada malam hari ketika bulan mati/gelap dengan menggunakan sirip (hanco dengan mesh size halus) dengan penerangan lampu petromax. Jumlah nelayan penangkap benih sidat di Pelabuhan Ratu bila sedang musimnya mencapai ratusan orang dan hasilnya dijual ke pengumpul.

Aspek Budidaya

Budidaya sidat sudah dilakukan di beberapa negara ( Jepang, China, Taiwan, dan Itali) sejak awal abad 20 (Matsui, 1982); sedangkan di Indonesia

baru dirintis sekitar tahun 1995-1997 namun kurang berkembang karena tidak terjaminnya pasokan benih yang siap tebar (Herianti, 2005). Hal ini sejalan dengan pendapat Setiadi dkk.(2006) dan Prahyudi (Pers Com) yang mengatakan bahwa kendala utama dalam budidaya sidat yang dihadapi adalah tingginya mortalitas pada saat glass eel sampai elver yang mencapai 70-80%. Begitu pula dengan Peni (1993) dan Keni (1993) yang menyatakan bahwa pemeliharaan benih sidat pada tahap awal merupakan masa yang paling sulit dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 30-50%. Selain mortalitas yang tinggi, masalah lain dalam budidaya sidat adalah laju pertumbuhannya yang lambat yaitu kurang dari 3,1% (Bromage dkk.,1992). Kepadatan tebar juga perlu diperhatikan karena berpengaruh terhadap mortalitas dan pertumbuhannya. Degani & Lavenon dalam Affandi & Riani (1995) melaporkan bahwa kelangsungan hidup elver dalam pemeliharaan berkisar antara 37-55% yang tergantung pada padat penebarannya. Matsui (1982) menambahkan bahwa kepadatan yang optimal pada pemeliharaan sidat adalah 1,1-1,9 kg per 3,3 meter persegi. Untuk memacu pertumbuhan ikan sidat perlu disediakan pakan berprotein hewani yang tinggi karena sifatnya yang karnivora (Peni, 1993; Sarwono, 1999; Kamil dkk., 2000). Aktivitas makan sidat paling tinggi terjadi pada malam hari karena sifatnya nokturnal (Matsui, 1982; Sarwono, 1999). Dengan demikian manipulasi penetrasi cahaya diduga akan mempengaruhi aktivitas makan yang secara tidak langsung akan berdampak pula pada meningkatnya pertumbuhan. Dalam masa awal pemeliharaan salinitas juga perlu diperhatikan, Affandi & Riani (1995) melaporkan bahwa saat kritis pemeliharaan benih sidat yang ditangkap dari alam adalah pada pemeliharaan larvanya (glass eel-elver), kisaran salinitas air yang baik untuk pemeliharaan diperkirakan antara 0-7‰. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah proses dan cara pengangkutan. Penanganan yang baik pada saat di lapangan maupun pengangkutan akan menekan tingkat mortalitas. Matsui (1982) melaporkan bahwa benih sidat yang berasal dari Selandia Baru yang sebelumnya diberok selama dua hari pada air mengalir bersuhu 14 OC dan pada saat pengangkutan dipacking dalam box bersuhu 5-8 OC ternyata tidak ada kematian dalam pengangkutan selama 32 jam. Suhu dalam box pengangkutan terkait

dengan tingkat metabolisme tubuh dan aktivitas glass eel, dimana pada suhu rendah metabolisme dan aktivitasnya akan menurun sehingga pengeluaran bahan beracun terutama CO2 dan amoniak akan berkurang begitu pula dengan konsumsi oksigen akan lebih rendah. Kegiatan budidaya sidat tahap pembesaran dilakukan mulai tahap elver (sebesar pensil) sampai ukuran konsumsi yang beratnya sekitar 250-300 gr/ekor. Salah satu cara/tempat pemeliharaan adalah menggunakan jaring apung yang ditempatkan pada situ, danau, atau kolam ukuran besar (Gambar 2). Pakan yang diberikan biasanya berupa pellet dengan kandungan protein di atas 30%.

Gambar 2. Budidaya pembesaran sidat pada jaring apung

Potensi dan konservasinya

Sidat memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi komoditi perikanan unggulan karena permintaan dunia yang sangat tinggi. Pada tahun 1995 permintaan akan sidat mencapai 205.000 ton yang senilai dengan 3,1 milyar dollar Amerika dan sebagian besar (92%) dihasilkan dari budidaya (Rovara dkk., 2007). Sayangnya pasokan benih terus menurun secara drastis pada beberapa negara yang teknik budidaya sidatnya sudah maju ( Jepang, China, Taiwan, Itali dan Belanda). Sebaliknya Indonesia yang memiliki sidat dengan jenis yang cukup beragam belum dimanfaatkan secara optimal. Kebanyakan sidat yang dipasarkan merupakan hasil tangkapan dari alam (Gambar 3). Sampai saat ini jumlah pembudidaya sidat masih sangat terbatas, padahal potensi benih sidat di Indonesia cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa antara jumlah produksi benih yang dihasilkan dari alam belum sepadan dengan pemanfaatnnya untuk pembesaran. Dengan demikian perlu diwaspadai

FAUNA INDONESIA Vol 8(1) Juni 2008 : 27-31 HARYONO, SIDAT, BELUT BERTELINGA : POTENSI DAN BUDIDAYANYA

Page 8: Fauna Indonesia Haryono

30 31

karena kenyataan di lapangan justru permintaan ekspor terhadap benih sidat (glass eel) semakin meningkat, misalnya dengan dalih untuk penelitian. Berdasarkan SK Mentan No. 179/Kpts/Um/3/1982 sidat termasuk jenis ikan yang dilarang untuk diekpsor bila ukuran diameter tubuhnya kurang dari 5 mm. Bila mengacu pada peraturan di atas maka sidat pada tahap glass eel tidak diperbolehkan untuk diekspor. Selain peraturan tersebut dalam upaya pelestarian ikan sidat dalam artian pemanfaatan secara berkelanjutan ada beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain:- Pembatasan ukuran sidat yang boleh ditangkap oleh masyarakat, misalnya dengan melarang menangkap sidat indukan matang gonad- Pembatasan waktu penangkapan sidat oleh masyarakat misalnya dengan larangan menangkap pada saat musim ruaya induk sidat ke laut untuk mijah- Pemeliharaan habitat yang digunakan sebagai jalur ruayanya, misalnya menjaga agar tidak terjadi pengendapan/penutupan bagian muara sungai - Larangan menangkap ikan menggunakan bahan berbahaya (racun dan setrum)

Penutup

Sidat merupakan ikan asli Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan dengan prinsip berkelanjutan, sedangkan dalam budidayanya masih banyak kendala karena kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai biologi maupun siklus hidupnya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian dasar tentang ekologi, fisiologi dan aspek terkait lainnya.

Gambar 3. Ikan sidat hasil tangkapan dari alam

Daftar Pustaka

Affandi, R., M.F. Rahardjo & Sulistiono. 1995. Distribusi juvenile ikan sidat (Anguilla spp.) di perairan segara anakan Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Vol. 3(1): 27-38.

Affandi, R. & Riani. 1995. Pengaruh salinitas terhadap derajat kelangsungan hidup pertumbuhan benih ikan sidat (elver), Anguilla bicolor bicolor. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Vol. 3(1): 39-48.

Anonim. 2006. Investasi Budidaya Ikan Sidat (Anguilla sp.). Kagindo, 2006.

Anonim. 2007. Di Balik Ekspor Sidat Budidaya. Majalah AGRINA Vol. 3(63), diakses tanggal 1 Oktober 2007.

Anonim. 2008. Sidat terancam punah. http://www.seputar -indonesia.com, diakses tanggal 11 Maret 2008.

Bromage, N., J. Shephred & J. Roberts. 1992. Farming systems and husbandry practice. Blackwell Scientific Publications, Cambridge.

Bardach, J.E., Ryther, J.H., and McLarney, W.O. 1972. Culture of True Eels (Anguilla spp.). In: Aquculture. The Farming and Husbandry of Freshwater and Marine Organism. John Willey an Sons. New York, p. 385-396.

Herianti, I. 2005. Rekayasa lingkungan untuk memacu perkembangan ovarium ikan sidat (Anguilla bicolor). Oseanologi dan Limnologi No. 37: 25-41.

Kamil, M.T., R. Affandi, I. Mokognita & D. Jusadi. 2000. Pengaruh kadar asam lemak omega 6 yang berbeda pada kadar asam lemak omeha 3 tetap dalam pakan terhadap pertumbuhan ikan sidat (Anguilla bicolor bicolor). Jurnal Central Kalimantan Fisheries Vol. 1(1): 34-40.

Keni. 1993. Atraktan dalam pakan sidat. Majalah Perikanan Techner No. 09 September 1993.

Matsui, I. 1982. Theory and practice of eel culture. AA. Balkema/Rotterdam.

Miller, M.J. & K. Tsukamoto. 2004. An introduction to leptocephali biology and identification. Ocean Reeserch Institute, the University of Tokyo.

Nelson, J.S. 1994. Fishes of the World, 3rd editions. John Wiley & Sons, Inc., New York, xv+600 pp.

Peni, S.P. 1993. Tiga jenis sidat laku ekspor. Trubus No. 285 Th.XXIV.

Pratiwi, E. 1998. Mengenal lebih dekat tentang perikanan sidat (Anguilla spp.). Warta Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 4(4): 8-12.

Rovara, O., I.E. Setiawan & M.H. Amarullah. 2007. Mengenal sumberdaya ikan sidat.BPPT-HSF, Jakarta.

Sarwono, B. 1999. Budidaya belut dan sidat. Penebar Swadaya, Jakarta.

Schuster & Djajadiredja, 1952. Local common name.

Setiadi, E. Fatuchri S. Dan J. Subagja., 2006. Pengaruh padat tebar berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan pada elver (Anguilla bicolor) dalam sistem resirkulasi di dalam panti benih. in press.

Sugeha, H.Y., J. Aoyama & K. Tsukamoto. 2006. Downstream migration of tropical anguillid silver eels in the Poso Lake, Central Sulawesi Island, Indonesia. Prosiding Seminar Limnologi: 267-275.

Shyu, C. 2001. Technological Development of a Super-Intensive Resirculating Eel Culture System in Taiwan. Aquaculture and Fisheries Resources Management. Proccedings of the joint Taiwan-Australia Aquaculture and Fisheries Resources and Management Forum. TFRI, p 97-103.

Sutardjo & Machfudz. 1982. Percobaan pendahuluan penangkapan dan pengangkutan elver (Anguilla bicolor).

Suzuki, Y., Maruyama,T., Numata, H., Sato, H. And Asakawa, M., 2003. Performance of a

closedd recirculating systemwith foam separion, nitrification and denitrification units for intensive culture of eel: to words zero emmision. Aquaculture Engineering: 29, 165-182.

Taufik I., Subandiyah, S. dan Yosmaniar. 2005. Penentuan tingkat toleransi benih ikan sidat (Anguilla bicolor) terhadap pencemaran surfaktan deterjen. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 11(1); 95-103.

Tesch, 1977. The eel: biology and management of Anguilld eels. Chapman and Hall, London.

FAUNA INDONESIA Vol 8(1) Juni 2008 : 27-31 HARYONO, SIDAT, BELUT BERTELINGA : POTENSI DAN BUDIDAYANYA